Dewi Maut Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
BETAPA pun juga, muridnya, Pek Hong Ing, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang punya hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu, malah sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali bila telah tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapa pun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong Ing.

Maka walau pun kini tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian sesudah melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, "Minum ini untuk menolak hawa beracun!"

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju sehingga berhadapan dengan Giok Keng. Setelah selama kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengarlah In Hong berkata, suaranya dingin,

"Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang paling baik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!"

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. "Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggota golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!"

In Hong tersenyum. "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, ternyata orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andai kata dia menukar sumbangan, itu hanyalah senda guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang."

"Betapa pun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina."

"Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"

Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. "Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!"

"Kebenaran dan keadilan siapa?" In Hong mengejek. "Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!"

"Wanita iblis! Kau maksudkan adikku Cia Bun Houw?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?"

Saking marahnya, Giok Keng sampai sulit mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak,

"Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!"

"Nah, itulah dia! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja..."

"Ahhhh, tidak...!" Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh saat mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, kemudian dia menonton dengan hati tegang gembira.

"Wuuttttt... wirrrrr...!" Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

"Pratttt…!" In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya.

Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi sekali bertemu dengan jari jemari tangan gadis cantik ini, ternyata ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, "Nona Yap In Hong, tahan dulu...!"

Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi pada waktu melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jeri dan cepat menyelinap keluar kemudian mengintip dari luar. Akan tetapi pada saat melihat betapa In Hong turun tangan membelanya, dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.

In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. "Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."

"Nona In Hong, jangan...!" Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

"Kau... kau... bernama Yap In Hong...?" tanyanya dengan heran.

In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, "Maafkan saya, Lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi karena merasa penasaran melihat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk untuk para tamu, kemudian ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak menyangka bahwa barang-barang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan Lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut..."

“Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?" Giok Keng lantas menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

"Plakkkk! Desss…!"

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main.

"Mundurlah, paman Can!" In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan lenyap dari situ.

Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan pada yang kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang terdesak, maka hal ini dianggapnya sangat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,

"Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?" pertanyaan ini diajukan dengan ragu-ragu sebab dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

"Benar, tapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia," jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin.

Giok Keng melongo, akan tetapi segera sanggup menekan keheranannya dan dia lantas membentak, "Dan kau tadi berani bicara bohong tentang adikku Bun Houw?"

"Hemm, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"

"Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"

In Hong memandang tajam, dan bibirnya terlukis senyum mengejek. "Tentu saja aku tahu. Engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong..."

"Bocah kurang ajar!" Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

"Tahan senjata...!" Lie Kong Tek sudah meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya. "Tidak perlu kita berlarut-larut, apa lagi dia bukan orang lain. Marilah kita pergi saja."

Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali saat dia menyarungkan pedangnya. Dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!"

Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.

In Hong tidak mempedulikan lagi suami isteri itu, dia menengok dan mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit.

Keadaan pesta itu lantas menjadi agak riuh dan bising sebab semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar membuat geger, baik fihak golongan hitam mau pun golongan putih.

********************

"Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!"

In Hong menghentikan langkahnya, menengok dan melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.

In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia segera pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, dia pun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu.

"Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?" tegurnya dengan suara dingin.

"Heh-heh-he-he!" Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. "Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi mulutnya juga panjang, ha-ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini."

In Hong menjawab, "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?"

"Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah bahwa di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguh pun agaknya engkau tidak mempedulikan hubungan keluarga."

In Hong menjadi heran. "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"

"Heh-heh-he-he, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri."

In Hong mengangguk-angguk. "Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti sudah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak punya urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."

Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. "Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Aku pun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknya pun tentu bukan manusia baik-baik!"

"Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukanlah seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!" Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.

In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. "Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"

"Ya, kenapa... enci? Aku tidak tahu kenapa dia pergi meninggalkan aku...?" tanya Yalima penuh gairah mendengar ada orang yang tahu tentang urusan kekasihnya itu.

"Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!"

"Aihhhhh...!" Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. "Ti... tidak benar itu...!"

In Hong tersenyum mengejek. "Kau bilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apa lagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau."

"Aihhh...!" Yalima kembali menjerit. "Enci... katakanlah, di mana dia? Di mana aku dapat berjumpa dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia..." Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.

"Diamlah dulu, anak cengeng!" Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau.

"Engkau memang benar jika menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang makhluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau menolongku, kouwnio?"

"Menolong bagaimana?"

"Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?"

"Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleh dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja."

"Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."

In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, "Ini... ini... bukan urusanku, kau lakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"

"He-he-he... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku pada waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"

"Jangan sembarangan membuka mulut!" In Hong membentak sambil mengepal tangan.

"Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima."

Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan mengenai ikatan perjodohannya dengan pria yang sangat dicintanya, maka dia pun berkata dengan suara memohon kepada In Hong,

"Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko."

Sesudah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa pun di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Aku pun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!"

Nenek yang sudah bangkotan dan penuh pengalaman ini tentu saja segera bisa mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apa lagi karena dia pun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan dapat menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang sudah terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria, yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang kepandaiannya sangat tinggi.

Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mendapat seorang kawan seperjalanan dalam perantauannya, seorang kawan yang jauh berbeda dengan kawannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini sangat murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali sehingga membuat In Hong menjadi kagum.

Dia tidak menjadi heran kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu yang tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi jika sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, maka perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong.

Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang sangat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.

********************

Apa pun juga yang terjadi di dunia ini pun terjadilah, tanpa manusia bisa mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apa pun juga yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apa bila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapa pun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi.

Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, pada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas sambil memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karena semuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran.

Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!


********************

Kota Leng-kok hanyalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun Liong, tokoh di dalam cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang kedua orang tuanya. Di kota ini dia pun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama isterinya serta anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada saat itu telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah.

Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.

Mereka berdua ini adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun, yang bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun dan di samping ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan.

Ada pun orang kedua ialah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong.

Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri oleh Yap Mei Lan.

Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biar pun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh.

Mei Lan adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan. Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka.

Pek Hong Ing juga sangat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya kepada Mei Lan makin bertambah.

Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena sudah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan mala petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh menutup toko supaya kedua orang pembantunya dapat pulang tidak terlalu malam.

Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biar pun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga selalu membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu.

Giam Tun telah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang sikapnya bagaikan orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah ikut keluarga itu selama bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah.

"Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam..."

Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!

"Aihhh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke dalam, enci..." Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi nampak berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan saat melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya mencari-cari ke dalam.

"Mana suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang tampak jelas bahwa dia sedang marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.

“Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng." Dia memegang lengan tamunya dan menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia tetap mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam.

Menyaksikan sikap tamu ini, Giam Tun dan Khiu-ma menjadi terheran-heran dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu.

Setibanya di dalam Hong Ing lalu bertanya, "Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku... aku… menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke sana."

"Hemmm, jadi dia tidak berada di rumah? Kalau begitu sia-sia saja kedatanganku!" kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah.

Memang kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak peduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembalinya mereka dari Wu-han dia terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena kelakuan adik kandungnya. Akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang dicarinya itu tidak berada di rumah.

"Ada urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahukan kepadaku." Hong Ing bertanya, hatinya makin tidak enak.

"Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!"

Pada saat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela.

"Urusan ayah adalah urusan ibu juga, kenapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu padahal sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!"

"Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!" bentak Hong Ing.

Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar. "Ahh, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya dengar banyak dari ayah ibu sebagai seorang pendekar wanita, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya."

"Engkau anak haram yang kurang ajar!" Giok Keng tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit dengan muka pucat.

Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikit pun tidak merasa takut. "Bibi Giok Keng, dalam kitab-kitab aku membaca mengenai pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya sebagai anak haram?"

"Engkau ini kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik! Bibimu pun manusia tidak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarnya!"

"Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!"

"Mei Lan...! Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.

"Kau berani bilang aku bohong, ya? Kau kira engkau ini apa? Engkau ini memang anak haram. Engkau adalah anak ayahmu dari hubungan gelapnya dengan seorang wanita dan kau bukan anak ibumu!"

"Enci...! Kau...! Kau terlalu...!" Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus.

Akan tetapi Giok Keng salah menduga, menduga bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang.

Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, "Ibu...! Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!"

Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu lalu berkata, "Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!" Dia marah sekali teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.

"Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini…? Mei Lan... ke sinilah, kau jangan dengarkan dia..."

Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. "Ibu, harap katakan, benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?"

"Mei Lan...," keluh ibunya.

"Katakanlah, ibu! Katakan!" Anak itu menjerit-jerit.

Hong Ing mengeluh kemudian mengangguk. "Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan, mengapa begini...?"

Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis. Mei Lan meloncat dan lari keluar dari tempat itu.

"Mei Lan...!" Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan mata berapi. "Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya! Sungguh tak pernah kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!"

Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng. Giok Keng menangkis lantas balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam itu dan keduanya yang sedang dikuasai kemarahan melakukan serangan-serangan yang amat dahsyat.

"Eh, eh... apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio..." Khiu-ma yang sama sekali tidak tahu tentang ilmu silat itu secara nekat mendekati mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan wanita ini lantas terlempar dan terbanting roboh, pingsan!

"Lie-toanio, kau benar-benar keliru. Seorang tamu mana boleh..." Baru sampai di sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya sehingga dia pun terpelanting dan pingsan pula.

"Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!" Hong Ing memaki marah,

Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dalam keadaan tak sadarkan diri.

Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia sudah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari rumah itu.

********************

Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apa pun yang terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang terpenting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh mau pun kata-kata.

Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tak akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Apa bila caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik hati pikiran serta kata-kata perbuatan kita saat demi saat barulah benar apa bila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul karena nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran serta pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat.

Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula, ini sudah pasti, sungguh pun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah tersembunyi di alam bawah sadar. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar, apa bila demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar juga karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi!

Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat harus awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata mengendalikan atau menekan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa maksud apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.

Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian orang yang kita kasihi, mala petaka yang menimpa hingga membuat kita menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapa pun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!


Pada pagi hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong. Pagi-pagi sekali pendekar ini sudah memasuki kota Leng-kok dan langsung dia menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar mengenai mala petaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Dia menghadap pendekar yang telah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri, juga gurunya, kemudian dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi dan sekarang Cia Bun Houw telah pergi, bersama dengan empat orang murid kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar.

Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan menghibur pun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai, lalu berpamit dan semenjak saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak. Lebih-lebih lagi malam tadi, dia merasa gelisah sekali sehingga malam-malam pun dia tak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok.

Keadaan Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga, maka dia ingin lekas-lekas berjumpa dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan dapat meringankan perasaannya apa bila sedang terhimpit oleh keadaan. Orang itu adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.

Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma!

Jantungnya bagaikan berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Begitu melihat dirinya, beberapa orang tetangga yang berada di depan kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya.

"Ada apa...?" Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri bagaikan tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelan kecemasan yang mengerikan.

Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara.

"Ada apa...?" Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang bukan-bukan.

Tidak ada seorang pun menjawab, akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.

"Apa yang terjadi...?" Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu.

Mukanya pucat sekali hingga seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seakan-akan dia tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, kemudian digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah.

"Taihiap... uhhuu-hu-huuuk...!" Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan demikian, karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai. Khiu-ma juga menjerit.

"Apa ini...? Apa ini...? Bagaimana...? Kenapa...?" Kun Liong semakin terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lantas ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.

Ini tentu mimpi buruk, bantahnya. Tidak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya tercinta, sekarang rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tidak mungkin!

Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang.

Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan tenaga, kemudian dia memandang kembali, dirangkulnya mayat itu dan kini dia mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan di bawah pembaringan!

Gegerlah kamar itu. Kegegeran dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah isterinya, dan dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus.

Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan menggigil, kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu.

Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat dia bangkit duduk. "Tidak mungkin! Hong Ing...!"

Dia menoleh ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. "Tidak mungkin! Sudah gilakah aku? Ehh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati? Tidak mungkin...!" Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung!

"Hong Ing... bagaimana ini...?"

"Taihiap.... harap tenangkan hati, taihiap...," Giam Tun berkata dengan suara gentar.

"Apa...? Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan isteriku!"

Giam Tun segera memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis.

Sesudah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya, sambil bercucuran air mata.

"Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?"

Orang-orang yang berada di luar hanya mendengar suara pendekar itu yang puluhan kali mengajukan pertanyaan ‘mengapa’, dan suara ini makin lama semakin parau bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis.

Dengan pengerahan kekuatan yang sangat hebat, barulah Kun Liong berhasil menguasai dirinya. Sesudah lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya, kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup!

Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa cahaya kehidupan, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri yang hebat dan dia seperti orang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong menatap jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.

"Taihiap...!" Giam Tun berseru dan maju berlutut.

Seruan ini menyadarkannya. Dia cepat mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma segera menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi itu.

"Paman Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak melihat Mei Lan menangisi jenazah ibunya?" Berkata demikian, air matanya kembali bercucuran.

Dengan suara meratap tangis, Khiu-ma berkata, "Siocia juga telah pergi sejak malam tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tetapi tentu dia yang menyebabkannya, dialah yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperi kemanusiaan itu..."

"Diamlah Khiu-ma!" Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu, maka Khiu-ma menundukkan mukanya, hanya masih terus terisak-isak.

"Kami berdua juga masih bingung memikirkannya, taihiap." Giam Tun mulai bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai tenang kembali.

"Ceritakan yang jelas semenjak semula, apa yang sudah terjadi. Dan saya minta dengan hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya dapat bicara dengan paman Giam Tun."

Para tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada pendekar itu untuk mendengarkan penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah mendengar persoalan itu.

Dengan panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan nyonya Lie Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja toko ditutup.

"Kedatangannya aneh sekali, Taihiap. Begitu datang dia marah-marah. Nyonya... ehhh…, mendiang..." Giam Tun merasa lehernya tercekik saat menceritakan nyonya majikannya.

"Paman Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Sekarang isteriku telah mati, kau bersikaplah tenang agar ceritamu jelas," Kun Liong berkata dengan suara lirih.

"Maaf, Taihiap." Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. "Nyonya keluar menyambutnya dengan ramah sambil menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang langsung menanyakan Taihiap dengan cara yang kasar sekali. Sesudah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi tidak terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang lagi bertengkar. Kami masih belum berani masuk, namun kami mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua kemudian memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!"

Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebetulnya yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!

"Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi saya pun dipukulnya hingga saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu dari pada aku, ceritakanlah."

Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. "Saya... saya sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah di lantai dan keadaan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula... mandi darah..."

Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, dan tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. "Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!"

"Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!" Giam Tun berkata keras.

"Diam!" Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. "Maaf, paman Giam dan Khiu-ma... eh, bagaimana kalian bisa menduga bahwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?" Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa yang lebih mengerti.

Memang pada saat itu Kun Liong merasa bingung dan bodoh. Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguh pun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercayanya, apa lagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biar pun dia dapat menduga bahwa andai kata bertanding sekali pun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya?

“Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar semenjak datang. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?"

"Apa lagi ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguh pun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti sedang tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh..." Khiu-ma memperkuat keterangan Giam Tun.

Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan bertubi-tubi datangnya mala petaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh! Anaknya minggat dan tidak dapat ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng!

Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja.

Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantiknya, demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnya segala sesuatu, baik anaknya, mau pun pembunuh isterinya, atau apa pun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya sudah mati! Cahaya hidupnya sudah padam! Sumber kebahagiaannya sudah kering!

Semenjak mendengarkan cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya akan dikuburkan, Kun Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Semua pengurusan mengenai penguburan dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu itu.

Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosongnya dia melihat betapa peti jenazah isterinya dimasukkan ke dalam lubang, kemudian diuruk dengan tanah sehingga hanya nampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.

"Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, Taihiap...," kata Giam Tun membujuk tuannya.

Khiu-ma hanya mengusap air matanya, merasa terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia bagaikan mayat hidup saja.

Betapa pun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak pernah menjawab, dia hanya menggelengkan kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.

Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah di sana tampak olehnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, bahkan kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang mencipta bermacam bentuk yang aneh.

Kemudian, pandangan matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seakan-akan terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat isterinya sedang bertanding dengan seorang wanita di antara awan putih, kemudian isterinya terpelanting roboh.

"Ouhhh...!" Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, sekarang dia melihat bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa, menggunakan pedang menusuk dada isterinya yang masih rebah terlentang.

"Heiiiii...!" Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seakan-akan dia hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas tanah.

"Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang telah membunuhmu dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?" dia mengeluh sambil menubruk gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun!

Duhai... berat nian
derita hidup penuh sengsara
ditinggal pergi orang tercinta
seorang diri sunyi dan hampa.
Ke mana harus mencarimu, kekasih?
bila kita dapat saling bersua?
hidup tanpa cinta apa artinya?
dunia tanpa matahari
gelap gulita!


Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di atas tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi sangat mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang orang-orang mati yang hidup lagi, tentang roh penasaran yang berkeliaran, rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayalan manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.

Kesengsaraan akan selalu ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buah pikiran kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka oleh pikiran.

Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan terhadap diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. Kalau kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan bukan lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukan keadaannya melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri.

Orang akan berduka apa bila sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidak senangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.


********************

Malam gelap pekat dan hujan turun demikian deras diterima sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan lebat pun sebenarnya terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.

Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantu pun bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu.

Kalau pada saat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan kini tampak bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya.

Dari pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan bulat!

Segala macam bentuk setan hanya ada kalau diadakan oleh pikiran kita sendiri. Memang banyak pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah amat pasti bahwa yang dilihatnya itu tentu setan-setan seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua. Pendek kata, tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya!

Pikiran bisa mempengaruhi semua anggota badan, terutama sekali mata dan telinga. Bila pikiran telah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang amat menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohon pun telah bisa menciptakan gambaran setan-setan itu, mendengar suara burung malam pun sudah bisa menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik bagaikan monyet itu.


Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan.

Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja maka kakinya dapat melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana nyonya majikannya dikubur sore tadi.

Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa yang tak akan ngeri memasuki tanah pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek ini nekat dan memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam hujan itu belum juga pulang.

"Taihiap...!" Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.

Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia melangkah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya menggigil.

Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa bagaikan sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum sambil memandang padanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya.

Akan tetapi tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, semakin lama isterinya makin jauh.
"Hong Ing...!" dia menjerit.

"Suamiku... kau cari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!"

Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang kini terdengar. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu.

"Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei Lan...!"

Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh rasa iba dan yang berkata dengan suara penuh permohonan,

"Pulanglah, Taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!"

"Hong Ing... Mei Lan...!" Kun Liong mengeluh, teringat akan mimpinya dan dia lalu bangkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.

Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kasih kepada Giam Tun. Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai mati pun dia tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan itu.

Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan. Malam-malam dengan menggunakan kepandaiannya, Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai kerudung putih menakut-nakuti Giam Tun sehingga kakek ini hampir terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.

Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul.

"Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?"

Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.

"Sudahlah, paman. Sudah terlalu berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang lain-lain."

Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya merasa lega juga. Biar pun keadaan majikannya begitu menyedihkan dan mengharukan, akan tetapi suara serta kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu telah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.

"Apa Taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan... sejak dua hari yang lalu Taihiap belum makan atau minum apa-apa..."

Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya.

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih juga akan kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendirian untuk menghadapi dan merenung segala kepahitan hidup ini, paman."

Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah dan tidak mampu lagi mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua dari pada biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi berhenti lagi, menengok dan berkata,

"Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, Taihiap?"

"Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah menyilaukan mata saja."

Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tidak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung sedikit membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya dan sangat mengerikan kalau tampak akibat tertimpa sinar kilat.

Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Dia baru sadar betapa belakangan ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlampau menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia kemudian duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sinkang menghangatkan tubuhnya.

Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai mempergunakan mata batinnya untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang baru saja menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya.

Dia tidak perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Kini Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat dan kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya.

Mungkin sudah sepatutnya kalau Hong Ing di ‘sana’ menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret lagi oleh arus kesengsaraan duniawi lagi.

Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan dan penasaran. Mengapa isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin orang-orang seperti kedua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!

Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras. Dia meloncat dan mengepal tinjunya.

"Giok Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!"

"Darrrrrrr...!"

Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata sehingga Kun Liong terkejut, tersadar kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya.

Terbayanglah dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah beserta ibu Giok Keng, terbayang dia akan wajah Giok Keng pada waktu gadis dulu, terbayang pula akan semua hal, hubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk membunuh Giok Keng!

“Bodoh…!” Dia memaki diri sendiri.

Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki penyebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Apa bila dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya.

Tidak, dia harus bisa melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan hanya Giok Keng satu-satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.

Tidak, dia tidak boleh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mimpi pada waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan.

Hong Ing sudah mati! Apa pun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia takkan tinggal diam, dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan karena memang sudah sepatutnya bila pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh harus diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, ‘pesan’ isterinya, Mei Lan harus ditemukan.

********************

"Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?" In Hong membentak dengan suara penuh kemarahan kepada nenek itu. Pada pagi hari itu mereka berdiri saling berhadapan di luar kota Leng-kok, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung.

Malam tadi Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong beserta Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong dengan maksud hendak membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai. Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing, bekas muridnya, mereka lalu berpencar sesudah berjanji pada keesokan harinya akan bertemu di luar kota di mana terdapat kuil itu.

Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia menegur dengan suara ketus.

"Heh-heh-heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justru mau bertanya kepadamu mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan, kenapa engkau membunuh dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?"

"Nenek iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah kepadaku!"

"Ehh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang ke rumah kakakmu dan melihat dari atas genteng betapa bekas muridku itu sudah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada, lalu aku mencari-carimu."

"Hemmm, mengapa pula aku membunuhnya? Aku pun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku harus membunuh?"

"Huh, dan kau kira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?"

"Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain."

"Dan kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekcok lebih dahulu kemudian kau membunuhnya dengan darah dingin. Kau kira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, 'Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi yang dia maksudkan kalau bukan engkau?"

"Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku?!"

"Yap In Hong, engkau berani menghinaku?!"

Kedua orang itu sudah saling melotot, namun pada saat itu Yalima melangkah maju dan berkata, "Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang terpenting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan Enci dengan dia pun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia, bukan?"

Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, kenapa kita berdua seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkau pun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya."

"Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Sebab itu kita berpisah di sini saja."

"Eh-ehh? Apakah engkau marah setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu?"

"Bukan urusanku!"

"Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku tadi, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga engkau dapat langsung memutuskan ikatan jodoh sambil sekalian memaksanya untuk mengawini muridku ini. Di lereng gunung itu aku mengenal seseorang yang menjadi sahabat baikku, seorang tokoh besar. Mari kita mengunjungi dia karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?"

Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, "Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko."

In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!

"Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?" katanya.

"Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian soso-mu (kakak iparmu) dan engkau pun tidak berduka, bukan? Sudah, tak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin salah seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak."

Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek itu. Secara diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subo-nya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.

Gunung yang mereka tuju itu adalah sebuah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang berupa batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger dan kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya seperti batu kumala.

Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang dalam usaha ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, Toat-beng-kauw Bu Sit pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biar pun pada saat itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, hanya tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka meski pun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya.

Kini tempat itu dipilih oleh Toat-beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan para tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biar pun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.

Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang memiliki ilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu.

Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang dulu telah tewas saat bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong sehingga dia pun merasa tidak suka terhadap keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, karena itu sesudah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera ikut mengajukan diri...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 08

Dewi Maut Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
BETAPA pun juga, muridnya, Pek Hong Ing, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang punya hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu, malah sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini akan dilakukan secara sembunyi, kecuali bila telah tiba saatnya kedua fihak berdiri berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan Dewa. Betapa pun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong Ing.

Maka walau pun kini tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia hanya menonton dengan penuh perhatian sesudah melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, "Minum ini untuk menolak hawa beracun!"

Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju sehingga berhadapan dengan Giok Keng. Setelah selama kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengarlah In Hong berkata, suaranya dingin,

"Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah orang-orang paling baik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!"

Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. "Engkau seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggota golongan maling dan pencoleng? Sungguh patut disayangkan!"

In Hong tersenyum. "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus kuakui bahwa Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku. Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, ternyata orang-orangnya begini sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak mengambil apa-apa. Andai kata dia menukar sumbangan, itu hanyalah senda guraunya karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil barang orang."

"Betapa pun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah orang-orang hina."

"Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"

Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. "Mulut lancang! Kami keluarga Cia sejak dulu terkenal sebagai pendekar-pendekar perkasa pembela kebenaran dan keadilan!"

"Kebenaran dan keadilan siapa?" In Hong mengejek. "Setahuku, putera tunggal ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum wanita!"

"Wanita iblis! Kau maksudkan adikku Cia Bun Houw?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?"

Saking marahnya, Giok Keng sampai sulit mengeluarkan suara, matanya terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah. Akhirnya dapat juga dia membentak,

"Iblis betina! jangan menyebar fitnah! Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!"

"Nah, itulah dia! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja..."

"Ahhhh, tidak...!" Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh saat mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu. Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar diam, kemudian dia menonton dengan hati tegang gembira.

"Wuuttttt... wirrrrr...!" Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.

"Pratttt…!" In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya.

Giok Keng terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi sekali bertemu dengan jari jemari tangan gadis cantik ini, ternyata ujungnya menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil berteriak nyaring, "Nona Yap In Hong, tahan dulu...!"

Yang datang ini bukan lain adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi pada waktu melihat keributan terjadi akibat dari perbuatannya, dia menjadi jeri dan cepat menyelinap keluar kemudian mengintip dari luar. Akan tetapi pada saat melihat betapa In Hong turun tangan membelanya, dia menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak bertanding.

In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. "Biarlah, paman Can, orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."

"Nona In Hong, jangan...!" Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.

"Kau... kau... bernama Yap In Hong...?" tanyanya dengan heran.

In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, "Maafkan saya, Lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini tidak turut apa-apa! Saya yang tadi karena merasa penasaran melihat tuan rumah membeda-bedakan tempat duduk untuk para tamu, kemudian ingin menggodanya dengan menukar kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak menyangka bahwa barang-barang itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang bersalah dan Lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong tidak ikut-ikut..."

“Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?" Giok Keng lantas menggerakkan tangan kirinya memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada pencopet itu.

"Plakkkk! Desss…!"

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong, tangkisan yang kuat bukan main.

"Mundurlah, paman Can!" In Hong mendorong pundak temannya itu sehingga Can Pouw terlempar dan pencopet ini menjadi pucat mukanya, lalu menyelinap dan lenyap dari situ.

Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah dua kali ditangkis dan pada yang kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang terdesak, maka hal ini dianggapnya sangat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,

"Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?" pertanyaan ini diajukan dengan ragu-ragu sebab dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.

"Benar, tapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia," jawab In Hong dengan suara yang tetap dingin.

Giok Keng melongo, akan tetapi segera sanggup menekan keheranannya dan dia lantas membentak, "Dan kau tadi berani bicara bohong tentang adikku Bun Houw?"

"Hemm, mengapa tidak kau tanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"

"Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"

In Hong memandang tajam, dan bibirnya terlukis senyum mengejek. "Tentu saja aku tahu. Engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita yang sombong..."

"Bocah kurang ajar!" Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya dan tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.

"Tahan senjata...!" Lie Kong Tek sudah meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya. "Tidak perlu kita berlarut-larut, apa lagi dia bukan orang lain. Marilah kita pergi saja."

Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali saat dia menyarungkan pedangnya. Dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong sambil berkata, "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu ini!"

Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu, hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.

In Hong tidak mempedulikan lagi suami isteri itu, dia menengok dan mencari-cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak berada di situ, dia lalu berkelebat dan meloncat keluar tanpa pamit.

Keadaan pesta itu lantas menjadi agak riuh dan bising sebab semua tamu membicarakan peristiwa yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar membuat geger, baik fihak golongan hitam mau pun golongan putih.

********************

"Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!"

In Hong menghentikan langkahnya, menengok dan melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.

In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia segera pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana perginya itu. Pula, dia pun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu.

"Apakah keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?" tegurnya dengan suara dingin.

"Heh-heh-he-he!" Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat bututnya ke atas tanah. "Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan tetapi mulutnya juga panjang, ha-ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini."

In Hong menjawab, "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?"

"Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona Yap In Hong. Ketahuilah bahwa di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat, sungguh pun agaknya engkau tidak mempedulikan hubungan keluarga."

In Hong menjadi heran. "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"

"Heh-heh-he-he, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan? Nah, Kun Liong itu adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti anakku sendiri."

In Hong mengangguk-angguk. "Hemm... begitukah kiranya? Akan tetapi aku tidak tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti sudah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai tadi, aku tidak punya urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."

Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. "Bagus... bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Aku pun tidak suka kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknya pun tentu bukan manusia baik-baik!"

"Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun Houw tadi. Dia bukanlah seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!" Yalima memprotes dengan suara keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.

In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. "Hemm, engkau masih terlalu kecil untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan? Akan tetapi tahukah engkau mengapa dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"

"Ya, kenapa... enci? Aku tidak tahu kenapa dia pergi meninggalkan aku...?" tanya Yalima penuh gairah mendengar ada orang yang tahu tentang urusan kekasihnya itu.

"Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan engkau!"

"Aihhhhh...!" Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. "Ti... tidak benar itu...!"

In Hong tersenyum mengejek. "Kau bilang tidak benar? Kau tahu siapa wanita yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu? Akulah orangnya! Akan tetapi aku tidak sudi, apa lagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan engkau."

"Aihhh...!" Yalima kembali menjerit. "Enci... katakanlah, di mana dia? Di mana aku dapat berjumpa dengan Houw-ko? Subo, bawalah aku menemui dia..." Dia meratap dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.

"Diamlah dulu, anak cengeng!" Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti mata seekor kelinci diancam harimau.

"Engkau memang benar jika menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang makhluk jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau menolongku, kouwnio?"

"Menolong bagaimana?"

"Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan menolak, bukan?"

"Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleh dijodoh-jodohkan di luar kehendakku begitu saja."

"Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."

In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, "Ini... ini... bukan urusanku, kau lakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"

"He-he-he... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah dan berhati baja seperti aku pada waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"

"Jangan sembarangan membuka mulut!" In Hong membentak sambil mengepal tangan.

"Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima."

Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan mengenai ikatan perjodohannya dengan pria yang sangat dicintanya, maka dia pun berkata dengan suara memohon kepada In Hong,

"Enci In Hong, harap engkau suka membantu subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-koko."

Sesudah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan tetapi tidak ada persekutuan apa pun di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan Yalima."

"Heh-heh-heh, tentu saja. Aku pun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!"

Nenek yang sudah bangkotan dan penuh pengalaman ini tentu saja segera bisa mengenal watak In Hong yang tidak suka kepada kaum pria, apa lagi karena dia pun sudah melihat hiasan burung hong di rambut dara itu dan dapat menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-hong-pang yang sudah terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria, yang kabarnya dipimpin oleh seorang wanita yang kepandaiannya sangat tinggi.

Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong mendapat seorang kawan seperjalanan dalam perantauannya, seorang kawan yang jauh berbeda dengan kawannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya karena dara Tibet ini sangat murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih sekali sehingga membuat In Hong menjadi kagum.

Dia tidak menjadi heran kalau ada laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu yang tergila-gila kepada seorang dara seperti ini, akan tetapi jika sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, maka perjalanan bersama nenek yang mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong.

Di lain fihak, Yalima yang berwatak polos menganggap In Hong adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang wanita yang sangat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.

********************

Apa pun juga yang terjadi di dunia ini pun terjadilah, tanpa manusia bisa mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apa pun juga yang terjadi dalam kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu peristiwa yang terjadi, dan apa bila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapa pun, hanya menghadapinya dengan tenang dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi, melainkan bersumber di dalam diri pribadi.

Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini, kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain, pada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas, dengan awas sambil memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karena semuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran.

Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!


********************

Kota Leng-kok hanyalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap Kun Liong, tokoh di dalam cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang kedua orang tuanya. Di kota ini dia pun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama isterinya serta anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada saat itu telah menjadi seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah.

Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.

Mereka berdua ini adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun, yang bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam Tun dan di samping ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan.

Ada pun orang kedua ialah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong.

Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara sendiri oleh Yap Mei Lan.

Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya, dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya, biar pun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh.

Mei Lan adalah seorang dara yang tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan. Sikapnya lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang lincah jenaka.

Pek Hong Ing juga sangat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya kepada Mei Lan makin bertambah.

Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena sudah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar akan mala petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh menutup toko supaya kedua orang pembantunya dapat pulang tidak terlalu malam.

Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biar pun Mei Lan sendiri sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini dan Mei Lan juga selalu membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu.

Giam Tun telah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri seorang wanita cantik yang sikapnya bagaikan orang sedang menahan kemarahan. Giam Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah ikut keluarga itu selama bertahun-tahun, maka tentu saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut dengan sikap hormat dan ramah.

"Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam..."

Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!

"Aihhh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari silakan masuk ke dalam, enci..." Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya yang tadi nampak berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan saat melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya mencari-cari ke dalam.

"Mana suamimu? Mana Kun Liong? Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!"

Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang tampak jelas bahwa dia sedang marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.

“Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng." Dia memegang lengan tamunya dan menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia tetap mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam.

Menyaksikan sikap tamu ini, Giam Tun dan Khiu-ma menjadi terheran-heran dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu.

Setibanya di dalam Hong Ing lalu bertanya, "Enci Giok Keng, engkau mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi? Mengapa engkau kelihatan marah-marah, enci? Aku... aku… menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu terus pergi ke sana."

"Hemmm, jadi dia tidak berada di rumah? Kalau begitu sia-sia saja kedatanganku!" kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin marah.

Memang kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak peduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembalinya mereka dari Wu-han dia terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena kelakuan adik kandungnya. Akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang dicarinya itu tidak berada di rumah.

"Ada urusan apakah, enci? Harap suka memberi tahukan kepadaku." Hong Ing bertanya, hatinya makin tidak enak.

"Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!"

Pada saat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya. Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela.

"Urusan ayah adalah urusan ibu juga, kenapa ada urusan ayah yang tidak boleh diketahui ibu? Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu padahal sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!"

"Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!" bentak Hong Ing.

Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-sinar. "Ahh, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya dengar banyak dari ayah ibu sebagai seorang pendekar wanita, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya."

"Engkau anak haram yang kurang ajar!" Giok Keng tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit dengan muka pucat.

Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikit pun tidak merasa takut. "Bibi Giok Keng, dalam kitab-kitab aku membaca mengenai pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang? Apa maksud bibi memaki saya sebagai anak haram?"

"Engkau ini kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga tidak baik! Bibimu pun manusia tidak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarnya!"

"Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!"

"Mei Lan...! Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.

"Kau berani bilang aku bohong, ya? Kau kira engkau ini apa? Engkau ini memang anak haram. Engkau adalah anak ayahmu dari hubungan gelapnya dengan seorang wanita dan kau bukan anak ibumu!"

"Enci...! Kau...! Kau terlalu...!" Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju, bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus.

Akan tetapi Giok Keng salah menduga, menduga bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang.

Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, "Ibu...! Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!"

Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu lalu berkata, "Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!" Dia marah sekali teringat akan penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.

"Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini…? Mei Lan... ke sinilah, kau jangan dengarkan dia..."

Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. "Ibu, harap katakan, benarkah aku bukan anak kandung ibu? Benarkah aku anak... anak haram?"

"Mei Lan...," keluh ibunya.

"Katakanlah, ibu! Katakan!" Anak itu menjerit-jerit.

Hong Ing mengeluh kemudian mengangguk. "Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan, mengapa begini...?"

Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis. Mei Lan meloncat dan lari keluar dari tempat itu.

"Mei Lan...!" Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan mata berapi. "Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya! Sungguh tak pernah kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!"

Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok Keng. Giok Keng menangkis lantas balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan dalam itu dan keduanya yang sedang dikuasai kemarahan melakukan serangan-serangan yang amat dahsyat.

"Eh, eh... apa yang terjadi ini? Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio..." Khiu-ma yang sama sekali tidak tahu tentang ilmu silat itu secara nekat mendekati mereka dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan wanita ini lantas terlempar dan terbanting roboh, pingsan!

"Lie-toanio, kau benar-benar keliru. Seorang tamu mana boleh..." Baru sampai di sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya sehingga dia pun terpelanting dan pingsan pula.

"Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!" Hong Ing memaki marah,

Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dalam keadaan tak sadarkan diri.

Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia sudah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan keluar dari rumah itu.

********************

Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apa pun yang terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tak akan memandang akibat, melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran dan badan itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang terpenting adalah mengenal diri pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap kita, baik gerak tubuh mau pun kata-kata.

Yang penting adalah caranya, bukan tujuannya, karena tujuan tak akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda dengan sebabnya! Apa bila caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik hati pikiran serta kata-kata perbuatan kita saat demi saat barulah benar apa bila terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul karena nafsu keinginian pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran serta pengertian yang timbul pula dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat.

Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak benar pula, ini sudah pasti, sungguh pun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah tersembunyi di alam bawah sadar. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang benar, apa bila demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar juga karena mengandung pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan akibat, dan akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi!

Inilah apa yang dinamakan hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap saat harus awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata mengendalikan atau menekan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa maksud apa-apa, hanya waspada saja. Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.

Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak adil. Kematian orang yang kita kasihi, mala petaka yang menimpa hingga membuat kita menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada siapa pun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!


Pada pagi hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap Kun Liong. Pagi-pagi sekali pendekar ini sudah memasuki kota Leng-kok dan langsung dia menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar mengenai mala petaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Dia menghadap pendekar yang telah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri, juga gurunya, kemudian dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima Bayangan Dewa. Akan tetapi dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi dan sekarang Cia Bun Houw telah pergi, bersama dengan empat orang murid kepala Cin-ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar.

Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang hebat dan menghibur pun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-ling-pai, lalu berpamit dan semenjak saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak. Lebih-lebih lagi malam tadi, dia merasa gelisah sekali sehingga malam-malam pun dia tak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok.

Keadaan Cin-ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga, maka dia ingin lekas-lekas berjumpa dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan dapat meringankan perasaannya apa bila sedang terhimpit oleh keadaan. Orang itu adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.

Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati. Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma!

Jantungnya bagaikan berhenti berdetak, kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Begitu melihat dirinya, beberapa orang tetangga yang berada di depan kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya.

"Ada apa...?" Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri bagaikan tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelan kecemasan yang mengerikan.

Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa mengeluarkan suara.

"Ada apa...?" Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang bukan-bukan.

Tidak ada seorang pun menjawab, akan tetapi semua mata ditujukan ke arah kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.

"Apa yang terjadi...?" Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu.

Mukanya pucat sekali hingga seperti mayat dan matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seakan-akan dia tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, kemudian digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah.

"Taihiap... uhhuu-hu-huuuk...!" Giam Tun menoleh dan hanya dapat mengeluarkan seruan demikian, karena dia sudah berlutut dan menangis bergulingan diatas lantai. Khiu-ma juga menjerit.

"Apa ini...? Apa ini...? Bagaimana...? Kenapa...?" Kun Liong semakin terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lantas ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini.

Ini tentu mimpi buruk, bantahnya. Tidak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya tercinta, sekarang rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tidak mungkin!

Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan, berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api, ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan pedang.

Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk mengumpulkan tenaga, kemudian dia memandang kembali, dirangkulnya mayat itu dan kini dia mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan di bawah pembaringan!

Gegerlah kamar itu. Kegegeran dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah isterinya, dan dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus.

Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh terguling dan menggigil, kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat. Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak pilu.

Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar. Dan cepat dia bangkit duduk. "Tidak mungkin! Hong Ing...!"

Dia menoleh ke pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. "Tidak mungkin! Sudah gilakah aku? Ehh, Giam-lopek, sudah gilakah aku? Hong Ing mati? Tidak mungkin...!" Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati itu, luka yang menembus sampai ke punggung!

"Hong Ing... bagaimana ini...?"

"Taihiap.... harap tenangkan hati, taihiap...," Giam Tun berkata dengan suara gentar.

"Apa...? Tenang...? Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian berdua dengan isteriku!"

Giam Tun segera memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis.

Sesudah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya, sambil bercucuran air mata.

"Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini...? Mengapa...?"

Orang-orang yang berada di luar hanya mendengar suara pendekar itu yang puluhan kali mengajukan pertanyaan ‘mengapa’, dan suara ini makin lama semakin parau bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis.

Dengan pengerahan kekuatan yang sangat hebat, barulah Kun Liong berhasil menguasai dirinya. Sesudah lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya, kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup!

Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa cahaya kehidupan, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri yang hebat dan dia seperti orang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong menatap jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.

"Taihiap...!" Giam Tun berseru dan maju berlutut.

Seruan ini menyadarkannya. Dia cepat mengusap air matanya dengan punggung kepalan kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma segera menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi itu.

"Paman Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak melihat Mei Lan menangisi jenazah ibunya?" Berkata demikian, air matanya kembali bercucuran.

Dengan suara meratap tangis, Khiu-ma berkata, "Siocia juga telah pergi sejak malam tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tetapi tentu dia yang menyebabkannya, dialah yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperi kemanusiaan itu..."

"Diamlah Khiu-ma!" Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu, maka Khiu-ma menundukkan mukanya, hanya masih terus terisak-isak.

"Kami berdua juga masih bingung memikirkannya, taihiap." Giam Tun mulai bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai tenang kembali.

"Ceritakan yang jelas semenjak semula, apa yang sudah terjadi. Dan saya minta dengan hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya dapat bicara dengan paman Giam Tun."

Para tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada pendekar itu untuk mendengarkan penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah mendengar persoalan itu.

Dengan panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan nyonya Lie Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja toko ditutup.

"Kedatangannya aneh sekali, Taihiap. Begitu datang dia marah-marah. Nyonya... ehhh…, mendiang..." Giam Tun merasa lehernya tercekik saat menceritakan nyonya majikannya.

"Paman Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Sekarang isteriku telah mati, kau bersikaplah tenang agar ceritamu jelas," Kun Liong berkata dengan suara lirih.

"Maaf, Taihiap." Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. "Nyonya keluar menyambutnya dengan ramah sambil menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke dalam. Lie-toanio itu datang-datang langsung menanyakan Taihiap dengan cara yang kasar sekali. Sesudah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi tidak terdengar jelas apa percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang lagi bertengkar. Kami masih belum berani masuk, namun kami mendengar bahwa yang bertengkar itu adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua kemudian memasuki ruangan dalam dan kami melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!"

Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa sebetulnya yang terjadi? Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!

"Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi saya pun dipukulnya hingga saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih dulu dari pada aku, ceritakanlah."

Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. "Saya... saya sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya rebah di lantai dan keadaan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula... mandi darah..."

Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi, dan tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring. "Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!"

"Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!" Giam Tun berkata keras.

"Diam!" Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. "Maaf, paman Giam dan Khiu-ma... eh, bagaimana kalian bisa menduga bahwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?" Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa yang lebih mengerti.

Memang pada saat itu Kun Liong merasa bingung dan bodoh. Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguh pun penuturan itu keluar dari mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercayanya, apa lagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biar pun dia dapat menduga bahwa andai kata bertanding sekali pun isterinya akan kalah setingkat, akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya?

“Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar semenjak datang. Siapa lagi kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?"

"Apa lagi ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita sungguh pun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti sedang tergesa-gesa. Sudah jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh..." Khiu-ma memperkuat keterangan Giam Tun.

Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya dan bertubi-tubi datangnya mala petaka itu. Isterinya yang tercinta mati terbunuh! Anaknya minggat dan tidak dapat ditemukan ketika dicari-cari. Dan menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok Keng!

Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala saja.

Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantiknya, demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnya segala sesuatu, baik anaknya, mau pun pembunuh isterinya, atau apa pun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya sudah mati! Cahaya hidupnya sudah padam! Sumber kebahagiaannya sudah kering!

Semenjak mendengarkan cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya akan dikuburkan, Kun Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Semua pengurusan mengenai penguburan dan penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu itu.

Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosongnya dia melihat betapa peti jenazah isterinya dimasukkan ke dalam lubang, kemudian diuruk dengan tanah sehingga hanya nampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.

"Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, Taihiap...," kata Giam Tun membujuk tuannya.

Khiu-ma hanya mengusap air matanya, merasa terharu dan kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan matanya kosong. Dia bagaikan mayat hidup saja.

Betapa pun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak pernah menjawab, dia hanya menggelengkan kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.

Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah di sana tampak olehnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, bahkan kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang mencipta bermacam bentuk yang aneh.

Kemudian, pandangan matanya yang sudah tidak lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam, sehingga seakan-akan terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat isterinya sedang bertanding dengan seorang wanita di antara awan putih, kemudian isterinya terpelanting roboh.

"Ouhhh...!" Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, sekarang dia melihat bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa, menggunakan pedang menusuk dada isterinya yang masih rebah terlentang.

"Heiiiii...!" Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seakan-akan dia hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting kembali ke atas tanah.

"Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang telah membunuhmu dan mengapa? Benarkah dia Giok Keng...?" dia mengeluh sambil menubruk gundukan tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun!

Duhai... berat nian
derita hidup penuh sengsara
ditinggal pergi orang tercinta
seorang diri sunyi dan hampa.
Ke mana harus mencarimu, kekasih?
bila kita dapat saling bersua?
hidup tanpa cinta apa artinya?
dunia tanpa matahari
gelap gulita!


Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di atas tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi sangat mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang orang-orang mati yang hidup lagi, tentang roh penasaran yang berkeliaran, rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayalan manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.

Kesengsaraan akan selalu ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi, karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buah pikiran kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang direka-reka oleh pikiran.

Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu merasa kasihan terhadap diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. Kalau kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan bukan lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukan keadaannya melainkan hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri.

Orang akan berduka apa bila sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan kesenangan dan ditimbuni ketidak senangan, meremas-remas hati, dan perasaannya sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.


********************

Malam gelap pekat dan hujan turun demikian deras diterima sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan lebat pun sebenarnya terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.

Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantu pun bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang syahdu.

Kalau pada saat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama makin mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan kini tampak bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya.

Dari pinggang ke bawah seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan bulat!

Segala macam bentuk setan hanya ada kalau diadakan oleh pikiran kita sendiri. Memang banyak pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan tetapi sudah amat pasti bahwa yang dilihatnya itu tentu setan-setan seperti yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar atau dongeng-dongeng orang tua. Pendek kata, tentu yang dilihatnya itu adalah gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya!

Pikiran bisa mempengaruhi semua anggota badan, terutama sekali mata dan telinga. Bila pikiran telah mencekam kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang amat menakutkan dan mengerikan, maka melihat bayangan pohon pun telah bisa menciptakan gambaran setan-setan itu, mendengar suara burung malam pun sudah bisa menciptakan gambaran yang dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik bagaikan monyet itu.


Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, juga oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki pintu gerbang tanah pekuburan.

Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan, maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan. Hanya karena hafal saja maka kakinya dapat melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana nyonya majikannya dikubur sore tadi.

Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa yang tak akan ngeri memasuki tanah pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur? Akan tetapi, rasa hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat kakek ini nekat dan memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam hujan itu belum juga pulang.

"Taihiap...!" Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.

Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk dia melangkah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya menggigil.

Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa bagaikan sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia, tersenyum sambil memandang padanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya.

Akan tetapi tiba-tiba air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, semakin lama isterinya makin jauh.
"Hong Ing...!" dia menjerit.

"Suamiku... kau cari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!"

Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang kini terdengar. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam perahu.

"Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus mencari nona Mei Lan...!"

Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh rasa iba dan yang berkata dengan suara penuh permohonan,

"Pulanglah, Taihiap, nona Mei Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!"

"Hong Ing... Mei Lan...!" Kun Liong mengeluh, teringat akan mimpinya dan dia lalu bangkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.

Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kasih kepada Giam Tun. Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai mati pun dia tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan hujan itu.

Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan. Malam-malam dengan menggunakan kepandaiannya, Hong Ing meloncat ke atas genteng dan memakai kerudung putih menakut-nakuti Giam Tun sehingga kakek ini hampir terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.

Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya. Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai timbul.

"Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia, bukan?"

Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.

"Sudahlah, paman. Sudah terlalu berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa, biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan yang lain-lain."

Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya merasa lega juga. Biar pun keadaan majikannya begitu menyedihkan dan mengharukan, akan tetapi suara serta kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu telah sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.

"Apa Taihiap tidak perlu ganti pakaian? Ini sudah saya bawakan... dan makanan... sejak dua hari yang lalu Taihiap belum makan atau minum apa-apa..."

Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi dikempitnya.

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya berganti pakaian sekarang? Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih juga akan kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan makanan atau minuman? Pulanglah dan biarkan aku sendirian untuk menghadapi dan merenung segala kepahitan hidup ini, paman."

Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah dan tidak mampu lagi mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua dari pada biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi berhenti lagi, menengok dan berkata,

"Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan di sini, Taihiap?"

"Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tak akan mampu menerangi kegelapan hatiku, malah menyilaukan mata saja."

Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tidak tahu apa yang hendak dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan punggung sedikit membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang kedua lengannya dan sangat mengerikan kalau tampak akibat tertimpa sinar kilat.

Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin sekali. Dia baru sadar betapa belakangan ini dia telah mengabaikan kewajibannya yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlampau menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia kemudian duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sinkang menghangatkan tubuhnya.

Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai mempergunakan mata batinnya untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang baru saja menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya.

Dia tidak perlu menangisi kematian Hong Ing. Mengapa? Kini Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat dan kesengsaraannya yang panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya.

Mungkin sudah sepatutnya kalau Hong Ing di ‘sana’ menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret lagi oleh arus kesengsaraan duniawi lagi.

Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan dan penasaran. Mengapa isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu sampai dibunuh orang? Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak mungkin orang-orang seperti kedua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun, akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!

Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang bekerja keras. Dia meloncat dan mengepal tinjunya.

"Giok Keng, kau perempuan keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!"

"Darrrrrrr...!"

Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti. Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata sehingga Kun Liong terkejut, tersadar kembali dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya.

Terbayanglah dia akan wajah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah beserta ibu Giok Keng, terbayang dia akan wajah Giok Keng pada waktu gadis dulu, terbayang pula akan semua hal, hubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk membunuh Giok Keng!

“Bodoh…!” Dia memaki diri sendiri.

Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki penyebabnya, tidak terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Apa bila dia menuruti nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-tumpuk dan tiada habisnya.

Tidak, dia harus bisa melihat kenyataan. Isterinya mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan hanya Giok Keng satu-satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa. Kalau dia mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.

Tidak, dia tidak boleh melakukan hal yang sembrono. Dia harus memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian pesan isterinya dalam mimpi pada waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang terpenting memang mencari Mei Lan.

Hong Ing sudah mati! Apa pun yang akan dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia takkan tinggal diam, dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan karena memang sudah sepatutnya bila pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si pembunuh harus diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, ‘pesan’ isterinya, Mei Lan harus ditemukan.

********************

"Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?" In Hong membentak dengan suara penuh kemarahan kepada nenek itu. Pada pagi hari itu mereka berdiri saling berhadapan di luar kota Leng-kok, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung.

Malam tadi Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan In Hong beserta Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun Liong dengan maksud hendak membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai. Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing, bekas muridnya, mereka lalu berpencar sesudah berjanji pada keesokan harinya akan bertemu di luar kota di mana terdapat kuil itu.

Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil, serta merta dia menegur dengan suara ketus.

"Heh-heh-heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justru mau bertanya kepadamu mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan, kenapa engkau membunuh dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?"

"Nenek iblis! Siapa membunuh dia? Tentu kau yang membunuh kemudian menjatuhkan fitnah kepadaku!"

"Ehh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang ke rumah kakakmu dan melihat dari atas genteng betapa bekas muridku itu sudah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada, lalu aku mencari-carimu."

"Hemmm, mengapa pula aku membunuhnya? Aku pun datang sudah melihat dia tewas. Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula aku harus membunuh?"

"Huh, dan kau kira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?"

"Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain."

"Dan kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekcok lebih dahulu kemudian kau membunuhnya dengan darah dingin. Kau kira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, 'Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi yang dia maksudkan kalau bukan engkau?"

"Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku?!"

"Yap In Hong, engkau berani menghinaku?!"

Kedua orang itu sudah saling melotot, namun pada saat itu Yalima melangkah maju dan berkata, "Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang terpenting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan Enci dengan dia pun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia, bukan?"

Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, kenapa kita berdua seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkau pun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya."

"Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Sebab itu kita berpisah di sini saja."

"Eh-ehh? Apakah engkau marah setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu?"

"Bukan urusanku!"

"Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku tadi, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga engkau dapat langsung memutuskan ikatan jodoh sambil sekalian memaksanya untuk mengawini muridku ini. Di lereng gunung itu aku mengenal seseorang yang menjadi sahabat baikku, seorang tokoh besar. Mari kita mengunjungi dia karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?"

Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, "Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko."

In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!

"Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?" katanya.

"Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian soso-mu (kakak iparmu) dan engkau pun tidak berduka, bukan? Sudah, tak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin salah seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak."

Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek itu. Secara diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subo-nya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.

Gunung yang mereka tuju itu adalah sebuah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang berupa batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger dan kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya seperti batu kumala.

Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang dalam usaha ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, Toat-beng-kauw Bu Sit pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biar pun pada saat itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, hanya tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka meski pun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya.

Kini tempat itu dipilih oleh Toat-beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan para tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biar pun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.

Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang memiliki ilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu.

Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang dulu telah tewas saat bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong sehingga dia pun merasa tidak suka terhadap keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, karena itu sesudah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera ikut mengajukan diri...
Selanjutnya,