Dewi Maut Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KINI In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan dia pun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali dua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang sangat aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimana pun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu lantas disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata,

"Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tak perlu terlalu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apa lagi ketika lampu penerangan di luar kamar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi semakin terang, dan dia dapat mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di pinggir pembaringan sambil berbisik,

"Hong-moi, hati-hatilah..."

"Ada apakah, Houw-koko?"

"Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, tapi entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam.

Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan jari-jari tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka pun melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam laksana lautan yang sukar dijajaki dalamnya, bibir yang sedikit terbuka seakan-akan menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang bagaikan tangkai bunga.

Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

"Ahhh...!" In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

"Maaf, Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Sekarang napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Akan tetapi mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai!

Seperti didorong oleh tenaga yang tidak nampak, Bun Houw melangkah maju, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya ini? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu sambil tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

"Hong-moi..." Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak dara itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

"Ada apa... koko...?"

Dara itu mengangkat mukanya. Benar saja, mukanya merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

"Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan ehh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!" Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menunggu kemarahan dara itu, andai kata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

"Terima kasih... Houw-ko..." suaranya tersendat-sendat.

Mereka masih saling pandang, dan akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya bagaikan mabok dan tidak sadar, Bun Houw lalu merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya.

Kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh,

"Houw-ko..."

"Hong-moi ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul birahinya yang sangat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya supaya menjadi satu dan tak akan terpisah lagi dengan dia!

"Hi-hi-hik!"

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan bagaikan ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum bahwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

"Hong-moi... ahh… celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

"Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi..."

"Dalam arak mungkin..."

"Ha-ha-ha!" terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar sekali, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada di dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha-ha!"

"Hi-hik, sebetulnya bukan racun yang berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih tepat dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!"

"Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"

"Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

"Ha-ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apa lagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjinah di dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Dan aku juga ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh temanku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Ternyata itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu birahi agar dalam keadaan tidak sadar mereka berdua melakukan hubungan kelamin, berjinah di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka.

Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebar luaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

"Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw membentak marah.

"Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"

"Hik-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan mengira pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.

"Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan," terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, atau setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri saling berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu birahi yang menyesakkan dada.

"Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. "Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku rasanya panas bukan main... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."

"Demikian pula keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Kau duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sinkang untuk mengusir hawa yang memabokkan."

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu birahi yang makin kuat.

Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara mana pun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak sekali selir.

Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguh pun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

Obat ini juga sekaligus merupakan racun, akan tetapi pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab yang bisa mendatangkan rangsangan birahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekali pun, juga bagi raja sendiri yang telah kekurangan gairah itu bisa dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu obat ini akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuat pun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, karena itu tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sejenis lalat istimewa yang hanya hidup di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, kemudian dicampur arak. Sama sekali tidak merubah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sinkang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka berdua akan sanggup menyelamatkan diri dengan pengerahan sinkang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah serta otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu birahi sehingga biar pun mereka telah mengerahkan sinkang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan birahi itu.

Semakin malam, semakin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebenarnya mempunyai gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali!

Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, bagaikan mata orang mengantuk, agak basah. Hidungnya kembang-kempis dan mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan birahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Dia pun sudah membuka matanya, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri dan menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

"Ohhh... Houw-ko... ahhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In Hong merintih-rintih memelas sekali.

"Pertahankanlah, Hong-moi. Memang pengerahan sinkang tidak menolong, satu-satunya jalan hanyalah bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan semakin hebat.

"Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ahhhh, tubuhku panas sekali..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

"Hong-moi... jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung saat mendekati pembaringan itu, cepat-cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

"Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...," In Hong mengeluh dan setengah terisak.

"Pertahankan, adikku, pertahankan..."

"Ohhh, Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu.
Bun Houw cepat memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka gadis itu. Akhirnya In Hong terisak sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

"Houw-koko..." Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

"Bagaimana, Hong-moi..."

"Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak peduli... kau lakukanlah sekehendak hatimu..." kedua lengan In Hong yang merangkul itu semakin menguat dan mukanya dibenamkan pada dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan dia pun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh dari pada berpelukan itu.

"Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus tetap kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"

"Houw-ko..." In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini.

In Hong masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi dia berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana. "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."

"Hong-moi, tidak...!" Bun Houw yang hampir tak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling.

Dia segera duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

"Kau benar... Houw-ko, kau benar..."

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanyalah isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, terbuka di sana sini akibat dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju yang terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tidak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang melawan diri sendiri, karena sesudah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya bagaikan dibakar dan keadaannya malah semakin menderita lagi. Mendengar suara rintihan disertai isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya sedikit diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja maka Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

"Hong-moi, ahhh, Hong-moi..."

Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong birahi. Kini Bun Houw yang sudah tak kuat menahan lagi, dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itu pun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak, dan akhirnya dorongan nafsu telah membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

"Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.

"Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak merangkul.

Akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga tubuh Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

"Houw-ko...!" Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat-cepat turun dan berlutut. "Kau... kau tidak apa-apa...?"

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi pada waktu Bun Houw hendak menciumnya, sekuat tenaga gadis ini menekan gairahnya sendiri lantas dia memalingkan muka.

"Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."

"Ahhh, Hong-moi..."

"Maafkan, aku, koko..." In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. "Ahhh, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati dari pada tunduk kepada mereka..."

Untung bagi Bun Houw bahwa pada saat-saat terakhir itu In Hong disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang semenjak kecil memang jauh dari pada penghambaan nafsu birahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya.

Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinahan atau hubungan kelamin bagaikan yang diharapkan oleh dua orang suami isteri cabul di luar tempat tahanan itu, dan oleh Hek I Siankouw yang tidak turut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguh pun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinahan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu sudah hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang itu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

"Koko..."

"Hong-moi..."

Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu sambil merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan lagi, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

"Hong-moi, hanya inilah satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya segera bergerak dan menotok tengkuk In Hong.

Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu sudah terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

"Terkutuk!"

"Keparat!"

Suami isteri di luar tempat tahanan itu langsung menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka sudah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan sekarang, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!

Hampir pada umumnya manusia mempunyai kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau hanya mendengar penuturan orang mau pun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada!

Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelajaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.

Yang paling penting adalah menghadapinya sebagai sebuah kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandang penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencela, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?

Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan di dalam hubungan kelamin (sex). Apakah cabul kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau kita melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan hubungan sex, lantas timbul istilah cabul?

Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex memiliki daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu birahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu birahi dianggap cabul!

Padahal, tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu birahi. Hubungan sex merupakan sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu birahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI!

Pikiran kita menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah birahi kita sendiri.


Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi satu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya bisa terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, iri hati, kemarahan, kebencian dan segalanya itu tidak terletak di tempat yang jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri!

Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun juga, kesenangan lahir mau pun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber dari semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!


In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi!

Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini sudah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa berhutang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apa lagi ketika pemuda itu, yang sudah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di hadapan subo-nya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu.

Kini terbukalah matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subo-nya itu tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Cia Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya.

Hatinya semakin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu sudah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, dia pun merasa iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dengan dara itu. Akan tetapi, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apa pun juga.

Pada waktu dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri!

Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang dia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sejak sore-sore dia sudah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, namun secara diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan.

Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentar pun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu pada waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tidak tertahankan olehnya. Baiknya In Hong sudah menggeletak pingsan, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke dalam kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak bagaikan orang yang tidak bernyawa lagi, langsung meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu. Cepat dia memeriksa dan legalah hatinya pada saat melihat bahwa Bun Houw ternyata masih bernapas, malah bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw lalu dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.

Dia tidak tahu dengan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, sebab itu dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan.

Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan ada pun gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung sekali, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya.

Sungguh pun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya seperti orang mabok itu, akan tetapi akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

"Eh... ehh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu.

Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tidak lama kemudian dia malah sudah balas memeluk dan balas menciumi, tak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lantas terguling di atas pembaringan Si Kwi, dan mereka melupakan segala-galanya.

Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah dikarenakan di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak mau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi kali ini, pada saat pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu merayunya lebih hebat seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid Hek I Siankow!

Saat itu Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu birahinya yang bernyala-nyala itu. Andai kata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan itu dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu sudah menipis.

Begitu sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia segera tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan!

Penyesalan yang amat hebat, ditambah rasa kaget yang luar biasa besarnya, ditambah pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, pengerahan tenaga kemauan yang amat hebat pada waktu dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Mendadak terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.

Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang semakin menebal rasa kasih sayangnya terhadap pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walau pun tidak secara sah, kini bagaikan disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang sudah terjadi. Dia pun tidak menyesal, hanya khawatir karena dia sudah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

"Liong Si Kwi, engkau sangat hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk."

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera menyambar siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

"Ha-ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang hanya untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau sudah membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis, kemudian mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini?"

Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apa lagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subo-nya lagi.

Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja dari pada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah dari pada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini mengertilah dia bahwa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia.

Kini dia dapat menduga mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak terus menciuminya, dan dia mengerti pula mengapa In Hong juga pingsan. Ternyata mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu?

Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Dia pun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangsang yang sangat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

"Aku harus cepat melapor kepada subo!" pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat-cepat dia melarikan diri ke kamar subo-nya.

Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apa lagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subo-nya dan minta tolong pada subo-nya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subo-nya akan semua hal dengan terus terang, subo-nya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

"Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!" katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat.
Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw sudah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

"Si Kwi, apakah yang telah terjadi?" tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar tapi karena tidak melihat siapa pun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sebagai sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang diharapkan dapat menolongnya dan menolong Bun Houw.

"Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."

"Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!" gurunya membentak.

"Subo, teecu sudah jatuh cinta... sejak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu sudah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."

Gurunya mengerutkan alisnya. "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"

Gadis itu cepat mengangkat muka, memandang wajah subo-nya dengan penuh harapan. "Jadi... subo... setuju...?"

"Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan."

"Ah, terima kasih, subo...!" Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. "Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah. "Apa?! Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?" bentak gurunya.

"Ah, tidak...! Tidak begitu, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi..."

"Malam tadi mengapa? Hayo katakan!"

"Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."

"Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka..." Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. "Si Kwi!" Dia membentak, "Ceritakan, apa yang terjadi!"

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia sudah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

"Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."

"Dessss...!" Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangan gurunya.

Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biar pun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi bagaimana pun pemuda itu adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan.

Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu sebab dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sebenarnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dengan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, maka nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

"Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"

"Harap subo sudi mengampuni teecu!" kata pula Si Kwi. "Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan juga sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta padanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!" Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah pada waktu dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan dia pun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin sangat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan selamanya tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

"Aku pun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."

"Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..." Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. "Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo..."

"Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!"

"Akan tetapi... subo..."

"Tutup mulut! Tidak ada tetapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan lagi kau memperlihatkan muka kepadaku!"

"Subo...!"

"Aku tidak mempunyai murid semacammu! Pergiiiii...!" Hek I Siankouw membentak dan mengusir.

Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.

Tokouw ini memang sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia kemudian sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat.

Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu sudah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang meski air mata masih membanjiri pipinya.

"Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusir dia pergi dari sini!" Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

"Hemm... agaknya tadi malam banyak terjadi hal-hal hebat di sini," kata Hek-hiat Mo-li. "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!" Ucapan lanjutan itu bernada keras.

"Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, tetapi gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"

"Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan kedua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?" kata Coa-tok Sian-li.

"Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertiga juga turut bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"

"Hemmm... apakah sesungguhnya yang sudah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?" Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

"Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua senangi, maka kami bertiga sudah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah. "Hemmm, lalu?" tanya Hek-hiat Mo-li.

"Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan dua tawanan itu, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok akibat racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang lalu menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu masih ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini." Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.

Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu karena hal ini dilakukan sebagai ‘pukulan simpanan’ kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama untuk melindungi muridnya!
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 35

Dewi Maut Jilid 35
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KINI In Hong tidak ragu-ragu lagi untuk makan dan minum, bahkan dia pun minum arak wangi yang manis dan lezat itu untuk menghangatkan tubuhnya, ditemani oleh Bun Houw yang sama sekali tidak kelihatan berduka atau khawatir. Dan memang sesungguhnya, secara aneh sekali dua orang muda itu tidak merasa khawatir atau tidak senang, bahkan baru sekarang mereka merasakan kegembiraan yang sangat aneh! Mereka tidak sadar bahwa itulah tanda-tanda cinta! Cinta tidak mengenal duka dan khawatir, dalam keadaan bagaimana pun juga.

Ketika mereka selesai makan minum dan Bun Houw menaruh perabot-perabot makan di dekat lubang, lubang itu terbuka dari luar dan dengan cepatnya mangkok piring itu lantas disambar oleh tangan yang tidak nampak, dibawa keluar dan terdengarlah suara terkekeh genit dari Coa-tok Sian-li yang berkata,

"Hi-hi-hik, selamat menikmati malam pengantin!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Ucapan seorang cabul seperti Coa-tok Sian-li memang tak perlu terlalu diperhatikan, akan tetapi di dalam kata-kata itu terkandung sesuatu yang membuat dia menaruh curiga. Apa lagi ketika lampu penerangan di luar kamar dibesarkan sehingga keadaan di dalam kamar itu menjadi semakin terang, dan dia dapat mendengar suara-suara manusia di luar kamar seolah-olah ada beberapa orang yang mengintai dari luar! Dia merasa curiga, maka didekatinya In Hong yang duduk di pinggir pembaringan sambil berbisik,

"Hong-moi, hati-hatilah..."

"Ada apakah, Houw-koko?"

"Aku menaruh curiga kepada mereka. Agaknya mereka hendak melakukan sesuatu, tapi entah apa." Karena merasa tegang, Bun Houw memegang tangan gadis itu dan tanpa disengaja jari-jari tangan mereka saling genggam.

Rasa hangat yang aneh menjalar dari sentuhan jari-jari tangan itu, getaran yang luar biasa menjalar dari ujung-ujung jari yang bersentuhan terus ke lengan dan ke seluruh tubuh, mengguncangkan jantung. Otomatis mereka saling pandang dan sinar mata mereka pun melekat.

Di dalam cahaya yang remang-remang namun cukup terang itu, Bun Houw melihat wajah yang luar biasa cantiknya, luar biasa manjanya dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Sepasang mata yang bening dan pandang matanya tajam penuh semangat hidup, hangat dan begitu dalam laksana lautan yang sukar dijajaki dalamnya, bibir yang sedikit terbuka seakan-akan menantangnya, napas yang panjang halus agak tersendat membuat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis, leher yang panjang bagaikan tangkai bunga.

Dia terpesona! Dan sebaliknya, In Hong juga memandang wajah Bun Houw seolah-olah baru sekarang dia menemukan ketampanan dan kegagahan wajah pemuda itu.

"Ahhh...!" In Hong berseru dan cepat menarik tangannya.

"Maaf, Hong-moi...!" Bun Houw juga cepat melangkah mundur. Sekarang napas mereka agak memburu.

In Hong menundukkan mukanya. Muka itu tentu merah sekali, pikir Bun Houw, di dalam cuaca yang agak remang-remang kelihatan gelap. Akan tetapi mata itu mengerling dari bawah, kerlingan yang seperti menggapai!

Seperti didorong oleh tenaga yang tidak nampak, Bun Houw melangkah maju, jantungnya berdebar sampai terdengar di dalam kedua telinganya. Benarkah penglihatannya ini? Dia melihat gadis yang menundukkan muka itu mengerling malu-malu sambil tersenyum! Dan dada yang membusung itu kelihatan naik turun, napasnya memburu.

"Hong-moi..." Kembali jari-jari tangannya menyentuh, perlahan saja, di ujung pundak dara itu.

Pundak itu tertutup baju dan sentuhan itu hanya perlahan saja, akan tetapi sungguh aneh. Sentuhan yang ringan ini mendatangkan getaran hebat yang membuat seluruh tubuh In Hong menggigil dan juga Bun Houw merasa betapa gairah yang dahsyat mendorongnya untuk merangkul gadis itu dan mendekap sekuatnya. Dengan seluruh kekuatan batinnya, dilawannya gairah ini dan kedua kakinya menggigil!

"Ada apa... koko...?"

Dara itu mengangkat mukanya. Benar saja, mukanya merah sekali setelah kini tertimpa sinar dari luar dan sepasang mata itu amat bercahaya seperti ada apinya, seolah-olah di dalam tubuh gadis itu terjadi kebakaran!

"Tidak... eh, aku hanya hendak mengatakan ehh, kau... kau cantik sekali, Hong-moi!" Bun Houw sendiri terkejut mendengar kata-katanya ini. Apa yang telah terjadi? Dia menunggu kemarahan dara itu, andai kata akan menamparnya, dia akan menerimanya dengan rela karena dia menyadari betapa lancang mulutnya.

Akan tetapi aneh! In Hong tidak marah, malah tersenyum, senyum manja dan senyum yang membayangkan kebesaran hati yang bangga!

"Terima kasih... Houw-ko..." suaranya tersendat-sendat.

Mereka masih saling pandang, dan akhirnya, tidak kuat lagi menahan gelora hatinya yang membuatnya bagaikan mabok dan tidak sadar, Bun Houw lalu merangkul leher gadis itu. Anehnya, In Hong juga balas merangkul pinggangnya.

Kini muka mereka saling berdekatan, begitu dekat sehingga mereka saling merasakan tiupan nafas masing-masing. Bibir mereka hampir saling bersentuhan, akan tetapi naluri kewanitaannya membuat In Hong menundukkan muka dan menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw, mendekap dada itu dengan mukanya dan mengeluh,

"Houw-ko..."

"Hong-moi ah, Hong-moi..." Bun Houw terengah sambil mendekap kepala itu ke dadanya, timbul birahinya yang sangat hebat sehingga ingin rasanya dia memasukkan kepala itu, seluruh tubuh gadis itu, ke dalam dirinya supaya menjadi satu dan tak akan terpisah lagi dengan dia!

"Hi-hi-hik!"

Suara ketawa ini seperti halilintar menyambar Bun Houw dan In Hong. Keadaan setengah sadar tadi kini buyar dan bagaikan ada sinar terang memasuki benak mereka, membuat mereka maklum bahwa mereka sedang diintai orang! Bun Houw melepaskan pelukannya, berseru kaget dan meloncat ke belakang. Dia terhuyung.

In Hong juga memandangnya dengan mata terbelalak, kedua tangannya menekan pipi sendiri, bingung dan terkejut.

"Hong-moi... ahh… celaka... kita keracunan...!" Bun Houw berseru dan mengepal tinjunya karena ada rangsangan yang makin hebat mendorongnya untuk mendekati gadis itu.

"Ahhh... pantas aku merasa tidak wajar... panas sekali... tentu dalam makanan tadi..."

"Dalam arak mungkin..."

"Ha-ha-ha!" terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi. "Memang kau pintar sekali, putera Cin-ling-pai. Racun itu berada di dalam arak tadi dan kalian sudah meminumnya. Kalian tahu racun apa? Eh, isteriku yang cantik dan cerdik, kau ceritakan agar mereka itu dapat bersenang sepuasnya, ha-ha-ha!"

"Hi-hik, sebetulnya bukan racun yang berbahaya, kalian boleh tenang-tenang saja. Lebih tepat dinamakan obat, dan arak itu kuciptakan sendiri, namanya Arak Malam Pengantin! Bersenanglah kalian!"

"Coa-tok Sian-li iblis betina cabul!" In Hong membentak marah. "Kalau sekali aku dapat berhadapan denganmu, akan kuhancurkan kepalamu!"

"Jangan harap kau dapat mempermainkan kami!" Bun Houw juga berteriak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh dan ada suatu kekhawatiran besar timbul di dalam hatinya.

"Ha-ha-ha, mari kita sama lihat! Binatang-binatang seperti kuda dan kerbau saja tak kuat menahan pengaruh obat ciptaan isteriku itu, apa lagi manusia, dan masih muda seperti kalian! Ha-ha-ha, ingin kulihat putera ketua Cin-ling-pai berjinah di dalam kamar tahanan!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Dan aku juga ingin sekali melihat Yap In Hong perawan sombong yang telah membunuh temanku Hwa Hwa Cinjin itu menyerahkan kehormatannya secara murah seperti seorang pelacur!" terdengar suara Hek I Siankouw.

Mendengar ini, terkejutlah Bun Houw. Ternyata itulah rencana mereka! Dia dan In Hong sengaja diberi minum racun yang agaknya merupakan racun perangsang nafsu birahi agar dalam keadaan tidak sadar mereka berdua melakukan hubungan kelamin, berjinah di dalam kamar tahanan itu dan disaksikan oleh mercka.

Maksud mereka tidak lain tentu agar mereka dapat menyebar luaskan peristiwa itu untuk menghancurkan nama dan kehormatan dia sebagai putera ketua Cin-ling-pai dan Yap In Hong sebagai seorang puteri yang dipercaya oleh kaisar!

"Manusia-manusia iblis! Jangan mengharap kalian akan dapat memaksa kami melakukan perbuatan hina! Kami bukanlah manusia-manusia macam kalian!" Bun Houw membentak marah.

"Hayo masuklah kalian ke sini kalau berani!" In Hong juga berteriak. "Akan kuhancurkan kepala kalian satu demi satu!"

"Hik-hik, malam pengantin kenapa diisi dengan ribut-ribut? Yang tidak tahu akan mengira pengantinnya cekcok!" Coa-tok Sian-li mengejek.

"Sssttt... isteriku, diamlah. Kita beri kesempatan mereka bermesra-mesraan," terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi dan akhimya mereka bertiga itu tidak bersuara lagi, akan tetapi dua orang muda itu merasa yakin bahwa mereka, atau setidaknya suami isteri cabul itu, tentu diam-diam mengintai dari luar!

Mereka berdiri saling berhadapan, hati mereka penuh ketegangan, akan tetapi juga penuh dengan gelora nafsu birahi yang menyesakkan dada.

"Hong-moi... bagaimana rasanya tubuhmu...?"

In Hong yang merasa kepalanya pening itu duduk di tepi pembaringan. "Kepalaku pening, Houw-ko, dan tubuhku rasanya panas bukan main... seolah-olah ada api yang membakar di dalam tubuh... hampir tak tertahankan rasanya, Houw-ko..."

"Demikian pula keadaanku, Hong-moi. Kita tahu bahwa ini adalah akibat racun mereka. Kita harus melawannya, Hong-moi. Kau duduklah dan atur pernapasan, masukkan hawa murni sebanyaknya, pergunakan sinkang untuk mengusir hawa yang memabokkan."

Bun Houw sendiri lalu duduk bersila di atas lantai, sedangkan In Hong duduk bersila di atas pembaringan, keduanya memejamkan mata dan melawan dorongan hasrat nafsu birahi yang makin kuat.

Akan tetapi dua orang muda itu tidak tahu bahwa arak beracun buatan Coa-tok Sian-li itu memang amat luar biasa. Arak seperti itu terkenal dimiliki oleh para raja kuno di Sailan. Seperti raja-raja di negara mana pun juga di dunia ini di jaman kuno, mereka tidak hanya memiliki seorang isteri, melainkan memelihara banyak sekali selir.

Tentu saja jika mereka mendapatkan seorang selir baru, seorang perawan yang usianya baru belasan tahun, raja itu tidak dapat mengharapkan pelayanan yang baik dari dara remaja itu. Pertama-tama karena anak itu memang belum tahu apa-apa, kedua kalinya karena tentu saja wanita muda itu tidak suka melayani seorang pria tua, sungguh pun pria itu seorang raja. Karena ini, untuk menyenangkan hati raja yang pada masa itu dianggap sebagai utusan Tuhan atau manusia pilihan, maka para ahli pengobatan lalu membuatkan minuman arak yang mengandung racun atau obat perangsang yang amat kuat.

Obat ini juga sekaligus merupakan racun, akan tetapi pada ukuran tertentu merupakan obat mujarab yang bisa mendatangkan rangsangan birahi sehingga raja yang tua itu akan memperoleh pelayanan istimewa dari seorang gadis yang masih perawan sekali pun, juga bagi raja sendiri yang telah kekurangan gairah itu bisa dirangsang kembali oleh pengaruh obat. Akan tetapi kalau melewati ukuran tertentu obat ini akan dapat mematikan orang yang bagaimana kuat pun.

Coa-tok Sian-li adalah seorang ahli racun, karena itu tentu saja dia dapat membuat obat perangsang ini yang dibuatnya dari sejenis lalat istimewa yang hanya hidup di rawa-rawa di daerah utara Sailan. Lalat-lalat ini dikeringkan dan ditumbuk halus, dicampur beberapa macam akar yang mempunyai daya panas, kemudian dicampur arak. Sama sekali tidak merubah rasa arak sehingga mudah saja meracuni orang lain.

Bun Houw dan In Hong adalah dua orang muda yang sudah memiliki dasar sinkang kuat. Kalau hanya terkena pukulan beracun saja, atau hawa beracun mengeram di tubuh, tentu mereka berdua akan sanggup menyelamatkan diri dengan pengerahan sinkang mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, arak itu langsung menyerang darah serta otak, langsung menembus bagian otak yang menggerakkan nafsu birahi sehingga biar pun mereka telah mengerahkan sinkang, tetap saja tidak mampu mengusir rangsangan birahi itu.

Semakin malam, semakin tersiksalah mereka berdua. Lebih-lebih lagi In Hong yang pada dasarnya sebenarnya mempunyai gairah yang menggelora dan darah yang panas, hanya sejak kecil semua itu ditutupi oleh sikap dingin akibat didikan gurunya. Keadaan dara ini seperti gunung api tertutup salju, kelihatan dingin luarnya, akan tetapi di sebelah dalam menggelora dan panas sekali!

Kini, beberapa kali In Hong mengeluh dan merintih dan duduknya sudah tidak tetap lagi. Beberapa kali dia membuka mata memandang ke arah Bun Houw dengan mata sayu dan setengah terpejam, bagaikan mata orang mengantuk, agak basah. Hidungnya kembang-kempis dan mulutnya setengah terbuka, bibirnya bergerak-gerak dan napasnya memburu, terdengar rintihan halus dari dalam kerongkongannya. Semua ini merupakan tanda-tanda seorang wanita yang sedang diamuk rangsangan birahi!

Bun Houw juga sukar dapat mempertahankan dirinya. Dia pun sudah membuka matanya, memandang ke arah In Hong, melihat gadis itu kini merebahkan diri dan menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas.

"Ohhh... Houw-ko... ahhh... Houw-ko... tolonglah aku, tolonglah..." In Hong merintih-rintih memelas sekali.

"Pertahankanlah, Hong-moi. Memang pengerahan sinkang tidak menolong, satu-satunya jalan hanyalah bertahan sampai pengaruhnya lenyap kembali bersama waktu. Kita harus mempertahankan... harus ahhhh..." Dan Bun Houw cepat memejamkan matanya kembali karena dalam keadaan terangsang hebat seperti itu, melihat In Hong menggeliat-geliat merupakan pemandangan yang menambah rangsangan semakin hebat.

"Houw-koko... aku tidak tahan lagi... Houw-koko... panas sekali... ahhhh, tubuhku panas sekali..." Dan In Hong mulai melepaskan bajunya, direnggutnya begitu saja sehingga ada yang robek dan nampaklah sebagian dari dadanya yang putih mulus!

"Hong-moi... jangan, Hong-moi!" Bun Houw meloncat, hampir jatuh karena dia terhuyung saat mendekati pembaringan itu, cepat-cepat dia menutupkan kembali baju In Hong yang setengah terbuka.

"Houw-koko, panas sekali... aku tak tahan...," In Hong mengeluh dan setengah terisak.

"Pertahankan, adikku, pertahankan..."

"Ohhh, Houw-ko..." In Hong merintih dan terisak, merangkul leher pemuda itu.
Bun Houw cepat memejamkan matanya dan memalingkan mukanya agar jangan sampai mukanya menyentuh muka gadis itu. Akhirnya In Hong terisak sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw.

"Houw-koko..." Suaranya memelas sekali, tergetar dan berbisik serak.

"Bagaimana, Hong-moi..."

"Houw-koko... selama hidupku... belum pernah aku mengalami seperti ini... aku tidak kuat, koko... ah, aku tidak peduli... kau lakukanlah sekehendak hatimu..." kedua lengan In Hong yang merangkul itu semakin menguat dan mukanya dibenamkan pada dada pemuda itu, tubuhnya tergetar dan panas sekali, matanya terpejam dan ada beberapa titik air mata di atas kedua pipinya.

Bun Houw merasakan suatu dorongan yang amat kuat dan dia pun merangkul akan tetapi dia menekan perasaan hatinya sedemikian rupa agar tidak sampai melakukan hal yang lebih jauh dari pada berpelukan itu.

"Tidak, Hong-moi, tidak...! Kita harus tetap kuat...! Hong-moi, betapa aku cinta padamu, Hong-moi. Aku cinta padamu...!"

"Houw-ko..." In Hong terisak, tidak karuan perasaan hatinya mendengar pengakuan ini.

In Hong masih memejamkan matanya karena kepalanya pening dan dia dalam keadaan hampir tidak sadar, sama sekali tidak ingat lagi dia berada di mana dan berada dalam keadaan bagaimana. "Kalau kau cinta padaku... apa salahnya lagi... ah, aku... aku rela... menyerahkan jiwa ragaku..."

"Hong-moi, tidak...!" Bun Houw yang hampir tak kuat lagi itu melepaskan pelukannya dan meloncat jauh ke belakang, sampai tubuhnya menabrak dinding dan dia roboh terguling.

Dia segera duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha sekuatnya untuk melawan dorongan hasrat yang bernyala-nyala itu. In Hong terisak di atas pembaringan. Selama hidupnya, belum pernah dia menangis, dan baru sekarang ini dara perkasa yang biasanya berhati baja itu terisak dan merintih-rintih.

"Kau benar... Houw-ko, kau benar..."

Hening kini di kamar itu, yang terdengar hanyalah isak tertahan dari In Hong yang masih rebah di atas pembaringan. Pakaian gadis itu sudah tidak karuan, terbuka di sana sini akibat dia menggeliat-geliat tadi. Beberapa kancing baju yang terbuka didiamkannya saja karena memang dia pun tidak menyadarinya. Rambutnya morat-marit kondenya terlepas dan rambut yang panjang itu awut-awutan, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya kalau tidak dapat dikatakan bahkan menambah keaslian wajah yang amat jelita itu.

Bun Houw sendiri masih berjuang melawan diri sendiri, karena sesudah dia berdiam diri duduk di lantai, dia merasa tubuhnya bagaikan dibakar dan keadaannya malah semakin menderita lagi. Mendengar suara rintihan disertai isak tangis tertahan dari In Hong, Bun Houw membuka mata dan mengangkat muka memandang. Dia melihat betapa In Hong rebah terlentang, dadanya sedikit diangkat dan terengah-engah, kedua tangan menutupi muka dan gadis itu jelas kelihatan tersiksa sekali. Dia tidak tahan untuk mengawasi saja maka Bun Houw bangkit berdiri, terhuyung menghampiri pembaringan itu, lalu berdiri di dekat pembaringan sambil memandang gadis itu dengan perasaan kasihan sekali.

"Hong-moi, ahhh, Hong-moi..."

Perasaan kasihan mempunyai daya yang kuat sekali mendorong birahi. Kini Bun Houw yang sudah tak kuat menahan lagi, dan dia lalu memeluk In Hong. Gadis itu pun otomatis menggerakkan kedua lengan memeluknya. Bun Houw mendekatkan muka, seperti orang mabok dia berada di antara sadar dan tidak, dan akhirnya dorongan nafsu telah membuat pertahanannya bobol dan dia mencium mulut dara itu.

Begitu bibir mereka saling bertemu, naluri kewanitaan In Hong bangkit dan untuk sekilat cepatnya dia sadar. Dia menjerit dan cepat mendorong dada Bun Houw, lalu bangkit dan kepalanya bergoyang-goyang.

"Tidak...! Jangan, Houw-ko...! Tidak boleh...!" teriaknya.

"Hong-moi... aku tidak tahan lagi... Hong-moi..." Bun Houw kembali hendak merangkul.

Akan tetapi untuk kedua kalinya In Hong mendorong dadanya sehingga tubuh Bun Houw terjengkang dan jatuh dari atas pembaringan, berdebuk ke atas lantai seperti orang yang sama sekali tidak memiliki kepandaian atau tenaga.

"Houw-ko...!" Melihat pemuda itu terbanting jatuh, In Hong cepat-cepat turun dan berlutut. "Kau... kau tidak apa-apa...?"

Dengan mulut mengigau seperti orang mabok Bun Houw kembali memeluknya. Sejenak In Hong membiarkan pemuda itu memeluknya, akan tetapi pada waktu Bun Houw hendak menciumnya, sekuat tenaga gadis ini menekan gairahnya sendiri lantas dia memalingkan muka.

"Houw-koko... kau begitu kuat, kenapa sekarang berbalik menjadi lemah? Koko, kita tidak boleh... kita harus mempertahankan sekuat tenaga..."

"Ahhh, Hong-moi..."

"Maafkan, aku, koko..." In Hong meronta dan melepaskan pelukan pemuda itu, kemudian dia menjauhkan diri.

Bun Houw menjambak rambutnya sendiri. "Ahhh, apa yang kulakukan tadi? Kau benar, Hong-moi... lebih baik mati dari pada tunduk kepada mereka..."

Untung bagi Bun Houw bahwa pada saat-saat terakhir itu In Hong disadarkan oleh naluri kewanitaannya yang semenjak kecil memang jauh dari pada penghambaan nafsu birahi sehingga dara itu menolak ketika pemuda ini sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Dan untung bagi In Hong bahwa tadi, ketika dara ini memuncak nafsunya sehingga dia tidak sadar, Bun Houw yang masih ingat dan yang menyadarkannya.

Dengan demikian, tidak sampai terjadi perjinahan atau hubungan kelamin bagaikan yang diharapkan oleh dua orang suami isteri cabul di luar tempat tahanan itu, dan oleh Hek I Siankouw yang tidak turut mengintai karena tokouw ini sama sekali tidak cabul seperti mereka, sungguh pun di waktu mudanya Hek I Siankouw juga tak dapat menahan godaan nafsu sehingga sebagai pendeta dia melakukan perjinahan dengan mendiang Hwa Hwa Cinjin dan hidup seperti suami isteri tidak sah saja dengan pendeta itu.

Waktu itu sudah hampir tengah malam. Pengaruh obat perangsang itu sudah mencapai puncaknya sehingga kedua orang muda itu mengerang dan menggeliat-gellat di tempat masing-masing! In Hong di atas pembaringan dan Bun Houw di atas lantai. In Hong sudah hampir telanjang dan dara ini merosot turun dari pembaringan, tidak kuat lagi berdiri dan dengan merangkak dia menghampiri Bun Houw, tangannya meraba-raba karena matanya terpejam dan dia hanya dapat menghampiri karena mendengar suara rintihan Bun Houw saja.

"Koko..."

"Hong-moi..."

Mereka otomatis saling berdekapan dan kini adalah In Hong yang mendahului, mencium atau lebih tepat merapatkan mukanya dengan muka Bun Houw karena dorongan hati hendak membelai pemuda itu sambil merapatkan tubuhnya sedekat mungkin. Bun Houw tidak tahan lagi, lalu dia mencium mulut In Hong. Hanya satu kali saja mereka berciuman sampai napas mereka hampir putus, lalu Bun Houw cepat merenggut dirinya lepas.

"Hong-moi, hanya inilah satu-satunya jalan, maafkan aku..." Tangannya segera bergerak dan menotok tengkuk In Hong.

Karena dia sudah hampir pingsan, maka tentu saja totokannya tidak tepat dan In Hong mengeluh, terkulai. Begitu melihat dara itu sudah terkulai, Bun Houw bangkit, terhuyung menjauhi dan roboh dalam keadaan setengah pingsan pula.

"Terkutuk!"

"Keparat!"

Suami isteri di luar tempat tahanan itu langsung menyumpah-nyumpah karena kecewa. Mereka sudah menanggung resiko dimarahi oleh kakek dan nenek iblis itu hanya karena mereka mempunyai kesukaan yang luar biasa, yaitu menonton kecabulan. Dan sekarang, setelah mereka berhasil meracuni dua orang muda itu, ternyata mereka gagal!

Hampir pada umumnya manusia mempunyai kesukaan yang sama atau mirip dengan kesukaan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li! Hal ini dapat kita selidiki sendiri, karena merupakan kenyataan. Hampir semua orang, secara berbeda tentunya, ada yang terang-terangan ada pula yang sembunyi-sembunyi, ada yang kasar ada pula yang halus, suka menonton berlangsungnya kecabulan, baik itu berupa tontonan atau hanya mendengar penuturan orang mau pun membaca. Kalau toh ada yang menyangkal, penyangkalan itu timbul dari penekanan kemauan yang didasari oleh pengetahuan bahwa hal itu adalah tidak baik, maka terjadilah penyangkalan bahwa dia tidak suka melihat atau mendengar itu. Namun kenyataannya, rasa suka itu ada!

Dicobanya dilenyapkan dengan keyakinan atas dasar pelajaran, kesusilaan, agama dan lain-lain bahwa hal itu tidak baik dan tidak seharusnya dilakukan! Namun, cara demikian tidak akan melenyapkan kesukaan itu. Seperti api, kesukaan itu belum padam! Hanya ditutup saja. Bersembunyi di balik pelajaran-pelajaran tentang kesusilaan dan sebagainya tidak akan ada gunanya. Lari dari kenyataan ini tidak ada gunanya.

Yang paling penting adalah menghadapinya sebagai sebuah kenyataan! Menghadapinya, mendekatinya dan memandang penuh kewaspadaan. Pandangan penuh kewaspadaan tanpa mencela, tanpa menerima atau menolaknya, akan menimbulkan pengertian akan segala hal-ihwal mengenai kesukaan aneh ini. Dari manakah timbulnya rasa suka melihat kecabulan?

Sesungguhnya, kecabulan bukan berada di luar diri kita! Tidak ada kecabulan di dalam hubungan kelamin (sex). Apakah cabul kalau kita melihat binatang, terutama yang kecil sedang mengadakan hubungan kelamin? Kiranya tidak! Akan tetapi mengapa kalau kita melihat binatang yang besar, terutama manusia, melakukan hubungan sex, lantas timbul istilah cabul?

Barangkali karena melihat binatang besar terutama manusia melakukan hubungen sex memiliki daya rangsang yang merangsang gairah dan nafsu birahi kita! Inilah sebabnya mengapa timbul istilah cabul. Yaitu pemandangan yang merangsang gairah nafsu birahi dianggap cabul!

Padahal, tidak ada peristiwa apa pun di dunia ini yang merangsang gairah nafsu birahi. Hubungan sex merupakan sesuatu yang wajar dan sama sekali tidak merangsang gairah nafsu birahi. Yang merangsang adalah PIKIRAN KITA SENDIRI!

Pikiran kita menambah penglihatan itu dengan bayangan-bayangan yang mendatangkan kenikmatan lahir batin kita, mengenang kembali semua pengalaman sex kita, atau bagi yang belum pernah mengalaminya secara badaniah, tentu membayangkan pengalaman yang pernah dibacanya, dilihatnya, atau didengarnya dari orang lain. Permainan pikiran kita sendiri itulah yang merangsang dan membangkitkan gairah birahi kita sendiri.


Dan bagi orang-orang seperti Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, perbuatan menonton kecabulan itu yang menimbulkan semacam kenikmatan tertentu, menjadi satu kebiasaan yang telah mencandu sehingga sukar untuk dihentikan kembali dan telah menjadi sesuatu yang dicari-cari.

Kenyataan itu hanya bisa terlihat oleh siapa saja yang mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri pribadi, sehingga akan tampaklah bahwa segala hal yang oleh umum dianggap yang buruk-buruk, seperti kecabulan, kemaksiatan, kepalsuan, kemunafikan, iri hati, kemarahan, kebencian dan segalanya itu tidak terletak di tempat yang jauh di luar kita, melainkan terletak di dalam diri kita sendiri!

Dan semua itu pasti timbul karena kita selalu mengejar kesenangan dalam bentuk apa pun juga, kesenangan lahir mau pun kesenangan batin. Pengejaran kesenangan menjadi sumber dari semua kesengsaraan hidup yang timbul karena pertentangan dan kedukaan. Bukan KESENANGAN yang merusak hidup, melainkan PENGEJARAN kesenangan!


In Hong rebah pingsan di atas lantai, sedangkan Bun Houw juga sudah setengah pingsan. Karena inilah maka mereka berdua tidak mendengar suara apa-apa, bahkan tidak melihat ketika lantai di sudut belakang kamar itu dibobol dari bawah dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kepala orang. Kepala seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Liong Si Kwi!

Seperti kita ketahui, gadis murid Hek I Siankouw ini sudah diselamatkan oleh Bun Houw ketika dia hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi dan gadis ini selain merasa berhutang budi, juga gadis itu sekaligus jatuh cinta kepada pemuda itu. Apa lagi ketika pemuda itu, yang sudah dikurung dan diancam keselamatannya, namun masih juga membelanya di hadapan subo-nya, benar-benar membuat hati gadis ini jatuh! Diam-diam dia mengambil keputusan nekat untuk menolong pemuda itu.

Kini terbukalah matanya betapa demi untuk memuaskan nafsu dendam dan sakit hatinya, subo-nya itu tidak segan-segan untuk bersekutu dengan manusia-manusia iblis! Dia harus menyelamatkan Cia Bun Houw, dia harus membebaskan putera ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa itu, kalau perlu dengan taruhan nyawanya.

Hatinya semakin kagum, akan tetapi juga iri sekali melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu sudah mengorbankan dirinya, menyerah untuk menebus Yap In Hong yang dibebaskan. Kemudian, dia pun merasa iri kepada In Hong yang ternyata juga merupakan seorang gadis yang amat gagah, yang datang kembali dengan nekat untuk membebaskan pemuda itu. Dia merasa iri karena dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan cinta kasih antara pemuda dengan dara itu. Akan tetapi, rasa cemburu dan iri hati ini tidak menghentikan tekadnya untuk menolong Bun Houw dengan cara apa pun juga.

Pada waktu dia melihat bahwa yang menjaga kamar tahanan adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, dan betapa Cia Bun Houw serta Yap In Hong dimasukkan dalam kamar tahanan tanpa dibelenggu dan bebas, timbullah harapannya. Asal saja dia dapat mengeluarkan mereka itu dari dalam kurungan, tentu dua orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu akan mampu membebaskan diri, atau lebih penting baginya, asal Bun Houw dapat keluar dari kurungan, tentu pemuda itu akan dapat melarikan diri!

Demikianlah, karena kebetulan sekali kamar yang dia dapat sebagai tamu Lembah Naga itu berdekatan dengan kamar tahanan, sejak sore-sore dia sudah menutup diri di dalam kamarnya, memberi alasan bahwa dia merasa tidak sehat, namun secara diam-diam dia telah menyelundupkan sebuah cangkul ke dalam kamarnya. Mulailah dia menggali lantai kamarnya, membuat terowongan di dalam tanah menuju ke kamar tahanan.

Dia bekerja keras sampai kedua tangannya lecet-lecet berdarah, namun tidak pernah dia berhenti sebentar pun. Dengan penuh semangat dia terus menggali dan akhirnya, lewat tengah malam, dia dapat menembus kamar tahanan dan muncul di dalam kamar itu pada waktu In Hong masih pingsan dan Bun Houw dalam keadaan setengah sadar karena saat itu pengaruh racun perangsang sudah mencapai puncak kekuatannya yang hampir tidak tertahankan olehnya. Baiknya In Hong sudah menggeletak pingsan, kalau tidak entah apa yang akan terjadi antara dia dan gadis itu!

Liong Si Kwi yang sudah berhasil masuk ke dalam kamar itu, ketika melihat Bun Houw menggeletak bagaikan orang yang tidak bernyawa lagi, langsung meloncat mendekati dan berlutut di dekat pemuda itu. Cepat dia memeriksa dan legalah hatinya pada saat melihat bahwa Bun Houw ternyata masih bernapas, malah bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan suara lemah yang tak dimengertinya karena pada saat itu hati Si Kwi tegang bukan main, khawatir kalau-kalau perbuatannya diketahui penjaga sebelum dia berhasil membebaskan Bun Houw lalu dihalangi oleh orang-orang berkepandaian tinggi di tempat itu.

Dia tidak tahu dengan apa yang dilakukan oleh suami isteri majikan Padang Bangkai itu, sebab itu dia bingung melihat Bun Houw yang siang tadi masih sehat kini menggeletak di lantai dalam keadaan seperti orang yang tidak sadar. Juga dia melihat In Hong pingsan.

Tadinya memang dia berniat untuk membebaskan mereka berdua, karena dengan adanya mereka berdua yang berilmu tinggi, kesempatan atau harapan untuk lolos lebih banyak lagi. Kini, melihat keadaan Bun Houw setengah pingsan ada pun gadis perkasa itu malah pingsan sama sekali, Si Kwi menjadi bingung sekali, akan tetapi akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw saja. Cepat dia mendukung tubuh Bun Houw dan membawanya masuk ke dalam lubang terowongan yang dibuatnya.

Sungguh pun tidak mudah membawa Bun Houw yang merangkulnya, dan yang mengelus rambutnya, mendekapnya dan kadang-kadang mencium pipi dan lehernya seperti orang mabok itu, akan tetapi akhirnya berhasil jugalah Si Kwi membawa pemuda itu keluar dari lubang terowongan dan tiba di dalam kamarnya.

"Eh... ehh, taihiap...!" Si Kwi terkejut sekali karena kini Bun Houw membuka matanya yang merah dan pemuda itu langsung merangkul dan menciumi bibirnya dengan penuh nafsu.

Si Kwi telah lama merindukan seorang pria yang akan memeluk dan menciumi seperti itu, maka kekagetan dan perlawanannya hanya sebentar saja, dan tidak lama kemudian dia malah sudah balas memeluk dan balas menciumi, tak kalah hebatnya dengan orang yang terpengaruh obat perangsang. Keduanya lantas terguling di atas pembaringan Si Kwi, dan mereka melupakan segala-galanya.

Kalau tadi Bun Houw masih tidak melanggar keyakinannya dan dapat bertahan sehingga dia tidak melakukan hubungan dengan In Hong seperti yang dikehendaki oleh mereka yang sengaja meracuninya, adalah dikarenakan di fihak In Hong masih ada penolakan dan memang di lubuk hati Bun Houw, dia sama sekali tidak mau melakukan sesuatu yang tidak patut terhadap dara yang dicintainya itu.

Akan tetapi kali ini, pada saat pengaruh obat perangsang itu memuncak dan sepenuhnya menguasainya, dia mendapat pelayanan dari Si Kwi, bahkan gadis itu merayunya lebih hebat seperti orang mabok pula, maka tentu tidak ada lagi yang menahan Bun Houw dan Si Kwi! Berlangsunglah hubungan kelamin seperti yang dikehendaki oleh Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, hanya bedanya, putera ketua Cin-ling-pai itu tidak melakukannya dengan In Hong, melainkan dengan murid Hek I Siankow!

Saat itu Bun Houw sudah lupa segala-galanya, hampir tidak sadar sama sekali dan yang ada hanyalah keinginan untuk memenuhi desakan nafsu birahinya yang bernyala-nyala itu. Andai kata Si Kwi menolaknya seperti yang dilakukan oleh In Hong tadi, tentu sedikit sisa kesadaran yang masih membekas itu cukup untuk membuat pemuda ini sadar dan menghentikan perbuatannya.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Si Kwi yang sudah jatuh hati benar-benar itu dan yang maklum bahwa perbuatannya menolong pemuda itu merupakan permainan yang mempertaruhkan nyawa, ingin dalam saat terakhir dan kesempatan selagi dia masih hidup itu untuk menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemuda yang dikagumi dan dicinta ini.

Terjadilah hubungan itu dan bagaikan sebuah gunung berapi yang penuh dengan api dan uap, meledaklah Bun Houw. Menjelang pagi, barulah dia sadar karena pangaruh racun perangsang itu sudah menipis.

Begitu sadar dan melihat bahwa dia memeluk tubuh Si Kwi yang memandangnya dengan penuh kemesraan, pemuda ini terkejut bukan main, terkejut karena dia segera tahu apa yang telah terjadi. Sambil berteriak nyaring pemuda ini yang tadi bangkit duduk, terguling dan roboh pingsan!

Penyesalan yang amat hebat, ditambah rasa kaget yang luar biasa besarnya, ditambah pemborosan tenaga yang didorong oleh racun, ketegangan-ketegangan yang dideritanya sejak dia menghadapi In Hong dalam keadaan keracunan, pengerahan tenaga kemauan yang amat hebat pada waktu dia menekan dorongan nafau bersama In Hong, semua itu menghantamnya di sebelah dalam sehingga dia roboh pingsan.

"Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat... sungguh hebat bukan main!" Mendadak terdengar suara tertawa Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela kamar itu.

Si Kwi yang tadinya terlena oleh kepuasan hasrat yang terpenuhi, yang semakin menebal rasa kasih sayangnya terhadap pemuda itu yang kini dianggapnya sebagai miliknya dan yang memilikinya, sebagai suaminya walau pun tidak secara sah, kini bagaikan disiram air dingin. Dia sadar akan semua yang sudah terjadi. Dia pun tidak menyesal, hanya khawatir karena dia sudah ketahuan dan akan celakalah Bun Houw! Dengan cepat dia melompat dan kembali terdengar suara Ang-bin Ciu-kwi di luar jendela.

"Liong Si Kwi, engkau sangat hebat! Akan tetapi sayang, dia keburu pingsan! Biarlah aku yang akan memuaskan dirimu, manis. Bukalah jendela ini, biarkan aku masuk."

Si Kwi menyambar pakaiannya, memakai pakaian itu secepatnya dan segera menyambar siang-kiam di atas mejanya dan dicabutnya sepasang pedang itu lalu menghadapi jendela dengan beringas, siap untuk mengadu nyawa dengan Ang-bin Ciu-kwi.

"Ha-ha-ha-ha, tenanglah, manis. Aku datang hanya untuk menonton pertunjukan menarik yang berlangsung di dalam kamar ini tadi, sungguh asyik sekali... hemm, dan kau sudah membangkitkan gairahku. Bukalah jendela ini, manis, kemudian mari kita bermain-main sebentar. Atau kau lebih suka kalau aku pergi kepada Hek I Siankouw dan melaporkan apa yang telah terjadi di sini?"

Si Kwi yang sudah siap menerjang ke luar jendela itu menjadi terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa kalau sampai Setan Arak ini yang melapor kepada gurunya, nyawanya tidak tertolong lagi, demikian pula nyawa Bun Houw. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mandahului laporan orang lain, apa lagi laporan Ang-bin Ciu-kwi yang tentu akan memberi bumbu-bumbu lain yang lebih memanaskan hati subo-nya lagi.

Memang, kalau dia menuruti kehendak Ang-bin Ciu-kwi, boleh jadi peristiwa antara dia dan Bun Houw tadi akan tertutup, akan tetapi, lebih baik dia mati saja dari pada harus menuruti permintaan Ang-bin Ciu-kwi! Pula, setelah kini keadaannya sama sekali berubah dari pada keadaan asyik-masuk seperti tadi, dara ini sadar pula bahwa adanya Bun Houw tadi melakukan perbuatan seperti itu adalah karena pemuda itu berada dalam keadaan tidak sadar, seperti orang mabok. Kini mengertilah dia bahwa pemuda itu tentu terkena bius, terkena racun yang menyebabkan pemuda itu mudah saja melakukan perbuatan tadi bersama dia.

Kini dia dapat menduga mengapa dia mendapatkan diri Bun Houw menggeletak hampir tidak sadar dengan tubuh panas dan sikap begitu hangat, merangkul dan hendak terus menciuminya, dan dia mengerti pula mengapa In Hong juga pingsan. Ternyata mereka berdua itu telah diberi racun, dan siapa lagi yang memberi racun kalau tidak suami isteri Padang Bangkai yang terkenal sebagai ahli-ahli tentang racun itu?

Dia teringat akan pengalamannya sendiri ketika hampir diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi. Dia pun diberi minum arak dan segera dia diserang oleh racun perangsang yang sangat hebat sehingga hampir-hampir saja dia menyerahkan diri secara suka rela kepada setan itu!

"Aku harus cepat melapor kepada subo!" pikirnya dan dara itu cepat meloncat, bukan ke jendela melainkan ke pintu yang didorongnya terbuka dan cepat-cepat dia melarikan diri ke kamar subo-nya.

Dia terpaksa meninggalkan Bun Houw, karena dia maklum bahwa melarikan diri sendiri saja belum tentu dia selamat, apa lagi kalau harus membawa tubuh Bun Houw. Lebih baik dia cepat pergi ke subo-nya dan minta tolong pada subo-nya. Siapa tahu kalau dia sudah memberi tahu subo-nya akan semua hal dengan terus terang, subo-nya suka menolong Bun Houw dan suka mengakuinya sebagai mantu!

"Subo...! Subo... tolonglah teecu, subo...!" katanya sambil mengetuk pintu itu dengan kuat.
Daun pintu terpentang lebar dan Hek I Siankouw sudah berdiri di ambang pintu sambil memegang pedang hitamnya. Alisnya berkerut ketika dia melihat muridnya berdiri di situ dengan muka pucat sekali dan dengan siang-kiam di kedua tangan.

"Si Kwi, apakah yang telah terjadi?" tanyanya dan dia membiarkan muridnya memasuki kamamya. Dia menjenguk keluar tapi karena tidak melihat siapa pun juga di luar, tokouw itu lalu menutupkan kembali pintu kamarnya.

Tiba-tiba Si Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya sambil menangis! Gurunya adalah satu-satunya orang yang selama ini dianggap sebagai sahabat, guru, juga orang tua! Sekarang, dalam keadaan seperti ini, terancam bahaya hebat, bukan hanya untuk dia, terutama untuk Bun Houw, tidak ada orang lain kecuali gurunya ini yang diharapkan dapat menolongnya dan menolong Bun Houw.

"Subo... sebelumnya harap subo mengampunkan dosa teecu..."

"Si Kwi, jangan seperti anak kecil. Katakan apa yang telah terjadi!" gurunya membentak.

"Subo, teecu sudah jatuh cinta... sejak teecu diselamatkan oleh Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai... ketika teecu akan diperkosa oleh Ang-bin Ciu-kwi, teecu sudah jatuh cinta kepada putera ketua Cin-ling-pai itu..."

Gurunya mengerutkan alisnya. "Memang kalau begitu mengapa engkau menangis?"

Gadis itu cepat mengangkat muka, memandang wajah subo-nya dengan penuh harapan. "Jadi... subo... setuju...?"

"Dia seorang pemuda yang tinggi ilmunya, putera ketua Cin-ling-pai, kalau memang dia cinta padamu, kenapa aku tidak setuju? Sayangnya, dia berada di fihak lawan."

"Ah, terima kasih, subo...!" Si Kwi berseru girang dan memberi hormat. "Sesungguhnya... teecu... teecu telah menjadi isterinya..."

Tiba-tiba saja wajah tokouw itu menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar marah. "Apa?! Jadi kalau begitu benar laporan Ang-bin Ciu-kwi?" bentak gurunya.

"Ah, tidak...! Tidak begitu, subo...! Bukankah subo sendiri sudah tahu, juga Hek-hiat Mo-li locianpwe, bahwa teecu... teecu masih perawan? Akan tetapi malam tadi..."

"Malam tadi mengapa? Hayo katakan!"

"Malam tadi, lewat tengah malam... teecu... teecu telah menjadi isterinya."

"Eh, Apa maksudmu? Pemuda itu berada di dalam kamar tahanan bersama In Hong, dan mereka..." Dia teringat akan minuman yang diberi racun perangsang oleh Coa-tok Sian-li, maka timbul kecurigaannya. "Si Kwi!" Dia membentak, "Ceritakan, apa yang terjadi!"

Dengan suara terputus-putus Si Kwi lalu menceritakan betapa dia sudah membuat jalan terowongan dari kamarnya ke dalam kamar tahanan, dan berhasil menolong Bun Houw keluar dari kamar tahanan memasuki kamarnya sendiri.

"Akan tetapi, subo... ketika tiba di kamar teecu... dia... dia seperti mabok atau terbius... dan dia... dia merayu... ah, teecu cinta padanya, subo, teecu tidak mampu menolongnya dan... dan teecu menyerahkan diri kepada Cia Bun Houw... kemudian pagi tadi, muncul di luar jendela kamar teecu, si keparat Ang-bin Ciu-kwi, dia ternyata telah melihat peristiwa itu dan dia... dia menuntut agar teecu suka menyerahkan diri kepadanya. Teecu tidak sudi dan teecu lari ke sini... teecu menyerahkan nyawa teecu ke tangan subo..."

"Dessss...!" Tubuh Si Kwi terlempar oleh tendangan gurunya.

Muka gurunya sebentar pucat sebentar merah dan hati tokouw ini terasa panas dingin karena terjadi perang di dalam perasaan hatinya. Ada perasaan marah yang amat hebat mendengar penuturan muridnya itu yang telah menyerahkan diri begitu saja dengan amat mudahnya kepada seorang pria, dan biar pun pria itu adalah seorang pemuda yang harus dia akui pilihan, akan tetapi bagaimana pun pemuda itu adalah seorang lawan, atau yang berada di fihak lawan.

Akan tetapi di lain fihak, hatinya juga terharu sebab dia telah menganggap Si Kwi sebagai puterinya sendiri dan sebenarnya ada pertalian batin yang kuat antara dia dengan gadis itu. Sekarang dia tahu bahwa kalau tidak dia lindungi, maka nyawa dara itu berada dalam ancaman bahaya hebat!

"Murid murtad, engkau hanya akan mencelakakan gurumu saja!"

"Harap subo sudi mengampuni teecu!" kata pula Si Kwi. "Teecu bersedia untuk mati di tangan subo, untuk menebus kesalahan dan dosa besar teecu, akan tetapi, teecu mohon dengan sangat, mengingat akan hubungan antara kita sebagai guru dan murid, dan juga sebagai orang tua dan anak, teecu mohon sukalah subo menolong dan menyelamatkan Cia Bun Houw. Teecu sungguh cinta padanya, subo, teecu mencintanya, melebihi nyawa teecu sendiri!" Dan murid ini menangis lagi, menangis dengan penuh kesedihan.

Sepasang mata Hek I Siankouw menjadi basah pada waktu dia mendengar dan melihat keadaan muridnya itu. Teringatlah dia ketika dia dahulu bermain cinta dengan Hwa Hwa Cinjin dan dia pun amat mencinta Hwa Hwa Cinjin. Adanya dia tidak menjadi isteri yang sah dari Hwa Hwa Cinjin adalah karena sebagai pendeta-pendeta, tentu saja mereka tak dapat menikah. Namun rasa cinta di hatinya terhadap Hwa Hwa Cinjin sangat mendalam sehingga mereka berdua itu seperti suami isteri saja! Mereka saling setia dan selamanya tidak pernah mencinta orang lain sampai keduanya menjadi kakek dan nenek.

"Aku pun mencinta Hwa Hwa Cinjin melebihi nyawaku sendiri..."

"Ahhh, subo, ampunkan teecu... teecu telah mengecewakan hati subo..." Kembali Si Kwi meratap dengan suara pilu. "Teecu rela mati di depan kaki subo, akan tetapi kalau subo sudi menyelamatkan Cia Bun Houw, biarlah roh teecu akan selalu membantu subo..."

"Bocah yang bodoh! Mana mungkin menyelamatkan nyawa pemuda itu? Apa kau kira kita dapat menghadapi Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko? Tentang pemuda itu, tak perlu kita ributkan, yang penting, lekaslah kau pergi dari sini. Sekarang juga!"

"Akan tetapi... subo..."

"Tutup mulut! Tidak ada tetapi lagi. Pergilah kau dari sini dan selamanya jangan lagi kau memperlihatkan muka kepadaku!"

"Subo...!"

"Aku tidak mempunyai murid semacammu! Pergiiiii...!" Hek I Siankouw membentak dan mengusir.

Si Kwi terisak, akan tetapi terpaksa dia bangkit dan pergi dari kamar itu, diikuti oleh Hek I Siankouw yang kini basah kedua matanya.

Tokouw ini memang sengaja mengusir muridnya karena dia tidak ingin muridnya terlibat dalam kesukaran. Dan dia kemudian sengaja membayangi muridnya itu agar dapat keluar dari Lembah Naga dengan selamat.

Di tengah jalan, murid dan guru yang membayanginya itu bertemu dengan Hek-hiat Mo-li, Pek-hiat Mo-ko, Ang-bin Ciu-kwi, dan Coa-tok Sian-li. Dari wajah kedua orang kakek dan nenek Lembah Naga itu mengertilah Hek I Siankouw bahwa keduanya tentu sudah tahu akan perbuatan Si Kwi. Akan tetapi Si Kwi sendiri berdiri dengan tenang meski air mata masih membanjiri pipinya.

"Mo-ko dan Mo-li, karena perbuatan muridku yang mencemarkan namaku, terpaksa aku mengusir dia pergi dari sini!" Hek I Siankouw memecahkan kesunyian yang mencekam hatinya itu.

"Hemm... agaknya tadi malam banyak terjadi hal-hal hebat di sini," kata Hek-hiat Mo-li. "Dan kejadian-kejadian itu adalah gara-gara muridmu yang baik ini!" Ucapan lanjutan itu bernada keras.

"Kalau aku boleh berterus terang, Mo-li, bukan hanya gara-gara muridku, tetapi gara-gara aku juga, dan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!"

"Eh-eh, Hek I Siankouw, kenapa kau begitu pengecut membawa-bawa nama kami dalam persoalan ini? Sudah jelas bahwa muridmu hendak meloloskan kedua orang tawanan itu, untung masih terlihat oleh kami, karena muridmu tidak dapat menahan nafsunya! Kalau tidak, bukankah tawanan-tawanan itu sudah lolos semua oleh muridmu ini?" kata Coa-tok Sian-li.

"Coa-tok Sian-li, aku hanya bicara apa adanya dan sama sekali bukan hendak membela muridku secara membuta. Memang muridku bersalah, akan tetapi kita bertiga juga turut bersalah, bukan? Setelah akibat dari perbuatan kita seperti ini, mengapa kita tidak berani berterus terang saja kepada Mo-ko dan Mo-li?"

"Hemmm... apakah sesungguhnya yang sudah terjadi dan apa yang kalian bicarakan ini, Siankouw?" Pek-hiat Mo-ko membentak marah.

"Terus terang saja, Mo-ko. Kami bertiga, yaitu aku, Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah main-main dengan dua orang tawanan itu. Karena aku ingin melihat gadis keparat itu tercemar, dan karena Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya ingin pula menonton hal-hal yang mereka berdua senangi, maka kami bertiga sudah bersepakat untuk mencampuri racun perangsang, yaitu Arak Malam Pengantin buatan Coa-tok Sian-li ke dalam hidangan yang disuguhkan kepada dua orang tawanan itu."

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li mengerutkan alis mereka, akan tetapi tidak kelihatan marah. "Hemmm, lalu?" tanya Hek-hiat Mo-li.

"Sementara itu, muridku yang murtad ini jatuh cinta kepada Bun Houw. Sama sekali dia tidak berniat untuk membebaskan dua tawanan itu, melainkan dia membuat terowongan dari kamarnya ke tempat tahanan, mengajak Cia Bun Houw yang sedang mabok akibat racun Arak Malam Pengantin itu ke kamarnya dan menyerahkan dirinya kepada pemuda itu. Hal ini diketahui oleh Ang-bin Ciu-kwi yang lalu menyangka muridku hendak melarikan tawanan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Buktinya tawanan itu masih ditinggalkan pingsan di kamarnya dan muridku lalu melapor kepadaku. Dia sama sekali tidak hendak melarikan tawanan, karena kalau benar demikian, tentu dia telah mengajaknya pergi dari sini." Hek I Siankouw berhenti sebentar untuk melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi.

Dia sengaja tidak menceritakan tentang ancaman Ang-bin Ciu-kwi yang hendak menuntut agar Si Kwi menyerahkan dirinya kepada Setan Arak itu karena hal ini dilakukan sebagai ‘pukulan simpanan’ kalau-kalau Ang-bin Ciu-kwi tidak mau bekerja sama untuk melindungi muridnya!
Selanjutnya,