Dewi Maut Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TIO SUN yang bijaksana itu ternyata sudah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya.

Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk bisa berjodoh dengan dara yang dicintanya itu sudah lenyap sama sekali, sekarang sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng bagaikan sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itu pun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan sehingga pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, dengan muka sedih pemuda ini mengeluarkan isi hatinya.

"Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sesungguhnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga."

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia lalu memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, "Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang sangat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apa pun yang kau kehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?"

"Justru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah adanya hidup! Manusia, juga termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

"Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"

"Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong."

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari senda gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia pun tersenyum. "Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapa pun, apa halangannya?"

Kwi Beng menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini takkan mungkin dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."

Tio Sun memandang heran. "Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?"

"Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan urusan jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!"

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan ‘ngambek’ kepada ibunya!

"Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?"

"Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan."

"Mengapa?"

"Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebetulnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri sudah mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi."

"Hemm... mengapa pula?"

"Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan yang terutama adalah soal perbedaan usia itu. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua dari pada calon isteri."

"Siapa yang mengharuskan, Beng-te?"

"Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendek kata, ibu menolak dan hatiku hancur, twako."

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak.

Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biar pun belum diketahui apakah dara yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

"Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?"

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun, kemudian memandang dengan matanya yang kebiruan, penuh permohonan. "Twako, sudikah twako menolongku?"

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seakan-akan dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

"Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?"

"Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong."

"Ahhh...?" Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan permintaan seperti itu. "Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang..."

Tiba-tiba saja Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!

"Kalau twako tidak mau menolongku, maka habislah harapanku...," katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat-cepat membangunkan pemuda itu. "Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang."

"Akan tetapi twako tidak mau menolongku..."

"Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi atas dasar desakan dan permintaanmu saja. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang..."

"Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku."

Tio Sun merasa terdesak. "Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau terlebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan begitu kelak hatimu tidak sampai patah karena penolakan dari fihaknya."

"Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimana pun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa dia pun... ehh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya baik sekali terhadapku."

"Hemm, Beng-te. Pertolongan merupakan kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta."

"Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kau pikir lebih dahulu menemui nona itu, aku pun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong sendiri akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku sangat mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi."

"Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang."

"Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan."

Tio Sun menarik napas panjang. "Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te."

"Tidak, twako. Aku yang akan bertanggung jawab mengenai hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?"

Akhirnya Tio Sun tidak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, dia pun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin dan sejauh mungkin dia pergi agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.

Pada saat Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan dari orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel!

"Aku juga ikut...!" katanya manja.

"Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!" kata Yuan de Gama mencegah.

"Dan kau harus ingat bahwa sekarang engkau sudah terikat, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau sedang tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu."

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorang pun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seakan-akan tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya.

********************

Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak tampak sebuah pun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul pada malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.

Biar di kota raja sekali pun, tempat tinggal orang-orang yang lebih beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantungkan di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu. Penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah, bahkan mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera serta lampu besar yang dinyalakan oleh para penjaga keamanan.

Pada malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar. Toko-toko dan restoran-restoran amat sepi hingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang memiliki keperluan penting sekali, dan lelaki iseng yang tidak betah di rumah lantas keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya

Seorang laki-laki setengah tua yang sudah mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah sebab langkah si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan.

"Heeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!" Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

"Manusia terbang... he-he-heh, ya benar... manusia terbang..." sambung yang setengah mabok.

Semua orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya supaya dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas dari pada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu?

Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang amat menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.

Tetapi kalau kebetulan di atas genteng rumah-rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan mengetahui bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sebenarnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian di atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!

Pada saat dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka lalu mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu.

Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, telunjuk tangannya yang kecil ditudingkan ke arah menara. Si muka putih langsung mengangguk, dan dia pun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya lalu mengangguk berbarengan.

Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, dengan setengah merangkak bagai seekor harimau sedang mengintai korban mendekati menara. Sesudah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur dengan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap pengacau dari atas dengan anak panah mereka.

Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada waktu si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara.

Terdengarlah suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjagaan mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup dengan suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah.

Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu sudah lenyap ke sebelah dalam tembok istana!

Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

"Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?" si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

"Nanti saja ketika kembali, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hi-hik!" bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. "Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana."

"Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung lalu secepat mungkin kita harus pergi dari sini."

"Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat."

Keduanya cepat mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan barisan pengawal bayangan atau yang melakukan tugas penjagaan keamanan secara rahasia. Mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.

Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!

Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan.

Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke berbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang amat sakti itu pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, ternyata tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biar pun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berubah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur ada pun yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini lalu memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, sesudah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya lantas turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, mereka lalu mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai.

Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai sambil mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, dan kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw sehingga dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa prajurit Kerajaan Beng!

Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak gerik dan usaha murid mereka, bahkan mereka pun tidak ambil peduli ketika melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu ‘diserahkan’ kepada Kaisar Ceng Tung hanya disebabkan Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, oleh karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini sangat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih besar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merubah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam.

Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, sudah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri.

Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu juga dipergunakan oleh In Hong meski pun belum sempurna, mereka berdua merasa agak jeri. Bukan jeri menghadapi orang-orang muda itu, tetapi jeri kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apa pun juga!

Sesudah Sabutai mengundurkan diri, mereka pun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka lalu melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka!

Setelah menguasai ilmu sakti ini barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengandalkan bantuan pasukan Sabutai yang sudah berdamai dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung!

Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap sudah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinahi isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang kini sudah tidak ada lagi itu.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatnya pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua saja, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.

Mereka berunding sebentar setelah tadi menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Kini mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang telah mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi. Dua orang kakek dan nenek itu pun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang.

Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlalu lamban sehingga jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu tahu-tahu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu dan mereka pun tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak, lantas dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.

********************

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di tempat itu tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dahulu dia diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana maka dia boleh pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.

Karena selama tinggal di istana In Hong memang kurang pekerjaan, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati serta pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia sudah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan kemudian menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya.

Sekarang dia melihat betapa kakaknya sudah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh dari pada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia sudah memperlihatkan sikap manis.

Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!

Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, lalu sekali tangannya bergerak dia telah memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan segera menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak peduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar!

Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tak mempedulikan para anggota pasukan Kim-i-wi yang berserabutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat-mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan sedang dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu sudah menerjang pintu kamar kaisar!

"Sing-singg-singgg...!"

Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang masih duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.

"Heh-heh-heh, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong.

Cengkeraman ini cepat dan kuat bukan kepalang, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

"Desssss...!"

Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru lagi.

Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, masih enak-enak saja sehingga In Hong semakin bingung dan cepat dia meloncat ke hadapan kaisar lalu menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

"Dukkkk!"

Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itu pun roboh bergulingan. Ternyata bahwa bila melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.

Selagi In Hong meloncat bangun, dia sudah diserang lagi oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.

"Lari...! Lari...!" teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.

"Celaka...!" In Hong berteriak ngeri.

"Krakkkk…!"

Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, yaitu si nenek itu.

"Aihhhh...!" Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali!

Kiranya ‘kaisar’ itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan semenjak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri.

Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di dalam kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biar pun orangnya sudah meninggal dunia, tetapi ciptaannya masih demikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian panglima yang kesaktiannya disohorkan orang seperti dewa itu!

"Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!" Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri, dan mereka mengenal suara kaisar ini!

In Hong girang bukan main ketika melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, "Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!"

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biar pun dia sudah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. "Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!"

"Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemmm, kita tangkap saja dia!" Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

"Dessss…!"
In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biar pun nenek itu sudah mencoba menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.

In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan meski pun dia sendiri menguasai ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), akan tetapi ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang.

Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tak merasakan sesuatu dan telah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa dan andai kata tadi jarum dari dalam kepala arca itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

"Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!" nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.

Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat-cepat mengerahkan seluruh tenaganya kemudian menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

"Dukkk! Dessss…!"

Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai lambung dan dada. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, bahkan cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tidak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

"Plakkk!"

Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya telah disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li hingga tubuhnya seketika menjadi lemas tak mampu bergerak.

Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi sedang berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

"Mo-ko, kau pondong dia!" Hek-hiat Mo-li berteriak sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya.

Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan segera memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

"Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!" teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu.

Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan karena terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

"Kejar...!" Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Akan tetapi gerakan kakek dan nenek itu memang hebat bukan main, ginkang mereka jauh lebih sempurna dari pada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

"Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!"

"Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!"

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panah pun tak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang memiliki kepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu. Akan tetapi, dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka, bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong lalu memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dengan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorang pun pengawal yang berani menyerang mereka!

Dengan ‘perisai’ hidup yang istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara ini pun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap.

Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk segera mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

"Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!" kata kaisar yang marah itu. "Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Apa bila dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!"

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang bagaikan iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga serta dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan bisa menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu juga penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja.

********************

Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan.

Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter dan seluruhnya terbuat dari dinding baja yang sangat kuat. Pintunya juga terbuat dari baja tebal yang kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andai kata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekali pun. Seekor gajah pun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

"Mo-ko, mengapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?" Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sebenarnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Pek-hiat Mo-ko tertawa. "Banyak sekali sebab-sebabnya kenapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami hendak menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?"

"Karena dia sudah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksa dia dulu sebelum membunuhnya!" jawab Hek I Siankouw.

"Ha-ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja," kini Hek-hiat Mo-li yang berkata.

Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, "Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini."

"Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!" kata Pek-hiat Mo-ko.

"Aha, setan tua," Hek I Siankouw berkata, "Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera supaya kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul."

"Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sandera pun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu."

Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan begitu mudah jika saja mereka tidak ‘dilindungi’ oleh keselamatan In Hong. Andai kata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu.

"Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak."

"Pinto (aku) mengerti sekarang," tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. "Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tidak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu telah berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Karena itu sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!"

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya merasa terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang amat tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

"Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?"

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang konon katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

"Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!"

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang sejak tadi sudah siuman itu turut mendengarkan dan menjadi kaget dan heran. Dia diam saja dan tetap rebah terlentang di atas lantai namun dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena meski pun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, akan tetapi dia pun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiri pun tidak mengetahuinya, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang lalu diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

"Milik kalian?" Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu adalah milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini?

"Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!"

"Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!"

"Manusia pengecut dan pembohong besar!" Tiba-tiba saja In Hong tidak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. "Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!"

Mendengar ucapan In Hong yang kini sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. "Memang demikian, Mo-ko!" kata Bouw Thaisu.

"Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Ehh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang dulu terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya."

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu sudah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka mempunyai kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua akhirnya dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Dahulu, ratusan tahun yang lalu, bokor emas ini ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang turut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh kaisar dari Kerajaan Goan-tiauw atau Kerajaan Mongol yang ketika itu menguasai Tiongkok, bahkan yang sudah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat.

Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan pada suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan, dia kemudian menyuruh membuat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa, akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang juga mengadakan perjalanan ekspedisi tiba pula di Sailan.

Raja Sailan yang sadar akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana sambil membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!

Saat mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka dan terjadilah pertandingan hebat.

Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok, lalu seorang diri dia menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh dari Sailan yang mempunyai banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu. Panglima The Hoo tidak mengejar mereka, melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.

Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dia pun membawa bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai.

Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw lantas mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu jatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Sampai meninggal dunia, Panglima The Hoo sendiri belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu.

Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

"Demikianlah," Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. "Memang pada waktu itu kami kalah oleh The Hoo dan dia dapat merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepatnya, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!"

"Memang milik kalian kalau begitu riwayatnya," Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

"Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba In Hong berkata. "Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukannya milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah orang yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak."

"Hemm, dan sekarang subo-mu sudah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami," kata Hek-hiat Mo-li. "Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu."

"Sungguh tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana berani bilang bahwa kalian menang dariku?"

"Ehh, ehh, bocah sombong! Kau kira aku tidak mampu mengalahkanmu?" Hek-hiat Mo-li membentak marah.

In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya makan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang,

"Hek-hiat Mo-li, kalau benar engkau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan."

"Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!" Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

"Hati-hatilah Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?" kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu.

Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini sudah menguasai ilmu yang sangat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagai mana ampuh sekali pun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, "Boleh kau coba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai kau bunuh dia. Kita masih amat memerlukannya."

"Aku tahu!" jawab Hek-hiat Mo-li.

Kemudian dia menekan sebuah tombol yang terhubungkan dengan sebuah alat. Kuncinya lalu terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka.

"Keluarlah, bocah sombong!"

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan keempat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut!

Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan ke tengah ruangan itu, lantas membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, "Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!"

Hek-hiat Mo-li meloncat ke hadapan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, "Jaga seranganku ini!"

Cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya sangat dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat.

Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

"Desssss...!"

Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, tapi Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya....
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 31

Dewi Maut Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TIO SUN yang bijaksana itu ternyata sudah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya.

Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk bisa berjodoh dengan dara yang dicintanya itu sudah lenyap sama sekali, sekarang sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng bagaikan sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itu pun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan sehingga pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, dengan muka sedih pemuda ini mengeluarkan isi hatinya.

"Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sesungguhnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga."

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia lalu memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, "Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang sangat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apa pun yang kau kehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?"

"Justru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako."

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah adanya hidup! Manusia, juga termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

"Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?"

"Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong."

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari senda gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia pun tersenyum. "Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapa pun, apa halangannya?"

Kwi Beng menarik napas panjang. "Akan tetapi, twako. Cintaku ini takkan mungkin dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju."

Tio Sun memandang heran. "Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?"

"Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan urusan jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!"

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan ‘ngambek’ kepada ibunya!

"Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?"

"Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan."

"Mengapa?"

"Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebetulnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri sudah mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi."

"Hemm... mengapa pula?"

"Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan yang terutama adalah soal perbedaan usia itu. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua dari pada calon isteri."

"Siapa yang mengharuskan, Beng-te?"

"Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendek kata, ibu menolak dan hatiku hancur, twako."

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak.

Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biar pun belum diketahui apakah dara yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

"Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?"

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun, kemudian memandang dengan matanya yang kebiruan, penuh permohonan. "Twako, sudikah twako menolongku?"

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seakan-akan dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

"Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?"

"Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong."

"Ahhh...?" Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan permintaan seperti itu. "Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang..."

Tiba-tiba saja Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun!

"Kalau twako tidak mau menolongku, maka habislah harapanku...," katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat-cepat membangunkan pemuda itu. "Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang."

"Akan tetapi twako tidak mau menolongku..."

"Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi atas dasar desakan dan permintaanmu saja. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang..."

"Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku."

Tio Sun merasa terdesak. "Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau terlebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan begitu kelak hatimu tidak sampai patah karena penolakan dari fihaknya."

"Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimana pun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa dia pun... ehh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya baik sekali terhadapku."

"Hemm, Beng-te. Pertolongan merupakan kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta."

"Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kau pikir lebih dahulu menemui nona itu, aku pun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong sendiri akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku sangat mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi."

"Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang."

"Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan."

Tio Sun menarik napas panjang. "Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te."

"Tidak, twako. Aku yang akan bertanggung jawab mengenai hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?"

Akhirnya Tio Sun tidak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, dia pun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin dan sejauh mungkin dia pergi agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.

Pada saat Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan dari orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Eng yang rewel!

"Aku juga ikut...!" katanya manja.

"Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!" kata Yuan de Gama mencegah.

"Dan kau harus ingat bahwa sekarang engkau sudah terikat, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau sedang tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu."

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorang pun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seakan-akan tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya.

********************

Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak tampak sebuah pun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul pada malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.

Biar di kota raja sekali pun, tempat tinggal orang-orang yang lebih beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantungkan di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu. Penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah, bahkan mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera serta lampu besar yang dinyalakan oleh para penjaga keamanan.

Pada malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar. Toko-toko dan restoran-restoran amat sepi hingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang memiliki keperluan penting sekali, dan lelaki iseng yang tidak betah di rumah lantas keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya

Seorang laki-laki setengah tua yang sudah mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah sebab langkah si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan.

"Heeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!" Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

"Manusia terbang... he-he-heh, ya benar... manusia terbang..." sambung yang setengah mabok.

Semua orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya supaya dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas dari pada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu?

Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang amat menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.

Tetapi kalau kebetulan di atas genteng rumah-rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan mengetahui bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sebenarnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian di atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!

Pada saat dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka lalu mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu.

Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, telunjuk tangannya yang kecil ditudingkan ke arah menara. Si muka putih langsung mengangguk, dan dia pun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya lalu mengangguk berbarengan.

Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, dengan setengah merangkak bagai seekor harimau sedang mengintai korban mendekati menara. Sesudah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur dengan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap pengacau dari atas dengan anak panah mereka.

Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada waktu si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara.

Terdengarlah suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjagaan mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup dengan suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah.

Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu sudah lenyap ke sebelah dalam tembok istana!

Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

"Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?" si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

"Nanti saja ketika kembali, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hi-hik!" bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. "Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana."

"Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung lalu secepat mungkin kita harus pergi dari sini."

"Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat."

Keduanya cepat mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan barisan pengawal bayangan atau yang melakukan tugas penjagaan keamanan secara rahasia. Mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.

Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!

Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan.

Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke berbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang amat sakti itu pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, ternyata tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biar pun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berubah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur ada pun yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini lalu memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, sesudah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya lantas turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, mereka lalu mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai.

Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai sambil mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, dan kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw sehingga dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa prajurit Kerajaan Beng!

Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak gerik dan usaha murid mereka, bahkan mereka pun tidak ambil peduli ketika melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu ‘diserahkan’ kepada Kaisar Ceng Tung hanya disebabkan Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, oleh karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini sangat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih besar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merubah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam.

Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, sudah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri.

Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu juga dipergunakan oleh In Hong meski pun belum sempurna, mereka berdua merasa agak jeri. Bukan jeri menghadapi orang-orang muda itu, tetapi jeri kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apa pun juga!

Sesudah Sabutai mengundurkan diri, mereka pun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka lalu melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka!

Setelah menguasai ilmu sakti ini barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengandalkan bantuan pasukan Sabutai yang sudah berdamai dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung!

Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap sudah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinahi isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang kini sudah tidak ada lagi itu.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatnya pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua saja, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.

Mereka berunding sebentar setelah tadi menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Kini mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang telah mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi. Dua orang kakek dan nenek itu pun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang.

Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlalu lamban sehingga jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu tahu-tahu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu dan mereka pun tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak, lantas dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.

********************

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di tempat itu tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dahulu dia diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana maka dia boleh pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.

Karena selama tinggal di istana In Hong memang kurang pekerjaan, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati serta pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia sudah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan kemudian menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya.

Sekarang dia melihat betapa kakaknya sudah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh dari pada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia sudah memperlihatkan sikap manis.

Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!

Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, lalu sekali tangannya bergerak dia telah memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan segera menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak peduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar!

Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tak mempedulikan para anggota pasukan Kim-i-wi yang berserabutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat-mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan sedang dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu sudah menerjang pintu kamar kaisar!

"Sing-singg-singgg...!"

Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang masih duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko den Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.

"Heh-heh-heh, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong.

Cengkeraman ini cepat dan kuat bukan kepalang, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

"Desssss...!"

Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

"Sri baginda, cepat lari...!" In Hong berseru lagi.

Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, masih enak-enak saja sehingga In Hong semakin bingung dan cepat dia meloncat ke hadapan kaisar lalu menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

"Dukkkk!"

Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itu pun roboh bergulingan. Ternyata bahwa bila melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.

Selagi In Hong meloncat bangun, dia sudah diserang lagi oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.

"Lari...! Lari...!" teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.

"Celaka...!" In Hong berteriak ngeri.

"Krakkkk…!"

Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, yaitu si nenek itu.

"Aihhhh...!" Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali!

Kiranya ‘kaisar’ itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan semenjak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri.

Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di dalam kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biar pun orangnya sudah meninggal dunia, tetapi ciptaannya masih demikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian panglima yang kesaktiannya disohorkan orang seperti dewa itu!

"Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!" Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri, dan mereka mengenal suara kaisar ini!

In Hong girang bukan main ketika melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, "Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!"

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biar pun dia sudah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. "Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!"

"Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemmm, kita tangkap saja dia!" Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

"Dessss…!"
In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biar pun nenek itu sudah mencoba menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.

In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan meski pun dia sendiri menguasai ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), akan tetapi ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang.

Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tak merasakan sesuatu dan telah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini mempunyai kekebalan yang luar biasa dan andai kata tadi jarum dari dalam kepala arca itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

"Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!" nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.

Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat-cepat mengerahkan seluruh tenaganya kemudian menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

"Dukkk! Dessss…!"

Pukulan Thian-te Sin-ciang menggetarkan kamar itu dan tepat mengenai lambung dan dada. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menangkisnya, bahkan cepat menangkap dua pergelangan tangan In Hong yang tidak sempat mengelak karena kedua lengannya ditangkap pada saat sedang memukul tadi.

"Plakkk!"

Sebelum In Hong sempat melepaskan kedua lengannya, tengkuknya telah disambar oleh tangan kiri Hek-hiat Mo-li hingga tubuhnya seketika menjadi lemas tak mampu bergerak.

Pada saat itu, belasan orang perwira dan panglima Kim-i-wi sedang berserabutan masuk dari pintu dan jendela.

"Mo-ko, kau pondong dia!" Hek-hiat Mo-li berteriak sambil melemparkan tubuh In Hong kepada kawannya.

Pek-hiat Mo-ko menerima tubuh yang lemas itu dan segera memanggulnya, kemudian dia bersama kawannya menerjang ke depan, ke arah para perwira Kim-i-wi yang mengepung dengan pedang di tangan.

"Awas, jangan sampai mengenai tubuh Puteri Pelindung Kaisar!" teriak seorang panglima dan hal ini benar-benar merupakan rintangan hebat bagi para perwira dan panglima itu.

Dua orang kakek dan nenek itu gerakannya dahsyat sekali dan begitu mereka menerjang, terdengar pedang berkerontangan karena terlempar ke kanan kiri disusul robohnya empat orang perwira yang tewas seketika terkena pukulan-pukulan beracun! Kakek dan nenek itu cepat melompat ke atas genteng.

"Kejar...!" Para perwira itu berloncatan naik dan terjadilah kejar-mengejar di atas genteng bangunan-bangunan istana yang amat luas itu. Akan tetapi gerakan kakek dan nenek itu memang hebat bukan main, ginkang mereka jauh lebih sempurna dari pada para perwira Kim-i-wi sehingga mereka cepat menghilang ke arah tembok istana.

"Jangan lepas senjata rahasia atau anak panah! Jangan! Yap-lihiap dipondongnya, jangan sampai terkena dia sendiri!"

"Jangan lukai Puteri Pelindung Kaisar!"

Karena teriakan-teriakan ini, maka para penjaga yang sudah siap dengan barisan anak panah pun tak berani menggunakan anak panah dan hanya para panglima yang memiliki kepandaian tinggi saja menyambitkan senjata-senjata rahasia mereka ke arah kaki kedua orang itu. Akan tetapi, dengan mudah kakek dan nenek itu mengelak atau menendangi senjata-senjata rahasia yang menyambar kaki mereka, bahkan ada pula yang mengenai kaki mereka akan tetapi agaknya tidak mereka rasakan sama sekali!

Melihat bahwa In Hong ternyata merupakan orang penting, Pek-hiat Mo-ko menjadi girang sekali dan dengan enaknya dia memegang kedua kaki In Hong lalu memutar-mutar tubuh dara itu ketika dia dengan temannya keluar dari tembok istana dan tidak ada seorang pun pengawal yang berani menyerang mereka!

Dengan ‘perisai’ hidup yang istimewa ini, akhirnya kakek dan nenek itu menghilang ditelan kegelapan malam dan dapat lolos dari kota raja dengan amat mudahnya. Yang terdengar hanya suara rintihan dan keluhan nenek yang mata kirinya buta itu, akan tetapi suara ini pun segera menghilang dan para pengawal sibuk mencari dan mengejar ke sana ke mari tanpa tujuan tertentu karena bayangan dua orang itu telah lenyap.

Peristiwa itu menggegerkan istana dan ketika kaisar mendengar bahwa In Hong diculik oleh kakek dan nenek itu, dia marah sekali dan memerintahkan kepada kepala pasukan pengawal Kim-i-wi yang bernama Lee Cin untuk segera mengerahkan tenaga pengawal dan mencari dara itu sampai dapat!

"Kakek dan nenek itu adalah guru-guru Sabutai!" kata kaisar yang marah itu. "Kami akan mengirim surat kepada Sabutai dan menegurnya. Apa bila dia yang menyuruh kakek dan nenek itu menyerbu ke sini, akan kami gempur dia!"

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan dan menggegerkan istana. Bagaimana dua orang saja, seorang kakek dan seorang nenek yang bagaikan iblis, dapat memasuki istana dan membunuh sepuluh orang penjaga serta dua belas orang pengawal Kim-i-wi, memasuki kamar kaisar dan nyaris membunuh kaisar, bahkan bisa menculik Puteri Pelindung Kaisar yang mereka kenal sebagai seorang dara yang amat lihai? Sungguh mengejutkan sekali dan selain Panglima Kim-i-wi Lee Cin yang berusaha mati-matian untuk mencari jejak dua orang kakek dan nenek itu, juga mulai saat itu juga penjagaan di istana diperketat, bahkan didatangkan bala bantuan barisan dari luar kota raja untuk menjaga keamanan di kota raja.

********************

Mereka berempat duduk menghadapi meja di luar kamar tahanan itu dan beberapa kali mereka sambil makan minum memandang ke arah tubuh In Hong yang menggeletak tak sadarkan diri di atas lantai kamar tahanan.

Kamar tahanan itu berukuran tiga kali tiga meter dan seluruhnya terbuat dari dinding baja yang sangat kuat. Pintunya juga terbuat dari baja tebal yang kokoh, hanya ada jeruji besi sebagai jalan hawa dan jendela yang lebarnya tak mungkin dipakai meloloskan diri andai kata jeruji-jeruji itu dapat dipatahkan-patahkan sekali pun. Seekor gajah pun tak mungkin dapat membobol keluar jika dimasukkan dalam kamar tahanan ini.

"Mo-ko, mengapa kalian berdua dengan Mo-li bersusah payah membawa dara ini ke sini dan menahannya? Mengapa tidak dibunuh saja bocah yang amat berbahaya itu?" Hek I Siankouw bertanya dengan nada tidak puas karena sebenarnya nenek berpakaian serba hitam ini amat membenci In Hong yang telah menewaskan sahabat dan kekasihnya, yaitu Hwa Hwa Cinjin.

Pek-hiat Mo-ko tertawa. "Banyak sekali sebab-sebabnya kenapa kami belum membunuh dia, Siankouw. Coba kami hendak menguji kecerdikan Hek I Siankouw dan Bouw Thaisu, apakah kalian berdua mengerti dan dapat menebak apa sebab-sebab itu?"

"Karena dia sudah menggagalkan kalian membunuh kaisar maka kalian hendak menyiksa dia dulu sebelum membunuhnya!" jawab Hek I Siankouw.

"Ha-ha-ha, itu hanya satu di antara sebab-sebab yang kecil saja," kini Hek-hiat Mo-li yang berkata.

Bouw Thaisu berpikir sejenak, kemudian berkata dengan suaranya yang tenang, "Kalian hendak memancing datangnya para pembesar Beng-tiauw dengan umpan dara ini di sini."

"Bagus! Memang benar sekali. Masih ada lain-lain lagi!" kata Pek-hiat Mo-ko.

"Aha, setan tua," Hek I Siankouw berkata, "Tentu kau hendak menjadikan dia semacam sandera supaya kau dapat menguasai ketua Cin-ling-pai dan yang lain-lain kalau mereka muncul."

"Hemm, kami tidak takut menghadapi mereka, tanpa sandera pun! Akan tetapi pikiranmu itu bagus juga, Siankouw, dan mungkin sekali boleh dipergunakan kalau perlu."

Hek-hiat Mo-ko teringat betapa ketika dia dan Mo-li meloloskan diri dari istana, kiranya tidaklah akan begitu mudah jika saja mereka tidak ‘dilindungi’ oleh keselamatan In Hong. Andai kata mereka tidak membawa lari gadis itu, agaknya belum tentu mereka akan dapat meloloskan diri dari istana yang dijaga ketat itu.

"Akan tetapi itu semua bukan sebab-sebab yang mutlak."

"Pinto (aku) mengerti sekarang," tiba-tiba Bouw Thaisu berkata setelah berpikir sejenak. "Kalian sudah tahu bahwa nona ini adalah murid dari ketua Giok-hong-pang, dan melihat kelihaian nyonya itu, tidak dapat disangsikan lagi bahwa dialah yang dahulu telah berhasil memperoleh pusaka bokor emas yang diperebutkan itu. Karena itu sekarang kalian tentu hendak memaksanya mengaku untuk mendapatkan pusaka itu!"

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li saling pandang, agaknya merasa terkejut dan kagum mendengar tebakan yang memang amat tepat itu. Kemudian Pek-hiat Mo-ko tertawa dan menggerak-gerakkan tangannya.

"Ha-ha-ha, memang pantaslah kalau Bouw Thaisu menjadi seorang tokoh tersembunyi di timur yang amat sakti! Kiranya selain mempunyai ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kecerdasan istimewa. Akan tetapi, apakah kalian berdua tahu apa hubungan kami dengan bokor emas itu? Apakah kalian yang mungkin dahulu ikut pula mencari bokor emas tahu akan riwayat bokor emas itu?"

Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw terus terang mengatakan tidak tahu dan memang sejak pusaka itu diperebutkan orang belasan tahun yang lalu sehingga menggegerkan dunia kang-ouw, tidak ada orang tahu dari mana asal mulanya pusaka itu. Yang mereka ketahui hanyalah bahwa Panglima The Hoo kehilangan pusaka bokor emas yang konon katanya mengandung harta kekayaan dan ilmu-ilmu silat yang tinggi.

"Ketahuilah bahwa bokor emas itu sesungguhnya adalah milik kami!"

Keterangan ini mengejutkan hati Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, juga Yap In Hong yang sejak tadi sudah siuman itu turut mendengarkan dan menjadi kaget dan heran. Dia diam saja dan tetap rebah terlentang di atas lantai namun dia ikut mendengarkan dengan penuh perhatian karena meski pun dia tahu bahwa gurunya adalah pewaris ilmu-ilmu dari bokor emas itu, akan tetapi dia pun tidak pernah mendengar akan riwayat bokor emas itu, bahkan mungkin gurunya sendiri pun tidak mengetahuinya, karena pernah beberapa kali gurunya menyebut-nyebut bokor emas itu sebagai milik Panglima The Hoo yang hilang lalu diperebutkan dan akhirnya berkat kecerdikan gurunya, bokor itu terjatuh ke tangan gurunya.

"Milik kalian?" Bouw Thaisu yang menjadi terkejut memandang tajam, penuh kesangsian. Di seluruh dunia kang-ouw telah terkenal bahwa bokor itu adalah milik Panglima The Hoo, kenapa kini diaku oleh dua orang tokoh yang merupakan orang-orang asing dari Sailan ini?

"Akan tetapi semua orang mengira bahwa pusaka itu milik mendiang Panglima The Hoo yang dilarikan oleh anak buahnya dan kemudian lenyap lalu diperebutkan!"

"Benar, akan tetapi tentu engkau belum tahu dari mana The Hoo mendapatkan pusaka itu, bukan? Dia merampasnya dari kami!"

"Manusia pengecut dan pembohong besar!" Tiba-tiba saja In Hong tidak dapat menahan kemarahannya mendengar ucapan itu. "Kalian berdua selain pengecut, juga pembohong! Kalau benar pusaka itu milik kalian, tentu semua isinya yang menjadi rahasia berada di Sailan, bukan di daratan sini!"

Mendengar ucapan In Hong yang kini sudah duduk itu, Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw membenarkan. "Memang demikian, Mo-ko!" kata Bouw Thaisu.

"Ha-ha-ha, kau sudah sadar kembali? Wah, Mo-li, engkau menang. Ternyata racunku itu hanya bertahan membikin dia pingsan tidak lebih dari sepuluh hari! Ehh, Yap In Hong, kau juga ingin mendengarkan tentang bokor emas itu yang dulu terjatuh ke tangan mendiang gurumu? Nah, dengarkan sebelum engkau menyerahkan kembali pusaka itu kepada kami yang berhak memilikinya."

Pek-hiat Mo-ko lalu bercerita. Dua orang ini pada puluhan tahun yang lalu sudah menjadi sepasang jagoan di Sailan yang tidak ada tandingannya. Selain ilmu-ilmu mereka yang tinggi, juga mereka dipercaya oleh Raja Sailan sehingga mereka mempunyai kekuasaan yang besar.

Karena kekuasaan inilah maka mereka berdua akhirnya dapat menguasai sebuah bokor emas yang tadinya merupakan pusaka dari gudang pusaka Raja Sailan. Dahulu, ratusan tahun yang lalu, bokor emas ini ditinggalkan oleh seorang pendeta atau hwesio sakti yang turut dalam rombongan ekspedisi yang dikirim oleh kaisar dari Kerajaan Goan-tiauw atau Kerajaan Mongol yang ketika itu menguasai Tiongkok, bahkan yang sudah menaklukkan Sailan dan semua negara di selatan dan barat.

Ketika hendak mengikuti rombongan ekspedisi sebagai utusan kaisar itu, hwesio sakti ini meninggalkan harta pusaka dan kitab-kitab ilmu silat miliknya, disembunyikan pada suatu tempat dan ketika dia terserang penyakit hebat dan tahu bahwa dia akan meninggal dunia di Sailan, dia kemudian menyuruh membuat bokor emas itu dan rahasia dari harta pusaka peninggalannya dia ukir di sebelah dalam bokor emas itu.

Raja Sailan hanya mengira bahwa bokor emas itu adalah bokor emas biasa, akan tetapi dua orang lihai itu segera tahu bahwa bokor itu mengandung rahasia pusaka terpendam yang tentu saja berada di Tiongkok. Maka mereka menguasai bokor itu dan pada waktu itu, Panglima The Hoo dan pasukannya yang juga mengadakan perjalanan ekspedisi tiba pula di Sailan.

Raja Sailan yang sadar akan kebesaran Kerajaan Beng-tiauw yang sedang berkembang, menyambutnya dengan baik sehingga tidak terjadi perang. Akan tetapi, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang merasa penasaran itu lalu minggat dari istana sambil membawa banyak barang-barang pusaka berharga, di antaranya adalah bokor emas itu!

Saat mendengar berita ini dari Raja Sailan, Panglima The Hoo menjadi tidak senang dan segera mengajak beberapa orang pembantunya untuk melakukan pengejaran. Akhirnya di lereng pegunungan yang sunyi Panglima The Hoo dapat menyusul mereka dan terjadilah pertandingan hebat.

Panglima The Hoo yang berwatak gagah itu melarang para pembantunya mengeroyok, lalu seorang diri dia menghadapi Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dua orang tokoh dari Sailan yang mempunyai banyak ilmu pukulan beracun itu. Akhirnya, mereka berdua kalah, bahkan hawa beracun dari pukulan-pukulan mereka membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Mereka melarikan diri meninggalkan semua harta pusaka curian itu, termasuk bokor emas itu. Panglima The Hoo tidak mengejar mereka, melainkan menyuruh para pembantunya membawa pusaka kembali ke istana Raja Sailan.

Raja Sailan girang sekali dan menghadiahkan bokor emas itu kepada The Hoo. Sebagai seorang berilmu tinggi, The Hoo segera mengenal bokor itu sebagai bokor pusaka yang mengandung rahasia, maka dia pun membawa bokor emas itu pulang ke Tiongkok. Akan tetapi, seorang di antara para pembantunya yang mendengar akan rahasia bokor emas, mencurinya dan melarikan bokor itu sehingga akhirnya bokor itu lenyap di dasar sungai.

Berita tentang bokor milik Panglima The Hoo tersebar luas dan semua tokoh kang-ouw lantas mencari dan memperebutkannya. Semua itu diceritakan dengan jelas dalam cerita Petualang Asmara dan akhirnya bokor itu jatuh ke tangan Yo Bi Kiok. Sampai meninggal dunia, Panglima The Hoo sendiri belum pernah mengetahui akan pusaka yang dikandung oleh bokor emas itu, demikian pula dua orang jagoan Sailan itu.

Tentu saja penuturan Pek-hiat Mo-ko dirubahnya sedikit dan dikatakannya bahwa bokor emas itu adalah milik mereka akan tetapi ketika mereka kalah bertanding melawan The Hoo, bokor itu dirampas oleh The Hoo!

"Demikianlah," Pek-hiat Mo-ko mengakhiri ceritanya. "Memang pada waktu itu kami kalah oleh The Hoo dan dia dapat merampas bokor yang menjadi milik kami. Sekarang kami menghendaki kembalinya bokor itu atau lebih tepatnya, menghendaki semua pusaka yang ditemukan oleh petunjuk rahasia dalam bokor. Bukankah itu sudah adil namanya? Bokor itu adalah milik kami!"

"Memang milik kalian kalau begitu riwayatnya," Hek I Siankouw mengangguk akan tetapi Bouw Thaisu diam saja.

"Pek-hiat Mo-ko, engkau sungguh tak tahu malu!" Tiba-tiba In Hong berkata. "Kau sendiri tadi menceritakan bahwa bokor emas itu bukannya milikmu, juga bukan milik mendiang Panglima The Hoo, melainkan milik seorang hwesio perantau yang meninggalkannya di Sailan. Berarti tidak ada yang memiliki lagi secara mutlak atau tidak ada yang berhak lagi. Yang berhak mewarisi adalah orang yang berhasil memperolehnya, dan karena akhirnya mendiang subo yang memperolehnya, maka mendiang subo yang berhak."

"Hemm, dan sekarang subo-mu sudah mati, akan tetapi masih ada kau dan kau menjadi tawanan kami, maka engkau harus mengembalikan semua pusaka itu kepada kami," kata Hek-hiat Mo-li. "Engkau sudah kalah oleh kami, berarti kami yang kini berhak merampas pusaka itu."

"Sungguh tak tahu malu! Kalian mengeroyokku secara curang, bagaimana berani bilang bahwa kalian menang dariku?"

"Ehh, ehh, bocah sombong! Kau kira aku tidak mampu mengalahkanmu?" Hek-hiat Mo-li membentak marah.

In Hong sudah bangkit berdiri, kepalanya agak pening dan seluruh tubuhnya terasa kaku saking lamanya dia pingsan, akan tetapi dua orang iblis itu yang menghendaki dia hidup telah memberinya makan di waktu dia dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan seperti orang mabok, sehingga kini tenaganya masih tetap terpelihara. Dia merasa kuat menghadapi lawan, maka kini dia menantang,

"Hek-hiat Mo-li, kalau benar engkau gagah, mari kita bertanding satu lawan satu, jangan menggunakan kecurangan."

"Baik, aku ingin menghajar bocah sombong macammu ini!" Hek-hiat Mo-li sudah meloncat bangun.

"Hati-hatilah Mo-li, jangan kena dipancing oleh dia. Perlu apa melayani seorang tawanan yang sudah tidak berdaya lagi?" kata Hek I Siankouw yang maklum betapa lihainya dara itu.

Bouw Thaisu hanya diam saja dan diam-diam dia tertarik karena dia mendengar berita bahwa kini dua orang iblis ini sudah menguasai ilmu yang sangat hebat, yaitu kekebalan yang membuat tubuh mereka tak dapat dirobohkan oleh pukulan atau senjata yang bagai mana ampuh sekali pun, sehingga mereka seolah-olah tidak bisa mati!

Akan tetapi Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan berkata, "Boleh kau coba ketangguhanmu terhadap dia, Mo-li. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai kau bunuh dia. Kita masih amat memerlukannya."

"Aku tahu!" jawab Hek-hiat Mo-li.

Kemudian dia menekan sebuah tombol yang terhubungkan dengan sebuah alat. Kuncinya lalu terbuka dan dengan mudah dia mendorong pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja berat itu terbuka.

"Keluarlah, bocah sombong!"

In Hong maklum bahwa dia tidak akan mampu meloloskan diri dari tempat ini sebelum dia mengalahkan keempat orang itu, dan dia tidak tahu apakah di luar rumah besar ini, dari mana dia tidak dapat melihat keluar, tidak terdapat orang-orang lain yang menjadi kaki tangan mereka. Tentu saja dia tidak mau sembrono mencoba untuk melarikan diri, karena selain hal itu berbahaya, juga dia tidak sudi kalau dikatakan takut!

Ruangan itu luas dan dengan tenang In Hong lalu berjalan ke tengah ruangan itu, lantas membalikkan tubuh menghadap ke arah mereka sambil berkata, "Nah, majulah Hek-hiat Mo-li!"

Hek-hiat Mo-li meloncat ke hadapan In Hong, sejenak dia memandang kepada dara itu dengan penuh selidik, kemudian dia membentak, "Jaga seranganku ini!"

Cepat kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah leher dan yang kiri menghantam ke arah pusar. Gerakannya sangat dahsyat dan cepat, mendatangkan angin bersiut, tanda bahwa nenek itu mempergunakan tenaga yang amat kuat.

Namun dengan tenang In Hong menyambut serangan itu, mengelak dari cengkeraman dan tangan kanannya menangkis pukulan tangan kiri lawan, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari samping secara tidak terduga-duga dibarengi suara angin berdesir kuat.

"Desssss...!"

Itulah pukulan Thian-te Sin-ciang yang sangat hebat dan yang tepat mengenai pangkal lengan nenek itu sehingga tubuh si nenek itu terlempar dan bergulingan di atas lantai.

Hek I Siankouw bangkit berdiri dan wajah Bouw Thaisu menegang, tapi Pek-hiat Mo-ko sambil tersenyum memberi isyarat agar mereka duduk kembali dan tenang saja. Mereka melihat nenek bermuka hitam itu ternyata tidak apa-apa dan sudah meloncat berdiri, lalu menerjang lagi dengan gerakan yang lebih dahsyat dan lebih cepat, menghujani In Hong dengan serangan-serangannya....
Selanjutnya,