Dewi Maut Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 07
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan buah-buahan, terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga baunya amis sekali sebab pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan sungai besar itu.

Mungkin sudah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka senang sekali untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! Agaknya In Hong pun tidak terkecuali. Dara ini suka sekali memasuki pasar untuk sekedar melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, ia merasa tertarik lalu memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-wanita berbelanja.

Sesudah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang sangat ramai dan penuh orang. Kiranya, di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong banyak ikan dan akan dibawa keluar kota.

Ratusan keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok.

Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang menyelinap di antara banyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan mengikuti semua gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya. Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu.

Seorang laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang saudagar ikan yang kaya, agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di sana, mengalahkan pedagang lainnya karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa dibandingkan dengan orang lain, dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya.

Laki-laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan dia lalu bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tiba-tiba saja tangannya sudah tersembul di atas kantong baju si pedagang gendut!

In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena waktu itu dia sedang makan apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah masuk. Sambil memandang dan terus mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menunggu sampai tangan yang seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut, kemudian tiba-tiba saja dia menyentil dengan jari tangannya.

"Tukk...! Auuhhh...!" Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali.

Semua orang menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi yang terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang.

Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan dia tiba-tiba tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan kini lari mendorong orang ke kanan kiri.

Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu.

"Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!" In Hong mengejek.

"Ssstttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar...," kakek itu mendahului.

Ketika melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biar pun hatinya merasa geli, In Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In Hong sambil menghela napas panjang.

"Wah, aku telah gagal total! Tahukah Lihiap apa yang berada di kantongnya itu? Seuntai kalung mutiara yang sangat mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa."

In Hong menggelengkan kepala. "Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapatkan penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?"

"Tentu saja bisa, akan tetapi, ahhh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan alangkah nikmat rasa hatiku pada waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh hal yang tidak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan yang penuh getaran perasaan. Wah, pendeknya... ada seninya! Tetapi, sekali ini aku memang butuh sekali, butuh uang..."

"Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?" In Hong menggoda.

Pencopet lihai itu menggeleng kepala. "Ahh, bukan... bukan...! Aku tidak pernah beristeri dan tidak punya anak..." Dia teringat dan menyambung cepat, "memang kadang-kadang perlu juga membohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan tetapi sekali ini benar-benar Lihiap merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-taihiap."

"Hemmm, Phoa-taihiap?" In Hong tidak mengerti.

"Ahh, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua golongan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Tentu kedua golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apa lagi setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, atau setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan hadir pula di Wu-han."

"Wu-han?"

"Aihhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum berpengalaman apa-apa. Sesudah aku berpisah dari Lihiap dan kutanya-tanyakan, tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang mengenal nama Lihiap, padahal kepandaian Lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap sedang merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya di samping ingin mempererat perkenalan, juga hendak mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya, demikian agaknya. Ini kesempatan baik bagi Lihiap, mari bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han."

In Hong mengerutkan sepasang alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. "Akan tetapi aku tidak diundangnya."

"Aku pun tidak, Lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam perayaan seorang tokoh, maka kaum kang-ouw akan berdatangan dan membawa sekedar sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!"

"Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimana kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?"

"Lihiap, mari kita berbicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih enak dari pada berdiri begini, bukan?"

In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik, "Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?"

In Hong memandang tajam dan mengangguk.

"Syukurlah, sebab aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali," si pencopet berkata menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai dan gembira kalau dekat dengan tukang copet ini.

Mereka kemudian makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong mendengarkan penuturan tukang copet itu.

"Wah, banyak yang terjadi sejak kita berpisah, nona," katanya, kadang-kadang menyebut siocia (nona) dan kadang kala menyebut lihiap (pendekar wanita). "Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya ingin memperkuat kedudukannya. Mereka bahkan tidak nampak berada di sarang mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan. Dan belum terdengar ada gerakan apa pun dari Cin-ling-pai! Namun keadaan dunia kang-ouw sangat panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang bila tidak bertemu dengan tokoh-tokoh dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah ikut pergi bersamaku, Lihiap, asal engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan barang hantaran."

"Dengan mencuri?"

Can Pouw menggeleng sambil menyeringai. "Hanya mempergunakan seni memindahkan barang orang yang lengah."

In Hong tersenyum. "Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau dilarang mencopet atau mencuri, atau hendak kau namakan dengan istilah apa pun. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran."

Muka Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar. "Bagus...! Aku gembira sekali, Lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan Lihiap, dan hadir di sana bersama Lihiap, merupakan kehormatan besar sekali bagiku!"

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi mudah pula membuangnya. Sebenarnya dia sudah merasa bosan dengan segala macam kesenangan, dan kebiasannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi kegatalan tangannya saja. Bahkan sering kali, hasil dari pencuriannya itu dia bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap tinggal miskin.

Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa sayang seorang ayah terhadap anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang sangat tinggi itu. Pendek kata, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apa lagi kini mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan bersama.

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki ‘seribu jari tangan’ juga mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Karena itu segala keterangan yang dia berikan kepada In Hong tentang Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan.

Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya amat erat dengan semua fihak di dunia kang-ouw, baik dari kalangan pendekar mau pun golongan penjahat, maka tidak ada yang mau mengganggu selama dia menjalankan pekerjaannya ini.

Kalangan penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya kepada para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka dia pun terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.

Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri tujuh anggota Cap-it Ho-han sudah menggegerkan dunia kang-ouw. Tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai, namun ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa!

Melihat ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw, Phoa Lee It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat. Dia lalu mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu.

Di samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang tentu saja akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu ini ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan dengan maksud hendak mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari dewasa.

Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini dua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga.

Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur.

Ada pun putera ke dua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, sangat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.

Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, semenjak pagi sekali kedua orang pemuda itu sudah menyambut kedatangan para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk untuk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja.

Dan tepat seperti telah diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga telah mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akalnya itu, pagi-pagi sudah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya.

Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, "Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, Lihiap."

"Hemm, aku tak ingin membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak," In Hong berkata. "Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman."

"Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, Lihiap, mari kita berangkat."

Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. "Selamat pagi, Sin-touw," Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. "Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini, Sin-touw!"

Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. "Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, Lihiap!"

In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh.

"Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!" tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata.

"Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu."

Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus, "Silakan siocia duduk di dalam!"

In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topi di atas kepalanya agak miring sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong bersikap dingin pada saat tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak peduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu.

"Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap," In Hong berbisik.

Mereka tadi sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apa lagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.

Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, maka dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang amat cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain.

In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw lantas mengomel panjang pendek. "Boleh saja dia suruh aku duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itu pun masih kurang layak bagimu!"

"Ssstttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana," In Hong menegur dengan hati geli. "Ehh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan kita?"

Can Pouw lalu mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. "Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!"

"Hushhh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat kau berikan barang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang tentu menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah semenjak tadi memandang ke arah kita saja."

Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka tapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka merasa kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.

Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian pada saat laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.

Wanita itu cantik luar biasa, cantik dan bersikap gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan potongan yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja.

Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tinggi besar bagaikan tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya tampan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan nama besar.

"Mereka siapa...?" In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw pada waktu rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan.

"Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itu ialah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main, ada pun pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai."

In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia lalu mengingat-ingat dan akhirnya dapat teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!

"Siapa namanya...?" Dia berbisik lagi.

"Nama siapa? Ahh, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya memainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!"

Phoa Lee It cepat-cepat menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk kemudian mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan!

"Huh, menjilat-jilat...!" In Hong berkata lirih tanpa disengaja.

"Hemmm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!" Malaikat Copet itu lalu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.

"Ke mana kau?"

"Menyerahkan hadiah, kau tunggu di sini!" Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong.

Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua ‘dilempar’ ke tempat tamu biasa.

Dia lalu melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah dia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!

Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang juga duduk di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.

Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh dari Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah sedikit bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya bengis penuh keriput dan kedua matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya sering kali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah ‘nyaprut’ karena mulut itu tidak bergigi lagi.

Di dekatnya duduk seorang gadis cantik sekali, baru berusia lima belas tahun, berpakaian seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang ditekan-tekannya. Juga dia kelihatan takut kepada nenek itu yang memperkenalkannya sebagai muridnya.

"Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menghaturkan hormat dan selamat datang."

Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak terlihat akibat tersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit. Ia senang juga menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah menyenangkan ini, apa lagi ketika mendengar julukannya.

“Ehh, kau pencopet? Heh-heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar dapat mengenali aku." Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.

Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sekejap saja, dari jauh In Hong melihat dia telah asyik sekali bercakap-cakap dengan nenek itu, bahkan gadis Tibet yang cantik manis itu pun terbawa-bawa dalam percakapan.

In Hong tersenyum dalam hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya ‘pamannya’ tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang kala diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itu pun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu.

Sesudah lama bercakap-cakap dengan nenek itu sehingga membuat para tamu lainnya terheran juga kenapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya dan pada waktu berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa!

Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga tidak terkenal, lalu bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar supaya kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung?

Sesudah duduk kembali di dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah sungguh-sungguh Can Pouw berkata, "Wah, ada berita hebat! Engkau tahu siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu adalah tunangan dari putera ketua Cin-ling-pai!"

"Ehh...?" In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

"Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya."

"Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di Tibet."

"Hemmm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu engkau mengenal pula nama puteranya itu."

"Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki sesudah terjadi peristiwa menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bun Houw dan... ehh…, kau kenapa?"

"Tidak apa-apa, aku sudah merasa muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar, siapa sih dia?"

"Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kau lihat betapa tadi dia bercakap-cakap secara akrab denganku? Ha-ha-ha, dia menceritakan segala hal sampai-sampai saat secara kebetulan dia menemukan gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan yang asli dan khas, pantas saja kalau putera ketua Cin-ling-pai itu tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw, betapa lucu dan anehnya dunia ini!"

In Hong tak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai sudah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa terhina.

Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tapi tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan sekarang dia memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek.

Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tiba-tiba saja dia bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu?

Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari sesudah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak pergi ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.

"Akan tetapi, Ayah..." Dia membantah. "Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko untuk tidak membawaku ke Lhasa!"

"Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itu pun seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Apa bila dia memang cinta kepadamu, mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?"

Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia berlari ke kamarnya, menangis sehari penuh sampai air matanya tidak ada lagi. Maka pada malam hari itu juga, gadis yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang bisa diharapkan akan menolongnya!

Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan dan biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa persiapan, secara nekat serta dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui daerah-daerah yang liar dan buas. Perjalanan yang amat sulit ini, membuat dia mengalami kesengsaraan lahir batin yang amat hebat.

Dia tidak tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, juga makan seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di sisi Cia Bun Houw atau mati terlantar di tengah jalan!

Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat gadis itu tak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!

"Desss...! Plak-plak-plak...!"
Tubuh harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam bertubi-tubi menghantamnya dan memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu.

Agaknya harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu pula bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

"Bangunlah...!" nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.

Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet.

Nenek itu agak terkejut. "Hemm, engkau pandai berbahasa Han?"

"Nenek yang baik, Houw-koko pernah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang amat sengsara ini..."

Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara sudah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita lihai yang mempunyai kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw.

Go-bi Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi kerinduan besar akan seorang anak dan seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata,

"Tenangkan hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?"

"Nama saya Yalima, nenek yang baik."

"Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?"

"Saya akan mentaati semua perintah Subo asal Subo sudi menolong saya, supaya kita dapat mencari Houw-koko."

"Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan dulu siapa itu Houw-koko dan mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri."

Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan pergi meninggalkannya, betapa dia akan dipersembahkan kepada pangeran tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan hendak mencari pemuda yang dicintanya itu. Semua dituturkannya secara panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw.

Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. "Anak bodoh, apakah engkau amat mencintanya?"

"Teecu (murid) amat mencinta Houw-koko, Subo, dan lebih baik mati saja dari pada tidak bertemu kembali dengan dia."

"Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga cinta padamu?"

"Teecu yakin sekali, sungguh pun dia... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!"

Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw lalu mengerutkan dahinya. "Hemmm, betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada di Tibet?"

"Dia bukan seorang biasa, Subo. Dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama..."

"Haiiiii…!!!" Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini.

Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu, maka kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar.

"Mu... muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?"

“Dia pulang ke Cin-ling-san..."

"Eihhh...!" Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. "Tahukah kau anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?"

"Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal..."

"Aahhh...!" Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran.

Sampai lama nenek itu tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja dia telah dikunjungi oleh Hek I Siankouw bersama Lima Bayangan Dewa, diminta bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya.....

Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit bila mana dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu sudah membalik dan tidak mau mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggota keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Sekarang dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, karena itu dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

"Sungguh hal yang sangat kebetulan sekali...!" gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu.

Betapa kebetulan sekali dia berjumpa dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala sesuatu tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Terlebih lagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw hingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu.

Akan tetapi Yalima cepat-cepat menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

"Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu ke depan kakimu!"

Yalima terbelalak kaget. "Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!"

"Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!"

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tak berani menyatakan ketidak sukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, kemudian sesudah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subo-nya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal para tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan hendak berjumpa dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena dia pun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu turut bersama dengan Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali.

Seketika itu pula timbullah kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru. In Hong segera melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya.

Di sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi, duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu. Sedangkan pada sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hidangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Sumbangan yang berupa barang biasa saja, disambut para tamu dengan senyuman, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

"Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw..." Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan.

Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw lalu mengangguk sambil tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

“Berikutnya adalah bingkisan dari Lie-toanio, puteri Cia Keng Hong Taihiap yang mewakili Cin-ling-pai…!” Piauwsu yang bertugas menerima bingkisan kembali berseru.

Piauwsu ini sengaja memberi tekanan agak keras ketika menyebut Cin-ling-pai. Selain dia merasa bangga melihat kenyataan akan hadirnya wakil Cin-lin-pai yang amat terkenal ke tempat itu, orang ini juga ingin melihat reaksi para tamu lainnya mengingat kejadian yang sangat menghebohkan dunia kang-ouw akhir-akhir ini, yaitu tercurinya Siang-bhok-kiam oleh Lima Bayangan Dewa.

Benar saja, begitu piauwsu penerima bingkisan selesai berkata, sejenak suasana menjadi amat hening, dan tak lama kemudian baru meledak sorak sorai di bagian kiri, yaitu bagian yang ditempati oleh golongan putih atau kaum pendekar, bahkan ada beberapa tamu yang berteriak.

“Hidup Cia Keng Hong Taihiap…!”

“Hidup Lie-toanio…!”

“Jayalah Cin-ling-pai…!”

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang-orang memandang dengan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kini kalah oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang sangat murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang amat murah!

"Eihh, kenapa begitu pelit?" terdengar suara orang.

"Maklumlah, baru habis kecurian hebat!"

"Memang pelit, pedangnya pun pedang-pedangan dari kayu!"

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi. Semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas itu di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang amat tajam. Mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa.

"Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!"

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenali tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro kepada Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. "Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta ini, sungguh memalukan kita!"

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

"Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?" seorang di antara mereka berkata.

"Memang kami hanya mengatakan apa adanya!" kata orang kedua.

"Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?" kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali.

"Plok! Plok! Plok!"

Tiga orang itu terpelanting, lalu mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. "Harap Lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini." Dan dia pun menghadapi para tamu. "Perkara barang sumbangan harap jangan dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut."

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. "Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian bertiga!" katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alisnya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak dan angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

"Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!" Terdengar lagi pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah serta terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

"Inilah baru bingkisan namanya!" terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata.

"Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?"

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak berada di tempatnya lagi! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

"Maaf, aku pergi dulu karena... takut!"

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang tidak seberapa banyak yang dia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah itu dari tangan piauwsu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong! Ketahuilah bahwa benda ini adalah apa yang kusumbangkan dan entah bagaimana sudah berada di dalam bingkisan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku ini bisa berada di dalam bingkisannya!"

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.

Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, "Sejak tadi ketika bingkisan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang yang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematianmu! Apa bila aku tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!"

Sebenarnya, biar pun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tanpa mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah disebabkan kedukaan serta kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai.

Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan mengenai mala petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan hendak mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.

"Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret," demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan.

Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, maka tentu saja kemarahannya meledak hingga tanpa disadarinya dia menyinggung nama Cin-ling-pai untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. "Phoa-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannya pun orang-orang rendah!"
"Ehh-ehhh, nanti dulu, toanio!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan.

Orang ini pakaiannya serba hitam dengan ikat pinggang warna kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang telah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. "Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"

"Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Apa bila toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa."

"Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannya pun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?" Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu membentak.

"Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga merupakan temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"

"Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!" bentak Cia Giok Keng.

Sebenarnya dia menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang sedang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, akan tetapi ditujukan kepada orang-orang yang sudah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Semenjak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah. "Toanio terlalu menghina orang! Jangan menyangka bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!"

Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. "Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!"

"Wanita sombong!" Kui Liok membentak dan akan menyerang.

"Tahan... tahan...!" Tiba-tiba Phoa Lee It maju dan berdiri di antara mereka. "Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang sudah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."

"Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di mana pun dan kapan pun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"

Sikap serta ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah, maka terpaksa dia mundur sambil menggelengkan kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas sekali.

"Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!" puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang.

Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang sungguh pun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya.

Dengan jurus-jurus dari San-in Kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya!

Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras lantas menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka bagai seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw Pok-ma (Macan Lapar Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan sepasang tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.

Tetapi Cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan dan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan ketika jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

"Desss...! Auukkk...!"

Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Sekarang semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sekaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi.

Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan bagaikan seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

"Sratttttt…!"

Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia merasa bahwa namanya masih terlalu besar untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, sebab itu dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak,

"Keluarkan pedangmu!"

Cia Giok Keng tersenyum mengejek. "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!"

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun, maka dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia maju menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini justru Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan.

Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan sangat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia sudah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak.

Namun dengan kemarahan meluap-luap Kui Liok sudah menyerang terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok terus menyerang, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, saat Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.

Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada waktu perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menampar keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

"Plakkk...!"

Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian yang mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

"Ini makanlah golokmu!" Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok, dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri bila saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangan kanannya, kemudian dengan senyum menghina dia melemparkan golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan kepalang. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia segera maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Nenek ini pun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu karena takut kalah, sebab dia percaya bahwa dia dapat menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 07

Dewi Maut Jilid 07
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur dan buah-buahan, terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga baunya amis sekali sebab pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan sungai besar itu.

Mungkin sudah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka senang sekali untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! Agaknya In Hong pun tidak terkecuali. Dara ini suka sekali memasuki pasar untuk sekedar melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan dia melewati sebuah pasar yang ramai, ia merasa tertarik lalu memasuki pasar itu, berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-wanita berbelanja.

Sesudah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang sangat ramai dan penuh orang. Kiranya, di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong banyak ikan dan akan dibawa keluar kota.

Ratusan keranjang ikan ditimbang dan ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik perhatian secara menyolok.

Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua bertopi, yang menyelinap di antara banyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-orang dan mengikuti semua gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang matanya. Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu.

Seorang laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang saudagar ikan yang kaya, agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di sana, mengalahkan pedagang lainnya karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa dibandingkan dengan orang lain, dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya.

Laki-laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu dan dia lalu bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tiba-tiba saja tangannya sudah tersembul di atas kantong baju si pedagang gendut!

In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena waktu itu dia sedang makan apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu salah masuk. Sambil memandang dan terus mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menunggu sampai tangan yang seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut, kemudian tiba-tiba saja dia menyentil dengan jari tangannya.

"Tukk...! Auuhhh...!" Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali.

Semua orang menengok, akan tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi yang terbatuk-batuk, menutupi mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak lagi menjadi perhatian orang.

Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak dan dia tiba-tiba tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan kini lari mendorong orang ke kanan kiri.

Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu.

"Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!" In Hong mengejek.

"Ssstttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar...," kakek itu mendahului.

Ketika melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biar pun hatinya merasa geli, In Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In Hong sambil menghela napas panjang.

"Wah, aku telah gagal total! Tahukah Lihiap apa yang berada di kantongnya itu? Seuntai kalung mutiara yang sangat mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan kepada isteri mudanya yang entah keberapa."

In Hong menggelengkan kepala. "Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapatkan penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?"

"Tentu saja bisa, akan tetapi, ahhh... seninya itu! Lihiap tidak dapat merasakan alangkah nikmat rasa hatiku pada waktu mencopet. Tegang, penuh harapan, penuh hal yang tidak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan yang penuh getaran perasaan. Wah, pendeknya... ada seninya! Tetapi, sekali ini aku memang butuh sekali, butuh uang..."

"Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?" In Hong menggoda.

Pencopet lihai itu menggeleng kepala. "Ahh, bukan... bukan...! Aku tidak pernah beristeri dan tidak punya anak..." Dia teringat dan menyambung cepat, "memang kadang-kadang perlu juga membohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan tetapi sekali ini benar-benar Lihiap merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-taihiap."

"Hemmm, Phoa-taihiap?" In Hong tidak mengerti.

"Ahh, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal oleh semua golongan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam. Tentu kedua golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apa lagi setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, atau setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan hadir pula di Wu-han."

"Wu-han?"

"Aihhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum berpengalaman apa-apa. Sesudah aku berpisah dari Lihiap dan kutanya-tanyakan, tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang mengenal nama Lihiap, padahal kepandaian Lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It, seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap sedang merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan, agaknya di samping ingin mempererat perkenalan, juga hendak mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya, demikian agaknya. Ini kesempatan baik bagi Lihiap, mari bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han."

In Hong mengerutkan sepasang alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. "Akan tetapi aku tidak diundangnya."

"Aku pun tidak, Lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan? Sudah menjadi lazim dalam perayaan seorang tokoh, maka kaum kang-ouw akan berdatangan dan membawa sekedar sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!"

"Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimana kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan itu?"

"Lihiap, mari kita berbicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap, lebih enak dari pada berdiri begini, bukan?"

In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik, "Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?"

In Hong memandang tajam dan mengangguk.

"Syukurlah, sebab aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali," si pencopet berkata menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai dan gembira kalau dekat dengan tukang copet ini.

Mereka kemudian makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong mendengarkan penuturan tukang copet itu.

"Wah, banyak yang terjadi sejak kita berpisah, nona," katanya, kadang-kadang menyebut siocia (nona) dan kadang kala menyebut lihiap (pendekar wanita). "Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya ingin memperkuat kedudukannya. Mereka bahkan tidak nampak berada di sarang mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan. Dan belum terdengar ada gerakan apa pun dari Cin-ling-pai! Namun keadaan dunia kang-ouw sangat panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang bila tidak bertemu dengan tokoh-tokoh dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah ikut pergi bersamaku, Lihiap, asal engkau suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan barang hantaran."

"Dengan mencuri?"

Can Pouw menggeleng sambil menyeringai. "Hanya mempergunakan seni memindahkan barang orang yang lengah."

In Hong tersenyum. "Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau dilarang mencopet atau mencuri, atau hendak kau namakan dengan istilah apa pun. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran."

Muka Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri dan matanya bersinar-sinar. "Bagus...! Aku gembira sekali, Lihiap! Soal berhenti bekerja sementara waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan Lihiap, dan hadir di sana bersama Lihiap, merupakan kehormatan besar sekali bagiku!"

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai, akan tetapi mudah pula membuangnya. Sebenarnya dia sudah merasa bosan dengan segala macam kesenangan, dan kebiasannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi kegatalan tangannya saja. Bahkan sering kali, hasil dari pencuriannya itu dia bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap tinggal miskin.

Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang sekali seperti rasa sayang seorang ayah terhadap anaknya. Ada sesuatu yang menarik pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang sangat tinggi itu. Pendek kata, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini, apa lagi kini mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi perayaan bersama.

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki ‘seribu jari tangan’ juga mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Karena itu segala keterangan yang dia berikan kepada In Hong tentang Phoa Lee It di Wu-han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan.

Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng (Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya amat erat dengan semua fihak di dunia kang-ouw, baik dari kalangan pendekar mau pun golongan penjahat, maka tidak ada yang mau mengganggu selama dia menjalankan pekerjaannya ini.

Kalangan penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka tangannya kepada para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka dia pun terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.

Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri tujuh anggota Cap-it Ho-han sudah menggegerkan dunia kang-ouw. Tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai, namun ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa!

Melihat ketegangan dan bahaya perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw, Phoa Lee It sendiri menjadi cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat. Dia lalu mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu.

Di samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya yang tentu saja akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu ini ingin sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan dengan maksud hendak mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari dewasa.

Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini dua orang puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang kiriman yang berharga.

Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur.

Ada pun putera ke dua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, sangat lihai bermain silat pedang Go-bi Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.

Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, semenjak pagi sekali kedua orang pemuda itu sudah menyambut kedatangan para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu tempat teratas di dekat tempat duduk untuk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur di atas meja.

Dan tepat seperti telah diduga semula, banyak sekali tamu yang datang, dan kedatangan mereka bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin bahwa Phoa-piauwsu juga telah mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!

Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akalnya itu, pagi-pagi sudah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di kepalanya.

Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, "Bagus sekali! Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu, Lihiap."

"Hemm, aku tak ingin membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak," In Hong berkata. "Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain, paman."

"Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, Lihiap, mari kita berangkat."

Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. "Selamat pagi, Sin-touw," Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. "Kami girang sekali menerima kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini, Sin-touw!"

Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. "Lihat, betapa gagah dan ramahnya putera-putera tuan rumah, Lihiap!"

In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dan memandang tak acuh.

"Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!" tiba-tiba Phoa Kim Cai berkata.

"Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim Sui kongcu."

Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan sikap hormat dan halus, "Silakan siocia duduk di dalam!"

In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu bahwa topi di atas kepalanya agak miring sehingga dia kelihatan lucu sekali. In Hong bersikap dingin pada saat tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali lebih gagah dan tampan, aku tidak peduli, bisik hatinya yang merasa tidak senang melihat pandang mata mereka itu.

"Paman, engkau masih saja menyebutku lihiap," In Hong berbisik.

Mereka tadi sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu hanya aku-akuan saja. Apa lagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara yang luar biasa cantiknya itu.

Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah keluar, maka dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona muda yang amat cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan biasa bersama tamu-tamu lain.

In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw lantas mengomel panjang pendek. "Boleh saja dia suruh aku duduk di sini, akan tetapi engkau? Ruangan kehormatan itu pun masih kurang layak bagimu!"

"Ssstttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan? Aku tidak ingin duduk di sana," In Hong menegur dengan hati geli. "Ehh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan kita?"

Can Pouw lalu mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. "Kalau kita tidak diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!"

"Hushhh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat kau berikan barang sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang tentu menyerahkan bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah semenjak tadi memandang ke arah kita saja."

Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan sejak tadi memandang ke arah mereka tapi bukan karena mereka belum menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka merasa kagum dan menduga-duga siapa gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.

Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian pada saat laki-laki dan wanita itu memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.

Wanita itu cantik luar biasa, cantik dan bersikap gagah penuh semangat dan agak angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan menyambar-nyambar penuh selidik. Pada pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan potongan yang ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja.

Di sampingnya berjalan seorang pria yang bertubuh tinggi besar bagaikan tokoh Kwan Kong, sikapnya pendiam, wajahnya tampan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan nama besar.

"Mereka siapa...?" In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw pada waktu rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para penjaga penerima sumbangan.

"Engkau tidak mengenalnya...? Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itu ialah puteri ketua Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main, ada pun pria itu adalah suaminya, seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga Cin-ling-pai."

In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai? Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya? Dia lalu mengingat-ingat dan akhirnya dapat teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!

"Siapa namanya...?" Dia berbisik lagi.

"Nama siapa? Ahh, puteri Cin-ling-pai itu? Dia hanya terkenal sebagai nyonya Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu pedangnya dan ilmunya memainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia, bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!"

Phoa Lee It cepat-cepat menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh penghormatan, membungkuk-bungkuk kemudian mempersilakan mereka duduk di tempat kehormatan!

"Huh, menjilat-jilat...!" In Hong berkata lirih tanpa disengaja.

"Hemmm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!" Malaikat Copet itu lalu membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.

"Ke mana kau?"

"Menyerahkan hadiah, kau tunggu di sini!" Dia lalu pergi, diikuti pandang mata In Hong.

Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu, entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua ‘dilempar’ ke tempat tamu biasa.

Dia lalu melihat Can Pouw menghampiri meja tempat penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ, menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah dia mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong, melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!

Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah seorang nenek tua yang juga duduk di ruangan kehormatan itu bersama seorang gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan rumah.

Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh dari Go-bi-san yang terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah sedikit bongkok, pakaiannya dari sutera serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Wajahnya bengis penuh keriput dan kedua matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam rongga mata yang cekung, mulutnya sering kali bergerak-gerak seperti orang makan dan bibirnya sudah ‘nyaprut’ karena mulut itu tidak bergigi lagi.

Di dekatnya duduk seorang gadis cantik sekali, baru berusia lima belas tahun, berpakaian seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak berduka yang ditekan-tekannya. Juga dia kelihatan takut kepada nenek itu yang memperkenalkannya sebagai muridnya.

"Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan? Siauwte sudah menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menghaturkan hormat dan selamat datang."

Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang hampir tidak terlihat akibat tersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit. Ia senang juga menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah menyenangkan ini, apa lagi ketika mendengar julukannya.

“Ehh, kau pencopet? Heh-heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu awas benar dapat mengenali aku." Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.

Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan kehormatan itu dan sekejap saja, dari jauh In Hong melihat dia telah asyik sekali bercakap-cakap dengan nenek itu, bahkan gadis Tibet yang cantik manis itu pun terbawa-bawa dalam percakapan.

In Hong tersenyum dalam hatinya. Memang dia tahu betapa pandainya ‘pamannya’ tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap, kadang kala diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itu pun kadang-kadang tersenyum lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu.

Sesudah lama bercakap-cakap dengan nenek itu sehingga membuat para tamu lainnya terheran juga kenapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke tempatnya dan pada waktu berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa!

Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang juga tidak terkenal, lalu bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu kehormatan? Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar supaya kesalahan itu dapat dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa pencopet ini seorang tamu agung?

Sesudah duduk kembali di dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah sungguh-sungguh Can Pouw berkata, "Wah, ada berita hebat! Engkau tahu siapa dara Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu? Dia itu adalah tunangan dari putera ketua Cin-ling-pai!"

"Ehh...?" In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi, seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

"Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya."

"Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang sakti di Tibet."

"Hemmm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu engkau mengenal pula nama puteranya itu."

"Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki sesudah terjadi peristiwa menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bun Houw dan... ehh…, kau kenapa?"

"Tidak apa-apa, aku sudah merasa muak mendengar kau bercerita terlalu banyak tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan benar, siapa sih dia?"

"Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-kouw! Kau lihat betapa tadi dia bercakap-cakap secara akrab denganku? Ha-ha-ha, dia menceritakan segala hal sampai-sampai saat secara kebetulan dia menemukan gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut, kecantikan yang asli dan khas, pantas saja kalau putera ketua Cin-ling-pai itu tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw, betapa lucu dan anehnya dunia ini!"

In Hong tak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai sudah mempunyai pacar! Dia bukan cemburu, hanya merasa terhina.

Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis Tibet yang cantik manis, tapi tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh! Hatinya panas dan sekarang dia memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum mengejek.

Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tiba-tiba saja dia bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu?

Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua hari sesudah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan diajak pergi ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.

"Akan tetapi, Ayah..." Dia membantah. "Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko untuk tidak membawaku ke Lhasa!"

"Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itu pun seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Apa bila dia memang cinta kepadamu, mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?"

Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia berlari ke kamarnya, menangis sehari penuh sampai air matanya tidak ada lagi. Maka pada malam hari itu juga, gadis yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang bisa diharapkan akan menolongnya!

Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan dan biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya tanpa persiapan, secara nekat serta dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui daerah-daerah yang liar dan buas. Perjalanan yang amat sulit ini, membuat dia mengalami kesengsaraan lahir batin yang amat hebat.

Dia tidak tahu arah jalan, hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, juga makan seadanya asal tidak kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar. Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain, kecuali tekad bahwa dia akan hidup di sisi Cia Bun Houw atau mati terlantar di tengah jalan!

Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat gadis itu tak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!

"Desss...! Plak-plak-plak...!"
Tubuh harimau itu terlempar ke belakang ketika sinar hitam bertubi-tubi menghantamnya dan memukul kepalanya. Seorang nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan tongkatnya menghalau binatang buas itu.

Agaknya harimau itu dapat merasakan pukulan yang amat keras, tahu pula bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

"Bangunlah...!" nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.

Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan Bangsa Tibet.

Nenek itu agak terkejut. "Hemm, engkau pandai berbahasa Han?"

"Nenek yang baik, Houw-koko pernah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek, engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku yang amat sengsara ini..."

Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara sudah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah seorang wanita lihai yang mempunyai kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw.

Go-bi Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi kerinduan besar akan seorang anak dan seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata,

"Tenangkan hatimu, aku akan menolongmu. Siapakah namamu?"

"Nama saya Yalima, nenek yang baik."

"Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?"

"Saya akan mentaati semua perintah Subo asal Subo sudi menolong saya, supaya kita dapat mencari Houw-koko."

"Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan dulu siapa itu Houw-koko dan mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri."

Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan pergi meninggalkannya, betapa dia akan dipersembahkan kepada pangeran tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan hendak mencari pemuda yang dicintanya itu. Semua dituturkannya secara panjang lebar dan jelas kepada Go-bi Sin-kouw.

Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. "Anak bodoh, apakah engkau amat mencintanya?"

"Teecu (murid) amat mencinta Houw-koko, Subo, dan lebih baik mati saja dari pada tidak bertemu kembali dengan dia."

"Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu juga cinta padamu?"

"Teecu yakin sekali, sungguh pun dia... dia tidak pernah mengatakan dengan mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!"

Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw lalu mengerutkan dahinya. "Hemmm, betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu? Mengapa seorang pemuda Han berada di Tibet?"

"Dia bukan seorang biasa, Subo. Dia adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama..."

"Haiiiii…!!!" Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta Lama ini.

Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu, maka kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar.

"Mu... muridnya? Dan sekarang ke mana pemuda itu?"

“Dia pulang ke Cin-ling-san..."

"Eihhh...!" Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. "Tahukah kau anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?"

"Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal..."

"Aahhh...!" Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima terheran-heran.

Sampai lama nenek itu tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-angguk. Baru saja dia telah dikunjungi oleh Hek I Siankouw bersama Lima Bayangan Dewa, diminta bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah menyatakan kesanggupannya.....

Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga pendekar itu. Hatinya masih sakit bila mana dia teringat kepada Pek Hong Ing, muridnya yang tercinta. Muridnya itu sudah membalik dan tidak mau mentaatinya karena muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggota keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong. Sekarang dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan memusuhi Cin-ling-pai, karena itu dia segera menyatakan setuju untuk membantu.

"Sungguh hal yang sangat kebetulan sekali...!" gerutunya sambil memandang gadis Tibet itu.

Betapa kebetulan sekali dia berjumpa dan menolong gadis ini yang ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada Yalima untuk menceritakan segala sesuatu tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara jelas.

Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Terlebih lagi karena dia menganggap nenek ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan Cia Bun Houw hingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu.

Akan tetapi Yalima cepat-cepat menyangkalnya, hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu menyeringai senang.

"Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu ke depan kakimu!"

Yalima terbelalak kaget. "Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang amat baik!"

"Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu? Ho-ho-ho, engkau belum tahu, anakku, muridku...!"

Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu merasa tak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat lihai dan kejam, dia tak berani menyatakan ketidak sukaan hatinya. Bahkan diam-diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, kemudian sesudah memperoleh kesempatan dia akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan kekasihnya.

Dan pada hari itu, dia diajak oleh subo-nya untuk mengunjungi pesta perayaan hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini mengenal para tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan hendak berjumpa dengan tokoh-tokoh kang-ouw karena dia pun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi panggilan Lima Bayangan Dewa.

Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu turut bersama dengan Sin-kouw ke pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat Copet ini sama sekali tak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong menjadi panas perutnya dan marah sekali.

Seketika itu pula timbullah kebencian yang sangat di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.

Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru. In Hong segera melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya.

Di sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi, duduk orang-orang yang agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu. Sedangkan pada sebelah kanan duduklah orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.

Hidangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan. Sumbangan yang berupa barang biasa saja, disambut para tamu dengan senyuman, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut dengan sorak memuji.

"Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw..." Piauwsu yang membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan.

Semua orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari emas! Go-bi Sin-kouw lalu mengangguk sambil tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk menyatakan terima kasihnya.

“Berikutnya adalah bingkisan dari Lie-toanio, puteri Cia Keng Hong Taihiap yang mewakili Cin-ling-pai…!” Piauwsu yang bertugas menerima bingkisan kembali berseru.

Piauwsu ini sengaja memberi tekanan agak keras ketika menyebut Cin-ling-pai. Selain dia merasa bangga melihat kenyataan akan hadirnya wakil Cin-lin-pai yang amat terkenal ke tempat itu, orang ini juga ingin melihat reaksi para tamu lainnya mengingat kejadian yang sangat menghebohkan dunia kang-ouw akhir-akhir ini, yaitu tercurinya Siang-bhok-kiam oleh Lima Bayangan Dewa.

Benar saja, begitu piauwsu penerima bingkisan selesai berkata, sejenak suasana menjadi amat hening, dan tak lama kemudian baru meledak sorak sorai di bagian kiri, yaitu bagian yang ditempati oleh golongan putih atau kaum pendekar, bahkan ada beberapa tamu yang berteriak.

“Hidup Cia Keng Hong Taihiap…!”

“Hidup Lie-toanio…!”

“Jayalah Cin-ling-pai…!”

Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang-orang memandang dengan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kini kalah oleh suara-suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci yang sangat murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang amat murah!

"Eihh, kenapa begitu pelit?" terdengar suara orang.

"Maklumlah, baru habis kecurian hebat!"

"Memang pelit, pedangnya pun pedang-pedangan dari kayu!"

Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi. Semua orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas itu di mana berdiri nyonya Lie yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang amat tajam. Mukanya yang cantik itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa.

"Hayo kalian bertiga, maju ke sini kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!"

Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenali tiga orang yang tadi mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.

Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro kepada Cin-ling-pai terdengar suara-suara mengejek. "Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta ini, sungguh memalukan kita!"

Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri Cia Giok Keng.

"Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa toanio memanggil kami?" seorang di antara mereka berkata.

"Memang kami hanya mengatakan apa adanya!" kata orang kedua.

"Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?" kata orang ketiga.

Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya bergerak, cepat sekali.

"Plok! Plok! Plok!"

Tiga orang itu terpelanting, lalu mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika ditampar tangan yang halus itu.

Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. "Harap Lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini." Dan dia pun menghadapi para tamu. "Perkara barang sumbangan harap jangan dipandang berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut."

Cia Giok Keng menahan kemarahannya. "Melihat muka tuan rumah, kuampunkan kalian bertiga!" katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke tempat duduknya.

In Hong mengerutkan alisnya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan tetapi sungguh galak dan angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.

"Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!" Terdengar lagi pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke atas.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam berukir indah serta terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.

"Inilah baru bingkisan namanya!" terdengar orang berteriak.

Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata.

"Tamu yang sumbangannya sehebat itu mengapa tidak di tempat kehormatan?"

In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah tidak berada di tempatnya lagi! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya itu, cepat disambar dan dibacanya.

"Maaf, aku pergi dulu karena... takut!"

In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya merasa heran mengapa uang tidak seberapa banyak yang dia berikan kepada pencopet itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas peti kayu indah itu dari tangan piauwsu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru, "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong! Ketahuilah bahwa benda ini adalah apa yang kusumbangkan dan entah bagaimana sudah berada di dalam bingkisan orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan bagaimana barangku ini bisa berada di dalam bingkisannya!"

Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.

Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, "Sejak tadi ketika bingkisan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang yang main gila, akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima kematianmu! Apa bila aku tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri ketua Cin-ling-pai!"

Sebenarnya, biar pun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan pemberani tanpa mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan hal itu adalah disebabkan kedukaan serta kemarahan yang masih membakar hatinya berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai.

Ketika guru suaminya datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan mengenai mala petaka yang menimpa Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di depan ayah bundanya dia menyatakan hendak mencari penjahat-penjahat itu, akan tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu.

"Engkau sudah mempunyai keluarga sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut dan terseret," demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan.

Kini, di tempat pesta ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, maka tentu saja kemarahannya meledak hingga tanpa disadarinya dia menyinggung nama Cin-ling-pai untuk mengangkat nama ayahnya.

Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. "Phoa-lo-enghiong, mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaanmu? Jeng-ci Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-temannya pun orang-orang rendah!"
"Ehh-ehhh, nanti dulu, toanio!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih meloncat ke depan.

Orang ini pakaiannya serba hitam dengan ikat pinggang warna kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang telah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.

Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan pandang mata meremehkan. "Mengapa engkau menahanku? Apakah hendak menyangkal bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"

"Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Apa bila toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak bersalah apa-apa."

"Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannya pun orang-orang rendah. Nah, kau mau apa?" Cia Giok Keng yang memang sudah amat marah itu membentak.

"Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga merupakan temannya. Apakah dengan begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"

"Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang paling rendah dan pengecut di dunia!" bentak Cia Giok Keng.

Sebenarnya dia menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang sedang berdiri di depannya, bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya, akan tetapi ditujukan kepada orang-orang yang sudah mencuri pedang Siang-bhok-kiam. Semenjak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya dia mengutuk dan membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!

Kui Liok menjadi marah. "Toanio terlalu menghina orang! Jangan menyangka bahwa aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!"

Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. "Huh, tikus macam kau berani menentang Cin-ling-pai? Majulah!"

"Wanita sombong!" Kui Liok membentak dan akan menyerang.

"Tahan... tahan...!" Tiba-tiba Phoa Lee It maju dan berdiri di antara mereka. "Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang sudah menukar barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."

"Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di mana pun dan kapan pun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"

Sikap serta ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah, maka terpaksa dia mundur sambil menggelengkan kepala dan mengangkat bahu, bingung dan cemas sekali.

"Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!" puteri ketua Cin-ling-pai itu menantang.

Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang sungguh pun tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya.

Dengan jurus-jurus dari San-in Kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan! Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung dan tulang pundak kirinya seperti patah-patah rasanya!

Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan bentakan keras lantas menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka bagai seekor harimau menubruk. Dan memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw Pok-ma (Macan Lapar Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan sepasang tangan dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk dielakkan.

Tetapi Cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan dan kiri, menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan, dan ketika jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.

"Desss...! Auukkk...!"

Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.

Sekarang semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya menghadapi serangan Kui Liok, dan sekaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi.

Tentu saja Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia diperlakukan bagaikan seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh seorang guru besar!

"Sratttttt…!"

Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia merasa bahwa namanya masih terlalu besar untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja, sebab itu dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung bibirnya dia membentak,

"Keluarkan pedangmu!"

Cia Giok Keng tersenyum mengejek. "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal babimu itu? Majulah!"

Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun, maka dengan gerengan seperti harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara berdesingan. Kemudian dia maju menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar dahsyat ke arah leher Giok Keng.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak bayangan berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di belakangnya dan kini justru Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan lawan.

Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan sangat berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi dia sudah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia mempergunakan ginkang-nya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak.

Namun dengan kemarahan meluap-luap Kui Liok sudah menyerang terus dan gulungan sinar putih dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng. Sampai lima jurus Kui Liok terus menyerang, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Giok Keng. Pada jurus keenam, saat Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.

Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun pada waktu perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu, tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menampar keras dan tepat mengenal punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.

"Plakkk...!"

Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian yang mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!

"Ini makanlah golokmu!" Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok, dan senjata itu terbang meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.

Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan menjadi korban goloknya sendiri bila saja pada saat itu tidak tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok terbang itu dengan jepitan jari tangan kanannya, kemudian dengan senyum menghina dia melemparkan golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup hebat.

Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.

Giok Keng sendiri terkejut bukan kepalang. Melihat gerakan dara muda ini tadi mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu saja ringannya, dia segera maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.

Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang penuh perhatian. Nenek ini pun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan ragu-ragu karena takut kalah, sebab dia percaya bahwa dia dapat menandingi puteri ketua Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah...
Selanjutnya,