Dewi Maut Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 22
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GADIS berwajah cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari dua puluh batang lebih.

Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup untuk menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu. Walau pun suara tangisnya amat lirih, namun guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk.

Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan dengan Cia Bun Houw sebab menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu.

Biar pun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biar pun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biar pun dia diperlakukan dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang ‘sahabat baik’ dari Cia Bun Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau ibu Bun Houw!

Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas ketika mendengar bahwa puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai untuk menjadi isteri puteranya, menjadi mantunya!

Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka, bardasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian mau pun harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai serta paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab!

Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pegunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia!

Diam-diam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang sudah tergelincir sehingga kini dia menghadapi mala petaka, menghadapi aib besar dan mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai serta isterinya! Semua yang dialaminya selama empat lima bulan dia tinggal di Cin-ling-san, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.

Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia sudah tinggal hampir tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw, selalu menanti-nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang manis, bahkan kadang kala dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu para pelayan.

Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka mertuanya, yang diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam dari pada budak belian.

Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya, yaitu Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidupnya sederhana, perbedaan ini masih tidak nampak benar.

Akan tetapi sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itu pun rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.

Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena kebodohannya saat diajar menulis membaca oleh seorang pelayan, Yalima lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu terhadap ayah bundanya, akan tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andai kata dia nekat pulang juga, tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!

Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba saja terdengar teguran halus, "Yalima, mengapa engkau menangis seorang diri di sini?"

Yalima terkejut sekali, akan tetapi pada waktu dia mengangkat muka memandang dan mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis semakin sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.

Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal.

Bun Houw pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun yang segar dan murni itu, lebih pantas jika menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, kini sudah berusia dua puluh lima tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlampau tampan, juga tidak buruk, sedang-sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat kegagahan.

"Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu, Yalima."

Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima cepat mengangkat muka memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. "Tidak ada apa-apa, kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan aku rindu kampung halamanku..."

"Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini, dan mendiang ayahku dahulu pun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kau sebut saja kakak kepadaku."

"Terima kasih, Kwee-koko." Mendengar kata-kata yang halus serta sikap yang ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum sedikit sungguh pun kedua pipinya masih basah air mata.

Melihat wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya apa bila tergigit sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan hatinya penuh keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya sapu tangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata itu, kemudian sapu tangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata,

"Nih, kau keringkanlah mata dan hidungmu."

Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima sapu tangan itu, menyusuti air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai sapu tangan itu menjadi basah semua! Dia akan mengembalikan sapu tangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong menerimanya, dia menarik kembali sapu tangan itu sambil berkata,

"Akan kucuci lebih dulu, kongcu... ehh, koko, besok setelah bersih baru kukembalikan."

"Tidak usah...," Kwee Tiong menarik sapu tangannya akan tetapi tetap dipertahankan oleh Yalima.

"Sapu tanganmu kotor, koko..."

"Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas-bekas air matamu, Yalima."

Merah seluruh muka dara itu, kemudian dengan tangan gemetar dia melepaskan sapu tangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium sapu tangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.

"Kwee... koko... mengapa kau lakukan itu...?" Yalima bertanya, hatinya tergetar keras.

"Mengapa? Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian."

"Kwee-koko...! Apa artinya ini?" Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!

"Artinya? Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu..." Kwee Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh kedukaan.

Wanita juga adalah seorang manusia biasa, terdiri dari darah dan daging, dengan hati dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw tidak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun Houw.

Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi karena di perkampungannya dia melihat pemuda-pemuda Tibet tiada yang segagah Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol dan sekaligus memikat hatinya.

Sekarang, di Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa. Biar pun tak mudah mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-galanya!

Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang telah menjadi naluri wanita dan segala jenis makhluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk menambah daya tariknya terhadap golongan jantan, dan akan banggalah hatinya bila mana golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.

Wanita haus akan pujian pria, dan hal ini sangat wajar sungguh pun kaum wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji, walau pun di dalam hatinya, pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya.


Demikian pula Yalima. Apa lagi dia, seorang dara remaja yang sedang menanjak dewasa, bagaikan bunga yang sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan.

Yalima sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apa lagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita.

Tidak disuka berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, terlebih lagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan ‘kosong’ seperti itu, muncullah Kwee Tiong di dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, menjadi curahan hujan bagi pohon yang sedang kehausan!

Pada mulanya hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Hati Yalima mulai bergembira karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau.

Ternyata Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah pertahanan Yalima, runtuh pula sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh keadaan lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya, getaran sayang Kwee Tiong terasa benar oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang.

Kwee Tiong maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta birahi belaka, pemuda ini berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima akhirnya runtuh, lalu menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang menggelora.

Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan supaya Yalima menjadi isterinya!

Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tidak mengenal mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, sebab nafsu birahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar semakin membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima.

Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning, membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali terdapat kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka sudah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangan, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu birahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua.

Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu kelainan di dalam tubuhnya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang bodoh ini akan perubahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya kekasihnya, dia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia telah mengandung!

Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima. Betapa banyak gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu birahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka lagi, betapa banyak akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!

Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka itu? Siapakah yang bersalah apa bila terjadi hal seperti itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Ataukah keadaan? Pergaulan? Pendidikan?

Tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan tahun ini, salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang sudah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku.

Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa agar menyesuaikan diri kita dengan contoh-contoh dan pola-pola yang sudah dibangun oleh ‘peradaban’ sejak ribuan tahun. Peradaban yang sebenarnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya!

Kesopanan dipandang dari pakaian serta sikap yang sesungguhnya pun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditakar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!

Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar bila mana dilakukan sesudah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu.

Meski pun telah disyahkan oleh hukum pernikahan, meski pun telah disebut suami isteri oleh umum, apa bila hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi saja, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka ‘pertolongan’ macam itu pun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.

Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya ingin mengajak pembaca untuk membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup ini, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang muda mau pun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri ini akan mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar!

Kita tidak berhak membenarkan atau pun menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan!

"Yalima...!"

Yalima terkejut sekali karena lamunannya yang amat jauh tadi membuat dia seolah-olah melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di dalam hatinya untuk terjun dari angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari siksa batin yang amat menakutkan itu.

"Koko...!" Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan.

"Tenanglah, Yalima. Apa yang terjadi? Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu guru) lagi?"

"Tidak... tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko..."

"Eh, ehh, celaka bagaimana? Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu, selalu akan menjaga dan melindungimu, Yalima."

"Koko... aku... telah mengandung..."

"Heiiiiiii...!" Kwee Tiong kaget bukan main, matanya terbelalak dan wajahnya pucat, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul Yalima, memeluk pinggangnya dan mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil tertawa-tawa gembira!

"Ehh, ehh, turunkan aku...!" Yalima menjerit dan sesudah dia diturunkan, dia memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang. "Koko, apakah engkau sudah gila? Bagaimana engkau bisa bergembira seperti itu mendengar bahwa aku telah mengandung? Kita berdua, atau setidaknya aku tentu akan celaka..."

"Tentu saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa pula yang akan mencelakakan kita?"

"Cia-loya dan nyonya..."

"Hushh! Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula isterinya. Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada mereka, dan aku pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita berdua dipersalahkan!"

Yalima menyandarkan mukanya pada dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur akan tetapi tetap saja dia merasa menyesaL "Ahhh, koko, mengapa kita melakukan hal itu? Sekarang kita tertimpa aib dan malu..."

"Memang itu kusengaja, kekasihku. Aku sendiri pun tahu bahwa perbuatan kita itu tidak benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku terlalu cinta kepadamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain, maka aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, sekarang aku yang akan menanggung. Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat kerjamu, bekerja saja seperti biasa dan jangan takut." Kwee Tiong mencium mulut kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah.

Yalima terisak dan dia lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya masih terasa tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa dia telah melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya, bukan hanya takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan semua orang sehingga dia akan merasa malu dan rendah.

Bagaimana jika Bun Houw pulang, dan tahu akan hal ini? Dia sudah tidak mengharapkan diri Bun Houw lagi, akan tetapi betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas pemuda pujaan hatinya itu.

Memang demikianlah, derita batin yang menimpa diri seseorang sungguh tidak sepadan dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang betul bahwa senang itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang telah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran belaka.

Pikiran yang mengingat-ingat segala kesenangan seakan-akan mengunyah-ngunyahnya sehingga menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang sudah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan pengertian akan kepalsuan inilah yang kemudian akan menjadi pengubah dari seluruh jalan hidupnya.


Wajah Cia Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia mendengar laporan Kwee Tiong yang dengan terus terang menyatakan bahwa dia bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima telah mengandung!

"Keparat tidak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!" Cia Keng Hong membentak dan tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi secepat kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya.

"Tenanglah, dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong, kau sudah mengakui kesalahanmu?"

"Sudah, teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam hukuman, hanya hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang membujuknya," jawab Kwee Tiong dengan suara tegas dan sikap tenang.

"Dan kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?"

"Teecu siap, biar dihukum mati pun teecu akan menerimanya."

"Kalau begitu, kau tunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami keluar lagi." Nenek Sie Biauw Eng kemudian menggandeng tangan suaminya dan diajaknya masuk ke dalam.

Setibanya di ruangan dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya. "Bedebah! Berani dia main gila seperti itu? Dan gadis itu adalah kekasih Houw-ji!"

"Aihh, mengapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku? Apa bila Yalima mencinta Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas bahwa gadis Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong."

"Hemm, apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib kepada Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?"

"Mereka memang bersalah, akan tetapi apakah dalam hal ini kita juga tidak bersalah? Kita kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat seperti itu. Lupakah engkau bahwa apa bila ada anak yang menyeleweng, maka orang tuanya yang bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang memperhatikan? Dan karena Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang menjadi wakil orang tuanya."

Keng Hong meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang pada pengalaman dirinya sendiri ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang wanita sehingga dia pun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah.

"Hemm... habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?"

"Mereka sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa dicegah dan diperbaiki lagi, paling-paling kita dapat merusaknya. Akan tetapi apa gunanya kalau hubungan itu dirusak? Lebih baik disempurnakan, dan mereka dinikahkan. Bukankah itu jalan terbaik?"

Keng Hong mengangguk-angguk. "Hemmm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee Tiong. Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas perbuatannya."

"Jangan, suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan bagi diri anak kita..."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Bayangkan saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun Houw? Untung bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang ternyata adalah seorang dara yang sangat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan godaan nafsu dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan kehormatannya biar pun kepada pria yang dicintanya."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Baiklah, namun aku tetap akan mencobanya, apakah dia benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima sebagai isterinya. Hayo kita keluar."

Kwee Tiong masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu keluar.

"Kwee Tiong...!"

Suara Cia Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan kemarahannya.

"Suhu...!"

"Kau panggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!"

"Ba... baik, suhu... harap suhu dan subo suka mengampuni dia..." Kwee Tiong lalu pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng tangan Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di depan suami isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran dan mukanya pucat sekali.

"Yalima, benarkah engkau sudah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong ini?" Biauw Eng bertanya, suaranya halus.

Yalima terisak-isak dan mengangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak berani mengangkat mukanya.

"Dan kau merasa bersalah?"

Kembali Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya semakin hebat. Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi? Akan habislah semua derita, semua rasa malu ini!

Biauw Eng memberi isyarat kepada suaminya, dan Cia Keng Hong lalu membentak Kwee Tiong, "Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?!"

"Kalau tidak, mana teeeu berani berbuat itu dengan dia? Teecu mencintanya lahir batin."

"Kau berani berkorban nyawa untuknya?"

"Teecu berani dan siap!"

"Nah, karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau harus mengorbankan lengan kananmu untuk Yalima!"

"Tidak...! Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... tapi jangan hukum Kwee-koko... karena hamba yang bersalah..." Tiba-tiba Yalima menangis dan menubruk Kwee Tiong.

Nenek dan kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata mereka.

"Kwee Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?!" bentak Cia Keng Hong.

"Yalima, kau minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas kebaikan hati suhu!"

Kwee Tiong mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian dia meloncat ke belakang, cepat sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu menyabetkan pedang itu ke arah pangkal lengan kanannya. Yalima menjerit.

"Trangggg...!"

Pedang itu terlepas dan terjatuh dari tangan kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai tadi telah menggerakkan tangannya sehingga angin pukulan dahsyat membuat pedang itu terlepas dan terjatuh.

Kwee Tiong menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, apa artinya ini...?" tanyanya.

"Kami hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan kalian, bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi, melihat keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan dengan sederhana saja."

"Suhu...! Subo...! Terima kasih banyak...!" Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya.

"Sudahlah... sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk pernikahan itu..." kata Sie Biauw Eng.

Sesudah suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit, memondong tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan hati penuh rasa bahagia.

Beberapa hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara sangat sederhana hanya dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorang pun tamu dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini telah mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka, matinya Cap-it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang lagi dari Cap-it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie Seng.

Dua hari setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita ini hanya mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong dengan Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya mengenai matinya dua orang di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan.

Wajah Cia Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah bukan main. "Hemmm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biar pun telah tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!"

"Aku ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk itu!" Sie Biauw Eng berseru.

"Dalam keadaan segawat ini, tidak baik bila Cin-ling-pai ditinggalkan sama sekali. Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi mala petaka di sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-pai bersama Keng-ji, biar aku yang akan mencari mereka!"

Sie Biauw Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka meski pun hatinya penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Maka, untuk pertama kalinya sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, sekarang Pendekar Sakti Cia Keng Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu puteranya karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu telah menjadi musuh-musuhnya.

Giok Keng tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari Lie Seng yang lenyap terculik musuh. Ibunya tak dapat menahannya karena maklum betapa hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya puterinya itu selalu berhati-hati.

Dengan penuh keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi Lie Ciauw Si, puterinya yang baru sepuluh tahun usianya itu, yang menangis hendak turut dengan ibunya. Sesudah menghibur dan memberi nasehat dan pengertian kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai.

Di depan ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya, dia hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri karena dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia percaya bahwa Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu.

********************

Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Seorang bocah yang berusia delapan tahun tentu saja belum tahu apa-apa, apa lagi memegang tampuk pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka, ketika Kaisar Ceng Tung diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri.

Sebagai seorang kaisar yang pada saat itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak biasa. Dia hidup di lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan serta kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada ibu surinya.

Sesudah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang ‘maha kuasa’ di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yakni bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, beserta ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu.

Karena pandainya membujuk, maka pada akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Cin mempunyai beberapa orang kaki tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Cin inilah.

Secara teoritis, Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan segala macam hal, karena apa pun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasehat Wang Cin. Bahkan hampir semua urusan yang melewati tangan kaisar, tanpa diperiksa lebih dahulu oleh kaisar ini, terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan dan kaisar hanya tinggal menanda tangani dan memberi cap saja!

Betapa pun juga, sejak kanak-kanak Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat seperti Wang Cin untuk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis saja. Tidak, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik untuk urusan sebesar ini.

Melihat betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu mempergunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin sudah mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun.

Pada waktu itu, meski pun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan demikian cermatnya dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik hingga Azisha menjadi seorang dara yang selain cantik jelita, akan tetapi juga ahli dalam segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!

Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakan tentang Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, juga menceritakan segala kecabulan yang dapat membangkitkan birahi, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam pelukan Azisha yang biar pun masih seorang perawan, akan tetapi sejak kecil sudah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!

Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik jelita. Karena itu kepercayaannya terhadap Wang Cin makin bertambah, tentu saja atas bujukan Azisha, sehingga di tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan semua kekuasaan kepada Wang Cin!

Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah serta mengatur pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Ada pun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan birahi.

Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di dalam istana ini. Mereka amat khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Kaisar Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita yang sangat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! Mereka ini khawatir sekali kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan dan pengaruh Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri beserta keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol!

Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia menganggap dirinya sebagai ‘darah’ keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan kini diam-diam dia merencanakan supaya dialah yang membangkitkan kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw!

Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon untuk menghadap kaisar muda itu supaya kembali memegang sendiri urusan kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi, semua peringatan ini tidak ada gunanya. Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek!

Hanya baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur pemerintahan dan juga sangat setia kepadanya. Tentu saja para pembesar itu hanya mampu menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya akan kata-kata junjungan mereka yang mereka cinta itu.

Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan bersikap cukup ‘adil’ mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasehat mereka. Sikap ini membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam kemudian menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.

Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya, kecuali hanya kalau Azisha sedang berhalangan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai tujuh tahun lamanya, walau pun dia sudah memanggil segala macam ahli obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biar pun Azisha berhasil melayani kaisar selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang juga seperti dia memiliki darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh seorang putera dari kaisar supaya dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol, kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya!

Tetapi si tolol Azisha, begitulah dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya tidak ‘becus’, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak! Karena itu, dia pun tetap menjadi seorang thaikam, betapa pun besar kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara lain supaya dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat diri menjadi kaisar!

Maka pada suatu hari, sesudah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan pembersihan atau pemeriksaan ke daerah perbatasan Mongolia.

"Kekuasaan Yang Mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di luar perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap menentang dan memberontak terhadap kedaulatan kerajaan Paduka. Untuk menunjukkan kebesaran Paduka, sebaiknya Paduka mengerahkan pasukan dan menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat-lihat kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota Huai-lai," demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.

"Hamba pun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia," kata Azisha dengan suara merdu dan sikap manja. "Bila Paduka berkenan menginjakkan kaki Paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba."

Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apa lagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak, sebaiknya diserahkan pada angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin terus membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang kalau diperlukan pandai pula mengucurkan air matanya, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya.

Diam-diam dia terkesan juga akan kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah peranakan bangsa Mongol, akan tetapi sekarang Wang Cin mengusulkan untuk membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin kepadanya.

"Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, maka tentu saja engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu, kami mengangkatmu di dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi dari pasukan kita."

Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh negara, tapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, kenapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apa lagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima yang tertinggi? Hal ini dianggap penghinaan bagi mereka sehingga hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar!

Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar, lalu mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun mempunyai kegagahan dan wibawa luar biasa dan sangat cerdik serta mahir dalam mengatur siasat perang. Yang kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal inilah yang melerai rekan-rekannya.

"Kita adalah prajurit-prajurit," kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. "Seorang prajurit tugasnya ialah mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita akan mengamat-amati saja dan membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang prajurit pembela kaisar yang setia dari pada hidup mulia sebagai pemberontak."

"Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) ini tidak meleset seujung rambut pun." terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. "Semenjak nenek moyang kami, semua merupakan prajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami."

Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat menjadi panglima tertinggi justru memilih para jenderal tua yang setia ini untuk membantu dia memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.

Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah sungguh pun gerak-geriknya seperti seorang wadam!

Wang Cin mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan juga Bouw Thaisu!

Sedangkan Hwa Hwa Cinjin bersama Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw ini, berangkat pula Go-bi Sin-kouw!

********************

Kita tinggalkan dahulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan, yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan marilah kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.

Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, yaitu di sepanjang tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, ada Suku Bangsa Mongol yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sebetulnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, biar pun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.

Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor singa dan dia betul-betul pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu.

Kepala suku ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis dari pada manusia!

Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, lelaki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang sangat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biar pun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo.

Akan tetapi orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, walau pun nyaris mati dan setelah mereka sembuh akan tetapi tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lantas bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka ini hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).

Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biar pun dia seorang berilmu tinggi dan pandai pula mengatur siasat perang, akan tetapi dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia menerima dengan baik.

Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apa lagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang semacam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan jika saja dia tak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa senang sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat!

Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia memiliki seorang isteri yang sangat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Akan tetapi, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapa pun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir.

Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, dan hanya karena terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya karena kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal ini pun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.

Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada saat itu sedang berkuasa sekali dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh tiga utusan Wang Cin, yakni tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah sebagai tempat menginap.

Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk sambil termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak saat dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk ‘diserahkan’ kepada Sabutai!

Sabutai adalah seorang yang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar semacam Wang Cin. Akan tetapi, dia pun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan berusaha menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat.

Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar bersama pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai. Kaisarnya beserta semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja lantas diam-diam akan mengatur dari dalam agar bisa membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja. Kemudian, sesudah berhasil merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak!

"Si keparat...!" Sabutai memaki di dalam hatinya. "Seorang pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?" Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai kemudian memerintahkan mereka supaya memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang sangat penting untuk dirundingkan.

Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang tadinya adalah bekas kepala-kepala suku yang kemudian ditaklukannya dan yang sekarang menjadi para pembantunya. Sesudah memerintahkan para pengawalnya supaya menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai kemudian mengajak para pembantunya untuk berunding serta mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu.

Akhirnya, ketika hampir pagi, mereka telah bersepakat akan menggunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tak sudi lagi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya sangat licik, curang dan berbahaya itu.

Pada keesokan harinya, sesudah menjamu ketiga orang utusan itu, Sabutai kemudian menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan kaisar serta pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu.

Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 22

Dewi Maut Jilid 22
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
GADIS berwajah cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari dua puluh batang lebih.

Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup untuk menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu. Walau pun suara tangisnya amat lirih, namun guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk.

Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan dengan Cia Bun Houw sebab menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu.

Biar pun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biar pun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biar pun dia diperlakukan dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang ‘sahabat baik’ dari Cia Bun Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau ibu Bun Houw!

Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas ketika mendengar bahwa puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai untuk menjadi isteri puteranya, menjadi mantunya!

Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka, bardasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian mau pun harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai serta paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab!

Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pegunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia!

Diam-diam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang sudah tergelincir sehingga kini dia menghadapi mala petaka, menghadapi aib besar dan mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai serta isterinya! Semua yang dialaminya selama empat lima bulan dia tinggal di Cin-ling-san, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.

Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia sudah tinggal hampir tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw, selalu menanti-nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang manis, bahkan kadang kala dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu para pelayan.

Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka mertuanya, yang diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam dari pada budak belian.

Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya, yaitu Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidupnya sederhana, perbedaan ini masih tidak nampak benar.

Akan tetapi sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itu pun rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.

Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena kebodohannya saat diajar menulis membaca oleh seorang pelayan, Yalima lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu terhadap ayah bundanya, akan tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andai kata dia nekat pulang juga, tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!

Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba saja terdengar teguran halus, "Yalima, mengapa engkau menangis seorang diri di sini?"

Yalima terkejut sekali, akan tetapi pada waktu dia mengangkat muka memandang dan mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis semakin sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.

Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal.

Bun Houw pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun yang segar dan murni itu, lebih pantas jika menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, kini sudah berusia dua puluh lima tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlampau tampan, juga tidak buruk, sedang-sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat kegagahan.

"Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu, Yalima."

Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima cepat mengangkat muka memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. "Tidak ada apa-apa, kongcu (tuan muda)... aku hanya... hanya tidak kerasan di sini... dan aku rindu kampung halamanku..."

"Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini, dan mendiang ayahku dahulu pun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kau sebut saja kakak kepadaku."

"Terima kasih, Kwee-koko." Mendengar kata-kata yang halus serta sikap yang ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum sedikit sungguh pun kedua pipinya masih basah air mata.

Melihat wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya apa bila tergigit sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan hatinya penuh keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya sapu tangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata itu, kemudian sapu tangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata,

"Nih, kau keringkanlah mata dan hidungmu."

Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima sapu tangan itu, menyusuti air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai sapu tangan itu menjadi basah semua! Dia akan mengembalikan sapu tangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong menerimanya, dia menarik kembali sapu tangan itu sambil berkata,

"Akan kucuci lebih dulu, kongcu... ehh, koko, besok setelah bersih baru kukembalikan."

"Tidak usah...," Kwee Tiong menarik sapu tangannya akan tetapi tetap dipertahankan oleh Yalima.

"Sapu tanganmu kotor, koko..."

"Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas-bekas air matamu, Yalima."

Merah seluruh muka dara itu, kemudian dengan tangan gemetar dia melepaskan sapu tangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium sapu tangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.

"Kwee... koko... mengapa kau lakukan itu...?" Yalima bertanya, hatinya tergetar keras.

"Mengapa? Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian."

"Kwee-koko...! Apa artinya ini?" Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!

"Artinya? Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu..." Kwee Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh kedukaan.

Wanita juga adalah seorang manusia biasa, terdiri dari darah dan daging, dengan hati dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw tidak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun Houw.

Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi karena di perkampungannya dia melihat pemuda-pemuda Tibet tiada yang segagah Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol dan sekaligus memikat hatinya.

Sekarang, di Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa. Biar pun tak mudah mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-galanya!

Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang telah menjadi naluri wanita dan segala jenis makhluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk menambah daya tariknya terhadap golongan jantan, dan akan banggalah hatinya bila mana golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.

Wanita haus akan pujian pria, dan hal ini sangat wajar sungguh pun kaum wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji, walau pun di dalam hatinya, pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya.


Demikian pula Yalima. Apa lagi dia, seorang dara remaja yang sedang menanjak dewasa, bagaikan bunga yang sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan.

Yalima sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apa lagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita.

Tidak disuka berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, terlebih lagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan ‘kosong’ seperti itu, muncullah Kwee Tiong di dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, menjadi curahan hujan bagi pohon yang sedang kehausan!

Pada mulanya hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Hati Yalima mulai bergembira karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau.

Ternyata Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah pertahanan Yalima, runtuh pula sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh keadaan lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya, getaran sayang Kwee Tiong terasa benar oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang.

Kwee Tiong maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta birahi belaka, pemuda ini berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima akhirnya runtuh, lalu menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang menggelora.

Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan supaya Yalima menjadi isterinya!

Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tidak mengenal mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, sebab nafsu birahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar semakin membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima.

Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning, membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali terdapat kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka sudah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangan, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu birahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua.

Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu kelainan di dalam tubuhnya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang bodoh ini akan perubahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya kekasihnya, dia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia telah mengandung!

Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima. Betapa banyak gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu birahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka lagi, betapa banyak akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!

Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka itu? Siapakah yang bersalah apa bila terjadi hal seperti itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Ataukah keadaan? Pergaulan? Pendidikan?

Tidak ada gunanya menyalahkan siapa pun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan tahun ini, salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang sudah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku.

Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa agar menyesuaikan diri kita dengan contoh-contoh dan pola-pola yang sudah dibangun oleh ‘peradaban’ sejak ribuan tahun. Peradaban yang sebenarnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya!

Kesopanan dipandang dari pakaian serta sikap yang sesungguhnya pun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditakar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!

Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar bila mana dilakukan sesudah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu.

Meski pun telah disyahkan oleh hukum pernikahan, meski pun telah disebut suami isteri oleh umum, apa bila hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi saja, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka ‘pertolongan’ macam itu pun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.

Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya ingin mengajak pembaca untuk membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup ini, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang muda mau pun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri ini akan mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar!

Kita tidak berhak membenarkan atau pun menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan!

"Yalima...!"

Yalima terkejut sekali karena lamunannya yang amat jauh tadi membuat dia seolah-olah melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di dalam hatinya untuk terjun dari angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari siksa batin yang amat menakutkan itu.

"Koko...!" Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan.

"Tenanglah, Yalima. Apa yang terjadi? Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu guru) lagi?"

"Tidak... tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko..."

"Eh, ehh, celaka bagaimana? Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu, selalu akan menjaga dan melindungimu, Yalima."

"Koko... aku... telah mengandung..."

"Heiiiiiii...!" Kwee Tiong kaget bukan main, matanya terbelalak dan wajahnya pucat, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul Yalima, memeluk pinggangnya dan mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil tertawa-tawa gembira!

"Ehh, ehh, turunkan aku...!" Yalima menjerit dan sesudah dia diturunkan, dia memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang. "Koko, apakah engkau sudah gila? Bagaimana engkau bisa bergembira seperti itu mendengar bahwa aku telah mengandung? Kita berdua, atau setidaknya aku tentu akan celaka..."

"Tentu saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa pula yang akan mencelakakan kita?"

"Cia-loya dan nyonya..."

"Hushh! Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula isterinya. Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada mereka, dan aku pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita berdua dipersalahkan!"

Yalima menyandarkan mukanya pada dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur akan tetapi tetap saja dia merasa menyesaL "Ahhh, koko, mengapa kita melakukan hal itu? Sekarang kita tertimpa aib dan malu..."

"Memang itu kusengaja, kekasihku. Aku sendiri pun tahu bahwa perbuatan kita itu tidak benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku terlalu cinta kepadamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain, maka aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, sekarang aku yang akan menanggung. Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat kerjamu, bekerja saja seperti biasa dan jangan takut." Kwee Tiong mencium mulut kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah.

Yalima terisak dan dia lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya masih terasa tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa dia telah melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya, bukan hanya takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan semua orang sehingga dia akan merasa malu dan rendah.

Bagaimana jika Bun Houw pulang, dan tahu akan hal ini? Dia sudah tidak mengharapkan diri Bun Houw lagi, akan tetapi betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas pemuda pujaan hatinya itu.

Memang demikianlah, derita batin yang menimpa diri seseorang sungguh tidak sepadan dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang betul bahwa senang itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang telah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran belaka.

Pikiran yang mengingat-ingat segala kesenangan seakan-akan mengunyah-ngunyahnya sehingga menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang sudah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan pengertian akan kepalsuan inilah yang kemudian akan menjadi pengubah dari seluruh jalan hidupnya.


Wajah Cia Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia mendengar laporan Kwee Tiong yang dengan terus terang menyatakan bahwa dia bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima telah mengandung!

"Keparat tidak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!" Cia Keng Hong membentak dan tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi secepat kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya.

"Tenanglah, dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong, kau sudah mengakui kesalahanmu?"

"Sudah, teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam hukuman, hanya hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang membujuknya," jawab Kwee Tiong dengan suara tegas dan sikap tenang.

"Dan kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?"

"Teecu siap, biar dihukum mati pun teecu akan menerimanya."

"Kalau begitu, kau tunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami keluar lagi." Nenek Sie Biauw Eng kemudian menggandeng tangan suaminya dan diajaknya masuk ke dalam.

Setibanya di ruangan dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya. "Bedebah! Berani dia main gila seperti itu? Dan gadis itu adalah kekasih Houw-ji!"

"Aihh, mengapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku? Apa bila Yalima mencinta Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas bahwa gadis Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong."

"Hemm, apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib kepada Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?"

"Mereka memang bersalah, akan tetapi apakah dalam hal ini kita juga tidak bersalah? Kita kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat seperti itu. Lupakah engkau bahwa apa bila ada anak yang menyeleweng, maka orang tuanya yang bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang memperhatikan? Dan karena Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang menjadi wakil orang tuanya."

Keng Hong meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang pada pengalaman dirinya sendiri ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang wanita sehingga dia pun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah.

"Hemm... habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?"

"Mereka sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa dicegah dan diperbaiki lagi, paling-paling kita dapat merusaknya. Akan tetapi apa gunanya kalau hubungan itu dirusak? Lebih baik disempurnakan, dan mereka dinikahkan. Bukankah itu jalan terbaik?"

Keng Hong mengangguk-angguk. "Hemmm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee Tiong. Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas perbuatannya."

"Jangan, suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan bagi diri anak kita..."

"Ehh, apa maksudmu?"

"Bayangkan saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun Houw? Untung bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang ternyata adalah seorang dara yang sangat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan godaan nafsu dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan kehormatannya biar pun kepada pria yang dicintanya."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Baiklah, namun aku tetap akan mencobanya, apakah dia benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima sebagai isterinya. Hayo kita keluar."

Kwee Tiong masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu keluar.

"Kwee Tiong...!"

Suara Cia Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan kemarahannya.

"Suhu...!"

"Kau panggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!"

"Ba... baik, suhu... harap suhu dan subo suka mengampuni dia..." Kwee Tiong lalu pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng tangan Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di depan suami isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran dan mukanya pucat sekali.

"Yalima, benarkah engkau sudah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong ini?" Biauw Eng bertanya, suaranya halus.

Yalima terisak-isak dan mengangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak berani mengangkat mukanya.

"Dan kau merasa bersalah?"

Kembali Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya semakin hebat. Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi? Akan habislah semua derita, semua rasa malu ini!

Biauw Eng memberi isyarat kepada suaminya, dan Cia Keng Hong lalu membentak Kwee Tiong, "Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?!"

"Kalau tidak, mana teeeu berani berbuat itu dengan dia? Teecu mencintanya lahir batin."

"Kau berani berkorban nyawa untuknya?"

"Teecu berani dan siap!"

"Nah, karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau harus mengorbankan lengan kananmu untuk Yalima!"

"Tidak...! Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... tapi jangan hukum Kwee-koko... karena hamba yang bersalah..." Tiba-tiba Yalima menangis dan menubruk Kwee Tiong.

Nenek dan kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata mereka.

"Kwee Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?!" bentak Cia Keng Hong.

"Yalima, kau minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas kebaikan hati suhu!"

Kwee Tiong mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian dia meloncat ke belakang, cepat sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu menyabetkan pedang itu ke arah pangkal lengan kanannya. Yalima menjerit.

"Trangggg...!"

Pedang itu terlepas dan terjatuh dari tangan kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai tadi telah menggerakkan tangannya sehingga angin pukulan dahsyat membuat pedang itu terlepas dan terjatuh.

Kwee Tiong menjatuhkan diri berlutut. "Suhu, apa artinya ini...?" tanyanya.

"Kami hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan kalian, bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi, melihat keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan dengan sederhana saja."

"Suhu...! Subo...! Terima kasih banyak...!" Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya.

"Sudahlah... sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk pernikahan itu..." kata Sie Biauw Eng.

Sesudah suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit, memondong tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan hati penuh rasa bahagia.

Beberapa hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara sangat sederhana hanya dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorang pun tamu dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini telah mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka, matinya Cap-it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang lagi dari Cap-it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie Seng.

Dua hari setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita ini hanya mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong dengan Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya mengenai matinya dua orang di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan.

Wajah Cia Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah bukan main. "Hemmm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biar pun telah tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!"

"Aku ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk itu!" Sie Biauw Eng berseru.

"Dalam keadaan segawat ini, tidak baik bila Cin-ling-pai ditinggalkan sama sekali. Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi mala petaka di sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-pai bersama Keng-ji, biar aku yang akan mencari mereka!"

Sie Biauw Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka meski pun hatinya penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Maka, untuk pertama kalinya sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, sekarang Pendekar Sakti Cia Keng Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu puteranya karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu telah menjadi musuh-musuhnya.

Giok Keng tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari Lie Seng yang lenyap terculik musuh. Ibunya tak dapat menahannya karena maklum betapa hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya puterinya itu selalu berhati-hati.

Dengan penuh keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi Lie Ciauw Si, puterinya yang baru sepuluh tahun usianya itu, yang menangis hendak turut dengan ibunya. Sesudah menghibur dan memberi nasehat dan pengertian kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai.

Di depan ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya, dia hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri karena dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia percaya bahwa Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu.

********************

Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Seorang bocah yang berusia delapan tahun tentu saja belum tahu apa-apa, apa lagi memegang tampuk pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka, ketika Kaisar Ceng Tung diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri.

Sebagai seorang kaisar yang pada saat itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak biasa. Dia hidup di lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan serta kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada ibu surinya.

Sesudah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang ‘maha kuasa’ di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yakni bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, beserta ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu.

Karena pandainya membujuk, maka pada akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Cin mempunyai beberapa orang kaki tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Cin inilah.

Secara teoritis, Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan segala macam hal, karena apa pun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasehat Wang Cin. Bahkan hampir semua urusan yang melewati tangan kaisar, tanpa diperiksa lebih dahulu oleh kaisar ini, terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan dan kaisar hanya tinggal menanda tangani dan memberi cap saja!

Betapa pun juga, sejak kanak-kanak Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat seperti Wang Cin untuk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis saja. Tidak, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik untuk urusan sebesar ini.

Melihat betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu mempergunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin sudah mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun.

Pada waktu itu, meski pun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan demikian cermatnya dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik hingga Azisha menjadi seorang dara yang selain cantik jelita, akan tetapi juga ahli dalam segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!

Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakan tentang Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, juga menceritakan segala kecabulan yang dapat membangkitkan birahi, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam pelukan Azisha yang biar pun masih seorang perawan, akan tetapi sejak kecil sudah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!

Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik jelita. Karena itu kepercayaannya terhadap Wang Cin makin bertambah, tentu saja atas bujukan Azisha, sehingga di tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan semua kekuasaan kepada Wang Cin!

Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah serta mengatur pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Ada pun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan birahi.

Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di dalam istana ini. Mereka amat khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Kaisar Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita yang sangat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! Mereka ini khawatir sekali kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan dan pengaruh Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri beserta keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol!

Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia menganggap dirinya sebagai ‘darah’ keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan kini diam-diam dia merencanakan supaya dialah yang membangkitkan kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw!

Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon untuk menghadap kaisar muda itu supaya kembali memegang sendiri urusan kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi, semua peringatan ini tidak ada gunanya. Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek!

Hanya baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur pemerintahan dan juga sangat setia kepadanya. Tentu saja para pembesar itu hanya mampu menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya akan kata-kata junjungan mereka yang mereka cinta itu.

Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan bersikap cukup ‘adil’ mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasehat mereka. Sikap ini membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam kemudian menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.

Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya, kecuali hanya kalau Azisha sedang berhalangan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai tujuh tahun lamanya, walau pun dia sudah memanggil segala macam ahli obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biar pun Azisha berhasil melayani kaisar selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang juga seperti dia memiliki darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh seorang putera dari kaisar supaya dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol, kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya!

Tetapi si tolol Azisha, begitulah dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya tidak ‘becus’, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak! Karena itu, dia pun tetap menjadi seorang thaikam, betapa pun besar kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara lain supaya dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat diri menjadi kaisar!

Maka pada suatu hari, sesudah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan pembersihan atau pemeriksaan ke daerah perbatasan Mongolia.

"Kekuasaan Yang Mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di luar perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap menentang dan memberontak terhadap kedaulatan kerajaan Paduka. Untuk menunjukkan kebesaran Paduka, sebaiknya Paduka mengerahkan pasukan dan menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat-lihat kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota Huai-lai," demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.

"Hamba pun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia," kata Azisha dengan suara merdu dan sikap manja. "Bila Paduka berkenan menginjakkan kaki Paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba."

Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apa lagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak, sebaiknya diserahkan pada angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin terus membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang kalau diperlukan pandai pula mengucurkan air matanya, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya.

Diam-diam dia terkesan juga akan kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah peranakan bangsa Mongol, akan tetapi sekarang Wang Cin mengusulkan untuk membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin kepadanya.

"Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, maka tentu saja engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu, kami mengangkatmu di dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi dari pasukan kita."

Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh negara, tapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, kenapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apa lagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima yang tertinggi? Hal ini dianggap penghinaan bagi mereka sehingga hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar!

Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar, lalu mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun mempunyai kegagahan dan wibawa luar biasa dan sangat cerdik serta mahir dalam mengatur siasat perang. Yang kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal inilah yang melerai rekan-rekannya.

"Kita adalah prajurit-prajurit," kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. "Seorang prajurit tugasnya ialah mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita akan mengamat-amati saja dan membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang prajurit pembela kaisar yang setia dari pada hidup mulia sebagai pemberontak."

"Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) ini tidak meleset seujung rambut pun." terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. "Semenjak nenek moyang kami, semua merupakan prajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami."

Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat menjadi panglima tertinggi justru memilih para jenderal tua yang setia ini untuk membantu dia memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.

Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah sungguh pun gerak-geriknya seperti seorang wadam!

Wang Cin mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan juga Bouw Thaisu!

Sedangkan Hwa Hwa Cinjin bersama Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw ini, berangkat pula Go-bi Sin-kouw!

********************

Kita tinggalkan dahulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan, yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan marilah kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.

Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, yaitu di sepanjang tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, ada Suku Bangsa Mongol yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sebetulnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, biar pun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.

Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor singa dan dia betul-betul pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu.

Kepala suku ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis dari pada manusia!

Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, lelaki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang sangat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biar pun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo.

Akan tetapi orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, walau pun nyaris mati dan setelah mereka sembuh akan tetapi tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lantas bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka ini hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).

Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biar pun dia seorang berilmu tinggi dan pandai pula mengatur siasat perang, akan tetapi dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia menerima dengan baik.

Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apa lagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang semacam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan jika saja dia tak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa senang sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat!

Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia memiliki seorang isteri yang sangat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Akan tetapi, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapa pun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir.

Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sebenarnya tidak cinta kepadanya, dan hanya karena terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya karena kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal ini pun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.

Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada saat itu sedang berkuasa sekali dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh tiga utusan Wang Cin, yakni tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah sebagai tempat menginap.

Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk sambil termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak saat dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk ‘diserahkan’ kepada Sabutai!

Sabutai adalah seorang yang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar semacam Wang Cin. Akan tetapi, dia pun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan berusaha menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat.

Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar bersama pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai. Kaisarnya beserta semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja lantas diam-diam akan mengatur dari dalam agar bisa membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja. Kemudian, sesudah berhasil merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak!

"Si keparat...!" Sabutai memaki di dalam hatinya. "Seorang pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?" Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai kemudian memerintahkan mereka supaya memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang sangat penting untuk dirundingkan.

Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang tadinya adalah bekas kepala-kepala suku yang kemudian ditaklukannya dan yang sekarang menjadi para pembantunya. Sesudah memerintahkan para pengawalnya supaya menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai kemudian mengajak para pembantunya untuk berunding serta mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu.

Akhirnya, ketika hampir pagi, mereka telah bersepakat akan menggunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tak sudi lagi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya sangat licik, curang dan berbahaya itu.

Pada keesokan harinya, sesudah menjamu ketiga orang utusan itu, Sabutai kemudian menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan kaisar serta pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu.

Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin...
Selanjutnya,