Pendekar Lembah Naga Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
LIE SENG memandang dengan alis berkerut, hatinya penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu menanggung rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

"Nona... ehh, siapakah namamu?"

"Aku she Sun, namaku Eng."

"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran kenapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."

"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?"

"Engkau pun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."

"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku..."

"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."

"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"

Lie Seng mengangguk.

"Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?"

Kembali Lie Seng mengangguk.

"Ahh, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ahhh, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."

"Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya engkau menyebut cici kepadaku."

Melihat wajah yang cantik itu sudah tak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."

"Engkau tetaplah Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang sangat besar dan agung, sebaliknya aku..."

"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak."

"Ah, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biar pun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap..."

Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subo-nya padanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang sangat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

"Ehh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan dua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya tenguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

"Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini."

"Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap..."

Dara itu lalu membalikkan tubuhnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau seperti sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia bisa menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, menghapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,

"Ahh, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekali pun..."

"Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?"

"Engkau tidak tahu, taihiap... ahhh, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkau pun membenciku. Aku... aku pasti tak akan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula."

"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apa pun yang terjadi denganmu, aku tak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Lie Seng. Akan tetapi Lie Seng tak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap di dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya sehingga Lie Seng cepat melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

"Maaf... kau maafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri sehingga berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku."

"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu itu, untuk kau perlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kau cinta, aku... aku..."

"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta kepadamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak terkejut. "Apakah... kau hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?"

Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukanlah seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kau dengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa seperti apa pun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."

"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia sudah merangkul gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Coba ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!"

"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"

"Enci Eng, kau anggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimana pun mengenai dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kau derita ini."

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata di dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Maka biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir di dalam hidupku, tergantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku bila engkau pun membenciku. Nah, kau dengarkan baik-baik, taihiap?"

Dengan tubuh lemas dara itu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di hadapannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya ingin mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya mengenai dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang sangat mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya.

Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa punya rahasia sedikit pun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci sesudah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguh pun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek dan berjuluk Kiam-mo. Dahulu dia hidup sebagai seorang perampok besar, kemudian setelah berhenti menjadi perampok sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi."

Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu sesudah dia berterus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, bahkan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang serta kemesraan yang ditujukan kepadanya hingga membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

"Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah lalu membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."

"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi malah memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang bagaikan anak mereka sendiri..." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, kini wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengangguk-angguk. "Itu sudah sepatutnya sebab engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti."

"Jauh dari pada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo telah mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid..."

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Wajahnya menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. "Apa...?! Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?"

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia sangat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, menuturkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini?

Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

"Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"

"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

"Ya, aku sudah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhu-ku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kau dengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya.

Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia sendiri tak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat selalu tetap, melainkan berubah setiap saat.

Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, namun batinnya. Dan orang yang sakit itu tak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu.

Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur!

Setiap orang pun tentu akan dapat melihat pada dirinya sendiri bahwa dia pun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walau pun pada suatu waktu dia bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata dan memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya sehingga akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat cerita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

"Taihiap...," terdengar suara Sun Eng yang sekarang telah memandang padanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga..."

Lie Seng menggelengkan kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya tentang itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang mana pun juga, maka jika engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ahh, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan malah menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya!

Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh mala petaka melihat pria ini kelak membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya.

Ahhh, betapa inginnya dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah dari pada harus menceritakan semuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti sangat tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

"Enci Eng, sudahlah. Apa bila engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, aku pun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapa pun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia berjumpa dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agung-agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup!

Akan tetapi dia menjadi ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan bila mana sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu dari pada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

"Dengarkan, taihiap, dengarkanlah baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, karena itu aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia. Maka, setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... dan aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..."

Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah dapat menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

"Sudahlah, enci Eng..."

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu lalu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanyalah merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu birahinya..."

"Cukup, enci Eng..."

"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi.

Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

"Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"

"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.

"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu pria kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun yang kutemui hanyalah pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka dan hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."

"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Wajahnya pucat mengerikan sekali dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng.

"Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang telah kau dengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan sama sekali tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri.

Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia semakin kasihan kepada wanita ini, semakin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu!

Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan dia pun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam di dalam lautan yang tak berdasar pada waktu merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

"Sun Eng... aku cinta padamu... apa pun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Akan tetapi, sekali ini, di dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya bisa gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa sekali olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar-kobar di antara mereka, kemudian perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

"Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang amat terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

"Aku cinta padamu, enci Eng..."

"Demi Tuhan, terkutuklah aku bila tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau sudah mengangkatku dari jurang maut, engkau sudah mendatangkan cahaya terang di dalam hidupku yang gelap gulita ini. Dan demi Langit dan Bumi, aku pun cinta kepadamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu birahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni, akan tetapi hanya mendapatkan cinta nafsu. Dan sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu birahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, atau kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi aku pun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau sudah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan janganlah memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir hingga masak betul untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati dari pada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, maka biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita bersama-sama akan melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan membantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."

Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan sangat mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran di dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati pada saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng.

Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi dia pun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu merasa ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang telah pergi jauh itu. Dia tak mendengar adanya jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia memandang sekeliling dan menghampiri sebatang pohon besar lalu menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

Bertemu dan berpisah bagai mimpi Lie dan Sun membuat janji suci akan bertemu di awal musim semi!

Setelah puas dengan coretan-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi walau pun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada pula kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat.

Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biar pun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula kenapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan itu, tetapi pembunuhan terhadap panglima itu serta perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal cukup menggegerkan.

Apa lagi Kim Hong Liu-nio sendiri yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dapat dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat pemberontak yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan serta pengejaran pemerintah!

********************

Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok sehingga memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Dan tembok yang merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia itu, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah semacam itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani mempergunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal.

Akan tetapi, sejak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya sehingga perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio ini, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi, semenjak itu Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan sekarang dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga.

Bouw Song Khi berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, juga seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang luar biasa keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, walau pun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suheng-nya itu.

Karena Jeng-hwa-pang adalah perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk.

Dan sekarang, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan pajak jalan dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksaan dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suheng-nya itu, oleh karena suheng-nya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak supaya dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu dan menjaga keamanan Jeng-hwa-pang, dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu sekarang sudah mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa!

Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Moral orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejatnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan serta kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suheng-nya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah.

Pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini telah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di sana, sesudah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikit pun karena telah ditotoknya, lalu gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sute-nya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanyalah merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apa pun, Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lantas membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biar pun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut saja maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya dia pun akan merasa jemu karena biar pun gadis itu manis, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suheng-nya di tempat itu untuknya, yaitu wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya!

Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada waktu Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, nampak dua orang muda memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh peristiwa yang mengherankan dan mengejutkan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu.

Dua orang pemuda itu berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka berdua tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How dan Sin Liong!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran terhadap Jeng-hwa-pang yang sudah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringi oleh seorang pun pengawal. Setelah tiba di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan kemudian melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki hingga akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini langsung ketahuan sehingga gegerlah sarang Jeng-hwa-pang itu. Hanya dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggota Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka melewati pintu gerbang.

Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang benderang. Tetapi para anggota Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanyalah dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walau pun mereka telah dikurung banyak orang.

"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian yang berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.

Mendengar ini, Han Houw marah sekali. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, dia pun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-mana pun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia pun berkata.

"Huh, kalian ini hanyalah tikus-tikus busuk kecil yang tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anak buah Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Salah seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar serta berkumis tebal, yang terkenal pemarah namun terkenal pula mempunyai tenaga besar seperti kerbau, cepat melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.

"Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulur tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikit pun tak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba saja si kumis tebal itu memekik keras lantas roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah.

Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerang dirinya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang berbahaya sekali, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggota Jeng-hwa-pang segera terbelalak, apa lagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah milik Jeng-hwa-pang yang hanya digunakan oleh orang-orang yang sudah mempunyai kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini menggunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

"Siapa dia...?"

"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"

Maka ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena di samping kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

"Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya sangat nyaring dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jeri menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

"Pemuda sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara kereng dan semua anggota Jeng-hwa-pang merasa lega, cepat menyibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggota Jeng-hwa-pang.

Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu sebab dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suheng-nya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apa lagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong segera membalikkan tubuh memandang. Sin Liong langsung mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dulu dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini, dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini ketika dia dilempar ke dalam lubang ular!

Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu, dia amat kaget dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apa lagi dia pun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, akan tetapi dia pun sudah merasa jeri.

Namun tidak demikian halnya dengan suheng-nya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biar pun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggotanya tewas, dia sudah marah sekali.

"Siapa kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggota kami?" bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Dulu aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus, dan ini anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, namun harus kau tukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu semakin merah. Sekarang Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. "Pasukan Api, maju!" teriaknya.

Tiba-tiba saja nampak sinar terang ketika dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, akan tetapi bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya juga berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat digunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek.

Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama semakin menyempit. Mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur dan berbareng pula sehingga nampak sangat indah karena mereka itu seolah-olah sedang memainkan tarian obor.

"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka dia pun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur lalu berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bila mana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membentuk pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya kedua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

"Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak.

Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak sehingga terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu demikian teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah menjadi lautan api bergelombang yang hendak menelan Sin Liong!

Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi laksana seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya sehingga pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali.

Dengan penuh waspada dia menghadapi semua serangan itu dan cepat menggunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong mampu menghindarkan diri dari setiap sambaran cahaya api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuah pun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sute-nya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam bahkan merasa panasaran sekali.

"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring.

Dua belas orang itu langsung bergerak secara otomatis. Empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung lantas membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang sehingga berjumlah sepuluh orang, dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng sehingga merupakan kerja sama yang baik dan rapi sekali.

"Ehhh...?!" Sin Liong terkejut sekali karena biar pun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan cepat dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang hingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang.

Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Dia berloncatan di antara kepungan obor-obor yang menyambar-nyambar itu, dan sekarang mengerahkan ginkang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang memainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Walau pun mereka sudah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah.

Kini pasukan itu kembali bergerak, membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) lantas menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya selalu siap menggantikan anggota pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai dari pada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar.

Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan dua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, maka terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena tadi dia sangat terdesak.

Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka dia kemudian kembali menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong mampu merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya kedua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

"Ha-ha-ha-ha, ternyata hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu kalian sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, sekarang mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jeri terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, apa lagi yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi.

Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Jauh lebih baik melawan pangeran ini dari pada menghadapi pemuda perkasa yang amat luar biasa itu. Memang, sebenarnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suheng-nya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

"Wuuuut...! Ting-tinggg...!"

Senjata rantainya bergerak dan mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini Ceng Han Houw tersenyum, lantas dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga termasuk anggota Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggota Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong langsung berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"

"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak oleh karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat dari pada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas hingga mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

"Wuuuttt...!"

Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah maka sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi cepat-cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, lalu rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan telah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu, gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka dia pun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

"Cringgg...!"

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu laksana ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju lalu dengan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai.

Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya, lantas keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia pun mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai dari pada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat.

Kini Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, telah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya.

Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak hebat karena dia hanya berloncatan ke sana-sini sambil menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum.

Kakak angkatnya itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, tapi semua sambaran rantai itu luput dan hanya mengenai tempat kosong selalu.

Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga dia mulai merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Hanya dengan tangan kosong saja dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong dan menggirangkan hati Bouw Song Khi.

Rantai itu terbuat dari pada baja murni dan juga digerakkan dengan pengerahan tenaga sinkang. Batu karang pun akan hancur apa bila terkena hantaman ujung rantai, apa lagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

"Plakkk!"

Tangan itu menangkis ujung rantai hingga rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikit pun tidak!

Bouw Song Khi menjadi pucat. Tidak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu sudah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li!

Bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, dulu nenek iblis ini telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan sepasang tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 26

Pendekar Lembah Naga Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
LIE SENG memandang dengan alis berkerut, hatinya penuh dengan perasaan iba. Ingin dia menyentuhnya, ingin dia menghiburnya, ingin dia membantu menanggung rasa nyeri dari gadis itu, akan tetapi kini dia tidak berani menyentuh, bahkan jantungnya berdebar aneh ketika dia teringat betapa tadi dia telah melihat dan menyentuh paha dan punggung dara itu!

"Nona... ehh, siapakah namamu?"

"Aku she Sun, namaku Eng."

"Namamu bagus sekali. Sungguh aku merasa heran kenapa aku tidak pernah mendengar namamu dari paman dan bibi, nona Sun Eng..."

"Lie-taihiap, kalau engkau keponakan dari suhu, mengapa masih bersikap sungkan dan menyebutku nona?"

"Engkau pun menyebutku taihiap (pendekar besar)..."

"Engkau memang seorang pendekar yang sakti dan hebat, mana bisa aku menyebut lain? Akan tetapi aku..."

"Engkau seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan berani, juga setia dan berbakti sehingga hampir saja engkau mengorbankan nyawa untuk paman dan bibi, juga untuk ibu kandungku, dan ayah tiriku yang ikut tertawan."

"Ahhh... jadi engkau putera dari enci suhu, pendekar wanita Cia Giok Keng, dan pendekar sakti Yap Kun Liong itu ayah tirimu?"

Lie Seng mengangguk.

"Jadi engkau ini cucu mendiang pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai yang terkenal itu?"

Kembali Lie Seng mengangguk.

"Ahh, dan aku hanya... seorang gadis bodoh dan sesat... ahhh, dan aku tentu lebih tua darimu, taihiap. Usiaku sudah dua puluh lima tahun..." Sun Eng seperti mengomel dan bicara pada diri sendiri, suaranya penuh penyesalan dan kekecewaan akan kenyataan-kenyataan yang pahit ini.

"Kita sebaya. Aku berusia dua puluh empat, hanya selisih setahun denganmu."

"Nah, apa kataku? Aku lebih tua, sepatutnya engkau menyebut cici kepadaku."

Melihat wajah yang cantik itu sudah tak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang tadinya membayangkan kedukaan dan kemuraman itu agak berseri, Lie Seng tersenyum, bangkit berdiri dan menjura. "Baiklah, cici Sun Eng. Mulai sekarang aku menyebutmu cici yang baik, dan aku..."

"Engkau tetaplah Lie-taihiap bagiku! Engkau keturunan keluarga yang sangat besar dan agung, sebaliknya aku..."

"Engkau seorang dara yang cantik jelita, cici. Jangan kau terlampau merendahkan dirimu. Aku masih terheran-heran mengapa paman Bun Houw dan bibi sama sekali tidak pernah bercerita tentang dirimu. Aku akan menegur mereka kalau sempat bertemu kelak."

"Ah, jangan...!" Sun Eng berseru dan dengan nekat dia bangkit berdiri, biar pun dia harus menyeringai kesakitan. Dia mengangkat kedua tangan ke atas. "Jangan tegur mereka... bahkan jangan sebut-sebut tentang diriku... ah, Lie-taihiap, engkau tidak tahu... aku sama sekali tidak berharga engkau tolong, bahkan tidak berharga untuk berhadapan dan bicara denganmu. Ah, sebaiknya engkau tinggalkan aku sekarang juga, taihiap..."

Dan wanita itu tak dapat menahan kedukaan hatinya lagi, menangis terisak-isak, teringat betapa bencinya suhu dan subo-nya padanya, betapa dia telah dianggap sebagai seorang wanita yang sudah rusak akhlaknya, dan betapa tidak mungkinnya dia berkenalan dengan seorang pemuda seperti Lie Seng ini, pemuda yang sangat menarik hatinya, yang amat mengagumkan hatinya.

"Ehh, cici Sun Eng... kenapa engkau? Apa artinya semua ucapanmu itu?" Lie Seng tentu saja terkejut bukan main dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Tidak perlu engkau tahu... taihiap... hanya ketahuilah bahwa aku... aku tidak berharga... kau pergilah, tinggalkan aku seorang diri..."

Melihat dara itu menangis mengguguk dan berdiri dengan dua tangan menyembunyikan mukanya, pundaknya tenguncang-guncang dalam tangisnya, Lie Seng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melangkah maju dan menyentuh kedua lengan dara itu.

"Enci Eng... jangan begitu... mengapa engkau merendahkan diri seperti ini...? Aku tidak akan mau meninggalkan engkau seorang diri dalam keadaan terluka seperti ini."

"Kalau begitu... biarlah aku... aku yang pergi, taihiap..."

Dara itu lalu membalikkan tubuhnya dan mencoba untuk meloncat pergi. Akan tetapi dia mengaduh dan terguling roboh, bangkit lagi, merangkak, bangun dan mencoba untuk lari lagi, akan tetapi terhuyung-huyung dan dia tentu akan roboh lagi kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Lie Seng yang merangkulnya.

"Enci Eng, jangan engkau bersikap seperti itu. Mengapa engkau seperti sengaja hendak menghancurkan hatiku? Apakah salahku maka engkau hendak pergi begitu saja?"

Gadis itu menangis makin mengguguk dan membiarkan dirinya didekap oleh pemuda itu. Setelah dia bisa menguasai keharuan hatinya, dengan lembut dia melepaskan rangkulan itu, menghapus air matanya, memandang kepada pemuda itu dan berkata,

"Ahh, engkau tidak tahu, taihiap. Aku tidak berharga untukmu, bahkan untuk berkenalan atau bercakap-cakap denganmu sekali pun..."

"Siapa bilang demikian? Akan kuhancurkan mulutnya kalau ada yang berani mengatakan demikian kepadamu!" Lie Seng mengepal tinju, penasaran. "Aku kasihan kepadamu, enci Eng, aku.... suka padamu, engkau seorang gadis yang baik, yang gagah, berbudi, siapa bilang tidak berharga menjadi sahabatku? Dan mengapa?"

"Engkau tidak tahu, taihiap... ahhh, lebih baik kita berpisah seperti ini, sekarang sebelum engkau pun membenciku. Aku... aku pasti tak akan dapat tahan lagi. Semua orang boleh membenciku, akan tetapi kalau engkau... ikut pula membenciku, aku lebih baik mati saja. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, sebelum engkau membenciku pula."

"Tidak! Aku tidak mau meninggalkanmu, enci Eng. Apa pun yang terjadi denganmu, aku tak mungkin akan membencimu. Aku... aku cinta padamu. Dengarkah engkau? Aku cinta padamu begitu aku bertemu denganmu, enci Eng!" Pemuda itu berkata penuh semangat karena dia tidak lagi meragukan perasaan hatinya terhadap gadis ini.

Ucapan pemuda itu demikian mengejutkan hati Sun Eng sehingga dia terlonjak kaget dan meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan Lie Seng. Akan tetapi Lie Seng tak mau melepaskannya sehingga akhirnya Sun Eng mengguguk lagi, menangis dan membiarkan kepalanya didekap di dada pemuda yang amat dikaguminya itu. Dia memejamkan mata ketika merasa betapa pemuda itu menciumi rambutnya, kemudian dahinya dan tiba-tiba dia meronta.

"Tidak... tidak pantas itu...!" Dia meronta sekuatnya sehingga Lie Seng cepat melepaskan pelukannya. Wajah pemuda itu menjadi merah sekali.

"Maaf... kau maafkanlah aku, enci Eng. Aku telah lupa diri sehingga berlaku tidak sopan padamu, maafkan aku."

"Bukan itu maksudku, taihiap. Bukan engkau yang berbuat tidak pantas, melainkan tidak pantaslah bagiku untuk menerima cintamu itu, untuk kau perlakukan sebaik ini. Aku tidak pantas kau cinta, aku... aku..."

"Jangan berkata demikian, enci Eng. Aku jatuh cinta kepadamu, mengapa tidak pantas? Engkau seorang gadis yang cantik dan gagah, dan... ahh!" Pemuda itu nampak terkejut. "Apakah... kau hendak maksudkan bahwa engkau telah... bersuami?"

Tentu saja ingatan ini membuat dia terkejut dan wajahnya menjadi pucat seketika. Gadis itu bersikap demikian sungkan, jangan-jangan dia itu bukanlah seorang gadis yang masih bebas, melainkan seorang wanita yang sudah bersuami! Celaka kalau begitu! Berarti dia telah melakukan hal yang benar-benar tidak patut!

Akan tetapi hatinya menjadi lega seketika melihat dara itu menggeleng kepalanya. "Tidak, taihiap. Aku tidak menikah, akan tetapi... malah lebih baik tidak kau dengarkan. Aku tidak akan dapat tahan kalau melihat engkau membenciku, taihiap. Biarlah kita berpisah dalam keadaan begini, berarti aku masih akan kuat mempertahankan hidup dengan bayanganmu sebagai kenangan indah. Aku akan selalu ingat bahwa seperti apa pun juga adanya diriku yang hina ini, di dunia masih ada orang yang mencintaku... selamat tinggal, taihiap..."

"Sun Eng...!" Lie Seng meloncat dan menubruk, dan kembali dia sudah merangkul gadis itu. "Enci Eng, engkau menyiksa diri sendiri. Coba ceritakanlah kepadaku semuanya, dan jangan takut!"

"Tidak... tidak mungkin... engkau akan membenciku...!"

"Enci Eng, kau anggap aku ini orang apakah? Aku cinta padamu karena engkau, karena keadaanmu, dan aku tidak akan terpengaruh oleh cerita yang bagaimana pun mengenai dirimu! Demi Tuhan, ceritakanlah, dan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menyembuhkanmu dari cengkeraman siksaan batin yang kau derita ini."

Beberapa lama Sun Eng memejamkan mata di dalam pelukan Lie Seng, kemudian dia menarik napas panjang dan melepaskan diri dari pelukan itu. "Baiklah, memang agaknya engkau benar. Aku tidak boleh lari dari kenyataan hidup, taihiap. Maka biarlah ceritaku ini merupakan keputusan terakhir di dalam hidupku, tergantung dari anggapanmu terhadap ceritaku ini. Aku siap untuk menghadapi yang terburuk, siap menghadapi kiamat dan maut karena hanya itulah bagiku bila engkau pun membenciku. Nah, kau dengarkan baik-baik, taihiap?"

Dengan tubuh lemas dara itu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan Lie Seng juga duduk di hadapannya. Jantung pemuda ini berdebar tegang dan pandang matanya makin mesra dan lembut karena dia merasa amat kasihan kepada dara ini yang dia duga tentu mempunyai latar belakang kehidupan yang amat pahit.

Sun Eng menarik napas panjang berulang kali, agaknya ingin mencari kekuatan dari hawa udara sejuk yang disedotnya. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan segala-segalanya mengenai dirinya, tanpa menyembunyikan apa-apa karena dia tidak ingin kelak pemuda yang sangat mengagumkan hatinya ini akan menemukan sesuatu yang belum diceritakannya.

Pendeknya dia ingin berdiri telanjang di depan pemuda yang luar biasa ini, tanpa punya rahasia sedikit pun juga. Tinggal terserah kepada pemuda itu, apakah cintanya masih akan utuh, ataukah berbalik menjadi benci sesudah mendengar ceritanya. Kalau pemuda itu berbalik membencinya, dia tidak akan menyalahkan Lie Seng, sungguh pun dia tahu bahwa dia tidak akan kuat hidup menghadapi pukulan batin ini.

"Lie-taihiap, mendiang ayahku adalah seorang yang bernama Sun Bian Ek dan berjuluk Kiam-mo. Dahulu dia hidup sebagai seorang perampok besar, kemudian setelah berhenti menjadi perampok sampai dia meninggal dunia dia hidup sebagai pemilik sebuah rumah perjudian di kota Kiang-shi."

Dara itu berhenti sebentar untuk meneliti wajah pemuda itu sesudah dia berterus terang menceritakan keadaan mendiang ayahnya yang tidak dapat dibanggakan itu. Akan tetapi wajah yang tampan dan gagah itu tidak berubah, hanya mengandung kesungguhan dan penuh pengertian, bahkan di balik kesungguhan itu Sun Eng masih dapat melihat cahaya gemilang dari kasih sayang serta kemesraan yang ditujukan kepadanya hingga membuat dia merasa betapa kedua pipinya menjadi panas dan jantungnya berdegup kencang.

"Mendiang ayahku bersahabat dengan pamanmu, yaitu suhu Cia Bun Houw ketika beliau masih muda dan sedang menyelidiki musuh-musuh keluarganya. Ayah lalu membantunya mencari jejak musuh-musuh itu, dan ketika suhu menyerbu bersama ayah, maka ayahku itu gugur, tewas oleh musuh-musuh suhu."

"Hemm, ayahmu ternyata merupakan seorang sahabat sejati dan setia," Lie Seng memuji dengan setulusnya hati. Pujian ini tidak mendatangkan rasa girang di hati Sun Eng akan tetapi malah memberatkan perasaannya karena dia harus menceritakan keadaaan dirinya sendiri yang sama sekali tidak boleh dibuat bangga!

"Sebelum meninggal dunia dalam pangkuan suhu, ayah pesan kepada suhu agar kelak suhu suka merawat dan mendidik aku yang masih kecil ketika ditinggal ayah, baru berusia sepuluh tahun. Suhu memenuhi permintaan itu, dan ketika suhu pergi merantau bersama subo, suhu mengambilku dan semenjak itu aku ikut bersama suhu dan subo, dirawat dan dididik oleh mereka berdua dengan penuh kasih sayang bagaikan anak mereka sendiri..." Kembali dara itu berhenti dan menarik napas panjang, kini wajahnya yang cantik itu agak pucat dan kelihatan berduka sekali.

Lie Seng mengangguk-angguk. "Itu sudah sepatutnya sebab engkau adalah seorang anak dan murid yang amat baik dan berbakti."

"Jauh dari pada itu, Lie-taihiap. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku berusia kurang lebih delapan belas tahun... suhu dan subo telah mengusirku dan tidak mau lagi mau mengaku sebagai murid..."

Ucapan ini benar-benar amat mengejutkan hati Lie Seng. Wajahnya menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak. "Apa...?! Mengapa begitu? Apa yang terjadi...?"

Sun Eng menundukkan mukanya yang pucat. Jantungnya berdebar penuh rasa tegang dan takut. Ya, dia sangat takut. Beranikah dia mengakui kesemuanya itu? Beranikah dia menelanjangi dirinya sendiri di depan pemuda yang telah menarik hatinya ini, menuturkan segala kebusukannya? Beranikah dia menempuh bahaya dibenci oleh pria hebat ini?

Tidak ada jalan lain, dia harus berani menempuhnya, dengan taruhan nyawa! Akan tetapi tetap saja dia tak kuasa untuk mengangkat muka, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu dan dengan suara lirih dia melanjutkan ceritanya.

"Aku... aku telah jatuh cinta kepada suhu!"

"Ahhh...!" Lie Seng melongo, pandang matanya yang terbelalak itu menyelidiki wajah yang menunduk.

"Ya, aku sudah seperti gila. Aku kasihan melihat betapa suhu tidak hidup sebagai suami isteri dengan subo, tidurnya terpisah dan mereka berdua itu menderita tekanan batin yang hebat. Aku lalu... merayu suhu-ku sendiri! Ah, mau aku rasanya mati kalau mengingat itu semua. Kau dengar baik-baik, taihiap. Pada suatu malam aku memasuki kamar suhu di mana suhu yang gagah perkasa dan budiman itu tentu saja menolakku! Masih baik bagiku bahwa beliau tidak memukul mampus saja kepada muridnya yang murtad dan tidak tahu malu ini!"

Hening sekali setelah Sun Eng menghentikan ceritanya. Dara itu masih menunduk, tidak berani mengangkat muka, bahkan tidak berani bergerak, seluruh perhatiannya ditujukan ke arah pemuda itu, menduga bahwa pemuda itu akan marah, akan memakinya dan dia sudah siap menerima hal yang seburuk-buruknya.

Dan Lie Seng duduk termenung, apa yang diceritakan oleh dara itu membayang di depan matanya seperti lukisan. Dia melihat penyelewengan dara itu, akan tetapi dia tak merasa marah, tidak pula merasa cemburu, tidak merasa benci.

Bagi orang yang sadar akan dirinya sendiri, orang yang mengenal dirinya sendiri, akan melihat bahwa dirinya sendiri juga kotor, juga lemah, seperti orang-orang lain sehingga dia sendiri tak mungkin bisa mencela orang lain yang melakukan penyelewengan akibat kelemahannya. Kehidupan manusia tidak mungkin dapat selalu tetap, melainkan berubah setiap saat.

Orang yang melakukan penyelewengan dalam kehidupannya sama halnya dengan orang yang sedang dihinggapi suatu penyakit. Hanya saja, bukan badannya yang sakit, namun batinnya. Dan orang yang sakit itu tak selamanya sakit, tentu bisa sembuh. Sebaliknya, orang yang sedang waras belum tentu selamanya sehat, tentu bisa sakit sewaktu-waktu.

Oleh karena itu, orang yang sadar tidak akan mengejek atau mencela orang yang sedang menderita sakit batinnya dan melakukan perbuatan yang menyeleweng, sebaliknya malah akan merasa kasihan. Sudah sepatutnyalah kalau kita mengulurkan tangan kepada yang sedang sakit, agar dia sembuh kembali. Mengejek atau mencela orang yang sedang sakit batinnya sama saja dengan mendorong orang yang sedang terjeblos dalam lumpur!

Setiap orang pun tentu akan dapat melihat pada dirinya sendiri bahwa dia pun pernah melakukan dosa, melakukan penyelewengan, atau pernah menderita sakit batin seperti itu. Oleh karena itu, orang yang mencela atau mengejek orang lain yang sedang sesat, sedang sakit batinnya, adalah orang yang tak tahu diri, dan orang seperti ini akan selalu merasa dirinya bersih walau pun pada suatu waktu dia bergelimang lumpur. Sebaliknya, orang yang setiap saat mau waspada membuka mata dan memperhatikan dirinya sendiri lahir batin, akan terbuka mata hatinya sehingga akan dapat melihat lebih mendalam akan segala peristiwa dalam kehidupan ini.

Lie Seng membuyarkan awan yang menyelubungi dirinya dan membuatnya termenung. Terlalu hebat cerita yang didengarnya dari mulut dara yang menarik hatinya dan yang dicintanya itu.

"Taihiap...," terdengar suara Sun Eng yang sekarang telah memandang padanya dengan sinar mata penuh iba. Dia melihat pemuda itu bengong dengan wajah pucat, dan dia tahu atau menduga bahwa pemuda itu tentu hancur hatinya, tentu kecewa sekali mendengar akan kebusukannya, maka dia merasa amat kasihan. "Taihiap, sudah kukatakan bahwa aku tidak berharga..."

Lie Seng menggelengkan kepala dan tersenyum, pandang matanya tidak berubah, masih lembut dan penuh kasih mesra. "Enci Eng, siapa bilang engkau tidak berharga? Paman Bun Houw adalah seorang pendekar yang hebat, maka kalau sampai engkau jatuh cinta kepadanya, apakah anehnya tentang itu? Seorang seperti dia tentu dengan mudah akan menjatuhkan hati gadis yang mana pun juga, maka jika engkau jatuh cinta padanya, hal itu lumrah dan engkau tidak boleh disalahkan."

Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak menatap wajah yang tampan itu, seolah tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Ahh, untuk itu saja, untuk kata-kata itu saja, mau rasanya dia berlutut menyembah dan menciumi telapak kaki pria ini! Tak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang sama sekali tidak menyalahkannya, bahkan malah menghiburnya dengan kata-kata seperti itu, padahal pria ini menyatakan cinta kepadanya!

Akan tetapi, rasa bahagia ini segera berubah menjadi kegelisahan yang teramat besar. Dia masih harus menceritakan terus, dan makin berat rasanya kini kalau kebahagiaan itu terganti oleh mala petaka melihat pria ini kelak membencinya, muak kepadanya setelah mendengarkan semua penuturannya.

Ahhh, betapa inginnya dia untuk lari, untuk terbang ke angkasa, atau kalau bumi di depan kakinya terbuka, rela dia untuk terjun ke bawah dari pada harus menceritakan semuanya kepada pemuda ini! Akan tetapi, tidak terdapat jalan lain baginya.

Lie Seng tidak tega menyaksikan gadis itu seperti sangat tersiksa, seperti cacing terkena abu, atau seperti ikan kekeringan di darat. Dia tahu bahwa di dalam batin dara itu terjadi pertentangan hebat.

"Enci Eng, sudahlah. Apa bila engkau merasa tidak perlu dilanjutkan, aku pun tidak ingin mendengarkan kelanjutan ceritamu. Betapa pun juga, pandanganku terhadap dirimu tidak berubah. Aku... aku tetap cinta padamu."

Mendengar ini, Sun Eng memejamkan kedua matanya dan air matanya menetes-netes dari sepasang mata yang dipejamkan itu. Belum pernah selama hidupnya dia berjumpa dengan seorang pria seperti ini! Betapa hebat dan mulianya. Dan betapa agungnya. Pria seperti ini boleh dia agung-agungkan, boleh dia sembah-sembah dan boleh dipakai untuk menyandarkan dirinya selama hidup!

Akan tetapi dia menjadi ragu-ragu. Lie Seng belum mendengar semuanya dan bila mana sudah mendengar semuanya tentu akan berbalik muka. Akan tetapi lebih baik begitu dari pada kelak terjadi hal yang sama. Biarlah dunia hancur karenanya, karena memang dia sudah merasa bersalah.

"Dengarkan, taihiap, dengarkanlah baik-baik. Suhu dan subo mengampuniku, akan tetapi hubungan di antara kami menjadi renggang. Aku merasa betapa suhu dan subo marah dan membenciku, karena itu aku merasa seperti kehilangan pegangan. Mereka itu adalah pengganti orang tuaku, merupakan dua orang yang kumiliki satu-satunya di dunia. Maka, setelah hubungan kami renggang, aku lalu mencari pegangan ke luar... dan aku bertemu dengan seorang laki-laki, seorang pemuda laknat..."

Melihat muka yang makin pucat dan kedua mata masih dipejamkan itu, Lie Seng merasa kasihan sekali. Dia memang sudah dapat menduga bahwa latar belakang kehidupan dara ini tentu gelap dan penuh kepahitan.

"Sudahlah, enci Eng..."

Akan tetapi, karena merasa sudah tiba di tepi jurang, sudah terlanjur melangkah, Sun Eng ingin cepat menyelesaikan hal yang menegangkan hatinya itu. "Pemuda itu lalu menjadi tumpuan harapanku. Suhu dan subo sudah melarang karena mereka mengenal pemuda laknat itu, pemuda mata keranjang yang menganggap wanita-wanita hanyalah merupakan alat untuk bersenang-senang, untuk menghibur diri dan melampiaskan nafsu birahinya..."

"Cukup, enci Eng..."

"Akan tetapi aku nekat. Bahkan aku melarikan diri dengan pemuda itu..."

Lie Seng menunduk. Terlalu hebat cerita itu. Sakit rasanya jantungnya membayangkan semua peristiwa yang dilakukan dan dialami oleh wanita yang dicintanya ini dan dia tidak ingin mendengar lagi.

Akan tetapi Sun Eng sudah merasa melewati jurang yang paling dalam. Kini dia membuka mata, dan mata itu bersinar-sinar ketika dia melanjutkan, seolah-olah menantang maut, menantang kiamat.

"Benar seperti yang dikatakan suhu dan subo, laki-laki itu hanya mempermainkan diriku. Setelah dia puas menikmati diriku, dia lalu menjadi bosan dan hendak meninggalkan aku, tidak mau mengawiniku. Maka aku lalu membunuh si keparat itu!"

"Sun Eng..." Lie Seng mengeluh.

"Dan setelah itu, suhu dan subo tidak lagi mau mengakui aku. Aku lalu merantau, pindah dari pelukan satu pria kepada lain pria, mencari-cari, aku haus akan cinta kasih pria yang sejati, mencari pengganti pria seperti suhu. Namun yang kutemui hanyalah pria-pria yang kejam, pria-pria yang hanya ingin menikmati tubuhku belaka dan hendak menjadikan aku sebagai alat pemuas nafsu binatang mereka..."

"Cukup...!" Lie Seng membentak dan meloncat berdiri. Wajahnya pucat mengerikan sekali dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai seperti orang menderita kenyerian hebat.

Lemah lunglai rasanya seluruh tubuh Sun Eng setelah dia menceritakan semuanya. Kini dia siap menerima hukumannya yang paling hebat. Dia berlutut dan menyembah kepada Lie Seng.

"Perempuan macam ini engkau cinta? Ah, taihiap, sudah kukatakan aku tidak berharga, aku tidak patut menerima cinta dan kebaikanmu. Nah, sekarang telah kau dengar semua. Itulah sebabnya mengapa suhu dan subo tidak lagi mau mengakui muridnya ini, bahkan tak sudi menerima ketika aku datang hendak menolong mereka. Dan kau... silakan kalau hendak mengutuk, memaki dan boleh juga memukulku, taihiap. Aku akan rela dan puas mati di tanganmu..."

Sejenak Lie Seng berdiri seperti patung, tegak dan sama sekali tidak bergerak, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya awut-awutan itu. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri memeriksa hatinya sendiri.

Heran! Dia memang menyesal sekali, berduka sekali, akan tetapi dia semakin kasihan kepada wanita ini, semakin mencintanya! Dia merasa berkewajiban untuk melindunginya, untuk menghiburnya, untuk membantunya melupakan semua peristiwa yang pahit itu!

Cinta memang aneh sekali! Akan tetapi, barulah patut dibicarakan sebagai cinta kalau di situ tidak ternoda oleh cemburu, oleh marah, oleh benci! Cinta tak mengenal baik buruk, cinta bukanlah sama dengan senang akan yang indah-indah, suka akan bersih-bersih. Cinta adalah cinta, di atas baik buruk!

Karena sampai lama dia menanti dengan pasrah dan pemuda itu tidak bergerak, tidak berkata apa-apa lagi, perlahan-lahan Sun Eng mengangkat mukanya yang basah oleh air mata. Air matanya masih turun menetes-netes dan dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka menunduk, sepasang mata itu memandang kepadanya dengan lembut dan penuh iba, sama sekali tidak marah seperti yang diduganya. Sejenak mereka berpandangan dan air mata itu makin deras menetes turun.

Tiba-tiba, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, keduanya saling turun. Hanya ada keluhan tertahan keluar dari dada Lie Seng, dan Sun Eng merintih, membiarkan dirinya dipeluk, ditarik berdiri dan dia pun hanya merintih dan merasa seperti tenggelam di dalam lautan yang tak berdasar pada waktu merasa betapa pemuda itu menciuminya di antara bisikan-bisikan yang terdengar seperti suara gaib baginya.

"Sun Eng... aku cinta padamu... apa pun yang terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi... demi Langit dan Bumi, aku cinta padamu..."

Sun Eng adalah seorang wanita yang telah matang dalam hubungan asmara antara pria dan wanita. Bahkan selama dia mencari-cari pengganti gurunya, di antara banyak kaum pria, dia terkenal pandai membujuk, pandai merayu dan ahli dalam permainan cinta. Akan tetapi, sekali ini, di dalam dekapan Lie Seng, pemuda yang masih hijau dan canggung, dalam hujan ciumannya, Sun Eng hanya bisa gemetar, setengah pingsan dan tidak dapat apa-apa seperti seorang anak perawan yang masih belum tahu apa-apa!

Terasa sekali olehnya betapa api nafsu membakar dan berkobar-kobar di antara mereka, kemudian perlahan-lahan menghangatkan dan membakar dirinya pula, Sun Eng meronta dan melepaskan diri.

"Tidak...! Jangan lakukan itu, taihiap!" Dia terengah di antara ciuman Lie Seng yang amat terkejut dan melepaskannya dengan lembut, memandangnya dengan heran.

"Aku cinta padamu, enci Eng..."

"Demi Tuhan, terkutuklah aku bila tidak mempercayai cinta kasihmu, taihiap. Aku percaya dan engkau sudah mengangkatku dari jurang maut, engkau sudah mendatangkan cahaya terang di dalam hidupku yang gelap gulita ini. Dan demi Langit dan Bumi, aku pun cinta kepadamu, taihiap, aku memujamu, menjunjungmu seperti dewaku, pelindungku, dan aku rela menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu. Akan tetapi... ah, betapa aku masih muak dengan segala cinta nafsu birahi... aku mengganggapnya begitu kotornya, menjijikkan... semua itu karena selama ini aku haus akan cinta kasih yang murni, akan tetapi hanya mendapatkan cinta nafsu. Dan sekarang... aku tidak ingin mengotori cinta kasihmu yang demikian suci itu dengan nafsu birahi. Taihiap, berilah waktu kepadaku, atau kepada kita berdua. Aku tidak ingin gagal lagi dalam hubungan antara kita, akan tetapi aku pun tidak ingin engkau tergesa-gesa dan kemudian kecewa. Engkau sudah mendengar riwayatku, engkau tahu betapa busuk dan kotornya aku, namun engkau masih menyatakan cinta. Ya Tuhan, terima kasih, taihiap! Terima kasih, dan janganlah memberi bayangan kegagalan dalam hubungan ini! Biarlah engkau berpikir hingga masak betul untuk menyelidiki apakah benar cinta kasihmu ini murni. Aku tidak ingin melihat engkau kelak sengsara, lebih baik aku mati dari pada melihat engkau menderita, taihiap. Oleh karena itu, maka biarlah kita berpisah selama satu tahun. Dan setahun kemudian, aku akan menantimu di sini, tepat di tempat ini, dan kita bersama-sama akan melihat apakah benar-benar ada cinta kasih di antara kita. Nah, jangan membantah dan jangan halangi aku, taihiap, selamat berpisah, sampai setahun lagi... ingat, setahun tepat di tempat ini..."

Setelah berkata demikian, Sun Eng lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu tanpa menengok lagi karena dia maklum bahwa sekali dia menengok dan memandang pemuda itu, tidak akan ada kekuatan yang dapat memisahkannya lagi dari pemuda itu!

Lie Seng tertegun, berdiri seperti patung. Kata-kata yang panjang lebar itu menimbulkan kesan sangat mendalam di hatinya. Dia melihat kebenaran di dalam ucapan itu. Dia tidak boleh tergesa-gesa menurutkan perasaan hati pada saat itu. Akan tetapi dia hampir yakin akan cinta kasihnya kepada Sun Eng.

Hampir dia mengejar, menghalangi gadis itu pergi. Akan tetapi dia pun harus mengingat perasaan gadis itu. Apakah gadis itu merasa ragu-ragu akan cintanya? Apakah gadis itu tak percaya kepadanya, ataukah tidak percaya kepada dirinya sendiri? Sun Eng memiliki kekerasan dan keteguhan hati. Mengapa dia tidak?

"Enci Eng, engkau lihat, satu tahun kemudian aku akan berada di sini!" Dia berteriak ke arah bayangan gadis yang telah pergi jauh itu. Dia tak mendengar adanya jawaban, akan tetapi dia tahu bahwa gadis itu terisak-isak dan berjalan terhuyung-huyung, tanda bahwa gadis itu mendengar ucapannya.

Setelah bayangan Sun Eng lenyap, sampai lama Lie Seng berdiri di tempat itu, kemudian dia memandang sekeliling dan menghampiri sebatang pohon besar lalu menggunakan jari telunjuknya untuk mencorat-coret di batang pohon besar itu. Karena jari telunjuk itu terisi hawa Thian-te Sin-ciang, maka seperti pisau yang tajam saja jari itu membuat coretan huruf-huruf yang indah di batang pohon, mengiris kulit batang pohon itu.

Bertemu dan berpisah bagai mimpi Lie dan Sun membuat janji suci akan bertemu di awal musim semi!

Setelah puas dengan coretan-coretan yang merupakan perluapan perasaannya dan juga dipakai untuk menandai tempat pertemuan itu, Lie Seng lalu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ibu kandungnya, ayahnya, paman dan bibinya. Akan tetapi walau pun dia percaya bahwa mereka tentu dapat lolos, ada pula kekhawatiran bahwa mereka selanjutnya tentu akan dikejar-kejar sebagai musuh negara, sebagai pemberontak-pemberontak yang buron. Dan memang dugaan ini tepat.

Kota raja menjadi gempar dengan adanya peristiwa itu. Biar pun istana tidak tahu-menahu tentang penangkapan atas diri empat pendekar itu dan tidak tahu pula kenapa mendiang Panglima Lee Siang melakukan penangkapan itu, tetapi pembunuhan terhadap panglima itu serta perlawanan terhadap pasukan yang mengakibatkan tewasnya banyak pengawal cukup menggegerkan.

Apa lagi Kim Hong Liu-nio sendiri yang menyebarkan fitnah bahwa empat orang pendekar itu memang bermaksud memberontak, tentu saja omongan wanita yang pernah berjasa terhadap istana ini dapat dipercaya oleh kaisar yang segera memerintahkan agar empat pemberontak yang buron itu ditangkap dan dihukum! Karena itu, terpaksa empat orang pendekar itu bersembunyi untuk menghindarkan diri dari penangkapan serta pengejaran pemerintah!

********************

Tembok besar raksasa yang melintang di sebelah utara Tiongkok sehingga memisahkan Tiongkok dengan daerah luar, dinamakan Tembok Besar Selaksa Mil. Dan tembok yang merupakan keajaiban hasil karya tangan manusia itu, selain amat kokoh kuat, tinggi dan besar, juga melintasi gunung-gunung, jurang-jurang, dan dipandang dari jauh mirip seekor ular raksasa berliku-liku antara pegunungan dan daerah liar itu.

Daerah semacam itu tentu saja merupakan tempat persembunyian yang baik sekali bagi gerombolan-gerombolan jahat. Di antara gerombolan-gerombolan penjahat di sepanjang tembok besar itu, yang paling terkenal, ditakuti oleh para pelancong dan pedagang yang melintasi tembok besar adalah perkumpulan Jeng-hwa-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jeng-hwa-pang dipimpin atau diketuai oleh Gak Song Kam, seorang ahli racun yang telah berani mempergunakan julukan Tok-ong (Raja Racun) dan memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah seorang di antara murid-murld terlihai dari mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang jagoan Pek-lian-kauw yang terkenal.

Akan tetapi, sejak muncul Kim Hong Liu-nio, wanita luar biasa dari utara, Jeng-hwa-pang menemui hari naasnya sehingga perkumpulan itu pernah diobrak-abrik oleh wanita sakti itu. Banyak anak buah Jeng-hwa-pang yang tewas di tangan Kim Hong Liu-nio ini, bahkan Tok-ong Gak Song Kam sendiri nyaris tewas kalau saja dia tak cepat-cepat melarikan diri.

Akan tetapi, semenjak itu Gak Song Kam telah menghimpun lagi anak buahnya, bahkan sekarang dia memperkuat kedudukannya dengan mengundang seorang tokoh hitam yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Bouw Song Khi yang berjuluk Jai-hwa Sin-to Si Maling Sakti Pemetik Bunga.

Bouw Song Khi berusia empat puluh enam tahun, seorang pria yang tampan dan pesolek, bersikap ramah dan menarik, akan tetapi sesungguhnya dia adalah maling tunggal yang lihai, juga seorang tukang memperkosa dan mempermainkan wanita yang luar biasa keji. Karena Bouw Song Khi ini pernah berguru kepada mendiang Jeng-hwa Sian-jin, maka dia terhitung masih sute dari Gak Song Kam sendiri, walau pun dalam hal ilmu kepandaian, dia tidak kalah lihai dari suheng-nya itu.

Karena Jeng-hwa-pang adalah perkumpulan yang sudah kuat keuangannya, maka dengan menggunakan simpanannya, Gak Song Kam berhasil membangun kembali perkumpulan itu, bahkan mendatangkan banyak orang untuk menjadi anak buahnya, pengganti anak buah yang roboh dan tewas ketika Kim Hong Liu-nio mengamuk.

Dan sekarang, dua tahun lebih kemudian, perkumpulannya telah bangkit kembali menjadi perkumpulan yang kuat dan menguasai daerah di luar tembok besar. Hasil pemungutan pajak jalan dari mereka yang lewat saja sudah lebih dari cukup, belum lagi sumbangan-sumbangan paksaan dari para penghuni di luar tembok besar atau dari rombongan yang lewat.

Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi suka sekali tinggal bersama suheng-nya itu, oleh karena suheng-nya mampu menyediakan wanita-wanita cantik yang cukup banyak supaya dapat menghibur hatinya setiap hari siang malam. Pekerjaannya ringan sekali, hanya tinggal di tempat itu dan menjaga keamanan Jeng-hwa-pang, dan kadang-kadang ikut pula melatih kepada anak buah Jeng-hwa-pang, membanggakan kepandaiannya di antara para anak buah yang memuji dan mengaguminya.

Akan tetapi, kadang-kadang Bouw Song Khi terserang penyakit yang kumat kembali, yaitu penyakit yang timbul dari kebiasaan lamanya. Dia ingin sekali mendapatkan gadis atau wanita hasil culikan seperti yang sering dia lakukan sebelum dia tinggal di luar tembok besar dulu. Kebiasaan menculik dan memperkosa wanita ini menjadi semacam penyakit sehingga persediaan wanita-wanita yang dengan suka rela mau melayaninya itu sekarang sudah mendatangkan bosan kepadanya dan dia merasa rindu untuk memperoleh wanita yang harus melayaninya secara paksa!

Sungguh keji sekali penyakit macam ini! Moral orang semacam Bouw Song Khi sudah sedemikian bejatnya sehingga memperkosa wanita, melihat wanita itu melawan, meronta dan menangis ketika diperkosanya, merupakan kesenangan serta kenikmatan tersendiri yang tidak bisa diperoleh dari para wanita yang disuguhkan oleh suheng-nya kepadanya. Karena itulah, maka dia merasa gelisah.

Pada suatu malam, begitu matahari tenggelam, jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini telah meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang untuk pergi ke sebuah dusun yang terdekat dan di sana, sesudah memilih-milih, akhirnya dia berhasil menculik seorang gadis petani yang manis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melarikan gadis ini tanpa ada yang mengetahui dan tanpa gadis itu dapat berteriak sedikit pun karena telah ditotoknya, lalu gadis itu dilarikannya ke sarang Jeng-hwa-pang.

Para anak buah Jeng-hwa-pang bersorak gembira menyambut kedatangan jagoan ini, dan hebatnya, Gak Song Kam sendiri hanya tertawa melihat tingkah laku sute-nya, sama sekali tidak menegurnya karena dia menganggap diculiknya seorang perawan dusun itu hanyalah merupakan soal kecil yang tidak perlu diributkan dan dianggapnya sebagai hal remeh.

Demikianlah, tanpa ada gangguan apa pun, Bouw Song Khi si penjahat cabul itu lantas membawa perawan dusun yang diculiknya itu ke dalam kamarnya, memaksanya untuk melayaninya makan minum dengan gembira. Biar pun dia telah memerintahkan beberapa orang wanita untuk memandikan dara desa itu secara paksa dan memberinya pakaian indah dan baru sehingga perawan dusun itu nampak makin manis, namun gadis itu selalu menangis dan hanya karena takut saja maka dia mau duduk semeja dengan penculiknya tanpa menjamah masakan yang dihidangkannya. Dia gemetar ketakutan dengan wajah pucat dan mata terbelalak, seperti seekor kelinci yang dipermainkan oleh seekor harimau yang menangkapnya.

Inilah keadaan yang dirindukan oleh Bouw Song Khi. Kalau gadis dusun itu menurut dan mau melayaninya dengan suka rela, agaknya dia pun akan merasa jemu karena biar pun gadis itu manis, akan tetapi bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang disediakan oleh suheng-nya di tempat itu untuknya, yaitu wanita-wanita yang berpengalaman dan pandai bersolek, pandai pula merayu, tentu dara dari desa ini kalah jauh. Akan tetapi gadis itu gemetar ketakutan, dan inilah yang menimbulkan gairahnya!

Maka dia makan minum sambil tertawa-tawa, menikmati keadaan itu di mana gadis itu duduk dengan seluruh tubuh menggigil, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa dirinya. Bouw Song Khi ingin menikmati keadaan ini perlahan-lahan, tidak tergesa-gesa, untuk memperpanjang keadaan tegang bagi gadis itu yang amat menyenangkan hatinya. Agaknya seperti inilah seekor kucing menikmati permainannya dengan seekor tikus, lebih dulu mempermainkannya, membiarkannya lari lalu ditangkap kembali, menikmati tikus itu dalam ketakutan hebat selama mungkin sebelum akhirnya mengganyangnya.

Pada waktu Bouw Song Khi makan minum dengan gembira itu, nampak dua orang muda memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang! Sungguh peristiwa yang mengherankan dan mengejutkan sekali bagaimana ada dua orang asing berani datang memasuki sarang itu.

Dua orang pemuda itu berjalan masuk dengan langkah ringan dan lenggang seenaknya, seolah-olah mereka berdua tidak sedang memasuki sarang Jeng-hwa-pang yang ditakuti orang, melainkan sedang memasuki pintu halaman rumah mereka sendiri saja. Dan dua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng Han How dan Sin Liong!

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, dua orang muda ini berangkat meninggalkan istana Raja Sabutai untuk memberi hajaran terhadap Jeng-hwa-pang yang sudah berani mengirim orangnya untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Ceng Han Houw. Mereka berdua melakukan perjalanan menunggang kuda, tanpa diiringi oleh seorang pun pengawal. Setelah tiba di luar daerah yang menjadi sarang Jeng-hwa-pang, keduanya lalu meninggalkan kuda mereka, dicancang di dalam hutan kemudian melanjutkan perjalanan memasuki daerah musuh itu dengan jalan kaki hingga akhirnya mereka memasuki pintu gerbang sarang Jeng-hwa-pang dengan tenang.

Tentu saja kedatangan dua orang muda ini langsung ketahuan sehingga gegerlah sarang Jeng-hwa-pang itu. Hanya dalam waktu singkat saja sudah ada belasan orang anggota Jeng-hwa-pang yang datang mengurung kedua orang pemuda itu begitu mereka melewati pintu gerbang.

Obor dipasang dan dipegang tinggi-tinggi sehingga tempat itu menjadi terang benderang. Tetapi para anggota Jeng-hwa-pang menjadi terheran-heran melihat bahwa yang datang itu hanyalah dua orang pemuda remaja yang bersikap sedemikian tenangnya walau pun mereka telah dikurung banyak orang.

"Hai, dua bocah lancang! Siapa kalian yang berani datang ke tempat ini tanpa ijin, apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak seorang di antara mereka.

Mendengar ini, Han Houw marah sekali. Dia seorang pangeran. Di kerajaan ayahnya, dia dihormati secara berlebihan, bahkan di kerajaan selatan, dia pun seorang pangeran yang pernah menjadi kuasa kaisar dan di mana-mana pun dia dihormati. Kini, teguran itu tentu saja membuat dia marah sekali. Ceng Han Houw bertolak pinggang dan dengan suara lantang dia pun berkata.

"Huh, kalian ini hanyalah tikus-tikus busuk kecil yang tidak berharga bicara dengan kami. Hayo suruh tikus besar Gak Song Kam keluar untuk menemui kami!"

Tentu saja ucapan yang bernada angkuh ini membuat semua anak buah Jeng-hwa-pang menjadi marah sekali. Salah seorang di antara mereka, yang tadi menegur, seorang yang bertubuh tinggi besar serta berkumis tebal, yang terkenal pemarah namun terkenal pula mempunyai tenaga besar seperti kerbau, cepat melangkah ke depan, menghampiri Ceng Han Houw dan membentak.

"Bocah bermulut kotor! Berani engkau memaki kami? Kuhancurkan mulutmu!" Dia sudah mengulur tangannya yang besar dengan jari-jari tangan yang kuat untuk mencengkeram ke arah mulut Han Houw!

Pemuda ini berdiri tegak, sedikit pun tak menangkis. Akan tetapi sebelum jari-jari tangan itu menyentuh mukanya, kurang beberapa sentimeter lagi, tiba-tiba saja si kumis tebal itu memekik keras lantas roboh terjengkang. Darah muncrat-muncrat keluar dari ulu hatinya yang telah berlubang karena tadi secara kilat cepatnya ditusuk oleh Han Houw yang telah mengeluarkan sebatang anak panah.

Anak panah itu adalah anak panah yang dahulu dipergunakan oleh tokoh Jeng-hwa-pang untuk menyerang dirinya, dan ujung anak panah itu mengandung racun yang berbahaya sekali, maka begitu ditusukkan ke ulu hati si kumis tebal, seketika orang ini terjengkang dan berkelojotan, terus tewas tak lama kemudian.

Semua anggota Jeng-hwa-pang segera terbelalak, apa lagi ketika mengenal anak panah itu. Anak panah itu adalah anak panah milik Jeng-hwa-pang yang hanya digunakan oleh orang-orang yang sudah mempunyai kedudukan tinggi di Jeng-hwa-pang. Dan pemuda ini menggunakan anak panah Jeng-hwa-pang untuk membunuh seorang di antara mereka!

"Siapa dia...?"

"Itu anak panah Jeng-hwa-pang kita!"

Maka ramailah orang-orang itu berteriak dan kini tidak ada lagi yang berani lancang turun tangan karena di samping kelihaian pemuda remaja yang angkuh ini, juga anak panah itu membuat mereka ragu-ragu.

"Lekas suruh Gak Song Kam menghadap ke sini sebelum kalian semua mampus oleh anak panah ini!" Han Houw kembali membentak, suaranya sangat nyaring dan penuh wibawa sehingga suasana menjadi lucu dan aneh karena begitu banyaknya anak buah Jeng-hwa-pang yang biasanya ditakuti orang-orang seperti takut setan, kini nampak jeri menghadapi gertakan seorang pemuda remaja yang nampaknya begitu lemah lembut!

"Pemuda sombong, aku telah berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara kereng dan semua anggota Jeng-hwa-pang merasa lega, cepat menyibak dan memberi jalan masuk kepada Gak Song Kam dan Bouw Song Khi yang telah datang karena diberi tahu oleh seorang anggota Jeng-hwa-pang.

Secara terpaksa dan penasaran, marah kepada si pengganggu, terpaksa Bouw Song Khi meninggalkan perawan dusun yang belum sempat diganggunya itu sebab dia belum habis makan minum ketika dipanggil oleh suheng-nya untuk diajak menanggulangi pengacau yang berani datang membikin ribut di Jeng-hwa-pang. Ketika dua orang tokoh besar ini melihat bahwa yang mengganggu hanyalah dua orang pemuda remaja, tentu saja mereka memandang rendah dan merasa penasaran sekali, apa lagi melihat betapa seorang anak buah mereka telah menggeletak dan tewas.

Han Houw dan Sin Liong segera membalikkan tubuh memandang. Sin Liong langsung mengenal laki-laki bertubuh tegap, bermuka merah dan amat gagah itu. Dulu dia pernah ditawan oleh ketua Jeng-hwa-pang ini, dan nyaris tewas disiksa oleh pria ini ketika dia dilempar ke dalam lubang ular!

Akan tetapi begitu dia melihat kakek berpakaian rapi dan pesolek yang datang bersama ketua Jeng-hwa-pang itu, dia amat kaget dan mengenal pula kakek ini sebagai seorang di antara para calon pemilihan bengcu yang beberapa waktu yang lalu diadakan di selatan! Dia mengenal Jai-hwa Sin-to Bouw Song Khi yang merupakan kaki tangan atau sahabat dari Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri belum pernah bentrok dengan orang ini, dia dapat menduga bahwa tentu kepandaian si maling tunggal ini lihai sekali.

Juga Si Maling Sakti itu segera mengenal Sin Liong, bocah yang pernah menggegerkan pemilihan bengcu di selatan, maka kagetlah dia dan mukanya sudah berubah. Apa lagi dia pun mengenal Ceng Han Houw, utusan kaisar yang amat ditaati oleh Lam-hai Sam-lo dan biar pun dia sendiri tidak mempunyai hubungan dengan pemuda bangsawan itu, akan tetapi dia pun sudah merasa jeri.

Namun tidak demikian halnya dengan suheng-nya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biar pun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggotanya tewas, dia sudah marah sekali.

"Siapa kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggota kami?" bentaknya sambil melangkah maju.

Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Dulu aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus, dan ini anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, namun harus kau tukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu semakin merah. Sekarang Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. "Pasukan Api, maju!" teriaknya.

Tiba-tiba saja nampak sinar terang ketika dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, akan tetapi bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya juga berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat digunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek.

Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama semakin menyempit. Mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur dan berbareng pula sehingga nampak sangat indah karena mereka itu seolah-olah sedang memainkan tarian obor.

"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka dia pun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur lalu berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bila mana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membentuk pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya kedua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

"Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak.

Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak sehingga terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu demikian teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah menjadi lautan api bergelombang yang hendak menelan Sin Liong!

Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi laksana seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya sehingga pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali.

Dengan penuh waspada dia menghadapi semua serangan itu dan cepat menggunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong mampu menghindarkan diri dari setiap sambaran cahaya api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuah pun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sute-nya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam bahkan merasa panasaran sekali.

"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring.

Dua belas orang itu langsung bergerak secara otomatis. Empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung lantas membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang sehingga berjumlah sepuluh orang, dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng sehingga merupakan kerja sama yang baik dan rapi sekali.

"Ehhh...?!" Sin Liong terkejut sekali karena biar pun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan cepat dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang hingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang.

Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Dia berloncatan di antara kepungan obor-obor yang menyambar-nyambar itu, dan sekarang mengerahkan ginkang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang memainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Walau pun mereka sudah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah.

Kini pasukan itu kembali bergerak, membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) lantas menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya selalu siap menggantikan anggota pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai dari pada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar.

Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan dua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, maka terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena tadi dia sangat terdesak.

Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka dia kemudian kembali menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong mampu merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya kedua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

"Ha-ha-ha-ha, ternyata hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu kalian sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, sekarang mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jeri terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, apa lagi yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi.

Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Jauh lebih baik melawan pangeran ini dari pada menghadapi pemuda perkasa yang amat luar biasa itu. Memang, sebenarnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suheng-nya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

"Wuuuut...! Ting-tinggg...!"

Senjata rantainya bergerak dan mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini Ceng Han Houw tersenyum, lantas dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga termasuk anggota Jeng-hwa-pang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggota Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong langsung berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"

"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak oleh karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat dari pada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas hingga mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

"Wuuuttt...!"

Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah maka sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi cepat-cepat mencondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, lalu rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan telah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu, gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka dia pun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.

"Cringgg...!"

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu laksana ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju lalu dengan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai.

Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya, lantas keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Akan tetapi Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia pun mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai dari pada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat.

Kini Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, telah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantai itu berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya.

Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak hebat karena dia hanya berloncatan ke sana-sini sambil menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum.

Kakak angkatnya itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, tapi semua sambaran rantai itu luput dan hanya mengenai tempat kosong selalu.

Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga dia mulai merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Hanya dengan tangan kosong saja dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong dan menggirangkan hati Bouw Song Khi.

Rantai itu terbuat dari pada baja murni dan juga digerakkan dengan pengerahan tenaga sinkang. Batu karang pun akan hancur apa bila terkena hantaman ujung rantai, apa lagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!

"Plakkk!"

Tangan itu menangkis ujung rantai hingga rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikit pun tidak!

Bouw Song Khi menjadi pucat. Tidak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu sudah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li!

Bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, dulu nenek iblis ini telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan sepasang tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka.
Selanjutnya,