Panasnya Bunga Mekar Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 09
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KEDATANGAN Mahisa Bungalan memang telah mengejutkan orang tuanya. Terlebih lagi ia datang bersama seorang kakek dan seorang perempuan dan anaknya. Tetapi Mahendra tidak menunjukkan sikap yang masam, ketika ia menyambut tamu-tamunya.

“Mahisa Bungalan” bertanya Mahendra, “aku belum jelas bagaimanakah kedudukan kakek tua itu beserta anak perempuannya. Keteranganmu yang singkat itu menumbuhkan teka-teki padaku”

“Seperti yang aku katakan ayah. Perempuan itu adalah isteri dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri” sahut Mahisa Bungalan.

“Apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan perempuan itu?” bertanya ayahnya.

“Tidak ayah. Sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menolongnya, karena seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi tempat baginya. Ia selalu diburu oleh bayangan maut” jawab Mahisa Bungalan. Dan iapun menceriterakan bagaimana ia membebaskan perempuan itu dari sebuah gubug di hutan tertutup. Bahkan karena itu, ia sudah terpaksa membunuh beberapa orang yang mengawasinya.

“Jadi sekian banyak orang yang digerakkan untuk membunuhnya bersama anaknya? Apakah nilai warisan Pangeran Kuda Padmadata itu sedemikian banyaknya, sehingga sebagian kecil daripadanya cukup untuk mengupah sekian banyak orang”

Mahisa Bungalnn menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan ayahnya itu memang dapat dimengertinya. Sehingga iapun bertanya kepada diri sendiri. Berapa banyak warisan yang mungkin akan ditinggalkan Pangeran itu kelak.

Karena Mahisa Bungalan tidak segera menajwab, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Agaknya kau pun tidak mengerti Mahisa Bungalan. Tetapi baiklah kita anggap bahwa ada pihak yang ingin membunuh perempuan dan anak itu, agar keduanya tidak dapat lagi berbicara tentang warisan” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Adalah satu kenyataan, bahwa perempuan dan anaknya itu kini berada di rumah ini. Katakan Mahisa Bungalan, apakah rencanamu kemudian? Selama ini aku menanti-nanti kapan kau pulang setelah kau puas bertualang. Bukankah kita sudah ditunggu pula untuk datang kepada kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra, menyerahkan tekad pengabdianmu dalam lingkungan keprajuritan”

“Ayah” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “aku ingin menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang sebenarnya telah terladi. Apakah benar bahwa perempuan itu memang isterinya. Jika demikian, maka ia mempunyai seorang anak laki-laki”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya raya. Yang memiliki berpuluh-puluh keping emas, intan, berlian dan jenis-jenis permata yang lain. Aku yang mengenal nilai permata memang dapat membayangkan, betapa banyak harta benda itu. Namun apakah mungkin, bahwa rencana itu juga dilakukan karena harga diri. Keluarga Pangeran Padmadata tidak mau melihat keturunan Pangeran Kuda Padmadata dikotori oleh darah keturunan tataran padukuhan”

Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk. Iapun tidak membantah kemungkinan itu. Sementara itu ayahnya berkata selanjutnya, “Namun bagaimanapun juga usaha pembunuhan itu tidak berbeda. Karena itu, memang sebaiknya Pangeran Kuda Padmadata memberikan penjelasan tentang hal ini. Kecuali jika rencana ini memang sudah diketahuinya pula”

“Ah” desah Mahisa Bungalan, “aku kira ia bukan orang yang demikian bengisnya terhadap anak laki-lakinya. Mungkin ia dapat berbuat demikian terhadap isterinya tetapi terhadap darah dagingnya sendiri?”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jadi kau masih akan melakukan perjalanan ki Kediri?”

“Ya ayah” jawab Mahesa Bungalan.

“Perjalanan yang berbahaya. Siapa tahu, bahwa d Kediri telah menunggu beberapa orang yang sudah memperhitungkan, bahwa kemungkinan seperti yang akan kau lakukan itu akan terjadi”

“Memang mungkin” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi apakah dengan demikian kita tidak mengambil satu sikap apapun?”

“Maksudku bukan begitu. Tetapi kau harus berhati hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “jika kau benar-benar ingin ke Kediri, datanglah kepada pamanmu Mahisa Agn atau pamanmu Witantra. Mereka pernah berada di Kediri untuk satu jabatan tertinggi. Karena itu, mungkin keduanya akan dapat banyak memberikan petunjuk kepadamu, apa yang sebaiknya kau lakukan. Karena tidak mustahil bahwa justru di Kediri terdapat orang-orang yang benar-benar tidak dapat terkalahkan yang melingkari Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin orang-orang yang sedang mengejar perempuan itu sama sekali tidak mengenal jalur induk dari rencana ini. Dan mereka bukanlah orang yang sebenarnya patut diperhitungkan, karena mereka dipilih sekedar untuk membunuh seorang perempuan dan anak-anak”

“Tetapi mereka kini menyadari, bahwa mereka tidak dapat berbuat tanpa perhitungan. Beberapa orang di antara mareka sudah terbunuh” jawab Mahisa Bungalan.

“Ya. Karena itulah maka baik kau yang akan pergi ke Kediri, maupun yang ditinggalkan di sini harus berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan” berkata Mahendra.

“Ya ayah. Aku akan menghubungi paman Mahisa Agni dan paman Witantra sebelum aku pergi ke Kediri” sahut Mahisa Bungalan, “tetapi apakah tidak sebaiknya kita berbicara dengan kakek itu”

“Tidak ada salahnya. Panggillah” berkata Mahendra. Mahisa Bungalan pun kemudian memanggil Ki Wastu untuk ikut berbicara tentang rencana kepergian Mahisa Bungalan ke Kediri.

“Kau tinggal disini saja kek. Mudah-mudahan kalian aman tinggal di rumah ini” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Wastu membungkuk dalam-dalam. Katanya, “Aku mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi apakah dengan demikian, kami tidak akan terlalu banyak mengganggu. Angger Mahisa Bungalan sudah mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan anak dan cucuku tanpa pamrih. Dan sekarang, tidak mustahil bahwa persoalannya akan merambat sampai ke rumah ini, justru karena kami berada di sini”

“Kemungkinan-kemungkinan itu memang dapat terjadi Ki Wastu” berkata Mahendra, “tetapi ini adalah kemungkinan yang paling baik yang dapat kita tempuh bersama. Karena itu, tenangkan hati kalian disini, meskipun kita semuanya memang harus berhati-hati. Biarlah Mahisa Bungalan pergi ke Kediri”

“Ada semacam kecemasan di hati” berkata Ki Wastu, “bukan saja karena kami akan ditinggalkan oleh angger Mahisa Bungalan, tetapi juga perjalanan angger Mahisa Bungalan itu sendiri”

“Mudah-mudahan tidak banyak hambatan di perjalanan” berkata Mahisa Bungalan, “demikian juga, mudah mudahan tidak akan ada sesuatu yang dapat mengancam keselamatan kalian di sini. Selama aku pergi, kalian tinggal bersama ayah dan adik-adikku”

Ki Wastu tidak dapat menolak rencana yang akan dilakukan oleh Mahesa Bungalan, meskipun dengan demikian ia merasa, bahwa Mahisa Bungalan telah terlalu banyak berbuat bagi keluarganya. Selebihnya, ia memang benar-benar merasa cemas, seandainya orang-orang yang tentu masih saja memburu anak dan cucunya itu sampai pula ke rumah yang akan ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan itu. Ia tidak terlalu mencemaskan dirinya sendiri, seandainya ia akan menjadi korban, karena itu memang sudah menjadi beban kewajibannya, bahkan tanggung jawabnya.

Tetapi jika isi rumah itu harus mengalami akibat yang buruk, maka ia tidak akan sampai hati membiarkannya terjadi. Namun agaknya Mahisa Bungalan sudah bertekad bulat. Dihari berikutnya, Mahisa Bungalan sudah akan siap untuk berangkat. Tetapi Mahisa Bungalan akan singgah di Singasari, menjumpai Mahisa Agni dan Witantra untuk mendapat keterangan apakah yang sebaiknya dilakukan di Kediri.

Demikianlah, ketika matahari terbit, Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke Kediri. Ketika ia keluar dari padukuhannya, maka ia tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Ki Wangut yang dengan tergesa-gesa melaporkannya.

“Anak muda itu” berkata pengikut Ki Wangut itu, “ia tentu yang berada di pedati yang kita ikuti. Ialah yang kemudian turun dan berjalan di sisi lembunya untuk beberapa tonggak menjelang akhir dari perjalanan mereka."

“Kemana anak itu?” desis Ki Wangut.

Pengiringnya menggelengkan kepalanya. Namun Ki Tunda Warapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Adalah kebetulan sekali. Dengan demikian, maka kekuatan yang ada di rumah itu telah berkurang. Menilik perlengkapannya, maka anak itu akan menempuh perjalanan jauh atau sekedar pergi ke padukuhan sebelah?” bertanya Ki Tunda Wara kemudian kepada pengikut Ki Wangut yang melihat Mahisa Bungalan meninggalkan padukuhan.

“Ia Berkuda, menilik perlengkapannya, ia tentu menempuh perjalanan yang panjang”

Ki Tunda Wara memandang Ki Wangut dengan tajam. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Saatnya telah tiba”

“Kita ber-siap-siap sekarang” berkata Ki Wangut, “kita tidak akan menunggu lagi. Biarlah kita bertindak di siang hari. Kita tidak ingin menunggu anak muda itu kembali. Yang penting perempuan dan anak itu mati. Kita membawa bukti kematiannya berupa apapun juga kepada orang yang dapat kita percaya. Kecuali jika perempuan itu akan dibiarkan hidup oleh kakang Tunda Wara”

“Anak iblis” berkata Ki Tunda Wara, “itu akan aku tentukan kemudian”

Ki Wangut hanya tersenyum saja. Namun iapun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya bersiap dan sekaligus memanggil kedua pengiring Ki Tunda Wara. Mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul, tidak di halaman banjar tempat Ki Wangut dan Ki Tunda Wara bermalam.

Meskipun demikian, sikap mereka sempat menarik perhatian orang-orang padukuhan itu. Tetapi agaknya Ki Wangut dan Ki Tunda Wara tidak banyak menghiraukannya Jagi. Mereka menganggap bahwa mereka tidak akan banyak mengganggu seandainya mereka mengetahui apa yang akan dilakukannya di halaman rumah Mahisa Bungalan yang sedang pergi itu.

Dari anak-anak muda yang dijumpainya di banjar, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara mengetahui, bahwa di padukuhan itu tidak ada orang yang pantas disegani, kecuali Mahisa Bungalan dan keluarganya. Tetapi Mahisa Bungalan saat itu sedang tidak ada di rumahnya.

“Kita akan menyelesaikan tugas kita dengan cepat” berkata Ki Tunda Wara, “kemudian kitapun dapat meninggalkan padukuhan ini dengan cepat pula setelah tugas kita selesai”

Demikianlah, maka keenam orang itupun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bersama-sama mereka telah mendekati regol halaman rumah Mahendra yang menuju ke Singasari sebelum ia akan langsung ke Kediri.

Dalam pada itu, di rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang merajuk karena mereka tidak diperkenankan mengikuti perjalanan kakaknya ke Kediri. Dengan wajah yang gelap Mahisa Pukat berkata, “Baru kemarin kakang Mahisa Bungalan datang, sekarang kakang Mahisa Bungalan sudah diperkenankan pergi lagi ke Kediri. Tetapi kami berdua masih saja dianggap kanak-kanak yang hanya boleh bermain di halaman”

Mahendra terpaksa tersenyum sambil berkata, “Hanya kanak-kanak sajalah yang merajuk seperti itu”

“Tetapi ayah tidak adil” potong Mahisa Murti, “berilah kesempatan kami untuk mengenal daerah yang akan dapat memberikan pengalaman bagi kami”

“Bukankah kalian sudah sering ikut bersama ayah pergi ke tempat-tempat yang jauh?”

“Tetapi sekedar menjajakan permata dan perhiasan” jawab Mahisa Murti.

Mahendra terpaksa tertawa. Katanya, “Jangan gelisah. Pada saatnya kalian akan melakukan perjalanan seperti kakakmu. Tetapi kali ini kakakmu sedang mengemban tugas kemanusiaan. Karena itu kalian jangan mengganggunya”

“Kami dapat membantunya, bukan mengganggu” sahut Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya, “Benar. Kamu benar. Tetapi biarlah lain kali. Kesempatan masih panjang. Kalian masih terlalu muda untuk ikut melakukan tugas kemanusiaan kali ini”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak membantah lagi, meskipun mereka belum puas mendengar jawaban ayahnya. Sebenarnya bahwa mereka ingin ikut pergi, meskipun hanya sebagai pengiring yang tidak ikut menentukan apapun juga.

Ketika keduanya kemudian keluar ke halaman, Mahisa Pukat berkata, “Kita pergi saja ke kota”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita menghadap paman Mahisa Agni”

“Ya. Untuk apa? Seandainya kita bertemu dengan kakang Mahisa Bungalan, tentu kita akan disuruhnya pulang juga”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, “Asal saja kita pergi untuk melepaskan kecewa. Kita berputar-putar sebentar, kemudian kembali sebelum sore”

Mahisa Murti berpikir sejenak. Lalu katanya, “Kita berjalan kaki saja. He, bukankah kita berjanji untuk menghadap paman Mahisa Agni sambil membawa seekor berkisar? Nah, kita bawa bekisar yang sudah kita siapkan itu”

“Kenapa berjalan kaki?”

“Lebih menyenangkan. Kita memintas lewat jalan-jalan sempit. Singasari tidak jauh. Setelah kita melampaui sendang Gupit, kita segera memasuki gerbang”

“Aku tahu. Kau akan merendam di sendang Gupit” Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kita akan minta ijin ayah. Tentu tidak berkeberatan asal kita berjanji tidak akan mengganggu dan memaksa untuk mengikuti kakang Mahisa Bungalan jika kita bertemu di tempat paman Mahisa Agni”

Tetapi ternyata kedua anak muda itu tidak sempat melakukannya. Ketika mereka akan masuk kembali, untuk menemuhi ayahnya, mereka melihat beberapa orang mendekati regol rumahnya.

“Ada tamu” berkata Mahisa Pukat.

“O, tamunya cukup banyak” sahut Mahisa Murti, “tentu orang-orang yang ingin membeli pusaka. Aneh, kadang-kadang orang-orang menjadi bingung untuk memiliki pusaka yang dianggapnya bertuah. Jika pusaka-pusaka ayah itu semuanya bertuah, sebaiknya tidak usah dijual saja”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Disimpan sendiri. Tuahnya akan melimpah kepada ayah,”

“Tidak selalu sesuai. Karena itu, maka untuk memiliki sebuah pusaka, perlu ditayuh tiga hari atau sepekan”

Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Mereka melihat orang-orang berkuda itu memasuki regol halaman rumahnya tanpa turun dari punggung kuda mereka. Kedua anak muda itu menjadi curiga ketika mereka melihat orang-orang berkuda itu memencar.

“He, apakah yang akan mereka lakukan? Apakah kedatangan mereka ada hubungan dengan kedatangan orang orang yang berpedati bersama kakang Mahisa Bungalan” desis Mahisa Pukat.

“Mungkin sekali” jawab Mahisa Murti, “panggil ayah. Aku akan menemuinya”

“Jangan sendiri. Biarlah aku bersamamu. Jika sudah pasti barulah kita menentukan langkah” jawab Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka kedua anak muda itu tidak beringsut dari tempatnya. Dengan tengadah mereka menatap orang-orang yang berada di halaman rumahnya dengan sikap yang tidak sewajarnya itu.

Ki Wangut dan Ki Tunda Wara memandang kedua anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar. Nampaknya kedua anak muda itu memang memiliki beberapa kelebihan seperti yang pernah didengarnya dari anak-anak yang berada dibanjar.

“Tentu kedua anak muda inilah yang disebut Mahisa Pukat dan Mahisa Murti” berkata Ki Wangut dan Ki Tunda Wara di dalam hatinya.

Sementara itu, Mahisa Pukat yang melangkat maju bertanya., “He, siapakah Ki Sanak yang belum pernah kami kenal, namun yang telah memasuki halaman rumah kami dengan cara yang tidak kami sukai ini?”

Ki Wangut tertawa. Jawabnya, “Anak muda yang berani. Sayang bahwa kau belum mengenal kami. Jika kalian telah mengenal kami, maka kalian tidak akan bersikap demikian”

“Bagaimana sikap kami menurut pendapatmu” tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya.

Pertanyaan itu agak mengejutkan Ki Wangut. Namun iapun kemudian menjawab, “Kalian tentu bersikap lebih baik dan hormat”

“Siapa kalian?” desak Mahisa Pukat.

“Siapapun kami, tidak banyak bedanya bagi kalian, karena kalian memang belum mengenal kami. Tetapi ketahuilah bahwa kami datang dari tempat yang jauh. Kami datang untuk menyusul saudara perempuan kami bersama anak laki-lakinya”

Wajah kedua anak muda itu menegang. Mereka sudah mengetahui serba sedikit tentang perempuan yang datang bersama kakaknya itu. Sehingga karena itu, maka dengan tanpa ragu-ragu Mahisa Pukat berkata, “O, jadi kalianlah yang telah memburunya dan akan membunuhnya”

Wajah orang-orang berkuda itu menegang. Mereka tidak mengira bahwa anak-anak muda itu akan dengan langsung menyebutnya. Tetapi karena mereka tidak akan dapat ingkar lagi, maka Ki Wangut pun berkata, “Ya. Tidak mungkin kami sembunyikan lagi maksud kedatangan kami. tujukkan dimana mereka. Dengan demikian kalian dan penghuni rumah ini yang lain tidak akan mengalami kesulitan apapun juga”

Diluar dugaan orang-orang yang berada di halaman itu, Mahisa Murti menjawab, “Mereka berada di rumah kami. Mereka adalah tamu-tamu kami. Karena itu, mereka berada dibawah perlindungan kami”

Ki Wangut menggeram. Namun kemudian ia memaksa bibirnya untuk tersenyum, “Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Tetapi jangan melibatkan diri dalam persoalan ini. Lebih baik kalian minggir dan memberi jalan kepadaku, masuk ke dalam rumahmu untuk mengambil perempuan dan anak laki-lakinya itu.

Wajah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menjadi merah padam. Dengan suara bergetar Mahisa Murti berkata, “Kalian menganggap kami tikus-tikus kecil yang takut melihat seekor kucing. Kembalilah dan jangan menginjak halaman rumahku sekali lagi”

“Anak iblis. Anak setan” geram Ki Tunda Wara, “kalian jangan terlalu bodoh untuk bersikap demikian terhadap kami berenam. Kami adalah orang-orang liar yang tidak pernah membuat pertimbangan berulang kali. Jika kami masih memberi kesempatan kepada kalian, itu berarti bahwa kami masih belum sampai puncak sikap kami. Karena itu, pergilah. Biarlah kami mengurus perempuan itu”

“Tidak” Mahisa Pukat hampir berteriak, “pergi, sebelum aku bertindak. Rumah ini adalah rumahku. Halaman ini adalah halaman ayahku”

“Setan teriak Tunda Wara, “aku bunuh kau”

Namun dalam pada itu, semua orang yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di pintu seketeng, “Anakmas Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Biarlah aku menemuinya. Agaknya orang-orang itu mencari aku. Sebaiknya aku tidak terlalu mengganggu kalian dan ayah kalian”

Tetapi belum lagi suara itu lenyap getarannya, terdengar jawaban dari pintu pringgitan, “Biarlah anak-anak itu belajar menerima tamu Ki Wastu. Kita yang tua-tua ini sebaiknya menunggu, apakah tamu kita cukup sopan, atau tidak”

Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menggeretakkan giginya. Bahkan salah seorang dari pengiringnya nampak tidak sabar lagi, sehingga berteriak, “Kita bunuh semuanya”

Ki Wangut pun kemudian berkata, “Kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Aku tahu. Orang itu adalah orang tua yang mengikuti perempuan dan anak laki-lakinya yang harus aku bunuh. Sedangkan orang tua yang berdiri di pintu pringgitan itu adalah ayah kedua anak muda ini yang bernama Mahendra, juga. ayah Mahisa Bungalan”

“Tepat” jawab Mahendra yang kemudian melangkah menyeberangi pendapa, “aku adalah ayah kadua anak-anak itu, sedangkan orang tua di seketeng itu adalah Ki Wastu. Ayah dari perempuan yang kalian buru. Sedangkan anakku Mahisa Bungalan saat ini sedang pergi”

“Tidak ada jalan lain” geram Ki Tunda Wara, “kita harus memakai kekerasan. Agaknya orang-orang yang tidak tahu diri ini mencoba untuk memamerkan kemampuannya”

“Sama sekali tidak Ki Sanak” berkata Mahendra, “tidak ada gunanya untuk menyombongkan diri. Jika aku harus bertempur adalah semata-mata karena aku ingin mempertahankan diri, dan berbuat sebaik-baiknya sebagai tuan rumah yang mendapat tamu”

“Persetan” jawab Ki Wangut, “jangan berbicara seperti sedang sesorah. Kita akan bertempur dan saling membunuh”

“Kalian benar-benar ingin membunuh?” bertanya Mahendra kemudian.

“Sudah aku katakan”

“Jika demikian, apa boleh buat. Mungkin kalian akan berhasil, tetapi seisi padukuhan ini tidak akan melepaskan kalian meninggalkan halaman rumah ini” berkata Mahendra.

“Kami akan membunuh seisi padukuhan ini jika mereka mencoba menghalangi kami”

“Jumlah kalian tidak lebih dari enam orang. Sedangkan anak muda di padukuhan ini jumlahnya puluhan”

“Persetan anak iblis” teriak Ki Tunda Wara sambil meloncat turun. “Kita bunuh semuanya”

Ki Wangut dan para pengiringnya pun segera turun dari punggung kudanya. Mereka mengikat kuda mereka pada pohon-pohon perdu seperti mereka hendak bertamu. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat timbul atas diri mereka. Demikian yakin mereka akan kemampuan mereka masing-masing, apalagi di antara mereka terdapat Ki Wangut sendiri dan Ki Tunda Wara.

“Meskipun orang tua yang disebut ayah itu mampu membunuh dua orang sekaligus, namun yang dihadapinya adalah kelinci-kelinci dungu yang tidak mampu berbuat sesuatu yang berarti dengan senjata mereka” berkata salah saorang pengiring itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir meloncat maju, ayahnya berkata, “Anak-anak ambillah senjata panjang kalian. Jangan tergesa-gesa. Nampaknya orang-orang itu bukan orang-orang yang dapat berpikir panjang”

“Gila” teriak salah seorang pengiring Ki Wangut.

Namun Mahendra pun kemudian berkata, “Beri kesempatan kedua anak-anakku mengambil senjata panjangnya. Kalian akan dihadapkan pada kemampuan mereka sepenuhnya”

“Beri anak-anak itu kesempatan” teriak Ki Tunda Wara.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun meloncat naik ke pendapa dan berlari masuk ke ruang dalam. Mereka yang semula sudah bersiap untuk bertempur dengan keris, atas nasehat ayahnya, maka mereka pun telah mengambil pedang mereka.

“Kau bawa pedang rangkap?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sudah menguasai permainan pedang rangkap”

“Aku akan membawa canggah” desis Mahisa Murti.

“Jangan mencoba-coba. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang garang. Pergunakan yang paling baik menurut pendapatmu”

Mahisa Murti barpikir sejenak. Kemudian disambarnya sepasang pedangnya sambil berkata, “Akupun mempercayakan diri pada ilmu pedang rangkap”

Ketika mereka menghambur kembali ke halaman, mereka melihat orang-orang yang memasuki halaman mereka, telah berdiri dalam dua lingkaran. Yang sekelompok mendekati Ki Wastu yang telah keluar dari seketeng, sementara yang sekelompok lagi berada di sekitar Mahendra.

Sejenak Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia kurang memahami kemampuan orang tua yang berdiri di luar seketeng itu. Jika ia memerintahkan salah seorang anaknya bertempur bersamanya, tetapi keadaannya akan sangat menyulitkan anaknya, maka ia tentu tidak akan dapat membiarkannya.

Namun demikian, tidak ada jalan lain kecuali mencobanya. Karena itu, maka katanya, “Salah seorang dari kalian, bertempurlah bersama Ki Wastu. Dengan demikian, dia tidak harus menghadapi tiga orang sekaligus”

Sejenak kedua anak muda itu ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat lah yang meloncat mendekati Ki Wastu sambil berteriak, “Aku berada di sini Ki Wastu”

Ki Wastu lah yang menjadi berdebar-debar. Ia yakin anak itu tentu belum memiliki kemampuan seperti Mahisa Bunalan. Karena itu, maka ia pun justru memikirkan kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan anak itu.

“Jangan banyak bicara lagi” geram Ki Wangut yang langsung menghadapi Ki Wastu, “aku sudah siap membunuhmu jika kau berkeras untuk melindungi anak perempuan dan cucumu”

Ki Wastu tidak menjawab lagi. Ia sudah siap dengan pedang dan perisainya. Pedangnya yang khusus memang memberikan kesan tersendiri pula kepada lawannya. Namun Ki Wangut benar-benar ingin menyelesaikan persoalan itu dengan segera. Karena itu, maka iapun segera melangkah mendekati lawannya, sementara kedua pengiringnya bersiap-siap menghadapi Mahisa Pukat.

Dalam pada itu. Ki Tunda Wara telah bersiap pula. Namun m masih mencoba memperingatkan Mahendra. Katanya, “Apakah kau benar-benar berkeras untuk membantunya?”

“Ya” jawab Mahendra.

“Jangan menyesal. Aku adalah pembantai yang paling buruk yang pernah ada. Aku membunuh tanpa seujung rambutpun yang tergetar. Aku terbiasa melakukan apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tetapi aku kadang-kadang mengurungkan niatku sebelum aku mulai, jika korbanku mendengarkan nasehatku”

“Apa nasehatmu bagiku sekarang?” bertanya Mahendra.

“Pergilah dan bawa anak-anakmu menyingkir”

Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya membuat Ki Tunda Wara semakin marah. Katanya, “Sayang Ki sanak. Aku tidak dapat menerima nasehat itu. Malahan sebaiknya, kau saja mengurungkan niatmu. Biarlah perempuan dan anaknya itu kembali kepada suaminya dengan damai. Kenapa kalian harus berjuang untuk membunuhnya hanya karana kalian akan menerima upah. Apakah harga jiwa seseorang dapat dinilai dengan keping-keping uang? He, Ki Sanak. Menurut pendengaranku, sudah sekian banyak kawan-kawanmu yang mati. Apakah harga nyawa kawan-kawanmu itu sesuai dengan upah yang dijanjikan”

“Persetan” geram Ki Tunda Wara, “persoalannya tidak lagi jumlah upah dan banyaknya kematian. Ada atau tidak ada, dendam sudah membara. Persoalannya kini justru karena kami ingin menuntut balas atas kematian kawan-kawanku, dengan tidak mengabaikan upah yang bakal kami terima. Tetapi bagiku, pembunuhan yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan benar-benar sangat menyakitkan hati”

“Dan sekarang kau datang karena Mahisa Bungalan tidak ada di rumah” desis Mahendra.

“Diamlah anak iblis” teriak Ki Tunda Wara, “kita akan mulai bertempur”

Mahendra kemudian mempersiapkan diri. Ia juga membawa sebilah pedang. Dengan hati-hati ia memperhatikan setiap gerak dan sikap. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, iapun segera dapat mengetahui, bahwa lawannya memang bukan orang kebanyakan. Demikian pula Ki Tunda Wara. Ia segera mengetahui, bahwa Mahendra adalah seorang yang pilih tanding.

“Gila” geramnya di dalam hati, “orang ini agaknya tidak kalah dari anaknya yang dikatakan memiliki kemampuan yang luar biasa itu. Kita memang bodoh. Sebaiknya, pedati itu kita hentikan di jalan saat kita dapat menyusulnya”

Tetapi Ki Tunda Wara pun menyadari, bahwa mereka baru dapat menyusul pedati itu dekat padukuhan Mahisa Bungalan, sehingga jika ia bertempur saat itu, kemungkinan hadirnya ayah dan adik-adik Mahisa Bungalanpun sangat besar pula.

Sejenak kemudian, maka Ki Tunda Warapun mulai menggerakkan senjatanya. Sementara kedua pengiringnya telah memencar. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti yang bertempur bersama ayahnya tidak memisahkan dirinya.

Di bagian lain, Mahisa Pukat benar-benar harus melawan dua orang yang diperintahkan oleh Ki Wangut untuk secepatnya membunuh anak muda itu. Ia sendiri akan menghadapi Ki Wastu yang sudah bersiap pula menghadapinya.

Namun dalam pada itu, berbeda dengan Ki Wastu yang cemas dan gelisah karena Mahisa Pukat yang harus berhadapan dengan dua orang lawan, maka anak muda itu sendiri menjadi gembira. Darahnya yang panas seolah-olah telah merambat di seluruh tubuhnya, sehingga iapun justru mulai menggetarkan sepasang pedang rangkapnya.

Sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera menyala di halaman rumah itu. Beberapa orang yang melihat ketegangan itupun telah berlari-lari menyingkir. Namun ada beberapa orang anak-anak muda yang memberanikan diri untuk menyaksikannya.

Meskipun mula-mula mereka melihat pertempuran itu sambil bersembunyi, namun akhirnya satu dua diantara mereka telah berusaha menjadi semakin dekat. Ada di antara mereka yang memanjat sebatang pohon di luar dinding halaman, dan ada pula yang menjenguk di regol halaman.

Ki Wangut yang melihat mereka pula telah berteriak lantang, “Siapa yang berani memasuki halaman, mereka akan dibantai pula disini bersama seisi rumah ini”

Karena itu, maka tidak seorang pun yang segera berani memasuki halaman rumah itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa tidak memiliki bekal kemampuan yang cukup untuk memasuki arena perkelahian yang membingungkan itu.

“Dua orang itu adalah orang-orang yang tidur di banjar semalam” desis salah seorang dari anak-anak muda itu.

“Ya. Itulah agaknya mereka berbicara melingkari keluarga Mahisa Bungalan” sahut yang lain, “agaknya mereka mempunyai maksud yang kurang baik”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Yang terjadi di halaman itu adalah pertempuran yang semakin sengit. Ternyata Mahendra bertempur dengan sangat berhati-hati. Ia sama sekali tidak menunjukkan puncak kemampuannya. Ia mulai dengan tataran yang paling kecil untuk menjajagi ilmu lawannya, meskipun untuk beberapa saat ia harus terdesak bersama Mahisa Murti yang bertempur berpasangan bersamanya.

Yang terjadi itu telah membuat Ki Wastu menjadi semakin gelisah, ia merasa bersalah, jika keluarga Mahendra itu mengalami kesulitan karena kehadirannya. Sekilas terpercik penyesalan di hatinya, bahwa ia bersedia mengikuti Mahisa Bungalan ke Singasari, yang ternyata rumah itu terletak beberapa ratus tonggak dari kota yang sebenarnya. Meskipun tidak jauh, tetapi masih tetap ada jarak antara padukuhan itu dengan Kota Raja. Apalagi ketika ia melihat Mahendra agak terdesak, sementara Mahisa Pukat yang lincah itu hampir terkurung oleh kedua lawannya.

“Aku harus segera mengakhiri pertempuran ini agar aku dapat berbuat sesuatu bagi mereka” berkata Ki Wastu di dalam hatinya.

Tetapi yang dihadapinya kemudian adalah Ki Wangut. Ia adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui setiap pengikutnya. Juga para pengikutnya yang telah terbunuh. Karena itu, maka Ki Wastu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan kadang-kadang Ki Wastu sendiri harus meloncat surut, apabila serangan lawannya datang bagaikan badai di musim ke sembilan.

Dalam pada itu. Mahisa Pukat bertempur dengan lincahnya. Ia merasa mendapat kesempatan untuk mengetahui takaran kemampuannya. Namun semakin lama, wajahnya yang cerah menjadi semakin tegang. Ternyata kedua lawannya adalah lawan yang sangat berbahaya. Serangan-serangan mereka benar-benar serangan yang dapat menyobek tubuhnya dan bahkan memungut nyawanya.

“Gila” geram Mahisa Pukat, “aku kira mereka adalah bahan permainan yang mengasikkan”

Namun ternyata bahwa peluh mulai mengalir di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, terngiang peringatan ayahnya yang berulang kali didengarnya, “Jangan menganggap lawan-lawanmu lebih rendah dari kemampuanmu”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Ia telah salah hitung terhadap kedua lawannya. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat lah orang yang pertama-tama telah terdesak. Hanya karena kecepatannya bergerak, maka ia masih mampu membebaskan curinya dari serangan-serangan lawannya. Pedang rangkapnya dapat menjadi perisai yang rapat, selain kakinya yang lincah berloncatan seperti burung sikatan.

Tetapi ia tidak akan dapat berbuat demikian seterusnya. Semakin lama tenaganya tentu menjadi semakin susut. Jika ia sudah kehabisan tenaga, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk melepaskan diri dari kedua orang yang menjadi buas dan liar itu.

Ki Wastu yang melihat kelemahan Mahisa Pukat menjadi semakin cemas. Iapun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya agar ia dapat segera melumpuhkan lawannya. Ternyata Ki Wastu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang mapan. Perlahan-lahan ternyata bahwa Ki Wangut telah salah pula menilai lawan Ia menganggap bawa ia akan dapat mengimbangi kemampuan orang tua itu. Kemudian membunuh anak dan cucunya. Meskipun demikian ia telah membunuh dua orang pengikut pula untuk meyakinkan bahwa usahanya tidak akan gagal lagi. Namun ternyata ia telah memasuki sebuah rumah yang dihuni oleh seorang tua dan dua orang anak muda yang berani.

“Tetapi mereka akan segera diselesaikan” gumam Ki Wangut yang merasa terdesak oleh lawannya.

Meskipun demikian, kesempatan bagi kedua orang yang bertempur itu masih belum berselisih banyak. Ki Wangut kadang-kadang masih juga mampu mengejutkan lawannya dan mendesaknya. Bahkan serangan-serangannya masih merupakan serangan-serangan yang gawat bagi lawannya. Sementara dua Orang pengikutnya benar-benar telah berhasil mendesak Mahisa Pukat yang bersenjata pedang rangkap.

Dalam pada itu, Mahendra yang bertempur melawan Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya ketika ia melihat keadaan Mahisa Pukat. Sejenak ia memperlihatkan keadaannya sambil melayani lawannya bersama Mahisa Murti.

“Berbahaya baginya” berkata Mahendra di dalam hatinya. Namun demikian, ia berdua berhadapan dengan tiga orang yang bertempur bersama-sama dengan garangnya.

Namun dengan demikian, Mahendra telah didorong untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Ia tidak akan dapat membiarkan anaknya menjadi Korban dalam persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut langsung dengannya. Karena itu, maka Mahendrapun mulai memperhitung kan benar-benar medan yang dihadapinya. Perlahan-lahan tetapi pasti, ia meningkatkan ilmunya untuk menghadapi lawannya.

Ki Wastu pun ternyata menjadi semakin gelisah pula melihat keadaan Mahisa Pukat. Agaknya anak itu benar-benar berada dalam bahaya. Dua orang yang bertempur melawannya, telah bertempur dengan kasar dan liar. Mereka tidak menghiraukan apapun lagi, selain membunuh lawannya yang masih sangat muda itu dengan segera.

Dengan sepenuh kemampuannya, maka Ki Wastu pun berusaha menguasai lawannya. Ia telah bertempur dengan garangnya pula. Senjatanya berputar seperti baling-baling, sementara perisainya dengan rapatnya telah melindungi dirinya dari setiap serangan lawannya.

Namun demikian, ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Ki Wastu pun telah bertempur dengan sepenuh kamampuan dan tenaga. Meskipun ia merasa, bahwa lawannya memiliki sedikit kelebihan, tetapi ia masih mempunyai harapan untuk dapat bertahan lebih lama lagi. Jika sekiranya ia tidak mungkin mengalahkan lawannya, namun ia akan dapat memperpanjang waktu sehingga Mahisa Pukat dapat dikalahkan oleh kedua orang lawannya.

“Jika seorang saja dari mereka terbunuh, maka mereka tentu akan merasa ngeri” berkata Ki Wangut di dalam hatinya.

Sebenarnyalah keadaan Mahisa Pukat telah benar-benar berbahaya. Sementara Mahendra masih harus berjuang untuk mengalahkan lawannya. Namun yang karena hadirnya Mahisa Murti di arena itu, maka iapun sebagian justru merasa harus melindunginya, sehingga ia tidak dapat bertempur sesuai dengan perhitungannya sendiri. Karena itu, mengingat keadaan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja Mahendra telah berteriak, “Mahisa Murti, kawanilah Mahisa Pukat agar ia tidak bertempur sendiri”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia melenting dari arena, untuk memenuhi perintah ayahnya. Dalam pada itu, Ki Tunda Wara yang mengetahui perhitungan Mahendra berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ternyata Mahendra telah menyerangnya dengan dahsyatnya, sehingga ia tidak dapat berbuat lain, kecuali melepaskan Mahisa Murti meninggalkan arena pertempuran itu, untuk menyatukan diri dengan Mahisa Pukat.

“Aku ikut bermain bersamamu” teriak Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia mengalami banyak kesulitan untuk melawan kedua orang itu. Agaknya ayahnya dapat melihatnya, sehingga diperintahkannya Mahisa Murti untuk membantunya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun merasa, bahwa ia akan mendapat kesempatan lebih banyak dalam pertempuran seorang melawan seorang.

Sepeninggal Mahisa Murti, maka Ki Tunda Wara pun berteriak, “Orang dungu. Agaknya kaulah yang ingin mati lebih dahulu. Tidak ada bedanya, siapapun yang akan mati paling cepat. Yang berada di halaman ini, dan perempuan serta anak laki-lakinya yang bersembunyi di dalam”

Mahendra tidak menghiraukannya. Dengan hati-hati ia memperhatikan ketiga lawannya yang kemudian mengepungnya. “Yang seorang ini memiliki ilmu yang paling tinggi dari antara kedua orang kawannya” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Ki Wastu pun melihat perubahan tata perkelahian yang terjadi di halaman itu. Mahisa Pukat telah berdiri berhadapan hanya dengan seorang lawan, sedangkan yang seorang kemudian terpaksa melawan Mahisa Murti yang telah memasuki arena itu pula. Namun dalam pada itu, Ki Wastu mulai mencemaskan nasib Mahendra. Ia harus melawan tiga orang bersama-sama. Apalagi seorang dari antara mereka, agaknya memiliki kemampuan yang tinggi.

“Seandainya ayah Mahisa Bungalan ini memiliki kemampuan seperti anaknya, ia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi tiga orang itu sekaligus. Apalagi jika kemampuannya tidak setingkat dengan anaknya”

Seperti setiap orang pendatang yang terlibat di dalam pertempuran itu, maka Ki Tunda Wara pun tidak mengetahui kemampuan lawannya yang sebenarnya. Ia sama sekali tidak mengerti, bahwa Mahendra adalah seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan orang yang paling disegani di istana Singasari, Mahisa Agni dan Witantra. Meskipun ada kekurangan-keurangan kecil padanya dibanding dengan keduanya, namun Mahendra adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

Karena ia harus berhadapan dengan tiga orang sekaligus, maka akhirnya Mahendra tidak dapat lagi sekedar mengimbangi lawannya dengan mengendalikan ilmunya selapis demi selapis. Bagaimanapun juga Ki Tunda Wara adalah seorang yang pilih tanding. Bersama dengan dua orang kepercayaannya, maka mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.

Dengan demikian, maka akhirnya Mahendra tidak dapat berbuat lain. Ia harus bertempur sebaik-baiknya untuk mempertahankan diri dari ketiga orang yang garang dan buas itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya Mahendra tidak dapat terlalu banyak mengendalikan dirinya. Ketika ia justru merasa terdesak, maka Mahendra pun segera sampai ke puncak ilmunya yang ngedap-ngedap.

Perlahan-lahan kemampuan Mahendra semakin meningkat, sehingga bagaikan badai yang bertiup dari lautan. Semakin lama semakin dahsyat, mendorong gelombang yang semakin garang menghantam pantai. Dengan demikian, maka Ki Tunda Warapun menjadi semakin heran menghadapi lawanya. Meskipun anaknya yang seorang telah meninggalkan arena itu. namun ternyata bahwa Mahendra mampu mengimbangi ketiga orang lawannya.

“Anak iblis” geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya, “apakah dengan demikian, aku sudah terjebak? Jika orang ini adalah langsung menjadi guru anaknya yang bernama Mahisa Bungalan, yang telah membunuh sekian banyak orang, maka aku akan mengalami kesulitan”

Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Ki Tunda Wara pun yakin, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Ki Wangut, maka iapun telah melakukan kesalahan. Ternyata bahwa ia telah terjebak ke dalam rumah Mahendra yang memiliki kemampuan tiada bandingnya.

“Anak-anak di banjar itupun gila” geramnya, “ia tidak memberitahukan dengan lengkap keadaan rumah ini. Atau memang mereka tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari orang tua gila ini”

Sementara itu, maka orang-orang yang mengerumuni halaman itupun menjadi semakin banyak. Anak-anak muda yang bersenjata di tangan telah mengepung halaman itu. Namun mereka menjadi ragu-ragu untuk memasukinya. Apalagi ketika mereka melihat pertempuran yang bagi mereka sangat membingunkan.

Dalam pada itu, Ki Wastu yang bertempur melawan Ki Wangut semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun Ki Wastu memiliki kelebihan, namun kekasaran Ki Wangut seakan-akan telah mengimbangi kelebihan itu. Bahkan kadang-kadang Ki Wastu harus melangkah surut. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, karena Ki Wangut yang memekakkan telinga. Kemudian dengan garang, buas dan liar Ki Wangut menyerangnya

Tetapi Ki Wastu cukup tangkas. Senjatanya yang garang dan perisai kecilnya, membuat lawannya kadang-kadang kehilangan kesempatan. Bahkan dengan kecepatan yang mengagumkan, Ki Wastu kadang-kadang dapat mendesak lawannya beberapa langkah surut. Namun dengan loncatan-loncatan panjang, Ki Wangut masih selalu sempat menghindarkan diri.

“Orang tua ini memang gila” katanya di dalam hati. Namun ketika sekali-sekali ia sempat berpaling kearah Ki Tunda Wara yang bertempur bertiga melawan Mahendra, maka ia mengumpat tidak habis-habisnya. Tentu mahendra bukan orang yang sekedar memiliki kemampuan setingkat Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak mengalami kesulitan. Ia perlahan-lahan tetapi pasti dapat menguasai lawan masing-masing. Namun merekapun sadar, bahwa ayah mereka harus bertempur melawan tiga orang sekaligus, sehingga kadang-kadang terbersit pula kecemasan di hati tentang nasib ayahnya.

Karena itulah, maka kedua anak muda itu telah bertempur dengan segenap kemampuan. Mereka berusaha untuk semakin cepat mengakhiri pertempuran itu, agar dengan demikian, mereka dapat segera membantu ayahnya. Karena itulah, maka kedua lawannya pun segera menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian, karena kegarangan mereka serta pengalaman yang pernah mereka dapat dari kehidupan mereka yang gelap, maka kadang-kadang merekapun masih mampu membalas serangan lawan-lawan mereka dengan serangan yang berbahaya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang selalu berada dibawah bimbingan dan pengawasan ayahnya, ternyata tetap manyadari keadaan mereka. Betapapun juga. Mereka, tidak boleh mengabaikan kemampuan lawan. Karena demikian, ia sudah membuat kesalahan yang pertama sebelum akan segera disusul oleh kesalahan-kesalahan lain.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun telah bertempur dengan sungguh-sungguh. Dengan hati-hati, dan penuh kewaspadaan. Namun di dalam lubuk hati mereka, terbesit pula kegembiraan bahwa mereka mendapat kesempatan untuk menilai kemampuan mereka tidak hanya dalam latihan-latihan saja.

Dalam pada itu, lawan-lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata kedua lawan mereka kakak beradik itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang mengagumkan.

Sebenarnya bahwa kedua anak muda itu dengan tekun dan sungguh-sungguh telah melatih dirinya di bawah bimbingan ayah mereka sendiri. Seperti juga Mahisa Bungalan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menguasai sebagian besar dari dasar-dasar ilmu yang diturunkan oleh ayahnya. Karena itulah, maka ketika mereka dihadapkan kepada dua orang pengikut Ki Wangut, maka mereka segera mampu menyesuaikan diri.

Hanya karena mereka masih belum cukup berpengalaman, maka berhadapan dengan lawan mereka yang garang, maka harus mengerahkan segenap kemampuan serta ilmu yang ada pada mereka untuk mengimbanginya.

Sementara kedua anak muda itu bertempur dengan kedua lawannya, yang semakin lama menjadi semakin sengit, maka Mahendra pun bertempur semakin dashayat pula. Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara bersama kedua orang pengiringnya, merupakan lawan yang harus diperhitungkan dengan mungsuh-mungsuh. Diantara kegarangan dan keganasan Ki Tunda Wara, maka kedua pengiringnya telah menyerang mereka dengan buas dan liar. Tidak ada sesuatu yang mengekang mereka untuk melakukan apa saja, dan dengan cara yan bagaimanapun juga.

Tetapi Mahendra adalah seorang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi, tetapi iapun memiliki pengalaman yang seolah-olah tidak ada batasnya. Ia pernah bertempur melawan berjenis-jenis ilmu. Yang garang, yang kasar dan yang liar sekalipun seperti yang dihadapinya saat itu. Namun Ki Tunda Wara agaknya bukan seseorang yang sekedar menakut-nakutinya. Ia adalah seorang yang jarang melepaskan lawannya untuk tetap hidup.

Namun yang kemudian tumbuh di hati Ki Tunda Wara adalah sebuah umpatan yang menyakiti jantungnya sendiri. Ia merasa kurang cermat menilai keadaan. Betapapun juga ia berhati-hati, tetapi ia telah terjerumus seperti orang-orang yang melakukan kewajiban serupa sebelumnya

“Ternyata aku tidak lebih baik dari orang-orang Wangut yang telah terbunuh” geramnya di dalam hati.

Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi semakin bergejolak di dalam hati. Selagi masih terbuka kesempatan, maka ia harus mengatasi kesulitan itu. Ia masih bertempur dengan dua orang kepercayaannya, melawan seorang tua yang seolah-olah telah mewakili anaknya yang bernama Mahisa Bungalan itu.

“Dua anak muda itu juga telah sangat mengganggu” geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya.

Dengan penuh dendam dan kebencian, maka Ki Tunda Warapun telah bertempur semakin garang. Dengan hentakkan-hentakkan yang keras dan umpatan-umpatan kasar, ia memerintahkan kepada dua orang pengikutnya untuk bertempur semakin keras.

Mahendra menyadari kedudukannya Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan kemudian, Mahendra pun menjadi marah ketika orang-orang yang bertempur melawannya itu menjadi semakin buas

Ketika kedua orang pengikut Ki Tunda Wara itu menyerangnya bersama-sama, maka Mahendra sempat melompat menghindar. Namun sekejab kemudian, Ki Tunda Wara pun dengan garangnya telah melontarkan senjatanya yang tersembunyi. Orang itu membawa sejenis senjata beracun yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.

Tetapi Mahendra segera mengenal senjata semacan itu. Ia pernah mengalami serangan-serangan serupa dan orang-orang lain yang pernah bertempur melawannya. Sebenarnya bahwa senjata itu memang sangat berbahaya. Karena itu, maka Mahendra telah benar-benar dihadapkan kepada perlawanan yang telah mengancam jiwanya.

karena itulah, maka Mahendra pun harus bertempur dengan segenap kemampuannya uniuk segera melumpuhkan lawannya. Dengan demikian maka perlawanan Mahendra meningkat semakin garang. Bukan saja ia bergerak semakin cepat, tetapi, kekuatannya pun bagaikan menjadi berlipat.

“Anak setan” geram Ki Tunda Wara, “kekuatan dan ilmu apakah yang telah merasuki orang ini”

Sementara itu, Ki Wastu pun telah berhasil mendesak Ki Wangut yang bertempur seorang melawan seorang. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ki Wangut kemudian melawan kecepatan bergerak Ki Wastu. Perlahan-lahan Ki Wastu telah mendorong Ki Wangut semakin surut.

Dengan garangnya, pedang Ki Wastu berputaran ujungnya seperti seekor lalat yang setiap saat dapat hinggap di bagian ubuh Ki Wangut yang manapun yang dikehendaki. Sementara perisainya yang kecil itu rasa-rasanya dapat mekar melindungi seluruh tubuhnya. Tidak ada seujung duripun yang dapat disusupi senjata lawan yang berusaha dengan segenap kemampuannya.

Sejenak kemudian Ki Wangut pun telah menjadi semakin gelisah iapun merasa terjebak karena kebodohan dan keangkuhannya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak ada di rumahnya, ternyata di rumah itu ada tiga orang yang dapat menggantikannya. Bahkan ayah Mahisa Bungalan itu ternyata memiliki kemampuan jauh lebih besar dari yang diduganya.

Tetapi Ki Wangut tidak ingin menyerah begitu saja. Dengan segenap kemampuannya ia telah menghentakkan senjatanya. Selangkah ia mendesak maju. Namun dalam pada itu, ia terkejut ketika terdengar teriakan ngeri di bagian lain dari pertempuran itu.

Ketika ia sempat berpaling maka dilihatnya seorang lawan Mahendra telah terluka. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun kemudian ia telah terjatuh bersandar sebatang pohon perdu. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian, tubuhnya telah roboh di tanah.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Dengan suara serak ia berkata, “Bukan maksudku untuk membunuhnya. Tetapi kau yang memaksa aku untuk membela diri. Jika kalian menghentikan serangan kalian, Maka kita masih sempat berbicara.

“Persetan” teriak Ki Tunda Wara yang telah kehilangan seorang pengiringnya yang terbaik, “Kau harus mati anak iblis. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kematiannya. Ia justru telah mengganggu pemusatan kemampuanku”

“Jangan membohongi diri sendiri” jawab Mahendra sambil bertempur, “pertimbangkan baik-baik”

Ki Tunda Wara tidak menyahut tetapi justru ia menyerang semakin garang.

“Ki Sanak” berkata Mahendra, “kau telah memaksa aku untuk membunuh lagi. Kawanmu, dan jika kau tetap keras kepala, maka kau sendiripun akan mati. kecuali siapa yang tersedia dengan suka rela meninggalkan arena”

Tidak ada jawaban. Justru Ki Tunda Wara telah berteriak nyaring sambil menyerang Mahendra. Tetapi Mahendra telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia telah berhasil mengurangi seorang lawannya, sehingga kedudukannya telah menjadi semakin baik.

Orang-orang yang menyaksikan di luar dinding halaman menjadi semakin tegang. Tetapi bahwa Mahendra telah berhasil mengurangi lawannya, telah membuat mereka menjadi sedikit tenang. Apalagi ketika mereka kemudian melihat, Mahendra menjadi semakin mendesak lawannya. Yang tidak kalah menarik bagi anak-anak muda, adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Kawan mereka bermain sehari-hari. Namun anak-anak muda itu menjadi heran melihat kemampuan kakak beradik itu.

Ternyata bahwa pertempuran itu tidak akan berlangsung terlalu lama lagi. Ki Wastu telah benar-benar menguasai lawannya. Ki Wangut yang bertempur dengan garangnya, perlahan-lahan tenaganya menjadi susut. Sementara Ki Wastu yang tua itu. seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh pertempuran yang sudah berlangsung beberapa saat itu. Ki Wastu ternyata memiliki ketahanan yang sangat mengagumkan, sedangkan Ki Wangut yang seakan-akan, telah memeras segenap kemampuannya itu, mulai diganggu oleh nafasnya yang bagaikan saling memburu.

Tetapi Ki Wangut tidak dapat berbuat lain. Meskipun ia menyadari, bahwa ia harus mengatur kekuatannya agar ia tidak kehabisan tenaga. Tetapi melawan Ki Wastu tidak ada yang dapat dilakukannya, kecuali mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya. Jika ia tidak berbuat demikian, maka kematiannya tentu akan datang semakin cepat. Namun ternyata bahwa kematian itu lambat laun semakin terbayang pula di rongga matanya. Ia merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan orang tua itu. Orang yang telah mampu membunuh dua orang pengikutnya sekaligus.

“Anak-anak setan itulah yang telah mengganggu" geramnya. Kehadiran Mahisa Pukat dan Mahisa Murti benar benar telah menggagalkan usahanya. Tanpa keduanya, maka ia akan bertempur bertiga bersama dua orang pengiringnya melawan orang tua itu, yang ternyata ia tidak mampu menghadapinya sendiri. Terlintas maksudnya untuk melarikan diri. Namun itupun akan sia-sia, Di seputar halaman rumah itu telah penuh dengan anak-anak muda.

Namun sejenak komudian, Ki Wangut itupun telah dikejutkan lagi oleh suara orang teriakan. Ternyata seorang lagi lawan Mahendra telah terlempar jatuh. Bahkan demikian kerasnya, sehingga ia telah terbanting membentur dinding.

Agaknya Mahendra telah mempergunakan kakinya untuk menghatam lawannya. Ia masih berharap bahwa ia akan dapat menangkap mereka hidup-hidup untuk mendengar keterangannya. Karena itu, maka ia telah menyerang orang itu dengan hentakkan kaki tepat pada lambungnya. Tetapi ia tidak tahu pasti, apakah orang itu masih dapat bertahan untuk hidup justru karena kepalanya membentur dinding halaman, sehingga memungkinkannya menjadi cidera karenanya, atau justru telah terbunuh.

Namun dengan demikian, maka lawan Mahendra telah berkurang sehingga tinggal seorang saja. Seorang yang memiliki kemampuan paling tinggi di antara ketiga orang lawannya. Tetapi, ternyata bahwa orang itu tidak akan mampu mengimbangi kemampuan Mahendra.

Seperti Ki Wangut, maka Ki Tunda Wara seolah-olah telah dapat melihat akhir dari pertempuran itu. Seolah-olah ia telah dapat melihat dirinya sendiri, mati terkapar di halaman itu dengan luka yang menganga di dadanya. Tetapi ia tidak akan dapat melepaskan diri dari akibat seperti yang sudah terbayang itu. Ia tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia telah terjerat olah nafsu yang menyala pada adik seperguruannya untuk mendapatkan harta benda yang melimpah. Namun yang akhirnya telah menyeretnya ke dalam bayangan yang sangat kelam.

Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tunda Wara justru telah bertekad untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Karena itu. maka Ki Tunda Wara itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia telah membangunkan ilmu puncaknya untuk menghancurkan kekuatan Mahendra. Namun ia menjadi sangat kecewa. Mahendra sama sekali tidak dapat dilawannya. Apapun yang dilakukannya, seolah-olah tidak berarti apa-apa buat lawannya. Bahkan, darahnya bagaikan mendidih ketika ia mendengar Mahendra berkata,

“Menyerahlah Ki Sanak. Apakah kita masih dapat berbicara”

“Anak iblis” geram Ki Tunda Wara. Dengan loncatan yang garang ia telah menghentakkan segenap ilmunya menghantam Mahendra.

Tetapi usahanya itu sama sekali tidak berarti. Mahendra yang masih belum sampai ke ilmu puncaknya, ternyata masih mampu bertahan, meskipun ia harus bergeser beberapa langkah surut. Tetapi Ki Tunda Wara pun menyadari, bahwa lawannya masih belum bersungguh-sungguh ingin membunuhnya. Mahendra masih lebih banyak menghindar, menangkis dan sekali-kali membenturkan senjatanya.

Tetapi masih juga terdengar Mahendra berkata, “Apakah kau benar-benar telah kehilangan akal?”

Ki Tunda Wara tidak menyahut. Ia benar-benar tidak ingin menyerah. Apapun yang terjadi atas dirinya. Namun dalam pada itu, Ki Tunda Wara harus melihat kenyataan yang sangat pahit. Sejenak kemudian, ia melihat Ki Wangut terdesak tanpa dapat berbuat sesuatu lagi. Ki Tunda Wara melihat, betapa senjata Ki Wastu menghujam di dada adik seperguruannya.

Namun tidak terdapat jerit dan sesambal. Yang terdengar justru umpatan kasar. Tetapi umpatan itu segera terputus, ketika orang itu terjatuh di tanah. Ki Wangut masih sempat menggeliat. Namun sejenak kemudian maka nafasnyapun telah lenyap dari rongga dadanya.

Dalam pada itu, Ki Tunda Wara tidak dapat melihat arti dari perjuangannya selanjutnya. Adik seperguruannya yang dibakar oleh nafsunya untuk memburu harta benda, ternyata telah mengorbankan nyawanya. Karena itu, ketika Ki Wangut benar-benar telah tidak dapat bernafas lagi, maka Ki Tunda Warapun melompat mengambil jarak dari lawannya sambil berkata, “Aku tidak akan melawan lagi”

Ki Tunda Wara menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahendra menahan senjatanya. Bahkan kemudian ia tidak memburunya dengan senjata teracu.

“Kau menyerah?” bertanya Mahendra.

“Bukan menyerah. Tetapi aku urungkan niatku untuk bertempur lebih lama lagi, karena adik seperguruanku telah terbunuh. Yang aku lakukan adalah membela Wangut dalam perjuangannya. Tetapi ia sudah mati”

“Pengecut” tiba-tiba saja terdengar dua orang yang masih bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengumpat hampir bersamaan.

“Tutup mulutmu” teriak Ki Tunda Wara, “lurahmu sudah mati. Apa lagi yang dapat kalian lakukan?”

“Kami akan berjuang sampai mati” sahut yang seorang.

“Tidak ada kata-kata menyerah di dalam jalur darahku” teriak yang seorang.

Ki Tunda Wara menjadi merah menyala. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, Mahendra talah berkata, “Jangan hiraukan. Tetapi aku ingin arti dari sikapmu. Letakkan senjatamu”

“Aku tidak menyerah. Tetapi aku mengurungkan niatku” katanya mengulang.

“Sebelum kedua orang kawanmu menjadi korban?” bertanya Mahendra.

“Itu adalah karena kebodohannya sendiri, aku tidak memerlukan mereka. Aku juga tidak memerlukan kedua orang pengikut Wangut itu”

“Persetan Pengecut” teriak salah seorang dari keduanya, “aku kira kau benar-benar malampaui kejantanan Ki Lurah. Tetapi ternyata Ki Wangut jauh iebih berharga dari padamu. Jika ia melihat kelicikanmu, tentu adik seperguruanmu itu tidak mau lagi mengakuimu sebagai saudara seperguruannya”

“Tutup mulutmu” teriak Ki Tunda Wara, “atau aku akan membunuhmu sama sekali”

“Jangan berbuat kesalahan untuk yang kedua kalinya” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “yang pertama kau adalah seorang pengecut. Dan yang kedua, kau akan berkhianat terhadap kawan-kawanmu. Kau sangka, aku tidak dapat membunuhnya jika ia benar-benar tidak mau menyerah”

“Anak iblis” teriak Ki Tunda Wara, sementara lawan Mahisa Pukat itupun berteriak pula, “jangan sombong anak muda. Aku belum kau kalahkan”

“Sebentar lagi” jawab Mahisa Pukat. Lawannya tidak sempat menjawab. Dengan garangnya Mahisa Pukat menyerang lawannya seperti badai menghantam gunung.

Dalam pada itu, Mahendra yang berdiri berhadapan dengan Ki Tunda Wara pada jarak beberapa langkah, berkata, “Marilah kita berbicara tentang keadaan kita”

Ki Tunda Wara menjadi tegang. Ia melihat lawan adik seperguruannya yang telah kehilangan lawannya itu melangkah perlahan-lahan mendekatinya.

“Menyerahlah. Jangan terlalu mengingat harga diri jerkata Mahendra kemudian”

“Gila” teriak Ki Tunda Wara, “sudah aku katakan, aku tidak menyerah”

“Jika demikian, kita akan bertempur terus. Aku masih mempunyai waktu beberapa saat sambil menunggu kedua anak-anakku itu menyelesaikan lawan-lawannya”

“Kau gila Mahendra. Kau terlalu sombong seperti anak-anakmu. Kau seolah-olah dapat menebak apa yang terjadi. Tetapi aku masih belum merasa kau kalahkan”

“Baiklah” berkata Mahendra, “kita akan bertempur terus. Sementara Ki Wastu yang sudah tidak mempunyai lawan lagi, akan menyaksikan, siapakah yang kalah dan siapakah yang menang di antara kita”

Ki Tunda Wara menjadi ragu-ragu. Ia tahu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawan Mahendra dengan cara apapun juga. Iapun tidak akan dapat melarikan diri, karena di seputar halaman itu telah penuh anak-anak muda bersenjata telanjang. Meskipun mereka tidak berani terjun ke arena pertempuran, namun mereka akan dapat menghalangi langkahnya, sehingga Mahendra akan dapat menghujamkan senjatanya pada punggungnya.

“Semuanya akan sia-sia” katanya di dalam hati. Dan penyesalan itupun bergejolak semakin keras di dalam hatinya.

Tetapi semuanya sudah terjadi. Kedua pengiringnya sudah terbunuh. Adik seperguruannya yang telah menyeretnya ke dalam persoalan ini pun telah mati. Karena itu. maka akhirnya ia berkata, “Aku menyerah” Ki Tunda Wara telah meletakkan senjatanya. Kemudian atas perintah Mahendra ia melangkah surut.

“Serahkan tanganmu” berkata Mahendra, “aku akan mengikatnya dengan lulup kayu so”

Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Itu sesuatu penghinaan”

“Itu bukti bahwa kau benar-benar menyerah” sahut Mahendra, “aku akan membawamu ke Singasari. Tidak ada tempat di sini untuk menyimpanmu”

Wajah Ki Tunda Wara menjadi merah padam. Tetapi ia benar-benar dihadapkan pada suatu kenyataan yang sangat pahit. Adik seperguruannya yang menyeretnya ke dalam keadaan itu ternyata sudah terbunuh.

Sementara itu ia masih mendengar salah seorang pengikut Ki Wangut berterirak, “Pengecut. Biarlah tanganmu dan kakimu diikat bukan saja dengan kayu so. Tetapi biarlah diikat dengan tampar ijuk yang paling kasar. Jangan mengharap bahwa kau akan diikat dengan cinde berwarna Jingga”

Ki Tunda Waia menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab maka yang terdengar adalah pekik melengking. Orang yang baru saja berteriak itupun ternyata terdorong beberapa langkah. Kemudian iapun terjatuh dengan darah yang mengalir dari dadanya, ternyata satu dari sepasang pedang Mahisa Pukat telah menyambarnya. Orang itu tidak dapat mengeluh lagi. Iapun tidak dapat mengumpat. Demikian ia terbanting, maka nafasnyapun telah putus pula karenanya.

Lawan Mahisa Murti yang pantang menyerah itu menjadi seperti seekor harimau gila. la menyerang sambil berteriak-teriak bagaikan memecah langit. Namun Mahisa Murti dengan hati-hati melawannya, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan lawannya.

Dalam pada itu, Mahendra, Ki Wastu, Mahisa Pukat dan bahwa Ki Tunda Wara sendiri telah memperhatikan tingkah laku orang itu dengan hati yang berdebar-debar, seolah orang itu telah kehilangan nalarnya sama sekali.

Demikianlah, maka sesaat kemudian terdengar Mahendra berkata, “Ki Sanak. Apakah kau masih mendengar Suaraku?”

Ternyata orang itu tidak menghiraukannya. Ia masih bertempur seperti orang yang kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya. Sebenarnyalah orang itu telah putus asa. Pemimpinnya telah mati terbunuh. Seorang kawannya pun telah terbunuh pula, sementara orang yang dianggapnya memiliki kelebihan melampui pemimpinnya, justru pengecut dan bahkan telah menyerahkan tangannya untuk diikat. Karena itulah, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali membunuh diri. Jika ia masih mampu, maka biarlah ia mati bersama dengan lawannya.

Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia tidak terseret dalam irama pertempuran yang buas dan liar. Ia masih mampu melihat keadaan dengan hati yang bening, justru karena ia yakin, bahwa ia akan mampu mengatasi keadaan yang bagaimanapun juga liarnya. Sementara itu, memang tidak ada penyelesaian yang lain dari pada menghentikan perlawanan itu dengan kemungkinan yang paling pahit. Itulah agaknya yang telah membayang di hati Mahisa Murti.

Dengan kemampuannya mempermainkan pedang rangkapnya, ia berusaha untuk melukai lawannya. Ia memang ingin mencoba untuk dapat menangkapnya hidup-hidup. Dengan sapuan mendatar ia telah mendorong lawannya untuk meloncat mundur. Namun dengan teriakkan nyaring, lawannya telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Murti sempat mengelak kesamping, sementara itu pedang di tangan kanannya telah terjulur mematuk pundak.

Orang itu menyeringai menahan sakit. Namun ternyata luka itu sama sekali tidak mempengaruhi. Orang itu masih meloncat menyerang sambil menggeram. Sekali lagi Mahisa Murti mengelak. Dan sekali lagi pedangnya terjulur. Yang terdengar adalah sebuah teriakan nyaring. Pedang Mahisa Murti telah menyentuh lambung.

Betapun darah telah membasahi tubuhnya, tetapi sama sekali tidak mengurangi keliarannya. Ia justru bagaikan benar-benar gila. Darah yang memerah itu membuatnya menjadi semakin garang. Matanya pun bagaikan menjadi merah seperti darahnya.

Mahisa Murti melihat keadaan lawannya yang telah kehilangan akal itu. Tiba-tiba saja hatinya dijalari oleh perasaan ngeri yang luar biasa. Darah, luka dan tatapan mata yang memancarkan kebencian dan dendam itu, seolah-olah membuat lawannya bagaikan hantu yang melihat bangkai tergolek di padang yang dikerumuni oleh anjing- anjing liar, sementara di udara burung-burung gagak terbang melingkar-lingkar sambil memekik tinggi.

Dengan penuh nafsu orang itu menyerang tanpa pertimbangan nalar lagi. seolah-olah ia sedang berebut dengan anjing-anjing liar dan burung pemakan bangkai yang satu-satu menukik dari udara. Perasaan ngeri yang sangat telah mencengkam jantung Mahisa Murti. Justru karena itulah, maka tiba-tiba saja ia telah berloncatan dengan tangkasnya. Menyerang lawannya dengan tusukan langsung kearah jantung. Tetapi ketika lawannya berusaha mengelak, maka serangan mendatar telah menebasnya, langsung menyobek perutnya.

“Gila” Justru Mahisa Murti lah yang berteriak. Ia tidak sempat melihat lawannya terhuyung-huyung dan jatuh di tanah, karena iapun kemudian berlari meninggalkannya dan seolah-olah ia berlindung di punggung ayahnya.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Memang sangat mengerikan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan anaknya. Mahisa Murti memang sangat kurang pengalaman, sehingga menghadapi peristiwa yang mengerikan itu, hatinya menjadi kecut.

“Sudahlah” berkata Mahendra, “cobalah mengusai perasaan kalian masing-masing. Yang terjadi di halaman rumah ini, bukannya yang kita maksudkan. Kita telah dihadapkan pada suatu keadaan tanpa dapat mengelak lagi”

Mahisa Pukat pun berdiri membeku. Ia telah memalingkan wajahnya dari pandangan yang mengerikan itu. Dalam pada itu, maka pertempuran di halaman itupun telah terhenti. Orang-orang yang datang menyerang isi halaman itu telah terbunuh kecuali Ki Tunda Wara yang menyerah.

Namun dalam pada itu, Mahendra pun berkata kepada Ki Wastu, yang berdiri termangu-mangu, “Ki Wastu, apakah kedua orang pengikut orang ini telah mati pula?”

Ki Wastu segera menghampiri kedua orang pengikut Ki Tunda Wara. Tetapi ternyata keduanyapun telah terbunuh. Yang terlempar oleh kaki Mahendra ternyata telah membentur dinding sedemikian kerasnya, sehingga tulang kepalanya menjadi retak karenanya.

“Ki Sanak” berkata Mahendra kepada Ki Tunda Wara, “kau adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari antara kawan-kawanmu. Karena itu, kita akan pergi bersama-sama ke Singasari. Aku akan membawamu menyusul anakku Mahisa Bungalan. Entah, apakah yang akan terjadi atasmu di Singasari. Tetapi orang-orang di Singasari bukannya binatang buas yang selalu rakus untuk minum darah korbannya”

Ki Tunda Wara yang merasa tidak mampu berbuat apa-apa lagi itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Yang terjadi atasku nilalah satu kekeliruan besar. Aku adalah orang yang cukup berhati-hati. Tetapi aku masih juga terjerumus ke dalam keadaan yang pahit ini karena aku tidak dapat mengelakkan diri dari sesambat adik seperguruanku”

“Kau harus menjelaskan semuanya kepada Mahisa Bungalan dan mungkin orang-orang yang dihubunginya”

“Aku tidak banyak mengetahui persoalannya. Keteranganku tidak akan ada artinya” berkata Tunda Wara.

“Biarlah orang-orang Singasari mengambil kesimpulan. Aku akan mengantarkanmu. Jaraknya sudah dekat”

Ki Tunda Wara tidak dapat membantah lagi. Sementara orang-orang padukuhan itu. membantu menyelenggara kan mayat-mayat yang terkapar di halaman, maka Mahendra pun bersiap-siap untuk pergi ke Singasari. Sementara itu, Mahendra benar-benar telah mengikat tangan dan kaki Ki Tunda Wara di dalam sebuah bilik yang tertutup rapat. Tetapi ia tidak benar-benar mengikatnya dengan lulup kayu so, tetapi dengan janget rangkap ganda.

“Maaf Ki Sanak” berkata Mahendra, “meskipun aku tahu, bahwa kau akan dapat memutuskan tali ini dengan hentakan ilmumu, dan kemudian memecahkan dinding kayu dari bilik ini, namun kau tentu memerlukan waktu. Sementara aku akan dapat datang mencegahnya. Kau akan berada di bawah pengawasan kedua anak-anakku, namun mereka akan berada diluar dinding”

Baru setelah semuanya selesai, maka Mahendra pun minta kepada Ki Wastu untuk berhati-hati bersama kedua anak-anaknya menunggui perempuan anak Ki Wastu dan cucunya yang sedang diburu itu.

“Aku akan pergi ke Singasari mengantarkan orang itu” berkata Mahendra.

Ki Wastu menundukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Betapa besar pertolongan yang telah kami terima. Sejak anakku itu di simpan di hutan tertutup, melepaskannya dan membawanya kembali kepadaku. Angger Mahisa Bungalan telah menyelamatkan kami dari sergapan empat orang pengikut orang yang terbunuh itu. Dan kemudian aku sudah membuat seisi rumah ini menjadi sangat sibuk dan bahkan mempertahankan nyawanya pula”

Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak berbuat apa-apa selain menetapi kewajibanku bagi sesama. Sudah sewajarnya bahwa kita akan saling menolong. Sebenarnyalah bahwa Ki Wastu memiliki kemampuan menyelamatkan diri sendiri”

“Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa” jawab Ki Wastu.

“Sudahlah” berkata Mahendra, “marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kita selalu mendapatkan perlindungannya. Mudah-mudahan di Singasari aku mendapat petunjuk lebih jelas tentang keadaan Pangeran Kuda Padmadata”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku dan anak cucuku telah membuat bukan saja seisi rumah ini menjadi sibuk dan bahkan mempertaruhkan nyawa, tetapi ternyata aku sudah membuat seisi padukuhan ini terlibat dalam persoalan yang sebenarnya sangat bersifat pribadi”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Sudahlah, tenangkanlah hati anak cucumu”

Ki Wastu mengangguk dalam-dalam. Ia benar-benar merasa berhutang budi kepada keluarga itu. Bukan saja itu. Bukan saja ia telah mendapat tempat, tetapi ternyata ia telah mendapatkan perlindungan mereka pula. Tanpa perlindungan keluarga Mahendra, maka anak dan cucunya itu tentu telah dicincang menjadi berkeping-keping.

Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah memberikan pesan-pesan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar mereka berhati-hati. Menurut perhitungan Mahendra, untuk beberapa saat lamanya, tidak akan ada lagi bencana yang mengejar perempuan dan anaknya itu. Mereka tentu memerlukan waktu untuk mempersiapkan tindakan yang akan mereka ambil selanjutnya, jika mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Dan itu akan memerlukan waktu yang cukup.

“Aku segera pulang” berkata Mahendra, lalu aku titipkan kalian kepada Ki Wastu”

“Ah” desis Ki Wastu, “kamilah yang menitipkan diri kami disini”

Mahendra tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku menitipkan anak-anakku. Mereka masih terlalu hijau, sehingga mereka harus selalu mendapat pengawasan. Lalu katanya kepada kedua anak-anaknya, “ikutilah petunjuk-petunjuknya”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk. Merekapun mengerti bahwa orang tua yang datang bersama kakaknya Mahisa Bungalan itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, meskipun belum setingkat dengan ayahnya

“Kami akan melakukan semua pesan ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Mahendra mengangguk-angguk. Namun iapun yakin, bahwa keadaan akan tidak bertambah buruk, la tidak akan terlalu lama berada di Singasari. Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian meninggalkan rumahnya membawa Ki Tunda Wara ke Singasari. Ia melepaskan segala ikatan dan membiarkan Ki Tunda Wara berkuda bersamanya seperti dua orang dalam perjalanan.

Ternyata Ki Tunda Wara telah menerima keadaannya dengan ikhlas. Sekilas iapun teringat kepada padepokannya. Kepada beberapa orang perempuan yang disimpannya dengan kekerasan. Dan kepada para pengikutnya yang patuh dan takut kepadanya.

“Dalam keadaan ini mereka tidak berarti lagi bagiku” berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya. Lalu katanya, “Ternyata bahwa aku telah bertemu seorang perkasa yang meskipun baik hati, tetapi agak sombong juga. Ia yakin bahwa aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku tidak akan dapat melawannya, hingga aku dibiarkannya berkuda seperti seorang sahabatnya”

Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika ia memasuki gerbang Singasari dan berkuda diantar orang-orang yang semakin ramai, ada juga niatnya untuk melarikan diri. Namun justru karena sikap Mahendra, ia menjari ragu-ragu dan bahkan membatalkannya sama sekali.

“Gila” geramnya, “jika anak iblis ini mengancamku dan menakut-nakutiku, aku memang bernafsu untuk menyusup di antara orang banyak. Ada kemungkinan, aku dapat melenyapkan diri diantara mereka. Orang ini pada suatu saat tentu lengah”

Tetapi sikap Mahendra benar-benar telah mengikatnya untuk tetap tunduk dan menurut perintahnya. Ki Tunda Wara kadang-kadang mengumpat di dalam hatinya jika ia memperhatikan sikap Mahendra. Kadang-kadang Mahendra yang bertemu dengan satu dua orang yang dikenalnya, berbicara dan bahkan bergurau tanpa memperhatikan Ki Tunda Wara. Tetapi Ki Tunda Wara itu sudah kehilangan segala nafsunya untuk melepaskan diri dari tangan Mahendra.

“Aku akan menjadi buruan. Meskipun mereka tidak mengetahui tempat tinggalku, tetapi jika mareka mencari dengan sungguh-sungguh, tentu akan dapat mereka ketemukan juga. Padepokan itu akan mereka hancurkan menjadi karang abang. Dan pengikut-pengikutku yang tidak bersalah akan menjadi korban juga. Biarlah hal itu dilakukan atas padepokan Wangut yang tamak itu” katanya di dalam hatinya.

Karena itu, maka perjalanan Mahendra dan Ki Tunda Wara tidak terhambat sama sekali. Mereka langsung menuju ke istana Singasari untuk menemui Mahisa Agni, karena Mehendra menganggap bahwa Mahisa Bungalan tentu berada di sana pula. Sebenarnyalah bahwa ketika Mahendra memasuki tempat tinggal Mahisa Agni, maka dijumpainya Mahisa Bungalan sedang di terima oleh Mahisa Agni di ruang belakang.

Kedatangan Mahendra dengan seseorang telah mengejutkan mereka. Apalagi Mahisa Bungalan. Kepergian ayahnya berarti kekosongan di rumahnya. Dengan demikian, akan dapat membahayakan bukan saja Ki Wastu dan anak cucunya, tetapi tentu juga Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.

Mehendra yang kemudian duduk, di hadapan Mahisa Agni itupun nampaknya melihat kegelisahan di hati anaknya. Karena itu, ketika Mahisa Agni telah menanyakan keselamatannya di perjalanan, maka iapun segera berkata, “Mahisa Bungalan. aku terpaksa meninggalkan rumah kita untuk mengantarkan tamu yang akan menyusulmu”

“Siapakah orang itu ayah?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku belum mengenalnya”

Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Katanya, “Tetapi itu sangat mendebarkan. Apakah orang ini benar-benar ingin mencari aku seperti yang dikatakannya, karena akupun belum mengenalnya pula”

Mahendra pun segera menyahut, “Atau sekedar memancing agar aku pergi meninggalkan rumah sehingga orang yang bermaksud jahat akan dapat dengan mudah melakukannya?”

Wajah Mahisa Bungalan menegang. Sementara Ki Tunda Wara hanya menundukkan kepalanya saja.

“Mahisa Bungalan, sebenarnyalah yang kau cemaskan itu sudah terjadi”

Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni terkeiut mendengar keterangan itu. Dengan gelisah Bungalan bertanya, “Jadi apakah maksud ayah datang dengan orang ini? Apakah yang telah terjadi di rumah kita?”

“Salah seorang dari mereka yang datang adalah orang ini” berkata Mahendra.

Wajah Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Sementara itu Mahendra pun segera menceriteakan apa yang telah terjadi. Dan iapun mengatakan, siapakah orang yang telah dibawanya itu.

Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun keduanya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Mahisa Agni bertaka, “Jadi, telah terjadi kematian di halaman rumahmu Mahendra?”

“Apa boleh buat” jawab Mahendra, “kami tidak dapat menghindarnya. Yang seorang ini yang menurut keterangannya bernama Tunda Wara, dan akan aku serahkan kepada yang berwajib di Singasari”

Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Semuanya menjadi jelas bagi mereka. Orang yang datang bersama Mahendra. yang nampaknya seperti seorang sahabat yang bepergian bersama itu, ternyata adalah orang yang ingin melakukan pembunuhan yang sangat keji.

“Mengerikan sekali Ki Sanak" berkata Mahisa Agni ”jika yang kau rencanakan itu benar-benar terjadi, maka seorang perempuan dan seorang anak laki-lakinya akan mati terkapar di halaman. Mungkin kalian akan memotong bagian dari badannya untuk bukti bahwa kalian telah melakukannya”

Ki Tunda Wara menarik nalas dalam-dalam. Katanya, “Bukan akulah yang sebenarnya ingin melakukannya tuan, tetapi aku sekedar menuruti tangis adik seperguruanku. la mendapat upah dari seseorang untuk melakukan perbuatan yang terkutuk itu”

“Dan kau membantunya pula” potong Mahisa Bungalan.

Ki Tunda Wara menunduk semakin dalam. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Kau benar anak muda. Aku telah membantunya”

Mahisa Agni beringsut sejenak. Dengan sareh ia mencoba menanyakan segala sesuatu yang diketahui oleh Ki Tunda Wara tentang rencana adik seperguruannya. Tetapi Ki Tunda Wara tidak banyak mengetahuinya. Iapun tidak mengetahui siapakah orang yang telah mengupah adiknya itu.

“Saudara laki-laki Pangeran Kuda Padmadata atau orang lain? Atau barangkali ada nama perempuan lain sebagai sisihan Pangeran Kuda Padmadata?”

“Semuanya tidak jelas bagiku” jawab Ki Tunda Wara, “aku tidak banyak mempersoalkan mula-mula. Namun itu adalah satu kesalahan bagiku sehingga aku sekarang terjerumus ke dalam kesulitan yang parah. Aku adalah seorang tawanan, yang mungkin akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan jika aku tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang akan memeriksa aku”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan diperas untuk memberikan keterangan yang memang tidak aku ketahui” desis Ki Tunda Wara.

“Tidak” sahut Mahisa Agni, “kau tidak akan diperlakukan kasar. Aku percaya akan segala keterangan mu. Kau memang tidak banyak mengetahui persoalan ini. Kau terlibat ke dalam satu keadaan yang tidak kau pahami”

“Aku menyesal” jawab Ki Tunda Wara.

“Meskipun demikian” berkata Mahisa Agni kemudian, “kau akan tetap menjadi seorang tawanan. Aku akan menempatkan kau dalam pengawasan yang kuat, karena aku tahu bahwa kau adalah seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi”

“Jika demikian, aku tidak akan tertangkap” desis Ki Tunda Wara.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi meskipun demikian, tidak ada dinding kayu yang dapat menahanmu Ki Sanak. Karena itu, kau memerlukan pengawasan yang kuat”

Ki Tunda Wara mengangguk sambil menjawab, “Aku seorang tawanan. Aku menyerahkan diriku kepada kebijaksanaan tuan. Namun aku berjanji, jika masih ada sedikit kepercayaan kepadaku, bahwa aku tidak akan lari”

Mahisa Agni memandang Ki Tunda Wara sejenak. Lalu katanya, “Aku percaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku melepaskan niatku untuk memberikan pengawasan”

Ki Tunda Wara tidak menyahut, meskipun kepalanya terangguk-angguk kecil. Demikianlah, maka Ki Tunda Wara pun diserahkan kepada seorang Senopati muda untuk menempatkannya dalam sebuah bilik yang dijaga kuat. Sementara Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Mahendra masih berbincang dengan sungguh-sungguh.

“Perjalanan ke Kediri bukan perjalanan yang ringan” berkata Mahisa Agni.

“Aku mengerti paman” jawab Mahisa Bungalan.

“Sementara persoalan yang kau hadapipun merupakan persoalan yang rumit. Kau tidak pasti latar belakang dari peristiwa itu. Kita hanya mendasarkan tindakan kita pada keterangan sebelah. Maksudku dari pihak Ki Wastu itu saja. Tetapi kita belum pernah mendengar keterangan dari pihak Pangeran Kuda Padmadata” berkata Mahisa Agni.

“Ya paman. Tetapi menilik sikap dan tindakan orang-orang yang memburu anak dan cucu Ki Wastu itu, maka aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ada pihak yang ingin melenyapkan ibu dan anak itu dengan kasar dan buas” jawab Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni memandang Mahendra sejenak. Kemudian iapun bertanya, “Bagaimana pendapatmu Mahendra?”

“Aku sependapat dengan Mahisa Bungalan. Tetapi aku ingin memberikan pesan, bahwa di Kediri tentu ada pihak yang dapat menjadi sangat berbahaya bagi Mahisa Bungalan. Apalagi jika mereka mengerti maksud kedatangannya. Karena itu, perjalanan ke Kediri akan merupakan perjalanan yang gawat”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Tindakan yang tidak tanggung-tanggung dari orang-orang yang memburu perempuan dan anak laki-lakinya itu merupakan sebagian kecil dari kesulitan yang akan kau hadapi di Kediri”

“Ya ayah” desis Mahisa Bungalan, “tetapi niat itu tentu bukannya harus dibatalkan”

“Ya” tiba-tiba saja Mahisa Agni menjawab, “kau memang harus pergi ke Kediri. Kau harus menghadapi persoalan ini betapapun berat. Tetapi kau tidak akan pergi seorang diri”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Agni melanjutkan, “Aku akan pergi bersamamu”

Mahisa Bungalan terkejut mendengar kesediaan Mahisa Agni untuk pergi bersamanya. Ia menjadi sangat gembira karenanya. Tetapi dengan demikian iapun menyadari, betapa tugas itu sangat berat jika harus dilakukannya sendiri.

Dalam pada itu, Mahendra lah yang justru menyahut, “Terima kasih kakang. Tetapi apakah dengan demikian, hal ini tidak akan membuatmu menjadi sibuk. Saat-saat kau harus beristirahat, maka kau dihadapkan pada Suatu pekerjaan yang menuntut kesungguhan karena yang akan dihadapi mungkin adalah kekerasan”

Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Umur kita tidak terpaut banyak. Dan kau masih juga menjelajahi sudut negeri ini”

“Itu adalah caraku mencari nafkah. Jika aku berhenti bertualang, maka keluargaku akan menghadapi kesulitan” jawab Mahendra.

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya pula, “Tidak ada bedanya. Akupun masih ingin menjelajahi segala sudut negeri ini. Termasuk Kediri. Sudah lama aku tidak melihat kota itu. Kau tentu ingat, bahwa aku pernah berada di Kediri, sehingga kadang-kadang aku memang merindukan kota yang bersih itu”

Mahendra pun tertawa pula. Katanya, “Apa boleh buat jika kau menganggap bahwa perjalanan itu adalah perjalanan tamasya untuk mengenang satu masa yang pernah kau hayati. Tetapi masa itu telah silam dan tidak akan kembali lagi”

“Kadang-kadang memang ada satu kerinduan pada masa lampau” jawab Mahisa Agni. Lalu tiba-tiba, “Mungkin Witantra yang pernah tinggal di Kediri pula, tidak akan berkeberatan pergi bersama kami”

“Kakang Witantra?” desis Mehendra.

“Ya”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Sayang. Aku mempunyai tanggungan di rumah. Aku tidak berani meninggalkan mereka terlalu lama. Jika tidak ada perempuan dan anak laki-lakinya yang sedang diburu oleh maut itu, akupun sebenarnya ingin ikut pula bersama kalian”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Kau seperti kanak-kanak yang melihat ibunya pergi ke pasar”

“Sayang sekali” jawab Mahendra, lalu, “bahkan aku tidak sampai hati meninggalkan mereka terlalu lama. Aku sudah mendapat jaminan bahwa perjalanan Mahisa Bungalan akan mendapat perlindungan, sehingga karena itu, maka sebaiknya aku kembali pulang”

“Mudah-mudahan perjalanan kami selamat. Kami tidak tahu, siapakah yang ternyata harus kami hadapi di Kediri” berkata Mahisa Agni.

“Kakang tidak akan kekurangan cara untuk mengurai persoalan itu” jawab Mahendra, “kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita masing-masing akan dapat berbuat sebaik-baiknya menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja sudah dihadapkan ke dada kita”

“Ya” jawab Mahisa Agni, “kita tidak akan dapat ingkar lagi Mahisa Bungalan agaknya dengan tiba-tiba dihadapkan pada persoalan ini di perjalanannya, sehingga akhirnya ia memang memerlukan kita yang tua-tua”

Mahendra pun kemudian minta diri untuk segera kembali kerumahnya. Ia tidak dapat terlalu lama membiarkan kedua anak-anaknya tidak dalam pengawasannya justru karena ada orang lain di rumahnya yang setiap saat dapat mengundang bahaya. Tetapi iapun tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya atas sesama, karena orang-orang itu memang memerlukan pertolongan. Meskipun ayah dari perempuan yang sedang diburu itu adalah seorang tua yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia tidak akan dapat berdiri sendiri menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, sehingga ia pun memerlukan pertolongan orang lain.

Demikian maka Mahendra pun meninggalkan kota sebelum hari menjadi gelap. Sementara Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan telah siap untuk mengunjungi Witantra. Mereka akan merencanakan sebuah perjalanan. Baru kemudian mereka akan menghadapi Maharaja Singasari untuk menyampaikan maksudnya.

Kedatangan Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan di rumah Witantra ternyata telah mengejutkannya. Dengan serta merta Witantra pun menanyakan kapan Mahisa Bungalan kembali dari perjalanannya. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan keterangan dan rencananya untuk pergi ke Kediri bersama Mahisa Agni.

“Jadi kau akan pergi juga Mahisa Agni” Witantra mengerutkan keningnya.

“Kemarin pagi paman” sahut Mahisa Bungalan.

“Kau sudah puas dengan petualanganmu?” bertanya Witantra pula.

Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia menjawab, “Aku terpaksa pulang, paman”

“Kenapa terpaksa?” bertanya Witantra.

Mahisa Bungalan kemudian menceritakan pengalamannya sehingga ia harus kembali pulang dengan membawa seorang kakek serta anak dan cucunya.

“Ya. Dan kami tidak hanya akan pergi berdua” jawab Mahisa Agni.

“Siapa lagi?” bertanya Witantra.

“Jika kakang Witantra pergi juga. maka perjalanan kami akan menjadi sangat menyenangkan”

Witantra termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersenyum sambil berkata, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi agaknya menarik juga untuk pergi ke Kediri. Aku sudah lama tidak melihat kota itu”

“Nah bukankah kita yang tua-tua ini mempunyai kepentingan yang serupa? Berusaha mengenang kembali masa-masa lampau” sahut Mahisa Agni.

Witantra tersenyum. Memang menarik untuk melihat-lihat daerah yang sudah lama tidak dilihatnya. Namun yang lebih menarik lagi adalah persoalan yang dibawa oleh Mahisa Bungalan.

Di Kediri mereka harus berusaha bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun tidak dikenalnya secara pribadi dengan rapat, namun mereka telah mendengar siapakah Pangeran Kuda Padmadata. Seorang yang masih sangat muda ketika mereka berada di Kediri. Tetapi adalah suatu hal yang sangat wajar, jika Pangeran Kuda Padmadata itulah yang pernah mengenal Mahisa Agni atau Witantra yang pernah bertugas di Kediri.

“Bagaimana pendapatmu Witantra?” bertanya Mahisa Agni.

Witantra menarik natas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan menyertai kalian pergi ke Kediri. Mungkin kita akan menjumpai beberapa hal yang menarik”

“Tetapi mungkin juga menegangkan” sahut Mahisa Agni.

“Memang mungkin sekali. Kita tidak tahu, siapakah sebenarnya yang bermain di belakang segala peristiwa itu. Mungkin orang lain. Mungkin keluarga terdekat dari Pangeran Kuda Padmadata. bahkan mungkin Pangeran Kuda Padmadata sendiri”

“Kenapa Pangeran itu sendiri paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ia tidak ingin dibayangi oleh darah padukuhan yang lahir sebagai anak laki-lakinya. la tidak ingin melihat lagi langkahnya yang dianggapnya sesat, setelah ia berada kembali di dalam lingkungan para bangsawan. Mungkin pula isterinya yang lain, yang diambilnya dari kalangan bangsawan tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Pangeran Padmadata. Tetapi masih ada kemungkinan kemungkinan yang lain lagi. Kita tidak dapat menebak saja. Tetapi kita harus melakukan pengamatan dengan seksama”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebagian keterangan yang pernah didengarnya dari peristiwa itu, memang belum merupakan pegangan yang dapat diyakini. Pendapat, dan mungkin pendengaran dari Ki Wastu. bahkan dari anak perempuannya itu sendiri, masih mungkin pula bukannya kebenaran.

“Yang kita ketahui, barulah kenyataan-kenyataan yang terjadi” berkata Witantra kemudian, “bahwa perempuan itu telah diambil dari rumahnya dan disimpan di hutan tutupan. Bahwa seorang hamba yang setia telah mengorbankan dirinya untuk melindurgi anak laki-laki itu, sementara kemudian kau berhasil membebaskan perempuan itu dari tangan mereka yang menyimpannya. Latar belakang dari segala yang terjadi itu masih belum jelas”

“Itulah yang akan kita cari di Kediri” desis Mahisa Agni.

“Baiklah kita bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Persoalannya tidak boleh berlarut-larut, karena bahaya maut selalu mengejar perempuan dan anak laki-lakinya. Bahkan bahaya yang gawat akan mungkin sekali mengintai keluarga Mahisa Bungalan yang ditinggalkan di rumah”

Demikianlah, maka Witantra pun segera mempersiapkan diri. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan bermalam satu malam di rumah Witantra. Di hari berikutnya, maka merekapun menghadap Maharaja Singasari untuk mohon diri. Mereka tidak mengatakan alasan mereka yang sebenarnya, selain karena keinginan mereka untuk melihat kota yang sudah lama tidak mereka lihat itu.

Ranggawuni yang memegang tahta Kediri, tidak menahannya. Namun ia bertanya kepada Mahisa Bungalan, “Apakah kau masih memerlukan waktu yang panjang untuk memuaskan darah petualanganmu sebelum kau memasuki satu lingkungan yang mapan?”

Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan suara dalam ia menjawab, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah bahwa perjalanan hamba ini adalah perjalanan yang terakhir. Hamba memang ingin mengikuti kedua paman hamba ini untuk melihat-lihat Kediri saat ini”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi cepatlah kembali”

Mahisa Bungalan menunduk semakin dalam. Sementara Ranggawuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana itu berkata selanjutnya., “Sudah masanya kau menempatkan dirimu pada tempat yang sesuai dengan pilihanmu”

“Hamba akan menjunjung titah tuanku” jawab Mahisa Bungalan.

Dengan dimikian, maka ketiga orang itupun segera meninggalkan Singasari. Namun Mahisa Agni tidak sampai hati untuk melepaskan keluarga Mahendra begitu saja. Karena itu, agar Mehendra tidak terlalu terikat kepada kewajibannya untuk melindungi orang-orang yang sedang diburu itu, maka iapun telah mengirimkan dua orang petugas sandi untuk membantu setiap saat diperlukan.

“Kau berada di sana sampai Mahisa Bungalan kembali” berkata Mahisa Agni, “katakan kepada Mahendra bahwa akulah yang memberimu perintah. Aku memilih kalian berdua, karena Mahendra telah mengenal kalian. Jika orang lain yang datang, maka ia akan segera mencurigainya karena justru ia berada dalam keadaan yang gawat”

Hampir berbareng dengan saat keberangkatan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka kedua orang itupun pergi kerumah Mahendra. Mereka harus ikut mengamati keadaan rumah itu. Tanpa mereka, maka Mahendra tidak akan dapat berbuat apa-apa sama sekali diluar rumahnya, sehingga ia tidak akan dapat bekerja untuk mencapai nafkah, atau kepentingan-kepentingan lain di luar padukuhannya.

Dalam pada itu, maka tiga ekor kuda telah berderap meninggalkan gerbang kota Singasari menuju ke Kediri. Perjalanan yang membawa kewajiban yang berat, meskipun sebenarnya masalah itu adalah masalah orang lain. Namun diluar kesadaran Mahisa Bungalan, iapun telah terlibat terlalu jauh sehingga ia tidak mungkin lagi melepaskannya, karena masalahnya akan menyangkut jiwa seorang perempuan dan anak laki-lakinya.

Perjalanan ketiga orang itu ternyata mengandung kegembiraan tersendiri, disamping ketegangan karena kewajiban mereka. Di perjalanan mereka melihat sesuatu yang sudah lama tidak mereka lihat. Perubahan-bahan yang terjadi membuat hati mereka menjadi cerah. Dengan demikian, maka Singasari benar-benar telah berkembang. Namun ada juga daerah yang mereka jumpai masih seperti beberapa saat yang lampau. Tanpa perubahan apapun juga. Jalan-jalan, parit-parit dan dinding padukuhan dengan cepat dapat mereka kenali sebagaimana mereka lihat beberapa waktu yang lewat.

“Daerah ini perlu mendapat perhatian” berkata Mahisa Bungalan, “seolah-olah daerah ini adalah daerah yang mati. Meskipun tanahnya subur dan air yang mengalir diparit itu tidak pernah kering, namun jika penghuni daerah ini sudah menjadi puas dengan keadaannya, maka daerah ini akan segera ketinggalan”

“Ya” Witantra mengangguk-angguk, “daerah lain telah berkembang semakin pesat dengan perluasan daerah persawahan dan kerja yang lain atas dasar peningkatan ketrampilan, maka daerah ini sama sekali tidak bergerak”

“Kita akan singgah di padukuhan ini kelak jika kita kembali” berkata Mahisa Agni, “kita akan melihat apakah sebabnya maka daerah ini merupakan daerah yang terhenti perkembangannya. Mungkin justru karena daerah ini adalah daerah yang subur, sehinggu tanpa kesulitan apapun juga, segala kebutuhan penghuninya telah terpenuhi”

Namun bagaimanapun juga, padukuhan itu terasa sangat sepi, meskipun suasananya sangat tenang. Di padukuhan lain terdengar suara pandai besi yang sedang menempa beberapa jenis alat pertanian, sementara mereka kadang-kadang bertemu dengan seiring itik yang digembalakan.

Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa di padukuhan itu selain parit yang mengalirkan air yang bening, serta sawah yang nampak hijau segar. Pohon nyiur yang bergoyang disentuh angin yang lembut di sepanjang dinding padukuhan, melingkar dari ujung sampai keujung. Namun bagaimana juga perjalanan itu memang sangat menarik.

“Kita akan singgah di rumah seseorang, atau kita akan langsung pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata?” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“Pangeran Kuda Padmadata akan segera mengetahuinya pula. Jika ia pernah mendengar namamu, maka orang yang ada di sekitarnya, yang berhubungan dengan peristiwa Ki Wastu serta anak cucunya itu, akan segera bersiap-siap”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu, “Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”

“Apakah kita akan singgah lebih dahulu di istana Panji Kudasuwana, yang kini bertugas di Kediri sebagai wakil kekuasaan Singasari?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Jangan Mahisa Bungalan” sahut Mahisa Agni, “dengan demikian kedatangan kita akan cepat diketahui. Apalagi aku dan pamanmu Witantra pernah pula berada di Kediri dalam kedudukan yang serupa”

“Apa salahnya paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Kita tentu tidak akan dapat langsung menuju ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Kita harus berusaha mendapat keterangan serba sedikit tentang keadaannya. Keluarganya dan mungkin sesuatu yang dapat memberikan gambaran tentang dirinya”

Witantra mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya Kita akan mencari beberapa keterangan tentang dirinya.

“Kita akan singgah di rumah kakang Daredu. Ia adalah seorang pekatik yang pernah aku kenal ketika aku berada di Kediri. Aku pernah melihat rumahnya dan akupun mengenal keluarganya” sahut Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu memang paling baik bagi mereka. Demikianlah, setelah mereka menempuh perjalanan yang panjang, mereka semakin mendekati Kediri. Tetapi karena perjalanan mereka bukannya perjalanan yang tergesa-gesa maka mereka bertiga telah bermalam satu malam di perjalanan.

Mereka memasuki Kediri menjelang sore dihari berikutnya. Mahisa Agni ternyata masih tetap mengenal jalan-jalan di dalam kota Kediri yang memang tidak terlalu banyak berubah. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Agni akan dapat langsung menemukan jalan ke rumah Daredu, seorang pekatik yang pernah dikenalnya ketika ia berada di Kediri.

Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan seisi rumah yang tidak begitu besar itu. Daredu yang umurnya sebaya dengan Mahisa Agni, telah nampak menjadi semakin tua. Agak lebih tua dari Mahisa Agni.

“Aku Mahisa Agni Ki Daredu,“

“O, Tuanku” tiba-tiba saja Ki Daredu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Mahisa Agni. Namun cepat Mahisa Agni menarik pundaknya sambil berkata, “Berdiri sajalah. Aku minta kepadamu”

“Ampun tuanku” Daredu masih gemetar karena terkejut.

“Berdirilah, untuk kepentinganku”

Dengan ragu-ragu Daredu berdiri meskipun sambil terbungkuk-bungkuk.

“Aku datang untuk mengunjungimu” berkata Mahisa Agni yang muda ini adalah kemanakanku, sedang yang setua aku ini adalah kakang Witantra. Bukankah kau juga pernah mengenal namanya?”

Pekatik yang nampak sudah lebih tua dari umur yang sebenarnya itu menjadi semakin heran. Dengan suara tertahan ia berkata, “Tentu. Aku sudah mengenal tuanku berdua. Tuanku berdua pernah menjadi wakil kekuasaan Singasari di Kediri. Dan hamba adalah pekatik yang rendah. Kedatangan tuanku membuat aku menjadi bingung”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Ki Daredu. Jangan bingung. Aku datang untuk satu kepentingan yang tidak berarti. Aku ingin melihat kota yang bersih dan segar. Sebenarnyalah aku rindu untuk berkunjung ke kota ini. Tetapi jika aku datang dengan resmi mengunjungi Panji Kudasuwara, maka aku akan kehilangan banyak kesempatan untuk melihat-lihat, karena upacara resmi akan mengikatku”

“Tetapi tuanku bertiga akan mendapat tempat, yang baik, sesuai dengan kedudukan tuanku bertiga” berkata Daredu.

“Aku justru ingin menyusuri jalan kota Kediri dengan bebas. Aku ingin menyusup ke lorong-lorong kecil dan pasar-pasar yang terselip di sudut-sudut kota” jawab Mahisa Agni.

Ki Daredu masih termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Agni berkata, “Ki Daredu, apakah kami tidak kau persilahkan masuk ke dalam rumahmu?”

“Tentu tuanku” jawab Ki Daredu tergopoh-gopoh. Namun kemudian, “tetapi, rumah ini adalah rumah yang kecil, buruk dan tidak mempunyai perabot sama sekali.”

“Kami adalah orang-orang yang pernah menjadi prajurit. Bahkan sebelumnya kami adalah petualang-petualang yang dapat tinggal di sembarang tempat dan keadaan. Prajurit tidak memilih medan. Di manapun ia berada, ia harus dapat menyesuaikan dirinya” jawab Mahisa Agni.

Ki Daredu tidak dapat berbuat lain kecuali mempersilah kan tamu-tamunya masuk ke dalam rumahnya yang tidak begitu besar. Di ruang depan yang disekat dengan dinding bambu dengan bilik-bilik berjajar tiga, dan berpintu rendah, terhampar sebuah amben bambu yang besar. Tidak ada pendapa yang luas dan tidak ada gandok di sebelah menyebelah. Tetapi amben itu cukup luas untuk duduk dan mungkin juga untuk tidur bertiga.

Betapa enggannya Ki Daredu menerima tamu yang baginya terlalu agung itu. Namun ia harus menerimanya dan mampersilahkan mereka duduk. “Ampun tuanku. Kami sekeluarga tidak tahu, apakah yang harus kami perbuat bagi tuanku bertiga”

Witantra tersenyum. Katanya, “Perlakukan kami seperti orang lain yang datang berkunjung kepadamu. Kau lihat, bahwa kami tidak mengenakan pakaian kebesaran sama sekali, sehingga kami tidak datang dalam kedudukan kami. Kami datang atas keinginan pribadi dalam kepentingan yang bersifat sangat pribadi pula”

Ki Daredu bergeser setapak dengan gelisahnya. Jawabnya, “Betapapun juga aku mengerti, siapakah tuanku ini”

Tetapi sambil tertawa Witantra menjawab, “Anggaplah kami orang lain dari yang pernah kau kenal itu”

Ki Daredu menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Aku sekaluarga akan mencobanya tuanku”

“Jangan segan. Dan jangan kau katakan kepada siapapun juga siapakah kami sebenarnya. Katakanlah, bahwa kami adalah saudara-saudaramu yang datang dari jauh, sedang anak muda ini adalah kemanakanmu”

“Ah mana mungkin tuanku. Ujud lahiriahku sama sekali tidak pantas untuk manyebut tuanku demikian” jawab Ki Daredu.

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya, “Tetapi kau tentu tidak berkeberatan memenuhi permintaanku. Panggillah kami sebagai mana kalian memanggil saudara-saudaramu”

Ki Daredu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Namun katanya kemudian, “Biarlah aku menyebut seperti seharusnya. Hanya jika tuanku bermaksud demikian, biarlah aku mencoba melakukan di hadapan orang lain”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “dan sekali lagi aku berpesan, bahwa kau dan keluargamu jangan sekali-kali mengatakan siapakah aku sebenarnya”

“Bagaimana aku akan menyebut sebuah nama jika ada orang yang bertanya kepadaku tuanku” bertanya Ki Daredu.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Sebut saja dengan nama apapun juga”

“Ya, tetapi nama apakah yang paling pantas aku ucapkan?”

“Sebut aku dengan Damar dan kakang Witantra dengan Gantar. Sedang anak muda ini sebut saja namanya Bungalan. Ia memang bernama demikian”

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Agni berkata seterusnya, “Jika kau tidak berkeberatan aku akan tinggal di rumahmu barang tiga empat hari. Kau tidak usah memikirkan apapun juga. Kami dapat tidur di amben ini, dan kamipun dapat makan apa yang selalu kau makan sehari-hari”

“Ah” desah Ki Daredu.

Namun Witantra segera berdesis, “Jangan ragu-ragu. Kami sangat mengharap kesediaanmu menerima kami dalam keadaan yang wejar saja seperti kau menerima orang lain. Kecuali kami tidak membuat kalian terlalu sibuk dengan berbagai macam ketentuan unggah-ungguh, kamipun akan mendapatkan kesempatan untuk berbuat dengan kepentingan kami sekarang ini”

Ki Daredu memandang Witantra dengan ragu. Sementara Mahisa Agni menjelaskan, “Kami memang mempunyai kepentingan khusus Ki Daredu. Nanti kau akan kami beritahu. Aku tahu, bahwa kau adalah seorang pekatik yang baik pada saat aku masih berada di Kediri, Aku tahu, apakah kau juga masih seorang yang baik terhadapku sekarang ini”

Betapapun enggannya, namun Ki Daredu harus menuruti permintaan tamu-tamunya yang aneh. Bahkan kepada keluarganya, ia memperkenalkan bahwa ketiganya adalah saudara-saudaranya yang datang dari jauh.

“Nampaknya aku belum pernah mendengar namanya dan ujud mereka tidak ada kemiripan dengan kau” desis isterinya.

“Mereka bekerja di kota. Mereka sudah dipengaruhi oleh tata cara orang-orang yang berpangkat, meskipun tidak terlalu tinggi. Sedang kita? Meskipun kita tinggal di kota, tetapi aku hanya seorang pekatik”

“Di kota mana?” bertanya isterinya.

“Kota raja Singasari. Bukan di Kediri”

“O. Jauh sekali”

“Ya, jauh sekali. Mereka sudah rindu bertemu dengan kadangnya yang hanya menjedi seorang pekatik”

Nyi Daredu mengangguk-angguk. Ketika ia berkesempatan menemui ketiga tamunya, maka katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, bahwa kalian telah bersedia mengunjungi kami yang kecil ini”

“Apakah bedanya?” bertanya Mahisa Agni, “kami juga abdi-abdi yang kecil di Singasari”

“Tetapi kalian bukannya seorang pekatik seperti suamiku”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Sementara Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil.

“Nyai” berkata Witantra, “hampir seumur kami, kami tidak berkesempatan mengunjungi kakang Daredu. Karena itu, maka kami telah memerlukan untuk datang ke Kediri, selagi kami masih mampu berkuda pada jarak yang cukup jauh”

“Terima kasih. Terima kasih” desis Nyi Daredu. Sebagaimana seseorang yang menerima kunjungan saudara-saudaranya yang jauh dan jarang bertemu, maka Nyi Daredu berusaha untuk menjamu tamunya sebaik-baiknya. Meskipun demikian ketika ia menghidangkannya, iapun berkata, “Hanya inilah yang dapat kami hidangkan”

“Luar biasa” berkata Mahisa Agni, “kami telah menerima kehormatan yang besar sekali”

Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah menerima suguhan itu dengan senang hati. Mereka telah memperlakukan hidangan itu benar-benar seperti hidangan yang sangat menyenangkan.

Demikianlah, maka untuk beberapa saat Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan akan berada di Kediri. Mereka telah menyusun rencana untuk melakukan tugas mereka, dalam hubungannya dengan Pangeran Kuda Padmadata.

Setelah mereka beristirahat semalam di rumah Ki Daredu, dan tidur bertiga di amben besar di ruang depan, maka di pagi harinya mereka bertiga telah minta diri untuk melihat-lihat Kota yang telah beberapa lama tidak mereka kunjungi.

Meskipun ada juga perubahan yang nampak pada kota itu, tetapi perubahan itu tidak terlalu besar, sehingga ketiganya dengan cepat dapat mengenali seluruh kota. Seperti yang mereka rencanakan, maka yang mereka lakukan di hari pertama itu barulah lewat di depan istana Pangeran Kuda Padmadata tanpa berbuat apapun juga.

Istana itu adalah istana yang cukup menarik. Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya, yang memiliki tanah kelenggahan yang luas, beberapa tonggak hutan tutupan yang menghasilkan getah yang sangat mahal. Memiliki bermacam-macam kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh para bangsawan yang lain.

“Kita harus mengenalnya lebih banyak” berkata Mahisa Agni.

“Nampaknya istana itu tenang-tenang saja” desis Mahisa Bungalan.

“Ya” sahut Witantra, “tetapi siapa tahu bahwa di dalam dinding halaman terdapat beberapa orang yang dengan mata setajam mata elang, memandangi setiap orang yang masuk regol. Meskipun nampaknya mereka sebagai juru taman, namun mereka adalah orang-orang yang memang dipasang oleh pihak tertentu”

“Kita harus mengetahui lingkungan hidupnya” berkata Mahisa Agni, “mungkin Ki Daredu mengenal satu dua orang abdi dari istana itu. Mungkin pekatiknya, mungkin juru taman atau juru pengangsunya”

“Sementara kita dapat mencari sumber yang lain” berkata Mahisa Bungalan, “mungkin di kedai-kedai kita akan dapat mendengar serba sedikit tentang orang yang kaya raya itu”

“Tetapi kita harus berhati-hati” desis Witantra, “jika yang kita lakukan di kedai-kedai itu sempat mencurigakan orang lain, maka kita akan mengalami kesulitan.

“Kita berusaha untuk tidak meninggalkan kesan yang dapat menarik perhatian orang lain” jawab mahisa Bungalan.

Witantra dan Mahisa Agni mengangguk-angguk. Mereka masih saja berjalan menyusuri jalan-jalan di kota. Tetapi mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Sebenarnyalah Kediri adalah kota yang bersih dan teratur. Beberapa orang bangsawan di Kediri adalah orang-orang yang kaya raya, termasuk Pangeran Kuda Padmadata. Namun agaknya dibalik kekayaan itu, tersembunyi api yang dapat membakar nafsu ketamakan dan kedengkian. Tetapi masih belum nampak, siapakah yang telah menyalakan api itu.

Adalah kewajiban ketiga orang yang datang dari Singasari itu untuk mencari keterangan dan kemudian memecahkan persoalannya. Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia harus melakukan dengan cermat. Yang terjadi atas Ki Tunda Wara dan Ki Wangut adalah cermin dari ketergesa-gesaan itu, sehingga mereka telah mengalami kegagalan mutlak, sehingga mereka bukan saja tidak berhasil melakukan tugas mereka, namun mereka justru telah menjadi korban.

Namun ternyata, bahwa kegagalan Ki Wangut dan Ki Tunda Wara telah tercium oleh para pengikutnya. Hari-hari yang telah dilalui ternyata terlalu lama. Tanpa ada keterangan dan berita. Dalam kegelisahan, maka para pengikut Ki Wangut telah mencari hubungan dengan orang-orang yang dikenalnya merupakan jalur dengan orang-orang di Kediri. Tetapi hubungan itupun agaknya terlalu sulit untuk sampai kepada orang yang pertama.

Meskipun demikian, agaknya orang-orang yang menjadi jalur hubungan dengan Kediri itu memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik dari sisa-sisa pengikut Ki Wangut yang gelisah. Sehingga dengan demikian, maka berita tentang kemungkinan kegagalan usaha untuk membunuh perempuan dan anaknya itu telah terdengar oleh orang-orang yang bermain dengan rencana itu di Kediri.

“Mereka ternyata adalah orang-orang dungu” desis seorang yeng berjambang lebat

“Aku sudah mengira. Jika ia berhasil, maka ia tentu sudah menuntut upah yang kita janjikan itu, setelah mereka dapat menyerahkan bukti-bukti kematian perempuan dan anak laki-laki itu” sahut seorang yang bertubuh tinggi.

“Agaknya pihak yang semula berdiri diluar persoalan ini telah menjadi sebab gagalnya rencana Ki Wangut. Aku semula menganggap bahwa ia memiliki kelebihan dari orang-orang lain yang pernah aku kenal. Tetapi ternyata ia tidak lebih dari seorang yang hanya pandai membual. Menurut pendengaranku, ia telah mengorbankan terlalu banyak pengikutnya. Sedangkan akhirnya ia tidak berhasil sama sekali”

“Itu adalah akibat dari kebodohannya” berkata orang ber jambang pula.

Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata, “Tetapi kita tidak boleh terpancang pada sikap itu. Bahkan yang terjadi adalah akibat kebodohan Ki Wangut. Jika masalahnya menjadi semakin buruk, maka kita harus mengambil sikap lain”

“Maksudmu?” bertanya orang berjambang.

“Mungkin ada pihak-pihak yang ingin menelusuri masalah ini sampai ke Kediri” sahut orang bertubuh tinggi.

“Memang mungkin sekali. Karena itu, maka kita harus memperketat pengawasan di sekitar istana Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada orang yang ingin langsung menghadapnya untuk menyampaikan masalah ini. Atau mungkin justru perempuan dan anak itu langsung dibawanya menghadap”

“Kita akan berhubungan dangan jaring-jaring yang sudah kita susun. Kita harus bekerja bersungguh-sungguh. Taruhannya adalah segala kekayaan dan warisan Pangeran yang kaya-kaya itu. Sebab tidak seharusnya warisan itu jatuh ke tangan darah padesan meskipun ia adalah anak Pangeran Kuda Padmadata”

Kawannya yang berjambang itu tertawa. Katanya, “Apakah itu yang terpenting?”

“Lalu apa?” bertanya yang bertubuh tinggi.

“Yang terpenting adalah nasib kita sendiri. Jika kita dengan keras hati berniat menggagalkan saluran warisan itu kepada daerah padesan, maka yang terpenting adalah, bahwa kita akan menerima sebagian dari padanya”

“Ah, kau memang terlalu tamak” desis orang bertubuh tinggi itu.

“Apakah kau kira, kau tidak akan berbuat demikian?” bertanya orang berjambang, “seandainya, anak padesan itu berjanji kepada kita untuk memberikan lebih banyak dari bagian yang akan kita terima jika warisan itu tidak jatuh kepadanya, maka apakah kita tidak akan berpihak kepada anak padesan itu, meskipun kita sendiri mempunyai tetesan darah bangsawan”

“Kau memang gila” desis orang bertubuh tinggi, “tetapi itu adalah pengakuan yang jujur. Aku kira aku pun berpendirian serupa. Namun demikian, aku masih memikirkan harga diriku sebagai seorang bangsawan dari tingkat yang paling rendah sekalipun”

Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Tetapi akhirnya ia berkata, “Baiklah. Semuanya dapat saja kita lakukan. Tetapi yang penting, kita harus selalu mengawasi segala kemungkinan yang dapat terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata”

Dengan demikian, maka kegelisahan para pengikut Ki Wangut itu telah menggerakkan orang-orang yang terlibat dalam persoalan yang sedang bergejolak di dalam keluarga Pangeran Kuda Padmadata. Mereka memang sudah memperhitungkan, berdasarkan atas laporan-laporan dari perkembangan keadaan, maka Ki Wangut akan mengalami kegagalan. Meskipun mereka belum menerima keterangan selengkapnya tentang kegagalan Ki Wangut.

Namun bahwa orang itu tidak lagi nampak untuk waktu yang lama, maka mereka menduga, bahwa Ki Wangut tidak berhasil menemukan tempat persembunyian perempuan dan anak laki-lakinya atau bahkan Ki Wangut telah mengalami kegagalan yang paling pahit seperti yang pernah terjadi atas beberapa orang pengikutnya.

Dengan persiapan yang baik, maka istana Pangeran Kuda Padmadata telah dikelilingi oleh beberapa orang yang bertugas untuk mengawasi jika ada orang yang mencurigakan tersangkut dalam persoalan yang gawat itu mulai merambah jalan masuk untuk menghadap Pangeran Kuda Padmadata, atau bahkan langsung menghadapkan perempuan dan anak laki-lakinya, yang seharusnya sudah dimusnahkan itu. Bukan saja satu dua orang pengawal, tetapi orang-orang dalam di istana itu pun telah mendapat tugas-tugas khusus yang berhubungan dengan kemungkinan yang tidak diinginkan itu.

Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang bangsawan yang senang sekali memelihara berbagai macam binatang. Dari burung yang berkicau, sampai pada binatang buas yang dibuatnya kandang yang khusus di halaman. Di halaman samping dari istana itu terdapat kandang seekor harimau loreng yang besar dan garang. Beberapa langkah lagi terdapat kandang harimau hitam legam yang sangat berbahaya, karena harimau itu pandai memanjat seperti seekor kucing. Meskipun harimau hitam itu tidak sebesar dan sekuat harimau loreng, tetapi bagi lawan-lawannya, harimau hitam justru lebih berbahaya, karena kelicikannya.

Tetapi berbeda dengan kandang yang kuat dan garang itu, di bagian lain terdapat sangkar burung berkicau bergantungan di serambi. Namun kadang-kadang para tamu terkejut ketika mereka memasuki pintu samping karena mereka akan melihat kulit seekor ular yang utuh membelit pada sebatang kayu. Kepalanya yang besar dengan mulut menganga tergantung tepat diatas pintu. Istana Pangeran Kuda Padmadata menunjukkan, bahwa pemiliknya adalah seorang pemburu yang baik.

Di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra berhasil mendengar serba sedikit tentang Pangeran itu. Tetapi yang mereka dengar dari beberapa orang di kedai-kedai adalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang pemburu. Selebihnya mereka tidak mengetahui.

“Kita sudah mengetahui beberapa hal” berkata Mahisa Agni, “Pangeran itu adalah seorang yang kaya raya dan ia seorang pemburu yang baik”

“Baru itu” potong Mahisa Bungalan.

Witantra tertawa. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Kita sudah melalui jalan di depan rumah itu beberapa kali. Kita melihat beberapa orang sibuk di halaman, membersihkan taman dan kadang-kadang melakukan pekerjaan yang tidak berarti. Betapapun kayanya seseorang, tetapi ia tidak mempunyai juru taman yang berlebih-lebihan jumlahnya. Di hari kedua aku melihat ada tiga orang yang sibuk di halaman rumah itu. Meskipun hari ini aku hanya melihat seorang”

“Mungkin mereka adalah pekatik atau juru pengangsu atau gamel yang sedang tidak mempunyai pekerjaan. Karena mereka senang pula akan berjenis-jenis tanaman, maka mereka telah membantu juru taman untuk memelihara tanaman bunga yang tumbuh di halaman” desis Mahisa Bungalan.

“Memang mungkin. Tetapi mungkin pula, mereka memang dipasang untuk mengawasi orang-orang yang tidak mereka kehendaki memasuki halaman istana itu” jawab Witantra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Itupun dapat terjadi. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat terus menerus mondar mandir tanpa berbuat sesuatu”

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya, “Kau ternyata masih terlalu dikuasai oleh kemudaanmu. Kita harus berhati-hati. Jangan membiarkan gejolak perasaanmu mendorongmu untuk berbuat sesuatu diluar pertimbangan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kita tidak boleh terlambat paman”

“Ya, ya” sahut Witantra, “kita memang harus berbuat sesuatu secepatnya”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi iapun terdiam. Sementara itu, maka ketika mereka berada di rumah Ki Daredu, maka Mahisa Agnipun bertanya kepada pekatik itu, “Ki Daredu, apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Pangeran Kuda Padmadata dengan kesenangannya berburu?”

Ki Daredu termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Hamba tidak banyak mengetahui tentang Pangeran yang kaya raya itu tuanku. Yang hamba ketahui, di dalam istananya terdapat banyak sekali jenis binatang hidup atau mati”

“Apakah kau mempunyai seorang kenalan atau sanak kadang yang mengabdi pada Pangeran itu?”

Ki Daredu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika sekedar mengenal, hamba mengenal seorang diantara mereka. Hamba mengenal seorang pemelihara kuda yang baik di istana itu. Mula-mula ia tidak lebih dari seorang pekatik yang harus mencari rumput seperti hamba untuk memberi makan beberapa ekor kuda yang baik di istana itu. Tetapi kemudian ia berhasil mempelajari sifat dan tabiat kuda yang dikenalnya di dalam istana itu. Akhirnya, ia menggantikan pemelihara kuda yang terdahulu, yang sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja lagi”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Daredu. Apakah di istana itu tidak memerlukan pekatik lagi? Jika pekatik itu kini bertugas sebagai pemelihara kuda, maka apakah sudah ada pekatik yang lain yang menyediakan rumput bagi kuda-kuda yang berada di istana itu”

“Sudah tuahku. Sudah ada. Akupun mengenalnya, karena kami sering bersama-sama berada di padang rumput”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan ikut bersamamu ke padang rumput. Akan membantumu menjadi seorang pekatik”

“Tuanku. Hamba tidak mengerti” wajah Ki Daredu menjadi tegang.

“Kau berjanji untuk tidak bersikap demikian dihadapan orang lain. Bahkan di hadapan isterimu” desis Mahisa Agni, “Kau akan menganggap aku sebagai saudaramu yang datang dari jauh. Kau ingat”

Ki Daredu mengeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam, “Hamba tidak mengerti. Apa saja yang sedang tuanku lakukan sekarang di Kediri”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Aku tidak sedang berbuat apa-apa selain mengenal Kediri pada masa ini, setelah beberapa lama aku tinggalkan. Ketika aku berada di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata belum menjadi seorang yang mendireng seperti sakarang. Ia masih terlalu muda dan mungkin tidak termasuk ke dalam perhatianku pada masa itu”

“Kenapa sebenarnya dengan Pangeran itu?” bertanya Ki Daredu.

“Tidak apa-apa. Dan kaupun tidak perlu mengatakan dan menanyakan kepada siapapun juga. Aku hanya ingin ikut bersamamu ke padang rumput untuk menyabit rumput”

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba tidak mengerti. Tetapi jika demikian yang tuan kehendaki, maka apa boleh buat”

Demikianlah ketika Ki Daredu pergi ke padang rumput, untuk menyabit rumput yang hijau segar, maka Mahisa Agni telah pergi bersamanya dalam pakaian seorang pekatik. “Namaku Damar” desis Mahisa Agni ketika mereka barada di padang.

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Aku, hamba, eh, aku menurut saja yang tuanku, maksudku, yang kehendaki”

Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Sejenak kemudian Mahisa Agni pun telah ikut menyabit rumput bersama Ki daredu. Di padang itu terdapat beberapa orang yang juga sedang menyabit rumput untuk memberi makan kuda-kuda peliharaan yang banyak jumlahnya di Kediri.

“Tuanku, maksudku, kami dapat juga menyabit rumput he?” bertanya Ki Daredu.

“Di masa kecilku aku tinggal di sebuah padepokan kecil. Aku juga sering menyabit rumput dan menggembala kerbau” jawab Mahisa Agni.

“Tuanku senang berkelekar” Ki Daredu tertawa.

“Namaku Damar” Mahisa Agni memperingatkan.

“O, ya. Maksudku, kau sedang berkelekar, Damar”

Mahisa Agnipun tertawa tertahan. Namun dalam pada itu, yang dilakukannya itu telah membawa Mahisa Agni ke dalam sebuah kenangan. Kenangan di masa yang telah jauh lampau. Samar-samar mulai terbayang, sebuah padepokan kecil yang bernama Panawijen. Seorang anak muda yang sederhana, tinggal di padepokan. Sehari-hari dilakukannya pekerjaan sebagi-mana anak-anak padesan. Namun di malam hari anak muda itu belajar bukan saja oleh kanuragan, tetapi juga kejiwan dan kesusastraan serba sedikit dari seorang mPu yang bernama Empu Purwa.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu manis sekali, tetapi juga pahit seperti empedu. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng, seolah-olah ia ingin mengusir kenangan yang semakin lama menjadi semakin mengabur dan akhirnya hilang sama sekali, ketika Mahisa Agni berhasil memusatkan perhatiannya kepada beberapa orang menyabit rumput di padang itu.

“Ki Daredu, yang manakah pekatik Pangeran Kuda Padmadata yang sekarang?” bertanya Mahisa Agni.

“Itulah. Yang masih muda. Semuda kemanakan tuanku”

“Namaku Damar”

“Ya, ya. Semuda kemanakanmu yang bernama Bungalan itu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Bawa aku kepadanya. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredu termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ia datang dengan pekatik yang lama, sekarang menjadi juru pemelihara kuda”

“O, jadi orang itu ada disini pula?”

“Ya. Agaknya pekatik itu menyabit rumput yang tidak begitu baik, sehingga pemelihara kuda itu memerlukan datang untuk memberinya petunjuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Kepada Ki Daredu ia bertanya, “Pekatik baru itu memang terlalu bodoh. Ia sama sekali tidak dapat menyabit rumput. Jika sekiranya ia mempunyai sedikit pengalaman menyabit rumput sebelumnya, ia tidak akan berbuat seperti itu. Aku sudah lama sekali tidak menyabit. Tetapi aku agaknya masih lebih pandai daripadanya”

Ki Daredu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sejenak semula aku sudah menyangka, bahwa ia sama sekali belum pernah melakukan pekerjaan itu. Meskipun demikian, ia adalah anak yang rajin, sehingga setiap hari iapun dapat membawa rumput yang cukup untuk memberi makan beberapa ekor kuda di rumah Pangeran Kuda Padmadata itu. Tetapi agaknya pemelihara kuda itu menganggap perlu untuk memberinya beberapa petunjuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Cari kesempatan untuk berbicara dengan mereka. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredu pun kemudian menjinjing keranjang rumputnya mendekati mereka. Sambil melemparkan keranjangnya ia bertanya, “He kau turun lagi ke padang rumput ini?”

Yang diajak berbicara itupun tersenyum sambil menjawab, “Anak itu bodoh sekali. Sudah beberapa kali aku memberinya petunjuk. Tetapi ia belum berhasil mendapatkan rumput seperti yang aku kehendaki. Bahkan masih belum mencukupi kebutuhan, apa lagi Pangeran Kuda Padmadata mempunyai dua ekor kuda yang baru dan tegar”

“Apakah aku dapat membantu” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya.

Ki Daredu terkejut. Tetapi ia menahan diri untuk tidak memberikan kesan apapun, juga, karena ia sudah mulai curiga, bahwa kedatangan Mahisa Agni ke Kediri, bukannya tanpa maksud tertentu.

Pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata itu memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah orang ini Ki Daredu?”

Ki Daredu menjadi bimbang. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Ia saudaraku yang datang dari jauh”

“Siapakah namanya?”

“Damar” sahut Ki Daredu dengan memaksa diri, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Daredu pun berkata, “ia datang dari padesan. Agaknya sawah dan ladangnya menjadi kering olah musin kemarau yang panjang. Karena itu, ia datang ke kota”

Pemelihara kuda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Padang inipun sudah mulai terpengaruh pula oleh musim, meskipun ada parit khusus yang sengaja dialirkan lewat padang ini justru agar rumput di padang ini tidak menjadi kering sama sekali”

“Ya. Padang ini adalah padang yang diperuntukkan bagi kuda-kuda peliharaan di daerah belahan Selatan kota Kediri. Padang serupa hanya ada tiga hamparan di seluruh kota ini” jawab pemelihara kuda itu” Jika padang ini menjadi kering, maka kita harus mencari rumput ke sawah-sawah dan pategalan”

Ki Daredu mengangguk-angguk. Sementara MahisaAgnipun bertanya sekali lagi, “Apakah aku dapat menghambakan diri kepada Pangeran yang mempunyai kuda yang tegar itu. Maksudku. Pangeran Kuda…”

“Kuda Padmadata” pemelihara kuda itu melengkapi.

“Ya. Pangeran Kuda Padmadata. Aku tidak dapat segera kembali ke padukuhanku yang kering. Disini aku akan mendapat sekedar makan dan tempat untuk menumpang badan sepata” sambung Mahisa Agni.

“Kau tidak mempunyai keluarga?” bertanya pemelihara kuda itu.

“Tidak Ki Sanak. Isteriku telah meninggal. Anakku yang seorang tidak lagi aku ketahui dimana tinggalnya, sementara anakku yang seorang lagi, perempuan, telah meninggal ketika ia melahirkan anak”

Pemelihara kuda itu termangu-mangu. Katanya kemudian, “Aku memang memerlukan kawan. He, apakah ia sekarang membantumu Ki Daredu?”

“Membantu menyabit disini. Tetapi ia belum menghambakan diri kepada siapapun” Ki Daredu mencoba menyesuaikan diri, bahkan katanya kemudian, “jika ia mendapat tempat untuk menghamba, aku akan sangat terterima kasih, karena aku yang miskin ini tidak perlu menanggung hidupnya meskipun ia hanya sebatang kara”

“Aku akan membicarakannya dengan Ki Jurasanta. lurah para abdi di istana Pangeran Kuda Padmadata kata pemelihara kuda itu."

“Terima kasih Ki Sanak, terima kasih. Aku tak sampai hati terlalu lama menjadi beban kakang Daredu yang sudah merasa kesulitan menanggung keluarganya sendiri” berkata Mahisa Agni.

“Bukankah namamu Damar?” bertanya pemelihara kuda itu.

“Ya, namaku Damar” sahut Mahisa Agni.

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya” desis pemelihara kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa kadang-kadang memperhatikan pekatik baru yang masih muda, yang ternyata masih kurang pandai menyabit rumput itu. Pada sorot matanya, Mahisa Agni menangkap isyarat, bahwa ia harus berhati-hati terhadapnya.

“Ia hadir di istana itu dengan tugas khusus” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun ia tidak pandai menyabit rumput, tetapi ia mencoba untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Namun ada sesuatu yang perlu diperhatikan pada anak itu”

Ternyata bahwa pandangan Mahisa Agni yang tajam, berhasil menangkap sesuatu pada anak itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni masih tetap pada sikapnya

“Datanglah besok” berkata pemelihara kuda itu, “aku tentu sudah berkesempatan bertemu dengan Ki Jurasanta”

“Terima kasih” desis Mahisa Agni terima kasih.

Dan Mahisa Agni pun kemudian meneruskan membantu Ki Daredu menyabit rumput. Ia berbuat seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pekatik. Untunglah bahwa di masa kecilnya, Mahisa Agni pernah juga melakukannya, sebagai anak padepokan kecil. Sehingga dengan demikian, nampak bahwa ia memiliki ketrampilan melampaui anak muda yang telah bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata itu.

Ketika kemudian mereka kembali pulang sebelum Ki Daredu membawa rumputnya ke istana Panji Kudasuwana, yang bertugas atas nama kekuasaan Singasari di Kediri, tidak habisnya ia bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya dilakukan olen Mahisa Agni, tetapi ada keseganan untuk menanyakannya.

Mahisa Agni lah yang kemudian sambil menjinjing keranjang di kepalanya berkata, “Kau tidak usah menjadi pening karena sikapku Ki Daredu. Biarlah aku mencari cara tersendiri untuk menemukan kesegaran kenangan atas kota ini”

“Tetapi tuanku telah berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Apakah yang akan dikatakan orang jika akhirnya mereka mengetahui, bahwa tuanku lah yang menjadi penyabit rumput di istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Itu sudah wajar. Aku anak padepokan kecil yang kemudian menjadi penyabit rumput”

“Tuanku adalah penguasa tertinggi di Kediri atas nama kerajaan Singasari yang kini memerintah Kediri” berkata Ki Daredu.

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Itu adalah Panji Kudasuwana. Bukan aku. Pada waktunya memang aku. Tetapi itu sudah lampau seperti juga Panji Pati-pati kini tidak berkuasa lagi”

Ki Daredu berdesis, “Aku sudah pikun” lalu suaranya merendah, “Ampun tuanku. Hamba tidak tahu apakah yang sebaiknya harus hamba lakukan. Mudah-mudahan hamba dapat membantu tuanku dengan rencana yang membingungkan ini”

Mahisa Agni masih tertawa. Keranjang rumput itupun masih berada dikepalanya. Katanya, “Aku pantas menjadi seorang pekatik?"

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menjadi bingung menghadapi sikap Mahisa Agni. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang akan dilakukan oleh orang yang pernah memegang kekuasaan di Kediri atas nama pimpinan tertinggi di Singasari itu. Tetapi bagaimana mungkin ia sampai merendahkan dirinya dan menjadi seorang pekatik.

Tetapi Ki Daredu kemudian tidak berani bertanya. Ia tidak ingin dianggap orang tua yang banyak ingin mengetahui persoalan yang bukan persoalannya. Ketika Mahisa Agni sampai di rumah Ki Daredu, maka iapun segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya. Mahisa Agni sempat juga menceriterakan, bagaimana Ki Daredu menjadi bingung karenanya.

Sementara itu, kening Mahisa Bungalan menjadi berkerut-merut. Ia tahu, bahwa yang dilakukan olah Mahisa Agni itu tentu berbahaya. Jika orang-orang yang berada di seputar Pangeran Kuda Padmadata mengetahuinya, maka ia akan berhadapan dengan kekuatan yang mungkin sangat besar.

Mahisa Agni seolah-olah mengetahui kecemasan Mahisa Bungalan itu. Maka katanya kemudian, “Jika aku mengalami kesulitan, bukankah kau dan kakang Witantra ada di sini...?”

Panasnya Bunga Mekar Jilid 09

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 09
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

KEDATANGAN Mahisa Bungalan memang telah mengejutkan orang tuanya. Terlebih lagi ia datang bersama seorang kakek dan seorang perempuan dan anaknya. Tetapi Mahendra tidak menunjukkan sikap yang masam, ketika ia menyambut tamu-tamunya.

“Mahisa Bungalan” bertanya Mahendra, “aku belum jelas bagaimanakah kedudukan kakek tua itu beserta anak perempuannya. Keteranganmu yang singkat itu menumbuhkan teka-teki padaku”

“Seperti yang aku katakan ayah. Perempuan itu adalah isteri dari Pangeran Kuda Padmadata di Kediri” sahut Mahisa Bungalan.

“Apakah kau mempunyai hubungan khusus dengan perempuan itu?” bertanya ayahnya.

“Tidak ayah. Sebenarnya tidak. Aku hanya ingin menolongnya, karena seolah-olah di dunia ini tidak ada lagi tempat baginya. Ia selalu diburu oleh bayangan maut” jawab Mahisa Bungalan. Dan iapun menceriterakan bagaimana ia membebaskan perempuan itu dari sebuah gubug di hutan tertutup. Bahkan karena itu, ia sudah terpaksa membunuh beberapa orang yang mengawasinya.

“Jadi sekian banyak orang yang digerakkan untuk membunuhnya bersama anaknya? Apakah nilai warisan Pangeran Kuda Padmadata itu sedemikian banyaknya, sehingga sebagian kecil daripadanya cukup untuk mengupah sekian banyak orang”

Mahisa Bungalnn menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan ayahnya itu memang dapat dimengertinya. Sehingga iapun bertanya kepada diri sendiri. Berapa banyak warisan yang mungkin akan ditinggalkan Pangeran itu kelak.

Karena Mahisa Bungalan tidak segera menajwab, maka Mahendra pun kemudian berkata, “Agaknya kau pun tidak mengerti Mahisa Bungalan. Tetapi baiklah kita anggap bahwa ada pihak yang ingin membunuh perempuan dan anak itu, agar keduanya tidak dapat lagi berbicara tentang warisan” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “Adalah satu kenyataan, bahwa perempuan dan anaknya itu kini berada di rumah ini. Katakan Mahisa Bungalan, apakah rencanamu kemudian? Selama ini aku menanti-nanti kapan kau pulang setelah kau puas bertualang. Bukankah kita sudah ditunggu pula untuk datang kepada kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra, menyerahkan tekad pengabdianmu dalam lingkungan keprajuritan”

“Ayah” berkata Mahisa Bungalan kemudian, “aku ingin menghadap Pangeran Kuda Padmadata. Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang sebenarnya telah terladi. Apakah benar bahwa perempuan itu memang isterinya. Jika demikian, maka ia mempunyai seorang anak laki-laki”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Mungkin Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya raya. Yang memiliki berpuluh-puluh keping emas, intan, berlian dan jenis-jenis permata yang lain. Aku yang mengenal nilai permata memang dapat membayangkan, betapa banyak harta benda itu. Namun apakah mungkin, bahwa rencana itu juga dilakukan karena harga diri. Keluarga Pangeran Padmadata tidak mau melihat keturunan Pangeran Kuda Padmadata dikotori oleh darah keturunan tataran padukuhan”

Mahisa Bungalan meng-angguk-angguk. Iapun tidak membantah kemungkinan itu. Sementara itu ayahnya berkata selanjutnya, “Namun bagaimanapun juga usaha pembunuhan itu tidak berbeda. Karena itu, memang sebaiknya Pangeran Kuda Padmadata memberikan penjelasan tentang hal ini. Kecuali jika rencana ini memang sudah diketahuinya pula”

“Ah” desah Mahisa Bungalan, “aku kira ia bukan orang yang demikian bengisnya terhadap anak laki-lakinya. Mungkin ia dapat berbuat demikian terhadap isterinya tetapi terhadap darah dagingnya sendiri?”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Jadi kau masih akan melakukan perjalanan ki Kediri?”

“Ya ayah” jawab Mahesa Bungalan.

“Perjalanan yang berbahaya. Siapa tahu, bahwa d Kediri telah menunggu beberapa orang yang sudah memperhitungkan, bahwa kemungkinan seperti yang akan kau lakukan itu akan terjadi”

“Memang mungkin” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi apakah dengan demikian kita tidak mengambil satu sikap apapun?”

“Maksudku bukan begitu. Tetapi kau harus berhati hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi” Mahendra berhenti sejenak, lalu, “jika kau benar-benar ingin ke Kediri, datanglah kepada pamanmu Mahisa Agn atau pamanmu Witantra. Mereka pernah berada di Kediri untuk satu jabatan tertinggi. Karena itu, mungkin keduanya akan dapat banyak memberikan petunjuk kepadamu, apa yang sebaiknya kau lakukan. Karena tidak mustahil bahwa justru di Kediri terdapat orang-orang yang benar-benar tidak dapat terkalahkan yang melingkari Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin orang-orang yang sedang mengejar perempuan itu sama sekali tidak mengenal jalur induk dari rencana ini. Dan mereka bukanlah orang yang sebenarnya patut diperhitungkan, karena mereka dipilih sekedar untuk membunuh seorang perempuan dan anak-anak”

“Tetapi mereka kini menyadari, bahwa mereka tidak dapat berbuat tanpa perhitungan. Beberapa orang di antara mareka sudah terbunuh” jawab Mahisa Bungalan.

“Ya. Karena itulah maka baik kau yang akan pergi ke Kediri, maupun yang ditinggalkan di sini harus berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan” berkata Mahendra.

“Ya ayah. Aku akan menghubungi paman Mahisa Agni dan paman Witantra sebelum aku pergi ke Kediri” sahut Mahisa Bungalan, “tetapi apakah tidak sebaiknya kita berbicara dengan kakek itu”

“Tidak ada salahnya. Panggillah” berkata Mahendra. Mahisa Bungalan pun kemudian memanggil Ki Wastu untuk ikut berbicara tentang rencana kepergian Mahisa Bungalan ke Kediri.

“Kau tinggal disini saja kek. Mudah-mudahan kalian aman tinggal di rumah ini” berkata Mahisa Bungalan.

Ki Wastu membungkuk dalam-dalam. Katanya, “Aku mengucapkan beribu terima kasih. Tetapi apakah dengan demikian, kami tidak akan terlalu banyak mengganggu. Angger Mahisa Bungalan sudah mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan anak dan cucuku tanpa pamrih. Dan sekarang, tidak mustahil bahwa persoalannya akan merambat sampai ke rumah ini, justru karena kami berada di sini”

“Kemungkinan-kemungkinan itu memang dapat terjadi Ki Wastu” berkata Mahendra, “tetapi ini adalah kemungkinan yang paling baik yang dapat kita tempuh bersama. Karena itu, tenangkan hati kalian disini, meskipun kita semuanya memang harus berhati-hati. Biarlah Mahisa Bungalan pergi ke Kediri”

“Ada semacam kecemasan di hati” berkata Ki Wastu, “bukan saja karena kami akan ditinggalkan oleh angger Mahisa Bungalan, tetapi juga perjalanan angger Mahisa Bungalan itu sendiri”

“Mudah-mudahan tidak banyak hambatan di perjalanan” berkata Mahisa Bungalan, “demikian juga, mudah mudahan tidak akan ada sesuatu yang dapat mengancam keselamatan kalian di sini. Selama aku pergi, kalian tinggal bersama ayah dan adik-adikku”

Ki Wastu tidak dapat menolak rencana yang akan dilakukan oleh Mahesa Bungalan, meskipun dengan demikian ia merasa, bahwa Mahisa Bungalan telah terlalu banyak berbuat bagi keluarganya. Selebihnya, ia memang benar-benar merasa cemas, seandainya orang-orang yang tentu masih saja memburu anak dan cucunya itu sampai pula ke rumah yang akan ditinggalkan oleh Mahisa Bungalan itu. Ia tidak terlalu mencemaskan dirinya sendiri, seandainya ia akan menjadi korban, karena itu memang sudah menjadi beban kewajibannya, bahkan tanggung jawabnya.

Tetapi jika isi rumah itu harus mengalami akibat yang buruk, maka ia tidak akan sampai hati membiarkannya terjadi. Namun agaknya Mahisa Bungalan sudah bertekad bulat. Dihari berikutnya, Mahisa Bungalan sudah akan siap untuk berangkat. Tetapi Mahisa Bungalan akan singgah di Singasari, menjumpai Mahisa Agni dan Witantra untuk mendapat keterangan apakah yang sebaiknya dilakukan di Kediri.

Demikianlah, ketika matahari terbit, Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke Kediri. Ketika ia keluar dari padukuhannya, maka ia tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Ki Wangut yang dengan tergesa-gesa melaporkannya.

“Anak muda itu” berkata pengikut Ki Wangut itu, “ia tentu yang berada di pedati yang kita ikuti. Ialah yang kemudian turun dan berjalan di sisi lembunya untuk beberapa tonggak menjelang akhir dari perjalanan mereka."

“Kemana anak itu?” desis Ki Wangut.

Pengiringnya menggelengkan kepalanya. Namun Ki Tunda Warapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Adalah kebetulan sekali. Dengan demikian, maka kekuatan yang ada di rumah itu telah berkurang. Menilik perlengkapannya, maka anak itu akan menempuh perjalanan jauh atau sekedar pergi ke padukuhan sebelah?” bertanya Ki Tunda Wara kemudian kepada pengikut Ki Wangut yang melihat Mahisa Bungalan meninggalkan padukuhan.

“Ia Berkuda, menilik perlengkapannya, ia tentu menempuh perjalanan yang panjang”

Ki Tunda Wara memandang Ki Wangut dengan tajam. Kemudian dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Saatnya telah tiba”

“Kita ber-siap-siap sekarang” berkata Ki Wangut, “kita tidak akan menunggu lagi. Biarlah kita bertindak di siang hari. Kita tidak ingin menunggu anak muda itu kembali. Yang penting perempuan dan anak itu mati. Kita membawa bukti kematiannya berupa apapun juga kepada orang yang dapat kita percaya. Kecuali jika perempuan itu akan dibiarkan hidup oleh kakang Tunda Wara”

“Anak iblis” berkata Ki Tunda Wara, “itu akan aku tentukan kemudian”

Ki Wangut hanya tersenyum saja. Namun iapun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya bersiap dan sekaligus memanggil kedua pengiring Ki Tunda Wara. Mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul, tidak di halaman banjar tempat Ki Wangut dan Ki Tunda Wara bermalam.

Meskipun demikian, sikap mereka sempat menarik perhatian orang-orang padukuhan itu. Tetapi agaknya Ki Wangut dan Ki Tunda Wara tidak banyak menghiraukannya Jagi. Mereka menganggap bahwa mereka tidak akan banyak mengganggu seandainya mereka mengetahui apa yang akan dilakukannya di halaman rumah Mahisa Bungalan yang sedang pergi itu.

Dari anak-anak muda yang dijumpainya di banjar, Ki Wangut dan Ki Tunda Wara mengetahui, bahwa di padukuhan itu tidak ada orang yang pantas disegani, kecuali Mahisa Bungalan dan keluarganya. Tetapi Mahisa Bungalan saat itu sedang tidak ada di rumahnya.

“Kita akan menyelesaikan tugas kita dengan cepat” berkata Ki Tunda Wara, “kemudian kitapun dapat meninggalkan padukuhan ini dengan cepat pula setelah tugas kita selesai”

Demikianlah, maka keenam orang itupun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bersama-sama mereka telah mendekati regol halaman rumah Mahendra yang menuju ke Singasari sebelum ia akan langsung ke Kediri.

Dalam pada itu, di rumah itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang merajuk karena mereka tidak diperkenankan mengikuti perjalanan kakaknya ke Kediri. Dengan wajah yang gelap Mahisa Pukat berkata, “Baru kemarin kakang Mahisa Bungalan datang, sekarang kakang Mahisa Bungalan sudah diperkenankan pergi lagi ke Kediri. Tetapi kami berdua masih saja dianggap kanak-kanak yang hanya boleh bermain di halaman”

Mahendra terpaksa tersenyum sambil berkata, “Hanya kanak-kanak sajalah yang merajuk seperti itu”

“Tetapi ayah tidak adil” potong Mahisa Murti, “berilah kesempatan kami untuk mengenal daerah yang akan dapat memberikan pengalaman bagi kami”

“Bukankah kalian sudah sering ikut bersama ayah pergi ke tempat-tempat yang jauh?”

“Tetapi sekedar menjajakan permata dan perhiasan” jawab Mahisa Murti.

Mahendra terpaksa tertawa. Katanya, “Jangan gelisah. Pada saatnya kalian akan melakukan perjalanan seperti kakakmu. Tetapi kali ini kakakmu sedang mengemban tugas kemanusiaan. Karena itu kalian jangan mengganggunya”

“Kami dapat membantunya, bukan mengganggu” sahut Mahisa Pukat.

Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya, “Benar. Kamu benar. Tetapi biarlah lain kali. Kesempatan masih panjang. Kalian masih terlalu muda untuk ikut melakukan tugas kemanusiaan kali ini”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak membantah lagi, meskipun mereka belum puas mendengar jawaban ayahnya. Sebenarnya bahwa mereka ingin ikut pergi, meskipun hanya sebagai pengiring yang tidak ikut menentukan apapun juga.

Ketika keduanya kemudian keluar ke halaman, Mahisa Pukat berkata, “Kita pergi saja ke kota”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita menghadap paman Mahisa Agni”

“Ya. Untuk apa? Seandainya kita bertemu dengan kakang Mahisa Bungalan, tentu kita akan disuruhnya pulang juga”

Mahisa Pukat termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, “Asal saja kita pergi untuk melepaskan kecewa. Kita berputar-putar sebentar, kemudian kembali sebelum sore”

Mahisa Murti berpikir sejenak. Lalu katanya, “Kita berjalan kaki saja. He, bukankah kita berjanji untuk menghadap paman Mahisa Agni sambil membawa seekor berkisar? Nah, kita bawa bekisar yang sudah kita siapkan itu”

“Kenapa berjalan kaki?”

“Lebih menyenangkan. Kita memintas lewat jalan-jalan sempit. Singasari tidak jauh. Setelah kita melampaui sendang Gupit, kita segera memasuki gerbang”

“Aku tahu. Kau akan merendam di sendang Gupit” Mahisa Murti tertawa. Katanya, “Kita akan minta ijin ayah. Tentu tidak berkeberatan asal kita berjanji tidak akan mengganggu dan memaksa untuk mengikuti kakang Mahisa Bungalan jika kita bertemu di tempat paman Mahisa Agni”

Tetapi ternyata kedua anak muda itu tidak sempat melakukannya. Ketika mereka akan masuk kembali, untuk menemuhi ayahnya, mereka melihat beberapa orang mendekati regol rumahnya.

“Ada tamu” berkata Mahisa Pukat.

“O, tamunya cukup banyak” sahut Mahisa Murti, “tentu orang-orang yang ingin membeli pusaka. Aneh, kadang-kadang orang-orang menjadi bingung untuk memiliki pusaka yang dianggapnya bertuah. Jika pusaka-pusaka ayah itu semuanya bertuah, sebaiknya tidak usah dijual saja”

“Untuk apa?” bertanya Mahisa Pukat.

“Disimpan sendiri. Tuahnya akan melimpah kepada ayah,”

“Tidak selalu sesuai. Karena itu, maka untuk memiliki sebuah pusaka, perlu ditayuh tiga hari atau sepekan”

Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Mereka melihat orang-orang berkuda itu memasuki regol halaman rumahnya tanpa turun dari punggung kuda mereka. Kedua anak muda itu menjadi curiga ketika mereka melihat orang-orang berkuda itu memencar.

“He, apakah yang akan mereka lakukan? Apakah kedatangan mereka ada hubungan dengan kedatangan orang orang yang berpedati bersama kakang Mahisa Bungalan” desis Mahisa Pukat.

“Mungkin sekali” jawab Mahisa Murti, “panggil ayah. Aku akan menemuinya”

“Jangan sendiri. Biarlah aku bersamamu. Jika sudah pasti barulah kita menentukan langkah” jawab Mahisa Pukat.

Dengan demikian maka kedua anak muda itu tidak beringsut dari tempatnya. Dengan tengadah mereka menatap orang-orang yang berada di halaman rumahnya dengan sikap yang tidak sewajarnya itu.

Ki Wangut dan Ki Tunda Wara memandang kedua anak muda itu dengan hati yang berdebar-debar. Nampaknya kedua anak muda itu memang memiliki beberapa kelebihan seperti yang pernah didengarnya dari anak-anak yang berada dibanjar.

“Tentu kedua anak muda inilah yang disebut Mahisa Pukat dan Mahisa Murti” berkata Ki Wangut dan Ki Tunda Wara di dalam hatinya.

Sementara itu, Mahisa Pukat yang melangkat maju bertanya., “He, siapakah Ki Sanak yang belum pernah kami kenal, namun yang telah memasuki halaman rumah kami dengan cara yang tidak kami sukai ini?”

Ki Wangut tertawa. Jawabnya, “Anak muda yang berani. Sayang bahwa kau belum mengenal kami. Jika kalian telah mengenal kami, maka kalian tidak akan bersikap demikian”

“Bagaimana sikap kami menurut pendapatmu” tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya.

Pertanyaan itu agak mengejutkan Ki Wangut. Namun iapun kemudian menjawab, “Kalian tentu bersikap lebih baik dan hormat”

“Siapa kalian?” desak Mahisa Pukat.

“Siapapun kami, tidak banyak bedanya bagi kalian, karena kalian memang belum mengenal kami. Tetapi ketahuilah bahwa kami datang dari tempat yang jauh. Kami datang untuk menyusul saudara perempuan kami bersama anak laki-lakinya”

Wajah kedua anak muda itu menegang. Mereka sudah mengetahui serba sedikit tentang perempuan yang datang bersama kakaknya itu. Sehingga karena itu, maka dengan tanpa ragu-ragu Mahisa Pukat berkata, “O, jadi kalianlah yang telah memburunya dan akan membunuhnya”

Wajah orang-orang berkuda itu menegang. Mereka tidak mengira bahwa anak-anak muda itu akan dengan langsung menyebutnya. Tetapi karena mereka tidak akan dapat ingkar lagi, maka Ki Wangut pun berkata, “Ya. Tidak mungkin kami sembunyikan lagi maksud kedatangan kami. tujukkan dimana mereka. Dengan demikian kalian dan penghuni rumah ini yang lain tidak akan mengalami kesulitan apapun juga”

Diluar dugaan orang-orang yang berada di halaman itu, Mahisa Murti menjawab, “Mereka berada di rumah kami. Mereka adalah tamu-tamu kami. Karena itu, mereka berada dibawah perlindungan kami”

Ki Wangut menggeram. Namun kemudian ia memaksa bibirnya untuk tersenyum, “Kalian adalah anak-anak muda yang luar biasa. Tetapi jangan melibatkan diri dalam persoalan ini. Lebih baik kalian minggir dan memberi jalan kepadaku, masuk ke dalam rumahmu untuk mengambil perempuan dan anak laki-lakinya itu.

Wajah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menjadi merah padam. Dengan suara bergetar Mahisa Murti berkata, “Kalian menganggap kami tikus-tikus kecil yang takut melihat seekor kucing. Kembalilah dan jangan menginjak halaman rumahku sekali lagi”

“Anak iblis. Anak setan” geram Ki Tunda Wara, “kalian jangan terlalu bodoh untuk bersikap demikian terhadap kami berenam. Kami adalah orang-orang liar yang tidak pernah membuat pertimbangan berulang kali. Jika kami masih memberi kesempatan kepada kalian, itu berarti bahwa kami masih belum sampai puncak sikap kami. Karena itu, pergilah. Biarlah kami mengurus perempuan itu”

“Tidak” Mahisa Pukat hampir berteriak, “pergi, sebelum aku bertindak. Rumah ini adalah rumahku. Halaman ini adalah halaman ayahku”

“Setan teriak Tunda Wara, “aku bunuh kau”

Namun dalam pada itu, semua orang yang berada di halaman itu terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di pintu seketeng, “Anakmas Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Biarlah aku menemuinya. Agaknya orang-orang itu mencari aku. Sebaiknya aku tidak terlalu mengganggu kalian dan ayah kalian”

Tetapi belum lagi suara itu lenyap getarannya, terdengar jawaban dari pintu pringgitan, “Biarlah anak-anak itu belajar menerima tamu Ki Wastu. Kita yang tua-tua ini sebaiknya menunggu, apakah tamu kita cukup sopan, atau tidak”

Ki Wangut dan Ki Tunda Wara menggeretakkan giginya. Bahkan salah seorang dari pengiringnya nampak tidak sabar lagi, sehingga berteriak, “Kita bunuh semuanya”

Ki Wangut pun kemudian berkata, “Kalian adalah orang-orang yang tidak tahu diri. Aku tahu. Orang itu adalah orang tua yang mengikuti perempuan dan anak laki-lakinya yang harus aku bunuh. Sedangkan orang tua yang berdiri di pintu pringgitan itu adalah ayah kedua anak muda ini yang bernama Mahendra, juga. ayah Mahisa Bungalan”

“Tepat” jawab Mahendra yang kemudian melangkah menyeberangi pendapa, “aku adalah ayah kadua anak-anak itu, sedangkan orang tua di seketeng itu adalah Ki Wastu. Ayah dari perempuan yang kalian buru. Sedangkan anakku Mahisa Bungalan saat ini sedang pergi”

“Tidak ada jalan lain” geram Ki Tunda Wara, “kita harus memakai kekerasan. Agaknya orang-orang yang tidak tahu diri ini mencoba untuk memamerkan kemampuannya”

“Sama sekali tidak Ki Sanak” berkata Mahendra, “tidak ada gunanya untuk menyombongkan diri. Jika aku harus bertempur adalah semata-mata karena aku ingin mempertahankan diri, dan berbuat sebaik-baiknya sebagai tuan rumah yang mendapat tamu”

“Persetan” jawab Ki Wangut, “jangan berbicara seperti sedang sesorah. Kita akan bertempur dan saling membunuh”

“Kalian benar-benar ingin membunuh?” bertanya Mahendra kemudian.

“Sudah aku katakan”

“Jika demikian, apa boleh buat. Mungkin kalian akan berhasil, tetapi seisi padukuhan ini tidak akan melepaskan kalian meninggalkan halaman rumah ini” berkata Mahendra.

“Kami akan membunuh seisi padukuhan ini jika mereka mencoba menghalangi kami”

“Jumlah kalian tidak lebih dari enam orang. Sedangkan anak muda di padukuhan ini jumlahnya puluhan”

“Persetan anak iblis” teriak Ki Tunda Wara sambil meloncat turun. “Kita bunuh semuanya”

Ki Wangut dan para pengiringnya pun segera turun dari punggung kudanya. Mereka mengikat kuda mereka pada pohon-pohon perdu seperti mereka hendak bertamu. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat timbul atas diri mereka. Demikian yakin mereka akan kemampuan mereka masing-masing, apalagi di antara mereka terdapat Ki Wangut sendiri dan Ki Tunda Wara.

“Meskipun orang tua yang disebut ayah itu mampu membunuh dua orang sekaligus, namun yang dihadapinya adalah kelinci-kelinci dungu yang tidak mampu berbuat sesuatu yang berarti dengan senjata mereka” berkata salah saorang pengiring itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun hampir tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir meloncat maju, ayahnya berkata, “Anak-anak ambillah senjata panjang kalian. Jangan tergesa-gesa. Nampaknya orang-orang itu bukan orang-orang yang dapat berpikir panjang”

“Gila” teriak salah seorang pengiring Ki Wangut.

Namun Mahendra pun kemudian berkata, “Beri kesempatan kedua anak-anakku mengambil senjata panjangnya. Kalian akan dihadapkan pada kemampuan mereka sepenuhnya”

“Beri anak-anak itu kesempatan” teriak Ki Tunda Wara.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun meloncat naik ke pendapa dan berlari masuk ke ruang dalam. Mereka yang semula sudah bersiap untuk bertempur dengan keris, atas nasehat ayahnya, maka mereka pun telah mengambil pedang mereka.

“Kau bawa pedang rangkap?” bertanya Mahisa Murti.

“Ya. Aku ingin menunjukkan kepada ayah, bahwa aku sudah menguasai permainan pedang rangkap”

“Aku akan membawa canggah” desis Mahisa Murti.

“Jangan mencoba-coba. Nampaknya mereka adalah orang-orang yang garang. Pergunakan yang paling baik menurut pendapatmu”

Mahisa Murti barpikir sejenak. Kemudian disambarnya sepasang pedangnya sambil berkata, “Akupun mempercayakan diri pada ilmu pedang rangkap”

Ketika mereka menghambur kembali ke halaman, mereka melihat orang-orang yang memasuki halaman mereka, telah berdiri dalam dua lingkaran. Yang sekelompok mendekati Ki Wastu yang telah keluar dari seketeng, sementara yang sekelompok lagi berada di sekitar Mahendra.

Sejenak Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia kurang memahami kemampuan orang tua yang berdiri di luar seketeng itu. Jika ia memerintahkan salah seorang anaknya bertempur bersamanya, tetapi keadaannya akan sangat menyulitkan anaknya, maka ia tentu tidak akan dapat membiarkannya.

Namun demikian, tidak ada jalan lain kecuali mencobanya. Karena itu, maka katanya, “Salah seorang dari kalian, bertempurlah bersama Ki Wastu. Dengan demikian, dia tidak harus menghadapi tiga orang sekaligus”

Sejenak kedua anak muda itu ragu-ragu. Namun Mahisa Pukat lah yang meloncat mendekati Ki Wastu sambil berteriak, “Aku berada di sini Ki Wastu”

Ki Wastu lah yang menjadi berdebar-debar. Ia yakin anak itu tentu belum memiliki kemampuan seperti Mahisa Bunalan. Karena itu, maka ia pun justru memikirkan kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi dengan anak itu.

“Jangan banyak bicara lagi” geram Ki Wangut yang langsung menghadapi Ki Wastu, “aku sudah siap membunuhmu jika kau berkeras untuk melindungi anak perempuan dan cucumu”

Ki Wastu tidak menjawab lagi. Ia sudah siap dengan pedang dan perisainya. Pedangnya yang khusus memang memberikan kesan tersendiri pula kepada lawannya. Namun Ki Wangut benar-benar ingin menyelesaikan persoalan itu dengan segera. Karena itu, maka iapun segera melangkah mendekati lawannya, sementara kedua pengiringnya bersiap-siap menghadapi Mahisa Pukat.

Dalam pada itu. Ki Tunda Wara telah bersiap pula. Namun m masih mencoba memperingatkan Mahendra. Katanya, “Apakah kau benar-benar berkeras untuk membantunya?”

“Ya” jawab Mahendra.

“Jangan menyesal. Aku adalah pembantai yang paling buruk yang pernah ada. Aku membunuh tanpa seujung rambutpun yang tergetar. Aku terbiasa melakukan apa saja yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Tetapi aku kadang-kadang mengurungkan niatku sebelum aku mulai, jika korbanku mendengarkan nasehatku”

“Apa nasehatmu bagiku sekarang?” bertanya Mahendra.

“Pergilah dan bawa anak-anakmu menyingkir”

Mahendra mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya membuat Ki Tunda Wara semakin marah. Katanya, “Sayang Ki sanak. Aku tidak dapat menerima nasehat itu. Malahan sebaiknya, kau saja mengurungkan niatmu. Biarlah perempuan dan anaknya itu kembali kepada suaminya dengan damai. Kenapa kalian harus berjuang untuk membunuhnya hanya karana kalian akan menerima upah. Apakah harga jiwa seseorang dapat dinilai dengan keping-keping uang? He, Ki Sanak. Menurut pendengaranku, sudah sekian banyak kawan-kawanmu yang mati. Apakah harga nyawa kawan-kawanmu itu sesuai dengan upah yang dijanjikan”

“Persetan” geram Ki Tunda Wara, “persoalannya tidak lagi jumlah upah dan banyaknya kematian. Ada atau tidak ada, dendam sudah membara. Persoalannya kini justru karena kami ingin menuntut balas atas kematian kawan-kawanku, dengan tidak mengabaikan upah yang bakal kami terima. Tetapi bagiku, pembunuhan yang telah dilakukan oleh Mahisa Bungalan benar-benar sangat menyakitkan hati”

“Dan sekarang kau datang karena Mahisa Bungalan tidak ada di rumah” desis Mahendra.

“Diamlah anak iblis” teriak Ki Tunda Wara, “kita akan mulai bertempur”

Mahendra kemudian mempersiapkan diri. Ia juga membawa sebilah pedang. Dengan hati-hati ia memperhatikan setiap gerak dan sikap. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, iapun segera dapat mengetahui, bahwa lawannya memang bukan orang kebanyakan. Demikian pula Ki Tunda Wara. Ia segera mengetahui, bahwa Mahendra adalah seorang yang pilih tanding.

“Gila” geramnya di dalam hati, “orang ini agaknya tidak kalah dari anaknya yang dikatakan memiliki kemampuan yang luar biasa itu. Kita memang bodoh. Sebaiknya, pedati itu kita hentikan di jalan saat kita dapat menyusulnya”

Tetapi Ki Tunda Wara pun menyadari, bahwa mereka baru dapat menyusul pedati itu dekat padukuhan Mahisa Bungalan, sehingga jika ia bertempur saat itu, kemungkinan hadirnya ayah dan adik-adik Mahisa Bungalanpun sangat besar pula.

Sejenak kemudian, maka Ki Tunda Warapun mulai menggerakkan senjatanya. Sementara kedua pengiringnya telah memencar. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti yang bertempur bersama ayahnya tidak memisahkan dirinya.

Di bagian lain, Mahisa Pukat benar-benar harus melawan dua orang yang diperintahkan oleh Ki Wangut untuk secepatnya membunuh anak muda itu. Ia sendiri akan menghadapi Ki Wastu yang sudah bersiap pula menghadapinya.

Namun dalam pada itu, berbeda dengan Ki Wastu yang cemas dan gelisah karena Mahisa Pukat yang harus berhadapan dengan dua orang lawan, maka anak muda itu sendiri menjadi gembira. Darahnya yang panas seolah-olah telah merambat di seluruh tubuhnya, sehingga iapun justru mulai menggetarkan sepasang pedang rangkapnya.

Sejenak kemudian, maka pertempuranpun segera menyala di halaman rumah itu. Beberapa orang yang melihat ketegangan itupun telah berlari-lari menyingkir. Namun ada beberapa orang anak-anak muda yang memberanikan diri untuk menyaksikannya.

Meskipun mula-mula mereka melihat pertempuran itu sambil bersembunyi, namun akhirnya satu dua diantara mereka telah berusaha menjadi semakin dekat. Ada di antara mereka yang memanjat sebatang pohon di luar dinding halaman, dan ada pula yang menjenguk di regol halaman.

Ki Wangut yang melihat mereka pula telah berteriak lantang, “Siapa yang berani memasuki halaman, mereka akan dibantai pula disini bersama seisi rumah ini”

Karena itu, maka tidak seorang pun yang segera berani memasuki halaman rumah itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa tidak memiliki bekal kemampuan yang cukup untuk memasuki arena perkelahian yang membingungkan itu.

“Dua orang itu adalah orang-orang yang tidur di banjar semalam” desis salah seorang dari anak-anak muda itu.

“Ya. Itulah agaknya mereka berbicara melingkari keluarga Mahisa Bungalan” sahut yang lain, “agaknya mereka mempunyai maksud yang kurang baik”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Yang terjadi di halaman itu adalah pertempuran yang semakin sengit. Ternyata Mahendra bertempur dengan sangat berhati-hati. Ia sama sekali tidak menunjukkan puncak kemampuannya. Ia mulai dengan tataran yang paling kecil untuk menjajagi ilmu lawannya, meskipun untuk beberapa saat ia harus terdesak bersama Mahisa Murti yang bertempur berpasangan bersamanya.

Yang terjadi itu telah membuat Ki Wastu menjadi semakin gelisah, ia merasa bersalah, jika keluarga Mahendra itu mengalami kesulitan karena kehadirannya. Sekilas terpercik penyesalan di hatinya, bahwa ia bersedia mengikuti Mahisa Bungalan ke Singasari, yang ternyata rumah itu terletak beberapa ratus tonggak dari kota yang sebenarnya. Meskipun tidak jauh, tetapi masih tetap ada jarak antara padukuhan itu dengan Kota Raja. Apalagi ketika ia melihat Mahendra agak terdesak, sementara Mahisa Pukat yang lincah itu hampir terkurung oleh kedua lawannya.

“Aku harus segera mengakhiri pertempuran ini agar aku dapat berbuat sesuatu bagi mereka” berkata Ki Wastu di dalam hatinya.

Tetapi yang dihadapinya kemudian adalah Ki Wangut. Ia adalah orang yang memiliki kemampuan melampaui setiap pengikutnya. Juga para pengikutnya yang telah terbunuh. Karena itu, maka Ki Wastu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan kadang-kadang Ki Wastu sendiri harus meloncat surut, apabila serangan lawannya datang bagaikan badai di musim ke sembilan.

Dalam pada itu. Mahisa Pukat bertempur dengan lincahnya. Ia merasa mendapat kesempatan untuk mengetahui takaran kemampuannya. Namun semakin lama, wajahnya yang cerah menjadi semakin tegang. Ternyata kedua lawannya adalah lawan yang sangat berbahaya. Serangan-serangan mereka benar-benar serangan yang dapat menyobek tubuhnya dan bahkan memungut nyawanya.

“Gila” geram Mahisa Pukat, “aku kira mereka adalah bahan permainan yang mengasikkan”

Namun ternyata bahwa peluh mulai mengalir di seluruh tubuhnya. Dalam keadaan yang demikian, terngiang peringatan ayahnya yang berulang kali didengarnya, “Jangan menganggap lawan-lawanmu lebih rendah dari kemampuanmu”

Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Ia telah salah hitung terhadap kedua lawannya. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat lah orang yang pertama-tama telah terdesak. Hanya karena kecepatannya bergerak, maka ia masih mampu membebaskan curinya dari serangan-serangan lawannya. Pedang rangkapnya dapat menjadi perisai yang rapat, selain kakinya yang lincah berloncatan seperti burung sikatan.

Tetapi ia tidak akan dapat berbuat demikian seterusnya. Semakin lama tenaganya tentu menjadi semakin susut. Jika ia sudah kehabisan tenaga, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk melepaskan diri dari kedua orang yang menjadi buas dan liar itu.

Ki Wastu yang melihat kelemahan Mahisa Pukat menjadi semakin cemas. Iapun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya agar ia dapat segera melumpuhkan lawannya. Ternyata Ki Wastu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang mapan. Perlahan-lahan ternyata bahwa Ki Wangut telah salah pula menilai lawan Ia menganggap bawa ia akan dapat mengimbangi kemampuan orang tua itu. Kemudian membunuh anak dan cucunya. Meskipun demikian ia telah membunuh dua orang pengikut pula untuk meyakinkan bahwa usahanya tidak akan gagal lagi. Namun ternyata ia telah memasuki sebuah rumah yang dihuni oleh seorang tua dan dua orang anak muda yang berani.

“Tetapi mereka akan segera diselesaikan” gumam Ki Wangut yang merasa terdesak oleh lawannya.

Meskipun demikian, kesempatan bagi kedua orang yang bertempur itu masih belum berselisih banyak. Ki Wangut kadang-kadang masih juga mampu mengejutkan lawannya dan mendesaknya. Bahkan serangan-serangannya masih merupakan serangan-serangan yang gawat bagi lawannya. Sementara dua Orang pengikutnya benar-benar telah berhasil mendesak Mahisa Pukat yang bersenjata pedang rangkap.

Dalam pada itu, Mahendra yang bertempur melawan Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya ketika ia melihat keadaan Mahisa Pukat. Sejenak ia memperlihatkan keadaannya sambil melayani lawannya bersama Mahisa Murti.

“Berbahaya baginya” berkata Mahendra di dalam hatinya. Namun demikian, ia berdua berhadapan dengan tiga orang yang bertempur bersama-sama dengan garangnya.

Namun dengan demikian, Mahendra telah didorong untuk secepatnya menyelesaikan pertempuran itu. Ia tidak akan dapat membiarkan anaknya menjadi Korban dalam persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut langsung dengannya. Karena itu, maka Mahendrapun mulai memperhitung kan benar-benar medan yang dihadapinya. Perlahan-lahan tetapi pasti, ia meningkatkan ilmunya untuk menghadapi lawannya.

Ki Wastu pun ternyata menjadi semakin gelisah pula melihat keadaan Mahisa Pukat. Agaknya anak itu benar-benar berada dalam bahaya. Dua orang yang bertempur melawannya, telah bertempur dengan kasar dan liar. Mereka tidak menghiraukan apapun lagi, selain membunuh lawannya yang masih sangat muda itu dengan segera.

Dengan sepenuh kemampuannya, maka Ki Wastu pun berusaha menguasai lawannya. Ia telah bertempur dengan garangnya pula. Senjatanya berputar seperti baling-baling, sementara perisainya dengan rapatnya telah melindungi dirinya dari setiap serangan lawannya.

Namun demikian, ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Ki Wastu pun telah bertempur dengan sepenuh kamampuan dan tenaga. Meskipun ia merasa, bahwa lawannya memiliki sedikit kelebihan, tetapi ia masih mempunyai harapan untuk dapat bertahan lebih lama lagi. Jika sekiranya ia tidak mungkin mengalahkan lawannya, namun ia akan dapat memperpanjang waktu sehingga Mahisa Pukat dapat dikalahkan oleh kedua orang lawannya.

“Jika seorang saja dari mereka terbunuh, maka mereka tentu akan merasa ngeri” berkata Ki Wangut di dalam hatinya.

Sebenarnyalah keadaan Mahisa Pukat telah benar-benar berbahaya. Sementara Mahendra masih harus berjuang untuk mengalahkan lawannya. Namun yang karena hadirnya Mahisa Murti di arena itu, maka iapun sebagian justru merasa harus melindunginya, sehingga ia tidak dapat bertempur sesuai dengan perhitungannya sendiri. Karena itu, mengingat keadaan Mahisa Pukat, maka tiba-tiba saja Mahendra telah berteriak, “Mahisa Murti, kawanilah Mahisa Pukat agar ia tidak bertempur sendiri”

Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia melenting dari arena, untuk memenuhi perintah ayahnya. Dalam pada itu, Ki Tunda Wara yang mengetahui perhitungan Mahendra berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ternyata Mahendra telah menyerangnya dengan dahsyatnya, sehingga ia tidak dapat berbuat lain, kecuali melepaskan Mahisa Murti meninggalkan arena pertempuran itu, untuk menyatukan diri dengan Mahisa Pukat.

“Aku ikut bermain bersamamu” teriak Mahisa Murti.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia mengalami banyak kesulitan untuk melawan kedua orang itu. Agaknya ayahnya dapat melihatnya, sehingga diperintahkannya Mahisa Murti untuk membantunya. Dengan demikian, maka Mahisa Pukat pun merasa, bahwa ia akan mendapat kesempatan lebih banyak dalam pertempuran seorang melawan seorang.

Sepeninggal Mahisa Murti, maka Ki Tunda Wara pun berteriak, “Orang dungu. Agaknya kaulah yang ingin mati lebih dahulu. Tidak ada bedanya, siapapun yang akan mati paling cepat. Yang berada di halaman ini, dan perempuan serta anak laki-lakinya yang bersembunyi di dalam”

Mahendra tidak menghiraukannya. Dengan hati-hati ia memperhatikan ketiga lawannya yang kemudian mengepungnya. “Yang seorang ini memiliki ilmu yang paling tinggi dari antara kedua orang kawannya” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Ki Wastu pun melihat perubahan tata perkelahian yang terjadi di halaman itu. Mahisa Pukat telah berdiri berhadapan hanya dengan seorang lawan, sedangkan yang seorang kemudian terpaksa melawan Mahisa Murti yang telah memasuki arena itu pula. Namun dalam pada itu, Ki Wastu mulai mencemaskan nasib Mahendra. Ia harus melawan tiga orang bersama-sama. Apalagi seorang dari antara mereka, agaknya memiliki kemampuan yang tinggi.

“Seandainya ayah Mahisa Bungalan ini memiliki kemampuan seperti anaknya, ia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi tiga orang itu sekaligus. Apalagi jika kemampuannya tidak setingkat dengan anaknya”

Seperti setiap orang pendatang yang terlibat di dalam pertempuran itu, maka Ki Tunda Wara pun tidak mengetahui kemampuan lawannya yang sebenarnya. Ia sama sekali tidak mengerti, bahwa Mahendra adalah seorang yang memiliki kemampuan setingkat dengan orang yang paling disegani di istana Singasari, Mahisa Agni dan Witantra. Meskipun ada kekurangan-keurangan kecil padanya dibanding dengan keduanya, namun Mahendra adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni.

Karena ia harus berhadapan dengan tiga orang sekaligus, maka akhirnya Mahendra tidak dapat lagi sekedar mengimbangi lawannya dengan mengendalikan ilmunya selapis demi selapis. Bagaimanapun juga Ki Tunda Wara adalah seorang yang pilih tanding. Bersama dengan dua orang kepercayaannya, maka mereka merupakan kekuatan yang luar biasa.

Dengan demikian, maka akhirnya Mahendra tidak dapat berbuat lain. Ia harus bertempur sebaik-baiknya untuk mempertahankan diri dari ketiga orang yang garang dan buas itu. Sehingga karena itulah, maka akhirnya Mahendra tidak dapat terlalu banyak mengendalikan dirinya. Ketika ia justru merasa terdesak, maka Mahendra pun segera sampai ke puncak ilmunya yang ngedap-ngedap.

Perlahan-lahan kemampuan Mahendra semakin meningkat, sehingga bagaikan badai yang bertiup dari lautan. Semakin lama semakin dahsyat, mendorong gelombang yang semakin garang menghantam pantai. Dengan demikian, maka Ki Tunda Warapun menjadi semakin heran menghadapi lawanya. Meskipun anaknya yang seorang telah meninggalkan arena itu. namun ternyata bahwa Mahendra mampu mengimbangi ketiga orang lawannya.

“Anak iblis” geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya, “apakah dengan demikian, aku sudah terjebak? Jika orang ini adalah langsung menjadi guru anaknya yang bernama Mahisa Bungalan, yang telah membunuh sekian banyak orang, maka aku akan mengalami kesulitan”

Sebenarnyalah, bahwa akhirnya Ki Tunda Wara pun yakin, seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang Ki Wangut, maka iapun telah melakukan kesalahan. Ternyata bahwa ia telah terjebak ke dalam rumah Mahendra yang memiliki kemampuan tiada bandingnya.

“Anak-anak di banjar itupun gila” geramnya, “ia tidak memberitahukan dengan lengkap keadaan rumah ini. Atau memang mereka tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari orang tua gila ini”

Sementara itu, maka orang-orang yang mengerumuni halaman itupun menjadi semakin banyak. Anak-anak muda yang bersenjata di tangan telah mengepung halaman itu. Namun mereka menjadi ragu-ragu untuk memasukinya. Apalagi ketika mereka melihat pertempuran yang bagi mereka sangat membingunkan.

Dalam pada itu, Ki Wastu yang bertempur melawan Ki Wangut semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun Ki Wastu memiliki kelebihan, namun kekasaran Ki Wangut seakan-akan telah mengimbangi kelebihan itu. Bahkan kadang-kadang Ki Wastu harus melangkah surut. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya, karena Ki Wangut yang memekakkan telinga. Kemudian dengan garang, buas dan liar Ki Wangut menyerangnya

Tetapi Ki Wastu cukup tangkas. Senjatanya yang garang dan perisai kecilnya, membuat lawannya kadang-kadang kehilangan kesempatan. Bahkan dengan kecepatan yang mengagumkan, Ki Wastu kadang-kadang dapat mendesak lawannya beberapa langkah surut. Namun dengan loncatan-loncatan panjang, Ki Wangut masih selalu sempat menghindarkan diri.

“Orang tua ini memang gila” katanya di dalam hati. Namun ketika sekali-sekali ia sempat berpaling kearah Ki Tunda Wara yang bertempur bertiga melawan Mahendra, maka ia mengumpat tidak habis-habisnya. Tentu mahendra bukan orang yang sekedar memiliki kemampuan setingkat Mahisa Bungalan.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak banyak mengalami kesulitan. Ia perlahan-lahan tetapi pasti dapat menguasai lawan masing-masing. Namun merekapun sadar, bahwa ayah mereka harus bertempur melawan tiga orang sekaligus, sehingga kadang-kadang terbersit pula kecemasan di hati tentang nasib ayahnya.

Karena itulah, maka kedua anak muda itu telah bertempur dengan segenap kemampuan. Mereka berusaha untuk semakin cepat mengakhiri pertempuran itu, agar dengan demikian, mereka dapat segera membantu ayahnya. Karena itulah, maka kedua lawannya pun segera menjadi semakin terdesak. Meskipun demikian, karena kegarangan mereka serta pengalaman yang pernah mereka dapat dari kehidupan mereka yang gelap, maka kadang-kadang merekapun masih mampu membalas serangan lawan-lawan mereka dengan serangan yang berbahaya.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang selalu berada dibawah bimbingan dan pengawasan ayahnya, ternyata tetap manyadari keadaan mereka. Betapapun juga. Mereka, tidak boleh mengabaikan kemampuan lawan. Karena demikian, ia sudah membuat kesalahan yang pertama sebelum akan segera disusul oleh kesalahan-kesalahan lain.

Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun telah bertempur dengan sungguh-sungguh. Dengan hati-hati, dan penuh kewaspadaan. Namun di dalam lubuk hati mereka, terbesit pula kegembiraan bahwa mereka mendapat kesempatan untuk menilai kemampuan mereka tidak hanya dalam latihan-latihan saja.

Dalam pada itu, lawan-lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata kedua lawan mereka kakak beradik itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang mengagumkan.

Sebenarnya bahwa kedua anak muda itu dengan tekun dan sungguh-sungguh telah melatih dirinya di bawah bimbingan ayah mereka sendiri. Seperti juga Mahisa Bungalan maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menguasai sebagian besar dari dasar-dasar ilmu yang diturunkan oleh ayahnya. Karena itulah, maka ketika mereka dihadapkan kepada dua orang pengikut Ki Wangut, maka mereka segera mampu menyesuaikan diri.

Hanya karena mereka masih belum cukup berpengalaman, maka berhadapan dengan lawan mereka yang garang, maka harus mengerahkan segenap kemampuan serta ilmu yang ada pada mereka untuk mengimbanginya.

Sementara kedua anak muda itu bertempur dengan kedua lawannya, yang semakin lama menjadi semakin sengit, maka Mahendra pun bertempur semakin dashayat pula. Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara bersama kedua orang pengiringnya, merupakan lawan yang harus diperhitungkan dengan mungsuh-mungsuh. Diantara kegarangan dan keganasan Ki Tunda Wara, maka kedua pengiringnya telah menyerang mereka dengan buas dan liar. Tidak ada sesuatu yang mengekang mereka untuk melakukan apa saja, dan dengan cara yan bagaimanapun juga.

Tetapi Mahendra adalah seorang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi, tetapi iapun memiliki pengalaman yang seolah-olah tidak ada batasnya. Ia pernah bertempur melawan berjenis-jenis ilmu. Yang garang, yang kasar dan yang liar sekalipun seperti yang dihadapinya saat itu. Namun Ki Tunda Wara agaknya bukan seseorang yang sekedar menakut-nakutinya. Ia adalah seorang yang jarang melepaskan lawannya untuk tetap hidup.

Namun yang kemudian tumbuh di hati Ki Tunda Wara adalah sebuah umpatan yang menyakiti jantungnya sendiri. Ia merasa kurang cermat menilai keadaan. Betapapun juga ia berhati-hati, tetapi ia telah terjerumus seperti orang-orang yang melakukan kewajiban serupa sebelumnya

“Ternyata aku tidak lebih baik dari orang-orang Wangut yang telah terbunuh” geramnya di dalam hati.

Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi semakin bergejolak di dalam hati. Selagi masih terbuka kesempatan, maka ia harus mengatasi kesulitan itu. Ia masih bertempur dengan dua orang kepercayaannya, melawan seorang tua yang seolah-olah telah mewakili anaknya yang bernama Mahisa Bungalan itu.

“Dua anak muda itu juga telah sangat mengganggu” geram Ki Tunda Wara di dalam hatinya.

Dengan penuh dendam dan kebencian, maka Ki Tunda Warapun telah bertempur semakin garang. Dengan hentakkan-hentakkan yang keras dan umpatan-umpatan kasar, ia memerintahkan kepada dua orang pengikutnya untuk bertempur semakin keras.

Mahendra menyadari kedudukannya Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan kemudian, Mahendra pun menjadi marah ketika orang-orang yang bertempur melawannya itu menjadi semakin buas

Ketika kedua orang pengikut Ki Tunda Wara itu menyerangnya bersama-sama, maka Mahendra sempat melompat menghindar. Namun sekejab kemudian, Ki Tunda Wara pun dengan garangnya telah melontarkan senjatanya yang tersembunyi. Orang itu membawa sejenis senjata beracun yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.

Tetapi Mahendra segera mengenal senjata semacan itu. Ia pernah mengalami serangan-serangan serupa dan orang-orang lain yang pernah bertempur melawannya. Sebenarnya bahwa senjata itu memang sangat berbahaya. Karena itu, maka Mahendra telah benar-benar dihadapkan kepada perlawanan yang telah mengancam jiwanya.

karena itulah, maka Mahendra pun harus bertempur dengan segenap kemampuannya uniuk segera melumpuhkan lawannya. Dengan demikian maka perlawanan Mahendra meningkat semakin garang. Bukan saja ia bergerak semakin cepat, tetapi, kekuatannya pun bagaikan menjadi berlipat.

“Anak setan” geram Ki Tunda Wara, “kekuatan dan ilmu apakah yang telah merasuki orang ini”

Sementara itu, Ki Wastu pun telah berhasil mendesak Ki Wangut yang bertempur seorang melawan seorang. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ki Wangut kemudian melawan kecepatan bergerak Ki Wastu. Perlahan-lahan Ki Wastu telah mendorong Ki Wangut semakin surut.

Dengan garangnya, pedang Ki Wastu berputaran ujungnya seperti seekor lalat yang setiap saat dapat hinggap di bagian ubuh Ki Wangut yang manapun yang dikehendaki. Sementara perisainya yang kecil itu rasa-rasanya dapat mekar melindungi seluruh tubuhnya. Tidak ada seujung duripun yang dapat disusupi senjata lawan yang berusaha dengan segenap kemampuannya.

Sejenak kemudian Ki Wangut pun telah menjadi semakin gelisah iapun merasa terjebak karena kebodohan dan keangkuhannya. Meskipun Mahisa Bungalan tidak ada di rumahnya, ternyata di rumah itu ada tiga orang yang dapat menggantikannya. Bahkan ayah Mahisa Bungalan itu ternyata memiliki kemampuan jauh lebih besar dari yang diduganya.

Tetapi Ki Wangut tidak ingin menyerah begitu saja. Dengan segenap kemampuannya ia telah menghentakkan senjatanya. Selangkah ia mendesak maju. Namun dalam pada itu, ia terkejut ketika terdengar teriakan ngeri di bagian lain dari pertempuran itu.

Ketika ia sempat berpaling maka dilihatnya seorang lawan Mahendra telah terluka. Sejenak ia terhuyung-huyung. Namun kemudian ia telah terjatuh bersandar sebatang pohon perdu. Tetapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian, tubuhnya telah roboh di tanah.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Dengan suara serak ia berkata, “Bukan maksudku untuk membunuhnya. Tetapi kau yang memaksa aku untuk membela diri. Jika kalian menghentikan serangan kalian, Maka kita masih sempat berbicara.

“Persetan” teriak Ki Tunda Wara yang telah kehilangan seorang pengiringnya yang terbaik, “Kau harus mati anak iblis. Aku sama sekali tidak terpengaruh oleh kematiannya. Ia justru telah mengganggu pemusatan kemampuanku”

“Jangan membohongi diri sendiri” jawab Mahendra sambil bertempur, “pertimbangkan baik-baik”

Ki Tunda Wara tidak menyahut tetapi justru ia menyerang semakin garang.

“Ki Sanak” berkata Mahendra, “kau telah memaksa aku untuk membunuh lagi. Kawanmu, dan jika kau tetap keras kepala, maka kau sendiripun akan mati. kecuali siapa yang tersedia dengan suka rela meninggalkan arena”

Tidak ada jawaban. Justru Ki Tunda Wara telah berteriak nyaring sambil menyerang Mahendra. Tetapi Mahendra telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia telah berhasil mengurangi seorang lawannya, sehingga kedudukannya telah menjadi semakin baik.

Orang-orang yang menyaksikan di luar dinding halaman menjadi semakin tegang. Tetapi bahwa Mahendra telah berhasil mengurangi lawannya, telah membuat mereka menjadi sedikit tenang. Apalagi ketika mereka kemudian melihat, Mahendra menjadi semakin mendesak lawannya. Yang tidak kalah menarik bagi anak-anak muda, adalah Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Kawan mereka bermain sehari-hari. Namun anak-anak muda itu menjadi heran melihat kemampuan kakak beradik itu.

Ternyata bahwa pertempuran itu tidak akan berlangsung terlalu lama lagi. Ki Wastu telah benar-benar menguasai lawannya. Ki Wangut yang bertempur dengan garangnya, perlahan-lahan tenaganya menjadi susut. Sementara Ki Wastu yang tua itu. seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh pertempuran yang sudah berlangsung beberapa saat itu. Ki Wastu ternyata memiliki ketahanan yang sangat mengagumkan, sedangkan Ki Wangut yang seakan-akan, telah memeras segenap kemampuannya itu, mulai diganggu oleh nafasnya yang bagaikan saling memburu.

Tetapi Ki Wangut tidak dapat berbuat lain. Meskipun ia menyadari, bahwa ia harus mengatur kekuatannya agar ia tidak kehabisan tenaga. Tetapi melawan Ki Wastu tidak ada yang dapat dilakukannya, kecuali mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya. Jika ia tidak berbuat demikian, maka kematiannya tentu akan datang semakin cepat. Namun ternyata bahwa kematian itu lambat laun semakin terbayang pula di rongga matanya. Ia merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan orang tua itu. Orang yang telah mampu membunuh dua orang pengikutnya sekaligus.

“Anak-anak setan itulah yang telah mengganggu" geramnya. Kehadiran Mahisa Pukat dan Mahisa Murti benar benar telah menggagalkan usahanya. Tanpa keduanya, maka ia akan bertempur bertiga bersama dua orang pengiringnya melawan orang tua itu, yang ternyata ia tidak mampu menghadapinya sendiri. Terlintas maksudnya untuk melarikan diri. Namun itupun akan sia-sia, Di seputar halaman rumah itu telah penuh dengan anak-anak muda.

Namun sejenak komudian, Ki Wangut itupun telah dikejutkan lagi oleh suara orang teriakan. Ternyata seorang lagi lawan Mahendra telah terlempar jatuh. Bahkan demikian kerasnya, sehingga ia telah terbanting membentur dinding.

Agaknya Mahendra telah mempergunakan kakinya untuk menghatam lawannya. Ia masih berharap bahwa ia akan dapat menangkap mereka hidup-hidup untuk mendengar keterangannya. Karena itu, maka ia telah menyerang orang itu dengan hentakkan kaki tepat pada lambungnya. Tetapi ia tidak tahu pasti, apakah orang itu masih dapat bertahan untuk hidup justru karena kepalanya membentur dinding halaman, sehingga memungkinkannya menjadi cidera karenanya, atau justru telah terbunuh.

Namun dengan demikian, maka lawan Mahendra telah berkurang sehingga tinggal seorang saja. Seorang yang memiliki kemampuan paling tinggi di antara ketiga orang lawannya. Tetapi, ternyata bahwa orang itu tidak akan mampu mengimbangi kemampuan Mahendra.

Seperti Ki Wangut, maka Ki Tunda Wara seolah-olah telah dapat melihat akhir dari pertempuran itu. Seolah-olah ia telah dapat melihat dirinya sendiri, mati terkapar di halaman itu dengan luka yang menganga di dadanya. Tetapi ia tidak akan dapat melepaskan diri dari akibat seperti yang sudah terbayang itu. Ia tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia telah terjerat olah nafsu yang menyala pada adik seperguruannya untuk mendapatkan harta benda yang melimpah. Namun yang akhirnya telah menyeretnya ke dalam bayangan yang sangat kelam.

Dalam saat-saat terakhir itu, maka Ki Tunda Wara justru telah bertekad untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya. Karena itu. maka Ki Tunda Wara itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia telah membangunkan ilmu puncaknya untuk menghancurkan kekuatan Mahendra. Namun ia menjadi sangat kecewa. Mahendra sama sekali tidak dapat dilawannya. Apapun yang dilakukannya, seolah-olah tidak berarti apa-apa buat lawannya. Bahkan, darahnya bagaikan mendidih ketika ia mendengar Mahendra berkata,

“Menyerahlah Ki Sanak. Apakah kita masih dapat berbicara”

“Anak iblis” geram Ki Tunda Wara. Dengan loncatan yang garang ia telah menghentakkan segenap ilmunya menghantam Mahendra.

Tetapi usahanya itu sama sekali tidak berarti. Mahendra yang masih belum sampai ke ilmu puncaknya, ternyata masih mampu bertahan, meskipun ia harus bergeser beberapa langkah surut. Tetapi Ki Tunda Wara pun menyadari, bahwa lawannya masih belum bersungguh-sungguh ingin membunuhnya. Mahendra masih lebih banyak menghindar, menangkis dan sekali-kali membenturkan senjatanya.

Tetapi masih juga terdengar Mahendra berkata, “Apakah kau benar-benar telah kehilangan akal?”

Ki Tunda Wara tidak menyahut. Ia benar-benar tidak ingin menyerah. Apapun yang terjadi atas dirinya. Namun dalam pada itu, Ki Tunda Wara harus melihat kenyataan yang sangat pahit. Sejenak kemudian, ia melihat Ki Wangut terdesak tanpa dapat berbuat sesuatu lagi. Ki Tunda Wara melihat, betapa senjata Ki Wastu menghujam di dada adik seperguruannya.

Namun tidak terdapat jerit dan sesambal. Yang terdengar justru umpatan kasar. Tetapi umpatan itu segera terputus, ketika orang itu terjatuh di tanah. Ki Wangut masih sempat menggeliat. Namun sejenak kemudian maka nafasnyapun telah lenyap dari rongga dadanya.

Dalam pada itu, Ki Tunda Wara tidak dapat melihat arti dari perjuangannya selanjutnya. Adik seperguruannya yang dibakar oleh nafsunya untuk memburu harta benda, ternyata telah mengorbankan nyawanya. Karena itu, ketika Ki Wangut benar-benar telah tidak dapat bernafas lagi, maka Ki Tunda Warapun melompat mengambil jarak dari lawannya sambil berkata, “Aku tidak akan melawan lagi”

Ki Tunda Wara menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Mahendra menahan senjatanya. Bahkan kemudian ia tidak memburunya dengan senjata teracu.

“Kau menyerah?” bertanya Mahendra.

“Bukan menyerah. Tetapi aku urungkan niatku untuk bertempur lebih lama lagi, karena adik seperguruanku telah terbunuh. Yang aku lakukan adalah membela Wangut dalam perjuangannya. Tetapi ia sudah mati”

“Pengecut” tiba-tiba saja terdengar dua orang yang masih bertempur melawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengumpat hampir bersamaan.

“Tutup mulutmu” teriak Ki Tunda Wara, “lurahmu sudah mati. Apa lagi yang dapat kalian lakukan?”

“Kami akan berjuang sampai mati” sahut yang seorang.

“Tidak ada kata-kata menyerah di dalam jalur darahku” teriak yang seorang.

Ki Tunda Wara menjadi merah menyala. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, Mahendra talah berkata, “Jangan hiraukan. Tetapi aku ingin arti dari sikapmu. Letakkan senjatamu”

“Aku tidak menyerah. Tetapi aku mengurungkan niatku” katanya mengulang.

“Sebelum kedua orang kawanmu menjadi korban?” bertanya Mahendra.

“Itu adalah karena kebodohannya sendiri, aku tidak memerlukan mereka. Aku juga tidak memerlukan kedua orang pengikut Wangut itu”

“Persetan Pengecut” teriak salah seorang dari keduanya, “aku kira kau benar-benar malampaui kejantanan Ki Lurah. Tetapi ternyata Ki Wangut jauh iebih berharga dari padamu. Jika ia melihat kelicikanmu, tentu adik seperguruanmu itu tidak mau lagi mengakuimu sebagai saudara seperguruannya”

“Tutup mulutmu” teriak Ki Tunda Wara, “atau aku akan membunuhmu sama sekali”

“Jangan berbuat kesalahan untuk yang kedua kalinya” Mahisa Pukat lah yang menjawab, “yang pertama kau adalah seorang pengecut. Dan yang kedua, kau akan berkhianat terhadap kawan-kawanmu. Kau sangka, aku tidak dapat membunuhnya jika ia benar-benar tidak mau menyerah”

“Anak iblis” teriak Ki Tunda Wara, sementara lawan Mahisa Pukat itupun berteriak pula, “jangan sombong anak muda. Aku belum kau kalahkan”

“Sebentar lagi” jawab Mahisa Pukat. Lawannya tidak sempat menjawab. Dengan garangnya Mahisa Pukat menyerang lawannya seperti badai menghantam gunung.

Dalam pada itu, Mahendra yang berdiri berhadapan dengan Ki Tunda Wara pada jarak beberapa langkah, berkata, “Marilah kita berbicara tentang keadaan kita”

Ki Tunda Wara menjadi tegang. Ia melihat lawan adik seperguruannya yang telah kehilangan lawannya itu melangkah perlahan-lahan mendekatinya.

“Menyerahlah. Jangan terlalu mengingat harga diri jerkata Mahendra kemudian”

“Gila” teriak Ki Tunda Wara, “sudah aku katakan, aku tidak menyerah”

“Jika demikian, kita akan bertempur terus. Aku masih mempunyai waktu beberapa saat sambil menunggu kedua anak-anakku itu menyelesaikan lawan-lawannya”

“Kau gila Mahendra. Kau terlalu sombong seperti anak-anakmu. Kau seolah-olah dapat menebak apa yang terjadi. Tetapi aku masih belum merasa kau kalahkan”

“Baiklah” berkata Mahendra, “kita akan bertempur terus. Sementara Ki Wastu yang sudah tidak mempunyai lawan lagi, akan menyaksikan, siapakah yang kalah dan siapakah yang menang di antara kita”

Ki Tunda Wara menjadi ragu-ragu. Ia tahu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawan Mahendra dengan cara apapun juga. Iapun tidak akan dapat melarikan diri, karena di seputar halaman itu telah penuh anak-anak muda bersenjata telanjang. Meskipun mereka tidak berani terjun ke arena pertempuran, namun mereka akan dapat menghalangi langkahnya, sehingga Mahendra akan dapat menghujamkan senjatanya pada punggungnya.

“Semuanya akan sia-sia” katanya di dalam hati. Dan penyesalan itupun bergejolak semakin keras di dalam hatinya.

Tetapi semuanya sudah terjadi. Kedua pengiringnya sudah terbunuh. Adik seperguruannya yang telah menyeretnya ke dalam persoalan ini pun telah mati. Karena itu. maka akhirnya ia berkata, “Aku menyerah” Ki Tunda Wara telah meletakkan senjatanya. Kemudian atas perintah Mahendra ia melangkah surut.

“Serahkan tanganmu” berkata Mahendra, “aku akan mengikatnya dengan lulup kayu so”

Ki Tunda Wara mengerutkan keningnya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Itu sesuatu penghinaan”

“Itu bukti bahwa kau benar-benar menyerah” sahut Mahendra, “aku akan membawamu ke Singasari. Tidak ada tempat di sini untuk menyimpanmu”

Wajah Ki Tunda Wara menjadi merah padam. Tetapi ia benar-benar dihadapkan pada suatu kenyataan yang sangat pahit. Adik seperguruannya yang menyeretnya ke dalam keadaan itu ternyata sudah terbunuh.

Sementara itu ia masih mendengar salah seorang pengikut Ki Wangut berterirak, “Pengecut. Biarlah tanganmu dan kakimu diikat bukan saja dengan kayu so. Tetapi biarlah diikat dengan tampar ijuk yang paling kasar. Jangan mengharap bahwa kau akan diikat dengan cinde berwarna Jingga”

Ki Tunda Waia menggeram. Tetapi sebelum ia menjawab maka yang terdengar adalah pekik melengking. Orang yang baru saja berteriak itupun ternyata terdorong beberapa langkah. Kemudian iapun terjatuh dengan darah yang mengalir dari dadanya, ternyata satu dari sepasang pedang Mahisa Pukat telah menyambarnya. Orang itu tidak dapat mengeluh lagi. Iapun tidak dapat mengumpat. Demikian ia terbanting, maka nafasnyapun telah putus pula karenanya.

Lawan Mahisa Murti yang pantang menyerah itu menjadi seperti seekor harimau gila. la menyerang sambil berteriak-teriak bagaikan memecah langit. Namun Mahisa Murti dengan hati-hati melawannya, sehingga ia sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan lawannya.

Dalam pada itu, Mahendra, Ki Wastu, Mahisa Pukat dan bahwa Ki Tunda Wara sendiri telah memperhatikan tingkah laku orang itu dengan hati yang berdebar-debar, seolah orang itu telah kehilangan nalarnya sama sekali.

Demikianlah, maka sesaat kemudian terdengar Mahendra berkata, “Ki Sanak. Apakah kau masih mendengar Suaraku?”

Ternyata orang itu tidak menghiraukannya. Ia masih bertempur seperti orang yang kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dirinya. Sebenarnyalah orang itu telah putus asa. Pemimpinnya telah mati terbunuh. Seorang kawannya pun telah terbunuh pula, sementara orang yang dianggapnya memiliki kelebihan melampui pemimpinnya, justru pengecut dan bahkan telah menyerahkan tangannya untuk diikat. Karena itulah, maka tidak ada yang dapat dilakukan kecuali membunuh diri. Jika ia masih mampu, maka biarlah ia mati bersama dengan lawannya.

Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ia tidak terseret dalam irama pertempuran yang buas dan liar. Ia masih mampu melihat keadaan dengan hati yang bening, justru karena ia yakin, bahwa ia akan mampu mengatasi keadaan yang bagaimanapun juga liarnya. Sementara itu, memang tidak ada penyelesaian yang lain dari pada menghentikan perlawanan itu dengan kemungkinan yang paling pahit. Itulah agaknya yang telah membayang di hati Mahisa Murti.

Dengan kemampuannya mempermainkan pedang rangkapnya, ia berusaha untuk melukai lawannya. Ia memang ingin mencoba untuk dapat menangkapnya hidup-hidup. Dengan sapuan mendatar ia telah mendorong lawannya untuk meloncat mundur. Namun dengan teriakkan nyaring, lawannya telah meloncat menyerang dengan garangnya. Mahisa Murti sempat mengelak kesamping, sementara itu pedang di tangan kanannya telah terjulur mematuk pundak.

Orang itu menyeringai menahan sakit. Namun ternyata luka itu sama sekali tidak mempengaruhi. Orang itu masih meloncat menyerang sambil menggeram. Sekali lagi Mahisa Murti mengelak. Dan sekali lagi pedangnya terjulur. Yang terdengar adalah sebuah teriakan nyaring. Pedang Mahisa Murti telah menyentuh lambung.

Betapun darah telah membasahi tubuhnya, tetapi sama sekali tidak mengurangi keliarannya. Ia justru bagaikan benar-benar gila. Darah yang memerah itu membuatnya menjadi semakin garang. Matanya pun bagaikan menjadi merah seperti darahnya.

Mahisa Murti melihat keadaan lawannya yang telah kehilangan akal itu. Tiba-tiba saja hatinya dijalari oleh perasaan ngeri yang luar biasa. Darah, luka dan tatapan mata yang memancarkan kebencian dan dendam itu, seolah-olah membuat lawannya bagaikan hantu yang melihat bangkai tergolek di padang yang dikerumuni oleh anjing- anjing liar, sementara di udara burung-burung gagak terbang melingkar-lingkar sambil memekik tinggi.

Dengan penuh nafsu orang itu menyerang tanpa pertimbangan nalar lagi. seolah-olah ia sedang berebut dengan anjing-anjing liar dan burung pemakan bangkai yang satu-satu menukik dari udara. Perasaan ngeri yang sangat telah mencengkam jantung Mahisa Murti. Justru karena itulah, maka tiba-tiba saja ia telah berloncatan dengan tangkasnya. Menyerang lawannya dengan tusukan langsung kearah jantung. Tetapi ketika lawannya berusaha mengelak, maka serangan mendatar telah menebasnya, langsung menyobek perutnya.

“Gila” Justru Mahisa Murti lah yang berteriak. Ia tidak sempat melihat lawannya terhuyung-huyung dan jatuh di tanah, karena iapun kemudian berlari meninggalkannya dan seolah-olah ia berlindung di punggung ayahnya.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Memang sangat mengerikan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan anaknya. Mahisa Murti memang sangat kurang pengalaman, sehingga menghadapi peristiwa yang mengerikan itu, hatinya menjadi kecut.

“Sudahlah” berkata Mahendra, “cobalah mengusai perasaan kalian masing-masing. Yang terjadi di halaman rumah ini, bukannya yang kita maksudkan. Kita telah dihadapkan pada suatu keadaan tanpa dapat mengelak lagi”

Mahisa Pukat pun berdiri membeku. Ia telah memalingkan wajahnya dari pandangan yang mengerikan itu. Dalam pada itu, maka pertempuran di halaman itupun telah terhenti. Orang-orang yang datang menyerang isi halaman itu telah terbunuh kecuali Ki Tunda Wara yang menyerah.

Namun dalam pada itu, Mahendra pun berkata kepada Ki Wastu, yang berdiri termangu-mangu, “Ki Wastu, apakah kedua orang pengikut orang ini telah mati pula?”

Ki Wastu segera menghampiri kedua orang pengikut Ki Tunda Wara. Tetapi ternyata keduanyapun telah terbunuh. Yang terlempar oleh kaki Mahendra ternyata telah membentur dinding sedemikian kerasnya, sehingga tulang kepalanya menjadi retak karenanya.

“Ki Sanak” berkata Mahendra kepada Ki Tunda Wara, “kau adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari antara kawan-kawanmu. Karena itu, kita akan pergi bersama-sama ke Singasari. Aku akan membawamu menyusul anakku Mahisa Bungalan. Entah, apakah yang akan terjadi atasmu di Singasari. Tetapi orang-orang di Singasari bukannya binatang buas yang selalu rakus untuk minum darah korbannya”

Ki Tunda Wara yang merasa tidak mampu berbuat apa-apa lagi itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Yang terjadi atasku nilalah satu kekeliruan besar. Aku adalah orang yang cukup berhati-hati. Tetapi aku masih juga terjerumus ke dalam keadaan yang pahit ini karena aku tidak dapat mengelakkan diri dari sesambat adik seperguruanku”

“Kau harus menjelaskan semuanya kepada Mahisa Bungalan dan mungkin orang-orang yang dihubunginya”

“Aku tidak banyak mengetahui persoalannya. Keteranganku tidak akan ada artinya” berkata Tunda Wara.

“Biarlah orang-orang Singasari mengambil kesimpulan. Aku akan mengantarkanmu. Jaraknya sudah dekat”

Ki Tunda Wara tidak dapat membantah lagi. Sementara orang-orang padukuhan itu. membantu menyelenggara kan mayat-mayat yang terkapar di halaman, maka Mahendra pun bersiap-siap untuk pergi ke Singasari. Sementara itu, Mahendra benar-benar telah mengikat tangan dan kaki Ki Tunda Wara di dalam sebuah bilik yang tertutup rapat. Tetapi ia tidak benar-benar mengikatnya dengan lulup kayu so, tetapi dengan janget rangkap ganda.

“Maaf Ki Sanak” berkata Mahendra, “meskipun aku tahu, bahwa kau akan dapat memutuskan tali ini dengan hentakan ilmumu, dan kemudian memecahkan dinding kayu dari bilik ini, namun kau tentu memerlukan waktu. Sementara aku akan dapat datang mencegahnya. Kau akan berada di bawah pengawasan kedua anak-anakku, namun mereka akan berada diluar dinding”

Baru setelah semuanya selesai, maka Mahendra pun minta kepada Ki Wastu untuk berhati-hati bersama kedua anak-anaknya menunggui perempuan anak Ki Wastu dan cucunya yang sedang diburu itu.

“Aku akan pergi ke Singasari mengantarkan orang itu” berkata Mahendra.

Ki Wastu menundukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Betapa besar pertolongan yang telah kami terima. Sejak anakku itu di simpan di hutan tertutup, melepaskannya dan membawanya kembali kepadaku. Angger Mahisa Bungalan telah menyelamatkan kami dari sergapan empat orang pengikut orang yang terbunuh itu. Dan kemudian aku sudah membuat seisi rumah ini menjadi sangat sibuk dan bahkan mempertahankan nyawanya pula”

Mahendra tertawa. Katanya, “Aku tidak berbuat apa-apa selain menetapi kewajibanku bagi sesama. Sudah sewajarnya bahwa kita akan saling menolong. Sebenarnyalah bahwa Ki Wastu memiliki kemampuan menyelamatkan diri sendiri”

“Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa” jawab Ki Wastu.

“Sudahlah” berkata Mahendra, “marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar kita selalu mendapatkan perlindungannya. Mudah-mudahan di Singasari aku mendapat petunjuk lebih jelas tentang keadaan Pangeran Kuda Padmadata”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku dan anak cucuku telah membuat bukan saja seisi rumah ini menjadi sibuk dan bahkan mempertaruhkan nyawa, tetapi ternyata aku sudah membuat seisi padukuhan ini terlibat dalam persoalan yang sebenarnya sangat bersifat pribadi”

Mahendra tersenyum. Katanya, “Sudahlah, tenangkanlah hati anak cucumu”

Ki Wastu mengangguk dalam-dalam. Ia benar-benar merasa berhutang budi kepada keluarga itu. Bukan saja itu. Bukan saja ia telah mendapat tempat, tetapi ternyata ia telah mendapatkan perlindungan mereka pula. Tanpa perlindungan keluarga Mahendra, maka anak dan cucunya itu tentu telah dicincang menjadi berkeping-keping.

Sejenak kemudian, maka Mahendra pun telah memberikan pesan-pesan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar mereka berhati-hati. Menurut perhitungan Mahendra, untuk beberapa saat lamanya, tidak akan ada lagi bencana yang mengejar perempuan dan anaknya itu. Mereka tentu memerlukan waktu untuk mempersiapkan tindakan yang akan mereka ambil selanjutnya, jika mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Dan itu akan memerlukan waktu yang cukup.

“Aku segera pulang” berkata Mahendra, lalu aku titipkan kalian kepada Ki Wastu”

“Ah” desis Ki Wastu, “kamilah yang menitipkan diri kami disini”

Mahendra tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku menitipkan anak-anakku. Mereka masih terlalu hijau, sehingga mereka harus selalu mendapat pengawasan. Lalu katanya kepada kedua anak-anaknya, “ikutilah petunjuk-petunjuknya”

Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk. Merekapun mengerti bahwa orang tua yang datang bersama kakaknya Mahisa Bungalan itu adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, meskipun belum setingkat dengan ayahnya

“Kami akan melakukan semua pesan ayah” berkata Mahisa Pukat kemudian.

Mahendra mengangguk-angguk. Namun iapun yakin, bahwa keadaan akan tidak bertambah buruk, la tidak akan terlalu lama berada di Singasari. Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian meninggalkan rumahnya membawa Ki Tunda Wara ke Singasari. Ia melepaskan segala ikatan dan membiarkan Ki Tunda Wara berkuda bersamanya seperti dua orang dalam perjalanan.

Ternyata Ki Tunda Wara telah menerima keadaannya dengan ikhlas. Sekilas iapun teringat kepada padepokannya. Kepada beberapa orang perempuan yang disimpannya dengan kekerasan. Dan kepada para pengikutnya yang patuh dan takut kepadanya.

“Dalam keadaan ini mereka tidak berarti lagi bagiku” berkata Ki Tunda Wara di dalam hatinya. Lalu katanya, “Ternyata bahwa aku telah bertemu seorang perkasa yang meskipun baik hati, tetapi agak sombong juga. Ia yakin bahwa aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku tidak akan dapat melawannya, hingga aku dibiarkannya berkuda seperti seorang sahabatnya”

Sebenarnyalah bahwa Ki Tunda Wara merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika ia memasuki gerbang Singasari dan berkuda diantar orang-orang yang semakin ramai, ada juga niatnya untuk melarikan diri. Namun justru karena sikap Mahendra, ia menjari ragu-ragu dan bahkan membatalkannya sama sekali.

“Gila” geramnya, “jika anak iblis ini mengancamku dan menakut-nakutiku, aku memang bernafsu untuk menyusup di antara orang banyak. Ada kemungkinan, aku dapat melenyapkan diri diantara mereka. Orang ini pada suatu saat tentu lengah”

Tetapi sikap Mahendra benar-benar telah mengikatnya untuk tetap tunduk dan menurut perintahnya. Ki Tunda Wara kadang-kadang mengumpat di dalam hatinya jika ia memperhatikan sikap Mahendra. Kadang-kadang Mahendra yang bertemu dengan satu dua orang yang dikenalnya, berbicara dan bahkan bergurau tanpa memperhatikan Ki Tunda Wara. Tetapi Ki Tunda Wara itu sudah kehilangan segala nafsunya untuk melepaskan diri dari tangan Mahendra.

“Aku akan menjadi buruan. Meskipun mereka tidak mengetahui tempat tinggalku, tetapi jika mareka mencari dengan sungguh-sungguh, tentu akan dapat mereka ketemukan juga. Padepokan itu akan mereka hancurkan menjadi karang abang. Dan pengikut-pengikutku yang tidak bersalah akan menjadi korban juga. Biarlah hal itu dilakukan atas padepokan Wangut yang tamak itu” katanya di dalam hatinya.

Karena itu, maka perjalanan Mahendra dan Ki Tunda Wara tidak terhambat sama sekali. Mereka langsung menuju ke istana Singasari untuk menemui Mahisa Agni, karena Mehendra menganggap bahwa Mahisa Bungalan tentu berada di sana pula. Sebenarnyalah bahwa ketika Mahendra memasuki tempat tinggal Mahisa Agni, maka dijumpainya Mahisa Bungalan sedang di terima oleh Mahisa Agni di ruang belakang.

Kedatangan Mahendra dengan seseorang telah mengejutkan mereka. Apalagi Mahisa Bungalan. Kepergian ayahnya berarti kekosongan di rumahnya. Dengan demikian, akan dapat membahayakan bukan saja Ki Wastu dan anak cucunya, tetapi tentu juga Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.

Mehendra yang kemudian duduk, di hadapan Mahisa Agni itupun nampaknya melihat kegelisahan di hati anaknya. Karena itu, ketika Mahisa Agni telah menanyakan keselamatannya di perjalanan, maka iapun segera berkata, “Mahisa Bungalan. aku terpaksa meninggalkan rumah kita untuk mengantarkan tamu yang akan menyusulmu”

“Siapakah orang itu ayah?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku belum mengenalnya”

Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Katanya, “Tetapi itu sangat mendebarkan. Apakah orang ini benar-benar ingin mencari aku seperti yang dikatakannya, karena akupun belum mengenalnya pula”

Mahendra pun segera menyahut, “Atau sekedar memancing agar aku pergi meninggalkan rumah sehingga orang yang bermaksud jahat akan dapat dengan mudah melakukannya?”

Wajah Mahisa Bungalan menegang. Sementara Ki Tunda Wara hanya menundukkan kepalanya saja.

“Mahisa Bungalan, sebenarnyalah yang kau cemaskan itu sudah terjadi”

Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni terkeiut mendengar keterangan itu. Dengan gelisah Bungalan bertanya, “Jadi apakah maksud ayah datang dengan orang ini? Apakah yang telah terjadi di rumah kita?”

“Salah seorang dari mereka yang datang adalah orang ini” berkata Mahendra.

Wajah Mahisa Bungalan menjadi semakin tegang. Sementara itu Mahendra pun segera menceriteakan apa yang telah terjadi. Dan iapun mengatakan, siapakah orang yang telah dibawanya itu.

Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun keduanya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Mahisa Agni bertaka, “Jadi, telah terjadi kematian di halaman rumahmu Mahendra?”

“Apa boleh buat” jawab Mahendra, “kami tidak dapat menghindarnya. Yang seorang ini yang menurut keterangannya bernama Tunda Wara, dan akan aku serahkan kepada yang berwajib di Singasari”

Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Semuanya menjadi jelas bagi mereka. Orang yang datang bersama Mahendra. yang nampaknya seperti seorang sahabat yang bepergian bersama itu, ternyata adalah orang yang ingin melakukan pembunuhan yang sangat keji.

“Mengerikan sekali Ki Sanak" berkata Mahisa Agni ”jika yang kau rencanakan itu benar-benar terjadi, maka seorang perempuan dan seorang anak laki-lakinya akan mati terkapar di halaman. Mungkin kalian akan memotong bagian dari badannya untuk bukti bahwa kalian telah melakukannya”

Ki Tunda Wara menarik nalas dalam-dalam. Katanya, “Bukan akulah yang sebenarnya ingin melakukannya tuan, tetapi aku sekedar menuruti tangis adik seperguruanku. la mendapat upah dari seseorang untuk melakukan perbuatan yang terkutuk itu”

“Dan kau membantunya pula” potong Mahisa Bungalan.

Ki Tunda Wara menunduk semakin dalam. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia menjawab, “Kau benar anak muda. Aku telah membantunya”

Mahisa Agni beringsut sejenak. Dengan sareh ia mencoba menanyakan segala sesuatu yang diketahui oleh Ki Tunda Wara tentang rencana adik seperguruannya. Tetapi Ki Tunda Wara tidak banyak mengetahuinya. Iapun tidak mengetahui siapakah orang yang telah mengupah adiknya itu.

“Saudara laki-laki Pangeran Kuda Padmadata atau orang lain? Atau barangkali ada nama perempuan lain sebagai sisihan Pangeran Kuda Padmadata?”

“Semuanya tidak jelas bagiku” jawab Ki Tunda Wara, “aku tidak banyak mempersoalkan mula-mula. Namun itu adalah satu kesalahan bagiku sehingga aku sekarang terjerumus ke dalam kesulitan yang parah. Aku adalah seorang tawanan, yang mungkin akan mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan jika aku tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang akan memeriksa aku”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Aku akan diperas untuk memberikan keterangan yang memang tidak aku ketahui” desis Ki Tunda Wara.

“Tidak” sahut Mahisa Agni, “kau tidak akan diperlakukan kasar. Aku percaya akan segala keterangan mu. Kau memang tidak banyak mengetahui persoalan ini. Kau terlibat ke dalam satu keadaan yang tidak kau pahami”

“Aku menyesal” jawab Ki Tunda Wara.

“Meskipun demikian” berkata Mahisa Agni kemudian, “kau akan tetap menjadi seorang tawanan. Aku akan menempatkan kau dalam pengawasan yang kuat, karena aku tahu bahwa kau adalah seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi”

“Jika demikian, aku tidak akan tertangkap” desis Ki Tunda Wara.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Tetapi meskipun demikian, tidak ada dinding kayu yang dapat menahanmu Ki Sanak. Karena itu, kau memerlukan pengawasan yang kuat”

Ki Tunda Wara mengangguk sambil menjawab, “Aku seorang tawanan. Aku menyerahkan diriku kepada kebijaksanaan tuan. Namun aku berjanji, jika masih ada sedikit kepercayaan kepadaku, bahwa aku tidak akan lari”

Mahisa Agni memandang Ki Tunda Wara sejenak. Lalu katanya, “Aku percaya. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku melepaskan niatku untuk memberikan pengawasan”

Ki Tunda Wara tidak menyahut, meskipun kepalanya terangguk-angguk kecil. Demikianlah, maka Ki Tunda Wara pun diserahkan kepada seorang Senopati muda untuk menempatkannya dalam sebuah bilik yang dijaga kuat. Sementara Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Mahendra masih berbincang dengan sungguh-sungguh.

“Perjalanan ke Kediri bukan perjalanan yang ringan” berkata Mahisa Agni.

“Aku mengerti paman” jawab Mahisa Bungalan.

“Sementara persoalan yang kau hadapipun merupakan persoalan yang rumit. Kau tidak pasti latar belakang dari peristiwa itu. Kita hanya mendasarkan tindakan kita pada keterangan sebelah. Maksudku dari pihak Ki Wastu itu saja. Tetapi kita belum pernah mendengar keterangan dari pihak Pangeran Kuda Padmadata” berkata Mahisa Agni.

“Ya paman. Tetapi menilik sikap dan tindakan orang-orang yang memburu anak dan cucu Ki Wastu itu, maka aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ada pihak yang ingin melenyapkan ibu dan anak itu dengan kasar dan buas” jawab Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni memandang Mahendra sejenak. Kemudian iapun bertanya, “Bagaimana pendapatmu Mahendra?”

“Aku sependapat dengan Mahisa Bungalan. Tetapi aku ingin memberikan pesan, bahwa di Kediri tentu ada pihak yang dapat menjadi sangat berbahaya bagi Mahisa Bungalan. Apalagi jika mereka mengerti maksud kedatangannya. Karena itu, perjalanan ke Kediri akan merupakan perjalanan yang gawat”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sementara Mahendra berkata selanjutnya, “Tindakan yang tidak tanggung-tanggung dari orang-orang yang memburu perempuan dan anak laki-lakinya itu merupakan sebagian kecil dari kesulitan yang akan kau hadapi di Kediri”

“Ya ayah” desis Mahisa Bungalan, “tetapi niat itu tentu bukannya harus dibatalkan”

“Ya” tiba-tiba saja Mahisa Agni menjawab, “kau memang harus pergi ke Kediri. Kau harus menghadapi persoalan ini betapapun berat. Tetapi kau tidak akan pergi seorang diri”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, sementara Mahisa Agni melanjutkan, “Aku akan pergi bersamamu”

Mahisa Bungalan terkejut mendengar kesediaan Mahisa Agni untuk pergi bersamanya. Ia menjadi sangat gembira karenanya. Tetapi dengan demikian iapun menyadari, betapa tugas itu sangat berat jika harus dilakukannya sendiri.

Dalam pada itu, Mahendra lah yang justru menyahut, “Terima kasih kakang. Tetapi apakah dengan demikian, hal ini tidak akan membuatmu menjadi sibuk. Saat-saat kau harus beristirahat, maka kau dihadapkan pada Suatu pekerjaan yang menuntut kesungguhan karena yang akan dihadapi mungkin adalah kekerasan”

Mahisa Agni tersenyum sambil berkata, “Umur kita tidak terpaut banyak. Dan kau masih juga menjelajahi sudut negeri ini”

“Itu adalah caraku mencari nafkah. Jika aku berhenti bertualang, maka keluargaku akan menghadapi kesulitan” jawab Mahendra.

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya pula, “Tidak ada bedanya. Akupun masih ingin menjelajahi segala sudut negeri ini. Termasuk Kediri. Sudah lama aku tidak melihat kota itu. Kau tentu ingat, bahwa aku pernah berada di Kediri, sehingga kadang-kadang aku memang merindukan kota yang bersih itu”

Mahendra pun tertawa pula. Katanya, “Apa boleh buat jika kau menganggap bahwa perjalanan itu adalah perjalanan tamasya untuk mengenang satu masa yang pernah kau hayati. Tetapi masa itu telah silam dan tidak akan kembali lagi”

“Kadang-kadang memang ada satu kerinduan pada masa lampau” jawab Mahisa Agni. Lalu tiba-tiba, “Mungkin Witantra yang pernah tinggal di Kediri pula, tidak akan berkeberatan pergi bersama kami”

“Kakang Witantra?” desis Mehendra.

“Ya”

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Sayang. Aku mempunyai tanggungan di rumah. Aku tidak berani meninggalkan mereka terlalu lama. Jika tidak ada perempuan dan anak laki-lakinya yang sedang diburu oleh maut itu, akupun sebenarnya ingin ikut pula bersama kalian”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Kau seperti kanak-kanak yang melihat ibunya pergi ke pasar”

“Sayang sekali” jawab Mahendra, lalu, “bahkan aku tidak sampai hati meninggalkan mereka terlalu lama. Aku sudah mendapat jaminan bahwa perjalanan Mahisa Bungalan akan mendapat perlindungan, sehingga karena itu, maka sebaiknya aku kembali pulang”

“Mudah-mudahan perjalanan kami selamat. Kami tidak tahu, siapakah yang ternyata harus kami hadapi di Kediri” berkata Mahisa Agni.

“Kakang tidak akan kekurangan cara untuk mengurai persoalan itu” jawab Mahendra, “kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita masing-masing akan dapat berbuat sebaik-baiknya menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja sudah dihadapkan ke dada kita”

“Ya” jawab Mahisa Agni, “kita tidak akan dapat ingkar lagi Mahisa Bungalan agaknya dengan tiba-tiba dihadapkan pada persoalan ini di perjalanannya, sehingga akhirnya ia memang memerlukan kita yang tua-tua”

Mahendra pun kemudian minta diri untuk segera kembali kerumahnya. Ia tidak dapat terlalu lama membiarkan kedua anak-anaknya tidak dalam pengawasannya justru karena ada orang lain di rumahnya yang setiap saat dapat mengundang bahaya. Tetapi iapun tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawabnya atas sesama, karena orang-orang itu memang memerlukan pertolongan. Meskipun ayah dari perempuan yang sedang diburu itu adalah seorang tua yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ia tidak akan dapat berdiri sendiri menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, sehingga ia pun memerlukan pertolongan orang lain.

Demikian maka Mahendra pun meninggalkan kota sebelum hari menjadi gelap. Sementara Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan telah siap untuk mengunjungi Witantra. Mereka akan merencanakan sebuah perjalanan. Baru kemudian mereka akan menghadapi Maharaja Singasari untuk menyampaikan maksudnya.

Kedatangan Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan di rumah Witantra ternyata telah mengejutkannya. Dengan serta merta Witantra pun menanyakan kapan Mahisa Bungalan kembali dari perjalanannya. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan keterangan dan rencananya untuk pergi ke Kediri bersama Mahisa Agni.

“Jadi kau akan pergi juga Mahisa Agni” Witantra mengerutkan keningnya.

“Kemarin pagi paman” sahut Mahisa Bungalan.

“Kau sudah puas dengan petualanganmu?” bertanya Witantra pula.

Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia menjawab, “Aku terpaksa pulang, paman”

“Kenapa terpaksa?” bertanya Witantra.

Mahisa Bungalan kemudian menceritakan pengalamannya sehingga ia harus kembali pulang dengan membawa seorang kakek serta anak dan cucunya.

“Ya. Dan kami tidak hanya akan pergi berdua” jawab Mahisa Agni.

“Siapa lagi?” bertanya Witantra.

“Jika kakang Witantra pergi juga. maka perjalanan kami akan menjadi sangat menyenangkan”

Witantra termangu-mangu sejenak. Namun iapun tersenyum sambil berkata, “Aku sudah terlalu tua. Tetapi agaknya menarik juga untuk pergi ke Kediri. Aku sudah lama tidak melihat kota itu”

“Nah bukankah kita yang tua-tua ini mempunyai kepentingan yang serupa? Berusaha mengenang kembali masa-masa lampau” sahut Mahisa Agni.

Witantra tersenyum. Memang menarik untuk melihat-lihat daerah yang sudah lama tidak dilihatnya. Namun yang lebih menarik lagi adalah persoalan yang dibawa oleh Mahisa Bungalan.

Di Kediri mereka harus berusaha bertemu dengan Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun tidak dikenalnya secara pribadi dengan rapat, namun mereka telah mendengar siapakah Pangeran Kuda Padmadata. Seorang yang masih sangat muda ketika mereka berada di Kediri. Tetapi adalah suatu hal yang sangat wajar, jika Pangeran Kuda Padmadata itulah yang pernah mengenal Mahisa Agni atau Witantra yang pernah bertugas di Kediri.

“Bagaimana pendapatmu Witantra?” bertanya Mahisa Agni.

Witantra menarik natas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan menyertai kalian pergi ke Kediri. Mungkin kita akan menjumpai beberapa hal yang menarik”

“Tetapi mungkin juga menegangkan” sahut Mahisa Agni.

“Memang mungkin sekali. Kita tidak tahu, siapakah sebenarnya yang bermain di belakang segala peristiwa itu. Mungkin orang lain. Mungkin keluarga terdekat dari Pangeran Kuda Padmadata. bahkan mungkin Pangeran Kuda Padmadata sendiri”

“Kenapa Pangeran itu sendiri paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Ia tidak ingin dibayangi oleh darah padukuhan yang lahir sebagai anak laki-lakinya. la tidak ingin melihat lagi langkahnya yang dianggapnya sesat, setelah ia berada kembali di dalam lingkungan para bangsawan. Mungkin pula isterinya yang lain, yang diambilnya dari kalangan bangsawan tidak mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Pangeran Padmadata. Tetapi masih ada kemungkinan kemungkinan yang lain lagi. Kita tidak dapat menebak saja. Tetapi kita harus melakukan pengamatan dengan seksama”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Sebagian keterangan yang pernah didengarnya dari peristiwa itu, memang belum merupakan pegangan yang dapat diyakini. Pendapat, dan mungkin pendengaran dari Ki Wastu. bahkan dari anak perempuannya itu sendiri, masih mungkin pula bukannya kebenaran.

“Yang kita ketahui, barulah kenyataan-kenyataan yang terjadi” berkata Witantra kemudian, “bahwa perempuan itu telah diambil dari rumahnya dan disimpan di hutan tutupan. Bahwa seorang hamba yang setia telah mengorbankan dirinya untuk melindurgi anak laki-laki itu, sementara kemudian kau berhasil membebaskan perempuan itu dari tangan mereka yang menyimpannya. Latar belakang dari segala yang terjadi itu masih belum jelas”

“Itulah yang akan kita cari di Kediri” desis Mahisa Agni.

“Baiklah kita bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Persoalannya tidak boleh berlarut-larut, karena bahaya maut selalu mengejar perempuan dan anak laki-lakinya. Bahkan bahaya yang gawat akan mungkin sekali mengintai keluarga Mahisa Bungalan yang ditinggalkan di rumah”

Demikianlah, maka Witantra pun segera mempersiapkan diri. Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan bermalam satu malam di rumah Witantra. Di hari berikutnya, maka merekapun menghadap Maharaja Singasari untuk mohon diri. Mereka tidak mengatakan alasan mereka yang sebenarnya, selain karena keinginan mereka untuk melihat kota yang sudah lama tidak mereka lihat itu.

Ranggawuni yang memegang tahta Kediri, tidak menahannya. Namun ia bertanya kepada Mahisa Bungalan, “Apakah kau masih memerlukan waktu yang panjang untuk memuaskan darah petualanganmu sebelum kau memasuki satu lingkungan yang mapan?”

Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan suara dalam ia menjawab, “Ampun tuanku. Sebenarnyalah bahwa perjalanan hamba ini adalah perjalanan yang terakhir. Hamba memang ingin mengikuti kedua paman hamba ini untuk melihat-lihat Kediri saat ini”

Ranggawuni tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi cepatlah kembali”

Mahisa Bungalan menunduk semakin dalam. Sementara Ranggawuni yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana itu berkata selanjutnya., “Sudah masanya kau menempatkan dirimu pada tempat yang sesuai dengan pilihanmu”

“Hamba akan menjunjung titah tuanku” jawab Mahisa Bungalan.

Dengan dimikian, maka ketiga orang itupun segera meninggalkan Singasari. Namun Mahisa Agni tidak sampai hati untuk melepaskan keluarga Mahendra begitu saja. Karena itu, agar Mehendra tidak terlalu terikat kepada kewajibannya untuk melindungi orang-orang yang sedang diburu itu, maka iapun telah mengirimkan dua orang petugas sandi untuk membantu setiap saat diperlukan.

“Kau berada di sana sampai Mahisa Bungalan kembali” berkata Mahisa Agni, “katakan kepada Mahendra bahwa akulah yang memberimu perintah. Aku memilih kalian berdua, karena Mahendra telah mengenal kalian. Jika orang lain yang datang, maka ia akan segera mencurigainya karena justru ia berada dalam keadaan yang gawat”

Hampir berbareng dengan saat keberangkatan Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka kedua orang itupun pergi kerumah Mahendra. Mereka harus ikut mengamati keadaan rumah itu. Tanpa mereka, maka Mahendra tidak akan dapat berbuat apa-apa sama sekali diluar rumahnya, sehingga ia tidak akan dapat bekerja untuk mencapai nafkah, atau kepentingan-kepentingan lain di luar padukuhannya.

Dalam pada itu, maka tiga ekor kuda telah berderap meninggalkan gerbang kota Singasari menuju ke Kediri. Perjalanan yang membawa kewajiban yang berat, meskipun sebenarnya masalah itu adalah masalah orang lain. Namun diluar kesadaran Mahisa Bungalan, iapun telah terlibat terlalu jauh sehingga ia tidak mungkin lagi melepaskannya, karena masalahnya akan menyangkut jiwa seorang perempuan dan anak laki-lakinya.

Perjalanan ketiga orang itu ternyata mengandung kegembiraan tersendiri, disamping ketegangan karena kewajiban mereka. Di perjalanan mereka melihat sesuatu yang sudah lama tidak mereka lihat. Perubahan-bahan yang terjadi membuat hati mereka menjadi cerah. Dengan demikian, maka Singasari benar-benar telah berkembang. Namun ada juga daerah yang mereka jumpai masih seperti beberapa saat yang lampau. Tanpa perubahan apapun juga. Jalan-jalan, parit-parit dan dinding padukuhan dengan cepat dapat mereka kenali sebagaimana mereka lihat beberapa waktu yang lewat.

“Daerah ini perlu mendapat perhatian” berkata Mahisa Bungalan, “seolah-olah daerah ini adalah daerah yang mati. Meskipun tanahnya subur dan air yang mengalir diparit itu tidak pernah kering, namun jika penghuni daerah ini sudah menjadi puas dengan keadaannya, maka daerah ini akan segera ketinggalan”

“Ya” Witantra mengangguk-angguk, “daerah lain telah berkembang semakin pesat dengan perluasan daerah persawahan dan kerja yang lain atas dasar peningkatan ketrampilan, maka daerah ini sama sekali tidak bergerak”

“Kita akan singgah di padukuhan ini kelak jika kita kembali” berkata Mahisa Agni, “kita akan melihat apakah sebabnya maka daerah ini merupakan daerah yang terhenti perkembangannya. Mungkin justru karena daerah ini adalah daerah yang subur, sehinggu tanpa kesulitan apapun juga, segala kebutuhan penghuninya telah terpenuhi”

Namun bagaimanapun juga, padukuhan itu terasa sangat sepi, meskipun suasananya sangat tenang. Di padukuhan lain terdengar suara pandai besi yang sedang menempa beberapa jenis alat pertanian, sementara mereka kadang-kadang bertemu dengan seiring itik yang digembalakan.

Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa di padukuhan itu selain parit yang mengalirkan air yang bening, serta sawah yang nampak hijau segar. Pohon nyiur yang bergoyang disentuh angin yang lembut di sepanjang dinding padukuhan, melingkar dari ujung sampai keujung. Namun bagaimana juga perjalanan itu memang sangat menarik.

“Kita akan singgah di rumah seseorang, atau kita akan langsung pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata?” tiba-tiba saja Mahisa Bungalan bertanya.

“Pangeran Kuda Padmadata akan segera mengetahuinya pula. Jika ia pernah mendengar namamu, maka orang yang ada di sekitarnya, yang berhubungan dengan peristiwa Ki Wastu serta anak cucunya itu, akan segera bersiap-siap”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu, “Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?”

“Apakah kita akan singgah lebih dahulu di istana Panji Kudasuwana, yang kini bertugas di Kediri sebagai wakil kekuasaan Singasari?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Jangan Mahisa Bungalan” sahut Mahisa Agni, “dengan demikian kedatangan kita akan cepat diketahui. Apalagi aku dan pamanmu Witantra pernah pula berada di Kediri dalam kedudukan yang serupa”

“Apa salahnya paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Kita tentu tidak akan dapat langsung menuju ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Kita harus berusaha mendapat keterangan serba sedikit tentang keadaannya. Keluarganya dan mungkin sesuatu yang dapat memberikan gambaran tentang dirinya”

Witantra mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya Kita akan mencari beberapa keterangan tentang dirinya.

“Kita akan singgah di rumah kakang Daredu. Ia adalah seorang pekatik yang pernah aku kenal ketika aku berada di Kediri. Aku pernah melihat rumahnya dan akupun mengenal keluarganya” sahut Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu memang paling baik bagi mereka. Demikianlah, setelah mereka menempuh perjalanan yang panjang, mereka semakin mendekati Kediri. Tetapi karena perjalanan mereka bukannya perjalanan yang tergesa-gesa maka mereka bertiga telah bermalam satu malam di perjalanan.

Mereka memasuki Kediri menjelang sore dihari berikutnya. Mahisa Agni ternyata masih tetap mengenal jalan-jalan di dalam kota Kediri yang memang tidak terlalu banyak berubah. Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Agni akan dapat langsung menemukan jalan ke rumah Daredu, seorang pekatik yang pernah dikenalnya ketika ia berada di Kediri.

Kedatangannya benar-benar telah mengejutkan seisi rumah yang tidak begitu besar itu. Daredu yang umurnya sebaya dengan Mahisa Agni, telah nampak menjadi semakin tua. Agak lebih tua dari Mahisa Agni.

“Aku Mahisa Agni Ki Daredu,“

“O, Tuanku” tiba-tiba saja Ki Daredu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Mahisa Agni. Namun cepat Mahisa Agni menarik pundaknya sambil berkata, “Berdiri sajalah. Aku minta kepadamu”

“Ampun tuanku” Daredu masih gemetar karena terkejut.

“Berdirilah, untuk kepentinganku”

Dengan ragu-ragu Daredu berdiri meskipun sambil terbungkuk-bungkuk.

“Aku datang untuk mengunjungimu” berkata Mahisa Agni yang muda ini adalah kemanakanku, sedang yang setua aku ini adalah kakang Witantra. Bukankah kau juga pernah mengenal namanya?”

Pekatik yang nampak sudah lebih tua dari umur yang sebenarnya itu menjadi semakin heran. Dengan suara tertahan ia berkata, “Tentu. Aku sudah mengenal tuanku berdua. Tuanku berdua pernah menjadi wakil kekuasaan Singasari di Kediri. Dan hamba adalah pekatik yang rendah. Kedatangan tuanku membuat aku menjadi bingung”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Ki Daredu. Jangan bingung. Aku datang untuk satu kepentingan yang tidak berarti. Aku ingin melihat kota yang bersih dan segar. Sebenarnyalah aku rindu untuk berkunjung ke kota ini. Tetapi jika aku datang dengan resmi mengunjungi Panji Kudasuwara, maka aku akan kehilangan banyak kesempatan untuk melihat-lihat, karena upacara resmi akan mengikatku”

“Tetapi tuanku bertiga akan mendapat tempat, yang baik, sesuai dengan kedudukan tuanku bertiga” berkata Daredu.

“Aku justru ingin menyusuri jalan kota Kediri dengan bebas. Aku ingin menyusup ke lorong-lorong kecil dan pasar-pasar yang terselip di sudut-sudut kota” jawab Mahisa Agni.

Ki Daredu masih termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Agni berkata, “Ki Daredu, apakah kami tidak kau persilahkan masuk ke dalam rumahmu?”

“Tentu tuanku” jawab Ki Daredu tergopoh-gopoh. Namun kemudian, “tetapi, rumah ini adalah rumah yang kecil, buruk dan tidak mempunyai perabot sama sekali.”

“Kami adalah orang-orang yang pernah menjadi prajurit. Bahkan sebelumnya kami adalah petualang-petualang yang dapat tinggal di sembarang tempat dan keadaan. Prajurit tidak memilih medan. Di manapun ia berada, ia harus dapat menyesuaikan dirinya” jawab Mahisa Agni.

Ki Daredu tidak dapat berbuat lain kecuali mempersilah kan tamu-tamunya masuk ke dalam rumahnya yang tidak begitu besar. Di ruang depan yang disekat dengan dinding bambu dengan bilik-bilik berjajar tiga, dan berpintu rendah, terhampar sebuah amben bambu yang besar. Tidak ada pendapa yang luas dan tidak ada gandok di sebelah menyebelah. Tetapi amben itu cukup luas untuk duduk dan mungkin juga untuk tidur bertiga.

Betapa enggannya Ki Daredu menerima tamu yang baginya terlalu agung itu. Namun ia harus menerimanya dan mampersilahkan mereka duduk. “Ampun tuanku. Kami sekeluarga tidak tahu, apakah yang harus kami perbuat bagi tuanku bertiga”

Witantra tersenyum. Katanya, “Perlakukan kami seperti orang lain yang datang berkunjung kepadamu. Kau lihat, bahwa kami tidak mengenakan pakaian kebesaran sama sekali, sehingga kami tidak datang dalam kedudukan kami. Kami datang atas keinginan pribadi dalam kepentingan yang bersifat sangat pribadi pula”

Ki Daredu bergeser setapak dengan gelisahnya. Jawabnya, “Betapapun juga aku mengerti, siapakah tuanku ini”

Tetapi sambil tertawa Witantra menjawab, “Anggaplah kami orang lain dari yang pernah kau kenal itu”

Ki Daredu menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil berkata, “Aku sekaluarga akan mencobanya tuanku”

“Jangan segan. Dan jangan kau katakan kepada siapapun juga siapakah kami sebenarnya. Katakanlah, bahwa kami adalah saudara-saudaramu yang datang dari jauh, sedang anak muda ini adalah kemanakanmu”

“Ah mana mungkin tuanku. Ujud lahiriahku sama sekali tidak pantas untuk manyebut tuanku demikian” jawab Ki Daredu.

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya, “Tetapi kau tentu tidak berkeberatan memenuhi permintaanku. Panggillah kami sebagai mana kalian memanggil saudara-saudaramu”

Ki Daredu masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Namun katanya kemudian, “Biarlah aku menyebut seperti seharusnya. Hanya jika tuanku bermaksud demikian, biarlah aku mencoba melakukan di hadapan orang lain”

“Baiklah” jawab Mahisa Agni, “dan sekali lagi aku berpesan, bahwa kau dan keluargamu jangan sekali-kali mengatakan siapakah aku sebenarnya”

“Bagaimana aku akan menyebut sebuah nama jika ada orang yang bertanya kepadaku tuanku” bertanya Ki Daredu.

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Sebut saja dengan nama apapun juga”

“Ya, tetapi nama apakah yang paling pantas aku ucapkan?”

“Sebut aku dengan Damar dan kakang Witantra dengan Gantar. Sedang anak muda ini sebut saja namanya Bungalan. Ia memang bernama demikian”

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Mahisa Agni berkata seterusnya, “Jika kau tidak berkeberatan aku akan tinggal di rumahmu barang tiga empat hari. Kau tidak usah memikirkan apapun juga. Kami dapat tidur di amben ini, dan kamipun dapat makan apa yang selalu kau makan sehari-hari”

“Ah” desah Ki Daredu.

Namun Witantra segera berdesis, “Jangan ragu-ragu. Kami sangat mengharap kesediaanmu menerima kami dalam keadaan yang wejar saja seperti kau menerima orang lain. Kecuali kami tidak membuat kalian terlalu sibuk dengan berbagai macam ketentuan unggah-ungguh, kamipun akan mendapatkan kesempatan untuk berbuat dengan kepentingan kami sekarang ini”

Ki Daredu memandang Witantra dengan ragu. Sementara Mahisa Agni menjelaskan, “Kami memang mempunyai kepentingan khusus Ki Daredu. Nanti kau akan kami beritahu. Aku tahu, bahwa kau adalah seorang pekatik yang baik pada saat aku masih berada di Kediri, Aku tahu, apakah kau juga masih seorang yang baik terhadapku sekarang ini”

Betapapun enggannya, namun Ki Daredu harus menuruti permintaan tamu-tamunya yang aneh. Bahkan kepada keluarganya, ia memperkenalkan bahwa ketiganya adalah saudara-saudaranya yang datang dari jauh.

“Nampaknya aku belum pernah mendengar namanya dan ujud mereka tidak ada kemiripan dengan kau” desis isterinya.

“Mereka bekerja di kota. Mereka sudah dipengaruhi oleh tata cara orang-orang yang berpangkat, meskipun tidak terlalu tinggi. Sedang kita? Meskipun kita tinggal di kota, tetapi aku hanya seorang pekatik”

“Di kota mana?” bertanya isterinya.

“Kota raja Singasari. Bukan di Kediri”

“O. Jauh sekali”

“Ya, jauh sekali. Mereka sudah rindu bertemu dengan kadangnya yang hanya menjedi seorang pekatik”

Nyi Daredu mengangguk-angguk. Ketika ia berkesempatan menemui ketiga tamunya, maka katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, bahwa kalian telah bersedia mengunjungi kami yang kecil ini”

“Apakah bedanya?” bertanya Mahisa Agni, “kami juga abdi-abdi yang kecil di Singasari”

“Tetapi kalian bukannya seorang pekatik seperti suamiku”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Sementara Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil.

“Nyai” berkata Witantra, “hampir seumur kami, kami tidak berkesempatan mengunjungi kakang Daredu. Karena itu, maka kami telah memerlukan untuk datang ke Kediri, selagi kami masih mampu berkuda pada jarak yang cukup jauh”

“Terima kasih. Terima kasih” desis Nyi Daredu. Sebagaimana seseorang yang menerima kunjungan saudara-saudaranya yang jauh dan jarang bertemu, maka Nyi Daredu berusaha untuk menjamu tamunya sebaik-baiknya. Meskipun demikian ketika ia menghidangkannya, iapun berkata, “Hanya inilah yang dapat kami hidangkan”

“Luar biasa” berkata Mahisa Agni, “kami telah menerima kehormatan yang besar sekali”

Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah menerima suguhan itu dengan senang hati. Mereka telah memperlakukan hidangan itu benar-benar seperti hidangan yang sangat menyenangkan.

Demikianlah, maka untuk beberapa saat Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan akan berada di Kediri. Mereka telah menyusun rencana untuk melakukan tugas mereka, dalam hubungannya dengan Pangeran Kuda Padmadata.

Setelah mereka beristirahat semalam di rumah Ki Daredu, dan tidur bertiga di amben besar di ruang depan, maka di pagi harinya mereka bertiga telah minta diri untuk melihat-lihat Kota yang telah beberapa lama tidak mereka kunjungi.

Meskipun ada juga perubahan yang nampak pada kota itu, tetapi perubahan itu tidak terlalu besar, sehingga ketiganya dengan cepat dapat mengenali seluruh kota. Seperti yang mereka rencanakan, maka yang mereka lakukan di hari pertama itu barulah lewat di depan istana Pangeran Kuda Padmadata tanpa berbuat apapun juga.

Istana itu adalah istana yang cukup menarik. Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya, yang memiliki tanah kelenggahan yang luas, beberapa tonggak hutan tutupan yang menghasilkan getah yang sangat mahal. Memiliki bermacam-macam kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh para bangsawan yang lain.

“Kita harus mengenalnya lebih banyak” berkata Mahisa Agni.

“Nampaknya istana itu tenang-tenang saja” desis Mahisa Bungalan.

“Ya” sahut Witantra, “tetapi siapa tahu bahwa di dalam dinding halaman terdapat beberapa orang yang dengan mata setajam mata elang, memandangi setiap orang yang masuk regol. Meskipun nampaknya mereka sebagai juru taman, namun mereka adalah orang-orang yang memang dipasang oleh pihak tertentu”

“Kita harus mengetahui lingkungan hidupnya” berkata Mahisa Agni, “mungkin Ki Daredu mengenal satu dua orang abdi dari istana itu. Mungkin pekatiknya, mungkin juru taman atau juru pengangsunya”

“Sementara kita dapat mencari sumber yang lain” berkata Mahisa Bungalan, “mungkin di kedai-kedai kita akan dapat mendengar serba sedikit tentang orang yang kaya raya itu”

“Tetapi kita harus berhati-hati” desis Witantra, “jika yang kita lakukan di kedai-kedai itu sempat mencurigakan orang lain, maka kita akan mengalami kesulitan.

“Kita berusaha untuk tidak meninggalkan kesan yang dapat menarik perhatian orang lain” jawab mahisa Bungalan.

Witantra dan Mahisa Agni mengangguk-angguk. Mereka masih saja berjalan menyusuri jalan-jalan di kota. Tetapi mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Sebenarnyalah Kediri adalah kota yang bersih dan teratur. Beberapa orang bangsawan di Kediri adalah orang-orang yang kaya raya, termasuk Pangeran Kuda Padmadata. Namun agaknya dibalik kekayaan itu, tersembunyi api yang dapat membakar nafsu ketamakan dan kedengkian. Tetapi masih belum nampak, siapakah yang telah menyalakan api itu.

Adalah kewajiban ketiga orang yang datang dari Singasari itu untuk mencari keterangan dan kemudian memecahkan persoalannya. Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia harus melakukan dengan cermat. Yang terjadi atas Ki Tunda Wara dan Ki Wangut adalah cermin dari ketergesa-gesaan itu, sehingga mereka telah mengalami kegagalan mutlak, sehingga mereka bukan saja tidak berhasil melakukan tugas mereka, namun mereka justru telah menjadi korban.

Namun ternyata, bahwa kegagalan Ki Wangut dan Ki Tunda Wara telah tercium oleh para pengikutnya. Hari-hari yang telah dilalui ternyata terlalu lama. Tanpa ada keterangan dan berita. Dalam kegelisahan, maka para pengikut Ki Wangut telah mencari hubungan dengan orang-orang yang dikenalnya merupakan jalur dengan orang-orang di Kediri. Tetapi hubungan itupun agaknya terlalu sulit untuk sampai kepada orang yang pertama.

Meskipun demikian, agaknya orang-orang yang menjadi jalur hubungan dengan Kediri itu memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik dari sisa-sisa pengikut Ki Wangut yang gelisah. Sehingga dengan demikian, maka berita tentang kemungkinan kegagalan usaha untuk membunuh perempuan dan anaknya itu telah terdengar oleh orang-orang yang bermain dengan rencana itu di Kediri.

“Mereka ternyata adalah orang-orang dungu” desis seorang yeng berjambang lebat

“Aku sudah mengira. Jika ia berhasil, maka ia tentu sudah menuntut upah yang kita janjikan itu, setelah mereka dapat menyerahkan bukti-bukti kematian perempuan dan anak laki-laki itu” sahut seorang yang bertubuh tinggi.

“Agaknya pihak yang semula berdiri diluar persoalan ini telah menjadi sebab gagalnya rencana Ki Wangut. Aku semula menganggap bahwa ia memiliki kelebihan dari orang-orang lain yang pernah aku kenal. Tetapi ternyata ia tidak lebih dari seorang yang hanya pandai membual. Menurut pendengaranku, ia telah mengorbankan terlalu banyak pengikutnya. Sedangkan akhirnya ia tidak berhasil sama sekali”

“Itu adalah akibat dari kebodohannya” berkata orang ber jambang pula.

Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata, “Tetapi kita tidak boleh terpancang pada sikap itu. Bahkan yang terjadi adalah akibat kebodohan Ki Wangut. Jika masalahnya menjadi semakin buruk, maka kita harus mengambil sikap lain”

“Maksudmu?” bertanya orang berjambang.

“Mungkin ada pihak-pihak yang ingin menelusuri masalah ini sampai ke Kediri” sahut orang bertubuh tinggi.

“Memang mungkin sekali. Karena itu, maka kita harus memperketat pengawasan di sekitar istana Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada orang yang ingin langsung menghadapnya untuk menyampaikan masalah ini. Atau mungkin justru perempuan dan anak itu langsung dibawanya menghadap”

“Kita akan berhubungan dangan jaring-jaring yang sudah kita susun. Kita harus bekerja bersungguh-sungguh. Taruhannya adalah segala kekayaan dan warisan Pangeran yang kaya-kaya itu. Sebab tidak seharusnya warisan itu jatuh ke tangan darah padesan meskipun ia adalah anak Pangeran Kuda Padmadata”

Kawannya yang berjambang itu tertawa. Katanya, “Apakah itu yang terpenting?”

“Lalu apa?” bertanya yang bertubuh tinggi.

“Yang terpenting adalah nasib kita sendiri. Jika kita dengan keras hati berniat menggagalkan saluran warisan itu kepada daerah padesan, maka yang terpenting adalah, bahwa kita akan menerima sebagian dari padanya”

“Ah, kau memang terlalu tamak” desis orang bertubuh tinggi itu.

“Apakah kau kira, kau tidak akan berbuat demikian?” bertanya orang berjambang, “seandainya, anak padesan itu berjanji kepada kita untuk memberikan lebih banyak dari bagian yang akan kita terima jika warisan itu tidak jatuh kepadanya, maka apakah kita tidak akan berpihak kepada anak padesan itu, meskipun kita sendiri mempunyai tetesan darah bangsawan”

“Kau memang gila” desis orang bertubuh tinggi, “tetapi itu adalah pengakuan yang jujur. Aku kira aku pun berpendirian serupa. Namun demikian, aku masih memikirkan harga diriku sebagai seorang bangsawan dari tingkat yang paling rendah sekalipun”

Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Tetapi akhirnya ia berkata, “Baiklah. Semuanya dapat saja kita lakukan. Tetapi yang penting, kita harus selalu mengawasi segala kemungkinan yang dapat terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata”

Dengan demikian, maka kegelisahan para pengikut Ki Wangut itu telah menggerakkan orang-orang yang terlibat dalam persoalan yang sedang bergejolak di dalam keluarga Pangeran Kuda Padmadata. Mereka memang sudah memperhitungkan, berdasarkan atas laporan-laporan dari perkembangan keadaan, maka Ki Wangut akan mengalami kegagalan. Meskipun mereka belum menerima keterangan selengkapnya tentang kegagalan Ki Wangut.

Namun bahwa orang itu tidak lagi nampak untuk waktu yang lama, maka mereka menduga, bahwa Ki Wangut tidak berhasil menemukan tempat persembunyian perempuan dan anak laki-lakinya atau bahkan Ki Wangut telah mengalami kegagalan yang paling pahit seperti yang pernah terjadi atas beberapa orang pengikutnya.

Dengan persiapan yang baik, maka istana Pangeran Kuda Padmadata telah dikelilingi oleh beberapa orang yang bertugas untuk mengawasi jika ada orang yang mencurigakan tersangkut dalam persoalan yang gawat itu mulai merambah jalan masuk untuk menghadap Pangeran Kuda Padmadata, atau bahkan langsung menghadapkan perempuan dan anak laki-lakinya, yang seharusnya sudah dimusnahkan itu. Bukan saja satu dua orang pengawal, tetapi orang-orang dalam di istana itu pun telah mendapat tugas-tugas khusus yang berhubungan dengan kemungkinan yang tidak diinginkan itu.

Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang bangsawan yang senang sekali memelihara berbagai macam binatang. Dari burung yang berkicau, sampai pada binatang buas yang dibuatnya kandang yang khusus di halaman. Di halaman samping dari istana itu terdapat kandang seekor harimau loreng yang besar dan garang. Beberapa langkah lagi terdapat kandang harimau hitam legam yang sangat berbahaya, karena harimau itu pandai memanjat seperti seekor kucing. Meskipun harimau hitam itu tidak sebesar dan sekuat harimau loreng, tetapi bagi lawan-lawannya, harimau hitam justru lebih berbahaya, karena kelicikannya.

Tetapi berbeda dengan kandang yang kuat dan garang itu, di bagian lain terdapat sangkar burung berkicau bergantungan di serambi. Namun kadang-kadang para tamu terkejut ketika mereka memasuki pintu samping karena mereka akan melihat kulit seekor ular yang utuh membelit pada sebatang kayu. Kepalanya yang besar dengan mulut menganga tergantung tepat diatas pintu. Istana Pangeran Kuda Padmadata menunjukkan, bahwa pemiliknya adalah seorang pemburu yang baik.

Di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra berhasil mendengar serba sedikit tentang Pangeran itu. Tetapi yang mereka dengar dari beberapa orang di kedai-kedai adalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang pemburu. Selebihnya mereka tidak mengetahui.

“Kita sudah mengetahui beberapa hal” berkata Mahisa Agni, “Pangeran itu adalah seorang yang kaya raya dan ia seorang pemburu yang baik”

“Baru itu” potong Mahisa Bungalan.

Witantra tertawa. Katanya, “Jangan tergesa-gesa. Kita sudah melalui jalan di depan rumah itu beberapa kali. Kita melihat beberapa orang sibuk di halaman, membersihkan taman dan kadang-kadang melakukan pekerjaan yang tidak berarti. Betapapun kayanya seseorang, tetapi ia tidak mempunyai juru taman yang berlebih-lebihan jumlahnya. Di hari kedua aku melihat ada tiga orang yang sibuk di halaman rumah itu. Meskipun hari ini aku hanya melihat seorang”

“Mungkin mereka adalah pekatik atau juru pengangsu atau gamel yang sedang tidak mempunyai pekerjaan. Karena mereka senang pula akan berjenis-jenis tanaman, maka mereka telah membantu juru taman untuk memelihara tanaman bunga yang tumbuh di halaman” desis Mahisa Bungalan.

“Memang mungkin. Tetapi mungkin pula, mereka memang dipasang untuk mengawasi orang-orang yang tidak mereka kehendaki memasuki halaman istana itu” jawab Witantra.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Itupun dapat terjadi. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat terus menerus mondar mandir tanpa berbuat sesuatu”

Mahisa Agnipun tertawa. Katanya, “Kau ternyata masih terlalu dikuasai oleh kemudaanmu. Kita harus berhati-hati. Jangan membiarkan gejolak perasaanmu mendorongmu untuk berbuat sesuatu diluar pertimbangan”

Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kita tidak boleh terlambat paman”

“Ya, ya” sahut Witantra, “kita memang harus berbuat sesuatu secepatnya”

Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi iapun terdiam. Sementara itu, maka ketika mereka berada di rumah Ki Daredu, maka Mahisa Agnipun bertanya kepada pekatik itu, “Ki Daredu, apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Pangeran Kuda Padmadata dengan kesenangannya berburu?”

Ki Daredu termangu-mangu sejenak. Kemudian jawabnya, “Hamba tidak banyak mengetahui tentang Pangeran yang kaya raya itu tuanku. Yang hamba ketahui, di dalam istananya terdapat banyak sekali jenis binatang hidup atau mati”

“Apakah kau mempunyai seorang kenalan atau sanak kadang yang mengabdi pada Pangeran itu?”

Ki Daredu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika sekedar mengenal, hamba mengenal seorang diantara mereka. Hamba mengenal seorang pemelihara kuda yang baik di istana itu. Mula-mula ia tidak lebih dari seorang pekatik yang harus mencari rumput seperti hamba untuk memberi makan beberapa ekor kuda yang baik di istana itu. Tetapi kemudian ia berhasil mempelajari sifat dan tabiat kuda yang dikenalnya di dalam istana itu. Akhirnya, ia menggantikan pemelihara kuda yang terdahulu, yang sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja lagi”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Daredu. Apakah di istana itu tidak memerlukan pekatik lagi? Jika pekatik itu kini bertugas sebagai pemelihara kuda, maka apakah sudah ada pekatik yang lain yang menyediakan rumput bagi kuda-kuda yang berada di istana itu”

“Sudah tuahku. Sudah ada. Akupun mengenalnya, karena kami sering bersama-sama berada di padang rumput”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan ikut bersamamu ke padang rumput. Akan membantumu menjadi seorang pekatik”

“Tuanku. Hamba tidak mengerti” wajah Ki Daredu menjadi tegang.

“Kau berjanji untuk tidak bersikap demikian dihadapan orang lain. Bahkan di hadapan isterimu” desis Mahisa Agni, “Kau akan menganggap aku sebagai saudaramu yang datang dari jauh. Kau ingat”

Ki Daredu mengeleng-gelengkan kepalanya sambil bergumam, “Hamba tidak mengerti. Apa saja yang sedang tuanku lakukan sekarang di Kediri”

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Aku tidak sedang berbuat apa-apa selain mengenal Kediri pada masa ini, setelah beberapa lama aku tinggalkan. Ketika aku berada di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata belum menjadi seorang yang mendireng seperti sakarang. Ia masih terlalu muda dan mungkin tidak termasuk ke dalam perhatianku pada masa itu”

“Kenapa sebenarnya dengan Pangeran itu?” bertanya Ki Daredu.

“Tidak apa-apa. Dan kaupun tidak perlu mengatakan dan menanyakan kepada siapapun juga. Aku hanya ingin ikut bersamamu ke padang rumput untuk menyabit rumput”

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba tidak mengerti. Tetapi jika demikian yang tuan kehendaki, maka apa boleh buat”

Demikianlah ketika Ki Daredu pergi ke padang rumput, untuk menyabit rumput yang hijau segar, maka Mahisa Agni telah pergi bersamanya dalam pakaian seorang pekatik. “Namaku Damar” desis Mahisa Agni ketika mereka barada di padang.

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Aku, hamba, eh, aku menurut saja yang tuanku, maksudku, yang kehendaki”

Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Sejenak kemudian Mahisa Agni pun telah ikut menyabit rumput bersama Ki daredu. Di padang itu terdapat beberapa orang yang juga sedang menyabit rumput untuk memberi makan kuda-kuda peliharaan yang banyak jumlahnya di Kediri.

“Tuanku, maksudku, kami dapat juga menyabit rumput he?” bertanya Ki Daredu.

“Di masa kecilku aku tinggal di sebuah padepokan kecil. Aku juga sering menyabit rumput dan menggembala kerbau” jawab Mahisa Agni.

“Tuanku senang berkelekar” Ki Daredu tertawa.

“Namaku Damar” Mahisa Agni memperingatkan.

“O, ya. Maksudku, kau sedang berkelekar, Damar”

Mahisa Agnipun tertawa tertahan. Namun dalam pada itu, yang dilakukannya itu telah membawa Mahisa Agni ke dalam sebuah kenangan. Kenangan di masa yang telah jauh lampau. Samar-samar mulai terbayang, sebuah padepokan kecil yang bernama Panawijen. Seorang anak muda yang sederhana, tinggal di padepokan. Sehari-hari dilakukannya pekerjaan sebagi-mana anak-anak padesan. Namun di malam hari anak muda itu belajar bukan saja oleh kanuragan, tetapi juga kejiwan dan kesusastraan serba sedikit dari seorang mPu yang bernama Empu Purwa.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu manis sekali, tetapi juga pahit seperti empedu. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng, seolah-olah ia ingin mengusir kenangan yang semakin lama menjadi semakin mengabur dan akhirnya hilang sama sekali, ketika Mahisa Agni berhasil memusatkan perhatiannya kepada beberapa orang menyabit rumput di padang itu.

“Ki Daredu, yang manakah pekatik Pangeran Kuda Padmadata yang sekarang?” bertanya Mahisa Agni.

“Itulah. Yang masih muda. Semuda kemanakan tuanku”

“Namaku Damar”

“Ya, ya. Semuda kemanakanmu yang bernama Bungalan itu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Bawa aku kepadanya. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredu termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berkata, “Ia datang dengan pekatik yang lama, sekarang menjadi juru pemelihara kuda”

“O, jadi orang itu ada disini pula?”

“Ya. Agaknya pekatik itu menyabit rumput yang tidak begitu baik, sehingga pemelihara kuda itu memerlukan datang untuk memberinya petunjuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Kepada Ki Daredu ia bertanya, “Pekatik baru itu memang terlalu bodoh. Ia sama sekali tidak dapat menyabit rumput. Jika sekiranya ia mempunyai sedikit pengalaman menyabit rumput sebelumnya, ia tidak akan berbuat seperti itu. Aku sudah lama sekali tidak menyabit. Tetapi aku agaknya masih lebih pandai daripadanya”

Ki Daredu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sejenak semula aku sudah menyangka, bahwa ia sama sekali belum pernah melakukan pekerjaan itu. Meskipun demikian, ia adalah anak yang rajin, sehingga setiap hari iapun dapat membawa rumput yang cukup untuk memberi makan beberapa ekor kuda di rumah Pangeran Kuda Padmadata itu. Tetapi agaknya pemelihara kuda itu menganggap perlu untuk memberinya beberapa petunjuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Cari kesempatan untuk berbicara dengan mereka. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredu pun kemudian menjinjing keranjang rumputnya mendekati mereka. Sambil melemparkan keranjangnya ia bertanya, “He kau turun lagi ke padang rumput ini?”

Yang diajak berbicara itupun tersenyum sambil menjawab, “Anak itu bodoh sekali. Sudah beberapa kali aku memberinya petunjuk. Tetapi ia belum berhasil mendapatkan rumput seperti yang aku kehendaki. Bahkan masih belum mencukupi kebutuhan, apa lagi Pangeran Kuda Padmadata mempunyai dua ekor kuda yang baru dan tegar”

“Apakah aku dapat membantu” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya.

Ki Daredu terkejut. Tetapi ia menahan diri untuk tidak memberikan kesan apapun, juga, karena ia sudah mulai curiga, bahwa kedatangan Mahisa Agni ke Kediri, bukannya tanpa maksud tertentu.

Pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata itu memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah orang ini Ki Daredu?”

Ki Daredu menjadi bimbang. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Ia saudaraku yang datang dari jauh”

“Siapakah namanya?”

“Damar” sahut Ki Daredu dengan memaksa diri, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Daredu pun berkata, “ia datang dari padesan. Agaknya sawah dan ladangnya menjadi kering olah musin kemarau yang panjang. Karena itu, ia datang ke kota”

Pemelihara kuda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Padang inipun sudah mulai terpengaruh pula oleh musim, meskipun ada parit khusus yang sengaja dialirkan lewat padang ini justru agar rumput di padang ini tidak menjadi kering sama sekali”

“Ya. Padang ini adalah padang yang diperuntukkan bagi kuda-kuda peliharaan di daerah belahan Selatan kota Kediri. Padang serupa hanya ada tiga hamparan di seluruh kota ini” jawab pemelihara kuda itu” Jika padang ini menjadi kering, maka kita harus mencari rumput ke sawah-sawah dan pategalan”

Ki Daredu mengangguk-angguk. Sementara MahisaAgnipun bertanya sekali lagi, “Apakah aku dapat menghambakan diri kepada Pangeran yang mempunyai kuda yang tegar itu. Maksudku. Pangeran Kuda…”

“Kuda Padmadata” pemelihara kuda itu melengkapi.

“Ya. Pangeran Kuda Padmadata. Aku tidak dapat segera kembali ke padukuhanku yang kering. Disini aku akan mendapat sekedar makan dan tempat untuk menumpang badan sepata” sambung Mahisa Agni.

“Kau tidak mempunyai keluarga?” bertanya pemelihara kuda itu.

“Tidak Ki Sanak. Isteriku telah meninggal. Anakku yang seorang tidak lagi aku ketahui dimana tinggalnya, sementara anakku yang seorang lagi, perempuan, telah meninggal ketika ia melahirkan anak”

Pemelihara kuda itu termangu-mangu. Katanya kemudian, “Aku memang memerlukan kawan. He, apakah ia sekarang membantumu Ki Daredu?”

“Membantu menyabit disini. Tetapi ia belum menghambakan diri kepada siapapun” Ki Daredu mencoba menyesuaikan diri, bahkan katanya kemudian, “jika ia mendapat tempat untuk menghamba, aku akan sangat terterima kasih, karena aku yang miskin ini tidak perlu menanggung hidupnya meskipun ia hanya sebatang kara”

“Aku akan membicarakannya dengan Ki Jurasanta. lurah para abdi di istana Pangeran Kuda Padmadata kata pemelihara kuda itu."

“Terima kasih Ki Sanak, terima kasih. Aku tak sampai hati terlalu lama menjadi beban kakang Daredu yang sudah merasa kesulitan menanggung keluarganya sendiri” berkata Mahisa Agni.

“Bukankah namamu Damar?” bertanya pemelihara kuda itu.

“Ya, namaku Damar” sahut Mahisa Agni.

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya” desis pemelihara kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa kadang-kadang memperhatikan pekatik baru yang masih muda, yang ternyata masih kurang pandai menyabit rumput itu. Pada sorot matanya, Mahisa Agni menangkap isyarat, bahwa ia harus berhati-hati terhadapnya.

“Ia hadir di istana itu dengan tugas khusus” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “meskipun ia tidak pandai menyabit rumput, tetapi ia mencoba untuk melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Namun ada sesuatu yang perlu diperhatikan pada anak itu”

Ternyata bahwa pandangan Mahisa Agni yang tajam, berhasil menangkap sesuatu pada anak itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni masih tetap pada sikapnya

“Datanglah besok” berkata pemelihara kuda itu, “aku tentu sudah berkesempatan bertemu dengan Ki Jurasanta”

“Terima kasih” desis Mahisa Agni terima kasih.

Dan Mahisa Agni pun kemudian meneruskan membantu Ki Daredu menyabit rumput. Ia berbuat seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pekatik. Untunglah bahwa di masa kecilnya, Mahisa Agni pernah juga melakukannya, sebagai anak padepokan kecil. Sehingga dengan demikian, nampak bahwa ia memiliki ketrampilan melampaui anak muda yang telah bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata itu.

Ketika kemudian mereka kembali pulang sebelum Ki Daredu membawa rumputnya ke istana Panji Kudasuwana, yang bertugas atas nama kekuasaan Singasari di Kediri, tidak habisnya ia bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya dilakukan olen Mahisa Agni, tetapi ada keseganan untuk menanyakannya.

Mahisa Agni lah yang kemudian sambil menjinjing keranjang di kepalanya berkata, “Kau tidak usah menjadi pening karena sikapku Ki Daredu. Biarlah aku mencari cara tersendiri untuk menemukan kesegaran kenangan atas kota ini”

“Tetapi tuanku telah berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Apakah yang akan dikatakan orang jika akhirnya mereka mengetahui, bahwa tuanku lah yang menjadi penyabit rumput di istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Itu sudah wajar. Aku anak padepokan kecil yang kemudian menjadi penyabit rumput”

“Tuanku adalah penguasa tertinggi di Kediri atas nama kerajaan Singasari yang kini memerintah Kediri” berkata Ki Daredu.

Mahisa Agni tertawa. Katanya, “Itu adalah Panji Kudasuwana. Bukan aku. Pada waktunya memang aku. Tetapi itu sudah lampau seperti juga Panji Pati-pati kini tidak berkuasa lagi”

Ki Daredu berdesis, “Aku sudah pikun” lalu suaranya merendah, “Ampun tuanku. Hamba tidak tahu apakah yang sebaiknya harus hamba lakukan. Mudah-mudahan hamba dapat membantu tuanku dengan rencana yang membingungkan ini”

Mahisa Agni masih tertawa. Keranjang rumput itupun masih berada dikepalanya. Katanya, “Aku pantas menjadi seorang pekatik?"

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menjadi bingung menghadapi sikap Mahisa Agni. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang akan dilakukan oleh orang yang pernah memegang kekuasaan di Kediri atas nama pimpinan tertinggi di Singasari itu. Tetapi bagaimana mungkin ia sampai merendahkan dirinya dan menjadi seorang pekatik.

Tetapi Ki Daredu kemudian tidak berani bertanya. Ia tidak ingin dianggap orang tua yang banyak ingin mengetahui persoalan yang bukan persoalannya. Ketika Mahisa Agni sampai di rumah Ki Daredu, maka iapun segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya. Mahisa Agni sempat juga menceriterakan, bagaimana Ki Daredu menjadi bingung karenanya.

Sementara itu, kening Mahisa Bungalan menjadi berkerut-merut. Ia tahu, bahwa yang dilakukan olah Mahisa Agni itu tentu berbahaya. Jika orang-orang yang berada di seputar Pangeran Kuda Padmadata mengetahuinya, maka ia akan berhadapan dengan kekuatan yang mungkin sangat besar.

Mahisa Agni seolah-olah mengetahui kecemasan Mahisa Bungalan itu. Maka katanya kemudian, “Jika aku mengalami kesulitan, bukankah kau dan kakang Witantra ada di sini...?”