Dewi Maut Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 34
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TENTU saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jeri. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itu pun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka dia pun meragu untuk turun tangan.

Akan tetapi dalam saat-saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

"Singggg...!"

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Singggg...!"

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang berlika-liku bagaikan ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Karena terpaksa tiga orang itu kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya langsung menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.

Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga walau pun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani dipakai untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

"Plak-plak-plakkk...!"

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangan kirinya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang sangat kuat menyambar ke depan dan biar pun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khikang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas lantas kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, sekarang tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, ada pun tangan kirinya dengan jari-jari yang terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya sehingga pendeta wanita tua ini lantas terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah menjadi pucat.

Bun Houw segera menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar pula suara Bouw Thaisu,

"Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"

"Wuuut-wuuuuuttt...!"

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik sambil mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai dari pada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

"Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan dia pun balas menyerang.

Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang semuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat mendorong mereka biar pun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jeri lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang dulu pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Sekarang mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi untuk menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

"Bukan salah mereka. Mereka adalah pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."

"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu dari pada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku memiliki akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita."

Pek-hiat Mo-ko mengangguk kemudian sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat melalui tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan keempat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sinkang sangat kuat. Cepat dia pun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, dan disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

"Prattt...! Dessss...!"

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan. Akan tetapi sambil tersenyum kakek itu sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang sendiri ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang.

Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru itu dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itu pun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia tidak lebih dahulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu melawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biar pun kakek ini mempunyai kekebalan yang begitu istimewa.

Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lainnya! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

"Trang-trang-trakk-breetttt...!"

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor ada pun ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko.

Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum akhirnya dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

"Tahan...! Cia Bun How, kau lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang lalu menoleh, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

"Hong-moi...!" Tanpa disadarinya lagi Bun Houw berseru girang ketika melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

"Cia Bun Houw, kau pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"

"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru nyaring.

Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan ‘nona Hong’ yang dulu itu, dengan ‘Hong-moi’ yang dulu itu!

"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.

"Cia Bun Houw, engkau adalah putera dari ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan pedulikan aku!" Kembali In Hong berkata. "Jangan sampai kau merendahkan nama ayahmu."

"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khikang-nya hingga suaranya terdengar amat berwibawa sehingga menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong tetapi aku pun dapat membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh seratus orang anak buah yang terlihat kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biar pun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"

"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit. Tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau lelaki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Lagi pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Bila engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang mereka tawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.
"Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.

"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, barulah aku mau menyerah tanpa syarat."

"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak dikiranya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengamuk dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li kemudian mereka bicara dalam Bahasa Sailan. "Memang dia lebih berharga dari pada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.

"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita itu? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu."

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami mau menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu."

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."

Kakek dan nenek itu marah sekali, mereka merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau kau tidak percaya kepada kami, kami pun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mau menyerah?"

"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai yang melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar janji pada saat di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Waktu itu aku telah keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati dari pada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!"

"Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji dari pada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"

"Ehh, ehhh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, dan kalian harus ingat ini!"

"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu apa bila urusan kita semua sudah selesai, tetapi sekarang urusan belum selesai, bantuanmu pun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Bila mana sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisar pun kami dapat mengambilnya, apa lagi di tempat lain!"

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantah pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang sangat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap lagi gadis yang sudah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, dari pada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki dan tangan In Hong, lalu membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat sebab pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, engkau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh begini...," katanya dengan suara berbisik.

"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!"

"Tapi... tapi... kau...?"

"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."

"Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Kemudian dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"

"Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."

"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh menonton sandiwara?!" bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

"Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," berkata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya kemudian berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."

"Engkau memang sungguh seorang muda yang sangat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggota tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja."

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat saja dengan ini." Dan kakek ini pun lalu mengikat sepasang tangan pemuda itu di belakang tubuhnya.

Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apa pun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"

"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah pucat saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong!

Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

"Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, segera menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw mempergunakan pedang hitamnya yang ujungnya telah dirusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang.

Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

"Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong.

Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

"Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau begini tidak tahu malu untuk melanggar janji?" Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, kedua lengannya tetap saja tak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tak mungkin dapat dibikin putus.

"Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. "Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!"

Sambil menangkis serangan Hek I Siankouw yang dilakukan dengan penuh kebencian, In Hong menjawab, "Tidak! Jika engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!"

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika cahaya keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

"Hong-moi, pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak.

Akan tetapi In Hong sudah marah bagaikan seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu serta lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang telah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu.

Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu serentak menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, lalu ujung itu diterima oleh seorang teman di seberangnya. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke mana pun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak jika dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.

Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang sangat kuat, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sinkang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itu pun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah berhasil ke pinggir mendekati mereka yang semakin panik dan jeri sebab tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

"Mundur!" teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tidak mampu bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya segera berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan terus didesak sedemikian rupa hingga gadis itu menjadi kerepotan juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apa lagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula.

Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan diri, dia sudah roboh akibat totokan istimewa yang dilakukan Pek-hiat Mo-ko dengan ujung tongkat. Tubuh In Hong terguling dan segera dia pun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar ke dekat Bun Houw.

Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kecewa. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

“Dukkk! Dukkk!"

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, maka kedua orang muda itu mengeluh dan tidak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka sudah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan sesudah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekali pun!

"Kenapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko sesudah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.

Pek-hiat Mo-ko tersenyum. "Sungguh pun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang sangat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman."

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang sangat hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!"

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya salah bicara..."

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat sekali dengan mukanya. "Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia kemudian mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. "Sekarang, kau bersama isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!"

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu memiliki tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.

********************

Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi dia rebah menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu.

Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, namun terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Bagaimana pun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang pada lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukulan. Tidak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,

"Kita bebas...!"

Bun Houw mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali."

In Hong segera turun, lalu memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita membasmi mereka dan lolos dari sini?"

Bun Houw menggelengkan kepala lalu duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

"Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Mereka pun bukanlah orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain."

In Hong terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"

"Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, mengapa engkau kembali?" Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.

In Hong kini berdiri sambil memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.

"Kau kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau telah mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan nyawamu terancam. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidup aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan bila sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."

"Dan kau gagal..."

"Lebih baik gagal dan bersama-sama menghadapi kematian dari pada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak."

Hening sejenak. "Hong-moi..."

"Hemmm...?"

"Agaknya engkau ini..."

"Ya...?"

"Angkuh bukan main!"

"Maksudmu?"

"Sedikit pun engkau tidak sudi menerima budi orang..."

"Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapa pun!"

"Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."

"Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!"

"Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberikan Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) padaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah saling terikat oleh persahabatan!"

"Dan pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.

"Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata kemudian tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

"Kita harus mencari akal supaya dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."

"Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu."

"Tapi kita akan celaka..."

"Kurasa tidak, Hong-moi. Sebenarnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Apa bila mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."

"Ssstttt...!" In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata.

Keduanya segera memandang dengan penuh perhatian pada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu per satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman.

Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap dan merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

"Iblis, aku tak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

"Hong-moi, apa gunanya itu?" Pada waktu gadis itu memandangnya, dia berkedip sambil menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

"Ha-ha-ha!" Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar.

Ternyata suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong segera mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata,

"Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"

Mendadak terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakan pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit."

"Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?"

"Biarkan aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku."

"Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka sekali menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas menjaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan engkau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin Ciu-kwi.

"Siankouw, harap engkau jangan cari-cari perkara. Engkau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Bila engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kau bunuh gadis itu pun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Dia pun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapa pun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

"Hong-moi, mari kita makan dulu, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

"Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka."

"Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?"

Dibujuk demikian, In Hong termenung, kemudian dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi beserta sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,

"Siapa tahu masakan ini mengandung racun!"

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging kemudian makan dengan enaknya. "Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, kenapa mereka harus meracun kita? Pula, banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, kenapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita."

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat.

Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang telah tertutup lagi dari luar itu, dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw mau pun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka dia pun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti.

Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan kedua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir, aku juga akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina, juga rusak nama dan kehormatan mereka, sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

"Memang menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.

"Asyik sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Andai kata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tak akan marah. Justru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu di dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kata pula Hek I Siankouw.

"Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapat suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biar pun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 34

Dewi Maut Jilid 34
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TENTU saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jeri. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itu pun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka dia pun meragu untuk turun tangan.

Akan tetapi dalam saat-saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

"Singggg...!"

Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

"Singggg...!"

Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, yaitu sebatang pedang yang berlika-liku bagaikan ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

"Wuuut-wuuuttt...!" Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Karena terpaksa tiga orang itu kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya langsung menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu.

Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang sudah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga walau pun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani dipakai untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

"Plak-plak-plakkk...!"

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Siankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangan kirinya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang sangat kuat menyambar ke depan dan biar pun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khikang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas lantas kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, sekarang tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, ada pun tangan kirinya dengan jari-jari yang terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya sehingga pendeta wanita tua ini lantas terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah menjadi pucat.

Bun Houw segera menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar pula suara Bouw Thaisu,

"Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!"

"Wuuut-wuuuuuttt...!"

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik sambil mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai dari pada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

"Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!" Bun Houw berseru dan dia pun balas menyerang.

Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang semuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat dahsyat mendorong mereka biar pun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li merasa terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jeri lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang dulu pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Sekarang mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi untuk menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

"Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya," kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

"Bukan salah mereka. Mereka adalah pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia."

"Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu dari pada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kau bantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku memiliki akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita."

Pek-hiat Mo-ko mengangguk kemudian sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat melalui tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sinkang-nya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan keempat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sinkang sangat kuat. Cepat dia pun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, dan disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

"Prattt...! Dessss...!"

Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan. Akan tetapi sambil tersenyum kakek itu sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

"Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang sendiri ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa girang.

Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru itu dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itu pun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia tidak lebih dahulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu melawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biar pun kakek ini mempunyai kekebalan yang begitu istimewa.

Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lainnya! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

"Trang-trang-trakk-breetttt...!"

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor ada pun ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko.

Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum akhirnya dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

"Tahan...! Cia Bun How, kau lihat ini...!" Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang lalu menoleh, dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

"Hong-moi...!" Tanpa disadarinya lagi Bun Houw berseru girang ketika melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

"Cia Bun Houw, kau pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!"

"Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!" Tiba-tiba In Hong berseru nyaring.

Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan ‘nona Hong’ yang dulu itu, dengan ‘Hong-moi’ yang dulu itu!

"Hong-moi...!" Kembali dia mengeluh dan meragu.

"Cia Bun Houw, engkau adalah putera dari ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan pedulikan aku!" Kembali In Hong berkata. "Jangan sampai kau merendahkan nama ayahmu."

"Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!" Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

"Hek-hiat Mo-li!" Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khikang-nya hingga suaranya terdengar amat berwibawa sehingga menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. "Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong tetapi aku pun dapat membunuh kalian semua!"

"Ha-ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kau kira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kau pun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?"

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh seratus orang anak buah yang terlihat kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

"Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biar pun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!"

"Houw-ko, jangan gila...!" In Hong menjerit. Tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. "Hong-moi, sudah sepatutnya kalau lelaki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Lagi pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Bila engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang mereka tawan!" Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.
"Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?" Hek-hiat Mo-li berteriak.

"Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, barulah aku mau menyerah tanpa syarat."

"Houw-ko...!" In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak dikiranya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

"Bagaimana ji-wi locianpwe?" Bun Houw mengejek. "Kalian memilih aku mengamuk dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?"

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li kemudian mereka bicara dalam Bahasa Sailan. "Memang dia lebih berharga dari pada gadis ini," kata Pek-hiat Mo-ko.

"Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita itu? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini," kata Hek-hiat Mo-li.

"Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu."

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, "Cia Bun Houw, kami mau menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu."

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. "Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah."

Kakek dan nenek itu marah sekali, mereka merasa terhina. "Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau kau tidak percaya kepada kami, kami pun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mau menyerah?"

"Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai yang melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar janji pada saat di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Waktu itu aku telah keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjanji dan lebih baik mati dari pada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!"

"Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji dari pada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!" kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. "Mo-li, bebaskan nona ini!"

"Ehh, ehhh, nanti dulu, Moli!" Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. "Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, dan kalian harus ingat ini!"

"Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!" Hek-hiat Mo-li menjawab. "Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu apa bila urusan kita semua sudah selesai, tetapi sekarang urusan belum selesai, bantuanmu pun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Bila mana sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisar pun kami dapat mengambilnya, apa lagi di tempat lain!"

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantah pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang sangat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap lagi gadis yang sudah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, dari pada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki dan tangan In Hong, lalu membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat sebab pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. "Hong-moi, engkau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu." Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. "Houw-ko... tidak boleh begini...," katanya dengan suara berbisik.

"Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!"

"Tapi... tapi... kau...?"

"Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kau maafkan semua kesalahanku yang sudah-sudah..."

"Houw-koko!" In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Kemudian dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. "Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!"

"Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka."

"Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh menonton sandiwara?!" bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

"Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu," berkata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya kemudian berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. "Nah, sekarang aku menyerah."

"Engkau memang sungguh seorang muda yang sangat gagah!" Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

"Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!" kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. "Maaf, anggota tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja."

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, "Biar kuikat saja dengan ini." Dan kakek ini pun lalu mengikat sepasang tangan pemuda itu di belakang tubuhnya.

Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleh apa pun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Bebaskan dia!"

"Hong-moi...!" Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah pucat saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong!

Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah dan pipinya basah. Kini dia tak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

"Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!" Bun Houw menjadi bingung sekali.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, segera menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw mempergunakan pedang hitamnya yang ujungnya telah dirusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang.

Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

"Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!" Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak dan Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong.

Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

"Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau begini tidak tahu malu untuk melanggar janji?" Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, kedua lengannya tetap saja tak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tak mungkin dapat dibikin putus.

"Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?" Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. "Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!"

Sambil menangkis serangan Hek I Siankouw yang dilakukan dengan penuh kebencian, In Hong menjawab, "Tidak! Jika engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!"

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika cahaya keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

"Hong-moi, pergilah...!" kembali Bun Houw berteriak.

Akan tetapi In Hong sudah marah bagaikan seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu serta lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang telah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu.

Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu serentak menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, lalu ujung itu diterima oleh seorang teman di seberangnya. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke mana pun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak jika dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu.

Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang sangat kuat, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sinkang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itu pun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah berhasil ke pinggir mendekati mereka yang semakin panik dan jeri sebab tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

"Mundur!" teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tidak mampu bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya segera berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan terus didesak sedemikian rupa hingga gadis itu menjadi kerepotan juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apa lagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula.

Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan diri, dia sudah roboh akibat totokan istimewa yang dilakukan Pek-hiat Mo-ko dengan ujung tongkat. Tubuh In Hong terguling dan segera dia pun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar ke dekat Bun Houw.

Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kecewa. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

“Dukkk! Dukkk!"

Dua kali tangan Pek-hiat Mo-ko bergerak ke arah tengkuk Bun Houw dan In Hong, maka kedua orang muda itu mengeluh dan tidak bergerak lagi, mata mereka terpejam karena mereka sudah pingsan. Kakek dan nenek itu sendiri yang mengempit tubuh dua orang muda yang merupakan tahanan dan sandera amat berharga itu, diiringkan oleh semua pembantunya mereka lalu membawa dua orang tawanan itu dan sesudah membebaskan totokan dan tali, melemparkan mereka ke dalam kamar tahanan yang amat kuat, kamar tahanan dari baja yang tidak mungkin dapat dibobol oleh seorang lihai seperti Bun Houw sekali pun!

"Kenapa mereka dibebaskan? Sungguh berbahaya, locianpwe," Ang-bin Ciu-kwi mencela Pek-hiat Mo-ko sesudah dua orang muda itu dibebaskan dari belenggu dan dilempar ke dalam kamar tahanan dan pintunya dikunci dari luar.

Pek-hiat Mo-ko tersenyum. "Sungguh pun berbahaya, mereka itu hanya seperti dua ekor harimau di dalam kerangkeng. Mereka tidak berbahaya lagi dan sewaktu-waktu, mudah saja kita merobohkan mereka dari luar kerangkeng. Mereka adalah sandera-sandera yang sangat berharga, harus dijaga jangan sampai sakit dan mati sebelum semua teman The Hoo si keparat itu mewakilinya datang ke sini dan menerima hukuman."

Ang-bin Ciu-kwi bergidik karena dalam suara kakek ini terkandung ancaman yang sangat hebat. "Sungguh saya merasa heran, locianpwe. Panglima The Hoo sudah mati, kenapa ji-wi locianpwe menaruh dendam yang demikian hebat sehingga semua temannya harus dihukum!"

Tiba-tiba leher baju Setan Arak itu dicengkeram oleh tangan kiri Pek-hiat Mo-ko sehingga Si Setan Arak kaget dan ketakutan. "Ampun... maafkan kalau saya salah bicara..."

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko menarik muka Ang-bin Ciu-kwi sampai dekat sekali dengan mukanya. "Lihat! Lihat baik-baik mukaku, dan lihat muka Hek-hiat Mo-li! Apakah seperti manusia lagi? Itu semua gara-gara si keparat The Hoo!" Dia kemudian mendorong dan melepaskan tubuh Ang-bin Ciu-kwi yang jatuh terjerembab ke atas lantai. "Sekarang, kau bersama isterimu, harus menjaga baik-baik dua orang tawanan ini. Awas, kalau sampai mereka itu sakit atau mati atau lolos, nyawa kalian berdua yang menjadi gantinya!"

Pek-hiat Mo-ko memang cerdik. Dia tidak mempercayakan penjagaan atas diri dua orang tawanan itu kepada Bouw Thaisu, atau Hek I Siankouw, karena dia tahu bahwa dua orang itu hanya membantunya karena mereka itu memiliki tujuan pribadi masing-masing. Tidak seperti Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang sudah menjadi kaki tangan dan orang-orang taklukannya. Orang-orang seperti ini tentu saja lebih tunduk dan taat.

********************

Bun Houw siuman lebih dulu dan segera dia bangkit di atas lantai di mana tadi dia rebah menggeletak. Yang pertama-tama menarik matanya adalah tubuh In Hong yang rebah pula di lantai itu, masih pingsan akan tetapi dalam keadaan sehat. Hal kedua yang lebih menarik perhatiannya adalah bahwa dia dan In Hong sama sekali tidak terbelenggu.

Hal-hal ini menenangkan hatinya dan mulailah dia memeriksa keadaan di dalam kamar tahanan itu. Sebuah kamar yang tidak begitu besar, kurang lebih empat meter persegi, dindingnya terbuat dari baja yang amat kuat dan hanya ada sebuah daun pintu yang juga terbuat dari baja tebal. Pergantian udara hanya melalui lubang-lubang di atas pintu yang cukup banyak sehingga mereka tidak akan mati pengap, namun terlalu sedikit sehingga mereka tidak dapat merasa enak bernapas. Bagaimana pun juga, mereka tidak akan mati tinggal di kamar ini. Dari lubang-lubang itu, kadang-kadang dia melihat bayangan orang di luar daun pintu.

Bun Houw melihat ada sebuah pembaringan di dalam kamar dan di sudut kamar terdapat sebuah lubang pada lantai, agaknya dimaksudkan untuk tempat buang air! Kemudian dia melihat sebuah lubang yang lebarnya kurang lebih tiga puluh sentimeter persegi di bagian bawah pintu, akan tetapi lubang ini ditutup dari luar oleh baja pula dan agaknya lubang itu adalah tempat untuk memasukkan makanan dan lain-lain ke dalam kamar.

Paling penting adalah menyadarkan In Hong, pikirnya dan dipondongnya tubuh nona itu, dibaringkannya terlentang di atas pembaringan. Kemudian Bun Houw mengurut tengkuk gadis itu yang tadi kena pukulan. Tidak lama kemudian gadis itu mengeluh perlahan dan membuka mata. Begitu melihat Bun Houw, dia cepat bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, melihat kaki tangannya dan serunya pertama,

"Kita bebas...!"

Bun Houw mengangguk. "Ya, akan tetapi kita dikurung di dalam kamar tahanan yang kuat sekali."

In Hong segera turun, lalu memeriksa kamar itu, melangkah hilir-mudik dan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Bun Houw dan berkata, "Kita tidak ditotok, tidak dibius dan tidak dibelenggu. Kita bebas dan kalau kita berdua mengamuk, apa sukarnya kita membasmi mereka dan lolos dari sini?"

Bun Houw menggelengkan kepala lalu duduk di sudut pembaringan yang juga terbuat dari baja!

"Kurasa tidak begitu mudah, Hong-moi. Mereka pun bukanlah orang-orang bodoh. Sudah kuperiksa tadi dan jelas bahwa kita tidak mungkin membobol kamar ini. Pula, kalau kita memberontak dan mengamuk di dalam kamar ini, betapa akan mudahnya bagi mereka untuk membuat kita tidak berdaya dengan asap beracun atau serangan lain."

In Hong terkejut. "Aihhh... habis bagaimana?"

"Hong-moi, tadi engkau sudah dapat lolos, mengapa engkau kembali?" Bun Houw tidak menegur, melainkan menyesal karena melihat dara itu tertawan kembali.

In Hong kini berdiri sambil memandang wajah pemuda itu dengan angkuh, mengingatkan Bun Houw akan sifat dara ini yang memang keras, akan tetapi keangkuhan itu baginya amat menarik karena dara itu tidak berpura-pura dan di dalam keangkuhan itu terdapat keagungan yang membuat dara itu menjadi makin menarik.

"Kau kira aku ini orang macam apa, Houw-ko? Engkau telah mengorbankan dirimu untuk kebebasanku. Aku bebas akan tetapi engkau tertawan dan nyawamu terancam. Aturan mana itu? Mana bisa aku diam saja? Tentu selama hidup aku akan merasa tersiksa oleh penyesalan bila sampai terjadi sesuatu dengan engkau yang mengorbankan diri untukku. Tidak! Aku tidak bisa melanjutkan perjalanan kebebasanku dan aku nekat kembali untuk mencoba menolongmu dan membebaskanmu."

"Dan kau gagal..."

"Lebih baik gagal dan bersama-sama menghadapi kematian dari pada mati sedikit demi sedikit digerogoti penyesalan kelak."

Hening sejenak. "Hong-moi..."

"Hemmm...?"

"Agaknya engkau ini..."

"Ya...?"

"Angkuh bukan main!"

"Maksudmu?"

"Sedikit pun engkau tidak sudi menerima budi orang..."

"Tentu tidak! Sejak kecil aku hidup sendiri, bersama subo yang kini sudah tidak ada. Aku tidak mengemis budi, tidak mengharapkan budi, dari siapa pun!"

"Hemm, engkau menjadi keras oleh keadaan, Hong-moi. Sungguh kasihan..."

"Aku tidak mengharapkan kasihan orang...!"

"Akan tetapi aku bukan orang biasa. Aku adalah seorang sahabatmu, Hong-moi. Lupakah engkau akan itu? Engkau malah sudah memberikan Giok-hong-cu (Burung Hong Kumala) padaku dan aku memberikan Hong-cu-kiam padamu. Berarti kita telah saling terikat oleh persahabatan!"

"Dan pedang itu terampas oleh mereka!" In Hong berkata kecewa.

"Akan tetapi Giok-hong-cu pemberianmu masih kusimpan!" Bun Houw berkata kemudian tangannya merogoh ke saku baju sebelah dalam dan dikeluarkanlah hiasan rambut yang terbuat dari batu kumala indah berbentuk burung hong itu, "Benda ini selamanya tidak pernah terpisah dari badanku, Hong-moi!"

Melihat pemuda itu memegang burung hong kumala dan menyatakan demikian, tiba-tiba saja jantung In Hong berdebar keras dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah dan dia merasa senang bukan main!

"Kita harus mencari akal supaya dapat lolos dari kurungan ini, Houw-ko, kemudian kita serbu mereka, rampas kembali Siang-bhok-kiam dan..."

"Ssstt, jangan terburu nafsu, Hong-moi. Tidak akan mudah. Kita harus bersabar dulu."

"Tapi kita akan celaka..."

"Kurasa tidak, Hong-moi. Sebenarnya, yang diinginkan oleh kakek dan nenek itu adalah ayahku dan para panglima bekes pembantu Panglima The Hoo, bukan kita. Kita ini hanya dijadikan umpan belaka. Apa bila mereka hendak membunuh kita, tentu agaknya engkau sudah mereka bunuh, dan aku juga."

"Ssstttt...!" In Hong memberi tanda agar pemuda itu jangan mengeluarkan kata-kata.

Keduanya segera memandang dengan penuh perhatian pada lubang kecil yang tiba-tiba terbuka dari luar pintu. Kalau saja ada tangan diulur masuk, tentu In Hong yang sudah siap itu akan menangkapnya. Akan tetapi, terdengar suara ketawa Coa-tok Sian-li di luar pintu itu dan sebuah panci besar dan beberapa mangkok didorong masuk ke dalam satu per satu tanpa memperlihatkan tangan yang mendorongnya. Kemudian juga sebuah poci minuman.

Panci itu berisi masakan sayur mayur dan daging, baunya cukup sedap dan merangsang selera dan nasi itu putih dan masih mengebulkan uap, masih panas. Poci itu berisi air teh.

"Iblis, aku tak sudi makan dan minum suguhanmu!" In Hong hendak menendang hidangan itu, akan tetapi cepat-cepat Bun Houw mencegahnya dan memegang lengannya.

"Hong-moi, apa gunanya itu?" Pada waktu gadis itu memandangnya, dia berkedip sambil menggelengkan kepalanya. In Hong tidak berkata apa-apa dan keduanya diam.

"Ha-ha-ha!" Terdengar suara ketawa Ang-bin Ciu-kwi di luar.

Ternyata suami isteri itu menjaga di luar. Bun Houw dan In Hong segera mengintai dari lubang-lubang angin dan benar saja. Di luar terdapat Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li duduk berjaga dan kini Ang-bin Ciu-kwi berkata,

"Memang bocah she Cia itu pintar! Tidak seperti gadis itu yang liar!"

Mendadak terdengar suara Hek I Siankouw. "Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kalian dan aku adalah sekawan, lupakan pertikaian antara kita dan kalian turutilah permintaanku sedikit."

"Hemm, apakah permintaanmu itu, Siankouw?"

"Biarkan aku memotong tangan kanan gadis bernama Yap In Hong itu untuk membalas kematian sahabatku."

"Wah, wah, dalam keadaan biasa aku sendiri akan suka sekali menonton kau melakukan penyembelihan terhadap dia, akan tetapi kami berdua bertugas menjaga di sini, tidak saja menjaga agar mereka jangan lolos, juga jangan mereka sakit atau mampus. Bagaimana mungkin kami berani membiarkan engkau memotong lengannya? Tentu lengan kami akan hilang pula sebagai gantinya!" kata Ang-bin Ciu-kwi.

"Siankouw, harap engkau jangan cari-cari perkara. Engkau tahu bahwa yang menentukan hanyalah dua orang locianpwe yang berkuasa di sini. Bila engkau hendak minta sesuatu, mintalah kepada beliau berdua. Kalau sudah ada perkenan beliau, biar kau bunuh gadis itu pun kami tidak mencampuri," kata Coa-tok Sian-li.

Hek I Siankouw menghela napas panjang. Dia pun tidak berani melanggar perintah dua orang kakek dan nenek iblis itu, betapa pun sakitnya hatinya dan betapa inginnya untuk segera membalas dendam. Tiga orang itu tiba-tiba bicara bisik-bisik dan menjauhi pintu kamar itu sehingga Bun Houw dan In Hong tidak lagi melihat atau mendengar mereka.

"Hong-moi, mari kita makan dulu, mumpung masih panas-panas." Bun Houw mengangkati semua hidangan itu ke atas pembaringan besi dan mempersilakan gadis itu makan.

"Uhhh! Aku tidak sudi makan hidangan mereka."

"Hong-moi, pikirlah dengan tenang. Kita perlu memelihara kesehatan dan mengumpulkan tenaga, bukan? Sekali waktu akan ada gunanya bagi kita. Kalau kau tidak mau makan sampai jatuh sakit dan lemah, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka kalau saatnya tiba?"

Dibujuk demikian, In Hong termenung, kemudian dengan cemberut dia duduk pula di atas pembaringan dan menerima semangkok nasi beserta sumpitnya. Akan tetapi ketika dia hendak menyendok sayur, dia berkata penuh curiga,

"Siapa tahu masakan ini mengandung racun!"

Bun Houw tersenyum, menyendok sayur dan daging kemudian makan dengan enaknya. "Tidak mungkin," katanya. "Mereka perlu dengan kita sebagai sandera, kenapa mereka harus meracun kita? Pula, banyak jalan untuk membunuh kita yang sudah tidak berdaya, kenapa menggunakan racun dalam makanan seperti perbuatan orang-orang lemah? Aku yakin mereka tidak akan meracun makanan kita."

In Hong lalu mau makan juga dan karena memang dia amat lapar, maka sebentar saja dia makan sama lahapnya dengan Bun Houw. Mereka lalu minum teh dan tak lama kemudian In Hong duduk melenggut karena mengantuk. Badannya terasa segar dan sehat.

Bun Houw lalu turun dari pembaringan. Setelah menaruh semua perabot makan di depan lubang bagian bawah pintu yang telah tertutup lagi dari luar itu, dia mengintai dari lubang-lubang angin yang kecil, akan tetapi karena tidak dapat melihat Hek I Siankouw mau pun Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, juga tidak mendengar suara mereka maka dia pun lalu membiarkan In Hong istirahat dan mulailah dia memeriksa keadaan kamar tahanan itu lebih teliti.

Akan tetapi, tepat seperti telah diduganya, tempat itu amat kuat dan kokoh, tak mungkin meloloskan diri dari tempat itu dengan menggunakan tenaga saja. Bagian depan yang ada pintunya terbuat dari baja, demikian pula seluruh dindingnya. Hanya lantainya saja terbuat dari batu. Akan tetapi untuk apa membongkar lantai? Selain tidak mudah, juga tentu nampak dari luar sebelum dia dan In Hong berhasil lolos. Setelah memerika dengan teliti, Bun Houw juga duduk bersila di atas lantai batu untuk menghimpun tenaga.

Sementara itu, Hek I Siankouw dan kedua orang majikan Padang Bangkai itu berunding tidak jauh dari kamar tahanan sambil berbisik-bisik. "Jangan khawatir, aku juga akan ikut bortanggung jawab. Bukankah Mo-ko dan Mo-li hanya berpesan agar mereka tidak sakit, mati atau lolos? Nah, ketiganya itu tak akan terjadi. Aku ingin melihat mereka itu terhina, juga rusak nama dan kehormatan mereka, sedangkan kalian dapat menikmati tontonan itu!" Demikian antara Lin Hek I Siankouw berkata dan membujuk mereka.

"Memang menyenangkan sekali!" Coa-tok Sian-li berkata.

"Asyik sekali kalau menonton itu!" kata pula Ang-bin Ciu-kwi.

"Andai kata Mo-ko dan Mo-li mendengarnya, tentu mereka tak akan marah. Justru mereka sendiri yang menyuruh mengurung dua orang itu di dalam satu kamar, maka kejadian itu bukankah sudah sewajarnya?" kata pula Hek I Siankouw.

"Baikiah, Siankouw. Lihat saja malam nanti, kehendakmu pasti terlaksana dan kami akan menikmati tontonan itu, hik-hik!" Coa-tok Sian-li tertawa-tawa genit.

Sore hari itu, kembali Bun Houw dan In Hong mendapat suguhan makanan dan minuman, bahkan ada seguci kecil arak wangi. Lampu penerangan telah dipasang dan karena sinar lampu hanya dapat memasuki kamar tahanan itu melalui lubang-lubang angin kecil, maka kamar tahanan itu biar pun tidak gelap sama sekali, akan tetapi juga tidak terlalu terang, hanya remang-remang saja...
Selanjutnya,