Pendekar Lembah Naga Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Lembah Naga Jilid 24
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KAKEK pengemis itu menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Telah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, meski pun menjadi pengemis namun belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga saya belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh sudah membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Memang betul saya telah membunuh banyak orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apa lagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang sekarang menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."

"Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

"Semuanya adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, malah dia juga menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa terhadap kaisar sehingga dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan prajurit-prajurit pengawal, saya bisa memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."

"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"

"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya saya pun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke mana pun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan dia pun pernah mengaku bahwa pada waktu dia membunuh anggota kami yang she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukanlah Hwa-i Kaipang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggota kami pun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."

"Ahh, keteranganmu ini memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu juga memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan untuk melaksanakan hal itu dia sudah dibantu oleh Lee-ciangkun, bahkan kemudian melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!"

Semua orang mengangguk-angguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."

"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!" kata Bun Houw marah.

"Dan pembesar Lee yang sangat curang dan pengecut itu pun harus diberi hukuman yang setimpal!" kata pula Lie Seng.

"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sulitlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Bila kita menyerang rumahnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."

"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan ke Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar nanti kutemui Panglima Lee Cin yang kita kenal sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar."

"Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis semacam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena dia pun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar pula derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran.

"Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" berkata Cia Giok Keng kepada suaminya.

"Ahh, apa sebabnya?"

"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Mendadak terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"

Yap Kun Liong mengerahkan khikang-nya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah alasannya kami hendak ditangkap?"

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali sesudah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan dengan penuh perhatian. Semua mata memandang keluar, hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu.

Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguh pun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara ini pun cukup nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang kuat.

"Kami membawa perintah dari Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh telah bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kaipang dan Pek-lian-kauw. Karena itu menyerahlah kalian berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"

"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar.

Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kaipang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, namun mereka tidak pernah memberontak.

Kini, ketika mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kaipang yang dicap sebagai pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja sudah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dia pun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Karena itu, kemarahannya meluap dan dia telah berlari keluar lantas mengamuk, merobohkan beberapa orang prajurit dengan tongkatnya yang digerakkannya secara lihai bukan main.

Maka gegerlah para prajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adalah ketua Hwa-i Kaipang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu.

Akan tetapi, komandan pasukan segera memberi aba-aba dan kakek ini pun dikeroyok oleh banyak sekali prajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.

Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi prajurit roboh akibat amukan tongkatnya, akan tetapi kini para prajurit menggunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah.

Dihujani serangan tombak dan anak panah, walau pun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itu pun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya.

Kalau saja dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan ginkang-nya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam terhadap Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu beserta Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.

Sekarang, sesudah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, sesudah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh bahwa Hwa-i Kaipang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tak ingin untuk lari menyelamatkan diri, malah mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!

Para tamu tidak ada yang berani turut mencampuri, apa lagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dicap pemberontak oleh pemerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Sesudah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan berteriak lagi dengan suara nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!"

Yap Kun Liong bersama keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, malah dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa,

"Siapakah yang memimpin pasukan ini?"

"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."

"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!" kata pula Yap Kun Liong.

Seorang perwira maju, lantas mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, lalu komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, dan bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.

"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. "Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.

"Ssttt, jangan, anakku. Kalian lanjutkan pernikahan ini dan jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka berempat dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak, sementara itu Souw Kwi Beng memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati suci-nya, menghibur dan berbisik. "Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku."

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan hati-hatilah."

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihu-nya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan sangat gelisah, merasa terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang para penjahat dan pemberontak.

Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu pun bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur.

Pada sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami lantas melakukan perjalanan, tentu dia sudah pergi menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan keempat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini, maka sebaiknya kita mengikuti dulu perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa biar pun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapa pun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, juga pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum bisa menyerahkan dirinya karena ancaman subo-nya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.

Sesudah mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantu Kim Hong Liu-nio untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti sudah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Semakin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia selalu berpacaran dengan panglima itu, walau pun dia masih belum berani menyerahkan dirinya karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannya saat mereka saling berpelukan dan berciuman.

Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menunggu sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah hingga wanita itu selesai membunuh semua musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat bertahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang pun dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan birahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.

Dan setelah keesokan harinya cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat pada dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subo-nya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subo-nya dahulu bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibirnya. Dia merasa puas dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di sisi pembaringan, tubuhnya hanya dibalut oleh selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan dua mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, akan tetapi bahkan menonjolkan kecantikannya.

"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Sekarang kita berdua harus mati, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri dari pada mati di tangan orang lain!"

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.

"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku, mengapa... mengapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?"

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

"Aku tahu... dan engkau pun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."

"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

"Kau lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang tadinya berada di dagu wanita itu, yang menambah kemanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini sudah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu mengenai sumpahnya kepada subo-nya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subo-nya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Sebenarnya Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu akhirnya menyerahkan diri. Maka dia kemudian berkata,

"Hong-moi, kekasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku punya akal untuk menghadapi subo-mu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... minta... sukalah agar engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..."

Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali malah dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul lantas menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ahh, Lee-ko... Lee-ko... bagai mana aku dapat membunuhmu...?"

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut.

"Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah dulu engkau pernah menceritakan bahwa subo-mu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Walau pun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabui pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apa lagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu birahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ahh, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil pada dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap waktu dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga hingga akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.

Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subo-nya dan suheng-nya yang akan mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Pada saat hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatiran hatinya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. "Ahhh, tidak ada bedanya seujung rambut pun, Hong-moi. Jangan khawatir, apa lagi subo-mu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorang pun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat pada dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata,

"Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?"

"Harap subo suka bersabar, teecu tak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio.

Pada saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan dia pun tidak peduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subo-nya. Setelah memberi hormat kepada subo-nya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut.

Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai terus memandang dirinya penuh perhatian, terutama sekali memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang pada waktu dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu juga Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan berbicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang sangat tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, telah dapat menduga bahwa kini sumoi-nya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggil Kim Hong Liu-nio dengan wajah bengis.

"Kim Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

"Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"

"Hemm, kau masih hendak mengelabui gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia sudah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?"

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio lalu mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu sudah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."

"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subo-nya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"

"Subo, tahan dulu!" Mendadak terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan. "Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"

Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak mampu menahan gelora nafsunya? Memang sumoi sudah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biarkan dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh dia pun belum terlambat."

Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku sudah kena dikelabui, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kau telah dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika diadakan pemilihan guru silat di Lembah Naga, Kim Hong Liu-nio tidak hadir, dan itu pula sebabnya kenapa Hek-hiat Mo-li marah-marah saat Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Amarahnya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.

********************

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia segera menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subo-nya dan suheng-nya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

"Ahh, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuhku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, dari pada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.

Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu," katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia mendapat akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula. Kemudian dia mulai mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar agar supaya pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.

Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su. Seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil baik di dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap keempat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena di samping tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga mereka tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, bila orang sudah tergila-gila maka apa pun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.

Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekatnya. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai mati pun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, terlebih lagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apa lagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan menjadi geger karena peristiwa ini, dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang.

Akan tetapi, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamat pun tidak akan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang amat dicintanya, biar apa pun terjadi, dia tidak takut bahkan mati pun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebar luaskan berita tentang penangkapan itu sehingga seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.

Bila yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Alangkah aneh dan janggalnya berita ini.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu. Tapi tentu saja banyak pula para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian terhadap setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.

********************

Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu akan menyerah setelah melihat 'surat perintah' kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang sangat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu.

Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar keempat tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu. Ini pula sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan.

Apa lagi setelah pada suatu malam terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak mempergunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang meminta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw supaya jangan melawan pemerintah. Karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan ke dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin prajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu pun dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin prajurit pilihan!

"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semuanya ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.

"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan ke pengadilan, aku yakin kita akan segera dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat dari pada bebas menggunakan kekerasan."

"Aku heran sekali, kenapa kaisar menyuruh tangkap kita berempat?" Bun Houw berkata.

"Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Sungguh pun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.

"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya. "Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andai kata difitnah sekali pun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Apa bila kita mempergunakan kekerasan, hal itu justru akan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Maka sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Bila kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak."

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan semedhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih.

Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, "Ssssttt...!"

Kun Liong mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tidak lama kemudian, nampak berkelebat bayangan merah lantas dengan gerakan yang sangat ringan melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah lalu turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, berpakaian serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dirias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum pada bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, mendadak Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

"Mau apa kau ke sini?!" Bun Houw membentak.

"Pergilah kau!" In Hong juga membentak.

Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."

"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.

"Bila suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik dengannya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."

"Sudahlah, kami sudah bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!" kata Bun Houw.

"Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...," gadis itu memohon.

"Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya sehingga Kun Liong merasa khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.

"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu sudah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya jauh lebih cepat dari pada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

"Ohh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia memiliki niat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis."

"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin penjaga baru datang dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kau tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukanlah itu terus, akan tetapi hati-hatilah, jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa pun sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan."

"Benar kata ayahmu itu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya gembira dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi selalu berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhkan. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini."

Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya mengenai gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

"Aku pun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandangan mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,

"Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, maka tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baik, akan kuceritakan semua tentang dia."

Pendekar ini mulai bercerita, dengan suara bisik-bisik supaya jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, hanya dapat terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.

********************

Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa pergi meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka pun siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.

Dalam cerita Dewi Maut dikisahkan bahwa dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, Bun Houw pernah bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi.

Sun Bian Ek ini sengaja mengganti namanya karena dia menjadi orang buruan, berganti nama menjadi Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw, bahkan dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya, akhirnya Kiam-mo Liok Sun sampai tewas di tangan para musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw supaya suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya lantas bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi untuk menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, sesudah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang, yakni sebuah kota yang cukup ramai tidak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan secara bergantian mereka berdua mendidik serta memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Semenjak kecil Sun Eng mempunyai watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu menjadi sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa sangat prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali, mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa hingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar Sun Eng menjadi makin cantik, akan tetapi dalam kelincahannya terkandung sifat-sifat pesolek dan genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subo-nya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Setelah berusia tujuh belas tahun, nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya apa bila sedang dilatihnya silat, semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara.

Bahkan ketika sedang berlatih silat di hadapannya, sering Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya atau pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri serta memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subo-nya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subo-nya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apa lagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subo-nya tidak pernah menjenguk keluarga mereka hingga akhirnya subo-nya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, mengenai perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua," subo-nya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subo-nya belum juga mempunyai keturunan!

Maka tahulah Sun Eng bahwa suhu-nya masih perjaka dan subo-nya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhu-nya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi semakin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.

Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak mempedulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta birahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa, Sun Eng yang sudah tidak mampu menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri mengenai adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

"Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar bukan main, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!" berkata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti saat Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang kalau seorang pria seperti dia tersia-sia."

Malam itu Sun Eng gelisah di atas pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia lalu membayangkan, betapa akan mesranya jika gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila pada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Betapa kaget rasa hati Bun Houw saat dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel pada wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan hendak menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu birahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.

"Suhu... ahhh, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main.

Bun Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan kemudian terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.

Akan tetapi Sun Eng tidak menjadi takut, malah kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan.

"Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu birahi.

Bun Houw memejamkan mata dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan dia pun balas mencium bibir yang menantang itu.

Tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biar pun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!

Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, "Houw-ko, ada apakah?"

Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya lantas meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,

"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu menyangka maling maka teecu hendak memberi tahu kepada suhu, tetapi celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!"

Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga.

"Ahh, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.

"Sun Eng, berhati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan ilmu silat sudah mendarah daging di dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."

"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm, betapa pun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikit pun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu.

Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang sangat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Akan tetapi, melihat betapa suhu-nya tidak membuka rahasianya terhadap subo-nya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhu-nya melindungi dan bahwa diam-diam suhu-nya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subo-nya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhu-nya.

Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apa lagi setelah dia melihat bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh curiga yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!

Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang menyangka, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tak terpisahkan dari cinta! Betulkah perkiraan atau pendapat demikian itu?

Apa bila kita menanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apa bila dia timbul, lalu mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya kemudian mengerti dengan sepenuhnya tentang susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya.

Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan yang waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, maka kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan teoritis seperti itu tak akan melenyapkan cemburu.

Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah, kemudian dicengkeram kebencian hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya bila kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.

Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih bila akhirnya mendatangkan kedukaan dan kebencian!

Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita sayangi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita, dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.

Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil oleh orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau pun orang yang kita cinta itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita lalu menjadi sedih, marah atau cemburu karenanya.

Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat.

Kalau kita merasa sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, supaya dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu!

Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?


Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu ketika dia melihat sikap muridnya yang terlampau manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata.

Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"

Bukan main kagetnya hati Bun Houw mendengar ini. Saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kau maksudkan, Hong-moi...?"

"Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkau pun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?"

Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini menggangguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar kemudian melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi-jadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."

Biar pun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu telah jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, pada saat Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang sangat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu.

Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itu pun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap semua rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.

Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemmm, bocah itu sungguh tidak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.

"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi kasihanilah dia, dia itu masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasehat kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia kemudian kita bersama menasehatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari kesesatannya itu?"

In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kita pun bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras terhadap Sun Eng."

Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Dan mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar supaya kelak di alam baka aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek."

Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subo-nya, wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa sudah terjadi hal yang sangat penting dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Karena itu, sesudah memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.

Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang,

"Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka."

Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subo-nya dalam percakapan ini, karena itu dia hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."

"Sun Eng, aku sudah tahu akan perbuatanmu terhadap suhu-mu beberapa malam yang lalu."

"Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.

Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subo-mu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan supaya engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."

Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.

"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhu-mu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhu-mu adalah gurumu yang sekaligus menjadi pengganti ayahmu, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid kepada guru, menjadi cinta birahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhu-mu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Lagi pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau hendak merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.

"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu dapat lebih mencelakakan dari pada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.

Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran kemudian dengan terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekali pun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebetulnya teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."

"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.

"Ampunkan, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... walau menyerahkan nyawa berkorban jiwa pun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."

In Hong dan Bun Houw saling pandang, kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.

"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kau lakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhu-mu, menjadi seperti dulu lagi, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kau enyahkan dari hatimu. Mengerti?"

Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya, "...teccu salah... teecu salah..."

Melihat murid itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subo-mu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar."

Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat.

Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid mau pun bagi dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya.

Di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tak begitu mempedulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang masih menegur dan menasehati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa kini mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.

Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut sekali ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.

Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang sudah sangat terkenal sebagai pemuda mata keranjang di kota itu, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw beserta Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu.

Apa lagi In Hong! Kurang lebih dua tahun yang lalu pendekar wanita ini pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau saja tidak dicegah oleh Bun Houw tentu telah membunuhnya karena Auw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata yang tak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil pada waktu dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan apa bila pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.

Para utusan itu lalu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidak senangan hatinya oleh penolakan itu.

"Eng-ji, yang meminangmu itu adalah seorang pemuda yang namanya tersohor jahat dan busuk di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras," kata In Hong.

"Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat kemudian meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.

Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untunglah dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."

"Betapa pun juga, dia adalah murid kita maka sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.

Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dengan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga dari pada berlatih silat, setelah selesai membantu subo-nya di dapur.

Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng.
Selanjutnya,

Pendekar Lembah Naga Jilid 24

Pendekar Lembah Naga Jilid 24
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KAKEK pengemis itu menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Telah puluhan tahun saya malang melintang di dunia kang-ouw, meski pun menjadi pengemis namun belum pernah melakukan hal-hal yang memalukan dan pengecut. Juga saya belum pernah menghadapi urusan yang begini memusingkan dan mendatangkan duka, karena saya dituduh sudah membunuh seorang pendekar tanpa sebab. Memang betul saya telah membunuh banyak orang, akan tetapi tidak pernah tanpa sebab seperti yang terjadi atas diri Tio-taihiap. Saya merasa penasaran, apa lagi setelah tempat kami diserbu oleh sepasang suami isteri yang sekarang menjadi pengantin, oleh janda Tio-taihiap dan oleh pendekar muda yang lihai ini. Mulailah saya melakukan penyelidikan dan akhirnya terbuka juga semua rahasia itu."

"Apa yang sesungguhnya terjadi?" Yap Kun Liong bertanya, merasa tertarik.

"Semuanya adalah gara-gara perempuan iblis busuk itu! Dia bukan hanya bersembunyi di dalam gedung Lee-ciangkun, malah dia juga menjadi kekasih gelapnya. Celakanya, selain menjadi kekasih Lee-ciangkun, juga wanita itu pernah berjasa terhadap kaisar sehingga dilindungi oleh istana kaisar. Menurut penyelidikan yang saya peroleh dengan menyebar mata-mata di luar dan dalam gedung Lee-ciangkun, dengan menyogok pelayan-pelayan dan prajurit-prajurit pengawal, saya bisa memperoleh keterangan yang amat jelas bahwa ketika saya datang ke sana memenuhi tantangan wanita iblis itu, memang sebelumnya Lee-ciangkun telah menghubungi Tio-taihiap dan memang hal itu merupakan jebakan bagi Tio-taihiap. Wanita iblis itu memang ingin membunuh Tio-taihiap dan untuk keperluan itu saya dijebak pula agar kelihatannya saya yang menjadi pembunuhnya."

"Tidak masuk akal," Souw Kwi Eng membantah. "Suamiku tidak pernah mengenal wanita bernama Kim Hong Liu-nio itu, mengapa dia hendak membunuh suamiku?"

"Harap nyonya muda berlaku tenang dan sabar," pengemis tua itu berkata, "tadinya saya pun beranggapan demikian, akan tetapi kemudian setelah saya selidiki, saya teringat pula bahwa wanita itu ke mana pun dia pergi selalu membawa salib kayu yang bertuliskan tiga huruf, yaitu nama keturunan tiga keluarga, keluarga Cia, Yap dan Tio. Dan dia pun pernah mengaku bahwa pada waktu dia membunuh anggota kami yang she Tio di Huai-lai, yang dimusuhinya bukanlah Hwa-i Kaipang, melainkan she Tio itulah. Jadi anggota kami pun dibunuh karena she Tio. Jelas bahwa itulah sebab pembunuhan atas diri Tio-taihiap dan dalam hal ini dibantu oleh Lee-ciangkun yang sengaja memancing datangnya Tio-taihiap bersamaan waktunya dengan kedatanganku memenuhi tantangan Kim Hong Liu-nio."

"Ahh, keteranganmu ini memang cocok sekali, pangcu! Kini mengertilah aku!" Bun Houw berkata sambil mengepal tinjunya. "Kiranya nenek tua bangka itu juga memasukan nama Tio-twako dalam daftar musuh-musuhnya! Jelas bahwa she Cia itu dimaksudkan adalah aku sendiri, she Yap tentu Yap-twako dan isteriku. Karena memang tiga she itulah yang pernah menggempur Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga! Dan Kim Hong Liu-nio itu adalah murid Hek-hiat Mo-li, maka tentu saja dia sengaja hendak membunuh Tio-twako atas perintah gurunya, dan untuk melaksanakan hal itu dia sudah dibantu oleh Lee-ciangkun, bahkan kemudian melemparkan kesalahannya kepada Hwa-i Sin-kai yang juga menjadi musuhnya, untuk mengadu domba!"

Semua orang mengangguk-angguk mendengar ini, dan Souw Kwi Eng terisak. "Aku harus membalas dendam! Iblis betina itu tidak saja telah membunuh suamiku, akan tetapi juga menyebabkan kematian Cia-locianpwe..."

"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya, membunuh iblis betina itu dan gurunya!" kata Bun Houw marah.

"Dan pembesar Lee yang sangat curang dan pengecut itu pun harus diberi hukuman yang setimpal!" kata pula Lie Seng.

"Pembesar Lee itu amat berpengaruh dan kekuasaannya di kota raja cukup besar maka akan sulitlah untuk mengganggunya," kata Hwa-i Sin-kai. "Bila kita menyerang rumahnya, tentu dapat dicap pemberontak, maka sebaiknya harus memancing keluar iblis betina itu. Panglima Lee Siang adalah adik Panglima Lee Cin, kepala Kim-i-wi, pasukan pengawal kaisar yang terkenal..."

"Ah, adik dari Panglima Lee Cin?" Bun Houw dan Kun Liong berseru kaget. Tentu saja mereka mengenal Lee Cin, kepala pasukan yang memimpin pasukan ke Lembah Naga belasan tahun yang lalu itu.

"Lebih baik lagi kalau begitu," Yap Kun Liong berkata, "biar nanti kutemui Panglima Lee Cin yang kita kenal sebagai seorang panglima yang gagah dan jujur, dan kita ceritakan tentang perbuatan adiknya agar dia yang memaksa Kim Hong Liu-nio keluar."

"Akan tetapi, hal ini kiranya tidak perlu merepotkan Yap-twako. Biarlah aku sendiri pergi bersama isteriku, kami berdua kiranya sudah cukup untuk membasmi iblis semacam Kim Hong Liu-nio dan gurunya." kata Bun Houw dan Yap Kun Liong mengangguk menyetujui karena dia pun maklum akan kelihaian Bun Houw dan In Hong yang pernah mengalahkan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.

Tiba-tiba saja terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar. Suara gaduh dari banyak sekali orang, bahkan terdengar pula derap kaki kuda yang banyak sekali dan suara bentakan-bentakan nyaring. Mereka yang sedang bercakap-cakap di dalam ini menjadi terkejut dan heran, akan tetapi tiba-tiba Cia Giok Keng dan Yap In Hong menerobos masuk ke dalam kamar itu, wajah mereka membayangkan ketegangan den kekhawatiran.

"Ada pasukan pemerintah datang untuk menangkap kita!" berkata Cia Giok Keng kepada suaminya.

"Ahh, apa sebabnya?"

"Entah, akan tetapi komandannya membawa surat perintah untuk menangkap kita berdua, Bun How, dan In Hong!" jawab Giok Keng, mukanya menjadi pucat.

"Kita serbu saja dan usir mereka!" kata Yap In Hong, akan tetapi suaminya memegang lengannya, menyuruh isterinya bersikap sabar.

Mendadak terdengar suara lantang di luar, "Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng, atas nama kaisar, menyerahlah kalian berempat dan ikut bersama kami ke kota raja sebagai tawanan!"

Yap Kun Liong mengerahkan khikang-nya dan berseru dari dalam ruangan itu. "Apakah alasannya kami hendak ditangkap?"

Suaranya mengatasi semua kegaduhan dan terdengar bergema sampai di luar ruangan pesta.

Suasana menjadi sunyi sekali sesudah terdengar bentakan nyaring ini, dan semua tamu yang tadinya gaduh dan merasa tegang dan khawatir, kini mendengarkan dengan penuh perhatian. Semua mata memandang keluar, hampir semua pandang mata membayangkan penentangan terhadap pasukan pemerintah itu.

Kemudian terdengar suara nyaring menjawab, sungguh pun getaran dan gemanya tidak sekuat suara Yap Kun Liong tadi, namun suara ini pun cukup nyaring melengking karena didorong oleh tenaga khikang yang kuat.

"Kami membawa perintah dari Sri baginda Kaisar untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng yang dituduh telah bersekutu dengan para pemberotak Hwa-i Kaipang dan Pek-lian-kauw. Karena itu menyerahlah kalian berempat dengan baik-baik sebelum kami serbu!"

"Keparat!" Hwa-i Sin-kai berteriak dan tubuhnya sudah melesat keluar.

Kakek ini marah sekali mendengar bahwa Hwa-i Kaipang dituduh sebagai pemberontak, disamakan dengan Pek-lian-kauw. Memang dia dan anak buahnya tidak pernah merasa tunduk dan suka kepada pemerintah karena melihat para pembesarnya hampir sebagian besar terdiri dari pemeras-pemeras rakyat dan orang-orang yang korup, namun mereka tidak pernah memberontak.

Kini, ketika mendengar ada pasukan hendak menangkap para pendekar dengan tuduhan bersekutu dengan Hwa-i Kaipang yang dicap sebagai pemberontak, tahulah dia bahwa tentu perkumpulannya di kota raja sudah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Dia pun dapat menduga bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan Kim Hong Liu-nio dan Lee-ciangkun. Karena itu, kemarahannya meluap dan dia telah berlari keluar lantas mengamuk, merobohkan beberapa orang prajurit dengan tongkatnya yang digerakkannya secara lihai bukan main.

Maka gegerlah para prajurit yang mengepung tempat itu. Kakek yang berpakaian tambal-tambalan itu adalah ketua Hwa-i Kaipang dan dia adalah seorang tokoh yang terkenal memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Maka ketika kakek ini mengamuk, dalam waktu singkat robohlah dua puluh orang lebih kena disambar tongkatnya yang berubah menjadi sinar berkelebatan itu.

Akan tetapi, komandan pasukan segera memberi aba-aba dan kakek ini pun dikeroyok oleh banyak sekali prajurit. Juga sang komandan berikut para pembantunya yang memiliki kepandaian silat lumayan sudah bergerak pula ikut mengepung.

Bagaikan seekor jangkerik yang dikeroyok ratusan ekor semut, Hwa-i Sin-kai mengamuk. Makin banyak lagi prajurit roboh akibat amukan tongkatnya, akan tetapi kini para prajurit menggunakan senjata panjang, yaitu tombak dan bahkan mulai melepaskan anak panah.

Dihujani serangan tombak dan anak panah, walau pun pada mulanya Hwa-i Sin-kai dapat menangkis runtuh semua senjata, namun lambat-laun tenaganya yang sudah tua itu pun berkurang dan mulai ada anak panah yang mengenai tubuhnya dan menancap menembus kulit dagingnya.

Kalau saja dia menghendaki, agaknya kakek ini masih akan mampu untuk melarikan diri mempergunakan ginkang-nya. Akan tetapi agaknya dia sudah terlampau marah. Selama tiga tahun lebih dia menanggung dendam terhadap Kim Hong Liu-nio karena perbuatan wanita itu beserta Lee Siang telah menempatkan dia dalam kedudukan tidak enak sekali, yaitu bermusuhan dengan keluarga pendekar Tio, Cia dan Yap, bahkan anak buahnya banyak yang menjadi korban dalam pertempuran dan dia sendiri selalu menyembunyikan diri, khawatir bertemu dengan keluarga pendekar itu.

Sekarang, sesudah dia berhasil membongkar rahasia Kim Hong Liu-nio dan Lee Siang, sesudah dia mulai akan berbaik kembali dengan keluarga pendekar itu, tiba-tiba muncul pasukan pemerintah yang hendak menangkap para pendekar dan menuduh bahwa Hwa-i Kaipang memberontak. Kemarahan yang meluap-luap membuat kakek ini tak ingin untuk lari menyelamatkan diri, malah mendorongnya untuk mengamuk dan membasmi pasukan yang amat kuat dan besar jumlahnya itu.

Akhirnya kakek itu roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia telah merobohkan lebih dari empat puluh orang, ada yang tewas dan ada pula yang terluka, akan tetapi untuk itu dia sendiri harus menebus dengan nyawanya!

Para tamu tidak ada yang berani turut mencampuri, apa lagi mendengar bahwa pasukan itu datang untuk menangkap tuan rumah dan melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Hwa-i Sin-kai yang dicap pemberontak oleh pemerintah! Urusan pemberontakan bukan urusan kecil dan mereka tidak berani tersangkut.

Sesudah Hwa-i Sin-kai roboh dan tewas, komandan pasukan berteriak lagi dengan suara nyaring, "Yap Kun Liong! Kalau engkau dan tiga orang lain tidak menyerah, terpaksa kami akan menyerbu!"

Yap Kun Liong bersama keluarganya sudah keluar semua. Akan tetapi dengan isyarat tangannya Kun Liong mencegah keluarganya untuk melakukan kekerasan, malah dia lalu mengangkat tangan kanan ke atas, lalu berkata kepada komandan yang sudah turun dari kudanya dan menghampirinya, suaranya lantang dan tenang, namun berwibawa,

"Siapakah yang memimpin pasukan ini?"

"Saya Ma Kit Su adalah panglima yang menjadi komandan pasukan ini."

"Harap Ma-ciangkun suka memperlihatkan tanda kekuasaan dan surat perintah itu!" kata pula Yap Kun Liong.

Seorang perwira maju, lantas mengangkat tinggi sebuah bendera leng-ki, yaitu bendera kekuasaan seperti yang biasa dibawa oleh utusan kaisar, lalu komandan yang bertubuh gemuk pendek itu mengeluarkan pula segulung kain bertuliskan perintah penangkapan itu, dibubuhi cap dari istana kaisar. Setelah melihat semua itu, Yap Kun Liong menarik napas panjang, tidak sangsi lagi bahwa memang kaisar mengutus pasukan itu untuk menangkap dia berempat.

"Baiklah, kami berempat akan menyerah dan ikut sebagai tawanan ke kota raja untuk minta keadilan, akan tetapi hanya dengan jaminan bahwa kalian tidak akan mengganggu pernikahan anakku," kata Yap Kun Liong dengan suara lantang.

"Kami setuju! Memang kami hanya diperintahkan untuk menangkap kalian berempat, dan bukan untuk mengganggu pesta pernikahan!" jawab Ma-ciangkun.

"Ayah...!" Yap Mei Lan, pengantin wanita itu, menangis dan memegangi lengan ayahnya. "Mengapa begitu? Apa sukarnya melawan pasukan ini?" isaknya.

"Ssttt, jangan, anakku. Kalian lanjutkan pernikahan ini dan jangan membikin rusak pesta pernikahanmu. Kami berempat akan minta keadilan dan percayalah, karena kami tidak berdosa, maka sri baginda kaisar akan dapat melihat kenyataan dan akan membebaskan kami. Kau dan suamimu kembalilah duduk di tempat kalian."

Sambil menangis Yap Mei Lan dituntun oleh Souw Kwi Beng, kembali ke tempat duduk mempelai, sedangkan Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong membiarkan diri mereka dibelenggu, kemudian mereka berempat dinaikkan ke atas kereta kerangkeng yang kokoh kuat, lalu dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Yap Mei Lan menangis terisak-isak, sementara itu Souw Kwi Beng memandang isterinya dengan muka pucat. Lie Seng mendekati suci-nya, menghibur dan berbisik. "Harap suci tenangkan diri agar tidak membikin canggung para tamu dan lanjutkan pesta ini. Jangan khawatir, aku akan membayangi pasukan itu dan aku akan menjaga dan menolong kalau sampai mereka berempat itu terancam. Jangan kau gelisah, suci, yang ditawan adalah ibuku dan ayahku sendiri, aku akan melindungi mereka dengan taruhan nyawaku."

Yap Mei Lan menghapus air matanya dan memegang lengan adiknya, adik seperguruan dan juga adik tiri itu dengan erat-erat, lalu bisiknya, "Sute, terima kasih dan hati-hatilah."

Lie Seng mengangguk, kemudian dia memberi hormat kepada cihu-nya (kakak ipar) yang juga memesan agar dia berlaku hati-hati, kemudian pemuda ini meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang. Pesta pernikahan dilanjutkan akan tetapi tentu saja suasananya sudah tidak lagi meriah seperti tadi, bahkan para tamu kelihatan sangat gelisah, merasa terheran-heran mengapa keluarga pendekar itu ditangkap dengan tuduhan memberontak, padahal keluarga pendekar itu selalu menentang para penjahat dan pemberontak.

Karena suasananya sudah tidak menyenangkan dan menegangkan, maka akhirnya para tamu minta diri dan pesta itu pun bubar sebelum waktunya. Pengantin pria lalu membawa pengantin wanita pulang ke Yen-tai, kota tempat tinggal Souw Kwi Beng, di pantai Lautan Po-hai di timur.

Pada sepanjang perjalanan, mempelai wanita menangis terus, dan kalau saja tidak ingat bahwa dia adalah seorang pengantin yang tidak pantas untuk meninggalkan suami lantas melakukan perjalanan, tentu dia sudah pergi menyusul ayahnya yang tertawan. Kwi Beng berusaha menghiburnya dan orang muda ini memang sudah menyuruh beberapa orang untuk memata-matai keadaan keempat orang yang tertawan itu, sekalian membantu Lie Seng dan secepatnya memberi kabar ke Yen-tai kalau para tawanan sudah tiba di kota raja.

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota raja dan mengapa kaisar mengutus pasukan untuk menangkap empat orang itu? Untuk mengetahui rahasia ini, maka sebaiknya kita mengikuti dulu perjalanan Kim Hong Liu-nio, wanita cantik murid Hek-hiat Mo-li dan orang kepercayaan yang juga menjadi sumoi dari Raja Sabutai itu.

Telah diceritakan di bagian depan bahwa biar pun sejak muda Kim Hong Liu-nio dididik oleh Hek-hiat Mo-li, seorang nenek iblis, dan dia menjadi seorang wanita yang berhati dingin dan kejam, namun betapa pun juga Kim Hong Liu-nio hanyalah seorang wanita biasa saja dari darah dan daging yang tidak terlepas dari nafsu-nafsu dan ingin menikmati kesenangan dalam hidupnya.

Maka ketika dia berjumpa dengan Panglima Lee yang tampan, gagah perkasa dan sudah berpengalaman, juga pandai merayu wanita itu, mencairlah kebekuan dan kedinginan hati wanita ini, hatinya tertarik dan dia jatuh kepada Lee-ciangkun. Rayuan maut dari panglima yang belum tua itu menjatuhkan hatinya, akan tetapi dia belum bisa menyerahkan dirinya karena ancaman subo-nya, Hek-hiat Mo-li bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada pria sebelum melaksanakan tugasnya membasmi musuh-musuh besar gurunya itu, dia akan dihukum mati oleh Hek-hiat Mo-li dan ancaman ini akan dilanjutkan oleh Raja Sabutai sendiri.

Sesudah mendengar sumpah itu, Panglima Lee Siang lalu membantu Kim Hong Liu-nio untuk membasmi musuh-musuh itu dan seperti sudah kita ketahui, musuh pertama yang menjadi korban adalah Tio Sun! Semakin mendalam rasa cinta Kim Hong Liu-nio kepada Panglima Lee Siang dan boleh dibilang hampir setiap hari dan setiap malam dia selalu berpacaran dengan panglima itu, walau pun dia masih belum berani menyerahkan dirinya karena masih banyak musuh yang belum dibasmi, yaitu Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng!

Lee Siang atau Lee-ciangkun adalah seorang pria yang usianya empat puluh tahun dan sekali ini dia betul-betul jatuh cinta kepada Kim Hong Liu-nio yang memang cantik jelita. Dia melihat bahwa dalam diri wanita yang kelihatannya dingin ini terdapat api yang panas dan gairah yang menyala-nyala, yang dapat dirasakannya saat mereka saling berpelukan dan berciuman.

Oleh karena itu, mana mungkin dia mampu menunggu sampai semua musuh wanita itu habis? Akan berapa lamakah hingga wanita itu selesai membunuh semua musuhnya yang terdiri pendekar-pendekar sakti yang ilmunya amat tinggi itu?

Maka, Lee Siang tidak dapat bertahan lagi dan pada suatu malam, dengan rayuan-rayuan yang membuat Kim Hong Liu-nio hampir gila, akhirnya Lee Siang pun dapat meruntuhkan pertahanan wanita itu yang manyerahkan diri pada malam yang dingin itu. Dengan birahi yang memuncak keduanya bermain cinta, dengan gairah yang tak kunjung padam sampai pagi mereka melampiaskan gairah nafsu masing-masing.

Dan setelah keesokan harinya cahaya matahari yang menerobos masuk melalui kaca di atas jendela kamar itu membangunkannya dari tidur nyenyak karena kelelahan, tiba-tiba Kim Hong Liu-nio teringat akan semua yang terjadi malam tadi. Dia mengeluarkan seruan lirih, meloncat turun, menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya dan dia sudah lari ke depan cermin di sudut kanan, mencari-cari tahi lalat pada dagunya akan tetapi dagunya itu putih halus, tidak ada tahi lalatnya lagi karena tahi lalat buatan dari subo-nya itu telah lenyap tanpa bekas, tepat seperti yang dikatakan oleh subo-nya dahulu bahwa kalau dia menyerahkan diri kepada seorang pria, tahi lalat itu akan lenyap!

Lee Siang masih tidur dengan senyum di bibirnya. Dia merasa puas dan gembira sekali. Wanita yang ternyata masih perawan itu akhirnya menyerahkan diri kepadanya dan tepat seperti dugaannya, wanita itu adalah seorang wanita yang penuh gairah, hangat dan luar biasa.

Tiba-tiba Lee Siang terkejut dan terbangun karena pundaknya diguncang keras dan ketika dia membuka matanya, dia melihat wanita itu sudah berdiri di sisi pembaringan, tubuhnya hanya dibalut oleh selimut dan wanita itu menodongkan sebatang pedang yang ujungnya menempel di dadanya, bahkan kulit dadanya yang telanjang terasa nyeri oleh runcingnya pedang!

"Hong-moi! Apa... apa artinya ini...?" tanyanya dengan dua mata terbelalak, memandang wajah wanita yang pucat itu. Wajah yang pucat dan rambutnya kusut, akan tetapi bahkan menonjolkan kecantikannya.

"Bersiaplah untuk mati. Engkau harus mati, kemudian aku. Sekarang kita berdua harus mati, dan jauh lebih baik mati di tangan sendiri dari pada mati di tangan orang lain!"

Bukan main kagetnya hati Lee Siang. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melawan dan mencoba meloloskan diri karena dia maklum betapa lihai wanita ini.

"Akan tetapi, Hong-moi... kau tahu... aku cinta kepadamu, aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku, mengapa... mengapa kau hendak membunuhku, sayang? Lupakah engkau akan cinta kasih kita semalam...?"

Wanita itu mengejapkan mata dan dua titik air mata menetes di atas pipinya.

"Aku tahu... dan engkau pun tahu betapa besar cintaku kepadamu, Lee-ko. Akan tetapi justru karena cinta kita, maka kita harus mati saat ini juga, mati bersama agar kita dapat melanjutkan hubungan kita di alam baka."

"Tapi... tapi, tunggu dulu... setidaknya katakan dulu mengapa?" Lee Siang berteriak ketika merasa betapa dadanya nyeri dan kulitnya sudah tertusuk sedikit sehingga mengeluarkan darah.

"Kau lihat daguku! Di mana adanya tahi latat di daguku?"

Lee Siang memandang dan memang benar. Tahi lalat yang tadinya berada di dagu wanita itu, yang menambah kemanisannya, yang semalam diciuminya dan dipujinya kini sudah lenyap! Teringat dia akan cerita wanita itu mengenai sumpahnya kepada subo-nya, dan tentang tanda perawan yang dibuat subo-nya, yaitu tahi lalat itu yang kini lenyap bersama lenyapnya keperawanannya semalam!

Sebenarnya Lee Siang sudah mencari akal sebelum dia berhasil merayu sampai wanita itu akhirnya menyerahkan diri. Maka dia kemudian berkata,

"Hong-moi, kekasihku, sayangku, kau dengarkan aku. Aku punya akal untuk menghadapi subo-mu, akan tetapi kalau engkau memaksa hendak membunuhku, nah, tusuklah ini... aku terlalu cinta padamu, aku tak ingin melihat engkau menderita, sayangku, akan tetapi sebelum engkau membunuhku, aku... minta... sukalah agar engkau menciumku sekali lagi... agar dapat kubawa mati..."

Lee Siang membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dan membiarkan tubuhnya yang telanjang itu terbuka sama sekali malah dia mengembangkan kedua lengan dengan sikap merayu.

"Ahhh...!" Kim Hong Liu-nio tidak dapat menahan keharuan hatinya. Pedangnya terlepas dan dia menubruk, merangkul lantas menciumi pria yang dicintanya itu, satu-satunya pria yang pernah dicintainya dan pernah menyentuh tubuhnya. "Ahh, Lee-ko... Lee-ko... bagai mana aku dapat membunuhmu...?"

Lee Siang balas memeluk dan mencium, hatinya lega karena baru saja dia terlepas dari cengkeraman maut.

"Adindaku yang terkasih, dengarlah. Bukankah dulu engkau pernah menceritakan bahwa subo-mu itu sudah tua renta dan sudah pikun? Walau pun ilmu kepandaiannya setinggi langit, akan tetapi kalau pandang matanya sudah kurang awas seperti yang kau katakan, apa sukarnya untuk mengelabui pandang matanya? Buat saja tahi lalat palsu dengan tinta hitam, apa sih sukarnya menaruh titik kecil di dagumu yang manis? Tentu dia tidak akan pernah tahu, sayangku, apa lagi kalau engkau jarang sekali bertemu muka dengan dia. Selagi masih ada jalan, mengapa kita harus mengambil jalan pendek? Bukankah kita berdua berhak menikmati hidup, berhak menikmati cinta kasih kita?" Lee Siang mencium lagi dengan sepenuh hatinya dan nafsu birahinya sudah berkobar lagi.

Melihat ini, Kim Hong Liu-nio memeluknya, "Ah engkau cerdik, koko, dan aku... aku yang bodoh... ahh, dadamu sampai terluka, berdarah..." Dia lalu mengecup darah di dada itu, menjilati luka kecil pada dada kekasihnya. Mereka berpelukan dan tenggelam lagi dalam madu asmara yang tidak kunjung puas dan padam.

Setelah terhibur dan dapat melupakan ancaman bahaya, Kim Hong Liu-nio menjadi penuh semangat kembali. Setiap waktu dia menuntut pernyataan kasih sayang dari Lee Siang yang membuat panglima itu kewalahan juga hingga akhirnya tibalah saatnya Kim Hong Liu-nio harus meninggalkannya untuk sementara.

Wanita itu harus pergi ke utara berkunjung kepada subo-nya dan suheng-nya yang akan mengadakan sayembara pemilihan guru silat untuk Pangeran Oguthai. Pada saat hendak berangkat, Kim Hong Liu-nio kembali menyatakan kekhawatiran hatinya tentang tahi talat yang hilang itu.

Akan tetapi Lee Siang menghiburnya, bahkan membuatkan titik hitam sebagai pengganti lahi lalat itu dengan tinta hitam yang tidak mudah luntur, lalu mencium dagu yang manis itu. "Ahhh, tidak ada bedanya seujung rambut pun, Hong-moi. Jangan khawatir, apa lagi subo-mu yang tidak awas lagi matanya, sedangkan aku sendiri tidak dapat membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu. Berangkatlah, sayang, dan ingatlah bahwa aku selalu menantimu dengan hati penuh rindu."

Kim Hong Liu-nio telah berubah menjadi seorang wanita yang wajahnya periang ketika dia berangkat meninggalkan kota raja. Setelah dia mengenal Lee Siang, kehidupan ini sama sekali berubah baginya, penuh dengan kegembiraan dan kelembutan, bahkan selama ini dia sama sekali tidak pernah memikirkan adanya orang-orang she Tio, Cia dan Yap yang menjadi musuh gurunya! Dia ingin hidup selama-lamanya di dalam kamar bersama Lee Siang, bermain cinta sampai dunia kiamat!

Dan memang benar seperti dugaan Lee Siang, tidak ada seorang pun yang tahu akan kepalsuan tahi lalat pada dagu wanita cantik ini. Bahkan Hek-hiat Mo-li, begitu bertemu dengan muridnya itu, yang pertama-tama dilihatnya adalah tahi itu dan nenek ini berkata,

"Bagus, tahi lalatmu masih ada! Akan tetapi sayang, selama ini baru Tio Sun saja yang berhasil ditewaskan, juga si kakek Cia Keng Hong. Bilakah aku akan dapat mendengar akan tewasnya Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng?"

"Harap subo suka bersabar, teecu tak pernah berhenti berusaha," kata Kim Hong Liu-nio.

Pada saat itu dia baru ingat bahwa selama ini dia tidak pernah mencari musuh-musuh itu, dan dia pun tidak peduli lagi! Dia bahkan mulai merasa jemu dengan perintah subo-nya. Setelah memberi hormat kepada subo-nya dengan berlutut dan memberi hormat kepada Raja Sabutai, Kim Hong Liu-nio lalu bangkit dan berjalan perlahan untuk duduk di sudut.

Dia tidak tahu betapa Raja Sabutai terus memandang dirinya penuh perhatian, terutama sekali memandang ke arah pinggulnya yang menonjol dan bergoyang-goyang pada waktu dia melangkah tadi. Juga Kim Hong Liu-nio tidak tahu bahwa malam itu juga Raja Sabutai menemui Hek-hiat Mo-li dan berbicara empat mata dengan guru itu, pembicaraan yang membuat Hek-hiat Mo-li marah bukan main.

Kiranya, pandang mata Raja Sabutai yang sangat tajam, yang sudah banyak pengalaman memandang perbedaan antara wanita-wanita tua muda, perawan atau bukan, telah dapat menduga bahwa kini sumoi-nya itu bukan perawan lagi hanya dengan melihat bayangan pinggulnya! Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-hiat Mo-li memanggil Kim Hong Liu-nio dengan wajah bengis.

"Kim Hong, lekas kau cuci titik hitam di dagumu itu!" bentak sang guru.

Seketika wajah Kim Hong Liu-nio menjadi pucat dan tubuhnya gemetar, akan tetapi dia mempertahankan hatinya dan pura-pura memandang gurunya dengan heran.

"Apa maksud subo? Mana mungkin tahi lalat ini dicuci?"

"Hemm, kau masih hendak mengelabui gurumu, ya? Tahi lalat di dagumu itu palsu, dan engkau bukan perawan lagi! Berani engkau menyangkal?"

Maklumlah kini Kim Hong Liu-nio bahwa rahasianya telah terbuka, bahwa entah dengan cara bagaimana gurunya telah tahu bahwa tahi lalat di dagunya itu palsu dan bahwa dia bukan perawan lagi, bahkan dia sudah melanggar sumpahnya. Maka dia hanya berlutut, dan menangis!

"Keparat, berani engkau mengelabui gurumu sendiri? Hayo ceritakan, mengapa engkau melanggar sumpahmu?"

Dengan terisak-isak Kim Hong Liu-nio lalu mengaku terus terang bahwa dia jatuh cinta dengan Panglima Lee Siang. "Dia telah menyelamatkan teecu ketika teecu dikeroyok oleh pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang, dan teecu bersama dia saling mencinta subo, dan... dan... teecu sudah menyerahkan diri kepadanya. Dia pula yang membantu teecu dan sute menghadap kaisar dan... dan..."

"Perempuan hina!" Hek-hiat Mo-li membentak, tangannya menampar dan tubuh Kim Hong Liu-nio terpelanting ketika pundaknya kena dihantam gurunya. Nyeri sekali rasanya, akan tetapi tidak mendatangkan luka hebat. Tahulah Kim Hong Liu-nio bahwa dia akan mati di tangan subo-nya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melawan, hanya menangis dan membayangkan kekasihnya karena dia ingin mati dengan bayangan Lee Siang di depan matanya.

Hek-hiat Mo-li memang sudah marah sekali dan dia sudah mengangkat tongkatnya sambil berkata, "Murid durhaka, bersiaplah untuk mati!"

"Subo, tahan dulu!" Mendadak terdengar suara keras dan muncullah Raja Sabutai yang memasuki ruangan itu.

Nenek itu menoleh dan memandang Sabutai dengan wajah makin berkerut menyeramkan. "Murid tak tahu malu ini sudah sepatutnya mampus!"

Raja Sabutai tersenyum. "Subo, apa sih anehnya kalau sumoi ini tidak mampu menahan gelora nafsunya? Memang sumoi sudah melanggar sumpahnya, akan tetapi masih ada kesempatan baginya kalau dia menebus dosa. Berilah dia waktu tiga bulan untuk dapat membunuh empat orang musuh besar subo itu, dan kalau dia berhasil, biarlah dosanya diampuni dan biarkan dia hidup bahagia bersama kekasihnya. Akan tetapi kalau tidak berhasil, baru subo membunuh dia pun belum terlambat."

Hek-hiat Mo-li mengomel. "Kalau bukan engkau yang menyadarkan aku bahwa bocah ini bukan perawan lagi, tentu aku sudah kena dikelabui, maka biarlah aku setuju usulmu, sri baginda. Nah, kau telah dengar sendiri, murid durhaka. Bunuh atau tangkap empat orang musuhku itu, seret mereka atau mayat mereka ke sini, baru aku akan mengampunimu. Aku memberimu waktu tiga bulan lamanya mulai hari ini!"

Kim Hong Liu-nio menghaturkan terima kasih dan pada hari itu juga dia berpamit untuk melaksanakan perintah itu. Itulah sebabnya maka ketika diadakan pemilihan guru silat di Lembah Naga, Kim Hong Liu-nio tidak hadir, dan itu pula sebabnya kenapa Hek-hiat Mo-li marah-marah saat Sabutai mengadakan pemilihan guru silat untuk pangeran. Amarahnya karena kecewa terhadap Kim Hong Liu-nio itu membuat dia menantang semua peserta dan mengacaukan pemilihan guru silat itu.

********************

Ketika Kim Hong Liu-nio tiba di dalam gedung Panglima Lee dan bertemu kekasihnya itu, dia segera menubruk Lee-ciangkun sambil menangis. Dengan terisak-isak diceritakannya pertemuannya dengan Raja Sabutai dan Hek-hiat Mo-li, kemudian betapa rahasianya telah ketahuan dan kemudian betapa subo-nya dan suheng-nya itu memberi waktu tiga bulan kepadanya untuk dapat membunuh atau menangkap empat orang pendekar itu.

"Ahh, betapa mungkin aku menundukkan empat orang yang berilmu tinggi itu? Lee-koko, lebih baik kau membunuhku saja. Aku lebih senang mati di tanganmu, dari pada di tangan subo atau suheng!" wanita itu menangis dalam rangkulan Lee Siang.

Tentu saja hati panglima ini menjadi tidak karuan rasanya. Dia juga mencinta wanita ini dan akan dibelanya dengan seluruh jiwa raganya.

"Jangan khawatir, kekasihku. Aku masih mempunyai akal dan harapan untuk menangkap empat orang itu," katanya.

Panglima muda itu lalu mencari akal, dan akhirnya dia mendapat akal yang sangat nekat dan berani. Dia lalu memalsukan cap dari kaisar, membuat surat perintah penangkapan yang palsu, bahkan membuat bendera kekuasaan yang palsu pula. Kemudian dia mulai mempersiapkan pasukan yang kuat dan mengutus seorang pembantunya dengan hadiah besar agar supaya pergi membawa pasukan dan menggunakan perintah palsu dari kaisar itu untuk menangkap Yap Kun Liong, Yap In Hong, Cia Bun Houw dan Cia Giok Keng.

Perwira yang menjadi pembantunya itu adalah perwira Ma Kit Su. Seperti telah diketahui, Ma-ciangkun ini berhasil baik di dalam tugasnya, selain membunuh Hwa-i Sin-kai dengan keroyokan, juga berhasil menangkap keempat orang pendekar itu yang menyerahkan diri karena di samping tidak ingin memberontak terhadap perintah kaisar, juga mereka tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Yap Mei Lan dan Souw Kwi Beng.

Memang, bila orang sudah tergila-gila maka apa pun sanggup dilakukannya. Baik dia itu seorang laki-laki yang tergila-gila kepada seorang wanita, atau sebaliknya seorang wanita yang tergila-gila kepada seorang pria, dia akan melakukan segala hal demi orang yang dicintanya, atau demi memelihara dan mempertahankan kenikmatan yang didapatkannya dari hubungan cintanya itu.

Demikian pula dengan halnya Panglima Lee Siang. Tentu dia sendiri tak pernah bermimpi bahwa dia pada suatu hari akan melakukan hal yang demikian gila dan nekatnya. Kalau bukan untuk Kim Hong Liu-nio, sampai mati pun kiranya dia tidak akan berani main-main seperti itu terhadap kekuasaan kaisar yang dipalsukannya, terlebih lagi berani mengatur siasat untuk mencelakakan dua pasang suami isteri pendekar seperti Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri-isteri mereka.

Dia tahu bahwa perbuatannya itu akan membawa akibat yang amat besar dan luas. Apa lagi peristiwa penangkapan itu terjadi ketika pendekar Yap Kun Liong sedang merayakan pernikahan puterinya sehingga peristiwa penangkapan itu disaksikan oleh ratusan orang tokoh kang-ouw yang berkedudukan tinggi. Dunia kang-ouw akan menjadi geger karena peristiwa ini, dan hal ini diketahui benar oleh Lee Siang.

Akan tetapi, kalau orang sedang tenggelam dalam buaian asmara seperti Lee Siang, biar dunia kiamat pun tidak akan terasa olehnya. Kalau dia sedang tenggelam dalam pelukan wanita yang amat dicintanya, biar apa pun terjadi, dia tidak takut bahkan mati pun bukan apa-apa baginya asal saja dihadapinya bersama wanita yang dicintanya itu.

Dan memang peristiwa itu benar-benar menimbulkan kegemparan besar. Para tamu yang hadir dalam pesta pernikahan itu, yang tergesa-gesa pulang ke tempat kediaman masing-masing, segera menyebar luaskan berita tentang penangkapan itu sehingga seluruh dunia kang-ouw menjadi gempar.

Bila yang ditangkap itu seorang atau beberapa orang tokoh sesat yang suka menimbulkan kekacauan dan kejahatan, hal itu tentu saja dianggap lumrah dan tidak akan ada yang merasa heran. Akan tetapi apa yang tersiar menjadi berita itu sungguh sebaliknya, kaisar menangkap keluarga pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw! Alangkah aneh dan janggalnya berita ini.

Banyak di antara para tokoh kang-ouw yang merasa penasaran sekali dan mereka sudah mencari-cari daya upaya harus bertindak bagaimana menghadapi peristiwa aneh itu. Tapi tentu saja banyak pula para tokoh liok-lim dan kaum sesat yang bersorak gembira karena pembasmian terhadap setiap orang pendekar penegak keadilan dan kebenaran berarti hilangnya seorang perintang dan musuh bagi mereka.

********************

Akan tetapi ternyata Lee Siang adalah seorang panglima perang yang pandai menyusun siasat. Setelah menurut perhitungannya yang ternyata tepat sekali bahwa para pendekar yang terkenal setia kepada pemerintah itu akan menyerah setelah melihat 'surat perintah' kaisar. Lee-ciangkun sudah mempersiapkan pasukan pengawal yang sangat kuat, bahkan di setiap kota selalu siap serombongan pasukan yang akan memperkuat pengawalan itu.

Dia maklum bahwa penawanan empat orang pendekar itu tentu menimbulkan kegemparan dan untuk menjaga agar keempat tawanan itu jangan sampai terlepas atau dibebaskan orang, maka pengawalan dilakukan amat kuat, bahkan dia mengumpulkan jagoan-jagoan di kota raja yang dapat disogok dan dibelinya untuk membantu dalam pengawalan itu. Ini pula sebabnya maka para pendekar yang berusaha turun tangan menyelamatkan empat orang tawanan itu selalu menemui kegagalan.

Apa lagi setelah pada suatu malam terdapat rombongan dari Siauw-lim-pai yang hendak mempergunakan kekerasan untuk membebaskan tawanan itu dan mengalami perlawanan hebat, lalu mendengar teriakan pendekar Yap Kun Liong sendiri yang meminta kepada kawan-kawan di dunia kang-ouw supaya jangan melawan pemerintah. Karena dia yakin akan diadakan pengadilan yang adil di kota raja, maka tidak ada lagi kaum kang-ouw yang berani menggunakan kekerasan untuk mencoba membebaskan empat orang itu.

Pada suatu senja, rombongan pasukan yang mengawal kereta kerangkeng tawanan ini memasuki kota Po-teng yang ramai. Kota ini berada di sebelah selatan kota raja dan rombongan pasukan yang dipimpin oleh perwira Ma Kit Su segera membawa tawanannya ke penjara untuk menitipkan tawanan itu di tempat yang terjaga kuat itu, kemudian dia mengunjungi pembesar Ciong di kota Po-teng yang juga menjadi sahabat baik dari Lee Siang.

Kereta kerangkeng itu dimasukkan ke dalam penjara, dalam sebuah ruangan yang dijaga ketat oleh selosin prajurit. Kerangkeng itu sendiri amat kuat, terbuat dari baja yang dikunci dari luar, dan kedua tangan para tawanan itu pun dirantai, sedangkan ruangan itu sendiri berjeruji baja dan dikunci dari luar, di luarnya masih dijaga oleh selosin prajurit pilihan!

"Hemm, kalau mengingat betapa kita dikerangkeng seperti binatang-binatang buas, ingin aku mematahkan semuanya ini dan mengamuk!" Cia Giok Keng berkata, muncul kembali kekerasannya karena mengalami penghinaan yang luar biasa ini.

"Tenanglah, kota raja sudah dekat dan setelah dihadapkan ke pengadilan, aku yakin kita akan segera dibebaskan. Dibebaskan setelah diadili jauh lebih terhormat dari pada bebas menggunakan kekerasan."

"Aku heran sekali, kenapa kaisar menyuruh tangkap kita berempat?" Bun Houw berkata.

"Ini tentu fitnah, maka aku sebetulnya setuju dengan pendapat enci Keng untuk lolos dan mengamuk. Sungguh pun kaisar sendiri, kalau melakukan fitnah dan tindakan sewenang-wenang, haruslah ditentang!" kata Yap In Hong.

"Hong-moi, simpan kembali kemarahanmu itu," kata Kun Liong kepada adiknya. "Kalau kaisar melakukan tindakan ini, pasti ada sebabnya. Andai kata difitnah sekali pun, tentu kaisar tidak tahu bahwa beliau dibohongi atau ditipu orang. Apa bila kita mempergunakan kekerasan, hal itu justru akan memperkuat bukti bahwa kita memang suka memberontak. Maka sabarlah, mungkin dalam dua hari lagi kita sampai di kota raja dan akan menerima keputusan. Bila kemudian ternyata bahwa kaisar bertindak sewenang-wenang dan lalim, masih belum terlambat bagi kita untuk memberontak."

Mereka berempat lalu duduk diam, melakukan semedhi seperti biasa sehingga mereka tidak merasa menderita apa-apa sama sekali. Menjelang tengah malam, ada suara yang mencurigakan dan mereka berempat membuka mata. Dengan heran mereka melihat para penjaga di luar ruangan beruji baja itu tertidur semua, ada yang duduk yang bersandar dinding sambil memegangi tombak, ada yang malang melintang saling tindih.

Mereka saling pandang dengan penuh keheranan dan tiba-tiba Kun Liong mengeluarkan suara lirih, "Ssssttt...!"

Kun Liong mendengar sesuatu yang juga sudah didengar oleh tiga orang lainnya. Tidak lama kemudian, nampak berkelebat bayangan merah lantas dengan gerakan yang sangat ringan melayanglah sesosok tubuh wanita yang berpakaian serba merah lalu turun di luar ruangan itu.

Seorang wanita muda yang cantik manis, berpakaian serba merah, pedangnya tergantung di punggung, rambutnya tergulung rapi dan pakaiannya juga indah bersih, wajahnya yang cantik itu dirias rapi. Seorang wanita muda cantik manis yang pesolek, dan senyum pada bibirnya serta kerling matanya membayangkan kegenitan yang panas!

Selagi Kun Liong dan Giok Keng merasa heran melihat wanita muda yang tidak mereka kenal itu, mendadak Bun Houw dan In Hong mengeluarkan seruan marah ketika mereka melihat wanita itu.

"Mau apa kau ke sini?!" Bun Houw membentak.

"Pergilah kau!" In Hong juga membentak.

Suara kedua orang suami isteri ini jelas membayangkan kemarahan besar sehingga Yap Kun Liong dan isterinya merasa makin heran lagi.

Tiba-tiba wanita muda itu menjatuhkan diri berlutut di luar ruangan itu sambil menangis. "Suhu... subo... masih begitu bencikah ji-wi kepada teccu? Suhu dan subo kena fitnah, harap ji-wi perkenankan teecu untuk membantu suhu dan subo."

"Tidak. Pergilah, kami tidak ingin kau bebaskan!" bentak In Hong.

"Bila suhu dan subo tidak menghendaki kekerasan, biarlah teecu membujuk Ciong-taijin, pembesar Po-teng ini untuk membebaskan ji-wi. Teecu kenal baik dengannya dan teecu pasti dapat mempengaruhinya..."

"Sudahlah, kami sudah bukan guru-gurumu lagi. Pergilah, jangan membikin aku marah!" kata Bun Houw.

"Suhu, demi keselamatan suhu dan subo, teccu rela mengorbankan nyawa teecu...," gadis itu memohon.

"Diam! Pergi kau! Pergi, wanita tak tahu malu!" In Hong berseru marah sekali, mengepal tinjunya sehingga Kun Liong merasa khawatir kalau-kalau adiknya itu akan mematahkan rantai dan membobolkan kerangkeng.

"Pergilah, kami tidak ada sangkut paut lagi denganmu," kata Bun Houw.

"Suhu... subo..." wanita itu menangis, kemudian bangkit berdiri, dengan mata merah dan bercururan air mata dia memandang lagi kepada wajah Bun Houw, kemudian meloncat dan berkelebat pergi dengan cepat sekali.

Bun Houw dan In Hong saling pandang lalu menarik napas panjang, agaknya merasa lega bahwa gadis itu sudah mau pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat, gerakannya jauh lebih cepat dari pada gadis tadi dan tahu-tahu Lie Seng telah berada di luar ruangan itu.

"Seng-ji...!" Cia Giok Keng berseru ketika mengenal puteranya.

"Ohh, ibu dan yang lain-lain tidak apa-apa, bukan? Hatiku khawatir sekali melihat wanita baju merah tadi menggunakan bubuk racun obat bius membikin semua penjaga pingsan. Tadinya kusangka dia memiliki niat jahat atau mungkin juga hendak menolong, maka aku ragu-ragu dan hanya membayangi. Siapakah dia? Kulihat dia pergi lagi sambil menangis."

"Tidak ada apa-apa, jangan khawatirkan kami." kata Bun Houw kepada Lie Seng, agaknya merasa tidak suka untuk bicara tentang wanita cantik itu.

Yap Kun Liong maklum akan sikap Bun Houw ini dan karena dia tidak ingin penjaga baru datang dan melihat Lie Seng di situ, maka dia berkata, "Seng-ji, kau tinggalkanlah tempat ini. Baik sekali engkau selama ini membayangi kami, dan lakukanlah itu terus, akan tetapi hati-hatilah, jangan sampai ketahuan oleh fihak pengawal dan jangan melakukan apa pun sebelum ada tanda dari kami. Kami tidak menghendaki kekerasan."

"Benar kata ayahmu itu, Seng-ji. Kau pergilah dan bayangi saja dari jauh. Kami berempat sanggup menjaga diri." kata Giok Keng kepada puteranya, hatinya gembira dan bangga melihat puteranya itu ternyata terus membayangi mereka.

"Jangan khawatir, ayah dan ibu. Akan tetapi harap ayah dan ibu, paman dan bibi selalu berhati-hati dan periksa baik-baik dulu sebelum makan hidangan yang mereka suguhkan. Saya merasa curiga terhadap penangkapan ini."

Setelah meninggalkan pesan itu, Lie Seng lalu berkelebat pergi dan untung dia bergerak cepat karena para penjaga sudah mulai ada yang siuman dari pingsannya, bergerak dan menguap seperti orang baru bangun tidur.

"Bun Houw, siapakah wanita tadi dan benarkah dia itu murid kalian berdua?" Cia Giok Keng tidak dapat menahan keinginan tahunya untuk bertanya kepada adiknya mengenai gadis yang hendak menolong mereka, akan tetapi ditolak dengan kasar oleh adiknya itu.

"Aku pun heran mengapa engkau bersikap sedemikian kaku dan penuh benci kepadanya, Hong-moi?" kata Yap Kun Liong kepada adiknya. "Siapakah dia?"

Bun Houw dan In Hong saling pandang dan di dalam pandangan mata ini terjalin saling pengertian mendalam. Bun Houw menarik napas panjang, lalu berkata sebagai jawaban kepada Yap Kun Liong dan isterinya,

"Sesungguhnya, kami berdua tadinya hendak merahasiakan tentang gadis itu selamanya, tetapi siapa sangka malam ini dia muncul, maka tidak perlu lagi kiranya kami menyimpan rahasia ini setelah diketahui oleh Liong-ko dan Keng-cici. Baik, akan kuceritakan semua tentang dia."

Pendekar ini mulai bercerita, dengan suara bisik-bisik supaya jangan terdengar oleh para penjaga yang mulai sadar, hanya dapat terdengar oleh mereka berempat saja. Beginilah ceritanya.

********************

Seperti telah diceritakan di bagian terakhir dari cerita Dewi Maut, Bun Houw dan Yap In Hong terpaksa pergi meninggalkan ayah pendekar itu, yaitu Cia Keng Hong karena ketua Cin-ling-pai ini tidak menyetujui perjodohan antara mereka. Hati mereka sedih, akan tetapi karena cinta kasih mereka yang mendalam, mereka pun siap meninggalkan keluarga dan hidup berdua saja. Hal itu terjadi kurang lebih enam belas tahun yang lalu, dan keduanya lalu pergi menuju ke Kiang-shi untuk mengambil seorang anak perempuan bernama Sun Eng.

Dalam cerita Dewi Maut dikisahkan bahwa dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuh besar keluarganya, Bun Houw pernah bersahabat dengan seorang bekas penjahat yang telah menjadi seorang pemilik rumah judi, bernama Sun Bian Ek, kepala Hok-pokoan di Kiang-shi.

Sun Bian Ek ini sengaja mengganti namanya karena dia menjadi orang buruan, berganti nama menjadi Liok Sun dan berjuluk Kiam-mo (Setan Pedang). Kiam-mo Liok Sun atau Sun Bian Ek ini suka kepada Bun Houw, bahkan dalam penyelidikannya terhadap musuh-musuhnya, akhirnya Kiam-mo Liok Sun sampai tewas di tangan para musuh Bun Houw. Sebelum tewas, Liok Sun atau Sun Bian Ek ini meninggalkan pesan kepada Bun Houw supaya suka memelihara dan mendidik puteri satu-satunya yang berada di Kiang-shi dan bernama Sun Eng.

Demikianlah, setelah dia melakukan perantauan dengan Yap In Hong, Cia Bun Houw tidak melupakan janjinya lantas bersama In Hong yang sudah diceritakannya tentang janji itu, mereka berdua pergi ke Kiang-shi untuk menemui anak perempuan yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, seorang anak perempuan yang cantik manis.

Kemudian, sesudah merantau sampai jauh dan memilih-milih tempat, akhirnya Bun Houw dan In Hong memilih kota Bun-cou di sebelah selatan Propinsi Ce-kiang, yakni sebuah kota yang cukup ramai tidak jauh dari pantai timur. Mereka sengaja menjauhkan diri agar tidak lagi bertemu dengan keluarga mereka, dan mereka seolah-olah mengubur diri jauh di timur.

Sun Eng menjadi murid mereka, akan tetapi karena kedua orang pendekar ini masih amat muda, mereka menganggap Sun Eng seperti adik sendiri dan secara bergantian mereka berdua mendidik serta memberi pelajaran surat dan silat kepada gadis itu. Semenjak kecil Sun Eng mempunyai watak yang periang dan lincah jenaka, sehingga keriangan anak itu menjadi sinar yang menerangi kehidupan sepasang kekasih yang merasa sangat prihatin karena jauh dari keluarga ini. Sayang sekali, mereka terlampau muda dan kesayangan mereka terhadap Sun Eng mereka perlihatkan sedemikian rupa hingga Sun Eng menjadi manja sekali.

Makin besar Sun Eng menjadi makin cantik, akan tetapi dalam kelincahannya terkandung sifat-sifat pesolek dan genit yang mengkhawatirkan hati In Hong dan Bun Houw. Namun mereka berdua terlampau sayang kepada Sun Eng, maka mereka membiarkan saja Sun Eng bertingkah genit, dan juga tidak melarang ketika Sun Eng mulai berkenalan dengan anak-anak tetangga.

Setelah lewat tujuh tahun, Sun Eng menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik manis, pesolek dan pandai berias, murah senyum dan kerling matanya amat tajam memikat. Disamping ini, juga ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi karena memang dia berbakat sekali sehingga apa yang diajarkan oleh suhu dan subo-nya dapat dia kuasai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Setelah berusia tujuh belas tahun, nampak gejala-gejala tidak baik yang mulai terasa oleh Bun Houw, yaitu bahwa muridnya itu agaknya mempunyai kecondongan hati kepadanya! Dari sinar matanya, dari sikapnya, dari gayanya apa bila sedang dilatihnya silat, semua itu menunjukkan bahwa dara cantik manis ini berdaya upaya memikatnya dengan berbagai cara.

Bahkan ketika sedang berlatih silat di hadapannya, sering Sun Eng sengaja menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan, seperti bagian dadanya atau pinggulnya, sedemikian rupa untuk menarik perhatiannya! Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan menghibur hatinya sendiri serta memaki-maki diri sendiri sebagai mata keranjang dan tak tahu malu, menuduh murid sendiri yang dianggapnya seperti adik sendiri itu sedemikian rupa!

Setelah dewasa, Sun Eng mulai mengerti bahwa antara suhu dan subo-nya ini tidak ada hubungan jasmani. Belum pernah dia melihat suhu dan subo-nya yang mengaku suami isteri ini tidur sekamar, apa lagi sepembaringan! Mulailah dia tertarik dan bertanya-tanya, bahkan dengan cerdik dia memancing-mancing kenapa suhu dan subo-nya tidak pernah menjenguk keluarga mereka hingga akhirnya subo-nya menceritakan kepadanya karena menganggap dia sebagai keluarga sendiri yang dipercaya, mengenai perjodohan mereka yang ditentang oleh orang tua Bun Houw.

"Kami sudah berjanji tidak akan menjadi suami isteri dalam arti sesungguhnya sebelum mendapat restu orang tua," subo-nya mengakhiri ceritanya sebagai jawaban pertanyaan mengapa suhu dan subo-nya belum juga mempunyai keturunan!

Maka tahulah Sun Eng bahwa suhu-nya masih perjaka dan subo-nya masih perawan. Dia makin tertarik dan merasa kasihan kepada suhu-nya. Memang dia amat kagum dan cinta kepada Bun Houw, maka mendengar penuturan ini, dia menjadi semakin berani kepada gurunya yang masih muda itu, yang hanya lebih tua sepuluh tahun dari padanya.

Watak Sun Eng ini ditambah oleh pergaulannya dengan segala orang, mendengar cerita-cerita cabul dan melihat tindak-tanduk mereka yang tidak mempedulikan susila sehingga dia sendiri terseret dan menjadi seorang wanita yang mendambakan cinta birahi.

Pada suatu malam, selagi Bun Houw tidur di dalam kamarnya seorang diri seperti biasa, Sun Eng yang sudah tidak mampu menahan gelora hatinya yang dihantui oleh bayangan pikirannya sendiri mengenai adegan-adegan mesra seperti yang pernah didengarnya dari penuturan kenalan-kenalannya, dengan nekat memasuki kamar gurunya itu.

"Seorang pria yang usianya hampir tiga puluh tahun seperti gurumu itu dan tidak pernah tidur dengan isterinya, tentu nafsunya besar bukan main, seperti air terbendung dan sekali bersentuhan dengan seorang wanita, tentu dia akan runtuh, seperti air bah yang menjebol bendungannya!" berkata seorang di antara wanita tetangga, seorang janda yang terkenal nakal dan mata keranjang sambil tertawa penuh arti saat Sun Eng menceritakan keadaan gurunya, "Sayang, dia begitu tampan dan gagah, sayang kalau seorang pria seperti dia tersia-sia."

Malam itu Sun Eng gelisah di atas pembaringannya. Ucapan-ucapan seperti itu terngiang di telinganya dan dia lalu membayangkan, betapa akan mesranya jika gurunya memeluk, menciuminya, bermain cinta dengan dia yang sudah sejak lama tergila-gila pada gurunya yang dia tahu merupakan seorang pendekar sakti yang amat hebat itu.

Betapa kaget rasa hati Bun Houw saat dia merasakan sesuatu yang lembut menindihnya, dua lengan yang mulus merangkulnya dan wajah yang terengah-engah menempel pada wajahnya, sebuah mulut yang lembut menciuminya! Syaraf-syarafnya yang terlatih segera menanggapi dan hampir saja dia menggerakkan tangan hendak menyerang, akan tetapi dia segera melihat bahwa wajah yang terengah-engah itu, yang kemerahan dan penuh dicengkeram nafsu birahi, adalah wajah cantik manis dari Sun Eng! Kekagetan berganti keheranan luar biasa.

"Suhu... ahhh, suhu... aku cinta padamu..." Bisikan di antara napas terengah-engah ini, ciuman pada pipinya, bibirnya, membuat Bun Houw yang tadinya terheran-heran menjadi marah bukan main.

Bun Houw sudah menggerakkan tangan, akan tetapi kesadarannya masih membuat dia dapat merubah pukulan itu menjadi dorongan sehingga tubuh dara itu terlempar dari atas tubuhnya, bahkan kemudian terbanting ke bawah pembaringan. Bun Houw sudah bangkit duduk.

Akan tetapi Sun Eng tidak menjadi takut, malah kini dara itu cepat membuka pakaiannya, memperlihatkan dadanya yang muda dan mempesonakan.

"Suhu... suhu... lihatlah aku cinta padamu, suhu... aku hendak mempersembahkan tubuh ini kepadamu..." Dan dara itu lalu merangkul lagi, mendekap kepala gurunya yang masih muda itu ke dadanya, kemudian mengangkat muka itu, menciumnya penuh nafsu birahi.

Bun Houw memejamkan mata dan seperti orang kehilangan dirinya sendiri, dia tenggelam dan terseret, kedua lengannya memeluk pinggang ramping itu, jari-jari tangannya bertemu dengan bukit-bukit pinggul dan dia pun balas mencium bibir yang menantang itu.

Tetapi, tiba-tiba seperti sinar terang yang berkilat menerangi kegelapan, kewaspadaannya membuat Bun Houw melihat betapa gilanya dia menyambut bujukan iblis yang berupa pikirannya sendiri yang ingin mereguk kepuasan dengan melayani muridnya itu, biar pun peristiwa yang amat kotor. Tiba-tiba dia mendorong tubuh Sun Eng, sedemikian kuatnya sehingga tubuh dara itu terlempar menabrak pintu kamarnya!

Bun Houw sudah bangkit berdiri, matanya berkilat-kilat, dan pada saat itu terdengar suara In Hong dari luar, "Houw-ko, ada apakah?"

Secepat kilat Sun Eng sudah membereskan bajunya lantas meloncat keluar dari jendela. Ketika In Hong memasuki kamar, dia cepat berkata dari luar jendela itu,

"Subo, teecu tadi seperti mendengar suara mencurigakan, teecu menyangka maling maka teecu hendak memberi tahu kepada suhu, tetapi celakanya, dalam kagetnya suhu malah mengira teecu malingnya!"

Cia Bun Houw menekan perasaannya yang tidak karuan, jantungnya berdebar kencang penuh ketegangan dan dia tahu bahwa kalau dia banyak bicara dalam saat itu, tentu In Hong akan menjadi curiga.

"Ahh, aku hanya melihat bayangan di luar jendela, maka aku segera menyerang. Untung Eng-ji dapat mengelak," katanya.

"Sun Eng, berhati-hatilah kau kalau mendekati kamar gurumu. Engkau tentu tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah matang ilmunya dan ilmu silat sudah mendarah daging di dalam dirinya, syaraf-syarafnya selalu siap untuk menjaga diri dan dalam keadaan terkejut terbangun dari tidurnya dapat menyerang dengan tiba-tiba."

"Maaf, subo... teecu khawatir mendengar bunyi itu, mungkin saja hanya kucing..."
"Hemm, betapa pun, harus kuselidiki sendiri," kata In Hong yang cepat melayang naik ke atas genteng dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain dia lalu turun kembali dan memasuki kamarnya. Sedikit pun dia tidak menaruh curiga atas terjadinya peritiwa itu.

Akan tetapi tentu saja Bun Houw tak dapat tidur memikirkan keanehan dari muridnya itu. Dia melihat bahaya yang sangat besar mengancam dirinya dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Akan tetapi, melihat betapa suhu-nya tidak membuka rahasianya terhadap subo-nya, hal ini diterima salah oleh Sun Eng yang mengira bahwa suhu-nya melindungi dan bahwa diam-diam suhu-nya itu menanggapi pencurahan cintanya, maka dia bukannya mundur malah sikapnya menjadi makin mendesak. Sikapnya bukan hanya makin berani, bahkan di depan subo-nya, dia tidak dapat menyembunyikan kerling matanya yang penuh daya pikat dan penuh kasih mesra terhadap suhu-nya.

Tentu saja Bun Houw merasakan ini dan dia menjadi semakin gelisah dan tidak enak, apa lagi setelah dia melihat bahwa isterinya mulai memandang kepadanya dengan sinar mata aneh penuh curiga yang makin lama menjadi kecurigaan yang mengandung cemburu!

Cemburu adalah suatu di antara perasaan-perasaan manusia yang amat aneh dan amat kuatnya mencengkeram batin manusia. Banyak orang menyangka, bahkan berpendapat bahwa cemburu adalah tanda cinta, bahkan cemburu tak terpisahkan dari cinta! Betulkah perkiraan atau pendapat demikian itu?

Apa bila kita menanggapi dengan perkiraan atau pendapat yang lain, maka akan terjadi pertentangan pendapat yang ribuan macam banyaknya dan tiada habisnya, pula tidak ada gunanya. Sebaliknya kalau kita masing-masing menghadapi perasaan cemburu itu sendiri apa bila dia timbul, lalu mengamatinya dengan penuh kewaspadaan sehingga kita dapat menyelidikinya, mempelajarinya kemudian mengerti dengan sepenuhnya tentang susunan cemburu, bagaimana munculnya, apa sebabnya dan apa pula akibatnya.

Karena hanya pengertian yang mendalam, yang timbul dari pengamatan yang waspada ini sajalah yang akan menciptakan perubahan sehingga kita tidak lagi disentuh oleh racun cemburu. Dengan memandang kepada diri sendiri, maka kita bersama dapat melakukan penyelidikan apakah sebenarnya cemburu itu sehingga bukan hanya menjadi semacam pengetahuan teoritis yang hampa. Pengetahuan teoritis seperti itu tak akan melenyapkan cemburu.

Kita semua, tentu saja yang sudah pernah mengalaminya, tahu belaka apakah akibat dari perasaan cemburu ini. Cemburu menimbulkan derita batin, merasa sengsara, nelangsa, kecewa, berduka, kesepian, murung dan banyak pula yang menjadi marah, kemudian dicengkeram kebencian hingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan. Oleh karena itu, kita semua tahu betapa buruknya akibat dari cemburu, dan tentu saja sebaiknya bila kita tidak pernah lagi disentuh oleh racun cemburu ini.

Dari manakah timbulnya cemburu? Hendaknya jangan tergesa-gesa menjawab dari cinta! Cemburu mendatangkan penderitaan dan kekerasan, oleh karena itu amatlah tidak tepat kalau menghubungkan cemburu dengan cinta kasih! Bukanlah cinta kasih bila akhirnya mendatangkan kedukaan dan kebencian!

Cemburu muncul KARENA KITA TAKUT KEHILANGAN APA YANG MENDATANGKAN KESENANGAN KEPADA KITA! Cemburu baru timbul kalau kita merasa adanya bahaya bahwa sesuatu yang kita anggap milik kita yang kita sayangi, baik itu merupakan benda, sahabat atau pacar atau suami atau isteri, akan terpisah dari kita dan menjadi milik orang lain. Jadi cemburu datang karena kita ingin mempertahankan sesuatu atau sesuatu yang mendatangkan kesenangan kepada kita, dan yang ingin kita monopoli atau miliki sendiri saja itu.

Cemburu adalah kekecewaan dan kemarahan yang timbul karena PUNYAKU diganggu, karena milikKU diambil orang lain, atau, lebih tepat karena takut atau khawatir milikKU diambil oleh orang lain. Jadi cemburu bersumber dari si aku yang ingin senang sendiri, dan barang atau pun orang yang kita cinta itu menjadi sumber atau alat dari mana kita memperoleh kesenangan, maka kalau sumber atau alat itu diambil orang lain, kita lalu menjadi sedih, marah atau cemburu karenanya.

Cinta kasih tidak ada sangkut-pautnya dengan cemburu. Cinta kasih bukan berarti aku ingin senang, aku ingin mengusai, justru aku ingin senang dan aku ingin menguasai ini meniadakan cinta kasih! Cinta kasih tidak dapat dipaksakan, cinta kasih tidak mungkin dapat diikat.

Kalau kita merasa sayang kepada sebuah benda, tentu kita akan merawatnya baik-baik, menjaganya dengan hati-hati agar tidak rusak atau pecah, bukan? Dan kita melakukan semua itu karena benda tadi mendatangkan rasa senang kepada kita. Demikian pula kepada seorang pacar. Rasa senang itulah yang membuat kita menjaganya, supaya dia tidak sampai dipisahkan dari kita, karena hal itu berarti bahwa kita kehilangan itu!

Padahal, kalau bisa dinamakan keinginan, kiranya satu-satunya keinginan dari seorang yang mencinta adalah ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia! Akan tetapi pengejaran kesenangan membuat kita berpendapat bahwa orang yang kita cinta itu HANYA BISA BERBAHAGIA kalau menjadi milik kita! Betapa picik pendapat seperti ini, bukan?


Demikianlah, Yap In Hong mulai dicengkeram perasaan cemburu ketika dia melihat sikap muridnya yang terlampau manis terhadap Bun Houw. Sebagai seorang wanita yang keras hati, In Hong tidak pernah dapat menyimpan rasa penasaran, setiap ganjalan hati tentu akan dikeluarkan melalui perbuatan dan kata-kata.

Oleh karena itu, setelah melihat jelas sikap muridnya yang ditangkapnya dengan ketajaman naluri kewanitaannya, pada suatu malam setelah beberapa hari lewat semenjak peristiwa malam itu, In Hong menemui Bun Houw dan dengan suara dingin dan sikap tegas dia berkata, "Houw-ko, sekarang ceritakanlah apa artinya sikap Sun Eng yang demikian manis dan memikat kepadamu!"

Bukan main kagetnya hati Bun Houw mendengar ini. Saking kagetnya karena hal yang mengganjal hatinya selama beberapa hari ini secara tiba-tiba disentuh oleh kekasihnya, dia menjawab dengan gagap. "Apa... apa yang kau maksudkan, Hong-moi...?"

"Houw-ko, bukankah sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita? Engkau pun tahu akan sikap aneh dari Sun Eng kepadamu, sikap manis memikat yang tidak wajar. Apa artinya itu?"

Kini Bun Houw sudah dapat menenangkan hatinya lagi, maka dia sudah siap dan setelah menarik napas panjang dia lalu berkata, "Aahhh, hal ini menggangguku dalam beberapa hari ini, Hong-moi, membuatku sukar tidur nyenyak dan merasa gelisah karena aku selalu meragu apakah hal ini akan kuceritakan kepadamu secara terus terang atau tidak. Aku tadinya khawatir kalau-kalau engkau akan marah besar kemudian melakukan hal-hal yang mencelakakan kalau aku berterus terang. Akan tetapi melihat sikap anak itu yang makin menjadi-jadi, yang tentu menimbulkan kecurigaanmu, sebaiknya aku berterus terang saja. Hanya sebelumnya, harap engkau bersabar hati, Hong-moi, dan jangan bertindak keras, karena kasihan anak itu yang selain menjadi murid, juga seperti adik kita sendiri."

Biar pun alisnya berkerut tanda kemarahan, In Hong mengangguk karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu murid itu telah jatuh cinta kepada kekasihnya ini. Maka dia dapat mendengarkan dengan sabar ketika Bun Houw menceritakan semua yang terjadi pada beberapa malam yang lalu, pada saat Sun Eng memasuki kamarnya dan memperlihatkan sikap yang sangat tidak patut, merayunya. Tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang betapa dia hampir terseret oleh rayuan Sun Eng, betapa dia bahkan sudah membalas pelukan dan ciuman dara remaja itu.

Memang, pekerjaan yang paling sukar di dunia ini bagi manusia adalah membuka rahasia kekotoran dirinya sendiri! Semua manusia ingin dan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menutupi kekotoran dirinya, akan tetapi di samping itu pun, berdaya upaya sekuat tenaga untuk membuka dan mengungkap semua rahasia kekotoran orang lain! Hanya dengan pengamatan waspada saja maka akan timbul kesadaran dan pengertian akan kepalsuan yang menyesatkan ini.

Wajah In Hong menjadi merah, sinar matanya berkilat penuh api kemarahan ketika dia mendengarkan penuturan kekasihnya sampai selesai. "Hemmm, bocah itu sungguh tidak tahu diri dan tak tahu malu!" gumamnya.

"Memang dia telah melakukan hal yang tidak sopan sama sekali, Hong-moi. Akan tetapi kasihanilah dia, dia itu masih kanak-kanak dan perlu bimbingan dan nasehat kita. Kukira sebaiknya kalau dia mengerti bahwa engkau sudah tahu akan perbuatannya itu agar dia menjadi takut. Bagaimana kalau kita panggil dia kemudian kita bersama menasehatinya dan memarahinya agar dia sadar kembali dari kesesatannya itu?"

In Hong menarik napas panjang untuk menekan kepanasan hatinya, lalu dia mengangguk. "Kurasa sebaiknya demikian. Kalau dipikir mendalam, memang kita pun bersalah, koko. Kita bertanggung jawab. Ketika dia kita bawa, dia adalah seorang anak perempuan yang belum tahu apa-apa dan masih bersih. Kalau dia sekarang ternoda oleh pikiran penuh gejolak nafsu itu, adalah karena dia terlalu banyak bergaul dengan orang-orang luar yang menghambakan diri kepada nafsu. Dan ini tentu saja tidak terlepas dari tanggung jawab kita yang agaknya kurang keras terhadap Sun Eng."

Bun Houw mengangguk. "Engkau benar, Hong-moi. Dan mudah-mudahan saja kita belum terlambat untuk mendidiknya kembali ke jalan benar supaya kelak di alam baka aku tidak usah merasa malu terhadap Kiam-mo Sun Bian Ek."

Maka dipanggillah Sun Eng. Ketika dara itu melihat wajah suhu dan subo-nya, wajahnya menjadi agak pucat. Dari sinar mata kedua orang gurunya yang seperti pengganti orang tuanya sendiri itu, tahulah dia bahwa sudah terjadi hal yang sangat penting dan dia dapat meraba apa adanya hal penting itu. Karena itu, sesudah memberi hormat, dia lalu duduk dan menundukkan mukanya.

Sejenak lamanya kedua orang pendekar itu menatap wajah yang menunduk itu, kemudian terdengar In Hong berkata, suaranya angker dan penuh wibawa, dingin akan tetapi juga mengandung rasa sayang,

"Sun Eng, engkau adalah murid kami, dan juga seperti keluarga kami sendiri, oleh karena itu, mengingat bahwa engkau kini sudah mulai dewasa, kukira sebaiknya kalau kita bicara dari hati ke hati secara terbuka."

Ucapan ini membuat Sun Eng makin gelisah dan tegang karena dia masih belum dapat meraba ke mana dia hendak dibawa oleh subo-nya dalam percakapan ini, karena itu dia hanya mengangguk, dan menjawab, "Baik, subo."

"Sun Eng, aku sudah tahu akan perbuatanmu terhadap suhu-mu beberapa malam yang lalu."

"Aihh...!" Sun Eng mengangkat mukanya yang berubah merah dan memandang kepada wajah Bun Houw.

Pendekar ini mengangguk. "Aku menceritakan hal itu kepada subo-mu, Sun Eng, demi kebaikan kita bersama dan supaya engkau mengerti benar betapa tidak benar dan tidak patut adanya sikap dan tindakanmu itu."

Sun Eng mengeluh kecil dan menunduk kembali.

"Eng-ji, engkau tentu sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa sikapmu terhadap suhu-mu, terutama tindakanmu malam itu, sungguh amat tidak patut dan tersesat sekali. Suhu-mu adalah gurumu yang sekaligus menjadi pengganti ayahmu, atau seorang kakak yang membimbingmu. Bagaimana mungkin engkau merubah pandanganmu dari ketaatan dan kehormatan sebagai seorang murid kepada guru, menjadi cinta birahi seorang wanita terhadap pria? Kau tahu bahwa suhu-mu adalah seorang pendekar yang tentu tidak akan mau terperosok ke dalam perbuatan hina seperti itu! Lagi pula, engkau adalah seorang dara remaja, bagaimana engkau hendak merendahkan diri sedemikian rupa? Di manakah kesopananmu? Apakah engkau sudah tidak mempunyai rasa malu lagi?" Suara In Hong meninggi terbawa oleh perasaan marahnya.

"Dan engkau harus tahu bahwa sikap dan perbuatanmu itu merupakan suatu hal yang paling menyakitkan dan menghancurkan hatiku, Eng-ji. Engkau kuanggap sebagai adik sendiri, atau anak sendiri, dan sekarang engkau melakukan hal seperti itu kepadaku! Ah, hal itu dapat lebih mencelakakan dari pada kalau engkau menyerangku dengan pedang di tangan!" Bun Houw menambahkan.

Kepala itu terangkat dan menjadi pucat sekali, air matanya bercucuran kemudian dengan terisak-isak Sun Eng berkata. "Harap suhu dan subo mengampunkan teecu, atau kalau suhu dan subo menjadi marah dan hendak menghukum teecu, biar teecu dibunuh sekali pun teecu tidak akan merasa penasaran. Teecu tidak sadar bahwa perbuatan teecu itu menghancurkan hati suhu dan menyedihkan hati subo. Sebetulnya teecu kasihan kepada suhu, kasihan mendengar riwayat suhu dan subo, dan teecu... teecu hanya bermaksud ingin menghibur hati suhu..."

"Hemm, menghibur dengan jalan menyerahkan diri seperti itu?" In Hong berkata.

"Ampunkan, subo... teecu pikir... jangankan hanya menyerahkan diri... jangankan hanya mengorbankan badan... walau menyerahkan nyawa berkorban jiwa pun teecu rela untuk membalas budi kebaikan suhu dan subo..."

In Hong dan Bun Houw saling pandang, kemudian memandang pula kepada Sun Eng yang sudah menunduk dan menangis lagi.

"Sudahlah, kami hanya ingin agar engkau mengerti bahwa perbuatanmu itu tidak pantas kau lakukan dan agar mulai detik ini engkau merubah pandanganmu terhadap suhu-mu, menjadi seperti dulu lagi, ketika engkau masih kecil, pandangan seorang murid terhadap gurunya dan agar perasaan yang bukan-bukan itu kau enyahkan dari hatimu. Mengerti?"

Sun Eng mengangguk berkali-kali dan bibirnya menggumam di antara isaknya, "...teccu salah... teecu salah..."

Melihat murid itu, Bun Houw merasa kasihan sekali. "Sun Eng, sadarlah bahwa aku dan subo-mu menyayangmu sebagai guru-guru terhadap murid, atau sebagai kakak terhadap adik, maka jangan engkau menafsirkan secara keliru dan sesat. Yang sudah lalu biarlah lalu dan kita lupakan bersama, mulai detik ini engkau harus kembali ke jalan benar."

Demikianlah, sepasang pendekar itu mengampuni murid mereka. Akan tetapi semenjak hari itu, terdapat suatu kerenggangan dan kecanggungan antara murid dan kedua orang gurunya itu, suatu celah dan batas yang membuat guru dan muridnya itu tidak dapat sedekat dan seakrab dahulu lagi. Pandang mata antara mereka terselubung, dan senyum mereka dibuat-buat.

Agaknya peristiwa itu telah menimbulkan luka yang cukup mendalam, baik bagi si murid mau pun bagi dua orang gurunya. Dan karena kerenggangan ini, maka Sun Eng makin mendekatkan diri dan bergantung kepada teman-temannya, kepada para tetangganya.

Di dalam hati Bun Houw dan In Hong juga timbul semacam kehambaran dan kehampaan terhadap murid mereka, membuat mereka bersikap tak begitu mempedulikan lagi. Bahkan ketika mereka melihat dan mendengar betapa Sun Eng sering bergaul dengan pemuda-pemuda yang suka berkeliaran dengan pakaian-pakaian indah, pemuda-pemuda hartawan dan bangsawan yang pekerjaannya setiap hari hanya mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan teman, sepasang pendekar ini yang tadinya kadang-kadang masih menegur dan menasehati, akhirnya juga diam saja. Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa kini mereka membenci Sun Eng, melainkan karena tidak ingin dianggap terlalu mengekang oleh gadis yang bukan keluarga mereka itu.

Beberapa bulan kemudian sepasang pendekar ini merasa terkejut sekali ketika menerima serombongan tamu yang ternyata adalah utusan dari keluarga Auw, seorang pembesar yang kaya raya di kota itu. Utusan ini datang untuk meminang Sun Eng, untuk menjadi jodoh Auw-kongcu, putera tunggal pembesar Auw itu.

Auw-kongcu adalah seorang pemuda yang sudah sangat terkenal sebagai pemuda mata keranjang di kota itu, berandalan dan terkenal pengganggu wanita-wanita di daerah itu, mengandalkan ketampanannya, hartanya dan kedudukan orang tuanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa murid mereka dilamar oleh pemuda yang tersohor buruk watak ini, tentu saja Bun Houw beserta Yap In Hong menjadi marah dan serta merta menolak pinangan itu.

Apa lagi In Hong! Kurang lebih dua tahun yang lalu pendekar wanita ini pernah menghajar Auw-kongcu, bahkan kalau saja tidak dicegah oleh Bun Houw tentu telah membunuhnya karena Auw-kongcu berani main gila kepadanya, berani mengeluarkan kata-kata yang tak sopan dan hendak menggodanya di depan kuil pada waktu dia melakukan sembahyang seorang diri. Dan kini pemuda kurang ajar itu telah mengirim utusan melamar Sun Eng! Maka, tidaklah mengherankan apa bila pendekar wanita yang berwatak keras ini seketika mengusir utusan-utusan itu dengan jawaban sejelas-jelasnya bahwa mereka menolak pinangan itu.

Para utusan itu lalu pergi dengan ketakutan, akan tetapi Bun Houw dan In Hong melihat betapa wajah murid mereka membayangkan kemarahan dan ketidak senangan hatinya oleh penolakan itu.

"Eng-ji, yang meminangmu itu adalah seorang pemuda yang namanya tersohor jahat dan busuk di kota ini, karena itu kami menolaknya dengan keras," kata In Hong.

"Terserah suhu dan subo," jawab dara itu dengan singkat kemudian meninggalkan kedua gurunya, jelas nampak bahwa dia merasa tidak senang.

Bun Houw menarik napas panjang. "Aihh, untunglah dia bukan adik atau anak kita, kalau demikian halnya, tentu benar-benar mengesalkan hatiku bukan main."

"Betapa pun juga, dia adalah murid kita maka sudah sepatutnya kita jaga agar jangan memperoleh suami yang brengsek," kata In Hong.

Peristiwa penolakan pinangan Aw-kongcu itu agaknya makin merenggangkan hubungan antara kedua orang guru dengan muridnya itu. Atau lebih tepat lagi, Sun Eng kini makin menjauhkan diri, dan kalau berada di hadapan kedua orang gurunya, dia selalu cemberut. Bahkan kini, dia tidak pernah lagi bertanya-tanya tentang ilmu silat kepada mereka, lebih banyak pergi ke tetangga dari pada berlatih silat, setelah selesai membantu subo-nya di dapur.

Bahkan beberapa hari kemudian sepasang pendekar itu melihat perubahan besar pada diri murid mereka. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya banyak melamun. Hal ini mencurigakan hati In Hong dan pendekar wanita ini membisiki kekasihnya bahwa mereka harus lebih memperhatikan Sun Eng.
Selanjutnya,