Dewi Maut Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 23
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DI DAERAH padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda-kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena rumput di tempat itu sangat subur sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik.

Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka pada saat terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap pada malam itu.

Agaknya orang kedua itu pun telah ditinggalkan karena disangka sudah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang lalu bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam pada waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba saja muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka telah tewas itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu.

Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu? Pada malam-malam berikutnya penjagaan dilakukan dengan ketat karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan pada malam hari.

Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, yaitu pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Maling-maling kuda yang hina!"

Muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah tetapi sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biar pun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus. Namun, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng segera jatuh tunggang langgang!

Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum bahwa kakek ini bukan merupakan anggota rombongan peternak atau pedagang kuda itu, namun seseorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar serta bersenjata golok besar yang sangat berat dan tajam, langsung menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.

"Singgg... singgg... wuuuutttt...!"

Tiga batang golok itu berdesing lantas menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seakan-akan tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan sepasang tangan dan kaki kirinya dan... sungguh luar biasa sekali.

Sukar diikuti pandang mata apa yang sudah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh lantas mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula!

Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri.

Semua gerakannya itu dilakukan dengan amat cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Terlebih lagi menangkap golok hanya dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa!

Melihat betapa hanya dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main terkejutnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga serentak telah meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi penyerang dari depan yang kena tendang lututnya, ketika bangkit berdiri kembali roboh terguling dan mengeluh.

Para anggota rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam telah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh salah seorang pemimpin para perampok bertopeng itu.

"Tahan, jangan bunuh dia!" Kakek itu berkata, suaranya halus akan tetapi penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang pada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang langsung memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh!

Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran itu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang, "Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?"

Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang, "Mereka sudah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?"

"Locianpwe, harap suka mengampuni saya," mendadak orang itu berkata dan membuka topengnya. Ternyata dia adalah seorang Han pula yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.

Kakek itu mengerutkan alisnya, tampaknya tak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!

"Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?" bentaknya.

"Maafkan... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah anggota pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami supaya mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami..."

"Ahhhh...!" Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. "Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apa lagi mencuri kuda kami."

"Maafkan kami, kawan...," orang itu berkata dengan muka merah, "kami telah bersalah... tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw..." Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.

"Lanjutkanlah ceritamu dan aku akan membebaskan engkau." Kakek itu berkata sambil matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.

"Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu..."

"Engkau sudah terlanjur berbicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu."

Dengan muka pucat ketakutan orang itu lalu berkata, "Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang hendak lewat di sana..."

"Hemmm...!" Kakek itu lalu mengangguk-angguk. "Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?"

"Hamba... saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan..."

"Tiga orang utusan itu, siapa namanya?" Kakek yang aneh itu mendesak terus.

"Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa..."

"Sudahlah, kau boleh pergi," kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

"Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!" Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju.

Kakek itu memandang tajam. "Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?"

"Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin bisa dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh pasukan Beng?"

"Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat."

Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya, "Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar ini?"

Kakek itu berkata sederhana, "Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan semenjak dahulu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo."

Yalu segera mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya. "Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat." Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut. "Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan semua teman-teman kami dan membantu locianpwe menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak."

Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, sesudah mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang dua di antaranya telah berhasil ditewaskan itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, kakek Cia Keng Hong lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam.

Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul. Dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali saat mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan bila musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal kaisar.

Karena itu, dia pun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Sekarang dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguh pun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.

Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya.

********************

Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sulit, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Semenjak permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak.

"Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?" demikianlah bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. "Hal itu hanya akan menimbulkan rasa ketidak senangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka."

Biar pun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha supaya rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apa lagi pada waktu itu musim panen belum tiba.

Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apa lagi yang sejak dewasa selalu dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terus terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanyalah merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa.

Di dalam perjalanan ini pun Kaisar Ceng Tung selalu berada di dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang kala ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati kaisar seakan-akan perjalanan itu merupakan tamasya yang sangat menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.

Setelah melalui perjalanan yang sangat lama dan sangat melelahkan bagi para anggota pasukan pengawal, akan tetapi amat menyenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan mengubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai apa yang selama ini dicita-citakannya, akhirnya sampailah rombongan itu di kaki Pegunungan Nan-kouw dan mereka pun berkemah di padang rumput untuk melewatkan malam itu di sana sambil memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat.

Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang ketika itu sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa serta Bouw Thaisu yang lihai.

Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing. Atas isyarat Wang Cin mereka lantas berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin lalu mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

"Wang-taijin, kami datang ingin mengajukan usul kepada taijin," Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.

"Hemmm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja akan kami sambut dengan gembira," jawab orang kebiri yang telah memperoleh kedudukan tinggi itu.

"Wang-taijin, kami semua sudah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari," kata Jenderal Kho Gwat Leng.

"Ahh, tidak mungkin!" Wang Cin berseru penasaran. "Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?"

"Wang-taijin," kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. "Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apa bila terdapat fihak musuh yang menghadang kita."

"Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Lagi pula, andai kata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?"

"Maaf, Wang-taijin," Jenderal Kho Gwat Leng yang sikapnya lebih halus itu lalu berkata. "Ucapan Tan-goanswe tadi benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andai kata ada musuh menghadang, kami telah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air."

Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggelengkan kepala, dia lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.

"Tidak, tidak! Hal itu tidak ada perlunya. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan sesudah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuas-puasnya. Apakah prajurit-prajurit Beng begitu lemahnya sehingga hanya mementingkan makan dan minum saja?"

Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendamprat thaikam itu, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.

"Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi jika sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan," kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa akan percuma saja berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini.

Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apa pun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, biar pun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekali pun!

Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapa pun juga Wang Cin sudah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!

Diam-diam para jenderal yang telah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang sudah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar para penyelidik menyusup ke depan untuk menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan. Pada keesokan harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka ini pun berada dalam keadaan luka-luka parah.

Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan pasukan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang sangat tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin agar mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

"Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke mana pun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu," Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suara nyaring. "Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan memakan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya."

"Aahhhh, laporan para pengecut itu kenapa mengecilkan hati goanswe? Jika cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justru di hadapan kehadiran sri baginda mereka berani mengacau, maka mereka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!" Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal.

Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan hendak mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.

Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar bersama selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringi oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya.

Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat hendak melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan bisa mendekati kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali.

Hal yang memang telah diduga-duga dan dikhawatirkan pun terjadilah. Menjelang tengah hari, pasukan Sabutai mulai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!

Akan tetapi, karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, serangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini sama sekali tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik sekali, dan Jenderal Kho Gwat Leng langsung memimpin sendiri pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya dan para pelayan kaisar. Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biar pun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya.

Perang terjadi dengan hebatnya. Berkat kemampuan delapan orang jenderal yang sangat mahir ilmu perang itu, walau pun jumlah musuh jauh lebih banyak, akan tetapi sesudah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu.

Bagaimana pun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak prajurit yang gugur mau pun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Apa bila mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang sekarang berjaga di tapal batas.

"Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh sudah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman karena kita berada dalam benteng." Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu.

"Wang-taijin, biar pun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya." Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. "Terutama sekali karena perbekalan kita telah menipis."

"Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, kenapa kita harus melarikan diri dan mundur ketakutan? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!" Wang Cin membantah.

Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju kota Huai-lai sehingga menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang amat curam, di mana kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.

Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang sangat berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh kemudian dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi amat panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu.

Delapan orang jenderal itu cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri kaisar serta selirnya untuk berlindung ke dalam kemah. Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar, menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang oleh dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat.

Betapa pun juga, para jenderal terus memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Sekarang pakaian perangnya sudah berubah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.

Tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan besar di fihak musuh yang menutup jalan keluar di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa telah datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa, yang menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini ikut membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.

Akan tetapi, meski pun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlampau banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka terpaksa mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang.

Akhirnya habislah anggota pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, yang terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi prajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang tadi masih mengamuk secara dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka semua itu sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa-sisa darah serta nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.

Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali, tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu.

Di dekat pintu tenda tampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin!

Ketika itu, delapan jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, akan tetapi di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan segera menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka!

Kaisar terkejut bukan main, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam ini berkata, "Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!"

Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh!

"Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!" Kaisar berseru dan membuang muka tak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu.

Kemudian, sesudah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang jumlahnya tidak seberapa banyak, Sabutai pun cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak tampak ketakutan lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan para pengawalnya.

Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main terhadap delapan orang jenderal itu, dan juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung, sedikit pun tak merasa takut dan biar pun telah menjadi tawanan, namun memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat dia diam-diam merasa tunduk!

Sabutai adalah orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, walau pun pada lahirnya dia mau dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum terhadap kaisar muda itu dan sebaliknya sangat benci kepada Wang Cin. Hanya karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu.

Akan tetapi dengan keras dia memerintahkan para pembantunya supaya melayani kaisar dengan baik dan tidak boleh ada seorang pun yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar muda ini beserta selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu.

Wang Cin terus berusaha membujuk kaisar untuk membuat serta menanda tangani surat kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai penggantinya. Akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh kaisar.

Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus! Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan sangat berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera.

Sabutai memang cerdik bukan kepalang. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat, hal ini saja telah cukup merupakan jaminan bahwa kelak andai kata cita-citanya menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar.

Maka dia melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, harus selalu di bawah pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan begitu leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.

********************

Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak asli dari Azisha. Sejak diumpankan kepada kaisar oleh Wang Cin, memang wanita ini hanya melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sesungguhnya sedikit pun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya!

Kini, kaisar yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagai ‘utusan Tuhan’ atau ‘putera Tuhan’, sudah kehilangan kedudukannya, kehilangan segala kebesarannya, bahkan sudah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan!

Dia mulai bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani pula menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, barulah kaisar terbuka matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik wajahnya, dan baru dia mengerti bahwa Azisha hanya merupakan ‘alat’ dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka dia pun tidak mempedulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca kitab-kitab yang disediakan oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian (semedhi).

Kaisar yang usianya masih sangat muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanya hubungan yang didasari oleh nafsu birahi saja dari fihaknya, sedangkan dari fihak Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin. Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak mempedulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki kamarnya, dia pun tidak peduli lagi.

Perhatian Azisha mulai tertuju kepada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng Tung yang muda dan halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa.

Akan tetapi, karena semenjak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi, dan kalau dia mulai mendekati Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ, bahkan orang yang memiliki cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah Mongol!

Seperti sudah diceritakan di depan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, yang baru berusia delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai sangat cinta kepada isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal dia amat mengharapkan seorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.

Betapa pun juga, agaknya Azisha tak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri ini mulai merasa khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguh pun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, tetapi Sabutai agaknya seperti tak terlalu mengacuhkan dirinya, bahkan desakannya untuk segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan ‘belum waktunya’ dan ‘belum cukup kuat’.

Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, supaya kaisar itu suka memberi surat kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang.

"Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya mau melakukan tindakan yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!"

Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Meski pun dia dianggap sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Untuk pulang kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan membuat dia celaka, tinggal di utara dia pun tidak dapat menguasai Sabutai!

Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya memiliki seorang isteri itu tentu tidak bahagia dengan isterinya yang cantik dan muda. Isterinya itu bersikap dingin dan tidak acuh kepada suaminya.

Karena itu dia melihat kesempatan baik untuk menggunakan kecantikan dan kepandaian Azisha yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka, mulailah dia bersama Azisha mengatur siasat untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha.

Pada suatu malam, pada saat Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia sudah dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah terlebih dulu disuap oleh Wang Cin! Apa lagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka!

Maka, sambil menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat dan bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai kemudian memasang telinga untuk mendengarkan kemesraan itu!

Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar suara Azisha yang merdu, seakan-akan sedang bertanya jawab dengan suara Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu birahi, seperti nafsu apa pun juga, adalah pikiran sendiri. Makanya, jangan suka ‘ngeres’.

Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang sudah atau akan menimpa diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah, semuanya datang karena pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang sudah atau akan kita alami. Segala macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal yang telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini.

Karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku.

Si aku adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain dari pada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!


Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para pengawal itu yang tidak berani terlampau dekat tidak dapat menangkap jelas sehingga mereka menjadi makin penasaran.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Pada saat para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata,

"Lempar mayat perempuan hina itu keluar!"

Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu sudah rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu terlihat mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali tak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang berwarna merah muda.

Agaknya tadi wanita muda itu menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya, tetapi dia sama sekali tak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan kemarahannya sehingga dalam kemarahannya orang yang gagah perkasa ini menampar kepala wanita itu hingga pecah dan tewas seketika!

Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang semenjak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan serta kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya.

Akan tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya mempunyai satu cita-cita saja, yaitu hendak membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar, merampas kembali tahta kerajaan dari Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikit pun dia tidak terpikat oleh wanita, apa lagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya.

Karena itu, melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apa lagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin sudah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang sangat dikaguminya karena kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut pula, sungguh pun kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik.

Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya. Maka dalam kemarahannya dia menampar, lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak sehingga tewaslah Azisha dengan kepala pecah.

Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia cepat berunding dengan para pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It beserta Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jeri juga atas pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai.

Di samping tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang rata-rata juga mempunyai kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu.

Tentu saja Sabutai bukan orang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, sebab dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah.

Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka terhadap kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi dia pun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan orang sisa prajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin sehingga merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu.

Setelah dalam amarahnya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya sudah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Karena itu dia pun sudah bersiap-siap.

Pada waktu Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya.

Si kakek bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang warnanya sama sekali berlawanan itu membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apa lagi karena nenek bermuka hitam hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar dikenali terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali.

Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan dan memamerkan kekuatan, dan dia pun tidak mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu.

Pada lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap dingin, akan tetapi dia tetap mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.

"Wang-taijin, perkenalkan. Kedua beliau ini adalah guru-guru saya, Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Suhu dan subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya ceritakan kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru)."

Wang Cin sebagai scorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia persilatan, maka tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja dia memandang rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang terlantar atau jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua.

Akan tetapi para pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan terutama sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah mendengar nama-nama mereka sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu cepat menjura dan berkata,

"Sudah lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh menyenangkan sekali hari ini dapat bertemu."

Nenek itu tidak mempedulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata agak menjuling ke arah Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu melirik ke arah Bouw Thaisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas membayangkan lidah asing.

"Bouw Thaisu meninggalkan tempatnya yang sunyi di pantai Po-hai dan muncul di dalam keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!"

Tiba-tiba terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek, "Dewi dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya, semua muncul di sini. Alangkah ramainya!" Jelas bahwa nenek itu menujukan kata-katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw.

Tentu saja Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biar pun tak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal mereka! Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa yang agak mendongkol karena kakek dan nenek itu seolah-olah tak peduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal biasa saja, kelas rendahan!

Akan tetapi tentu saja mereka pun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati mereka, apa lagi pada saat itu Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin, "Keperluan apakah yang membawa Wang-taijin datang kepada saya? Agaknya ada hal yang sangat penting untuk dibicarakan."

Wang Cin menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Sungguh pun hatinya panas karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang jenazahnya entah dibuang ke mana, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum ketika dia menjawab,

"Saya telah mendengar berita bahwa telah terjadi sesuatu antara paduka dengan Azisha. Karena dia adalah selir kaisar dan dia masih segolongan dengan kita, maka saya menjadi terkejut dan datang menghadap untuk minta penjelasan mengenai peristiwa itu."

Sabutai tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, "Tidak salah apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi."
Dengan pandang mata keras, tanpa kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin bertanya, "Kenapa?"

"Perempuan tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak senonoh. Dalam kemarahan saya melihat ketidak sopanannya dan usahanya untuk merayu, saya memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur."

Wang Cin menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas, "Saya tidak mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu." Pembesar thaikam ini tak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin. "Akan tetapi yang paling penting, mengapa membunuh dia yang dapat menjadi pembantu kita yang amat baik? Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang sudah menjadi tawanan, atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan menyerahkan kedudukannya kepada kita?"

Sabutai menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali. "Wang-taijin! Harap taijin ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang berkuasa. Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja hendak merayu saya, maka saya bunuh dia. Ada pun kaisar yang muda itu, saya kagum sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya langsung saja membunuh perempuan tak tahu malu itu tanpa bertanya siapa yang sudah mendalangi perbuatannya, hal itu karena saya tak mau memperpanjang urusan."

Merah juga wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Kedua alisnya berkerut dan dia pun mencela, "Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata saya."

Sabutai menjadi makin marah dan dia sudah bangkit berdiri. "Wang-taijin yang mengajak bersekutu, bukan saya. Biar pun kita bekerja sama akan tetapi sayalah yang menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!"

Melihat suasana menjadi panas ini, Bouw Thaisu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara halus. "Harap ji-wi suka bersabar dan berbicara dengan kepala dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri apa bila menurutkan hati panas. Segala sesuatu dapat dirundingkan secara baik-baik."

"Heh-heh-heh, omongan Bouw Thaisu barusan sungguh seperti omongan pelawak di atas panggung!" Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. "Kalau mengaku sahabat, mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah hendak berangkat perang?"

"Sungguh sombong!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan kasar, membentak marah. "Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi dan sekutu yang banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi sudah diperlakukan tidak sepatutnya. Ke mana pun beliau pergi, sudah tentu saja kami pengawal-pengawalnya akan menjaga keselamatannya, kerena siapa tahu di mana-mana terdapat musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat kami mengawal beliau, boleh coba mengusir kami!"

Sesudah berkata demikian, Gu Lo it yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung besar dan berjubah hitam dan bertopi itu, sekali meloncat telah berdiri di tengah ruangan, matanya melotot ditujukan pada nenek bermuka hitam berpakaian serba putih itu dengan sikap menantang.

"He-he-he-he, gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?" Nenek itu tertawa, bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It.

"Namaku tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo It."

"He-heh-heh, engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!" Nenek itu terkekeh dan kata-kata itu merupakan ejekan yang sangat menghina karena nama keturunan Gu Lo It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walau pun bukan itu maksudnya dan hanya bunyi suaranya saja yang sama.

Dia dimaki kerbau karena memang she-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena memang hidungnya agak terlampau besar untuk ukuran umum. Maka tentu saja Si Iblis Bumi ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani menghinanya seperti itu.

"Nenek sombong, kau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kau coba sambutlah ini!"

Tiba-tiba saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek muka hitam itu dengan gerakan dua tangannya yang mengandung tenaga besar sekali, menghantam dari kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan dengan tenaga penuh sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri, bersuit suaranya.

Baik Wang Cin mau pun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai tidak berani menahan subo-nya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan gigi maka dia hanya membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak tuan rumah yang amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.

"Heh-heh-heh, si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!" nenek itu tertawa, kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang terbungkus lengan baju putih itu berubah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu nenek itu telah menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini terbelalak.

Hanya Bouw Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa secara cepat dan aneh, Gu Lo It sudah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak mampu berbuat apa-apa ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap.

"Heiii... Mo-ko, kau suka daging kerbau? Nah, terimalah persembahanku ini, he-heh-heh!" Dan tiba-tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah kakek muka putih.

"Siapa sudi kerbau alot begini?" Dengan sekali bergerak kakek itu sudah melompat ke depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu-tahu dia telah menangkap batang leher dan punggung baju Gu Lo It kemudian sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah terlempar lagi ke arah Hek-hiat Mo-li!

"Ihh, kerbau busuk, aku jijik!" Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali.

Pada saat itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah mulai meronta dan bergerak hendak melawan, akan tetapi ujung sepatu nenek itu kembali membuatnya setengah lumpuh kemudian dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek-hiat Mo-ko.

Terkejut bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu pada saat menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya!

"Harap ji-wi memaafkan dia!" Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan Pek-hiat Mo-ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu!

"Plakkk!"

Bouw Thaisu terhuyung dengan perasaan kaget bukan main, akan tetapi dia telah berhasil menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu. Sedangkan Gu Lo It dengan muka sebentar pucat sebentar merah sudah berdiri di pinggir, tadi sempat disambar oleh suheng-nya, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, yang sekarang memegang lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut.

"Bagus! Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh partai Po-hai!" Pek-hiat Mo-ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang menangkisnya tadi. "Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!"

Akan tetapi, melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali sedangkan keadaannya tidak menguntungkan fihaknya, Wang Cin langsung bangkit berdiri. "Cukup semua ini! Harap Bouw Thaisu dan yang lain-lain suka duduk kembali!" Kemudian dia memandang Sabutai dan berkata, "Apakah bantuan kami diterima dengan cara begini oleh bengcu? Apakah semua pengorbanan kami sia-sia belaka?"

Sabutai memberi isyarat kepada suhu dan subo-nya untuk duduk kembali, kemudian dia berkata, "Harap maafkan, Wang-taijin. Sebagai orang-orang yang suka dengan ilmu silat, tentu saja suhu dan subo-ku akan melayani setiap lawan yang hendak main-main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami berterima kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana, apakah perlu taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?"
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 23

Dewi Maut Jilid 23
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DI DAERAH padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda-kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena rumput di tempat itu sangat subur sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik.

Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka pada saat terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap pada malam itu.

Agaknya orang kedua itu pun telah ditinggalkan karena disangka sudah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang lalu bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam pada waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba saja muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka telah tewas itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu.

Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu? Pada malam-malam berikutnya penjagaan dilakukan dengan ketat karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan pada malam hari.

Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, yaitu pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Maling-maling kuda yang hina!"

Muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah tetapi sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biar pun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus. Namun, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng segera jatuh tunggang langgang!

Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum bahwa kakek ini bukan merupakan anggota rombongan peternak atau pedagang kuda itu, namun seseorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar serta bersenjata golok besar yang sangat berat dan tajam, langsung menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.

"Singgg... singgg... wuuuutttt...!"

Tiga batang golok itu berdesing lantas menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seakan-akan tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan sepasang tangan dan kaki kirinya dan... sungguh luar biasa sekali.

Sukar diikuti pandang mata apa yang sudah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh lantas mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula!

Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri.

Semua gerakannya itu dilakukan dengan amat cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Terlebih lagi menangkap golok hanya dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa!

Melihat betapa hanya dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main terkejutnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga serentak telah meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi penyerang dari depan yang kena tendang lututnya, ketika bangkit berdiri kembali roboh terguling dan mengeluh.

Para anggota rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam telah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh salah seorang pemimpin para perampok bertopeng itu.

"Tahan, jangan bunuh dia!" Kakek itu berkata, suaranya halus akan tetapi penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang pada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang langsung memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh!

Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran itu, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang, "Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?"

Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang, "Mereka sudah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?"

"Locianpwe, harap suka mengampuni saya," mendadak orang itu berkata dan membuka topengnya. Ternyata dia adalah seorang Han pula yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.

Kakek itu mengerutkan alisnya, tampaknya tak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!

"Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?" bentaknya.

"Maafkan... kami... kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa... akan tetapi, kami adalah anggota pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami supaya mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami..."

"Ahhhh...!" Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. "Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apa lagi mencuri kuda kami."

"Maafkan kami, kawan...," orang itu berkata dengan muka merah, "kami telah bersalah... tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw..." Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.

"Lanjutkanlah ceritamu dan aku akan membebaskan engkau." Kakek itu berkata sambil matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.

"Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu..."

"Engkau sudah terlanjur berbicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu."

Dengan muka pucat ketakutan orang itu lalu berkata, "Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang hendak lewat di sana..."

"Hemmm...!" Kakek itu lalu mengangguk-angguk. "Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?"

"Hamba... saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan..."

"Tiga orang utusan itu, siapa namanya?" Kakek yang aneh itu mendesak terus.

"Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa..."

"Sudahlah, kau boleh pergi," kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

"Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!" Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju.

Kakek itu memandang tajam. "Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?"

"Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin bisa dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh pasukan Beng?"

"Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat."

Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya, "Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar ini?"

Kakek itu berkata sederhana, "Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan semenjak dahulu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo."

Yalu segera mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya. "Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat." Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut. "Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan semua teman-teman kami dan membantu locianpwe menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak."

Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, sesudah mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang dua di antaranya telah berhasil ditewaskan itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, kakek Cia Keng Hong lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam.

Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul. Dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali saat mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan bila musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal kaisar.

Karena itu, dia pun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Sekarang dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguh pun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.

Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya.

********************

Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sulit, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Semenjak permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak.

"Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?" demikianlah bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. "Hal itu hanya akan menimbulkan rasa ketidak senangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka."

Biar pun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha supaya rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apa lagi pada waktu itu musim panen belum tiba.

Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apa lagi yang sejak dewasa selalu dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terus terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanyalah merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa.

Di dalam perjalanan ini pun Kaisar Ceng Tung selalu berada di dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang kala ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati kaisar seakan-akan perjalanan itu merupakan tamasya yang sangat menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.

Setelah melalui perjalanan yang sangat lama dan sangat melelahkan bagi para anggota pasukan pengawal, akan tetapi amat menyenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan mengubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai apa yang selama ini dicita-citakannya, akhirnya sampailah rombongan itu di kaki Pegunungan Nan-kouw dan mereka pun berkemah di padang rumput untuk melewatkan malam itu di sana sambil memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat.

Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang ketika itu sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa serta Bouw Thaisu yang lihai.

Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing. Atas isyarat Wang Cin mereka lantas berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin lalu mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

"Wang-taijin, kami datang ingin mengajukan usul kepada taijin," Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.

"Hemmm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja akan kami sambut dengan gembira," jawab orang kebiri yang telah memperoleh kedudukan tinggi itu.

"Wang-taijin, kami semua sudah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari," kata Jenderal Kho Gwat Leng.

"Ahh, tidak mungkin!" Wang Cin berseru penasaran. "Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?"

"Wang-taijin," kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. "Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apa bila terdapat fihak musuh yang menghadang kita."

"Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Lagi pula, andai kata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?"

"Maaf, Wang-taijin," Jenderal Kho Gwat Leng yang sikapnya lebih halus itu lalu berkata. "Ucapan Tan-goanswe tadi benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andai kata ada musuh menghadang, kami telah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air."

Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya sambil berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggelengkan kepala, dia lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu.

"Tidak, tidak! Hal itu tidak ada perlunya. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan sesudah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuas-puasnya. Apakah prajurit-prajurit Beng begitu lemahnya sehingga hanya mementingkan makan dan minum saja?"

Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendamprat thaikam itu, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.

"Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi jika sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan," kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa akan percuma saja berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini.

Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apa pun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, biar pun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekali pun!

Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapa pun juga Wang Cin sudah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!

Diam-diam para jenderal yang telah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang sudah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar para penyelidik menyusup ke depan untuk menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan. Pada keesokan harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka ini pun berada dalam keadaan luka-luka parah.

Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan pasukan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang sangat tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin agar mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

"Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke mana pun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu," Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suara nyaring. "Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan memakan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya."

"Aahhhh, laporan para pengecut itu kenapa mengecilkan hati goanswe? Jika cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justru di hadapan kehadiran sri baginda mereka berani mengacau, maka mereka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!" Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal.

Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan hendak mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.

Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar bersama selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringi oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya.

Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat hendak melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan bisa mendekati kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali.

Hal yang memang telah diduga-duga dan dikhawatirkan pun terjadilah. Menjelang tengah hari, pasukan Sabutai mulai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!

Akan tetapi, karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, serangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini sama sekali tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik sekali, dan Jenderal Kho Gwat Leng langsung memimpin sendiri pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya dan para pelayan kaisar. Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biar pun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya.

Perang terjadi dengan hebatnya. Berkat kemampuan delapan orang jenderal yang sangat mahir ilmu perang itu, walau pun jumlah musuh jauh lebih banyak, akan tetapi sesudah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu.

Bagaimana pun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak prajurit yang gugur mau pun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Apa bila mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang sekarang berjaga di tapal batas.

"Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh sudah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman karena kita berada dalam benteng." Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu.

"Wang-taijin, biar pun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya." Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. "Terutama sekali karena perbekalan kita telah menipis."

"Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, kenapa kita harus melarikan diri dan mundur ketakutan? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!" Wang Cin membantah.

Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju kota Huai-lai sehingga menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang amat curam, di mana kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.

Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang sangat berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh kemudian dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi amat panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu.

Delapan orang jenderal itu cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri kaisar serta selirnya untuk berlindung ke dalam kemah. Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar, menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat! Akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang oleh dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat.

Betapa pun juga, para jenderal terus memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Sekarang pakaian perangnya sudah berubah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.

Tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan besar di fihak musuh yang menutup jalan keluar di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa telah datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa, yang menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini ikut membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.

Akan tetapi, meski pun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlampau banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka terpaksa mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang.

Akhirnya habislah anggota pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, yang terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi prajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang tadi masih mengamuk secara dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka semua itu sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa-sisa darah serta nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.

Ketika akhirnya Sabutai yang diiringkan oleh belasan orang pengawalnya, termasuk pula tiga orang tua lihai yang menjadi utusan Wang Cin itu, menyerbu ke dalam tenda besar di mana Kaisar Ceng Tung berada, nampak pemandangan yang amat mengharukan. Kaisar yang masih amat muda itu duduk dengan sikap tenang sekali, tenang dan agung, di atas kursi sambil memeluk seorang wanita cantik yang nampak ketakutan. Wanita ini adalah Azisha, selir terkasih itu.

Di dekat pintu tenda tampak bergelimpangan mayat delapan orang jenderal dengan tubuh penuh luka! Akan tetapi agaknya yang menewaskan mereka adalah luka-luka terakhir yang mereka terima dari serangan para pengawal Thaikam Wang Cin!

Ketika itu, delapan jenderal yang melindungi kaisar telah luka-luka parah, akan tetapi di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan, mereka delapan orang kakek itu dengan pedang di tangan masih berjaga di pintu kemah kaisar. Tiba-tiba para pengawal Wang Cin, di antaranya terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, maju dan segera menyerang delapan orang jenderal itu dari belakang sehingga tewaslah mereka!

Kaisar terkejut bukan main, hendak menegur perbuatan Wang Cin itu, akan tetapi thaikam ini berkata, "Merekalah yang mencelakakan kita, sri baginda. Sekarang hamba dan para pengawal hamba yang melindungi paduka!"

Akan tetapi, begitu Sabutai dan para pengawalnya memasuki perkemahan itu, Wang Cin menyambut kepala pemberontak Mongol ini dengan senyum dan mereka saling memberi salam, demikian pula para pengawalnya segera beramah-tamah dengan para pengawal musuh!

"Hemmm... kiranya engkau seorang pengkhianat!" Kaisar berseru dan membuang muka tak mau memandang wajah Thaikam Wang Cin yang tersenyum-senyum menyeringai itu.

Kemudian, sesudah akhirnya pasukan Sabutai bersatu padu dan berhasil pula mengusir pasukan Cia Keng Hong yang jumlahnya tidak seberapa banyak, Sabutai pun cepat-cepat menggiring kaisar sebagai tawanannya bersama Azisha yang tidak tampak ketakutan lagi, dan kembali ke bentengnya di utara bersama Wang Cin dan para pengawalnya.

Diam-diam Sabutai merasa kagum bukan main terhadap delapan orang jenderal itu, dan juga merasa kagum melihat sikap Kaisar Ceng Tung yang demikian tenang dan agung, sedikit pun tak merasa takut dan biar pun telah menjadi tawanan, namun memperlihatkan sikap agung dan penuh wibawa sehingga membuat dia diam-diam merasa tunduk!

Sabutai adalah orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan amat membenci kecurangan dan pengkhianatan. Oleh karena itu, walau pun pada lahirnya dia mau dipersekutu oleh Wang Cin si pengkhianat, namun diam-diam di dalam hatinya dia sangat kagum terhadap kaisar muda itu dan sebaliknya sangat benci kepada Wang Cin. Hanya karena dia ingin mempergunakan Wang Cin untuk usahanya menyerbu ke selatan, maka dia menahan diri dan tidak memperlihatkan kebenciannya itu.

Akan tetapi dengan keras dia memerintahkan para pembantunya supaya melayani kaisar dengan baik dan tidak boleh ada seorang pun yang bersikap kasar atau mengganggu kaisar muda ini beserta selirnya. Bahkan Kaisar Ceng Tung dan selirnya ditempatkan di sebuah bangunan tersendiri, lengkap dengan taman dan diberi kebebasan, karena yang dijaga hanya sekeliling bangunan itu.

Wang Cin terus berusaha membujuk kaisar untuk membuat serta menanda tangani surat kekuasaan dan pengangkatan kaisar baru, tentu saja dengan nama Wang Cin sebagai penggantinya. Akan tetapi mendengar usul ini, Kaisar Ceng Tung hanya menjawabnya dengan meludah ke muka thaikam itu! Kalau saja tidak dicegah oleh Sabutai, tentu Wang Cin sudah membunuh kaisar.

Diam-diam Sabutai tertawa di dalam hatinya, melihat betapa pertemuan antara kaisar dan Wang Cin itu seperti pertemuan antara seekor burung hong dan seekor tikus! Dia maklum bahwa membujuk atau mengancam seorang yang demikian gagah perkasa dan sangat berwibawa seperti Kaisar Ceng Tung tidak ada gunanya sama sekali, dan kaisar itu jauh lebih baik dijadikan sandera.

Sabutai memang cerdik bukan kepalang. Dia tahu benar bahwa selama kaisar itu menjadi tawanannya, bala tentara Beng-tiauw tidak nanti akan berani menyerangnya. Dan kalau dia memperlakukan kaisar itu dengan baik, sebagai seorang tamu terhormat, hal ini saja telah cukup merupakan jaminan bahwa kelak andai kata cita-citanya menyerbu ke selatan gagal dan dia kalah, Pemerintah Beng tentu suka akan memaafkannya, mengingat bahwa dia telah bersikap baik kepada kaisar.

Maka dia melarang Wang Cin untuk bertemu sendiri dengan kaisar, harus selalu di bawah pengawasannya. Bahkan tempat yang dijadikan tempat tawanan atau lebih tepat disebut gedung tamu itu bersambung dengan istananya sendiri sehingga dengan begitu leluasalah dia untuk keluar masuk gedung tamu itu.

********************

Beberapa bulan setelah Kaisar Ceng Tung menjadi tawanan, mulai tampaklah watak asli dari Azisha. Sejak diumpankan kepada kaisar oleh Wang Cin, memang wanita ini hanya melayani kaisar itu sebagai pelaksanaan tugasnya belaka. Sesungguhnya sedikit pun dia tidak cinta kepada kaisar dan kalau toh ada cinta itu, yang dicintanya bukanlah pribadi kaisar melainkan kedudukannya!

Kini, kaisar yang merupakan manusia terbesar di negaranya, bahkan dianggap sebagai ‘utusan Tuhan’ atau ‘putera Tuhan’, sudah kehilangan kedudukannya, kehilangan segala kebesarannya, bahkan sudah menjadi seorang tawanan. Tentu saja Azisha merasa amat rendah kalau menjadi selir seorang tawanan!

Dia mulai bersikap keras dan berani menentang kaisar, bahkan berani pula menggunakan kata-kata kasar dan menghina. Melihat ini, barulah kaisar terbuka matanya, dan baru dia tahu bahwa wanita cantik jelita ini memiliki batin yang tidak secantik wajahnya, dan baru dia mengerti bahwa Azisha hanya merupakan ‘alat’ dari Wang Cin yang sekarang terbukti seorang pengkhianat besar itu. Maka dia pun tidak mempedulikannya lagi dan setiap hari Kaisar Ceng Tung hanya tekun membaca kitab-kitab yang disediakan oleh Sabutai untuk bacaannya atau melakukan siulian (semedhi).

Kaisar yang usianya masih sangat muda, baru dua puluh tiga tahun itu kini sadar bahwa hubungannya yang amat mesra dengan Azisha selama ini hanya hubungan yang didasari oleh nafsu birahi saja dari fihaknya, sedangkan dari fihak Azisha hanyalah didasari karena pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Wang Cin. Dia merasa terpukul oleh kenyataan ini, maka dia merasa muak dan akhirnya tidak mempedulikan lagi kepada Azisha, bahkan tidak pernah mendekatinya, dan tidak pernah mengajaknya bicara sehingga ketika wanita itu tidak pernah memasuki kamarnya, dia pun tidak peduli lagi.

Perhatian Azisha mulai tertuju kepada Sabutai, laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu. Dibandingkan dengan Kaisar Ceng Tung yang muda dan halus budi bahasanya, lemah-lembut gerak-geriknya, tentu saja Sabutai jauh lebih jantan dan perkasa.

Akan tetapi, karena semenjak kecil sudah dididik sebagai perayu, maka agaknya wanita macam ini sudah sama sekali tidak mengenal cinta lagi, dan kalau dia mulai mendekati Sabutai adalah karena dia tahu bahwa Sabutai merupakan orang pertama di situ, bahkan orang yang memiliki cita-cita untuk menyerbu ke selatan dan menjadi kaisar dari seluruh negara! Selain itu, juga dia masih merasa sedarah dengan Sabutai, darah Mongol!

Seperti sudah diceritakan di depan, Sabutai mempunyai seorang isteri muda dan cantik, yang baru berusia delapan belas tahun, seorang berbangsa Khitan yang cantik jelita dan menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu. Sabutai sangat cinta kepada isterinya yang cantik itu, akan tetapi dia sering kali termenung dan merasa kecewa dan bersedih karena dia maklum bahwa isterinya tidak mencintanya. Padahal dia amat mengharapkan seorang keturunan dari isterinya yang tercinta itu dan untuk mengambil selir, Sabutai tidak sampai hati. Dia terlalu mencinta Khamila dan tidak ingin membagi cintanya dengan wanita lain.

Betapa pun juga, agaknya Azisha tak akan berani secara lancang melakukan pendekatan kepada Sabutai karena dia adalah selir raja yang menjadi tawanan, kalau saja hal itu tidak dikehendaki dan diatur oleh Wang Cin. Pembesar kebiri ini mulai merasa khawatir melihat sikap Sabutai yang dingin terhadap dirinya dan sungguh pun dia dan para pengawalnya mendapat perlakuan cukup baik, tetapi Sabutai agaknya seperti tak terlalu mengacuhkan dirinya, bahkan desakannya untuk segera menyerbu ke selatan selalu ditolak oleh Sabutai dengan alasan ‘belum waktunya’ dan ‘belum cukup kuat’.

Juga Sabutai menolak keras ketika Wang Cin mengusulkan agar Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan itu dipaksa, kalau perlu disiksa, supaya kaisar itu suka memberi surat kuasa pengangkatan kaisar baru. Semua ini ditolak oleh Sabutai yang mengatakan bahwa dia tidak sudi mempergunakan cara-cara yang curang.

"Saya adalah keturunan orang-orang gagah, kakek saya dahulu adalah Jenderal Sabutai yang terkenal dari Dinasti Goan, bagaimana mungkin saya mau melakukan tindakan yang begitu rendah dan curang? Saya bukan pengecut dan kalau sudah tiba waktunya, saya akan menyerbu ke Peking!"

Sikap Sabutai ini amat mengkhawatirkan hati Wang Cin. Meski pun dia dianggap sebagai sekutu dan tamu, akan tetapi tak ada bedanya dengan tawanan juga, seperti kaisar yang telah dikhianatinya itu. Dia menjadi serba salah. Untuk pulang kembali ke selatan dia tidak berani karena tentu pengkhianatannya itu akan membuat dia celaka, tinggal di utara dia pun tidak dapat menguasai Sabutai!

Mulailah dia mencari akal, dan orang kebiri ini memang cerdik sekali. Pandang matanya cukup tajam sehingga dia dapat menduga bahwa Sabutai yang hanya memiliki seorang isteri itu tentu tidak bahagia dengan isterinya yang cantik dan muda. Isterinya itu bersikap dingin dan tidak acuh kepada suaminya.

Karena itu dia melihat kesempatan baik untuk menggunakan kecantikan dan kepandaian Azisha yang sudah dilatih sejak kecil untuk menjadi seorang perayu pria! Maka, mulailah dia bersama Azisha mengatur siasat untuk menundukkan hati pemimpin orang Mongol yang keras hati ini dengan pengaruh kecantikan dan kepandaian merayu Azisha.

Pada suatu malam, pada saat Sabutai duduk seorang diri di dalam kamarnya, termenung mencari siasat untuk dapat menyerbu ke selatan karena kini dia sudah dapat menyusun barisan yang besar dan amat kuat, muncullah Azisha yang tentu saja diperkenankan oleh para pengawal karena para pengawal ini sudah terlebih dulu disuap oleh Wang Cin! Apa lagi, mereka tahu bahwa Azisha adalah selir kaisar yang tertawan, seorang wanita muda yang cantik jelita dan lemah, tentu saja tidak berbahaya dan mempunyai niat-niat yang mesra terhadap raja mereka!

Maka, sambil menikmati hadiah suapan dari Wang Cin, mereka membiarkan Azisha lewat dan bahkan saling pandang dengan senyum penuh arti karena tentu akan terjadi hal-hal mesra di dalam kamar pemimpin atau raja mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berani mendekat ke kamar Sabutai kemudian memasang telinga untuk mendengarkan kemesraan itu!

Beberapa orang pengawal ini saling pandang penuh arti ketika mereka mulai mendengar suara Azisha yang merdu, seakan-akan sedang bertanya jawab dengan suara Sabutai yang nyaring dan keras. Mereka sudah mulai merasa tegang dan membayangkan hal-hal yang mengundang kegairahan hati mereka. Pembangkit nafsu birahi, seperti nafsu apa pun juga, adalah pikiran sendiri. Makanya, jangan suka ‘ngeres’.

Kebencian dan rasa takut didatangkan oleh pikiran yang membayangkan hal-hal yang mengerikan dan tidak menyenangkan yang sudah atau akan menimpa diri kita. Iri hati, keinginan, ambisi, gairah, semuanya datang karena pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dan yang sudah atau akan kita alami. Segala macam nafsu datang dari pikiran yang membayang-bayangkan hal yang telah lalu dan yang akan datang sehingga kehidupan kita sepenuhnya dipermainkan dan dikuasai oleh kesibukan pikiran, membuat kita tidak mampu melihat keadaan sesungguhnya dan kenyataan dari saat sekarang ini.

Karena itu, seorang bijaksana akan selalu waspada terhadap pikirannya sendiri, karena pikiran yang sesungguhnya amat penting bagi fungsi hidup sehari-hari sebagai alat untuk mengingat dan mencatat, juga amatlah jahat kalau dipergunakan tidak pada tempatnya, yaitu dipergunakan untuk menguasai kehidupan seluruhnya dengan pembentukan si aku.

Si aku adalah pikiran itu sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menyingkir dari yang tidak menyenangkan. Maka batin menjadi ajang perang dari kenyataan seperti apa adanya dan bayangan-bayangan pikiran yang selalu menginginkan hal-hal yang lain dari pada kenyataan yang ada! Maka datanglah konflik batin yang tentu akan tercetus keluar menjadi konflik lahir. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan konflik ini nampak di dalam kehidupan kita sehari-hari, dari konflik kecil antar manusia sampai konflik besar antar bangsa berupa perang!


Karena kadang-kadang suara percakapan di dalam kamar itu lirih dan suara Azisha yang merayu-rayu itu terdengar kadang-kadang seperti rintihan halus, maka para pengawal itu yang tidak berani terlampau dekat tidak dapat menangkap jelas sehingga mereka menjadi makin penasaran.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari Sabutai disusul jerit seorang wanita. Pada saat para pengawal cepat lari ke depan pintu kamar, pintu terbuka dari dalam dan nampak Sabutai dengan muka merah berkata,

"Lempar mayat perempuan hina itu keluar!"

Para pengawal terbelalak melihat wanita muda yang cantik jelita itu sudah rebah di atas lantai dengan kepala pecah sehingga mukanya yang cantik itu terlihat mengerikan karena penuh darah, matanya terbelalak dan kini muka itu sama sekali tak menarik lagi, bahkan menakutkan. Baju luar wanita itu telah terlepas sehingga nampak lekuk lengkung dadanya yang penuh di balik baju dalam yang berwarna merah muda.

Agaknya tadi wanita muda itu menggunakan rayuan dengan menanggalkan baju luarnya, tetapi dia sama sekali tak berhasil membangkitkan gairah di hati Sabutai, sebaliknya malah membangkitkan kemarahannya sehingga dalam kemarahannya orang yang gagah perkasa ini menampar kepala wanita itu hingga pecah dan tewas seketika!

Sungguh peristiwa yang amat menyedihkan. Azisha yang semenjak kecil dididik sebagai seorang wanita perayu dan yang haus akan kemewahan serta kemuliaan, sama sekali tidak mengenal Sabutai dan menyangka bahwa setiap orang pria tentu akan runtuh oleh rayuan mautnya.

Akan tetapi, Sabutai adalah seorang laki-laki jantan yang hanya mempunyai satu cita-cita saja, yaitu hendak membangun kembali Bangsa Mongol sebagai bangsa yang terbesar, merampas kembali tahta kerajaan dari Dinasti Beng dan membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah hancur berantakan. Sedikit pun dia tidak terpikat oleh wanita, apa lagi karena satu-satunya wanita yang dicintanya adalah Khalima, isterinya yang masih muda akan tetapi yang tidak membalas cintanya.

Karena itu, melihat rayuan Azisha, dia menjadi muak, apa lagi mengingat bahwa Azisha adalah seorang wanita Mongol dan dia tahu betapa wanita bangsanya ini oleh Wang Cin sudah diperalat untuk melemahkan Kaisar Ceng Tung yang sangat dikaguminya karena kaisar yang muda itu ternyata adalah seorang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut pula, sungguh pun kaisar yang muda itu agaknya lemah terhadap wanita cantik.

Kemarahannya memuncak ketika dia mengusir Azisha, wanita ini malah menanggalkan baju luarnya untuk memamerkan lekuk lengkung tubuhnya. Maka dalam kemarahannya dia menampar, lupa bahwa tamparan tangannya terlalu kuat dan kepala wanita ini terlalu lunak sehingga tewaslah Azisha dengan kepala pecah.

Tentu saja hati Wang Cin terkejut setengah mati ketika dia mendengar betapa Azisha telah dibunuh oleh Sabutai. Cepat dia mengumpulkan para pengawalnya karena hatinya merasa tidak enak sekali. Diam-diam dia cepat berunding dengan para pengawalnya yang berjumlah belasan orang, di antaranya termasuk Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It beserta Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, orang-orang yang berkepandaian amat tinggi dan yang mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan dengan membonceng pengaruh pembesar kebiri Wang Cin dan di samping itu juga untuk menyembunyikan diri sementara waktu karena mereka itu, terutama sekali tiga orang di antara Lima Bayangan Dewa, merasa jeri juga atas pengejaran dan pembalasan dendam dari Cin-ling-pai.

Di samping tujuh orang berilmu ini, masih ada lagi enam orang pengawal pribadi Wang Cin yang rata-rata juga mempunyai kepandaian tinggi. Setelah mengadakan perundingan dengan tiga belas orang pengawal kepercayaannya, pada keesokan harinya Wang Cin lalu pergi menghadap Sabutai, diikuti oleh tiga belas orang pengawalnya itu.

Tentu saja Sabutai bukan orang bodoh dan dia sudah tahu terlebih dulu bahwa peristiwa kematian Azisha di dalam kamarnya itu tentu mengejutkan hati Wang Cin, sebab dia tahu bahwa wanita muda itu adalah sekutu Wang Cin sehingga yang langsung tersinggung oleh kematian itu bukannya kaisar Ceng Tung yang agaknya kini mulai terbuka matanya oleh kepalsuan-kepalsuan itu, melainkan thaikam itulah.

Sebetulnya, menurut suara hatinya yang tidak suka terhadap kepalsuan dan kecurangan Wang Cin, ingin dia membunuh saja pengkhianat itu, akan tetapi dia pun maklum bahwa Wang Cin dikelilingi oleh orang-orang pandai yang amat lihai, dan juga ratusan orang sisa prajurit pengawal yang kini menakluk dan menjadi pasukan pengawal Wang Cin sehingga merupakan bantuan yang cukup kuat baginya. Inilah yang membuat dia menahan sabar dan tidak membunuh pengkhianat itu.

Setelah dalam amarahnya dia membunuh Azisha, Sabutai juga maklum bahwa kematian wanita palsu itu tentu akan menyusahkan hati kaisar yang kini agaknya sudah terbuka matanya dan mengenal macam apa adanya wanita yang selama ini mempermainkannya, akan tetapi tentu akan diterima dengan marah oleh Wang Cin. Karena itu dia pun sudah bersiap-siap.

Pada waktu Wang Cin yang diikuti tiga belas orang pengawalnya itu datang mengunjungi Sabutai, mereka disambut oleh Sabutai yang sudah duduk di ruangan besar itu bersama seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang bermata tajam seperti mata harimau. Kakek dan nenek itu duduk di kanan kirinya.

Si kakek bermuka putih seperti kapur, seolah-olah tidak mempunyai darah, muka mayat yang dipupuri kapur tebal. Sedangkan muka nenek itu hitam sekali, hitam seperti terbakar hangus. Wajah kakek dan nenek yang warnanya sama sekali berlawanan itu membuat mereka kelihatan amat menyeramkan, apa lagi karena nenek bermuka hitam hangus itu berpakaian serba putih sedangkan kakek bermuka putih kapur itu mengenakan pakaian serba hitam! Tangan mereka memegang tongkat butut yang sukar dikenali terbuat dari bahan apa, hanya nampaknya sudah butut sekali.

Di belakang Sabutai berjajar pasukan pengawal yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, bersenjata lengkap dan dalam keadaan siap siaga! Melihat ini, Wang Cin tercengang dan jantungnya berdebar. Dia merasa bahwa Sabutai agaknya sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan dan memamerkan kekuatan, dan dia pun tidak mengenal siapa adanya dua orang kakek dan nenek itu.

Pada lain fihak, Sabutai menerima kedatangan Wang Cin dan para pengawalnya dengan sikap dingin, akan tetapi dia tetap mempersilakan mereka duduk berhadapan dengan dia terhalang meja panjang. Wang Cin duduk di antara para pengawalnya, dan Sabutai lalu memperkenalkan kakek dan nenek itu.

"Wang-taijin, perkenalkan. Kedua beliau ini adalah guru-guru saya, Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Suhu dan subo, inilah Wang-taijin dan para pengawalnya seperti yang sudah saya ceritakan kepada suhu dan subo (bapak dan ibu guru)."

Wang Cin sebagai scorang pembesar istana yang tidak mengenal dunia persilatan, maka tidak pernah mendengar nama dua orang aneh itu dan tentu saja dia memandang rendah kepada kakek dan nenek yang lebih merupakan orang-orang terlantar atau jembel-jembel yang bertubuh lemah dan tua.

Akan tetapi para pengawalnya memandang kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian dan terutama sekali Bouw Thaisu kelihatan terkejut karena kakek ini pernah mendengar nama-nama mereka sebagai tokoh-tokoh yang selalu menyembunyikan diri akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian tinggi sekali. Maka Bouw Thaisu cepat menjura dan berkata,

"Sudah lama saya mendengar nama besar ji-wi (anda berdua), sungguh menyenangkan sekali hari ini dapat bertemu."

Nenek itu tidak mempedulikan Bouw Thaisu, melainkan memandang dengan mata agak menjuling ke arah Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, akan tetapi kakek itu melirik ke arah Bouw Thaisu dan terdengar dia berkata, suaranya jelas membayangkan lidah asing.

"Bouw Thaisu meninggalkan tempatnya yang sunyi di pantai Po-hai dan muncul di dalam keramaian, tentu ada apa-apa di balik itu. Hemmm...!"

Tiba-tiba terdengar suara nenek itu, tinggi melengking penuh nada mengejek, "Dewi dari Go-bi yang sudah bongkok, sute Toat-beng Hoatsu dan pasangannya, semua muncul di sini. Alangkah ramainya!" Jelas bahwa nenek itu menujukan kata-katanya kepada Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw.

Tentu saja Bouw Thaisu dan teman-temannya menjadi terkejut sekali. Biar pun tak pernah muncul di dunia kang-ouw, kakek dan nenek itu ternyata dapat mengenal mereka! Hanya tiga orang dari Lima Bayangan Dewa yang agak mendongkol karena kakek dan nenek itu seolah-olah tak peduli kepada mereka, selain tidak kenal, juga memandang rendah sekali, agaknya mereka bertiga dianggap pengawal-pengawal biasa saja, kelas rendahan!

Akan tetapi tentu saja mereka pun tidak dapat menunjukkan kemangkelan hati mereka, apa lagi pada saat itu Sabutai sudah berkata kepada Wang Cin, "Keperluan apakah yang membawa Wang-taijin datang kepada saya? Agaknya ada hal yang sangat penting untuk dibicarakan."

Wang Cin menahan gejolak hatinya yang diliputi kemarahan. Sungguh pun hatinya panas karena marah dan duka memikirkan kematian Azisha yang sekarang jenazahnya entah dibuang ke mana, namun dia memaksa wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum ketika dia menjawab,

"Saya telah mendengar berita bahwa telah terjadi sesuatu antara paduka dengan Azisha. Karena dia adalah selir kaisar dan dia masih segolongan dengan kita, maka saya menjadi terkejut dan datang menghadap untuk minta penjelasan mengenai peristiwa itu."

Sabutai tersenyum mengejek, kemudian berkata dengan suara menantang, "Tidak salah apa yang taijin dengar. Azisha telah saya bunuh malam tadi."
Dengan pandang mata keras, tanpa kuasa menyembunyikan kemarahannya, Wang Cin bertanya, "Kenapa?"

"Perempuan tak tahu malu itu berani memasuki kamar saya dan bersikap tidak senonoh. Dalam kemarahan saya melihat ketidak sopanannya dan usahanya untuk merayu, saya memukulnya dan dia tewas. Jenazahnya sudah saya suruh kubur."

Wang Cin menghela napas panjang, lalu mengangkat kedua tangan ke atas, "Saya tidak mempersoalkan sebab-sebabnya mengapa dia dibunuh, bengcu." Pembesar thaikam ini tak mau menyebut Sabutai sebagai raja muda seperti yang dilakukan para anak buahnya, melainkan menyebutnya bengcu yang berarti pemimpin. "Akan tetapi yang paling penting, mengapa membunuh dia yang dapat menjadi pembantu kita yang amat baik? Bukankah lebih baik membunuh kaisar yang sudah menjadi tawanan, atau mengancamnya dengan siksaan agar dia suka tunduk dan menyerahkan kedudukannya kepada kita?"

Sabutai menggebrak meja di depannya. Dia marah sekali. "Wang-taijin! Harap taijin ingat bahwa taijin berada di tempat saya, dan di sini, sayalah yang berkuasa. Taijin tidak perlu mencampuri urusan saya. Perempuan hina itu sengaja hendak merayu saya, maka saya bunuh dia. Ada pun kaisar yang muda itu, saya kagum sekali karena dia adalah seorang pemuda yang gagah berani. Saya langsung saja membunuh perempuan tak tahu malu itu tanpa bertanya siapa yang sudah mendalangi perbuatannya, hal itu karena saya tak mau memperpanjang urusan."

Merah juga wajah Wang Cin mendengar sindiran ini. Kedua alisnya berkerut dan dia pun mencela, "Sabutai bengcu, hendaknya bengcu ingat bahwa tanpa siasat dari saya, tidak mungkin bengcu dapat menawan kaisar! Kita bekerja sama, maka saya berhak bicara dan sudah semestinya kalau bengcu mendengarkan kata-kata saya."

Sabutai menjadi makin marah dan dia sudah bangkit berdiri. "Wang-taijin yang mengajak bersekutu, bukan saya. Biar pun kita bekerja sama akan tetapi sayalah yang menentukan segala langkah kita, dan bukan Wang-taijin!"

Melihat suasana menjadi panas ini, Bouw Thaisu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara halus. "Harap ji-wi suka bersabar dan berbicara dengan kepala dingin. Di antara sahabat, akan merugikan sendiri apa bila menurutkan hati panas. Segala sesuatu dapat dirundingkan secara baik-baik."

"Heh-heh-heh, omongan Bouw Thaisu barusan sungguh seperti omongan pelawak di atas panggung!" Tiba-tiba nenek Hek-hiat Mo-li berkata. "Kalau mengaku sahabat, mengapa Wang-taijin datang dikawal oleh para jagoannya, seolah-olah hendak berangkat perang?"

"Sungguh sombong!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang berwatak keras dan kasar, membentak marah. "Wang-taijin adalah seorang pembesar tinggi dan sekutu yang banyak berjasa, juga tamu agung di tempat ini, akan tetapi sudah diperlakukan tidak sepatutnya. Ke mana pun beliau pergi, sudah tentu saja kami pengawal-pengawalnya akan menjaga keselamatannya, kerena siapa tahu di mana-mana terdapat musuh yang bersembunyi! Kalau ada yang tidak setuju melihat kami mengawal beliau, boleh coba mengusir kami!"

Sesudah berkata demikian, Gu Lo it yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat, berhidung besar dan berjubah hitam dan bertopi itu, sekali meloncat telah berdiri di tengah ruangan, matanya melotot ditujukan pada nenek bermuka hitam berpakaian serba putih itu dengan sikap menantang.

"He-he-he-he, gagah sekali! Siapakah namamu, pengawal yang setia?" Nenek itu tertawa, bangkit berdiri dan menghampiri Gu Lo It.

"Namaku tidak sedemikian gagah seperti namamu, Hek-hiat Mo-li. Namaku Gu Lo It."

"He-heh-heh, engkau benar-benar seekor kerbau hidung besar!" Nenek itu terkekeh dan kata-kata itu merupakan ejekan yang sangat menghina karena nama keturunan Gu Lo It, yaitu Gu dapat juga diartikan kerbau, walau pun bukan itu maksudnya dan hanya bunyi suaranya saja yang sama.

Dia dimaki kerbau karena memang she-nya dapat diartikan kerbau dan berhidung besar karena memang hidungnya agak terlampau besar untuk ukuran umum. Maka tentu saja Si Iblis Bumi ini menjadi marah bukan main. Dia adalah Liok-te Sin-mo, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa dan nenek tua renta seperti mayat hidup ini berani menghinanya seperti itu.

"Nenek sombong, kau belum mengenal lihainya Liok-te Sin-mo. Nah, kau coba sambutlah ini!"

Tiba-tiba saja Liok-te Sin-mo Gu Lo It sudah menerjang nenek muka hitam itu dengan gerakan dua tangannya yang mengandung tenaga besar sekali, menghantam dari kanan kiri. Serangan ini dilakukan dengan marah dan dengan tenaga penuh sehingga terdengar angin pukulan menyambar dari kanan kiri, bersuit suaranya.

Baik Wang Cin mau pun Sabutai hanya memandang saja. Sabutai tidak berani menahan subo-nya, sedangkan Wang Cin memang hendak memperlihatkan gigi maka dia hanya membiarkan saja jagoan-jagoannya memberi hajaran kepada fihak tuan rumah yang amat menyakitkan hatinya. Hanya Bouw Thaisu yang memandang dengan alis berkerut karena dia menganggap sikap Gu Lo It itu terlalu lancang.

"Heh-heh-heh, si kerbau hidung besar mengamuk dan menyeruduk!" nenek itu tertawa, kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga kedua lengan yang terbungkus lengan baju putih itu berubah menjadi bayangan putih dan tahu-tahu nenek itu telah menangkap kedua pergelangan tangan Gu Lo It yang kini terbelalak.

Hanya Bouw Thaisu yang dalam sekejap mata dapat melihat betapa secara cepat dan aneh, Gu Lo It sudah tertotok setengah lumpuh maka kini tidak mampu berbuat apa-apa ketika pergelangan kedua tangannya ditangkap.

"Heiii... Mo-ko, kau suka daging kerbau? Nah, terimalah persembahanku ini, he-heh-heh!" Dan tiba-tiba Gu Lo It terlempar ke udara, menuju ke arah kakek muka putih.

"Siapa sudi kerbau alot begini?" Dengan sekali bergerak kakek itu sudah melompat ke depan, kedua tangannya digerakkan dan tahu-tahu dia telah menangkap batang leher dan punggung baju Gu Lo It kemudian sekali ayun tubuh Gu Lo It sudah terlempar lagi ke arah Hek-hiat Mo-li!

"Ihh, kerbau busuk, aku jijik!" Kini kaki nenek itu bergerak, cepat sekali.

Pada saat itu sebetulnya Gu Lo It sudah terbebas dari totokan dan sudah mulai meronta dan bergerak hendak melawan, akan tetapi ujung sepatu nenek itu kembali membuatnya setengah lumpuh kemudian dengan suara berdebuk, pinggulnya kena ditendang sehingga tubuhnya kembali melayang ke arah Pek-hiat Mo-ko.

Terkejut bukan main semua pengawal Wang Cin, terutama sekali Bouw Thaisu pada saat menyaksikan betapa Gu Lo It yang terkenal lihai itu dipermainkan oleh kakek dan nenek itu seperti sebuah bola yang sama sekali tidak berdaya!

"Harap ji-wi memaafkan dia!" Bouw Thaisu berseru keras ketika melihat tangan Pek-hiat Mo-ko sudah bergerak untuk menyambut tubuh Gu Lo It dengan sebuah tamparan ringan yang mengarah kepala Gu Lo It, tamparan yang mungkin akan merenggut nyawa orang kedua dari Lima Bayangan Dewa itu!

"Plakkk!"

Bouw Thaisu terhuyung dengan perasaan kaget bukan main, akan tetapi dia telah berhasil menyelamatkan Gu Lo It dengan menangkis tamparan itu. Sedangkan Gu Lo It dengan muka sebentar pucat sebentar merah sudah berdiri di pinggir, tadi sempat disambar oleh suheng-nya, yaitu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, yang sekarang memegang lengannya, mencegah sute yang sembrono itu maju lebih lanjut.

"Bagus! Kiranya Bouw Thaisu tidak mengecewakan menjadi tokoh partai Po-hai!" Pek-hiat Mo-ko memuji ketika merasa betapa kuatnya lengan Bouw Thaisu yang menangkisnya tadi. "Dan akan menjadi lawan yang menggembirakan pula!"

Akan tetapi, melihat betapa nenek dan kakek itu lihai sekali sedangkan keadaannya tidak menguntungkan fihaknya, Wang Cin langsung bangkit berdiri. "Cukup semua ini! Harap Bouw Thaisu dan yang lain-lain suka duduk kembali!" Kemudian dia memandang Sabutai dan berkata, "Apakah bantuan kami diterima dengan cara begini oleh bengcu? Apakah semua pengorbanan kami sia-sia belaka?"

Sabutai memberi isyarat kepada suhu dan subo-nya untuk duduk kembali, kemudian dia berkata, "Harap maafkan, Wang-taijin. Sebagai orang-orang yang suka dengan ilmu silat, tentu saja suhu dan subo-ku akan melayani setiap lawan yang hendak main-main. Kami sama sekali tidak ingin memusuhi taijin, bahkan kami berterima kasih atas bantuan taijin. Urusan besar masih belum terlaksana, apakah perlu taijin meributkan kematian seorang perempuan hina seperti Azisha itu?"
Selanjutnya,