Dewi Maut Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat.

Tetapi Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.

Dia adalah seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang kala timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang sudah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong.

Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan serta keadaan seorang janda di jaman itu. Akan rusaklah nama seorang janda kalau dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apa lagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.

Giok Keng mengepal dua tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang lelaki, apa lagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Sekarang yang paling penting baginya adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!

Tiba-tiba saja terdengar suara tangis wanita. Buyarlah semua lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka dia pun segera menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah mendekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.

"Tidak, biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.

"Ahh, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"

Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi, lantas mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik maka cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan kemudian dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.

"Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."

"Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?"

Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami hanya memiliki seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap."

"Lenyap? Apa yang terjadi?"

"Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.

"Siluman? Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.

"Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami."

Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantung Giok Keng berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!

"Di manakah kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!

"Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."

"Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.

Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!

Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di kota Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok sangat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaannya telah berubah banyak.

Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu pada saat Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang sudah berhasil dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya kembali dia menjadi kaisar. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, kekuasaan mereka telah banyak berkurang, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan.

Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling banyak hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apa lagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka karena para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang mempergunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam 'kerja sama' di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, maka rakyat yang akan menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.

Malam itu Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah hingga akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya lantas mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya, merupakan tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menunggu dengan sabar. Menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada sosok bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.

"Hemm, tentu itu dia silumannya!" pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.

Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan amat hati-hati dan terus membayangi sosok bayangan di depan itu. Oleh karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi oleh sinar bintang-bintang, dia tak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari satu rumah ke rumah lainnya dan agaknya sedang mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.

"Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!" pikir Giok Keng yang lalu menanti di atas rumah itu dan bersikap waspada.

Tidak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang sudah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari pemilik gedung di bawah.

"Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?!" Giok Keng membentak.

Tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang lelaki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.

"He-heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!" Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Kenapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?

"Ahh... aku bukan..."

"Pengecut!" Giok Keng lantas menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.

"Ehhh...?!" Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang.

Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dulu. Jika dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu.

Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, akan tetapi hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in Kun-hoat yang sangat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyainya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.

Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan walau pun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

"Aduhhh...!" Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, "Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya..."

Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

"Hayo kau ikut bersamaku!" Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

"Baik, lihiap!" Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itu pun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

"Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!" bentaknya.

"Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."

Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu. Dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi bungkusan sumbangannya itu lalu ditukar oleh seorang maling tua, dan inilah orangnya!

"Ahhh...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku!"
Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. "Sampai sekarang saya menyesal sekali bila teringat akan kelancangan saya yang hanya dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, hingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap," Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api.

Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan memakai topi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta yang diselenggarakan oleh Phoa Lee It.

Akan tetapi kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah untuk pertama kalinya dia bentrok dengan In Hong hingga menimbulkan kemarahannya yang berakibat hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya sendiri.

Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu, bahwa sebetulnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa.

Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikan dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar sana untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

"Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."

"Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kau curi itu dan di mana pula kau sembunyikan gadis-gadis yang kau culik!" Tiba-tiba saja Giok Keng membentak dan…

"Sratttt...!" tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya!

Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya, hanya tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dadanya. Terasa olehnya ujung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, lari pun akan percuma saja.

"Ehh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."

"Hemmm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?"

Kini ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Ya ampunnnn... lihiap, ada kesalah fahaman di sini! Sungguh lihiap sudah salah sangka. Apa bila lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saya melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan..."

Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. "Ceritakan yang jelas!" bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang sangat pandai bicara ini.

"Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, Can Pouw adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apa lagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Walau pun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!"

Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapa pun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

"Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"

"Begini, lihiap. Saya juga mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu benar-benar melanggar kehormatan serta kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Kalau maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama baik maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja lantas mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, hingga seminggu saya setiap malam menyelidiki, tapi maling siluman itu tidak pernah muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya kemudian mengambil keputusan untuk memancing siluman itu agar keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentulah siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya sehingga dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa sangka bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat."

Dia cepat menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulailah dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

"Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?"

Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. "Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak pernah sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap ini, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya seorang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baikku itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya."

Giok Keng menjadi makin tertarik. "Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?"

Can Pouw mengerutkan alisnya. "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap sudah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?" Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.

Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi dia pun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apa lagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting dari pada urusan In Hong.

"Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."

"Kalau begitu, mari kita bersama-sama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukan siluman penculik perawan, melainkan seorang maling yang terhormat!"

"Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!" dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

"Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyaingi dia dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali." Can Pouw lalu menepuk-nepuk kantong itu sehingga terdengarlah suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

"Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."

Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Sesudah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian dia pun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tak mampu bergerak dan akhirnya dia pun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka pun keluar untuk mencari keterangan mengenai perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan persis seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah ‘siluman’ itu.

Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa sebuah kamar lagi di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka.

Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan amat hati-hati dan secara diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih berpengalaman dalam hal mencari jejak maling!

Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa hingga tengah malam, tak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

"Aku akan pancing dia!" pikir Giok Keng.

Mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw. Sikapnya seakan-akan menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata,

"Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik."

Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh agar dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw dengan lebih baik dan memberinya kesempatan untuk ‘melakukan sesuatu’. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh dan tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.

Nah, kini si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya pada saat dia mendengar Can Pouw berteriak. "Tolong, lihiap...!" dan Giok Keng melihat sosok bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng!

Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam lantas meloncat ke arah bayangan hitam itu. Sambil meloncat dia terus menikam dengan gerakan cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

"Ehhh...?" Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya, dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

"Tranggg...!"

Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

"Ahhh...!" Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan kembali menyerang lagi.

"Cring-trang-triinggg...!"

Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat bukan main, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jeri.

"Siluman, hendak lari ke mana kau?" Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar.

Akan tetapi dia telah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Ke mana perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi, pendekar wanita ini pun cepat menggunakan ginkang-nya terus melakukan pengejaran. Lawannya itu agaknya sudah hafal dengan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, pada saat bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan dia pun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, segera terdengar teriakan. "Tangkap siluman!" maka muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

"Aku bukan siluman, bahkan aku sedang mengejar dan mencarinya!" bentak Giok Keng sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

"Omitohud, wanita pembohong!" tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampaklah kepalanya yang gundul. "Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini sudah mengeruhkan kota Heng-tung!"

Giok Keng tak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Hwesio yang bertubuh tinggi besar itu, yang ilmu pedangnya sangat kuat dan tampaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, tiba-tiba membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan sapu tangan merah kemudian nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebenarnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus.

Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan sangat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia segera mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau balau dan tiba-tiba pundaknya kena ditotok. Maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itu pun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya kemudian memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lainnya, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

"Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, lagi pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji. Semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!" Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

"Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukan siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung." Giok Keng lalu berkata. "Harap losuhu suka membebaskan aku."

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. "Sudah semenjak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Dari pada kau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik kau mengaku kepada pinceng di mana kau sembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kau curi malam kemarin."

"Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing agar siluman yang selama ini mengganggu kota ini mau keluar. Aku sungguh bukan maling, losuhu."

"Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?" Sepasang mata yang besar itu menatap tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

"Losuhu, kalau kau tak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Namaku Cia Giok Keng, dan aku adalah puteri dari ketua Cin-ling-pai..."

"Ohhhhh...!"
Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak mengeluarkan seruan kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, hingga beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras. Kedua matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

"Omitohud...!" Akhirnya dia pun menarik napas panjang. "Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"

"Aku tidak bohong, losuhu!" Giok Keng berkata marah.

"Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?"

"Ah, pendeta terkutuk itu?" Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. "Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, dan orangnya pesolek!"

"Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai..."

"Losuhu, akulah yang sudah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar nyawanya ke neraka!" Giok Keng berkata penuh semangat.

Memang pengakuannya ini benar. Di dalam cerita Petualang Asmara dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan juga seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang ‘hwesio’ bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sute-nya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula!

Bersama belasan orang anak-anak buahnya, Kim Hwa Cinjin ingin meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman hingga tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak-anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia.

Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberi tahukan bahwa mereka merupakan hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat!

Dan bersama dengan kedatangan rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, maka mulailah kota itu diganggu ‘siluman’. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk ‘makanan’ mereka yang telah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka gunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw.

Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, maka kawanan Pek-lian-kauw ini tentu saja dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan mengira bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledah, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 39

Dewi Maut Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat.

Tetapi Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.

Dia adalah seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang kala timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang sudah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong.

Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan serta keadaan seorang janda di jaman itu. Akan rusaklah nama seorang janda kalau dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apa lagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.

Giok Keng mengepal dua tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang lelaki, apa lagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Sekarang yang paling penting baginya adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!

Tiba-tiba saja terdengar suara tangis wanita. Buyarlah semua lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka dia pun segera menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah mendekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.

"Tidak, biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.

"Ahh, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"

Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi, lantas mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik maka cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan kemudian dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.

"Lihiap, mohon lihiap menolong kami..."

"Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?"

Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami hanya memiliki seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap."

"Lenyap? Apa yang terjadi?"

"Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.

"Siluman? Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.

"Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami."

Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantung Giok Keng berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!

"Di manakah kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!

"Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."

"Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.

Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!

Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di kota Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok sangat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaannya telah berubah banyak.

Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu pada saat Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang sudah berhasil dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya kembali dia menjadi kaisar. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, kekuasaan mereka telah banyak berkurang, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan.

Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling banyak hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apa lagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka karena para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang mempergunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam 'kerja sama' di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, maka rakyat yang akan menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.

Malam itu Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah hingga akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya lantas mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya, merupakan tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menunggu dengan sabar. Menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada sosok bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.

"Hemm, tentu itu dia silumannya!" pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.

Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan amat hati-hati dan terus membayangi sosok bayangan di depan itu. Oleh karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi oleh sinar bintang-bintang, dia tak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari satu rumah ke rumah lainnya dan agaknya sedang mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.

"Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!" pikir Giok Keng yang lalu menanti di atas rumah itu dan bersikap waspada.

Tidak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang sudah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari pemilik gedung di bawah.

"Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?!" Giok Keng membentak.

Tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang lelaki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.

"He-heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!" Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Kenapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?

"Ahh... aku bukan..."

"Pengecut!" Giok Keng lantas menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.

"Ehhh...?!" Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang.

Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dulu. Jika dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu.

Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, akan tetapi hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in Kun-hoat yang sangat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyainya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.

Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan walau pun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

"Aduhhh...!" Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, "Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya..."

Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

"Hayo kau ikut bersamaku!" Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

"Baik, lihiap!" Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itu pun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

"Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!" bentaknya.

"Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."

Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu. Dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi bungkusan sumbangannya itu lalu ditukar oleh seorang maling tua, dan inilah orangnya!

"Ahhh...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku!"
Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. "Sampai sekarang saya menyesal sekali bila teringat akan kelancangan saya yang hanya dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, hingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap," Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api.

Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan memakai topi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti sudah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta yang diselenggarakan oleh Phoa Lee It.

Akan tetapi kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah untuk pertama kalinya dia bentrok dengan In Hong hingga menimbulkan kemarahannya yang berakibat hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya sendiri.

Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu, bahwa sebetulnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa.

Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikan dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar sana untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

"Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."

"Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kau curi itu dan di mana pula kau sembunyikan gadis-gadis yang kau culik!" Tiba-tiba saja Giok Keng membentak dan…

"Sratttt...!" tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya!

Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya, hanya tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dadanya. Terasa olehnya ujung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, lari pun akan percuma saja.

"Ehh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."

"Hemmm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?"

Kini ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Ya ampunnnn... lihiap, ada kesalah fahaman di sini! Sungguh lihiap sudah salah sangka. Apa bila lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saya melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan..."

Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. "Ceritakan yang jelas!" bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang sangat pandai bicara ini.

"Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, Can Pouw adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apa lagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Walau pun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!"

Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapa pun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

"Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"

"Begini, lihiap. Saya juga mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu benar-benar melanggar kehormatan serta kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Kalau maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama baik maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja lantas mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, hingga seminggu saya setiap malam menyelidiki, tapi maling siluman itu tidak pernah muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya kemudian mengambil keputusan untuk memancing siluman itu agar keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentulah siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya sehingga dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa sangka bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat."

Dia cepat menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulailah dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

"Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?"

Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. "Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak pernah sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap ini, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya seorang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baikku itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya."

Giok Keng menjadi makin tertarik. "Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?"

Can Pouw mengerutkan alisnya. "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap sudah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?" Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.

Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi dia pun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apa lagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting dari pada urusan In Hong.

"Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."

"Kalau begitu, mari kita bersama-sama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukan siluman penculik perawan, melainkan seorang maling yang terhormat!"

"Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!" dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

"Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyaingi dia dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali." Can Pouw lalu menepuk-nepuk kantong itu sehingga terdengarlah suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

"Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."

Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Sesudah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian dia pun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tak mampu bergerak dan akhirnya dia pun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka pun keluar untuk mencari keterangan mengenai perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan persis seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah ‘siluman’ itu.

Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa sebuah kamar lagi di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka.

Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan amat hati-hati dan secara diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih berpengalaman dalam hal mencari jejak maling!

Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa hingga tengah malam, tak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

"Aku akan pancing dia!" pikir Giok Keng.

Mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw. Sikapnya seakan-akan menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata,

"Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik."

Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh agar dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw dengan lebih baik dan memberinya kesempatan untuk ‘melakukan sesuatu’. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh dan tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.

Nah, kini si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya pada saat dia mendengar Can Pouw berteriak. "Tolong, lihiap...!" dan Giok Keng melihat sosok bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng!

Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam lantas meloncat ke arah bayangan hitam itu. Sambil meloncat dia terus menikam dengan gerakan cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

"Ehhh...?" Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya, dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

"Tranggg...!"

Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

"Ahhh...!" Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan kembali menyerang lagi.

"Cring-trang-triinggg...!"

Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat bukan main, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jeri.

"Siluman, hendak lari ke mana kau?" Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar.

Akan tetapi dia telah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Ke mana perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi, pendekar wanita ini pun cepat menggunakan ginkang-nya terus melakukan pengejaran. Lawannya itu agaknya sudah hafal dengan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, pada saat bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan dia pun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, segera terdengar teriakan. "Tangkap siluman!" maka muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

"Aku bukan siluman, bahkan aku sedang mengejar dan mencarinya!" bentak Giok Keng sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

"Omitohud, wanita pembohong!" tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampaklah kepalanya yang gundul. "Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini sudah mengeruhkan kota Heng-tung!"

Giok Keng tak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Hwesio yang bertubuh tinggi besar itu, yang ilmu pedangnya sangat kuat dan tampaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, tiba-tiba membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan sapu tangan merah kemudian nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebenarnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus.

Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan sangat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia segera mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau balau dan tiba-tiba pundaknya kena ditotok. Maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itu pun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya kemudian memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lainnya, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

"Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, lagi pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji. Semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!" Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

"Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukan siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung." Giok Keng lalu berkata. "Harap losuhu suka membebaskan aku."

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. "Sudah semenjak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Dari pada kau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik kau mengaku kepada pinceng di mana kau sembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kau curi malam kemarin."

"Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing agar siluman yang selama ini mengganggu kota ini mau keluar. Aku sungguh bukan maling, losuhu."

"Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?" Sepasang mata yang besar itu menatap tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

"Losuhu, kalau kau tak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Namaku Cia Giok Keng, dan aku adalah puteri dari ketua Cin-ling-pai..."

"Ohhhhh...!"
Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak mengeluarkan seruan kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, hingga beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras. Kedua matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

"Omitohud...!" Akhirnya dia pun menarik napas panjang. "Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"

"Aku tidak bohong, losuhu!" Giok Keng berkata marah.

"Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?"

"Ah, pendeta terkutuk itu?" Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. "Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, dan orangnya pesolek!"

"Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai..."

"Losuhu, akulah yang sudah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar nyawanya ke neraka!" Giok Keng berkata penuh semangat.

Memang pengakuannya ini benar. Di dalam cerita Petualang Asmara dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan juga seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang ‘hwesio’ bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sute-nya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula!

Bersama belasan orang anak-anak buahnya, Kim Hwa Cinjin ingin meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman hingga tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak-anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia.

Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberi tahukan bahwa mereka merupakan hwesio-hwesto pangganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat!

Dan bersama dengan kedatangan rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, maka mulailah kota itu diganggu ‘siluman’. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk ‘makanan’ mereka yang telah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka gunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw.

Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, maka kawanan Pek-lian-kauw ini tentu saja dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan mengira bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledah, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali...
Selanjutnya,