Dewi Maut Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 06
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TIBA-TIBA terdengar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil!

Ternyata, sama sekali tak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang sangat dahsyat, In Hong sudah bergerak. Entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang pada tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suheng-nya yang berdiri depan belakang!

Sesudah pedang itu menembus dada dua orang itu, pada detik berikutnya tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat. Terdengar suara keras dan mereka menjerit berbareng dengan jerit dua orang yang ‘disate’ itu, kemudian roboh dengan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.

Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ.

Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka laksana buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!

Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dengan susah payah merangkak keluar. Sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas kemudian disusul dengan empat belas orang bajak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali.

Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tidak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dengan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya, menyambar buntalan itu dan melangkah pergi.

"Lihiap...! Tunggu sebentar...!" Piauwsu itu berseru sambil memaksa dirinya untuk berlari menghampiri.

In Hong menoleh, matanya seakan bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.

"Lihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui nama besar lihiap...?"

"Kau urus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"

"Baik, lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari hadapannya!

Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorang pun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik.

"Cantik bagaikan Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dengan sebuah perahu karena kalau sampai sisa bajak-bajak itu datang kembali, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka.

Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andai kata tidak terjadi penghinaan terhadap diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan turut mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dalam hatinya dia berjanji akan terus menggunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita!

Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subo-nya atau seperti para bibi anggota Giok-hong-pang!

Dia tak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Karena sering mendengar cerita para anak buah subo-nya, dia tahu bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang sudah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.

Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa itu, menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan!

Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar mengenai terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subo-nya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subo-nya.

Karena gangguan perjalanan itu, hari sudah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia benar-benar seperti orang dusun memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Karena tidak dapat memilih, pada waktu melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena dia tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya.

Hampir dia tersenyum saat sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar. Di antara para tamu yang berseliweran di tempat itu dia melihat seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Hampir dia tersenyum ketika sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Setelah mandi dan memesan makanan, lalu makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lantas menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan dia pun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas.

Menjelang tengah malam dia mendengar ada suara napas orang di balik jendela! Dengan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun!

Dengan tenang In Hong cepat-cepat mengambil hawa murni melalui hidungnya sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dengan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik.

Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu dia mempunyai obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biar pun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dengan pendengaran telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu!

Apa bila orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi sungguh aneh sekali, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!

In Hong tidak mau ribut-ribut sehingga menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dengan hati-hati, memakai sepatunya secara cepat, kemudian sambil membawa pedangnya dia meloncat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dengan tubuh ringan.

In Hong terkejut sekali. Ketika bayangan itu menoleh, dari lampu di belakang hotel dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan ginkang-nya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut.

Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan kembali berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendengar bentakan halus,

"Maling sial, mau lari ke mana kau?!"

"Wah...!" Dia segera lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, secara tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan.

In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu sudah lari lagi!

In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak, maka cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.

"Kembalikan buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas.

Akan tetapi, tiba-tiba saja maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan kemudian tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya! Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi.

"Gila!" bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus sudah menubruk dan dengan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.

"Waduuuhhh...!" Orang tua itu memekik dan roboh terguling.

Buntalan itu berhasil dirampas kembali oleh In Hong. Maling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata,

"Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!"

Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan begitu hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Biar pun memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itu pun amat berlebihan.

Sebelum In Hong sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi menjulang hingga ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!"

Dia kemudian membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong sudah menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu hingga untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.

"Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu berteriak.

"Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi buntalannya. "Begini ringan, tentu ada yang kau ambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!"

Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya terasa sakit, juga amat kecewa karena wanita muda yang cantik ini ternyata tidak dapat diakali. Dengan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel.

"Celaka tiga belas! Benar saja makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dengan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di dalam kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dengan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka."

In Hong terkejut dan kagum sekali. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Tetapi bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu bisa menduga hampir persis jumlah isinya!

"Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Kenapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"

"Apa artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!" Maling itu masih hendak mengelak.

"Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Kenapa kau lakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"

Maling itu menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah kini awakku sudah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan! Baiklah, harap lihiap dengarkan baik-baik pengakuanku ini. Nama saya Can Pouw dan dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw. Di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah..."

"Jangan memutar balikkan omongan, pakai kata-kata mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.

"Yaahhh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya menggunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dengan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dengan paksa, berbeda dengan kami yang bekerja dengan cara halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak pernah tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?"

"Cerewet! Kau ingin main-main dengan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.

"Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, tadi saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa sangka, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu agaknya hanya merupakan minyak wangi saja bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!"

"Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"

"Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnya pun?"

"Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, semakin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.

"Ehh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."

"Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.

"Iya, iya... jika seorang pencopet atau maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang-barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... ehh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"

"Mereka telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.

Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus juga. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina..."

"Hayo ceritakan, mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"

Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. "Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"

"Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang..."

Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya.

"Nah, kau terimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan mala petaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.

"Heiiiii... lihiap, tungguuuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi"

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. "Bukan main kehebatan ginkang dari lihiap."

"Hayo ceritakan, berita apakah itu?"

"Lihiap begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

Mendengar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sesungguhnya karena saya telah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dengan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguh pun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah saja saya menduga bahwa tentu lihiap adalah seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

"Dugaanmu memang benar, paman Can Pouw. Aku merupakan murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang."

"Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.

"Mengapa?" In Hong terheran.

"Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia..."

"Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"

"Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya pedang pusaka Siang-bhok-kiam, bukan?"

In Hong terkejut. Dia memang tertarik dengan urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu.

"Kalau benar demikian, mengapa?"

"Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang telah mengampuni saya, telah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!"

In Hong terkejut lagi. "Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya curiga, takut kalau-kalau dibohongi lagi.

"Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!" Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. "Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tak ada berita yang lebih menarik dari pada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya mempunyai julukan Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki."

"Hemmm, apa anehnya itu? Aku pun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa."

"Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya kelima orang sakti itu dan terutama sekali di mana mereka itu berada?"

In Hong benar-benar tertarik. "Dan engkau tahu, paman Can Pouw?"

"Tentu saja! Dengarlah baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang cukup banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang semuanya adalah musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Mendengar julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) tentu sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh dan penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!"

"Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu."

"Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti dari pada mendiang suheng-nya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Sedangkan orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga bagai seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak dan kepalanya merupakan senjata ampuh."

In Hong mencatat dalam hatinya. Walau pun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

"Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya dan beracun, apa lagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!"

In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka dan tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah berbicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersenda gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.

"Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit. Dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap."

In Hong mengangguk-angguk, secara diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. "Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku."

"Ada yang lebih penting lagi!" Can Pouw berseru. "Yaitu sarang mereka!"

"Di mana?"

"Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal dalam sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali lihiap memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukanlah penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan malah merupakan pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di kota Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggotanya melakukan pekerjaan dagang. Pada saat saya dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang mampu keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!"

In Hong mengerutkan sepasang alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi segera didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, "Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini saja sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa."

In Hong tersenyum. Semenjak dia pergi meninggalkan Kwi-ouw, baru sekali ini dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sungguh tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah!

"Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih baik." Sesudah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari hadapan Can Pouw yang menjadi bengong.

Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri mempunyai ginkang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seakan-akan dara itu pandai menghilang seperti setan!

“Demi dewa...!" Dia berkata lirih, "berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!"

Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat hanya bersembunyi di atas pohon dan mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu.

Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia apa bila yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekali pun julukan itu?

Setelah maling tua itu pergi, baru In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbul suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana bila mana dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!

********************

Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan wajah gembira sambil menghadapi makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya dihidangkan di atas meja, dan arak wangi pun berlimpah-limpah. Para pelayan yang terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut ruangan, menunggu kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan minum dengan gembira itu.

Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta kemenangan mereka, sesudah mereka berhasil menewaskan tujuh orang Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil baik ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.

"Sungguh menyebalkan," Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, "…pedang kayu macam ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan oleh para tokoh kang-ouw. Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biar pun mengandung hawa mukjijat namun tidak lebih berguna dari pada sebatang pedang baja yang baik."

"Tentu dahulu lain lagi, Phang-suheng," kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. "Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka."

"Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha." Pat-pi Lo-sian tertawa dan mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia enam puluh lima tahun!

Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan kemudian dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang di samping suheng-nya, juga sudah seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi.

Oleh karena itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan berduka sekali. Pada saat itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam atas kematian suheng-nya terhadap seorang musuh yang saktinya seperti ketua Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suheng-nya.

Sesudah merasa dirinya cukup kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itu juga merupakan orang-orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka kemudian saling mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, sesudah Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka.

Ilmu racun ini didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok merupakan yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, yang diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa.

"Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong apa bila dia pulang dan mendengar akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya pedang Siang-bhok-kiam! Tentu dia akan bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!" kata pula Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa.

"Biar dia mencari-cari sampai setengah mampus!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa dan menenggak araknya.

"Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat kita."

"Ehh, hwesio murtad, apa engkau takut?" Pat-pi Lo-sian bertanya, "Engkau meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya."

"Ha-ha-ha, siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali mencoba Thi-khi I-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana kekuatan daya sedotnya."

Memang ada persamaan antara Thi-khi I-beng dengan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sinkang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang sombong ini tidak tahu bahwa Thi-khi I-beng adalah ilmu mukjijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, akan tetapi Thi-khi I-beng menyedot sinkang orang hingga membanjir keluar dari dalam tubuh!

"Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan. Betapa pun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak kawan-kawannya yang lihai, sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah mendengar akan keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku tentu banyak tokoh hitam yang akan suka membantu kita."

Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, "Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh bernyali besar sekali!"

Lima orang itu amat terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat, sungguh pun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.

"Memang mengagumkan sekali dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!" terdengar suara kedua dan tahu-tahu di situ muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan dia pun lalu meraba sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja. Dia ingin menguji dahulu kepandaian dua orang tamu itu sebelum dia mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk menyambut mereka.

"Kedua tamu yang tak diundang, silakan!" kata orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.

Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan sekaligus jari-jari tangannya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, lantas berputaran dan ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti tepat di atas kepalanya kemudian pelan-pelan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Kakek itu membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.

"Nenek tua, terimalah suguhan dari pinceng!" Hok Hosiang juga menggunakan sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata rahasia yang sangat berbahaya.

"Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!"

Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan dia memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan kedua sumpit itu menancap di hadapan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu tanpa terbanting keras seakan-akan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu sangat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, "Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat."

"Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang tanpa diundang dan begitu tiba turut menikmati hidangan, ha-ha-ha!" kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. "Sebagai tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri..."

"Nanti dulu!" Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, "Biarkan kami menduga-duga siapa adanya ji-wi!"

Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian pada wajah dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dahulu berseru.

"Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin"

Tosu tinggi kurus itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Lima Bayangan Dewa memang hebat, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar."

"Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?" Hui-giakang Ciok Lee Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil tersenyum pula.

"Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena sudah berani mengejek ketua Cin-ling-pai, tapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian," kata Hek I Siankouw.

Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga biar pun mereka jarang menampakkan dirinya di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toat-beng Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dahulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi pembantu utama dari The Hoo.

Karena kini Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas kepada seorang panglima besar yang sangat kuat kedudukannya seperti Panglima The Hoo, maka sekarang semua dendam dilimpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apa lagi setelah mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin cepat mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai. Dengan dalih ikut berduka cita dan ingin bersembahyang, mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu.

Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin pada masa lampau. Penyelewengan mereka menuruti nafsu birahi inilah yang kemudian membuat mereka terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan nenek.

Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke mana pun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini tak pernah berpisah.

Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lantas memperkenalkan diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa Hwa Cinjin langsung menepuk meja.

"Ahhh, ternyata sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali karena mendiang suheng-mu itu merupakan sahabat baik dari mendiang suheng-ku, yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba waktunya untuk melakukan balas dendam kepada Cia Keng Hong beserta keluarganya."

Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.

"Aku memiliki seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena dia pun tidak suka kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat," Hek I Siankouw berkata.

"Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?" tanya Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah tua namun masih tetap cantik!

"Dia adalah Go-bi Sin-kouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau bergabung dan datang ke sini."

Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama menghadapi Cin-ling-pai dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang mereka anggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang golongan hitam.

Mereka berangkat berpencar setelah menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan dari orang-orang sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, maka seluruh penduduk Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.

********************

"Adik In Hong...!"

In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak kelihatan seorang pun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut.

Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang demikian jauhnya, akan tetapi suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di sisi telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.

Tidak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam wajah yang cantik jelita itu.

"Yap In Hong, adikku, adik kandungku..."

In Hong mengerutkan alisnya. Tak diduganya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.

"Semenjak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, secara diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang pada saat menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu."

"Engkau... engkau mau apakah?" Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu.

Hatinya berdebar-debar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, namun juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.

"In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan sesudah kita bertemu bagaimana engkau dapat mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tiada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu."

“Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan semenjak kecil pun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita terpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapa pun juga."

"In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus akan mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san."

Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan menyangka bahwa sebagai seorang gadis muda tentu muka adiknya akan menjadi merah karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya kemudian memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak peduli, tampak agak termenung seperti orang terkejut.

Memang bukan urusan perjodohan itu yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan. Berarti bahwa waktu ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu kemudian mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar mengenai peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi mala petaka yang menggegerkan.

"In Hong, karena itu maka sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku beserta kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subo-mu kepadaku maka selama ini aku tidak mau menggunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin menggunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu."

"Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan subo-ku, mana mungkin sekarang aku menyakiti hatinya dengan berbaik kepadamu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali." Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.

"In Hong...!" Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. "Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku telah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"

"Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, Koko?" jawab In Hong dengan nada mengejek.

Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal.

Sekarang baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk ‘menebus dosa’ atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia tak ingat bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya tadi bagaikan halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.

Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. "Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, Koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti aku pun tidak akan mencampuri urusanmu."

In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, "Ayah dan ibu, anakmu ini semejak dulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adik pun tidak mampu. Ampunilah aku..."

Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Hatinya perih ketika dia mengenangkan adiknya. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh pada saat In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andai kata adiknya menjadi menantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik.

Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apa bila dia teringat kepada In Hong.

********************

Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu!

Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan sudah dirundingkan masak-masak, sudah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... ehh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekali pun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu.

"Lihat saja kalian nanti!" gerutunya. "Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!"

Dengan hati panas dia lalu melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu.

********************

Sulit dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di kota Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah menjadi kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang amat menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.

Cia Keng Hong menggigit bibir dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, kemudian menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apa lagi pada saat mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali.

"Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekali pun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju.

Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!

Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak-anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya tentang penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.

"Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat..." Pembicara itu menghapus air matanya. "Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberi tahukan nama-nama mereka."

"Lekas kau sebutkan nama-nama mereka itu!" Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama serta julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu yang dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.

"Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok," Cia Keng Hong berkata marah. "Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?"

Peristiwa dicurinya Siang-bhok-kiam tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lainnya. Akan tetapi isterinya berkata,

"Biar pun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Karena itu lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi."

Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu. "Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw."

Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu bersama tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya,

"Tidak kusangka, dalam usia setua ini aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai mati pun aku akan selalu membela kebenaran dan menentang kejahatan!" Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.

Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Cia Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan.

Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sute-nya ketika mendengar penuturan mengenai kematian tujuh orang sute-nya serta lenyapnya pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!

"Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak dapat mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian para suheng itu!" kata Bun Houw sambil menahan air matanya. Dia tidak dapat menahan air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu sampai menangis.

Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara kereng lalu berkata, "Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukan perkumpulan orang-orang cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tak perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu tewas sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan mati pun tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan marilah kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam dan menghukum Lima Bayangan Dewa."

Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek yang usianya masing-masing telah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan menghukum musuh-musuhnya.

Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw membantah keras. "Ayah dan ibu sudah tua, dan biar pun urusan ini adalah urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua? Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah menjadi pelajaran bahwa apa bila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi."

Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Bagaimana pun juga, mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang setelah pergi selama lima tahun dan sungguh pun kepandaiannya mungkin sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang begitu saja pun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.

"Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.

Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong segera berkata kepada Bun Houw, "Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku bersungguh-sungguh!"

Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa banyak cakap dia telah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya dengan kepandaiannya. Apa bila dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan memperbolehkan dia pergi melakukan tugas yang amat berbahaya itu.

Cepat dia mengencangkan pakaian, lalu meloncat ke tengah ruangan itu dan berdiri tegak sambil berkata, "Aku sudah siap, ayah!"

Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. "Awas serangan...!"

Langsung dia menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang dahsyat bukan main, menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan kepalang Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, dua telapak tangan pendekar tua itu lantas mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).

"Haiiitttttt...!"

Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung.

Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini sehingga dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah menjadi satu itu.

Kwee Kin Ta dan para sute-nya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi mereka pun dapat melihat betapa ketua mereka sedang mengerahkan kepandaian dan tenaga, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya!

Setelah mengeluarkan suara keras tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mukjijat ini, akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sulit dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang, dan karena itu dia mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun yang dicampurnya dengan ilmu yang selama lima tahun ini dia peroleh dari gurunya di Tibet. Kedua tangan Bun Houw menggetar-getar mengeluarkan tenaga mukjijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama dapat menahan segala senjata pusaka!

Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasakan betapa dari kedua tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari kedua tangan puteranya itu!

Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang panas sekali, tapi kadang-kadang amat dinginnya.

Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong dapat mengalahkan puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapa pun usianya yang sudah enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.

Hyyyyaaaaattt...!" Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua ini telah terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)!

Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku hati-hati dan cepat mengelak sambil membalas dengan serangan terhadap ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang terhadap ibunya, dia khawatir ibunya tak akan kuat bertahan dan akan menderita luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya dan inilah agaknya yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju mengeroyok apa bila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan puteranya.

Pertandingan menjadi makin seru dan kini bahkan Kwee Kin Ta dan adik-adiknya sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini merasa terkejut dan kagum bukan main.

Diam-diam mereka harus mengakui bahwa bila dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah jauh sekali. Mereka menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah mengimbangi kepandaian ayahnya.

"Hyaaaaatttt…!"

"Haiiiiiiikkkkk…!"

Cia Keng Hong dan isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw menyambar ke arah mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan telapak tangan mereka sehingga sepasang tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah dan ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat, kedua tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke atas.

"Aaaaahhhhh…!"

Suami isteri itu mengerahkan tenaga lantas melemparkan tubuh putera mereka dengan dorongan keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan tetapi bukannya terbanting jatuh, sebaliknya malah berjungkir balik di udara sampai dua kali dan pada saat tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah mengancam pundak kedua orang tua mereka!

"Ihhhhh...!" Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang hendak menotok pundaknya itu.

Juga Keng Hong menangkap kaki kedua dan kembali mereka mendorong kedua kaki itu ke atas. Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia berjungkir balik lagi, lalu hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya agak dibengkokkan.

Pada saat itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan serangan kaki dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang tadi sudah digunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja bukan ayah bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung kakinya.

Kini ayah bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut sekali, akan tetapi dia pun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah bundanya dan tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah bundanya dengan pengerahan tenaga sinkang.

Kakek dan nenek itu terlempar dan berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka tadi. Mereka hinggap di atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan kagum.

"Jaga ini...!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah kembali menerjang sendirian sambil mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw cepat-cepat menangkis dan kembali bertemulah lengan mereka.

"Dukkk!"

Bun Houw terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia langsung merasakan tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah menggunakan Thi-khi I-beng, ilmu yang paling hebat dan mukjijat dari ayahnya.

"Wuuutttt…! Plakkk!"

Dia mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar lantas cepat sekali jari tangannya menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang sangat berbahaya dan pada waktu Cia Keng Hong menangkisnya, tahu-tahu Bun Houw telah berhasil melepaskan lengannya yang menempel tadi!

Cia Keng Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan mereka bersentuhan, dia cepat menggunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi selalu Bun Houw dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh ayahnya. Akhirnya mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi I-beng tidak lagi mampu mengalahkan pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata,

"Cukup!"

Bun Houw maju dengan muka gembira. "Bagaimana pendapat ayah dan ibu? Luluskah aku?"

"Engkau hebat, aku tidak lagi sanggup menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!" Sie Biauw Eng berseru gembira.

"Aku girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau bahkan dapat menghadapi Thi-khi I-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan ilmu itu kepadamu, anakku?" Cia Keng Hong berkata.

"Aku mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja, dan ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri, ayah."

"Bagus, kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang, aku hendak melihat sampai di mana kemajuanmu."

Ayah dan ibu itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan tetapi Bun Houw hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, lalu mencabut pedangnya dan dia pun mulai bersilat pedang.

Mula-mula Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya masih dapat mengenal gerakan pedang yang indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat pada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang selalu bersilang-silang. Memang keistimewaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut terdapat pada gerakannya yang bersilang-silang.

Akan tetapi ketika makin lama Bun Houw mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya, empat orang murid tertua dari Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain mata mereka menjadi silau, juga mereka tidak mampu lagi mengenali ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang disertai angin menyambar-nyambar, bahkan mereka yang berada di sudut ruangan itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu.

Sesudah Bun Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-angguk. Tadi dia telah saling berbisik dengan isterinya bahwa kepandaian putera mereka itu sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan, sudah lebih dari cukup untuk putera mereka pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai.

"Baiklah, kau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang kita, Houw-ji. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja masih belum cukup kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap segala macam tipu muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya hanya ketenangan dan kewaspadaan."

Selama dua hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw menerima nasehat dan pesan-pesan dari ayah dan bundanya mengenai keadaan di dunia kang-ouw, tentang kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menuturkan pengalaman mereka pada waktu muda. Sungguh pun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu pukulan beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli tentang racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya yang berbentuk bunga bwee kepada puteranya.

"Setiap makanan atau minuman yang mencurigakan, kau coba dengan ujung tusuk konde ini. Bila ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius atau memabokkan, kalau berwarna hitam, terdapat racun yang mematikan," pesannya.

Sesudah beristirahat selama dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya juga berpamit dari guru atau ketua mereka untuk berusaha mencari jejak musuh-musuh besar itu, dan mengingat akan kedukaan serta kehilangan para muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak.

Maka berangkat pulalah keempat orang tua ini, dan mereka berempat sudah bersepakat bahwa mereka tidak akan kembali ke Cin-ling-pai sebelum mereka berhasil melaksanakan tugas, yaitu mendapatkan di mana adanya musuh-musuh besar itu, membalas dendam dan merampas kembali pedang pusaka.

Cia Keng Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu hanya menanti di Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil berjaga-jaga kalau-kalau ada lagi musuh yang datang mengacau Cin-ling-pai.

********************

Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 06

Dewi Maut Jilid 06
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
TIBA-TIBA terdengar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini keluar dari mulut In Hong dan tampaklah sinar berkilat menyilaukan mata, disusul pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil!

Ternyata, sama sekali tak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang sangat dahsyat, In Hong sudah bergerak. Entah kapan dia mencabut pedang dari punggungnya, karena tahu-tahu pedang pada tangan kanannya itu telah menusuk tembus dada si jenggot pendek dan suheng-nya yang berdiri depan belakang!

Sesudah pedang itu menembus dada dua orang itu, pada detik berikutnya tangan kirinya bergerak menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi lalat. Terdengar suara keras dan mereka menjerit berbareng dengan jerit dua orang yang ‘disate’ itu, kemudian roboh dengan mulut, hidung, mata dan telinga mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah mereka sendiri.

Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambut pun mereka tidak pernah mengira akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik cepat melarikan diri dari situ.

Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar-sinar kilat yang membuat mereka laksana buta karena tidak melihat lagi di mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!

Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi siuman dan dengan susah payah merangkak keluar. Sampai di depan pintu dia masih sempat melihat empat orang kepala bajak tewas kemudian disusul dengan empat belas orang bajak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali.

Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tidak berpedang lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dengan sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya, menyambar buntalan itu dan melangkah pergi.

"Lihiap...! Tunggu sebentar...!" Piauwsu itu berseru sambil memaksa dirinya untuk berlari menghampiri.

In Hong menoleh, matanya seakan bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.

"Lihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui nama besar lihiap...?"

"Kau urus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"

"Baik, lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya, dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari hadapannya!

Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang melintang. Tak seorang pun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus oleh pedang. Dia bergidik.

"Cantik bagaikan Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak mereka pergi dari situ dengan sebuah perahu karena kalau sampai sisa bajak-bajak itu datang kembali, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan mampu melindungi mereka.

Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina wanita! Andai kata tidak terjadi penghinaan terhadap diri tiga orang wanita itu, tentu dia tidak akan turut mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dalam hatinya dia berjanji akan terus menggunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka mempermainkan wanita!

Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik, misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat. Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subo-nya atau seperti para bibi anggota Giok-hong-pang!

Dia tak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Karena sering mendengar cerita para anak buah subo-nya, dia tahu bahwa kebanyakan pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang sudah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.

Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah perkasa itu, menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh mengagumkan!

Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar mengenai terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subo-nya diceritakan sebagai Pedang Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya bokor emas yang terjatuh ke tangan subo-nya.

Karena gangguan perjalanan itu, hari sudah mulai gelap ketika dia tiba di kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki kota, dia benar-benar seperti orang dusun memandang ke kanan kiri penuh kagum melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

Karena tidak dapat memilih, pada waktu melihat sebuah rumah penginapan, dia langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di kota Tai-goan, akan tetapi karena dia tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan pertama yang dilihatnya.

Hampir dia tersenyum saat sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar. Di antara para tamu yang berseliweran di tempat itu dia melihat seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Hampir dia tersenyum ketika sedang diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah menemukan kembali orang yang dicari-carinya!

Setelah mandi dan memesan makanan, lalu makan kenyang dan mengaso sambil duduk bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lantas menutup pintu dan jendela, menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah bantal dan dia pun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai padam sendiri setelah dia pulas.

Menjelang tengah malam dia mendengar ada suara napas orang di balik jendela! Dengan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun!

Dengan tenang In Hong cepat-cepat mengambil hawa murni melalui hidungnya sebanyak mungkin dan mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah penuh dengan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong membalikkan muka setelah melirik.

Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu dia mempunyai obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biar pun dia kini membalikkan muka dan tidak melihat orang itu, namun dengan pendengaran telinganya dia dapat mengikuti segala gerak-gerik orang itu!

Apa bila orang itu hendak mengganggunya, tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi sungguh aneh sekali, orang itu sama sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!

In Hong tidak mau ribut-ribut sehingga menimbulkan geger dan menarik perhatian orang yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya, dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dengan hati-hati, memakai sepatunya secara cepat, kemudian sambil membawa pedangnya dia meloncat keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu meloncat ke atas genteng dengan tubuh ringan.

In Hong terkejut sekali. Ketika bayangan itu menoleh, dari lampu di belakang hotel dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya melesat naik melakukan pengejaran.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali! Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan ginkang-nya, tubuhnya melesat cepat sekali seperti tukang ngebut.

Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah dan kembali berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia mendengar bentakan halus,

"Maling sial, mau lari ke mana kau?!"

"Wah...!" Dia segera lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya, secara tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan.

In Hong menjerit dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang itu sudah lari lagi!

In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak, maka cepat dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata rahasia pasirnya itu, tentu dengan mudah dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.

"Kembalikan buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk merampas.

Akan tetapi, tiba-tiba saja maling itu melemparkan buntalannya ke samping dan tubuhnya bergulingan kemudian tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus melompat dan lari sekuatnya! Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi.

"Gila!" bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya melayang ke depan, sekaligus sudah menubruk dan dengan tangan kirinya dia menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.

"Waduuuhhh...!" Orang tua itu memekik dan roboh terguling.

Buntalan itu berhasil dirampas kembali oleh In Hong. Maling itu merangkak bangun dan segera berlutut sambil berkata,

"Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!"

Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan begitu hebat. Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Biar pun memang harus diakuinya bahwa maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan itu pun amat berlebihan.

Sebelum In Hong sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi menjulang hingga ke langit, biarlah kegagalan ini menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap. Permisi!"

Dia kemudian membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat In Hong sudah menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang itu hingga untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.

"Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu berteriak.

"Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi buntalannya. "Begini ringan, tentu ada yang kau ambil dari dalamnya. Hayo kembalikan!"

Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya terasa sakit, juga amat kecewa karena wanita muda yang cantik ini ternyata tidak dapat diakali. Dengan wajah membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel.

"Celaka tiga belas! Benar saja makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dengan seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran saya, di dalam kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail perak. Hasil yang lumayan, sesuai dengan jerih payah saya tadi! Akan tetapi semua sia-sia belaka."

In Hong terkejut dan kagum sekali. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus lari dan dikejarnya. Tetapi bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu bisa menduga hampir persis jumlah isinya!

"Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Kenapa engkau menggunakan asap beracun di kamarku tadi? Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"

"Apa artinya asap mainan itu bagi lihiap? Buktinya lihiap tidak apa-apa!" Maling itu masih hendak mengelak.

"Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang! Kenapa kau lakukan itu terhadap aku? Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"

Maling itu menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal malah kini awakku sudah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan! Baiklah, harap lihiap dengarkan baik-baik pengakuanku ini. Nama saya Can Pouw dan dijuluki orang Jeng-ci Sin-touw. Di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah..."

"Jangan memutar balikkan omongan, pakai kata-kata mempergunakan kesempatan selagi orang lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.

"Yaahhh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet atau maling yang istilahnya menggunakan kesempatan selagi orang bermalas-malasan. Amat jauh bedanya dengan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas dengan paksa, berbeda dengan kami yang bekerja dengan cara halus tidak mau menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak pernah tahu siapa yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan halus...?"

"Cerewet! Kau ingin main-main dengan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit pedangnya dan tampak sinar berkilat.

"Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya tadi? Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, tadi saya terpaksa menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang yang amat lihai. Siapa sangka, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas sepuluh orang itu agaknya hanya merupakan minyak wangi saja bagi lihiap. Dasar saya yang sialan!"

"Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"

"Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya? Hebat! Ketahuilah, lihiap. Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti betapa jauhnya pun?"

"Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, semakin tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.

"Ehh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."

"Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.

"Iya, iya... jika seorang pencopet atau maling tangan panjang melihat calon korban yang membawa barang-barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... ehh, pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu. Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tak berani mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"

"Mereka telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.

Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua? Aduhh... kalau begitu saya tentu akan mampus juga. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya berani mengganggu harimau betina..."

"Hayo ceritakan, mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"

Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya, berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai bermain gila ini. "Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"

"Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal, sedangkan anak saya ada tujuh orang..."

Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya.

"Nah, kau terimalah ini untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan mala petaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.

"Heiiiii... lihiap, tungguuuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya mempunyai berita yang lebih penting lagi"

Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum. "Bukan main kehebatan ginkang dari lihiap."

"Hayo ceritakan, berita apakah itu?"

"Lihiap begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

Mendengar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling lucu ini tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala itu. Sesungguhnya karena saya telah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu lihiap dengan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali, dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguh pun ngeri saya membayangkan betapa gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah saja saya menduga bahwa tentu lihiap adalah seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."

"Dugaanmu memang benar, paman Can Pouw. Aku merupakan murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang."

"Paman...? Lihiap menyebutku paman...? Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang terang di malam itu.

"Mengapa?" In Hong terheran.

"Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang? Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang mulia..."

"Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"

"Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai, sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya pedang pusaka Siang-bhok-kiam, bukan?"

In Hong terkejut. Dia memang tertarik dengan urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-pai yang dicuri orang itu.

"Kalau benar demikian, mengapa?"

"Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang telah mengampuni saya, telah memberi hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!"

In Hong terkejut lagi. "Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya curiga, takut kalau-kalau dibohongi lagi.

"Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!" Maling itu agaknya merasa bahwa dia dicurigai. "Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tak ada berita yang lebih menarik dari pada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya mempunyai julukan Seribu Jari, bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat menyelidiki."

"Hemmm, apa anehnya itu? Aku pun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu adalah Lima Bayangan Dewa."

"Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya kelima orang sakti itu dan terutama sekali di mana mereka itu berada?"

In Hong benar-benar tertarik. "Dan engkau tahu, paman Can Pouw?"

"Tentu saja! Dengarlah baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang cukup banyak dan kuat. Mereka itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang semuanya adalah musuh-musuh pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok. Mendengar julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) tentu sudah dapat dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh dan penuh rahasia, kabarnya datang dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba putih mengerikan!"

"Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya? Masih kalah oleh engkau yang berjari seribu."

"Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih sakti dari pada mendiang suheng-nya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah menjadi datuk kaum sesat. Sedangkan orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi) Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga bagai seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak dan kepalanya merupakan senjata ampuh."

In Hong mencatat dalam hatinya. Walau pun kepandaian seperti itu tidak aneh baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-orang dari Lima Bayangan Dewa itu.

"Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang sudah amat berbahaya dan beracun, apa lagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua saja dengan dia ini di tempat gelap!"

In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka dan tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah berbicara sungguh-sungguh dan lenyap wataknya yang suka bersenda gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.

"Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit. Dari julukannya saja sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap."

In Hong mengangguk-angguk, secara diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan itu. "Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali bagiku."

"Ada yang lebih penting lagi!" Can Pouw berseru. "Yaitu sarang mereka!"

"Di mana?"

"Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal dalam sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-hati, lihiap, jangan sekali-kali lihiap memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka bukanlah penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan malah merupakan pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di kota Cin-an dan sekitarnya. Mereka itu kaya raya dan para anggotanya melakukan pekerjaan dagang. Pada saat saya dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan seorang teman saja yang mampu keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang lenyap entah ke mana!"

In Hong mengerutkan sepasang alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi segera didahului oleh Jeng-ci Sin-touw yang berkata, "Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini saja sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa."

In Hong tersenyum. Semenjak dia pergi meninggalkan Kwi-ouw, baru sekali ini dia sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sungguh tak pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi, seorang pencuri malah!

"Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih baik." Sesudah berkata demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari hadapan Can Pouw yang menjadi bengong.

Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri mempunyai ginkang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seakan-akan dara itu pandai menghilang seperti setan!

“Demi dewa...!" Dia berkata lirih, "berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!"

Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat hanya bersembunyi di atas pohon dan mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu.

Mendengar maling itu akan mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia apa bila yang dipertaruhkan itu julukannya, betapa mentereng sekali pun julukan itu?

Setelah maling tua itu pergi, baru In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbul suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu. Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana bila mana dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!

********************

Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan wajah gembira sambil menghadapi makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya dihidangkan di atas meja, dan arak wangi pun berlimpah-limpah. Para pelayan yang terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut ruangan, menunggu kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan minum dengan gembira itu.

Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan merayakan pesta kemenangan mereka, sesudah mereka berhasil menewaskan tujuh orang Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa, empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang berhasil baik ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam.

"Sungguh menyebalkan," Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, "…pedang kayu macam ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan oleh para tokoh kang-ouw. Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biar pun mengandung hawa mukjijat namun tidak lebih berguna dari pada sebatang pedang baja yang baik."

"Tentu dahulu lain lagi, Phang-suheng," kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. "Dahulu pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang kebesaran Cin-ling-pai belaka."

"Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha." Pat-pi Lo-sian tertawa dan mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia enam puluh lima tahun!

Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol, terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan kemudian dipaksa menjadi selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang di samping suheng-nya, juga sudah seperti kakaknya sendiri karena dari tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi.

Oleh karena itu, ketika mendengar akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan berduka sekali. Pada saat itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa tidak berdaya untuk membalas dendam atas kematian suheng-nya terhadap seorang musuh yang saktinya seperti ketua Cin-ling-pai. Maka diam-diam dia memperdalam ilmunya selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung terhadap kematian suheng-nya.

Sesudah merasa dirinya cukup kuat, dia lalu merantau ke selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itu juga merupakan orang-orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan, mereka kemudian saling mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, sesudah Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka.

Ilmu racun ini didapatnya dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok merupakan yang tertua dan juga yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, yang diambil dari nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa.

"Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong apa bila dia pulang dan mendengar akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya pedang Siang-bhok-kiam! Tentu dia akan bingung mendengar nama Lima Bayangan Dewa!" kata pula Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet Pencabut Nyawa.

"Biar dia mencari-cari sampai setengah mampus!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa dan menenggak araknya.

"Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari tempat kita."

"Ehh, hwesio murtad, apa engkau takut?" Pat-pi Lo-sian bertanya, "Engkau meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya."

"Ha-ha-ha, siapa takut kepadanya? Apanya yang harus ditakuti? Aku malah ingin sekali mencoba Thi-khi I-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai di mana kekuatan daya sedotnya."

Memang ada persamaan antara Thi-khi I-beng dengan ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sinkang untuk menyedot dari telapak tangan. Tentu saja hwesio yang sombong ini tidak tahu bahwa Thi-khi I-beng adalah ilmu mukjijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, akan tetapi Thi-khi I-beng menyedot sinkang orang hingga membanjir keluar dari dalam tubuh!

"Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin perhitungan. Betapa pun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak kawan-kawannya yang lihai, sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah mendengar akan keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku tentu banyak tokoh hitam yang akan suka membantu kita."

Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, "Bagus! Lima Bayangan Dewa sungguh bernyali besar sekali!"

Lima orang itu amat terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat, sungguh pun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.

"Memang mengagumkan sekali dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!" terdengar suara kedua dan tahu-tahu di situ muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini keduanya berpakaian seperti pendeta.

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan dia pun lalu meraba sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja. Dia ingin menguji dahulu kepandaian dua orang tamu itu sebelum dia mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk menyambut mereka.

"Kedua tamu yang tak diundang, silakan!" kata orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.

Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan dan sekaligus jari-jari tangannya dapat menjepit sepasang sumpit itu dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, lantas berputaran dan ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti tepat di atas kepalanya kemudian pelan-pelan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Kakek itu membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.

"Nenek tua, terimalah suguhan dari pinceng!" Hok Hosiang juga menggunakan sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata rahasia yang sangat berbahaya.

"Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!"

Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan dia memasukkan daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan sumpit ke atas meja dan kedua sumpit itu menancap di hadapan Pat-pi Lo-sian, disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu tanpa terbanting keras seakan-akan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!

Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek dan nenek itu sangat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, "Maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat."

"Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa malu, datang tanpa diundang dan begitu tiba turut menikmati hidangan, ha-ha-ha!" kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. "Sebagai tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri..."

"Nanti dulu!" Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, "Biarkan kami menduga-duga siapa adanya ji-wi!"

Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian pada wajah dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo yang lebih dahulu berseru.

"Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin"

Tosu tinggi kurus itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Lima Bayangan Dewa memang hebat, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar."

"Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?" Hui-giakang Ciok Lee Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil tersenyum pula.

"Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena sudah berani mengejek ketua Cin-ling-pai, tapi juga berani menanggung resikonya dan menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian," kata Hek I Siankouw.

Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal juga biar pun mereka jarang menampakkan dirinya di dunia kang-ouw. Kakek yang hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toat-beng Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dahulu tewas di tangan Panglima Besar The Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi pembantu utama dari The Hoo.

Karena kini Panglima The Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas kepada seorang panglima besar yang sangat kuat kedudukannya seperti Panglima The Hoo, maka sekarang semua dendam dilimpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Apa lagi setelah mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin cepat mengajak Hek I Siankouw untuk mengunjungi Cin-ling-pai. Dengan dalih ikut berduka cita dan ingin bersembahyang, mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli sihir Hong Khi Hoatsu.

Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin pada masa lampau. Penyelewengan mereka menuruti nafsu birahi inilah yang kemudian membuat mereka terpaksa melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan nenek.

Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke mana pun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa keduanya ini tak pernah berpisah.

Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lantas memperkenalkan diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong, Hwa Hwa Cinjin langsung menepuk meja.

"Ahhh, ternyata sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan sekali karena mendiang suheng-mu itu merupakan sahabat baik dari mendiang suheng-ku, yaitu Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba waktunya untuk melakukan balas dendam kepada Cia Keng Hong beserta keluarganya."

Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.

"Aku memiliki seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena dia pun tidak suka kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat," Hek I Siankouw berkata.

"Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?" tanya Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah tua namun masih tetap cantik!

"Dia adalah Go-bi Sin-kouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia akan mau bergabung dan datang ke sini."

Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk bersama-sama menghadapi Cin-ling-pai dan menghancurkan keluarga pendekar Cia Keng Hong yang mereka anggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu menentang golongan hitam.

Mereka berangkat berpencar setelah menentukan satu tanggal dan bulan untuk berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan dari orang-orang sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, maka seluruh penduduk Ngo-sian-chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.

********************

"Adik In Hong...!"

In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari telah naik tinggi. Tidak kelihatan seorang pun manusia akan tetapi suara panggilan tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat dari belakang dan dia terkejut.

Orang itu telah memanggil namanya dari jarak yang demikian jauhnya, akan tetapi suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di sisi telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.

Tidak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan memandang tajam wajah yang cantik jelita itu.

"Yap In Hong, adikku, adik kandungku..."

In Hong mengerutkan alisnya. Tak diduganya bahwa dia akan bertemu dengan kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan menyusulnya.

"Semenjak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat engkau melakukan perjalanan seorang diri, secara diam-diam aku membayangimu dari jauh, dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku, hanya sayang pada saat menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari ini aku masih dapat menyusulmu."

"Engkau... engkau mau apakah?" Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan itu.

Hatinya berdebar-debar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora dalam dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu, namun juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.

"In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan sesudah kita bertemu bagaimana engkau dapat mengajukan pertanyaan seperti itu? Aku adalah kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tiada, maka aku adalah walimu, pengganti ayah bundamu."

“Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan semenjak kecil pun di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling mengganggu, jalan hidup kita terpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu atau siapa pun juga."

"In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe, ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan sekaligus akan mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai, sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san."

Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan menyangka bahwa sebagai seorang gadis muda tentu muka adiknya akan menjadi merah karena dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya kemudian memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama sekali tidak peduli, tampak agak termenung seperti orang terkejut.

Memang bukan urusan perjodohan itu yang menarik hati In Hong, melainkan mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu membicarakan urusan pernikahan. Berarti bahwa waktu ketua itu pergi ke rumah kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu kemudian mencuri Siang-bhok-kiam. Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar mengenai peristiwa yang menggegerkan itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang mengusulkan perjodohan itu terjadi mala petaka yang menggegerkan.

"In Hong, karena itu maka sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah bahwa selama ini aku beserta kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin memperhebat kebencian subo-mu kepadaku maka selama ini aku tidak mau menggunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin menggunakan paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah di samping kakak kandungmu."

"Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan subo-ku, mana mungkin sekarang aku menyakiti hatinya dengan berbaik kepadamu? Marilah kita berpisah dengan baik dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali." Setelah berkata demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.

"In Hong...!" Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah menghadang di depan gadis itu. "Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku telah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"

"Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, Koko?" jawab In Hong dengan nada mengejek.

Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya, terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal.

Sekarang baru dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah untuk ‘menebus dosa’ atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia tak ingat bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya sendiri! Ucapan adiknya tadi bagaikan halilintar menyambar kepalanya dan membuatnya sadar, membuatnya tak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah adiknya yang cantik itu dengan muka muram.

Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. "Koko, aku mohon kepadamu, habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo, dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat berpisah dan semoga hidupmu bahagia, Koko. Aku akan mencari jalanku sendiri, harap kau tidak mencampuri urusanku seperti aku pun tidak akan mencampuri urusanmu."

In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, "Ayah dan ibu, anakmu ini semejak dulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang mengurus adik pun tidak mampu. Ampunilah aku..."

Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Hatinya perih ketika dia mengenangkan adiknya. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh pada saat In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andai kata adiknya menjadi menantu ketua Cin-ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal yang tidak baik.

Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan dan tertindih apa bila dia teringat kepada In Hong.

********************

Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu!

Dia tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau dikawinkan begitu saja dan sudah dirundingkan masak-masak, sudah diikat perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya? Belum apa-apa dia sudah ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, yang bernama... ehh, siapa lagi tadi? Cia Bun Houw? Biar dia pendekar sakti seperti dewa sekali pun, apakah dia dikira seorang perempuan yang gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh? Terlalu! Hatinya menjadi panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia sebagai calon mantu.

"Lihat saja kalian nanti!" gerutunya. "Aku bukan benda mati atau binatang peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!"

Dengan hati panas dia lalu melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu itu.

********************

Sulit dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di kota Leng-kok. Padahal perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah menjadi kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang amat menyegarkan dan menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar dari Cin-ling-san.

Cia Keng Hong menggigit bibir dan mengepal kedua tinju tangannya, sedangkan isterinya hampir pingsan, kemudian menangis menjatuhkan diri di atas kursi ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid mereka. Apa lagi pada saat mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah menjadi pucat sekali.

"Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan bersembunyi di neraka sekali pun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala mereka sampai hancur!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju.

Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang dulu namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!

Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak-anak murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya tentang penyerbuan di Cin-ling-pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.

"Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat..." Pembicara itu menghapus air matanya. "Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng untuk memberi tahukan nama-nama mereka."

"Lekas kau sebutkan nama-nama mereka itu!" Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama serta julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu yang dicatat baik-baik di dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.

"Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok," Cia Keng Hong berkata marah. "Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?"

Peristiwa dicurinya Siang-bhok-kiam tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lainnya. Akan tetapi isterinya berkata,

"Biar pun pedang itu tidak sangat berharga, akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Bahkan lebih dari itu, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Karena itu lenyapnya Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati kaum sesat untuk beraksi."

Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya itu. "Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta berempat yang menjemput Bun Houw."

Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu bersama tokouw yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya,

"Tidak kusangka, dalam usia setua ini aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku tak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai mati pun aku akan selalu membela kebenaran dan menentang kejahatan!" Isterinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.

Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan berkabung. Ketika pada suatu hari Cia Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan.

Dapat dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sute-nya ketika mendengar penuturan mengenai kematian tujuh orang sute-nya serta lenyapnya pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!

"Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau aku tidak dapat mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan kematian para suheng itu!" kata Bun Houw sambil menahan air matanya. Dia tidak dapat menahan air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua itu sampai menangis.

Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara kereng lalu berkata, "Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukan perkumpulan orang-orang cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tak perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu tewas sebagai murid-murid Cin-ling-pai yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan mati pun tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri dan marilah kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam dan menghukum Lima Bayangan Dewa."

Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un Siong Tek yang usianya masing-masing telah lima puluh tahun. Di dalam perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang hilang dan menghukum musuh-musuhnya.

Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya, Bun Houw membantah keras. "Ayah dan ibu sudah tua, dan biar pun urusan ini adalah urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua? Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah menjadi pelajaran bahwa apa bila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi."

Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Bagaimana pun juga, mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru saja datang setelah pergi selama lima tahun dan sungguh pun kepandaiannya mungkin sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan melarang begitu saja pun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.

"Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.

Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong segera berkata kepada Bun Houw, "Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku bersungguh-sungguh!"

Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat. Tanpa banyak cakap dia telah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya dengan kepandaiannya. Apa bila dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan memperbolehkan dia pergi melakukan tugas yang amat berbahaya itu.

Cepat dia mengencangkan pakaian, lalu meloncat ke tengah ruangan itu dan berdiri tegak sambil berkata, "Aku sudah siap, ayah!"

Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. "Awas serangan...!"

Langsung dia menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang dahsyat bukan main, menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan kepalang Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, dua telapak tangan pendekar tua itu lantas mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).

"Haiiitttttt...!"

Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya. Terdengar suara dak-duk-dak-duk ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai terhuyung.

Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini sehingga dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang sudah menjadi satu itu.

Kwee Kin Ta dan para sute-nya memandang kagum karena sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi mereka pun dapat melihat betapa ketua mereka sedang mengerahkan kepandaian dan tenaga, dan betapa putera ketua mereka itu melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya!

Setelah mengeluarkan suara keras tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mukjijat ini, akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sulit dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang, dan karena itu dia mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun yang dicampurnya dengan ilmu yang selama lima tahun ini dia peroleh dari gurunya di Tibet. Kedua tangan Bun Houw menggetar-getar mengeluarkan tenaga mukjijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama dapat menahan segala senjata pusaka!

Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasakan betapa dari kedua tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari kedua tangan puteranya itu!

Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-kadang panas sekali, tapi kadang-kadang amat dinginnya.

Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong dapat mengalahkan puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapa pun usianya yang sudah enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.

Hyyyyaaaaattt...!" Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking nyaring dan wanita tua ini telah terjun ke dalam medan pertandingan, langsung menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)!

Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia berlaku hati-hati dan cepat mengelak sambil membalas dengan serangan terhadap ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang terhadap ibunya, dia khawatir ibunya tak akan kuat bertahan dan akan menderita luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya dan inilah agaknya yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju mengeroyok apa bila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan puteranya.

Pertandingan menjadi makin seru dan kini bahkan Kwee Kin Ta dan adik-adiknya sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat orang tertua dari Cap-it Ho-han ini merasa terkejut dan kagum bukan main.

Diam-diam mereka harus mengakui bahwa bila dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah jauh sekali. Mereka menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah mengimbangi kepandaian ayahnya.

"Hyaaaaatttt…!"

"Haiiiiiiikkkkk…!"

Cia Keng Hong dan isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw menyambar ke arah mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan telapak tangan mereka sehingga sepasang tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah dan ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat, kedua tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke atas.

"Aaaaahhhhh…!"

Suami isteri itu mengerahkan tenaga lantas melemparkan tubuh putera mereka dengan dorongan keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan tetapi bukannya terbanting jatuh, sebaliknya malah berjungkir balik di udara sampai dua kali dan pada saat tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah mengancam pundak kedua orang tua mereka!

"Ihhhhh...!" Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang hendak menotok pundaknya itu.

Juga Keng Hong menangkap kaki kedua dan kembali mereka mendorong kedua kaki itu ke atas. Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia berjungkir balik lagi, lalu hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya agak dibengkokkan.

Pada saat itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan serangan kaki dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang tadi sudah digunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja bukan ayah bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung kakinya.

Kini ayah bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut sekali, akan tetapi dia pun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah bundanya dan tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah bundanya dengan pengerahan tenaga sinkang.

Kakek dan nenek itu terlempar dan berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka tadi. Mereka hinggap di atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan kagum.

"Jaga ini...!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah kembali menerjang sendirian sambil mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw cepat-cepat menangkis dan kembali bertemulah lengan mereka.

"Dukkk!"

Bun Houw terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia langsung merasakan tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah menggunakan Thi-khi I-beng, ilmu yang paling hebat dan mukjijat dari ayahnya.

"Wuuutttt…! Plakkk!"

Dia mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar lantas cepat sekali jari tangannya menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang sangat berbahaya dan pada waktu Cia Keng Hong menangkisnya, tahu-tahu Bun Houw telah berhasil melepaskan lengannya yang menempel tadi!

Cia Keng Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan mereka bersentuhan, dia cepat menggunakan Thi-khi I-beng, akan tetapi selalu Bun Houw dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh ayahnya. Akhirnya mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi I-beng tidak lagi mampu mengalahkan pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata,

"Cukup!"

Bun Houw maju dengan muka gembira. "Bagaimana pendapat ayah dan ibu? Luluskah aku?"

"Engkau hebat, aku tidak lagi sanggup menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!" Sie Biauw Eng berseru gembira.

"Aku girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau bahkan dapat menghadapi Thi-khi I-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan ilmu itu kepadamu, anakku?" Cia Keng Hong berkata.

"Aku mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja, dan ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri, ayah."

"Bagus, kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang, aku hendak melihat sampai di mana kemajuanmu."

Ayah dan ibu itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan tetapi Bun Houw hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, lalu mencabut pedangnya dan dia pun mulai bersilat pedang.

Mula-mula Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya masih dapat mengenal gerakan pedang yang indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat pada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang selalu bersilang-silang. Memang keistimewaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut terdapat pada gerakannya yang bersilang-silang.

Akan tetapi ketika makin lama Bun Houw mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya, empat orang murid tertua dari Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain mata mereka menjadi silau, juga mereka tidak mampu lagi mengenali ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang disertai angin menyambar-nyambar, bahkan mereka yang berada di sudut ruangan itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu.

Sesudah Bun Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-angguk. Tadi dia telah saling berbisik dengan isterinya bahwa kepandaian putera mereka itu sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan, sudah lebih dari cukup untuk putera mereka pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai.

"Baiklah, kau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang kita, Houw-ji. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja masih belum cukup kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap segala macam tipu muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya hanya ketenangan dan kewaspadaan."

Selama dua hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw menerima nasehat dan pesan-pesan dari ayah dan bundanya mengenai keadaan di dunia kang-ouw, tentang kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menuturkan pengalaman mereka pada waktu muda. Sungguh pun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu pukulan beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli tentang racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya yang berbentuk bunga bwee kepada puteranya.

"Setiap makanan atau minuman yang mencurigakan, kau coba dengan ujung tusuk konde ini. Bila ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius atau memabokkan, kalau berwarna hitam, terdapat racun yang mematikan," pesannya.

Sesudah beristirahat selama dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan tiga orang sute-nya juga berpamit dari guru atau ketua mereka untuk berusaha mencari jejak musuh-musuh besar itu, dan mengingat akan kedukaan serta kehilangan para muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak.

Maka berangkat pulalah keempat orang tua ini, dan mereka berempat sudah bersepakat bahwa mereka tidak akan kembali ke Cin-ling-pai sebelum mereka berhasil melaksanakan tugas, yaitu mendapatkan di mana adanya musuh-musuh besar itu, membalas dendam dan merampas kembali pedang pusaka.

Cia Keng Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu hanya menanti di Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil berjaga-jaga kalau-kalau ada lagi musuh yang datang mengacau Cin-ling-pai.

********************

Selanjutnya,