Dewi Maut Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 04
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MURID tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang dahulu memberontak terhadap Pemerintah Tibet.

Dengan amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi sehingga makin meningkat pula kepandaian Bun Houw yang sebelumnya sudah sangat tinggi, hasil penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itu pun sangat suka akan ilmu silat, karena itu dia pun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan mudahnya.

Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi itu. Tetapi dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.

Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayah dan ibunya dulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita yang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apa bila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan watak enci-nya Cia Giok Keng yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan!

Agaknya watak ini terbentuk karena selama lima tahun dia hidup di tengah-tengah para Lama yang hidup penuh damai itu, serta pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit mau pun matahari terbenam, melihat keindahan kembang-kembang, atau duduk termenung di tepi sungai melihat air yang mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira.

Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu.

Dara ini begitu cantik dan selalu gembira sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada Yalima, dan sering kali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersenda gurauan, bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu.

Mereka masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw pandai berbicara dalam Bahasa Tibet secara lancar sedangkan Yalima, biar pun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatah pun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, akan tetapi tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu!

Pada suatu senja, pada waktu Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya.

Jauh di balik puncak-puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini seakan-akan terbakar oleh cahaya matahari itu, menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda.

Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu telah berobah. Warna yang tak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati. Keindahan yang serba baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.

"Koko...!"

Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang mempunyai suara merdu jernih seperti itu, yang menyebut kata ‘koko’ dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam pada waktu matahari terbenam itu masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya.

Akan tetapi, mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata yang bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap kehidupan, sekarang tampak layu dan tak bersinar lagi, biar pun masih seindah matahari terbenam!

"Moi-moi! Ada apakah...?" tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari harus bekerja berat itu.

Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba saja Yalima menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu dekat dengan Yalima, meski pun hampir setiap hari mereka bersenda gurau. Dara ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan penuh kesedihan.

Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang sehingga dia berhasil melupakan ketegangan yang aneh itu, namun sekarang kekhawatiran menguasai hatinya. Tangannya mengusap rambut hitam halus yang sangat panjang dan dikuncir jadi dua itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.

"Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku pasti akan menolongmu."

Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah dan air mata membasahi sepasang pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan mendekap begitu erat.

Bun Houw lalu menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering mereka gunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan bersenda gurau di tempat itu. Bun Houw mengeluarkan sehelai sapu tangan bersih dan kering dari sakunya karena dara itu memegang sapu tangan yang sudah basah semua.

"Keringkanlah air matamu dan hidungmu!" katanya tersenyum menghibur.

Yalima menerima sapu tangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima lalu menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan sapu tangan yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia telah menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis,

"Biar kucuci dulu!"

"Ahhh, mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!" Bun Houw mengambil kembali sapu tangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

"Terima kasih...," dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.

"Moi-moi, apakah yang terjadi? Kau benar-benar mengejutkan hatiku."

"Koko, benarkah engkau akan menolongku?"

"Tentu saja!"

Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Tidak mungkin, koko. Kau tidak akan bisa menolongku."

"Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."

Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu. Dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil, lantas diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, "Koko, kau tolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!"

Bun Houw memandang aneh. "Ah, kenapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"

"Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali ke sini lagi."

"Ehh? Mengapa begitu?"

"Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..." Gadis itu kembali terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. "Koko, kau… tolonglah aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. "Engkau ini aneh sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentunya akan menceritakan berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan supaya dapat dihaturkan kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan perhiasan, terhormat dan senang..."

"Aku tidak mau! Aku tidak suka!"

"Hemmm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"

"Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"

"Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, lalu selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?"

"Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."

"Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."

"Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!"

"Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."

"Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!"

Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang telah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.

"Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?"

"Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tidak akan dapat menolongku... hu-huuh!" Yalima menangis lagi.

"Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau pada seorang pangeran?"

Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian sesudah berulang kali menghela napas dia berkata, "Seperti sudah kau ketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku itu kelak berhasil memperoleh kedudukan baik di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk dapat mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu sangat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, tapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!"

Bun Houw menarik napas panjang. "Moi-moi, ingatkah engkau bahwa dulu kita pernah membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Kaum wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapa pun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan oleh ayahmu, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu. Tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu sudah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan akan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua."

"Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!"

Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu bagai menusuk hatinya. "Moi-moi, besok pagi-pagi aku akan menemui ayahmu. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu."

"Ahh, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan terus bersembahyang semalam suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu." Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw dengan perlahan-lahan dan ragu-ragu seakan-akan dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.

Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menuruni puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak.

Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayanglah olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya dipenuhi dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya.

Dia bersilat pedang dengan sangat ganasnya. Pedang pada tangannya lenyap berubah menjadi cahaya putih bergulung-gulung sangat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas.

Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seakan-akan dia sedang merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua. Akan tetapi, betapa pun kemarahan sedang menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhu-nya dinamakan jurus Hong-tian Lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi).

Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada waktu itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sinkang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

"Krakkk...! Pyarrrr...!"

Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang itu berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu!

Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, hatinya terkejut bukan main ketika menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri hingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu.

Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

"Omitohud... mengerikan sekali melihat engkau mainkan Hong-tian Lo-te!"

Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama.

"Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian Lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini."

"Siancai... pinceng (aku) melihat engkau seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, kenapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!"

Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang walau pun sudah tua akan tetapi masih amat tajam itu, dan ia pun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik, bagaimana supaya Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa.

"Memang teecu sedang merasa penasaran bukan main, Suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu yang bernama Yalima, puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan kemarin dia telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Oleh karena merasa tak mampu menolongnya, maka teecu menjadi amat penasaran sehingga pada waktu berlatih tadi tanpa disadari teecu sudah melampiaskan kemarahan dan rasa penasaran teecu..."

"Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tak berdosa. Ha-ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng."

Dengan suara penuh semangat Bun Houw lalu menceritakan kepada suhu-nya mengenai diri Yalima. Gurunya hanya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya,

"Lalu, apa yang hendak kau lakukan untuk menolong gadis itu?"

"Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu akan membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu."

Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesan agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah sehingga tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima di dalam pelukan pangeran tua!

Sesudah selesai berlatih dan sehabis mandi bersih, barulah dia bertukar pakaian lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju dusun tempat tinggal Yalima dan langsung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu.

Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam. Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap.

Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat tapi mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang padanya. Keraguan hatinya lenyap, maka ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata,

"Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?"

"Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apa lagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia)."

"Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?"

Orang tua itu menarik napas panjang. "Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan berkecukupan hanyalah apa bila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk bisa mendekati seorang pangeran kecuali lewat anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana."

"Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena sesungguhnya dia tidak suka menjadi selir pangeran tua."

"Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka sampai di Lhasa. Akan tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula, apakah kongcu melihat jalan lain supaya keluarga kami dapat hidup baik sampai keturunan kami kelak?"

Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata, "Betapa pun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!"

"Hemmm, Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah demikian memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?"

Bun Houw terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia meloncat dari bangku yang didudukinya.

"Men... mencinta...?" teriaknya.

"Tentu kongcu mencinta anak kami."

"Aku... aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman."

"Begini, Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya sebagai isteri, nah, biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia kepada pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah mengangkat derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang kakaknya itu."

Bun Houw tercengang dan melongo bagaikan seekor monyet mendengar petasan. "Ini... ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah urusan penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambut pun saya belum memikirkan untuk menikah..."

Kepala dusun itu menarik napas panjang. "Hemmm, kalau begitu, apa boleh buat... kami harus membawanya ke Lhasa."

Bun Houw merasa diperas, maka dia lalu berkata dengan muka merah. "Terserah kepada paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri sendiri, saya tak bisa melarang, hanya selamanya saya akan menganggap bahwa paman adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman."

"Ehh, nanti dulu, orang muda!" Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit pula. "Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa." Bun Houw duduk kembali karena sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh kecemasannya memikirkan nasib Yalima.

"Semua ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang baru pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap seorang ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada pangeran! Dan juga baru sekarang ini ada orang luar yang berani mencampuri urusan antara ayah dengan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat kami, dan juga sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa."

Hati Bun Houw sudah sedemikian gembiranya sehingga dia tidak mendengarkan dengan teliti. Dia meloncat dan merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk pundaknya, bahkan hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking gembira hatinya.

"Terima kasih, paman. Terima kasih...!" katanya girang dan khawatir kalau-kalau kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tidak disangka-sangkanya itu. Dia segera berpamit dan kembali ke kuil.

"Suhu, teecu berhasil! Teecu berhasil!"
Kok Beng Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu dengan mulut tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di rumah kepala dusun, karena sebetulnya sebelum muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun termasuk janjinya kepada Bun Houw tadi adalah menurut petunjuknya yang ditaati sepenuhnya oleh kepala dusun itu!

"Bun How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?"

Seperti tadi ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun, kini Bun Houw terkejut, bahkan lebih kaget dari pada tadi karena yang berkata adalah suhu-nya. Seluruh mukanya berubah menjadi merah saat dia mengangkat muka memandang wajah gurunya.

"Suhu... teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima..."

"Itu tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian."

"Teecu tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta, dan tentang pembelaan itu... andai kata Yalima itu seorang gadis lain yang mengalami nasib sama, di luar kehendaknya hendak dipaksa dipersembahkan kepada seorang pangeran tua, kiranya teecu juga akan membelanya. Apa lagi dia yang selama ini menjadi sahabat baik teecu..."

Kok Beng Lama menghela napas. "Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi pembelaanmu ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati keluarganya, dan di dalam hati dara itu sendiri."

Bun Houw tidak mengerti dan menjawab seperti hendak membela diri, "Dia menangis dan minta pertolongan teecu..."

"Sudahlah, Bun Houw. Memang sebaiknya kalau engkau tidak jatuh cinta kepada dara itu, karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja di dalam hidupmu. Ah, agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, sudah lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan datang untuk menjemputmu pergi dari sini."

"Ohhh...! Sudah lima tahun?" Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang.

Betapa selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san serta para anak murid Cin-ling-pai. Setelah sekarang dia hampir dapat melupakan kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun telah lewat dan dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke Cin-ling-san!

"Aihh, teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan giat..."

"Muridku, ada waktunya berkumpul tentu akan tiba pula saatnya berpisah. Mengenai ilmu, semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu yang kau pelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang sudah melebihi pinceng sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu pergi supaya engkau tidak menjadi kaget."

Bun Houw pergi meninggalkan suhu-nya dengan perasaan tidak karuan rasanya. Ada rasa girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk termenung di atas batu.

Apa lagi ketika tempat ini mengingatkan dia kepada Yalima karena baru kemarin dara itu menangis dan menemuinya di tempat ini, seketika lenyap kegembiraannya untuk pulang ke Cin-ling-san. Teringatlah dia sekarang mengapa Yalima menolak dan menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa oleh ayahnya, apa kata gadis itu? Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat ini, tidak bisa meninggalkan dia! Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi dan dia merasa alangkah beratnya meninggalkan pegunungan ini, alangkah beratnya meninggalkan Yalima!

"Houw-ko (kakak Houw)...!"

Bun Houw menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak itu. Ketika tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan napasnya terengah-engah karena dia tadi berlari terus pada jalan yang mendaki.

Betapa segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa beningnya sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan manik hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan alangkah manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah kiri ujung mulut.

"Koko, terima kasih...," katanya dan langsung dia berlutut di hadapan Bun Houw sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan dua tangannya. "Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!"

Bun Houw tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke dalam hatinya, benar-benar terasa olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan kecil itu dan berkata, "Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang manis."

Sambil mengguncang-guncang tangan Bun Houw akibat gelora perasaannya, dara itu lalu bercerita, "Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah! Waktu itu aku bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi keputusanku pada saat itu? Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras memaksaku, aku akan bunuh diri!"

"Aihh, moi-moi...!"

"Benar, koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji kepadamu tidak akan membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan tetapi aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahhh, Houw-ko... engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan pertolonganmu, koko!"

Terdorong oleh gelora hatinya yang dipenuhi dengan kelegaan dan kebahagiaan, merasa bahwa dirinya sudah terlepas dari ancaman yang sangat mengerikan baginya, Yalima lalu membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya, dibelainya dengan hidung, bibir, dan pipinya.

Jantung Bun Houw berdebar keras, tangannya yang sedang diciumi oleh dara itu menjadi gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga Yalima rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima seperti tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya, kepalanya bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja memeluk pinggangnya.

Yalima juga melingkarkan kedua lengannya di atas lengan pemuda itu, memegangi jemari tangannya seakan-akan tidak ingin kedua lengan pemuda itu terlepas lagi dari rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar pada dada seraya dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman sehingga dia merasa bagai terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan mata, takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti yang terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam mimpi sekali pun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya!

Sampai lama dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang dan Yalima di depan setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang yang amat kecil itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti anak-anak ayam yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya.

Bun Houw juga memejamkan matanya, timbul tenggelam di antara perasaan nikmat dan sungkan, dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya membuat Bun Houw merasa cemas juga, dan dia segera mengambil keputusan untuk memecahkan kesunyian yang nikmat akan tetapi mencemaskan itu dengan kata-kata yang keluar agak tersendat dan gemetar.

"Moi-Moi, aku... aku dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena... aku pun merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa aku pun akan pergi dari sini...!"

Jerit halus meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat laksana seekor ular dia membalikkan tubuh menghadapi Bun Houw. Begitu cepat gerakannya sehingga kedua lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini kedua tangan dara itu mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat hampir bersentuhan dengan muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh selidik dan penuh kecemasan seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau.

"Apa katamu tadi, koko? Kau... kau mau pergi...? Pergi meninggalkan tempat ini, pergi meninggalkan... aku...?" Suaranya tersendat-sendat, dan muka yang tadi kemerahan dan berseri itu kini menjadi pucat.

Bun Houw merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan demikian dekatnya muka dara itu sehingga ketika berkata-kata itu hembusan napas dan hawanya terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan tetapi anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima.

"Houw-ko... ehh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-ko... biar aku akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan tetapi bawalah aku bersamamu..."

Melihat sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung yang kecil mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang mungil dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih bagaikan mutiara itu menggigit bibir bawah yang merah penuh seakan-akan mudah pecah itu untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali.

"Hushhh... moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima..."

"Bawalah aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan ahhh…"

Yalima tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Bagaimana dia mampu mengeluarkan kata-kata apa bila mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja ditutup oleh mulut Bun Houw?

Selama hidupnya pemuda ini belum pernah mengenal cinta, selama hidupnya baru kali ini berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja dalam mimpinya pun dia belum pernah mencium seorang wanita, apa lagi beradu mulut seperti itu. Tadi, pada waktu mendengar kata-kata Yalima yang rela menjadi anjing atau kudanya, dia tidak tahan lagi untuk tidak menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu. Sepasang tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan ucapan yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan cara menutup mulut Yalima dengan mulutnya sendiri!

Yalima merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang hebat bukan main, yang membuatnya setengah pingsan dan begitu merasa mulutnya tersumbat, kedua matanya terbelalak, akan tetapi mata itu segera terpejam karena kenyataan bahwa yang menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat dan hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnya pun bergerak mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu itu!

Entah berapa lamanya sepasang mulut itu bertemu, dan bagi mereka pada saat seperti itu waktu laksana lenyap artinya, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah pengalaman itu, sampai mereka terpaksa melepaskan mulut akibat kehabisan napas, tersendat-sendat dan terengah-engah.

Bun Houw melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa disadarinya dan kini dia memandang wajah Yalima dengan penuh keheranan, seolah-olah baru saat itu dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya yang menjadi sayu, bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang yang mengantuk, dan bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata-kata dengan gerakan bibirnya yang menjadi makin basah dan merah.

"Koko... Houw-ko..."

Melihat wajah yang sedemikian dekatnya itu, mata yang setengah terpejam, hidung yang kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan jantung yang berdetak keras sehingga terasa karena terhimpit dadanya sendiri, timbul perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan serta dorongan yang tidak dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali.... membelai seluruh bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya, bahkan ingin dia menjilat mata, hidung dan mulut itu! Seperti tidak sadar, dia hanya menjadi budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut Yalima dengan hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah sedu-sedan dari dadanya.

Begitu mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru keras, melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya ini tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir air mata.

"Yalima... maafkan... maafkan aku..."

"Houw-ko..."

"Apa... apa yang kulakukan tadi...? Maafkan aku..."

"Ahh… Houw-ko..." Yalima yang tidak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya menyebut namanya dan terisak.

"Moi-moi, aku... aku pulang dulu ke kuil...!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat dan laksana terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima yang masih menangis terisak-isak.

Sampai tiga hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman yang paling aneh dan paling hebat selama hidupnya itu terus mencekam perasaan Bun Houw, membuat dia tidak enak makan tak nyenyak tidur! Dia merasa bingung, merasa bersalah, malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetik pun wajah dengan mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya.

Kemesraan yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam dia mengakui bahwa selama hidup belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga amat khawatir karena dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang sama sekali tak dikenal dan tidak dimengertinya.

Pada hari ke empat baru dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima. Tadinya, selama tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang sangat besar, dan oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan membenci kepadanya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang sekarang kalau dikenangnya merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi pagi hari ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan minta maaf. Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka memaafkannya.

Ada suatu hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin terpecahkan karena dia tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, pada waktu mereka beradu bibir dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini juga bergerak-gerak menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan kecil halus melingkari lehernya?

Setelah mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw lalu keluar dari kamarnya, akan tetapi tiba-tiba suara suhu-nya di ruangan depan memanggilnya. Pada saat dia memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah sekali, duduk di ruangan itu berhadapan dengan suhu-nya.

"Twa-suheng... (kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)...!" Bun Houw segera berlari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada empat orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han, murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk menjemput Bun Houw pulang.

Dua orang pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada Bun Houw yang biar pun terhitung adik seperguruan mereka namun bagi mereka seperti anak atau keponakan sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya.

"Aih, Sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!" Kwee Kin Ta yang sekarang sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih itu berseru gembira sambil memegang lengan pemuda itu.

"Tentu sekarang kepandaianmu sudah meningkat hebat sekali, Sute!" Kwee Kin Ci juga memuji, dan demikian pula orang ke tiga serta ke empat dari Cap-it Ho-han menyatakan kegembiraan hatinya.

"Kami diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, Sute," kata pula Kwee Kin Ta.

Bun Houw mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka. Akan tetapi sebagai seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa saja, bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, "Beri aku waktu dua hari, twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini."

Empat orang Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena di samping mereka tidak tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari sangat baik bagi mereka.

Para pendeta Lama segera mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk mereka, dan Kok Beng Lama kemudian meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap dengan para suheng-nya itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang meninggalkan kamarnya di mana dia selalu duduk bersemedhi dengan tenangnya.

Hampir sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang suheng-nya, saling menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah bundanya dan Cin-ling-pai dalam keadaan baik-baik saja, maka senanglah hati Bun Houw dan penuturan empat orang suheng-nya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung halamannya.

Sore hari itu dan keesokan harinya dipergunakan Bun Houw untuk berpamit kepada para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu, namun dia masih belum berani mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri jika harus berpamit dari Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itu pun belum dibereskannya. Dan selama itu, tidak nampak Yalima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan Yalima, sungguh tugas ini sangat berat dan pertemuan itu tentu tidak menyenangkan.

Karena itu, setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat tinggal Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi dusun itu dan minta diri dari Yalima dan keluarganya besok pada hari terakhir saja sebelum berangkat. Maka dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan pulang kembali ke kuil. Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu.

Dalam perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan pikirannya bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya, dan juga tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena, seperti kata gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya semenjak kecil melatih diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak dipergunakan untuk kemanusiaan.

Memang seluruh perasaannya sudah menariknya untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan tetapi setiap kali teringat kepada Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya. Baru beberapa hari ini dia telah melakukan hal yang amat tidak patut kepada dara itu, dan kini dia akan meninggalkannya. Teringat akan hal ini, lenyaplah semua kegembiraannya akan pulang ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung. Sebagian hatinya ingin segera pulang ke Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi ingin selalu berdekatan dengan Yalima!

Seperti biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan purnama dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Pada waktu dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan. Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku pada tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut, wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya.

"Yalima...!"

"Houw-ko...!" Dara itu terisak. "Aku... aku mendengar... dari orang-orang… bahwa kau... kau akan... pergi...?"

"Yalima...!"

"Houw-ko...!"

Seperti ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling menghampiri dengan kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka sudah saling dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan Yalima melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tak disengaja, kembali dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh seluruh gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan seluruh kerinduan hati.

"Yalima...!"

"Koko, aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kau tinggalkan aku, Houw-ko...!"

Mereka mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah seluruh kehidupan mereka bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini.

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, kemudian secara halus memaksanya untuk melepaskan pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih bercucuran menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan banyak air mata itu juga telah membasahi muka Bun Houw ketika mereka berciuman tadi.

"Yalima, kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu...?" Bun Houw berkata gugup dan seketika sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu. Bagaimana dia mengharapkan maaf tentang ‘kesalahannya’ menciumi gadis itu kalau sekarang begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi?

"Houw-ko, aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-apa..." dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat bila teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. "Akan tetapi... jangan tinggalkan aku... kau bawalah aku pergi bersamamu, koko..."

"Tenang dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik."

Dia lalu menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu, terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih,

"Yalima, aku terpaksa akan pulang dulu ke Cin-ling-san karena ayahku sudah mengutus empat orang suheng-ku untuk menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa tidaklah mungkin untuk mengajakmu begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak akan menyetujui, juga orang tuaku mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku membawa anak gadis orang begitu saja."

Yalima mengusap air matanya, menahan isaknya sambil menundukkan muka dengan alis berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap kepala itu, untuk menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin meraih gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba.

"Nasibku memang..." terdengar suaranya lirih. "Aku tidak jadi dibawa ke Lhasa, engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?"

"Yalima..."

“Kini aku sadar betul bahwa ketidak relaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata karena ada engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak peduli apa-apa lagi..."

"Yalima, jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu saja! Aku... aku suka dan kasihan padamu... aku tidak suka melihat engkau menderita atau berduka hanya... sementara ini, tidak mungkin aku mengajakmu ke Cin-ling-san. Betapa pun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang dirimu. Jangan engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san dengan kedukaanmu, moi-moi."

Kepala Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus air matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya.

"Baik, koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan. Memang aku bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin? Apa pun yang akan terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena... engkau... ehh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!" Dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya.

"Moi-moi...!" Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu, menghalang jalan. Mereka berdiri berhadapan.

"Houw-ko...!" Yalima tidak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk, merangkul dan kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan ketat seolah-olah hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan sampai terpisah lagi.

Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat melepaskan pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk matanya dan baru sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata! Cepat dia menengok dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika dia melihat bahwa yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suheng-nya!

"Twa-suheng... ini... dia ini... ehh…, Yalima sahabatku..."

"Sute, kita harus berangkat sekarang juga, harap engkau bersiap-siap," suara suheng-nya agak kering karena betapa pun juga, hati murid pertama dari Cin-ling-pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sute-nya yang berdekapan dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara Tibet.

"Maaf... maafkan saya...," Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta dengan suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata mengandung seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

"Maaf, Suheng...," Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. "Dia... dia sahabat baik... ehh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh perpisahan ini..."

"Tidak apa, Sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-hati dan tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan amat berbahaya dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku sudah memutuskan bersama para suheng-mu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam terang bulan tentu indah sekali."

"Baik, Suheng."

Setelah berkemas, Bun Houw serta empat orang suheng-nya berpamit kepada Kok Beng Lama yang masih tetap duduk bersemedhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali tak membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw dapat mendengar suara gurunya berbisik di telinganya,

"Selamat berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!"

Bun Houw tidak terkejut karena maklum bahwa suhu-nya telah mempergunakan ilmunya yang disebut Coan-im Jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang dia pun sudah dapat melakukannya, yaitu mempergunakan khikang yang kuat menujukan suara hanya untuk telinga orang yang ditujunya.

Akan tetapi dia merasa sangat terkejut mendengar pesan supaya dia melupakan Yalima! Mungkinkah ini? Dia tidak percaya bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia lupa akan janji ayah Yalima kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di tempat itu, kepala dusun itu tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja sekarang setelah Bun Houw pergi dan tidak berada di tempat itu, lain lagi persoalannya.

********************

Laki-laki yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang yang bertubuh sedang namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya sederhana saja namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan panjang yang digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia membawa sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga ujungnya tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu.

Kepalanya tertutup rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai kuncir yang besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan lehernya. Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan sepasang mata yang amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun.

Agaknya dia telah cukup lama termenung di tepi telaga, dan memang demikianlah. Telaga Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya, kenang-kenangan manis dan pahit menjadi satu.

Pria ini adalah Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat tinggal mendiang ayah bundanya, dengan isteri tercintanya yang bernama Pek Hong Ing, puteri dari Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak tunggal yang sebetulnya hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing.

Seperti telah diceritakan dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti Yap Kun Liong pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang wanita bernama Lim Hwi Sian yang sekarang sudah meninggal dunia. Hubungan yang terjadi karena cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak perempuan, dan sebelum Lim Hwi Sian serta suaminya yang syah meninggal dunia, wanita yang mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar ini.

Pek Hong Ing adalah seorang wanita yang bijaksana dan mencinta suaminya dengan hati murni, maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterimanya dengan penuh pengertian dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan tidak ada orang lain kecuali Kun Liong serta beberapa orang tokoh yang dekat hubungannya dengan mereka mengerti bahwa Yap Mei Lan, demikian nama anak perempuan itu, adalah anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan menganggap bahwa Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya.

Karena teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan anaknya tinggal di Leng-kok di mana dulu orang tuanya tinggal dan mengalami mala petaka dalam hidup mereka. Di kota ini dia melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu membuka toko obat, karena dia juga mewarisi kitab tentang pengobatan dari ibunya.

Karena Kun Liong dan isterinya tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorang pun mengira bahwa suami dan isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu tinggi, terutama sekali Kun Liong yang mempunyai kepandaian amat tinggi dan sukar dicarikan bandingnya. Kun Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih anaknya sendiri, Mei Lan yang pada waktu itu sudah berusia empat belas tahun, seorang dara remaja yang lincah jenaka, memiliki mulut yang sangat indah seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi Sian, yang pernah membuat Kun Liong tergila-gila hanya karena keindahan mulutnya.

Beberapa pekan yang lalu, tanpa tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang yang cepat disambutnya dengan penuh kehormatan sebab orang itu bukan lain adalah seorang di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling dihormatinya, yaitu Cia Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama isterinya.

Kun Liong beserta isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh kehormatan dan kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam sebelum suami isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar tamu. Yap Mei Lan yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-tamu itu, mendengar penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai, dan dara remaja ini pun menjadi kagum sekali.

Kegembiraan Kun Liong bertambah besar ketika pada esok harinya mendengar bahwa kedatangan dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan mengenai perjodohan putera ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya!

"Putera kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal adikmu itu, Kun Liong. Maka besar harapan kami agar pertalian antara kami dan orang tuamu dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada, maka tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu," demikian antara lain Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata.

Mendengar ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu. Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri dari pendekar sakti ini, namun karena tidak saling mencinta, akhirnya perjodohan itu gagal. Giok Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu, sedangkan dia menikah dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama.

Agaknya hati ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapa pun juga usul yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang amat besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas berbalik menjadi benci kepadanya dan memusuhinya!

"Teecu (murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In Hong tentang usul perjodohan yang amat baik ini." Hanya demikian kesanggupannya, karena meski pun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah menjadi ketua Giok-hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih ragu-ragu apakah perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima perjodohan dengan putera ketua Cin-ling-pai ini dapat ditaati oleh adiknya. Terutama sekali karena di sana terdapat Yo Bi Kiok yang mengambil sikap sebagai musuhnya.

Demikianlah, setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di kota Leng-kok itu pulang bersama isterinya kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu pergi untuk mencari adik kandungnya.

Melihat latar belakang hubungan antara Yo Bi Kiok dan suaminya, maka Pek Hong Ing mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal itu hanya akan menambah kacau keadaan saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan dapat membujuk In Hong, maka dia hanya berpesan agar suaminya berhati-hati, sedangkan dia menjaga rumah dan toko bersama dengan Mei Lan, puterinya. Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat mencinta anak tirinya itu, karena dia sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya yang sudah belasan tahun dengan suami terkasih itu.

Sungguh pun selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak pernah dapat melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan mendengar tentang perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit Liong-san, dia dapat menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena dia tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu.

Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah dia ketika mendapat kenyataan bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah, murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang. Hal ini lalu dia sampaikan kepada isterinya yang memberi nasehat bahwa tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa hendak memisahkan adik kandung itu dari Bi Kiok.

“Ingat, suamiku. Biar pun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu akan tetapi jelas bahwa Bi Kiok amat sayang pada adikmu. Setelah bertahun-tahun adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat dengan dia dari pada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak kita. Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?"

Karena nasehat-nasehat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja dan tidak pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa Giok-hong-pang sekarang sudah memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak memiliki pikiran untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya itu. Dia mengerti bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan keributan belaka dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri mau pun bagi In Hong.

Akan tetapi, munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang membicarakan soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik kandungnya menggugah semangatnya. Bagaimana pun juga, adik kandungnya adalah puteri dari ayah bundanya, sepasang pendekar ternama!

Tidak mungkin dia membiarkan saja adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan berjodoh dengan seorang tokoh hitam! Tidak, ini merupakan tugas dan kewajibannya yang terakhir untuk berbakti kepada mendiang orang tuanya, yaitu mengatur supaya In Hong berjodoh dengan putera ketua Cin-ling-pai, sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu.

Pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung mengingat semua peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya pada saat dia masih menjadi seorang pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat dia akan perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih mau pun hitam sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok.

Dahulu dia pernah menyerbu pulau di tengah Telaga Kwi-ouw itu, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lagi karena sudah tahu bagaimana cara mendatangi pulau di tengah telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak dipasang orang di sekitar daerah Telaga Setan ini.

Pada saat itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Telaga Kwi-ouw dan menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya pada waktu bersama gurunya menyerbu pulau itu dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang.

Seperti telah diceritakan pada bagian depan, para anggota Giok-hong-pang yang menjadi wanita-wanita kejam pembenci pria akibat hati mereka disakiti oleh kaum pria, kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggota Kwi-eng-pang, mulai tergoda oleh nafsu birahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa yang perlu menyalurkan nafsu birahinya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain cinta yang hanya didasari atas nafsu birahi saja.

Yo Bi Kiok sendiri tidak pernah melakukan hal ini, akan tetapi tidak melarang terjadinya hal itu karena dia maklum akan keadaan para anak buahnya dan sangatlah berbahaya kalau hal itu dilarangnya. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik melihat betapa para anggota itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi budak-budak nafsu birahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria tawanan itu. Dia mulai muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran serta kekejaman para anggota Giok-hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin seperti mayat hidup dari gurunya dan mulailah dia merasa tidak kerasan tinggal di sana bersama gurunya dan para anggota Giok-hong-pang yang merupakan wanita-wanita kejam.

Yo Bi Kiok tidak melarang saat In Hong menyatakan keinginannya untuk merantau. "Aku tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau melakukan perjalanan seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama bagi wanita. Memang engkau perlu untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia ramai, berhubungan dengan masyarakat. Akan tetapi, engkau sudah memiliki bekal ilmu kepandaian yang kurasa akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu yang selama ini kuajarkan kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah mengalahkanmu. Akan tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama sekali menghadapi pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi justru bujukan mulut manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya oleh bujukan manis mulut pria."

"Teecu mengerti, Subo," jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya bujukan mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil, tidak hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggota Giok-hong-pang hingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak percaya terhadap kaum pria.

"Dan setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat keadaanmu. Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu dan menegurmu, In Hong."

"Teecu tidak akan melupakan pesan Subo."

"Kalau begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan tempat ini untuk mulai dengan perantauanmu."

Hari itu, ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum berangkat, waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah bersiap-siap dan hatinya sudah diliputi ketegangan dan kegembiraan karena dia akan segera meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas bagaikan seekor burung yang terlepas di angkasa, sendirian saja menghadapi segala tantangan, bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapa pun juga. Betapa akan senangnya hidup seperti itu!

Akan tetapi pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk di beranda depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya membaca kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang bagaikan suara setan saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka.

"Tidak salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In Hong."

Bagai disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di sana, berdiri di hadapannya sambil tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan nakal!

"Kau...? Bagaimana kau..." Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadak, juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal tempat itu dijaga sangat ketat dan penuh dengan tempat-tempat rahasia penuh perangkap.

"Hemm, agaknya engkau lupa bahwa dahulu aku sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi Kiok?"

Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!

"Aku sangat berterima kasih padamu, Bi Kiok. Ternyata engkau merawat adikku baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah. In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?"

Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan gembira ini. Biar pun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tidak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan memandang dengan wajah pucat.

Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan kembali hatinya yang tadi terguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Kini wajahnya sudah kembali menjadi dingin, dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata,

"Bagus sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!"

Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Aih, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang hidupnya masih belum matang. Kini kita sudah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja menyimpan urusan itu di hatimu?"

"Semenjak dulu engkau memang pandai sekali membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau bersiaplah untuk mampus!"

"Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku hanya datang untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan..."

Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan, maka muncullah belasan orang murid atau pengawalnya. "Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!"

Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka.

Sungguh pun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah anggota-anggota Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok dan terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu.

Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan suara nyaring, "Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak ingin mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?" Dia sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya.

Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tak tahu harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.

Melihat betapa seruannya tidak dipedulikan dan lima belas orang wanita itu menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki jiwanya, Kun Liong terpaksa menunjukkan kelihaiannya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang amat keras.

In Hong terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan karena mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sinkang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya!

Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak dan terasa mencekam sesudah suara mukjijat tadi dihentikan.

Mengertilah In Hong sekarang bahwa kakaknya tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khikang seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tak mampu lari, dan sekarang Kun Liong telah memgunakan ilmu itu untuk merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong!
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 04

Dewi Maut Jilid 04
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MURID tunggal dari Kok Beng Lama ini adalah Cia Bun Houw, putera dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Semenjak berusia lima belas tahun, tepat seperti telah dijanjikan oleh Cia Keng Hong dan isterinya, maka Bun Houw dikirim ke tempat sunyi ini untuk belajar ilmu dari Kok Beng Lama selama lima tahun. Perjanjian ini diadakan ketika Bun Houw diculik oleh para Lama yang dahulu memberontak terhadap Pemerintah Tibet.

Dengan amat tekunnya pendeta itu menurunkan ilmu-ilmunya yang paling tinggi sehingga makin meningkat pula kepandaian Bun Houw yang sebelumnya sudah sangat tinggi, hasil penggemblengan ayah bundanya yang sakti di Cin-ling-pai. Pemuda itu pun sangat suka akan ilmu silat, karena itu dia pun rajin sekali berlatih sehingga dengan mudahnya semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh gurunya dapat dia terima dan kuasai dengan mudahnya.

Tanpa terasa, lima tahun telah hampir lewat selama Bun Houw hidup di tempat sunyi itu. Tetapi dia tidak merasa kesunyian karena dia diberi kebebasan secukupnya oleh gurunya, bahkan dia diperkenankan mengunjungi dusun-dusun di sekitar tempat itu sehingga dia dapat berhubungan dengan rakyat Tibet yang cara hidupnya aneh dan asing baginya. Berkat pergaulan ini, sebentar saja Bun Houw sudah pandai berbahasa Tibet dan setelah tinggal di situ selama lima tahun, dia telah mempunyai banyak kenalan dan sahabat.

Kini Cia Bun Houw telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Karena ayah dan ibunya dulu terkenal sebagai pria yang tampan dan wanita yang cantik sekali, maka tidaklah mengerankan apa bila pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang gagah dan wajah yang tampan pula. Dan berbeda dengan watak enci-nya Cia Giok Keng yang galak dan keras hati, sebaliknya watak pemuda in halus dan manis budi, romantis dan sama sekali tidak suka akan kekerasan!

Agaknya watak ini terbentuk karena selama lima tahun dia hidup di tengah-tengah para Lama yang hidup penuh damai itu, serta pergaulannya dengan rakyat Tibet yang masih jujur, polos dan wajar sikapnya dalam cara hidupnya sehari-hari. Bun Houw suka akan segala yang indah-indah, dia dapat menikmati keindahan alam sampai berjam-jam tanpa bosan, melihat keindahan matahari terbit mau pun matahari terbenam, melihat keindahan kembang-kembang, atau duduk termenung di tepi sungai melihat air yang mengalir tiada hentinya sambil berdendang gembira.

Kegagahannya, ketampanannya, dan kemanisan budinya itu tentu saja membuat semua orang suka kepadanya, terutama sekali dara-dara Tibet yang berwatak polos dan wajar. Diam-diam banyak sekali dara Tibet yang jatuh cinta kepada Bun Houw. Akan tetapi Bun Houw bersikap manis kepada mereka semua, dan terutama sekali kepada seorang dara puteri ketua dusun yang bernama Yalima, seorang dara berusia lima belas tahun, cantik rupawan seperti setangkai bunga teratai ungu.

Dara ini begitu cantik dan selalu gembira sehingga Bun Houw merasa suka sekali kepada Yalima, dan sering kali dua orang muda ini berjalan-jalan, bersenda gurauan, bahkan Bun Houw berkenan mengajarkan ilmu silat sekedarnya kepada dara ini. Atas permintaan Bun Houw, dara Tibet ini menyebutnya koko (kakak) sedangkan dia sendiri menyebut moi-moi (adik) kepada dara itu.

Mereka masing-masing saling mengajar Bahasa Han dan Tibet, dan berkat bantuan dara inilah maka Bun Houw pandai berbicara dalam Bahasa Tibet secara lancar sedangkan Yalima, biar pun dapat juga mengerti Bahasa Han, namun dia hanya dapat mengucapkan kata-kata Han dengan kaku dan lucu. Tidak pernah ada sepatah pun kata cinta keluar dari mulut kedua orang muda ini, akan tetapi tidak saling berjumpa dua tiga hari saja mereka merasa tersiksa dan rindu!

Pada suatu senja, pada waktu Bun Houw sudah lelah berlatih ilmu pedang dan duduk beristirahat seorang diri di tempat yang disukainya, yaitu di sebuah puncak dari mana dia dapat menyaksikan matahari terbenam, pemuda ini termenung dan tenggelam ke dalam keindahan pemandangan alam yang dihadapinya.

Jauh di balik puncak-puncak gunung di barat, matahari terbenam meninggalkan cahaya merah, kuning, biru yang luar biasa indahnya. Gumpalan-gumpalan mega dan awan yang biasanya berwarna kehitaman dan putih, kini seakan-akan terbakar oleh cahaya matahari itu, menimbulkan percampuran warna sehingga terciptalah segala macam warna di dunia ini, terlukiskan di langit yang biru muda.

Gumpalan-gumpalan awan itu menciptakan bermacam bentuk yang berubah-ubah dan bergerak perlahan, hampir tidak dapat diikuti pandangan mata sehingga bentuk-bentuk itu tahu-tahu telah berobah. Warna yang tak menyilaukan mata, sedap dipandang dan amat berkesan di dalam hati. Keindahan yang serba baru, yang tidak ada hubungannya dengan keindahan matahari terbenam di waktu kemarin atau yang sudah-sudah karena memang tidak pernah sama. Keindahan yang hidup, tidak mati seperti lukisan tangan manusia.

"Koko...!"

Suara itu dikenalnya seketika. Siapa lagi yang mempunyai suara merdu jernih seperti itu, yang menyebut kata ‘koko’ dengan tekanan suara dan nada seperti itu kalau bukan Yalima? Suara yang merupakan keindahan baru bagi telinga, dan ketika dia menoleh dan memandang, agaknya keindahan alam pada waktu matahari terbenam itu masih kalah indahnya oleh dara yang kini berdiri di depannya.

Akan tetapi, mendadak Bun Houw meloncat bangun dan memandang dengan kaget dan heran. Wajah yang biasanya segar, dengan sepasang pipi merah muda, sepasang mata yang bersinar-sinar, bibir merah basah yang tersenyum manja penuh tantangan terhadap kehidupan, sekarang tampak layu dan tak bersinar lagi, biar pun masih seindah matahari terbenam!

"Moi-moi! Ada apakah...?" tanyanya sambil meloncat mendekat dan memegang tangan yang halus kulitnya akan tetapi agak kasar telapak tangannya karena setiap hari harus bekerja berat itu.

Mendengar pertanyaan orang yang selalu dikenangnya ini, tiba-tiba saja Yalima menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya di dada Bun Houw! Sejenak Bun Houw menengadah dan memejamkan matanya. Aneh rasanya! Baru sekali ini dia begitu dekat dengan Yalima, meski pun hampir setiap hari mereka bersenda gurau. Dara ini merangkul pinggangnya dan mendekapkan muka pada dadanya, terisak menangis dengan penuh kesedihan.

Bun Houw menekan jantungnya yang berdebar tegang sehingga dia berhasil melupakan ketegangan yang aneh itu, namun sekarang kekhawatiran menguasai hatinya. Tangannya mengusap rambut hitam halus yang sangat panjang dan dikuncir jadi dua itu. Diusapnya rambut di kepala yang berbau harum bunga itu.

"Aih, moi-moi, tenangkanlah hatimu dan ceritakan apa yang terjadi maka engkau yang belum pernah kulihat menangis menjadi begini berduka. Ceritakanlah dan aku pasti akan menolongmu."

Mendengar ucapan ini, Yalima melepaskan rangkulan kedua lengannya pada pinggang pemuda itu dan melangkah mundur. Mukanya menjadi merah sekali, matanya juga agak merah dan air mata membasahi sepasang pipinya, juga baju dalam Bun Houw menjadi basah. Sepasang alis kecil hitam melengkung indah seperti dilukis itu agak berkerut, akan tetapi terkilas di pandang matanya sikap yang agak canggung dan malu, agaknya baru teringat olehnya betapa tadi dia memeluk pemuda itu dan mendekap begitu erat.

Bun Houw lalu menuntun tangan dara itu duduk di atas batu-batu licin bersih yang sering mereka gunakan sebagai bangku-bangku di waktu mereka bercakap-cakap dan bersenda gurau di tempat itu. Bun Houw mengeluarkan sehelai sapu tangan bersih dan kering dari sakunya karena dara itu memegang sapu tangan yang sudah basah semua.

"Keringkanlah air matamu dan hidungmu!" katanya tersenyum menghibur.

Yalima menerima sapu tangan itu, menyusut air matanya, juga hidungnya karena di waktu menangis tadi, bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, melainkan juga hidungnya. Tanpa malu-malu karena memang mereka sudah akrab, Yalima lalu menyusut hidungnya yang kecil mancung, kemudian dia mengembalikan sapu tangan yang menjadi basah itu akan tetapi sebelum Bun Houw menerimanya, dia telah menariknya kembali dan berkata, suaranya agak parau karena tangis,

"Biar kucuci dulu!"

"Ahhh, mengapa pula kau ini? Tidak usah dicuci juga tidak apa!" Bun Houw mengambil kembali sapu tangannya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

"Terima kasih...," dara itu berkata, menyedot hidungnya dan menahan isak.

"Moi-moi, apakah yang terjadi? Kau benar-benar mengejutkan hatiku."

"Koko, benarkah engkau akan menolongku?"

"Tentu saja!"

Gadis cilik itu menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Tidak mungkin, koko. Kau tidak akan bisa menolongku."

"Ceritakanlah dulu apa persoalannya, jangan kau mudah putus harapan."

Dara itu memandang wajah Bun Houw, lalu tiba-tiba dia memegang tangan pemuda itu. Dikepalnya tangan kanan pemuda itu dengan jari-jari kedua tangannya yang kecil, lantas diguncangnya dan didekapnya sekuat tenaganya ketika dia berkata, "Koko, kau tolonglah aku, tolonglah aku! Ayah hendak membawaku ke Lhasa!"

Bun Houw memandang aneh. "Ah, kenapa engkau minta tolong? Bukankah sudah sering engkau diajak ayahmu ke Lhasa?"

"Akan tetapi sekali ini untuk selamanya, koko. Aku tidak akan kembali ke sini lagi."

"Ehh? Mengapa begitu?"

"Aku... aku... akan dihaturkan kepada seorang pangeran..." Gadis itu kembali terisak dan memandang Bun Houw dengan mata basah. "Koko, kau… tolonglah aku... akan tetapi... bagaimana mungkin... ahh, bagaimana baiknya, koko?"

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu sambil temenyum. "Engkau ini aneh sekali, moi-moi. Setiap orang wanita di daerah ini tentunya akan menceritakan berita ini sambil tertawa-tawa penuh bahagia. Bukankah setiap wanita, terutama setiap orang gadisnya di daerah ini selalu mengharapkan supaya dapat dihaturkan kepada seorang pangeran yang berkuasa di Lhasa? Kau akan berganti pakaian indah setiap hari, tidak usah bekerja di sawah dan bekerja berat, berenang di atas uang dan perhiasan, terhormat dan senang..."

"Aku tidak mau! Aku tidak suka!"

"Hemmm, kau lebih suka tetap menjadi seorang petani miskin di sini...?"

"Biar! Aku lebih suka menjadi petani miskin di sini!"

"Dan... kelak menikah dengan seorang petani miskin pula, lalu selama hidup menderita kurang makan dan pakaian?"

"Tidak! Ayahku kepala dusun, dia sudah cukup..."

"Tetap saja kelak engkau akan menikah dengan seorang petani..."

"Tidak! Aku tidak sudi menikah dengan petani!"

"Habis, dapat pangeran tidak mau, petani tidak mau..."

"Pendeknya aku tidak mau pergi meninggalkan tempat ini, tidak mau pergi meninggalkan engkau, koko!"

Bun Houw tersentak kaget, sejenak termenung memandang langit yang telah mulai gelap, cahaya kemerahan sudah mulai menipis. Dara itu terisak lagi.

"Moi-moi, bagaimana... aku dapat menolongmu?"

"Hu-hu-huuuk... aku sudah tahu... kau tidak akan dapat menolongku... hu-huuh!" Yalima menangis lagi.

"Tenang dan dengarlah, moi-moi. Aku akan berusaha. Besok aku akan menemui ayahmu dan membujuknya. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, mengapa ayahmu yang telah menjadi kepala dusun, yang tidak kekurangan sesuatu, hendak mempersembahkan engkau pada seorang pangeran?"

Yalima menyusuti air matanya dan menghentikan tangisnya, kemudian sesudah berulang kali menghela napas dia berkata, "Seperti sudah kau ketahui, koko, aku mempunyai dua orang kakak laki-laki. Ayah ingin agar kedua orang kakakku itu kelak berhasil memperoleh kedudukan baik di Lhasa dan jalan satu-satunya hanyalah memasukkan mereka bekerja membantu seorang pangeran yang berpengaruh. Untuk dapat mengambil hati pangeran itu, uang tidak ada gunanya karena kekayaan ayah hanya sedikit dan pangeran itu tidak membutuhkan uang. Maka ayah lalu mengambil keputusan untuk mempersembahkan aku kepadanya. Pangeran itu sangat berpengaruh sehingga kalau aku dapat berada di sana tentu semua keluarga akan terangkat dan terutama kedua orang kakakku akan mudah memperoleh kedudukan yang baik. Pangeran itu kabarnya tua sekali, tapi kedudukannya tinggi. Aku tidak suka, koko, sungguh mati, aku tidak suka!"

Bun Houw menarik napas panjang. "Moi-moi, ingatkah engkau bahwa dulu kita pernah membicarakan nasib wanita di sini? Di sini, bahkan juga di negeriku sana, wanita seperti barang dagangan saja, tidak seperti manusia. Kaum wanita tidak mempunyai hak untuk menentukan nasib dirinya sendiri, hanya menurut saja kepada orang tua untuk diberikan atau dijual kepada siapa pun juga. Jelas bahwa demi kemakmuran keluargamu, engkau hendak dikorbankan oleh ayahmu, dijual dengan cara halus kepada pangeran itu. Tentu ayahmu menganggap hal itu wajar dan baik saja, karena kebiasaan itu sudah berjalan ratusan tahun. Kaulah yang aneh dan dianggap salah kalau kau menolak, hal itu dianggap sebagai suatu pemberontakan terhadap kebiasaan yang sudah turun-menurun dan akan dianggap tidak berbakti terhadap orang tua."

"Akan tetapi aku tidak suka meninggalkan... engkau, koko!"

Bun Houw menggigit bibirnya, hatinya terguncang tanpa dia tahu mengapa. Ucapan itu bagai menusuk hatinya. "Moi-moi, besok pagi-pagi aku akan menemui ayahmu. Sekarang pulanglah agar engkau tidak dicari dan dimarahi ayahmu. Biasanya dia sangat suka dan hormat kepadaku, siapa tahu dia akan mendengar bujukanku dan merobah niatnya itu."

"Ahh, terima kasih, koko! Malam ini aku tidak akan tidur, aku akan terus bersembahyang semalam suntuk agar ayah suka menurut kata-katamu." Setelah berkata demikian, dara itu bangkit berdiri, melepaskan tangan Bun Houw dengan perlahan-lahan dan ragu-ragu seakan-akan dia merasa sayang melepaskannya, kemudian dia barlari dari situ dengan lincahnya.

Sampai lama Bun Houw mengikuti bayangan dara itu menuruni puncak. Setelah bayangan itu menghilang di balik batu besar, barulah dia bangkit berdiri dan dengan gerakan cepat sekali dia berlompatan dan berlari-lari pulang ke kuil. Hatinya terasa tidak enak sekali sehingga malam itu dia tidak bisa makan dan setelah berada di dalam kamarnya dia tidak dapat tidur nyenyak.

Sepanjang malam dia gelisah dan kalau dapat pulas terganggu oleh mimpi buruk tentang Yalima. Hatinya gelisah dan penuh penasaran mengingat betapa Yalima akan diberikan sebagai sebuah benda berharga kepada seorang pangeran tua. Terbayanglah olehnya betapa dara muda itu dengan penuh kengerian harus menyerahkan diri dijadikan barang permainan seorang pangeran tua! Betapa mengerikan!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah keluar dari kuil dan berlatih silat pedang di belakang kuil. Hatinya dipenuhi dengan rasa penasaran yang mendekati kemarahan. Bayangan betapa Yalima menangis dan meronta-ronta dalam pelukan seorang pangeran tua, merintih dan minta tolong kepadanya, membuat Bun Houw seperti diamuk api yang panas hatinya.

Dia bersilat pedang dengan sangat ganasnya. Pedang pada tangannya lenyap berubah menjadi cahaya putih bergulung-gulung sangat panjang dan lebarnya, menimbulkan angin yang mengeluarkan bunyi bercuitan memekakkan telinga, dan daun-daun pohon tergetar bahkan ujungnya berhamburan ke bawah seperti dibabat senjata tajam ketika pedang itu bergerak dengan sinarnya ke atas.

Berkali-kali Bun Houw meneriakkan bentakan-bentakan nyaring seakan-akan dia sedang merobohkan semua orang yang sedang memaksa Yalima menuju ke pelukan pangeran tua. Akan tetapi, betapa pun kemarahan sedang menguasai dirinya, dia tidak melupakan ilmu pedang yang sudah diajarkan oleh gurunya, bahkan dengan semangat meluap-luap dia mencoba mainkan jurus simpanan yang amat sukar dilatih, yaitu jurus rahasia yang oleh suhu-nya dinamakan jurus Hong-tian Lo-te (Angin dan Kilat Mengacau Bumi).

Tiba-tiba terdengar bunyi berdesing, pedang itu melayang ke udara dan pada waktu itu, kedua tangan Bun Houw terkepal, dengan tenaga sinkang yang dahsyat kepalan kirinya menghantam ke arah pohon besar dan kepalan tangan kanannya melayang ke arah batu di tempat itu.

"Krakkk...! Pyarrrr...!"

Pohon itu tumbang dan batu pecah berhamburan, sedangkan pedang itu sudah melayang turun kembali, cepat disambar oleh tangan kanan pemuda itu dan empat kali pedang itu berkelebat maka sisa batang pohon terbabat putus dua kali dan sisa batu juga pecah dua kali oleh pedang itu!

Mata Bun Houw terbelalak dan mukanya agak pucat, hatinya terkejut bukan main ketika menyaksikan akibat latihannya mainkan jurus ampuh itu. Bukan saja jurus itu dapat dia mainkan dengan baik, juga sesaat tadi dia lupa sama sekali, lupa diri hingga dia merusak pohon dan batu yang sama sekali tak bersalah, bahkan yang merupakan penghias tempat itu.

Dengan mata kosong dia memandang bekas tempat pohon dan batu besar dan merasa malu kepada diri sendiri. Dia mengerti bahwa kebingungan dan kemarahan membuat dia lupa diri dan bertindak seperti orang gila.

"Omitohud... mengerikan sekali melihat engkau mainkan Hong-tian Lo-te!"

Bun Houw membalikkan tubuhnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama.

"Harap suhu sudi memaafkan teecu. Teecu telah berhasil melatih Hong-tian Lo-te, akan tetapi teecu telah merusakkan batu dan pohon ini."

"Siancai... pinceng (aku) melihat engkau seperti sedang kemasukan setan. Muridku, ayo cepat katakan kepada gurumu, kenapa engkau tiba-tiba berubah menjadi pemarah seperti ini!"

Bun Houw tidak sanggup mengelabui pandang mata gurunya yang walau pun sudah tua akan tetapi masih amat tajam itu, dan ia pun berpendapat bahwa mungkin gurunya dapat memberi jalan yang baik, bagaimana supaya Yalima tidak sampai dipaksa menjadi selir pangeran tua di Lhasa.

"Memang teecu sedang merasa penasaran bukan main, Suhu, mendengar cerita seorang sahabat teecu yang bernama Yalima, puteri kepala dusun di bawah puncak. Dia hendak dipersembahkan kepada seorang pangeran tua di Lhasa, padahal anak itu tidak mau dan kemarin dia telah menemui teecu dan sambil menangis minta tolong kepada teecu. Oleh karena merasa tak mampu menolongnya, maka teecu menjadi amat penasaran sehingga pada waktu berlatih tadi tanpa disadari teecu sudah melampiaskan kemarahan dan rasa penasaran teecu..."

"Terhadap sebatang pohon dan sebongkah batu yang tak berdosa. Ha-ha-ha-ha! Betapa lucunya! Coba ceritakan dengan jelas kepada pinceng."

Dengan suara penuh semangat Bun Houw lalu menceritakan kepada suhu-nya mengenai diri Yalima. Gurunya hanya mendengarkan sambil tersenyum. Setelah Bun Houw selesai bercerita, dia bertanya,

"Lalu, apa yang hendak kau lakukan untuk menolong gadis itu?"

"Teecu hendak menjumpai ayahnya yang telah teecu kenal dengan baik dan teecu akan membujuknya agar dia mengurungkan niatnya itu."

Kembali Kok Beng Lama tertawa bergelak, kemudian dia meninggalkan muridnya setelah berpesan agar muridnya melanjutkan latihannya pagi hari itu, setelah selesai latihan baru boleh pergi. Bun Houw lalu berlatih penuh semangat dan latihan yang sungguh-sungguh ini membuat tubuhnya lelah sehingga tidak memberi kesempatan kepada pikirannya untuk membayangkan hal yang amat tidak disukanya, yaitu bayangan Yalima di dalam pelukan pangeran tua!

Sesudah selesai berlatih dan sehabis mandi bersih, barulah dia bertukar pakaian lalu dia meninggalkan kuil, turun dari puncak menuju dusun tempat tinggal Yalima dan langsung mendatangi rumah kepala dusun yang merupakan rumah terbesar di dusun itu.

Kepala dusun menyambutnya dengan ramah dan mempersilakannya duduk di ruangan dalam. Bun Houw sudah amat dikenal di dusun itu, dan sudah beberapa kali dia datang di rumah kepala dusun ini untuk bercakap-cakap.

Ketika dia duduk, dia melihat Yalima dengan muka masih pucat tapi mata bersinar penuh harapan berkelebat di ruangan belakang, memandang padanya. Keraguan hatinya lenyap, maka ketika tuan rumah menanyakan keperluannya datang di rumah itu, dengan suara tenang Bun Houw berkata,

"Harap paman memaafkan saya. Kedatangan saya ini ada hubungannya dengan berita yang saya dengar bahwa paman hendak mempersembahkan adik Yalima kepada seorang pangeran tua di Lhasa, benarkah berita itu?"

"Wahai orang muda! Urusan ayah dengan anak perempuannya sebetulnya adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Akan tetapi karena engkau adalah orang Han, maka biarlah tidak mengapa, apa lagi memang engkau adalah murid tunggal yang mulia Kok Beng Lama dan sahabat baik puteriku. Memang benar berita itu, Cia-kongcu (tuan muda Cia)."

"Maaf, paman. Akan tetapi, Yalima tidak suka dipersembahkan kepada pangeran tua itu, mengapa harus demikian?"

Orang tua itu menarik napas panjang. "Ahh, kongcu tidak mengerti keadaan kami di sini. Satu-satunya harapan bagi rakyat Tibet untuk dapat hidup terpandang dan berkecukupan hanyalah apa bila bisa memperoleh kedudukan di Lhasa dan jalan satu-satunya untuk itu hanya melalui orang-orang yang mempunyai pengaruh seperti para pangeran. Saya hanya seorang kepala dusun yang miskin dan tidak ada cara lain untuk bisa mendekati seorang pangeran kecuali lewat anak perempuanku yang kebetulan terlahir cantik menarik. Hanya itulah modal kami, kongcu. Kalau kami melakukan persembahan itu, yang kuyakin akan diterima karena Yalima amat cantik menarik, maka kami sekeluarga akan hidup bahagia. Yalima akan menjadi seorang wanita bangsawan yang terhormat dan kaya raya, orang tuanya juga akan terangkat derajatnya sedangkan dua orang kakaknya akan memperoleh kedudukan mulia di sana."

"Tapi... tapi... kesenangan keluarga paman didapatkan dengan mengorbankan Yalima! Itu tidak adil namanya! Yalima akan hidup menderita tekanan batin karena sesungguhnya dia tidak suka menjadi selir pangeran tua."

"Sebagian besar gadis muda juga begitu sebelum mereka sampai di Lhasa. Akan tetapi setelah berada di sana, mereka akan merasa bangga dan gembira sekali. Pula, apakah kongcu melihat jalan lain supaya keluarga kami dapat hidup baik sampai keturunan kami kelak?"

Bun Houw tidak mampu menjawab. Sampai lama dia mengerutkan keningnya, lalu dia berkata, "Betapa pun juga, perbuatan ini tidak adil dan kejam, paman!"

"Hemmm, Cia-kongcu. Hanya ada satu jalan, dan agaknya kalau kongcu sudah demikian memperhatikan nasib Yalima, tentu berarti kongcu mencintanya, bukan?"

Bun Houw terkejut bukan main seperti disengat ular berbisa. Hampir dia meloncat dari bangku yang didudukinya.

"Men... mencinta...?" teriaknya.

"Tentu kongcu mencinta anak kami."

"Aku... aku tidak tahu... saya suka kepadanya dan kasihan, paman."

"Begini, Cia-kongcu. Kalau kongcu mencintanya dan kongcu suka mengambilnya sebagai isteri, nah, biarlah saya akan membatalkan niat mempersembahkan dia kepada pangeran tua di Lhasa. Mempunyai mantu seperti kongcu juga sudah mengangkat derajat kami dan kelak kami harap kongcu dapat membantu kedua orang kakaknya itu."

Bun Houw tercengang dan melongo bagaikan seekor monyet mendengar petasan. "Ini... ini... saya tidak bisa memutuskan begitu saja, paman. Ini... ini adalah urusan penting yang harus disetujui orang tuaku dan... dan seujung rambut pun saya belum memikirkan untuk menikah..."

Kepala dusun itu menarik napas panjang. "Hemmm, kalau begitu, apa boleh buat... kami harus membawanya ke Lhasa."

Bun Houw merasa diperas, maka dia lalu berkata dengan muka merah. "Terserah kepada paman karena dia adalah puteri paman. Yalima tentu akan memaafkan saya karena saya sudah berusaha membujuk paman. Kalau paman berkeras hendak menjual puteri sendiri, saya tak bisa melarang, hanya selamanya saya akan menganggap bahwa paman adalah seorang ayah yang amat keji! Selamat tinggal, paman."

"Ehh, nanti dulu, orang muda!" Kepala dusun itu berkata dan ikut bangkit pula. "Duduklah dulu dan jangan tergesa-gesa." Bun Houw duduk kembali karena sadar bahwa sikapnya terlampau kasar, hal ini terdorong oleh kecemasannya memikirkan nasib Yalima.

"Semua ucapan kongcu berkesan sekali di hati saya, karena merupakan hal yang baru pertama kali ini terjadi. Selamanya belum pernah ada orang menganggap seorang ayah berlaku keji terhadap puterinya yang dipersembahkan kepada pangeran! Dan juga baru sekarang ini ada orang luar yang berani mencampuri urusan antara ayah dengan anak perempuannya. Baiklah kongcu. Selama kongcu menjadi sahabat kami, dan juga sahabat puteriku Yalima, selama kongcu berada di sini, saya berjanji tidak akan mengantar Yalima ke Lhasa."

Hati Bun Houw sudah sedemikian gembiranya sehingga dia tidak mendengarkan dengan teliti. Dia meloncat dan merangkul kepala dusun itu, menepuk-nepuk pundaknya, bahkan hampir saja dia suka mencium pipi yang brewokan itu saking gembira hatinya.

"Terima kasih, paman. Terima kasih...!" katanya girang dan khawatir kalau-kalau kepala dusun itu akan menarik kembali janjinya yang tidak disangka-sangkanya itu. Dia segera berpamit dan kembali ke kuil.

"Suhu, teecu berhasil! Teecu berhasil!"
Kok Beng Lama memandang muridnya yang bersorak-sorak seperti anak kecil itu dengan mulut tersenyum. Tentu saja dia sudah tahu akan semua yang terjadi di rumah kepala dusun, karena sebetulnya sebelum muridnya mengunjungi ayah Yalima tadi, dia sudah lebih dulu menemui kepala dusun itu dan semua jawaban kepala dusun termasuk janjinya kepada Bun Houw tadi adalah menurut petunjuknya yang ditaati sepenuhnya oleh kepala dusun itu!

"Bun How, cinta benarkah engkau kepada dara itu?"

Seperti tadi ketika mendengar perkataan tentang cinta dari kepala dusun, kini Bun Houw terkejut, bahkan lebih kaget dari pada tadi karena yang berkata adalah suhu-nya. Seluruh mukanya berubah menjadi merah saat dia mengangkat muka memandang wajah gurunya.

"Suhu... teecu suka dan kasihan kepada adik Yalima..."

"Itu tandanya cinta, maka engkau membelanya mati-matian."

"Teecu tidak tahu, teecu tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan cinta, dan tentang pembelaan itu... andai kata Yalima itu seorang gadis lain yang mengalami nasib sama, di luar kehendaknya hendak dipaksa dipersembahkan kepada seorang pangeran tua, kiranya teecu juga akan membelanya. Apa lagi dia yang selama ini menjadi sahabat baik teecu..."

Kok Beng Lama menghela napas. "Pinceng mengerti, muridku. Akan tetapi pembelaanmu ini tentu saja menimbulkan harapan-harapan di dalam hati keluarganya, dan di dalam hati dara itu sendiri."

Bun Houw tidak mengerti dan menjawab seperti hendak membela diri, "Dia menangis dan minta pertolongan teecu..."

"Sudahlah, Bun Houw. Memang sebaiknya kalau engkau tidak jatuh cinta kepada dara itu, karena hal itu hanya akan mendatangkan keruwetan saja di dalam hidupmu. Ah, agaknya engkau lupa bahwa waktu yang kita janjikan, yaitu lima tahun, sudah lewat tanpa terasa oleh kita. Kurasa dalam hari-hari mendatang ini ayahmu akan datang untuk menjemputmu pergi dari sini."

"Ohhh...! Sudah lima tahun?" Bun Houw terkejut, akan tetapi juga girang.

Betapa selama ini dia sering merindukan ayah bundanya, merindukan Cin-ling-san serta para anak murid Cin-ling-pai. Setelah sekarang dia hampir dapat melupakan kerinduannya karena kehidupan yang mulai menarik di Tibet, tahu-tahu lima tahun telah lewat dan dalam waktu singkat dia akan ikut ayahnya kembali ke Cin-ling-san!

"Aihh, teeeu senang tinggal di sini, suhu, dan teecu sedang berlatih dengan giat..."

"Muridku, ada waktunya berkumpul tentu akan tiba pula saatnya berpisah. Mengenai ilmu, semua ilmu yang kukenal telah kuberikan kepadamu, dan ditambah dengan ilmu yang kau pelajari dari ayahmu, kiranya engkau sekarang sudah melebihi pinceng sendiri. Nah, kau bersiap-siaplah sebelum ayahmu tiba-tiba datang mengajakmu pergi supaya engkau tidak menjadi kaget."

Bun Houw pergi meninggalkan suhu-nya dengan perasaan tidak karuan rasanya. Ada rasa girang, akan tetapi juga ada rasa sedih meninggalkan tempat yang mulai disukanya itu. Dia naik ke puncak yang menjadi tempat kesukaannya itu dan duduk termenung di atas batu.

Apa lagi ketika tempat ini mengingatkan dia kepada Yalima karena baru kemarin dara itu menangis dan menemuinya di tempat ini, seketika lenyap kegembiraannya untuk pulang ke Cin-ling-san. Teringatlah dia sekarang mengapa Yalima menolak dan menangis ketika hendak dibawa pergi ke Lhasa oleh ayahnya, apa kata gadis itu? Bahwa Yalima tidak bisa meninggalkan tempat ini, tidak bisa meninggalkan dia! Dan sekarang tiba giliran dia yang harus pergi dan dia merasa alangkah beratnya meninggalkan pegunungan ini, alangkah beratnya meninggalkan Yalima!

"Houw-ko (kakak Houw)...!"

Bun Houw menengok dan tersenyum melihat Yalima berlari-lari naik ke puncak itu. Ketika tiba di depannya, seluruh wajah yang halus itu kemerahan dan napasnya terengah-engah karena dia tadi berlari terus pada jalan yang mendaki.

Betapa segarnya sepasang pipi itu, kemerahan seperti digosok yanci. Betapa beningnya sepasang mata yang bersinar-sinar itu, bagian putihnya amat bersih dan manik hitamnya berkilauan. Dan mulut itu. Tersenyum lebar, segar kemerahan dan alangkah manisnya, dengan bibir basah dan penuh, terhias lesung pipit di sebelah kiri ujung mulut.

"Koko, terima kasih...," katanya dan langsung dia berlutut di hadapan Bun Houw sambil memegang tangan pemuda itu, digenggamnya erat-erat dengan dua tangannya. "Terima kasih, Houw-ko. Engkau telah menghidupkan kembali Yalima!"

Bun Houw tersenyum. Rasa kebahagiaan yang aneh dan hangat menyelinap ke dalam hatinya, benar-benar terasa olehnya. Dia membalas genggaman jari-jari tangan kecil itu dan berkata, "Aku girang melihat engkau bergembira, Yalima adikku yang manis."

Sambil mengguncang-guncang tangan Bun Houw akibat gelora perasaannya, dara itu lalu bercerita, "Aku mendengarkan semua percakapan antara engkau dan ayah! Waktu itu aku bersembunyi di balik bilik itu dan tahukah apa yang menjadi keputusanku pada saat itu? Kalau engkau tidak berhasil, kalau ayah bersikeras memaksaku, aku akan bunuh diri!"

"Aihh, moi-moi...!"

"Benar, koko. Akan tetapi ketika mendengar ayah akhirnya berjanji kepadamu tidak akan membawaku ke Lhasa, hampir aku berteriak-teriak saking senangku, akan tetapi aku tidak berani berteriak dan aku hanya menari-nari saja. Ahhh, Houw-ko... engkau membikin aku bahagia sekali, sampai mati aku tidak akan melupakan pertolonganmu, koko!"

Terdorong oleh gelora hatinya yang dipenuhi dengan kelegaan dan kebahagiaan, merasa bahwa dirinya sudah terlepas dari ancaman yang sangat mengerikan baginya, Yalima lalu membawa tangan pemuda yang digenggamnya itu ke depan mukanya, dibelainya dengan hidung, bibir, dan pipinya.

Jantung Bun Houw berdebar keras, tangannya yang sedang diciumi oleh dara itu menjadi gemetar dan dia cepat-cepat menarik tangannya, lalu merangkul sehingga Yalima rebah di atas dadanya dan tidak dapat lagi menciumi tangannya. Yalima seperti tidak bertulang lagi, begitu lemas dan lunak rebah di atas dadanya, kepalanya bersandar di atas dada dan kedua lengan Bun Houw tanpa disengaja memeluk pinggangnya.

Yalima juga melingkarkan kedua lengannya di atas lengan pemuda itu, memegangi jemari tangannya seakan-akan tidak ingin kedua lengan pemuda itu terlepas lagi dari rangkulan pada punggungnya. Duduk seperti itu, bersandar pada dada seraya dipeluk pinggangnya, mendatangkan rasa aman dan nyaman sehingga dia merasa bagai terayun-ayun di antara gumpalan awan putih di langit biru, begitu penuh damai, tenteram bahagia dan bebas dari segala ancaman. Yalima memejamkan mata, takut kalau-kalau yang dialaminya ini hanya mimpi lagi saja seperti yang terlalu sering dia mimpikan, dia tidak ingin pengalaman ini, biar dalam mimpi sekali pun, untuk berakhir, ingin rebah seperti itu selama hidupnya!

Sampai lama dua orang muda itu duduk seperti itu. Bun Houw di belakang dan Yalima di depan setengah rebah di dadanya, kedua lengannya melingkari pinggang yang amat kecil itu dan jari-jari tangan Yalima tergetar-getar dan halus seperti anak-anak ayam yang baru menetas, hinggap di atas kedua tangannya.

Bun Houw juga memejamkan matanya, timbul tenggelam di antara perasaan nikmat dan sungkan, dibuai oleh gelora hatinya sendiri. Getaran-getaran aneh di tubuhnya membuat Bun Houw merasa cemas juga, dan dia segera mengambil keputusan untuk memecahkan kesunyian yang nikmat akan tetapi mencemaskan itu dengan kata-kata yang keluar agak tersendat dan gemetar.

"Moi-Moi, aku... aku dapat merasakan kedukaanmu ketika hendak pergi, karena... aku pun merasa demikian... setelah diingatkan suhu bahwa aku pun akan pergi dari sini...!"

Jerit halus meluncur keluar dari mulut Yalima dan dengan gerakan cepat laksana seekor ular dia membalikkan tubuh menghadapi Bun Houw. Begitu cepat gerakannya sehingga kedua lengan Bun Houw masih melingkari pinggangnya dan kini kedua tangan dara itu mencengkeram dada baju Bun Houw, mukanya begitu dekat hampir bersentuhan dengan muka Bun Houw dan kedua matanya memandangi penuh selidik dan penuh kecemasan seperti mata seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau.

"Apa katamu tadi, koko? Kau... kau mau pergi...? Pergi meninggalkan tempat ini, pergi meninggalkan... aku...?" Suaranya tersendat-sendat, dan muka yang tadi kemerahan dan berseri itu kini menjadi pucat.

Bun Houw merasa betapa kecemasan hebat terbawa oleh pertanyaan itu, dan demikian dekatnya muka dara itu sehingga ketika berkata-kata itu hembusan napas dan hawanya terasa meniup pipinya dengan halus. Dia hanya mengangguk, akan tetapi anggukan ini datang seperti palu godam menghantam kepala Yalima.

"Houw-ko... ehh, Houw-ko, aku ikut...! Kalau kau pergi, bawalah aku, Houw-ko... biar aku akan menjadi pelayanmu, menjadi budakmu, menjadi apa saja... akan tetapi bawalah aku bersamamu..."

Melihat sepasang mata lebar dan indah itu terbelalak penuh kecemasan, hidung yang kecil mancung itu kembang kempis cupingnya seperti mau menangis, mulut yang mungil dengan bibir yang merah basah itu tergetar dan gigi-gigi kecil putih bagaikan mutiara itu menggigit bibir bawah yang merah penuh seakan-akan mudah pecah itu untuk menahan tangis, Bun Houw merasa terharu sekali.

"Hushhh... moi-moi... hushhh, jangan berkata begitu, Yalima..."

"Bawalah aku bersamamu, koko, biar aku menjadi anjingmu, kudamu dan ahhh…"

Yalima tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi. Bagaimana dia mampu mengeluarkan kata-kata apa bila mulutnya yang setengah ternganga itu tiba-tiba saja ditutup oleh mulut Bun Houw?

Selama hidupnya pemuda ini belum pernah mengenal cinta, selama hidupnya baru kali ini berdekatan dengan seorang dara, dan tentu saja dalam mimpinya pun dia belum pernah mencium seorang wanita, apa lagi beradu mulut seperti itu. Tadi, pada waktu mendengar kata-kata Yalima yang rela menjadi anjing atau kudanya, dia tidak tahan lagi untuk tidak menghentikan kata-kata yang merendahkan diri itu. Sepasang tangannya masih memeluk pinggang, dan dia setengah mati terpesona oleh keindahan mulut yang berada demikian dekatnya, mulut yang mengeluarkan ucapan yang harus dihentikannya itu, maka agaknya hanya naluri saja yang menggerakkan dia untuk menghentikan kata-kata itu dengan cara menutup mulut Yalima dengan mulutnya sendiri!

Yalima merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan getaran yang hebat bukan main, yang membuatnya setengah pingsan dan begitu merasa mulutnya tersumbat, kedua matanya terbelalak, akan tetapi mata itu segera terpejam karena kenyataan bahwa yang menutup mulutnya adalah bibir Bun Houw mendatangkan perasaan demikian nikmat dan hangat sehingga dia hanya mengerang dan tanpa disadarinya bibirnya pun bergerak mempererat ciuman yang terjadi tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dulu itu!

Entah berapa lamanya sepasang mulut itu bertemu, dan bagi mereka pada saat seperti itu waktu laksana lenyap artinya, diri sendiri dilupakan dan yang hidup hanyalah pengalaman itu, sampai mereka terpaksa melepaskan mulut akibat kehabisan napas, tersendat-sendat dan terengah-engah.

Bun Houw melepaskan mulutnya, membuka mata yang tadi terpejam tanpa disadarinya dan kini dia memandang wajah Yalima dengan penuh keheranan, seolah-olah baru saat itu dia mengenal wajah dara ini. Yalima membuka sedikit matanya yang menjadi sayu, bulu matanya gemetar, matanya sukar dibuka seperti mata orang yang mengantuk, dan bibirnya berbisik tanpa suara, hanya membentuk kata-kata dengan gerakan bibirnya yang menjadi makin basah dan merah.

"Koko... Houw-ko..."

Melihat wajah yang sedemikian dekatnya itu, mata yang setengah terpejam, hidung yang kembang-kempis, mulut yang setengah terbuka, dada yang terengah-engah dan jantung yang berdetak keras sehingga terasa karena terhimpit dadanya sendiri, timbul perasaan aneh di dalam hati Bun Houw. Timbul desakan serta dorongan yang tidak dimengertinya, tidak dikenalnya, yang membuat dia ingin sekali.... membelai seluruh bagian muka itu, membelai dengan hidungnya, dengan bibirnya, bahkan ingin dia menjilat mata, hidung dan mulut itu! Seperti tidak sadar, dia hanya menjadi budak dari dorongan hasrat itu, dan ketika dia membelai mulut Yalima dengan hidung, bibir dan lidahnya, dara itu mengerang dan naiklah sedu-sedan dari dadanya.

Begitu mendengar suara sedu-sedan ini, seketika Bun Houw sadar. Dia berseru keras, melepaskan pelukannya dan meloncat turun dari atas batu itu. Gerakannya ini tiba-tiba sekali sehingga hampir saja Yalima terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat Bun Houw menyambar tangannya. Mereka kini berdiri saling berhadapan, agak jauh, muka mereka pucat dan dari kedua mata Yalima mengalir air mata.

"Yalima... maafkan... maafkan aku..."

"Houw-ko..."

"Apa... apa yang kulakukan tadi...? Maafkan aku..."

"Ahh… Houw-ko..." Yalima yang tidak dapat mengeluarkan kata-kata itu hanya menyebut namanya dan terisak.

"Moi-moi, aku... aku pulang dulu ke kuil...!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat dan laksana terbang cepatnya dia sudah lari meninggalkan Yalima yang masih menangis terisak-isak.

Sampai tiga hari lamanya pengalaman yang dianggapnya merupakan pengalaman yang paling aneh dan paling hebat selama hidupnya itu terus mencekam perasaan Bun Houw, membuat dia tidak enak makan tak nyenyak tidur! Dia merasa bingung, merasa bersalah, malu, akan tetapi juga harus diakuinya bahwa tidak sedetik pun wajah dengan mata sayu dan mulut setengah terbuka itu dapat terlupa olehnya.

Kemesraan yang dialaminya itu menggores kuat-kuat di dalam hatinya dan diam-diam dia mengakui bahwa selama hidup belum pernah dia mengalami saat-saat bahagia seperti itu. Diam-diam dia merasa berbahagia akan tetapi juga amat khawatir karena dia merasa seperti memasuki suatu bagian hidup yang aneh dan asing, yang sama sekali tak dikenal dan tidak dimengertinya.

Pada hari ke empat baru dia mengambil keputusan untuk pergi mencari Yalima. Tadinya, selama tiga hari itu, perasaan rindunya tertahan oleh rasa malu yang sangat besar, dan oleh perasaan khawatir kalau-kalau dara itu akan marah dan membenci kepadanya atas semua perbuatan yang telah dilakukannya, yang sekarang kalau dikenangnya merupakan perbuatan yang amat menghina dara itu agaknya. Akan tetapi pagi hari ke empat ini, dia mengeraskan hatinya, hendak menjumpai Yalima dan minta maaf. Dia percaya bahwa dara yang amat baik budi itu akan suka memaafkannya.

Ada suatu hal yang merupakan rahasia baginya, yang tidak mungkin terpecahkan karena dia tidak akan berani bertanya kepada Yalima. Yaitu, pada waktu mereka beradu bibir dan mulut mereka saling bertemu, benarkah bibir dara ini juga bergerak-gerak menyambutnya, mengecupnya, dan terasa olehnya ada dua lengan kecil halus melingkari lehernya?

Setelah mengenakan pakaiannya yang terbaik, Bun Houw lalu keluar dari kamarnya, akan tetapi tiba-tiba suara suhu-nya di ruangan depan memanggilnya. Pada saat dia memasuki ruangan itu, dia melihat ada empat orang laki-laki yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun lebih, bersikap sederhana namun gagah sekali, duduk di ruangan itu berhadapan dengan suhu-nya.

"Twa-suheng... (kakak seperguruan pertama)...! Ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)...!" Bun Houw segera berlari masuk dan cepat menjura dengan hormat kepada empat orang tamu itu yang bukan lain adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han, murid-murid kepala ketua Cin-ling-pai yang diutus oleh guru mereka untuk menjemput Bun Houw pulang.

Dua orang pertama, Kwee Kin Tan dan adiknya, Kwee Kin Ci, amat sayang kepada Bun Houw yang biar pun terhitung adik seperguruan mereka namun bagi mereka seperti anak atau keponakan sendiri yang mereka kenal sejak lahir dan sejak kecilnya.

"Aih, Sute, engkau telah menjadi seorang pemuda perkasa!" Kwee Kin Ta yang sekarang sudah menjadi seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih itu berseru gembira sambil memegang lengan pemuda itu.

"Tentu sekarang kepandaianmu sudah meningkat hebat sekali, Sute!" Kwee Kin Ci juga memuji, dan demikian pula orang ke tiga serta ke empat dari Cap-it Ho-han menyatakan kegembiraan hatinya.

"Kami diutus oleh ayahmu untuk menjemputmu pulang, Sute," kata pula Kwee Kin Ta.

Bun Houw mengangguk, terhimpit antara perasaan suka dan duka. Akan tetapi sebagai seorang pemuda gemblengan dia telah dapat membuat air mukanya biasa saja, bahkan kelihatan girang ketika dia menjawab, "Beri aku waktu dua hari, twa-suheng. Aku harus pamit dulu kepada seluruh sahabatku di daerah ini."

Empat orang Cap-it Ho-han itu tidak menaruh keberatan karena di samping mereka tidak tergesa-gesa, juga mereka merasa senang dengan tempat yang indah itu, dan perjalanan jauh itu melelahkan sehingga beristirahat barang dua tiga hari sangat baik bagi mereka.

Para pendeta Lama segera mempersiapkan sebuah kamar tamu untuk mereka, dan Kok Beng Lama kemudian meninggalkan muridnya agar dapat bercakap-cakap dengan para suheng-nya itu. Memang telah beberapa bulan ini Kok Beng Lama jarang meninggalkan kamarnya di mana dia selalu duduk bersemedhi dengan tenangnya.

Hampir sehari lamanya Bun Houw bercakap-cakap dengan keempat orang suheng-nya, saling menuturkan keadaan selama lima tahun ini. Mendengar bahwa ayah bundanya dan Cin-ling-pai dalam keadaan baik-baik saja, maka senanglah hati Bun Houw dan penuturan empat orang suheng-nya itu menimbulkan rasa rindu kepada kampung halamannya.

Sore hari itu dan keesokan harinya dipergunakan Bun Houw untuk berpamit kepada para penghuni dusun-dusun di sekitar tempat itu, namun dia masih belum berani mengunjungi dusun Yalima. Dia merasa bingung dan ngeri jika harus berpamit dari Yalima, sedangkan urusan kemarin dulu itu pun belum dibereskannya. Dan selama itu, tidak nampak Yalima datang mencarinya. Agaknya dara itu marah dan benci kepadanya. Dan kalau dia harus datang hanya untuk berpamit pergi meninggalkan Yalima, sungguh tugas ini sangat berat dan pertemuan itu tentu tidak menyenangkan.

Karena itu, setelah bersangsi sampai lama di puncak, memandang ke arah dusun tempat tinggal Yalima, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi dusun itu dan minta diri dari Yalima dan keluarganya besok pada hari terakhir saja sebelum berangkat. Maka dia lalu menuruni puncak dan berjalan perlahan-lahan pulang kembali ke kuil. Kunjungan terakhir di puncak itu benar-benar membuat dia lemas karena teringatlah semua pengalamannya yang hebat dengan Yalima di puncak itu.

Dalam perjalanan ke kuil ini, Bun Houw melangkah perlahan-lahan dan pikirannya bekerja keras. Dia memang ingin pulang, rindu kepada ayah bundanya, dan juga tidak mungkin dia harus bersembunyi di tempat sunyi ini, karena, seperti kata gurunya, kepandaiannya akan terpendam dan jerih payahnya semenjak kecil melatih diri dengan banyak ilmu akan sia-sia belaka kalau tidak dipergunakan untuk kemanusiaan.

Memang seluruh perasaannya sudah menariknya untuk segera pulang ke Cin-ling-san. Akan tetapi setiap kali teringat kepada Yalima, jantungnya menjadi perih rasanya. Baru beberapa hari ini dia telah melakukan hal yang amat tidak patut kepada dara itu, dan kini dia akan meninggalkannya. Teringat akan hal ini, lenyaplah semua kegembiraannya akan pulang ke Cin-ling-san dan dia menjadi bingung. Sebagian hatinya ingin segera pulang ke Cin-ling-san, akan tetapi sebagian lagi ingin selalu berdekatan dengan Yalima!

Seperti biasa, dia memasuki kuil melalui pintu belakang yang berbentuk bulan purnama dan yang menembus taman bunga di belakang bangunan-bangunan kuil. Pada waktu dia hendak memasuki pintu bulan itu, terdengar suara berkeresekan. Pendengarannya amat tajam dan dia cepat menengok, hanya untuk terpaku pada tempatnya karena dia melihat Yalima berdiri dengan pakaian dan rambut kusut, wajah pucat dan pandang mata sayu, mata layu karena banyak menangis agaknya.

"Yalima...!"

"Houw-ko...!" Dara itu terisak. "Aku... aku mendengar... dari orang-orang… bahwa kau... kau akan... pergi...?"

"Yalima...!"

"Houw-ko...!"

Seperti ditarik oleh besi sembrani, kedua orang muda itu lari saling menghampiri dengan kedua pasang tangan mereka terkembang dan di lain saat mereka sudah saling dekap. Kedua lengan Bun Houw melingkari punggung dan kedua lengan Yalima melingkari leher. Di antara isak tangis Yalima, seperti tak disengaja, kembali dua mulut itu bertemu dalam suatu ciuman yang mesra, yang disertai oleh seluruh gairah perasaan yang menggelora, yang panas dan menjadi pelepasan seluruh kerinduan hati.

"Yalima...!"

"Koko, aku ikut... demi para Dewa... aku ikut... jangan kau tinggalkan aku, Houw-ko...!"

Mereka mengeluh, merintih dan saling berciuman seolah-olah seluruh kehidupan mereka bergantung dari pertemuan yang asyik masyuk ini.

Bun Houw memegang kedua pundak dara itu, kemudian secara halus memaksanya untuk melepaskan pelukan mereka. Sejenak mereka saling pandang, air mata masih bercucuran menimpa sepasang pipi yang kini menjadi agak kemerahan itu, dan banyak air mata itu juga telah membasahi muka Bun Houw ketika mereka berciuman tadi.

"Yalima, kau... kau memaafkan aku... tentang kemarin dulu...?" Bun Houw berkata gugup dan seketika sadar betapa bodohnya pertanyaannya itu. Bagaimana dia mengharapkan maaf tentang ‘kesalahannya’ menciumi gadis itu kalau sekarang begitu berjumpa mereka sudah saling berciuman lagi?

"Houw-ko, aku tidak akan memaafkan apa-apa karena kau tidak bersalah apa-apa..." dara itu mulai bicara lancar, akan tetapi kembali tersendat-sendat bila teringat betapa pemuda ini akan meninggalkannya. "Akan tetapi... jangan tinggalkan aku... kau bawalah aku pergi bersamamu, koko..."

"Tenang dan sabarlah, moi-moi. Mari kita duduk dan bicara dengan baik."

Dia lalu menuntun tangan gadis itu dan mereka duduk di bawah pohon di luar taman itu, terhalang oleh pagar tembok. Dengan kedua pasang tangan masih saling berpegangan, Bun Houw lalu berkata lirih,

"Yalima, aku terpaksa akan pulang dulu ke Cin-ling-san karena ayahku sudah mengutus empat orang suheng-ku untuk menjemputku. Dan engkau tentu mengerti bahwa tidaklah mungkin untuk mengajakmu begitu saja. Selain orang tuaku tentu tidak akan menyetujui, juga orang tuaku mungkin akan marah-marah kepadaku kalau aku membawa anak gadis orang begitu saja."

Yalima mengusap air matanya, menahan isaknya sambil menundukkan muka dengan alis berkerut dan rambut kusut. Melihat keadaan dara ini, timbul keinginan luar biasa kuatnya di hati Bun Houw untuk meraihnya, memeluk tubuh itu dan mendekap kepala itu, untuk menghibur dan membujuknya agar jangan berduka. Hatinya ingin meraih gadis itu dengan penuh rasa haru dan iba.

"Nasibku memang..." terdengar suaranya lirih. "Aku tidak jadi dibawa ke Lhasa, engkau yang pergi meninggalkan aku. Apa bedanya...?"

"Yalima..."

“Kini aku sadar betul bahwa ketidak relaanku dibawa ayah ke Lhasa semata-mata karena ada engkau di sini, Houw-ko. Kalau engkau pergi, aku... aku... tidak peduli apa-apa lagi..."

"Yalima, jangan berkata demikian! Aku tidak akan melupakan engkau begitu saja! Aku... aku suka dan kasihan padamu... aku tidak suka melihat engkau menderita atau berduka hanya... sementara ini, tidak mungkin aku mengajakmu ke Cin-ling-san. Betapa pun, aku berjanji akan bicara dengan ayah bundaku tentang dirimu. Jangan engkau membikin berat perjalananku yang jauh ke Cin-ling-san dengan kedukaanmu, moi-moi."

Kepala Yalima makin menunduk, sejenak seperti orang berpikir, kemudian menghapus air matanya dan dia bangkit berdiri, senyum paksaan membayang di wajahnya.

"Baik, koko! Baiklah, pulanglah engkau, dan aku menghaturkan selamat jalan. Memang aku bodoh, mengapa minta yang bukan-bukan dan yang tidak mungkin? Apa pun yang akan terjadi dengan diriku, aku sudah merasa bahagia karena... karena... engkau... ehh, suka dan kasihan kepadaku. Selamat jalan, koko...!" Dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari, menahan isaknya.

"Moi-moi...!" Sekali meloncat, Bun Houw sudah berada di depan gadis itu, menghalang jalan. Mereka berdiri berhadapan.

"Houw-ko...!" Yalima tidak dapat menahan jeritnya dan dia lalu menubruk, merangkul dan kembali dua orang muda itu saling rangkul dan saling dekap dengan ketat seolah-olah hendak melebur tubuh masing-masing menjadi satu agar jangan sampai terpisah lagi.

Terdengar suara orang terbatuk-batuk dari balik pintu bulan. Bun Houw cepat melepaskan pelukan dan ciumannya. Dua butir air mata berlinang di pelupuk matanya dan baru sekali ini dia begitu terharu sampai melinangkan air mata! Cepat dia menengok dan mukanya berubah menjadi merah sampai ke lehernya ketika dia melihat bahwa yang batuk-batuk itu adalah Kwee Kin Ta, twa-suheng-nya!

"Twa-suheng... ini... dia ini... ehh…, Yalima sahabatku..."

"Sute, kita harus berangkat sekarang juga, harap engkau bersiap-siap," suara suheng-nya agak kering karena betapa pun juga, hati murid pertama dari Cin-ling-pai ini terkejut dan tidak suka menyaksikan perbuatan sute-nya yang berdekapan dan berciuman di tempat terbuka seperti itu dengan seorang dara Tibet.

"Maaf... maafkan saya...," Yalima berkata sambil menjura kepada Kwee Kin Ta dengan suara gemetar, kemudian sekali lagi dia memandang dengan sinar mata mengandung seribu satu macam perasaan ke arah wajah Bun Houw, kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.

"Maaf, Suheng...," Bun Houw berkata sambil menundukkan mukanya. "Dia... dia sahabat baik... ehh, seperti adik sendiri, dan... dia... amat berduka oleh perpisahan ini..."

"Tidak apa, Sute, aku mengerti perasaan hati orang muda, asal engkau hati-hati dan tidak mudah tunduk terhadap perasaan muda yang menggelora dan amat berbahaya dan tidak sembarangan memilih! Hatiku terasa tidak enak, maka aku sudah memutuskan bersama para suheng-mu yang juga merasa tidak enak, untuk berangkat sekarang juga. Malam ini terang bulan dan perjalanan di pegunungan di malam terang bulan tentu indah sekali."

"Baik, Suheng."

Setelah berkemas, Bun Houw serta empat orang suheng-nya berpamit kepada Kok Beng Lama yang masih tetap duduk bersemedhi di dalam kamarnya. Kakek ini sama sekali tak membuka matanya ketika lima orang itu berlutut dan minta diri, akan tetapi ketika mereka berlima meninggalkan kamar itu, Bun Houw dapat mendengar suara gurunya berbisik di telinganya,

"Selamat berpisah, muridku, dan lupakan saja Yalima!"

Bun Houw tidak terkejut karena maklum bahwa suhu-nya telah mempergunakan ilmunya yang disebut Coan-im Jip-bit (Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh) yang dia pun sudah dapat melakukannya, yaitu mempergunakan khikang yang kuat menujukan suara hanya untuk telinga orang yang ditujunya.

Akan tetapi dia merasa sangat terkejut mendengar pesan supaya dia melupakan Yalima! Mungkinkah ini? Dia tidak percaya bahwa dia akan mampu melupakan dara itu. Dia lupa akan janji ayah Yalima kepadanya, yaitu bahwa selama Bun Houw berada di tempat itu, kepala dusun itu tidak akan membawa Yalima ke Lhasa. Tentu saja sekarang setelah Bun Houw pergi dan tidak berada di tempat itu, lain lagi persoalannya.

********************

Laki-laki yang berdiri termenung di tepi Telaga Kwi-ouw itu adalah seorang yang bertubuh sedang namun tegap dan membayangkan kekuatan dahsyat. Pakaiannya sederhana saja namun pakaian dalamnya ringkas tertutup jubah lebar dan lengan panjang yang digulung di bagian pergelangannya. Di balik jubah lebar itu dia membawa sebatang pedang yang tergantung di pinggang, agak ke atas sehingga ujungnya tidak sampai tersembul keluar dari jubah lebar itu.

Kepalanya tertutup rambut yang hitam tebal, dikumpulkan ke belakang menjadi sehelai kuncir yang besar dan tebal, dan pada saat itu kuncirnya melibat pundak dan lehernya. Seorang laki-laki yang bersikap gagah, berwajah tampan dengan sepasang mata yang amat tajam, berusia kurang lebih tiga puluh enam tahun.

Agaknya dia telah cukup lama termenung di tepi telaga, dan memang demikianlah. Telaga Kwi-ouw ini mendatangkan kenang-kenangan hebat dalam ingatannya, kenang-kenangan manis dan pahit menjadi satu.

Pria ini adalah Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang kini tinggal di Leng-kok, yaitu tempat tinggal mendiang ayah bundanya, dengan isteri tercintanya yang bernama Pek Hong Ing, puteri dari Kok Beng Lama dan Yap Mei Lan, seorang anak mereka, anak tunggal yang sebetulnya hanyalah anak tiri dari Pek Hong Ing.

Seperti telah diceritakan dalam cerita Petualang Asmara, Pendekar Sakti Yap Kun Liong pernah melakukan hubungan badan, bermain cinta dengan seorang wanita bernama Lim Hwi Sian yang sekarang sudah meninggal dunia. Hubungan yang terjadi karena cinta sefihak dari Lim Hwi Sian ini menghasilkan seorang anak perempuan, dan sebelum Lim Hwi Sian serta suaminya yang syah meninggal dunia, wanita yang mencintai Yap Kun Liong ini menyerahkan anak mereka kepada pendekar ini.

Pek Hong Ing adalah seorang wanita yang bijaksana dan mencinta suaminya dengan hati murni, maka pengakuan Kun Liong tentang anak ini diterimanya dengan penuh pengertian dan kesabaran sehingga anak itu kemudian mereka pelihara dan tidak ada orang lain kecuali Kun Liong serta beberapa orang tokoh yang dekat hubungannya dengan mereka mengerti bahwa Yap Mei Lan, demikian nama anak perempuan itu, adalah anak tiri Pek Hong Ing. Anak itu sendiri tidak tahu dan menganggap bahwa Pek Hong Ing adalah ibu kandungnya.

Karena teringat akan mendiang ayah bundanya, Kun Liong mengajak isteri dan anaknya tinggal di Leng-kok di mana dulu orang tuanya tinggal dan mengalami mala petaka dalam hidup mereka. Di kota ini dia melanjutkan usaha orang tuanya, yaitu membuka toko obat, karena dia juga mewarisi kitab tentang pengobatan dari ibunya.

Karena Kun Liong dan isterinya tidak pernah menonjolkan diri, maka tidak ada seorang pun mengira bahwa suami dan isteri itu adalah pasangan pendekar yang berilmu tinggi, terutama sekali Kun Liong yang mempunyai kepandaian amat tinggi dan sukar dicarikan bandingnya. Kun Liong juga tidak mengambil murid, hanya melatih anaknya sendiri, Mei Lan yang pada waktu itu sudah berusia empat belas tahun, seorang dara remaja yang lincah jenaka, memiliki mulut yang sangat indah seperti mulut ibu kandungnya, Lim Hwi Sian, yang pernah membuat Kun Liong tergila-gila hanya karena keindahan mulutnya.

Beberapa pekan yang lalu, tanpa tersangka-sangka Kun Liong kedatangan seorang yang cepat disambutnya dengan penuh kehormatan sebab orang itu bukan lain adalah seorang di antara guru-gurunya dan merupakan orang yang paling dihormatinya, yaitu Cia Keng Hong, kakek yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama isterinya.

Kun Liong beserta isterinya menyambut tergopoh-gopoh dengan penuh kehormatan dan kegembiraan, dan mereka berempat mengobrol sampai jauh malam sebelum suami isteri dari Cin-ling-pai itu dipersilakan mengaso dalam kamar tamu. Yap Mei Lan yang terheran melihat ayah bundanya begitu menghormat tamu-tamu itu, mendengar penuturan ayah bundanya tentang Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai, dan dara remaja ini pun menjadi kagum sekali.

Kegembiraan Kun Liong bertambah besar ketika pada esok harinya mendengar bahwa kedatangan dua orang terhormat itu adalah untuk membicarakan mengenai perjodohan putera ketua Cin-ling-pai itu dengan Yap In Hong, adiknya!

"Putera kami tinggal seorang, demikian pula keturunan orang tuamu tinggal adikmu itu, Kun Liong. Maka besar harapan kami agar pertalian antara kami dan orang tuamu dapat disambung dengan perjodoban ini. Karena orang tuamu sudah tidak ada, maka tentu saja engkau menjadi wali dari adikmu itu," demikian antara lain Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu berkata.

Mendengar ini, Kun Liong mengangguk-angguk dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu. Pernah dia hendak dijodohkan dengan Cia Giok Keng, puteri dari pendekar sakti ini, namun karena tidak saling mencinta, akhirnya perjodohan itu gagal. Giok Keng menikah dengan Lie Kong Tek murid Hong Khi Hoatsu, sedangkan dia menikah dengan Pek Hong Ing puteri Kok Beng Lama.

Agaknya hati ketua Cin-ling-pai ini masih penasaran dan kini ingin menyambung pertalian keluarga itu antara putera mereka dan adiknya. Akan tetapi, betapa pun juga usul yang amat menggembirakan hatinya ini dibarengi dengan kekhawatiran yang amat besar pula. Sejak kecil adiknya itu, Yap In Hong, dipelihara sebagai murid terkasih oleh Yo Bi Kiok yang karena cinta terhadap dirinya tidak terbalas berbalik menjadi benci kepadanya dan memusuhinya!

"Teecu (murid) akan berusaha untuk mencari dan memberi tahu kepada adik In Hong tentang usul perjodohan yang amat baik ini." Hanya demikian kesanggupannya, karena meski pun dia sudah mendengar bahwa Yo Bi Kiok telah menjadi ketua Giok-hong-pang dan kini bermarkas di Kwi-ouw, akan tetapi masih ragu-ragu apakah perintahnya kepada adik kandungnya untuk menerima perjodohan dengan putera ketua Cin-ling-pai ini dapat ditaati oleh adiknya. Terutama sekali karena di sana terdapat Yo Bi Kiok yang mengambil sikap sebagai musuhnya.

Demikianlah, setelah ketua Cin-ling-pai yang tinggal selama sepekan di kota Leng-kok itu pulang bersama isterinya kembali ke Cin-ling-san, Yap Kun Liong lalu pergi untuk mencari adik kandungnya.

Melihat latar belakang hubungan antara Yo Bi Kiok dan suaminya, maka Pek Hong Ing mengerti bahwa kalau dia ikut pergi, hal itu hanya akan menambah kacau keadaan saja. Dia percaya bahwa suaminya tentu akan dapat mengatasi Yo Bi Kiok dan akan dapat membujuk In Hong, maka dia hanya berpesan agar suaminya berhati-hati, sedangkan dia menjaga rumah dan toko bersama dengan Mei Lan, puterinya. Terhadap Mei Lan, wanita cantik ini amat mencinta anak tirinya itu, karena dia sendiri tidak memperoleh keturunan selama pernikahannya yang sudah belasan tahun dengan suami terkasih itu.

Sungguh pun selama ini dia tidak pernah mencari In Hong, namun Kun Liong tidak pernah dapat melupakan adiknya itu. Ketika dia melakukan penyelidikan dan mendengar tentang perkumpulan wanita yang bernama Giok-hong-pang di lereng Bukit Liong-san, dia dapat menduga bahwa tentu perkumpulan itu dipimpin oleh Bi Kiok, karena dia tahu bahwa Bi Kiok berjuluk Giok-hong-cu.

Berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat menyelidik tanpa diketahui dan giranglah dia ketika mendapat kenyataan bahwa memang tepat dugaannya. Perkumpulan itu dipimpin oleh Yo Bi Kiok dan adiknya menjadi seorang dara cantik dan gagah, murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang. Hal ini lalu dia sampaikan kepada isterinya yang memberi nasehat bahwa tidak baik kalau suaminya itu dengan paksa hendak memisahkan adik kandung itu dari Bi Kiok.

“Ingat, suamiku. Biar pun Bi Kiok bukan ibu atau kakak sendiri dari adikmu itu akan tetapi jelas bahwa Bi Kiok amat sayang pada adikmu. Setelah bertahun-tahun adikmu dididiknya dan dipeliharanya, tentu saja adikmu juga lebih dekat dengan dia dari pada denganmu, biar engkau kakak kandungnya sendiri. Ingat anak kita. Bukankah aku juga amat sayang kepadanya dan dia amat sayang kepadaku?"

Karena nasehat-nasehat isterinya yang tercinta, Kun Liong mendiamkan saja dan tidak pernah dia mendatangi adiknya. Bahkan ketika dia mendengar betapa Giok-hong-pang sekarang sudah memindahkan pusatnya di Kwi-ouw, dia juga tidak memiliki pikiran untuk mengganggu ketenteraman hidup In Hong bersama gurunya itu. Dia mengerti bahwa pertemuan antara dia dan Bi Kiok hanya akan menimbulkan keributan belaka dan hal ini sama sekali tidak ada kebaikannya bagi dia sendiri mau pun bagi In Hong.

Akan tetapi, munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya yang membicarakan soal perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu dengan adik kandungnya menggugah semangatnya. Bagaimana pun juga, adik kandungnya adalah puteri dari ayah bundanya, sepasang pendekar ternama!

Tidak mungkin dia membiarkan saja adiknya itu terseret ke dalam dunia kaum sesat dan berjodoh dengan seorang tokoh hitam! Tidak, ini merupakan tugas dan kewajibannya yang terakhir untuk berbakti kepada mendiang orang tuanya, yaitu mengatur supaya In Hong berjodoh dengan putera ketua Cin-ling-pai, sahabat-sahabat baik sekali dari orang tuanya dahulu.

Pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di tepi Telaga Kwi-ouw dan termenung mengingat semua peristiwa yang terjadi dan yang dialaminya pada saat dia masih menjadi seorang pemuda dahulu, belasan tahun yang lalu di telaga ini. Teringat dia akan perebutan bokor emas yang merupakan pusaka milik Panglima The Hoo yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw baik dari kalangan putih mau pun hitam sehingga akhirnya bokor emas itu tanpa ada yang mengetahuinya terjatuh ke tangan Yo Bi Kiok.

Dahulu dia pernah menyerbu pulau di tengah Telaga Kwi-ouw itu, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lagi karena sudah tahu bagaimana cara mendatangi pulau di tengah telaga itu tanpa terjebak perangkap yang banyak dipasang orang di sekitar daerah Telaga Setan ini.

Pada saat itu, telah lebih dari tiga bulan Giok-hong-pang merampas Telaga Kwi-ouw dan menjadikan pulau di tengah telaga itu sebagai markas besarnya. Yo Bi Kiok tinggal di telaga itu, di dalam gedung mewah di tengah pulau bersama muridnya Yap In Hong yang telah memperlihatkan kelihaiannya pada waktu bersama gurunya menyerbu pulau itu dan menaklukkan orang-orang Kwi-eng-pang.

Seperti telah diceritakan pada bagian depan, para anggota Giok-hong-pang yang menjadi wanita-wanita kejam pembenci pria akibat hati mereka disakiti oleh kaum pria, kini setelah mempunyai hamba-hamba taklukan dari para anggota Kwi-eng-pang, mulai tergoda oleh nafsu birahi mereka sendiri sebagai manusia-manusia biasa yang perlu menyalurkan nafsu birahinya itu sehingga mulailah mereka mempergunakan pria-pria taklukan itu untuk menjadi pelayan mereka dalam bermain cinta yang hanya didasari atas nafsu birahi saja.

Yo Bi Kiok sendiri tidak pernah melakukan hal ini, akan tetapi tidak melarang terjadinya hal itu karena dia maklum akan keadaan para anak buahnya dan sangatlah berbahaya kalau hal itu dilarangnya. Akan tetapi In Hong menjadi muak dan jijik melihat betapa para anggota itu kini menjadi pemerkosa-pemerkosa, menjadi budak-budak nafsu birahi yang melampiaskannya dengan cara memaksa para pria tawanan itu. Dia mulai muak dan tidak tahan terhadap segala kekasaran serta kekejaman para anggota Giok-hong-pang, merasa tidak puas melihat sikap dingin seperti mayat hidup dari gurunya dan mulailah dia merasa tidak kerasan tinggal di sana bersama gurunya dan para anggota Giok-hong-pang yang merupakan wanita-wanita kejam.

Yo Bi Kiok tidak melarang saat In Hong menyatakan keinginannya untuk merantau. "Aku tidak keberatan, muridku. Akan tetapi hati-hatilah engkau melakukan perjalanan seorang diri. Dunia ini amat kejam, terutama bagi wanita. Memang engkau perlu untuk meluaskan pengetahuanmu dan melihat dunia ramai, berhubungan dengan masyarakat. Akan tetapi, engkau sudah memiliki bekal ilmu kepandaian yang kurasa akan cukup untuk melindungi keselamatanmu. Dengan ilmu-ilmu yang selama ini kuajarkan kepadamu, tidak akan ada orang yang dapat mudah mengalahkanmu. Akan tetapi engkau tetap harus waspada dan hati-hati, terutama sekali menghadapi pria! Bukan kekasarannya yang perlu ditakuti, akan tetapi justru bujukan mulut manisnya! Lihat betapa banyaknya kaum wanita yang rusak hidupnya oleh bujukan manis mulut pria."

"Teecu mengerti, Subo," jawab In Hong karena peringatan akan berbahayanya bujukan mulut manis pria ini sudah didengarnya ratusan kali sejak dia kecil, tidak hanya dari mulut gurunya melainkan juga dari mulut para anggota Giok-hong-pang hingga di dalam hatinya tumbuh pula perasaan tidak senang dan tidak percaya terhadap kaum pria.

"Dan setahun sekali engkau harus kembali ke sini agar aku dapat melihat keadaanmu. Kalau engkau tidak pulang, aku akan mencarimu dan menegurmu, In Hong."

"Teecu tidak akan melupakan pesan Subo."

"Kalau begitu bersiaplah, sepekan lagi engkau boleh pergi meninggalkan tempat ini untuk mulai dengan perantauanmu."

Hari itu, ketika Kun Liong tiba di tepi Telaga Kwi-ouw, In Hong masih belum berangkat, waktunya untuk pergi masih dua hari lagi. Akan tetapi dia sudah bersiap-siap dan hatinya sudah diliputi ketegangan dan kegembiraan karena dia akan segera meninggalkan tempat yang membosankan itu dan akan hidup bebas bagaikan seekor burung yang terlepas di angkasa, sendirian saja menghadapi segala tantangan, bertanggung jawab sendiri tanpa menurut siapa pun juga. Betapa akan senangnya hidup seperti itu!

Akan tetapi pada hari itu menjelang tengah hari ketika Bi Kiok sedang duduk di beranda depan yang teduh, dan In Hong duduk tidak jauh dari gurunya, keduanya membaca kitab tentang sejarah kuno karena sejak kecil In Hong juga dilatih kesusasteraan oleh Bi Kiok, tiba-tiba terdengar suara orang bagaikan suara setan saja karena tidak diketahui kapan orang itu tiba di dekat mereka.

"Tidak salah lagi, engkau tentulah Yo Bi Kiok dan dia... dia itu tentu In Hong."

Bagai disambar halilintar Bi Kiok melempar kitabnya dan meloncat bangun, menghadapi Kun Liong yang sudah muncul di sana, berdiri di hadapannya sambil tersenyum, dengan senyum dan pandang matanya yang masih seperti dulu, begitu jenaka dan nakal!

"Kau...? Bagaimana kau..." Bi Kiok berseru dengan kaget dan heran sekali bukan hanya karena dia bertemu kembali dengan Kun Liong secara begitu mendadak, juga bagaimana orang ini dapat muncul di situ tanpa diketahui penjaga, padahal tempat itu dijaga sangat ketat dan penuh dengan tempat-tempat rahasia penuh perangkap.

"Hemm, agaknya engkau lupa bahwa dahulu aku sudah pernah menyerbu ke tempat ini ketika tempat ini masih dikuasai oleh Kwi-eng Niocu. Apakah engkau sudah lupa lagi, Bi Kiok?"

Bi Kiok memandang dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Suara itu, pandang mata itu, masih seperti dulu, penuh sikap bergurau!

"Aku sangat berterima kasih padamu, Bi Kiok. Ternyata engkau merawat adikku baik-baik sehingga dia telah menjadi seorang dara yang cantik jelita dan gagah. In Hong, engkau tentu tidak lupa kepada kakak kandungmu, bukan?"

Akan tetapi In Hong hanya memandang dengan wajah pucat. Dia tahu siapa laki-laki gagah dan gembira ini. Biar pun baru satu kali dia bertemu dengan kakak kandungnya, akan tetapi wajah kakaknya tidak pernah dapat dia lupakan. Akan tetapi dia tahu harus bersikap bagaimana karena dia tahu betapa bencinya wanita yang menjadi gurunya itu terhadap kakak kandungnya, maka dia hanya berdiri mematung dan memandang dengan wajah pucat.

Akan tetapi Bi Kiok sudah dapat menenangkan kembali hatinya yang tadi terguncang dan panik tidak karuan karena pertemuan yang begitu tiba-tiba dengan satu-satunya pria yang pernah dicintanya itu. Kini wajahnya sudah kembali menjadi dingin, dan suaranya dingin menyeramkan ketika dia berkata,

"Bagus sekali, Yap Kun Liong! Aku belum sempat mencarimu untuk mencabut nyawamu, sekarang engkau sendiri telah datang mengantar nyawa!"

Kun Liong merasa betapa suara itu amat dingin mengandung kebencian mendalam. Dia pun menarik napas panjang dan berkata, "Aih, Yo Bi Kiok, urusan belasan tahun yang lalu antara kita hanyalah urusan orang-orang muda yang hidupnya masih belum matang. Kini kita sudah sama-sama hampir tua, apakah engkau masih saja menyimpan urusan itu di hatimu?"

"Semenjak dulu engkau memang pandai sekali membujuk. Aku tidak perlu banyak bicara lagi denganmu karena aku yakin bahwa kedatanganmu ini tentu berniat buruk. Nah, kau bersiaplah untuk mampus!"

"Bi Kiok, nanti dulu! Lupakah engkau akan persahabatan antara kita yang amat akrab di waktu muda dahulu? Aku datang bukan dengan maksud buruk. Aku hanya datang untuk menengok adik kandungku yang hanya satu-satunya ini dan untuk bicara dengan dia. Aku tidak akan mengganggu ketenangan di sini dan..."

Akan tetapi Bi Kiok sudah bertepuk tangan, maka muncullah belasan orang murid atau pengawalnya. "Kalian bodoh dan lengah! Lihat, ada orang jahat masuk ke sini dan kalian sama sekali tidak tahu. Hayo serbu dan bunuh dia!"

Kun Liong tidak dapat banyak protes lagi karena dia telah dikurung dan diserbu oleh lima belas orang wanita dengan pedang di tangan. Karena mereka menerima perintah ketua atau guru mereka, tentu saja lima belas orang wanita yang kesemuanya pembenci pria itu segera menyerang kalang kabut dengan pedang mereka.

Sungguh pun kelihatannya kalang kabut penuh dengan semangat dan nafsu membunuh, namun gerakan mereka itu teratur karena lima belas orang ini semua adalah anggota-anggota Ngo-heng-tin, yaitu barisan pedang yang diciptakan oleh Bi Kiok dan terdiri dari masing-masing lima orang yang dapat bekerja sama dengan lihai sekali. Karena mereka berjumlah lima belas, otomatis di situ terdapat tiga kelompok barisan pedang Ngo-heng-tin dan lima belas batang pedang itu berkelebatan dan menyerang dengan bertubi-tubi dan sambung-menyambung dengan kecepatan yang makin lama makin hebat sehingga tubuh Kun Liong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang-pedang itu.

Sambil mengelak ke kanan kiri, Kun Liong masih berusaha mengingatkan Bi Kiok dengan suara nyaring, "Yo-pangcu (ketua Yo), aku datang sebagai tamu yang tidak ingin mencari permusuhan, pantaskah kalau disambut seperti ini?" Dia sengaja menyebut Yo-pangcu untuk menghormati Bi Kiok di depan para anak buahnya.

Namun Bi Kiok hanya berdiri dengan wajah dingin, menyaksikan gerakan anak buahnya, sedangkan In Hong berdiri meremas-remas tangannya sendiri, tak tahu harus berbuat apa melihat kakak kandungnya dikeroyok belasan orang dengan barisan Ngo-heng-tin yang dia tahu amat lihai itu.

Melihat betapa seruannya tidak dipedulikan dan lima belas orang wanita itu menyerang makin hebat dengan tusukan dan bacokan maut yang benar-benar menghendaki jiwanya, Kun Liong terpaksa menunjukkan kelihaiannya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang amat keras.

In Hong terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan karena mendengar suara ini, jantungnya berdebar telinganya terngiang-ngiang dan kedua kakinya menggigil. Setelah dia mengerahkan sinkang baru dia dapat bertahan, akan tetapi dia melihat dengan penuh kekagetan betapa lima belas orang wanita yang mengeroyok kakak kandungnya itu semua robon bergulingan dan seperti lumpuh kaki tangannya!

Kun Liong berdiri dengan sikap tenang dan baru menghentikan lengking suaranya setelah melihat semua pengeroyoknya terguling. Suasana menjadi sunyi sekali setelah pendekar itu menghentikan suaranya, sunyi yang amat tidak enak dan terasa mencekam sesudah suara mukjijat tadi dihentikan.

Mengertilah In Hong sekarang bahwa kakaknya tadi menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang, semacam bentakan yang mengandung khikang seperti gerengan seekor singa yang dapat melumpuhkan calon korban dan mangsanya. Di dalam hutan, singa-singa dan harimau-harimau cukup menggereng saja untuk membuat korbannya lumpuh dan tak mampu lari, dan sekarang Kun Liong telah memgunakan ilmu itu untuk merobohkan lima belas orang pengeroyoknya. Bukan main kagumnya hati In Hong!
Selanjutnya,