Dewi Maut Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PERISTIWA itu membuat Liok Sun merasa makin percaya kepada Bun Houw. Dia pun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini sama sekali tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim.

Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa gembira sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya.

Maka berangkatlah mereka berdua dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena dia pun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali.

********************

Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Seng dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput pada wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andai kata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu.

"Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..." Lie Seng berkata.

Ucapan anak kecil ini terasa bagaikan pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia lalu menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dengan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu.

Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup berbahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali, berubah secara hebat dan kebahagiaan itu kini berubah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, menantunya pergi mencari penjahat yang belum diketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda!

Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi. Tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara tawa dari dua orang cucunya, senyum manis mantunya, dan gelak tawa muridnya sekarang hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.

Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka selama kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya.

Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi mau pun kesenangan rohani. Apa bila sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.

Sesungguhnya baik suka mau pun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak pada harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.

Di manakah letaknya kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Meski pun orang memiliki lima buah gunung emas, apa bila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apa bila dia menginginkan barang yang harganya lebih mahal dari jumlah itu.

Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apa pun yang berada di dalam tangannya, betapa pun tinggi nilai benda itu, apa bila dia masih menginginkan barang yang lain dari pada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, tak akan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.

Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira maka dia tidak pernah tenggelam di dalam duka mau pun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini akan membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.

Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang ‘sudah semestinya’. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan semacam ini sebagai hal yang semestinya!

Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri pada pemuasan kesenangan sungguh pun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!

Tak ada kekuasaan apa pun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber dalam diri pribadi, kecuali kita sendiri. Bukan kita yang mengusahakan perubahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, namun dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dan dalam, dengan pengawasan serta pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perubahan.

Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati mengenai filsafat atau kebatinan mana pun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.


"Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?" Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak.

Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan mala petaka yang menimpa keluarganya, dan kini, saat mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perubahan hebat karena rumah itu sekarang seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.

"Aku juga merasa amat heran..." kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan.

Namun dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.

Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia menatap penuh perhatian, kemudian mengangkat tangan di depan dada sambil bertanya, "Maafkan apa bila saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?"

Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada kawan-kawannya, "Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan ilmu sihirnya, lawan dengan sinkang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."

Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini.

"Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada dan kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"

"Manusia-manusia jahat, mau apa kalian mencari ibuku?" Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicara pun sudah terlambat.

"Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali!"

Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia telah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.

"Hemmm... masih kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?" Hong Khi Hoatsu berkata. "Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?"

"Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kau berikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi."

Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. "Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal gagah karena telah berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah lima orang pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia bersama isterinya sudah siap untuk membasmi kalian."

"Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!"

"Haaiiitttt...! Siapa yang kau cari? Anak kecil ini tidak ada di sini!" Tiba-tiba saja Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berubah menjadi gulungan asap putih!

"Awas, jangan terpedaya. Serang...!" Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring sambil mengerahkan khikang-nya hingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi-tubi secepat kilat dan mengandung kekuatan sinkang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.

"Plak-plak-plak...!"

Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia langsung terhuyung karena tenaganya memang kalah kuat oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.

Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, meski pun hanya menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apa lagi dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar mempunyai kepandaian yang hebat dan tenaga sinkang yang besar.

Dia hanya dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir). Akan tetapi karena empat orang itu sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.

"Berlutut engkau...!" bentaknya keras ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya.

Bu Sit terkejut dan biar pun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, lalu memandang sehingga tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biar pun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya.

"Ilmu setan!" Hok Hosiang yang berjulukan Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa Tersenyum Bertangan Sakti) dan berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan tangan kirinya.

Tasbih hijau yang merupakan senjata istimewanya itu menyambar dan berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini kaget sekali dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh terguling.

"Jangan pukul kakekku!" Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang.

Karena Hong Khi Hoatsu terkena hantaman tasbih, maka pengaruh sihirnya terhadap dua orang tadi pun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari luar, "Bayangan Dewa, jangan banyak menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!"

Girang hati Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah itu, yang bukan lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang tertua dan sisa dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek!

Seperti yang kita ketahui, empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini juga segera pergi meninggalkan Cin-ling-san sesudah Bun Houw berangkat, untuk berusaha mencari Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam, tetapi juga telah membunuh tujuh orang sute mereka.

Bila dibandingkan dengan Bun Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum memiliki banyak pengalaman di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh Cin-ling-pai ini jauh lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga belum berhasil dalam penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya. Ketika mereka mendengar keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan cepat melakukan pengejaran.

Mereka merasa sangat khawatir kalau-kalau para musuh besar ini hendak mengganggu puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang bersama suaminya dan kedua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka mencari dan menyelidiki musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak tahu atau mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka. Demikianlah, mereka sampai di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

Ketika mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah. Dia memandang empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana itu, lalu membentak, "Siapakah kalian?"

Pat-pi Lo-sian belum pernah bertemu dengan empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini maka biar pun tadi mereka mengaku sebagai orang-orang dari Cin-ling-pai, dia masih tak dapat menduga siapa mereka.

Di lain fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya juga baru sekarang bertemu dengan mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sute-nya menjawab tenang dengan sikap gagah, "Lebih dahulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?"

Pat-pi Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh ejekan dan memandang rendah. "Kalau benar demikian, kalian mau apa? Siapakah kalian?"

"Kami adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama kami mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami," jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

"Ahhh! Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang di antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini empat yang lainnya datang mengantar nyawa untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini."

"Jahanam, bersiaplah kalian untuk mampus!" Kwee Kin Ta membentak lantas pedangnya digerakkan, berubah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian. Ketiga orang sute-nya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang Bayangan Dewa lainnya.

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan kepalang menyaksikan gerakan pedang yang dipegang oleh Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu saja memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak sambil mencabut pedangnya pula, yaitu sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular dan mengeluarkan bau amis.

"Cringgg... trangg... singgg!"

"Hemmm...!" Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling bertemu, secara aneh sekali pedang lawan itu meluncur melewat tubuh pedangnya, begitu licin dan tidak terduga-duga langsung menyambar ke arah tangannya yang memegang gagang pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan menghindarkan diri dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu.

Tiga orang sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya apa bila dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, mereka itu dahulunya hanyalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat, dan mereka pun amat jarang bertanding sehingga dalam pertandingan melawan tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera terdesak hebat karena lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan curang yang memang terdapat di dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum sesat.

Tiba-tiba saja terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian yang keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak memanggil nama empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan suara parau dia bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas, dan tanpa disadari oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh kekuatan mukjijat dan telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian.

Karena perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu, tentu saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan langsung membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh Cin-ling-pai!

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main pada waktu ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang di tangan Kwee Kin Ta.

"Jangan dengarkan dia! Jangan dengarkan!" Dia memekik untuk memperingatkan teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat.

Akan tetapi suaranya ini segera tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan teriakannya itu memakai nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu, dan dia sendiri sama sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian itu. Makin lama gerakan mereka makin kacau dan sekarang mulailah empat orang tokoh kaum sesat itu menggerak-gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi Hoatsu!

Mereka mulai ikut bernyanyi sungguh pun mereka masih berloncatan ke sana-sini untuk menangkis mau pun menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong Khi Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat orang itu pun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan mereka pun ikut menangis!

Keadaan keempat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi Hoatsu mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua kali terkena senjata lawan, meski pun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan hati mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin mulai bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka ‘terikat’ oleh suara nyanyian itu!

"Supek, hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!" Lie Seng berteriak sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supek-nya, yaitu para suheng dari ibunya berhasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok kongkong-nya itu.

Karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka beberapa kali empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal sudah mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tidak lama lagi empat orang tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka.

"Hayo serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan menyerahlah kalian untuk kami tangkap!" berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan pedangnya. Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka hidup-hidup ke depan suhu-nya dan juga untuk mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam yang mereka curi.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking yang amat menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi seekor burung hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara yang melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khikang yang demikian kuatnya hingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari nyanyian Hong Khi Hoatsu!

Kakek ahli sihir ini terkejut sekali dan empat orang tokoh kaum sesat itu menjadi girang karena baru sekarang mereka mampu membebaskan perhatian mereka dari nyanyian kakek itu sehingga kelihaian mereka pulih lagi karena perhatian mereka kini tercurahkan pada gerakan tubuh mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi berbalik terdesak hebat!

Melihat ini, Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat keluar untuk mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu sampai di luar ruangan, dia melihat seorang wanita cantik berkelebat dari luar, karena itu cepat Hong Khi Hoatsu telah menggerakkan kedua tangannya dan ujung lengan bajunya menotok ke arah jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu.

"Plakk-plakk!"
Ujung lengan baju itu dengan tepat mengenai pundak dan pinggang, tepat mengenai jalan darah, akan tetapi anehnya, wanita itu sama sekali tidak menderita apa-apa seolah-olah totokan itu hanya merupakan sentuhan-sentuhan halus saja, bahkan dia lalu tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang menuju ke ruangan pertempuran, tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong Khi Hoatsu.

"Plakkk!”

“Ahhhhh...!"

Hong Khi Hoatsu terkejut bukan kepalang karena tamparan halus itu membuat seluruh tubuhnya terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak dapat dipertahankannya lagi, kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

"Sukong...!" Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya.

Ketika melihat kakeknya rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan mendadak dia menjadi beringas, meloncat bangun lalu memandang kepada wanita cantik itu dengan kedua tangannya yang kecil terkepal.

"Kau jahat sekali...! Kau telah membunuh sukong-ku...!"

Dengan gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng langsung meloncat dan cepat menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Walau pun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu silat yang murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur. Melihat kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum.

"Bagus...!" katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan Lie Sang yang memukulnya.

Sebelum Lie Seng sempat menggerakkan tangannya yang kedua, wanita cantik itu sudah menepuk tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan seluruh tubuh lemas dan lumpuh. Wanita cantik itu menoleh dan menonton pertempuran yang masih berlangsung dengan mati-matian itu sambil tersenyum mengejek.

Sekarang jelas tampak bahwa pertandingan itu berlangsung berat sebelah. Betapa pun gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat Bayangan Dewa yang kepandaiannya jauh lebih tinggi. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang sangat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak Kwee Kin Ta sehingga orang tua yang dahulu menjadi murid pertama kali ketua Cin-ling-pai ini hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan pedangnya makin menyempit.

Adik murid pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci yang mainkan pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan menghadapi Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya sebagai senjata. Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga sinkang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi kaku, dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu dipasangi potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan senjata yang ampuh.

Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga amat kerepotan dalam menghadapi Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang mempergunakan senjatanya berupa tasbih hijau. Dia terdesak, bahkan sudah dua kali terkena hantaman tasbih di pundak dan punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguh pun dia masih melawan mati-matian dan sedikit pun tidak kelihatan gentar atau turun semangat.

Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali terkena sambaran pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit. Namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak mempedulikan rasa nyeri karena luka-lukanya yang mengucurkan darah.

Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak mereka kenal dan telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu dari pada terhadap diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus.

Namun akhirnya, berturut-turut keempat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok teringat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja membuat dia beserta tiga orang temannya celaka, maka tiba-tiba dia berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi.

Wanita itu memandang semua kejadian itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek sambil memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dari tubuh Hong Khi Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie Seng dan mengulurkan tangannya hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian!

Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sinkang untuk melawan dan sesudah dia mengatur pernapasan baru serangan hawa panas itu menghilang.

Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia dan kawan-kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi penghias rambut wanita itu, dia pun menjadi terkejut sekali.

"Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?" Dia terkejut ketika teringat akan berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan kini menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang sudah pernah bertemu dengan In Hong dan merasakan kelihaian dara cantik itu, juga terkejut sekali karena dia mengira bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini. Karena itu dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata,

"Toanio tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Apa bila benar demikian, kita bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?"

Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.

"Hemmm, Yap In Hong adalah muridku."

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena dia pun sudah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat dia pun menjura dan berkata, "Ahh, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang ternyata masih amat muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah..."

"Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Justru karena kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku juga mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah itu?"

Pat-pi Lo-sian tertawa bangga. "Tidak banyak orang yang akan sanggup melakukan itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Memang kami telah merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai."

"Bagus! Nah, kau serahkan pedang itu kepadaku."

"Ahhh, mana mungkin itu? Sebagai seorang pangcu (ketua) Toanio tentu maklum betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan merampas Siang-bhok-kiam."

"Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Jika tadi aku tidak datang, apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena kalian sudah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang itu padaku sebagai imbalan pertolonganku tadi."

"Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa pedang itu kami serahkan demikian saja kepada pangcu?" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. "Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apa lagi bila perintah itu datang dari seorang wanita muda seperti toanio."

Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia berkata lirih, "Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah, rasakanlah ini!"

Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan yang dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang kaget setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbih hijau di tangannya untuk menangkis.

"Rrriiikk... desss...!"

Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Walau pun jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya dan baru bertemu dengan tasbihnya, namun tenaga mukjijat yang sangat kuat menyerangnya melalui tasbihnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang memandang dengan kedua mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sinkang yang amat dahsyat.

"Toanio, jangan sombong engkau!" Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak kawan sudah meloncat ke depan lantas menggerakkan senjata joanpian-nya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas.

"Tar-tar-tarrrr...!"

Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok.

Akan tetapi dengan tenang sekali Yo Bi Kiok miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali tidak dapat terlepas!

Harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki ginkang kilat dan sinkang kuat, akan tetapi satu kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mukjijat yang menjepit ujung cambuknya.

"Haiiiittttttt...!"

Mendadak Bu Sit membentak dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya.

"Siuuuttt... tarrr...!"

Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Pada waktu dia melihat dengan muka pucat, ternyata di ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk baja itu hanya terbuat dari tanah liat saja!

"Hebat sekali engkau, pangcu!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.

"Hemmm, pergilah kau!" Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya.

Gu Lo It yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekali pun. Apa lagi hanya dua lengan tangan wanita yang berkulit halus itu!

"Plakk! Plakk! Ehhh...!"

Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya. Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu tadi menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian wanita ini benar-benar sangat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan dia pun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang temannya tadi. Maka dia cepat menjura sambil berkata,

"Ternyata bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami merasa kagum sekali dan mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya untuk urusan sebatang pedang kayu saja seyogyanya kami mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayangnya hal itu tidak mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain."

"Hemmm..." Yo Bi Kiok mendengus kecewa, akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak berbohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi. " Tadi aku melihat kalian hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?"

Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng kemudian tersenyum. "Pangcu, urusan dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?"

Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan meski pun pandang matanya tetap dingin tak acuh.

"Tentu saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu kalian maka sudah sepantasnya kalau aku mendengar pula mengapa kalian hendak menangkap bocah ini."

Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebenarnya, walau pun tiga orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, akan tetapi dia sendiri belum tentu kalah apa lagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari fihak Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia pun maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya bila dia menanam bibit permusuhan dengan fihak lain. Apa lagi dengan fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula.

Sebaliknya, dia harus menarik semua fihak, terutama yang kuat, sebagai sahabatnya agar dapat membantunya apa bila kelak dia terpaksa menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jeri menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama keempat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah sedemikian tangguhnya, apa lagi gurunya! Dan wanita cantik ini pun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan.

“Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin tahu. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya..."

"Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak berani menghadapi ketua Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu apa pun?" Yo Bi Kiok mengejek.

Sungguh pun wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang laki-laki lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, akan tetapi dia sama sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia tujukan pada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita.

Sekarang wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan kedua matanya terbelalak dipenuhi rasa penasaran. "Pangcu dari Giok-hong-pang, kau anggap kami ini orang-orang apa yang hendak mengganggu anak-anak?" Teriaknya, akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. "Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai memiliki banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya supaya datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami."

Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng.

"Baguslah kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian sangat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di sana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!" Sesudah berkata demikian, dengan sekali berkelebat saja Bi Kiok sudah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya.

Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berubah, sebentar merah sebentar pucat. Baru kali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apa lagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik!

"Si keparat...!" Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. "Kalau saja tidak ingat akan keadaan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!"

"Dia memang sombong sekali," kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi sudah dibikin malu. "Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman untuk menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!"

Pat-pi Lo-sian menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. "Betapa pun juga, urusan dengan dia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!"

"Habis, apa yang akan kau lakukan, twako?" tanya pula Liok-te Sin-mo Gu Lo It kepada temannya yang tertua itu.

"Tidak ada jalan lain, sementara kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu," jawab yang ditanya.

"Ah, akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!" Hok Hosiang berseru.

"Sam-te (adik ketiga) jangan salah hitung, justru sebaliknya malah, dengan mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi fihak kita. Kita boleh siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan begitu Cia Keng Hong akan mencari ke sana dan memusuhinya pula? Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah."

Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini keadaannya amat mengerikan itu, di mana menggeletak mayat empat orang pertama dari Cap-it Ho-han beserta mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang melihat ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang tadi sudah dibunuh terlebih dulu oleh empat orang Bayangan Dewa.

********************

Dunia dipenuhi dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat. Permusuhan, kebencian, bunuh-membunuh dan perang semakin memenuhi dunia.

Kenapa demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan kekerasan di sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia belaka.

Semua orang berbicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh kebencian terhadap sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya. Seluruh dunia berbicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan diperkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam dua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang?

Dunia beserta keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai dunia menjadi macam sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang dijadikan sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi.

Kita selalu menujukan mata dan telinga kita ke arah luar, mencari-cari segala yang dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita. Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat serta kekotoran kita. Kita tak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin.

Hanya penglihatan akan kenyataan mengenai keadaan diri kita yang kotor sajalah yang akan mendatangkan perubahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan mengerti sampai ke akar-akarnya. Ada pun kekotoran orang lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal kekotoran diri sendiri maka akan terjadi perubahan pada diri kita.


********************

Dengan kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok mengempit tubuh Lie Seng dan menggunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di sepanjang Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia pergi meninggalkan kota Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek.

Seperti kita ketahui, sesudah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok membawa anak buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu. Kemunculan wanita ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu dahsyat dan mukjijat yang didapatkannya dari bokor emas milik Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw itu.

Yo Bi Kiok sudah mendengar pula tentang peristiwa yang melanda Cin-ling-pai, tentang Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai, maka timbul keinginan hatinya untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar adalah sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah pula menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw.

Lie Seng adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan tidak mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi betapa kakeknya tewas, juga empat orang tua yang dia ingat merupakan murid-murid utama kongkong-nya di Cin-ling-pai itu pun tewas. Tentu saja dia merasa ngeri dan berduka sekali, dan dia pun tahu bahwa dia kini terjatuh ke tangan seorang wanita yang jahat dan kejam seperti iblis.

Akan tetapi dia tidak merasa takut, dan selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal bagaimana cara dia akan dapat membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau mungkin membalas kematian kakeknya yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena dia tadi sudah dirobohkan dengan totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan tenaga di tubuhnya yang lemas itu sia-sia belaka.

Akhirnya dia pun teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu pelajaran untuk menggunakan hawa murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka meski pun tubuhnya terasa lemas, akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya sambil memejamkan mata ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh wanita itu.

Lebih satu jam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang diperlancar oleh hawa murni itu berhasil menembus jalan darah yang tertotok. Tak lama kemudian bebaslah dia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak kembali seperti biasa!

Pada saat itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu, telah memindahkannya ke atas pundak kirinya. Sekarang dia memanggul tubuh Lie Seng dan memegangi atau merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di belakang punggungnya.

Lie Seng yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera menggunakan kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta, mengangkat kepalanya dan mempergunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung indah itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu, digigitnya sekuat tenaga!

"Aduhhh...aduhhhh...!" Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh tubuhnya panas dingin dan menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan dengan gerakan kuat dia menggoyang tubuh sehingga jambakan serta gigitan Lie Seng terlepas dan anak itu terlempar dan terjatuh ke atas tanah.

Bi Kiok meraba lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat kepada anak itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada artinya bagi Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat rasanya adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu sudah mencium kulit lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori!

"Keparat, biar pun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki yang hina dan kotor!" bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan.

"Plak-plak-plakkk!"

Bertubi-tubi kedua telapak tangannya menampar muka Lie Seng. Bocah ini melawan dan berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja telapak tangan itu hinggap di kedua pipinya dengan tepat dan keras.

Tentu saja Bi Kiok tidak mempergunakan tenaga sinkang, karena kalau demikian halnya, ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justru ini malah lebih menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya.

Bocah itu akhirnya roboh terguling. Matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya amat pening dan telinganya mendengar suara berdengung. Mukanya terasa seperti dibakar, panas dan nyeri.

Walau pun sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda kemarahannya. Selama hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja, yaitu kepada Yap Kun Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena patah hati, dia membenci kaum pria, apa lagi di dalam perantauannya dia menyaksikan betapa kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat kebenciannya makin menghebat.

Belum lama ini, dia berjumpa kembali dengan Kun Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong tidak mau menyambut uluran hatinya dan hal ini sangat menyakitkan hati Bi Kiok. Selama hidupnya, baru Kun Liong seorang yang menjadi satu-satunya pria yang pernah menjamahnya, biar pun hanya bersifat cumbuan biasa saja.

Akan tetapi sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah terpendam dan karenanya membuat dia marah seperti gila.

"Kau... kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?"

"Dan kau wanita iblis!" Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikit pun dia tidak merasa takut dan sungguh pun kepalanya seperti berputar rasanya, serta mukanya nyeri sekali seperti akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini.

"Kau bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah nanti kutotok dua jalan darahmu, apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun kepadaku!"

"Iblis betina! Siapa sudi minta ampun kepadamu? Bunuhlah, aku tidak takut dan sampai mampus aku tidak akan sudi minta ampun padamu!" Lie Seng menantang dan dia sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian.

Biar pun dia tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supek-nya dan sukong-nya adalah empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung oleh tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita itu. Tadi empat orang supek-nya, dibantu oleh sukong-nya, sudah hampir menang. Kemudian wanita inilah yang merubah keadaan hingga mengakibatkan kekalahan dan kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita inilah!

"Bocah laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah kubunuh kau!"

Akan tetapi, dengan keberanian luar biasa Lie Seng sudah meloncat ke depan kemudian menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu saja Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sinkang dengan maksud untuk membuat sepasang kepalan tangan itu patah-patah tulangnya.

"Plakk! Bukkk!"

Dua kali pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok dan wanita ini berteriak kaget.

"Aihhhhh...!"

Dia terhuyung ke belakang, mukanya pucat bukan main dan matanya terbelalak. Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara mendadak tenaganya itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya kena dipukul oleh sepasang kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi tentu saja cukup terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-tiba menjadi lenyap?

"Akan kubunuh kau...!" Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu lalu meloncat dan menyerang lagi.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi Kiok, setinggi leher wanita itu. Maka kini kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menampar ke arah leher dan pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima tamparan itu dan sekaligus menyampok pergelangan tangan Lie Seng agar patah tulangnya.

"Plak! Plak! Aihhh...!"

Kembali Bi Kiok terkena tamparan sampai pipi dan lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan cepat memandang ke kanan kiri dengan muka pucat sekali. Kembali dia tidak berhasil mengerahkan sinkang, bahkan hebatnya, pada waktu dia menggerakkan tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng, secara tiba-tiba saja tangannya tidak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa menyambar dari kiri.

"Keparat...!" Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri akan tetapi tidak ada orang di situ.

Lie Seng sudah menyeruduk maju lagi, sekarang anak itu menggunakan kepalanya untuk menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang masih kebingungan itu melihat serangan ini, menjadi marah dan ingin menyambut dengan hantaman maut. Maka, sesudah Lie Seng menyeruduk dekat, dia hendak menggerakkan tangan menghantam.

Akan tetapi dari belakang dia merasa ada hawa aneh menyambar, dan... dua tangannya sama sekali tidak dapat dia gerakkan. Sementara itu, kepala anak itu sudah menyentuh perutnya. Dia mengerahkan sinkang untuk menghancurkan kepala anak itu.

"Desssss...!"

Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sinkang-nya bagai molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia terjengkang.

"Ehhhh...!"

Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, segera mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorang pun.

Bulu tengkuknya meremang. Dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dia bisa dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apa lagi yang dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri!

"Cuattt... cuattt...!"

Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah tubuh Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur bagaikan kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu.

Lie Seng berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekali pun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika.

"Tranggg...! Trakkk!"

Tiba-tiba dua berkas sinar pedang itu menyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di hadapan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong....
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 13

Dewi Maut Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PERISTIWA itu membuat Liok Sun merasa makin percaya kepada Bun Houw. Dia pun tidak melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin salah seorang di antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini sama sekali tidaklah keliru karena wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim.

Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, tentu saja hatinya merasa gembira sekali. Tidak percuma dia mendekati Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya.

Maka berangkatlah mereka berdua dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan senang hati karena dia pun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin kembali.

********************

Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng tangan Lie Seng dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek, muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu menambah keriput pada wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andai kata tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki pekarangan rumah mendiang muridnya itu.

"Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..." Lie Seng berkata.

Ucapan anak kecil ini terasa bagaikan pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu. Dia lalu menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh dengan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu.

Muridnya, Lie Kong Tek, tadinya hidup berbahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali, berubah secara hebat dan kebahagiaan itu kini berubah menjadi kesengsaraan lahir batin yang menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, menantunya pergi mencari penjahat yang belum diketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan ayah bunda!

Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia, terasa makin sunyi. Tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh kegembiraan dengan suara tawa dari dua orang cucunya, senyum manis mantunya, dan gelak tawa muridnya sekarang hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.

Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka selama kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita mengikatkan diri dengan segala sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan abadi. Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan, dengan harta, dengan nama dan sebagainya.

Pengikatan diri dengan semua ini dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik kesenangan duniawi mau pun kesenangan rohani. Apa bila sewaktu-waktu kita diharuskan terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.

Sesungguhnya baik suka mau pun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak pada harta, kedudukan, nama dan sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya.

Di manakah letaknya kekayaan? Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda? Bukan, melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Meski pun orang memiliki lima buah gunung emas, apa bila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta adalah orang miskin apa bila dia menginginkan barang yang harganya lebih mahal dari jumlah itu.

Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan, dari apa pun yang berada di dalam tangannya, betapa pun tinggi nilai benda itu, apa bila dia masih menginginkan barang yang lain dari pada yang telah dimilikinya. Dan orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, tak akan pernah merasa cukup dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang dinamakan kebahagiaan hidup.

Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi kehidupan dan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan lapang, dengan gembira maka dia tidak pernah tenggelam di dalam duka mau pun suka. Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa. Keadaan demikian ini akan membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya selalu jatuh bangun di antara suka dan duka.

Akan tetapi betapa menyedihkan karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya sebagai hal yang ‘sudah semestinya’. Hidup yang penuh dengan duka nestapa, kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah menerima kehidupan semacam ini sebagai hal yang semestinya!

Kita selalu mengejar kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri pada pemuasan kesenangan sungguh pun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!

Tak ada kekuasaan apa pun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan kehidupan yang bersumber dalam diri pribadi, kecuali kita sendiri. Bukan kita yang mengusahakan perubahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, namun dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar dan dalam, dengan pengawasan serta pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau semua perintang dan penghalang dari perubahan.

Pengertian yang mendalam inilah yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati mengenai filsafat atau kebatinan mana pun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan diperalat untuk membanggakan diri belaka.


"Sukong, mengapa begini sunyi? Ke mana perginya para pelayan?" Lie Seng berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak.

Anak berusia dua belas tahun ini telah dapat merasakan kehebatan mala petaka yang menimpa keluarganya, dan kini, saat mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perubahan hebat karena rumah itu sekarang seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.

"Aku juga merasa amat heran..." kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan.

Namun dia dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.

Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia menatap penuh perhatian, kemudian mengangkat tangan di depan dada sambil bertanya, "Maafkan apa bila saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan su-wi mencari siapa?"

Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian serba putih, tertawa dan berkata kepada kawan-kawannya, "Kalian berhati-hatilah. Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan ilmu sihirnya, lawan dengan sinkang dan tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."

Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk dengan kedatangan mereka yang aneh ini.

"Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi mereka tidak ada dan kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"

"Manusia-manusia jahat, mau apa kalian mencari ibuku?" Lie Seng yang masih dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicara pun sudah terlambat.

"Ha-ha-ha, inikah puteranya? Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai? Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali!"

Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biar pun dia belum pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia telah mendengar penuturan Cia Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.

"Hemmm... masih kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?" Hong Khi Hoatsu berkata. "Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?"

"Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami. Kau berikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi."

Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. "Kiranya Lima Bayangan Dewa yang terkenal gagah karena telah berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah lima orang pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya? Dia bersama isterinya sudah siap untuk membasmi kalian."

"Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu!"

"Haaiiitttt...! Siapa yang kau cari? Anak kecil ini tidak ada di sini!" Tiba-tiba saja Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berubah menjadi gulungan asap putih!

"Awas, jangan terpedaya. Serang...!" Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru nyaring sambil mengerahkan khikang-nya hingga suaranya mengandung getaran dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi-tubi secepat kilat dan mengandung kekuatan sinkang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.

"Plak-plak-plak...!"

Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan tetapi dia langsung terhuyung karena tenaganya memang kalah kuat oleh Si Dewa Tua Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.

Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, meski pun hanya menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apa lagi dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar mempunyai kepandaian yang hebat dan tenaga sinkang yang besar.

Dia hanya dapat mengandalkan ilmu hoatsut (sihir). Akan tetapi karena empat orang itu sudah siap dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.

"Berlutut engkau...!" bentaknya keras ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya.

Bu Sit terkejut dan biar pun tadi dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, lalu memandang sehingga tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga memandang dan terpengaruh, biar pun sudah dia pertahankan dengan kekuatan batinnya.

"Ilmu setan!" Hok Hosiang yang berjulukan Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa Tersenyum Bertangan Sakti) dan berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan tangan kirinya.

Tasbih hijau yang merupakan senjata istimewanya itu menyambar dan berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek ini kaget sekali dan cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya keserempet dan dia roboh terguling.

"Jangan pukul kakekku!" Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang.

Karena Hong Khi Hoatsu terkena hantaman tasbih, maka pengaruh sihirnya terhadap dua orang tadi pun membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari luar, "Bayangan Dewa, jangan banyak menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!"

Girang hati Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah itu, yang bukan lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang tertua dan sisa dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek!

Seperti yang kita ketahui, empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini juga segera pergi meninggalkan Cin-ling-san sesudah Bun Houw berangkat, untuk berusaha mencari Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam, tetapi juga telah membunuh tujuh orang sute mereka.

Bila dibandingkan dengan Bun Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum memiliki banyak pengalaman di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh Cin-ling-pai ini jauh lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga belum berhasil dalam penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya. Ketika mereka mendengar keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan cepat melakukan pengejaran.

Mereka merasa sangat khawatir kalau-kalau para musuh besar ini hendak mengganggu puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang bersama suaminya dan kedua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka mencari dan menyelidiki musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak tahu atau mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka. Demikianlah, mereka sampai di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

Ketika mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah. Dia memandang empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana itu, lalu membentak, "Siapakah kalian?"

Pat-pi Lo-sian belum pernah bertemu dengan empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini maka biar pun tadi mereka mengaku sebagai orang-orang dari Cin-ling-pai, dia masih tak dapat menduga siapa mereka.

Di lain fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya juga baru sekarang bertemu dengan mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sute-nya menjawab tenang dengan sikap gagah, "Lebih dahulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?"

Pat-pi Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh ejekan dan memandang rendah. "Kalau benar demikian, kalian mau apa? Siapakah kalian?"

"Kami adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama kami mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami," jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

"Ahhh! Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang di antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini empat yang lainnya datang mengantar nyawa untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini."

"Jahanam, bersiaplah kalian untuk mampus!" Kwee Kin Ta membentak lantas pedangnya digerakkan, berubah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian. Ketiga orang sute-nya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang Bayangan Dewa lainnya.

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan kepalang menyaksikan gerakan pedang yang dipegang oleh Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu saja memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak sambil mencabut pedangnya pula, yaitu sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular dan mengeluarkan bau amis.

"Cringgg... trangg... singgg!"

"Hemmm...!" Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling bertemu, secara aneh sekali pedang lawan itu meluncur melewat tubuh pedangnya, begitu licin dan tidak terduga-duga langsung menyambar ke arah tangannya yang memegang gagang pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan menghindarkan diri dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu.

Tiga orang sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya apa bila dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.

Akan tetapi, mereka itu dahulunya hanyalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat, dan mereka pun amat jarang bertanding sehingga dalam pertandingan melawan tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera terdesak hebat karena lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan curang yang memang terdapat di dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum sesat.

Tiba-tiba saja terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian yang keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak memanggil nama empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan suara parau dia bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas, dan tanpa disadari oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh kekuatan mukjijat dan telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian.

Karena perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu, tentu saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan langsung membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh Cin-ling-pai!

Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main pada waktu ujung lengan bajunya terbabat putus oleh pedang di tangan Kwee Kin Ta.

"Jangan dengarkan dia! Jangan dengarkan!" Dia memekik untuk memperingatkan teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat.

Akan tetapi suaranya ini segera tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan teriakannya itu memakai nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu, dan dia sendiri sama sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian itu. Makin lama gerakan mereka makin kacau dan sekarang mulailah empat orang tokoh kaum sesat itu menggerak-gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi Hoatsu!

Mereka mulai ikut bernyanyi sungguh pun mereka masih berloncatan ke sana-sini untuk menangkis mau pun menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong Khi Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat orang itu pun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan mereka pun ikut menangis!

Keadaan keempat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi Hoatsu mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua kali terkena senjata lawan, meski pun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan hati mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin mulai bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka ‘terikat’ oleh suara nyanyian itu!

"Supek, hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!" Lie Seng berteriak sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supek-nya, yaitu para suheng dari ibunya berhasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok kongkong-nya itu.

Karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka beberapa kali empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal sudah mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tidak lama lagi empat orang tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka.

"Hayo serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan menyerahlah kalian untuk kami tangkap!" berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan pedangnya. Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka hidup-hidup ke depan suhu-nya dan juga untuk mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam yang mereka curi.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking yang amat menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi seekor burung hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara yang melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khikang yang demikian kuatnya hingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari nyanyian Hong Khi Hoatsu!

Kakek ahli sihir ini terkejut sekali dan empat orang tokoh kaum sesat itu menjadi girang karena baru sekarang mereka mampu membebaskan perhatian mereka dari nyanyian kakek itu sehingga kelihaian mereka pulih lagi karena perhatian mereka kini tercurahkan pada gerakan tubuh mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi berbalik terdesak hebat!

Melihat ini, Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat keluar untuk mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu sampai di luar ruangan, dia melihat seorang wanita cantik berkelebat dari luar, karena itu cepat Hong Khi Hoatsu telah menggerakkan kedua tangannya dan ujung lengan bajunya menotok ke arah jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu.

"Plakk-plakk!"
Ujung lengan baju itu dengan tepat mengenai pundak dan pinggang, tepat mengenai jalan darah, akan tetapi anehnya, wanita itu sama sekali tidak menderita apa-apa seolah-olah totokan itu hanya merupakan sentuhan-sentuhan halus saja, bahkan dia lalu tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang menuju ke ruangan pertempuran, tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong Khi Hoatsu.

"Plakkk!”

“Ahhhhh...!"

Hong Khi Hoatsu terkejut bukan kepalang karena tamparan halus itu membuat seluruh tubuhnya terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak dapat dipertahankannya lagi, kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

"Sukong...!" Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya.

Ketika melihat kakeknya rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan mendadak dia menjadi beringas, meloncat bangun lalu memandang kepada wanita cantik itu dengan kedua tangannya yang kecil terkepal.

"Kau jahat sekali...! Kau telah membunuh sukong-ku...!"

Dengan gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng langsung meloncat dan cepat menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Walau pun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah digembleng oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu silat yang murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur. Melihat kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum.

"Bagus...!" katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan Lie Sang yang memukulnya.

Sebelum Lie Seng sempat menggerakkan tangannya yang kedua, wanita cantik itu sudah menepuk tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan seluruh tubuh lemas dan lumpuh. Wanita cantik itu menoleh dan menonton pertempuran yang masih berlangsung dengan mati-matian itu sambil tersenyum mengejek.

Sekarang jelas tampak bahwa pertandingan itu berlangsung berat sebelah. Betapa pun gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat Bayangan Dewa yang kepandaiannya jauh lebih tinggi. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang sangat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak Kwee Kin Ta sehingga orang tua yang dahulu menjadi murid pertama kali ketua Cin-ling-pai ini hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan pedangnya makin menyempit.

Adik murid pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci yang mainkan pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan menghadapi Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya sebagai senjata. Biar pun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga sinkang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang menjadi kaku, dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu dipasangi potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan senjata yang ampuh.

Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga amat kerepotan dalam menghadapi Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang mempergunakan senjatanya berupa tasbih hijau. Dia terdesak, bahkan sudah dua kali terkena hantaman tasbih di pundak dan punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguh pun dia masih melawan mati-matian dan sedikit pun tidak kelihatan gentar atau turun semangat.

Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali terkena sambaran pecut baja di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit. Namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak mempedulikan rasa nyeri karena luka-lukanya yang mengucurkan darah.

Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak mereka kenal dan telah merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu dari suhu mereka itu dari pada terhadap diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus.

Namun akhirnya, berturut-turut keempat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok teringat akan ulah kakek ini yang tadi hampir saja membuat dia beserta tiga orang temannya celaka, maka tiba-tiba dia berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi.

Wanita itu memandang semua kejadian itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek sambil memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dari tubuh Hong Khi Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie Seng dan mengulurkan tangannya hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah Pat-pi Lo-sian!

Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali, mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sinkang untuk melawan dan sesudah dia mengatur pernapasan baru serangan hawa panas itu menghilang.

Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan wanita ini dia dan kawan-kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang menjadi penghias rambut wanita itu, dia pun menjadi terkejut sekali.

"Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?" Dia terkejut ketika teringat akan berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan kini menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang sudah pernah bertemu dengan In Hong dan merasakan kelihaian dara cantik itu, juga terkejut sekali karena dia mengira bahwa tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini. Karena itu dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata,

"Toanio tentulah ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Apa bila benar demikian, kita bukanlah orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia juga seorang tokoh Giok-hong-pang?"

Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang. Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.

"Hemmm, Yap In Hong adalah muridku."

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya, karena dia pun sudah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat dia pun menjura dan berkata, "Ahh, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang ternyata masih amat muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah..."

"Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Justru karena kalian Lima Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku juga mendengar bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah itu?"

Pat-pi Lo-sian tertawa bangga. "Tidak banyak orang yang akan sanggup melakukan itu, bukan? Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Memang kami telah merampas Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai."

"Bagus! Nah, kau serahkan pedang itu kepadaku."

"Ahhh, mana mungkin itu? Sebagai seorang pangcu (ketua) Toanio tentu maklum betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak akan merampas Siang-bhok-kiam."

"Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-taihiap bukan? Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Jika tadi aku tidak datang, apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja karena kalian sudah menjadi Empat Bayangan Arwah? Hayo lekas kalian serahkan pedang itu padaku sebagai imbalan pertolonganku tadi."

"Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana bisa pedang itu kami serahkan demikian saja kepada pangcu?" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. "Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa mentaati perintah orang yang tinggi hati, apa lagi bila perintah itu datang dari seorang wanita muda seperti toanio."

Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu terdengar dia berkata lirih, "Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku. Nah, rasakanlah ini!"

Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan yang dingin sekali menyambar, membuat Hok Hosiang kaget setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbih hijau di tangannya untuk menangkis.

"Rrriiikk... desss...!"

Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Walau pun jari tangan wanita itu tidak mengenai tubuhnya dan baru bertemu dengan tasbihnya, namun tenaga mukjijat yang sangat kuat menyerangnya melalui tasbihnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi sesak. Hok Hosiang memandang dengan kedua mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sinkang yang amat dahsyat.

"Toanio, jangan sombong engkau!" Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak kawan sudah meloncat ke depan lantas menggerakkan senjata joanpian-nya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas.

"Tar-tar-tarrrr...!"

Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok.

Akan tetapi dengan tenang sekali Yo Bi Kiok miringkan kepalanya sedikit, tangan kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung cambuk baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya, akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama sekali tidak dapat terlepas!

Harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah seorang tokoh sesat yang memiliki ginkang kilat dan sinkang kuat, akan tetapi satu kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mukjijat yang menjepit ujung cambuknya.

"Haiiiittttttt...!"

Mendadak Bu Sit membentak dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan jepitan dari tangannya.

"Siuuuttt... tarrr...!"

Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya sendiri. Pada waktu dia melihat dengan muka pucat, ternyata di ujung cambuknya itu terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk baja itu hanya terbuat dari tanah liat saja!

"Hebat sekali engkau, pangcu!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.

"Hemmm, pergilah kau!" Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus, kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya.

Gu Lo It yang terkenal sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekali pun. Apa lagi hanya dua lengan tangan wanita yang berkulit halus itu!

"Plakk! Plakk! Ehhh...!"

Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali lengannya. Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara wanita itu tadi menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa kepandaian wanita ini benar-benar sangat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan dia pun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga orang temannya tadi. Maka dia cepat menjura sambil berkata,

"Ternyata bukan berita kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami merasa kagum sekali dan mengingat akan kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya untuk urusan sebatang pedang kayu saja seyogyanya kami mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai tanda persahabatan. Akan tetapi sayangnya hal itu tidak mungkin kami lakukan sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain."

"Hemmm..." Yo Bi Kiok mendengus kecewa, akan tetapi matanya memandang kepada mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak berbohong. Lalu dia melihat tubuh anak laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi. " Tadi aku melihat kalian hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?"

Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng kemudian tersenyum. "Pangcu, urusan dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?"

Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan meski pun pandang matanya tetap dingin tak acuh.

"Tentu saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah membantu kalian maka sudah sepantasnya kalau aku mendengar pula mengapa kalian hendak menangkap bocah ini."

Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebenarnya, walau pun tiga orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, akan tetapi dia sendiri belum tentu kalah apa lagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari fihak Cin-ling-pai yang merupakan hal berbahaya karena dia pun maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-pai, maka tidak semestinya bila dia menanam bibit permusuhan dengan fihak lain. Apa lagi dengan fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula.

Sebaliknya, dia harus menarik semua fihak, terutama yang kuat, sebagai sahabatnya agar dapat membantunya apa bila kelak dia terpaksa menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jeri menghadapi ketua Cin-ling-pai seorang diri bersama keempat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-ling-pai tadi saja sudah sedemikian tangguhnya, apa lagi gurunya! Dan wanita cantik ini pun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan.

“Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin tahu. Bocah ini adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya..."

"Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak berani menghadapi ketua Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu apa pun?" Yo Bi Kiok mengejek.

Sungguh pun wanita ini dahulunya murid seorang datuk kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang laki-laki lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, akan tetapi dia sama sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya sikap kejamnya hanya dia tujukan pada kaum pria yang dianggapnya merupakan kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita.

Sekarang wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan kedua matanya terbelalak dipenuhi rasa penasaran. "Pangcu dari Giok-hong-pang, kau anggap kami ini orang-orang apa yang hendak mengganggu anak-anak?" Teriaknya, akan tetapi segera dia teringat akan sikapnya. "Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai memiliki banyak sekali sahabat dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya supaya datang menghadapi kami seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami."

Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng.

"Baguslah kalau begitu, aku jadi tahu bahwa kalian sangat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di sana aku akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!" Sesudah berkata demikian, dengan sekali berkelebat saja Bi Kiok sudah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie Seng bersamanya.

Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berubah, sebentar merah sebentar pucat. Baru kali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah orang lain, apa lagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda cantik!

"Si keparat...!" Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. "Kalau saja tidak ingat akan keadaan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!"

"Dia memang sombong sekali," kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi sudah dibikin malu. "Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman untuk menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!"

Pat-pi Lo-sian menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. "Betapa pun juga, urusan dengan dia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita untuk menghajar perempuan sombong itu!"

"Habis, apa yang akan kau lakukan, twako?" tanya pula Liok-te Sin-mo Gu Lo It kepada temannya yang tertua itu.

"Tidak ada jalan lain, sementara kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu," jawab yang ditanya.

"Ah, akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!" Hok Hosiang berseru.

"Sam-te (adik ketiga) jangan salah hitung, justru sebaliknya malah, dengan mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi fihak kita. Kita boleh siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan begitu Cia Keng Hong akan mencari ke sana dan memusuhinya pula? Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah."

Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah yang kini keadaannya amat mengerikan itu, di mana menggeletak mayat empat orang pertama dari Cap-it Ho-han beserta mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang melihat ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang tadi sudah dibunuh terlebih dulu oleh empat orang Bayangan Dewa.

********************

Dunia dipenuhi dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia. Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia bukan makin baik, melainkan makin jahat. Permusuhan, kebencian, bunuh-membunuh dan perang semakin memenuhi dunia.

Kenapa demikian? Mengapa manusia selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan kekerasan di sepanjang masa? Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun agaknya semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-sia belaka.

Semua orang berbicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh kebencian terhadap sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya. Seluruh dunia berbicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan diperkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam dua tangan dikepal, siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia semenjak dahulu sampai sekarang?

Dunia beserta keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai dunia menjadi macam sekarang ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang, di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang dijadikan sumber semua gerakan manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi.

Kita selalu menujukan mata dan telinga kita ke arah luar, mencari-cari segala yang dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita. Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat serta kekotoran kita. Kita tak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin.

Hanya penglihatan akan kenyataan mengenai keadaan diri kita yang kotor sajalah yang akan mendatangkan perubahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau kita dapat melihat sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita, maka kita akan mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu waspada. Kesadaran dan kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan hanya mengamati dan mengerti sampai ke akar-akarnya. Ada pun kekotoran orang lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan mengenal kekotoran diri sendiri maka akan terjadi perubahan pada diri kita.


********************

Dengan kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok mengempit tubuh Lie Seng dan menggunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di sepanjang Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia pergi meninggalkan kota Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek.

Seperti kita ketahui, sesudah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok membawa anak buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu. Kemunculan wanita ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu dahsyat dan mukjijat yang didapatkannya dari bokor emas milik Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw itu.

Yo Bi Kiok sudah mendengar pula tentang peristiwa yang melanda Cin-ling-pai, tentang Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai, maka timbul keinginan hatinya untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar adalah sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah pula menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia kang-ouw.

Lie Seng adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan tidak mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi betapa kakeknya tewas, juga empat orang tua yang dia ingat merupakan murid-murid utama kongkong-nya di Cin-ling-pai itu pun tewas. Tentu saja dia merasa ngeri dan berduka sekali, dan dia pun tahu bahwa dia kini terjatuh ke tangan seorang wanita yang jahat dan kejam seperti iblis.

Akan tetapi dia tidak merasa takut, dan selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal bagaimana cara dia akan dapat membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau mungkin membalas kematian kakeknya yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena dia tadi sudah dirobohkan dengan totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan tenaga di tubuhnya yang lemas itu sia-sia belaka.

Akhirnya dia pun teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu pelajaran untuk menggunakan hawa murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka meski pun tubuhnya terasa lemas, akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya sambil memejamkan mata ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh wanita itu.

Lebih satu jam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang diperlancar oleh hawa murni itu berhasil menembus jalan darah yang tertotok. Tak lama kemudian bebaslah dia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak kembali seperti biasa!

Pada saat itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu, telah memindahkannya ke atas pundak kirinya. Sekarang dia memanggul tubuh Lie Seng dan memegangi atau merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di belakang punggungnya.

Lie Seng yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera menggunakan kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta, mengangkat kepalanya dan mempergunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung indah itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu, digigitnya sekuat tenaga!

"Aduhhh...aduhhhh...!" Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh tubuhnya panas dingin dan menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan dengan gerakan kuat dia menggoyang tubuh sehingga jambakan serta gigitan Lie Seng terlepas dan anak itu terlempar dan terjatuh ke atas tanah.

Bi Kiok meraba lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat kepada anak itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada artinya bagi Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat rasanya adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu sudah mencium kulit lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori!

"Keparat, biar pun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki yang hina dan kotor!" bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan.

"Plak-plak-plakkk!"

Bertubi-tubi kedua telapak tangannya menampar muka Lie Seng. Bocah ini melawan dan berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja telapak tangan itu hinggap di kedua pipinya dengan tepat dan keras.

Tentu saja Bi Kiok tidak mempergunakan tenaga sinkang, karena kalau demikian halnya, ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justru ini malah lebih menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya.

Bocah itu akhirnya roboh terguling. Matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya amat pening dan telinganya mendengar suara berdengung. Mukanya terasa seperti dibakar, panas dan nyeri.

Walau pun sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda kemarahannya. Selama hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja, yaitu kepada Yap Kun Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena patah hati, dia membenci kaum pria, apa lagi di dalam perantauannya dia menyaksikan betapa kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat kebenciannya makin menghebat.

Belum lama ini, dia berjumpa kembali dengan Kun Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong tidak mau menyambut uluran hatinya dan hal ini sangat menyakitkan hati Bi Kiok. Selama hidupnya, baru Kun Liong seorang yang menjadi satu-satunya pria yang pernah menjamahnya, biar pun hanya bersifat cumbuan biasa saja.

Akan tetapi sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah terpendam dan karenanya membuat dia marah seperti gila.

"Kau... kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?"

"Dan kau wanita iblis!" Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikit pun dia tidak merasa takut dan sungguh pun kepalanya seperti berputar rasanya, serta mukanya nyeri sekali seperti akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini.

"Kau bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah nanti kutotok dua jalan darahmu, apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun kepadaku!"

"Iblis betina! Siapa sudi minta ampun kepadamu? Bunuhlah, aku tidak takut dan sampai mampus aku tidak akan sudi minta ampun padamu!" Lie Seng menantang dan dia sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian.

Biar pun dia tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supek-nya dan sukong-nya adalah empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung oleh tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita itu. Tadi empat orang supek-nya, dibantu oleh sukong-nya, sudah hampir menang. Kemudian wanita inilah yang merubah keadaan hingga mengakibatkan kekalahan dan kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita inilah!

"Bocah laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah kubunuh kau!"

Akan tetapi, dengan keberanian luar biasa Lie Seng sudah meloncat ke depan kemudian menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu saja Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sinkang dengan maksud untuk membuat sepasang kepalan tangan itu patah-patah tulangnya.

"Plakk! Bukkk!"

Dua kali pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok dan wanita ini berteriak kaget.

"Aihhhhh...!"

Dia terhuyung ke belakang, mukanya pucat bukan main dan matanya terbelalak. Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara mendadak tenaganya itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya kena dipukul oleh sepasang kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi tentu saja cukup terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-tiba menjadi lenyap?

"Akan kubunuh kau...!" Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu lalu meloncat dan menyerang lagi.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, akan tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi Kiok, setinggi leher wanita itu. Maka kini kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menampar ke arah leher dan pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima tamparan itu dan sekaligus menyampok pergelangan tangan Lie Seng agar patah tulangnya.

"Plak! Plak! Aihhh...!"

Kembali Bi Kiok terkena tamparan sampai pipi dan lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan cepat memandang ke kanan kiri dengan muka pucat sekali. Kembali dia tidak berhasil mengerahkan sinkang, bahkan hebatnya, pada waktu dia menggerakkan tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng, secara tiba-tiba saja tangannya tidak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa menyambar dari kiri.

"Keparat...!" Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri akan tetapi tidak ada orang di situ.

Lie Seng sudah menyeruduk maju lagi, sekarang anak itu menggunakan kepalanya untuk menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang masih kebingungan itu melihat serangan ini, menjadi marah dan ingin menyambut dengan hantaman maut. Maka, sesudah Lie Seng menyeruduk dekat, dia hendak menggerakkan tangan menghantam.

Akan tetapi dari belakang dia merasa ada hawa aneh menyambar, dan... dua tangannya sama sekali tidak dapat dia gerakkan. Sementara itu, kepala anak itu sudah menyentuh perutnya. Dia mengerahkan sinkang untuk menghancurkan kepala anak itu.

"Desssss...!"

Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sinkang-nya bagai molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja, maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan membuat dia terjengkang.

"Ehhhh...!"

Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, segera mencabut sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi, tidak nampak bayangan seorang pun.

Bulu tengkuknya meremang. Dengan kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dia bisa dipermainkan orang seperti itu? Apakah siluman yang telah mempermainkannya? Kalau manusia tidak mungkin! Mencari orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apa lagi yang dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri!

"Cuattt... cuattt...!"

Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang pendeknya itu ke arah tubuh Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur bagaikan kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu.

Lie Seng berdiri seperti terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekali pun! Agaknya sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika.

"Tranggg...! Trakkk!"

Tiba-tiba dua berkas sinar pedang itu menyeleweng dan dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di hadapan kaki Lie Seng, yang sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua potong....
Selanjutnya,