Panasnya Bunga Mekar Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 10
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“YA,” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “tetapi apakah ada kesempatan paman untuk memberitahukan hal itu kepada kami?”

“Aku tentu tidak akan membiarkan segalanya terjadi tanpa dapat terbuat sesuatu. Aku akan melihat gelagat dan perkembangan keadaan” jawab Mahisa Agni.”

Witantra dan Mahisa Bungalan kemudian tidak dapat berbuat lain kecuali menyetujui rencana Mahisa Agni untuk menghambakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata, apabila permohonannya dapat dikabulkan.

Di hari berikutnya, Mahisa Agni kembali mengkuti Ki Daredu ke padang rumput untuk menyabit, sekaligus untuk menemui pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata.

“Ha, kau Ki Daredu” sapa pemelihara kuda itu.

Ki Daredu pun mendekatinya sambil bertanya,, “Bagaimana? Apakah kau sudah ketemu dengan Ki Jurasanta?”

“Aku sudah menemuinya, ia tidak berkeberatan” jawab pemelihara kuda itu. Lalu, “Pekatik itulah yang merasa keberatan. Ia mempunyai seorang kawan yang dapat membantunya. Tetapi karena Ki Jurasanta sudah menyetujuinya, maka pekatik itu tidak dapat menolaknya lagi”

“Apakah ia berkeberatan?” bertanya Mahisa Agni, “jika kehadiranku dapat menggangu, maka aku tidak dapat melakukannya lebih jauh meskipun aku sangat memerlukan pekerjaan itu”

“Tidak” jawab pemelihara kuda itu, “aku sudah mengatakan kepadanya bahwa ada dua ekor kuda dan kemudian akan datang lagi seekor kuda yang lebih baik lagi ke dalam kandang kuda Pangeran Kuda Padmadata, sehingga ia memang memerlukan kawan. Daripada memanggil kawannya yang belum pasti bersedia, maka lebih baik menerima saudaramu yang sudah menyatakan dirinya untuk mengabdikan diri”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan persoalalan di kemudian hari?”

“Tidak. Anak itu sudah dapat mengerti setelah aku jelaskan kepadanya” jawab pemelihara kuda itu.”

“Syukurlah” desis Mahisa Agni, “jika demikian keluargaku akan merasa sangat senang”

“Kau dapat bekerja sejak besok” berkata pemelihara kuda itu, “jika kau tidak berkeberatan, ikutilah aku sekarang menemui Ki Jurasanta. Kau akan mendapat penjelasan. Apakah kau akan tinggal di dalam atau kau akan tinggal pada Ki Daredu”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “jika aku memang harus menghadap, aku akan datang”

Ki Daredu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Mahisa Agni kemudian mengikuti pemelihara kuda itu pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata. “Aku tidak mengeti, apakah yang sebenarnya yang dilakukannya” desis Ki Daredu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun mengikuti pemelihara kuda itu memasuki regol istana yang besar dari seorang Pangeran yang kaya raya bersama pemelihara kuda itu. Demikian kaki Mahisa Agni menginjak halaman dalam regol ia sudah merasa beberapa pasang mata mengikutinya. Di antaranya adalah pekatik muda yang masih belum trampil menyabit rumput itu.

“Aku memang harus berhati-hati” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Ketika ia kemudian dihadapkan kepada Ki Jurasanta. Maka Mahisa Agni pun telah merubah dirinya, benar-benar seperti seorang petani miskin. Sikapnya, kata-katanya dan kedunguannya.

“Jadi kau benar-benar ingin bekerja disini?” bertanya Ki Jurasanta.

“Ya Ki Jurasanta. Aku memang memerlukan pekerjaan. Aku senang sekali apabila aku dapat bekerja di sini”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Agni meneruskan keterangannya, “Aku berada di rumah kakang Daredu. Jika aku diperkenankan aku akan tetap berada di rumahnya, sementara siang hari aku berada di sini. Menyabit dan membantu apa saja dalam hubungannya dengan kuda-kuda itu”

“Apakah kau dapat naik kuda?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku pernah melakukannya ketika aku tinggal bersama pamanku dahulu. Tetapi ketika pamanku meninggal, aku tidak lagi pernah mencobanya”

“O, jadi kau pernah juga memelihara kuda di rumah pamanmu?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku membantunya memandikan kuda, menyabit rumput dan menyisir surinya. Bahkan aku pernah digigit lenganku oleh kuda pamanku” Mahisa Agni menjelaskan.

Ki Jurasanta tersenyum. Nampaknya ia senang melihat sikap dan kata-kata Mahisa Agni yang nampaknya sangat terbuka dan tanpa ulasan apapun juga. Katanya kemudian, “Baiklah. Kau dapat segera bekerja di sini. Siapa namamu?”

“Damar” jawab Mahisa Agni.

Ki jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sekarang kau boleh pulang. Besok pagi-pagi kau datang kemari. Kau akan mendapat keranjang dan sebuah sabit yang baik. Kau akan menyabit rumput bersama pekatik muda itu. Tetapi agaknya ia belum begitu pandai, namun ia rajin dan berkemauan untuk belajar. Karena itu, ajari saja anak itu agar ia segera dapat mengurangi pekerjaanmu”

“Baiklah Ki Jurasanta” jawab Mahisa Agni, “aku akan mencobanya jika ia bersedia. Tetapi jika ia tidak bersedia, aku tidak akan memaksanya”

“Ia adalah anak yang baik. Tentu ia tidak akan berkeberatan. Cobalah besok membantunya. Selama ini pemelihara kuda itu sendirilah yang turun ke padang rumput dan mengajarinya. Tetapi jika ada orang lain, maka ia akan tetap berada di dekat kandang saja tanpa meninggalkan binatang peliharaannya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi, apakah kehadiranku di sini tidak akan membuat Pangeran Kuda Padmadata menjadi murka, karena Pangeran itu belum pernah mengenal aku”

“Pangeran itu tidak banyak mengenal hamba-hambanya secara langsung. Tetapi Pangeran mempunyai beberapa orang kepercayaan. Tentang binatang peliharaan, Pangeran telah mempercayakan kepadaku. Sejak seekor burung peranjak di kandang yang berwarna merah dan kuning keemasan itu, sampai kepada kuda-kudanya yang tegar. Bahkan jika ada seekor harimau yang belum mendapat makannya, maka Pangeran akan menegurku” jawab Ki Jurusanta.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya lagi, “Apakah Ki Jurasanta sudah lama mengabdi kepada Pangeran Kuda Padmadata?”

Ki Jurasanta tertawa. Katanya, “Aku mengabdi di sini sejak ayahanda Pangeran Kuda Padmadata masih tinggal di sini”

Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Katanya, “Sudah lama sekali. Dengan demikian, Pangeran sudah mengenalmu sebaik-baiknya””

“Ya. Karena itu aku mendapat kepercayaan pada salah satu segi kegemaran Pangeran”

“Dengan demikian ada beberapa orang yang berkedudukan seperti Ki Jurasanta dalam bidang-bidang yang lain di sini?” bertanya Mahisa Agni kemudian.

“Sudah tentu. Ada orang yang menjadi manggala pada pasukan pengawal. Di istana ini ada sekelompok pengawal. Ada pula yang memimpin sekelompok hamba dalam yang mengatur segala sesuatu dalam istana itu, sampai kepada makan dan minum Pangeran”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi agar tidak menumbuhkan kecurigaan peda Ki Jurusanta yang baru saja mengenalnya. Tetapi bahwa ia sudah diperkenankan bekerja di tempat itu, maka sebagian dari tugasnya sudah dapat dilakukan dengan baik.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun minta diri untuk kembali ke rumah Ki Daredu. Di keesokan harinya ia akan kembali untuk mulai dengan pekerjaannya. Dengan langkah ringan Mahisa Agni meninggalkan istana Pangeran Kuda Padmadata. Ia tidak akan menjadi bingung untuk menemukan kembali jalan menuju ke rumah Ki Daredu, karena ia sudah mengenal jalan di Kediri sebaik-baiknya.

Namun, ketika terasa sesuatu menyentuh firasatnya, maka iapun berpaling. Dilihatnya dua orang berjalan mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Salah seorang dari keduanya adalah pekatik muda yang akan dibantunya belajar menyabit rumput.

Dada Mahisa Agni berdesir. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Ia berjalan saja seperti tidak ada prasangka apapun juga, meskipun ia menjadi berhati-hati. Ketika ia sampai di tempat yang terbuka, maka tiba-tiba saja pekatik muda itu memanggilnya, “Ki Sanak. Berhentilah sebentar”

Mahisa Agni menjadi berdebar. Tetapi iapun berhenti pula. Bahkan sambil tersenyum-senyum ia menyapa, “Kaukah pekatik muda itu? Aku mendapat tugas untuk mengajarimu besok”

Pekatik itu sudah berada selangkah di hadapannya. Sambil berdiri bertolak pinggang ia bertanya, “Kenapa kau bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata?”

“Kenapa?” Mahisa Agni mengulang. Tetapi iapun tertawa sambil berkata. “Kau bergurau. Aku sudah mencari pekerjaan di mana-mana. Sejak aku meninggalkan kampung halamanku. Tetapi baru kali ini aku mendapat pekerjaan setelah sekian lama aku membebani kakang Daredu”

“Kau sudah tua” berkata pekatik muda itu, “tetapi nampaknya tubuhnya masih kuat”

“O tentu anak muda. Aku masih kuat. Aku masih mampu menjinjing keranjang penuh dengan rumput yang hijau basah. Kau tidak percaya?”

Pekatik muda itu tertawa. Namun suara Mahisa Agni terputus ketika tiba-tiba saja anak muda itu memegang rambutnya dan kemudian merengutnya, “kau keras kepala”

Mahisa Agni terkejut Iapun kemudian bergeser surut. Dengan wajah ketakutan ia berkata, “Apa salahku anak muda”

“Kau tidak bersalah. Tetapi kau harus mengetahui, bahwa kau adalah hamba yang paling hina di istana Pangeran Kuda Padmadata. Kau tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hatiku dan apalagi membuat aku marah”

“Ya, ya. Aku tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyabit rumput. Aku akan membantumu, mengajarimu dan bekerja sebaik-baiknya agar aku mendapat upah yang cukup untuk makan sehari-hari”

Anak muda itu menyentuh dahi Mahisa Agni dengan jari-jarinya sambil berkata, “Hati-hatilah bekerja di Istana itu. Kau harus tunduk kepada perintahku”

Mahisa Agni memandang anak muda itu dengan wajah yang tegang dan ketakutan. Selangkah lagi ia mundur. Dengan suara gemetar ia berkata, “Aku tentu akan menurut segala perintahmu. He, tetapi bukankah ada Ki Jurasanta”

Tiba-tiba anak muda itu sekali lagi meremas rambut Mahisa Agni sambil berkata, “Katakan sekali lagi. Aku akun mengupas wajahmu dengan batu”

“Tidak. Tidak” Mahisa Agni menjadi semakin ketakutan, “kau harus tunduk kepadaku. Jika kau berani mengatakan hal ini kepada Ki jurasanta, maka kau tidak akan melihat matahari di keesokan harinya. Mengerti?”

“Ya, ya. Aku mengerti” jawab Mahisa Agni.

“Semua orang harus tunduk kepadaku” berkata anak muda itu, “pada suatu saat Ki Jurasanta pun akan tunduk kepadaku”

Mahisa Agni mengangguk-ungguk. Ia tidak berani berkata sesuatu lagi.

“Pergilah” bentak anak muda itu, “tetapi ingatlah. Ki Jurasanta hanya berkuasa dalam lingkungan istana itu saja. Tegapi aku berkuasa atas orang-orang yang aku kehendaki dimanapun juga ia berada, dan aku kuasa untuk mencabut jiwanya, siapapun yang tidak aku sukai”

“Jangan, jangan" minta Mahisa Agni.

“Ingat-lngatlah” berkata anak muda itu sambil mendorong Mahisa Agni sehingga Mahisa Agni itu terjatuh karenanya.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni pun meninggalkan anak muda itu dengan ketakutan. Namun beberapa langkah kemudian, ketika ia sudah membelakanginya, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

“Aku sudah mengira” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri” anak itu tentu bukan pekatik seperti kebanyakan pekatik. Ia di tempatkan oleh seseorang yang dengan ketatnya mengawasi isi istana itu. Hamba-hambanya dan orang-orang yang berhubungan dengan para hamba di sini. Ia menakut-nakuti orang-orang yang berhubungan dengan isi istana itu, agar tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu diluar pengetahuan mereka”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni mengetahui sebagian dari keadaan istana itu. Orang yang berkepentingan dengan warisan Pangeran Kuda Padmadata agaknya sudah memasang jaring-jaring yang kuat dan rapat.

Namun Mahisa Agni pun menjadi cemas, bahwa orang orang yang demikian benar-benar tidak akan mempunyai belas kasihan kepada siapapun juga. Usaha pembunuhan atas perempuan yang pernah menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya itu tentu tidak akan dihentikan, sebelum perempuan dan anak laki-lakinya itu benar-benar mati.

“Tetapi apakah Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak mengetahui akan rencana itu, atau justru ia telah menyetujuinya karena suatu penyesalan bahwa ia sudah kawin dengan seorang perempuan padesan dan mempunyai seorang anak laki-laki. Atau mungkin atas permintaan isterinya yang cantik dari katangan tataran yang sederajad atau mungkin, mungkin dan seribu macam kemungkinan."

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai ke rumah Ki Daredu dan menceriterakan hal itu kepada Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Kita sudah melihat satu jalur” berkatara Witantra ketika Mahisia Agni menceriterakannya tentang pekatik muda itu. Lalu, “Ia tentu salah satu dari tangan orang yang ingin membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu”

“Kemungkinan terbesar adalah demikianlah” berkata Mahisa Agni, “meskipun mungkin hal itu dilakukan karena ia menjadi sakit hati, bahwa aku telah diterima bekerja bersamanya”

“Ya, tetapi kemungkinan yang pertamalah yang terbesar” berkatalah Mahisa Bungalan.

“Aku sependapat” sahut Mahisa Agni, “tetapi aku pun harus memperhitungkan dan menilai semuanya sebaik-baiknya tanpa didorong oleh sekedar prasangka dan ketergesa-gesaan”

“Pamanmu harus berhati-hati” berkata Witantra ambil tersenyum, “jangan sampai ia menunjuk sasaran yang salah”

Mahisa Agni pun tersenyum pula sambil berkata, “Apakah anak-anak muda tidak telaten lagi bekerja seperti kita yang tua-tua ini”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Tetapi itu tidak berarti bahwa aku tidak berhati-hati dan memperhitungkan segala kemungkinan paman”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun dalam pada itu Mahisa Agni pun berkata, “Kakang Witantra, apakah tidak sebaiknya kita berterus terang kepada Ki Daredu, sehingga jika terjadi sesuatu, ia tidak menjadi sangat terkejut. Mungkin orang-orang itu akan mengambil sikap lebih keras lagi pada suatu saat”

Witantra mengangguk-angguk. Iapun sebenarnya sudah memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan atas Ki Daredu. Jika ia tidak mengetahui sama sekali, apa yang dikerjakan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka pada suatu saat ia akan manjadi terkejut sekali, dan bahkan mungkin akan dapat mengganggunya ketenangan hidupnya sekeluarga.

“Tetapi kitapun harus berhati-hati” berkata Witantra, “mungkin terasa terlalu lamban. Tetapi kita harus menyakinkan Ki Daredu bahwa yang kita lakukan akan bermanfaat bagi Pangeran Kuda Padmadata sekeluarga. Dan bahkan mungkin akan mencakup lingkungan yang lebih luas dari satu jaringan kejahatan yang akan menjalar di seluruh Kediri”

“Tetapi masalah ini lebih banyak berkisar pada masalah keluarga ini saja paman” sahut Mahisa Bungalan.”

“Ya” jawab Witantra, “namun mereka telah berhubungan dengan banyak pihak. Karena itu, mudah-mudahan Ki Daredu dapat mengerti dan tidak berkeberatan, justru akan membantu kita sejauh dapat dilakukan”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia memang melihat kemungkinan bahwa jaring-jaring kejahatan ini benar-benar sudah masuk ke dalam satu lingkungan yang mempunyai pengaruh yang kuat. Bahkan tidak mustahil, bahwa sebenarnyalah yang terjadi di dalam lingkungan keluarga Pangeran Kuda Padmadata itu sekedar bayangan dari kekuasaan kejahatan. Karena itu, maka mereka pun telah bersepakat untuk mengatakannya kepada Ki Daredu, meskipun Ki Daredu untuk seterusnya diharap agar berpura-pura tidak mengetahuinya.”

Ketika Ki Daredu mendengar keterangan itu, maka wajahnya pun menegang. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Itulah agaknya, aku melihat beberapa perubahan telah terjadi d! dalam istana Pangeran Kuda Padmadata, meskipun tidak begitu jelas. Hamba melihat beberapa orang baru di dalam lingkungan mereka. Hamba melihat perubahan yang samar-samar pada kebiasaan Pangeran itu. Ia tidak lagi sering nampak berjalan-jalan sambil menuntun seekor macan kumbang yang masih sangat muda”

“Apakah para hambanya yang sudah lama berada di istana itu tidak melihat perubahan itu, sedangkan kau yang tidak menghambakan diri kepada Pangeran itupun sempat melihatnya”

“Justru kepada hamba-hambanya mungkin Pangeran itu dapat memberikan beberapa keterangan sehingga tidak menumbuhkan persoalan bagi mereka” jawab Ki Daredu.

“Menarik sekali” gumam Witantra, “karena kau memang harus menjadi sangat berhati-hati”

“Ya” desis Mahisa Agni, “ada seribu kemungkinan yang telah terjadi”

Dalam pada itu Ki Daredu berkata, “Tuanku, jika hamba dapat membantu apapun yang harus hamba lakukan, hamba akan bersedia, karena justru hamba telah mengenal tuanku”

Mahisa Agni tersenyum Katanya, “Pada saatnya mungkin aku sangat memerlukanmu”

Ternyata Ki Daredu justru telah menyatakan kesediaannya untuk berbuat apa saja. Ia yakin bahwa maksud Mahisa Agni dan Witantra yang pernah berada di Kediri itu tentu bukan maksud yang buruk.

Demikianlah, maka dihari berikutnya, Mahisa Agni telah datang ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan wajah yang kecut ia memandang pekatik muda yang telah lebih dahulu duduk di sebelah kandang.

“Jangan banyak tingkah” desis pekatik muda itu. Mahisa Agni memandanginya sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdesis perlahan, “Aku akan menyabit rumput”

Pekatik muda itu tidak menjawab. Ternyata bagi Mahisa Agni telah disediakan segala keperluannya. Tanpa banyak berbicara, Mahisa Agni pun kemudian menjinjing keranjang dan sabitnya menuju ke padang rumput bersama pekatik muda yang telah lebih dahulu bekerja di istana itu.

Di sepanjang jalan, ternyata pekatik muda itu masih saja menakut-nakuti. Dengan garang ia menggeram, “Kakek tua, kau harus menyadari kedudukanmu. Kau membuat aku kecewa karena kau telah bekerja di sini, sehingga dengan demikian kesempatan bagi kawanku itu telah hilang”

“Jika demikian, aku akan mengajukannya kepada Ki Jurasanta, bahwa kesempatan itu seharusnya diberikan kepada kawanmu” jawab Mahisa Agni.

“Aku sobek mulutmu” geram anak muda itu, “semuanya sudah terlanjur. Kau kira Ki Jurasanta akan mendengar alasan itu? Ia justru akan marah kepadaku. Orang tua itupun pada suatu saat harus dibungkam. He!, jangan berbuat sesuatu yang dapat mengurangi umurmu. Kau kira sabitku ini tidak dapat aku pergunakan untuk menggorok lehermu?”

“Ah” Mahisa Agni berdesis. Tetapi diluar sadarnya iapun mengamat-amati sabitnya sendiri.

“Kau akan melawan he? Kau menganggap bahwa karena kau juga membawa sabit, maka kau tidak gentar menghadapi aku?” bentak anak muda itu.

“Tidak. Bukan begitu” Mahisa Agni menjauh, “aku tidak berpikir begitu”

“Kenapa kau mengamat-amati sabitmu pula?” bertanya anak muda itu.

“Aku tidak tahu, kenapa aku berbuat begitu” jawab Mahisa Agni.

Anak muda itu terdiam sejenak. Tetapi wajahnya nampak gelap, dan sikapnya memang menakutkan. Tetapi anak muda itu justru telah menarik perhatian Mahisa Agni. Ia merasa beruntung, bahwa ia mendapat kesempatan bekerja bersama anak muda yang agaknya darahnya masih cepat mendidih.

Di hari pertama. Mahisa Agni tidak mendapat kesulitan apa-apa. la bekerja dengan sungguh-sungguh bersama pekatik muda yang nampaknya juga seorang yang rajin. Ia mematuhi segala petunjuk Mahisa Agni. Ia mempergunakan sabitnya seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Pekatik itu benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh. Namun setiap kali anak muda itu mengumpat Bahkan mengancam sehingga Mahisa Agni menjadi canggung karenanya.

“Jangan menunjukkan sikap yang dapat mencekik lehermu. Berbuatlah sewajarnya. Kau harus memberi aku petunjuk-petunjuk untuk menyabit rumput. Jika kau gila, aku akan menyabit lehermu sampai putus di padang ini.”

Mahisa Agni benar-benar tidak berbuat sesuatu. Ia melakukan apa yang dikatakan oleh anak muda itu. Dihari pertama Mahisa Agni telah menyabit rumput sampai tiga rambahan. Meskipun keranjang anak muda itu tidak sepenuh keranjang Mahisa Agni, namun pekatik muda itupun melaksanakannya sebanyak yang dilakukan oleh Mahisa Agni pula, sehingga kuda-kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu tidak akan kekurangan rumput lagi.

Dua tiga hari berlalu tanpa perubahan. Mahisa Agni masih tetap mengajari anak muda itu menyabit. Anak muda itupun masih saja selalu mengumpat dan menakut-nakutinya. Namun yang tiga hari itu telah memberikan lebih banyak lagi gambaran tentang istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Aku tidak boleh berlama-lama” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Mahendra tentu menjadi gelisah. Mungkin ia mempunyai dugaan yang mencemaskan”

“Tetapi Mahisa Agni pun sadar, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa. Di Istana itu terdapat banyak orang yang mengawasi lingkungannya. Sementara Mahisa Agni masih harus mencari keterangan tentang hubungan antara Pangeran itu dengan isterinya yang ditinggalkannya. Namun akhirnya Mahisa Agni mendapat kesempatan itu. Ketika ia berbaring di belakang kandang, diluar dugaan maka Ki Jurasanta pun telah mendekatinya.

“Apakah rumput kuda itu sudah cukup?” ia bertanya.

Mahisa Agnipun segera bangkit sambil menjawab dengan serta-merta, “sudah Ki Jurasanta”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Lalu ia bertanya pula, “Kau sendiri? Dimana pemelihara kuda dan pekatik muda itu?”

“Ia baru saja pergi. Mungkin ke sungai atau ke warung. Anak itu masih sering singgah di warung kecil ini. Mungkin karena ia masih belum mempunyai tanggungan seorang pun juga, sehingga ia dapat mepergunakan uangnya sesuka hati”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kau harus membantu memelihara kuda itu baik-baik. Pangeran Kuda Padmadata adalah penggemar kuda yang teliti,“

“Ya, ya. Agaknya Pangeran juga seorang pemburu, desis Mahisa Agni.

“Benar. Seorang pemburu biasanya seorang penggemar kuda, karena dengan kuda itulah ia mendapat kegembiraan yang setinggi-tingginya. Jika ia berhasil mengejar buruannya, maka seorang pemburu akan mendapatkan kepuasan tersendiri” berkata Ki Jurasanta.

“Aku akan membantu memelihara kuda itu” desis Mahisa Agni. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah Pangeran sakarang juga sering berburu?”

“Jarang sekali. Bahkan akhir-akhir ini tidak sama sekali. Pangeran nampak lesu dan kurang gairah” berkata Ki Jurasanta, “agaknya ada perubahan yang terjadi atas dirinya”

“Perubahan?” bertanya Mahisa Agni.

“Pangeran sering menyendiri. Ia tidak lagi suka bercanda dengan para pengiringnya, bahkan abdi-abdi kinasihnya tidak banyak lagi mendapat kesempatan untuk menghadap”

“Apakah ada yang dipikirkannya, atau ada satu peristiwa yang telah mengguncangkan perasaannya?”

“Nampaknya tidak pernah terjadi sesuatu” jawab Ki Jurasanta, “Tiba-tiba saja terjadi demikian”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi, agar tidak menarik perhatian, sehingga seseorang mencurigainya. Namun keterangan itupun merupakan bahan yang perlu mendapat pertimbangan dan pengamatan.

Segala yang diketahuinya, telah disampaikan oleh Mahisa Agni kepada Witantra dan Mahisa Bungalan. Namun dengan gelisah Mahisa Bungalan bertanya, “Jadi apakah yang dapat aku lakukan sekarang paman”

“Menunggu” jawab Mahisa Agni.

Witantra tersenyum melihat wajah Mahisa Bungalan. Katanya, “Menunggu memang pekerjaan yang paling menjemukan. Tetapi biasakanlah telaten menunggu. Akupun seperti yang kau lakukan”

Mahisa Agni pun tersenyum pula. Katanya, “Aku akan berbuat sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya”

Dihari berikutnya, untuk pertama kali Mahisa Agni melihat Pangeran Kuda Padmadata berjalan-jalan di halaman. Sambil melihat-lihat kebun bunganya, maka Pangeran itu sekali-kali singgah pula pada sangkar binatang pemeliharaannya sangkar seekor burung kecil, sampai ke kandang harimau lorengnya. Dua orang pengiringnya dengan cermat mengikutinya dan memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.

“Itukah Pangeran?” bertanya Mahisa Agni kepada juru pemelihara kuda.

“Ya” jawabnya.

“Pengawalnya nampaknya setia sekali” desis Mahisa Agni.

“Itu adalah hamba-hamba baru di istana ini. Tetapi karena mereka pandai membawakan diri dan sesuai dengan keinginan dan kehendak Pangeran, maka mereka kini menjadi abdi kinasih”

Mahisa Agni tidak bertanya lagi, karena pekatik muda itupun mendekatinya. Ketika anak itu duduk di belakangnya ia berdesis perlahan-lahan, “Kau melihat apa?”

“Itukah Pangeran?” Mahisa Agni bertanya.

“Ya, itu Pangeran, jangan bertanya terlalu banyak agar mulutmu tidak aku sumbat dengan sabit”

Mahisa Agni terdiam. Ia tidak berani bertanya lagi. Namun dalam pada itu. matanya yang tajam segera melihat sesuatu yang agak ganjil. Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah tidak lagi mempunyai kehendak apapun juga. Kedua pengiringnya itulah yang seakan-akan menentukan, kemana Pangeran itu harus pergi, dan untuk apa Pangeran itu melihat-lihat.

“Aneh” desis Mahisa Agni yang hanya melihat dari kejauhan.

“Apa yang kau lihat, sampai biji matamu akam meloncat” geram pekatik muda itu.

“Pangeran itu tampan sekali” desis Mahisa Agni dengan dungunya, “pakaiannya menyilaukan. Berapa umurnya? Nampaknya ia masih muda”

Pekatik muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Namun kemudian ia melihat bibir Mahisa Agni tersenyum-senyum nampaknya. betapa dungu pekatik tua itu. “Kau belum pernah melihat seorang bangsawan dari dekat?” bertanya Pekatik muda itu.

“Belum. He, berapakah umurnya? Tidak lebih tua dari anakku” desis Mahisa Agni.

“Tua bangka. Tentu Pangeran itu masih sangat muda” geramnya.

“Tetapi, yang manakah isterinya?” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, seolah-olah demikian saja tanpa sengaja meloncat dari bibirnya.

Pertanyaan itu ternyata tidak menarik perhatian pekatik muda itu. Bahkan ia menjawab, “Di dalam. Isterinya cantik sekali. Tetapi iapun jarang keluar seperti Pangeran itu sendiri”

“Tentu seperti bulan. Pangeran Kuda Padmadata seperti matahari” desis Mahisa Agni sambil tersenyum-senyum.

“Kau mulai menjadi gila” geram anak muda Itu, “jika kau melihat betapa cantiknya puteri, maka kau akar benar-benar menjadi gila”

“Ah, kegilaan orang tua tidak akan berbahaya. Tetapi, apakah kau yang masih muda menjadi gila juga?” bertanya Mahisa Agni.

Pekatik muda itu memandang juru pemelihara kuda yang telah bergeser menjauhinya. Kemudian ia menjawab, “Aku memang ingin menyobek mulutmu. Pertanyaanmu tidak layak kau ucapkan”

“Eh, aku minta maaf” desisnya, “aku hanya bergurau”

“Untunglah, gamel itu sudah menjauh. Jika gamel itu mendengarnya, maka ia tentu akan berpikir buruk meskipun kau hanya bergurau”

Mahisa Agnipun berpaling kepada pemelihara kuda yang sudah berada di sisi lain dari kandang itu. Katanya, “Gamel itu rajin sekali. Apakah ia sudah lama menjadi juru pemelihara kuda?”

“Belum” tetapi tiba-tiba pekatik muda itu menggeram, “anak setan. Jangan bertanya tentang apa saja. Kau sudah melihat Pangeran, dan kau menjadi kebingungan, karena kau tidak mempunyai cukup perbendaharaan kata-kata untuk memujinya. Itu sudah cukup”

Mahisa Agni tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih tetap tersenyum-senyum melihat Pangeran yang tampan itu. Kesan di wajahnya tidak berupah sama sekali ketika dadanya kemudian berdesir, melihat sikap kedua orang pengiringnya. Ketika Pangeran itu mencoba untuk memaksa berjalan terus, masuk ke kebun di belakang istana, make kedua orang pengiringnya itu telah menghambat langkahnya. Meskipun sambil terbungkuk-bungkuk namun Mahisa Agni dapat menangkap isyarat, bahwa kedua pengiringnya telah memaksa Pangeran Kuda Padmadata untuk kembali ke halaman depan.

Kesan yang ditangkap dari peristiwa itu, telah membuat uraian yang panjang di dalam hati Mahisa Agni. Demikian, ketika Mahisa Agni kemudian kembali ke rumah Ki Daredu, maka bersama Mahisa Bungalan dan Witantra, ia telah mencoba mengurai arti dari penglihatannya.

“Mahisa Agni” berkata Witantra, “ternyata menurut pendapatku, Pangeran Kuda Padmadata bukan lagi seorang yang bebas menentukan sikap. Agaknya ia telah dikuasai oleh seseorang yang telah memaksakan kehendaknya atas Pangeran yang malang itu. Dengan tidak diketahui oleh orang lain, maka seseorang telah menempatkan orang-orangnya di istana itu, dan sekaligus menguasainya”

“Pangeran itu telah kehilangan dirinya dan kebebasannya” sahut Mahisa Bungalan, “agaknya ia perlu bantuan saseorang untuk membebaskannya”

“Aku sependapat” sahut Mahisa Agni, “tetapi untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan yang mudah. Di istana itu terdapat banyak sekali hamba yang ternyata pengawal-pengawal yang mengawasi Pangeran muda yang malang itu”

“Jadi, apakah menurut pendapatmu Mahisa Agni” bertanya Witantra.

“Aku akan mengawasi keadaan semakin cermat. Aku akan melihat-lihat kemungkinan yang lebih baik untuk dapat berhubungan langsung dengan Pangeran itu”

“Tentu sulit sekali” berkata Witantra, “kedua orang itu tidak akan melepaskan pengawasannya”

“Itulah yang akan aku lihat dengan cermat. Apakah kemungkinan untuk melakukannya itu ada” jawab Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Terserah kepadamu. Mudah-mudahan kau menemukan jalan yang segera dapat kita tempuh”

Ternyata bahwa Mahisa Agni pun telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Bahkan ia sudah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh pekatik yang manapun juga. Disaat-saat senggang maka iapun telah membersihkan rumput di halaman belakang, sekaligus mengumpulkan rumput itu ke dalam keranjang.

“Kau telah melakukan satu kebodohan” bentak pekatik muda yang melihat tingkah lakunya. ”kau kira, yang kau kerjakan itu menguntungkan?”

“Tentu anak muda. Kita tidak usah pergi ke padang. Ternyata rumput di kebun ini tidak kalah segarnya. Apalagi dengan demikian, kebun ini akan nampak lebih bersih dan rapi” jawab Mahisa Agni.

“Kau memang pemalas. Kenapa kau tidak pergi ke padang?” bertanya pekatik muda itu.

"Tentu aku akan pergi. Tetapi cukup dengan dua rambatan saja. Sementara di kebun dan halaman yang luas ini, kita akan mendapatkan rumput satu keranjang penuh setiap hari. Hari ini di kebun belakang, besok di sisi kanan, lalu sisi kiri, halaman depan dan di taman” jawab Mahisa Agni, “apakah itu bukan pikiran yang sangat bagus dari seorang pekatik tua?”

“Gila” geram pekatik muda itu. Tetapi iapun menganggap bahwa pikiran Mahisa Agni itu wajar, karena sebenarnyalah di kebun dan di halaman istana itu terdapat banyak sekali rumput yang hijau segar diantara kebun bunga dan kebun buah-buahan di kebun belakang.

Namun dengan tingkah lakunya itu, Mahisa Agni telah berhasil mengawasi sebagian besar dari lingkungan istana, itu. Ia melihat dengan cermat dinding halaman dan pintu-pintu butulan. Dengan demikian maka Mahisa Agni dapat mengetahui, bagian manakah yang mendapat pengawasan kuat dari para pengawal di istana itu, dan yang manakah yang tidak sama sekali.

Tetapi Mahisa Agnipun tidak lengah, bahkan ia menyadari sepenuhnya, bahwa di antara juru taman, para pengawal dan lebih-lebih lagi para pengawal dalam, adalah orang-orang yang bertugas untuk mengawasi Pangeran Kuda Padmadata dan orang-orang yang berhubungan dengan Pangeran itu.

“Aku kira Pangeran itu tidak terlibat dalam usaha pembunuhan atas isteri dan anaknya” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “mungkin ia mengetahui rencana itu, tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya”

Karena itulah maka Mahisa Agni telah bekerja keras untuk berusaha menghubungi Pangeran itu dengan cara apapun juga. Namun agaknya hal itu tidak mungkin dilakukannya. Kedua orang yang menjadi pengawalnya itu seakan-akan tidak pernah berpisah barang sekejappun.

“Bukan main” gumam Mahisa Agni, “suatu perbuatan yang tidak kepalang tanggung. Agaknya Pangeran Kuda Padmadata yang kaya itu seakan-akan sudah mati di dalam hidupnya. Ia menjadi tawanan tanpa dapat melawan sama sekali”

Tetapi Mahisa Agni tidak berputus asa. Ia masih berusaha untuk melihat segala sesuatu yang mungkin dapat dipakainya sebagai pancadan menemui Pangeran Kuda Padmadata.

“Apakah aku harus mempergunakan kekuasaan Maharaja di Singasari untuk memanggil Pangeran Kuda Padmadata” sebuah pertanyaan telah memercik di hati Mahisa Agni.

Tetapi Mahisa Agni tidak dapat melakukannya, karena ia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Jika cara itu ditempuh dan justru memperpendek umur Pangeran itu, maka ia akan terpercik oleh suatu kesalahan yanga tidak disengajanya. Karena itu, Mahisa Agni tidak menempuh cara itu. Ia tidak minta kepada Maharaja di Kediri agar memanggil Pangeran Kuda Padmadata dan bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi dengan keluarganya.

Ketika Mahisa Agni di hari berikutnya, sedang sibuk nencuci dan kemudian memotong rumput pendek dan mencampur dengan dedak dan sedikit air, ia sudah kejutkan oleh kehadiran seorang anak muda yang tampan dan bertubuh kekar. Wajahnya berseri sementara pakaiannya yang bagus dan dibeberapa bagiannya berbalut permata, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kaya raya pula.

“He, siapakah kesatria itu?” bertanya Mahisa Agni yang di sebut Damar itu kepada juru pemelihara kuda.

“Ia adalah adik Pangeran Kuda Padmadata” jawab gamel itu.

“Adiknya. O, pantas sekali. Gagah, tampan dan nampaknya ia adalah seorang yang ramah”

“Tetapi ia adalah seorang anak muda yang keras” jawab gamel itu.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Belum lagi ia habis memuji, maka terdengar derap seekor kuda yang lain memasuki halaman. Kemudian Mahisa Agni melihat beberapa emban yang turun dari pintu samping berlari-lari lewat seketeng ke halaman depan.

“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Agni.

“Tuan puteri telah datang” jawab gamel itu.

“Tuan puteri, isteri Pangeran Kuda Padmadata?” bertanya Mahisa Agni.

“Dari mana?”

“Dari rumah ayah bundanya. He, bukankah kau tau bahwa ia masih saja mondar-mandir dari rumah orang tuanya ke istana ini. Ia biasanya datang diantar oleh adik Pangeran Kuda Padmadata."

“Apakah aku boleh melihat?” bertanya Mahisa Agni.

“Apa yang kau lihat? Itu tuan puteri. Kenapa kau tiba-tiba saja ingin melihat” bertanya juru pemelihara kuda itu.

“Bukankah aku belum pernah melihat. Menurut keterangan, puteri itu jarang sekali keluar. Aku kira ia berada di istana ini. Kenapa tiba-tiba saja ia baru datang”

Gamel itu tersenyum. Katanya, “Kau tidak pernah melihat puteri itu keluar. Dan sekarang kau lihat puteri itu datang dengan tandu dari rumah ayah bundanya. Kenapa kau tidak bertanya, kapan puteri itu berangkat?”

“Ya, kapan?”

“Kemarin sore, ketika kau sudah kembali ke rumah Daredu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah diluar sadarnya iapun kemudian berjalan ke seketeng. Dari regol ie melihat, seorang puteri yang turun dari sebuah tandu yang dipajang dengan kain berwarna cerah. Gamel itu mengikutinya di belakangnya. Ia tersenyum melihat wajah Mahisa Agni yang aneh.

“Kau benar-benar orang padesan yang paling dungu. Kenapa kau menjadi begitu heran melihat tuan puteri”

“Ia naik tandu yang bagus sekali. Apakah tandu itu dibuat dari emas?”

“Sebagian. Tidak seluruhnya” jawab juru pemelihara kuda itu.

Mahisa Agni pun kemudian melihat beberapa emban telah melayani puteri itu turun. Kemudian mereka mengikutinya naik ke pendapa. Yang berada di pendapa bukannya Pangeran Kuda Padmadata, tetapi adiknya, seorang anak muda yang tampan dan gagah sekali. Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, “Kenapa Pangeran Kuda Padmadata tidak menyambut kedatangan isterinya?”

“Tentu, tetapi ia menyambut di ruang dalam, di depan sentong tengah”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tidak bertanya lebih banyak lagi ketika ia melihat pekatik muda itu datang mendekatinya.

“Kenapa kau disini setan!” geram pekatik muda itu.

Jawaban Mahisa Agni benar-benar tidak diduga-duga oleh pekatik muda itu. Katanya, “He, apakah kau tidak melihat? Tandu yang bagus sekali. Seorang puteri yang sangat cantik dengan pakaian yang belum pernah aku lihat. He. apakah yang dipakai di lengannya itu”

“Gila” geram pekatik muda itu, “kau benar-benar orang dungu. Kau belum parnah melihat kelat bahu?”

“Gadis-gadis padesanku juga memakai binggel. Tetapi dari akar-akaran. Sedangkan binggel puteri itu terbuat tentu dan emas”

“Kau sempat melihat binggelnya pula?”

“Ya. Ketika puteri itu turun dari tandu, kainnya tersingsing sampai di atas mata kaki, sehingga binggelnya kelihatan”

“Gila. Kau orang tua yang tidak tahu diri” Tetapi pekatik muda itu tidak dapat marah lagi, karena yang dilihatnya adalah wajah Mahisa Agni yang dungu, bodoh dan sama sekali tidak dibayangi oleh maksud-maksud apapun juga.

“Sudahlah” berkata pekatik muda itu, “jangan terlalu berterus terang tentang kedunguanmu. Kembalilah ke kandang. Atau barangkali sudah saatnya kita pergi ke padang”

Mahisa Agni masih memandang tandu yang kemudian disingkirkan masuk ke seketeng sebelah lain dan disimpan di ruang yang khusus. Dalam sebuah bangsal yang berhubungan dengan bangsal penyimpanan pusaka dan benda-benda berharga dari istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Mahisa Agni tidak tahu lagi, apa yang terjadi di dalam ruang dalam. Tetapi Mahisa Agni mulai membayangkan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat berbuat apapun lagi atas kehendaknya sendiri. Dan iapun mulai curiga, bahwa isterinya itupun bukannya seorang puteri yang setia.

“Dua orang yang nampaknya sebagai pengawalnya yang setia, adiknya yang tampan dan puteti yang cantik itu agaknya bagaikan sebuah penjara besi berlapis tiga yang sangat kuat dan tidak akan mungkin dapat dipecahkannya dengan kekuatannya sendiri” berkata Mahisa Agni di dalam hati.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni berketetapan untuk segera berbuat sesuatu. Jika tidak mungkin dengan kekuatannya sendiri bersama Witantra dan Mahisa Bungalan, maka ia tidak akan segan-segan untuk minta pertolongan Panji Kudasuwana.

Tetapi agaknya Mahisa Agni masih ingin membatasi usahanya tanpa mengganggu kekuasaan Singasari di Kediri. Atas persetujuan Witantra dan Mahisa Bungalan, maka mereka bertiga, pada malam hari berikutnya, telah mendekati istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan pengenalannya, maka Mahisa Agni telah berusaha untuk memasuki istana itu, sementara Witantra dan Mahisa Bungalan harus berjaga-jaga di luar dinding, bersembunyi dibalik rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu.

Sebagaimana yang telah dikenalnya, maka Mahisa Agni telah memasuki halaman istana itu lewat bagian belakang, di bagian yang tidak terlalu ketat mendapat pengawasan. Dengan kemampuannya yang hampir sempurna, maka Mahisa Agni berhasil memasuki halaman. Dengan hati-hati ia merayap mendekati bangunan istana yang cukup besar. Dengan pasti ia tahu, yang manakah bilik tidur Pangeran Kuda Padmadata meskipun ia belum pernah memasuki istana itu. Tetapi dengan tidak langsung ia mendapat gambaran dari pembicaraan-pembicaraan yang nampaknya tidak sengaja dan tanpa arah.

Dengan sangat hati-hati pula Mahisa Agni pun kemudian meloncat naik keatas atap. Dengan mengerahkan kemampuannya, iapun merambat dengan lambat sekali melampaui bumbungan. Kemudian merangkak turun di antara dua bumbungan yang tinggi. Atap pendapa dan atap bagian dalam istana Pangeran Kuda Padmadata. Untuk beberapa saat Mahisa Agni menungggu. Dengan cermat ia mencoba mendengarkan, apakah dibawah atap itu masih terdengar suara satu dua orang yang sedang berbicara.

“Sepi” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Sejenak Mahisa Agni masih menunggu. Namun iapun kemudian mulai mencoba berbuat sesuatu. Dengan hati-hati ia merayap tepat di atas bilik pembaringan Pangeran Kuda Padmadata. Sekali lagi ia merapatkan telinganya untuk mendengar, apakah benar-benar orang di dalam istana itu sudah tidur.

Namun justru hatinya menjadi berdebaran. Sesaat kemudian ia mendengar suara lemah sekali, “Aku akan tidur. Kau yang berjaga-jaga”

“Tidurlah” sahut suara yang lain, “tetapi sampai kapan kita harus mengawalnya. Aku sudah mulai jemu berpura-pura menjadi budaknya”

“Kita belum tahu pasti, apakah perempuan dan anak laki-lakinya itu sudah terbunuh. Beberapa saat yang lampau mereka berhasil meloloskan diri. Seorang yang tidak dikenal telah membebaskannya dan bahkan kemudian berhasil menyembunyikan perempuan itu bersama anak laki-lakinya”

“Tetapi ia tidak akan dapat lepas dari jaring terakhir. Mereka akan diketumukan. Dan mereka akan mati. Barulah kita bebas dari tugas ini, karena semuanya menjadi gamblang. Pangeran yang malang itu akan mendapat kecelakaan. Warisannya akan jatuh ke tangan isterinya yang cantik itu, karena ia adalah satu-satunya keluarganya. Tentu saja adik laki-lakinya itupun akan terlibat dalam pembagian warisan, meskipun sebenarnya hal itu tidak diperlukan benar secara resmi dilakukan”

“Namun waktu telah berlarut-larut. Dan kita belum mendengar beritanya”

“Tidurlah. Aku akan menungguinya”

Sejenak kemudian menjadi sepi kembali. Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat gambaran, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak seandainya ia berhasil memasuki istana itu, Karena di dekat bilik itu. seseorang telah menjaganya dengar cermat. Sementara di sekitar istana itu, beberapa orang pengawal beringas dengan senjata telanjang. Sebuah perintah yang diteriakkan oleh salah seorang dari mereka yang menungguinya itu berarti, seluruh pengawal yang berada di halaman itu akan bersiap dan mengepungnya.

“Itu tentu kurang baik” berkata Mahisa Agni di dalam hati, “mungkin aku akan dapat meloloskan diri. Tetapi akibatinya akan menimpa Pangeran yang malang itu.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni mendapat pikiran yang lain. Ia akan memberikan kesan yang berbeda dari para pengawal. Jika ada orang yang melihatnya, maka ia tidak lebih dari seorang pencuri yang menginginkan harta Pangeran Kuda Padmadata yang sangat berlimpah. Karena itu maka Mahisa Agni pun bergeser pula. Ia tidak lagi berada di atas bilik Pangeran yang kaya itu, tetapi kehilangan dirinya itu.

Dengan hati-hati, Mahisa Agni telah membuka bumbungan di atas dudur samping. Dengan sangat berhati-hati. Kemudian iapun perlahan-lahan membuka raguman. Kekuatan Muhisa Agni adalah kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan jari-jarinya ia telah berhasil memutus tali-tali ijuk pada atap rumah Pangeran Kuda Padmadata yang kuat itu.

Kemampuan Mahisa Agni memang berlebihan, jika ia sekedar ingin melakukan pencurian. Segalanya dapat dilakukan tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Sehingga akhirnya atap istana itupun telat terbuka, sehingga cukup luas untuk menyusup masuk ke dalam.

Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agnipun kemudian meloncat turun. Kakinya bagaikan kaki seekor kucing yang liat dan sama sekali tidak menimbulkan bunyi apapun. Dengan demikian, maka orang yang menunggui Pangeran Kuda Padmadata di dalam ruang di sebelah bilik Pangeran itu, sama sekali tidak mendengarnya.

Ruang itu memang sepi. Mahisa Agni telah berhasil memasuki sebuah ruang yang tidak begitu luas. Tetapi ruang itu adalah ruang yang sangat mahal, karena di dalam ruang itu tersimpan beberapa bagian perhiasan Puteri yang cantik itu.

Meskipun perhiasan yang tersimpan di dalam sebuah peti yang terletak di dalam geledeg kayu itu hanyalah sebagian dari perhiasannya yang dipakainya sehari-hari, sementara perhiasannya yang lebih mahal lagi disimpan di bangsal perbendaharaan, namun barang-barang itu mempunyai nilai yang cukup tinggi.

Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Di sebelah ruang itu adalah bilik pembaringan puteri. Diantarai oleh sentong tengah, maka terdapat bilik tempat tidur Pangeran Kuda Padmadata. Sedang di bilik berikutnya, yang menghubungkan rumah induk dengan gandok, terdapat orang-orang yang mengawal Pangeran Kuda Padmadata.

Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Ia sadar, bahwa di sebelah bilik itupun tentu terdapat ruang satu atau dua orang pengawal. Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati. Dengan perlahan-lahan sekali, Mahisa Agnipun kemudian membuka peti yang tersimpan di dalam geledeg itu. Diambilnya beberapa buah perhiasan yang mahal. Kemudian dibawanya perhiasan itu meninggalkan ruangan.

Dengan loncatan yang ringan Mahisa Agni berhasil menggapai dudur atap istana itu di tempat yang telah dibukanya. Lewat lubang saat ia meluncur masuk, maka iapun telah menyusup keluar. Sejenak Mahisa Agni menunggu. Sejenak, maka iapun mulai merangkak ke bibir atap.

Ketika ia merasa aman, maka iapun segera meloncat turun. Dibawah teritisan. ia meninggalkan sebuah perhiasan yang diambilnya. Kemudian, ketika ia berlari sambil membungkuk-bungkuk ke kebun di belakang istana itu, maka ia pun telah melepaskan sebuah perhiasan lagi. Demikian pula ketika ia sampai di dinding belakang. Ia telah meletakkan satu lagi perhiasan itu, tetapi tidak tepat di tempat ia meloncat naik. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak meninggalkan bekas di tempat yang sebenarnya.

Ketika Mahisa Agni telah berada diluar, maka iapun segera menemui Witantra dan Mahisa Bungalan. Nampaknya Mahisa Bungalan telah tidak sabar lagi menunggu

“Ia hampir saja menyusulmu” desis Witantra. Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Untunglah bahwa kau belum melakukannya”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnya lah ia telah menjadi gelisah dan tidak telaten menunggu. Mahisa Agni pun kemudian menceriterakan apa yang dialaminya dalam perjalanan mereka kembali ke rumah Ki Daredu.

“Memang sulit” gumam Witantra, “jika kau datang kembali di malam-malam berikutnya, maka keadaannya pun akan serupa. Kau tidak akan dapat menjumpai Pangeran itu tanpa pengawasan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah tidak ada jalan lain kecuali menghubungi Panji Kudasuwana”

“Itu adalah jalan yang dapat segera ditempuh” sahut Mahisa Bungalan.

“Tetapi apakah jalan itu tidak berbahaya bagi Pangeran Kuda Padmadata itu sendiri” desis Mahisa Agni.

“Kita harus tegas. Pangeran Kuda Padamadata harus dengan tiba-tiba dipisahkan dari orang-orang yang mengelilinginya” geram Mahisa Bungalan, “kemudian Pangeran itu dipertemukan dengan isteri dan anaknya yang terpisah daripadanya itu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi iapun sedang berpikir keras, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Dalam pada itu, ketika seorang penjaga istana Pangeran Kuda Padmadata yang sedang meronda, terjaga dari tidurnya oleh kokok ayam dipagi hari, maka iapun segera berbenah diri. Kawannya yang lain telah lebih dahulu terbangun dan sebelum meninggalkan tugasnya, lebih dahulu dilihatnya ruang di sebelah. Tetapi nampaknya pintu masih tertutup, sehingga ia tidak memperhatikannya lebih lama lagi.

Kedua orang penjaga itupun kemudian meninggalkan bilik tempatnya bertugas. Di siang hari, tempat itu tidak ditunggui oleh seorang pengawalpun. Setelah kedua pengawal itu melaporkan diri ke gardu induk bagi para pengawal di dalam istana Pangeran Kuda Padmadata itu, maka merekapun segera meninggalkan halaman istana kembali ke rumah masing-masing. Mereka mendapat kesempatan untuk berada di antara keluarganya pada hari-hari tertentu setelah mereka menjalankan tugas sepekan penuh.

Namun agaknya pada malam terakhir dari tugas mereka, istana itu telah digemparkan oleh kenyataan, bahwa atap di atas bilik penyimpanan perhiasan isteri Pangeran Kuda Padmadata telah terbuka. Seorang pelayan dalam yang akan membersihkan bilik itu terkejut ketika dilihatnya bilik itu nampak tidak seperti biasanya. Beberapa jenis perabotnya berserakan, dan ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya cahaya yang jatuh dari atap yang sudah berlubang.

Sambil berteriak pelayan itu berlari ke gardu para pengawal. Dengan suara terbata-bata ia melaporkan apa yang telah dilihatnya. Sejenak kemudian, istana itu menjadi gempar. Para pengawal menjadi sangat sibuk, sementara dengan tegas pemimpin pengawal itu berteriak, “Panggil kedua pengawal yang bertugas di bilik ini semalam”

Namun dalam pada itu, kegemparan telah terjadi. Dalam kesibukan itu, Mahisa Agni sebagai seorang pekatik telah memasuki halaman. Tidak seorang pun yang menghiraukannya. Para pengawalpun tidak. Tidak seorangpun yang akan menghubungkan peristiwa yang menggemparkan itu dengan seorang pekatik tua yang berjalan tertatih-tatih sambil membawa keranjang dan sabit.

Adalah suatu kebetulan, bahwa pekatik muda yang selalu mengawasinya tidak berada di kandang. Seperti para abdi yang lain, mereka telah berkerumun di sekitar pintu butulan. Karena itu, maka Mahisa Agni pun telah ikut pula mendekat dan berdiri di antara para hamba yang lain.

“Apa yang telah terjadi” bertanya Mahisa Agni kepada seorang juru taman.

“Ada seorang atau lebih pencuri yang memasuki bilik itu” desis juru taman.

“O” Mahisa Agni terkejut. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

Namun dalam pada itu, kegemparan yang lain telah terjadi. Seorang pengawal telah menyentuh seuntai berlian di bawah teritisan. Hampir terpekik ia berkata, “Aku menemukannya”

Para pengawal pun segera mengerumuninya. Sebenarnyalah bahwa ia telah menggenggam satu dari perhiasan yang hilang dari bilik itu. Tetapi kegemparan berikutnya telah terjadi pula. Orang lain telah menemukan perhiasan yang lain di balik tananam perdu. Kemudian disusul oleh yang lain lagi. Dengan demikian, maka para pengawalpun telah mengikuti arah dari barang-barang yang ditemukan itu. Agaknya barang-barang itu telah terjatuh ketika pencurinya melarikan diri.

Sejenak kemuadian para pengawal pun telah sibuk meneliti semua keadaan di sepanjang jalur yang telah ditemukan sebagai jejak dari arah yang ditempuh oleh pencuri yang telah berhasih memasuki bilik itu.

Pada saat yang sibuk dan tegang itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata berada di dalam biliknya ditunggui oleh seorang emban dan adik Pangeran Kuda Padmadata. Bagaimanapun juga peristiwa itu telah menggetarkan jantungnya, sehingga ia menjadi ketakutan dan berdebar-debar.

“Jangan cemas” adik Pangeran Kuda Padmadata itu berusaha untuk menenangkan, “tidak terjadi apa apa. Pencuri itu memang gila. Tetapi yang berhasil dibawa tentu tidak berarti sama sekali” ia berhenti sejenak, lalu, “cobalah kau tenangkan hatimu, kemudian kau sempatkan sejenak untuk melihat, apa saja yang telah hilang”

Isteri Pangeran Kuda Padmadata itu tidak menjawab Tetapi ia berusaha untuk menenangkan dirinya barang sejenak.

Sementara itu, selagi para pengawal sibuk meneliti keadaan dan dua orang pengawal khusus itupun sedang berusaha melihat dengan teliti apa yang telah terjadi, Pangeran Kuda Padmadata sendiri berdiri termangu-mangu di pintu butulan. Bahkan iapun kemudian turun ke halaman belakang untuk melihat para pengawal yang sedang memperhatikan arah dari jejak pencuri yang telah berhasil memasuki istana.

Kesempatan yang tidak mungkin dapat dilewatkan oleh Mahisa Agni. Saat yang sekejap itu benar-benar berharga bagi Mahisa Agni. Adalah jarang sekali terjadi bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah terpisah dari dua orang pengawal khususnya.

Pada saat Pangeran itu sedang merenungi orang-orang yang sedang diributkan oleh peristiwa itu, maka Mahisa Agnipun menyusup kesamping dan berjalan terbungkuk-bungkuk lewat di belakang Pangeran Kuda Padmadata. Saat yang sangat berharga itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Tepat di belakang Pangeran itu ia berdesis perlahan-lahan, “Hamba adalah petugas sandi dari Singasari yang ingin mengetahui keadaan Pangeran yang sebenarnya”

Mahisa Agni sama sekali tidak berhenti. Ia berjalan terus, dan menyusup lagi diantara orang-orang yang berkerumun.

Sekilas Kuda Padmadata berpaling. Ia melihat Mahisa Agni yang berhenti beberapa langkah dari padanya diantara beberapa hambanya yang kemudian didorong oleh para pengawal untuk menyingkir.

“Pergi, jangan mengganggu tugas kami. Kembali kepada perkejaan kalian masing-masing. Biarlah kami yang mengurusi masalah ini” teriak pemimpin pengawal.

Ketika para hamba istana itu kemudian melangkah surut karena mereka didesak oleh para pengawal, Pangeran Kuda Padmadata masih dapat mengenali Mahisa Agni yang berdiri diantara mereka.

“Siapakah orang itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya. Demikian banyak abdi di halaman Istana itu, hingga Pangeran itu tidak mengenalnya seorang demi seorang. Namun Pangeran yang telah kehilangan kebebasannya itu sempat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Mahisa Agni.

Dalam pada itu, maka ketika dua orang pengawal yang bertugas di bagian dalam istana, dan berada di sebelah bilik yang telah berhasil dimasuki oleh seorang pencuri atau lebih itu datang, perhatian pimpinan pengawal tertuju sepenuhnya kepada mereka. Dengan tegang ia memerintahkan kedua orang itu masuk ke dalam bilik yang khusus untuk didengar keterangannya.

Ternyata kedua pengawai itu terkejut bukan kepalang. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa bilik itu telah terbuka di bagian atapnya dan seorang pencuri telah berhasil mengambil beberapa buah barang perhiasan. Sehari penuh para pengawal meneliti segala macam jejak yang mungkin dapat mereka ketemukan. Bukan saja di dalam halaman, tetapi juga diluar halaman.

Namun dalam pada itu, mereka sama sekali tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas atau jejak yang dapat mereka pergunakan untuk mencari jalur yang dapat membawa mereka kepada suatu dugaan, siapakah yang telah menghina para pengawal istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Ketika kemudian isteri Pangeran itu sudah menjadi agak tenang dan berhasil melihat dan menyebut barang-barangnya yang hilang, ternyata bahwa sebagian dari barang-barang itu telah dapat diketemukan kembali. Hanya sebagian kecil sajalah dari perhiasan itu yang tidak diketemukan.

“Pencuri itu tentu dalam keadaan tergesa-gesa” berkata adik Pangeran Kuda Padmadata.

“Tetapi ini benar-benar suatu penghinaan” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Namun seorang dari kedua pengawalnya yang terdekat itupun berkata, “Ampun Pangeran. Biarlah para pengawal mengurusnya. Jika ini suatu penghinaan, maka para pengawallah yang paling merasa terhina”

“Ya, tetapi bukankah kita dapat berusaha untuk mencari jejaknya. Meskipun seandainya tidak dapat diketemukan” berkata Pangeran itu.

“Pangeran tidak perlu berbuat sesuatu. Kami menganggap bahwa hal ini tidak usah disampaikan kepada siapapun juga. Juga tidak perlu didengar oleh para bangsawan, karena dengan demikian maka aib kita akan bertebaran sampai kemana-mana”

“Aku setuju” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “meskipun aku tahu latar belakang dari sikap kalian. Kalian tidak ingin selembar seratpun yang dapat menghubungkan istana ini dengan pihak luar”

“Kakanda tidak usah mengatakan hal itu” berkata adiknya, “apa yang telah terjadi, biarlah terjadi. Kadang-kadang kita memang harus menyerah kepada nasib. Baik atau buruk”

“Aku tidak menyesali nasib. Tetapi aku tidak mau menerima penghinaan ini. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan kalian” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

“Lalu apa yang akan kakanda kerjakan?” bertanya adiknya.

“Mungkin orang yang-memasuki bilik itu adalah salah seorang dari para pengawal kita sendiri, atau para abdi yang lain” Pangeran itu berhenti sejenak, lalu, “karena itu. aku ingin menemui mereka seorang demi seorang”

Kedua pengawalnya terdekat tertawa. Katanya, “Suatu usaha yang sia-sia Pangeran”

“Tidak. Aku tidak akan berusaha apapun juga bagi diriku sendiri. Kau berdua dapat mengikuti segala persoalan yang akan aku lakukan dalam penelitian ini”

Salah seorang dari kedua pengawal itu menyahut, “Jangan memikirkan apapun juga. Pangeran adalah orang yang paling mukti di negeri ini. Tanpa berbuat apapun juga. Pangeran dapat menikmati hidup ini sepuas-puasnya”

Diluar sadarnya Pangeran Kuda Padmadata berpaling kearah isterinya. Namun yang terdengar adalah suara tertawa adiknya, “Ia bukan isteri kakanda yang sebenarnya. Jika kakanda ingin menikmati hidup ini, lakukanlah. Tetapi tidak dengan puteri yang seorang ini”

Seisi ruangan itupun meledak dengan suara tertawa. Sementara puteri yang dalam dunia bayangan Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi isterinya, menunduk dalam-dalam. Meskipun ia juga tersenyum, namun wajahnya menjadi merah padam.

“Ia adalah seorang isteri yang tugasnya hanyalah menerima warisan semata-mata” berkata adiknya, “tidak dalam tugas-tugas yang lain”

Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku ingin bertemu dengan setiap orang di lingkungan istana ini. Siapapun boleh ikut mendengar apa yang akan aku tanyakan kepada mereka”

Kedua pengawal itu ragu-ragu. Namun ketika adik Pangeran itu mengangguk, maka salah dari seorang para pengawal itu berkata, “Baiklah Pangeran. Hamba akan memanggil mereka seorang demi seorang”

Demikianlah maka semua hamba dan pengawal di dalam istana itu telah dipanggil seorang demi seorang memasuki sebuah bilik khusus. Di samping Pangeran Kuda Padmadata sendiri, maka di dalam bilik itu hadir pula kedua pengawalnya yang paling dekat itu.

Seorang, demi seorang telah ditanya oleh Pangeran Kuda Padmadata. Siapakah mereka, dan apakah yang mereka lakukan dalam tugas mereka sebagai hamba. Pangeran Kuda Padmadatapun bertanya, dimana mereka berada semalam. Apakah mereka tidak berada di halaman istana atau disekitarnya.

“Tidak ada gunanya Pangeran" berkata salah seorang pengawalnya, “mereka tentu akan mengatakan bahwa mereka tidak berada di halaman, jika mereka tinggal di bagian belakang dari halaman istana ini, mereka akan mengatakan bahwa mereka sedang tidur nyenyak. Mereka sama sekali tidak beranjak dari pembaringan.”

“Tetapi aku dapat melihat seseorang yang berbohong. Aku dapat melihat sorot matanya dan barangkali gagap bicaranya.” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Betapapun menjemukan, namun pertanyaan Pangeran itu berlangsung terus. Seorang demi seorang telah memasuki bilik itu. Akhirnya, seorang pekatik tua telah memasuki bilik itu. Dengan tubuh gemetar ia merangkak mendekat ketika salah seorang pengawal Pangeran itu memanggilnya.

“Siapa namamu?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Nama hamba Damar, Pangeran” jawab pekatik tua.

"Dimana kau tinggal? Di bagian belakang dari halaman ini?" bertanya Pangeran itu pula.

“Tidak Pangeran. Hamba tinggal di rumah saudara hamba”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk, iapun kemudian bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan yang pernah di sampaikan kepada para hamba yang lain.

Tidak ada kesimpulan apapun yang didapatkan dari pembicaraan itu. Namun dengan demikian, Pangeran Kuda Padmadata mengetahui, bahwa orang yang menyebut dirinya petugas sandi dari Singasari itu adalah seorang pekatik bernama Damar.

Ketika Mahisa Agni kemudian meninggalkan ruang itu, maka Pangeran Kuda Padmadata berkata kepadaa pengawal itu, “Aku mencurigai orang itu meskipun aku tidak pasti. Mungkin aku keliru. Tetapi dari antara semua orang yang memasuki bilik ini, maka orang itu mempunyai pertanda yang paling mungkin untuk melakukan pencurian, atau setidak-tidaknya ia memberikan beberapa petunjuk terhadap pencuri yang sebenarnya"

“Aku tidak melihat pertanda seperti itu,” sahut seorang pengawal.

“Mungkin kau tidak melihat. Tetapi aku ingin memperhatikan orang itu. Jika pada suatu saat, pencuri yang sebenarnya dapat diketemukan. maka dugaanku ternyata keliru.”

Dalam pada itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata sudah dapat memastikan barang-barangnya yang hilang. Lebih dari separo dari barang-barang itu dapat diketemukan di halaman, karena barang-barang itu agaknya terjatuh. Namun masih ada beberapa perhiasan yang lain yang benar-benar telah hilang dari istana itu.

Meskipun yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah tidak ada gunanya, tetapi bagi Pangeran itu sendiri, seolah-olah telah memberikan satu kemungkinan untuk membuka jalur keluar istana lewat pekatik itu.

Sementara itu, Mahisa Agni pun merasa, bahwa yang dibisikkannya kepada Pangeran itu telah mendapat tanggapan. Ia merasa kagum juga terhadap kejernihan pikiran Pangeran itu. Meskipun ia nampaknya sudah terkungkung oleh kekuasaan yang sulit untuk diatasinya, namun ia tidak berputus asa. Ia berusaha untuk dapat memecahkan dinding yang mengelilinginya dengan cara apapun juga.

Yang mengalami nasib yang kurang baik adalah kedua orang pengawal yang bertugas di sebelah bilik yang telah dimasuki oleh Mahisa Agni. Keduanya terpaksa untuk sementara tinggal di dalam bilik pengawasan, karena mereka masih akan diperiksa lebih saksama lagi.

Peristiwa itu, telah diceriterakan oleh Mahisa Agni kepada Witantra dan Mahisa Bungalan, ketika pada sore hari Mahisa Agni kembali kerumah Ki Daredu.

“Kita harus mencari jalan” berkata Mahisa Agni, “aku masih mempunyai sebagian dari perhiasan yang aku ambil.”

“Maksudmu?” bertanya Witantra.

“Kita sudah mendapat keterangan lebih jelas. Dengan demikian, maka kita sudah dapat melihat, siapakah yang sebenarnya berhati jahat.” sahut Mahisa Agni, “karena itu, maka kita harus segera mengambil sikap, tetapi yang tidak mengancam keselamatan Pangeran itu sendiri dan isterinya yang barasal dari padesan itu.”

“Apa yang dapat kita lakukan paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kau kembali kepada ayahmu. Titipkan perempuan dan anak laki-lakinya itu kelingkungan dalam istana. Biarlah para prajurit melindunginya. Kau dapat barterus terang kepada Tuanku Ranggawuni. Aku kira tuanku tidak akan berkeberatan mangijinkan perempuan dan anak laki-laki itu tinggal.”

“Apakah hubungannya dengan barang-barang yang paman ambil itu?”

“Kemudian kita jual barang-barang itu. Biarlah ayahmu barusaha untuk berhubungan dengan orang-orang Kediri yang dikenalnya, sehingga pada suatu saat, seseoorang dapat mengenal barang-barang itu sebagai barang-barang dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian maka ayahmu akan ditangkap dan dibawa masuk ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Ayahmu kemudian akan mengatakan, bahwa ia membeli barang barang itu dari orang lain. Orang lain itu adalah Witantra. Kita semuanya akan berada di dalam lingkungan istana itu. Pada saat yang tepat kita akan bertindak menyelamatkan Pangeran itu dari cengkeraman orang-orang yang ingin berbuat jahat kepadanya. Jika kita berempat bersama sama dapat berbuat sesuatu, maka aku kira kita akan berhasil, karena Pangeran itu sendiri tentu akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri.”

“Rencana ini dapat kita pelajari sebaik baiknya. Masih banyak yang dapat di sisipkan pada rancangan kasar ini. Tetapi pada dasarnya aku dapat menyetujui.” berkata Witantra.

“Paman belum menyebut perananku” potong Mahisa Bungalan.

Witantra tertawa. Katanya, “Sabarlah sedikit. Kau tentu akan memegang peranan penting dalam hal ini.”

“Apakah aku belum menyebut?” bertanya Mahisa Agni.

“Belum” jawab Mahisa Bungalan.

“Jika demikian, maka kau akan menjadi penghubung antara pamanmu Witantra dan ayahmu. Sehingga, dengan demikian kau akan diseret pula ke dalam istana itu.”

“Bagaimana jika kita semuanya diserahkan kepada penguasa di Kediri? Kepada Panji Kudasulwarna?”

“Aku akan berbicara dengan Panji Kudasuwarna.” Sahut Mahisa Agni. “Tetapi ia pun harus mengetahui kesulitan Pangeran Kuda Padmadata.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika segalanya berjalan menurut kemauan kita. Tetapi jika tidak, maka masalahnya tidak akan semudah seperti yang kita bicarakan.”

Mahisa Agni pun tersenyum seperti juga Witantra. Maka katanya, “Kita hanya merencanakan menurut perhitungan kita Mahisa Bungalan. Tetapi bukan berarti bahwa pihak lain tidak mempunyai perhitungan pula.”

“Tetapi baiklah paman. Aku akan mencoba berbuat seperti perhitungan itu. Aku akan kembali dengan membawa barang yang masih tersisa pada paman dan akan menyerahkannya kepada ayah."

“Sampaikan segala pesan sebaik-baiknya, agar kita tidak salah langkah. Sebaiknya ayahmu menemui kami, sebelum kita bertindak lebih iauh. Kita tidak tahu pasti, jaring-jaring yang dipasang oleh adik Pangeran Kuda Padmadata itu sampai seberapa jauh jarak jangkauannya”

Demikianlah, maka Mahisa Agni dan Witantra telah melepaskan Mahisa Bungalan pergi meninggalkan Kediri. Perjalanan ke Singasari yang cukup jauh itu telah ditempuhnya secepat dapat dilakukan. Namum Mahisa Bungalan masih harus juga bermalam di perjalanan. Namun sebagai seorang perantau, maka ia sama sekali tidak merasa kesulitan di perjalanan.

kedatangan Mahisa Bungalan yang seorang diri di rumahnya, memang mengejutkan. Namun Mahendra pun kemudian mengangguk-angguk setelah ia mendengar penjelasan yang diberikan oleh Mahisa Bungalan.

“Jadi anakku harus dititipkan ke dalam istana?” bertanya Ki Wastu.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah agaknya tempat yang paling aman baginya”

“Tetapi anakku tentu akan merasa dirinya terlampau kecil dan tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ia adalah anak padukuhan kecil yang tidak berarti,“ berkata Ki Wastu.

“Tetapi ia adalah isteri Pangeran Kuda Padmadata” jawab Mahisa Bungalan, “pada suatu saat, jika Tuhan mengijinkan, ia akan berdiri di samping seorang bangsawan di Kediri”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya bergetar. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Apakah yang dapat aku ucapkan. Aku telah berhutang budi tanpa dapat diperhitungkan lagi. Kalian telah berbuat terlalu banyak, melampaui kewajiban sebagai sesama”

“Tidak” jawab Mahendra, “yang kami lakukan barulah butir-butir debu yang tidak berarti sama sekali di hadapan Tuhan Yang Maha Agung”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan ikut serta ke Kediri. Bukan saatnya bagiku untuk duduk menunggu, sementara orang lain berjuang bagi keluargaku. Bagi anak dan cucuku”

Mahendra tertawa. Katanya, “Jika demikian, aku tidak berkeberatan. Kita adalah pedagang permata yang membawa barang-barang curian. Pada suatu saat akan tertangkap dan dihadapkan kepada pemilik barang itu”

Demikianlah, maka segala persiapan pun dilakukan Mahendra dan Mahisa Bungalan telah memohon waktu menghadap. Kepada Ranggawuni, Mahendra menyampaikan segala pesan Mahisa Agni. Ternyata, seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka Maharaja Singasari itu pun tidak berkeberatan. Diserahkannya perempuan dan anak laki-lakinya itu kepada seorang emban dan di bawah pengawasan para pengawal istana itu.

“Tidak akan ada orang yang mengusiknya disini” berkata Mahendra kepada Ki Wastu.

Dalam pada itu, maka Mahendra dan Ki Wastu pun segera mempersiapkan diri. Mereka adalah pedagang-pedagang barang berharga dan perhiasan. Meskipun mereka berangkat dari Singasari bersamaan berangkatnya dengan Mahisa bungalan, namun Mahisa Bungalan lah yang lebih dahulu memasuki gerbang kota.

Sebagai seorang pedagang, Mahendra mempunyai beberapa orang kawan di Kediri. Ia segera menawarkan barang-barang yang dibawanya. Dengan sengaja ia memamerkan barang-barang yang diambil oleh Mahisa Agni dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Sementara pada saat-saat tertentu ia masih harus berhubungan dengan Mahisa Agni dan Witantra, agar mereka tetap bersambungan, seperti yang direncanakan, ternyata bahwa perhiasan sangat mahal itu menarik perhatian beberapa pedagang di Kediri. Kawan-kawan Mahendra, menganggap barang-barang itu tentu milik seorang bangsawan yang sangat kaya.

Ternyata bahwa beberapa orang telah menghubungkan dengan berita pencurian yang terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata. Beberapa orang pedagang, kadang-kadang sering saling bersaing itu telah dengan sengaja menjebak Mahendra. Ia dihadapkan pada orang-orang yang mempunyai sangkut paut dan mendapat kepercayaan dari lingkungan istana Pangeran Kuda Padmadata, terutama mereka yang mendapat kepercayaan dari adik pangeran yang ternyata selalu dibayangi oleh kekuasaan yang tidak nampak dari adik kandungnya sendiri.

Salah seorang dari para pedagang itu ternyata mempunyai hubungan yang akrab dengan seorang pemimpin pengawal dari istana Pangeran Kuda Padmadata yang telah dipengaruhi pula oleh adik Pengeran itu. Ketika ia mendapat kabar tentang permata dan perhiasan itu, maka iapun berkata, “Bawa orang itu kepadaku. Katakan bahwa aku ingin membelinya”

“Apakah aku harus membawanya masuk ke istana” bertanya pedagang itu.

“Bodoh kau. Kalau ia tahu bahwa barang-barang itu barang curian, ia tentu tidak akan bersedia memasuki istana dengan membawa perhiasan itu kemari” sahut salah salah orang dari pada perwira pengawal itu.

“Nampaknya ia tidak tahu menahu tentang perhiasan yang hilang dari istana ini. Ketika aku mengatakan bahwa puteri mungkin akan membelinya, ia sama sekali tidak berkeberatan untuk menghadap”

Perwira pengawal itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “datanglah besok. Aku akan masuk ke istana nanti dan membicarakannya dengan Pangeran Kuda Rukmasanti, adik Pangeran Kuda Padmadata”

Demikianlah maka hal itu pun kemudian benar-benar telah dibicarakan dengan Pangeran Kuda Rukmasanti. Apakah sebaiknya pedagang itu dibawanya masuk ke istana atau biarlah datang saja ke rumah pengawal itu.

“Jika ia memang tidak berkeberatan dan tidak mengetahui menahu tentang barang-barang yang hilang dari istana ini, bawalah ia kemari dengan demikian, maka langsung puteri akan dapat melihatnya, apakah barang-barang itu memang miliknya”

“Baiklah, Besok ia akan menghadap. Aku akan menghuhungi kawanku yang akan membawanya masuk ke dalam istana ini”

Seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, maka Mahendra telah dihubungi oleh seorang pedagang yang memang sudah dikenalnya sebelumnya. Dengan tidak banyak sanggahan, maka Mahendra pun kemudian telah menjanjikan untuk membawa barangnya kepada Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Tetapi aku belum tahu, bagaimana aku akan menghadap” berkata Mahendra.

“Kita akan pergi bersama-sama. Nanti sore, kita akan pergi ke istana itu”

Mahendra mengangguk-angguk. katanya, “Aku akan datang ke rumahmu. Kita akan bersama-sama pergi menghadap”

Pedagang itu mengangguk-angguk. Namun ia tersenyum di dalam hati. Jika benar-benar barang-barang itu milik Pangeran Kuda Padmadata yang hilang, maka Mahendra akan ditangkap. Daerah perdagangan permata akan kehilangan salah seorang dari mereka yang dianggap oleh pedagang yang menjebak Mahendra itu sebagai saingan yang berat.

Hal itu segera disampaikan oleh Mahendra kepada Mahisa Agni. Ia harus berada di istana itu, pada saat Mahendra dihadapkan kepada Pangeran Kuda Rukmasanti. Sementara itu, Witantra pun harus bersiap-siap untuk ditangkap bersama Mahisa Bungalan.

“Tetapi bagaimana dengan Ki Daredu. Ia tentu akan terkena kesalahan pula, karena ia telah memberikan tempat kepada kita” berkata Mahisa Bungalan.

“Mungkin ia akan ditangkap pula” berkata Mahisa Agni, “aku akan berbicara kepadanya. Seandainya ia benar-benar ditangkap, maka kita semuanya akan menjadi jaminan”

“Bagaimana jika ia dipaksa untuk mengatakan, siapakah kita sebenarnya” bertanya Mahisa Bungalan pula.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan memberikan beberapa pesan. Jika ia dipaksa untuk berkata tentang kita, biarlah ia menyebut kita dari salah satu nama padepokan atau sarang sekelompok penjahat. Biarlah ia menyebut kita sebagai pencuri-pencuri yeng memang hidup kita dari segala macam kejahatan”

“Dengan demikian, maka ia pun akan dikenakan hukuman” sahut Mahisa Bungalan.

“Ya. Dan adalah tugas kita untuk membebaskannya” sahut Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia menaruh iba kepada Ki Daredu jika ia harus mengalami kesulitan karena tugas-tugas yang sebenarnya bersumber pada dirinya yang telah melibatkan din dengan sadar, ke dalam persoalan Pangeran Kuda Padmadata dengan keluarganya.

Namun agaknya Mahisa Agni dan Witantra yakin, bahwa mereka akan dapat melindungi Ki Daredu pada saatnya meskipun untuk satu dua hari, mungkin orang itu harus menjalani penahanan atas dirinya oleh para pengawal dari istana Pangeran Kuda Padmadata.

Ketika saatnya tiba, maka Mahendra yang telah menghubungi Mahisa Agni itupun segera mendapatkan kawannya Mereka bersama-sama telah pergi menghadap Pangeran Kuda Rukmasanti yang masih berada di istana Pangeran Kuda Padmadata. Dalam pada itu Mahisa Agni ternyata agak lambat bekerja pada hari itu. Ketika ia datang dengan membawa sekeranjang rumput, wajahnya kelihatan gelisah.

“Kau memang gila” geram kawannya yang masih muda, “jika kita dimarahi karena kelambatan ini, maka semua itu adalah karena salahmu”

“Aku sedang sakit” jawab Mahisa Agni, “biasanya aku tidak merasa seperti sekarang ini. Nafasku sesak, dan badanku menggigil kedinginan”

“Persetan” geram kawannya yang masih muda, “itu pertanda bahwa kau akan mati”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi di belakang kandang, ia duduk dengan nafas yang terengah-engah.

“Jika kau mau mati, matilah” geram kawannya yang masih muda.

Mahisa Agni tidak menjawab. Namun ia mulai menghitung waktu. Saatnya telah tiba, bahwa Mahendra akan datang menghadap. Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, dua orang tamu telah memasuki halaman. Seorang dari mereka adalah Mahendra.

Mahisa Agni yang kemudian pergi ke seketeng, melihat kedua orang itu menambatkan kudanya di sudut halaman samping. Kemudian lewat seorang pengawal, kedatangan mereka diberitahukan kepada salah seorang pemimpin pengawal yang dengan sengaja memanggil pedagang perhiasan itu memasuki istana.

Kedua orang itu kemudian diterima di serambi samping, menghadap ke gandok. Sejenak mereka harus menunggu. Baru kemudian salah seorang pemimpin pengawal yang memanggil mereka datang, bersama Pangeran Kuda Rukmasanti, telah datang menemui mereka. Mahisa Agni tidak dapat menyaksikan pembicaraan itu. Namun ia kemudian duduk di bawah sebatang pohon perdu. Dari tempatnya ia dapat melihat sudut serambi itu.

Sementara itu, maka seorang perwira pengawal itupun kemudian mengatakan kepada Mahendrabahwa Pangeran Kuda Rukmasanti lah yang sebenarnya memerlukan perhiasan itu.

“Hamba membawa beberapa macam perhiasan yang sangat bagus” berkata Mahendra tanpa prasangka.

“Aku memang ingin yang paling bagus yang kau punyai” jawab Pangeran itu.

“Cobalah, perlihatkan semua perhiasan yang kau bawa” minta Pangeran itu.

Sejenak kemudian, Mahendra pun telah mengeluarkan sebuah perhiasan yang dibawanya di dalam sebuah peti kayu kecil. Perhiasan yang memang sangat bagus dan mahal.

Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti mengamat-amati perhiasan itu. Ia memang kurang memahami, apakah perhiasan-perhiasan itu adalah perhiasan puteri yang telah di curi orang dari bilik penyimpanannya.

“Tunggulah” berkata Pangeran itu, “aku akan memanggil orang yang akan memakainya. Mungkin ia dapat memilih”

“Silahkan Pangeran, silahkan. Hamba akan menunggu dengan senang hati” desis Mahendra.

Namun Mahendra itu menjadi berdebar-debar ketika ia diluar sadarnya berpaling ke halaman. Dilihatnya sekilas, dua orang pengawal berjalan hilir mudik di muka serambi itu. “Mereka telah bersiap untuk menangkapku” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Sementara itu, sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah hadir pula bersama isterinya dan kedua orang pengawal yang tidak pernah terpisah dari padanya. Dengan berdebar-debar isteri Pangeran Kuda Padmadata itu memperhatikan perhiasan yang dibawa oleh Mahendra itu. Wajahnya sejenak kemudian nampak menegang. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Ini adalah perhiasanku sendiri yang telah hilang dicuri orang”

“Ha?” Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya terbelalak. Meskipun dugaan itu telah ada, namun mereka terkejut juga mendengar pengakuan itu.

Dalam pada itu Mahendra pun menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apa maksud tuan puteri?”

Sebelum puteri itu menjawab, maka Pangeran Kuda Padmadata telah mendahului, “Barang-barang itu adalah barang kami sendiri”

“Bagaimana mungkin tuanku” berkata Mahendra.

“Letakkan semuanya” berkata Pangeran Kuda Rukmasanti, “ternyata kami menemukan apa yang kami cari”

Mahendra menjadi bingung. Namun sebenarnyalah bahwa segalanya itu telah diharapkannya terjadi. Ketika puteri itu sudah yakin, bahwa barang-barang itu adalah miliknya yang hilang, maka pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, “Kau telah salah memilih pembeli Ki Sanak. Dengan demikian, kami terpaksa menangkapmu”

“Tetapi aku tidak bersalah. Aku tidak mencuri” berkata Mahendra.

“Mungkin memang bukan kau sendiri yang melakukannya” berkata kawannya, “tetapi orang lain. Dan itu memang dapat terjadi sebagai suatu akibat buruk dari pekerjaan kita”

Mahendra memandang kawannya dengan wajah pucat. Katanya, “Apakah kau dapat menolongku?”

“Jika terbukti kau bersalah, Bagaimana mungkin aku dapat menolongmu” berkata pedagang itu.

“Tinggalkan orang ini disini” berkata salah seorang pemimpin pengawal itu, “kami akan menyelesaikan persoalan sendiri, tanpa menyerahkan kepada penguasa di Kediri, apalagi orang yang dikirim oleh raja Singasari itu”

“Baiklah” sahut pedagang kawan Mahendra itu, “aku akan mohon diri”

“Jangan kau kabarkan kepada siapapun sebelum segalanya menjadi jelas”

Pedagang itupun kemudian minta diri. Ia sama sekali tidak dapat membantu, betapapun Mahendra minta kepadanya.

Sepeninggal orang itu, maka para pengawal di istana itu telah membawa Mahendra ke dalam ruang khusus. Di hadapan Pangeran Kuda Padmadata dan Pangeran Kuda Rukmasanti, ia ditanya dengan tekanan, dari manakah ia berhasil mendapatkan barang-barang itu. Untuk beberapa saat lamanya, Mahendra mengatakan bahwa barang-barang itu telah dibelinya dari orang yang tidak dikenal.

“Tuanku, hamba tidak tahu sama sekali, bahwa barang-barang ini adalah barang curian. jika hamba tahu, apakah hamba gila, telah menawarkan barang-barang ini kemari” berkata Mahendra.

“Mungkin kau memang tidak mengerti” desak seorang pengawal, “tetapi kau tentu tahu, siapakah yang menjual barang-barang ini. Kami tidak percaya bahwa kau tidak mengenalnya sama sekali”

“Hamba tidak ingat lagi” desis Manendra. Tetapi suaranya tenggalam dalam geram pemimpin pengawal itu sambil mencengkeram pundaknya,

“Jangan bohong. Mungkin kau tidak bersalah. Tetapi jika kau berbohong tentang orang yang menyerahkan perhiasan ini kepadamu, maka kau akan mendapat hukuman yang lebih berat”

Mahendra menjadi gemetar. Sambil memandang pemimpin pengawal itu ia berkata, “Jangan tuan. Aku memang tidak bersalah”

“Jika asal dari barang-barang ini dapat diketemukan, kau memang tidak bersalah. Tetapi jika orang yang menjual barang-barang ini kepadamu tidak dapat diketemukan, maka kau dapat kami anggap sebagai orang yang telah memasuki istana ini dan mencuri beberapa barang perhiasan yang sangat mahal harganya”

Mahendra menjadi ketakutan. Namun kemudian katanya, “Tetapi tuan. Jika hamba menunjukkan mereka, apakah itu berarti bahwa hamba akan dibebaskan”

“Jika terbukti bahwa kau tidak bersalah karena ada orang lain yang dapat kami tangkap, maka kau akan kami bebaskan dari segala tuduhan” geram pengawal itu.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah tuan. Aku akan mengatakannya. Tetapi aku mohon dapat dibebaskan dan aku akan segera pulang ke rumahku”

“Sebut, siapakah yang telah manjual barang-barang ini kepadamu he?” bentak pengawal itu.

Sejanak Mahendra ragu-ragu. Nemun kemudian katanya, “Aku membeli barang ini dari seorang bernama Gantar”

“Gantar” ulang pengawal itu hampir berbareng dengan desis dari bibir Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi Pangeran itu kemudian mengerutkan keningnya. Pekatik yang telah membisikkan sesuatu kepadanya itu bernama Damar. Bukan Gantar.

Pengawal itupun kemudian bertanya dengan kasar kepada Mahendra, “Dimana rumah orang yang bernama Gantar itu”

“Rumahnya aku tidak tahu pasti tuan. Tetapi sesungguhnyalah aku tidak tahu pasti. Aku bertemu dengan orang itu dalam perlawatan kerja yang selalu aku lakukan. Menurut pengakuannya, untuk sementara ia berada di Kediri, di rumah seorang pekatik yang bernama Daredu”

“Jangan menyebut nama-nama yang dapat membingungkan kami” berkata pengawal itu.

“Tuan. Sebenarnyalah kami tidak mengerti yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi seandainya tuan memerlukan, maka biarlah aku menunjukkan tempat tinggal orang itu” berkata Mahendra.

“Kau tidak berbohong?” bertanya pengawal itu.

“Aku berjanji. Sudah tentu aku tidak berani berbohong, karena aku berhadapan dengan tuan. Apalagi aku ingin agar aku dibebaskan dari segala tuduhan yang akan dapat menjerat aku” berkata Mahendra dengan gagap.

Salah seorang pemimpin pengawal yang memeriksa Mahendra itupun kemudian berpaling kepada Pangeran Kuda Rukmasanti sambil bertanya, “Apakah hamba dapat melakukannya Pangeran?”

Pangeran Kuda Rukmasanti termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya, “Lakukanlah. Bawalah pengawal, jika sewaktu-waktu kau perlukan”

Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata kepada Mahendra, “Antarkan aku kepada orang yang kau maksud”

Mahendra pun kemudian dengan langkah gemetar meninggalkan ruang itu diikuti oleh pengawal yang telah memeriksanya bersama dua orang pengawal yang lain, sementara pedagang yang membawanya masih tetap tinggal di rumah Pangeran itu.

Dengan ragu-ragu Mahendra pun kemudian menerima kendali kudanya dari seorang pengawal yang mengikutinya sambil membentak, “Kita berkuda. Cepat”

Mahendra menerima kendali kuda itu. Namun ketika ia akan meloncat naik, pengawal itu membentaknya sekali lagi, “He, agaknya kau orang yang tidak mengerti unggah-ungguh”

Mehendra termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengerti bahwa ia tidak boleh berkuda di halaman. Demikianlah, maka bersama tiga orang pengawal Mahendra pergi ke rumah Ki Daredu.

Ternyata Witantra dan Mahisa Bungalan telah siap untuk ditangkap dan dibawa ke rumah Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun ketika pemimpin pengawal itu bertanya kepadanya, mula-mula ia telah mengingkari.

“Ikutilah kami” berkata pemimpin pengawal itu, “bukan kami yang akan memutuskan segala sesuatu. Kalian akan kami bawa ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian akari segera dibebaskan”

Ketika Witantra masih menolak, maka kesabaran pengawal itu pun hampir sampai kebatasnya, sehingga karena itu ia menggeram, “Kau bersedia atau tidak. Aku mendapat wewenang untuk memenggal lehermu”

Witantra dan Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Meskipun darah Mahisa Bungalan rasa-rasanya telah mendidih, namun ia harus mengikuti rencana yang telah disusun sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun tidak menyanggah lagi.

“Kami tidak bersalah” berkata Witantra, “kami mohon keadilan kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Witantra dan Mahisa Bungalan pun menyiapkan kuda mereka pula. Bersama-sama dengan para pengawal dan Mahendra, merekapun telah pergi ke rumah Pangeran Kuda Padmadata.

Samentara itu, Mahisa Agni masih belum meninggalkan istana itu. Kepada gamel yang memelihara kuda Pangeran itu ia mengatakan bahwa tubuhnya terasa kurang enak. Karena itu, maka ia akan tinggal beberapa saat lagi, sehingga badannya tidak lagi menggigil dan kuat untuk berjalan kembali ke rumahnya.

“Singgahlah ke gubugku di sudut kebun itu” berkata gamel itu. Mahisa Angi termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Biarlah aku duduk di belakang kandang ini barang sejenak. Mungkin badanku akan segera terasa baik”

“Di pondokku kau akan mendapat minuman panas” berkata gamel itu pula.

Akhirnya Mahisa Agni singgah ke rumah gamel itu sambil mengucapkan banyak terima kasih.

Sementara itu, Ki Daredu pun menjadi sangat gelisah. Ia sudah mendengar segala rencana yeng sedang dilakukan oleh Mahisa Agni. Iapun percaya bahwa Mahisa Agni akan dapat menyelesaikan segala persoalan dan sekaligus melindunginya, justru karena ia tahu, siapakah Mahisa Agni itu. Namun demikian, jika pada saatnya ia pun akan diambil pula, maka ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan dapat tetap merahasiakan segalanya.

“Tetapi aku masih belum diambil sekarang” berkata Ki Daredu di dalam hatinya, “mungkin tuanku Mahisa Agni dapat menyingkirkan keterlibatanku di dalam persoalan ini, atau para pengawal istana Pangeran Kuda Padmadata menganggap bahwa aku tidak terlibat kecuali memberikan tempat bagi mereka”

Dalam pada itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan telah dibawa menghadap Pangeran Kuda Rukmasanti dan Pangeran Kuda Padmadata.

Seperti yang sudah disepakati, maka pada saat yang demikian, Ki Wastu sudah berada di depan istana itu pula. Pada saat tertentu ia akan memasuki halaman dan menyatakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata tentang dirinya, anak perempuan dan cucunya laki-laki. Namun untuk melakukannya, ia masih harus menunggu isyarat dari salah seorang yang telah memasuki istana itu, meskipun sebagai tangkapan.

“Jika rencana kita gagal sama sekali” pesan Witantra kepada Ki Wastu, “maka adalah menurut kebijaksanaanmu. Kau dapat mengambil jalan terdekat, meskipun akibatnya belum dapat dipastikan. Kau dapat menghadap penguasaan Singasari di Kediri dengan menyebut nama Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi sejauh dapat kita lakukan, kita tidak akan melibatkan siapapun ke dalam persoalan ini, apalagi orang-orang yang memegang kekuasaan”

Karena itulah, maka Ki Wastu pun dengan penuh kewaspadaan berada tidak jauh dari pintu gerbang Istana Pangeran Kuda Padmadata. Sebagai seorang perantau ia duduk bersandar sebatang pohon untuk melepaskan lelahnya.

Ketika Witantra dan Mahisa Bungalan menghadap, maka Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi kecewa. Yang datang memang bukan Damar, tetapi orang lain yang menyebut orang lain yang menyebut dirinya bernama Gantar dengan seorang anak muda yang bernama Bungalan.

Pemimpin pengawal yang membawa mereka menghadap itupun kemudian dengan garang mulai bertanya tentang perhiasan-perhiasan itu. Ia bertanya dengan teliti dan kadang-kadang dengan keras dan kasar. Dalam pada itu, agaknya Pangeran Kuda Rukmasanti tidak sabar lagi menunggu. Jawaban Witantra dan Bungalan yang berbelit-belit membuat Pangeran Muda itu tidak telatan.

Tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan garangnya ia meremas rambut Witantra sambil berteriak, “Kau tidak dapat ingkar lagi. Pedagang itu sudah mengatakan, bahwa ia mendapat barang itu dari padamu. Nah, kau tinggal mengakui, bahwa kau telah mencuri barang-barang ini. Kau memanjat istana ini dan membuka atapnya. Kau masuk dengan mempergunakan tampar atau apapun juga. Kau keluar juga lewat lubang di atap itu. Karena kau tergesa-gesa, maka beberapa jenis perhiasan telah terjatuh di tanah”

Witantra tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pangeran yang marah itu tiba-tiba saja telah memukul wajahnya sambil berteriak, “Kau harus mengakui” lalu katanya kepada Mahendra, “ha, bukankah kau dapatkan barang-barang itu dari orang ini”

“Hamba tuanku,“ jawab Mahendra.

Sementara itu Witantra telah terbanting jatuh ketika tangan Pangeran Kuda Rukmasanti mengenai wajahnya. Dengan suara gemetar ia berkata, “Ampun tuanku. Hamba benar-benar tidak tahu”

Belum lagi suara itu selesai diucapkan, kaki Pangeran Kuda Rukmasanti telah mengenai kepala Witantra. Sekali lagi ia berteriak, “Aku dapat membunuhmu dan anak muda itu disini. He, anak muda, apakah kau juga ingkar”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Yang kemudian berdebar-debar adalah justru Mahendra dan Witantra. Jika Mahisa Bungalan tidak dapat mengendalikan dirinya, maka mungkin sekali rencana meraka harus dirubah dengan tiba-tiba.

Namun dalam pada itu, ketika Pangeran Kuda Rukmasanti mendekati Mahisa Bungalan, maka Pangeran Kuda Padmadata berkata, “Biarlah aku bertanya kepadanya”

Kedua pengawalnya yang selalu dekat dengan Pangeran itupun berusaha mencegahnya. Tetapi Pangeran itu sudah berdiri dan melangkah mendekati Witantra. “Ki Sanak” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “bukan maksud kami untuk menyakiti Ki Sanak. Tetapi kami justru ingin menempatkan persoalan ini pada keadaan yang sewajarnya. Cobalah katakan sesuatu tentang perhiasan-perhiasan itu. Bukankah pedagang perhiasan itu mendapatkan barang-anrang itu daripadamu?” bertanya Pangeran itu.

Seolah-olah diluar sadarnya Witantra mengangguk sambil nenjawab, “Hamba tuanku”

“Nah, demikianlah Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu, kau telah mendapatkan barang itu dari pihak lain pula. Cola katakan, apakah kau mendapatkan dari seseorang, atau kau dapatkan dari tempat dan dengan cara lain. Adalah mustahil bahwa barang-barang itu akan dapat berkisar sendiri dari tempat penyimpanannya di dalam bilik itu”

Witantra menarik mafas dalam-dalam, Namun kemudian ia membungkukan badannya dalam, sehingga wajahnya hampir menyentuh lantai. Katanya, “Ampun tuanku. Hamba memang mendapatkan barang-barang itu dari orang lain. Hamba sama sekali tidak mencuri, apalagi di istana tuanku. Hamba sama sekali tidak berani dan tidak akan dapat melakukannya”

Pangeran Kuda Padmadata menarik keningnya. Kemudian ia bertanya lagi, “Apakah kau dapat menyebut, siapakah yang telah menyerahkan barang-barang itu kepadamu”

Witantra termangu-mangu. Sebagai seorang yang bernama Gantar ia dapat diperlakukan apa saja oleh orang orang yang berkuasa di istana Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun sekilas ia memang sudah melihat, bahwa kekuasaan Pangeran Kuda Padmadata selalu dibayangi oleh kekuasaan adiknya yang bernama Pangeran Kuda Rukmasanti.

Namun dalam pada itu, karena ia tidak segera menjawab, maka Pangeran Kuda Padmadata pun mendesaknya, “Ki Sanak. Coba berterus teranglah. Atau barangkali kau anak muda. Apakah kau dapat mengatakan, siapakah yang telah memberikan atau katakanlah menjual barang-barang itu kepadamu dan kemudian kau jual kepada pedagang itu? Perbuatan yang kurang baik itu pada akhirnya memang harus dipertanggung-jawabkan. Pencurian yang telah dilakukan di istana ini memang harus dapat dibongkar. Karena itu, katakanlah, agar kau tidak dibebani oleh dosa dan kesalahan mereka yang sudah melakukannya itu”

Witantra termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang Mahendra, Mahisa Bungalan dan sebentar lagi Mahisa Agni. Diluar sadarnya ia telah memperbandingkan kekuatan orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Apakah pada suatu saat yang tepat, mereka akan dapat menguasai orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Pangeran Kuda Padmadata, dan yang telah sampai hati memerintahkan orang-orang upahan untuk membunuh isteri dan anak laki-lakinya.

“Cobalah” desak Pangeran Kuda Padmadata, “katakanlah”

“Orang itu harus dipaksa” geram Pangeran Kuda Rukmasanti”

“Tidak Pangeran” berkata Witantra dengan serta merta, “biarlah hamba mengatakannya. Barangkali itu memang lebih baik dari pada hamba sendiri yang harus mengalami kesulitan karena barang-barang itu”

“Nah” desis Paneeran Kuda Padmadata, “katakanlah”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia berharap akan berhasil dengan rencana yang telah disusunnya bersama Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya kemudian, “Tuanku. Hamba mendapat barang-barang itu dari hamba istana ini. Menurut keterangannya, barang-barang itu memang akan dijualnya. Tetapi adalah bodoh sekali bahwa pedagang itu telah menawarkan barang-barang perhiasan itu justru kemari”

“Siapakah hamba istana itu?” Pangeran Kuda Rukmasanti berteriak.

“Ampun tuanku. Namanya Damar”

“Damar” hampir berbareng beberapa orang telah mengulang. Namun justru Pangeran Kuda Padmadata lah yang paling keras. Kemudian katanya, “Orang itulah yang aku curigai ketika aku bertanya kepada setiap orang-orang menghamba di istana ini. He, apakah kalian tidak ingat?”

Kedua pengawalnya diluar sadarnya telah mengangguk sambil menjawab, “Ya ingat tuanku”

“Panggil orang itu kemari” Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi garang. Seolah-olah ia telah mengalami perubahan yang tiba-tiba dari dalam dirinya.

Beberapa orang yang berada di dalam bilik itu termangu-mangu. Namun mereka bagaikan terbangun ketika mereka mendengar sekali lagi Pangeran Kuda Padmadata berteriak, “Panggil orang itu kemari”

“Tetapi, dimanakah sekarang orang itu” bertanya pengawalnya.

“Kau dungu. Bukankah kau mendengar, bahwa ia adalah seorang pekatik?” bentak Pangeran Kuda Padmadata.

Orang-orang yang semula selalu membayanginya itu tiba-tiba saja telah berada dibawah pengaruhnya. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun telah berkata, “Baiklah. Hamba akan memanggilnya. Tetapi hamba tidak tahu, dimana rumahnya”

“Bertanyalah kepada orang-orang yang berhubungan dengan Kuda-kudaku itu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

Salah seorang dari kedua pengawal yang selalu mengikut kemana saja Pangeran itu pergi, dan bahkan kadang-kadang justru merekalah yang memerintah, telah dengan tergesa-gesa pergi kebelakang untuk mencari seseorang yang bernama Damar.

Sementara itu, di dalam bilik itu pun telah terjadi kegelisahan. Ketika Mahendra berkisar, maka pemimpin pengawal itu telah membentaknya, “Jangan berusaha lari”

“Tidak tuan. Aku tidak akan lari” jawab Mahendra.

Sementara itu, maka salah seorang pengawal yang mencari Mahisa Agni telah mendapat petunjuk, bahwa orang yang bernama Damar itu berada di rumah gamel kuda di sudut bagian belakang dari halaman istana itu.

“Ikut aku” perintah pengawal itu.

“Maksud tuan” bertanya Mahisa Agni.

“Ikut aku” pengawal itu membentak.

Mahisa Agni menjadi ketakutan, sementara gamel itupun menjadi berdebar-debar.

“Apa yang terjadi tuan?” bertanya gamel itu.

“Kau tidak turut campur. Kecuali jika ternyata kau terlibat pula dalam persoalan ini, maka kau akan digantung” bentak pengawal itu.

“Aku tidak mengerti” desis gamel itu. Pengawal itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi ditariknya Mahisa Agni dengan kasarnya.

“Ia baru sakit tuan” desis gamel itu.

“Aku tidak peduli. Jika ia akan mati, biarlah ia mati” geramnya.

Mahisa Agni tidak melawan. Ia mengikuti saja kemana ia di tarik dengan kasar. Namun demikian, ia masih juga berdebar-dobar, apakah ia akan dapat menyelesaikan seluruh rencananya dengan baik.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang bernama Damar itupun telah dihadapkan pula kepada Pangeran Kuda Padmadata yang telah menjadi garang. Ia tidak lagi menghiraukan orang-orang yang selama itu telah memagarinya dengan kekuasaan dan dan ancaman.

Ketika Mahisa Agni kemudian dibawa masuk kedalam bilik itu, maka dengan serta merta Pangeran Kuda Padmadata berkata, “Nah, apakah kalian sekarang percaya, bahwa orang ini memang pantas dicurigai?”

Tidak ada seorangpan yang menjawab. Mereka memang harus mengakui bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah mencurigai orang yang bernama Damar itu.

“He, hamba yang hina” berkata Pangeran itu, “cobalah jawab pertanyaanku dengan sebenarnya. Disini hanya ada aku, adik kandungku yang baik, seorang pemimpin pasukan pengawal, dua orang pengawalku yang paling setia. Diluar ada dua orang pengawal yang mengamati peristiwa ini dengan seksama dibawah perintah pemimpin pengawal ini. Dan beberapa orang lain berpencaran diluar”

“Apa yang kau katakan?” potong Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Aku memberikan gambaran kepadanya, bahwa ia tidak akan dapat ingkar menghadapi kenyataan ini” jawab Pangeran Kuda Padmadata. Lalu katanya kepada Mahisa Agni, “sekarang, jawablah. Apakah benar kau telah memanjat dinding istana ini, memasuki salah satu biliknya dan mengambil perhiasan itu?”

“Hamba Pangeran. Hamba telah melakukannya” jawab Mahisa Agni dengan tenang. Keterangan Pangeran Kuda Padmadata agaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas, siapakah yang bakal mereka hadapi. Dan agaknya Pangeran itupun siap menghadapi segala kemungkinan

Jawaban Mahisa Agni telah membuat orang-orang-yang berada di dalam bilik itu berdebar-debar. Pemimpin pengawal itupun kemudian meloncat maju dan dengan kasar merenggut rambut Mahisa Agni, “Jadi kaulah mencuri di istana itu?”

Mahisa Agni tidak mengeluh. Ia tidak berteriak kesakitan seperti orang yang disebut bernama Damar. Ia membiarkan rambutnya ditarik oleh pemimpin pengawal itu.

Namun Pangeran Kuda Padmadata yang membentaknya, “Aku sedang bertanya kepadanya. Lepaskan”

“Ia telah menghina kami” jawab pemimpin pengawal itu.

“Lepaskan”

“Biarkan ia melakukan tugasnya” potong Pangeran Kuda Rukmasanti, “kau tidak perlu memerintahkan apapun juga kepadanya”

“Aku Pangeran Kuda Padmadata” tiba-tiba Pangeran itu menjadi marah, “aku berkuasa di dalam istanaku. Aku akan memeriksa orang ini”

Kata-kata Pangeran itu ternyata masih juga berpengaruh. Namun demikian kedua pengawalnya mendekatinya. Salah seorang dari mereka berdesis, “Pangeran harus mengingat kedudukan Pangeran. Hamba akan membantu Pangeran apapun juga”

Tetapi jawabannya benar-benar mengejutkan, “Aku tidak memerlukan kalian lagi. Aku akan memeriksa orang ini”

Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun ternyata Pangeran Kuda Rukmasanti berkata, “Biarkan ia melakukannya”

Kedua pengawal itu melangkah surut. Sementara Pangeran Kuda Padmadata memandangi seisi ruangan itu berganti-ganti. Adiknya, kedua pengawalnya, pemimpin pengawal, kemudian orang-orang yang duduk bersimpuh di dalam bilik itu. Pedagang perhiasan, dua orang perantara yang menerima barang-barang itu dan menyerahkan kepada pedagang itu. Kemudian pekatik yang telah mengaku dengan terus terang mancuri barang-barangnya, tetapi yang telah berbisik kepadanya, bahwa ia adalah petugas sandi dari Singasari.

Sejenak Pangeran Kuda Padmadata mengurai keadaan. Wajah-wajah orang yang duduk bersimpuh itu akhirnya memberikan keyakinan kepadanya. Maka katanya kemudian, “Damar. Katakan yang sebenarnya, kenapa kau mencuri di istana ini?”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kemudian ia justru bertanya, “Tuanku, apakah hamba boleh mengatakan yang sebenarnya? Disini ada hamba, dan tiga orang yang bersangkut paut dengan hamba dan tugas hamba”

“Itu sudah cukup. Katakanlah”

Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu menjadi heran. Namun merekapun segera mendengar Mahisa Agni menjawab pertanyaan Pangeran Kuda Padmadata, “Pangeran, hamba memang mencuri di istana ini. Belum lama hamba mengabdikan diri di istana sebagai seorang pakatik”

“Untuk apa kau mencuri?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

Pertanyaan itu memang terdengar aneh di telinga adiknya dan para pengawal yang ada di dalam bilik itu.

“Ampun tuanku. Hamba mencuri karena hamba didorong oleh keinginan hamba untuk mengetahui isi istana ini. Bukannya karena hamba ingin memiliki perhiasan itu. Itulah sebabnya, maka hamba telah berusaha untuk dapat menyampaikan perhiasan yang telah hamba curi itu kembali ke istana ini. Kemudian hamba memang berharap untuk dipanggil bersama-sama seperti pada aat ini”

“Bagus” wajah Pengeran Kuda Padmadata menjadi cerah, “aku mengerti. Aku mendengar pesan yang kau berikan. Dan aku sekarang memahami apa yang kau lakukan”

“Apa yang telah dilakukannya” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Adinda” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kau adalah adikku yang baik. Yang memberikan kenangan yang manis di masa kanak-kanak kita, karena kita berdua berada dalam asuhan yang sama. Kita selalu bermain bersama, tidur dan makan bersama, meskipun kita kadang-kadang juga bertengkar. Tetapi pertengkaran itu telah memuncak justru saat kita sudah menjadi semakin tua. Nah, bertanyalah kepada orang-orang ini, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki”

Wajah Pangeran Kuda Rukmasanti menjadi merah. Dengan garang ia memandangi Mahisa Agni dan orang-orang lain yang masih duduk bersimpuh. Dengan lantang ia bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya. Kau tidak dapat berbuat gila disini. Aku dapat memerintahkan beberapa pengawal untuk bertindak”

Mahisa Agni memandang Pangeran Kuda Rukmasanti yang marah dan agak kebingungan itu. Ketika kemudian ia memandang pemimpin pengawal yang garang dan kemudian kedua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Maka Mahisa Agni pun kemudian berketetapan hati untuk segera menyampaikan maksudnya, dengan kesiagaan sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan akibat dari sikap dan perbuatannya itu.

Sementara itu Mahisa Bungalan telah menjadi semakin gelisah. Ia hampir tidak sabar lagi dengan sikap Mahisa Agni yang berkepanjangan.

Namun Mahisa Agni masih juga berkata, “Tuanku Pangeran Kuda Rukmasanti. Sudah sejak lama hamba mendengar ceritera tentang seorang Pangeran yang kehilangan dirinya sendiri. Hamba tidak begitu jelas persoalannya. Namun yang hamba ketahui, bahwa seorang yang tidak bersalah, telah dikejar-kejar oleh beberapa orang yang tidak berperi-kemanusiaan untuk dibunuh dan dihapuskan jejaknya”

“Gila. Apakah yang kau katakan itu? Aku bertanya kepadamu, dalam hubungan hilangnya perhiasan-perhiasan itu dari istana kakanda Pangeran Kuda Padmadata” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Hamba juga berceritera tentang perhiasan dan kenapa hamba telah mancurinya. Sebenarnyalah bahwa hamba sekedar ingin berhubungan langsung dengan Pangeran Kuda Padmadata” jawab Mahisa Agni, “hamba agaknya telah berhasil menyatakan kepada Pangeran, bahwa hamba datang untuk melihat keadaan yang timpang di dalam istana ini”

“Apa hubunganmu dengan peristiwa di istana ini?” bertanya Pangeran Kuda Rukmasanti dengan garang.

“Hamba adalah orang-orang yang tidak dangan sengaja telah terlibat dalam persoalan keluarga Pangeran Kuda Padmadata. Hambalah yang telah menyelamatkan seorang perempuan dan anak laki-lakinya yang mempunyai sangkut paut dan hubungan darah dengan Pangeran Kuda Padmadata. Nah, sekarang hamba ingin bertanya, siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu?”

“Nah” sahut Pangeran Kuda Padmadata, “baru sekarang aku pasti. Aku memang sudah memperhitungkan, bahwa isteri dan anakku itu akan menjadi sasaran kedengkian kalian”

“Hamba telah berhasil menyelamatkan mereka” berkata Mahisa Bungalan yang tidak sabar.

“Persetan” geram Pangeran Kuda Rukmasanti, “apakah kalian memang orang-orang gila yang dengan sengaja membunuh diri?”

“Sabarlah Pangeran” berkata Witantra, “memang agak sulit untuk menerima peristiwa ini. Tetapi hamba pun ingin bertanya, bagaimana dengan tuan puteri yang barangkali sekarang berada di istana ini pula?”

Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia bukan isteriku yang sebenarnya. Ia hadir bukan atas kehendakku. Aku sudah dibayangi oleh kekuasaan yang tidak kasat mata, tetapi tidak dapat aku tolak. Orang-orang yang membayangiku telah dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah menguasai isteri dan anakku yang aku tinggalkan di padukuhan. Sehingga mereka dengan demikian dapat memaksaku berbuat apa saja. Aku tidak mencemaskan umurku sendiri, tetapi aku tidak akan dapat membiarkan itu”

“Cukup kakanda” potong Pangeran Kuda Rukmasanti, “aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak akan mencabut keputusanku untuk membunuh perempuan dan anak laki-laki itu jika kau tidak menurut segala perintahku”

“Aku sudah berkata adinda, jika kau ingin memiliki segala harta dan kekayaan ini, ambillah. Tetapi jangan kau korbankan perempuan dan anak yang tidak bersalah itu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

“Aku tidak peduli” geram adiknya, lalu, “He kalian dapat bertindak apa saja yang kalian anggap baik. Juga terhadap orang-orang yang tidak tahu diri ini”

“Tunggu” berkata Mahisa Agni, “tuanku jangan tergesa-gesa menjatuhkan perintah. Sudah hamba katakan, bahwa perempuan dan anak laki-laki itu telah berhasil dibebaskan oleh kemenakanku itu. Kalian tidak akan dapat mempergunakannya lagi untuk memaksakan kehendak kalian. Bahkan ada disini pula, ayah perempuan itu, yang telah berusaha menyelamatkan anaknya dengan segenap kemampuan yang ada padanya”

“Siapa?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Ki Wastu” jawab Mahisa Agni.

“Ki Wastu ada disini?” desis Pangeran Kuda Padmadata.

“Persetan” geram Pangeran Kuda Rukmasanti, “jangan percaya. Kakanda. Jika kakanda masih mencintai perempuan padukuhan itu dan anaknya, jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan dapat memperpendek umurnya”

“Jangan cemas tuanku” potong Mahisa Bungalan, “hamba telah membebaskannya dengan tangan hamba. Dengan tangan ayah hamba dan paman-paman hamba”

“Siapa ayahmu?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Ayah hamba adalah pedagang itu. Yang tuanku tangkap karena ia telah membawa perhiasan yang memang diambil oleh paman Mahisa Agni”

“He, apa yang kau katakan” potong Mahisa Agni.

“O, maksudku, paman Damar”

“Katankanlah. Katakanlah nama kalian yang sebenarnya” minta Pangeran Kuda Padmadata, “permainan memang harus berakhir. Aku tidak akan mempertimbangkan nyawaku. Tetapi bahwa isteri dan anakku sudah kalian selamatkan, maka aku tidak akan takut lagi menghadapi segala kenyataan yang paling pahit sekalipun” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi dimanakah isteri dan anakku sekarang”

“Mereka berada di dalam istana Singasari” jawab Mahisa Agni.

Semua orang yang mendengar jawaban itu terkejut. Pangeran Kuda Padmadata, Pangeran Kuda Rukmasanti, para pengawal dan dua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Dengan nada tinggi Pangeran Kuda Padmadata bertanya, “Apakah pendengaranku tidak salah? Isteri dan anakku itu berada di istana Singasari?”

“Ya tuanku. Hambalah yang telah membawa mereka ke dalam istana. Atas perkenan tuanku Ranggawuni yang bergelar Wishnuwardhana, Maharaja di Singasari” jawab Mahisa Bungalan.

Pangeran Kuda Padmadata menjadi semakin tegang. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian”

“Sudah hamba katakan” jawab Mahisa Agni, “hamba adalah seorang petugas sandi dari Singasari yang ingin mengetahui keadaan tuanku yang sebenarnya”

“Bohong” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, “kalian adalah perampok-perampok yang sudah mempersiapkan ceritera itu pada saatnya kalian tertangkap. Ayo, bersiaplah untuk menerima hukumanmu. Bukan saja karena kalian telah mencuri, tetapi karena kalian telah membuat ceritera-ceritera khayal yang menyangkut nama baik Maharaja di Singasari yang kini berkuasa pula atas Kediri”

“Tepat” jawab Witantra, “memang kekuasaan Singasari kini meliputi Kediri. Bahkan Singasari telah meletakkan seseorang yang menjadi penghubung dari kepentingan daerah ini dengan kekuasaan di Singasari. Bukan saja saat ini, tetapi sejak beberapa saat yang lampau. Sejak Sang Amurwabumi berkuasa di Singasari”

“Apa hubungannya dengan pencurian yang kalian lakukan. Jangan membual lagi. Kami sudah siap menangkapmu sama sekali. Bahkan kami sudah siap untuk membungkam mulutmu dan membual itu. Kalian memang pantas dihukum gantung di halaman belakang istana ini” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Jangan tergesa-gesa tuanku” berkata Mahisa Agni, “hamba telah berhasil melihat kecurangan yang terjadi di istana ini. Ternyata tuanku, saudara muda Pangeran Kuda Padmadata telah berkhianat terhadap saudara tua yang mengasihi tuanku sejak masa kanak-kanak. Tuanku telah Sampai hati menjatuhkan perintah untuk membunuh perempuan dan anak yang tidak bersalah itu. karena tuanku menginginkan segala warisan dan kekayaan kakak kandung sendiri, termasuk perempuan yang mendapat gelar tuan puteri Kuda Padmadata, yang tidak lain adalah alat tuanku semata-mata”

“Tutup mulutmu” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Hamba belum selesai” potong Mahisa Agni, “ternyata bahwa maksud tuanku membunuh keluarga Pangeran Kuda Padmadata itu gagal. Sementara tuanku masih mempergunakannya sebagai alat untuk mengikat Kuda Padmadata, seolah-olah isteri dan anak itu merupakan piranti yang hidup untuk memaksakan kehendak tuanku, dengan mengancam keselamatannya. Padahal, pada saat yang sama tuanku benar-benar telah menjatuhkan perintah untuk membunuh”

“Pengkhianat” geram Pangeran Kuda Rukmasanti. “Kalian memang harus dibunuh” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, “siapkan para pengawal. Orang-orang ini tidak boleh keluar dari istana”

“Tidak ada gunanya Pangeran” berkata Witantra, “diluar masih ada kawan kami. Justru ayah dari perempuan yang akan tuanku bunuh itu”

“Iapun akan ditangkap dan dibunuh” geram Pangeran itu.

“Tidak” jawab Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan berbuat sesuatu apapun akibatnya. Aku tidak takut lagi bahwa anak dan isteriku akan terbunuh. Sekarang aku bersedia mati. Tetapi aku tidak akan tunduk lagi kepada kalian”

“Persetan” teriak adiknya, “kalian memang sedang membunuh diri”

Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun segera bersiap. Demikian pula kedua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Namun dengan sigapnya Pangeran Kuda Padmadata telah meloncat mengambil tempat, siap untuk bertempur menghadapi beberapa orang yang berada di dalam bilik itu.

Sementara itu, terdengar pemimpin pengawal itu meneriakkan perintah. Sejenak kemudian dua orang pengawal yang berada diluar pintupun telah meloncat masuk pula dengan senjata merunduk.

“Kalian tidak akan dapat melarikan diri” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Aku tidak akan melarikan diri” jawab Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan mati disini. Para hamba yang masih setia kepadaku dan tidak tahu menahu tentang kekuasaan bayanganmu akan berceritera kepada setiap orang bahwa aku mati terbunuh di dalam bilik ini. Kekuasaan Kediri dan Singasari tantu akan mencari sebab kematianku, sementara isteri dan anakku sudah selamat”

“Tidak usah orang lain” geram Mahisa Bungalan yang tidak sabar. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat berdiri, “biarlah kedua pamanku ini mengusut, persoalan ini. Keduanya adalah Senopati Agung bagi Singasari. Dan keduanya pernah berada di Kediri sebagai penghubung kekuasaan Singasari di sini”

Kata-kata itu telah mengejutkan pula. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Pamanku yang seorang adalah Mahisa Agni, yang pada permulaan kekuasaan Singasari atas Kediri telah berada di daerah ini”

“Mahisa Agni” desis Pangeran Kuda Padmadata, “aku memang pernah mendengar”

“Omong kosong” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti. Lalu iapun meneriakkan perintah, “bunuh mereka”

Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah bersiap mengahadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan tangkasnya. Tangannya tiba-tiba saja telah menyambar tombak yang berada di sudut ruangan, tegak di dalam tempatnya dalam jajaran dengan songsong kehormatan.

Ternyata seorang pengawal yang sudah mengetahui segala persoalan yang menyangkut kedua kakak beradik itu, dan memang dengan sengaja telah memilih pihak, yang dianggapnya akan sangat menguntungkan, yaitu Pangeran Kuda Rukmasanti, dengan sigap mulai meloncat menyusul Pangeran Kuda Padmadata.

Namun sebelum ujung senjatanya menyentuh Pangeran yang sedang menyambar tombak itu, tangan Mahisa Bungalan yang kuat telah menerkamnya. Adalah malang baginya, karena pada hentakkan pertama, Mahisa Bungalan telah menghantam tengkuknya, sehingga orang itu tidak sempat melawannya.

Dengan sigap Mahisa Bungalan merebut pedangnya. Ketika ia kemudian melepaskan orang itu sama sekali tidak mampu lagi untuk berdiri. Sehingga karena itu, maka iapun terjatuh pingsan. Sejenak kemudian, maka para pengawal dan Pengeran Kuda Rukmasanti pun telah menggenggam senjata masing-masing, sementara Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa Bungalan telah bersenjata pula.

“Jangan melawan” geram Kuda Rukmasanti, “segalanya akan sia-sia. Sebentar lagi, akan datang lebih banyak lagi orang-orang yang selama ini telah aku letakkan di istana ini, sementara hamba-hamba yang lain tidak akan berani berbuat sesuatu”

“Persetan” Mahisa Bungalan lah yang menjawab. Seolah-olah segalanya yang tertahan di dadanya, tiba-tiba saja telah melonjak, “Aku sudah terlalu lama menunggu kesempatan ini. Kau sudah terlalu lama menyiksa orang yang sama sekali tidak bersalah”

“Kau gila” Pangeran Kuda Rukmasanti hampir berteriak, “kau tahu, siapa aku?”

“Kau setan yang tidak pantas dihormati. Buat apa aku menghormatimu, memanggilmu dengan sebutan kehormatan, dan menyebut diriku dengan hamba sambil membungkuk dan menundukkan kepala dalam-dalam”

Pangeran Kuda Rukmasanti tidak dapat menahan gejolak hatinya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang Mahisa Bungalan sambil berteriak, “Cepat, bunuh semuanya”

Mahisa Bungalan sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu maka iapun segera mengelak dan meloncat ke sebelah lain dari ruangan itu. Katanya, “Disini kita akan bertempur”

Pangera Kuda Rukmasanti mengejarnya, sekali lagi menyerang. Namun senjatanya sama sekali tidak dapat menyentuh lawannya.

Sementara itu. kedua orang pengawal yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata itupun segera bertindak. Ia tidak ingin melepaskan Pangeran yang sudah sekian lamanya dibelenggunya dalam bayangan kekuasaan adik kandungnya. Karena itu, maka keduanya pun segera menyerangnya.

“Tanpa perasaan takut bahwa isteri dan anakku akan kalian korbankan, maka kau berdua adalah tikus-tikus celurut yang tidak berarti apa apa bagiku” geram Pangeran Kuda Padmadata.

Seberarnyalah bahwa keduanya ternyata tidak segera dapat menguasai Pangeran yang sudah bersenjata tombak itu. Bahkan kemudian ternyata, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang prajurit linuwih yang memiliki kemampuan memainkan senjata dengan tangkas. Meskipun ruangan itu tidak seluas medan, namun ia sama sekali tidak canggung mempergunakan sebatang tombak untuk melawan keduanya.

Sementara itu, pemimpin pengawal yang berada di dalam bilik itupun berteriak kepada pengawal yang tinggal seorang, karena kawannya yang bersama-sama memasuki bilik itu telah pingsan dan bahkan senjata telah berada di tangan Mahisa Bungalan, “Cepat. Panggil para pengawal yang lain”

Pengawal itu tidak menjawab. Iapun segera berlari keluar memanggil kawan-kawannya.

Mahisa Agni dan Witantra masih berdiri termangu-mangu. Namun ketika Pemimpin pengawal itu mendekatinya, maka Mahisa Agni berkata, “Apakah kita akan bertempur disini, atau di halaman?”

“Persetan. Aku bunuh kau berdua” geram pemimpin pengawal itu.

“Jika kau mampu lakukan. Tetapi sebaiknya diluar saja. Agaknya tempatnya lebih luas. kita tidak usah cemas bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan akan menjadi penonton dalam permainan ini” jawab Mahisa Agni.

Pemimpin pengawal itu tidak sabar lagi. Dengan serta merta ia menyerang. Namun Mahisa Agni dan Witantra dengan cepat telah meloncat keluar dari ruangan itu sambil berkata, “Pangeran. Agaknya lebih leluasa bertempur diluar”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi agaknya Pangeran Kuda Padmadata mendengarnya, sehingga iapun bergeser ke pintu dan dengan serta merta meloncat keluar pula, beberapa saat setelah pemimpin pengawal itupun telah keluar pula menyusul Mahisa Agni dan Witantra.

Yang kemudian tinggal di dalam adalah Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Rukmasanti. Ternyata keduanya masih muda dan memiliki kemampuan yang tinggi. Seperti juga Pangeran Kuda Padmadata, maka Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang prajurit pilihan yang memiliki kemampuan yang dahsyat. Tetapi lawannya adalah Mahisa Bungalan. Seorang anak muda yang pada usia mudanya telah memiliki pengalaman yang sangat luas karena perantauannya serta berbekal ilmu yang cukup.

Pemimpin Pangawal yang bersenjata pedang panjang itu dengan garangnya telah menghadapi Mahisa Agni dan Witantra yang tidak bersenjata. Namun agaknya kedua orang itu masih belum siap untuk bertempur. Bahkan Witantra masih juga bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan?”

“Membunuhmu” teriak pemimpin pengawal itu.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu sendiri” berkata Witantra, “letakkan senjatamu dan menyerahlah kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Pemimpin pengawal itu menggeram. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Witantra dengan ayunan mendatar. Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya. Senjatanya bagaikan menebas angin. Witantra dengan tangkasnya telah meloncat ke samping.

Kemarahan pemimpin pengawal itu telah membakar jantungnya. Ketika pedangnya tidak menyentuh Witantra, maka iapun segera melompat menyerang Mahisa Agni yang berdiri tidak terlalu jauh daripadanya. Tetapi seperti saat ia menyerang Witantra, maka pedangnya sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni. Dengan gerak yang sederhana, Mahisa Agni telah berhasil menghindari serangan pemimpin pengawal di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Sementara itu, maka Pangeran Kuda Padmadata sendiri dengan kemampuan ilmunya yang tinggi, telah membingungkan kedua orang yang selama beberapa saat membayanginya.

Mahendra yang kemudian berdiri di pintu memperhatikan pertempuran yang terjadi di halaman. dan sekali-sekali ia mengawasi anaknya yang bertempur melawan Pangeran Kuda Rukmasanti, karena bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang prajurit yang pilih tanding.

Namun agaknya bekal yang dibawa oleh Mahisa Bungalan pun telah mampu melindungi dirinya. Beberapa saat lamanya mereka bertempur di dalam bilik itu. Sekali sekali mereka berloncatan menghamburkan perabot-perabot yang bernilai tinggi dari istana Pangeran Kuda Padmadata itu. Tetapi mereka tidak lagi menghiraukan, apa yang mereka pecahkan dan apa yang mereka rusakkan.

Sementara itu. Pangeran Kuda Padmadata ternyata telah berhasil mendesak kedua lawannya. Tombaknya berputar dan mematuk dengan dasyatnya. Bahkan kadang-kadang kedua lawannya harus berlompatan beberapa langkah untuk mengambil jarak.

“Pangeran” teriak salah seorang pengawal yang selalu membayanginya, “tuanku telah kahilangan kesadaran. Pandanglah kami. Tuanku tidak akan dapat menentang kehendak kami”

“Apakah kau kira aku sudah menjadi gila?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata, “selama ini aku memang tunduk pada kehendakmu. Tetapi bukan karena aku takut kepadamu. Aku selalu kau bayangi dengan ancaman, bahwa kau akan mangorbankan isteri dan anakku. Tetapi sekarang, aku sudah mendapat kepastian, bahwa isteri dan anakku akan selamat. Karena itu, maka kalian berdua tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku. Kalian akan mati diujung tombakku sebagai suatu pernyataan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang prajurit, seorang laki-laki, tetapi juga seorang suami dan ayah memikirkan keselamatan anaknya. Namun pada saat yang tepat, aku akan manunjukkan, bahwa aku adalah Pangeran Kuda Padmadata. Aku berkuasa di istana ini, dan aku mampu melawan kau berdua tanpa mengeluarkan keringat”

“Bohong” teriak salah seorang pengawal itu, “isteri dan anak Pangeran masih tetap dalam kekuasaan kami”

Sebelum Pangeran itu menjawab, maka terdengar suara Mahisa Agni, “Aku menjadi jaminan, bahwa isteri dan putera laki-laki Pangeran sudah kami selamatkan. Kami sudah menempatkan mereka di tempat yang paling aman. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan ayah perempuan itu, telah membunuh orang-orang yang diupah untuk melakukan pengejaran dan pembunuhan atas mereka”

“Gila” geram Pangeran Kuda Padmadata. Namun dengan demikian, maka senjatanya menjadi semakin cepat berputar.

Dalam pada itu. pemimpin pengawal yang bersenjata pedang itu dengan garangnya menyerang Witantra dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tetapi ia sama sekali tidak dapat manyentuh mereka, sehingga seperti orang yang wuru ia mengamuk tanpa dapat berbuat apapun juga.

Namun sejenak kemudian, maka beberapa orang mulai mendekati arena. Orang-orang yang di tempatkan di istana itu oleh Pangeran Kuda Rukmasanti telah mendengar apa yang terjadi. Karena itu, maka merekapun segera mengepung arena perkelahian itu.

“Mereka datang” geram Pemimpin pengawal itu, “sebelum kalian menyadari apa yang terjadi, maka kalian telah terbunuh disini. Mayat kalian malam ini juga akan dilemparkan ke hutan untuk menjadi makanan anjing-anjing liar” Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan beberapa bayangan yang memutari tempat itu. Semakin lama menjadi semakin menyempit. Tiba-tiba dari antara mereka meloncat seorang anak muda di hadapan Mahisa Agni sambil menggeram, “He, kau orang tua gila. Apa yang kau lakukan disini”

Mahisa Agni memandang anak muda itu. Anak muda, yang sehari-hari menjadi pekatik meskipun ia tidak pandai menyabit rumput. “Aku sedang melihat perkelahian yang tidak atau jarang sekali terjadi di padukuhanku” jawab Mahisa Asni.

“Gila. Pergi atau aku cekik kau sampai mati”

Witantra yang semula memperhatikan orang itu, segera harus berloncatan, karena pemimpin pengawal itu telah menyerangnya pula dengan garangnya.

“Jangan melibatkan diri” berkata Mahisa Agni, “ aku tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Pangeran Kuda Rukmasanti. Tetapi sebaiknya, kau menyingkir saja”

“He, apakah kau sudah gila” bentak anak muda itu, “aku dapat membunuhmu”

Mahisa Agni tersenyum. Sementara itu justru Mahendra telah terlibat dalam perkelahian melawan beberapa orang yang mendekatinya. “Menyingkirlah anak muda” berkata Mahisa Agni, “besok aku ajari kau menyabit rumput”

Anak muda itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia meloncat menyambar kepala Mahisa Agni. Namun kali ini anak muda itu terkejut. Mahisa Agni tidak berteriak kesakitan dan minta maaf. Tetapi tangannya sama sekali tidak menyentuh apapun juga.

Mahisa Agni yang meloncat menghindari tangan pekatik muda itu tersenyum. Katanya, “Jangan terlampau garang. Sayang, bahwa aku sekarang bukannya pekatik tua yang membiarkan dirinya kau bentak-bentak”

“Siapakah kau?” geram pekatik muda itu.

“Baiklah aku katakan dengan terus terang agar kau tahu duduk persoalannya” jawab Mahisa Agni, “aku adalah petugas dari Singasari yang berkewajiban untuk mengetahui keadaan istana ini sebenarnya. Nah, kau tentu tahu maksudnya, karena kau tentu juga terlibat dalam persoalan ini”

“Persetan” geram anak muda itu, “sementara itu ia melihat beberapa orang kawannya telah semakin dekat, “kau dapat terbunuh tanpa ampun disini. Aku sudah curiga, bahwa kau bukan pekatik kebanyakan”

Mahisa Agni tidak menjawab. Beberapa orang sudah mengepungnya. Yang lain, bersama dengan pemimpin pengawal itu mengepung Witantra, sementara yang lain lagi bertempur melawan Mahendra.

Di dalam bilik itu, Mahisa Bungalan masih bertempur dengan sengitnya melawan Pangeran Kuda Rukmasanti. Pangeran dari Kediri itu sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat ia akan berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya. Bahkan beberapa orang lain yang datang bersamanya telah berusaha membongkar kelicikan yang telah dilakukan beberapa lama untuk menghapus keturunan kakak kandungnya yang kaya raya, sehingga segalanya akan dapat dimilikinya bersama seorang perempuan yang disebutkan sebagai isteri kakak kandungnya itu.

Tetapi agaknya ancaman yang selama itu dipergunakannya untuk menjerat kakak kandungnya, yaitu kematian isterinya dan anaknya, telah disingkapkan kenyataannya oleh orang-orang yang menyebut dirinya petugas sandi dari Singasari itu. Betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnyalah ia tidak dapat memaksakan kehendaknya atas lawannya itu.

Sementara itu, Pangeran Kuda Padmadata bertempur dengan marahnya melawan dua orang yang untuk beberapa lamanya selalu membayangi, sehingga sebenarnyalah. bahwa Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah muak kepadanya. Setiap kali kedua orang itu selalu menyebut isteri dan anak laki-lakinya jika ia membantah atau menentang kehendak mereka. Tetapi saat ia menyadari, bahwa keduanya tidak lagi dapat menakut-nakutinya lagi dengan nasib anak istrinya, maka iapun dapat menumpahkan segala gejolak perasaannya yang tertahan.

Dengan demikian, maka Pangeran itupun bertempur dengan sepenuh tenaga. Namun demikian kedua lawannyapun berusaha untuk melawannya. Keduanya adalah orang orang yang sudah terpilih untuk melakukan tugas mereka. Karena itu, merekapun pada saatnya merasa wajib pula untuk bertahan. Tetapi Pangeran Kuda Padmadata yang selama ini sama sekali tidak dapat menentang mereka berdua, tiba-tiba saja telah menjadi sangat garang. Tombaknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Sekali-kali berputar namun tiba-tiba tombak itu terjulur mematuk dengan dahsyatnya.

Agaknya kemarahan Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak tertahankan. Dengan segenap kemampuannya ia melibatkan kedua lawannya dalam putaran senjatanya yang bergulung-gulung seperti angin pusara. Betapa sulitnya berusaha untuk melepaskan diri dari kuasa kemampuan Pangeran Kuda Padmadata yang untuk beberapa lamanya justru berada di bawah kekuasaan mereka berdua.

Mahisa Agni yang berhadapan dengan pekatik muda itu beserta beberapa orang yang lain masih berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa. “Menyerahlah. Kalian tidak akan terlibat banyak pengkhianatan.”

“Lebih baik aku membunuhmu” geram pekatik muda itu, “aku akan menyesal bahwa kadang-kadang aku masih juga berbaik hati kepadamu. Jika tidak kemarin aku membunuhmu, maka sekarang aku akan mencekikmu.”

Pekatik muda itu masih akan berbicara terus. Tetapi Mahisa Agni sudah jemu mendengarnya. Karena itu sebelum ia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja terasa mulutnya menjadi sakit. Ia tidak tahu, kapan Mahisa Agni itu bergerak. Namun tiba-tiba saja bibirnya bagaikan menjadi pecah.

“Sebuah peringatan” desis Mahisa Agni, “aku dapat berbuat lebih keras terhadapmu dan terhadap siapapun”

Pekatik muda itu bergeser surut. Ketika ia mengusap bibirnya, terasa tangannya menjadi hangat. Dalam cahaya lampu yang lamat-lamat ia melihat warna merah telah mengotori jari-jarinya. “Darah” desisnya.

Namun dalam pada itu, iapun tiba-tiba berteriak, “Bunuh orang tua gila ini”

Beberapa orang yang memang di bawah perintahnya yang tersebar di istana itupun segera berloncatan maju. Namun satu demi satu mereka terlempar menjauh. Demikian mereka terjatuh, maka mereka merasa sulit untuk dapat bangkit kembali.

Demikian pula lawan Mahendra yang dikepung oleh beberapa orang. Bahkan tiba-tiba saja ia mendengar suara Ki Wastu, “Aku sudah berada di sini.”

Mahendra berpaling sejenak, sementara Ki Wastu berkata, “Maaf aku telah memasuki halaman karena aku mendengar keributan yang lamat-lamat.”

“Jadi keributan itu terdengar sampai di jalan di depan istana itu?” bertanya Mahendra.

“Tetapi tidak jelas. Karena aku sudah membayangkan apa yang terjadi, maka aku segera mengetahui, bahwa pertempuran telah terjadi.”

Mahendra mengangguk-angguk, sementara lawannya mengitarinya semakin rapat. Ketika beberapa orang menyerangnya, maka Mahendra pun berkata, “Jangan tergesa-gesa. Sebaiknya kalian memikirkan sekali lagi apa yang kalian kerjakan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi beberapa orang dari mereka telah terlempar, sementara yang lain tiba-tiba saja bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang luar biasa, sehingga mereka telah terlempar jauh. Agaknya Ki Wastu pun tidak tinggal diam. Ia pun telah mulai memasuki arena...

Panasnya Bunga Mekar Jilid 10

PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 04: Panasnya Bunga Mekar Jilid 10
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

“YA,” Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, “tetapi apakah ada kesempatan paman untuk memberitahukan hal itu kepada kami?”

“Aku tentu tidak akan membiarkan segalanya terjadi tanpa dapat terbuat sesuatu. Aku akan melihat gelagat dan perkembangan keadaan” jawab Mahisa Agni.”

Witantra dan Mahisa Bungalan kemudian tidak dapat berbuat lain kecuali menyetujui rencana Mahisa Agni untuk menghambakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata, apabila permohonannya dapat dikabulkan.

Di hari berikutnya, Mahisa Agni kembali mengkuti Ki Daredu ke padang rumput untuk menyabit, sekaligus untuk menemui pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata.

“Ha, kau Ki Daredu” sapa pemelihara kuda itu.

Ki Daredu pun mendekatinya sambil bertanya,, “Bagaimana? Apakah kau sudah ketemu dengan Ki Jurasanta?”

“Aku sudah menemuinya, ia tidak berkeberatan” jawab pemelihara kuda itu. Lalu, “Pekatik itulah yang merasa keberatan. Ia mempunyai seorang kawan yang dapat membantunya. Tetapi karena Ki Jurasanta sudah menyetujuinya, maka pekatik itu tidak dapat menolaknya lagi”

“Apakah ia berkeberatan?” bertanya Mahisa Agni, “jika kehadiranku dapat menggangu, maka aku tidak dapat melakukannya lebih jauh meskipun aku sangat memerlukan pekerjaan itu”

“Tidak” jawab pemelihara kuda itu, “aku sudah mengatakan kepadanya bahwa ada dua ekor kuda dan kemudian akan datang lagi seekor kuda yang lebih baik lagi ke dalam kandang kuda Pangeran Kuda Padmadata, sehingga ia memang memerlukan kawan. Daripada memanggil kawannya yang belum pasti bersedia, maka lebih baik menerima saudaramu yang sudah menyatakan dirinya untuk mengabdikan diri”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan persoalalan di kemudian hari?”

“Tidak. Anak itu sudah dapat mengerti setelah aku jelaskan kepadanya” jawab pemelihara kuda itu.”

“Syukurlah” desis Mahisa Agni, “jika demikian keluargaku akan merasa sangat senang”

“Kau dapat bekerja sejak besok” berkata pemelihara kuda itu, “jika kau tidak berkeberatan, ikutilah aku sekarang menemui Ki Jurasanta. Kau akan mendapat penjelasan. Apakah kau akan tinggal di dalam atau kau akan tinggal pada Ki Daredu”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “jika aku memang harus menghadap, aku akan datang”

Ki Daredu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Mahisa Agni kemudian mengikuti pemelihara kuda itu pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata. “Aku tidak mengeti, apakah yang sebenarnya yang dilakukannya” desis Ki Daredu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun mengikuti pemelihara kuda itu memasuki regol istana yang besar dari seorang Pangeran yang kaya raya bersama pemelihara kuda itu. Demikian kaki Mahisa Agni menginjak halaman dalam regol ia sudah merasa beberapa pasang mata mengikutinya. Di antaranya adalah pekatik muda yang masih belum trampil menyabit rumput itu.

“Aku memang harus berhati-hati” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Ketika ia kemudian dihadapkan kepada Ki Jurasanta. Maka Mahisa Agni pun telah merubah dirinya, benar-benar seperti seorang petani miskin. Sikapnya, kata-katanya dan kedunguannya.

“Jadi kau benar-benar ingin bekerja disini?” bertanya Ki Jurasanta.

“Ya Ki Jurasanta. Aku memang memerlukan pekerjaan. Aku senang sekali apabila aku dapat bekerja di sini”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Agni meneruskan keterangannya, “Aku berada di rumah kakang Daredu. Jika aku diperkenankan aku akan tetap berada di rumahnya, sementara siang hari aku berada di sini. Menyabit dan membantu apa saja dalam hubungannya dengan kuda-kuda itu”

“Apakah kau dapat naik kuda?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku pernah melakukannya ketika aku tinggal bersama pamanku dahulu. Tetapi ketika pamanku meninggal, aku tidak lagi pernah mencobanya”

“O, jadi kau pernah juga memelihara kuda di rumah pamanmu?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku membantunya memandikan kuda, menyabit rumput dan menyisir surinya. Bahkan aku pernah digigit lenganku oleh kuda pamanku” Mahisa Agni menjelaskan.

Ki Jurasanta tersenyum. Nampaknya ia senang melihat sikap dan kata-kata Mahisa Agni yang nampaknya sangat terbuka dan tanpa ulasan apapun juga. Katanya kemudian, “Baiklah. Kau dapat segera bekerja di sini. Siapa namamu?”

“Damar” jawab Mahisa Agni.

Ki jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sekarang kau boleh pulang. Besok pagi-pagi kau datang kemari. Kau akan mendapat keranjang dan sebuah sabit yang baik. Kau akan menyabit rumput bersama pekatik muda itu. Tetapi agaknya ia belum begitu pandai, namun ia rajin dan berkemauan untuk belajar. Karena itu, ajari saja anak itu agar ia segera dapat mengurangi pekerjaanmu”

“Baiklah Ki Jurasanta” jawab Mahisa Agni, “aku akan mencobanya jika ia bersedia. Tetapi jika ia tidak bersedia, aku tidak akan memaksanya”

“Ia adalah anak yang baik. Tentu ia tidak akan berkeberatan. Cobalah besok membantunya. Selama ini pemelihara kuda itu sendirilah yang turun ke padang rumput dan mengajarinya. Tetapi jika ada orang lain, maka ia akan tetap berada di dekat kandang saja tanpa meninggalkan binatang peliharaannya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi, apakah kehadiranku di sini tidak akan membuat Pangeran Kuda Padmadata menjadi murka, karena Pangeran itu belum pernah mengenal aku”

“Pangeran itu tidak banyak mengenal hamba-hambanya secara langsung. Tetapi Pangeran mempunyai beberapa orang kepercayaan. Tentang binatang peliharaan, Pangeran telah mempercayakan kepadaku. Sejak seekor burung peranjak di kandang yang berwarna merah dan kuning keemasan itu, sampai kepada kuda-kudanya yang tegar. Bahkan jika ada seekor harimau yang belum mendapat makannya, maka Pangeran akan menegurku” jawab Ki Jurusanta.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya lagi, “Apakah Ki Jurasanta sudah lama mengabdi kepada Pangeran Kuda Padmadata?”

Ki Jurasanta tertawa. Katanya, “Aku mengabdi di sini sejak ayahanda Pangeran Kuda Padmadata masih tinggal di sini”

Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Katanya, “Sudah lama sekali. Dengan demikian, Pangeran sudah mengenalmu sebaik-baiknya””

“Ya. Karena itu aku mendapat kepercayaan pada salah satu segi kegemaran Pangeran”

“Dengan demikian ada beberapa orang yang berkedudukan seperti Ki Jurasanta dalam bidang-bidang yang lain di sini?” bertanya Mahisa Agni kemudian.

“Sudah tentu. Ada orang yang menjadi manggala pada pasukan pengawal. Di istana ini ada sekelompok pengawal. Ada pula yang memimpin sekelompok hamba dalam yang mengatur segala sesuatu dalam istana itu, sampai kepada makan dan minum Pangeran”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi agar tidak menumbuhkan kecurigaan peda Ki Jurusanta yang baru saja mengenalnya. Tetapi bahwa ia sudah diperkenankan bekerja di tempat itu, maka sebagian dari tugasnya sudah dapat dilakukan dengan baik.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun minta diri untuk kembali ke rumah Ki Daredu. Di keesokan harinya ia akan kembali untuk mulai dengan pekerjaannya. Dengan langkah ringan Mahisa Agni meninggalkan istana Pangeran Kuda Padmadata. Ia tidak akan menjadi bingung untuk menemukan kembali jalan menuju ke rumah Ki Daredu, karena ia sudah mengenal jalan di Kediri sebaik-baiknya.

Namun, ketika terasa sesuatu menyentuh firasatnya, maka iapun berpaling. Dilihatnya dua orang berjalan mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Salah seorang dari keduanya adalah pekatik muda yang akan dibantunya belajar menyabit rumput.

Dada Mahisa Agni berdesir. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Ia berjalan saja seperti tidak ada prasangka apapun juga, meskipun ia menjadi berhati-hati. Ketika ia sampai di tempat yang terbuka, maka tiba-tiba saja pekatik muda itu memanggilnya, “Ki Sanak. Berhentilah sebentar”

Mahisa Agni menjadi berdebar. Tetapi iapun berhenti pula. Bahkan sambil tersenyum-senyum ia menyapa, “Kaukah pekatik muda itu? Aku mendapat tugas untuk mengajarimu besok”

Pekatik itu sudah berada selangkah di hadapannya. Sambil berdiri bertolak pinggang ia bertanya, “Kenapa kau bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata?”

“Kenapa?” Mahisa Agni mengulang. Tetapi iapun tertawa sambil berkata. “Kau bergurau. Aku sudah mencari pekerjaan di mana-mana. Sejak aku meninggalkan kampung halamanku. Tetapi baru kali ini aku mendapat pekerjaan setelah sekian lama aku membebani kakang Daredu”

“Kau sudah tua” berkata pekatik muda itu, “tetapi nampaknya tubuhnya masih kuat”

“O tentu anak muda. Aku masih kuat. Aku masih mampu menjinjing keranjang penuh dengan rumput yang hijau basah. Kau tidak percaya?”

Pekatik muda itu tertawa. Namun suara Mahisa Agni terputus ketika tiba-tiba saja anak muda itu memegang rambutnya dan kemudian merengutnya, “kau keras kepala”

Mahisa Agni terkejut Iapun kemudian bergeser surut. Dengan wajah ketakutan ia berkata, “Apa salahku anak muda”

“Kau tidak bersalah. Tetapi kau harus mengetahui, bahwa kau adalah hamba yang paling hina di istana Pangeran Kuda Padmadata. Kau tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hatiku dan apalagi membuat aku marah”

“Ya, ya. Aku tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyabit rumput. Aku akan membantumu, mengajarimu dan bekerja sebaik-baiknya agar aku mendapat upah yang cukup untuk makan sehari-hari”

Anak muda itu menyentuh dahi Mahisa Agni dengan jari-jarinya sambil berkata, “Hati-hatilah bekerja di Istana itu. Kau harus tunduk kepada perintahku”

Mahisa Agni memandang anak muda itu dengan wajah yang tegang dan ketakutan. Selangkah lagi ia mundur. Dengan suara gemetar ia berkata, “Aku tentu akan menurut segala perintahmu. He, tetapi bukankah ada Ki Jurasanta”

Tiba-tiba anak muda itu sekali lagi meremas rambut Mahisa Agni sambil berkata, “Katakan sekali lagi. Aku akun mengupas wajahmu dengan batu”

“Tidak. Tidak” Mahisa Agni menjadi semakin ketakutan, “kau harus tunduk kepadaku. Jika kau berani mengatakan hal ini kepada Ki jurasanta, maka kau tidak akan melihat matahari di keesokan harinya. Mengerti?”

“Ya, ya. Aku mengerti” jawab Mahisa Agni.

“Semua orang harus tunduk kepadaku” berkata anak muda itu, “pada suatu saat Ki Jurasanta pun akan tunduk kepadaku”

Mahisa Agni mengangguk-ungguk. Ia tidak berani berkata sesuatu lagi.

“Pergilah” bentak anak muda itu, “tetapi ingatlah. Ki Jurasanta hanya berkuasa dalam lingkungan istana itu saja. Tegapi aku berkuasa atas orang-orang yang aku kehendaki dimanapun juga ia berada, dan aku kuasa untuk mencabut jiwanya, siapapun yang tidak aku sukai”

“Jangan, jangan" minta Mahisa Agni.

“Ingat-lngatlah” berkata anak muda itu sambil mendorong Mahisa Agni sehingga Mahisa Agni itu terjatuh karenanya.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni pun meninggalkan anak muda itu dengan ketakutan. Namun beberapa langkah kemudian, ketika ia sudah membelakanginya, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

“Aku sudah mengira” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri” anak itu tentu bukan pekatik seperti kebanyakan pekatik. Ia di tempatkan oleh seseorang yang dengan ketatnya mengawasi isi istana itu. Hamba-hambanya dan orang-orang yang berhubungan dengan para hamba di sini. Ia menakut-nakuti orang-orang yang berhubungan dengan isi istana itu, agar tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu diluar pengetahuan mereka”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni mengetahui sebagian dari keadaan istana itu. Orang yang berkepentingan dengan warisan Pangeran Kuda Padmadata agaknya sudah memasang jaring-jaring yang kuat dan rapat.

Namun Mahisa Agni pun menjadi cemas, bahwa orang orang yang demikian benar-benar tidak akan mempunyai belas kasihan kepada siapapun juga. Usaha pembunuhan atas perempuan yang pernah menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya itu tentu tidak akan dihentikan, sebelum perempuan dan anak laki-lakinya itu benar-benar mati.

“Tetapi apakah Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak mengetahui akan rencana itu, atau justru ia telah menyetujuinya karena suatu penyesalan bahwa ia sudah kawin dengan seorang perempuan padesan dan mempunyai seorang anak laki-laki. Atau mungkin atas permintaan isterinya yang cantik dari katangan tataran yang sederajad atau mungkin, mungkin dan seribu macam kemungkinan."

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai ke rumah Ki Daredu dan menceriterakan hal itu kepada Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Kita sudah melihat satu jalur” berkatara Witantra ketika Mahisia Agni menceriterakannya tentang pekatik muda itu. Lalu, “Ia tentu salah satu dari tangan orang yang ingin membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu”

“Kemungkinan terbesar adalah demikianlah” berkata Mahisa Agni, “meskipun mungkin hal itu dilakukan karena ia menjadi sakit hati, bahwa aku telah diterima bekerja bersamanya”

“Ya, tetapi kemungkinan yang pertamalah yang terbesar” berkatalah Mahisa Bungalan.

“Aku sependapat” sahut Mahisa Agni, “tetapi aku pun harus memperhitungkan dan menilai semuanya sebaik-baiknya tanpa didorong oleh sekedar prasangka dan ketergesa-gesaan”

“Pamanmu harus berhati-hati” berkata Witantra ambil tersenyum, “jangan sampai ia menunjuk sasaran yang salah”

Mahisa Agni pun tersenyum pula sambil berkata, “Apakah anak-anak muda tidak telaten lagi bekerja seperti kita yang tua-tua ini”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Tetapi itu tidak berarti bahwa aku tidak berhati-hati dan memperhitungkan segala kemungkinan paman”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun dalam pada itu Mahisa Agni pun berkata, “Kakang Witantra, apakah tidak sebaiknya kita berterus terang kepada Ki Daredu, sehingga jika terjadi sesuatu, ia tidak menjadi sangat terkejut. Mungkin orang-orang itu akan mengambil sikap lebih keras lagi pada suatu saat”

Witantra mengangguk-angguk. Iapun sebenarnya sudah memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan atas Ki Daredu. Jika ia tidak mengetahui sama sekali, apa yang dikerjakan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka pada suatu saat ia akan manjadi terkejut sekali, dan bahkan mungkin akan dapat mengganggunya ketenangan hidupnya sekeluarga.

“Tetapi kitapun harus berhati-hati” berkata Witantra, “mungkin terasa terlalu lamban. Tetapi kita harus menyakinkan Ki Daredu bahwa yang kita lakukan akan bermanfaat bagi Pangeran Kuda Padmadata sekeluarga. Dan bahkan mungkin akan mencakup lingkungan yang lebih luas dari satu jaringan kejahatan yang akan menjalar di seluruh Kediri”

“Tetapi masalah ini lebih banyak berkisar pada masalah keluarga ini saja paman” sahut Mahisa Bungalan.”

“Ya” jawab Witantra, “namun mereka telah berhubungan dengan banyak pihak. Karena itu, mudah-mudahan Ki Daredu dapat mengerti dan tidak berkeberatan, justru akan membantu kita sejauh dapat dilakukan”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia memang melihat kemungkinan bahwa jaring-jaring kejahatan ini benar-benar sudah masuk ke dalam satu lingkungan yang mempunyai pengaruh yang kuat. Bahkan tidak mustahil, bahwa sebenarnyalah yang terjadi di dalam lingkungan keluarga Pangeran Kuda Padmadata itu sekedar bayangan dari kekuasaan kejahatan. Karena itu, maka mereka pun telah bersepakat untuk mengatakannya kepada Ki Daredu, meskipun Ki Daredu untuk seterusnya diharap agar berpura-pura tidak mengetahuinya.”

Ketika Ki Daredu mendengar keterangan itu, maka wajahnya pun menegang. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Itulah agaknya, aku melihat beberapa perubahan telah terjadi d! dalam istana Pangeran Kuda Padmadata, meskipun tidak begitu jelas. Hamba melihat beberapa orang baru di dalam lingkungan mereka. Hamba melihat perubahan yang samar-samar pada kebiasaan Pangeran itu. Ia tidak lagi sering nampak berjalan-jalan sambil menuntun seekor macan kumbang yang masih sangat muda”

“Apakah para hambanya yang sudah lama berada di istana itu tidak melihat perubahan itu, sedangkan kau yang tidak menghambakan diri kepada Pangeran itupun sempat melihatnya”

“Justru kepada hamba-hambanya mungkin Pangeran itu dapat memberikan beberapa keterangan sehingga tidak menumbuhkan persoalan bagi mereka” jawab Ki Daredu.

“Menarik sekali” gumam Witantra, “karena kau memang harus menjadi sangat berhati-hati”

“Ya” desis Mahisa Agni, “ada seribu kemungkinan yang telah terjadi”

Dalam pada itu Ki Daredu berkata, “Tuanku, jika hamba dapat membantu apapun yang harus hamba lakukan, hamba akan bersedia, karena justru hamba telah mengenal tuanku”

Mahisa Agni tersenyum Katanya, “Pada saatnya mungkin aku sangat memerlukanmu”

Ternyata Ki Daredu justru telah menyatakan kesediaannya untuk berbuat apa saja. Ia yakin bahwa maksud Mahisa Agni dan Witantra yang pernah berada di Kediri itu tentu bukan maksud yang buruk.

Demikianlah, maka dihari berikutnya, Mahisa Agni telah datang ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan wajah yang kecut ia memandang pekatik muda yang telah lebih dahulu duduk di sebelah kandang.

“Jangan banyak tingkah” desis pekatik muda itu. Mahisa Agni memandanginya sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk sambil berdesis perlahan, “Aku akan menyabit rumput”

Pekatik muda itu tidak menjawab. Ternyata bagi Mahisa Agni telah disediakan segala keperluannya. Tanpa banyak berbicara, Mahisa Agni pun kemudian menjinjing keranjang dan sabitnya menuju ke padang rumput bersama pekatik muda yang telah lebih dahulu bekerja di istana itu.

Di sepanjang jalan, ternyata pekatik muda itu masih saja menakut-nakuti. Dengan garang ia menggeram, “Kakek tua, kau harus menyadari kedudukanmu. Kau membuat aku kecewa karena kau telah bekerja di sini, sehingga dengan demikian kesempatan bagi kawanku itu telah hilang”

“Jika demikian, aku akan mengajukannya kepada Ki Jurasanta, bahwa kesempatan itu seharusnya diberikan kepada kawanmu” jawab Mahisa Agni.

“Aku sobek mulutmu” geram anak muda itu, “semuanya sudah terlanjur. Kau kira Ki Jurasanta akan mendengar alasan itu? Ia justru akan marah kepadaku. Orang tua itupun pada suatu saat harus dibungkam. He!, jangan berbuat sesuatu yang dapat mengurangi umurmu. Kau kira sabitku ini tidak dapat aku pergunakan untuk menggorok lehermu?”

“Ah” Mahisa Agni berdesis. Tetapi diluar sadarnya iapun mengamat-amati sabitnya sendiri.

“Kau akan melawan he? Kau menganggap bahwa karena kau juga membawa sabit, maka kau tidak gentar menghadapi aku?” bentak anak muda itu.

“Tidak. Bukan begitu” Mahisa Agni menjauh, “aku tidak berpikir begitu”

“Kenapa kau mengamat-amati sabitmu pula?” bertanya anak muda itu.

“Aku tidak tahu, kenapa aku berbuat begitu” jawab Mahisa Agni.

Anak muda itu terdiam sejenak. Tetapi wajahnya nampak gelap, dan sikapnya memang menakutkan. Tetapi anak muda itu justru telah menarik perhatian Mahisa Agni. Ia merasa beruntung, bahwa ia mendapat kesempatan bekerja bersama anak muda yang agaknya darahnya masih cepat mendidih.

Di hari pertama. Mahisa Agni tidak mendapat kesulitan apa-apa. la bekerja dengan sungguh-sungguh bersama pekatik muda yang nampaknya juga seorang yang rajin. Ia mematuhi segala petunjuk Mahisa Agni. Ia mempergunakan sabitnya seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni. Pekatik itu benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh. Namun setiap kali anak muda itu mengumpat Bahkan mengancam sehingga Mahisa Agni menjadi canggung karenanya.

“Jangan menunjukkan sikap yang dapat mencekik lehermu. Berbuatlah sewajarnya. Kau harus memberi aku petunjuk-petunjuk untuk menyabit rumput. Jika kau gila, aku akan menyabit lehermu sampai putus di padang ini.”

Mahisa Agni benar-benar tidak berbuat sesuatu. Ia melakukan apa yang dikatakan oleh anak muda itu. Dihari pertama Mahisa Agni telah menyabit rumput sampai tiga rambahan. Meskipun keranjang anak muda itu tidak sepenuh keranjang Mahisa Agni, namun pekatik muda itupun melaksanakannya sebanyak yang dilakukan oleh Mahisa Agni pula, sehingga kuda-kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu tidak akan kekurangan rumput lagi.

Dua tiga hari berlalu tanpa perubahan. Mahisa Agni masih tetap mengajari anak muda itu menyabit. Anak muda itupun masih saja selalu mengumpat dan menakut-nakutinya. Namun yang tiga hari itu telah memberikan lebih banyak lagi gambaran tentang istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Aku tidak boleh berlama-lama” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “Mahendra tentu menjadi gelisah. Mungkin ia mempunyai dugaan yang mencemaskan”

“Tetapi Mahisa Agni pun sadar, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa. Di Istana itu terdapat banyak orang yang mengawasi lingkungannya. Sementara Mahisa Agni masih harus mencari keterangan tentang hubungan antara Pangeran itu dengan isterinya yang ditinggalkannya. Namun akhirnya Mahisa Agni mendapat kesempatan itu. Ketika ia berbaring di belakang kandang, diluar dugaan maka Ki Jurasanta pun telah mendekatinya.

“Apakah rumput kuda itu sudah cukup?” ia bertanya.

Mahisa Agnipun segera bangkit sambil menjawab dengan serta-merta, “sudah Ki Jurasanta”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Lalu ia bertanya pula, “Kau sendiri? Dimana pemelihara kuda dan pekatik muda itu?”

“Ia baru saja pergi. Mungkin ke sungai atau ke warung. Anak itu masih sering singgah di warung kecil ini. Mungkin karena ia masih belum mempunyai tanggungan seorang pun juga, sehingga ia dapat mepergunakan uangnya sesuka hati”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kau harus membantu memelihara kuda itu baik-baik. Pangeran Kuda Padmadata adalah penggemar kuda yang teliti,“

“Ya, ya. Agaknya Pangeran juga seorang pemburu, desis Mahisa Agni.

“Benar. Seorang pemburu biasanya seorang penggemar kuda, karena dengan kuda itulah ia mendapat kegembiraan yang setinggi-tingginya. Jika ia berhasil mengejar buruannya, maka seorang pemburu akan mendapatkan kepuasan tersendiri” berkata Ki Jurasanta.

“Aku akan membantu memelihara kuda itu” desis Mahisa Agni. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah Pangeran sakarang juga sering berburu?”

“Jarang sekali. Bahkan akhir-akhir ini tidak sama sekali. Pangeran nampak lesu dan kurang gairah” berkata Ki Jurasanta, “agaknya ada perubahan yang terjadi atas dirinya”

“Perubahan?” bertanya Mahisa Agni.

“Pangeran sering menyendiri. Ia tidak lagi suka bercanda dengan para pengiringnya, bahkan abdi-abdi kinasihnya tidak banyak lagi mendapat kesempatan untuk menghadap”

“Apakah ada yang dipikirkannya, atau ada satu peristiwa yang telah mengguncangkan perasaannya?”

“Nampaknya tidak pernah terjadi sesuatu” jawab Ki Jurasanta, “Tiba-tiba saja terjadi demikian”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi, agar tidak menarik perhatian, sehingga seseorang mencurigainya. Namun keterangan itupun merupakan bahan yang perlu mendapat pertimbangan dan pengamatan.

Segala yang diketahuinya, telah disampaikan oleh Mahisa Agni kepada Witantra dan Mahisa Bungalan. Namun dengan gelisah Mahisa Bungalan bertanya, “Jadi apakah yang dapat aku lakukan sekarang paman”

“Menunggu” jawab Mahisa Agni.

Witantra tersenyum melihat wajah Mahisa Bungalan. Katanya, “Menunggu memang pekerjaan yang paling menjemukan. Tetapi biasakanlah telaten menunggu. Akupun seperti yang kau lakukan”

Mahisa Agni pun tersenyum pula. Katanya, “Aku akan berbuat sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya”

Dihari berikutnya, untuk pertama kali Mahisa Agni melihat Pangeran Kuda Padmadata berjalan-jalan di halaman. Sambil melihat-lihat kebun bunganya, maka Pangeran itu sekali-kali singgah pula pada sangkar binatang pemeliharaannya sangkar seekor burung kecil, sampai ke kandang harimau lorengnya. Dua orang pengiringnya dengan cermat mengikutinya dan memberikan beberapa keterangan yang diperlukan.

“Itukah Pangeran?” bertanya Mahisa Agni kepada juru pemelihara kuda.

“Ya” jawabnya.

“Pengawalnya nampaknya setia sekali” desis Mahisa Agni.

“Itu adalah hamba-hamba baru di istana ini. Tetapi karena mereka pandai membawakan diri dan sesuai dengan keinginan dan kehendak Pangeran, maka mereka kini menjadi abdi kinasih”

Mahisa Agni tidak bertanya lagi, karena pekatik muda itupun mendekatinya. Ketika anak itu duduk di belakangnya ia berdesis perlahan-lahan, “Kau melihat apa?”

“Itukah Pangeran?” Mahisa Agni bertanya.

“Ya, itu Pangeran, jangan bertanya terlalu banyak agar mulutmu tidak aku sumbat dengan sabit”

Mahisa Agni terdiam. Ia tidak berani bertanya lagi. Namun dalam pada itu. matanya yang tajam segera melihat sesuatu yang agak ganjil. Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah tidak lagi mempunyai kehendak apapun juga. Kedua pengiringnya itulah yang seakan-akan menentukan, kemana Pangeran itu harus pergi, dan untuk apa Pangeran itu melihat-lihat.

“Aneh” desis Mahisa Agni yang hanya melihat dari kejauhan.

“Apa yang kau lihat, sampai biji matamu akam meloncat” geram pekatik muda itu.

“Pangeran itu tampan sekali” desis Mahisa Agni dengan dungunya, “pakaiannya menyilaukan. Berapa umurnya? Nampaknya ia masih muda”

Pekatik muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Namun kemudian ia melihat bibir Mahisa Agni tersenyum-senyum nampaknya. betapa dungu pekatik tua itu. “Kau belum pernah melihat seorang bangsawan dari dekat?” bertanya Pekatik muda itu.

“Belum. He, berapakah umurnya? Tidak lebih tua dari anakku” desis Mahisa Agni.

“Tua bangka. Tentu Pangeran itu masih sangat muda” geramnya.

“Tetapi, yang manakah isterinya?” tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, seolah-olah demikian saja tanpa sengaja meloncat dari bibirnya.

Pertanyaan itu ternyata tidak menarik perhatian pekatik muda itu. Bahkan ia menjawab, “Di dalam. Isterinya cantik sekali. Tetapi iapun jarang keluar seperti Pangeran itu sendiri”

“Tentu seperti bulan. Pangeran Kuda Padmadata seperti matahari” desis Mahisa Agni sambil tersenyum-senyum.

“Kau mulai menjadi gila” geram anak muda Itu, “jika kau melihat betapa cantiknya puteri, maka kau akar benar-benar menjadi gila”

“Ah, kegilaan orang tua tidak akan berbahaya. Tetapi, apakah kau yang masih muda menjadi gila juga?” bertanya Mahisa Agni.

Pekatik muda itu memandang juru pemelihara kuda yang telah bergeser menjauhinya. Kemudian ia menjawab, “Aku memang ingin menyobek mulutmu. Pertanyaanmu tidak layak kau ucapkan”

“Eh, aku minta maaf” desisnya, “aku hanya bergurau”

“Untunglah, gamel itu sudah menjauh. Jika gamel itu mendengarnya, maka ia tentu akan berpikir buruk meskipun kau hanya bergurau”

Mahisa Agnipun berpaling kepada pemelihara kuda yang sudah berada di sisi lain dari kandang itu. Katanya, “Gamel itu rajin sekali. Apakah ia sudah lama menjadi juru pemelihara kuda?”

“Belum” tetapi tiba-tiba pekatik muda itu menggeram, “anak setan. Jangan bertanya tentang apa saja. Kau sudah melihat Pangeran, dan kau menjadi kebingungan, karena kau tidak mempunyai cukup perbendaharaan kata-kata untuk memujinya. Itu sudah cukup”

Mahisa Agni tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih tetap tersenyum-senyum melihat Pangeran yang tampan itu. Kesan di wajahnya tidak berupah sama sekali ketika dadanya kemudian berdesir, melihat sikap kedua orang pengiringnya. Ketika Pangeran itu mencoba untuk memaksa berjalan terus, masuk ke kebun di belakang istana, make kedua orang pengiringnya itu telah menghambat langkahnya. Meskipun sambil terbungkuk-bungkuk namun Mahisa Agni dapat menangkap isyarat, bahwa kedua pengiringnya telah memaksa Pangeran Kuda Padmadata untuk kembali ke halaman depan.

Kesan yang ditangkap dari peristiwa itu, telah membuat uraian yang panjang di dalam hati Mahisa Agni. Demikian, ketika Mahisa Agni kemudian kembali ke rumah Ki Daredu, maka bersama Mahisa Bungalan dan Witantra, ia telah mencoba mengurai arti dari penglihatannya.

“Mahisa Agni” berkata Witantra, “ternyata menurut pendapatku, Pangeran Kuda Padmadata bukan lagi seorang yang bebas menentukan sikap. Agaknya ia telah dikuasai oleh seseorang yang telah memaksakan kehendaknya atas Pangeran yang malang itu. Dengan tidak diketahui oleh orang lain, maka seseorang telah menempatkan orang-orangnya di istana itu, dan sekaligus menguasainya”

“Pangeran itu telah kehilangan dirinya dan kebebasannya” sahut Mahisa Bungalan, “agaknya ia perlu bantuan saseorang untuk membebaskannya”

“Aku sependapat” sahut Mahisa Agni, “tetapi untuk melakukannya tentu bukan pekerjaan yang mudah. Di istana itu terdapat banyak sekali hamba yang ternyata pengawal-pengawal yang mengawasi Pangeran muda yang malang itu”

“Jadi, apakah menurut pendapatmu Mahisa Agni” bertanya Witantra.

“Aku akan mengawasi keadaan semakin cermat. Aku akan melihat-lihat kemungkinan yang lebih baik untuk dapat berhubungan langsung dengan Pangeran itu”

“Tentu sulit sekali” berkata Witantra, “kedua orang itu tidak akan melepaskan pengawasannya”

“Itulah yang akan aku lihat dengan cermat. Apakah kemungkinan untuk melakukannya itu ada” jawab Mahisa Agni.

Witantra mengangguk-angguk. Katanya, “Terserah kepadamu. Mudah-mudahan kau menemukan jalan yang segera dapat kita tempuh”

Ternyata bahwa Mahisa Agni pun telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Bahkan ia sudah melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh pekatik yang manapun juga. Disaat-saat senggang maka iapun telah membersihkan rumput di halaman belakang, sekaligus mengumpulkan rumput itu ke dalam keranjang.

“Kau telah melakukan satu kebodohan” bentak pekatik muda yang melihat tingkah lakunya. ”kau kira, yang kau kerjakan itu menguntungkan?”

“Tentu anak muda. Kita tidak usah pergi ke padang. Ternyata rumput di kebun ini tidak kalah segarnya. Apalagi dengan demikian, kebun ini akan nampak lebih bersih dan rapi” jawab Mahisa Agni.

“Kau memang pemalas. Kenapa kau tidak pergi ke padang?” bertanya pekatik muda itu.

"Tentu aku akan pergi. Tetapi cukup dengan dua rambatan saja. Sementara di kebun dan halaman yang luas ini, kita akan mendapatkan rumput satu keranjang penuh setiap hari. Hari ini di kebun belakang, besok di sisi kanan, lalu sisi kiri, halaman depan dan di taman” jawab Mahisa Agni, “apakah itu bukan pikiran yang sangat bagus dari seorang pekatik tua?”

“Gila” geram pekatik muda itu. Tetapi iapun menganggap bahwa pikiran Mahisa Agni itu wajar, karena sebenarnyalah di kebun dan di halaman istana itu terdapat banyak sekali rumput yang hijau segar diantara kebun bunga dan kebun buah-buahan di kebun belakang.

Namun dengan tingkah lakunya itu, Mahisa Agni telah berhasil mengawasi sebagian besar dari lingkungan istana, itu. Ia melihat dengan cermat dinding halaman dan pintu-pintu butulan. Dengan demikian maka Mahisa Agni dapat mengetahui, bagian manakah yang mendapat pengawasan kuat dari para pengawal di istana itu, dan yang manakah yang tidak sama sekali.

Tetapi Mahisa Agnipun tidak lengah, bahkan ia menyadari sepenuhnya, bahwa di antara juru taman, para pengawal dan lebih-lebih lagi para pengawal dalam, adalah orang-orang yang bertugas untuk mengawasi Pangeran Kuda Padmadata dan orang-orang yang berhubungan dengan Pangeran itu.

“Aku kira Pangeran itu tidak terlibat dalam usaha pembunuhan atas isteri dan anaknya” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, “mungkin ia mengetahui rencana itu, tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mencegahnya”

Karena itulah maka Mahisa Agni telah bekerja keras untuk berusaha menghubungi Pangeran itu dengan cara apapun juga. Namun agaknya hal itu tidak mungkin dilakukannya. Kedua orang yang menjadi pengawalnya itu seakan-akan tidak pernah berpisah barang sekejappun.

“Bukan main” gumam Mahisa Agni, “suatu perbuatan yang tidak kepalang tanggung. Agaknya Pangeran Kuda Padmadata yang kaya itu seakan-akan sudah mati di dalam hidupnya. Ia menjadi tawanan tanpa dapat melawan sama sekali”

Tetapi Mahisa Agni tidak berputus asa. Ia masih berusaha untuk melihat segala sesuatu yang mungkin dapat dipakainya sebagai pancadan menemui Pangeran Kuda Padmadata.

“Apakah aku harus mempergunakan kekuasaan Maharaja di Singasari untuk memanggil Pangeran Kuda Padmadata” sebuah pertanyaan telah memercik di hati Mahisa Agni.

Tetapi Mahisa Agni tidak dapat melakukannya, karena ia tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Jika cara itu ditempuh dan justru memperpendek umur Pangeran itu, maka ia akan terpercik oleh suatu kesalahan yanga tidak disengajanya. Karena itu, Mahisa Agni tidak menempuh cara itu. Ia tidak minta kepada Maharaja di Kediri agar memanggil Pangeran Kuda Padmadata dan bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi dengan keluarganya.

Ketika Mahisa Agni di hari berikutnya, sedang sibuk nencuci dan kemudian memotong rumput pendek dan mencampur dengan dedak dan sedikit air, ia sudah kejutkan oleh kehadiran seorang anak muda yang tampan dan bertubuh kekar. Wajahnya berseri sementara pakaiannya yang bagus dan dibeberapa bagiannya berbalut permata, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kaya raya pula.

“He, siapakah kesatria itu?” bertanya Mahisa Agni yang di sebut Damar itu kepada juru pemelihara kuda.

“Ia adalah adik Pangeran Kuda Padmadata” jawab gamel itu.

“Adiknya. O, pantas sekali. Gagah, tampan dan nampaknya ia adalah seorang yang ramah”

“Tetapi ia adalah seorang anak muda yang keras” jawab gamel itu.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Belum lagi ia habis memuji, maka terdengar derap seekor kuda yang lain memasuki halaman. Kemudian Mahisa Agni melihat beberapa emban yang turun dari pintu samping berlari-lari lewat seketeng ke halaman depan.

“Apa yang terjadi?” bertanya Mahisa Agni.

“Tuan puteri telah datang” jawab gamel itu.

“Tuan puteri, isteri Pangeran Kuda Padmadata?” bertanya Mahisa Agni.

“Dari mana?”

“Dari rumah ayah bundanya. He, bukankah kau tau bahwa ia masih saja mondar-mandir dari rumah orang tuanya ke istana ini. Ia biasanya datang diantar oleh adik Pangeran Kuda Padmadata."

“Apakah aku boleh melihat?” bertanya Mahisa Agni.

“Apa yang kau lihat? Itu tuan puteri. Kenapa kau tiba-tiba saja ingin melihat” bertanya juru pemelihara kuda itu.

“Bukankah aku belum pernah melihat. Menurut keterangan, puteri itu jarang sekali keluar. Aku kira ia berada di istana ini. Kenapa tiba-tiba saja ia baru datang”

Gamel itu tersenyum. Katanya, “Kau tidak pernah melihat puteri itu keluar. Dan sekarang kau lihat puteri itu datang dengan tandu dari rumah ayah bundanya. Kenapa kau tidak bertanya, kapan puteri itu berangkat?”

“Ya, kapan?”

“Kemarin sore, ketika kau sudah kembali ke rumah Daredu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi seolah-olah diluar sadarnya iapun kemudian berjalan ke seketeng. Dari regol ie melihat, seorang puteri yang turun dari sebuah tandu yang dipajang dengan kain berwarna cerah. Gamel itu mengikutinya di belakangnya. Ia tersenyum melihat wajah Mahisa Agni yang aneh.

“Kau benar-benar orang padesan yang paling dungu. Kenapa kau menjadi begitu heran melihat tuan puteri”

“Ia naik tandu yang bagus sekali. Apakah tandu itu dibuat dari emas?”

“Sebagian. Tidak seluruhnya” jawab juru pemelihara kuda itu.

Mahisa Agni pun kemudian melihat beberapa emban telah melayani puteri itu turun. Kemudian mereka mengikutinya naik ke pendapa. Yang berada di pendapa bukannya Pangeran Kuda Padmadata, tetapi adiknya, seorang anak muda yang tampan dan gagah sekali. Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya, “Kenapa Pangeran Kuda Padmadata tidak menyambut kedatangan isterinya?”

“Tentu, tetapi ia menyambut di ruang dalam, di depan sentong tengah”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tidak bertanya lebih banyak lagi ketika ia melihat pekatik muda itu datang mendekatinya.

“Kenapa kau disini setan!” geram pekatik muda itu.

Jawaban Mahisa Agni benar-benar tidak diduga-duga oleh pekatik muda itu. Katanya, “He, apakah kau tidak melihat? Tandu yang bagus sekali. Seorang puteri yang sangat cantik dengan pakaian yang belum pernah aku lihat. He. apakah yang dipakai di lengannya itu”

“Gila” geram pekatik muda itu, “kau benar-benar orang dungu. Kau belum parnah melihat kelat bahu?”

“Gadis-gadis padesanku juga memakai binggel. Tetapi dari akar-akaran. Sedangkan binggel puteri itu terbuat tentu dan emas”

“Kau sempat melihat binggelnya pula?”

“Ya. Ketika puteri itu turun dari tandu, kainnya tersingsing sampai di atas mata kaki, sehingga binggelnya kelihatan”

“Gila. Kau orang tua yang tidak tahu diri” Tetapi pekatik muda itu tidak dapat marah lagi, karena yang dilihatnya adalah wajah Mahisa Agni yang dungu, bodoh dan sama sekali tidak dibayangi oleh maksud-maksud apapun juga.

“Sudahlah” berkata pekatik muda itu, “jangan terlalu berterus terang tentang kedunguanmu. Kembalilah ke kandang. Atau barangkali sudah saatnya kita pergi ke padang”

Mahisa Agni masih memandang tandu yang kemudian disingkirkan masuk ke seketeng sebelah lain dan disimpan di ruang yang khusus. Dalam sebuah bangsal yang berhubungan dengan bangsal penyimpanan pusaka dan benda-benda berharga dari istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Mahisa Agni tidak tahu lagi, apa yang terjadi di dalam ruang dalam. Tetapi Mahisa Agni mulai membayangkan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata itu tidak dapat berbuat apapun lagi atas kehendaknya sendiri. Dan iapun mulai curiga, bahwa isterinya itupun bukannya seorang puteri yang setia.

“Dua orang yang nampaknya sebagai pengawalnya yang setia, adiknya yang tampan dan puteti yang cantik itu agaknya bagaikan sebuah penjara besi berlapis tiga yang sangat kuat dan tidak akan mungkin dapat dipecahkannya dengan kekuatannya sendiri” berkata Mahisa Agni di dalam hati.

Namun dengan demikian, maka Mahisa Agni berketetapan untuk segera berbuat sesuatu. Jika tidak mungkin dengan kekuatannya sendiri bersama Witantra dan Mahisa Bungalan, maka ia tidak akan segan-segan untuk minta pertolongan Panji Kudasuwana.

Tetapi agaknya Mahisa Agni masih ingin membatasi usahanya tanpa mengganggu kekuasaan Singasari di Kediri. Atas persetujuan Witantra dan Mahisa Bungalan, maka mereka bertiga, pada malam hari berikutnya, telah mendekati istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan pengenalannya, maka Mahisa Agni telah berusaha untuk memasuki istana itu, sementara Witantra dan Mahisa Bungalan harus berjaga-jaga di luar dinding, bersembunyi dibalik rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu.

Sebagaimana yang telah dikenalnya, maka Mahisa Agni telah memasuki halaman istana itu lewat bagian belakang, di bagian yang tidak terlalu ketat mendapat pengawasan. Dengan kemampuannya yang hampir sempurna, maka Mahisa Agni berhasil memasuki halaman. Dengan hati-hati ia merayap mendekati bangunan istana yang cukup besar. Dengan pasti ia tahu, yang manakah bilik tidur Pangeran Kuda Padmadata meskipun ia belum pernah memasuki istana itu. Tetapi dengan tidak langsung ia mendapat gambaran dari pembicaraan-pembicaraan yang nampaknya tidak sengaja dan tanpa arah.

Dengan sangat hati-hati pula Mahisa Agni pun kemudian meloncat naik keatas atap. Dengan mengerahkan kemampuannya, iapun merambat dengan lambat sekali melampaui bumbungan. Kemudian merangkak turun di antara dua bumbungan yang tinggi. Atap pendapa dan atap bagian dalam istana Pangeran Kuda Padmadata. Untuk beberapa saat Mahisa Agni menungggu. Dengan cermat ia mencoba mendengarkan, apakah dibawah atap itu masih terdengar suara satu dua orang yang sedang berbicara.

“Sepi” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. Sejenak Mahisa Agni masih menunggu. Namun iapun kemudian mulai mencoba berbuat sesuatu. Dengan hati-hati ia merayap tepat di atas bilik pembaringan Pangeran Kuda Padmadata. Sekali lagi ia merapatkan telinganya untuk mendengar, apakah benar-benar orang di dalam istana itu sudah tidur.

Namun justru hatinya menjadi berdebaran. Sesaat kemudian ia mendengar suara lemah sekali, “Aku akan tidur. Kau yang berjaga-jaga”

“Tidurlah” sahut suara yang lain, “tetapi sampai kapan kita harus mengawalnya. Aku sudah mulai jemu berpura-pura menjadi budaknya”

“Kita belum tahu pasti, apakah perempuan dan anak laki-lakinya itu sudah terbunuh. Beberapa saat yang lampau mereka berhasil meloloskan diri. Seorang yang tidak dikenal telah membebaskannya dan bahkan kemudian berhasil menyembunyikan perempuan itu bersama anak laki-lakinya”

“Tetapi ia tidak akan dapat lepas dari jaring terakhir. Mereka akan diketumukan. Dan mereka akan mati. Barulah kita bebas dari tugas ini, karena semuanya menjadi gamblang. Pangeran yang malang itu akan mendapat kecelakaan. Warisannya akan jatuh ke tangan isterinya yang cantik itu, karena ia adalah satu-satunya keluarganya. Tentu saja adik laki-lakinya itupun akan terlibat dalam pembagian warisan, meskipun sebenarnya hal itu tidak diperlukan benar secara resmi dilakukan”

“Namun waktu telah berlarut-larut. Dan kita belum mendengar beritanya”

“Tidurlah. Aku akan menungguinya”

Sejenak kemudian menjadi sepi kembali. Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat gambaran, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak seandainya ia berhasil memasuki istana itu, Karena di dekat bilik itu. seseorang telah menjaganya dengar cermat. Sementara di sekitar istana itu, beberapa orang pengawal beringas dengan senjata telanjang. Sebuah perintah yang diteriakkan oleh salah seorang dari mereka yang menungguinya itu berarti, seluruh pengawal yang berada di halaman itu akan bersiap dan mengepungnya.

“Itu tentu kurang baik” berkata Mahisa Agni di dalam hati, “mungkin aku akan dapat meloloskan diri. Tetapi akibatinya akan menimpa Pangeran yang malang itu.”

Namun tiba-tiba saja Mahisa Agni mendapat pikiran yang lain. Ia akan memberikan kesan yang berbeda dari para pengawal. Jika ada orang yang melihatnya, maka ia tidak lebih dari seorang pencuri yang menginginkan harta Pangeran Kuda Padmadata yang sangat berlimpah. Karena itu maka Mahisa Agni pun bergeser pula. Ia tidak lagi berada di atas bilik Pangeran yang kaya itu, tetapi kehilangan dirinya itu.

Dengan hati-hati, Mahisa Agni telah membuka bumbungan di atas dudur samping. Dengan sangat berhati-hati. Kemudian iapun perlahan-lahan membuka raguman. Kekuatan Muhisa Agni adalah kekuatan yang luar biasa, sehingga dengan jari-jarinya ia telah berhasil memutus tali-tali ijuk pada atap rumah Pangeran Kuda Padmadata yang kuat itu.

Kemampuan Mahisa Agni memang berlebihan, jika ia sekedar ingin melakukan pencurian. Segalanya dapat dilakukan tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Sehingga akhirnya atap istana itupun telat terbuka, sehingga cukup luas untuk menyusup masuk ke dalam.

Dengan sangat hati-hati, Mahisa Agnipun kemudian meloncat turun. Kakinya bagaikan kaki seekor kucing yang liat dan sama sekali tidak menimbulkan bunyi apapun. Dengan demikian, maka orang yang menunggui Pangeran Kuda Padmadata di dalam ruang di sebelah bilik Pangeran itu, sama sekali tidak mendengarnya.

Ruang itu memang sepi. Mahisa Agni telah berhasil memasuki sebuah ruang yang tidak begitu luas. Tetapi ruang itu adalah ruang yang sangat mahal, karena di dalam ruang itu tersimpan beberapa bagian perhiasan Puteri yang cantik itu.

Meskipun perhiasan yang tersimpan di dalam sebuah peti yang terletak di dalam geledeg kayu itu hanyalah sebagian dari perhiasannya yang dipakainya sehari-hari, sementara perhiasannya yang lebih mahal lagi disimpan di bangsal perbendaharaan, namun barang-barang itu mempunyai nilai yang cukup tinggi.

Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Di sebelah ruang itu adalah bilik pembaringan puteri. Diantarai oleh sentong tengah, maka terdapat bilik tempat tidur Pangeran Kuda Padmadata. Sedang di bilik berikutnya, yang menghubungkan rumah induk dengan gandok, terdapat orang-orang yang mengawal Pangeran Kuda Padmadata.

Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Ia sadar, bahwa di sebelah bilik itupun tentu terdapat ruang satu atau dua orang pengawal. Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati. Dengan perlahan-lahan sekali, Mahisa Agnipun kemudian membuka peti yang tersimpan di dalam geledeg itu. Diambilnya beberapa buah perhiasan yang mahal. Kemudian dibawanya perhiasan itu meninggalkan ruangan.

Dengan loncatan yang ringan Mahisa Agni berhasil menggapai dudur atap istana itu di tempat yang telah dibukanya. Lewat lubang saat ia meluncur masuk, maka iapun telah menyusup keluar. Sejenak Mahisa Agni menunggu. Sejenak, maka iapun mulai merangkak ke bibir atap.

Ketika ia merasa aman, maka iapun segera meloncat turun. Dibawah teritisan. ia meninggalkan sebuah perhiasan yang diambilnya. Kemudian, ketika ia berlari sambil membungkuk-bungkuk ke kebun di belakang istana itu, maka ia pun telah melepaskan sebuah perhiasan lagi. Demikian pula ketika ia sampai di dinding belakang. Ia telah meletakkan satu lagi perhiasan itu, tetapi tidak tepat di tempat ia meloncat naik. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak meninggalkan bekas di tempat yang sebenarnya.

Ketika Mahisa Agni telah berada diluar, maka iapun segera menemui Witantra dan Mahisa Bungalan. Nampaknya Mahisa Bungalan telah tidak sabar lagi menunggu

“Ia hampir saja menyusulmu” desis Witantra. Mahisa Agni tersenyum. Katanya, “Untunglah bahwa kau belum melakukannya”

Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi sebenarnya lah ia telah menjadi gelisah dan tidak telaten menunggu. Mahisa Agni pun kemudian menceriterakan apa yang dialaminya dalam perjalanan mereka kembali ke rumah Ki Daredu.

“Memang sulit” gumam Witantra, “jika kau datang kembali di malam-malam berikutnya, maka keadaannya pun akan serupa. Kau tidak akan dapat menjumpai Pangeran itu tanpa pengawasan”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam, “Apakah tidak ada jalan lain kecuali menghubungi Panji Kudasuwana”

“Itu adalah jalan yang dapat segera ditempuh” sahut Mahisa Bungalan.

“Tetapi apakah jalan itu tidak berbahaya bagi Pangeran Kuda Padmadata itu sendiri” desis Mahisa Agni.

“Kita harus tegas. Pangeran Kuda Padamadata harus dengan tiba-tiba dipisahkan dari orang-orang yang mengelilinginya” geram Mahisa Bungalan, “kemudian Pangeran itu dipertemukan dengan isteri dan anaknya yang terpisah daripadanya itu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi iapun sedang berpikir keras, apakah yang sebaiknya dilakukan.

Dalam pada itu, ketika seorang penjaga istana Pangeran Kuda Padmadata yang sedang meronda, terjaga dari tidurnya oleh kokok ayam dipagi hari, maka iapun segera berbenah diri. Kawannya yang lain telah lebih dahulu terbangun dan sebelum meninggalkan tugasnya, lebih dahulu dilihatnya ruang di sebelah. Tetapi nampaknya pintu masih tertutup, sehingga ia tidak memperhatikannya lebih lama lagi.

Kedua orang penjaga itupun kemudian meninggalkan bilik tempatnya bertugas. Di siang hari, tempat itu tidak ditunggui oleh seorang pengawalpun. Setelah kedua pengawal itu melaporkan diri ke gardu induk bagi para pengawal di dalam istana Pangeran Kuda Padmadata itu, maka merekapun segera meninggalkan halaman istana kembali ke rumah masing-masing. Mereka mendapat kesempatan untuk berada di antara keluarganya pada hari-hari tertentu setelah mereka menjalankan tugas sepekan penuh.

Namun agaknya pada malam terakhir dari tugas mereka, istana itu telah digemparkan oleh kenyataan, bahwa atap di atas bilik penyimpanan perhiasan isteri Pangeran Kuda Padmadata telah terbuka. Seorang pelayan dalam yang akan membersihkan bilik itu terkejut ketika dilihatnya bilik itu nampak tidak seperti biasanya. Beberapa jenis perabotnya berserakan, dan ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya cahaya yang jatuh dari atap yang sudah berlubang.

Sambil berteriak pelayan itu berlari ke gardu para pengawal. Dengan suara terbata-bata ia melaporkan apa yang telah dilihatnya. Sejenak kemudian, istana itu menjadi gempar. Para pengawal menjadi sangat sibuk, sementara dengan tegas pemimpin pengawal itu berteriak, “Panggil kedua pengawal yang bertugas di bilik ini semalam”

Namun dalam pada itu, kegemparan telah terjadi. Dalam kesibukan itu, Mahisa Agni sebagai seorang pekatik telah memasuki halaman. Tidak seorang pun yang menghiraukannya. Para pengawalpun tidak. Tidak seorangpun yang akan menghubungkan peristiwa yang menggemparkan itu dengan seorang pekatik tua yang berjalan tertatih-tatih sambil membawa keranjang dan sabit.

Adalah suatu kebetulan, bahwa pekatik muda yang selalu mengawasinya tidak berada di kandang. Seperti para abdi yang lain, mereka telah berkerumun di sekitar pintu butulan. Karena itu, maka Mahisa Agni pun telah ikut pula mendekat dan berdiri di antara para hamba yang lain.

“Apa yang telah terjadi” bertanya Mahisa Agni kepada seorang juru taman.

“Ada seorang atau lebih pencuri yang memasuki bilik itu” desis juru taman.

“O” Mahisa Agni terkejut. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

Namun dalam pada itu, kegemparan yang lain telah terjadi. Seorang pengawal telah menyentuh seuntai berlian di bawah teritisan. Hampir terpekik ia berkata, “Aku menemukannya”

Para pengawal pun segera mengerumuninya. Sebenarnyalah bahwa ia telah menggenggam satu dari perhiasan yang hilang dari bilik itu. Tetapi kegemparan berikutnya telah terjadi pula. Orang lain telah menemukan perhiasan yang lain di balik tananam perdu. Kemudian disusul oleh yang lain lagi. Dengan demikian, maka para pengawalpun telah mengikuti arah dari barang-barang yang ditemukan itu. Agaknya barang-barang itu telah terjatuh ketika pencurinya melarikan diri.

Sejenak kemuadian para pengawal pun telah sibuk meneliti semua keadaan di sepanjang jalur yang telah ditemukan sebagai jejak dari arah yang ditempuh oleh pencuri yang telah berhasih memasuki bilik itu.

Pada saat yang sibuk dan tegang itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata berada di dalam biliknya ditunggui oleh seorang emban dan adik Pangeran Kuda Padmadata. Bagaimanapun juga peristiwa itu telah menggetarkan jantungnya, sehingga ia menjadi ketakutan dan berdebar-debar.

“Jangan cemas” adik Pangeran Kuda Padmadata itu berusaha untuk menenangkan, “tidak terjadi apa apa. Pencuri itu memang gila. Tetapi yang berhasil dibawa tentu tidak berarti sama sekali” ia berhenti sejenak, lalu, “cobalah kau tenangkan hatimu, kemudian kau sempatkan sejenak untuk melihat, apa saja yang telah hilang”

Isteri Pangeran Kuda Padmadata itu tidak menjawab Tetapi ia berusaha untuk menenangkan dirinya barang sejenak.

Sementara itu, selagi para pengawal sibuk meneliti keadaan dan dua orang pengawal khusus itupun sedang berusaha melihat dengan teliti apa yang telah terjadi, Pangeran Kuda Padmadata sendiri berdiri termangu-mangu di pintu butulan. Bahkan iapun kemudian turun ke halaman belakang untuk melihat para pengawal yang sedang memperhatikan arah dari jejak pencuri yang telah berhasil memasuki istana.

Kesempatan yang tidak mungkin dapat dilewatkan oleh Mahisa Agni. Saat yang sekejap itu benar-benar berharga bagi Mahisa Agni. Adalah jarang sekali terjadi bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah terpisah dari dua orang pengawal khususnya.

Pada saat Pangeran itu sedang merenungi orang-orang yang sedang diributkan oleh peristiwa itu, maka Mahisa Agnipun menyusup kesamping dan berjalan terbungkuk-bungkuk lewat di belakang Pangeran Kuda Padmadata. Saat yang sangat berharga itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya. Tepat di belakang Pangeran itu ia berdesis perlahan-lahan, “Hamba adalah petugas sandi dari Singasari yang ingin mengetahui keadaan Pangeran yang sebenarnya”

Mahisa Agni sama sekali tidak berhenti. Ia berjalan terus, dan menyusup lagi diantara orang-orang yang berkerumun.

Sekilas Kuda Padmadata berpaling. Ia melihat Mahisa Agni yang berhenti beberapa langkah dari padanya diantara beberapa hambanya yang kemudian didorong oleh para pengawal untuk menyingkir.

“Pergi, jangan mengganggu tugas kami. Kembali kepada perkejaan kalian masing-masing. Biarlah kami yang mengurusi masalah ini” teriak pemimpin pengawal.

Ketika para hamba istana itu kemudian melangkah surut karena mereka didesak oleh para pengawal, Pangeran Kuda Padmadata masih dapat mengenali Mahisa Agni yang berdiri diantara mereka.

“Siapakah orang itu?” pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya. Demikian banyak abdi di halaman Istana itu, hingga Pangeran itu tidak mengenalnya seorang demi seorang. Namun Pangeran yang telah kehilangan kebebasannya itu sempat mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Mahisa Agni.

Dalam pada itu, maka ketika dua orang pengawal yang bertugas di bagian dalam istana, dan berada di sebelah bilik yang telah berhasil dimasuki oleh seorang pencuri atau lebih itu datang, perhatian pimpinan pengawal tertuju sepenuhnya kepada mereka. Dengan tegang ia memerintahkan kedua orang itu masuk ke dalam bilik yang khusus untuk didengar keterangannya.

Ternyata kedua pengawai itu terkejut bukan kepalang. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa bilik itu telah terbuka di bagian atapnya dan seorang pencuri telah berhasil mengambil beberapa buah barang perhiasan. Sehari penuh para pengawal meneliti segala macam jejak yang mungkin dapat mereka ketemukan. Bukan saja di dalam halaman, tetapi juga diluar halaman.

Namun dalam pada itu, mereka sama sekali tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas atau jejak yang dapat mereka pergunakan untuk mencari jalur yang dapat membawa mereka kepada suatu dugaan, siapakah yang telah menghina para pengawal istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Ketika kemudian isteri Pangeran itu sudah menjadi agak tenang dan berhasil melihat dan menyebut barang-barangnya yang hilang, ternyata bahwa sebagian dari barang-barang itu telah dapat diketemukan kembali. Hanya sebagian kecil sajalah dari perhiasan itu yang tidak diketemukan.

“Pencuri itu tentu dalam keadaan tergesa-gesa” berkata adik Pangeran Kuda Padmadata.

“Tetapi ini benar-benar suatu penghinaan” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Namun seorang dari kedua pengawalnya yang terdekat itupun berkata, “Ampun Pangeran. Biarlah para pengawal mengurusnya. Jika ini suatu penghinaan, maka para pengawallah yang paling merasa terhina”

“Ya, tetapi bukankah kita dapat berusaha untuk mencari jejaknya. Meskipun seandainya tidak dapat diketemukan” berkata Pangeran itu.

“Pangeran tidak perlu berbuat sesuatu. Kami menganggap bahwa hal ini tidak usah disampaikan kepada siapapun juga. Juga tidak perlu didengar oleh para bangsawan, karena dengan demikian maka aib kita akan bertebaran sampai kemana-mana”

“Aku setuju” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “meskipun aku tahu latar belakang dari sikap kalian. Kalian tidak ingin selembar seratpun yang dapat menghubungkan istana ini dengan pihak luar”

“Kakanda tidak usah mengatakan hal itu” berkata adiknya, “apa yang telah terjadi, biarlah terjadi. Kadang-kadang kita memang harus menyerah kepada nasib. Baik atau buruk”

“Aku tidak menyesali nasib. Tetapi aku tidak mau menerima penghinaan ini. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan kalian” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

“Lalu apa yang akan kakanda kerjakan?” bertanya adiknya.

“Mungkin orang yang-memasuki bilik itu adalah salah seorang dari para pengawal kita sendiri, atau para abdi yang lain” Pangeran itu berhenti sejenak, lalu, “karena itu. aku ingin menemui mereka seorang demi seorang”

Kedua pengawalnya terdekat tertawa. Katanya, “Suatu usaha yang sia-sia Pangeran”

“Tidak. Aku tidak akan berusaha apapun juga bagi diriku sendiri. Kau berdua dapat mengikuti segala persoalan yang akan aku lakukan dalam penelitian ini”

Salah seorang dari kedua pengawal itu menyahut, “Jangan memikirkan apapun juga. Pangeran adalah orang yang paling mukti di negeri ini. Tanpa berbuat apapun juga. Pangeran dapat menikmati hidup ini sepuas-puasnya”

Diluar sadarnya Pangeran Kuda Padmadata berpaling kearah isterinya. Namun yang terdengar adalah suara tertawa adiknya, “Ia bukan isteri kakanda yang sebenarnya. Jika kakanda ingin menikmati hidup ini, lakukanlah. Tetapi tidak dengan puteri yang seorang ini”

Seisi ruangan itupun meledak dengan suara tertawa. Sementara puteri yang dalam dunia bayangan Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi isterinya, menunduk dalam-dalam. Meskipun ia juga tersenyum, namun wajahnya menjadi merah padam.

“Ia adalah seorang isteri yang tugasnya hanyalah menerima warisan semata-mata” berkata adiknya, “tidak dalam tugas-tugas yang lain”

Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku ingin bertemu dengan setiap orang di lingkungan istana ini. Siapapun boleh ikut mendengar apa yang akan aku tanyakan kepada mereka”

Kedua pengawal itu ragu-ragu. Namun ketika adik Pangeran itu mengangguk, maka salah dari seorang para pengawal itu berkata, “Baiklah Pangeran. Hamba akan memanggil mereka seorang demi seorang”

Demikianlah maka semua hamba dan pengawal di dalam istana itu telah dipanggil seorang demi seorang memasuki sebuah bilik khusus. Di samping Pangeran Kuda Padmadata sendiri, maka di dalam bilik itu hadir pula kedua pengawalnya yang paling dekat itu.

Seorang, demi seorang telah ditanya oleh Pangeran Kuda Padmadata. Siapakah mereka, dan apakah yang mereka lakukan dalam tugas mereka sebagai hamba. Pangeran Kuda Padmadatapun bertanya, dimana mereka berada semalam. Apakah mereka tidak berada di halaman istana atau disekitarnya.

“Tidak ada gunanya Pangeran" berkata salah seorang pengawalnya, “mereka tentu akan mengatakan bahwa mereka tidak berada di halaman, jika mereka tinggal di bagian belakang dari halaman istana ini, mereka akan mengatakan bahwa mereka sedang tidur nyenyak. Mereka sama sekali tidak beranjak dari pembaringan.”

“Tetapi aku dapat melihat seseorang yang berbohong. Aku dapat melihat sorot matanya dan barangkali gagap bicaranya.” berkata Pangeran Kuda Padmadata.

Betapapun menjemukan, namun pertanyaan Pangeran itu berlangsung terus. Seorang demi seorang telah memasuki bilik itu. Akhirnya, seorang pekatik tua telah memasuki bilik itu. Dengan tubuh gemetar ia merangkak mendekat ketika salah seorang pengawal Pangeran itu memanggilnya.

“Siapa namamu?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Nama hamba Damar, Pangeran” jawab pekatik tua.

"Dimana kau tinggal? Di bagian belakang dari halaman ini?" bertanya Pangeran itu pula.

“Tidak Pangeran. Hamba tinggal di rumah saudara hamba”

Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk, iapun kemudian bertanya seperti pertanyaan-pertanyaan yang pernah di sampaikan kepada para hamba yang lain.

Tidak ada kesimpulan apapun yang didapatkan dari pembicaraan itu. Namun dengan demikian, Pangeran Kuda Padmadata mengetahui, bahwa orang yang menyebut dirinya petugas sandi dari Singasari itu adalah seorang pekatik bernama Damar.

Ketika Mahisa Agni kemudian meninggalkan ruang itu, maka Pangeran Kuda Padmadata berkata kepadaa pengawal itu, “Aku mencurigai orang itu meskipun aku tidak pasti. Mungkin aku keliru. Tetapi dari antara semua orang yang memasuki bilik ini, maka orang itu mempunyai pertanda yang paling mungkin untuk melakukan pencurian, atau setidak-tidaknya ia memberikan beberapa petunjuk terhadap pencuri yang sebenarnya"

“Aku tidak melihat pertanda seperti itu,” sahut seorang pengawal.

“Mungkin kau tidak melihat. Tetapi aku ingin memperhatikan orang itu. Jika pada suatu saat, pencuri yang sebenarnya dapat diketemukan. maka dugaanku ternyata keliru.”

Dalam pada itu, isteri Pangeran Kuda Padmadata sudah dapat memastikan barang-barangnya yang hilang. Lebih dari separo dari barang-barang itu dapat diketemukan di halaman, karena barang-barang itu agaknya terjatuh. Namun masih ada beberapa perhiasan yang lain yang benar-benar telah hilang dari istana itu.

Meskipun yang dilakukan oleh Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah tidak ada gunanya, tetapi bagi Pangeran itu sendiri, seolah-olah telah memberikan satu kemungkinan untuk membuka jalur keluar istana lewat pekatik itu.

Sementara itu, Mahisa Agni pun merasa, bahwa yang dibisikkannya kepada Pangeran itu telah mendapat tanggapan. Ia merasa kagum juga terhadap kejernihan pikiran Pangeran itu. Meskipun ia nampaknya sudah terkungkung oleh kekuasaan yang sulit untuk diatasinya, namun ia tidak berputus asa. Ia berusaha untuk dapat memecahkan dinding yang mengelilinginya dengan cara apapun juga.

Yang mengalami nasib yang kurang baik adalah kedua orang pengawal yang bertugas di sebelah bilik yang telah dimasuki oleh Mahisa Agni. Keduanya terpaksa untuk sementara tinggal di dalam bilik pengawasan, karena mereka masih akan diperiksa lebih saksama lagi.

Peristiwa itu, telah diceriterakan oleh Mahisa Agni kepada Witantra dan Mahisa Bungalan, ketika pada sore hari Mahisa Agni kembali kerumah Ki Daredu.

“Kita harus mencari jalan” berkata Mahisa Agni, “aku masih mempunyai sebagian dari perhiasan yang aku ambil.”

“Maksudmu?” bertanya Witantra.

“Kita sudah mendapat keterangan lebih jelas. Dengan demikian, maka kita sudah dapat melihat, siapakah yang sebenarnya berhati jahat.” sahut Mahisa Agni, “karena itu, maka kita harus segera mengambil sikap, tetapi yang tidak mengancam keselamatan Pangeran itu sendiri dan isterinya yang barasal dari padesan itu.”

“Apa yang dapat kita lakukan paman?” bertanya Mahisa Bungalan.

“Kau kembali kepada ayahmu. Titipkan perempuan dan anak laki-lakinya itu kelingkungan dalam istana. Biarlah para prajurit melindunginya. Kau dapat barterus terang kepada Tuanku Ranggawuni. Aku kira tuanku tidak akan berkeberatan mangijinkan perempuan dan anak laki-laki itu tinggal.”

“Apakah hubungannya dengan barang-barang yang paman ambil itu?”

“Kemudian kita jual barang-barang itu. Biarlah ayahmu barusaha untuk berhubungan dengan orang-orang Kediri yang dikenalnya, sehingga pada suatu saat, seseoorang dapat mengenal barang-barang itu sebagai barang-barang dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Dengan demikian maka ayahmu akan ditangkap dan dibawa masuk ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Ayahmu kemudian akan mengatakan, bahwa ia membeli barang barang itu dari orang lain. Orang lain itu adalah Witantra. Kita semuanya akan berada di dalam lingkungan istana itu. Pada saat yang tepat kita akan bertindak menyelamatkan Pangeran itu dari cengkeraman orang-orang yang ingin berbuat jahat kepadanya. Jika kita berempat bersama sama dapat berbuat sesuatu, maka aku kira kita akan berhasil, karena Pangeran itu sendiri tentu akan berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri.”

“Rencana ini dapat kita pelajari sebaik baiknya. Masih banyak yang dapat di sisipkan pada rancangan kasar ini. Tetapi pada dasarnya aku dapat menyetujui.” berkata Witantra.

“Paman belum menyebut perananku” potong Mahisa Bungalan.

Witantra tertawa. Katanya, “Sabarlah sedikit. Kau tentu akan memegang peranan penting dalam hal ini.”

“Apakah aku belum menyebut?” bertanya Mahisa Agni.

“Belum” jawab Mahisa Bungalan.

“Jika demikian, maka kau akan menjadi penghubung antara pamanmu Witantra dan ayahmu. Sehingga, dengan demikian kau akan diseret pula ke dalam istana itu.”

“Bagaimana jika kita semuanya diserahkan kepada penguasa di Kediri? Kepada Panji Kudasulwarna?”

“Aku akan berbicara dengan Panji Kudasuwarna.” Sahut Mahisa Agni. “Tetapi ia pun harus mengetahui kesulitan Pangeran Kuda Padmadata.”

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika segalanya berjalan menurut kemauan kita. Tetapi jika tidak, maka masalahnya tidak akan semudah seperti yang kita bicarakan.”

Mahisa Agni pun tersenyum seperti juga Witantra. Maka katanya, “Kita hanya merencanakan menurut perhitungan kita Mahisa Bungalan. Tetapi bukan berarti bahwa pihak lain tidak mempunyai perhitungan pula.”

“Tetapi baiklah paman. Aku akan mencoba berbuat seperti perhitungan itu. Aku akan kembali dengan membawa barang yang masih tersisa pada paman dan akan menyerahkannya kepada ayah."

“Sampaikan segala pesan sebaik-baiknya, agar kita tidak salah langkah. Sebaiknya ayahmu menemui kami, sebelum kita bertindak lebih iauh. Kita tidak tahu pasti, jaring-jaring yang dipasang oleh adik Pangeran Kuda Padmadata itu sampai seberapa jauh jarak jangkauannya”

Demikianlah, maka Mahisa Agni dan Witantra telah melepaskan Mahisa Bungalan pergi meninggalkan Kediri. Perjalanan ke Singasari yang cukup jauh itu telah ditempuhnya secepat dapat dilakukan. Namum Mahisa Bungalan masih harus juga bermalam di perjalanan. Namun sebagai seorang perantau, maka ia sama sekali tidak merasa kesulitan di perjalanan.

kedatangan Mahisa Bungalan yang seorang diri di rumahnya, memang mengejutkan. Namun Mahendra pun kemudian mengangguk-angguk setelah ia mendengar penjelasan yang diberikan oleh Mahisa Bungalan.

“Jadi anakku harus dititipkan ke dalam istana?” bertanya Ki Wastu.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah agaknya tempat yang paling aman baginya”

“Tetapi anakku tentu akan merasa dirinya terlampau kecil dan tidak sepantasnya diperlakukan demikian. Ia adalah anak padukuhan kecil yang tidak berarti,“ berkata Ki Wastu.

“Tetapi ia adalah isteri Pangeran Kuda Padmadata” jawab Mahisa Bungalan, “pada suatu saat, jika Tuhan mengijinkan, ia akan berdiri di samping seorang bangsawan di Kediri”

Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya bergetar. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Apakah yang dapat aku ucapkan. Aku telah berhutang budi tanpa dapat diperhitungkan lagi. Kalian telah berbuat terlalu banyak, melampaui kewajiban sebagai sesama”

“Tidak” jawab Mahendra, “yang kami lakukan barulah butir-butir debu yang tidak berarti sama sekali di hadapan Tuhan Yang Maha Agung”

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan ikut serta ke Kediri. Bukan saatnya bagiku untuk duduk menunggu, sementara orang lain berjuang bagi keluargaku. Bagi anak dan cucuku”

Mahendra tertawa. Katanya, “Jika demikian, aku tidak berkeberatan. Kita adalah pedagang permata yang membawa barang-barang curian. Pada suatu saat akan tertangkap dan dihadapkan kepada pemilik barang itu”

Demikianlah, maka segala persiapan pun dilakukan Mahendra dan Mahisa Bungalan telah memohon waktu menghadap. Kepada Ranggawuni, Mahendra menyampaikan segala pesan Mahisa Agni. Ternyata, seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, maka Maharaja Singasari itu pun tidak berkeberatan. Diserahkannya perempuan dan anak laki-lakinya itu kepada seorang emban dan di bawah pengawasan para pengawal istana itu.

“Tidak akan ada orang yang mengusiknya disini” berkata Mahendra kepada Ki Wastu.

Dalam pada itu, maka Mahendra dan Ki Wastu pun segera mempersiapkan diri. Mereka adalah pedagang-pedagang barang berharga dan perhiasan. Meskipun mereka berangkat dari Singasari bersamaan berangkatnya dengan Mahisa bungalan, namun Mahisa Bungalan lah yang lebih dahulu memasuki gerbang kota.

Sebagai seorang pedagang, Mahendra mempunyai beberapa orang kawan di Kediri. Ia segera menawarkan barang-barang yang dibawanya. Dengan sengaja ia memamerkan barang-barang yang diambil oleh Mahisa Agni dari istana Pangeran Kuda Padmadata. Sementara pada saat-saat tertentu ia masih harus berhubungan dengan Mahisa Agni dan Witantra, agar mereka tetap bersambungan, seperti yang direncanakan, ternyata bahwa perhiasan sangat mahal itu menarik perhatian beberapa pedagang di Kediri. Kawan-kawan Mahendra, menganggap barang-barang itu tentu milik seorang bangsawan yang sangat kaya.

Ternyata bahwa beberapa orang telah menghubungkan dengan berita pencurian yang terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata. Beberapa orang pedagang, kadang-kadang sering saling bersaing itu telah dengan sengaja menjebak Mahendra. Ia dihadapkan pada orang-orang yang mempunyai sangkut paut dan mendapat kepercayaan dari lingkungan istana Pangeran Kuda Padmadata, terutama mereka yang mendapat kepercayaan dari adik pangeran yang ternyata selalu dibayangi oleh kekuasaan yang tidak nampak dari adik kandungnya sendiri.

Salah seorang dari para pedagang itu ternyata mempunyai hubungan yang akrab dengan seorang pemimpin pengawal dari istana Pangeran Kuda Padmadata yang telah dipengaruhi pula oleh adik Pengeran itu. Ketika ia mendapat kabar tentang permata dan perhiasan itu, maka iapun berkata, “Bawa orang itu kepadaku. Katakan bahwa aku ingin membelinya”

“Apakah aku harus membawanya masuk ke istana” bertanya pedagang itu.

“Bodoh kau. Kalau ia tahu bahwa barang-barang itu barang curian, ia tentu tidak akan bersedia memasuki istana dengan membawa perhiasan itu kemari” sahut salah salah orang dari pada perwira pengawal itu.

“Nampaknya ia tidak tahu menahu tentang perhiasan yang hilang dari istana ini. Ketika aku mengatakan bahwa puteri mungkin akan membelinya, ia sama sekali tidak berkeberatan untuk menghadap”

Perwira pengawal itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “datanglah besok. Aku akan masuk ke istana nanti dan membicarakannya dengan Pangeran Kuda Rukmasanti, adik Pangeran Kuda Padmadata”

Demikianlah maka hal itu pun kemudian benar-benar telah dibicarakan dengan Pangeran Kuda Rukmasanti. Apakah sebaiknya pedagang itu dibawanya masuk ke istana atau biarlah datang saja ke rumah pengawal itu.

“Jika ia memang tidak berkeberatan dan tidak mengetahui menahu tentang barang-barang yang hilang dari istana ini, bawalah ia kemari dengan demikian, maka langsung puteri akan dapat melihatnya, apakah barang-barang itu memang miliknya”

“Baiklah, Besok ia akan menghadap. Aku akan menghuhungi kawanku yang akan membawanya masuk ke dalam istana ini”

Seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, maka Mahendra telah dihubungi oleh seorang pedagang yang memang sudah dikenalnya sebelumnya. Dengan tidak banyak sanggahan, maka Mahendra pun kemudian telah menjanjikan untuk membawa barangnya kepada Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Tetapi aku belum tahu, bagaimana aku akan menghadap” berkata Mahendra.

“Kita akan pergi bersama-sama. Nanti sore, kita akan pergi ke istana itu”

Mahendra mengangguk-angguk. katanya, “Aku akan datang ke rumahmu. Kita akan bersama-sama pergi menghadap”

Pedagang itu mengangguk-angguk. Namun ia tersenyum di dalam hati. Jika benar-benar barang-barang itu milik Pangeran Kuda Padmadata yang hilang, maka Mahendra akan ditangkap. Daerah perdagangan permata akan kehilangan salah seorang dari mereka yang dianggap oleh pedagang yang menjebak Mahendra itu sebagai saingan yang berat.

Hal itu segera disampaikan oleh Mahendra kepada Mahisa Agni. Ia harus berada di istana itu, pada saat Mahendra dihadapkan kepada Pangeran Kuda Rukmasanti. Sementara itu, Witantra pun harus bersiap-siap untuk ditangkap bersama Mahisa Bungalan.

“Tetapi bagaimana dengan Ki Daredu. Ia tentu akan terkena kesalahan pula, karena ia telah memberikan tempat kepada kita” berkata Mahisa Bungalan.

“Mungkin ia akan ditangkap pula” berkata Mahisa Agni, “aku akan berbicara kepadanya. Seandainya ia benar-benar ditangkap, maka kita semuanya akan menjadi jaminan”

“Bagaimana jika ia dipaksa untuk mengatakan, siapakah kita sebenarnya” bertanya Mahisa Bungalan pula.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan memberikan beberapa pesan. Jika ia dipaksa untuk berkata tentang kita, biarlah ia menyebut kita dari salah satu nama padepokan atau sarang sekelompok penjahat. Biarlah ia menyebut kita sebagai pencuri-pencuri yeng memang hidup kita dari segala macam kejahatan”

“Dengan demikian, maka ia pun akan dikenakan hukuman” sahut Mahisa Bungalan.

“Ya. Dan adalah tugas kita untuk membebaskannya” sahut Mahisa Agni.

Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia menaruh iba kepada Ki Daredu jika ia harus mengalami kesulitan karena tugas-tugas yang sebenarnya bersumber pada dirinya yang telah melibatkan din dengan sadar, ke dalam persoalan Pangeran Kuda Padmadata dengan keluarganya.

Namun agaknya Mahisa Agni dan Witantra yakin, bahwa mereka akan dapat melindungi Ki Daredu pada saatnya meskipun untuk satu dua hari, mungkin orang itu harus menjalani penahanan atas dirinya oleh para pengawal dari istana Pangeran Kuda Padmadata.

Ketika saatnya tiba, maka Mahendra yang telah menghubungi Mahisa Agni itupun segera mendapatkan kawannya Mereka bersama-sama telah pergi menghadap Pangeran Kuda Rukmasanti yang masih berada di istana Pangeran Kuda Padmadata. Dalam pada itu Mahisa Agni ternyata agak lambat bekerja pada hari itu. Ketika ia datang dengan membawa sekeranjang rumput, wajahnya kelihatan gelisah.

“Kau memang gila” geram kawannya yang masih muda, “jika kita dimarahi karena kelambatan ini, maka semua itu adalah karena salahmu”

“Aku sedang sakit” jawab Mahisa Agni, “biasanya aku tidak merasa seperti sekarang ini. Nafasku sesak, dan badanku menggigil kedinginan”

“Persetan” geram kawannya yang masih muda, “itu pertanda bahwa kau akan mati”

Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi di belakang kandang, ia duduk dengan nafas yang terengah-engah.

“Jika kau mau mati, matilah” geram kawannya yang masih muda.

Mahisa Agni tidak menjawab. Namun ia mulai menghitung waktu. Saatnya telah tiba, bahwa Mahendra akan datang menghadap. Sebenarnyalah, bahwa sesaat kemudian, dua orang tamu telah memasuki halaman. Seorang dari mereka adalah Mahendra.

Mahisa Agni yang kemudian pergi ke seketeng, melihat kedua orang itu menambatkan kudanya di sudut halaman samping. Kemudian lewat seorang pengawal, kedatangan mereka diberitahukan kepada salah seorang pemimpin pengawal yang dengan sengaja memanggil pedagang perhiasan itu memasuki istana.

Kedua orang itu kemudian diterima di serambi samping, menghadap ke gandok. Sejenak mereka harus menunggu. Baru kemudian salah seorang pemimpin pengawal yang memanggil mereka datang, bersama Pangeran Kuda Rukmasanti, telah datang menemui mereka. Mahisa Agni tidak dapat menyaksikan pembicaraan itu. Namun ia kemudian duduk di bawah sebatang pohon perdu. Dari tempatnya ia dapat melihat sudut serambi itu.

Sementara itu, maka seorang perwira pengawal itupun kemudian mengatakan kepada Mahendrabahwa Pangeran Kuda Rukmasanti lah yang sebenarnya memerlukan perhiasan itu.

“Hamba membawa beberapa macam perhiasan yang sangat bagus” berkata Mahendra tanpa prasangka.

“Aku memang ingin yang paling bagus yang kau punyai” jawab Pangeran itu.

“Cobalah, perlihatkan semua perhiasan yang kau bawa” minta Pangeran itu.

Sejenak kemudian, Mahendra pun telah mengeluarkan sebuah perhiasan yang dibawanya di dalam sebuah peti kayu kecil. Perhiasan yang memang sangat bagus dan mahal.

Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti mengamat-amati perhiasan itu. Ia memang kurang memahami, apakah perhiasan-perhiasan itu adalah perhiasan puteri yang telah di curi orang dari bilik penyimpanannya.

“Tunggulah” berkata Pangeran itu, “aku akan memanggil orang yang akan memakainya. Mungkin ia dapat memilih”

“Silahkan Pangeran, silahkan. Hamba akan menunggu dengan senang hati” desis Mahendra.

Namun Mahendra itu menjadi berdebar-debar ketika ia diluar sadarnya berpaling ke halaman. Dilihatnya sekilas, dua orang pengawal berjalan hilir mudik di muka serambi itu. “Mereka telah bersiap untuk menangkapku” berkata Mahendra di dalam hatinya.

Sementara itu, sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Padmadata telah hadir pula bersama isterinya dan kedua orang pengawal yang tidak pernah terpisah dari padanya. Dengan berdebar-debar isteri Pangeran Kuda Padmadata itu memperhatikan perhiasan yang dibawa oleh Mahendra itu. Wajahnya sejenak kemudian nampak menegang. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Ini adalah perhiasanku sendiri yang telah hilang dicuri orang”

“Ha?” Pangeran Kuda Padmadata dan adiknya terbelalak. Meskipun dugaan itu telah ada, namun mereka terkejut juga mendengar pengakuan itu.

Dalam pada itu Mahendra pun menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apa maksud tuan puteri?”

Sebelum puteri itu menjawab, maka Pangeran Kuda Padmadata telah mendahului, “Barang-barang itu adalah barang kami sendiri”

“Bagaimana mungkin tuanku” berkata Mahendra.

“Letakkan semuanya” berkata Pangeran Kuda Rukmasanti, “ternyata kami menemukan apa yang kami cari”

Mahendra menjadi bingung. Namun sebenarnyalah bahwa segalanya itu telah diharapkannya terjadi. Ketika puteri itu sudah yakin, bahwa barang-barang itu adalah miliknya yang hilang, maka pemimpin pengawal itupun kemudian berkata, “Kau telah salah memilih pembeli Ki Sanak. Dengan demikian, kami terpaksa menangkapmu”

“Tetapi aku tidak bersalah. Aku tidak mencuri” berkata Mahendra.

“Mungkin memang bukan kau sendiri yang melakukannya” berkata kawannya, “tetapi orang lain. Dan itu memang dapat terjadi sebagai suatu akibat buruk dari pekerjaan kita”

Mahendra memandang kawannya dengan wajah pucat. Katanya, “Apakah kau dapat menolongku?”

“Jika terbukti kau bersalah, Bagaimana mungkin aku dapat menolongmu” berkata pedagang itu.

“Tinggalkan orang ini disini” berkata salah seorang pemimpin pengawal itu, “kami akan menyelesaikan persoalan sendiri, tanpa menyerahkan kepada penguasa di Kediri, apalagi orang yang dikirim oleh raja Singasari itu”

“Baiklah” sahut pedagang kawan Mahendra itu, “aku akan mohon diri”

“Jangan kau kabarkan kepada siapapun sebelum segalanya menjadi jelas”

Pedagang itupun kemudian minta diri. Ia sama sekali tidak dapat membantu, betapapun Mahendra minta kepadanya.

Sepeninggal orang itu, maka para pengawal di istana itu telah membawa Mahendra ke dalam ruang khusus. Di hadapan Pangeran Kuda Padmadata dan Pangeran Kuda Rukmasanti, ia ditanya dengan tekanan, dari manakah ia berhasil mendapatkan barang-barang itu. Untuk beberapa saat lamanya, Mahendra mengatakan bahwa barang-barang itu telah dibelinya dari orang yang tidak dikenal.

“Tuanku, hamba tidak tahu sama sekali, bahwa barang-barang ini adalah barang curian. jika hamba tahu, apakah hamba gila, telah menawarkan barang-barang ini kemari” berkata Mahendra.

“Mungkin kau memang tidak mengerti” desak seorang pengawal, “tetapi kau tentu tahu, siapakah yang menjual barang-barang ini. Kami tidak percaya bahwa kau tidak mengenalnya sama sekali”

“Hamba tidak ingat lagi” desis Manendra. Tetapi suaranya tenggalam dalam geram pemimpin pengawal itu sambil mencengkeram pundaknya,

“Jangan bohong. Mungkin kau tidak bersalah. Tetapi jika kau berbohong tentang orang yang menyerahkan perhiasan ini kepadamu, maka kau akan mendapat hukuman yang lebih berat”

Mahendra menjadi gemetar. Sambil memandang pemimpin pengawal itu ia berkata, “Jangan tuan. Aku memang tidak bersalah”

“Jika asal dari barang-barang ini dapat diketemukan, kau memang tidak bersalah. Tetapi jika orang yang menjual barang-barang ini kepadamu tidak dapat diketemukan, maka kau dapat kami anggap sebagai orang yang telah memasuki istana ini dan mencuri beberapa barang perhiasan yang sangat mahal harganya”

Mahendra menjadi ketakutan. Namun kemudian katanya, “Tetapi tuan. Jika hamba menunjukkan mereka, apakah itu berarti bahwa hamba akan dibebaskan”

“Jika terbukti bahwa kau tidak bersalah karena ada orang lain yang dapat kami tangkap, maka kau akan kami bebaskan dari segala tuduhan” geram pengawal itu.

Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah tuan. Aku akan mengatakannya. Tetapi aku mohon dapat dibebaskan dan aku akan segera pulang ke rumahku”

“Sebut, siapakah yang telah manjual barang-barang ini kepadamu he?” bentak pengawal itu.

Sejanak Mahendra ragu-ragu. Nemun kemudian katanya, “Aku membeli barang ini dari seorang bernama Gantar”

“Gantar” ulang pengawal itu hampir berbareng dengan desis dari bibir Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi Pangeran itu kemudian mengerutkan keningnya. Pekatik yang telah membisikkan sesuatu kepadanya itu bernama Damar. Bukan Gantar.

Pengawal itupun kemudian bertanya dengan kasar kepada Mahendra, “Dimana rumah orang yang bernama Gantar itu”

“Rumahnya aku tidak tahu pasti tuan. Tetapi sesungguhnyalah aku tidak tahu pasti. Aku bertemu dengan orang itu dalam perlawatan kerja yang selalu aku lakukan. Menurut pengakuannya, untuk sementara ia berada di Kediri, di rumah seorang pekatik yang bernama Daredu”

“Jangan menyebut nama-nama yang dapat membingungkan kami” berkata pengawal itu.

“Tuan. Sebenarnyalah kami tidak mengerti yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi seandainya tuan memerlukan, maka biarlah aku menunjukkan tempat tinggal orang itu” berkata Mahendra.

“Kau tidak berbohong?” bertanya pengawal itu.

“Aku berjanji. Sudah tentu aku tidak berani berbohong, karena aku berhadapan dengan tuan. Apalagi aku ingin agar aku dibebaskan dari segala tuduhan yang akan dapat menjerat aku” berkata Mahendra dengan gagap.

Salah seorang pemimpin pengawal yang memeriksa Mahendra itupun kemudian berpaling kepada Pangeran Kuda Rukmasanti sambil bertanya, “Apakah hamba dapat melakukannya Pangeran?”

Pangeran Kuda Rukmasanti termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya, “Lakukanlah. Bawalah pengawal, jika sewaktu-waktu kau perlukan”

Pemimpin pengawal itupun kemudian berkata kepada Mahendra, “Antarkan aku kepada orang yang kau maksud”

Mahendra pun kemudian dengan langkah gemetar meninggalkan ruang itu diikuti oleh pengawal yang telah memeriksanya bersama dua orang pengawal yang lain, sementara pedagang yang membawanya masih tetap tinggal di rumah Pangeran itu.

Dengan ragu-ragu Mahendra pun kemudian menerima kendali kudanya dari seorang pengawal yang mengikutinya sambil membentak, “Kita berkuda. Cepat”

Mahendra menerima kendali kuda itu. Namun ketika ia akan meloncat naik, pengawal itu membentaknya sekali lagi, “He, agaknya kau orang yang tidak mengerti unggah-ungguh”

Mehendra termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengerti bahwa ia tidak boleh berkuda di halaman. Demikianlah, maka bersama tiga orang pengawal Mahendra pergi ke rumah Ki Daredu.

Ternyata Witantra dan Mahisa Bungalan telah siap untuk ditangkap dan dibawa ke rumah Pangeran Kuda Padmadata. Meskipun ketika pemimpin pengawal itu bertanya kepadanya, mula-mula ia telah mengingkari.

“Ikutilah kami” berkata pemimpin pengawal itu, “bukan kami yang akan memutuskan segala sesuatu. Kalian akan kami bawa ke istana Pangeran Kuda Padmadata. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian akari segera dibebaskan”

Ketika Witantra masih menolak, maka kesabaran pengawal itu pun hampir sampai kebatasnya, sehingga karena itu ia menggeram, “Kau bersedia atau tidak. Aku mendapat wewenang untuk memenggal lehermu”

Witantra dan Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Meskipun darah Mahisa Bungalan rasa-rasanya telah mendidih, namun ia harus mengikuti rencana yang telah disusun sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun tidak menyanggah lagi.

“Kami tidak bersalah” berkata Witantra, “kami mohon keadilan kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Witantra dan Mahisa Bungalan pun menyiapkan kuda mereka pula. Bersama-sama dengan para pengawal dan Mahendra, merekapun telah pergi ke rumah Pangeran Kuda Padmadata.

Samentara itu, Mahisa Agni masih belum meninggalkan istana itu. Kepada gamel yang memelihara kuda Pangeran itu ia mengatakan bahwa tubuhnya terasa kurang enak. Karena itu, maka ia akan tinggal beberapa saat lagi, sehingga badannya tidak lagi menggigil dan kuat untuk berjalan kembali ke rumahnya.

“Singgahlah ke gubugku di sudut kebun itu” berkata gamel itu. Mahisa Angi termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Biarlah aku duduk di belakang kandang ini barang sejenak. Mungkin badanku akan segera terasa baik”

“Di pondokku kau akan mendapat minuman panas” berkata gamel itu pula.

Akhirnya Mahisa Agni singgah ke rumah gamel itu sambil mengucapkan banyak terima kasih.

Sementara itu, Ki Daredu pun menjadi sangat gelisah. Ia sudah mendengar segala rencana yeng sedang dilakukan oleh Mahisa Agni. Iapun percaya bahwa Mahisa Agni akan dapat menyelesaikan segala persoalan dan sekaligus melindunginya, justru karena ia tahu, siapakah Mahisa Agni itu. Namun demikian, jika pada saatnya ia pun akan diambil pula, maka ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan dapat tetap merahasiakan segalanya.

“Tetapi aku masih belum diambil sekarang” berkata Ki Daredu di dalam hatinya, “mungkin tuanku Mahisa Agni dapat menyingkirkan keterlibatanku di dalam persoalan ini, atau para pengawal istana Pangeran Kuda Padmadata menganggap bahwa aku tidak terlibat kecuali memberikan tempat bagi mereka”

Dalam pada itu, maka Witantra dan Mahisa Bungalan telah dibawa menghadap Pangeran Kuda Rukmasanti dan Pangeran Kuda Padmadata.

Seperti yang sudah disepakati, maka pada saat yang demikian, Ki Wastu sudah berada di depan istana itu pula. Pada saat tertentu ia akan memasuki halaman dan menyatakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata tentang dirinya, anak perempuan dan cucunya laki-laki. Namun untuk melakukannya, ia masih harus menunggu isyarat dari salah seorang yang telah memasuki istana itu, meskipun sebagai tangkapan.

“Jika rencana kita gagal sama sekali” pesan Witantra kepada Ki Wastu, “maka adalah menurut kebijaksanaanmu. Kau dapat mengambil jalan terdekat, meskipun akibatnya belum dapat dipastikan. Kau dapat menghadap penguasaan Singasari di Kediri dengan menyebut nama Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi sejauh dapat kita lakukan, kita tidak akan melibatkan siapapun ke dalam persoalan ini, apalagi orang-orang yang memegang kekuasaan”

Karena itulah, maka Ki Wastu pun dengan penuh kewaspadaan berada tidak jauh dari pintu gerbang Istana Pangeran Kuda Padmadata. Sebagai seorang perantau ia duduk bersandar sebatang pohon untuk melepaskan lelahnya.

Ketika Witantra dan Mahisa Bungalan menghadap, maka Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi kecewa. Yang datang memang bukan Damar, tetapi orang lain yang menyebut orang lain yang menyebut dirinya bernama Gantar dengan seorang anak muda yang bernama Bungalan.

Pemimpin pengawal yang membawa mereka menghadap itupun kemudian dengan garang mulai bertanya tentang perhiasan-perhiasan itu. Ia bertanya dengan teliti dan kadang-kadang dengan keras dan kasar. Dalam pada itu, agaknya Pangeran Kuda Rukmasanti tidak sabar lagi menunggu. Jawaban Witantra dan Bungalan yang berbelit-belit membuat Pangeran Muda itu tidak telatan.

Tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan garangnya ia meremas rambut Witantra sambil berteriak, “Kau tidak dapat ingkar lagi. Pedagang itu sudah mengatakan, bahwa ia mendapat barang itu dari padamu. Nah, kau tinggal mengakui, bahwa kau telah mencuri barang-barang ini. Kau memanjat istana ini dan membuka atapnya. Kau masuk dengan mempergunakan tampar atau apapun juga. Kau keluar juga lewat lubang di atap itu. Karena kau tergesa-gesa, maka beberapa jenis perhiasan telah terjatuh di tanah”

Witantra tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja Pangeran yang marah itu tiba-tiba saja telah memukul wajahnya sambil berteriak, “Kau harus mengakui” lalu katanya kepada Mahendra, “ha, bukankah kau dapatkan barang-barang itu dari orang ini”

“Hamba tuanku,“ jawab Mahendra.

Sementara itu Witantra telah terbanting jatuh ketika tangan Pangeran Kuda Rukmasanti mengenai wajahnya. Dengan suara gemetar ia berkata, “Ampun tuanku. Hamba benar-benar tidak tahu”

Belum lagi suara itu selesai diucapkan, kaki Pangeran Kuda Rukmasanti telah mengenai kepala Witantra. Sekali lagi ia berteriak, “Aku dapat membunuhmu dan anak muda itu disini. He, anak muda, apakah kau juga ingkar”

Mahisa Bungalan tidak segera menjawab. Yang kemudian berdebar-debar adalah justru Mahendra dan Witantra. Jika Mahisa Bungalan tidak dapat mengendalikan dirinya, maka mungkin sekali rencana meraka harus dirubah dengan tiba-tiba.

Namun dalam pada itu, ketika Pangeran Kuda Rukmasanti mendekati Mahisa Bungalan, maka Pangeran Kuda Padmadata berkata, “Biarlah aku bertanya kepadanya”

Kedua pengawalnya yang selalu dekat dengan Pangeran itupun berusaha mencegahnya. Tetapi Pangeran itu sudah berdiri dan melangkah mendekati Witantra. “Ki Sanak” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “bukan maksud kami untuk menyakiti Ki Sanak. Tetapi kami justru ingin menempatkan persoalan ini pada keadaan yang sewajarnya. Cobalah katakan sesuatu tentang perhiasan-perhiasan itu. Bukankah pedagang perhiasan itu mendapatkan barang-anrang itu daripadamu?” bertanya Pangeran itu.

Seolah-olah diluar sadarnya Witantra mengangguk sambil nenjawab, “Hamba tuanku”

“Nah, demikianlah Ki Sanak. Tetapi sudah barang tentu, kau telah mendapatkan barang itu dari pihak lain pula. Cola katakan, apakah kau mendapatkan dari seseorang, atau kau dapatkan dari tempat dan dengan cara lain. Adalah mustahil bahwa barang-barang itu akan dapat berkisar sendiri dari tempat penyimpanannya di dalam bilik itu”

Witantra menarik mafas dalam-dalam, Namun kemudian ia membungkukan badannya dalam, sehingga wajahnya hampir menyentuh lantai. Katanya, “Ampun tuanku. Hamba memang mendapatkan barang-barang itu dari orang lain. Hamba sama sekali tidak mencuri, apalagi di istana tuanku. Hamba sama sekali tidak berani dan tidak akan dapat melakukannya”

Pangeran Kuda Padmadata menarik keningnya. Kemudian ia bertanya lagi, “Apakah kau dapat menyebut, siapakah yang telah menyerahkan barang-barang itu kepadamu”

Witantra termangu-mangu. Sebagai seorang yang bernama Gantar ia dapat diperlakukan apa saja oleh orang orang yang berkuasa di istana Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun sekilas ia memang sudah melihat, bahwa kekuasaan Pangeran Kuda Padmadata selalu dibayangi oleh kekuasaan adiknya yang bernama Pangeran Kuda Rukmasanti.

Namun dalam pada itu, karena ia tidak segera menjawab, maka Pangeran Kuda Padmadata pun mendesaknya, “Ki Sanak. Coba berterus teranglah. Atau barangkali kau anak muda. Apakah kau dapat mengatakan, siapakah yang telah memberikan atau katakanlah menjual barang-barang itu kepadamu dan kemudian kau jual kepada pedagang itu? Perbuatan yang kurang baik itu pada akhirnya memang harus dipertanggung-jawabkan. Pencurian yang telah dilakukan di istana ini memang harus dapat dibongkar. Karena itu, katakanlah, agar kau tidak dibebani oleh dosa dan kesalahan mereka yang sudah melakukannya itu”

Witantra termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang Mahendra, Mahisa Bungalan dan sebentar lagi Mahisa Agni. Diluar sadarnya ia telah memperbandingkan kekuatan orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Apakah pada suatu saat yang tepat, mereka akan dapat menguasai orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Pangeran Kuda Padmadata, dan yang telah sampai hati memerintahkan orang-orang upahan untuk membunuh isteri dan anak laki-lakinya.

“Cobalah” desak Pangeran Kuda Padmadata, “katakanlah”

“Orang itu harus dipaksa” geram Pangeran Kuda Rukmasanti”

“Tidak Pangeran” berkata Witantra dengan serta merta, “biarlah hamba mengatakannya. Barangkali itu memang lebih baik dari pada hamba sendiri yang harus mengalami kesulitan karena barang-barang itu”

“Nah” desis Paneeran Kuda Padmadata, “katakanlah”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya ia berharap akan berhasil dengan rencana yang telah disusunnya bersama Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya kemudian, “Tuanku. Hamba mendapat barang-barang itu dari hamba istana ini. Menurut keterangannya, barang-barang itu memang akan dijualnya. Tetapi adalah bodoh sekali bahwa pedagang itu telah menawarkan barang-barang perhiasan itu justru kemari”

“Siapakah hamba istana itu?” Pangeran Kuda Rukmasanti berteriak.

“Ampun tuanku. Namanya Damar”

“Damar” hampir berbareng beberapa orang telah mengulang. Namun justru Pangeran Kuda Padmadata lah yang paling keras. Kemudian katanya, “Orang itulah yang aku curigai ketika aku bertanya kepada setiap orang-orang menghamba di istana ini. He, apakah kalian tidak ingat?”

Kedua pengawalnya diluar sadarnya telah mengangguk sambil menjawab, “Ya ingat tuanku”

“Panggil orang itu kemari” Pangeran Kuda Padmadata pun menjadi garang. Seolah-olah ia telah mengalami perubahan yang tiba-tiba dari dalam dirinya.

Beberapa orang yang berada di dalam bilik itu termangu-mangu. Namun mereka bagaikan terbangun ketika mereka mendengar sekali lagi Pangeran Kuda Padmadata berteriak, “Panggil orang itu kemari”

“Tetapi, dimanakah sekarang orang itu” bertanya pengawalnya.

“Kau dungu. Bukankah kau mendengar, bahwa ia adalah seorang pekatik?” bentak Pangeran Kuda Padmadata.

Orang-orang yang semula selalu membayanginya itu tiba-tiba saja telah berada dibawah pengaruhnya. Karena itu, maka salah seorang dari merekapun telah berkata, “Baiklah. Hamba akan memanggilnya. Tetapi hamba tidak tahu, dimana rumahnya”

“Bertanyalah kepada orang-orang yang berhubungan dengan Kuda-kudaku itu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

Salah seorang dari kedua pengawal yang selalu mengikut kemana saja Pangeran itu pergi, dan bahkan kadang-kadang justru merekalah yang memerintah, telah dengan tergesa-gesa pergi kebelakang untuk mencari seseorang yang bernama Damar.

Sementara itu, di dalam bilik itu pun telah terjadi kegelisahan. Ketika Mahendra berkisar, maka pemimpin pengawal itu telah membentaknya, “Jangan berusaha lari”

“Tidak tuan. Aku tidak akan lari” jawab Mahendra.

Sementara itu, maka salah seorang pengawal yang mencari Mahisa Agni telah mendapat petunjuk, bahwa orang yang bernama Damar itu berada di rumah gamel kuda di sudut bagian belakang dari halaman istana itu.

“Ikut aku” perintah pengawal itu.

“Maksud tuan” bertanya Mahisa Agni.

“Ikut aku” pengawal itu membentak.

Mahisa Agni menjadi ketakutan, sementara gamel itupun menjadi berdebar-debar.

“Apa yang terjadi tuan?” bertanya gamel itu.

“Kau tidak turut campur. Kecuali jika ternyata kau terlibat pula dalam persoalan ini, maka kau akan digantung” bentak pengawal itu.

“Aku tidak mengerti” desis gamel itu. Pengawal itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi ditariknya Mahisa Agni dengan kasarnya.

“Ia baru sakit tuan” desis gamel itu.

“Aku tidak peduli. Jika ia akan mati, biarlah ia mati” geramnya.

Mahisa Agni tidak melawan. Ia mengikuti saja kemana ia di tarik dengan kasar. Namun demikian, ia masih juga berdebar-dobar, apakah ia akan dapat menyelesaikan seluruh rencananya dengan baik.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni yang bernama Damar itupun telah dihadapkan pula kepada Pangeran Kuda Padmadata yang telah menjadi garang. Ia tidak lagi menghiraukan orang-orang yang selama itu telah memagarinya dengan kekuasaan dan dan ancaman.

Ketika Mahisa Agni kemudian dibawa masuk kedalam bilik itu, maka dengan serta merta Pangeran Kuda Padmadata berkata, “Nah, apakah kalian sekarang percaya, bahwa orang ini memang pantas dicurigai?”

Tidak ada seorangpan yang menjawab. Mereka memang harus mengakui bahwa Pangeran Kuda Padmadata telah mencurigai orang yang bernama Damar itu.

“He, hamba yang hina” berkata Pangeran itu, “cobalah jawab pertanyaanku dengan sebenarnya. Disini hanya ada aku, adik kandungku yang baik, seorang pemimpin pasukan pengawal, dua orang pengawalku yang paling setia. Diluar ada dua orang pengawal yang mengamati peristiwa ini dengan seksama dibawah perintah pemimpin pengawal ini. Dan beberapa orang lain berpencaran diluar”

“Apa yang kau katakan?” potong Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Aku memberikan gambaran kepadanya, bahwa ia tidak akan dapat ingkar menghadapi kenyataan ini” jawab Pangeran Kuda Padmadata. Lalu katanya kepada Mahisa Agni, “sekarang, jawablah. Apakah benar kau telah memanjat dinding istana ini, memasuki salah satu biliknya dan mengambil perhiasan itu?”

“Hamba Pangeran. Hamba telah melakukannya” jawab Mahisa Agni dengan tenang. Keterangan Pangeran Kuda Padmadata agaknya telah memberikan gambaran yang lebih jelas, siapakah yang bakal mereka hadapi. Dan agaknya Pangeran itupun siap menghadapi segala kemungkinan

Jawaban Mahisa Agni telah membuat orang-orang-yang berada di dalam bilik itu berdebar-debar. Pemimpin pengawal itupun kemudian meloncat maju dan dengan kasar merenggut rambut Mahisa Agni, “Jadi kaulah mencuri di istana itu?”

Mahisa Agni tidak mengeluh. Ia tidak berteriak kesakitan seperti orang yang disebut bernama Damar. Ia membiarkan rambutnya ditarik oleh pemimpin pengawal itu.

Namun Pangeran Kuda Padmadata yang membentaknya, “Aku sedang bertanya kepadanya. Lepaskan”

“Ia telah menghina kami” jawab pemimpin pengawal itu.

“Lepaskan”

“Biarkan ia melakukan tugasnya” potong Pangeran Kuda Rukmasanti, “kau tidak perlu memerintahkan apapun juga kepadanya”

“Aku Pangeran Kuda Padmadata” tiba-tiba Pangeran itu menjadi marah, “aku berkuasa di dalam istanaku. Aku akan memeriksa orang ini”

Kata-kata Pangeran itu ternyata masih juga berpengaruh. Namun demikian kedua pengawalnya mendekatinya. Salah seorang dari mereka berdesis, “Pangeran harus mengingat kedudukan Pangeran. Hamba akan membantu Pangeran apapun juga”

Tetapi jawabannya benar-benar mengejutkan, “Aku tidak memerlukan kalian lagi. Aku akan memeriksa orang ini”

Kedua pengawal itu termangu-mangu. Namun ternyata Pangeran Kuda Rukmasanti berkata, “Biarkan ia melakukannya”

Kedua pengawal itu melangkah surut. Sementara Pangeran Kuda Padmadata memandangi seisi ruangan itu berganti-ganti. Adiknya, kedua pengawalnya, pemimpin pengawal, kemudian orang-orang yang duduk bersimpuh di dalam bilik itu. Pedagang perhiasan, dua orang perantara yang menerima barang-barang itu dan menyerahkan kepada pedagang itu. Kemudian pekatik yang telah mengaku dengan terus terang mancuri barang-barangnya, tetapi yang telah berbisik kepadanya, bahwa ia adalah petugas sandi dari Singasari.

Sejenak Pangeran Kuda Padmadata mengurai keadaan. Wajah-wajah orang yang duduk bersimpuh itu akhirnya memberikan keyakinan kepadanya. Maka katanya kemudian, “Damar. Katakan yang sebenarnya, kenapa kau mencuri di istana ini?”

Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Kemudian ia justru bertanya, “Tuanku, apakah hamba boleh mengatakan yang sebenarnya? Disini ada hamba, dan tiga orang yang bersangkut paut dengan hamba dan tugas hamba”

“Itu sudah cukup. Katakanlah”

Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu menjadi heran. Namun merekapun segera mendengar Mahisa Agni menjawab pertanyaan Pangeran Kuda Padmadata, “Pangeran, hamba memang mencuri di istana ini. Belum lama hamba mengabdikan diri di istana sebagai seorang pakatik”

“Untuk apa kau mencuri?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

Pertanyaan itu memang terdengar aneh di telinga adiknya dan para pengawal yang ada di dalam bilik itu.

“Ampun tuanku. Hamba mencuri karena hamba didorong oleh keinginan hamba untuk mengetahui isi istana ini. Bukannya karena hamba ingin memiliki perhiasan itu. Itulah sebabnya, maka hamba telah berusaha untuk dapat menyampaikan perhiasan yang telah hamba curi itu kembali ke istana ini. Kemudian hamba memang berharap untuk dipanggil bersama-sama seperti pada aat ini”

“Bagus” wajah Pengeran Kuda Padmadata menjadi cerah, “aku mengerti. Aku mendengar pesan yang kau berikan. Dan aku sekarang memahami apa yang kau lakukan”

“Apa yang telah dilakukannya” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Adinda” berkata Pangeran Kuda Padmadata, “kau adalah adikku yang baik. Yang memberikan kenangan yang manis di masa kanak-kanak kita, karena kita berdua berada dalam asuhan yang sama. Kita selalu bermain bersama, tidur dan makan bersama, meskipun kita kadang-kadang juga bertengkar. Tetapi pertengkaran itu telah memuncak justru saat kita sudah menjadi semakin tua. Nah, bertanyalah kepada orang-orang ini, apakah yang sebenarnya mereka kehendaki”

Wajah Pangeran Kuda Rukmasanti menjadi merah. Dengan garang ia memandangi Mahisa Agni dan orang-orang lain yang masih duduk bersimpuh. Dengan lantang ia bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya. Kau tidak dapat berbuat gila disini. Aku dapat memerintahkan beberapa pengawal untuk bertindak”

Mahisa Agni memandang Pangeran Kuda Rukmasanti yang marah dan agak kebingungan itu. Ketika kemudian ia memandang pemimpin pengawal yang garang dan kemudian kedua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Maka Mahisa Agni pun kemudian berketetapan hati untuk segera menyampaikan maksudnya, dengan kesiagaan sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan akibat dari sikap dan perbuatannya itu.

Sementara itu Mahisa Bungalan telah menjadi semakin gelisah. Ia hampir tidak sabar lagi dengan sikap Mahisa Agni yang berkepanjangan.

Namun Mahisa Agni masih juga berkata, “Tuanku Pangeran Kuda Rukmasanti. Sudah sejak lama hamba mendengar ceritera tentang seorang Pangeran yang kehilangan dirinya sendiri. Hamba tidak begitu jelas persoalannya. Namun yang hamba ketahui, bahwa seorang yang tidak bersalah, telah dikejar-kejar oleh beberapa orang yang tidak berperi-kemanusiaan untuk dibunuh dan dihapuskan jejaknya”

“Gila. Apakah yang kau katakan itu? Aku bertanya kepadamu, dalam hubungan hilangnya perhiasan-perhiasan itu dari istana kakanda Pangeran Kuda Padmadata” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Hamba juga berceritera tentang perhiasan dan kenapa hamba telah mancurinya. Sebenarnyalah bahwa hamba sekedar ingin berhubungan langsung dengan Pangeran Kuda Padmadata” jawab Mahisa Agni, “hamba agaknya telah berhasil menyatakan kepada Pangeran, bahwa hamba datang untuk melihat keadaan yang timpang di dalam istana ini”

“Apa hubunganmu dengan peristiwa di istana ini?” bertanya Pangeran Kuda Rukmasanti dengan garang.

“Hamba adalah orang-orang yang tidak dangan sengaja telah terlibat dalam persoalan keluarga Pangeran Kuda Padmadata. Hambalah yang telah menyelamatkan seorang perempuan dan anak laki-lakinya yang mempunyai sangkut paut dan hubungan darah dengan Pangeran Kuda Padmadata. Nah, sekarang hamba ingin bertanya, siapakah sebenarnya yang telah memerintahkan membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu?”

“Nah” sahut Pangeran Kuda Padmadata, “baru sekarang aku pasti. Aku memang sudah memperhitungkan, bahwa isteri dan anakku itu akan menjadi sasaran kedengkian kalian”

“Hamba telah berhasil menyelamatkan mereka” berkata Mahisa Bungalan yang tidak sabar.

“Persetan” geram Pangeran Kuda Rukmasanti, “apakah kalian memang orang-orang gila yang dengan sengaja membunuh diri?”

“Sabarlah Pangeran” berkata Witantra, “memang agak sulit untuk menerima peristiwa ini. Tetapi hamba pun ingin bertanya, bagaimana dengan tuan puteri yang barangkali sekarang berada di istana ini pula?”

Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia bukan isteriku yang sebenarnya. Ia hadir bukan atas kehendakku. Aku sudah dibayangi oleh kekuasaan yang tidak kasat mata, tetapi tidak dapat aku tolak. Orang-orang yang membayangiku telah dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah menguasai isteri dan anakku yang aku tinggalkan di padukuhan. Sehingga mereka dengan demikian dapat memaksaku berbuat apa saja. Aku tidak mencemaskan umurku sendiri, tetapi aku tidak akan dapat membiarkan itu”

“Cukup kakanda” potong Pangeran Kuda Rukmasanti, “aku masih tetap pada pendirianku. Aku tidak akan mencabut keputusanku untuk membunuh perempuan dan anak laki-laki itu jika kau tidak menurut segala perintahku”

“Aku sudah berkata adinda, jika kau ingin memiliki segala harta dan kekayaan ini, ambillah. Tetapi jangan kau korbankan perempuan dan anak yang tidak bersalah itu” jawab Pangeran Kuda Padmadata.

“Aku tidak peduli” geram adiknya, lalu, “He kalian dapat bertindak apa saja yang kalian anggap baik. Juga terhadap orang-orang yang tidak tahu diri ini”

“Tunggu” berkata Mahisa Agni, “tuanku jangan tergesa-gesa menjatuhkan perintah. Sudah hamba katakan, bahwa perempuan dan anak laki-laki itu telah berhasil dibebaskan oleh kemenakanku itu. Kalian tidak akan dapat mempergunakannya lagi untuk memaksakan kehendak kalian. Bahkan ada disini pula, ayah perempuan itu, yang telah berusaha menyelamatkan anaknya dengan segenap kemampuan yang ada padanya”

“Siapa?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Ki Wastu” jawab Mahisa Agni.

“Ki Wastu ada disini?” desis Pangeran Kuda Padmadata.

“Persetan” geram Pangeran Kuda Rukmasanti, “jangan percaya. Kakanda. Jika kakanda masih mencintai perempuan padukuhan itu dan anaknya, jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan dapat memperpendek umurnya”

“Jangan cemas tuanku” potong Mahisa Bungalan, “hamba telah membebaskannya dengan tangan hamba. Dengan tangan ayah hamba dan paman-paman hamba”

“Siapa ayahmu?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata.

“Ayah hamba adalah pedagang itu. Yang tuanku tangkap karena ia telah membawa perhiasan yang memang diambil oleh paman Mahisa Agni”

“He, apa yang kau katakan” potong Mahisa Agni.

“O, maksudku, paman Damar”

“Katankanlah. Katakanlah nama kalian yang sebenarnya” minta Pangeran Kuda Padmadata, “permainan memang harus berakhir. Aku tidak akan mempertimbangkan nyawaku. Tetapi bahwa isteri dan anakku sudah kalian selamatkan, maka aku tidak akan takut lagi menghadapi segala kenyataan yang paling pahit sekalipun” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi dimanakah isteri dan anakku sekarang”

“Mereka berada di dalam istana Singasari” jawab Mahisa Agni.

Semua orang yang mendengar jawaban itu terkejut. Pangeran Kuda Padmadata, Pangeran Kuda Rukmasanti, para pengawal dan dua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Dengan nada tinggi Pangeran Kuda Padmadata bertanya, “Apakah pendengaranku tidak salah? Isteri dan anakku itu berada di istana Singasari?”

“Ya tuanku. Hambalah yang telah membawa mereka ke dalam istana. Atas perkenan tuanku Ranggawuni yang bergelar Wishnuwardhana, Maharaja di Singasari” jawab Mahisa Bungalan.

Pangeran Kuda Padmadata menjadi semakin tegang. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian”

“Sudah hamba katakan” jawab Mahisa Agni, “hamba adalah seorang petugas sandi dari Singasari yang ingin mengetahui keadaan tuanku yang sebenarnya”

“Bohong” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, “kalian adalah perampok-perampok yang sudah mempersiapkan ceritera itu pada saatnya kalian tertangkap. Ayo, bersiaplah untuk menerima hukumanmu. Bukan saja karena kalian telah mencuri, tetapi karena kalian telah membuat ceritera-ceritera khayal yang menyangkut nama baik Maharaja di Singasari yang kini berkuasa pula atas Kediri”

“Tepat” jawab Witantra, “memang kekuasaan Singasari kini meliputi Kediri. Bahkan Singasari telah meletakkan seseorang yang menjadi penghubung dari kepentingan daerah ini dengan kekuasaan di Singasari. Bukan saja saat ini, tetapi sejak beberapa saat yang lampau. Sejak Sang Amurwabumi berkuasa di Singasari”

“Apa hubungannya dengan pencurian yang kalian lakukan. Jangan membual lagi. Kami sudah siap menangkapmu sama sekali. Bahkan kami sudah siap untuk membungkam mulutmu dan membual itu. Kalian memang pantas dihukum gantung di halaman belakang istana ini” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Jangan tergesa-gesa tuanku” berkata Mahisa Agni, “hamba telah berhasil melihat kecurangan yang terjadi di istana ini. Ternyata tuanku, saudara muda Pangeran Kuda Padmadata telah berkhianat terhadap saudara tua yang mengasihi tuanku sejak masa kanak-kanak. Tuanku telah Sampai hati menjatuhkan perintah untuk membunuh perempuan dan anak yang tidak bersalah itu. karena tuanku menginginkan segala warisan dan kekayaan kakak kandung sendiri, termasuk perempuan yang mendapat gelar tuan puteri Kuda Padmadata, yang tidak lain adalah alat tuanku semata-mata”

“Tutup mulutmu” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Hamba belum selesai” potong Mahisa Agni, “ternyata bahwa maksud tuanku membunuh keluarga Pangeran Kuda Padmadata itu gagal. Sementara tuanku masih mempergunakannya sebagai alat untuk mengikat Kuda Padmadata, seolah-olah isteri dan anak itu merupakan piranti yang hidup untuk memaksakan kehendak tuanku, dengan mengancam keselamatannya. Padahal, pada saat yang sama tuanku benar-benar telah menjatuhkan perintah untuk membunuh”

“Pengkhianat” geram Pangeran Kuda Rukmasanti. “Kalian memang harus dibunuh” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti, “siapkan para pengawal. Orang-orang ini tidak boleh keluar dari istana”

“Tidak ada gunanya Pangeran” berkata Witantra, “diluar masih ada kawan kami. Justru ayah dari perempuan yang akan tuanku bunuh itu”

“Iapun akan ditangkap dan dibunuh” geram Pangeran itu.

“Tidak” jawab Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan berbuat sesuatu apapun akibatnya. Aku tidak takut lagi bahwa anak dan isteriku akan terbunuh. Sekarang aku bersedia mati. Tetapi aku tidak akan tunduk lagi kepada kalian”

“Persetan” teriak adiknya, “kalian memang sedang membunuh diri”

Dalam pada itu, pemimpin pengawal itupun segera bersiap. Demikian pula kedua orang yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata. Namun dengan sigapnya Pangeran Kuda Padmadata telah meloncat mengambil tempat, siap untuk bertempur menghadapi beberapa orang yang berada di dalam bilik itu.

Sementara itu, terdengar pemimpin pengawal itu meneriakkan perintah. Sejenak kemudian dua orang pengawal yang berada diluar pintupun telah meloncat masuk pula dengan senjata merunduk.

“Kalian tidak akan dapat melarikan diri” geram Pangeran Kuda Rukmasanti.

“Aku tidak akan melarikan diri” jawab Pangeran Kuda Padmadata, “aku akan mati disini. Para hamba yang masih setia kepadaku dan tidak tahu menahu tentang kekuasaan bayanganmu akan berceritera kepada setiap orang bahwa aku mati terbunuh di dalam bilik ini. Kekuasaan Kediri dan Singasari tantu akan mencari sebab kematianku, sementara isteri dan anakku sudah selamat”

“Tidak usah orang lain” geram Mahisa Bungalan yang tidak sabar. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat berdiri, “biarlah kedua pamanku ini mengusut, persoalan ini. Keduanya adalah Senopati Agung bagi Singasari. Dan keduanya pernah berada di Kediri sebagai penghubung kekuasaan Singasari di sini”

Kata-kata itu telah mengejutkan pula. Sementara Mahisa Bungalan meneruskan, “Pamanku yang seorang adalah Mahisa Agni, yang pada permulaan kekuasaan Singasari atas Kediri telah berada di daerah ini”

“Mahisa Agni” desis Pangeran Kuda Padmadata, “aku memang pernah mendengar”

“Omong kosong” teriak Pangeran Kuda Rukmasanti. Lalu iapun meneriakkan perintah, “bunuh mereka”

Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah bersiap mengahadapi segala kemungkinan. Tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan tangkasnya. Tangannya tiba-tiba saja telah menyambar tombak yang berada di sudut ruangan, tegak di dalam tempatnya dalam jajaran dengan songsong kehormatan.

Ternyata seorang pengawal yang sudah mengetahui segala persoalan yang menyangkut kedua kakak beradik itu, dan memang dengan sengaja telah memilih pihak, yang dianggapnya akan sangat menguntungkan, yaitu Pangeran Kuda Rukmasanti, dengan sigap mulai meloncat menyusul Pangeran Kuda Padmadata.

Namun sebelum ujung senjatanya menyentuh Pangeran yang sedang menyambar tombak itu, tangan Mahisa Bungalan yang kuat telah menerkamnya. Adalah malang baginya, karena pada hentakkan pertama, Mahisa Bungalan telah menghantam tengkuknya, sehingga orang itu tidak sempat melawannya.

Dengan sigap Mahisa Bungalan merebut pedangnya. Ketika ia kemudian melepaskan orang itu sama sekali tidak mampu lagi untuk berdiri. Sehingga karena itu, maka iapun terjatuh pingsan. Sejenak kemudian, maka para pengawal dan Pengeran Kuda Rukmasanti pun telah menggenggam senjata masing-masing, sementara Pangeran Kuda Padmadata dan Mahisa Bungalan telah bersenjata pula.

“Jangan melawan” geram Kuda Rukmasanti, “segalanya akan sia-sia. Sebentar lagi, akan datang lebih banyak lagi orang-orang yang selama ini telah aku letakkan di istana ini, sementara hamba-hamba yang lain tidak akan berani berbuat sesuatu”

“Persetan” Mahisa Bungalan lah yang menjawab. Seolah-olah segalanya yang tertahan di dadanya, tiba-tiba saja telah melonjak, “Aku sudah terlalu lama menunggu kesempatan ini. Kau sudah terlalu lama menyiksa orang yang sama sekali tidak bersalah”

“Kau gila” Pangeran Kuda Rukmasanti hampir berteriak, “kau tahu, siapa aku?”

“Kau setan yang tidak pantas dihormati. Buat apa aku menghormatimu, memanggilmu dengan sebutan kehormatan, dan menyebut diriku dengan hamba sambil membungkuk dan menundukkan kepala dalam-dalam”

Pangeran Kuda Rukmasanti tidak dapat menahan gejolak hatinya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang Mahisa Bungalan sambil berteriak, “Cepat, bunuh semuanya”

Mahisa Bungalan sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu maka iapun segera mengelak dan meloncat ke sebelah lain dari ruangan itu. Katanya, “Disini kita akan bertempur”

Pangera Kuda Rukmasanti mengejarnya, sekali lagi menyerang. Namun senjatanya sama sekali tidak dapat menyentuh lawannya.

Sementara itu. kedua orang pengawal yang selalu membayangi Pangeran Kuda Padmadata itupun segera bertindak. Ia tidak ingin melepaskan Pangeran yang sudah sekian lamanya dibelenggunya dalam bayangan kekuasaan adik kandungnya. Karena itu, maka keduanya pun segera menyerangnya.

“Tanpa perasaan takut bahwa isteri dan anakku akan kalian korbankan, maka kau berdua adalah tikus-tikus celurut yang tidak berarti apa apa bagiku” geram Pangeran Kuda Padmadata.

Seberarnyalah bahwa keduanya ternyata tidak segera dapat menguasai Pangeran yang sudah bersenjata tombak itu. Bahkan kemudian ternyata, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang prajurit linuwih yang memiliki kemampuan memainkan senjata dengan tangkas. Meskipun ruangan itu tidak seluas medan, namun ia sama sekali tidak canggung mempergunakan sebatang tombak untuk melawan keduanya.

Sementara itu, pemimpin pengawal yang berada di dalam bilik itupun berteriak kepada pengawal yang tinggal seorang, karena kawannya yang bersama-sama memasuki bilik itu telah pingsan dan bahkan senjata telah berada di tangan Mahisa Bungalan, “Cepat. Panggil para pengawal yang lain”

Pengawal itu tidak menjawab. Iapun segera berlari keluar memanggil kawan-kawannya.

Mahisa Agni dan Witantra masih berdiri termangu-mangu. Namun ketika Pemimpin pengawal itu mendekatinya, maka Mahisa Agni berkata, “Apakah kita akan bertempur disini, atau di halaman?”

“Persetan. Aku bunuh kau berdua” geram pemimpin pengawal itu.

“Jika kau mampu lakukan. Tetapi sebaiknya diluar saja. Agaknya tempatnya lebih luas. kita tidak usah cemas bahwa orang-orang yang tidak berkepentingan akan menjadi penonton dalam permainan ini” jawab Mahisa Agni.

Pemimpin pengawal itu tidak sabar lagi. Dengan serta merta ia menyerang. Namun Mahisa Agni dan Witantra dengan cepat telah meloncat keluar dari ruangan itu sambil berkata, “Pangeran. Agaknya lebih leluasa bertempur diluar”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi agaknya Pangeran Kuda Padmadata mendengarnya, sehingga iapun bergeser ke pintu dan dengan serta merta meloncat keluar pula, beberapa saat setelah pemimpin pengawal itupun telah keluar pula menyusul Mahisa Agni dan Witantra.

Yang kemudian tinggal di dalam adalah Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Rukmasanti. Ternyata keduanya masih muda dan memiliki kemampuan yang tinggi. Seperti juga Pangeran Kuda Padmadata, maka Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang prajurit pilihan yang memiliki kemampuan yang dahsyat. Tetapi lawannya adalah Mahisa Bungalan. Seorang anak muda yang pada usia mudanya telah memiliki pengalaman yang sangat luas karena perantauannya serta berbekal ilmu yang cukup.

Pemimpin Pangawal yang bersenjata pedang panjang itu dengan garangnya telah menghadapi Mahisa Agni dan Witantra yang tidak bersenjata. Namun agaknya kedua orang itu masih belum siap untuk bertempur. Bahkan Witantra masih juga bertanya, “Apakah yang akan kau lakukan?”

“Membunuhmu” teriak pemimpin pengawal itu.

“Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu sendiri” berkata Witantra, “letakkan senjatamu dan menyerahlah kepada Pangeran Kuda Padmadata”

Pemimpin pengawal itu menggeram. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Witantra dengan ayunan mendatar. Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya. Senjatanya bagaikan menebas angin. Witantra dengan tangkasnya telah meloncat ke samping.

Kemarahan pemimpin pengawal itu telah membakar jantungnya. Ketika pedangnya tidak menyentuh Witantra, maka iapun segera melompat menyerang Mahisa Agni yang berdiri tidak terlalu jauh daripadanya. Tetapi seperti saat ia menyerang Witantra, maka pedangnya sama sekali tidak berarti bagi Mahisa Agni. Dengan gerak yang sederhana, Mahisa Agni telah berhasil menghindari serangan pemimpin pengawal di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Sementara itu, maka Pangeran Kuda Padmadata sendiri dengan kemampuan ilmunya yang tinggi, telah membingungkan kedua orang yang selama beberapa saat membayanginya.

Mahendra yang kemudian berdiri di pintu memperhatikan pertempuran yang terjadi di halaman. dan sekali-sekali ia mengawasi anaknya yang bertempur melawan Pangeran Kuda Rukmasanti, karena bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang prajurit yang pilih tanding.

Namun agaknya bekal yang dibawa oleh Mahisa Bungalan pun telah mampu melindungi dirinya. Beberapa saat lamanya mereka bertempur di dalam bilik itu. Sekali sekali mereka berloncatan menghamburkan perabot-perabot yang bernilai tinggi dari istana Pangeran Kuda Padmadata itu. Tetapi mereka tidak lagi menghiraukan, apa yang mereka pecahkan dan apa yang mereka rusakkan.

Sementara itu. Pangeran Kuda Padmadata ternyata telah berhasil mendesak kedua lawannya. Tombaknya berputar dan mematuk dengan dasyatnya. Bahkan kadang-kadang kedua lawannya harus berlompatan beberapa langkah untuk mengambil jarak.

“Pangeran” teriak salah seorang pengawal yang selalu membayanginya, “tuanku telah kahilangan kesadaran. Pandanglah kami. Tuanku tidak akan dapat menentang kehendak kami”

“Apakah kau kira aku sudah menjadi gila?” bertanya Pangeran Kuda Padmadata, “selama ini aku memang tunduk pada kehendakmu. Tetapi bukan karena aku takut kepadamu. Aku selalu kau bayangi dengan ancaman, bahwa kau akan mangorbankan isteri dan anakku. Tetapi sekarang, aku sudah mendapat kepastian, bahwa isteri dan anakku akan selamat. Karena itu, maka kalian berdua tidak akan berarti apa-apa lagi bagiku. Kalian akan mati diujung tombakku sebagai suatu pernyataan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang prajurit, seorang laki-laki, tetapi juga seorang suami dan ayah memikirkan keselamatan anaknya. Namun pada saat yang tepat, aku akan manunjukkan, bahwa aku adalah Pangeran Kuda Padmadata. Aku berkuasa di istana ini, dan aku mampu melawan kau berdua tanpa mengeluarkan keringat”

“Bohong” teriak salah seorang pengawal itu, “isteri dan anak Pangeran masih tetap dalam kekuasaan kami”

Sebelum Pangeran itu menjawab, maka terdengar suara Mahisa Agni, “Aku menjadi jaminan, bahwa isteri dan putera laki-laki Pangeran sudah kami selamatkan. Kami sudah menempatkan mereka di tempat yang paling aman. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan ayah perempuan itu, telah membunuh orang-orang yang diupah untuk melakukan pengejaran dan pembunuhan atas mereka”

“Gila” geram Pangeran Kuda Padmadata. Namun dengan demikian, maka senjatanya menjadi semakin cepat berputar.

Dalam pada itu. pemimpin pengawal yang bersenjata pedang itu dengan garangnya menyerang Witantra dan Mahisa Agni berganti-ganti. Tetapi ia sama sekali tidak dapat manyentuh mereka, sehingga seperti orang yang wuru ia mengamuk tanpa dapat berbuat apapun juga.

Namun sejenak kemudian, maka beberapa orang mulai mendekati arena. Orang-orang yang di tempatkan di istana itu oleh Pangeran Kuda Rukmasanti telah mendengar apa yang terjadi. Karena itu, maka merekapun segera mengepung arena perkelahian itu.

“Mereka datang” geram Pemimpin pengawal itu, “sebelum kalian menyadari apa yang terjadi, maka kalian telah terbunuh disini. Mayat kalian malam ini juga akan dilemparkan ke hutan untuk menjadi makanan anjing-anjing liar” Mahisa Agni dan Witantra memperhatikan beberapa bayangan yang memutari tempat itu. Semakin lama menjadi semakin menyempit. Tiba-tiba dari antara mereka meloncat seorang anak muda di hadapan Mahisa Agni sambil menggeram, “He, kau orang tua gila. Apa yang kau lakukan disini”

Mahisa Agni memandang anak muda itu. Anak muda, yang sehari-hari menjadi pekatik meskipun ia tidak pandai menyabit rumput. “Aku sedang melihat perkelahian yang tidak atau jarang sekali terjadi di padukuhanku” jawab Mahisa Asni.

“Gila. Pergi atau aku cekik kau sampai mati”

Witantra yang semula memperhatikan orang itu, segera harus berloncatan, karena pemimpin pengawal itu telah menyerangnya pula dengan garangnya.

“Jangan melibatkan diri” berkata Mahisa Agni, “ aku tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Pangeran Kuda Rukmasanti. Tetapi sebaiknya, kau menyingkir saja”

“He, apakah kau sudah gila” bentak anak muda itu, “aku dapat membunuhmu”

Mahisa Agni tersenyum. Sementara itu justru Mahendra telah terlibat dalam perkelahian melawan beberapa orang yang mendekatinya. “Menyingkirlah anak muda” berkata Mahisa Agni, “besok aku ajari kau menyabit rumput”

Anak muda itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia meloncat menyambar kepala Mahisa Agni. Namun kali ini anak muda itu terkejut. Mahisa Agni tidak berteriak kesakitan dan minta maaf. Tetapi tangannya sama sekali tidak menyentuh apapun juga.

Mahisa Agni yang meloncat menghindari tangan pekatik muda itu tersenyum. Katanya, “Jangan terlampau garang. Sayang, bahwa aku sekarang bukannya pekatik tua yang membiarkan dirinya kau bentak-bentak”

“Siapakah kau?” geram pekatik muda itu.

“Baiklah aku katakan dengan terus terang agar kau tahu duduk persoalannya” jawab Mahisa Agni, “aku adalah petugas dari Singasari yang berkewajiban untuk mengetahui keadaan istana ini sebenarnya. Nah, kau tentu tahu maksudnya, karena kau tentu juga terlibat dalam persoalan ini”

“Persetan” geram anak muda itu, “sementara itu ia melihat beberapa orang kawannya telah semakin dekat, “kau dapat terbunuh tanpa ampun disini. Aku sudah curiga, bahwa kau bukan pekatik kebanyakan”

Mahisa Agni tidak menjawab. Beberapa orang sudah mengepungnya. Yang lain, bersama dengan pemimpin pengawal itu mengepung Witantra, sementara yang lain lagi bertempur melawan Mahendra.

Di dalam bilik itu, Mahisa Bungalan masih bertempur dengan sengitnya melawan Pangeran Kuda Rukmasanti. Pangeran dari Kediri itu sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat ia akan berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya. Bahkan beberapa orang lain yang datang bersamanya telah berusaha membongkar kelicikan yang telah dilakukan beberapa lama untuk menghapus keturunan kakak kandungnya yang kaya raya, sehingga segalanya akan dapat dimilikinya bersama seorang perempuan yang disebutkan sebagai isteri kakak kandungnya itu.

Tetapi agaknya ancaman yang selama itu dipergunakannya untuk menjerat kakak kandungnya, yaitu kematian isterinya dan anaknya, telah disingkapkan kenyataannya oleh orang-orang yang menyebut dirinya petugas sandi dari Singasari itu. Betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnyalah ia tidak dapat memaksakan kehendaknya atas lawannya itu.

Sementara itu, Pangeran Kuda Padmadata bertempur dengan marahnya melawan dua orang yang untuk beberapa lamanya selalu membayangi, sehingga sebenarnyalah. bahwa Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah muak kepadanya. Setiap kali kedua orang itu selalu menyebut isteri dan anak laki-lakinya jika ia membantah atau menentang kehendak mereka. Tetapi saat ia menyadari, bahwa keduanya tidak lagi dapat menakut-nakutinya lagi dengan nasib anak istrinya, maka iapun dapat menumpahkan segala gejolak perasaannya yang tertahan.

Dengan demikian, maka Pangeran itupun bertempur dengan sepenuh tenaga. Namun demikian kedua lawannyapun berusaha untuk melawannya. Keduanya adalah orang orang yang sudah terpilih untuk melakukan tugas mereka. Karena itu, merekapun pada saatnya merasa wajib pula untuk bertahan. Tetapi Pangeran Kuda Padmadata yang selama ini sama sekali tidak dapat menentang mereka berdua, tiba-tiba saja telah menjadi sangat garang. Tombaknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Sekali-kali berputar namun tiba-tiba tombak itu terjulur mematuk dengan dahsyatnya.

Agaknya kemarahan Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak tertahankan. Dengan segenap kemampuannya ia melibatkan kedua lawannya dalam putaran senjatanya yang bergulung-gulung seperti angin pusara. Betapa sulitnya berusaha untuk melepaskan diri dari kuasa kemampuan Pangeran Kuda Padmadata yang untuk beberapa lamanya justru berada di bawah kekuasaan mereka berdua.

Mahisa Agni yang berhadapan dengan pekatik muda itu beserta beberapa orang yang lain masih berusaha meyakinkan mereka bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa. “Menyerahlah. Kalian tidak akan terlibat banyak pengkhianatan.”

“Lebih baik aku membunuhmu” geram pekatik muda itu, “aku akan menyesal bahwa kadang-kadang aku masih juga berbaik hati kepadamu. Jika tidak kemarin aku membunuhmu, maka sekarang aku akan mencekikmu.”

Pekatik muda itu masih akan berbicara terus. Tetapi Mahisa Agni sudah jemu mendengarnya. Karena itu sebelum ia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja terasa mulutnya menjadi sakit. Ia tidak tahu, kapan Mahisa Agni itu bergerak. Namun tiba-tiba saja bibirnya bagaikan menjadi pecah.

“Sebuah peringatan” desis Mahisa Agni, “aku dapat berbuat lebih keras terhadapmu dan terhadap siapapun”

Pekatik muda itu bergeser surut. Ketika ia mengusap bibirnya, terasa tangannya menjadi hangat. Dalam cahaya lampu yang lamat-lamat ia melihat warna merah telah mengotori jari-jarinya. “Darah” desisnya.

Namun dalam pada itu, iapun tiba-tiba berteriak, “Bunuh orang tua gila ini”

Beberapa orang yang memang di bawah perintahnya yang tersebar di istana itupun segera berloncatan maju. Namun satu demi satu mereka terlempar menjauh. Demikian mereka terjatuh, maka mereka merasa sulit untuk dapat bangkit kembali.

Demikian pula lawan Mahendra yang dikepung oleh beberapa orang. Bahkan tiba-tiba saja ia mendengar suara Ki Wastu, “Aku sudah berada di sini.”

Mahendra berpaling sejenak, sementara Ki Wastu berkata, “Maaf aku telah memasuki halaman karena aku mendengar keributan yang lamat-lamat.”

“Jadi keributan itu terdengar sampai di jalan di depan istana itu?” bertanya Mahendra.

“Tetapi tidak jelas. Karena aku sudah membayangkan apa yang terjadi, maka aku segera mengetahui, bahwa pertempuran telah terjadi.”

Mahendra mengangguk-angguk, sementara lawannya mengitarinya semakin rapat. Ketika beberapa orang menyerangnya, maka Mahendra pun berkata, “Jangan tergesa-gesa. Sebaiknya kalian memikirkan sekali lagi apa yang kalian kerjakan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi beberapa orang dari mereka telah terlempar, sementara yang lain tiba-tiba saja bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang luar biasa, sehingga mereka telah terlempar jauh. Agaknya Ki Wastu pun tidak tinggal diam. Ia pun telah mulai memasuki arena...