Dewi Maut Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG memandang tajam penuh selidik pada saat kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Siankouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.

In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapa pun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus bagaikan monyet dan yang pandangan matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu.

"Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!" demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. "Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kau lihatlah, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih sama muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus dan putih seperti kulitmu itu sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan ilmu kepandaiannya pun hebat! Dan yang ini, seperti diperkenalkan tadi, ialah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang dahulu pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini sungguh pun masih muda tapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suheng-nya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa."

Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemmm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayankah Dewa yang sudah membuat geger dunia persilatan karena sudah berani mengacau Cin-ling-pai serta mencuri Siang-bhok-kiam?

Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, "Nona Yap, meski pun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, nona memiliki kepandaian yang amat hebat," mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima!

"Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!" Go-bi Sin-kouw terkekeh, "Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok."

"Aihhh...!" Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi juga yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran.

"Biar pun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa," In Hong cepat berkata. "Sejak kecil tidak pernah ada hubungan."

Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang mempunyai kepandaian hebat sekali dan merupakan ‘orang dekat’ dengan Cin-ling-pai!

"Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?" tiba-tiba saja Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.

Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. "Cantik jelita dan hebat, bukan? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet."

"Wah, sungguh beruntung engkau memiliki murid secantik ini!" Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati merasa tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya!

In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tak menyenangkan itu, akan tetapi begitu berjumpa dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam!

Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dulu pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, ternyata mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.

Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw bersama empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. Agaknya memang sengaja In Hong ditinggalkan, sebab setelah makan malam Yalima diperintah oleh subo-nya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguh pun di udara nampak awan hitam berkelompok.

"Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biar pun dia mengaku tak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia adalah adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu menjadi mata-mata Cin-ling-pai dan sengaja datang ke sini untuk menyelidik!" Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.

"Heh-heh-heh, kau kira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!"

"Ahhhh...!" Semua orang menjadi sangat tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.

Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kandungnya itu.

Mereka mendengarkan penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. "Betapa pun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka."

Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. "Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?"

"Ahh, Giok-hong-pang...?" Hek I Siankouw bertanya.

Go-bi Sin-kouw mengangguk. "Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Malam tadi di Leng-kok mungkin dia sudah membunuh isteri Yap Kun Liong, atau setidaknya, dia melihat kematian kakak iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!"

"Hahh...?!"

“Apa…?!”

Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.

"Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih berpura-pura merendahkan diri!" Hwa Hwa Cinjin berkata. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?"

Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut itu. "Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?"

Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. "Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasa-jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?"

Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apa lagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.

"Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah hal ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini."

"Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu, apa bila dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita," kata Toat-beng-kauw Bu Sit.

Nenek itu menggeleng kepala. "Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras bukan main dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji hendak mempertemukan dia dengan pacarnya."

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. "Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!" Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.

"Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Malam ini aku menyerahkan dia kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih."

Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang sangat cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa.

Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah maka Go-bi Sin-kouw menyerahkan muridnya itu kepada Bu Sit. Justru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia hendak mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!

Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur ketika teringat akan calon mangsanya itu. Segera dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, "Terima kasih, terima kasih, terima kasih!"

Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak sedangkan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak peduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah bisa berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.

Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Sekarang sesudah mendapat kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong sehingga tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, bahkan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.

Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan sinarnya dan baru kembali berseri-seri setelah kilat berlalu.

"In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?" kata Yalima sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman, betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.

In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Meski pun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi dengan cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi betul dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.

"Tanyalah, mengapa aku harus marah?"

"Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, Enci?"

In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikat Copet dan yang kedua dengan Yalima.

"Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, lalu bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Lagi pula, aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku."

Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.

"Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa dengannya. Bagaimana ini, Enci? Aku sungguh tidak mengerti."

Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Houw! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan rasa curiga.

"Aku membenci semua laki-laki yang senang mempermainkan wanita, dan dia itu sudah mempermainkan aku, sudah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!"

"Ehh, aku tidak mengerti, Enci."

"Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Jika dia sudah tahu bahwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dahulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!"

Yalima masih bingung. "Seharusnya dia bersikap bagaimana, Enci?"

"Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!"

Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, "Enci, apakah engkau cemburu?"

In Hong terkejut dan cepat memandang dara remaja itu. "Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?"

"Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko..."

"Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sulit untuk bisa dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau kelak sampai harus mengalami patah hati seperti yang lain..."

"Seperti yang lain siapa, Enci?"

In Hong tidak menjawab, dia segera terkenang kehidupan gurunya dan para bibi anggota Giok-hong-pang.

"Seperti siapa, Enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, Enci?"

"Hushh!" In Hong tersenyum sambil mencubit dagu yang meruncing manis itu. "Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati."

“Aku tidak percaya, Enci. Orang secantik engkau, bagaikan Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin..." Dara itu memandang penuh khawatiran.

"Hemm, kau rasa bagaimana?" In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.

"Kurasa Enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah..."

In Hong tersenyum lebar. "Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, engkau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima."

"Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, Enci."

"Eh?! Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!"

"Mengapa Enci ingin pergi mengajak aku?"

"Entahlah, aku suka padamu dan agaknya… aku membutuhkan seorang sahabat."

"Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, Enci."

"Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu."

"Bukan itu, Enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena aku tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran. Lalu di dalam sebuah hutan aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan berhutang nyawa, bagaimana aku dapat pergi meninggalkannya begitu saja, sungguh pun aku... amat... tidak suka kepadanya?"

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biar pun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa semakin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandengan tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subo-nya yang masih bercakap-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukarlah dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak peduli dengan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia.

Dia pun diganggu oleh persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini salah seorang dari pada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri!

Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka serta kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya.

Biar pun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena selama hidupnya dia tentu tidak akan berani pulang. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subo-nya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

"Aku harus membantunya agar bertemu dengan pemuda itu," dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur.

Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lainnya bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

********************

"Tidak... tidak... ahh, teecu tidak mau, Subo..."

"Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!"

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, "...enci In Hong!"

Kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia pun tidak akan terbangun. Namun suara lirih Yalima menyebut namanya itu cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang.

Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia bisa mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Kenapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

"...jangan...! Tidak mau...!"

Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Akan tetapi cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.

Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, lalu disusul bisikan seorang lelaki. "Diamlah, manis, menurutlah saja... subo-mu sudah memberikan engkau padaku... heh-heh-heh, diamlah..."

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus naik ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

"Bruukkkk!"

Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih serta merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.
"Keparat busuk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut bukan main, mengutuk dan meloncat turun, kemudian dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis untuk menghadapi tamparan In Hong.

"Desss... plakkk...!"

Biar pun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap pada pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

"Brukkkk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tidak dikiranya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu selain membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas juga membuat dia terlempar dan terbanting!

"Engkau layak mampus!" In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum dan tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri.

Tiba-tiba Bu Sit berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri.

Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, "Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!"

"Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?" Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dadanya.

In Hong tersenyum mengejek. "Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!"

"Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku..." Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan ia pun terkenal sebagai iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

"Sabarlah, nona Yap In Hong!" Go-bi Sin-kouw berkata. "Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau."

"Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!"

"Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku memiliki dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apakah jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Dan sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu. Kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan dirinya kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?"

"Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkau pun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!" In Hong sudah menerjang maju.

Go-bi Sin-kouw marah bukan main, tongkatnya langsung bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah mendapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya merasa terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, yaitu seutas joan-pian (pecut baja) yang panjang, kemudian terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

"Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!"

Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kouw terkejut bukan main. Kiranya dalam bentrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kouw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, ada pun gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

"Plakk! Plakkk!"

Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu sudah menangkis cahaya pedang itu dengan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

"Tahan dulu, nona...!" Bouw Thaisu berseru.

In Hong melompat ke belakang, pedangnya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala.

"Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendak melindungi mereka boleh maju sekalian!"

"Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba saja Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan sapu tangan dan kemudian lari menyusul keluar.

In Hong mengerutkan alisnya, heran sekali mendengar ini, "Siapa maksudmu?"

"Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah sekali berbuat baik dengan menolongku, kini dia melakukan sekali perbuatan jahat dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebih ganas dari harimau, maka berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, Enci."

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin mengiris jantung ketika dia berkata, "Engkau sudah mendengarnya, Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima turut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!"

"Siancai... bocah yang bermulut lancang! Tentu saja pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan kini sebuah kebutan kuning sudah berada di tangannya.

"Bocah sombong, kau kira kami takut padamu?" Hek I Siankouw juga telah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

"Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!" In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak dan bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikit pun dara ini tidak merasa jeri walau pun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. "Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejurus pun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Aku pun tidak perlu memperebutkannya."

Melihat sikap mengalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapa pun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

"Aku pun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian," katanya dengan teguran halus. "Dan andai kata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, aku pun tak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi, melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai mati pun aku tak akan rela dan siapa pun laki-laki itu, pasti akan kutentang!"

"Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengalah!" kata Go-bi Sin-kouw sambil tertawa. "Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang dikenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkau pun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan apa bila kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh."

"Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlihatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalian pun akan tetap bersikap demikian. Nah, sekarang aku hendak pergi bersama Yalima."

"Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan." Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk.

Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk dapat mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia bersedia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanya merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat.

Gadis ini lihai bukan main dan andai kata mereka berlima mampu mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biar pun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia mengelengkan kepalanya. "Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!"

Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba saja tubuhnya dibawa ‘terbang’ keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong dan Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, "Ihh, Sin-kouw, kau sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!"

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. "Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dengan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan apa bila Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukarnya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet bocah dusun itu harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, maka sebaiknya bersahabat dengan dia dari pada bermusuhan. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apa lagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita."

"Go-bi Sin-kouw sungguh benar dan tepat sekali!" kata Toat-beng-kauw. "Memang nona itu lihai sekali. Kalau kita bisa menarik dia, apa lagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi."

"Hemm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!" Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

********************

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

"Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku," kata Yalima.

Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangan mereka dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang. "Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama di dunia ini masih terdapat banyak laki-laki semacam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang dan membasmi mereka."

"Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?"

"Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok pagi kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan kepada mereka."

"Dan engkau...?"

"Aku akan pergi. Sudahlah, engkau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku."

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu lagi dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk menidurkan tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun.

Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak peduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa sangat kasihan terhadap kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu.

Maka dia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai dan menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang memang sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia hendak mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya.

Dan dia pun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang amat dibencinya, serta kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam kemudian menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

********************

Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu. Matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah digantinya. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong melompong memandang ke depan, kadang kala dia menarik napas panjang yang bercampur isak.

Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa sempat membawa apa-apa, juga tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka.

Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita paling cantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya serta dihormatinya, dijunjungnya tinggi-tinggi dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan dari pada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya!

Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!

Tubuhnya sudah lemas. Biar pun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang laksana bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sinkang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yang amat hebat, ditambah selama empat hari terus melakukan perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.

Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak peduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.

"Ibuuuuu...!" Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan ketika dia teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk sehingga dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.

Biar pun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk sambil memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat makhluk-makhluk seperti setan dan iblis ternyata sedang memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka sangat mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring!

Jantung Mei Lan berdebar bagaikan hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu. Sejenak dia hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang ketujuh makhluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.

Tujuh makhluk yang bertubuh manusia dan bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan sehingga sekejap saja mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri serta takutnya yang hebat, timbul pula kemarahan di hati Mei Lan.

Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba saja dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.

"Plakkk! Desss...!"

Iblis muka biru itu terpelanting sambil berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Agaknya mereka sama sekali tak menyangka bahwa gadis cilik ini sudah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh!

Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak sambil mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik bagaikan orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.

Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh dan memandang mereka dengan dua mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya dipenuhi dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilingi dirinya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang.

Beberapa kali matanya terpejam kemudian dibukanya kembali dengan paksa, kepalanya diguncang-guncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amatlah berbahaya menghadapi lawan, apa lagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.

Akan tetapi di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu tiba-tiba saja terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, "Nona kecil, engkau sangat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!"

Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, "Aku mau tidur."

"Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!"

Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tak semestinya kalau dia tidur padahal sedang menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini. Akan tetapi rasa kantuknya tidak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya.

"...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!"

Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur demikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati sehingga dia tidak merasa lagi betapa dia sudah digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang bersambung dengan hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.

"Nona, bangunlah...!"

Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka sepasang matanya. Tubuhnya terasa nyaman dan pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun!

Ketika dia bangkit dan duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar dan tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan salah seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mukjijat.

"Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah."

Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari ini dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap dan baunya sedap sekali. Seperti di dalam mimpi rasanya.

Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan segera turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Kini pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengarlah suara si muka merah,

"Arak wangi yang berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kau minumlah arak itu, nona."

Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak kemudian diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut.

Tak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang semenjak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu tentang tanda-tanda makanan mau pun minuman yang mengandung racun. Maka begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya.

Bukan main terkejut dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat!
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 09

Dewi Maut Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG memandang tajam penuh selidik pada saat kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Siankouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.

In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapa pun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus bagaikan monyet dan yang pandangan matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu.

"Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!" demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. "Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kau lihatlah, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih sama muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus dan putih seperti kulitmu itu sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan ilmu kepandaiannya pun hebat! Dan yang ini, seperti diperkenalkan tadi, ialah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang dahulu pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini sungguh pun masih muda tapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suheng-nya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa."

Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemmm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayankah Dewa yang sudah membuat geger dunia persilatan karena sudah berani mengacau Cin-ling-pai serta mencuri Siang-bhok-kiam?

Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, "Nona Yap, meski pun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, nona memiliki kepandaian yang amat hebat," mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima!

"Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!" Go-bi Sin-kouw terkekeh, "Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok."

"Aihhh...!" Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi juga yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran.

"Biar pun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa," In Hong cepat berkata. "Sejak kecil tidak pernah ada hubungan."

Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang mempunyai kepandaian hebat sekali dan merupakan ‘orang dekat’ dengan Cin-ling-pai!

"Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?" tiba-tiba saja Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.

Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. "Cantik jelita dan hebat, bukan? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet."

"Wah, sungguh beruntung engkau memiliki murid secantik ini!" Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati merasa tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya!

In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tak menyenangkan itu, akan tetapi begitu berjumpa dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam!

Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dulu pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, ternyata mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.

Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw bersama empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. Agaknya memang sengaja In Hong ditinggalkan, sebab setelah makan malam Yalima diperintah oleh subo-nya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguh pun di udara nampak awan hitam berkelompok.

"Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biar pun dia mengaku tak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia adalah adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu menjadi mata-mata Cin-ling-pai dan sengaja datang ke sini untuk menyelidik!" Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.

"Heh-heh-heh, kau kira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!"

"Ahhhh...!" Semua orang menjadi sangat tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.

Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kandungnya itu.

Mereka mendengarkan penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. "Betapa pun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka."

Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. "Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?"

"Ahh, Giok-hong-pang...?" Hek I Siankouw bertanya.

Go-bi Sin-kouw mengangguk. "Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Malam tadi di Leng-kok mungkin dia sudah membunuh isteri Yap Kun Liong, atau setidaknya, dia melihat kematian kakak iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!"

"Hahh...?!"

“Apa…?!”

Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.

"Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih berpura-pura merendahkan diri!" Hwa Hwa Cinjin berkata. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?"

Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut itu. "Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?"

Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. "Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasa-jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?"

Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apa lagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.

"Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah hal ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini."

"Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu, apa bila dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita," kata Toat-beng-kauw Bu Sit.

Nenek itu menggeleng kepala. "Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras bukan main dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji hendak mempertemukan dia dengan pacarnya."

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. "Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!" Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.

"Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Malam ini aku menyerahkan dia kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih."

Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang sangat cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa.

Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah maka Go-bi Sin-kouw menyerahkan muridnya itu kepada Bu Sit. Justru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia hendak mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!

Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur ketika teringat akan calon mangsanya itu. Segera dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, "Terima kasih, terima kasih, terima kasih!"

Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak sedangkan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak peduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah bisa berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.

Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Sekarang sesudah mendapat kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong sehingga tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, bahkan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.

Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan sinarnya dan baru kembali berseri-seri setelah kilat berlalu.

"In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?" kata Yalima sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman, betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.

In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Meski pun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi dengan cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi betul dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.

"Tanyalah, mengapa aku harus marah?"

"Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, Enci?"

In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikat Copet dan yang kedua dengan Yalima.

"Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, lalu bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Lagi pula, aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku."

Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.

"Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa dengannya. Bagaimana ini, Enci? Aku sungguh tidak mengerti."

Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Houw! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan rasa curiga.

"Aku membenci semua laki-laki yang senang mempermainkan wanita, dan dia itu sudah mempermainkan aku, sudah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!"

"Ehh, aku tidak mengerti, Enci."

"Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Jika dia sudah tahu bahwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dahulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!"

Yalima masih bingung. "Seharusnya dia bersikap bagaimana, Enci?"

"Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!"

Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, "Enci, apakah engkau cemburu?"

In Hong terkejut dan cepat memandang dara remaja itu. "Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?"

"Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko..."

"Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sulit untuk bisa dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau kelak sampai harus mengalami patah hati seperti yang lain..."

"Seperti yang lain siapa, Enci?"

In Hong tidak menjawab, dia segera terkenang kehidupan gurunya dan para bibi anggota Giok-hong-pang.

"Seperti siapa, Enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, Enci?"

"Hushh!" In Hong tersenyum sambil mencubit dagu yang meruncing manis itu. "Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati."

“Aku tidak percaya, Enci. Orang secantik engkau, bagaikan Kwan Im Pouwsat... mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin..." Dara itu memandang penuh khawatiran.

"Hemm, kau rasa bagaimana?" In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.

"Kurasa Enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah..."

In Hong tersenyum lebar. "Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, engkau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima."

"Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, Enci."

"Eh?! Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!"

"Mengapa Enci ingin pergi mengajak aku?"

"Entahlah, aku suka padamu dan agaknya… aku membutuhkan seorang sahabat."

"Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, Enci."

"Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu."

"Bukan itu, Enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena aku tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran. Lalu di dalam sebuah hutan aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan berhutang nyawa, bagaimana aku dapat pergi meninggalkannya begitu saja, sungguh pun aku... amat... tidak suka kepadanya?"

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biar pun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa semakin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandengan tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subo-nya yang masih bercakap-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukarlah dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak peduli dengan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia.

Dia pun diganggu oleh persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini salah seorang dari pada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri!

Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka serta kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya.

Biar pun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena selama hidupnya dia tentu tidak akan berani pulang. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subo-nya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

"Aku harus membantunya agar bertemu dengan pemuda itu," dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur.

Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lainnya bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

********************

"Tidak... tidak... ahh, teecu tidak mau, Subo..."

"Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!"

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, "...enci In Hong!"

Kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia pun tidak akan terbangun. Namun suara lirih Yalima menyebut namanya itu cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang.

Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia bisa mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Kenapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

"...jangan...! Tidak mau...!"

Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Akan tetapi cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.

Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, lalu disusul bisikan seorang lelaki. "Diamlah, manis, menurutlah saja... subo-mu sudah memberikan engkau padaku... heh-heh-heh, diamlah..."

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus naik ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

"Bruukkkk!"

Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih serta merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.
"Keparat busuk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut bukan main, mengutuk dan meloncat turun, kemudian dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis untuk menghadapi tamparan In Hong.

"Desss... plakkk...!"

Biar pun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap pada pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

"Brukkkk!"

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tidak dikiranya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu selain membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas juga membuat dia terlempar dan terbanting!

"Engkau layak mampus!" In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum dan tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri.

Tiba-tiba Bu Sit berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri.

Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, "Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!"

"Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?" Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dadanya.

In Hong tersenyum mengejek. "Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!"

"Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku..." Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan ia pun terkenal sebagai iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

"Sabarlah, nona Yap In Hong!" Go-bi Sin-kouw berkata. "Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau."

"Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!"

"Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku memiliki dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apakah jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Dan sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu. Kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan dirinya kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?"

"Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkau pun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!" In Hong sudah menerjang maju.

Go-bi Sin-kouw marah bukan main, tongkatnya langsung bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah mendapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya merasa terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, yaitu seutas joan-pian (pecut baja) yang panjang, kemudian terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

"Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!"

Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kouw terkejut bukan main. Kiranya dalam bentrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kouw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, ada pun gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

"Plakk! Plakkk!"

Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu sudah menangkis cahaya pedang itu dengan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

"Tahan dulu, nona...!" Bouw Thaisu berseru.

In Hong melompat ke belakang, pedangnya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala.

"Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendak melindungi mereka boleh maju sekalian!"

"Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba saja Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan sapu tangan dan kemudian lari menyusul keluar.

In Hong mengerutkan alisnya, heran sekali mendengar ini, "Siapa maksudmu?"

"Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah sekali berbuat baik dengan menolongku, kini dia melakukan sekali perbuatan jahat dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebih ganas dari harimau, maka berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, Enci."

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin mengiris jantung ketika dia berkata, "Engkau sudah mendengarnya, Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima turut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!"

"Siancai... bocah yang bermulut lancang! Tentu saja pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan kini sebuah kebutan kuning sudah berada di tangannya.

"Bocah sombong, kau kira kami takut padamu?" Hek I Siankouw juga telah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

"Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!" In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak dan bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikit pun dara ini tidak merasa jeri walau pun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. "Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejurus pun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Aku pun tidak perlu memperebutkannya."

Melihat sikap mengalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapa pun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

"Aku pun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian," katanya dengan teguran halus. "Dan andai kata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, aku pun tak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi, melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai mati pun aku tak akan rela dan siapa pun laki-laki itu, pasti akan kutentang!"

"Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengalah!" kata Go-bi Sin-kouw sambil tertawa. "Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang dikenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkau pun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan apa bila kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh."

"Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlihatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalian pun akan tetap bersikap demikian. Nah, sekarang aku hendak pergi bersama Yalima."

"Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan." Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk.

Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk dapat mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia bersedia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanya merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat.

Gadis ini lihai bukan main dan andai kata mereka berlima mampu mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biar pun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia mengelengkan kepalanya. "Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!"

Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba saja tubuhnya dibawa ‘terbang’ keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong dan Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, "Ihh, Sin-kouw, kau sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!"

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. "Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dengan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan apa bila Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukarnya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet bocah dusun itu harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, maka sebaiknya bersahabat dengan dia dari pada bermusuhan. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apa lagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita."

"Go-bi Sin-kouw sungguh benar dan tepat sekali!" kata Toat-beng-kauw. "Memang nona itu lihai sekali. Kalau kita bisa menarik dia, apa lagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi."

"Hemm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!" Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

********************

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

"Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku," kata Yalima.

Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangan mereka dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang. "Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama di dunia ini masih terdapat banyak laki-laki semacam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang dan membasmi mereka."

"Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?"

"Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok pagi kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan kepada mereka."

"Dan engkau...?"

"Aku akan pergi. Sudahlah, engkau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku."

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu lagi dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk menidurkan tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun.

Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak peduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa sangat kasihan terhadap kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu.

Maka dia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai dan menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang memang sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia hendak mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya.

Dan dia pun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang amat dibencinya, serta kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam kemudian menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

********************

Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu. Matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah digantinya. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong melompong memandang ke depan, kadang kala dia menarik napas panjang yang bercampur isak.

Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa sempat membawa apa-apa, juga tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka.

Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita paling cantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya serta dihormatinya, dijunjungnya tinggi-tinggi dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan dari pada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya!

Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!

Tubuhnya sudah lemas. Biar pun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang laksana bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sinkang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yang amat hebat, ditambah selama empat hari terus melakukan perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.

Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak peduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.

"Ibuuuuu...!" Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan ketika dia teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk sehingga dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.

Biar pun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk sambil memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat makhluk-makhluk seperti setan dan iblis ternyata sedang memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka sangat mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring!

Jantung Mei Lan berdebar bagaikan hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang sangat mengerikan itu. Sejenak dia hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang ketujuh makhluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.

Tujuh makhluk yang bertubuh manusia dan bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan sehingga sekejap saja mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri serta takutnya yang hebat, timbul pula kemarahan di hati Mei Lan.

Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba saja dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.

"Plakkk! Desss...!"

Iblis muka biru itu terpelanting sambil berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Agaknya mereka sama sekali tak menyangka bahwa gadis cilik ini sudah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh!

Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak sambil mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik bagaikan orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.

Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh dan memandang mereka dengan dua mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya dipenuhi dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilingi dirinya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang.

Beberapa kali matanya terpejam kemudian dibukanya kembali dengan paksa, kepalanya diguncang-guncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amatlah berbahaya menghadapi lawan, apa lagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.

Akan tetapi di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu tiba-tiba saja terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, "Nona kecil, engkau sangat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!"

Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, "Aku mau tidur."

"Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!"

Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tak semestinya kalau dia tidur padahal sedang menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini. Akan tetapi rasa kantuknya tidak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya.

"...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!"

Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur demikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati sehingga dia tidak merasa lagi betapa dia sudah digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang bersambung dengan hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.

"Nona, bangunlah...!"

Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka sepasang matanya. Tubuhnya terasa nyaman dan pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun!

Ketika dia bangkit dan duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar dan tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan salah seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mukjijat.

"Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah."

Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari ini dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap dan baunya sedap sekali. Seperti di dalam mimpi rasanya.

Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan segera turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Kini pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengarlah suara si muka merah,

"Arak wangi yang berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kau minumlah arak itu, nona."

Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak kemudian diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut.

Tak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang semenjak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu tentang tanda-tanda makanan mau pun minuman yang mengandung racun. Maka begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya.

Bukan main terkejut dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat!
Selanjutnya,