Dewi Maut Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini mempunyai kekebalan tubuh yang sangat hebat sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang!

Melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, dia pun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang pernah dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh.

Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong menjadi amat kagum. Dalam gerakan silat In Hong ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai, tetapi sudah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu.

Seorang gadis semuda itu sanggup menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

"Plakkk! Dukkk!"

Tubuh nenek itu terhuyung-huyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi!

Kini In Hong mulai merasa seram! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apa lagi menyaksikannya!

Karena ternyata bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong itu lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering berhasil memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu menjadi semakin kagum.

Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Walau pun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat!

In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

"Aihhhhh…!" Nenek itu menjerit marah.

Sekarang Pek-hiat Mo-ko mengepal tinjunya. Agaknya dia pun terkejut sehingga siap-siap untuk membantu kawannya. Betapa pun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!

Oleh karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannya pun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya hanya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itu pun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.

"Desss...! Plakkk...!"

Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas lalu dia pun roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu mengandung racun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

"Heh-he-he-heh!" Nenek itu meloncat dekat.

"Dessss…!" Tubuh dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

"Cukup, Mo-li!" Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutup pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

"Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalaskan kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kau ingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!" Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko lalu mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

"Kita harus bersiap-siap," kata Pek-hiat Mo-ko. "Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini memiliki hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka tak mustahil bila sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini."

"Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap," sambung Hek-hiat Mo-li. "Akan tetapi jalan yang menuju ke lembah ini hanya satu, yaitu melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini."

"Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai," kata Hek I Siankouw. "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."

"Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh."

"Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kau serahkan gadis keparat itu padaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!" kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

"Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir. Sesudah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu," jawab Pek-hiat Mo-ko.

"Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku," kata Bouw Thaisu.

Hek I Siankouw segera mengeluarkan suara melengking tinggi dan tidak lama kemudian terdengar suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah. Kiranya dia adalah seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.

Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah. Gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang lelaki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan!

Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biar pun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, dia pun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

"Subo…!" kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah.

Sepasang pedang yang bersarung dan bergagang terukir indah tergantung di punggung, gagangnya tampak di atas kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana akan tetapi terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, "Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."

"Hemm," Hek I Siankouw mendongkol. "Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi mampu menjaga diri sendiri." Kemudian nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, "Ehhh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?"

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu senang menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya, dan dia pun meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, "Tentu saja teecu berani, subo."

"Ha-ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!" kata Hek-hiat Mo-li. "Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!"

"Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!" kata Pek-hiat Mo-ko. "Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh akan mulai berdatangan, karena itu mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!"

"Baik, locianpwe," jawab Si Kwi.

Nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa gadis yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (semedhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, malah sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiri pun dahulunya adalah seorang tokouw, yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai.

Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak ke dalam perangkap nafsu birahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, lalu mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin ialah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang terbunuh di tangan The Hoo, maka dia pun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoatsu.

Ke mana pun Hwa Hwa Cinjin pergi, apa lagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya semenjak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.

Sungguh pun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak pernah menganggap bahwa subo-nya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subo-nya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subo-nya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan yang jahat.

Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supek-nya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, begitu menurut keterangan subo-nya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itu pun menjadi pengganti orang tuanya.

"Subo, kenapa dia itu tidak dibunuh saja?"

"Justru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita," jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. "Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!"

Gadis itu mengangguk, lantas memberi hormat dan meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Ginkang muridmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"

"Memang betul, Thaisu. Si Kwi pernah menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin hingga ginkang-nya menjadi matang dan lumayan. Karena ginkang-nya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya sehingga orang menjuluki dia Ang-yan-cu (Si Walet Merah)," jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

********************

Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu.

Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan bagaikan seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga.

Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, juga hutan-hutan lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diselingi oleh gurun-gurun pasir yang tandus.

Bila didatangi dari barat, timur dan selatan, jalan menuju ke Lembah Naga itu hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebenarnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh. Banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak. Bahkan kadang-kadang terlihat pula tulang-tulang manusia yang berserakan di sekitar padang itu. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat, kemudian akhirnya mati akibat kelaparan atau kehausan. Karena seringnya orang melihat bangkai binatang atau manusia di tempat ini, maka padang itu lalu dinamakan Padang Bangkai!

Memang sangat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumput yang hijau segar laksana beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, di bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik pada musim panas mau pun di musim semi tetap saja hijau segar itu, justru merupakan tempat maut yang paling mengerikan.

Salah sangka dapat membuat banyak manusia mau pun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seakan-akan merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata di bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya.

Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegangan kepada rumput-rumput dan biar pun demikian tetap saja orang atau binatang itu akan mati dengan separuh tubuh masih di luar.

Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lainnya yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas.

Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luas sekali dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yang menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu.

Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu dengan mengalirkan air dari Sungai Luan-ho ke sekeliling dusun itu.

Kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi pada sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, maka orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bagian bawahnya terdiri dari lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan!

Untuk mengelilingi dusun dengan perahu pun tentu saja bisa, jadi tanpa melewati dusun, akan tetapi di sana tidak ada sebuah pun perahu, dan andai kata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!

Sesungguhnya tempat ini pun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, sesudah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar.

Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ. Bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, sekaligus juga melayani segala kebutuhan mereka.

Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Tentu saja mereka bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat jika dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang.

Yang lelaki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar. Wajahnya yang membayangkan kekasaran serta keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia lepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang mempunyai tenaga besar dan bisa membunuh orang dengan amat kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

Isterinya berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

Saat Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak mau melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, dua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai.

Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah lantas menyerang mereka. Akan tetapi keduanya terkejut karena dengan sangat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun!

Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu mereka pun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai lalu diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

Demikianlah sedikit keterangan mengenai Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita serta enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah.

Dua puluh sembilan wanita lainnya yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pimpinan dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek.

Ada pun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan biar pun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap serta gerakannya gesit, tetapi sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh!

Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggota-anggota Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas.

Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang telah dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu.

Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu lalu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan kemudian menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka!

Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang serta belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, mulai dari keperluan makan sampal keperluan sex! Ada pun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee.

Di permulaan cerita ini sudah diceritakan tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih yang tercinta dari mendiang Kiang Ti, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu birahi belaka.

Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, maka timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, dia pun lalu menjadi anggota Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok!

Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya sudah dirusak oleh seorang laki-laki, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatannya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan sudah meninggalkan sebuah kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berubah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggota Giok-hong-pang!

Setelah semua anggota Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata mempunyai kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja dengan senang hati mereka lalu menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka.

Ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggota Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang termasuk dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana!

Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu sudah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong.

Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan mereka pun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan.

Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka mulai menghadapi padang yang sangat luas. Dari tempat itu mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

"Malam ini juga kita harus dapat tiba di dusun depan itu," kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan. "Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga."

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, "Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihatlah di sana itu, bukankah itu adalah kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya."

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Biar pun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!"

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan supaya mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.

Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang pada kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu sudah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput.

Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat pula tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan dia pun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

"Kalian diam...! Jangan bergerak sedikit pun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!" Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu.

Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi biar pun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

"Satu demi satu!" Kiat Bwee tidak kehilangan akal. "Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!"

Dua orang yang sudah amat ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan pada ujung tali, lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat sekali sehingga jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Seperti gila wanita itu pun memegangi tali, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung.

Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

"Jangan bergerak!" Kiat Bwee berseru keras dan marah.

Akan tetapi wanita itu semakin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanya pun terbenam, tinggal kedua lengannya yang masih terus meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itu pun tidak lama karena segera kedua tangan itu pun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.

Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan hebat itu, dan tiba-tiba wanita kedua itu pun menjerit-jerit, "Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!"

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya segera membantu, kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka pun dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sulit mencabut tubuh itu, apa lagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit bagaikan orang gila.

Wanita yang meronta-ronta seperti gila itu akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee beserta teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, mulai dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat-cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

“Aaihhhhh...!"

"Hiiiiihhhhh...!"

Jeritan-jeritan mengerikan langsung terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di balik pakaian itu terlihat banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada hingga ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang yang bentuknya mirip seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu.

Pantas saja wanita itu menjerit-jerit. Ternyata selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit serta daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak!

Biar pun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah-lintah itu dari tubuh teman mereka, tetapi wanita itu tak dapat hidup lebih lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya. Tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi sangat berbahaya dan mematikan juga!

Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata,

"Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus semakin berhati-hati."

Sekarang mereka mempergunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang kawan mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,

"Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian harus siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh."

Rombongan yang telah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka hingga akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan tubuh mereka sehingga mereka tak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai sapu tangan merah dan dicabik-cabiknya sapu tangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil, lalu setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan sapu tangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik bukan main. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, karena itu dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua ‘dinding’ alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai!

Banyak pasang mata pria yang terbelalak dengan mulut menyeringai dan mengilar. Para anak buah Padang Bangkai itu memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!

Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, mendadak terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu lalu menyerang mereka dengan ganas!

"Awas, lekas mundur...!" Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang semenjak tadi telah dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerang dirinya.

Akan tetapi anak buahnya yang kaget itu menjadi panik sehingga terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka pun terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

"Mundur...!" Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak.

Akan tetapi kembali ada dua orang memekik lalu roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang lelaki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggota Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee.

Tentu saja mereka tidak dapat menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu sudah dibersihkan oleh anggota Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.

Kini terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu agaknya sudah kelaparan. Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang.

Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, namun akhirnya lima ekor harimau buas itu pun menggeletak mati. Akan tetapi di fihak rombongan itu pun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran mau pun gigitan harimau buas itu, belum lagi dihitung beberapa orang yang terluka!

Kemudian terdengar pula bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring, dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri segera menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita beserta dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh lantas meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, akan tetapi segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.

Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki dan tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi.

Di hadapan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka berdua bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

"Inikah pemimpinnya?" terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ.

Anak-anak buahnya yang semuanya berwajah menyeramkan dan bertubuh besar-besar itu berdiri menyeringai dengan wajah girang sekali. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

"Benar, twako!" jawab seorang di antara mereka.

Para anak buah itu semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, namun anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak mempedulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

“Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, kenapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?"

Bhe Kiat Bwee menjawab berani, "Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong."

"Hemm, suamiku, engkau memang tolol. Bukankah semenjak tadi sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggota-anggota Giok-hong-pang? Mereka adalah anak-anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?" Coa-tok Sian-li berkata, suaranya terdengar halus dan ramah biar pun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

"Ha-ha-ha, engkau benar, isteriku! Engkau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?"

"Namaku Bhe Kiat Bwee."

"Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?"

"Dia adalah pelayan kami."

"Pelayan? Pelayan saja? Wah, mengapa pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?" Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

"Membunuh mereka sekarang pun belum terlambat, twako." kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia telah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala salah seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

"Plakkk!”

“Aduuuhhh...!" Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li ketika nyonya itu menangkisnya.

Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak sangat kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan pada saat tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

"Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?" Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.

"Ampunkan saya, twanio..." Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

"Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!" kata pula nyonya itu.

Si mata merah mengangguk-angguk, lalu bersama seorang kawan lainnya dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

"Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. "Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus engkau mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha-ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan ini pun kelihatannya boleh juga!" Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

"Breeeetttt...!"

Sekali dia merenggut dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

"Ha-ha-ha, benar saja dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!" perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

"Mereka ini adalah musuh-musuh kita," berkata pula Coa-tok Sian-li, "Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!"

Para anak buah itu bersorak girang kemudian seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jeritan dan rintihan di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali!

Dua belas orang wanita anggota Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara arak dan daging, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan dari pada kebuasan binatang liar mana pun juga!

Sukarlah untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Semakin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, semakin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, semakin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka bagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri sekaligus juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buasnya, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau saja dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi.

Di dalam kamar ini, suami-isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga tengah berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu birahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka!

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee serta dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan kedua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu birahi mereka. Dalam keadaan setengah sadar mereka memenuhi segala keinginan suami isteri itu, melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu akan membuat mereka malu bukan main. Akan tetapi mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka mampu melakukan apa pun juga agar bisa melampiaskan dorongan mukjijat yang membangkitkan gairah nafsu birahi mereka.

Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang sengaja dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari kedua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu. Teriakan-teriakan itu semakin lama semakin melemah dan akhirnya berhenti sama sekali, dan yang terdengar hanyalah suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar.

Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya.

********************

Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid dari Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan dan sudah diberi tahu akan rahasia serta keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan bagian lain yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu.

Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tidak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncullah lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang semuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali.

"Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!"

"Semalam pun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti tadi malam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!"

"Aku pun sudah puas!"

"Dan mereka ini bisa menjemukan!"

Si Kwi yang mengintai, memandang dengan kedua mata terbelalak. Jantungnya berdebar serta dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali!

Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya sepasang matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanita-wanita itu dilemparkan lantas jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!

"Aughhhh... tolooongggg...!"

"Aduhhh... lepaskan aku...!"

Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas semakin dalam pula. Lima belas orang anggota Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seakan-akan pemandangan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Malah mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang dapat bertahan paling lama!

Si Kwi hampir tak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua. Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan mengenai tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah.

Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta. Ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis pada wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram.

Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita itu menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dan merasakan seluruh tubuhnya bagaikan ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba malah tertawa bergelak. Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya yang menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya!

Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itu pun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan ini pun lenyap.

Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seakan-akan mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa mempedulikan lima belas orang itu.

"Heiii... masih ada satu lagi...!" Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.

"Ah, bukan! Dia bukan teman mereka."

"Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!"

Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan serigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang.

Mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Apa bila tadi malam mereka berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena telah mendapat ijin dari majikan mereka! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.

"Hei, nona! Siapa engkau?" tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu.

Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. "Siapa adanya aku tak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!" jawabnya.

Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.

“Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!"

"Tunggu aku menjinakkan dia!"

"Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!"

"Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!"

Si mata merah menjadi curiga ketika melihat sikap Si Kwi begitu menantang, maka dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi.

"Nona, engkau sudah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa namamu dan mau apa engkau melanggar wilayah kami."

"Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!" kata Si Kwi.

"Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!" terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat.

"Tunggu...! Biarlah kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali."

"Biarlah aku mencobanya!"

"Aku saja!"

"Biar kutangkap dia untukmu!"

Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya.

Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia sekarang dapat melampiaskan kebenciannya kepada laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergap dari depan belakang, dia segera mengubah kedudukan kakinya dengan memiringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya lalu bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.

"Hukkk! Hukkk!"

Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti. Pada saat itu pula, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka sudah terlempar ke arah rumput hijau!

"Bresss…! Bresss…!"

Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!

"Tolonggg...! Tolooonggg...!" Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan. Karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini.

Tentu saja teman-temannya menjadi sangat terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lantas melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu segera mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.

"Aduhhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!" yang seorang berteriak-teriak ketakutan, tubuhnya yang terbenam itu terasa seolah-olah dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi.

"Auwwww... aduhhh... mati aku...!" Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mereka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka langsung tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata sudah ditempeli seekor lintah besar pada anggota rahasianya!

"Ehh, mana dia?"

"Iblis betina itu telah pergi!"

"Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!"

"Kejar...!"

Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang telah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula. Memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan.

Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan. Tapi jalan ini pun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.

********************

Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya. Wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, ada pun Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.

Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, malah Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka.

Gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan walau pun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga.

Sesudah tadi menyaksikan kebuasan para anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Twako! Twako...! Dia sudah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!" dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak.

"Ahhhh?!" Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, bahkan tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini telah menjadi setengah gila akibat minum obat bius.

"Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!" Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, segera menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 32

Dewi Maut Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG kagum bukan main. Memang dia sudah menduga bahwa nenek ini mempunyai kekebalan tubuh yang sangat hebat sehingga hantaman dengan Thian-te Sin-ciang tidak merobohkannya. Padahal nenek itu sekarang telah buta mata kirinya, namun serangan-serangannya masih cepat dan kuat dan kekebalannya agaknya juga tidak berkurang!

Melihat betapa serangan-serangan nenek itu berbahaya sekali, dia pun lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak, mainkan ilmu silat yang pernah dilatihnya dari gurunya, ilmu silat tinggi yang gerakannya aneh.

Bouw Thaisu yang memperhatikan semua gerakan In Hong menjadi amat kagum. Dalam gerakan silat In Hong ada dasar-dasar ilmu silat dari Siauw-lim-pai, tetapi sudah berubah banyak sekali sehingga dia tidak dapat mengenalnya. Itulah agaknya ilmu simpanan yang menjadi rahasia dari bokor emas, pikirnya dan memang hebat ilmu itu.

Seorang gadis semuda itu sanggup menghadapi serangan-serangan seganas serangan Hek-hiat Mo-li dengan baik dan hal ini sudah membuktikan bahwa ilmu silat yang didapat dari pusaka bokor emas itu adalah ilmu silat pilihan yang tinggi tingkatnya.

"Plakkk! Dukkk!"

Tubuh nenek itu terhuyung-huyung. Dua kali dia terkena pukulan, pertama tengkuknya kena ditampar dan kedua perutnya kena dihantam oleh In Hong. Kalau orang lain yang terkena satu saja dari dua pukulan itu tentu roboh, akan tetapi nenek itu hanya terhuyung, bahkan masih dapat terkekeh mengejek dan langsung menubruk lagi!

Kini In Hong mulai merasa seram! Nenek ini bukan manusia agaknya! Belum pernah dia mendengar akan kekebalan sehebat itu, apa lagi menyaksikannya!

Karena ternyata bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh In Hong itu lebih lihai sehingga tampak sekali dia menguasai pertandingan itu dan lebih sering berhasil memukul lawan, maka semua orang yang menonton pertandingan itu menjadi semakin kagum.

Pek-hiat Mo-ko mengelus jenggotnya. Kalau dia dapat menguasai ilmu silat yang dimiliki gadis itu, pikirnya, maka kelihaiannya akan bertambah hebat dan kiranya tidak akan ada lagi tandingannya di dunia ini. Walau pun sekarang dia memiliki kekebalan seperti yang dimiliki nenek itu, namun tanpa ilmu silat tinggi, juga tidak mudah merobohkan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan sudah lebih dari enam kali nenek itu terpelanting roboh dan terhuyung, namun dia selalu maju lagi dengan makin ganas, seolah-olah pukulan-pukulan maut itu yang kadang-kadang mengandung Thian-te Sin-ciang, tidak membuatnya nyeri malah memberinya tambahan tenaga dan semangat!

In Hong menjadi penasaran dan marah. Teringat bahwa mata kiri nenek itu dapat dibikin buta oleh jarum yang menyambar keluar dari arca kaisar, kini dia menujukan serangan-serangan ke arah mata kanan nenek itu!

"Aihhhhh…!" Nenek itu menjerit marah.

Sekarang Pek-hiat Mo-ko mengepal tinjunya. Agaknya dia pun terkejut sehingga siap-siap untuk membantu kawannya. Betapa pun hebat ilmu kekebalan mereka, namun mereka tidak dapat membuat biji mata mereka kebal!

Oleh karena Hek-hiat Mo-li selalu melindungi mata kanannya, maka usaha In Hong untuk menusuk mata itu dengan jari tangannya pun tidak berhasil. Pukulan-pukulannya hanya mengenai pipi dan kepala, namun ternyata kepala nenek itu pun kebal! Dengan geram dia lalu mengerahkan Thian-te Sin-ciang di tangan kirinya dan pada saat yang baik dia lalu menghantam ulu hati nenek itu dengan tangan kirinya yang terbuka.

"Desss...! Plakkk...!"

Tubuh nenek itu kembali terjengkang dan bergulingan sampai jauh akan tetapi dia segera meloncat berdiri lagi, sedangkan tubuh In Hong terkulai lemas lalu dia pun roboh karena tadi, ketika dia memukul, nenek itu sama sekali tidak menangkis melainkan membarengi dengan tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak In Hong. Tamparan itu tidak terlalu hebat, akan tetapi karena kuku jari tangan nenek itu mengandung racun dan kuku itu menggurat pundak dekat leher, maka In Hong segera menjadi lemas dan pening oleh pengaruh racun.

"Heh-he-he-heh!" Nenek itu meloncat dekat.

"Dessss…!" Tubuh dara itu ditendangnya sampai terguling-guling.

"Cukup, Mo-li!" Pek-hiat Mo-ko berseru dan dia lalu meloncat, menyambar tubuh In Hong, membawanya ke pintu kamar dan melemparkan tubuh yang lunglai itu ke dalam kamar lalu menutup pintunya kembali. In Hong rebah miring dan masih memejamkan matanya karena kepalanya pening.

"Racun itu tidak akan membunuhmu, Yap In Hong, akan tetapi akan menyiksamu selama tiga hari. Biarlah itu menjadi peringatan bagimu bahwa engkau tidak dapat mengandalkan kepandaianmu terhadap kami di sini. Baru menghadapi Mo-li seorang saja engkau sudah tidak berdaya. Dan kami ada berdua, dibantu pula oleh Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw yang ingin sekali membunuhmu untuk membalaskan kematian Hwa Hwa Cinjin, dan anak buah kami ada seratus orang berjaga di luar! Biarlah dalam tiga hari ini kau ingat baik-baik agar engkau pertimbangkan permintaan kami untuk menyerahkan pusaka dari bokor emas itu kepada kami!" Setelah berkata demikian, Pek-hiat Mo-ko lalu mengajak tiga orang kawannya untuk melanjutkan makan minum.

"Kita harus bersiap-siap," kata Pek-hiat Mo-ko. "Sudah kurang lebih setengah bulan sejak gadis ini kami larikan dari istana. Mengingat bahwa gadis ini memiliki hubungan dengan orang-orang pandai, di antaranya adalah putera ketua Cin-ling-pai, maka tak mustahil bila sekarang mereka itu sudah mulai menuju ke sini."

"Tidak hanya di sini kita harus bersiap-siap," sambung Hek-hiat Mo-li. "Akan tetapi jalan yang menuju ke lembah ini hanya satu, yaitu melalui Padang Bangkai, maka sebaiknya kalau kita berpesan kepada majikan Padang Bangkai untuk berjaga-jaga pula dan cepat mengabarkan kalau ada orang dapat melewati Padang Bangkai dan menuju ke sini."

"Keadaan sudah mulai gawat dan yang kita hadapi nanti adalah orang-orang pandai," kata Hek I Siankouw. "Maka urusan mengirim pesan kepada majikan Padang Bangkai biarlah dilakukan oleh muridku."

"Ha-ha-ha, baiklah, Siankouw. Engkau baik sekali bersama muridmu mau membantu kami dengan sungguh-sungguh."

"Dan ingat, Mo-ko, semua bantuanku ini hanya untuk satu balasan, yaitu kau serahkan gadis keparat itu padaku untuk kupenggal kepalanya dan kupakai sembahyang di depan kuburan Hwa Hwa Cinjin!" kata nenek berpakaian hitam ini gemas.

"Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir. Sesudah kami selesai dengan dia pasti akan kuserahkan kepalanya kepadamu," jawab Pek-hiat Mo-ko.

"Dan pinto membantumu hanya karena pinto hendak menghadapi keluarga Cin-ling-pai untuk membalas kematian Thian Hwa Cinjin sahabatku," kata Bouw Thaisu.

Hek I Siankouw segera mengeluarkan suara melengking tinggi dan tidak lama kemudian terdengar suara lengking yang sama dan disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah. Kiranya dia adalah seorang gadis yang usianya tentu ada dua puluh lima tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis sekali.

Gadis ini adalah murid Hek I Siankouw yang bernama Liong Si Kwi, seorang gadis manis yang sampai berusia dua puluh lima tahun belum juga menikah. Gurunya menghendaki agar dia menikah dengan seorang lelaki pilihan, seorang pangeran atau setidaknya putera seorang pangcu yang terkenal atau seorang laki-laki yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari gadis itu sendiri, muda dan tampan!

Tentu saja sukar sekali mencari jodoh yang ditentukan nilai-nilainya ini dan banyak sudah pemuda yang jatuh hati kepada Si Kwi yang manis itu terpaksa mundur teratur sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, Liong Si Kwi masih perawan dan biar pun di dalam hatinya dia sudah ingin sekali menjadi isteri orang, namun keinginan ini selalu ditahannya karena selain malu, dia pun takut kepada gurunya yang dalam hal ini amat galak!

"Subo…!" kata Si Kwi sambil menjura ke arah gurunya, sikapnya manis dan gagah.

Sepasang pedang yang bersarung dan bergagang terukir indah tergantung di punggung, gagangnya tampak di atas kanan kiri pundaknya, menambah kegagahannya. Pakaiannya sederhana akan tetapi terbuat dari sutera merah dan menempel ketat mencetak tubuhnya yang penuh lekuk lengkung menggairahkan, tanda bahwa dia adalah seorang wanita yang sudah masak, seperti setangkai bunga atau buah yang siap untuk dipetik.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li memandang dengan kagum, sedangkan Bouw Thaisu mengerutkan alisnya sambil berkata, "Siankouw, apakah bijaksana mengutus muridmu ini ke Padang Bangkai? Muridmu masih muda dan cantik, dan sepanjang pendengaran pinto, Ang-bin Ciu-kwi si pemabok dari Padang Bangkai itu sukar melewatkan seorang wanita muda yang cantik tanpa diganggunya."

"Hemm," Hek I Siankouw mendongkol. "Dia mencari mampus kalau berani mengganggu muridku, pula, Si Kwi mampu menjaga diri sendiri." Kemudian nenek berpakaian hitam ini bertanya kepada muridnya, "Ehhh, Si Kwi, beranikah engkau diutus ke Padang Bangkai menemui Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, majikan-majikan Padang Bangkai?"

Gadis itu yang tadi mendengar ucapan Bouw Thaisu bahwa si pemabok yang berjuluk Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah) itu senang menggoda wanita muda, menjadi merah mukanya, dan dia pun meraba kantong di pinggangnya, yaitu kantong yang terisi senjata rahasianya yang ampuh seperti senjata rahasia gurunya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam), lalu menjawab, "Tentu saja teecu berani, subo."

"Ha-ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, anak baik!" kata Hek-hiat Mo-li. "Kalau si pemabok gila itu hendak mengganggumu, katakan bahwa engkau utusan kami, tentu dia akan mundur teratur!"

"Liong Si Kwi, kami menerima usul gurumu agar engkau yang menjadi utusan kami pergi ke Padang Bangkai!" kata Pek-hiat Mo-ko. "Temuilah suami isteri mabok itu dan katakan bahwa menurut pikiran kami, pada hari-hari mendatang ini tentu musuh-musuh akan mulai berdatangan, karena itu mereka harus bersiap-siap dengan waspada dan jangan sampai lengah. Pula, andai kata ada lawan yang tangguh mampu melewati Padang Bangkai, agar mereka secepatnya memberi kabar kepada kami di sini!"

"Baik, locianpwe," jawab Si Kwi.

Nona ini melirik ke dalam kamar tahanan, melihat betapa gadis yang ditawan itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang siulian (semedhi). Dara murid Hek I Siankouw ini bukanlah orang jahat, malah sesungguhnya, Hek I Siankouw sendiri pun dahulunya adalah seorang tokouw, yaitu pendeta wanita Agama To yang hidup dengan bersih, bahkan menjauhkan diri dari dunia ramai.

Akan tetapi, dia bersama Hwa Hwa Cinjin terjebak ke dalam perangkap nafsu birahi dan mereka itu, seorang pendeta wanita dan seorang pertapa pria, lalu mengadakan hubungan gelap dan selanjutnya menjadi kekasih. Karena Hwa Hwa Cinjin ialah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang terbunuh di tangan The Hoo, maka dia pun terkena bujukan Lima Bayangan Dewa untuk membantu mereka menghadapi ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai sahabat The Hoo dan juga musuh Toat-beng Hoatsu.

Ke mana pun Hwa Hwa Cinjin pergi, apa lagi menghadapi urusan berbahaya, tentu saja Hek I Siankouw ikut dengan meninggalkan muridnya. Dan kini, setelah Hwa Hwa Cinjin kekasihnya semenjak muda itu tewas oleh In Hong, tentu saja Hek I Siankouw menaruh dendam dan maulah dia bekerja sama dengan dua orang kakek nenek guru Sabutai itu sambil mengajak muridnya.

Sungguh pun wataknya angkuh dan keras sebagai murid seorang pandai, namun Liong Si Kwi tidak pernah terlibat dalam kejahatan, bahkan dia selalu bertindak sebagai seorang pendekar wanita yang keras hati dan menentang kejahatan! Tentu saja dia tidak pernah menganggap bahwa subo-nya itu jahat, pula dia tidak menganggap bahwa orang-orang yang kini dibantu subo-nya itu jahat, karena dianggapnya mereka, seperti juga subo-nya, hendak menuntut balas, dan pembalasan dendam dianggapnya bukanlah perbuatan yang jahat.

Kini melihat betapa tawanan wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, juga kelihatan tenang saja, dia sudah menjadi kagum bukan main. Akan tetapi justru gadis di dalam tahanan itulah yang menjadi pembunuh supek-nya, yaitu Hwa Hwa Cinjin, begitu menurut keterangan subo-nya, maka dia memandang ke arah In Hong dengan sinar mata benci. Musuh gurunya berarti juga musuhnya, karena gurunya itu pun menjadi pengganti orang tuanya.

"Subo, kenapa dia itu tidak dibunuh saja?"

"Justru dia menjadi umpan untuk memancing datangnya musuh-musuh besar yang lain, Si Kwi. Akan tetapi dia sudah tidak berdaya dan nyawanya berada di tangan kita," jawab gurunya dengan wajah beringas penuh dendam. "Sekarang berangkatlah, muridku, dan hati-hatilah karena majikan Padang Bangkai adalah orang-orang setengah gila!"

Gadis itu mengangguk, lantas memberi hormat dan meloncat dengan cepat sekali, lenyap dari tempat itu. Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Ginkang muridmu itu pinto lihat amat hebat, mungkin tidak kalah oleh gurunya!"

"Memang betul, Thaisu. Si Kwi pernah menerima pelajaran khusus dari mendiang Hwa Hwa Cinjin hingga ginkang-nya menjadi matang dan lumayan. Karena ginkang-nya itulah maka dia memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya sehingga orang menjuluki dia Ang-yan-cu (Si Walet Merah)," jawab Hek I Siankouw dengan bangga.

********************

Tempat In Hong ditahan itu adalah sebuah tempat yang terdiri dari beberapa bangunan yang kokoh kuat dan pernah menjadi markas atau benteng ketika Raja Sabutai dahulu bermarkas di situ bersama puluhan orang pengikutnya yang setia. Kini, oleh Raja Sabutai, bekas markas itu diberikannya kepada kedua orang gurunya. Memang tempat ini amat baik untuk dijadikan semacam benteng kecil, juga amat baik untuk menjadi tempat tinggal di daerah yang berbahaya itu.

Tempat itu berada di sebuah lembah yang dinamakan Lembah Naga dan berada di kaki Pegunungan Khing-an-san. Karena lembah itu berada di tepi Sungai Luan-ho, tepat di tikungan sungai yang disusul dengan banyak tikungan-tikungan kecil, sehingga dari atas lembah itu Sungai Luan-ho kelihatan bagaikan seekor naga yang tubuhnya berliku-liku, maka lembah itu dinamakan Lembah Naga.

Lembah Naga terletak di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dan di daerah itu terdapat banyak tempat-tempat yang amat berbahaya, gunung-gunung yang tinggi dan luas, juga hutan-hutan lebat dan padang-padang rumput yang seperti lautan tak bertepi, diselingi oleh gurun-gurun pasir yang tandus.

Bila didatangi dari barat, timur dan selatan, jalan menuju ke Lembah Naga itu hanya ada satu saja, yaitu dari selatan melalui Padang Bangkai! Tidak ada jalan lain yang mungkin membawa manusia mendatangi Lembah Naga kecuali melalui Padang Bangkai ini.

Mengapa dinamakan Padang Bangkai? Sebenarnya padang itu adalah padang rumput yang luas, akan tetapi keadaannya demikian aneh. Banyak sekali binatang yang terjebak dan mati di sekitar tempat itu, hanya tinggal tulang-tulangnya saja yang nampak. Bahkan kadang-kadang terlihat pula tulang-tulang manusia yang berserakan di sekitar padang itu. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perjalanan lewat di tempat itu dan tersesat, kemudian akhirnya mati akibat kelaparan atau kehausan. Karena seringnya orang melihat bangkai binatang atau manusia di tempat ini, maka padang itu lalu dinamakan Padang Bangkai!

Memang sangat berbahaya sekali. Ada bagian yang kelihatannya seperti padang rumput biasa, dengan rumput-rumput yang hijau segar laksana beludru, akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal daerah itu, di bagian yang rumputnya hijau segar tanpa mengenal musim itu, baik pada musim panas mau pun di musim semi tetap saja hijau segar itu, justru merupakan tempat maut yang paling mengerikan.

Salah sangka dapat membuat banyak manusia mau pun binatang yang kebetulan lewat, terperosok ke tempat ini dan sekali kaki mereka terjerumus, sukar untuk menyelamatkan diri karena rumput hijau segar itu seakan-akan merupakan umpan atau perangkap yang kalau diinjak ternyata di bawahnya merupakan lumpur lembut yang dapat menyedot apa saja dengan kekuatan yang tak terukur besarnya.

Lumpur lembut itu amat dalam dan sekali kaki menginjak, sukarlah ditarik kembali sampai akhirnya orang atau binatang yang terjebak itu ditelan habis ke dasarnya! Ada pula yang sebelum tertelan habis, dapat berpegangan kepada rumput-rumput dan biar pun demikian tetap saja orang atau binatang itu akan mati dengan separuh tubuh masih di luar.

Ada pula bagian yang rumputnya berwarna aneh kebiruan dan ternyata rumput di bagian ini mengandung racun yang berbahaya. Sekali saja kaki atau bagian tubuh lainnya yang terluka lalu terkena getah rumput ini, orangnya atau binatangnya tentu akan roboh dan tewas.

Juga terdapat bagian yang rumputnya merupakan alang-alang setinggi orang dan yang dapat menyesatkan karena luas sekali dan karena lorong di antara alang-alang tinggi ini berlika-liku, bercabang-cabang dan semua sama bentuknya, yaitu lorong setapak yang di kanan kirinya diapit oleh alang-alang tinggi! Orang dapat tersesat dan sampai berhari-hari tidak mampu keluar dari tempat ini, maka amat berbahaya, belum lagi binatang-binatang buas yang menghuni di dalam rumpun alang-alang lebat itu.

Dan jalan umum yang melalui Padang Bangkai ini terhenti oleh sebuah dusun kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah rumah. Dusun ini dikelilingi oleh sungai yang memang sengaja dibuat, yaitu dengan mengalirkan air dari Sungai Luan-ho ke sekeliling dusun itu.

Kalau orang hendak melanjutkan perjalanan, mau tak mau orang itu harus menyeberangi sungai dengan jembatan yang terdapat di situ, melewati dusun itu dan menyeberang lagi pada sungai yang berada di belakang dusun, karena kalau tidak mengambil jalan melalui dusun itu, maka orang harus mengambil jalan melalui padang rumput maut yang bagian bawahnya terdiri dari lumpur itu, yang penuh di kanan kiri dusun menghadang jalan!

Untuk mengelilingi dusun dengan perahu pun tentu saja bisa, jadi tanpa melewati dusun, akan tetapi di sana tidak ada sebuah pun perahu, dan andai kata ada orang luar yang membuat perahu dan menggunakan jalan air di sekeliling dusun, tentu sebelum sampai di tempat tujuan perahunya sudah akan digulingkan oleh anak buah Padang Bangkai!

Sesungguhnya tempat ini pun dahulu dibuat oleh orang-orang Mongol atas perintah Raja Sabutai yang dipergunakan sebagai semacam gerbang maut untuk menghalangi musuh yang hendak menyerbu Lembah Naga. Akan tetapi karena tempat ini berbahaya sekali, sesudah Sabutai meninggalkan tempat itu untuk menghimpun bala tentara yang besar, tempat itu tidak ada yang mau mempergunakannya dan ditinggalkan terlantar.

Baru pada beberapa tahun yang lalu, dua orang aneh datang ke tempat itu, kemudian menjadi penghuni di situ. Bahkan mereka lalu mengumpulkan anak buah mereka yang jumlahnya ada belasan orang, yang menjadi murid, anak buah, sekaligus juga melayani segala kebutuhan mereka.

Siapakah dua orang aneh yang berani tinggal di tempat yang berbahaya itu? Tentu saja mereka bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka merupakan sepasang suami isteri yang aneh dan tidak lumrah suami isteri biasa, melainkan lebih tepat jika dinamakan sekutu yang kadang-kadang saling memperlihatkan kekuasaan dan memang kepandaian mereka adalah seimbang.

Yang lelaki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya kasar. Wajahnya yang membayangkan kekasaran serta keberanian itu selalu berwarna merah, matanya lebar dan jarang sekali orang melihat dia lepas dari guci arak. Dialah yang dijuluki orang Ang-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Merah), seorang yang mempunyai tenaga besar dan bisa membunuh orang dengan amat kejam, mencekik leher orang dengan tangan kiri dan selagi orang itu berkelojotan, tangan kanannya membawa guci arak ke mulutnya untuk diminum mengglogok!

Isterinya berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup cantik dan karena dia pesolek dan sikapnya agak genit, maka dia masih menarik. Tubuh yang terawat itu masih ramping dan padat, dan melihat sikapnya, orang mengira dia seorang wanita yang baik hati karena sikapnya lemah dan manis budi. Akan tetapi, sebetulnya, di balik senyumnya yang manis itu bersembunyi hati yang amat kejam, yang merasa gembira kalau melihat orang atau lawan tersiksa! Dia ahli racun, dan jarum-jarumnya yang beracun amat terkenal karena dia memiliki bermacam-macam jarum yang mengandung racun-racun bermacam-macam ular sehingga kalau mengenai tubuh lawan, juga menimbulkan siksaan bermacam-macam pula. Inilah wanita yang dijuluki Coa-tok Sian-li (Si Dewi Racun Ular)!

Saat Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li meninggalkan Raja Sabutai yang mengecewakan hati mereka karena raja yang menjadi murid mereka itu tidak mau melanjutkan serangan ke selatan bahkan berdamai dengan kaisar, dan terutama sekali menyuguhkan isterinya kepada kaisar, dua orang kakek dan nenek ini lalu tinggal di Lembah Naga yang diberikan kepada mereka oleh Sabutai.

Dan Raja Sabutai juga memberikan seratus orang pengawal kepada dua orang gurunya ini yang dipilih sendiri oleh kakek dan nenek itu. Seratus orang inilah yang kini menjadi anak buah mereka di Lembah Naga! Akan tetapi ketika dua orang kakek dan nenek ini mendengar bahwa Padang Bangkai kini mempunyai majikan baru, mereka lalu datang ke tempat itu untuk menuntut bahwa tempat itu termasuk wilayah Lembah Naga.

Tentu saja suami isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tidak mengenal kakek dan nenek berasal dari Sailan ini memandang rendah lantas menyerang mereka. Akan tetapi keduanya terkejut karena dengan sangat mudahnya suami isteri itu dihajar jatuh bangun oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko sampai mereka minta-minta ampun!

Kakek dan nenek itu melihat betapa kepandaian mereka berdua itu lumayan, dan karena untuk menghadapi para pembesar Beng-tiauw yang mempunyai banyak orang pandai itu mereka pun membutuhkan kawan, maka mereka tidak membunuh suami isteri itu bahkan ditarik menjadi sekutunya! Padang Bangkai lalu diberikan kepada mereka sebagai tempat tinggal akan tetapi mereka harus menjaga agar jangan ada musuh yang dapat mendekati Lembah Naga tanpa diketahui.

Demikianlah sedikit keterangan mengenai Lembah Naga dan Padang Bangkai, dan pada suatu hari, kini matahari telah naik tinggi, serombongan orang yang jumlahnya tiga puluh enam orang kelihatan berjalan dari selatan menuju ke Padang Bangkai! Mereka itu terdiri dari tiga puluh orang wanita serta enam orang pria, dipimpin oleh seorang wanita yang berusia tiga puluh tahun lebih, cantik dan gagah.

Dua puluh sembilan wanita lainnya yang menjadi anak buahnya juga rata-rata memiliki gerakan yang gagah dan usia mereka itu paling tinggi empat puluh tahun dan paling muda tiga puluh tahun. Kesemuanya membawa sebatang pedang di pinggang mereka, kecuali wanita yang menjadi pimpinan dan yang berpakaian serba hijau itu, yang selain membawa sebatang pedang panjang, di pinggangnya terselip pula sepasang pedang pendek.

Ada pun enam orang laki-laki itu agaknya menjadi semacam pelayan, karena enam orang inilah yang membawa buntalan-buntalan mereka dan berjalan di tengah-tengah, dan biar pun mereka juga terdiri dari orang-orang muda berusia paling tinggi tiga puluh tahun dan bertubuh tegap serta gerakannya gesit, tetapi sikap mereka terhadap para wanita itu jelas memperlihatkan bahwa mereka itu kalah pengaruh!

Siapakah mereka ini yang begitu berani mati mendatangi tempat berbahaya ini? Mereka itu bukan lain adalah anggota-anggota Giok-hong-pang dan hal ini jelas dapat dilihat dari hiasan rambut wanita-wanita itu yang berbentuk burung Hong! Mereka adalah anak buah Yo Bi Kiok yang telah tewas.

Seperti telah kita ketahui, Giok-hong-pang telah merampas Kwi-ouw (Telaga Setan) dan menjadikan tempat itu sebagai markas mereka dan menawan sebagian dari anak buah Ui-hong-pang yang dipimpin oleh Kiang Ti yang telah dibunuh oleh Yo Bi Kiok. Kemudian perkumpulan itu ditinggalkan oleh Yo Bi Kiok dan ketika Yo Bi Kiok membantu Sabutai, ketua ini membawa sebagian besar anak buahnya untuk membantu.

Setelah Yo Bi Kiok tewas, anak buahnya itu lalu tersebar tidak karuan, ada yang menjadi isteri para perwira Sabutai, ada pula yang tewas atau melarikan diri. Akan tetapi, ada pula beberapa orang di antara mereka yang berhasil kembali ke Telaga Setan dan kemudian menceritakan kepada kawan-kawan mereka tentang kematian ketua mereka!

Kini jumlah mereka tinggal tiga puluh orang serta belasan orang laki-laki yang selama ini menjadi semacam pelayan yang melayani segala keperluan mereka, mulai dari keperluan makan sampal keperluan sex! Ada pun yang menjadi pemimpin mereka, setelah Yo Bi Kiok tewas dan Yap In Hong murid ketua mereka itu tidak di situ, adalah Bhe Kiat Bwee.

Di permulaan cerita ini sudah diceritakan tentang Bhe Kiat Bwe ini. Dia adalah seorang kekasih yang tercinta dari mendiang Kiang Ti, yaitu ketua dari Ui-hong-pang yang tadinya bersarang di Telaga Setan dan kemudian terbunuh oleh Yo Bi Kiok. Bhe Kiat Bwee ini seorang wanita cantik yang dipermainkan oleh Kiang Ti sebagai benda permainan indah yang menyenangkan dan menjadi pemuas nafsu birahi belaka.

Oleh karena itu, Bhe Kiat Bwee amat membenci Kiang Ti, bahkan karena semenjak muda dia diperkosa dan dipermainkan oleh ketua Ui-hong-pang itu, maka timbul rasa bencinya terhadap pria pada umumnya. Oleh karena itu, ketika Ui-hong-pang dihancurkan oleh Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang, dia pun lalu menjadi anggota Giok-hong-pang, bahkan dia dapat menjilat dan menyenangkan hati ketua Giok-hong-pang sehingga diam-diam Bhe Kiat Bwee menerima ilmu-ilmu silat tinggi dari Yo Bi Kiok!

Ketua Giok-hong-pang ini, yang merasa kasihan melihat Bhe Kiat Bwee yang seperti juga dia, hidupnya sudah dirusak oleh seorang laki-laki, hanya bedanya Bhe Kiat Bwee dirusak kehormatannya dan dijadikan benda permainan sedangkan dia dirusak hatinya oleh cinta tak terbalas, bahkan sudah meninggalkan sebuah kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepada pelayan pribadinya itu ketika dia meninggalkan Giok-hong-pang. Oleh karena inilah, maka dengan cepat Bhe Kiat Bwee berubah menjadi seorang yang tinggi kepandaian silatnya, paling tinggi di antara para anggota Giok-hong-pang!

Setelah semua anggota Giok-hong-pang yang masih ada melihat bahwa pelayan pribadi ketua mereka ini ternyata mempunyai kepandaian tinggi bahkan mewarisi ilmu permainan sepasang pedang pendek dari ketua mereka, tentu saja dengan senang hati mereka lalu menerima Bhe Kiat Bwee menjadi wakil ketua dan pemimpin mereka.

Ketika mendengar akan kematian Yo Bi Kiok, Bhe Kiat Bwee yang amat mencinta ketua Giok-hong-pang menjerit dan menangis dengan sedih sekali. Dia lalu mengatur upacara sembahyang untuk menyembahyangi roh ketua mereka, kemudian dia mengumpulkan seluruh sisa anggota Giok-hong-pang yang berjumlah tiga puluh orang termasuk dia itu untuk pergi menyusul Yap In Hong, murid ketua mereka yang kabarnya berada di kota raja dan menjadi seorang puteri istana!

Akan tetapi, di kota raja mereka mendengar bahwa baru beberapa hari ini puteri Yap In Hong itu sudah diculik oleh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Marahlah Bhe Kiat Bwee dan dengan anak buah bekas pengikut Yo Bi Kiok sebagai petunjuk jalan, berangkatlah dia dan rombongannya itu menyusul ke utara untuk menolong Yap In Hong.

Tiga orang pengikut Yo Bi Kiok yang berhasil lolos dari kematian dan pernah membantu Raja Sabutai, tahu siapa adanya kakek dan nenek iblis itu, dan mereka pun tahu bahwa mereka itu tentu berada di Lembah Naga. Maka ke sanalah mereka menyusul, tiga puluh orang wanita Giok-hong-pang yang penuh dendam, ditemani oleh enam orang pria dari Telaga Setan yang mereka jadikan pembawa barang perbekalan dan pelayan.

Menjelang sore rombongan itu tiba di batas wilayah Padang Bangkai dan mereka mulai menghadapi padang yang sangat luas. Dari tempat itu mereka dapat melihat bangunan rumah-rumah di dusun seberang padang yang luas itu.

"Malam ini juga kita harus dapat tiba di dusun depan itu," kata Bhe Kiat Bwee sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan. "Kita bermalam di sana dan besok pagi baru melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga."

Teman-temannya mengangguk, dan seorang di antara mereka yang pernah mendengar tentang tempat ini ketika dia bersama sang ketua dan teman-temannya dahulu membantu Raja Sabutai, berkata, "Harap Bwee-suci (kakak seperguruan Bwee) suka berhati-hati, kerena kalau tidak salah, daerah inilah yang disebut Padang Bangkai. Lihatlah di sana itu, bukankah itu adalah kerangka manusia? Dan di sana itu terdapat bangkai seekor kuda yang membusuk. Hemm, tempat ini menyeramkan sekali dan tentu berbahaya."

Bhe Kiat Bwee memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Biar pun berbahaya, kita tidak perlu takut. Yang penting kita harus berhati-hati sekali. Persiapkan tali panjang yang kita bawa!"

Segulung tali hitam panjang diambil dari buntalan yang dibawa oleh para laki-laki itu dan Bhe Kiat Bwee membawa gulungan tali itu di pundaknya. Kemudian dia memimpin teman-temannya untuk melanjutkan perjalanan dan memesan supaya mereka semua bersikap hati-hati dan jangan sembrono.

Tak lama kemudian, ketika melalui jalan setapak yang pada kanan kirinya penuh dengan rumput hijau, tiba-tiba terdengar jerit mengerikan di sebelah kanan. Bhe Kiat Bwee dan teman-temannya cepat menengok dan mereka melihat seorang di antara teman mereka yang menginjak rumput hijau itu sudah amblas disedot oleh lumpur di bawah rumput.

Wanita ini menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin hebat dia meronta, makin cepat pula tubuhnya disedot ke bawah! Seorang temannya cepat hendak menolongnya, dengan tangan terulur dia menghampiri dan dia pun menjerit karena kaki kanannya juga tersedot dan ditarik oleh lumpur di bawah rumput yang diinjaknya.

"Kalian diam...! Jangan bergerak sedikit pun! Yang lain semua mundur! Jangan menginjak rumput hijau itu!" Bhe Kiat Bwee yang cerdik cepat berteriak, kemudian dia sendiri lalu melontarkan ujung tali hitam ke arah dua orang itu.

Mereka yang sudah pucat mukanya, seorang terbenam sampai ke leher dan yang kedua terbenam sampai ke pinggang, dengan kedua tangan menggigil menangkap ujung tali itu. Kiat Bwee lalu menarik, akan tetapi biar pun dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, dua orang itu tidak dapat ditariknya! Dia lalu minta bantuan teman-temannya, akan tetapi sampai semua orang menarik tali itu beramai-ramai, tetap saja dua orang itu tidak dapat ditarik keluar!

"Satu demi satu!" Kiat Bwee tidak kehilangan akal. "Kalian berdua jangan bergerak sama sekali, makin bergerak tentu akan makin dalam kalian tenggelam!"

Dua orang yang sudah amat ketakutan dan lemas itu melepaskan tali dan kini Kiat Bwee membuat sebuah jeratan pada ujung tali, lalu dilemparkannya ke arah orang kedua yang hanya terbenam sampai ke pinggang. Lemparannya tepat sekali sehingga jeratan yang berlingkar itu memasuki tubuh orang itu dan tali dapat menjerat pinggangnya. Seperti gila wanita itu pun memegangi tali, karena dia maklum bahwa di situlah nyawanya tergantung.

Tiba-tiba terdengar wanita yang terbenam sampai ke lehernya itu menjerit-jerit, matanya terbelalak dan teriakannya makin mengerikan.

"Jangan bergerak!" Kiat Bwee berseru keras dan marah.

Akan tetapi wanita itu semakin hebat menjerit-jerit dan meronta-ronta sehingga akhirnya kepalanya pun terbenam, tinggal kedua lengannya yang masih terus meronta dan jari-jari tangannya yang mencengkeram-cengkeram ke udara. Itu pun tidak lama karena segera kedua tangan itu pun lenyap ditelan rumput-rumput hijau.

Semua orang masih pucat dan merasa seram menyaksikan pemandangan hebat itu, dan tiba-tiba wanita kedua itu pun menjerit-jerit, "Aduuhhh... augghh... aihhhh, lekas... lekas... tolong aku...!"

Dia mulai pula meronta-ronta dan Kiat Bwee cepat menarik tali yang kini sudah mengikat pinggang wanita itu. Teman-temannya segera membantu, kemudian dengan pengerahan tenaga, mereka pun dapat menarik tubuh wanita itu sedikit demi sedikit karena amat sulit mencabut tubuh itu, apa lagi karena wanita itu meronta dan menjerit-jerit bagaikan orang gila.

Wanita yang meronta-ronta seperti gila itu akhirnya mengejang, lalu lemas dan pingsan. Maka lebih mudahlah bagi Kiat Bwee beserta teman-temannya untuk membetotnya keluar dari lumpur di bawah rumput hijau segar itu. Pakaian wanita itu, mulai dari dada sampai ke ujung kaki, penuh dengan lumpur kehitaman dan ketika dia sudah ditarik ke atas tanah keras dalam keadaan pingsan, teman-temannya cepat-cepat membuka pakaiannya untuk dibersihkan tubuhnya dan ditukar pakaian kering dan bersih.

“Aaihhhhh...!"

"Hiiiiihhhhh...!"

Jeritan-jeritan mengerikan langsung terdengar ketika mereka sudah membuka celana dan baju wanita itu, karena ternyata di balik pakaian itu terlihat banyak binatang yang seperti lintah, yang sudah menggembung oleh darah yang dihisap mereka dari tubuh wanita itu sehingga menjadi merah gemuk! Dari dada hingga ke kaki, di situ menempel ratusan ekor binatang yang bentuknya mirip seperti lintah, warnanya kehijauan dan agak merah karena penuh darah, menempel pada kulit yang putih halus itu.

Pantas saja wanita itu menjerit-jerit. Ternyata selagi tubuhnya terbenam di dalam lumpur tadi, dia telah dikeroyok oleh ratusan ekor binatang itu yang menggigitnya dan memasuki pakaiannya untuk dapat langsung menggigit kulit serta daging, mengisap darah langsung dari bagian-bagian yang lunak!

Biar pun dengan memberanikan hati yang merasa jijik dan ngeri akhirnya Kiat Bwee dan teman-temannya dapat mencabuti semua lintah-lintah itu dari tubuh teman mereka, tetapi wanita itu tak dapat hidup lebih lama, bahkan tidak sadar lagi dari pingsannya. Tubuhnya berubah menjadi kehitaman dan ternyata lintah-lintah itu bukan hanya menyedot darah, akan tetapi juga meninggalkan racun yang saking banyaknya menjadi sangat berbahaya dan mematikan juga!

Terpaksa mereka menguburkan mayat teman ini di tempat itu, menggali lubang di tanah keras antara dua padang rumput yang mengerikan itu. Kiat Bwee lalu berkata,

"Kita maju terus. Ini adalah daerah musuh, akan tetapi untuk membela nona In Hong, kita tidak boleh takut atau mundur, hanya kita harus semakin berhati-hati."

Sekarang mereka mempergunakan tongkat-tongkat untuk memeriksa keadaan sehingga tidak sampai terjebak seperti dua orang kawan mereka tadi. Ketika mereka menghadapi padang yang penuh dengan rumput alang-alang, Kiat Bwee berkata,

"Jalan kecil ini melalui rumput alang-alang, agaknya aman di sini, akan tetapi kalian harus siapkan senjata masing-masing agar mudah menjaga diri kalau ada serangan musuh."

Rombongan yang telah berkurang dua orang itu kini berjalan berindap-indap melalui jalan kecil di antara dua hutan alang-alang itu. Akan tetapi, makin lama mereka berjalan, makin tinggi juga alang-alang di kanan kiri mereka hingga akhirnya rumpun alang-alang di kanan kiri itu sama tingginya dengan tubuh mereka sehingga mereka tak dapat melihat apa-apa di kanan kiri mereka kecuali rumpun alang-alang!

Kiat Bwee mengeluarkan sehelai sapu tangan merah dan dicabik-cabiknya sapu tangan ini menjadi potongan-potongan kecil-kecil, lalu setiap sepuluh langkah dia melemparkan sepotong cabikan sapu tangan merah ke atas tanah yang mereka lewati. Memang wanita ini cerdik bukan main. Dia tahu bahwa lorong di antara rumpun alang-alang ini merupakan tempat berbahaya yang dapat menyesatkan, karena itu dia sudah bersiap-siap lebih dulu dengan memberi tanda-tanda kepada lorong yang sudah mereka lewati agar mudah nanti menemukan jejak mereka kembali.

Dan dugaannya memang tepat sekali. Lorong di antara dua ‘dinding’ alang-alang itu mulai terpecah, mulai bercabang-cabang dan membelak-belok! Dan di luar pengetahuan mereka, semenjak mula-mula mereka memasuki wilayah Padang Bangkai memang mereka sudah diawasi terus oleh anak buah Padang Bangkai!

Banyak pasang mata pria yang terbelalak dengan mulut menyeringai dan mengilar. Para anak buah Padang Bangkai itu memandang wanita-wanita yang rata-rata memiliki tubuh padat berisi dan wajah cantik itu, seperti sekumpulan laba-laba yang melihat masuknya lalat-lalat gemuk ke dalam sarang mereka!

Rombongan wanita yang dipimpin Bhe Kiat Bwee itu mulai menjadi bingung ketika jalan kecil itu berputar-putar, bahkan lalu memutar kembali lagi ke arah semula! Dan selagi mereka kebingungan, mendadak terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ratusan ekor ular dari kanan kiri, keluar dari rumput alang-alang itu lalu menyerang mereka dengan ganas!

"Awas, lekas mundur...!" Kiat Bwee berseru kaget sambil menggunakan sepasang pedang pendek yang semenjak tadi telah dipegangnya untuk membabat putus dua ekor ular yang menyerang dirinya.

Akan tetapi anak buahnya yang kaget itu menjadi panik sehingga terjadilah pengeroyokan ular-ular yang mengerikan dan tiga orang di antara mereka pun terkena gigitan pada kaki mereka. Mereka menjerit-jerit dan roboh berkelojotan karena ular-ular itu ternyata adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya!

"Mundur...!" Kembali Bhe Kiat Bwee berteriak.

Akan tetapi kembali ada dua orang memekik lalu roboh berkelojotan. Mereka itu ternyata adalah dua di antara enam orang lelaki yang membawakan perbekalan mereka. Terpaksa beberapa orang wanita anggota Giok-hong-pang mengambil perbekalan itu dan mereka terus mundur meninggalkan lima mayat yang kini menjadi sasaran kemarahan ular-ular itu.

Untung bagi mereka bahwa tadi Kiat Bwee telah memberi tanda-tanda dengan potongan-potongan kain merah. Akan tetapi, betapa kaget hati mereka ketika mereka hanya dapat mundur beberapa puluh meter saja karena setelah itu, mereka tidak dapat menemukan lagi potongan-potongan kain merah yang tadi disebar oleh Kiat Bwee.

Tentu saja mereka tidak dapat menemukan benda-benda itu kembali karena benda-benda itu sudah dibersihkan oleh anggota Padang Bangkai! Dan dengan sendirinya rombongan wanita itu menjadi tersesat di dalam padang rumput alang-alang itu.

Kini terdengar auman yang menggetarkan disusul auman-auman lain dan muncullah lima ekor harimau besar dari kanan kiri yang langsung menyerang mereka karena binatang-binatang itu agaknya sudah kelaparan. Kiat Bwee dan anak buahnya terkejut bukan main, dan mereka cepat menggerakkan senjata untuk membela diri dan balas menyerang.

Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian antara rombongan wanita yang sudah mulai ketakutan itu melawan lima ekor harimau buas, namun akhirnya lima ekor harimau buas itu pun menggeletak mati. Akan tetapi di fihak rombongan itu pun ada delapan orang yang tewas menjadi korban cakaran mau pun gigitan harimau buas itu, belum lagi dihitung beberapa orang yang terluka!

Kemudian terdengar pula bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan nyaring, dan di dalam kegelapan malam itu, dari kanan kiri segera menyambar jala-jala hitam yang amat kuat, meringkus tiga belas orang wanita beserta dua orang laki-laki yang masih mengadakan perlawanan itu. Mereka roboh lantas meronta-ronta seperti sekelompok ikan kena jaring, akan tetapi segera muncul belasan orang laki-laki tinggi besar dan mereka lalu diseret di dalam jaring mereka itu setelah tengkuk mereka satu demi satu dipukuli sehingga mereka roboh pingsan.

Ketika Kiat Bwee dan teman-temannya siuman, mereka mendapatkan diri mereka sudah berada di sebuah ruangan besar yang diterangi oleh lampu-lampu besar. Kaki dan tangan mereka terikat ke belakang dan mereka tidak mampu bergerak lagi.

Di hadapan mereka, di atas dua buah kursi, duduklah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka merah dan bermata lebar, bersama seorang wanita setengah tua yang pesolek dan cantik dengan senyum selalu menghias bibirnya. Mereka berdua bukan lain adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li!

"Ha-ha-ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi menenggak arak dari guci besar, mengusap mulutnya yang berlepotan arak, memandangi wanita-wanita itu satu demi satu, kemudian pandang matanya berhenti pada wajah Bhe Kiat Bwee.

"Inikah pemimpinnya?" terdengar suaranya parau, bertanya kepada anak buahnya yang berdiri di situ.

Anak-anak buahnya yang semuanya berwajah menyeramkan dan bertubuh besar-besar itu berdiri menyeringai dengan wajah girang sekali. Mereka ini terdiri dari lima belas orang laki-laki kasar, anak buah Padang Bangkai.

"Benar, twako!" jawab seorang di antara mereka.

Para anak buah itu semua menyebut twako kepada Ang-bin Ciu-kwi. Twako artinya kakak tertua, namun anehnya, terhadap Coa-tok Sian-li mereka menyebut twanio atau nyonya besar! Hal ini saja menunjukkan bahwa Ang-bin Ciu-kwi tergolong orang kasar yang tidak mempedulikan segala macam sebutan, sebaliknya dengan isterinya yang ingin dihormat sebagai nyonya besar!

“Ha-ha-ha! Eh, perempuan manis, kenapa engkau dan teman-temanmu berani memasuki Padang Bangkai? Siapakah kalian?"

Bhe Kiat Bwee menjawab berani, "Kami adalah orang-orang Giok-hong-pang, dan kami hendak mencari nona kami, Yap In Hong."

"Hemm, suamiku, engkau memang tolol. Bukankah semenjak tadi sudah kukatakan tadi bahwa wanita-wanita yang memakai hiasan rambut seperti itu adalah anggota-anggota Giok-hong-pang? Mereka adalah anak-anak buah musuh, perlu apa ditanya lagi?" Coa-tok Sian-li berkata, suaranya terdengar halus dan ramah biar pun kata-katanya kasar terhadap suaminya.

"Ha-ha-ha, engkau benar, isteriku! Engkau memang selalu benar. Hei, kau yang menjadi pemimpin, siapa namamu?"

"Namaku Bhe Kiat Bwee."

"Nama yang manis! Ha-ha-ha! Dan dua orang laki-laki ini siapa?"

"Dia adalah pelayan kami."

"Pelayan? Pelayan saja? Wah, mengapa pelayan-pelayan dibawa ke sini, tidak dibunuh saja?" Ang-bin Ciu-kwi membentak kepada anak buahnya.

"Membunuh mereka sekarang pun belum terlambat, twako." kata seorang anak buahnya yang bermata merah dan dia telah menggerakkan tangan, memukul ke arah kepala salah seorang di antara dua pelayan Giok-hong-pang itu.

"Plakkk!”

“Aduuuhhh...!" Orang itu berseru kesakitan dan meloncat mundur, memegangi tangannya yang tadi bertemu dengan tangan halus Coa-tok Sian-li ketika nyonya itu menangkisnya.

Memang kelihatan aneh sekali betapa tangan besar berbulu yang nampak sangat kuat itu menjadi terpental dan pemilik tangan itu berteriak kesakitan pada saat tangan itu bertemu dengan tangan kecil berkulit putih halus dari Coa-tok Sian-li.

"Manusia lancang! Berani kau hendak turun tangan di depanku?" Nyonya itu membentak, akan tetapi pandang matanya masib berseri dan mulutnya masih tersenyum.

"Ampunkan saya, twanio..." Laki-laki bermata merah itu menjura dengan ketakutan.

"Bawa mereka ke kamarku, bebaskan dari belenggu dan beri makan secukupnya, suruh mereka mandi yang bersih!" kata pula nyonya itu.

Si mata merah mengangguk-angguk, lalu bersama seorang kawan lainnya dia membawa pergi dua orang laki-laki yang ditawan itu.

"Ha-ha-ha!" Ang-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. "Engkau sungguh masih bernafsu besar, isteriku. Sekaligus engkau mengambil dua orang untuk melayanimu! Wah, jangan biarkan aku ketinggalan untuk menikmati tontonan itu. Ha-ha-ha-ha, kau membikin aku menjadi iri, isteriku! Perempuan ini pun kelihatannya boleh juga!" Dia lalu menggerakkan tangan ke depan.

"Breeeetttt...!"

Sekali dia merenggut dengan tangannya yang kuat, robeklah bagian depan pakaian yang menempel di tubuh Bhe Kiat Bwee, pakaian luar dan dalam, seperti kertas saja rapuhya di tangan si muka merah itu dan bagian depan tubuh wanita itu nampak seluruhnya.

"Ha-ha-ha, benar saja dugaanku. Boleh juga! He, bawa dia ke kamarku!" perintahnya dan kembali seorang anak buahnya membawa Kiat Bwee pergi dari situ.

"Mereka ini adalah musuh-musuh kita," berkata pula Coa-tok Sian-li, "Boleh kalian miliki bersama untuk semalam ini. Akan tetapi, besok pagi-pagi mereka itu semua harus sudah bersih, harus kalian lemparkan ke padang rumput hijau. Nah, bawa mereka pergi!"

Para anak buah itu bersorak girang kemudian seperti harimau-harimau kelaparan mereka menubruk wanita-wanita Giok-hong-pang yang seperti domba-domba terikat tak berdaya itu. Terdengar jeritan dan rintihan di antara mereka, diseling gelak tawa para anak buah Padang Bangkai ketika mereka membawa pergi wanita-wanita itu dari situ.

Malam penuh kemaksiatan berlangsung di dusun kecil terpencil itu, di dalam beberapa buah rumah itu, di mana semua anak buah Padang Bangkai berpesta pora memuaskan nafsu mereka secara buas sekali!

Dua belas orang wanita anggota Giok-hong-pang itu diperkosa bergantian, di antara arak dan daging, mereka dipermainkan dan kebuasan yang dilakukan oleh manusia-manusia itu jauh lebih mengerikan dari pada kebuasan binatang liar mana pun juga!

Sukarlah untuk melukiskan keadaan di tempat pesta itu, di mana terdengar rintihan dan keluhan, tangis yang diseling suara tertawa seperti iblis-iblis bangkit dari neraka. Semakin hebat wanita-wanita itu merintih dan menangis, semakin menggila lagi tingkah polah anak buah Padang Bangkai, semakin keras pula mereka tertawa-tawa seolah-olah suara tangis dan rintihan itu terdengar oleh mereka bagai suara nyanyian yang membangkitkan gairah birahi.

Orang yang menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di ruangan besar itu tentu akan merasa muak, ngeri sekaligus juga sedih menyaksikan tingkah polah manusia yang demikian ganas dan buasnya, demikian penuh dengan kejahatan yang mengerikan. Akan tetapi, kalau saja dia pergi meninggalkan tempat itu dan melihat apa yang berlangsung di dalam sebuah kamar lain, kamar besar yang cukup indah dan lengkap, dia akan merasa lebih muak lagi.

Di dalam kamar ini, suami-isteri Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li juga tengah berpesta, sama saja dengan anak buah mereka, pesta penuh nafsu birahi yang menjijikkan di mana suami isteri itu membawa tawanan-tawanan mereka berkumpul di dalam satu kamar dan melampiaskan nafsu-nafsu mereka secara terbuka!

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li sudah menggunakan arak yang dicampur racun dan yang diminumkan secara paksa kepada Bhe Kiat Bwee serta dua orang laki-laki pelayan Giok-hong-pang sehingga wanita dan kedua orang laki-laki itu menjadi seperti gila diamuk nafsu birahi mereka. Dalam keadaan setengah sadar mereka memenuhi segala keinginan suami isteri itu, melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tentu akan membuat mereka malu bukan main. Akan tetapi mereka telah terbius oleh racun sehingga mereka mampu melakukan apa pun juga agar bisa melampiaskan dorongan mukjijat yang membangkitkan gairah nafsu birahi mereka.

Menjelang pagi, Coa-tok Sian-li yang telah merasa puas dan kekenyangan oleh pelayanan dua orang laki-laki muda yang dibikin kuat oleh arak beracun, lalu menyeret mereka pergi keluar kamar. Tidak lama kemudian terdengar bunyi gerengan menyeramkan dari empat ekor anjing kelaparan, yaitu anjing-anjing hutan yang sengaja dipelihara oleh nyonya ini di dalam kerangkeng, diseling teriakan-teriakan menyayat hati dari kedua orang pria itu yang tubuhnya dirobek-robek oleh empat ekor anjing hutan itu. Teriakan-teriakan itu semakin lama semakin melemah dan akhirnya berhenti sama sekali, dan yang terdengar hanyalah suara anjing makan daging dan tulang, menjilat-jilat darah segar.

Coa-tok Sian-li yang tadi berdiri di luar kerangkeng dan menonton dengan mata berkilat-kilat, kini meninggalkan tempat itu dengan senyum penuh kepuasan. Dia lalu memasuki kamarnya sendiri, dalam keadaan masih setengah telanjang dia melempar tubuhnya ke atas kasur dan tak lama kemudian terdengar wanita ini mendengkur dengan enaknya.

********************

Pagi-pagi sekali, sesosok bayangan berkelebat di antara pohon-pohon menuju ke Padang Bangkai. Bayangan ini adalah Liong Si Kwi, gadis manis murid dari Hek I Siankouw yang diutus untuk menghubungi majikan Padang Bangkai. Karena dia telah mengenal jalan dan sudah diberi tahu akan rahasia serta keganasan tempat-tempat itu, maka dia mengambil jalan yang aman dan sama sekali tidak mau mendekat padang rumput hijau dan bagian lain yang berbahaya, melainkan dia hendak langsung mengambil jalan lorong kecil yang diapit-apit rumput alang-alang itu.

Akan tetapi tiba-tiba Si Kwi menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia mendengar suara orang-orang tertawa-tawa di antara suara rintihan-rintihan wanita! Tidak lama kemudian, dari balik rumpun alang-alang muncullah lima belas orang laki-laki tinggi besar yang dikenalnya sebagai anak buah Padang Bangkai. Mereka itu tertawa-tawa dan menyeret-nyeret tubuh dua belas orang wanita yang semuanya telanjang bulat, menangis dan merintih-rintih dalam keadaan menyedihkan sekali.

"Ha-ha-ha, sayang. Kita cuma diberi waktu semalam saja!"

"Semalam pun sudah cukup, A-ban! Kalau kita berpesta seperti tadi malam selama tiga malam saja engkau akan mati lemas, ha-ha-ha!"

"Aku pun sudah puas!"

"Dan mereka ini bisa menjemukan!"

Si Kwi yang mengintai, memandang dengan kedua mata terbelalak. Jantungnya berdebar serta dadanya terasa panas dan tidak enak sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak boleh mencampuri urusan mereka! Kemudian, dia melihat betapa wanita-wanita telanjang bulat itu oleh para anak buah Padang Bangkai dilemparkan ke arah padang rumput hijau yang dia tahu adalah tempat berbahaya sekali!

Hampir saja dia menjerit untuk mencegah, akan tetapi dia sadar dan mendekap mulutnya sendiri. Hanya sepasang matanya saja yang terbelalak memandang ketika wanita-wanita itu dilemparkan lantas jatuh ke atas rumput hijau segar itu. Akan tetap segera terdengar mereka menjerit-jerit karena tubuh mereka begitu terbanting terus saja tenggelam sampai ke pinggang!

"Aughhhh... tolooongggg...!"

"Aduhhh... lepaskan aku...!"

Mereka menjerit-jerit dan memohon-mohon, akan tetapi makin hebat mereka itu meronta, tubuh mereka amblas semakin dalam pula. Lima belas orang anggota Padang Bangkai itu menonton sambil tertawa-tawa, seakan-akan pemandangan itu merupakan tontonan yang amat menyenangkan dan menegangkan hati mereka. Malah mereka mulai bertaruh siapa di antara wanita-wanita itu yang dapat bertahan paling lama!

Si Kwi hampir tak dapat menahan hatinya mengintai dan melihat itu semua. Mulai tampak wanita-wanita itu terbelalak dan melolong-lolong. Tentu mulai digigiti lintah-lintah beracun, pikirnya karena dia telah memperoleh keterangan mengenai tempat-tempat berbahaya itu dan dia bergidik membayangkan betapa tubuh telanjang itu diserang oleh ratusan ekor lintah.

Wanita-wanita itu makin hebat meronta-ronta. Ketakutan dan kengerian yang amat hebat terlukis pada wajah mereka dan mulai ada yang kehilangan suaranya, karena perlahan-lahan, kepalanya mulai terbenam pula, hanya kedua tangan mereka yang menegang dan mencengkeram.

Tentu saja pemandangan ini membuat kawan-kawan wanita itu menjadi makin ketakutan. Suara jeritan-jeritan itu makin berkurang dan akhirnya, wanita terakhir yang melihat betapa semua temannya lenyap dan merasakan seluruh tubuhnya bagaikan ditusuki jarum dan dibakar, tiba-tiba malah tertawa bergelak. Melihat wajah yang cantik itu tertawa seperti itu, dengan matanya yang menjadi liar, Si Kwi bergidik dan maklumlah dia bahwa wanita itu menjadi gila saking takutnya!

Sambil tertawa-tawa laki-laki yang dalam pertaruhan memilih wanita ini, sibuk menerima uang pembayaran dari kawan-kawannya dan suara ketawa menyeramkan dari wanita itu pun lenyap ketika mulutnya mulai terbenam, hanya kelihatan matanya saja yang masih liar melirik ke kanan kiri dan akhirnya pemandangan yang mengerikan ini pun lenyap.

Tidak ada bekasnya lagi dari dua belas orang wanita itu dan rumput-rumput di situ tetap hijau segar seakan-akan mendapat rabuk dari mayat dua belas orang wanita itu. Si Kwi bergidik dan dia lalu keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan dengan tenang tanpa mempedulikan lima belas orang itu.

"Heiii... masih ada satu lagi...!" Tiba-tiba Si mata merah berteriak dan mereka semua lalu berloncatan mengejar dan mengurung Si Kwi.

"Ah, bukan! Dia bukan teman mereka."

"Dia ini masih muda. Hemm, manisnya!"

Bermacam-macam komentar mereka sambil mengepung Si Kwi dan menilai-nilai, seperti sekumpulan serigala mengepung seekor domba gemuk, akan tetapi tidak menyerangnya karena mereka masih kekenyangan oleh pesta semalam! Selain itu, juga karena mereka menduga bahwa gadis ini bukanlah teman dari orang-orang Giok-hong-pang.

Mereka tidak mau lancang bertindak sembarangan. Apa bila tadi malam mereka berani memperebutkan dan mempermainkan wanita-wanita itu adalah karena telah mendapat ijin dari majikan mereka! Kini mereka menghadapi Si Kwi sebagai seorang baru, seorang musuh baru yang berani memasuki wilayah Padang Bangkai tanpa ijin.

"Hei, nona! Siapa engkau?" tanya si mata merah yang agaknya selalu menjadi pemimpin di antara anak buah Padang Bangkai itu.

Si Kwi memandang mereka dengan sinar mata jijik dan tidak suka. "Siapa adanya aku tak ada sangkut-pautnya dengan kalian manusia-manusia iblis!" jawabnya.

Mereka membelalakkan mata, saling pandang dan tertawa.

“Ha-ha-ha, si manis ini galak sekali!"

"Tunggu aku menjinakkan dia!"

"Tangkap saja dulu dan laporkan ke dalam!"

"Biar aku yang menangkap, akan kuhukum dia dengan satu kali ciuman!"

Si mata merah menjadi curiga ketika melihat sikap Si Kwi begitu menantang, maka dia mengangkat tangannya. Semua temannya diam dan si mata merah kini melangkah maju menghadapi Si Kwi.

"Nona, engkau sudah memasuki wilayah kami, maka harus mengaku siapa namamu dan mau apa engkau melanggar wilayah kami."

"Minggirlah kalian! Aku hendak bertemu dengan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li!" kata Si Kwi.

"Wah-wah, bocah ini kurang ajar sekali!" terdengar teriakan, dan mereka kini mengurung makin rapat.

"Tunggu...! Biarlah kita coba dulu sampai di mana kelihaiannya maka dia ingin bertemu dengan twako dan toanio tanpa mengindahkan kita sama sekali."

"Biarlah aku mencobanya!"

"Aku saja!"

"Biar kutangkap dia untukmu!"

Mereka seperti berebut dan akhirnya, dua orang tinggi besar telah menubruk ke arah Si Kwi dari depan dan belakang, agaknya mereka itu sudah ingin sekali untuk menubruk, memeluk dan mendekap gadis manis itu untuk menangkapnya.

Akan tetapi, Liong Si Kwi memang sudah bersiap-siap untuk ini dan kebetulan sekali, dia sekarang dapat melampiaskan kebenciannya kepada laki-laki yang dianggapnya sebagai manusia-manusia iblis ini. Begitu melihat ada dua orang menyergap dari depan belakang, dia segera mengubah kedudukan kakinya dengan memiringkan tubuh sehingga mereka berdua itu kini bukan menyergap dari depan belakang, melainkan dari kanan kiri. Kedua tangannya lalu bergerak secepat kilat, dengan dua jari tangan kanan kiri dia mendahului mereka, menotok ke arah ulu hati mereka.

"Hukkk! Hukkk!"

Dua orang laki-laki tinggi besar itu terkejut dan napas mereka seolah-olah terhenti. Pada saat itu pula, kedua tangan Si Kwi sudah menangkap rambut mereka dengan jambakan kuat dan sekali dara itu membentak dengan suara nyaring sekali, tubuh mereka sudah terlempar ke arah rumput hijau!

"Bresss…! Bresss…!"

Karena mereka tidak berdaya dan tubuh mereka yang berat terbanting, maka seketika mereka telah amblas ke dalam lumpur maut itu sampai ke dada!

"Tolonggg...! Tolooonggg...!" Mereka berteriak dengan mata terbelalak ketakutan. Karena mereka sudah mengenal tempat maut ini, mereka sama sekali tak berani bergerak, hanya mata mereka yang terbelalak dan melirik ke sana-sini.

Tentu saja teman-temannya menjadi sangat terkejut dan cepat mereka itu mengeluarkan tali panjang, lantas melontarkan ujung-ujung tali ke arah mereka, dan tiga belas orang itu segera mengerahkan tenaga untuk menarik keluar dua orang teman yang sial itu.

"Aduhhh... aduhhh... cepat... mereka mengeroyokku, perempuan-perempuan itu...!" yang seorang berteriak-teriak ketakutan, tubuhnya yang terbenam itu terasa seolah-olah dicubiti dan digigiti oleh wanita-wanita Giok-hong-pang yang menjadi korban keganasan mereka tadi.

"Auwwww... aduhhh... mati aku...!" Orang kedua tiba-tiba menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.

Akhirnya, dengan susah payah mereka dapat menarik dua orang itu ke tempat aman. Cepat mereka membersihkan lintah-lintah beracun yang menempel di tubuh mereka dan memberi obat penawarnya. Dan mereka langsung tertawa geli ketika melihat bahwa yang mengaduh-aduh dan sambat mati tadi ternyata sudah ditempeli seekor lintah besar pada anggota rahasianya!

"Ehh, mana dia?"

"Iblis betina itu telah pergi!"

"Itu lihat...! Dia menuju ke sarang kita!"

"Kejar...!"

Tiga belas orang itu meninggalkan dua orang teman mereka yang sudah terhindar dari bahaya maut untuk mengejar bayangan Si Kwi yang telah berlari cepat memasuki padang alang-alang yang sudah dikenalnya dari petunjuk gurunya pula. Memang jalan kecil yang datang dari utara Padang Bangkai tidaklah begitu ruwet dan berbahaya, kecuali melalui satu padang rumput hijau yang merupakan tempat maut itu dan sedikit pada alang-alang yang tidak begitu luas dan tidak ada mengandung jebakan-jebakan yang mengerikan.

Yang berbahaya adalah jalan yang ditempuh oleh rombongan Giok-hong-pang kemarin, yaitu dari selatan. Tapi jalan ini pun sudah diketahui oleh Si Kwi karena memang gurunya sudah mengenal daerah berbahaya ini dan telah menceritakan kepada muridnya.

********************

Pagi hari itu, Ang-bin Ciu-kwi sedang duduk di beranda depan bersama isterinya. Sepagi itu dia sudah minum arak dan Bhe Kiat Bwee yang setengah telanjang itu masih belum dilepaskannya. Wanita yang belum sadar benar karena terus dilolohi arak dan racun itu dipangkunya dan dibelainya. Seperti orang gila, Kiat Bwee terkekeh dan melayani belaian Ang-bin Ciu-kwi, ada pun Coa-tok Sian-li melihat dengan muka membayangkan kejemuan hatinya.

Tiba-tiba mereka melihat Si Kwi yang berlari cepat mendatangi dari jauh dikejar oleh anak buah mereka. Dengan tenang saja kedua orang ini memandang, malah Ang-bin Ciu-kwi masih memangku dan merangkul pinggang Kiat Bwee ketika Si Kwi tiba di depan mereka.

Gadis itu memandang dengan alis berkerut. Suami isteri itu tentu lupa lagi kepadanya, dan walau pun dia pernah melihat suami isteri ini, akan tetapi hanya sebentar saja tanpa diperkenalkan, yaitu ketika suami isteri ini datang menghadap Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko di Lembah Naga.

Sesudah tadi menyaksikan kebuasan para anak buah Padang Bangkai yang membunuh wanita-wanita itu, dan kini melihat Ang-bin Ciu-kwi memangku seorang wanita setengah telanjang pula dan mempermainkannya, hati Si Kwi menjadi muak dan panas sehingga sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Twako! Twako...! Dia sudah menyerang kami! Ditanya nama tidak mengaku malah dia melemparkan dua teman kita ke rumput maut!" dari jauh si mata merah sudah berteriak-teriak.

"Ahhhh?!" Ang-bin Ciu-kwi terkejut dan marah. Dia bangkit berdiri dan didorongnya Kiat Bwee ke samping sampai wanita ini roboh. Akan tetapi Kiat Bwee tidak marah, bahkan tersenyum-senyum dengan genitnya! Wanita ini telah menjadi setengah gila akibat minum obat bius.

"Hemm, kau bocah sombong, patut diberi hajaran!" Ang-bin Ciu-kwi yang sudah menjadi marah mendengar teriakan anak buahnya itu, segera menubruk dan dalam tubrukan ini, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Si Kwi sedangkan tangan kirinya yang memegang guci arak itu mendorongkan gucinya ke arah dada gadis itu dalam pukulan yang dahsyat!
Selanjutnya,