Dewi Maut Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
ANG BIN CIU KWI bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan dia pun tahu bahwa Hek I Siankouw memang sengaja tidak menceritakan niatnya hendak memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu.

"Keterangan yang diberikan Siankouw barusan memang benar, ji-wi locianpwe," katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. "Memang tadinya kami hanya ingin main-main sebab Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu."

"Memang harus kuakui bahwa muridku ini telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kalian orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!"

Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengarkan keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biar pun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Dan benar saja dugaannya. Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, "Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampuni muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya telah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai."

Hek I Siankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba saja dia berkata, "Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?"

"Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo."

"Ke sinilah!"

Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.

"Singgg...! Crattt!" Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan.

Si Kwi menjerit kemudian tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu.

Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, kemudian menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu. "Mo-ko dan Mo-li, kuharap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai."

"Ha-ha-ha, engkau benar-benar mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena engkau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah ini pun cukup," keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu.

Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, lalu menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung dan membalutnya dengan sapu tangannya. Setelah selesai, dia pun berkata dengan suara gemetar, "Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?"

Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subo-nya dan sebagai penggantinya, subo-nya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subo-nya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subo-nya telah menyerahkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subo-nya sambil berkata,

"Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo..."

"Pergilah! Pergilah...!" Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuhnya, memalingkan muka tak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya.

Si Kwi bangkit lalu dengan cepat pergi dari sana. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya.

********************

Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong sedang duduk di pinggir pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini segera teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia sudah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.

"Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu amat pucat dan tubuhmu lemah sekali." In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali.

Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. "Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?"

Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata memang di tempat itu terdapat bekas galian yang sudah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan.

Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanyalah mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang sudah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukanlah sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjinah!

"Ohhhh...!"

"Kenapa, Houw-ko?" In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah dia hendak mengusir sesuatu dari depan matanya.

Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw lantas bertanya lagi, "Hong-moi... demi Tuhan... kau ceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?"

"Houw-ko, aku sendiri pun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, pada saat aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan..." Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya.

Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, "Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!"

"Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku mengenakan pakaian pada tubuhmu, kemudian memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar..."

"Dan lubang itu...?" Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar.

"Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sesungguhnya ketika aku sedang pingsan atau pulas?" Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.

"Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius dan seperti orang gila..." Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.

Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tidak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pembaringan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu!

Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ahhh, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali!

"Aku malu... aku malu...!" Tak terasa lagi bibirnya berbisik.

"Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan bila mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ahhh, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko."

"Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf..."

"Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini..."

"Hemmm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencari obat untukku, engkau berjumpa dengan keponakanku, Lie Seng, putera enci-ku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat memainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoi-ku."

"Bukan. Kepada suhu-mu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya sebagai guru. Bagaimana pun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kita pun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan."

"Hong-moi coba kau tampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!"

"Apa maksudmu? Apa gunanya?"

"Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu." Bun Houw segera berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang.

Meski pun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, akan tetapi karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai dari pada tingkatnya.

"Tarrrr...!"

Terdengar bunyi nyaring seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.

"Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian"

"Baru seperempat bagian?" In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan hati kecewa. "Kukira sudah hampir sempurna!"

Bun Houw tersenyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu.

"Hong-moi, kau belum mengetahui kehebatan sebenarnya dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang sudah mempunyai ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi."

"Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!"

"Ahhh, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, meski pun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin kita sanggup menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latihan khusus."

"Pikiran itu baik sekali, Houw-ko."
Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di hadapannya, di atas pembaringan itu. Mereka berdua lalu duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan hingga kedua telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.

"Sekarang kendurkanlah seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikit pun jangan melakukan perlawanan dan kau ikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai engkau dapat melakukan latihan ini sendiri." Bun Houw lalu memberi tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sinkang Thian-te Sin-ciang.

"Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat, turun kembali ke Tiong-teng-hiat lalu akhirnya berhenti dan dipusatkan di Thian-te-hiat-to," demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil mengerahkan sinkang-nya melalui telapak tangan gadis itu.

In Hong merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui kedua telapak tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apa lagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang!

Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan melainkan ‘menyambut’. Namun hal itu sama saja karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.

"Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti..."

"Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja," In Hong menjawab dan kedua pipinya merah sekali karena merasa jengah.

Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!

Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak peduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso.

Sesudah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih, karena dia pun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.

********************

Meriah sekali pesta yang diadakan oleh Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru itu, di tepi sebuah sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara. Pesta besar itu diadakannya untuk merayakan lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-nantikan dan diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh Sabutai.

Isterinya yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila.

Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri semua kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah para pedagang yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan barang-barang dari utara.

Sungguh pun perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh dan sukar, akan tetapi karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga di antara tokoh-tokoh kang-ouw dia terkenal pula sebagai seorang ahli silat yang lihai.

Di samping hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang diselenggarakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan harapan supaya kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.

Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja Sabutai merasa kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang dan tertarik sekali.

"Akan kutambah hadiahnya!" dia berseru gembira. "Siapa di antara kalian yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!" Dia menudingkan telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah dicatat satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya.

Tentu saja semua orang menjadi gembira dan tegang. Memang jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak-ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!

Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping mempunyai tubuh yang kuat dan kebal seperti gajah.

Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, akan tetapi melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan menarik.

Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring di depan pusar. Dengan kuda-kuda kokoh seperti itu, maka bagian tubuh atas dan bawah telah terjaga rapat dan kedua tangan pun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau bawah.

Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat mau pun silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang langsung membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua orang itu bergerak.

Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua orang jago gulat yang saling tubruk dan saling mencengkeram, berusaha saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerakan reflex dibantu oleh penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan di antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan dan ketepatan pukulan atau tendangan, namun karena masing-masing menghadapi lawan yang mempunyai kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali.

Si jago gulat berdiri dengan dua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi lawan. Ke mana pun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya!

Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, selalu merubah-rubah kedudukan kedua tangannya sesuai dengan kedudukan sepasang kakinya, apakah menghadapi lawan dengan miring ataukah langsung berhadapan.

"Hyaaaattt...!" Tiba-tiba si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung.

"Hehhhhh!" Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itu pun sudah cepat melompat ke belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut lawan.

"Dukkk!"

Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput.

Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang saja, sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba saja, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan, jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu dengan kerasnya.

Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuk lawan. Jago gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan.

"Bukkk!"

Dia terhuyung-huyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati sudah berhasil menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik. Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung.

Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melewati batas, akan tetapi dalam kesempatan seperti di tempat ini, bukan hal mustahil apa bila gelanggang pertandingan juga dijadikan gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!

Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu sudah berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi pada saat si ahli silat menendang, tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat, sehingga biar pun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!

Jago gulat itu menjadi marah sekali. Kini dia mulai aktip menyerang seperti seekor kerbau yang terluka,. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan kedua tangan itu selalu berhasil dielakkan oleh si jago silat yang lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya, tentu terdengar suara ‘Tak!’ atau ‘Plak!’ akibat tangan jago silat itu berhasil memukul atau menampar. Sekarang lebih banyak lagi darah keluar ketika sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu.

Bagaikan serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi berbesar hati karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli gulat juga tidak putus harapan karena biar pun sering kali dipukul, si jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.

Setelah beberapa kali menerima hantaman dan tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta, akan tetapi percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat segera menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali darah mengucur.

"Haarrgghhh...!" Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang.

Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Terdengar pekik dan sorak-sorai penonton menyambut kemenangan si jago gulat ini saat tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!

Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya kini terancam bahaya. Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi.

Akan tetapi, seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia sudah melakukan perjalanan jauh, tiba-tiba bangkit berdiri lantas dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya dan ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu tubuh itu telah mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.

Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata perlahan, "Terima kasih," dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan lain-lain.

Sabutai bermata tajam sekali. Dia segera mengenali orang pandai ketika melihat pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya. Walau pun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, tetapi dia sendiri mengerti bahwa hanya orang yang memiliki sinkang amat kuat saja yang akan mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa. Karena itu Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal ini lalu cepat-cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain.

Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu urusan penting sekali.

Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk berbicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya.

Siapakah mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, ada pun pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tio Sun ‘ditangisi’ oleh Kwi Beng agar pemuda ini suka menolongnya, yaitu untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang dicinta oleh Kwi Beng dan agar membantu perjodohannya dengan In Hong karena orang tuanya telah menyatakan tidak setuju. Sesungguhnya, permintaan seperti ini jauh lebih berat dari pada andai kata pemuda keturunan Portugis itu minta kepadanya untuk membantu menghadapi musuh yang lihai.

Akan tetapi, baru saja Tio Sun sendiri menderita ‘patah hati’ karena ternyata gadis yang dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara kembar Kwi Beng, sudah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa tidak tega kepada Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apa lagi karena dia pun ingin cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi makin parah.

Mereka berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah berada di kota raja, bahkan kini telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah membantu Bun Houw dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari Sabutai. Menurut perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu tentunya berada bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung pergi keluar tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua orang gurunya itu.

Inilah sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu, dan secara tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini dia dan Kwi Beng dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio Sun tadi.

Pertandingan masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai sudah tidak memperhatikan lagi karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini dihadap oleh dua orang pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama mereka, juga dia sangat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan rambutnya agak keemasan itu.

"Nama saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng," jawab Tio Sun sesudah memberi hormat. "Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka sudi memaafkan kami."

"Ahhh...!" Sabutai menjadi makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat hormat kepadanya dan pandai membawa diri. "Kami malah merasa girang dan beruntung sekali menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami mengetahui, ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke tempat ini?"

"Kami berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," kata Tio Sun dengan terang-terangan.

Dia sudah mendengar bahwa Raja Sabutai ini sudah berdamai dengan kaisar, maka dia tidak khawatir memberi tahukan maksud kedatangan mereka kepadanya. Apa lagi karena semenjak tadi mereka tidak melihat adanya dua orang guru raja ini, bahkan ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang tamu, mereka pun tidak ada yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di dalam pesta. Maka, terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan memperoleh keterangan dari raja ini.

"Ha...? Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kau sebut tadi, Tio-sicu?" tanyanya, memandang dengan tertarik.
"Kami telah mendengar bahwa dua locianpwe itu adalah guru-guru paduka. Oleh karena itulah maka sekalian kami hendak mohon petunjuk paduka, di mana kami kiranya akan dapat bertemu dengan mereka."

Sabutai menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kagum. "Tio-sicu dan Souw-sicu, sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda tetapi sudah memiliki nyali harimau dan hati naga! Sudah tahu bahwa yang kalian cari itu adalah guru-guruku, akan tetapi secara terang-terangan kalian menanyakannya kepadaku, seolah-olah kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan orang jumlahnya!"

Tio Sun menjura lagi dan berkata, "Adanya kami berdua berani datang ke sini, karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seseorang yang dapat menghargai kegagahan."

"Ha-ha-ha, jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In Hong?"

Tio Sun tidak terlalu terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan kecerdikan Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena dia merasa bahwa ‘rahasia’ mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan gagah dan nyaring,

"Benar! Nona Yap In Hong sudah diculik maka kami sengaja datang untuk mencari dan menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan para penculiknya, siapa pun adanya mereka itu!"

Tio Sun terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang demikian sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi marah dan berbahayalah kalau begitu, maka dia cepat berkata, "Maafkan, sahabat saya ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu paduka maklum..."

Memang tadinya muka Raja Sabutai telah memperlihatkan kemarahan ketika mendengar kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang muda yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan diterjangnya! Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona Yap In Hong?"

Tio Sun cepat-cepat mendahului Kwi Beng. "Dapat dikata demikianlah, sri baginda. Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya, saya pun seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena nona Yap In Hong telah menjadi seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar amat marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar yang mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami berdua."

Kwi Beng tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi utusan kaisar? Heran dia kenapa Tio Sun harus membohong seperti itu. Dianggapnya perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa takut dan hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera mengerti ketika mendengar raja itu berkata,

"Ahh, Kaisar Ceng Tung memang seorang yang mengenal budi! Aku telah memberi tahu kepada beliau bahwa urusan culik-menculik ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, sungguh pun yang melakukannya adalah guru-guruku. Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri, dan nanti kita bicarakan lebih lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu dengan mereka, kalau kupandang kalian memang pantas untuk bertemu dengan mereka!"

Sabutai segera memerintahkan pelayan supaya menambah hidangan makanan dan arak, kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang besar sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan menduga-duga siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai dan kini mereka dijamu itu.

Sesudah dua orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dan kiranya para tamu tengah menyambut kemenangan seorang pegulat yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya mengenakan cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu. Si pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia sudah memenangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas membuat isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas panggung!

Raja Sabutai memandang kepada pegulat hitam itu dan dia pun tersenyum. Dia mengenal pegulat itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain mempunyai tenaga yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya sehingga dalam hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam itu. Maka timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji utusan Kaisar Ceng Tung ini.

"Tio-sicu, seperti yang kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan dua orang guruku itu. Apa lagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja."

"Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi apa bila paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi."

"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu. Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?"

Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak sambil memandang ke sekeliling dan menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa betapa pun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi petunjuk. Dia pun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang bertanding silat dan merasa simpati pada orang-orang yang pandai ilmu silat. Agaknya, tanpa memperlihatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan,

"Akan saya coba untuk menandingi dia, sri baginda."

Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah Raja Sabutai dan memberi hormat.

"Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan datang menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!"

Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu hanya akan berakhir sampai di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju. Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang selatan yang pandai silat!

"Nah, Tio-sicu, silakan," kata Sabutai kepada Tio Sun.

Tio Sun bangkit berdiri, menjura kepada Sabutai kemudian memandang kepada Souw Kwi Beng. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata,

"Tio-twako, hati-hatilah... dia kelihatan kuat sekali."

Tio Sun mengangguk dan sesudah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan langkah tenang dia segera menghampiri panggung lalu meloncat ke atas panggung, berhadapan dengan Biruang Hitam.

Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan suara gerengan bagai seekor biruang pada waktu melihat bahwa calon lawannya hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat membenci orang Han, apa lagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan satu barulah sama dengan dia...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 36

Dewi Maut Jilid 36
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
ANG BIN CIU KWI bukan seorang bodoh. Dia melihat bahwa yang dikemukakan oleh Hek I Siankouw memang cukup kuat dan beralasan, dan memang harus diakuinya bahwa dia mendapatkan Si Kwi dan Bun Houw sama sekali bukan dalam keadaan hendak melarikan diri. Sama sekali bukan, bahkan mereka itu bermain cinta sampai pagi! Dan dia pun tahu bahwa Hek I Siankouw memang sengaja tidak menceritakan niatnya hendak memaksa Si Kwi untuk menyerahkan diri dan dia maklum apa kehendak tokouw berpakaian hitam itu.

"Keterangan yang diberikan Siankouw barusan memang benar, ji-wi locianpwe," katanya mendahului isterinya karena dia khawatir kalau-kalau isterinya tidak mengerti akan uluran tangan Hek I Siankouw. "Memang tadinya kami hanya ingin main-main sebab Arak Malam Pengantin itu tidak menyakitkan dan tidak membunuh, malah dapat dikata menyehatkan, heh-heh... dan kalau tadi kami melapor kepada ji-wi locianpwe adalah karena kami kurang mengerti akan niat nona Liong Si Kwi. Kiranya dia hanya ingin begituan dengan pemuda itu."

"Memang harus kuakui bahwa muridku ini telah bersalah dan karena cintanya dia menjadi murtad terhadap gurunya yang dianggap orang tuanya. Karena itu, sebagai hukumannya aku mengusirnya dan tidak mengakuinya lagi sebagai murid. Harap saja kalian berdua tidak mencampuri urusan antara guru dan murid ini, karena jelas bahwa tawanan tidak dilarikan. Dan harap kalian orang-orang tua cukup bijaksana terhadap orang muda yang gila cinta!"

Setelah dua orang kakek dan nenek itu mendengarkan keterangan Hek I Siankouw dan Ang-bin Ciu-kwi, kemarahan mereka mereda, akan tetapi Hek I Siankouw maklum bahwa tidaklah begitu mudah untuk memuaskan hati dua orang kakek nenek itu, maka dia masih tetap waspada. Biar pun dia marah sekali kepada muridnya atas perbuatan muridnya itu, namun rasa kasih sayang dalam hatinya membuat dia masih selalu ingin melindungi dan agar muridnya itu menerima hukuman yang seringan mungkin atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Dan benar saja dugaannya. Hek-hiat Mo-li terdengar berkata nyaring, "Mendengar semua keteranganmu, Siankouw, kami boleh memandang mukamu untuk mengampuni muridmu, akan tetapi tidak ada budi yang tidak terbalas. Karena itu, sebelum kami membebaskan muridmu, dia harus meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa dosanya telah terhukum dan lunas, ditambahi janji bahwa engkau akan terus membantu kami sampai selesai."

Hek I Siankouw mengerutkan alisnya, lalu tiba-tiba saja dia berkata, "Si Kwi, kau sudah merasa berdosa terhadap aku?"

"Teecu menyerahkan jiwa raga teecu ke tangan subo."

"Ke sinilah!"

Gadis itu menghampiri gurunya dan menjatuhkan diri berlutut.

"Singgg...! Crattt!" Nampak sinar hitam berkelebat dan pedang hitamnya menyambar ke depan.

Si Kwi menjerit kemudian tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang telah terbabat pedang dan buntung sebatas pergelangan tangannya! Dia masih berlutut dan mukanya pucat sekali memandang tangan kirinya yang sudah buntung itu.

Dengan tenang Hek I Siankauw mengambil tangan muridnya itu, kemudian menghampiri Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li sambil menyodorkan tangan berdarah itu. "Mo-ko dan Mo-li, kuharap kalian puas dengan tangan yang ditinggalkan muridku ini, dan aku berjanji akan membantu kalian sampai selesai."

"Ha-ha-ha, engkau benar-benar mencinta muridmu. Sebenarnya, harus kedua tangannya dibuntungi, akan tetapi karena engkau bertindak sendiri dengan suka rela, biarlah ini pun cukup," keta Hek-hiat Mo-li sambil menerima tangan yang berkulit halus itu.

Hek I Siankouw menghampiri muridnya, menotok jalan darah di siku dan pundaknya, lalu menggunakan obat bubuk ditaruh di lengan yang buntung dan membalutnya dengan sapu tangannya. Setelah selesai, dia pun berkata dengan suara gemetar, "Nah, pergilah! Mau tunggu apa lagi?"

Si Kwi maklum bahwa nyawanya telah ditolong oleh subo-nya dan sebagai penggantinya, subo-nya membuntungi tangan kirinya dan yang lebih berat lagi, subo-nya berjanji akan membantu kakek dan nenek iblis itu sampai selesai, berarti subo-nya telah menyerahkan nyawa demi untuk menyelamatkannya. Maka sambil menangis dia berlutut dan mencium kaki subo-nya sambil berkata,

"Subo, terima kasih... sampai mati teecu tidak akan melupakan budi subo..."

"Pergilah! Pergilah...!" Hek I Siankouw menjerit dan membalikkan tubuhnya, memalingkan muka tak mau memandang muridnya dan dengan cepat tangannya menghapus dua butir air matanya.

Si Kwi bangkit lalu dengan cepat pergi dari sana. Air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya.

********************

Ketika Bun Houw siuman dari pingsannya, dia melihat In Hong sedang duduk di pinggir pembaringan dengan muka penuh kekhawatiran. Pemuda ini segera teringat akan semua pengalamannya yang hanya setengah disadarinya itu, seperti sebuah mimpi yang hampir terlupa. Akan tetapi teringat bahwa dia sudah bermain cinta dengan seorang gadis, dia cepat bangkit berdiri dengan gerakan kuat.

"Ah, kau mengasolah dulu, Houw-ko... kau agaknya terserang sakit, wajahmu amat pucat dan tubuhmu lemah sekali." In Hong memegang pundaknya dan dengan halus menyuruh pemuda itu berbaring kembali.

Akan tetapi Bun Houw tidak mau rebah dan terus duduk di tepi pembaringan itu, matanya dipejamkan dan alisnya berkerut. "Hong-moi... apa yang terjadi...? Bagaimana aku bisa berada di sini lagi?"

Dia membuka mata dan memandang ke sudut kamar tahanan itu. Ternyata memang di tempat itu terdapat bekas galian yang sudah ditutup kembali. Jantungnya berdebar penuh penyesalan.

Tadinya dia mengharapkan bahwa apa yang diingatnya itu hanyalah mimpi belaka, akan tetapi begitu melihat bekas lubang yang berada di sudut kamar tahanan dan yang sudah ditutup kembali itu, tahulah dia bahwa semua pengalaman itu bukanlah sekedar mimpi! Melainkan kenyataan! Dan dia telah bermain cinta dengan seorang gadis, kalau dia tidak salah, Liong Si Kwi! Dia telah berjinah!

"Ohhhh...!"

"Kenapa, Houw-ko?" In Hong memegang lengan pemuda itu ketika melihat pemuda itu menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya, seolah-olah dia hendak mengusir sesuatu dari depan matanya.

Tanpa melepaskan kedua tangan dari depan mukanya, Bun Houw lantas bertanya lagi, "Hong-moi... demi Tuhan... kau ceritakanlah padaku, apa yang telah terjadi semalam?"

"Houw-ko, aku sendiri pun tidak mengerti. Bahkan aku yang hendak bertanya kepadamu. Engkau tahu, setelah kita tersiksa semalam, aku lalu... tertidur atau pingsan dan aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, pada saat aku siuman, aku melihat engkau telah rebah di lantai dan..." Wajah gadis itu menjadi merah sekali dan lehernya seperti tercekik, dan dia tidak dapat melanjutkan ceritanya.

Bun Houw menurunkan kedua tangannya dan menoleh. Melihat wajah itu menjadi merah dan bibir gadis itu tersenyum menahan rasa malu, dia cepat mendesak, "Dan bagaimana, Hong-moi? Ceritakanlah... ceritakanlah...!"

"Kau... kau dalam keadaan... ahhh... telanjang, Houw-ko. Dan pakaianmu bertumpuk di dekatmu. Tentu saja aku terkejut sekali dan melihat bahwa aku tidak apa-apa, hatiku lega. Maka selama engkau masih pingsan aku mengenakan pakaian pada tubuhmu, kemudian memindahkanmu ke atas pembaringan dan aku menjagamu sampai kau sadar..."

"Dan lubang itu...?" Bun Houw bertanya, menoleh ke arah bekas lubang di sudut kamar.

"Entahlah, sudah begitu ketika aku siuman. Houw-ko, apakah yang terjadi sesungguhnya ketika aku sedang pingsan atau pulas?" Kembali In Hong memegang lengan pemuda itu dan tiba-tiba Bun Houw mengelak dan mundur menjauhi.

"Aku tidak tahu... tidak tahu, Hong-moi... aku... aku terbius dan seperti orang gila..." Bun Houw kembali menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.

Akan tetapi tetap saja terbayang pengalaman remang-remang yang tidak mungkin dapat dia lupakan selamanya itu, di dalam sebuah kamar asing, di atas pembaringan, bersama Liong Si Kwi! Dia menduga-duga apa yang terjadi dengan gadis itu!

Dan mengapa pula Si Kwi membuat terowongan dari kamarnya ke kamar tahanan? Tentu untuk menolongnya keluar! Dan dia sedang dalam keadaan terbius dan di bawah pengaruh obat atau racun perangsang yang amat hebat. Tentu dia dan Si Kwi telah... ahhh, ingin dia mengusir semua bayangan dan kenangan itu. Dia merasa malu, malu dan menyesal sekali!

"Aku malu... aku malu...!" Tak terasa lagi bibirnya berbisik.

"Houw-koko, sudahlah. Memang amat memalukan bila mengenangkan kembali peristiwa semalam yang hanya samar-samar teringat olehku. Akan tetapi perbuatan kita itu terjadi karena di luar kesadaran kita, bukan? Kita berdua telah minum arak beracun! Karena itu, biarlah kita lupakan semua itu. Pula, bukankah tidak terjadi sesuatu di antara kita? Kita patut bersyukur bahwa kita tidak sampai terseret... ahhh, dan semua ini berkat kekuatan batinmu, koko."

"Tidak...! Tidak...! Engkaulah yang kuat dan hebat, Hong-moi. Dan aku... aku berterima kasih kepadamu, dan aku minta maaf..."

"Sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus mencari akal bagaimana dapat keluar dari tempat tahanan ini. Kalau kita menggabungkan tenaga dan berusaha untuk membongkar pintu ini..."

"Hemmm, sudah kupertimbangkan hal itu, Hong-moi, ketika engkau menolongku dahulu, mencari obat untukku, engkau berjumpa dengan keponakanku, Lie Seng, putera enci-ku yang dibawa oleh seorang Pendeta Lama. Dan engkau pernah dapat memainkan Thian-te Sin-ciang, engkau belajar dari suhu Kok Beng Lama. Hong-moi, engkau sumoi-ku."

"Bukan. Kepada suhu-mu sudah kuberikan janji bahwa aku tidak mengangkatnya sebagai guru. Bagaimana pun juga, mengingat bahwa mendiang ibuku adalah sumoi dari ayahmu, maka kita pun boleh saja terhitung kakak dan adik seperguruan."

"Hong-moi coba kau tampar telapak tanganku ini dengan Thian-te Sin-ciang!"

"Apa maksudmu? Apa gunanya?"

"Aku hendak mengukur sampai di mana tingkat ilmu itu pada dirimu." Bun Houw segera berdiri dan mengulur tangannya, dengan telapak tangan terlentang.

Meski pun belum mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan selanjutnya oleh pemuda itu, akan tetapi karena tahu bahwa pemuda itu hendak menguji kekuatannya, In Hong lalu mengerahkan tenaga dan menghantamkan telapak tangannya ke arah telapak tangan Bun Houw, tanpa ragu-ragu karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih lihai dari pada tingkatnya.

"Tarrrr...!"

Terdengar bunyi nyaring seperti ledakan ketika dua telapak tangan itu bertemu. In Hong merasakan tangannya panas dan membalik sehingga dia terhuyung.

"Engkau hebat, Hong-moi. Baru mendapat petunjuk sebentar saja dari suhu, telah dapat menguasai Thian-te Sin-ciang hampir seperempat bagian"

"Baru seperempat bagian?" In Hong bertanya dengan mata terbelalak dan hati kecewa. "Kukira sudah hampir sempurna!"

Bun Houw tersenyum dan hatinya girang melihat kenyataan bahwa berbicara dengan In Hong, dia mulai melupakan peristiwa di dalam kamar bersama Si Kwi yang mendatangkan penyesalan amat besar di hatinya itu.

"Hong-moi, kau belum mengetahui kehebatan sebenarnya dari Thian-te Sin-ciang. Hanya suhu seoranglah yang sudah mempunyai ilmu itu dan menguasai secara sempurna. Kalau suhu berada di sini, pintu ini bukan apa-apa. Engkau memiliki hampir seperempat bagian sudah hebat, Hong-moi."

"Dan engkau sendiri, koko. Engkau sudah begitu hebat!"

"Ahhh, mana bisa aku menandingi suhu? Paling-paling aku baru menguasai setengahnya atau lebih sedikit. Karena itu, meski pun kita menggabungkan tenaga, tidak akan mungkin kita sanggup menjebol pintu ini. Akan tetapi ada kemungkinan kecil kalau engkau dapat memperkuat tenagamu di sini, dengan latihan-latihan khusus."

"Pikiran itu baik sekali, Houw-ko."
Bun Houw lalu menyuruh gadis itu duduk bersila di hadapannya, di atas pembaringan itu. Mereka berdua lalu duduk bersila dengan kaki melintang di atas kedua paha, punggung mereka lurus dan kedua lengan mereka dilonjorkan hingga kedua telapak tangan mereka saling bertemu, dengan jari-jari tangan lurus ke atas.

"Sekarang kendurkanlah seluruh urat syarafmu, Hong-moi, sedikit pun jangan melakukan perlawanan dan kau ikuti saja dorongan hawa dariku, kemudian terus ikuti sampai engkau dapat melakukan latihan ini sendiri." Bun Houw lalu memberi tahu tentang teori-teorinya melatih diri untuk memperkuat tenaga sinkang Thian-te Sin-ciang.

"Mula-mula gerakkan hawa melalui sepanjang Ci-kiong-hiat, lalu naik ke Koan-goan-hiat, turun kembali ke Tiong-teng-hiat lalu akhirnya berhenti dan dipusatkan di Thian-te-hiat-to," demikian Bun Houw mulai memberi petunjuk sambil mengerahkan sinkang-nya melalui telapak tangan gadis itu.

In Hong merasakan hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui kedua telapak tangannya. Perasaan ini mendatangkan kenikmatan dan rasa nyaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya itu, apa lagi ketika dia teringat bahwa hawa itu datang dari Bun Houw, jantungnya berdebar keras dan tubuhnya terguncang!

Hal ini terasa oleh Bun Houw dan pemuda ini menjadi terkejut karena ada hawa melawan dari In Hong, bukan melawan melainkan ‘menyambut’. Namun hal itu sama saja karena dapat menghalangi penembusan jalan-jalan darah itu dengan hawa murninya.

"Harap kau jangan membiarkan pikiran berkeliaran, Hong-moi. Pikiran harus kosong dan seluruh perasaan berpusat kepada perjalanan hawa sakti..."

"Maaf, Houw-ko... aku tidak sengaja," In Hong menjawab dan kedua pipinya merah sekali karena merasa jengah.

Melihat sepasang pipi yang begitu kemerahan dan halus menyegarkan, cepat-cepat Bun Houw memejamkan matanya agar jangan melihat sepasang pipi yang demikian dekatnya!

Demikianlah, dua orang muda itu mulai dengan latihan mereka dan mereka hampir tidak peduli akan hidangan yang disuguhkan melalui lubang kecil. Hanya kalau mereka sudah merasa lelah dan lapar saja mereka berhenti, makan dan mengaso.

Sesudah menerima petunjuk dari Bun Houw dan sudah hafal benar akan cara berlatih untuk memperkuat tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, dua hari kemudian In Hong sudah mulai berlatih sendiri, dan Bun Houw juga mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih, karena dia pun perlu memperkuat tenaganya agar kelak dapat digabung dengan tenaga In Hong untuk mencoba membobolkan pintu baja itu.

********************

Meriah sekali pesta yang diadakan oleh Raja Sabutai di tempat tinggalnya yang baru itu, di tepi sebuah sungai yang bergabung dengan Sungai Nun-kiang di utara. Pesta besar itu diadakannya untuk merayakan lahirnya sang putera, hal yang amat dinanti-nantikan dan diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh Sabutai.

Isterinya yang tercinta, Khamila, telah melahirkan seorang putera yang sehat dan montok, dan yang tangisnya amat nyaring dan terdengar sebagai nyanyian yang paling merdu bagi telinga Sabutai dan Khamila.

Pesta untuk merayakan kelahiran putera Sabutai itu dihadiri semua kepala Suku Nomad yang banyak terdapat di luar tembok besar utara, dari suku-suku kelompok kecil sampai yang besar, dan di antara para tamu itu terdapat pula orang-orang Han dari dalam tembok besar. Mereka ini adalah para pedagang yang suka membawa barang-barang dagangan dari selatan, untuk diperdagangkan dan ditukar dengan barang-barang dari utara.

Sungguh pun perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh dan sukar, akan tetapi karena keuntungannya cukup baik, maka banyak pula yang berani menempuhnya. Selain para pedagang, juga banyak hadir tokoh-tokoh persilatan di perbatasan, karena Sabutai selain terkenal sebagai seorang raja atau kepala suku yang besar, juga di antara tokoh-tokoh kang-ouw dia terkenal pula sebagai seorang ahli silat yang lihai.

Di samping hidangan yang berlimpah-limpah dan tari-tarian serta nyanyian daerah yang diselenggarakan untuk menghibur para tamu, juga Sabutai mengadakan pertandingan silat dan gulat dengan hadiah-hadiah yang menarik. Hal ini dilakukan dengan harapan supaya kelak puteranya menjadi seorang gagah perkasa, maka kelahirannya disambut dengan pertandingan-pertandingan ketangkasan, yaitu yang umum di antara mereka adalah silat terutama sekali gulat.

Banyak juga yang mendaftarkan diri untuk mengikuti pertandingan itu. Akan tetapi, Raja Sabutai merasa kecewa melihat bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian biasa saja. Maka ketika menurut giliran maju seorang pegulat yang sudah cukup terkenal di antara para Suku Nomad, seorang pegulat yang tubuhnya seperti gajah, kokoh kuat dan kekar, berhadapan dengan seorang ahli silat bangsa Han di antara para tokoh perbatasan, Sabutai menjadi girang dan tertarik sekali.

"Akan kutambah hadiahnya!" dia berseru gembira. "Siapa di antara kalian yang menang, selain hadiah yang telah disediakan untuk tiap pemenang, akan kutambah dengan sebuah hadiah lagi yang boleh dipilih oleh si pemenang di antara barang-barang sumbangan yang kuterima hari ini!" Dia menudingkan telunjuknya ke arah meja besar yang penuh dengan barang sumbangan yang ditumpuk di situ setelah dicatat satu demi satu oleh pembantu yang menerimanya.

Tentu saja semua orang menjadi gembira dan tegang. Memang jarang dipertandingkan seorang ahli silat melawan seorang ahli gulat, dan kini timbullah pertaruhan-pertaruhan di antara mereka. Bagi yang belum mengenal kebiasaan mereka, tentu akan merasa heran mendengar betapa di antara para kepala Suku Nomad itu, selain mempertaruhkan kuda mereka yang terbaik, atau ternak-ternak mereka, juga ada yang mempertaruhkan anak perempuan mereka, bahkan ada pula yang mempertaruhkan isteri atau selir mereka!

Sabutai memandang penuh perhatian. Dia sudah mengenal jago gulat itu dan tahu akan ketangguhannya. Tentu saja bagi dia sendiri, jago gulat itu bukan apa-apa, karena dia tahu bahwa jago gulat itu hanya mengandalkan tenaga besar dan cara-cara meringkus dan melontarkan lawan, di samping mempunyai tubuh yang kuat dan kebal seperti gajah.

Akan tetapi yang menarik perhatiannya adalah ahli silat itu. Dia tak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw perbatasan ini secara dekat, akan tetapi melihat cara jago silat itu memasang kuda-kuda, dia maklum bahwa akan terjadi pertandingan yang seru dan menarik.

Ahli silat itu mempunyai kuda-kuda yang kuat dan sikapnya begitu meyakinkan, dengan kedua lutut ditekuk seperti orang menunggang kuda, lengan kanan ditekuk di depan dada dengan tangan miring di depan dada, lengan kiri di depan pusar, juga ditekuk dan tangan kirinya miring di depan pusar. Dengan kuda-kuda kokoh seperti itu, maka bagian tubuh atas dan bawah telah terjaga rapat dan kedua tangan pun sudah siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu melakukan penyerangan dari atas atau bawah.

Seorang wasit yang mewakili Raja Sabutai, yaitu seorang di antara panglimanya yang juga merupakan seorang ahli, baik dalam ilmu gulat mau pun silat, memberi tanda dengan tangannya ke arah pembantunya yang langsung membunyikan canang tanda dimulainya pertandingan itu. Si wasit lalu berdiri di sudut dan mulailah dua orang itu bergerak.

Memang menegangkan sekali pertandingan ini. Bukan seperti pertandingan antara dua orang jago gulat yang saling tubruk dan saling mencengkeram, berusaha saling banting, mengandalkan ketepatan saat dan gerakan reflex dibantu oleh penggunaan tenaga besar yang tepat pada waktunya, atau seperti pertandingan di antara dua orang jago silat yang saling serang mengandalkan kecepatan dan ketepatan pukulan atau tendangan, namun karena masing-masing menghadapi lawan yang mempunyai kepandaian berbeda, mereka berdua menjadi hati-hati sekali.

Si jago gulat berdiri dengan dua lengan dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, tangannya siap untuk menangkap atau mencengkeram di depan, kedua kakinya agak terpentang dan dia agak membungkuk, sikapnya seperti seekor orang hutan besar menghadapi lawan. Ke mana pun lawan bergerak, dia memutar tubuh menghadapinya!

Sedangkan si jago silat masih menanti-nanti saat yang tepat, memilih-milih sasaran untuk serangannya dan dia mengatur langkah, digesernya dan perlahan-lahan memutari tubuh si jago gulat dengan perlahan, selalu merubah-rubah kedudukan kedua tangannya sesuai dengan kedudukan sepasang kakinya, apakah menghadapi lawan dengan miring ataukah langsung berhadapan.

"Hyaaaattt...!" Tiba-tiba si jago silat itu menyerang dari samping setelah dengan cepat dia melangkah ke samping kiri lawan, dengan pukulan cepat ke arah lambung.

"Hehhhhh!" Si jago gulat mengelak dan tangannya yang panjang mencengkeram ke arah rambut kepala lawan. Akan tetapi jago silat itu pun sudah cepat melompat ke belakang menghindarkan diri, memutar tubuhnya dan menendang dari depan ke arah perut lawan.

"Dukkk!"

Lengan yang besar itu menangkis dan ketika tangannya menyambar, kembali lawannya dapat menarik kaki sehingga sambaran itu luput.

Kembali ahli silat itu bergerak mengitari si ahli gulat yang tetap tenang saja, sama-sama mencari kesempatan. Tiba-tiba saja, sekali ini tanpa mengeluarkan teriakan, jago silat itu meloncat ke atas, kakinya melayang ke arah muka jago gulat itu dengan kerasnya.

Jago gulat itu menghindarkan diri dengan elakan, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kanan jago silat itu menghantam tengkuk lawan. Jago gulat yang melihat kecepatan ini kaget, dia miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena pukulan.

"Bukkk!"

Dia terhuyung-huyung, akan tetapi pemukulnya juga cepat meloncat ke belakang karena tangannya bertemu dengan daging yang tebal dan keras! Karena berbesar hati sudah berhasil menghantam pundak, jago silat itu kini melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan ternyata siasatnya berhasil baik. Berkali-kali dia dapat menggunakan kedua tangan atau kakinya untuk menghantam dan menendang lawan dan ada beberapa di antaranya yang mengenai tubuh lawan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulan itu mengenai tubuh si jago gulat, akan tetapi pukulan-pukulan serta tendangan-tendangan itu tidak merobohkan lawan, hanya membuat si jago gulat terhuyung.

Sorak-sorai dan tepuk tangan mulai terdengar, ada pula ejekan-ejekan terhadap si jago gulat, terutama mereka yang bertaruh memegang ahli silat itu. Tentu saja di depan Raja Sabutai, para tamu tidak berani bersikap melewati batas, akan tetapi dalam kesempatan seperti di tempat ini, bukan hal mustahil apa bila gelanggang pertandingan juga dijadikan gelanggang pertempuran antara para penjudi itu yang tentu saja dibela oleh anak buah masing-masing!

Pertandingan dilangsungkan terus dengan serunya. Jago silat itu sudah berhasil memukul beberapa kali sehingga pukulan yang mengenai muka jago gulat itu membuat bibirnya pecah dan berdarah. Akan tetapi pada saat si ahli silat menendang, tulang kering kakinya bertemu dengan tulang kaki si jago guiat yang besar dan kuat, sehingga biar pun tulang kakinya yang kecil itu tidak patah, cukup mendatangkan rasa nyeri dan membuat dia agak terpincang!

Jago gulat itu menjadi marah sekali. Kini dia mulai aktip menyerang seperti seekor kerbau yang terluka,. Namun serangan-serangannya yang berupa cengkeraman dan tangkapan kedua tangan itu selalu berhasil dielakkan oleh si jago silat yang lincah, selalu menubruk atau menangkap angin kosong belaka, dan sebagai jawabannya, tentu terdengar suara ‘Tak!’ atau ‘Plak!’ akibat tangan jago silat itu berhasil memukul atau menampar. Sekarang lebih banyak lagi darah keluar ketika sebuah pukulan si jago silat tepat mengenai hidung si jago gulat sehingga muncratlah darah segar dari lubang hidung raksasa itu.

Bagaikan serigala-serigala yang haus darah, para penonton berteriak-teriak penuh nafsu menjagoi pilihan masing-masing. Yang menjagoi ahli silat menjadi berbesar hati karena melihat jagonya lebih banyak membagi pukulan, sedangkan yang menjagoi si ahli gulat juga tidak putus harapan karena biar pun sering kali dipukul, si jago gulat yang kokoh kuat itu belum juga roboh, sedangkan si jago silat sebaliknya malah kelihatan lelah sekali. Hal ini karena si jago silat lebih banyak bergerak, sedangkan si jago gulat hanya berdiri dan bergerak sedikit sekali.

Setelah beberapa kali menerima hantaman dan tendangan berturut-turut, tiba-tiba si jago gulat berhasil menangkap pergelangan lengan lawannya! Si jago silat meronta, akan tetapi percuma saja karena pegangan itu bukan main kuatnya. Karena maklum bahwa dia tidak akan mampu melepaskan diri, si jago silat segera menggunakan sebelah tangannya lagi untuk menusuk mata lawan dengan jari tangan. Jago gulat itu miringkan mukanya, akan tetapi tetap saja pipinya kena ditusuk dan kembali darah mengucur.

"Haarrgghhh...!" Jago gulat mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang.

Dia maklum betapa bahayanya untuk terus memegang lengan lawannya itu, maka sekali dia merendahkan diri dan mengerahkan tenaga sambil memegang pinggang lawan, dia telah mengangkat tubuh si jago silat tinggi-tinggi di atas kepalanya. Terdengar pekik dan sorak-sorai penonton menyambut kemenangan si jago gulat ini saat tiba-tiba si jago gulat melontarkan tubuh jago silat yang tak berapa besar itu sehingga terlempar sampai jauh ke arah para tamu!

Jago silat itu berteriak kaget, maklum bahwa nyawanya kini terancam bahaya. Tubuhnya sudah tidak dapat dikuasainya lagi dan dia dilontarkan seperti peluru cepatnya, menimpa ke arah dua orang tamu yang duduk semeja di sudut yang agak sunyi.

Akan tetapi, seorang di antara dua tamu itu, yang berpakaian sederhana, berbangsa Han, bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit, pakaiannya yang berwarna kuning itu penuh debu tanda bahwa dia sudah melakukan perjalanan jauh, tiba-tiba bangkit berdiri lantas dengan tenangnya dia mengulur tangan kirinya dan ketika tubuh si jago silat itu menimpa ke arah mejanya, dia menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu tubuh itu telah mencelat ke atas mematahkan daya luncurnya, dan ketika turun kembali, disambutnya dengan tangan kiri dan si jago silat itu dapat turun dengan lunak dan sama sekali tidak terluka.

Si jago silat memandang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang berpakaian kuning sederhana itu dengan mata terbelalak, kemudian dia menjura sambil berkata perlahan, "Terima kasih," dan berjalan terhuyung kembali ke tempatnya, disambut oleh penyesalan dan celaan teman-temannya yang merasa kecewa mengapa ahli silat yang sudah lebih banyak membagi pukulan itu sampai dapat terpegang kalah, dan lain-lain.

Sabutai bermata tajam sekali. Dia segera mengenali orang pandai ketika melihat pemuda pakaian kuning tadi menerima tubuh si jago silat secara demikian mudahnya. Walau pun sebagian besar para tamu tidak tahu akan hal itu, tetapi dia sendiri mengerti bahwa hanya orang yang memiliki sinkang amat kuat saja yang akan mampu menyambut tubuh yang dilontarkan demikian kuatnya itu secara demikian rupa. Karena itu Sabutai lalu memberi perintah kepada seorang pengawalnya dan pengawal ini lalu cepat-cepat menghampiri dua orang tamu tadi tanpa diketahui orang lain.

Pengawal itu dengan suara perlahan menyampaikan perintah atau pesan Sabutai bahwa dua orang itu dipanggil menghadap Raja Sabutai itu karena hendak ditanya tentang suatu urusan penting sekali.

Dua orang pemuda itu saling pandang dan merasa girang karena memang kedatangan mereka di tempat ini adalah untuk berbicara dengan Sabutai. Hanya kebetulan saja ketika mereka datang, tempat itu sedang penuh tamu karena Sabutai mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran puteranya.

Siapakah mereka itu? Tentu saja dari pakaian pemuda yang tadi secara mengagumkan menerima tubuh si jago silat, mudah diduga bahwa dia bukan lain adalah Tio Sun, ada pun pemuda kedua yang berambut agak kuning keemasan sedangkan matanya agak biru itu bukan lain adalah Souw Kwi Beng atau Richardo de Gama!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tio Sun ‘ditangisi’ oleh Kwi Beng agar pemuda ini suka menolongnya, yaitu untuk dapat menemaninya mencari In Hong yang dicinta oleh Kwi Beng dan agar membantu perjodohannya dengan In Hong karena orang tuanya telah menyatakan tidak setuju. Sesungguhnya, permintaan seperti ini jauh lebih berat dari pada andai kata pemuda keturunan Portugis itu minta kepadanya untuk membantu menghadapi musuh yang lihai.

Akan tetapi, baru saja Tio Sun sendiri menderita ‘patah hati’ karena ternyata gadis yang dicintanya, yang diam-diam dicintanya, yaitu Kwi Eng saudara kembar Kwi Beng, sudah ditunangkan dengan Cia Bun Houw! Karena itu, dia merasa tidak tega kepada Kwi Beng dan dia memenuhi permintaan pemuda itu. Apa lagi karena dia pun ingin cepat-cepat menjauhi Kwi Eng sebelum luka di hatinya menjadi makin parah.

Mereka berdua pergi ke kota raja ketika mendengar bahwa Yap In Hong telah berada di kota raja, bahkan kini telah menjadi seorang puteri! Akan tetapi, seperti halnya Bun Houw yang datang ke kota raja, mereka mendengar akan peristiwa penculikan atas diri In Hong yang dilakukah oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li.

Tentu saja mereka menjadi terkejut bukan main dan karena Tio Sun pernah membantu Bun Houw dan Cia Keng Hong, maka dia sudah tahu ke mana harus mencari Sabutai. Menurut perkiraannya, kakek dan nenek yang menjadi guru Sabutai itu tentunya berada bersama raja itu, maka dia lalu mengajak Kwi Beng untuk langsung pergi keluar tembok besar di utara dan mencari di mana adanya Sabutai dan kedua orang gurunya itu.

Inilah sebabnya mengapa dua orang muda itu kini berada di tempat pesta itu, dan secara tidak disengaja Tio Sun dapat menarik perhatian Sabutai sehingga kini dia dan Kwi Beng dipanggil oleh Sabutai yang tertarik menyaksikan kelihaian Tio Sun tadi.

Pertandingan masih berlangsung terus, akan tetapi Sabutai sudah tidak memperhatikan lagi karena memang dianggapnya tidak begitu menarik. Dia kini dihadap oleh dua orang pemuda itu, dan dengan ramah Sabutai lalu menanyakan nama mereka, juga dia sangat memperhatikan Kwi Beng yang matanya agak biru dan rambutnya agak keemasan itu.

"Nama saya Tio Sun dan sahabat saya ini bernama Souw Kwi Beng," jawab Tio Sun sesudah memberi hormat. "Karena kebetulan kami berdua lewat di sini dan mendengar akan perayaan yang diadakan oleh paduka di sini, maka kami lalu memberanikan diri datang menonton keramaian. Atas kelancangan ini, harap paduka sudi memaafkan kami."

"Ahhh...!" Sabutai menjadi makin tertarik karena ternyata bahwa pemuda itu amat hormat kepadanya dan pandai membawa diri. "Kami malah merasa girang dan beruntung sekali menerima kedatangan ji-wi sicu yang pandai. Kalau boleh kami mengetahui, ji-wi hendak ke manakah dan ada keperluan apa sampai jauh-jauh ke tempat ini?"

"Kami berdua hendak mencari kedua locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li," kata Tio Sun dengan terang-terangan.

Dia sudah mendengar bahwa Raja Sabutai ini sudah berdamai dengan kaisar, maka dia tidak khawatir memberi tahukan maksud kedatangan mereka kepadanya. Apa lagi karena semenjak tadi mereka tidak melihat adanya dua orang guru raja ini, bahkan ketika mereka bertanya-tanya kepada beberapa orang tamu, mereka pun tidak ada yang tahu mengapa guru-guru raja itu tidak muncul di dalam pesta. Maka, terpaksa dia mengaku terus terang dengan harapan akan memperoleh keterangan dari raja ini.

"Ha...? Tahukah kalian siapakah dua orang tua yang kau sebut tadi, Tio-sicu?" tanyanya, memandang dengan tertarik.
"Kami telah mendengar bahwa dua locianpwe itu adalah guru-guru paduka. Oleh karena itulah maka sekalian kami hendak mohon petunjuk paduka, di mana kami kiranya akan dapat bertemu dengan mereka."

Sabutai menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kagum. "Tio-sicu dan Souw-sicu, sungguh aku kagum sekali kepada kalian! Masih begitu muda tetapi sudah memiliki nyali harimau dan hati naga! Sudah tahu bahwa yang kalian cari itu adalah guru-guruku, akan tetapi secara terang-terangan kalian menanyakannya kepadaku, seolah-olah kalian berani menghadapi kami dengan bala tentara kami yang ribuan orang jumlahnya!"

Tio Sun menjura lagi dan berkata, "Adanya kami berdua berani datang ke sini, karena kami sudah mendengar akan nama paduka yang besar sebagai seseorang yang dapat menghargai kegagahan."

"Ha-ha-ha, jangan kira kami tidak tahu akan maksud kedatangan kalian. Bukankah kalian mencari kedua orang guruku itu berhubung dengan diculiknya nona Yap In Hong?"

Tio Sun tidak terlalu terkejut mendengar ini karena dia sudah menduga akan kecerdikan Raja Sabutai. Akan tetapi Souw Kwi Beng terkejut sekali dan karena dia merasa bahwa ‘rahasia’ mereka sudah ketahuan, maka dia segera berkata dengan gagah dan nyaring,

"Benar! Nona Yap In Hong sudah diculik maka kami sengaja datang untuk mencari dan menolongnya dan kalau perlu kami akan mengadu nyawa dengan para penculiknya, siapa pun adanya mereka itu!"

Tio Sun terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata yang demikian sembrono. Dia khawatir kalau-kalau Raja Sabutai menjadi marah dan berbahayalah kalau begitu, maka dia cepat berkata, "Maafkan, sahabat saya ini amat mengkhawatirkan nona Yap yang amat dicintanya. Tentu paduka maklum..."

Memang tadinya muka Raja Sabutai telah memperlihatkan kemarahan ketika mendengar kata-kata Kwi Beng, akan tetapi begitu mendengar ucapan Tio Sun, dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, apa yang tidak akan dilakukan oleh orang-orang muda yang mabok cinta! Lautan api akan ditempuhnya, barisan golok akan diterjangnya! Apakah kalian ini utusan pribadi kaisar untuk menyelamatkan nona Yap In Hong?"

Tio Sun cepat-cepat mendahului Kwi Beng. "Dapat dikata demikianlah, sri baginda. Ayah saya adalah seorang bekas pengawal yang amat setia dan karenanya, saya pun seorang yang selalu akan membela kaisar. Karena nona Yap In Hong telah menjadi seorang puteri istana yang dipercaya oleh kaisar, maka tentu saja kaisar amat marah mendengar puteri itu diculik orang. Di antara banyak utusan kaisar yang mendapat perintah untuk mencari dan menyelamatkan nona Yap, termasuk kami berdua."

Kwi Beng tentu saja merasa heran sekali mendengar ucapan ini. Mereka menjadi utusan kaisar? Heran dia kenapa Tio Sun harus membohong seperti itu. Dianggapnya perbuatan ini tidak bijaksana dan tidak gagah! Menunjukkan rasa takut dan hendak bersembunyi di balik nama kaisar. Akan tetapi dia segera mengerti ketika mendengar raja itu berkata,

"Ahh, Kaisar Ceng Tung memang seorang yang mengenal budi! Aku telah memberi tahu kepada beliau bahwa urusan culik-menculik ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, sungguh pun yang melakukannya adalah guru-guruku. Namun dalam hal ini, mereka berdiri sendiri, dan nanti kita bicarakan lebih lanjut tentang di mana kalian dapat bertemu dengan mereka, kalau kupandang kalian memang pantas untuk bertemu dengan mereka!"

Sabutai segera memerintahkan pelayan supaya menambah hidangan makanan dan arak, kemudian raja ini menjamu mereka. Ini merupakan suatu kehormatan yang besar sekali dan banyak pandang mata para tamu diarahkan ke meja itu dan menduga-duga siapa adanya dua orang muda yang tadinya diundang oleh Raja Sabutai dan kini mereka dijamu itu.

Sesudah dua orang muda itu makan dan minum sampai kenyang, tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dan kiranya para tamu tengah menyambut kemenangan seorang pegulat yang berkulit hitam, bertubuh seperti raksasa dan karena dia hanya mengenakan cawat saja maka kulit hitam yang berkeringat itu kelihatan berkilauan mengkilap. Nampak otot-otot membelit-belit seluruh tubuh yang amat kuat itu. Si pegulat hitam ini dinyatakan sebagai pemenang karena berturut-turut dia sudah memenangkan lima pertandingan dan kini dia mengangkat kedua tangan ke atas membuat isyarat menantang siapa lagi yang berani bertanding melawan dia di atas panggung!

Raja Sabutai memandang kepada pegulat hitam itu dan dia pun tersenyum. Dia mengenal pegulat itu yang berjuluk Biruang Hitam, seorang pegulat yang selain mempunyai tenaga yang amat kuat, juga telah menguasai ilmu gulat dengan baiknya sehingga dalam hal ilmu gulat, dia sendiri akan sukar mengalahkan Biruang Hitam itu. Maka timbullah pikirannya untuk mempergunakan si Biruang Hitam itu menguji utusan Kaisar Ceng Tung ini.

"Tio-sicu, seperti yang kukatakan tadi, tidak sembarang orang dapat bertemu dengan dua orang guruku itu. Apa lagi menyelamatkan nona Yap In Hong! Hal itu merupakan tugas amat besar yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pandai yang mempunyai tekad dan keberanian besar saja."

"Kami berdua tidak berani mengaku sebagai orang-orang pandai, akan tetapi apa bila paduka suka memberi tahu di mana kami dapat menjumpai locianpwe Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, kami bertekad untuk menolong nona Yap In Hong dengan taruhan nyawa seperti yang dikatakan oleh adik Souw Kwi Beng tadi."

"Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, sicu. Untuk dapat berjumpa dengan kedua orang guruku itu sedikitnya harus mempunyai kepandaian seperti si Biruang Hitam itu. Nah, mampukah Tio-sicu menandingi dia?"

Tio Sun menoleh dan memandang ke arah raksasa hitam yang masih berdiri tegak sambil memandang ke sekeliling dan menantang dengan sikap angkuh itu. Dia maklum bahwa betapa pun juga, dia harus dapat meyakinkan hati raja ini agar dia dapat diberi petunjuk. Dia pun sudah mendengar bahwa Sabutai paling suka nonton orang bertanding silat dan merasa simpati pada orang-orang yang pandai ilmu silat. Agaknya, tanpa memperlihatkan kepandaian, dia tidak akan bisa memperoleh petunjuk dari raja ini. Maka dia mengangguk dan berkata perlahan,

"Akan saya coba untuk menandingi dia, sri baginda."

Sabutai tertawa gembira dan dia bertepuk-tepuk tangan dengan keras sehingga semua orang menoleh kepadanya. Juga raksasa hitam itu cepat membalik ke arah Raja Sabutai dan memberi hormat.

"Saudara sekalian, kebetulan sekali ada seorang utusan dari selatan datang menghadiri pesta ini dan dialah yang sanggup untuk menandingi si Biruang Hitam!"

Mendengar ini, semua tamu bertepuk dan bersorak gembira. Tadi mereka sudah merasa khawatir bahwa pertunjukan adu silat dan gulat itu hanya akan berakhir sampai di situ saja karena munculnya Biruang Hitam yang sudah berturut-turut mengalahkan lima orang lawan dan agaknya sudah tidak ada lagi yang berani maju. Maka mendengar bahwa ada utusan dari selatan yang hendak menandingi Biruang Hitam, tentu saja mereka menjadi gembira sekali, maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang hebat dan mungkin mati-matian karena jagoan dari selatan tentulah seorang ahli silat dan Biruang Hitam paling benci kepada orang selatan yang pandai silat!

"Nah, Tio-sicu, silakan," kata Sabutai kepada Tio Sun.

Tio Sun bangkit berdiri, menjura kepada Sabutai kemudian memandang kepada Souw Kwi Beng. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan berkata,

"Tio-twako, hati-hatilah... dia kelihatan kuat sekali."

Tio Sun mengangguk dan sesudah sekali lagi menjura ke arah Sabutai, dengan langkah tenang dia segera menghampiri panggung lalu meloncat ke atas panggung, berhadapan dengan Biruang Hitam.

Raksasa hitam ini menyeringai dan mengeluarkan suara gerengan bagai seekor biruang pada waktu melihat bahwa calon lawannya hanyalah seorang tinggi kurus dan berpakaian sebagai orang Han! Dia amat membenci orang Han, apa lagi seorang Han yang pandai silat! Dan calon lawannya ini bertubuh kecil, terlalu kecil baginya! Tiga kali tubuh lawan ini dijadikan satu barulah sama dengan dia...
Selanjutnya,