Dewi Maut Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa sejak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam hingga kematian tujuh orang anggota Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya tinggal di Cin-ling-san dengan hati dipenuhi keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala, yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang melakukan penyelidikan secara terpisah, mencari Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.

Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng, meski pun sudah berusia enam puluh tahun namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, namun membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan.

"Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan," Cia Keng Hong menghibur isterinya.

"Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang telah mencari permusuhan," bantah isterinya.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang."

"Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?" isterinya menegur.

"Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu..."

"Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita semenjak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi hingga mati pun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?"

Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus-elus jenggotnya. "Memang begitulah pendirian kita. Kita selalu menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lain pun, termasuk orang-orang yang kita musuhi itu, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar jika kedua belah fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua telah terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkan semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih tetap ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang telah timbul dapat saja diobati dan disembuhkan, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadap kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat memasuki hati siapa pun juga. Yang hari ini baik mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti penyakit, dan orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waras pun bisa saja jatuh sakit sewaktu-waktu!"

"Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita ini pun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?"

"Kenapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapa pun bisa saja terkena bila tidak waspada. Siapa pun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan."

"Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!"

"Aihh, pendekar mau pun pendeta pun hanya manusia-manusia biasa saja yang tak akan terluput dari pada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya akan menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini, oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik dia pendekar mau pun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri."

Percakapan mereka terpaksa berhenti pada saat seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat-cepat berkata kepada isterinya,

"Mari kita keluar!"

Sie Biauw Eng sudah mengenal benar watak dan sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, dia pun segera menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap dia mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya sudah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.

Begitu mereka keluar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung memanggil ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak,

"Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!"

Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng menjadi kaget sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. "Keng-ji, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu.

Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, "Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang sangat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang sudah terjadi...?"

Kun Liong tak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekar sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali sehingga tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata,

"Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kau tanyakan kepada puterimu itu saja."

Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, maka dia pun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya.

"Giok Keng, apa yang sudah terjadi? Hayo jawab!" Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis.

"Ayah..." Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. "Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan cara kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka betul-betul telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!" Giok Keng menangis lagi.

Mendengar ucapan puterinya ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya bersinar-sinar laksana mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah kedua orang itu hendak ditelannya.

"Keparat...!" Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap-luap. "Sungguh tak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?" Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.

"Supek... dan supek-bo (uwa guru)... saya... isteri saya..." Kun Liong tidak sanggup lagi melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali.

Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai adalah sebuah penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.

"Hayo lekas katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?" Sie Biauw Eng membentak, makin marah.

"Isteri teecu... mati terbunuh..."

Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba dan alisnya berkerut.

Akan tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah karena keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, "Isterimu mati dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?"

"Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya ini."

Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali. Dia mengeluarkan seruan keras sekali lalu meloncat ke belakang, menoleh dan memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia segera mendekati Giok Keng sambil bertanya,

"Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan jika benar, apa sebabnya?" Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!

"Ohh, ibuuu...!" Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, lalu menangis. "Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!"

"Cukup! Hentikan tangismu dan tenanglah! Biar setan sekali pun akan kulawan kalau dia berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, lekas bangkit dan berdirilah!" Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.

"Hmm, kalian sungguh tak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina anakku, memaksa dan menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!"

"Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, walau anaknya berdosa sekali pun, tetap akan dibelanya. Anakmu itu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan nyawa!"

"Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andai kata anakku membunuh seseorang, itu pun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa? Nyawamu sendiri gantinya!"

"Jangan...!" Cia Keng Hong berseru.

Akan tetapi Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan lambung Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat.

"Plak-plak-desss...!"

Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa langkah.

"Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!" Cia Keng Hong menjadi tidak senang melihat isterinya terdesak. Dia sudah menggerakkan tangannya, siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu.

Akan tetapi pada saat itu pula Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata dengan suara lantang, "Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum Supek dan Supek-bo mendengarkan urusannya, kenapa telah menyalahkan kami? Harap Supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil keputusan. Apa bila Supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada Supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai."

Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar maka dia cepat-cepat memegang lengan isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu.

"Kun Liong betul, kita tidak boleh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah terjadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik."

Biar pun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, maka dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruang tamu di mana mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah urusan keluarga.

"Nah, berceritalah," Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan mengenai kepergiannya mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberi tahukan tentang perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapkan oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, tahu-tahu dia menemukan isterinya telah tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.

"Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Supek dan Supek-bo dapat mendengarkan sendiri penuturan kedua orang pelayan saya yang sudah sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi." Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat.

Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih bernyali dari pada Giam Tun kemudian menceritakan semua pengalaman mereka pada malam itu, kadang-kadang diselingi oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-malam datang sambil marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan melarikan diri, kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa ketika melerai keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Dan akhirnya, ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka sudah tewas di atas lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat.

"Hemm, Cia-taihiap dan Toanio. Ketahuilah bahwa ketika saya datang ke Leng-kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di hadapan kuburan seperti orang gila. Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja keadilannya tidak goyah sesudah menghadapi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri."

Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah ingin membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara kereng dia memanggil,

"Cia Giok Keng...!"

"Ayahhh...!" Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.

"Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!"

Mendengar suara ayahnya yang kereng, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan pandangan mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya sehingga ibu yang penuh kekhawatiran ini hanya memandang pucat.

"Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran dari pada nyawa! Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!"

Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biar pun dia memegang keras kebenaran dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja dia pun ingin menolong anaknya, maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!

Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam pesta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan.

Betapa dengan kemarahan meluap dia lalu mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong sedang tidak berada di rumahnya. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan, puteri Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula hingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri.

"Karena saya membuka rahasia anak itu, Hong Ing menjadi marah lantas menyerangku. Kemudian kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah..."

Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali dengan kelakuan puterinya.

"Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga dapat ditemukan ke mana larinya," kata Kun Liong dengan sedih.

"Walau pun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andai kata dia tidak membuat anakku pingsan kemudian meninggalkannya seperti itu, belum tentu anakku mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!" Kok Beng Lama berkata marah.

Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya.

Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini. Dia mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, "Ayah... ampunkan... aku benar-benar tidak membunuhnya, ayah...!"

"Anak durhaka! Engkau hanya menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga mengkibatkan matinya Hong Ing dan minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engkau akan kedosaanmu yang amat besar itu?"

"Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku..."

"Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kau kira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, meski pun dia itu anak kami sendiri? Kau tentu tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang sudah menyadari akan kedosaannya!" berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampai gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.

“Aihhh...!" Sie Biauw Eng menjerit.

"Ayahhh...!" Giok Keng juga menjerit.

Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya. Sie Biauw Eng meronta-ronta. "Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Tidak boleh! Suamiku, kau tidak boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!"

Biauw Eng meronta-ronta hendak melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong kemudian menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali.

"Cia Giok Keng, dari pada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain, lebih baik melihat engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya sendiri!" kata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul isterinya yang pingsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut.

Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia pun mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tiba sinar mata itu mengeluarkan cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata,

"Ayah! Untuk yang terakhir kali kukatakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi kalau memang betul bahwa aku melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!"

Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar ruangan tamu itu, "Isteriku... tunggu dulu...!"

Dan muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.
"Suamiku...!"

"Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kau lakukan ini...?" Lie Kong Tek menubruk.

Mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek segera merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka kereng Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak mereka saling beradu pandang mata.

"Gak-hu, hati saya amat kecewa menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sebagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, tapi ternyata gak-hu telah melanggar hak seorang suami! Dahulu, pada waktu masih kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu sehingga segala hal tentang dirinya adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek, maka sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, akulah yang bertanggung jawab penuh dan mempunyai hak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, hal itu benar-benar merupakan perbuatan yang paling tidak tahu aturan!"

Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia berkata, "Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua turun-temurun."

"Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan kepada diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, harap kau jaga baik-baik dua anak kita... selamat tinggal!"

"Aihh, jangaaaan...!"

Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya!

Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum sambil memandang isterinya. "Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kau rawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si..."

Laki-laki gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya. Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas mayat suaminya!

Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan suaminya. Giok Keng juga pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong, lemah dan gemetar bercampur isak tertahan,

"Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?"

Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata, "Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi, teceu telah tertimpa mala petaka dan kini teecu menyeret Supek sekeluarga ikut menderita pula..."

"Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kemalangan. Baru beberapa hari saja delapan orang murid Cin-ling-pai dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Dan sekarang, isterimu dibunuh orang dan... suami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita lakukan semua...?"

"Supek..." Kun Liong terkejut sekali dan dia semakin menyesal mengapa terjadi peristiwa yang sedemikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan seperti ini.

Giok Keng telah kematian suaminya, dan biar pun demikian, tetap saja Hong Ing tak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sekarang ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan, dendam, serta kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk.

Dia sendiri masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang telah membunuh isterinya. Apa bila ternyata tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek?

Dalam saat pendek itu, sesudah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong.

Peristiwa kematian Hong Ing adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apa pun juga. Isterinya sudah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang mengacau perasaan hatinya dan membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin, menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan kedatangan Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini tentunya akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia menyesal sekali!

"Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu..."

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Yang sudah terjadi tidak dapat dirobah lagi, Kun Liong. Meski pun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu, akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimu pun mungkin karena kecerobohan yang dilakukan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya..."

Laksana tertikam rasa ulu hati Kun Liong ketika mendengar ucapan yang keluar dengan suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan kini seperti ada penerangan memasuki otaknya!

Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau saja tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim Hwi Sian!

Kalau tidak ada Mei Lan, kalau perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian tidak pernah terjadi, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sebenarnya adalah hasil dari perbuatan dia sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa sebab dan akibat!

"Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi. Dan harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu bersama gak-hu mohon diri dan pergi dari sini sekarang juga."

Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu mengangguk. "Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong." Dan kepada Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Selamat jalan, Losuhu, dan harap maafkan penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan Losuhu."

Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan tampak seperti orang linglung. Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak menangis, "Sambutanmu baik sekali, Taihiap, terlampau baik malah! Anakku mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi gila...!" Setelah berkata begitu, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk pada waktu Kun Liong berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang.

Betapa sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil menjadi menantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek.

Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong dan peristiwa ini lalu disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka?

"Keng-ji... mana anakku...?" Sie Biauw Eng sudah siuman, dan begitu sadar dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng yang masih menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.

"Giok Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?" Sie Biauw Eng memeriksa dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek sudah tewas dengan pedang menancap di dada menembus hingga punggung. Dia mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Apa yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?" Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.

Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit lalu memeluk isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!

"Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segalanya telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya telah mengambil keputusan pendek, dia mewakili isterinya dan membunuh diri untuk menebus dosa isterinya."

"Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di manakah mereka? Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!" Sie Biauw Eng menjerit-jerit, tetapi suaminya langsung merangkulnya dan mendekapnya sambil berbisik-bisik menghibur.

"Biauw Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tak mau tunduk kepadaku...?"

Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng kemudian dia menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai bisa melihat kenyataan dan mulai sadar bahwa bagaimana pun juga, Kun Liong yang menerima pukulan batin hebat karena isterinya mati dibunuh orang itu, sama sekali tidak dapat disalahkan dan betapa pun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan hingga mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!

Karena itu, dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat menghibur Giok Keng ketika puterinya ini siuman dan menangis sesenggukan, menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus dosa!

Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggota Cin-ling-pai dan dengan suara kereng dia memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai supaya merahasiakan semua yang sudah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu, hanya mengabarkan bahwa mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit.

Para anak buah Cin-ling-pai memang tak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek, akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-kok, secara diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Namun mereka tidak berani menduga sembarangan sehingga semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras dari ketua mereka.

Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai kembali berkabung dan jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan dan kering. Pakaian berkabung berwarna putih itu bahkan menambah kemuraman wajahnya.

********************

Hidup! Betapa penuh rahasia,
manusia tenggelam timbul
dalam permainannya,
terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara
tangis dan tawa.
Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan
dan pilihan
oleh dwi unsur (im-yang)
manusia dipermainkan.
Mengapa suka?
mengapa duka?
mengapa mengejar kepuasan?
mengapa menghindari kekecewaan?
Hadapilah semua ini
dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!
Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan
di dalam apa adanya, kenyataan
mengandung keindahan,
cinta kasih, kebenaran!


Dua orang anak yang baru datang setelah disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di hadapan peti mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok Keng yang menemani dua anaknya bersembahyang, tidak dapat menahan isaknya sungguh pun dia telah menahan-nahannya.

"Ibu, kenapa ayah mati?" Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang, memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.

"Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji," jawab Giok Keng yang sudah dipesan oleh ayahnya supaya tidak menceritakan semua peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.

"Akan tetapi, ketika ayah berangkat dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak sakit!" Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan tetapi serius dan cerdas.

"Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku," kembali Giok Keng berkata.

"Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?" kembali Lie Seng bertanya.

"Dan andai kata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kongkong (kakek yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?" Lie Ciauw Si bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang sangat mendesaknya itu, Giok Keng menjadi kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yang juga mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Ketua Cin-ling-pai ini lalu berkata,

"Lie Seng, sungguh pun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat sering mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang senang berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, meski sejak kecil mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan engkau harus percaya kepada keterangan ibumu. Ciauw Si, kongkong-mu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin dapat mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana punya kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada gunanya apa bila kalian merasa berduka dan menyesal. Yang penting sekarang kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti dari pada kalian. Mengertikah?"

"Baik, kongkong." Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saat melihat mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak kecil ini masih merasa penasaran.

Sesudah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu sekarang menjadi pendiam, wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri karena dia pun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah.

Karena dia sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa hancurnya rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya agar ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai.

Minta keadilan dari ayahnya dan tidak mau turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormati ayahnya. Andai kata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas dendam!

Akan tetapi, menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong.

********************

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita. Keduanya masih muda dan wajahnya cantik-cantik, dan kepada para anggota Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua Cin-ling-pai.

Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggota Cin-ling-pai mengadakan penjagaan siang malam. Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak membolehkan siapa pun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam.

Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang pada punggungnya, dan yang kedua lebih muda dan memiliki kecantikan yang kelihatan aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai.

"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepada dia saja." Gadis cantik yang membawa pedang menjawab dengan suara dingin dan pandang mata tajam.

"Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?" Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.

Tiba-tiba saja gadis remaja yang lebih muda itu berkata. "Namaku Yalima dan aku ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harap kau suka berbaik hati memanggilkan dia keluar!"

Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Sesudah dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut supaya Cia Bun Houw mengawini gadis ini, dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai.

Tentu saja dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san. Kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima akan tetapi masih hendak mengikat jodoh dengan dia!

Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, ada pun yang seorang mengaku bernama Yalima hendak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai menjadi sangat terheran-heran. Sesudah banyak peristiwa aneh terjadi dan menimbulkan mala petaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan, maka dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan kedua orang tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.

Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biar pun dia melihat banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.

Para anggota Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu.

Sebaliknya, Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan apa pun kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri. Otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai dan pakaiannya yang kusut.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, sebab jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu.

Sebaliknya, Yalima yang masih remaja dan masih kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di sana. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu.

Dapatlah dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi, kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak tertahankan lagi.

"Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!" bentak Giok Keng dan dia telah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, segera melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong ini.

Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, kemudian dengan kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampaklah sinar berkilat sebab pedangnya telah dicabut dan terus balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.

"Tranggg... cringgg... cringgg...!"

Bunga api muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah.

"Engkau menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kau kira aku takut!" In Hong mengejek.

Kini dia menerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang cepat dan kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat.

Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan nyaring dan nenek yang dahulu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat itu sudah mencelat ke depan, bagaikan seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ kemudian dari atas dia mencengkeram dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.

Mendengar ada sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu.

"Dukkk!"
Tubuh In Hong tergetar. Akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutera putih yang dulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li!

In Hong cepat meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, lantas dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. "Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?"

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga sangat lihai, bahkan tenaga sinkang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat dari pada tenaga isterinya!

"Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!"

Ditegur dengan suara kereng ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan.

Cia Keng Hong lalu menghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia pun berkata, "Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?"

Walau pun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoi-nya, Gui Yan Cu yang cantik jelita, dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong. Namun Cia Keng Hong bersikap kereng karena melihat sikap dara itu pun dingin dan garang.

Sejenak In Hong memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, lalu menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya kembali, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu.

"Harap Locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap Locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya Locianpwe telah tahu siapa saya..."

"Hemmm, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?"

"Dugaan Locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari Locianpwe, semestinya Locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena semenjak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan Locianpwe."

Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tidak disangkanya bahwa anak perempuan dari sumoi-nya yang lenyap semenjak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.

"Jika memang demikian yang kau kehendaki, terserah padamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kau bawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?"

"Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan urusan ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera Locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong."

Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara sama sekali, seakan-akan yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.

"Memang demikianlah, tadinya hasrat hati kami untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?"

"Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan."

"Perempuan sombong! Siapa kesudian mempunyai adik ipar seperti engkau?" Mendadak Giok Keng membentak, marah sekali.

"Hemmm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita." Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, "Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!"

Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudian dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara kereng, "Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona."

In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata serta sikapnya seakan-akan hendak merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, "Harap Locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain di dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera Locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya."

"Ehh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?" Sie Biauw Eng berseru.

"Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?" Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang.

"Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw..."

"Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.

"Sudahlah, isteriku, jangan membikin urusan semakin ruwet. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong tadi?" Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima.

Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini. Akan tetapi nona ini masih terlampau muda, masih kekanak-kenakan, sungguh pun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.

Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dengan suara lancar namun agak kaku, dia lalu menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dengan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa sesudah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.

"Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta ialah Houw-koko seorang, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya," akhirnya Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya, hatinya amat kecewa dan tidak senang sama sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu dia pun tidak sudi lagi untuk mengambilnya sebagai mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju!

Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguh pun gadis itu masih terlampau muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini. Akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya amat keras itu, dia berkata kepada In Hong,

"Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah mengenai jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodohan itu kita batalkan saja. Ada pun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!" Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada keras dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata.

Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tidak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata, "Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima ini? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera Locianpwe."

"Itu pun adalah urusan kami sendiri. Sebagai sahabat putera kami tentu saja Yalima kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menunggu di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!"

Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata, "Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya pasti akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal dan maafkan saya, Locianpwe." Sesudah berkata demikian, Yap In Hong segera membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh.

"Setan...!" dengan pedang terhunus Giok Keng hendak mengejar.

Juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap. "Memang bocah itu kurang ajar benar!"

Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. "Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia..."

Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan saat ditinggalkan In Hong, akan tetapi dia pun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah dan ibu Bun Houw itu. "Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan dan menentang Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya terbuat dari emas..."

Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng tidak setuju sungguh pun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.

"Ayah dan Ibu, saya pun hendak mohon diri untuk pergi sekarang juga!" Tiba-tiba Giok Keng berkata.

Ayah dan ibunya terkejut, cepat menoleh dan memandang penuh selidik. "Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw sudah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!" Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya hendak mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.

"Tidak, Ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong, tetapi aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan berusaha menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, hatiku takkan merasa lega dan hidupku selalu akan menderita batin. Seakan-akan roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, Ayah dan Ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda."

Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya sambil terisak. "Engkau benar, anakku, dan andai kata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu."

"Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan aku pun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkau pun turut bertanggung jawab atas kematian Hong Ing."

"Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu..."

Kedua orang wanita itu saling berpelukan. "Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...," kata Sie Biauw Eng.

"Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingatlah baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau sudah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang."

"Aku mengerti, ayah."

"Dan In Hong, dia pun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula."

Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya. "Baik, Ayah."

Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Akan tetapi kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.

Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira dan jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan seperti kehilangan semangatnya pada saat dia mendengarkan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunuh diri untuk mewakili isterinya yang disangka telah membunuh orang itu.

Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan menggoyangkan pundak.

"Aihh, begitulah hidup manusia! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah semuanya! Kematian datang tanpa disangka-sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat dari pada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia-taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu-cucuku?"

Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang telah mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput!

Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong supaya diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin-yang menempati rumah muridnya itu sampai Giok Keng kembali. Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan menantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin-yang sebagai tempat peristirahatan terakhir pada hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu.

Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu. Setelah bersepakat dengan isterinya dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, maka mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin-yang.

********************

Suasana berkabung masih meliputi Cin-ling-pai. Sejak terjadi peristiwa yang bertubi-tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya untuk bersemedhi.

Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya di samping isteri dan anak-anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa-peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu, kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda. Dan sekarang putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang walau pun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!

Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu-ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin-ling-pai berada dalam keadaan prihatin!

********************

Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 11

Dewi Maut Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa sejak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam hingga kematian tujuh orang anggota Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya tinggal di Cin-ling-san dengan hati dipenuhi keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala, yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang melakukan penyelidikan secara terpisah, mencari Lima Bayangan Dewa yang sudah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.

Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng, meski pun sudah berusia enam puluh tahun namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, namun membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan.

"Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan," Cia Keng Hong menghibur isterinya.

"Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang telah mencari permusuhan," bantah isterinya.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang."

"Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?" isterinya menegur.

"Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu..."

"Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita semenjak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi hingga mati pun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?"

Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus-elus jenggotnya. "Memang begitulah pendirian kita. Kita selalu menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lain pun, termasuk orang-orang yang kita musuhi itu, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar jika kedua belah fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua telah terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkan semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih tetap ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang telah timbul dapat saja diobati dan disembuhkan, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadap kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat memasuki hati siapa pun juga. Yang hari ini baik mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti penyakit, dan orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waras pun bisa saja jatuh sakit sewaktu-waktu!"

"Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita ini pun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?"

"Kenapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapa pun bisa saja terkena bila tidak waspada. Siapa pun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan."

"Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!"

"Aihh, pendekar mau pun pendeta pun hanya manusia-manusia biasa saja yang tak akan terluput dari pada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya akan menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini, oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik dia pendekar mau pun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri."

Percakapan mereka terpaksa berhenti pada saat seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat-cepat berkata kepada isterinya,

"Mari kita keluar!"

Sie Biauw Eng sudah mengenal benar watak dan sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, dia pun segera menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap dia mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya sudah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.

Begitu mereka keluar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung memanggil ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak,

"Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!"

Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng menjadi kaget sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. "Keng-ji, apa yang terjadi...?" Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu.

Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, "Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang sangat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang sudah terjadi...?"

Kun Liong tak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekar sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali sehingga tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata,

"Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kau tanyakan kepada puterimu itu saja."

Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, maka dia pun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya.

"Giok Keng, apa yang sudah terjadi? Hayo jawab!" Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis.

"Ayah..." Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. "Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan cara kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka betul-betul telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!" Giok Keng menangis lagi.

Mendengar ucapan puterinya ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya bersinar-sinar laksana mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah kedua orang itu hendak ditelannya.

"Keparat...!" Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap-luap. "Sungguh tak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?" Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.

"Supek... dan supek-bo (uwa guru)... saya... isteri saya..." Kun Liong tidak sanggup lagi melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali.

Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai adalah sebuah penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.

"Hayo lekas katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?" Sie Biauw Eng membentak, makin marah.

"Isteri teecu... mati terbunuh..."

Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba dan alisnya berkerut.

Akan tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah karena keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, "Isterimu mati dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?"

"Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya ini."

Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali. Dia mengeluarkan seruan keras sekali lalu meloncat ke belakang, menoleh dan memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia segera mendekati Giok Keng sambil bertanya,

"Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan jika benar, apa sebabnya?" Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!

"Ohh, ibuuu...!" Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, lalu menangis. "Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!"

"Cukup! Hentikan tangismu dan tenanglah! Biar setan sekali pun akan kulawan kalau dia berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, lekas bangkit dan berdirilah!" Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.

"Hmm, kalian sungguh tak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina anakku, memaksa dan menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!"

"Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, walau anaknya berdosa sekali pun, tetap akan dibelanya. Anakmu itu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan nyawa!"

"Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andai kata anakku membunuh seseorang, itu pun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa? Nyawamu sendiri gantinya!"

"Jangan...!" Cia Keng Hong berseru.

Akan tetapi Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan lambung Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat.

"Plak-plak-desss...!"

Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa langkah.

"Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!" Cia Keng Hong menjadi tidak senang melihat isterinya terdesak. Dia sudah menggerakkan tangannya, siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu.

Akan tetapi pada saat itu pula Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata dengan suara lantang, "Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum Supek dan Supek-bo mendengarkan urusannya, kenapa telah menyalahkan kami? Harap Supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil keputusan. Apa bila Supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada Supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai."

Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar maka dia cepat-cepat memegang lengan isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu.

"Kun Liong betul, kita tidak boleh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah terjadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik."

Biar pun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, maka dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruang tamu di mana mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah urusan keluarga.

"Nah, berceritalah," Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan mengenai kepergiannya mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberi tahukan tentang perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapkan oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, tahu-tahu dia menemukan isterinya telah tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.

"Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Supek dan Supek-bo dapat mendengarkan sendiri penuturan kedua orang pelayan saya yang sudah sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi." Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat.

Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih bernyali dari pada Giam Tun kemudian menceritakan semua pengalaman mereka pada malam itu, kadang-kadang diselingi oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-malam datang sambil marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan melarikan diri, kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa ketika melerai keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Dan akhirnya, ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka sudah tewas di atas lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat.

"Hemm, Cia-taihiap dan Toanio. Ketahuilah bahwa ketika saya datang ke Leng-kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di hadapan kuburan seperti orang gila. Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja keadilannya tidak goyah sesudah menghadapi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri."

Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah ingin membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara kereng dia memanggil,

"Cia Giok Keng...!"

"Ayahhh...!" Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.

"Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!"

Mendengar suara ayahnya yang kereng, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan pandangan mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya sehingga ibu yang penuh kekhawatiran ini hanya memandang pucat.

"Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran dari pada nyawa! Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!"

Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biar pun dia memegang keras kebenaran dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja dia pun ingin menolong anaknya, maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!

Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam pesta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan.

Betapa dengan kemarahan meluap dia lalu mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong sedang tidak berada di rumahnya. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan, puteri Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula hingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri.

"Karena saya membuka rahasia anak itu, Hong Ing menjadi marah lantas menyerangku. Kemudian kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah..."

Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali dengan kelakuan puterinya.

"Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga dapat ditemukan ke mana larinya," kata Kun Liong dengan sedih.

"Walau pun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andai kata dia tidak membuat anakku pingsan kemudian meninggalkannya seperti itu, belum tentu anakku mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!" Kok Beng Lama berkata marah.

Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya.

Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini. Dia mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, "Ayah... ampunkan... aku benar-benar tidak membunuhnya, ayah...!"

"Anak durhaka! Engkau hanya menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga mengkibatkan matinya Hong Ing dan minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engkau akan kedosaanmu yang amat besar itu?"

"Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku..."

"Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kau kira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, meski pun dia itu anak kami sendiri? Kau tentu tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang sudah menyadari akan kedosaannya!" berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampai gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.

“Aihhh...!" Sie Biauw Eng menjerit.

"Ayahhh...!" Giok Keng juga menjerit.

Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya. Sie Biauw Eng meronta-ronta. "Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Tidak boleh! Suamiku, kau tidak boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!"

Biauw Eng meronta-ronta hendak melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong kemudian menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali.

"Cia Giok Keng, dari pada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain, lebih baik melihat engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya sendiri!" kata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul isterinya yang pingsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut.

Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia pun mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tiba sinar mata itu mengeluarkan cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata,

"Ayah! Untuk yang terakhir kali kukatakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi kalau memang betul bahwa aku melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!"

Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar ruangan tamu itu, "Isteriku... tunggu dulu...!"

Dan muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.
"Suamiku...!"

"Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kau lakukan ini...?" Lie Kong Tek menubruk.

Mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek segera merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka kereng Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak mereka saling beradu pandang mata.

"Gak-hu, hati saya amat kecewa menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sebagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, tapi ternyata gak-hu telah melanggar hak seorang suami! Dahulu, pada waktu masih kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu sehingga segala hal tentang dirinya adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek, maka sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, akulah yang bertanggung jawab penuh dan mempunyai hak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, hal itu benar-benar merupakan perbuatan yang paling tidak tahu aturan!"

Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia berkata, "Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua turun-temurun."

"Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan kepada diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, harap kau jaga baik-baik dua anak kita... selamat tinggal!"

"Aihh, jangaaaan...!"

Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya!

Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum sambil memandang isterinya. "Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kau rawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si..."

Laki-laki gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya. Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas mayat suaminya!

Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan suaminya. Giok Keng juga pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong, lemah dan gemetar bercampur isak tertahan,

"Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?"

Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata, "Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi, teceu telah tertimpa mala petaka dan kini teecu menyeret Supek sekeluarga ikut menderita pula..."

"Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kemalangan. Baru beberapa hari saja delapan orang murid Cin-ling-pai dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Dan sekarang, isterimu dibunuh orang dan... suami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita lakukan semua...?"

"Supek..." Kun Liong terkejut sekali dan dia semakin menyesal mengapa terjadi peristiwa yang sedemikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan seperti ini.

Giok Keng telah kematian suaminya, dan biar pun demikian, tetap saja Hong Ing tak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sekarang ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan, dendam, serta kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk.

Dia sendiri masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang telah membunuh isterinya. Apa bila ternyata tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek?

Dalam saat pendek itu, sesudah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong.

Peristiwa kematian Hong Ing adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apa pun juga. Isterinya sudah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang mengacau perasaan hatinya dan membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin, menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan kedatangan Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini tentunya akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia menyesal sekali!

"Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu..."

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. "Yang sudah terjadi tidak dapat dirobah lagi, Kun Liong. Meski pun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu, akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimu pun mungkin karena kecerobohan yang dilakukan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya..."

Laksana tertikam rasa ulu hati Kun Liong ketika mendengar ucapan yang keluar dengan suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan kini seperti ada penerangan memasuki otaknya!

Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau saja tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim Hwi Sian!

Kalau tidak ada Mei Lan, kalau perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian tidak pernah terjadi, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sebenarnya adalah hasil dari perbuatan dia sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa sebab dan akibat!

"Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi. Dan harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu bersama gak-hu mohon diri dan pergi dari sini sekarang juga."

Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu mengangguk. "Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong." Dan kepada Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. "Selamat jalan, Losuhu, dan harap maafkan penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan Losuhu."

Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan tampak seperti orang linglung. Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak menangis, "Sambutanmu baik sekali, Taihiap, terlampau baik malah! Anakku mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi gila...!" Setelah berkata begitu, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk pada waktu Kun Liong berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang.

Betapa sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil menjadi menantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek.

Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong dan peristiwa ini lalu disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka?

"Keng-ji... mana anakku...?" Sie Biauw Eng sudah siuman, dan begitu sadar dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng yang masih menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.

"Giok Keng...! Eh, mantuku... apa yang terjadi...?" Sie Biauw Eng memeriksa dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek sudah tewas dengan pedang menancap di dada menembus hingga punggung. Dia mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Apa yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?" Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.

Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit lalu memeluk isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!

"Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segalanya telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya telah mengambil keputusan pendek, dia mewakili isterinya dan membunuh diri untuk menebus dosa isterinya."

"Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di manakah mereka? Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!" Sie Biauw Eng menjerit-jerit, tetapi suaminya langsung merangkulnya dan mendekapnya sambil berbisik-bisik menghibur.

"Biauw Eng... isteriku... apakah setelah tua engkau malah tak mau tunduk kepadaku...?"

Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng kemudian dia menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai bisa melihat kenyataan dan mulai sadar bahwa bagaimana pun juga, Kun Liong yang menerima pukulan batin hebat karena isterinya mati dibunuh orang itu, sama sekali tidak dapat disalahkan dan betapa pun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan hingga mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!

Karena itu, dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat menghibur Giok Keng ketika puterinya ini siuman dan menangis sesenggukan, menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus dosa!

Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggota Cin-ling-pai dan dengan suara kereng dia memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai supaya merahasiakan semua yang sudah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu, hanya mengabarkan bahwa mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit.

Para anak buah Cin-ling-pai memang tak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek, akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-kok, secara diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Namun mereka tidak berani menduga sembarangan sehingga semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras dari ketua mereka.

Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai kembali berkabung dan jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan dan kering. Pakaian berkabung berwarna putih itu bahkan menambah kemuraman wajahnya.

********************

Hidup! Betapa penuh rahasia,
manusia tenggelam timbul
dalam permainannya,
terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara
tangis dan tawa.
Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan
dan pilihan
oleh dwi unsur (im-yang)
manusia dipermainkan.
Mengapa suka?
mengapa duka?
mengapa mengejar kepuasan?
mengapa menghindari kekecewaan?
Hadapilah semua ini
dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!
Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan
di dalam apa adanya, kenyataan
mengandung keindahan,
cinta kasih, kebenaran!


Dua orang anak yang baru datang setelah disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di hadapan peti mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok Keng yang menemani dua anaknya bersembahyang, tidak dapat menahan isaknya sungguh pun dia telah menahan-nahannya.

"Ibu, kenapa ayah mati?" Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang, memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.

"Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji," jawab Giok Keng yang sudah dipesan oleh ayahnya supaya tidak menceritakan semua peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.

"Akan tetapi, ketika ayah berangkat dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak sakit!" Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan tetapi serius dan cerdas.

"Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku," kembali Giok Keng berkata.

"Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?" kembali Lie Seng bertanya.

"Dan andai kata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kongkong (kakek yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?" Lie Ciauw Si bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang sangat mendesaknya itu, Giok Keng menjadi kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yang juga mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Ketua Cin-ling-pai ini lalu berkata,

"Lie Seng, sungguh pun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat sering mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang senang berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, meski sejak kecil mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan engkau harus percaya kepada keterangan ibumu. Ciauw Si, kongkong-mu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin dapat mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana punya kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada gunanya apa bila kalian merasa berduka dan menyesal. Yang penting sekarang kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti dari pada kalian. Mengertikah?"

"Baik, kongkong." Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi saat melihat mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak kecil ini masih merasa penasaran.

Sesudah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu sekarang menjadi pendiam, wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri karena dia pun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah.

Karena dia sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa hancurnya rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya agar ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai.

Minta keadilan dari ayahnya dan tidak mau turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormati ayahnya. Andai kata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas dendam!

Akan tetapi, menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong.

********************

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita. Keduanya masih muda dan wajahnya cantik-cantik, dan kepada para anggota Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua Cin-ling-pai.

Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggota Cin-ling-pai mengadakan penjagaan siang malam. Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak membolehkan siapa pun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam.

Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang pada punggungnya, dan yang kedua lebih muda dan memiliki kecantikan yang kelihatan aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai.

"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepada dia saja." Gadis cantik yang membawa pedang menjawab dengan suara dingin dan pandang mata tajam.

"Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?" Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.

Tiba-tiba saja gadis remaja yang lebih muda itu berkata. "Namaku Yalima dan aku ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harap kau suka berbaik hati memanggilkan dia keluar!"

Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Sesudah dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut supaya Cia Bun Houw mengawini gadis ini, dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai.

Tentu saja dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san. Kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima akan tetapi masih hendak mengikat jodoh dengan dia!

Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, ada pun yang seorang mengaku bernama Yalima hendak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai menjadi sangat terheran-heran. Sesudah banyak peristiwa aneh terjadi dan menimbulkan mala petaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan, maka dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan kedua orang tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.

Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biar pun dia melihat banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya.

Para anggota Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu.

Sebaliknya, Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan apa pun kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri. Otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai dan pakaiannya yang kusut.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, sebab jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu.

Sebaliknya, Yalima yang masih remaja dan masih kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di sana. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu.

Dapatlah dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi, kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak tertahankan lagi.

"Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!" bentak Giok Keng dan dia telah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, segera melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong ini.

Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, kemudian dengan kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampaklah sinar berkilat sebab pedangnya telah dicabut dan terus balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.

"Tranggg... cringgg... cringgg...!"

Bunga api muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah.

"Engkau menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kau kira aku takut!" In Hong mengejek.

Kini dia menerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang cepat dan kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat.

Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan nyaring dan nenek yang dahulu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat itu sudah mencelat ke depan, bagaikan seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ kemudian dari atas dia mencengkeram dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.

Mendengar ada sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu.

"Dukkk!"
Tubuh In Hong tergetar. Akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutera putih yang dulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li!

In Hong cepat meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, lantas dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. "Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?"

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga sangat lihai, bahkan tenaga sinkang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat dari pada tenaga isterinya!

"Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!"

Ditegur dengan suara kereng ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan.

Cia Keng Hong lalu menghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia pun berkata, "Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?"

Walau pun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoi-nya, Gui Yan Cu yang cantik jelita, dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong. Namun Cia Keng Hong bersikap kereng karena melihat sikap dara itu pun dingin dan garang.

Sejenak In Hong memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, lalu menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya kembali, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu.

"Harap Locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap Locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya Locianpwe telah tahu siapa saya..."

"Hemmm, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?"

"Dugaan Locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari Locianpwe, semestinya Locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena semenjak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan Locianpwe."

Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tidak disangkanya bahwa anak perempuan dari sumoi-nya yang lenyap semenjak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.

"Jika memang demikian yang kau kehendaki, terserah padamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kau bawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?"

"Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan urusan ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera Locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong."

Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara sama sekali, seakan-akan yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.

"Memang demikianlah, tadinya hasrat hati kami untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?"

"Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan."

"Perempuan sombong! Siapa kesudian mempunyai adik ipar seperti engkau?" Mendadak Giok Keng membentak, marah sekali.

"Hemmm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita." Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, "Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!"

Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudian dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara kereng, "Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona."

In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata serta sikapnya seakan-akan hendak merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, "Harap Locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain di dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera Locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya."

"Ehh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?" Sie Biauw Eng berseru.

"Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?" Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang.

"Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw..."

"Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.

"Sudahlah, isteriku, jangan membikin urusan semakin ruwet. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong tadi?" Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima.

Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini. Akan tetapi nona ini masih terlampau muda, masih kekanak-kenakan, sungguh pun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.

Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dengan suara lancar namun agak kaku, dia lalu menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dengan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa sesudah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.

"Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta ialah Houw-koko seorang, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya," akhirnya Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya, hatinya amat kecewa dan tidak senang sama sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu dia pun tidak sudi lagi untuk mengambilnya sebagai mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju!

Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguh pun gadis itu masih terlampau muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini. Akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya amat keras itu, dia berkata kepada In Hong,

"Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah mengenai jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodohan itu kita batalkan saja. Ada pun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!" Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada keras dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata.

Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tidak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata, "Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima ini? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera Locianpwe."

"Itu pun adalah urusan kami sendiri. Sebagai sahabat putera kami tentu saja Yalima kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menunggu di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!"

Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata, "Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya pasti akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal dan maafkan saya, Locianpwe." Sesudah berkata demikian, Yap In Hong segera membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh.

"Setan...!" dengan pedang terhunus Giok Keng hendak mengejar.

Juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap. "Memang bocah itu kurang ajar benar!"

Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. "Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia..."

Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan saat ditinggalkan In Hong, akan tetapi dia pun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah dan ibu Bun Houw itu. "Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan dan menentang Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya terbuat dari emas..."

Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng tidak setuju sungguh pun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.

"Ayah dan Ibu, saya pun hendak mohon diri untuk pergi sekarang juga!" Tiba-tiba Giok Keng berkata.

Ayah dan ibunya terkejut, cepat menoleh dan memandang penuh selidik. "Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw sudah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!" Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya hendak mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.

"Tidak, Ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong, tetapi aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan berusaha menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, hatiku takkan merasa lega dan hidupku selalu akan menderita batin. Seakan-akan roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, Ayah dan Ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda."

Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya sambil terisak. "Engkau benar, anakku, dan andai kata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu."

"Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan aku pun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkau pun turut bertanggung jawab atas kematian Hong Ing."

"Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu..."

Kedua orang wanita itu saling berpelukan. "Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...," kata Sie Biauw Eng.

"Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingatlah baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau sudah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang."

"Aku mengerti, ayah."

"Dan In Hong, dia pun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula."

Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya. "Baik, Ayah."

Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Akan tetapi kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.

Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira dan jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan seperti kehilangan semangatnya pada saat dia mendengarkan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunuh diri untuk mewakili isterinya yang disangka telah membunuh orang itu.

Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan menggoyangkan pundak.

"Aihh, begitulah hidup manusia! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah semuanya! Kematian datang tanpa disangka-sangka... ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat dari pada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia-taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu-cucuku?"

Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang telah mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput!

Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong supaya diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin-yang menempati rumah muridnya itu sampai Giok Keng kembali. Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan menantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin-yang sebagai tempat peristirahatan terakhir pada hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu.

Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu. Setelah bersepakat dengan isterinya dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, maka mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin-yang.

********************

Suasana berkabung masih meliputi Cin-ling-pai. Sejak terjadi peristiwa yang bertubi-tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya untuk bersemedhi.

Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya di samping isteri dan anak-anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa-peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu, kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda. Dan sekarang putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang walau pun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!

Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu-ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin-ling-pai berada dalam keadaan prihatin!

********************

Selanjutnya,