Dewi Maut Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA tujuh orang pendekar Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan pada bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong!

Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di sana dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang?

Melihat mereka berempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tak mempedulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata,

"Suheng, agaknya kita sudah salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!"

Sun Kiang melirik kepada sute-nya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sute-nya itu tidak langsung menghina orang, sungguh pun dia tahu bahwa sute-nya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduganya tentu para pengundang mereka.

Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan menatap dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa ketujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka tenang sekali.

"Omitohud... ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah hingga perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!"

Mendengar kata-kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suheng-nya, dia tidak langsung menjawab, melainkan hanya menatap langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak,

"Petani dan pendekar sama saja, keduanya sama-sama mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!"

"Sute...!" Sun Kiang menegur sute-nya karena ucapan sute-nya itu sudah terlalu pedas.

Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka. Karena itu sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjura ke arah mereka sambil berkata,

"Harap maafkan kami jika mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang..."

Gu Lo It, orang tua bertopi serta berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang kawannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangannya membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau,

"Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."

"Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.

"Ahhh, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggota Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak sejak tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!" Gu Lo It berkata.

Dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan, dan pandang nista dingin lelaki kurus yang bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja hendak mempermainkan mereka.

Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk, lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi yang pertama merupakan tempat duduk para suheng-nya yang tidak dapat hadir. Para sute-nya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.

"Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang sudah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling bertemu di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, biar pun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.

Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan kemudian berteriak kepada para pelayan,

"Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"

Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir mudik mengatur hidangan yang memang telah disiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di hadapan sebelas orang itu.

"Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya.

Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, hatinya terasa agak lega karena kiranya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hendak mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sute-nya, dan mereka pun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan biar pun tetap hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu.

Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak berhati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan.

Sambil makan dengan lahap, tiada henti-hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini dan minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itu mulai muak menyaksikan sikap empat orang ini, sebaliknya kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.

"Heh-heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.

Sun Kiang membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian)."

"Ha-ha-ha, sekarang pun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.

Gu Lo It memandang pada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri serta kawan-kawannya, "Saya adalah orang ke dua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan dia ini adalah orang ke tiga, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang ke empat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan yang ke lima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Sedangkan saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting."

Tujuh orang Cin-ling-pai itu merasa terkejut ketika mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka telah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru sekaligus ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini ialah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini merupakan sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat yang tidak baik terhadap Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.

"Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan."

Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil menatap tajam. "Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"

Sun Kiang tersenyum dan menggelengkan kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suheng-ku sedang pergi dari Cin-ling-san untuk melaksanakan sebuah tugas, maka saya dan enam orang sute-ku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."

"Ha-ha-ha, baguslah kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku di saat ini merupakan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa karena suheng-ku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!"

Sesudah berkata demikian, Gu Lo It lalu menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan saat melihat cara menghormat yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambil tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.

Mangkok berisi arak itu berputaran di udara dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan sepasang lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang.

"Hemmm..." Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sinkang yang hebat itu.

Dengan tenang dia pun mengangkat kedua tangannya, lurus ke depan dengan sepuluh jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sinkang melalui sepasang lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mukjijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.

Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oleh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang.

Maka terjadilah adu tenaga sinkang yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang duduk di sekeliling meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo sambil memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan hati bingung.

Kedua fihak terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang dan nampak betapa Gu Lo It menggetarkan dua lengannya, dan tenaga mukjijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan!

Pelan-pelan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han sehingga semua sute-nya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan dan mukanya sudah mulai berpeluh, karena itu terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek Sinkang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini.

"Uhhhhhh...!" Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, dan setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.

Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat dia menahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya!

Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega. Akan tetapi diam-diam mereka segera maklum bahwa kakek bertopi itu ternyata lihai bukan main hingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek Sinkang, baru dapat mengimbangi.

Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sinkang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat kelima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sinkang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek Sinkang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sinkang ini Sun Kiang masih dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang pengalamannya di dunia kangouw masih kurang sekali, apa lagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu.

Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sinkang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja.

Tiba-tiba saja diangkatnya kakinya dan dihentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapa pun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!

"Uhhhh... hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil.

Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It sehingga meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.

"Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"

Akan tetapi enam orang murid-murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sinkang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kiang yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju dan celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandang ke arah Gu Lo It.

"Kau... kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja.

"Kroookkkk...!"
Pinggiran meja itu remuk, lantas Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang dan tewaslah orang ke lima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi.

"Cuatt-cuatt-cuattt...!" Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun.

Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali dan bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dan dalam jarak yang dekat sekali tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Maka roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa sempat melakukan perlawanan apa pun!

"Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah sambil mencabut pedang dari balik bajunya.

Tiga orang suheng-nya juga telah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok dan orang ke empat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.

"Ha-ha-ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu.

Para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka melempar baki dan kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah.

Bubarlah semua tamu yang berada di bawah pada waktu mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlarian keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh perasaan khawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran.

Pertempuran di atas restoran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai segera maklum bahwa keempat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalas kematian tiga orang saudara mereka yang sudah menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.

Orang ke enam dari Cap-it Ho-han yang memakai senjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, telah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang mempergunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata serta Toat-beng-kauw Bu Sit yang memainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! Ada pun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai sapu tangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.

"Siluman betina, mampuslah kau!" Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak karena melihat kematian tiga orang suheng-nya secara mengerikan dan menjadi korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk ke arah mata kanan lawannya.

"Singgg... wuuutttt...!"

Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu sapu tangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu.

"Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang tidak kena!" Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke belakang.

Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperolehnya karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, bila meloncat seperti terbang saja. Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang sapu tangan merah yang lebar itu, yang dimainkannya seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.

Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu ginkang mau pun tenaga sinkang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong.

Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai sapu tangan merah pada tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja, kadang-kadang melurus bagaikan tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk yang ujungnya dapat dipergunakan sebagai alat penotok.

Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya setiap kali bertemu dengan sapu tangan yang lunak, dan beberapa kali ujung sapu tangan itu sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada saat-saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh.

"Ahhh…, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau malam ini kau menemani dan menghiburku?"

Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki, sudah semenjak tadi dia roboh. Maka sambil menggereng keras dia mainkan pedangnya semakin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan jurus-jurusnya yang paling ampuh.

Namun kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal. Bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.

Apa lagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga orang suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja dia pun maklum bahwa tiga orang suheng-nya itu, seperti tiga orang suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali.

Enam orang suheng-nya telah tewas semua! Mala petaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpi pun tidak! Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya!

Coa Seng Ki menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan sapu tangan merahnya.

"Omitohud...! Si Genit kenapa masih main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasanya menyebut Si Kelabang Terbang itu Si Genit, berseru saat melihat nenek itu hanya mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat membunuhnya.

"Hi-hi-hik, Hok Hosiang, aku merasa sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!" Nenek itu menjawab sambil mengelak dari satu tusukan, kemudian menggunakan jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan dengan nekat menyerang terus.

"Memang dia tidak perlu dibunuh!" Tiba-tiba Gu Lo It berkata. "Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!"

"Aih, sayang...!" Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani membantah perintah Si Iblis Bumi.

Tiba-tiba saja dua helai sapu tangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat, lalu sekali ujung sapu tangan menotok pergelangan tangan, pedang itu pun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas.

Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan sapu tangannya yang merampas pedang sehingga pedang itu segera meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, "Hok Hosiang, kau terimalah pedangnya!"

"Omitohud, kau main-main saja!" dengan ujung lengan bajunya yang besar, Hok Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan…

"Crappp!" pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang.

Melihat betapa pedangnya sendiri menancap di dada suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil berteriak keras dia menubruk ke arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah langsung menyambutnya dengan dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.

"Plakkk!" Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It.

"Dukkk!" Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.

"Huakkkkkk…!" Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.

“Dessss…! Krekk-krekk!" Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang terlempar ke arah Ciok Lee Kim.

"He-heh-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!" Nenek genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar dan lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng Ki sehingga kulit mukanya robek-robek dan berdarah.

Coa Seng Ki terbanting roboh dan tidak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores dan berdarah. Pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!

Empat orang itu tertawa bergelak, lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan sedang menggigil dan berkumpul di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil berkata,

"Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!"

Sambil tertawa-tawa puas, keempat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar saja mereka sudah menghilang di dalam kegelapan malam. Lama sesudah empat orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan segera mereka terkejut dan ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu. Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai di dekat puncak gunung.

Akan tetapi pada saat itu juga, tampak lima orang anggota Cin-ling-pai datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat dan tegang, dan mereka hendak melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka.

Dapat dibayangkan alangkah kaget hati mereka dan serta merta mereka menubruk para suheng mereka yang sudah rebah malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan kiamat bagi mereka.

Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di Cin-ling-pai dan mereka kini dihadapkan dengan mala petaka yang lebih hebat pula, yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.

Apakah yang telah terjadi di pusat Cin-ling-pai hingga lima orang anggotanya itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul tujuh orang murid kepala yang sedang memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu?

Ternyata di malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua anggota Cin-ling-pai telah diberi tahu mengenai tantangan Lima Bayangan Dewa, dan karena tujuh orang murid kepala pergi mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para penantang, maka para anggota Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa amat tegang karena mengerti bahwa para pimpinan mereka pergi ke Han-tiong untuk menghadapi lawan yang tangguh yang dapat dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di ujung tiang bendera.

Keadaan di markas Cin-ling-pai yang dikurung oleh pagar tembok itu menjadi amat sunyi. Penjagaan ketat segera dilakukan oleh para anggotanya, terutama sekali di semua pintu gerbang dan di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada waktu itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya, secara bergiliran mengelilingi pagar tembok.

Semenjak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendek kata, semua anggota Cin-ling-pai dan keluarga mereka bersiap sedia dengan hati penuh ketegangan.

Mereka hanya berharap supaya para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa semuanya sudah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Biar pun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka merasa agak gelisah karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.

Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-lampu telah dipasang, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan serta keributan di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-senjata dan teriakan-teriakan para penjaga.

Tentu saja para penjaga segera berlarian ke tempat itu dan ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang sangat aneh. Belasan orang anggota Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggota Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, biar pun orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri tubuhnya itu tiba-tiba saja menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang melindungi seluruh tubuh orang itu!

Melihat kedatangan banyak orang lagi untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, mendadak di pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang bertugas menjaga di tempat itu!

Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Lelaki itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikuncir panjang, pakaiannya sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sulit mengira-ngira usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja.

Gerak-geriknya halus, akan tetapi tiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat sehingga lima enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata segera menyeleweng dan terpental begitu kena disambar angin tangkisannya.

Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan meski pun belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri akibat sambaran angin pukulan tangannya, namun tidak ada seorang pun yang terluka hebat apa lagi tewas. Agaknya orang ini hanya ingin mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan!

Dengan perbuatannya yang sangat aneh ini, semua anggota Cin-ling-pai menjadi kacau balau dan geger. Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, akan tetapi orang itu mempunyai kepandaian sedemikian tingginya sehingga sanggup menggegerkan seluruh anggota Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu.

Pada saat untuk kelima kalinya orang itu meloncat kemudian menghilang, para anak buah Cin-ling-pai segera menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke mana pun tidak dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian banyak orang.

Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han dengan diam-diam melakukan perondaan di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka berlima merupakan orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi pada saat itu, dan mereka berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang dahsyat, karena itu mereka pun tidak membawa senjata, karena keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan terlatih baik.

Mereka berlima lalu berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena di sebelah dalam menara itu juga telah dijaga ketat. Untuk dapat naik ke puncak menara di mana tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah terlatih.

Setengah jam lewat dan biar pun semua anggota masih mencari-cari, namun hati mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendadak terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa yang menyeramkan tadi, suara si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.

Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu pada waktu mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang sekarang dikempit oleh lengan orang itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!

"Pencuri hina...!"

"Kembalikan Siang-bhok Pokiam!"

Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja.

Ketika ada seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung mengirimkan pukulannya yang ampuh, mempergunakan jurus yang paling lihai dari San-in Kun-hoat, yaitu In-keng Hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sinkang yang ampuh.

"Dukkk!"

Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul hanya tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya laksana tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah tertawa panjang kembali dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.

"Tangkap pencuri...!"

"Dia mencuri Siang-bhok Pokiam!"

Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai sudah dicuri, mereka menjadi marah sekali.

Bagaikan hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloncat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya senjata rahasia secara tepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi semuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!" Setelah berkata demikian, orang itu lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Pengecut, tinggalkan namamu!" teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba saja orang yang berteriak ini roboh terjengkang, dan ketika kawan-kawannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh terdengar suara tertawa.

"Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok!"

Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger luar biasa. Lima orang murid lihai yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu segera bergegas meninggalkan Cin-ling-pai menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan mala petaka yang menimpa markas Cin-ling-pai hingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam lenyap dicuri oleh orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu.

Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa mala petaka yang lebih hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo sebab enam orang di antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-luka sangat hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut!

Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat serta Coa Seng Ki yang terluka parah itu ke Cin-ling-pai, di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga mereka yang tewas.

Bermacam-macam sikap anggota keluarga yang ditinggal mati oleh salah seorang dalam keluarga itu. Akan tetapi pada umumnya mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu yang dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangan ini yang mendatangkan duka.

Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun ‘demi kesopanan’ terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apa lagi jika disertai dengan keluh-kesah dan ratapan, lebih sulit dari pada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa gembira.

Yang hebat, lucu serta aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung dengan ‘menyewa’ tukang menangis! ‘Para tukang menangis’ ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling menyedihkan untuk ‘memancing’ air mata para keluarga yang sudah hampir mengering.


Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apa lagi pada pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu, dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggota Cin-ling-pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu berisi mayat-mayat enam orang anggota Cap-it Ho-han serta seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.

Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan jika melihat para anggota keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi seram karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar sejak malam tadi.

Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biar pun sejak kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara atau suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak ada lagi terdengar suara tangisan. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Kini mereka tidak lagi mengucurkan air mata dan meratap, terutama sekali hal ini mereka paksakan terhadap perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka nestapa itu.

Sejak pagi hingga tengah hari tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi sumbangan sambil mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han sebaliknya mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega bagaikan orang-orang yang sudah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada para anggota Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari serta menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu.

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak mungkin dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang lihai ada pun para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tidak mampu melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.

Sesudah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan menjelang senja sudah tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan berkabung.

Sesudah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu telah enam puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek tinggi kurus yang berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To), yang melangkah masuk kemudian mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.

Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid Cin-ling-pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, ada pun kakek tosu itu dengan suaranya yang amat halus bertanya tentang mereka yang mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang.

Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih,

"Sayang, sayang... sungguh penasaran sekali kenapa kalian mati di tangan orang lain...!"

Semua anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras. Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti mati, seolah-olah papan peti mati yang sangat keras itu hanya terbuat dari agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan serta keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.

Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk tutup setiap peti dan mulutnya berkata lirih akan tetapi cukup keras untuk terdengar oleh mereka yang berada di ruangan itu. "Memang sayang sekali, akan tetapi kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup terhormat, karena yang pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."

Semua orang semakin kaget, apa lagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk tutup peti mati, tampak tanda telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir saja!

Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat, maka tentu saja mereka mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa mereka berdua sudah menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan mengeroyok!

Akan tetapi dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan yang kehilangan komandan, merasa tak berdaya dan bingung, sehingga sekarang mereka pun ragu-ragu dan menunggu sampai ada seorang di antara mereka yang memulai. Tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan tetapi orangnya tidak nampak!
Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa
seorang manusia,
semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan
nilai isi.
Betapa banyaknya berkeliaran
di dunia
hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!


Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang kemudian membalikkan tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama sangat menarik hati karena anehnya.

Dia seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Bajunya kembang-kembang, celananya kotak-kotak, kepalanya yang berambut putih itu tertutup topi kopyah seperti yang biasanya dipakai oleh seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar!

Ada pun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah. Tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.

Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak mempedulikan tosu serta tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian menaruh hio di tempat dupa di depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas peti mati pertama tadi sambil berkata,

"Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!"

Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang jadi melongo. Siapa yang tak akan terkejut dan merasa heran saat mereka melihat betapa hio-hio yang tadi oleh tokouw itu ditancapkan secara luar biasa di atas peti mati yang keras, sekarang seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan ‘berjalan’ turun dari peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain!

Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, "Hemm, kenapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya? Biarlah kuratakan."

Dengan tangannya dia lantas mengusap di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi meski pun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali.

Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu, terkejut dan segera maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu itu menjura dari jauh dan berkata, "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang bernama Cia Keng Hong?"

Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, "Pertanyaan aneh! Seorang tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berdua pun hanya tamu, akan tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di rumah."

Tosu dan tokouw itu segera saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh.

"Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!" Setelah berkata demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi.

Dua orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa dua orang itu sudah pergi jauh, kakek tinggi kurus yang lebih muda itu menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh berbahaya...!"

Kakek berbaju kembang-kembang juga menghela napas. "Kita harus memetik buah dari pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke (sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekali pun selalu masih ada musuh yang mencarinya! Sayang sekali..." Dia menggeleng-geleng kepala.

Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju dan murid-murid tertua segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek berbaju kembang-kembang, "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"

Kakek itu tertawa. "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan berhasil membikin jeri mereka, agaknya kalian terpaksa harus menyediakan sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!"

Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu hoatsut (sihir), yang selalu tertawa dan gembira, yang sudah beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua Cin-ling-pai.

Ketua Cin-ling-pai, yakni Pendekar Sakti Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini sudah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.

Ada pun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang tadi dengan usapan tangannya dapat meratakan kembali permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi serta bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati).

Sudah sering kali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang kakek ini telah pensiun. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia.

Pengalaman orang she Tio ini hebat bukan main, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo ketika menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang mempunyai kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu.

Karena itu dia sudah memiliki pandangan yang awas, dan dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi sehingga andai kata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia yang akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguh pun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong.

Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai, Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu segera bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai ada tujuh anggotanya yang tewas terbunuh. Beberapa murid Cin-ling-pai segera menceritakan tentang semua mala petaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu.

Terkejut juga hati kedua orang kakek itu ketika mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam telah dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Pada waktu mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.

"Ahhh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang dulu tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suheng-nya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?"

Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.

"Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah..." murid Cin-ling-pai menerangkan.

"Di mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya," Hong Khi Hoatsu berkata.

Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam.

Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh khawatir karena biar pun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan bisa bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.

Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki. Akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tak dapat disembuhkan lagi karena selain di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah juga darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja.

"Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?" tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.

Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepalanya. "Seperti telah kau ketahui, dia tak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."

Tio Hok Gwan menarik napas panjang. "Hanya dia seorang yang mengetahui nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa."

Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. "Dengan kekuatan sihir mungkin aku masih dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah."

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, "Betapa pun juga, dia tak dapat disembuhkan lagi sedangkan nama-nama empat orang penjahat itu sangat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian saja sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."

Hong Khi Hoatsu mengangguk. "Memang aku pun berpikir demikian. Ehh, bagaimanakah pendapat kalian?" tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu.

Mereka saling pandang. Mereka tadi sudah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata,

"Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semua juga tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya."

"Baiklah, dan kami pun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas perbuatan kami ini. Nah, sekarang mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?"

Seorang murid memberi tahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.

Hong Khi Hoatsu segera mendekati si sakit, mengurut-urut serta memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan dua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengarlah dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat hingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu.

"Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhu-mu, aku adalah besan suhu-mu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!"

Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!

"Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu terhadap suhu-mu dan Cin-ling-pai, jawablah...!" Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya semakin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat.

Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya supaya dapat memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga mukjijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dan dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih.

Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Walau pun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu telah mengerahkan sinkang sekuatnya, hal yang amat berbahaya. Tetapi dia tidak berani membantu, khawatir kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.

"Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"

Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu sekarang bergerak semakin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan, "...teecu (murid) mendengar..."

"Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhu-mu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suheng-mu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?"

Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil bagaikan orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti, "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... lalu Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh..." Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.

"Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"

Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi, "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!"

Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.

"Berakhirlah sudah...," katanya.

Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!

"Harap kalian tidak terlalu berduka." Hong Khi Hoatsu berkata setelah mengatur kembali pernapasannya. "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu."

Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai sudah tahu siapa saja nama kelima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biar pun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, tapi mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

"Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andai kata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini," Tio Hok Gwan berkata. "Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan mala petaka yang telah menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."

Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia lalu berkata, "Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong."

Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini sudah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san.

Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin.

Ada pun Hong Khi Hoatsu menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu

********************

Seluruh wilayah Negara Tibet berupa daerah pegunungan yang sambung-menyambung, pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai benteng panjang yang menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan, ada pun golongan yang paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama.

Karena seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi serta mulia, maka tentu saja terjadi pula perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang kala saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning dan kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak.

Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak, akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng. Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan menekuni hidup sebagai pertapa yang saleh.

Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Sekarang usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun akan tetapi tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa.

Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggota Lama Jubah Merah juga tak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama itu pun ikut terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga kepandaian mereka menjadi semakin masak...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 03

Dewi Maut Jilid 03
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KETIKA tujuh orang pendekar Cin-ling-pai itu memasuki ruangan loteng, mereka melihat bahwa meja di situ telah diatur memanjang. Di bagian dalam duduklah empat orang yang sedang minum-minum dan pada bagian luar meja terdapat sebelas buah bangku kosong!

Melihat sikap empat orang aneh yang duduk minum-minum di sana dan tidak ada orang lain di ruangan atas ini, maka Sun Kiang mengerutkan alisnya. Tidak salah lagi, tentulah mereka ini yang mengirim undangan, akan tetapi mengapa Lima Bayangan Dewa hanya ada empat orang?

Melihat mereka berempat itu minum-minum dan agaknya sama sekali tak mempedulikan kedatangan mereka, Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han, segera berkata,

"Suheng, agaknya kita sudah salah masuk. Aku tidak melihat ada bayangan dewa-dewa atau setan di sini!"

Sun Kiang melirik kepada sute-nya yang bungsu itu, akan tetapi dia tidak marah karena sute-nya itu tidak langsung menghina orang, sungguh pun dia tahu bahwa sute-nya tentu mendongkol menyaksikan sikap empat orang itu yang diduganya tentu para pengundang mereka.

Mendengar ucapan ini, Liok-te Sin-mo Gu Lo It mengangkat mukanya memandang tujuh orang petani itu dan menatap dengan penuh selidik. Tidak ada tanda sedikit pun bahwa ketujuh orang ini adalah pendekar-pendekar besar, kecuali bahwa sikap mereka tenang sekali.

"Omitohud... ha-ha-ha!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang tertawa, kepalanya yang gundul bergerak-gerak ke belakang karena dia tertawa dengan muka menengadah hingga perutnya yang gendut berguncang-guncang. "Ha-ha-ha-ha, pinceng sungguh tidak dapat menjawab, kalau para pendekar menjadi petani, para petani lalu menjadi apa, sebaliknya kalau para petani menjadi pendekar, para pendekar lalu menjadi apa? Ha-ha-ha!"

Mendengar kata-kata ejekan ini, kembali Coa Seng Ki yang tidak dapat menahan dirinya, akan tetapi karena dia segan untuk melanggar perintah dan pesan suheng-nya, dia tidak langsung menjawab, melainkan hanya menatap langit-langit loteng sambil berkata seperti bersajak,

"Petani dan pendekar sama saja, keduanya sama-sama mempunyai tugas penting. Tanpa adanya petani-petani, para pemalas gendut akan kelaparan dan tanpa adanya pendekar-pendekar, penjahat-penjahat di dunia merajalela!"

"Sute...!" Sun Kiang menegur sute-nya karena ucapan sute-nya itu sudah terlalu pedas.

Sun Kiang yang melihat sikap empat orang itu seolah-olah tak mengacuhkan kedatangan mereka, sebetulnya juga merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, menurut tulisan di ujung tiang bendera, yang mengundang adalah Lima Bayangan Dewa, mengapa yang berada di tempat itu hanya empat orang? Dia khawatir kalau-kalau keliru dan empat orang aneh ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan para pengundang mereka. Karena itu sambil menekan perasaan mendongkolnya dia menjura ke arah mereka sambil berkata,

"Harap maafkan kami jika mengganggu, kami bertujuh dari Cin-ling-pai datang memenuhi suatu undangan, akan tetapi yang mengundang kami berjumlah lima orang..."

Gu Lo It, orang tua bertopi serta berhidung besar itu, bangkit berdiri dengan perlahan, diturut oleh tiga orang kawannya dan kini kedua fihak berdiri saling berhadapan. Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga mengangkat kedua tangannya membalas penghormatan Sun Kiang sambil berkata, suaranya parau,

"Kami adalah empat orang di antara Lima Bayangan Dewa, akan tetapi yang kami undang adalah ketua Cin-ling-pai dan sebelas orang Cap-it Ho-han."

"Ketua kami sedang pergi, dan di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, yang ada hanya kami bertujuh, karena itu kami bertujuh mewakili ketua dan para suheng kami memenuhi undangan itu," jawab Sun Kiang dengan sikap tenang.

"Ahhh, kiranya jit-wi (anda bertujuh) adalah para anggota Cap-it Ho-han. Maafkan karena tidak mengenal, kami tidak sejak tadi menyambut. Silakan jit-wi duduk!" Gu Lo It berkata.

Dari pandang matanya, juga dari suara ketawa hwesio gendut itu, ditambah sikap nenek yang mengerling genit penuh ejekan, dan pandang nista dingin lelaki kurus yang bermuka kuning, mengertilah ketujuh orang Cap-it Ho-han bahwa empat orang itu sengaja hendak mempermainkan mereka.

Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk, lalu duduk di tengah-tengah antara sebelas kursi yang berjajar itu, membiarkan empat kursi di sebelah kanannya kosong, karena dia menganggap bahwa empat kursi yang pertama merupakan tempat duduk para suheng-nya yang tidak dapat hadir. Para sute-nya juga duduk di sebelah kiri Sun Kiang, sesuai dengan urutan tingkat mereka dan yang paling ujung kiri duduklah Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han.

"Terima kasih atas kebaikan Lima Bayangan Dewa yang sudah mengundang kami dari Cin-ling-pai. Setelah kita saling bertemu di sini, kami mewakili Cin-ling-pai untuk bertanya apa maksud dari Lima Bayangan Dewa mengundang kami secara tidak sewajarnya itu." Sun Kiang berkata dengan sikap masih halus menghormat, biar pun kata-katanya cukup jelas merupakan peneguran.

Gu Lo It tertawa dan tiga orang kawannya juga tertawa, suara ketawa mereka memenuhi ruangan itu dengan nada mengejek. Hampir saja Coa Seng Ki orang termuda dari Cap-it Ho-han tidak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi mengingat akan pesan Sun Kiang, dia menahan diri, hanya memandang dengan mata bersinar-sinar kepada empat orang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kami mendengar nama Cin-ling-pai dan para tokohnya, Cap-it Ho-han yang menjulang tinggi, maka kami sengaja mengirim undangan untuk berkenalan dan menjamu cu-wi di restoran ini." Tanpa menanti jawaban, dengan sikap kasar Gu Lo It lalu menoleh, bertepuk tangan kemudian berteriak kepada para pelayan,

"Cepat keluarkan hidangan dan tambah lagi arak wangi!"

Para pelayan yang tadinya berdiri menjauh dengan hati berdebar tegang, kini cepat hilir mudik mengatur hidangan yang memang telah disiapkan di dapur, turun naik anak tangga membawa baki-baki berisi masakan-masakan dan mengaturnya di atas meja di hadapan sebelas orang itu.

"Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, silakan makan minum bersama kami!" Gu Lo It berkata lantang dan dia bersama tiga orang temannya segera mulai makan dengan lahapnya.

Melihat sikap empat orang itu, Sun Kiang terheran-heran dan juga saling pandang dengan saudara-saudaranya, hatinya terasa agak lega karena kiranya empat orang di antara Lima Bayangan Dewa ini agaknya merupakan orang-orang luar biasa yang hendak mengenal mereka saja! Karena itu, Sun Kiang mengangguk memberi tanda kepada para sute-nya, dan mereka pun mulai menggunakan sendok dan sumpit untuk menerima hidangan biar pun tetap hati-hati karena mereka belum yakin benar apa yang tersembunyi di balik sikap ramah kasar dan aneh dari empat orang di depan mereka itu.

Empat orang itu memang kasar sekali sikapnya. Mereka makan tanpa sungkan-sungkan lagi, dan hanya Hui-giakang Ciok Lee Kim nenek pesolek itu saja yang makan dengan agak berhati-hati karena takut kalau bibir merahnya sampai terhapus oleh kuah masakan yang dimasukkannya ke mulut. Akan tetapi begitu daging yang disumpitnya sudah masuk ke dalam mulutnya dengan aman tanpa merusak pemerah bibirnya, dia mengunyah dan terdengarlah suara berdecapan seperti bunyi babi makan.

Sambil makan dengan lahap, tiada henti-hentinya empat orang itu memerintahkan kepada pelayan untuk mengambilkan kecap, cuka, sebentar minta ini dan minta itu sehingga para pelayan menjadi sibuk hilir-mudik. Diam-diam para pelayan itu mulai muak menyaksikan sikap empat orang ini, sebaliknya kagum bercampur bangga melihat sikap jagoan-jagoan mereka, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han itu yang bersikap demikian tenang dan juga penuh kesopanan.

"Heh-heh-heh-heh, Cap-it Ho-han terkenal hebat, sebagai jagoan-jagoan atau tokoh-tokoh utama dari Cin-ling-pai. Kami gembira sekali dapat berkenalan!" Gu Lo It berkata sambil menyapu tujuh orang di depannya itu dengan pandang matanya, dan dia mengusap arak dari pinggir mulutnya.

Sun Kiang membungkuk. "Cu-wi terlalu memuji dan maafkan karena kami selalu tinggal di pegunungan yang sunyi maka kami belum sempat mengenal nama besar dari cu-wi (anda sekalian)."

"Ha-ha-ha, sekarang pun belum terlambat bagi Cap-it Ho-han untuk mengenal nama Lima Bayangan Dewa, yah, sekarang belum terlambat!" Tiba-tiba Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang berkata dan menepuk-nepuk perutnya yang gendut.

Gu Lo It memandang pada Sun Kiang dan dengan sinar mata tajam dia memperkenalkan diri serta kawan-kawannya, "Saya adalah orang ke dua dari Lima Bayangan Dewa, saya Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan dia ini adalah orang ke tiga, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang ke empat ini adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan yang ke lima adalah Toat-beng-kauw Bu Sit. Sedangkan saudara tertua kami, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, sedang pergi melakukan suatu urusan yang amat penting."

Tujuh orang Cin-ling-pai itu merasa terkejut ketika mendengar nama terakhir tadi sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa. Mereka telah mendengar nama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dari guru sekaligus ketua mereka. Menurut guru mereka, Pat-pi Lo-sian ini ialah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok (Raja Ular Selaksa Racun) yang tewas di tangan guru mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Maka kini mereka mulai menduga-duga. Kalau empat orang ini merupakan sekutu Pat-pi Lo-sian, tentu mereka berlima mempunyai niat yang tidak baik terhadap Cin-ling-pai. Akan tetapi dengan tenang Sun Kiang mengangguk.

"Nama-nama besar cu-wi tidak akan kami lupakan."

Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau sambil menatap tajam. "Apakah engkau yang menjadi orang pertama dari Cap-it Ho-han?"

Sun Kiang tersenyum dan menggelengkan kepala. "Saya yang bodoh bernama Sun Kiang dan hanya menjadi murid ke lima. Empat orang suheng-ku sedang pergi dari Cin-ling-san untuk melaksanakan sebuah tugas, maka saya dan enam orang sute-ku datang mewakili Cin-ling-pai memenuhi undangan cu-wi."

"Ha-ha-ha, baguslah kalau begitu! Saat ini engkau adalah orang pertama dari Cin-ling-pai, seperti juga aku di saat ini merupakan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa karena suheng-ku tidak ada. Nah, saya mewakili Lima Bayangan Dewa memberi penghormatan semangkok arak kepada engkau sebagai wakil Cin-ling-pai. Terimalah!"

Sesudah berkata demikian, Gu Lo It lalu menuangkan arak di mangkok bekas dia makan tadi, kemudian dia melontarkan mangkok itu ke atas! Semua orang memandang dan para pelayan menjadi ketakutan saat melihat cara menghormat yang aneh ini, bahkan seorang pelayan yang sedang mengambil tambahan kecap seperti yang diminta oleh Hok Hosiang yang gembul, menjadi takut untuk mendekat meja.

Mangkok berisi arak itu berputaran di udara dan Gu Lo It tidak menurunkan tangannya, bahkan meluruskan sepasang lengannya ke arah mangkok yang berputaran di udara itu kemudian kedua tangannya tergetar dan mangkok itu meluncur turun menyambar ke arah Sun Kiang.

"Hemmm..." Sun Kiang maklum akan perbuatan lawan yang mungkin hendak mengujinya dengan mendemonstrasikan tenaga sinkang yang hebat itu.

Dengan tenang dia pun mengangkat kedua tangannya, lurus ke depan dengan sepuluh jari tangannya terbuka dan dia sudah menyalurkan sinkang melalui sepasang lengannya itu sehingga ketika kedua tangannya bergerak, tenaga mukjijat terhembus keluar dari telapak tangannya menyambar mangkok arak yang meluncur ke arahnya.

Terjadilah suatu keanehan seperti permainan sulap atau sihir saja. Mangkok yang terisi arak setengahnya itu terhenti di udara seperti dipegangi oleh tangan yang tidak kelihatan, terhimpit antara dua tenaga raksasa yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Gu Lo It dan Sun Kiang.

Maka terjadilah adu tenaga sinkang yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang duduk di sekeliling meja, yang memandang dengan sikap tegang. Para pelayan berdiri melongo sambil memandang penuh keheranan, tidak mengerti apa yang terjadi hanya memandang mangkok yang bergerak-gerak di udara itu dengan hati bingung.

Kedua fihak terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Mula-mula mangkok itu condong ke arah Sun Kiang dan nampak betapa Gu Lo It menggetarkan dua lengannya, dan tenaga mukjijat yang amat kuatnya mendorong mangkok atau setidaknya membuat mangkok miring ke arah lawan agar isinya menyiram muka lawan!

Pelan-pelan mangkok itu mulai miring ke arah orang kelima dari Cap-it Ho-han sehingga semua sute-nya memandang ke arah Sun Kiang dengan hati cemas. Sun Kiang sendiri maklum akan kekuatan lawan dan mukanya sudah mulai berpeluh, karena itu terpaksa dia mengeluarkan tenaga simpanannya, yaitu Thai-kek Sinkang, ilmu rahasia yang diturunkan oleh Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala ini.

"Uhhhhhh...!" Suara dari dalam dada Sun Kiang ini membubung melalui tenggorokan, dan setibanya di mulut hanya terdengar seperti keluhan, mukanya menjadi pucat dan kedua telapak tangannya perlahan-lahan berubah merah.

Gu Lo It terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja kekuatan lawan menjadi hebat sekali. Dia cepat mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak kuat dia menahan sehingga kini mangkok di udara itu mulai condong dan miring ke arahnya, isinya mulai mengancam untuk menyiram mukanya!

Hati para murid Cin-ling-pai menjadi lega. Akan tetapi diam-diam mereka segera maklum bahwa kakek bertopi itu ternyata lihai bukan main hingga suheng mereka terpaksa harus mengerahkan Thai-kek Sinkang, baru dapat mengimbangi.

Tingkat kepandaian Lima Bayangan Dewa sudah amat tinggi dan terutama sekali Liok-te Sin-mo Gu Lo It memiliki sinkang yang kuat. Dibandingkan dengan murid-murid kepala Cin-ling-pai, tingkat kelima orang datuk kaum sesat itu lebih tinggi, dan pada umumnya, tenaga Sun Kiang juga tidak dapat melawan tenaga Gu Lo It. Akan tetapi, sinkang dari murid kelima Cin-ling-pai ini adalah Thai-kek Sinkang yang amat murni, yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong kepada sebelas orang murid kepala itu sebagai ilmu simpanan, maka dengan mengandalkan sinkang ini Sun Kiang masih dapat mengimbangi bahkan mendesak lawan yang lebih kuat!

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai ini adalah orang-orang jujur yang pengalamannya di dunia kangouw masih kurang sekali, apa lagi menghadapi datuk-datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi juga amat curang dan mempunyai banyak tipu muslihat busuk itu.

Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa ketika dengan kaget sekali melihat kanyataan betapa tenaga sinkang murid Cin-ling-pai itu demikian hebatnya dan mangkok arak itu mengancam akan menyiram mukanya, diam-diam Mok-te Sin-mo Gu Lo It meluruskan kaki kirinya di bawah meja dan ujung sepatunya diarahkan ke perut Sun Kiang yang duduk di depannya di seberang meja.

Tiba-tiba saja diangkatnya kakinya dan dihentakkan tumitnya di atas lantai dl bawah meja dan seketika meluncurlah sinar hitam ke depan dan tentu saja tanpa dapat dicegah dan diketahui oleh siapa pun, benda hitam itu menyambar ke perut Sun Kiang!

"Uhhhh... hukkkk...!" Sun Kiang terbelalak, bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil.

Mangkok arak itu kini terdorong oleh tenaga sakti Gu Lo It sehingga meluncur ke arah kepalanya, membalik dan arak menyiram muka Sun Kiang yang kini sudah menggunakan kedua tangan mendekap perutnya, kemudian mangkok itu terbang kembali ke tangan Gu Lo It yang tertawa.

"Ha-ha-ha, terima kasih bahwa engkau telah menerima suguhan arakku!"

Akan tetapi enam orang murid-murid Cin-ling-pai yang lain tidak melihat hal itu sebagai kekalahan mengadu sinkang dari suheng mereka. Mereka terbelalak memandang ke arah perut Sun Kiang yang kini tampak setelah suheng mereka itu berdiri. Darah membasahi baju dan celana sekitar perut dan Sun Kiang melotot memandang ke arah Gu Lo It.

"Kau... kau...!" Tangannya mencengkeram ke atas meja.

"Kroookkkk...!"
Pinggiran meja itu remuk, lantas Sun Kiang terhuyung ke belakang, bangkunya terguling kemudian tubuhnya roboh terjengkang dan tewaslah orang ke lima dari Cap-it Ho-han itu dengan mata melotot! Paku hitam yang meluncur keluar dari sepatu rahasia Gu Lo It itu mengandung racun yang amat hebat sehingga Sun Kiang tidak dapat bertahan lagi.

"Cuatt-cuatt-cuattt...!" Dari sepatu Gu Lo It yang berada di bawah meja kembali meluncur tiga batang paku beracun.

Kini enam orang murid kepala Cin-ling-pai sudah tahu akan kecurangan lawan. Mereka marah sekali dan bergerak meloncat ke belakang, akan tetapi tetap saja dua di antara tiga batang paku itu mengenai sasaran karena dilepas dari bawah dan dalam jarak yang dekat sekali tanpa dilihat atau diketahui oleh mereka yang diserang. Maka roboh pula dua orang murid Cin-ling-pai yang lihai, berkelojotan dan tewas seketika tanpa sempat melakukan perlawanan apa pun!

"Iblis-iblis keji, kalian bermain curang!" Coa Seng Ki membentak marah sambil mencabut pedang dari balik bajunya.

Tiga orang suheng-nya juga telah mencabut senjata masing-masing, seorang memegang pedang, seorang memegang golok dan orang ke empat mengeluarkan senjatanya yang berupa tongkat berlapis baja.

"Ha-ha-ha-ha-ha, kami Lima Bayangan Dewa memang hendak membunuh Cap-it Ho-han dan ketua Cin-ling-pai!" Gu Lo It tertawa bergelak dan bersama tiga orang temannya dia sudah meloncati meja dan menerjang empat orang murid Cin-ling-pai itu. Segera terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam ruangan atas dari restoran itu.

Para pelayan menjadi kaget dan ketakutan. Mereka melempar baki dan kain putih yang tadinya selalu tersampir di pundak, kemudian lari menuruni loteng itu, demikian takut dan tergesa-gesa sampai hampir menggelundung dari loteng ke ruangan bawah.

Bubarlah semua tamu yang berada di bawah pada waktu mendengar ribut-ribut dan suara beradunya senjata di atas ruangan itu. Mereka berlarian keluar dan bersembunyi di luar sambil menonton ke ruangan atas yang tampak dari jauh, dengan hati penuh perasaan khawatiran karena mendengar para pelayan itu bercerita betapa tiga orang anak murid Cin-ling-pai telah roboh dan tewas secara aneh sebelum terjadi pertempuran.

Pertempuran di atas restoran itu berlangsung dengan hebat dan mati-matian. Para murid kepala Cin-ling-pai segera maklum bahwa keempat orang manusia iblis itu menghendaki nyawa mereka, maka mereka membela diri dengan mati-matian dan juga ingin membunuh musuh untuk membalas kematian tiga orang saudara mereka yang sudah menjadi korban kecurangan fihak musuh itu.

Orang ke enam dari Cap-it Ho-han yang memakai senjata tongkat, yang tingkatnya tepat di bawah Sun Kiang menurut urutan tingkat sebelas orang Cap-it Ho-han, telah menerjang Gu Lo It dan dihadapi oleh Liok-te Sin-mo ini dengan tangan kosong saja! Dua orang lain menghadapi Hok Hosiang yang mempergunakan tasbeh batu hijau sebagai senjata serta Toat-beng-kauw Bu Sit yang memainkan sebatang toya panjang dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sehingga tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar toyanya! Ada pun Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han melawan Ciok Lee Kim, nenek genit yang mainkan dua helai sapu tangan merah secara hebat sekali sambil terkekeh-kekeh genit.

"Siluman betina, mampuslah kau!" Coa Seng Ki yang kemarahannya sudah memuncak karena melihat kematian tiga orang suheng-nya secara mengerikan dan menjadi korban serangan gelap yang amat curang, menggerakkan pedangnya dengan dahsyat, menusuk ke arah mata kanan lawannya.

"Singgg... wuuutttt...!"

Pedang itu menyeleweng arahnya ketika terbentur dari samping oleh benda lembut, yaitu sapu tangan di tangan kanan wanita yang tertawa mengejek itu.

"Hi-hik, kau yang termuda dan paling ganteng di antara Cap-it Ho-han. Haiiit, sayang tidak kena!" Dengan gerakan yang cepatnya luar biasa sekali, ketika pedang itu menyambar dengan bacokan dari samping, wanita itu sudah melesat ke belakang.

Ciok Lee Kim berjuluk Si Kelabang Terbang, tentu saja julukan ini diperolehnya karena memang ilmunya meringankan tubuh amat lihai, gerakannya ringan dan lincah sekali, bila meloncat seperti terbang saja. Sedangkan julukan Kelabang adalah karena dia seorang ahli racun dan sepasang sapu tangan merah yang lebar itu, yang dimainkannya seperti seorang penari sedang beraksi di panggung menari-nari akan tetapi yang sesungguhnya merupakan senjata yang amat ampuh, mengandung racun yang amat berbahaya.

Ilmu pedang yang dimainkan Coa Seng Ki sebetulnya adalah ilmu pedang yang murni dan kuat bukan main. Akan tetapi karena memang dia kalah tingkat, kalah dalam ilmu ginkang mau pun tenaga sinkang, maka ilmu pedangnya itu tidak banyak menolong.

Lawannya, nenek yang tersenyum-senyum genit itu memang luar biasa sekali. Dua helai sapu tangan merah pada tangannya itu kadang-kadang bisa kaku dan keras seperti baja, kadang-kadang melurus bagaikan tongkat besi, kadang-kadang juga lemas kembali akan tetapi amat kuat seperti cambuk yang ujungnya dapat dipergunakan sebagai alat penotok.

Getaran pedang yang hebat dari Coa Sang Ki menjadi musnah kekuatannya setiap kali bertemu dengan sapu tangan yang lunak, dan beberapa kali ujung sapu tangan itu sudah menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang berbahaya, akan tetapi pada saat-saat terakhir sengaja ditarik kembali oleh nenek itu sambil terkekeh.

"Ahhh…, sayang kalau membunuhmu! Bagaimana kalau malam ini kau menemani dan menghiburku?"

Sikap dan ucapan ini membuat Coa Sang Ki makin marah. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali dan bahwa dia sengaja dipermainkan karena kalau wanita itu menghendaki, sudah semenjak tadi dia roboh. Maka sambil menggereng keras dia mainkan pedangnya semakin hebat dan dengan nekat dia melakukan serangan dengan jurus-jurusnya yang paling ampuh.

Namun kecepatan wanita itu membuat semua serangannya gagal. Bahkan ketika Ciok Lee Kim berkelebatan kadang-kadang lenyap kadang-kadang tampak, dia mulai menjadi pening dan seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat.

Apa lagi ketika berturut-turut terdengar teriakan dan keluhan disusul robohnya tiga orang suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi makin marah dan duka. Sekali pandang saja dia pun maklum bahwa tiga orang suheng-nya itu, seperti tiga orang suheng pertama, telah roboh untuk tidak bangun kembali.

Enam orang suheng-nya telah tewas semua! Mala petaka yang terjadi secara serentak dan tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah terduga-duga, dalam mimpi pun tidak! Betapa enam orang dari Cap-it Ho-han roboh dan tewas begitu saja, begitu mudahnya!

Coa Seng Ki menjadi mata gelap dan sambil menggigit bibir dan air matanya berlinangan, dia menubruk dan melakukan serangan bertubi-tubi kepada Hui-giakang Ciok Lee Kim. Akan tetapi wanita tua ini seperti menari-nari, selalu mengelak dan kadang-kadang saja menangkis dengan sapu tangan merahnya.

"Omitohud...! Si Genit kenapa masih main-main dengan dia? Lekas bunuh dia!" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang biasanya menyebut Si Kelabang Terbang itu Si Genit, berseru saat melihat nenek itu hanya mempermainkan Coa Seng Ki dan tidak cepat-cepat membunuhnya.

"Hi-hi-hik, Hok Hosiang, aku merasa sayang kalau membunuhnya. Habis siapa yang akan menemaniku malam nanti? Kepala gundulmu sudah membosankan aku, hi-hik!" Nenek itu menjawab sambil mengelak dari satu tusukan, kemudian menggunakan jari-jari tangannya mengusap pipi Coa Seng Ki dengan mesra. Coa Seng Ki makin marah dan dengan nekat menyerang terus.

"Memang dia tidak perlu dibunuh!" Tiba-tiba Gu Lo It berkata. "Kalau dia mampus, siapa yang akan melaporkan kepada ketua Cin-ling-pai? Kita lukai saja dia, biar mati perlahan-lahan. Akan tetapi hayo sudahi main-mainmu, Hui-giakang, kita tidak mempunyai banyak waktu, malam sudah tiba!"

"Aih, sayang...!" Ciok Lee Kim berkata akan tetapi agaknya dia tidak berani membantah perintah Si Iblis Bumi.

Tiba-tiba saja dua helai sapu tangan merahnya berkelebat menjadi gulungan sinar merah berputaran menyambar-nyambar dan pedang di tangan Coa Seng Ki sudah dapat dilibat, lalu sekali ujung sapu tangan menotok pergelangan tangan, pedang itu pun terlepas dari tangan pemiliknya dan terampas.

Ciok Lee Kim tertawa, mengebutkan sapu tangannya yang merampas pedang sehingga pedang itu segera meluncur ke depan ke arah Hok Hosiang, dibarengi bentakannya, "Hok Hosiang, kau terimalah pedangnya!"

"Omitohud, kau main-main saja!" dengan ujung lengan bajunya yang besar, Hok Hosiang mengebut pedang itu menyeleweng ke bawah dan…

"Crappp!" pedang itu menancap di dada mayat Sun Kiang.

Melihat betapa pedangnya sendiri menancap di dada suheng-nya, Coa Seng Ki menjadi hampir gila saking marahnya dan sambil berteriak keras dia menubruk ke arah pendeta gendut itu. Akan tetapi Hok Hosiang sudah langsung menyambutnya dengan dorongan tangan terbuka dan kekuatan dahsyat.

"Plakkk!" Pundak Coa Seng Ki terkena dorongan dan tubuhnya terlempar ke arah Gu Lo It.

"Dukkk!" Gu Lo It menyambutnya dengan tamparan yang mengenai dadanya.

"Huakkkkkk…!" Darah merah tersembur keluar dari mulut Coa Seng Ki ketika tubuhnya terlempar ke arah Toat-beng-kaw Bu Sit.

“Dessss…! Krekk-krekk!" Toya di tangan Bu Sit menghantam perut dan kedua lututnya, mematahkan kedua tulang kaki orang termuda dari Cap-it Ho-han itu yang terlempar ke arah Ciok Lee Kim.

"He-heh-heh, tampan, kau sudah tidak berharga lagi untuk mendekatiku!" Nenek genit itu terkekeh, tangan kirinya mencakar dan lima kuku jarinya mencakar muka Coa Seng Ki sehingga kulit mukanya robek-robek dan berdarah.

Coa Seng Ki terbanting roboh dan tidak sadarkan diri lagi, dengan mulut memuntahkan darah, muka tergores dan berdarah. Pukulan pada pundak, dada dan perutnya membuat dia terluka dalam secara hebat dan kedua tulang kakinya patah-patah!

Empat orang itu tertawa bergelak, lalu turun melalui anak tangga dengan lagak sombong karena kemenangan mereka. Melihat para pelayan sedang menggigil dan berkumpul di sudut ruangan bawah, Liok-te Sin-mo Gu Lo It menoleh ke arah mereka sambil berkata,

"Semua harga makanan dan kerusakan perabot di atas akan dibayar oleh Cin-ling-pai!"

Sambil tertawa-tawa puas, keempat orang itu lalu keluar dari restoran dan sebentar saja mereka sudah menghilang di dalam kegelapan malam. Lama sesudah empat orang itu pergi, barulah para pelayan dan orang-orang yang menonton pertandingan hebat dari luar restoran itu berani berindap-indap naik dan segera mereka terkejut dan ngeri sekali ketika menyaksikan keadaan ketujuh orang tokoh Cin-ling-pai itu. Keadaan menjadi geger, para petugas keamanan baru berani muncul untuk mengadakan pemeriksaan dan beberapa orang diperintahkan untuk memberi kabar ke Cin-ling-pai di dekat puncak gunung.

Akan tetapi pada saat itu juga, tampak lima orang anggota Cin-ling-pai datang berlari-lari memasuki restoran Koai-lo dengan maksud untuk mencari ketujuh orang Cap-it Ho-han. Wajah mereka semua pucat dan tegang, dan mereka hendak melaporkan sesuatu kepada para pimpinan mereka.

Dapat dibayangkan alangkah kaget hati mereka dan serta merta mereka menubruk para suheng mereka yang sudah rebah malang melintang di ruangan atas restoran itu sambil menangis. Dunia seakan-akan kiamat bagi mereka.

Baru saja mereka mengalami kekagetan dan kecemasan hebat di Cin-ling-pai dan mereka kini dihadapkan dengan mala petaka yang lebih hebat pula, yaitu kematian enam orang Pimpinan Cin-ling-pai dan yang seorang terluka hebat.

Apakah yang telah terjadi di pusat Cin-ling-pai hingga lima orang anggotanya itu bergegas pergi ke Han-tiong menyusul tujuh orang murid kepala yang sedang memenuhi tantangan fihak lawan yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu?

Ternyata di malam itu terjadi hal yang hebat pula di Cin-ling-pai. Karena semua anggota Cin-ling-pai telah diberi tahu mengenai tantangan Lima Bayangan Dewa, dan karena tujuh orang murid kepala pergi mewakili Cin-ling-pai untuk menghadapi para penantang, maka para anggota Cin-ling-pai menjadi prihatin dan mereka melakukan penjagaan yang ketat. Mereka semua merasa amat tegang karena mengerti bahwa para pimpinan mereka pergi ke Han-tiong untuk menghadapi lawan yang tangguh yang dapat dilihat dari cara mereka memasang surat tanda tantangan di puncak menara, di ujung tiang bendera.

Keadaan di markas Cin-ling-pai yang dikurung oleh pagar tembok itu menjadi amat sunyi. Penjagaan ketat segera dilakukan oleh para anggotanya, terutama sekali di semua pintu gerbang dan di sekitar menara karena tempat itu merupakan tempat penyimpanan pusaka Cin-ling-pai, juga menjadi tempat kediaman ketua mereka yang pada waktu itu sedang bepergian. Perondaan juga dilakukan tiada hentinya, secara bergiliran mengelilingi pagar tembok.

Semenjak senja tadi, wanita dan kanak-kanak sudah dilarang untuk berada di luar rumah. Semua telah berlindung di dalam rumah dan para ibu juga siap sedia dengan senjata di dekatnya kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak tersangka-sangka terhadap keluarganya. Pendek kata, semua anggota Cin-ling-pai dan keluarga mereka bersiap sedia dengan hati penuh ketegangan.

Mereka hanya berharap supaya para pimpinan mereka segera kembali membawa berita bahwa semuanya sudah beres dan tidak ada apa-apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Biar pun mereka itu percaya akan kelihaian para murid kepala, yaitu Cap-it Ho-han yang pada waktu itu hanya ada tujuh orang, namun tetap saja mereka merasa agak gelisah karena ketua mereka tidak berada di situ. Mereka merasa seolah-olah seperti sekelompok anak ayam ditinggalkan induknya.

Lewat senja, ketika keadaan belum gelap benar, akan tetapi sejak tadi lampu-lampu telah dipasang, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan serta keributan di pintu gerbang sebelah berat, yaitu di belakang markas itu. Terdengar senjata-senjata dan teriakan-teriakan para penjaga.

Tentu saja para penjaga segera berlarian ke tempat itu dan ternyata di tempat itu terjadi pertempuran yang sangat aneh. Belasan orang anggota Cin-ling-pai mengeroyok seorang laki-laki yang tidak bersenjata, akan tetapi anehnya, semua serangan senjata di tangan para anggota Cin-ling-pai itu tidak ada yang pernah dapat menyentuh tubuh orang itu, biar pun orang itu kelihatannya tenang saja, seolah-olah senjata yang menghampiri tubuhnya itu tiba-tiba saja menyeleweng sendiri seperti tertolak oleh hawa yang melindungi seluruh tubuh orang itu!

Melihat kedatangan banyak orang lagi untuk mengeroyoknya, orang laki-laki itu tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah dia dari tengah-tengah para pengeroyoknya! Kemudian, selagi semua orang bingung mencari-cari, mendadak di pintu gerbang sebelah timur, di depan markas itu, terjadi keributan dan kiranya laki-laki itu telah berada di situ menghadapi pengeroyokan para penjaga yang bertugas menjaga di tempat itu!

Kembali semua anak murid Cin-ling-pai berlari-lari ke tempat itu. Lelaki itu kelihatan muda dan berwajah tampan, rambutnya dikuncir panjang, pakaiannya sederhana serba putih, hanya sepatunya saja yang hitam. Sulit mengira-ngira usianya, kelihatannya baru berusia tiga puluh tahun saja.

Gerak-geriknya halus, akan tetapi tiap gerakan kaki tangannya membawa angin pukulan yang amat dahsyat sehingga lima enam orang murid Cin-ling-pai terlempar sekaligus oleh sambaran angin dari kebutan lengan bajunya! Dan semua senjata segera menyeleweng dan terpental begitu kena disambar angin tangkisannya.

Hanya sebentar saja orang itu mengacau di pintu gerbang timur dan meski pun belasan orang roboh terpelanting ke kanan kiri akibat sambaran angin pukulan tangannya, namun tidak ada seorang pun yang terluka hebat apa lagi tewas. Agaknya orang ini hanya ingin mempermainkan mereka saja dan kembali dia tertawa, berkelebat lenyap, untuk muncul lagi di pintu gerbang sebelah selatan!

Dengan perbuatannya yang sangat aneh ini, semua anggota Cin-ling-pai menjadi kacau balau dan geger. Jelas bahwa yang datang mengacau hanya satu orang saja, akan tetapi orang itu mempunyai kepandaian sedemikian tingginya sehingga sanggup menggegerkan seluruh anggota Cin-ling-pai yang dibikin kocar-kacir dan kacau-balau lari ke sana ke mari mencari-cari lawan yang sebentar-sebentar menghilang itu.

Pada saat untuk kelima kalinya orang itu meloncat kemudian menghilang, para anak buah Cin-ling-pai segera menjadi panik dan bingung sekali. Mereka mencari-cari, akan tetapi sekali ini orang itu menghilang sampai lama. Dicari ke mana pun tidak dapat ditemukan dan para anak murid Cin-ling-pai sudah mengira bahwa pengacau itu akhirnya melarikan diri karena gentar menghadapi pengeroyokan sedemikian banyak orang.

Sementara itu, lima orang murid tingkat dua yang langsung menjadi murid-murid kepala di bawah asuhan Cap-it Ho-han dengan diam-diam melakukan perondaan di atas genteng perumahan Cin-ling-pai di sekitar menara. Mereka berlima merupakan orang-orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi pada saat itu, dan mereka berlima telah mewarisi Ilmu Silat Tangan Kosong San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang dahsyat, karena itu mereka pun tidak membawa senjata, karena keistimewaan mereka adalah gerakan kaki tangan mereka yang sudah tergembleng kuat dan terlatih baik.

Mereka berlima lalu berjaga di sekitar menara dan merasa aman karena di sebelah dalam menara itu juga telah dijaga ketat. Untuk dapat naik ke puncak menara di mana tersimpan benda-benda pusaka milik ketua, orang harus melalui pasukan penjaga yang berlapis lima dan setiap penjagaan terdapat lima orang penjaga yang sudah terlatih.

Setengah jam lewat dan biar pun semua anggota masih mencari-cari, namun hati mereka telah menjadi lega karena jelas bahwa pengacau itu telah lenyap, agaknya telah melarikan diri keluar dari markas Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendadak terdengar bentakan-bentakan keras disusul suara ketawa yang menyeramkan tadi, suara si pengacau yang tadi selalu tertawa kalau hendak menghilang.

Kiranya pengacau itu muncul lagi secara tiba-tiba, meloncat turun dari puncak menara dan lengan kanannya mengempit sebatang pedang dalam sarungnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya lima orang murid kepala Cap-it Ho-han itu pada waktu mengenal pedang Siang-bhok-kiam yang sekarang dikempit oleh lengan orang itu! Pedang pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai telah dicuri orang!

"Pencuri hina...!"

"Kembalikan Siang-bhok Pokiam!"

Lima orang itu cepat berloncatan di atas genteng dan mengejar. Namun gerakan pencuri pedang itu hebat bukan main. Sukar sekali mendekatinya karena dia berloncatan dari genteng ke genteng lain seperti seekor burung terbang saja.

Ketika ada seorang di antara lima jagoan Cin-ling-pai itu berhasil mendekati, dia langsung mengirimkan pukulannya yang ampuh, mempergunakan jurus yang paling lihai dari San-in Kun-hoat, yaitu In-keng Hong-wi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), tangan kanannya menonjok lurus ke depan disertai tenaga sinkang yang ampuh.

"Dukkk!"

Pukulan itu dengan tepat mengenai bahu kanan orang itu, akan tetapi yang dipukul hanya tertawa saja dan si pemukul merasakan betapa kepalan tangannya seperti memukul karet yang amat lunak namun kuat sekali sehingga tenaga pukulannya laksana tenggelam dan lenyap kekuatannya. Selagi dia berteriak kaget, pencuri itu telah tertawa panjang kembali dan tubuhnya mencelat jauh ke depan.

"Tangkap pencuri...!"

"Dia mencuri Siang-bhok Pokiam!"

Lima orang itu berteriak-teriak karena tidak dapat menyusul dan melihat pencuri itu telah tiba di rumah terakhir. Para anak murid yang mengejar dari bawah melihat pengacau itu mengempit pedang. Mendengar betapa pusaka keramat Cin-ling-pai sudah dicuri, mereka menjadi marah sekali.

Bagaikan hujan saja senjata-senjata rahasia menyambar ke arah tubuh pencuri itu ketika dia meloncat turun dari atas genteng. Semua orang terbelalak memandang betapa sekian banyaknya senjata rahasia secara tepat mengenai tubuh orang itu, akan tetapi semuanya itu runtuh tak berbekas dan si pencuri masih tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha, katakan kepada Cia Keng Hong bahwa Lima Bayangan Dewa mengirim salam dan menitipkan nyawanya sampai tahun depan!" Setelah berkata demikian, orang itu lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Pengecut, tinggalkan namamu!" teriak seorang murid Cin-ling-pai dengan suara nyaring. Akan tetapi tiba-tiba saja orang yang berteriak ini roboh terjengkang, dan ketika kawan-kawannya memandang, ternyata dia telah tewas! Dan dari jauh terdengar suara tertawa.

"Ha-ha-ha, tidak ada orang boleh hidup setelah memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok!"

Tentu saja orang-orang Cin-ling-pai menjadi geger luar biasa. Lima orang murid lihai yang digembleng oleh Cap-it Ho-han itu segera bergegas meninggalkan Cin-ling-pai menuju ke Han-tiong untuk menyusul para suheng mereka dan melaporkan akan mala petaka yang menimpa markas Cin-ling-pai hingga pedang pusaka Siang-bhok-kiam lenyap dicuri oleh orang, bahkan seorang anak murid tewas oleh si pencuri yang lihai dan yang mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok itu.

Akan tetapi dapat dibayangkan alangkah kaget dan sedih hati lima orang murid ini ketika mereka melihat tujuh orang suheng mereka itu tertimpa mala petaka yang lebih hebat dan mengerikan lagi di dalam rumah makan Koai-lo sebab enam orang di antara mereka telah tewas dan Coa Seng Ki, orang termuda dari Cap-it Ho-han menderita luka-luka sangat hebat sehingga nyawanya juga seolah-olah bergantung kepada sehelat rambut!

Dengan penuh kedukaan mereka lalu mengangkut enam mayat serta Coa Seng Ki yang terluka parah itu ke Cin-ling-pai, di mana mereka disambut oleh jerit-jerit tangisan yang memilukan dari semua anak murid Cin-ling-pai dan terutama sekali dari keluarga mereka yang tewas.

Bermacam-macam sikap anggota keluarga yang ditinggal mati oleh salah seorang dalam keluarga itu. Akan tetapi pada umumnya mereka itu berduka atau memperlihatkan wajah duka. Bermacam-macam pula rasa duka yang mendatangkan goresan muka yang sama itu. Ada yang berduka karena merasa iba kepada yang mati, akan tetapi sebagian besar adalah berduka karena merasa iba kepada dirinya sondiri yang tinggalkan oleh yang mati. Merasa betapa hidupnya kehilangan sesuatu yang dicintainya, yang disandarinya, atau yang diharap-harapkannya. Merasa kehilangan ini yang mendatangkan duka.

Ada pula yang tidak merasa apa-apa namun ‘demi kesopanan’ terpaksa menarik muka agar kelihatan berduka. Ada pula yang terbawa oleh suasana duka, karena tangis, seperti juga tawa, mudah sekali menular kepada orang lain. Sukar sekali menahan diri, terutama sekali kaum wanita, untuk tidak mencucurkan air mata melihat banyak orang menangis tersedu-sedu, apa lagi jika disertai dengan keluh-kesah dan ratapan, lebih sulit dari pada menahan tawa kalau melihat banyak orang tertawa gembira.

Yang hebat, lucu serta aneh, banyak pula keluarga yang kematian hendak menyatakan bahwa mereka benar-benar berkabung dengan ‘menyewa’ tukang menangis! ‘Para tukang menangis’ ini dibayar dan tugasnya hanya untuk menangis sehebat mungkin, meratap dengan suara yang paling menyedihkan untuk ‘memancing’ air mata para keluarga yang sudah hampir mengering.


Memang suasana pada keluarga yang kematian amat menyedihkan. Apa lagi pada pagi hari itu di ruangan depan dari rumah besar di Cin-ling-pai. Memang menyedihkan sekali melihat tujuh buah peti mati berjajar-jajar di ruangan itu, dikelilingi dan dikerumuni oleh para sanak keluarga dan para anggota Cin-ling-pai yang tiada hentinya menangis dan bergilir melakukan sembahyang di depan peti-peti mati itu. Tujuh buah peti mati itu berisi mayat-mayat enam orang anggota Cap-it Ho-han serta seorang anak murid Cin-ling-pai yang tewas karena berani memaki pengecut kepada Pat-pi Lo-sian.

Suasana di ruangan itu menjadi makin menyedihkan jika melihat para anggota keluarga para korban yang memakai pakaian serba putih, topi putih dan muka pucat, mata sayu kemerahan dan pipi kotor bekas air mata dan debu. Ruangan yang luas itu menjadi seram karena asap hio yang bergulung-gulung dan bau dupa wangi yang dibakar sejak malam tadi.

Akan tetapi Cin-ling-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah. Biar pun sejak kemarin sampai malam tadi para keluarga korban tiada hentinya menangisi ayah, saudara atau suami mereka, namun pagi ini mereka telah dapat menekan perasaan mereka sebagai orang-orang atau keluarga-keluarga orang gagah sehingga tidak ada lagi terdengar suara tangisan. Mereka masih bersembahyang dan berkabung, namun wajah mereka semua membayangkan duka dan dendam bercampur menjadi satu, dengan tarikan muka keras membayangkan kemarahan hati terhadap fihak musuh yang telah menyebar kematian di antara tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Kini mereka tidak lagi mengucurkan air mata dan meratap, terutama sekali hal ini mereka paksakan terhadap perasaan mereka sendiri untuk memperlihatkan sikap gagah kepada para penghuni dusun yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada para korban. Bukan hanya para penghuni dusun-dusun pegunungan di sekitar tempat itu, juga dari kota Han-tiong datang tamu berduyun-duyun untuk bersembahyang dan tidak lupa memberi sumbangan kepada keluarga yang ditimpa duka nestapa itu.

Sejak pagi hingga tengah hari tiada hentinya para tamu datang, bersembahyang, memberi sumbangan sambil mengucapkan kata-kata yang nadanya menghibur, memuji kegagahan Cap-it Ho-han sebaliknya mengutuk penjahat-penjahat yang melakukan pembunuhan keji, kemudian pergi lagi dengan perasaan lega bagaikan orang-orang yang sudah melakukan sesuatu yang amat baik dan berharga. Bahkan komandan penjaga keamanan dari kota Han-tiong juga datang menyatakan duka cita dan dia mengatakan kepada para anggota Cin-ling-pai bahwa dia akan mengerahkan pasukannya untuk mencari serta menangkap penjahat-penjahat yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa itu.

Akan tetapi, para murid Cin-ling-pai maklum bahwa ucapan komandan itu tidak mungkin dapat diandalkan dan harapan satu-satunya bagi mereka untuk dapat membalas dendam kematian ini hanyalah guru mereka, karena para penjahat itu adalah orang-orang lihai ada pun para petugas keamanan itu biasanya, sebagian besar hanya galak kalau menghadapi rakyat lemah yang tidak mampu melawan dan yang dapat diharapkan menjadi sapi-sapi perahan.

Sesudah lewat tengah hari, makin berkuranglah tamu yang datang bersembahyang dan menjelang senja sudah tidak ada lagi tamu yang datang. Dengan bergiliran, murid-murid Cin-ling-pai melakukan penjagaan karena yang lain harus beristirahat, akan tetapi tentu saja para keluarga korban tetap di dekat peti mati dalam keadaan berkabung.

Sesudah semua orang mengira bahwa tidak akan ada lagi tamu yang datang, tiba-tiba muncullah dua orang dari pintu depan. Mereka ini adalah orang-orang tua, yang seorang adalah wanita tua, nenek-nenek yang usianya tentu telah enam puluh tahun lebih dengan pakaian serba hitam dan kain kepala berwarna hitam pula, berjalan sambil menundukkan muka, sedangkan yang kedua adalah seorang kakek tinggi kurus yang berpakaian seperti seorang tosu (pendeta To), yang melangkah masuk kemudian mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan para penjaga pintu yang mempersilakan kedua orang ini terus memasuki ruangan di mana terdapat tujuh peti mati yang berjajar-jajar.

Nenek itu menerima beberapa batang hio yang sudah dinyalakan oleh seorang murid Cin-ling-pai yang bertugas melayani mereka yang hendak bersembahyang, ada pun kakek tosu itu dengan suaranya yang amat halus bertanya tentang mereka yang mati sehingga seorang murid Cin-ling-pai lain menceritakan bahwa yang tewas adalah enam orang di antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid Cin-ling-pai lainnya. Tosu itu mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang.

Sementara itu, nenek tua yang berpakaian serba hitam sudah bersembahyang di depan peti mati itu, kemudian berhenti di depan peti mati pertama yang terisi mayat Sun Kiang. Di sini dia berdiri dan berkata lirih,

"Sayang, sayang... sungguh penasaran sekali kenapa kalian mati di tangan orang lain...!"

Semua anak murid Cin-ling-pai terkejut dan heran sekali mendengar ucapan aneh itu, dan mereka makin heran ketika melihat betapa nenek itu kini menancap-nancapkan hio atau dupa biting itu ke atas peti mati yang terbuat dari kayu tebal dan keras. Sukar dipercaya betapa dupa biting yang rapuh itu dapat ditancapkan ke atas peti mati, seolah-olah papan peti mati yang sangat keras itu hanya terbuat dari agar-agar saja! Dan perbuatan ini selain mendatangkan kekagetan serta keheranan, juga membuat para anak murid Cin-ling-pai menjadi marah sekali.

Nenek itu mundur tiga langkah setelah menjura ke arah peti-peti mati, kemudian tosu itu melangkah mendekati peti-peti itu, tangan kanannya menepuk-nepuk tutup setiap peti dan mulutnya berkata lirih akan tetapi cukup keras untuk terdengar oleh mereka yang berada di ruangan itu. "Memang sayang sekali, akan tetapi kalian mati di tangan Lima Bayangan Dewa sudah cukup terhormat, karena yang pantas mati di tangan pinto (aku) hanyalah ketua Cin-ling-pai..."

Semua orang semakin kaget, apa lagi melihat betapa di setiap peti kini terdapat bekas telapak tangan kakek itu yang tadi menepuk-nepuk tutup peti mati, tampak tanda telapak tangan menghitam di atas peti, melesak sedalam satu senti seperti diukir saja!

Para anak murid Cin-ling-pai adalah orang-orang yang sudah lama mengenal ilmu silat, maka tentu saja mereka mengerti bahwa tosu dan nenek yang agaknya seorang pertapa pula itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena jelas bahwa mereka berdua sudah menghina Cin-ling-pai dan bersikap memusuhi guru mereka, para murid itu sudah menjadi marah sekali dan siap untuk turun tangan mengeroyok!

Akan tetapi dengan terjadinya peristiwa hebat itu membuat mereka seperti pasukan yang kehilangan komandan, merasa tak berdaya dan bingung, sehingga sekarang mereka pun ragu-ragu dan menunggu sampai ada seorang di antara mereka yang memulai. Tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian dari luar, suaranya dekat sekali akan tetapi orangnya tidak nampak!
Sikap, nama, harta dan kedudukan
bukanlah ukuran jiwa
seorang manusia,
semua itu hanya kulit belaka
yang tidak dapat menentukan
nilai isi.
Betapa banyaknya berkeliaran
di dunia
hartawan yang jiwanya miskin
pembesar yang jiwanya kecil
dan pendeta yang menumpuk dosa!


Kakek dan nenek itu kelihatan terkejut, saling pandang kemudian membalikkan tubuhnya ke arah pintu depan. Kini tampak muncullah dua orang kakek lain, yang pertama sangat menarik hati karena anehnya.

Dia seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Pakaiannya kedodoran terlalu besar, dan warna pakaiannya amat menyolok mata! Bajunya kembang-kembang, celananya kotak-kotak, kepalanya yang berambut putih itu tertutup topi kopyah seperti yang biasanya dipakai oleh seorang bayi, mukanya selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar!

Ada pun orang kedua juga seorang kakek yang juga sudah tua, tentu sudah enam puluh tahun lebih, namun sikapnya masih gagah. Tubuhnya tinggi kurus, pakaiannya sederhana dan matanya sipit seperti dipejamkan.

Dua orang kakek yang baru datang ini agaknya tidak mempedulikan tosu serta tokouw (pendeta wanita) itu, mereka langsung bersembahyang seperti biasa, kemudian menaruh hio di tempat dupa di depan peti. Akan tetapi tiba-tiba kakek yang pakaiannya aneh itu tertawa, menuding ke arah hio-hio yang tertancap di atas peti mati pertama tadi sambil berkata,

"Ehh, dupa-dupa jahat, mengapa kalian begitu kurang ajar, berada di tempat yang tidak semestinya? Hayo kalian turun dan berkumpul dengan teman-temanmu di bawah!"

Ucapan ini sudah aneh, seperti ucapan seorang gila karena ditujukan kepada hio-hio itu. Akan tetapi kenyataannya lebih aneh lagi sehingga membuat semua orang jadi melongo. Siapa yang tak akan terkejut dan merasa heran saat mereka melihat betapa hio-hio yang tadi oleh tokouw itu ditancapkan secara luar biasa di atas peti mati yang keras, sekarang seolah-olah bernyawa dan hidup, mentaati perintah kakek berpakaian kembang-kembang, bergerak dan ‘berjalan’ turun dari peti mati lalu menancapkan diri sendiri di tempat hio bersama hio-hio yang lain!

Sebelum orang-orang yang berada di situ habis keheranan mereka, kakek yang kedua itu berjalan-jalan di antara peti-peti mati, berkata perlahan, "Hemm, kenapa buatan peti-peti ini demikian kasar sehingga masih ada telapak tangannya? Biarlah kuratakan."

Dengan tangannya dia lantas mengusap di atas bekas telapak tangan tosu tadi sehingga lenyaplah bekas-bekas telapak tangan menghitam tadi meski pun tentu saja permukaan peti yang sudah rusak itu tidak dapat menjadi rata dan halus kembali.

Tosu dan tokouw yang menyaksikan perbuatan dua orang kakek yang baru datang itu, terkejut dan segera maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang pandai. Tosu itu menjura dari jauh dan berkata, "Siapakah di antara ji-wi (anda berdua) yang bernama Cia Keng Hong?"

Kakek yang memakai baju kembang menjawab tertawa, "Pertanyaan aneh! Seorang tamu tidak mengenal tuan rumahnya. Betapa aneh! Kami berdua pun hanya tamu, akan tetapi tentu saja kami mengenal Cia Keng Hong yang ternyata tidak berada di rumah."

Tosu dan tokouw itu segera saling pandang. Mereka tidak ingin melibatkan diri dengan permusuhan terhadap orang-orang lain lagi yang begini lihai, sedangkan Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu saja sudah merupakan musuh yang amat tangguh.

"Kami hanya membutuhkan Cia Keng Hong, bukan orang lain!" Setelah berkata demikian, tosu itu menjura lalu melangkah keluar, diikuti oleh tokouw tadi.

Dua orang kakek itu hanya memandang dan tidak berkata apa-apa. Setelah mereka yakin bahwa dua orang itu sudah pergi jauh, kakek tinggi kurus yang lebih muda itu menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh berbahaya...!"

Kakek berbaju kembang-kembang juga menghela napas. "Kita harus memetik buah dari pohon yang kita tanam sendiri, tak mungkin dapat dihindarkan lagi! Cinke (sebutan untuk besan) Cia Keng Hong di waktu mudanya menanam banyak sekali permusuhan sehingga sampai dia menjadi kakek-kakek sekali pun selalu masih ada musuh yang mencarinya! Sayang sekali..." Dia menggeleng-geleng kepala.

Para murid Cin-ling-pai sekarang baru berani maju dan murid-murid tertua segera berlutut di depan dua orang kakek itu. Seorang di antara mereka berkata kepada kakek berbaju kembang-kembang, "Locianpwe, mengapa locianpwe tidak memberi hajaran kepada dua orang penjahat berpakaian pendeta tadi?"

Kakek itu tertawa. "Ho-ho-ho, mudah saja bicara! Kalian kira aku dapat menang melawan mereka? Aha, kalau tidak dengan sedikit permainan hoatsut (sihir) dan berhasil membikin jeri mereka, agaknya kalian terpaksa harus menyediakan sebuah peti mati baru lagi untuk mayatku!"

Para murid Cin-ling-pai itu mengenal kakek berbaju kembang ini karena kakek ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, seorang kakek aneh yang lihai dan ahli dalam ilmu hoatsut (sihir), yang selalu tertawa dan gembira, yang sudah beberapa kali datang mengunjungi Cin-ling-pai karena dia adalah besan dari ketua Cin-ling-pai.

Ketua Cin-ling-pai, yakni Pendekar Sakti Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah Cia Giok Keng dan yang kedua adalah Cia Bun Houw yang kini sedang belajar memperdalam ilmu silatnya di Tibet. Anak pertama, seorang puteri yang bernama Cia Giok Keng telah menikah dengan murid yang sudah dianggap anak sendiri oleh Hong Khi Hoatsu, yaitu yang bernama Lie Kong Tek. Semua ini sudah dituturkan dengan jelas di dalam cerita Petualang Asmara. Karena itu maka murid-murid Cin-ling-pai mengenal baik pendeta perantau berbaju kembang ini.

Ada pun kakek kedua yang lebih muda dari Hong Khi Hoatsu, yang tadi dengan usapan tangannya dapat meratakan kembali permukaan peti-peti mati dari bekas telapak tangan tosu tadi, juga merupakan seorang tokoh besar dalam cerita Petualang Asmara. Namanya adalah Tio Hok Gwan, bekas pengawal dari Panglima Besar The Hoo. Dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi serta bertenaga besar sekali sehingga mendapat julukan Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati).

Sudah sering kali dia bekerja sama dengan Cia Keng Hong di waktu dahulu sehingga dia menjadi sahabat ketua Cin-ling-pai itu. Sekarang kakek ini telah pensiun. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal beberapa tahun yang lalu semenjak Panglima Besar The Hoo meninggal dunia.

Pengalaman orang she Tio ini hebat bukan main, karena dia telah mengikuti perantauan Panglima The Hoo ketika menjelajahi banyak negara aneh di seberang lautan, mengalami banyak pertempuran dan sudah menghadapi banyak sekali orang-orang yang mempunyai kepandaian aneh dan hebat di bagian-bagian dunia lain di seberang lautan itu.

Karena itu dia sudah memiliki pandangan yang awas, dan dia pun maklum bahwa tingkat kepandaian tokouw dan tosu tadi amat tinggi sehingga andai kata terjadi bentrokan antara mereka dengan dia, dia tidak berani memastikan apakah dia yang akan keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya dia bersikap hati-hati dan membiarkan dua orang itu pergi, sungguh pun dia maklum bahwa dua orang itu tentulah musuh-musuh dari sahabatnya, Cia Keng Hong.

Sebagai besan dari ketua Cin-ling-pai, Hong Khi Hoatsu lalu dipersilakan duduk bersama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan. Kakek berbaju kembang itu segera bertanya apa yang telah terjadi di Cin-ling-pai sampai ada tujuh anggotanya yang tewas terbunuh. Beberapa murid Cin-ling-pai segera menceritakan tentang semua mala petaka yang terjadi dan menimpa perkumpulan itu.

Terkejut juga hati kedua orang kakek itu ketika mendengar bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam telah dicuri orang dan bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah Lima Bayangan Dewa yang memiliki kepandaian tinggi. Pada waktu mendengar bahwa pencuri pedang itu mengaku bernama Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Tio Hok Gwan mengepal tinjunya.

"Ahhh, pantas...! Aku pernah mendengar nama Dewa Tua Berlengan Delapan itu! Dia adalah sute dari datuk kaum sesat Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun) Ouwyang Kok yang dulu tewas di tangan Cia-taihiap! Tentu dia datang mengacau Cin-ling-pai untuk membalas dendam kematian suheng-nya. Akan tetapi, siapakah empat orang temannya yang bersama dia memakai nama Lima Bayangan Dewa itu?"

Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para murid Cin-ling-pai yang tahu.

"Yang mengetahui tentu hanya ketujuh orang suheng yang menjumpai mereka di restoran Koai-lo di Han-tiong, akan tetapi enam di antara mereka tewas dan yang seorang lagi luka parah..." murid Cin-ling-pai menerangkan.

"Di mana dia yang terluka itu? Biar kami memeriksanya," Hong Khi Hoatsu berkata.

Dengan hati girang dan penuh harapan, para murid Cin-ling-pai lalu mengantarkan Hong Khi Hoatsu dan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan ke dalam kamar di mana Coa Seng Ki rebah dalam keadaan empas-empis napasnya dan mukanya pucat kebiruan, matanya terpejam.

Beberapa orang murid Cin-ling-pai menjaga di kamar itu dengan muka penuh khawatir karena biar pun mereka sudah berusaha sedapatnya untuk mengobati korban ini, tetap saja keadaan Coa Seng Ki tidak kelihatan menjadi baik. Mereka sudah menjadi putus asa dan mereka kini hanya menanti datangnya ketua mereka cepat-cepat dan mengharapkan Coa Sang Ki akan bisa bertahan sampai ketua mereka pulang. Orang termuda dari Cap-it Ho-han itu masih belum sadar, masih pingsan sejak dia rebah di ruang atas rumah makan Koai-lo sampai saat itu.

Hong Khi Hoatsu dan Tio Hok Gwan bergantian memeriksa keadaan Coa Sang Ki. Akan tetapi mereka berdua segera maklum bahwa keadaan orang itu sudah tidak ada harapan lagi, bahwa luka-luka yang diderita oleh orang itu amat hebat dan tak dapat disembuhkan lagi karena selain di sebelah dalam tubuhnya sudah terluka parah juga darahnya sudah keracunan. Paling lama Coa Seng Ki hanya akan bertahan sampai dua tiga hari lagi saja.

"Bagaimana pendapatmu, Hoatsu?" tanya Tio Hok Gwan kepada temannya.

Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepalanya. "Seperti telah kau ketahui, dia tak dapat disembuhkan lagi, luka-luka di sebelah dalam terlampau parah."

Tio Hok Gwan menarik napas panjang. "Hanya dia seorang yang mengetahui nama-nama empat orang di antara Lima Bayangan Dewa."

Hong Khi Hoatsu mengerutkan alisnya. "Dengan kekuatan sihir mungkin aku masih dapat membuat dia sadar dan membantunya untuk menceritakan siapa adanya empat orang itu, akan tetapi pengerahan tenaga paksaan itu mungkin akan membuat luka-lukanya makin parah."

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan berpikir sejenak, lalu berkata, "Betapa pun juga, dia tak dapat disembuhkan lagi sedangkan nama-nama empat orang penjahat itu sangat penting untuk diketahui. Kalau dia dibiarkan demikian saja sampai mati, tidak ada gunanya sama sekali. Kurasa Hoatsu tentu mengerti akan hal ini."

Hong Khi Hoatsu mengangguk. "Memang aku pun berpikir demikian. Ehh, bagaimanakah pendapat kalian?" tanyanya kepada para murid Cin-ling-pai yang menunggu di kamar itu.

Mereka saling pandang. Mereka tadi sudah mendengarkan percakapan antara dua orang kakek itu dan mengerti apa yang mereka maksudkan. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata,

"Karena Ketua tidak ada dan Cap-it Ho-han yang mewakili suhu juga tidak ada lagi, yang ada hanya Coa-suheng yang sakit ini, maka kami semua juga tidak dapat mengambil keputusan. Terserah kepada Ji-wi locianpwe saja yang kami percaya sepenuhnya."

"Baiklah, dan kami pun bertanggung jawab penuh terhadap cinke (besan) atas perbuatan kami ini. Nah, sekarang mundurlah kalian, biarlah aku mencoba untuk menyadarkan dia. Siapa namanya tadi?"

Seorang murid memberi tahukan nama si sakit kepada kakek aneh itu.

Hong Khi Hoatsu segera mendekati si sakit, mengurut-urut serta memijit-mijit kepala dan punggung orang sakit itu, kemudian dengan dua tangan terbuka, menggetar dan digerak-gerakkan di atas kepala si sakit, terdengarlah dia berkata, suaranya penuh wibawa dan mengandung getaran amat kuat hingga semua orang yang berada di situ merasa seram dan ikut tergetar batinnya, terbawa oleh pengaruh yang terkandung di dalam suara itu.

"Coa Seng Ki...! Dengarkan baik-baik... dengar dan lakukan apa yang kuminta...! Aku mewakili suhu-mu, aku adalah besan suhu-mu, engkau harus taat kepadaku. Dengarkah engkau? Jawablah...!"

Semua mata ditujukan ke arah wajah Coa Seng Ki yang pucat membiru, wajah yang diam tidak bergerak seperti mayat. Perlahan-lahan tampaklah cahaya kemerahan membayang pada wajah itu, mula pada lehernya, terus naik ke atas pipi sampai ke dahinya, lalu bulu mata itu menggetar, bibir itu bergerak-gerak!

"Jawablah, Coa Seng Ki, jawablah... demi kesetiaan dan kebaktianmu terhadap suhu-mu dan Cin-ling-pai, jawablah...!" Hong Khi Hoatsu berkata lagi, suaranya semakin kuat dan kedua tangannya menggigil, mukanya penuh dengan keringat.

Dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya yang membutuhkan penyaluran tenaga sakti dari dalam pusarnya dan dia harus menyatukan seluruh kemauannya supaya dapat memaksa si sakit, seperti membangunkannya, seperti membangkitkan lagi orang yang sudah tiga seperempat mati ini untuk hidup kembali. Hal ini membutuhkan tenaga mukjijat yang amat kuat sehingga kakek itu kelihatan berkeringat dan mukanya menjadi pucat, dan dari kepala yang tertutup kopyah itu mengepul uap putih.

Diam-diam Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan memandang penuh kekhawatiran. Walau pun dia tidak mengenal ilmu hoatsut, akan tetapi dia maklum betapa kakek itu telah mengerahkan sinkang sekuatnya, hal yang amat berbahaya. Tetapi dia tidak berani membantu, khawatir kalau-kalau malah mengacaukan usaha Hong Khi Hoatsu.

"Jawablah, Coa Seng Ki...! Apakah engkau mendengarku?"

Bibir yang bergerak-gerak dari si sakit itu sekarang bergerak semakin lebar dan terdengar jawaban seperti bisikan, "...teecu (murid) mendengar..."

"Bagus, Coa Seng Ki, sekarang jawablah baik-baik semua pertanyaanku ini. Amat penting bagi suhu-mu kelak untuk mengetahui siapakah adanya empat orang yang membunuh enam orang suheng-mu di restoran Koai-lo di kota Han-tiong. Siapakah Lima Bayangan Dewa itu?"

Hening sejenak. Bibir pucat itu tergetar hebat, menggigil bagaikan orang sakit kedinginan, kemudian terdengar jawaban yang lemah dan gemetar, namun cukup dapat dimengerti, "...iblis-iblis itu... Liok-te Sin-mo Gu Lo It... Sin-cian Siauw-bin-sian Hok Hosiang... lalu Hui-giakang Ciok Lee Kim... ahhhh..." Suara itu kini berobah menjadi seperti suara orang mengeluh dan mengerang.

"Pertahankan, Coa Seng Ki. Siapa yang seorang lagi?"

Dada itu turun naik, terengah-engah dan akhirnya bibir itu dapat juga mengeluarkan suara lagi, "...Toat... beng... kauw... Bu Sit... dan orang pertama adalah... adalah... Pat-pi.... uhhhhh...!"

Kini kepala itu terkulai lemas dan Hong Khi Hoatsu menurunkan kedua tangannya, cepat memeriksa nadi tangan dan meraba dada. Dengan muka pucat dan tubuh basah kuyup oleh peluhnya sendiri dia menggeleng kepala dan memandang kepada Ban-kin-kwi.

"Berakhirlah sudah...," katanya.

Tio Hok Gwan lalu menggunakan jari tangannya untuk menutupkan mata dan mulut yang agak terbuka itu dan terdengar isak tangis dari para anak murid Cin-ling-pai ketika mereka maklum bahwa Coa Seng Ki sudah menghembuskan napas terakhir!

"Harap kalian tidak terlalu berduka." Hong Khi Hoatsu berkata setelah mengatur kembali pernapasannya. "Dia memang tidak dapat disembuhkan lagi dan kematiannya yang lebih cepat ini hanya mengurangi penderitaannya dan kalian harus berterima kasih kepadanya karena sebelum mati dia masih sempat meninggalkan nama para musuh besar itu."

Dua orang kakek itu lalu keluar dari kamar dan duduk di ruangan depan, sedangkan para anak murid segera mengurus jenazah Coa Seng Ki. Kini semua murid Cin-ling-pai sudah tahu siapa saja nama kelima orang musuh besar itu, yang menamakan diri mereka Lima Bayangan Dewa. Karena biar pun orang pertama tidak sempat disebutkan namanya oleh Coa Seng Ki, tapi mereka semua tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.

"Sayang bahwa Cia-taihiap tidak berada di sini. Andai kata dia ada, tidak mungkin terjadi hal yang menyedihkan ini," Tio Hok Gwan berkata. "Aku sudah terlalu tua, sudah malas untuk bertanding, akan tetapi mengingat akan mala petaka yang telah menimpa keluarga Cin-ling-pai, biarlah aku akan menyuruh puteraku untuk membantu, menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa itu dan membantu menghadapi mereka. Aku akan pulang kembali ke kota raja, Hoatsu."

Hong Khi Hoatsu mengangguk dan dia lalu berkata, "Baiklah, Tio-taihiap. Dan aku sendiri akan pergi mengunjungi murid dan mantuku di Sin-yang. Siapa tahu kalau-kalau lima iblis itu akan mengganggu mantuku sebagai puteri cinke Cia Keng Hong."

Yang dimaksudkan oleh Hong Khi Hoatsu itu adalah Cia Giok Keng, puteri Cia Keng Hong yang kini sudah menjadi isteri Lie Kong Tek muridnya, dan suami isteri itu tinggal di kota Sin-yang di kaki Pegunungan Tapie-san.

Maka berangkatlah dua orang kakek itu meninggalkan Cin-ling-san, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan menuju ke utara untuk pergi ke kota raja di mana dia hidup bertiga dengan putera tunggalnya dan isterinya yang jauh lebih muda darinya karena dia memang menikah agak terlambat, hidup di kota raja sebagai seorang pensiunan pengawal yang terhormat dan terjamin.

Ada pun Hong Khi Hoatsu menuju ke timur untuk mengunjungi Sin-yang, tempat tinggal muridnya. Mereka berangkat setelah lebih dulu menghadiri pemakaman delapan jenazah murid-murid Cin-ling-pai itu

********************

Seluruh wilayah Negara Tibet berupa daerah pegunungan yang sambung-menyambung, pegunungan yang tinggi dan luas sekali dengan Pegunungan Himalaya sebagai benteng panjang yang menjulang tinggi di perbatasan selatan. Ibu kota atau kota rajanya adalah Lhasa di mana terdapat istana kerajaan, ada pun golongan yang paling berkuasa di sana adalah para pendeta Lama.

Karena seperti lajimnya di dunia ini, yang berkuasa tentu memperoleh kedudukan tinggi serta mulia, maka tentu saja terjadi pula perebutan kekuasaan di antara para pendeta Lama sehingga terjadilah pemecahan dan terbentuklah golongan-golongan yang kadang kala saling bertentangan untuk memperoleh kekuasaan. Pada waktu itu, yang berkuasa di samping raja adalah para pendeta Lama golongan Jubah Kuning dan kedudukan mereka sedemikian kuatnya sehingga tidak ada golongan lain yang berani memberontak.

Beberapa puluh li jauhnya dari Lhasa, di sebelah selatan, di mana sungai yang mengalir memasuki sungai besar Yalu-cangpo, terdapat sebuah kuil besar. Dahulu kuil ini menjadi pusat dari gerakan Lama Jubah Merah yang pernah memberontak, akan tetapi berhasil dibasmi oleh pasukan Tibet yang dibantu oleh Pemerintah Beng. Kini para Lama Jubah Merah masih ada, namun mereka tidak lagi aktip dan hidup dengan penuh tenteram dan damai, bertani dan menekuni hidup sebagai pertapa yang saleh.

Ketua dari para Lama yang jumlahnya hanya tinggal dua puluh orang lebih ini adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa dan bernama Kok Beng Lama. Di dalam cerita Petualang Asmara telah diceritakan bahwa Kok Beng Lama ini adalah ayah kandung dari Pek Hong Ing isteri dari Pendekar Sakti Yap Kun Liong. Sekarang usia pendeta Lama ini sudah delapan puluh tiga tahun akan tetapi tubuhnya masih sehat, kokoh kekar dan tinggi besar seperti raksasa.

Karena ketuanya tidak mempunyai keinginan sesuatu, maka semua anggota Lama Jubah Merah juga tak menginginkan sesuatu kecuali hidup aman tenteram dan sehat di lembah pegunungan dekat sungai yang tanahnya subur itu. Melihat betapa Kok Beng Lama hanya tekun melatih ilmu kepada murid tunggalnya, maka para Lama itu pun ikut terbawa-bawa, tekun melatih ilmu-ilmu mereka yang memang sudah tinggi sehingga kepandaian mereka menjadi semakin masak...
Selanjutnya,