Dewi Maut Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Dewi Maut Jilid 02
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG adalah seorang dara yang amat mencinta gurunya. Bagi dia, Yo Bi Kiok adalah seorang guru, seorang ketua, sahabat, dan juga kakak atau pengganti ibu sendiri! Hanya Bi Kiok seoranglah yang dipandangnya di dunia ini. Maka tidak mengherankan apa bila dia amat mencinta dan taat kepada gurunya ini.

Di dalam pertandingan ini, ketika melihat gurunya dikeroyok oleh ketua Kwi-eng-pang dan empat pembantunya yang dia tahu jauh lebih lihai dari pada dua puluh enam orang yang mengeroyoknya, maka dia tidak mau merobohkan seorang pun lawan sebelum gurunya lebih dahulu merobohkan para pengeroyoknya. Dia tidak mau mendahului gurunya karena hal ini dianggapnya akan dapat menimbulkan perasaan tak senang di hati gurunya! Inilah sebabnya mengapa In Hong hanya menghindarkan diri dari semua tangan itu tanpa mau membalas sama sekali.

Haiiiiitttttttt...!"

Tiba-tiba saja Kiang Ti memekik keras saking marahnya ketika pukulan-pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kedua tangannya kini mendorong ke depan, ke arah dada Bi Kiok dan dari kedua telapak tangannya yang sangat hitam itu menyambar hawa pukulan dahsyat disertai bau yang amat amis.

Sekali ini Bi Kiok tidak mengelak, bahkan dia juga menggerakkan kedua lengan, dengan kedua tangan terbuka menyambut dorongan telapak tangan lawan itu.

"Ahh, engkau mau mencari mampus," demikian suara hati Kiang Ti sambil mengerahkan Hek-tok-ciang sekuat tenaganya hingga kedua lengannya berubah menjadi hitam sekali, mengkilap dan mengeluarkan bau yang amis memuakkan.

"Plakkkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu, saling tempel dan saling dorong dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Tubuh Kiang Ti tergetar hebat dan ketua Kwi-eng-pang ini segera mengerahkan seluruh tenaganya dengan keyakinan bahwa wanita ini tentu akan roboh dengan tubuh hitam semua karena racun dari hawa pukulan Hek-tok-ciang.

Akan tetapi Bi Kiok berdiri tegak dengan kedua lengan lurus, tubuhnya sedikit pun tidak bergoyah, sedangkan mata dan mulutnya membayangkan ejekan yang membuat Kiang Ti makin penasaran dan makin marah.

"Haaaahhhhhhhh…!"

Dia kembali mengerahkan tenaga dan bukan main kagetnya pada saat dia merasa bahwa dua tangannya bertemu dengan hawa yang amat panas dan tenaga yang amat dahsyat sehingga membendung semua tekanan hawa pukulan Hek-tok-ciang, bahkan mendorong tenaga Hek-tok-ciang membalik, kemudian hawa panas itu mulai menyerangnya, keluar dari telapak tangan halus itu, mula-mula memasuki ujung jari-jari tangannya, kemudian makin lama makin jauh memasuki tangannya.

Kiang Ti terkejut bukan main. Jari-jari tangannya seperti dibakar rasanya. Dia cepat-cepat berusaha untuk melepaskan kedua tangannya, akan tetapi ternyata dua tangan itu sudah melekat pada tangan lawan, sedikit pun tidak dapat direnggangkan, apa lagi dilepaskan! Beberapa kali dia berusaha menarik kembali kedua tangan, namun akhirnya dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin.

Maka dia menjadi nekat, tenaga Hek-tok-ciang makin dia kerahkan, namun semua sia-sia belaka. Hawa panas mendesak semakin jauh, melalui pergelangan tangan, terus naik ke lengannya dan ketika sampai di atas siku, dia tidak kuat lagi bertahan saking panas dan nyerinya sehingga Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang itu menjerit-jerit!

"Aduhh... panas... panasss... aduhhhh, lepaskan...!" Tanpa malu-malu lagi Kiang Ti yang selama ini terkenal sebagai seorang ketua Kwi-eng-pang yang sangat ditakuti, sekarang berteriak-teriak. Mukanya pucat sekali dan penuh dengan keringat dingin, dua lengannya kemerahan seperti dipanggang api, kedua kaki menggigil menahan kenyerian yang amat hebat.

Bi Kiok tersenyum lebar, sepasang tangannya menggigil ketika dia mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga serangannya menjadi makin hebat, membuat kedua lengan Kiang Ti ikut menggigil.

"Aduhhh... aduhhhh... am... punnn...!" Kiang Ti yang kini merasa betapa seturuh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan minta-minta ampun.

"Krekk! Krekk! Augghhhh...!"

Tubuh Kiang Ti menjadi lemas, lantas dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua tangannya setelah dengan pengerahan sinkang-nya dia membuat tulang-tulang dari kedua lengan lawannya itu retak-retak.

"In Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!" Bi Kiok berkata kepada muridnya ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke sana-sini dengan cekatan bagai seekor burung walet.

"Baik, Subo!" In Hong berkata sesudah dia melihat betapa subo-nya sudah merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali sambil berseru, "Robohlah...!"

Hebat bukan main akibatnya. Berturut-turut dua puluh enam orang itu roboh dan tidak dapat bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In Hong di tengah-tengah dua puluh enam tubuh orang yang malang-melintang di sekelilingnya.

Mereka semua menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar dingin hijau dan berbau harum, tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, dia pun hanya merobohkan kedua puluh enam orang itu dengan pasir tanpa membunuh, hanya membuat mereka pingsan saja.

Pada saat itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di pulau. Berkat petunjuk para tawanan, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah dan takluk, para anggota Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat.

Bi Kiok lalu memerintah para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan supaya semua keluarga anggota Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggota Giok-hong-pang.

Kiang Ti dan para anggotanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Segera tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tidak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat dari pada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li!

Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang sudah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggota Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!

Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tidak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia mengerti bahwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di hadapannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya.

Suasana sunyi, tidak ada seorang pun yang berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggota Kwi-eng-pang yang telah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.

"Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?" Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengangkat muka.

"Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!"

Yo Bi Kiok tersenyum. "Engkau dan keempat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia sedang menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian."

Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya saat dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tak sepadan dibandingkan dengan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata.

Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!

"Memang aku telah melakukan itu, habis kau mau apa?" tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapa pun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tidak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya sesudah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga.

"Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba...," seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.

"Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas..."

"Kami hanya diperintah oleh pangcu kami..."

Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba saja berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan tatap mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada henti-hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.

"Pengecut hina dan busuk!" Tiba-tiba Bi Kiok membentak, cepat tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang segera menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus!

Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi hatinya puas karena dia pun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.

"Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kau temuilah Lui Hwa di sana!"

Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tidak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong.

Cepat bukan main gerakannya sehingga yang tampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Kemudian dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang baru mati sesudah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama, sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang!

Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggota Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main.

"Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggota Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!" Suara ini halus, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang berani berkutik, apa lagi maju ke depan wanita luar biasa itu.

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua sudah dia bunuh sebagai hukuman. Akan tetapi menurut Lui Hwa pula, empat orang anak buahnya yang lain itu telah direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggota Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan.

Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini. Dari nenek dan kakek sampai anak-anak semuanya menundukkan muka dan kelihatan ketakutan serta berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis dan berusia paling banyak tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!

“Heiiii, kau ke sinilah!" Bi Kiok menggapai dengan tangannya.

Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan. Akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, "Jangan takut karena mulai saat ini juga engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorang pun akan berani mengganggumu!"

Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, "Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat." Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.
"Siapa namamu?"

"Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu."

"Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?"

Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu bercerita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, merupakan wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain yang berada di situ. Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang, akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya.

"Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu..." Dia menangis lagi.

Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. "Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggota Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang dahulu telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu."

Kiat Bwee mengangguk. "Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri."

"Nah, kau tunjuklah mereka seorang demi seorang." Bi Kiok lantas menunjuk tiga orang pembantunya. "Kalian melaksanakan hukumannya!"

Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk kemudian mencabut pedang masing-masing. Mereka lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampak sangat gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan ketiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo bagi orang-orang Kwi-eng-pang itu.

"Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!" Kiat Bwee menudingkan telunjuknya.

Setiap kali Kiat Bwee menuding, tampaklah cahaya pedang berkelebat disusul suara jerit mengerikan dan robohlah lelaki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam keadaan amat mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggota kelamin para pria itu.

Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruang itu sudah penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat tudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tidak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!

Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok kemudian mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. Ruangan yang tadinya menjadi tempat pembantaian manusia itu telah dibersihkan oleh para anggota Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggota Kwi-eng-pang.

Mulai saat itu, sisa anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggota Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi dari pada yang laki-laki.

Mulai saat itu pula Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu dijadikan sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah, sedangkan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggota tapi budak-budak yang setiap hari harus bekerja keras di ladang, mencari ikan dan pekerjaan berat yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, apa lagi melarikan diri, karena mereka juga maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka.

Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apa pun membayang di dalam sinar matanya, seakan-akan dia tidak peduli dengan semua yang dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperlihatkan kecantikan yang demikian mempesonakan, kehalusan yang demikian mengharukan, tapi memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi?

Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiri pun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya mengenai pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tak senang kepada pria.

Apa lagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang sudah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggota Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan yang timbul di hatinya ketika melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapa pun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan.

Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. Bahkan pada saat dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, secara diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu!

Sesudah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Telaga Kwi-ouw, dengan tenteram dan senang mereka hidup di tempat yang indah ini. Para anggota Giok-hong-pang makin tekun pula mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang menjadi perkumpulan yang sangat kuat dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.

In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan kehidupan para anggota Giok-hong-pang. Melihat betapa anggota Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggota Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan diri sendiri, untuk memuaskan nafsu birahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan.

Gurunya yang juga tahu akan hal ini, tidak melarang! Meski pun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggota Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak!

Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggota Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang mempergunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau.

Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang telah dewasa itu untuk selamanya tinggal di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.

Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak bersih lagi, menjadi tidak wajar lagi sehingga pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatangkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apa bila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.

Hubungan yang bagaimana dekat pun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apa bila di sana terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau pun sahabat akan merupakan sikap yang palsu apa bila sikap itu timbul dikarenakan suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal yang bertentangan dan mendatangkan duka.


********************

Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah ini merupakan daerah pegunungan, dan dari Puncak Cin-ling-san ini dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya, yaitu Pegunungan Ta-pa-san di selatan dan Pegunungan Beng-san yang besar di sebelah barat. Jauh di timur tampak pula puncak Gu-niu-san yang bersambung di antara mega-mega.

Seperti pada semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia, di mana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, maka di Cin-ling-san pun pemandangan alam amat megah dan indahnya.

Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari salah sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan sangat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang di waktu itu amat terkenal sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga sangat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai.

Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang amat sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, akan tetapi ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan.

Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang.

Pada waktu itu, tidak ada seorang pun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh bahkan berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, dengan berbagai sepak terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah yang tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan.

Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini di samping memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mukjijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun mampu dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, ada pun Thi-khi I-beng sampai saat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong.

Isteri ketua ini juga bukan orang sembarangan. Wanita yang kini telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu pada waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal bermacam-macam ilmu silat tetapi terutama sangat hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan juga pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini memiliki dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Ada pun yang kedua ialah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.

Pada saat itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya sedang tidak berada di rumah. Suami isteri ini tengah pergi ke kota Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang memiliki hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini. Kunjungan mereka ini selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang sangat penting, yaitu urusan perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Houw yang masih berada di Tibet, dengan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!

Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han sedang meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama.

Biar pun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggota Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat.

Ada pula beberapa puluh orang anggota yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Namun di mana pun mereka berada, apa pun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguh pun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana.

Pagi hari itu matahari baru saja muncul, mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi. Para anggota Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya.

Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa telah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan semedhi di atas bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka sudah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-arca mati.

Pagi hari itu hawa udara di puncak bukit amat dinginnya, dingin sejuk menyusup tulang. Akan tetapi tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tanda pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu.

Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak, akan tetapi sesudah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau pun mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada ketika latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.

Tujuh orang laki-laki ini memang telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka.

Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka masih berupa pemuda-pemuda dusun di pegunungan itu hingga kini menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai.

Pakaian mereka seperti pakaian petani karena memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Hingga sekarang mereka tetap hidup bertani, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang telah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga mereka pun amat sederhana, sebagian lagi ada pula yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang ‘berisi’ sungguh pun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana.

Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan.

"Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!"

Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggota badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha.

"Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!" kembali terdengar teriakan.

Seorang di antara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekar dan membayangkan kekasaran seorang petani akan tetapi pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan) sekalian, marilah kita lihat apa yang terjadi di bawah."

Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka sekarang dia menjadi yang tertua di antara para sute-nya. Dia bernama Sun Kiang, seorang di antara yang tinggal hidup membujang, tak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sute-nya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring,

"Kami sedang turun...!" Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka dari bawah tidak lagi terdengar teriakan-teriakan yang memanggil-manggil mereka.

Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua terlihat tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya,

"Apakah yang terjadi?"

"Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelai kain putih...!"

Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.

"Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"

"Tidak ada yang melihatnya. Mungkin perbuatan itu dilakukan pada waktu malam, dan tadi kebetulan ada salah seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.

"Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.

Sun Kiang bersama enam orang sute-nya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan lagi bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, namun sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.

"Sun-suheng, apa bila dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya," salah seorang di antara Cap-it Ho-han berkata.

Sun Kiang mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang."

Setelah berkata demikian, Sun Kiang menggenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung lantas menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, kembali menyambar pinggiran loteng, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera pada puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah. Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.

Bersama dengan enam orang sute-nya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai sapu tangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguh pun tidak dapat disebut indah.

LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA

“Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apakah maunya?" berkata Sun Kiang sambil mengerutkan alisnya.

"Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sute-nya.

"Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas, juga dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!" kata yang lain.

Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sute-nya. "Mari kita masuk dulu ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kau perintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan harus diperkuat apa lagi pada waktu malam di sekitar menara."

Sesudah melakukan pesan suheng-nya, Coa Seng Ki, yakni tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana para suheng-nya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.

"Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendiri kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapa pun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun di dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka sudah berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu sedang tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."

"Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada tujuh orang, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiri pun sama sekali tak merasa gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong."

"Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Apa engkau sudah lupa akan pesan suhu bahwa saat menghadapi apa pun juga kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang sangat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun Kiang lalu menegur sute-nya.

Coa Seng Ki cepat menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, Suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas."

Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan dulu baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak."

Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka bertujuh akan pergi ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena apa bila mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, namun untuk mempelajari apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa biar pun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapa pun juga.

Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. "Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apa lagi jika sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita ke situ hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka serta mengetahui apa maksud dari undangan mereka."

"Saya mengerti, Suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki membantah.

"Kalau ternyata mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang."

"Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?" Coa Seng Ki membantah.
"Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu ialah bila kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri."

Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."

Setelah meninggalkan pesan kepada para anggota Cin-ling-pai dan juga kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang berada di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar.

Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjata pedang. Sungguh pun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang.

Ketua Cin-ling-pai ini mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada para murid kepala yang disesuaikan dengan bakat masing-masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, ada pun dua orang bersenjata golok sedangkan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.

Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagangan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.

Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini digunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah.

Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.

Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan bahwa tingkat atas itu telah ‘diborong’ dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.

"Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu.

Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Ia juga menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.

"Loya, maafkanlah saya, maafkanlah kami semua. Kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han..."

Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia segera mengangguk-angguk. Betapa pun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.

"Aihh, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran.

Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira walau pun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak ada seorang pun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai.

Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu sudah terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para pelayan juga telah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.

Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa.

Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, tetapi mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok. Bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi hingga tercium sampai jauh.

Rambut itu dihias dengan emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendek kata, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru.

Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik bagaikan sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangannya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!

Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha). Kepalanya yang gundul itu terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak pedulian.

Orang ketiga adalah seorang lelaki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya. Matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguh pun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.

Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung terlampau lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apa pun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering itu, dia tidak kelihatan membawa senjata apa pun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga bahwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.

"Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!" kata wanita pesolek itu dan mendadak tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu!

Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, namun cara nenek pesolek itu melompat benar-benar sangat luar biasa, bukan melompat lagi melainkan terbang!

"Omitohud…, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan berbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!" Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu.

Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, tetapi menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik bagaikan seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan pada saat telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara,

"Ceplokk!".

Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok bagaikan seekor cecak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.

"Heh-heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya telah lenyap dari tempat itu dan yang tampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga, tahu-tahu dia sudah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.

Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh... anak-anak itu masih senang bermain-main di mana pun mereka berada!" Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyaksikan ulah semua tamunya yang aneh-aneh itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba. Selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?"

Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami berempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!"

Mata pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci pun cukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng.

Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam!

Setelah kakek itu tiba di loteng, semua orang mulai ramai berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu. Ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangan, akan tetapi datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih terkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi dan berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya.

Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanya seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta serta kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, dan di samping ini memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombongannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!

Wanita tua yang pesolek itu pun bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) dan amat terkenal sebagai seorang maling tunggal yang dahulu pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga dia hampir tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. Ada pun orang yang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa).

Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungan Cin-ling-san itu selalu aman dan sejak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu, maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.

Sesungguhnya, empat orang ini hanya merupakan anggota-anggota dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang lagi adalah pemimpin mereka dan kehadiran mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka.

Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang saling bekerja sama dengan baik hingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati!

Biar pun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua percaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kepala pelayan kemudian dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi pusat perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.

"Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itu pun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian sangat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"

Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyangsikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat dari Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang sangat terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa.

Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan ilmu kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di hadapan orang banyak dengan sikap amat sombongnya.

Agaknya amat aneh apa bila para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biar pun harus diakui mereka berempat itu mempunyai kepandaian yang sangat hebat. Apa lagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya, agaknya minum arak sambil bersenda gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Betapa pun juga, semua orang merasa tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya telah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.

Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu. Orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap tujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.

Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan keenam orang sute-nya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga. Mereka hanya memandang tanpa peduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas.

Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng...
Selanjutnya,

Dewi Maut Jilid 02

Dewi Maut Jilid 02
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
IN HONG adalah seorang dara yang amat mencinta gurunya. Bagi dia, Yo Bi Kiok adalah seorang guru, seorang ketua, sahabat, dan juga kakak atau pengganti ibu sendiri! Hanya Bi Kiok seoranglah yang dipandangnya di dunia ini. Maka tidak mengherankan apa bila dia amat mencinta dan taat kepada gurunya ini.

Di dalam pertandingan ini, ketika melihat gurunya dikeroyok oleh ketua Kwi-eng-pang dan empat pembantunya yang dia tahu jauh lebih lihai dari pada dua puluh enam orang yang mengeroyoknya, maka dia tidak mau merobohkan seorang pun lawan sebelum gurunya lebih dahulu merobohkan para pengeroyoknya. Dia tidak mau mendahului gurunya karena hal ini dianggapnya akan dapat menimbulkan perasaan tak senang di hati gurunya! Inilah sebabnya mengapa In Hong hanya menghindarkan diri dari semua tangan itu tanpa mau membalas sama sekali.

Haiiiiitttttttt...!"

Tiba-tiba saja Kiang Ti memekik keras saking marahnya ketika pukulan-pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kedua tangannya kini mendorong ke depan, ke arah dada Bi Kiok dan dari kedua telapak tangannya yang sangat hitam itu menyambar hawa pukulan dahsyat disertai bau yang amat amis.

Sekali ini Bi Kiok tidak mengelak, bahkan dia juga menggerakkan kedua lengan, dengan kedua tangan terbuka menyambut dorongan telapak tangan lawan itu.

"Ahh, engkau mau mencari mampus," demikian suara hati Kiang Ti sambil mengerahkan Hek-tok-ciang sekuat tenaganya hingga kedua lengannya berubah menjadi hitam sekali, mengkilap dan mengeluarkan bau yang amis memuakkan.

"Plakkkk!"

Dua pasang telapak tangan itu bertemu, saling tempel dan saling dorong dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Tubuh Kiang Ti tergetar hebat dan ketua Kwi-eng-pang ini segera mengerahkan seluruh tenaganya dengan keyakinan bahwa wanita ini tentu akan roboh dengan tubuh hitam semua karena racun dari hawa pukulan Hek-tok-ciang.

Akan tetapi Bi Kiok berdiri tegak dengan kedua lengan lurus, tubuhnya sedikit pun tidak bergoyah, sedangkan mata dan mulutnya membayangkan ejekan yang membuat Kiang Ti makin penasaran dan makin marah.

"Haaaahhhhhhhh…!"

Dia kembali mengerahkan tenaga dan bukan main kagetnya pada saat dia merasa bahwa dua tangannya bertemu dengan hawa yang amat panas dan tenaga yang amat dahsyat sehingga membendung semua tekanan hawa pukulan Hek-tok-ciang, bahkan mendorong tenaga Hek-tok-ciang membalik, kemudian hawa panas itu mulai menyerangnya, keluar dari telapak tangan halus itu, mula-mula memasuki ujung jari-jari tangannya, kemudian makin lama makin jauh memasuki tangannya.

Kiang Ti terkejut bukan main. Jari-jari tangannya seperti dibakar rasanya. Dia cepat-cepat berusaha untuk melepaskan kedua tangannya, akan tetapi ternyata dua tangan itu sudah melekat pada tangan lawan, sedikit pun tidak dapat direnggangkan, apa lagi dilepaskan! Beberapa kali dia berusaha menarik kembali kedua tangan, namun akhirnya dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin.

Maka dia menjadi nekat, tenaga Hek-tok-ciang makin dia kerahkan, namun semua sia-sia belaka. Hawa panas mendesak semakin jauh, melalui pergelangan tangan, terus naik ke lengannya dan ketika sampai di atas siku, dia tidak kuat lagi bertahan saking panas dan nyerinya sehingga Kiang Ti, ketua Kwi-eng-pang itu menjerit-jerit!

"Aduhh... panas... panasss... aduhhhh, lepaskan...!" Tanpa malu-malu lagi Kiang Ti yang selama ini terkenal sebagai seorang ketua Kwi-eng-pang yang sangat ditakuti, sekarang berteriak-teriak. Mukanya pucat sekali dan penuh dengan keringat dingin, dua lengannya kemerahan seperti dipanggang api, kedua kaki menggigil menahan kenyerian yang amat hebat.

Bi Kiok tersenyum lebar, sepasang tangannya menggigil ketika dia mengerahkan tenaga sinkang-nya sehingga serangannya menjadi makin hebat, membuat kedua lengan Kiang Ti ikut menggigil.

"Aduhhh... aduhhhh... am... punnn...!" Kiang Ti yang kini merasa betapa seturuh tubuhnya seperti ditusuki jarum dan dipanggang di atas api itu mengeluh dan minta-minta ampun.

"Krekk! Krekk! Augghhhh...!"

Tubuh Kiang Ti menjadi lemas, lantas dia roboh pingsan ketika Bi Kiok menarik kembali kedua tangannya setelah dengan pengerahan sinkang-nya dia membuat tulang-tulang dari kedua lengan lawannya itu retak-retak.

"In Hong, sudahi main-mainmu dengan mereka!" Bi Kiok berkata kepada muridnya ketika dia menengok dan melihat betapa muridnya itu masih dikepung dan dikeroyok dua puluh enam orang pria itu tanpa membalas, hanya mengelak ke sana-sini dengan cekatan bagai seekor burung walet.

"Baik, Subo!" In Hong berkata sesudah dia melihat betapa subo-nya sudah merobohkan semua orang lawannya. Dia menggerakkan kedua tangannya berkali-kali sambil berseru, "Robohlah...!"

Hebat bukan main akibatnya. Berturut-turut dua puluh enam orang itu roboh dan tidak dapat bangun kembali sehingga tubuh mereka malang-melintang dan tumpang-tindih di atas tanah. Cepat sekali pengeroyokan itu selesai dan kini yang tampak hanya In Hong di tengah-tengah dua puluh enam tubuh orang yang malang-melintang di sekelilingnya.

Mereka semua menjadi korban sasaran Siang-tok-swa (Pasir Racun Harum) yang tadi disebar oleh dara itu. Racun yang berupa pasir ini memang hebat sekali, mengeluarkan sinar dingin hijau dan berbau harum, tetapi tidak hanya dapat merobohkan dan membuat lawan pingsan seperti halnya dua puluh enam orang itu, bahkan kalau dikehendaki oleh In Hong, dapat pula mencabut nyawa lawan! Tadi melihat betapa gurunya merobohkan lima orang pengeroyoknya tanpa membunuh, dia pun hanya merobohkan kedua puluh enam orang itu dengan pasir tanpa membunuh, hanya membuat mereka pingsan saja.

Pada saat itu, perahu-perahu yang ditumpangi oleh anak buah Giok-hong-pang telah tiba di pulau. Berkat petunjuk para tawanan, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang yang menyerah dan takluk, para anggota Giok-hong-pang dapat mendarat di pulau dengan selamat.

Bi Kiok lalu memerintah para anak buahnya membawa semua tawanan itu ke ruangan besar di mana dia dan In Hong duduk di atas kursi, juga memerintahkan supaya semua keluarga anggota Kwi-eng-pang, baik yang terluka atau yang tidak, pendeknya mereka yang belum mati, dikumpulkan di ruangan itu, dijaga oleh para anggota Giok-hong-pang.

Kiang Ti dan para anggotanya sudah siuman kembali dan kini dia duduk di atas lantai di depan Bi Kiok dengan muka pucat. Segera tahulah dia bahwa riwayatnya sebagai ketua Kwi-eng-pang habis sampai di situ saja. Tidak pernah diduganya bahwa kini Yo Bi Kiok memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian hebatnya, jauh lebih hebat dari kepandaiannya sendiri, bahkan dia yakin lebih hebat dari pada tingkat kepandaian mendiang gurunya, Kwi-eng Niocu atau guru Bi Kiok, Siang-tok Mo-li!

Kalau saja dia tahu akan hal itu, tentu saja tidak akan begitu bodoh untuk melawannya. Dan dia bergidik kalau mengingat akan apa yang sudah dia lakukan terhadap lima orang wanita anggota Giok-hong-pang beberapa hari yang lalu itu!

Rasa takut mendatangkan kebencian yang hebat dan sekiranya kedua lengan tangannya tidak patah-patah tulangnya sehingga kedua lengannya itu lumpuh tidak dapat digerakkan lagi, tentu Kiang Ti akan mengamuk dan melawan sampai tewas. Dia mengerti bahwa dirinya tidak tertolong lagi dan dia tidak mungkin bisa mengharapkan pengampunan dari wanita yang seperti iblis itu, wanita cantik yang sikapnya dingin menyeramkan, yang kini bersama dara jelita yang amat lihai itu duduk di hadapannya, memandang dengan mata seperti hendak membunuhnya dengan sinar matanya.

Suasana sunyi, tidak ada seorang pun yang berani bergerak, bahkan semua anak buah Kwi-eng-pang seperti menahan napas saking tegang dan takutnya. Di sana-sini terdengar isak tertahan dari isteri dan keluarga para anggota Kwi-eng-pang yang telah tewas dalam penyerbuan anak buah Giok-hong-pang itu.

"Kiang Ti, apakah engkau sudah mengetahui akan dosamu?" Tiba-tiba terdengar suara halus ketua Giok-hong-pang, membuat para pendengarnya terkejut dan semua mata kini tertuju kepada Kiang Ti yang duduk di atas lantai sambil menundukkan mukanya. Ketua Kwi-eng-pang itu mengangkat muka.

"Yo Bi Kiok, aku sudah kalah, mau bunuh terserah, tak perlu lagi banyak cakap!"

Yo Bi Kiok tersenyum. "Engkau dan keempat orang pembantumu ini melakukan kekejian terhadap Lui Hwa, dan sekarang dia sedang menanti kalian berlima di alam baka untuk membuat perhitungan dengan kalian."

Kiang Ti menunduk. Maklumlah dia bahwa perbuatannya itu merupakan kebodohan dan kelalaiannya, memandang rendah kepada orang lain. Kesenangan dan kenikmatan yang didapatnya saat dia mempermainkan Lui Hwa sungguh tak sepadan dibandingkan dengan hukumannya, dengan kematian yang sudah membayang di depan mata.

Menyesal? Tidak, orang seperti Kiang Ti tidak pernah mengenal sesal, karena bagi orang seperti dia, hidup berarti pengejaran kesenangan, dan mati adalah resikonya!

"Memang aku telah melakukan itu, habis kau mau apa?" tantangnya untuk menutupi rasa takutnya, karena betapa pun juga, ada perasaan takut dan ngeri menghadapi kematian, meninggalkan semua kesenangan dunia dan menghadapi suatu keadaan lain yang masih rahasia, yang tidak dapat dibayangkannya akan bagaimana jadinya sesudah mati, akan tetapi banyak dongeng tentang neraka telah membuatnya ngeri juga.

"Pangcu... harap pangcu sudi mengampuni hamba...," seorang di antara empat pembantu Kiang Ti terdengar memohon dengan suara ketakutan.

"Pangcu, ampunkan kami... kami hanya menjalankan tugas..."

"Kami hanya diperintah oleh pangcu kami..."

Bibir yang tersenyum manis itu tiba-tiba saja berubah menjadi cemberut. Sejenak Bi Kiok menyapu empat orang itu dengan tatap mata penuh penghinaan, melihat betapa empat orang itu sambil berlutut mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka menyentuh lantai dan mulut mereka tiada henti-hentinya mengeluarkan suara seperti orang menangis sambil minta-minta pengampunan.

"Pengecut hina dan busuk!" Tiba-tiba Bi Kiok membentak, cepat tangannya bergerak dan tampaklah sinar berkilat menyambar ke arah empat orang itu yang segera menjerit dan roboh terlentang, berkelojotan seperti ayam-ayam disembelih dengan leher putus!

Kiang Ti memandang empat orang pembantunya itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi hatinya puas karena dia pun mendongkol sekali menyaksikan sikap mereka tadi.

"Kiang Ti, engkau manusia busuk dan kejam, akan tetapi sikapmu cukup gagah, maka engkau patut menerima hukuman yang lebih ringan. Nah, kau temuilah Lui Hwa di sana!"

Kembali sinar kilat menyambar dari tangan Bi Kiok disusul robohnya Kiang Ti yang tidak dapat bergerak lagi karena lehernya sudah terbabat putus oleh sinar pedang tadi. Hebat bukan main cara Bi Kiok mencabut dan menggerakkan pedangnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata semua orang yang berada di situ kecuali In Hong.

Cepat bukan main gerakannya sehingga yang tampak hanyalah sinar berkilat dari pedang Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) yang menyilaukan mata. Kemudian dengan tepatnya pedang itu menyambar, merobohkan empat orang yang baru mati sesudah berkelojotan dan mengalami siksaan yang agak lama, sedangkan Kiang Ti roboh dan tewas seketika sehingga mungkin saja arwahnya masih belum sadar bahwa dia telah meninggalkan raga karena selain lehernya putus juga lebih dulu jantungnya tertembus pedang!

Semua orang memandang dengan wajah pucat lalu menundukkan muka. Orang-orang Kwi-eng-pang gemetar dan ketakutan, bahkan para anggota Giok-hong-pang juga tidak ada yang berani bersuara. Mereka maklum bahwa kalau ketua mereka yang cantik itu sedang marah, dia menjadi berbahaya bukan main.

"Sekarang, mereka yang dahulu memperkosa dan mempermainkan empat orang anggota Giok-hong-pang sampai mati, majulah semua!" Suara ini halus, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat mereka yang merasa berdosa menggigil ketakutan. Tentu saja tak ada seorang pun di antara mereka yang berani berkutik, apa lagi maju ke depan wanita luar biasa itu.

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Dari penuturan mendiang Lui Hwa, dia mendengar bahwa Lui Hwa diperkosa dan dihina oleh Kiang Ti dan empat orang pembantunya yang semua sudah dia bunuh sebagai hukuman. Akan tetapi menurut Lui Hwa pula, empat orang anak buahnya yang lain itu telah direjang dan diperkosa di tempat terbuka oleh banyak sekali anggota Kwi-eng-pang, diperkosa di depan umum secara bergantian sehingga mereka itu tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan.

Bi Kiok mulai menyapu semua orang yang berada di ruangan luas itu dengan pandang matanya dan pandang mata itu berhenti di kelompok keluarga ini. Dari nenek dan kakek sampai anak-anak semuanya menundukkan muka dan kelihatan ketakutan serta berduka, kecuali seorang wanita muda yang berwajah manis dan berusia paling banyak tiga puluh tahun. Wanita ini memandang ke arah tubuh Kiang Ti yang tak berkepala lagi dan tubuh empat orang pimpinan Kwi-eng-pang yang berkelojotan dalam sekarat itu dengan mata bersinar-sinar penuh kepuasan dan kebencian!

“Heiiii, kau ke sinilah!" Bi Kiok menggapai dengan tangannya.

Wanita itu terkejut dan baru sekarang kelihatan ketakutan. Akan tetapi Bi Kiok tersenyum dan berkata, "Jangan takut karena mulai saat ini juga engkau kuangkat menjadi seorang pelayanku. Engkau akan terlindung dan tak seorang pun akan berani mengganggumu!"

Wanita cantik itu melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Kiok, "Terima kasih atas kebaikan pangcu yang terhormat." Sikap dan kata-kata wanita ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang pernah terdidik, bukan seorang wanita kasar isteri penjahat atau perkumpulan sesat.
"Siapa namamu?"

"Saya bernama Bhe Kiat Bwee, pangcu."

"Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?"

Mendengar pertanyaan ini, air mata bercucuran dari sepasang mata Kiat Bwee dan dia lalu bercerita dengan suara tersendat-sendat. Kiranya wanita muda ini, yang menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti, merupakan wanita culikan seperti sebagian besar wanita lain yang berada di situ. Dia sedang menjadi pengantin ketika orang-orang Kwi-eng-ang menyerbu perkampungannya dan dia dilarikan, kemudian dipaksa menjadi isteri seorang di antara empat pembantu Kiang Ti. Dia merasa sakit hati, dia membenci suaminya dan semua orang Kwi-eng-pang, akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya dan harus menelan segala kesengsaraannya.

"Hari ini, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan betapa semua sakit hati saya terbalas oleh pangcu, betapa puas dan berterima kasih hati saya terhadap pangcu..." Dia menangis lagi.

Bi Kiok tersenyum. Tidak salah dugaannya. "Kiat Bwee, mulai sekarang engkau menjadi anggota Giok-hong-pang. Engkau sendiri mengalami kebiadaban kaum pria Kwi-eng-pang ini, maka sekaranglah tiba saatnya untuk menghukum mereka. Engkau tentu tahu siapa di antara mereka yang dahulu telah melakukan pemerkosaan biadab terhadap empat orang rekanmu itu."

Kiat Bwee mengangguk. "Saya tahu, pangcu, saya juga menyaksikan semua perbuatan biadab itu dengan mata kepala sendiri."

"Nah, kau tunjuklah mereka seorang demi seorang." Bi Kiok lantas menunjuk tiga orang pembantunya. "Kalian melaksanakan hukumannya!"

Tiga orang wanita yang ditunjuk itu tersenyum, mengangguk kemudian mencabut pedang masing-masing. Mereka lalu mengikuti Kiat Bwee yang tampak sangat gembira dan tidak kalah ganasnya dibandingkan dengan ketiga orang wanita Giok-hong-pang yang dengan penuh gairah hendak melaksanakan hukuman sebagai algojo-algojo bagi orang-orang Kwi-eng-pang itu.

"Nah, ini dia, dan itu, dan itu...!" Kiat Bwee menudingkan telunjuknya.

Setiap kali Kiat Bwee menuding, tampaklah cahaya pedang berkelebat disusul suara jerit mengerikan dan robohlah lelaki yang dituding oleh Kiat Bwee, roboh dalam keadaan amat mengerikan karena tiga batang pedang itu selalu menyambar ke bawah dan membacok ke arah anggota kelamin para pria itu.

Darah muncrat-muncrat dan ruangan itu banjir darah. Pekik dan jerit susul-menyusul dan dalam beberapa menit saja ruang itu sudah penuh dengan orang-orang yang berkelojotan dalam sekarat! Lebih dari lima puluh orang laki-laki tewas sebagai akibat tudingan telunjuk yang kecil mungil dari Kiat Bwee! Wanita ini nampak puas sekali, matanya berkilat-kilat, wajahnya kemerahan dan berseri-seri! Tidak disangkanya bahwa hari itu dia akan dapat membalas dendam sedemikian puasnya!

Setelah penjagalan manusia secara hebat ini, Bi Kiok kemudian mengajak In Hong untuk memeriksa dan melihat-lihat pulau dengan bangunan-bangunannya, diantarkan oleh Kiat Bwee. Ruangan yang tadinya menjadi tempat pembantaian manusia itu telah dibersihkan oleh para anggota Giok-hong-pang yang memerintahkan sisa-sisa keluarga dan anggota Kwi-eng-pang.

Mulai saat itu, sisa anggota Kwi-eng-pang yang jumlahnya masih ada empat puluh orang lebih itu menjadi budak yang ketakutan dari para anggota Giok-hong-pang, juga keluarga mereka mengalami perubahan hebat, yang wanita otomatis menduduki tingkat yang lebih tinggi dari pada yang laki-laki.

Mulai saat itu pula Telaga Kwi-ouw menjadi daerah yang dikuasai oleh Giok-hong-pang, dan pulau itu dijadikan sarang mereka. Kwi-eng-pang otomatis musnah, sedangkan sisa orang-orang Kwi-eng-pang sudah mulai melupakan perkumpulan Kwi-eng-pang itu karena mereka kini menjadi budak-budak Giok-hong-pang, bukan anggota tapi budak-budak yang setiap hari harus bekerja keras di ladang, mencari ikan dan pekerjaan berat yang lainnya. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, apa lagi melarikan diri, karena mereka juga maklum bahwa melarikan diri berarti mati dalam keadaan mengerikan seperti yang dialami oleh beberapa orang teman mereka.

Yap In Hong, dara remaja yang cantik jelita itu, menyaksikan semua peristiwa ini tanpa ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya, tanpa ada perasaan apa pun membayang di dalam sinar matanya, seakan-akan dia tidak peduli dengan semua yang dilakukan oleh gurunya. Benarkah dara ini, yang masih begitu muda, yang pada lahirnya memperlihatkan kecantikan yang demikian mempesonakan, kehalusan yang demikian mengharukan, tapi memiliki hati yang dingin membeku, yang tidak memiliki perasaan lagi?

Hal ini sukar sekali untuk ditentukan, karena dara itu sendiri pun masih belum mengenal sifat dirinya sendiri. Sejak kecil dia berada di dalam lingkungan wanita-wanita pembenci pria dan segala cerita yang didengarnya mengenai pria selalu buruk dan mendatangkan kesan jahat, maka tentu saja di dalam hatinya tumbuh perasaan tak senang kepada pria.

Apa lagi karena pria-pria Kwi-eng-pang yang menerima hukuman mengerikan sekali itu adalah pria-pria yang sudah melakukan perbuatan biadab dan keji terhadap lima orang anggota Giok-hong-pang, maka tidak ada perasaan kasihan yang timbul di hatinya ketika melihat mereka semua dibunuh seperti itu. Betapa pun juga, alisnya berkerut tanda tidak setuju ketika dia menyaksikan pembunuhan-pembunuhan seperti itu, karena membunuh lawan yang sudah tidak mampu mengadakan perlawanan atau pembelaan diri baginya merupakan hal yang amat memalukan.

Tentu saja dia tidak mau menyatakan perasaan tak setujunya ini secara berterang karena dia terlalu mencinta gurunya dan tidak mau membuat gurunya tidak senang hati. Bahkan pada saat dia mendengar penuturan yang lebih jelas dari gurunya tentang kepatahan hati gurunya dalam kegagalan cintanya terhadap Yap Kun Liong, kakak kandungnya, secara diam-diam dia merasa tidak senang kepada kakak kandungnya itu!

Sesudah Giok-hong-pang berhasil merampas pulau di Telaga Kwi-ouw, dengan tenteram dan senang mereka hidup di tempat yang indah ini. Para anggota Giok-hong-pang makin tekun pula mempelajari ilmu silat dan memperkuat diri, sehingga Giok-hong-pang menjadi perkumpulan yang sangat kuat dan mulai terkenal di dunia kaum sesat sebagai sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh seorang wanita sakti.

In Hong sendiri amat suka dengan keindahan tempat di sekeliling Telaga Kwi-ouw. Akan tetapi, dia merasa muak dengan kehidupan para anggota Giok-hong-pang. Melihat betapa anggota Giok-hong-pang yang terdiri dari wanita-wanita itu memperbudak kaum prianya, bahkan tidak jarang melakukan perbuatan yang menindas dan menyiksa, kemudian dia melihat pula betapa ada beberapa orang anggota Giok-hong-pang yang mempergunakan budak-budak bekas orang-orang Kwi-eng-pang itu untuk kesenangan diri sendiri, untuk memuaskan nafsu birahi mereka yang di balik kebencian mereka terhadap pria kadang-kadang timbul dan perlu disalurkan.

Gurunya yang juga tahu akan hal ini, tidak melarang! Meski pun gurunya adalah seorang wanita pembenci pria yang sama sekali pantang berdekatan dengan pria, yang hatinya sudah membeku terhadap pria, namun gurunya sendiri agaknya maklum akan kebutuhan para wanita anggota Giok-hong-pang dan tidak melarang mereka bermain cinta dengan para budak!

Hal ini memuakkan hati In Hong yang melihat seolah-olah para anggota Giok-hong-pang itu sebagai pemerkosa-pemerkosa, tidak ada bedanya dengan para pria Kwi-eng-pang yang pernah memperkosa wanita. Hanya bedanya, kini wanita yang memperkosa pria, yang mempergunakan pria sebagai alat untuk menyenangkan dirinya, untuk memuaskan nafsu birahinya. Hal ini membuat dia mulai tidak betah tinggal di Kwi-ouw dan pada suatu hari dia berpamit kepada gurunya untuk pergi merantau.

Yo Bi Kiok tidak melarang karena maklum bahwa muridnya memang perlu memperoleh pengalaman dan tidak mungkin mengurung gadis yang telah dewasa itu untuk selamanya tinggal di Kwi-ouw. Dia hanya berpesan agar In Hong tidak lupa untuk pulang ke Kwi-ouw.

Hubungan merupakan inti dari kehidupan. Hidup berarti berhubungan, baik berhubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan benda, atau manusia dengan pikirannya, dengan nafsu-nafsunya. Hubungan antara manusia menjadi tidak bersih lagi, menjadi tidak wajar lagi sehingga pasti akan mendatangkan pertentangan, mendatangkan permusuhan dan mendatangkan kesengsaraan, kekecewaan dan penderitaan apa bila di dalam hubungan ini dimasuki niat penggunaan.

Hubungan yang bagaimana dekat pun, seperti hubungan antara pria dan wanita, antara suami dan isteri, akan menjadi sumber pertentangan apa bila di sana terdapat keinginan untuk saling mempergunakan demi kesenangan diri pribadi. Sikap kepada manusia lain, baik manusia lain itu berbentuk suami, isteri, anak, orang tua, atau pun sahabat akan merupakan sikap yang palsu apa bila sikap itu timbul dikarenakan suatu keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri. Dan sikap palsu ini, seperti semua kepalsuan yang tentu saja tidak wajar, selalu akan mendatangkan hal-hal yang bertentangan dan mendatangkan duka.


********************

Pegunungan Cin-ling-san terletak di Propinsi Shen-si dan Kan-su. Daerah ini merupakan daerah pegunungan, dan dari Puncak Cin-ling-san ini dapat terlihat gunung-gunung besar lainnya, yaitu Pegunungan Ta-pa-san di selatan dan Pegunungan Beng-san yang besar di sebelah barat. Jauh di timur tampak pula puncak Gu-niu-san yang bersambung di antara mega-mega.

Seperti pada semua pegunungan atau di tepi laut, pendeknya di tempat-tempat sunyi di mana tampak membentang luas alam yang belum tersentuh tangan manusia, di mana segala sesuatu nampak megah, penuh kekuatan dan kedamaian, maka di Cin-ling-san pun pemandangan alam amat megah dan indahnya.

Di dekat sumber air Sungai Han-sui yang keluar dari salah sebuah lereng Cin-ling-san, pemandangan sangat indahnya dan tempat inilah yang menjadi pusat dari perkumpulan Cin-ling-pai yang di waktu itu amat terkenal sebagai sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang juga sangat dikenal di dunia kang-ouw, bahkan yang pernah dianggap sebagai tokoh nomor satu di antara para datuk persilatan yang lihai.

Ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Keng Hong, seorang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, atau tepatnya enam puluh tiga tahun, seorang laki-laki tua yang amat sederhana dan kelihatan sebagai seorang petani atau penduduk dusun-dusun di gunung yang bersahaja, akan tetapi ada sesuatu di dalam sikapnya, terutama di dalam pandang matanya, yang mengandung kegagahan dan keagungan.

Perkumpulan Cin-ling-pai sama terkenalnya dengan ketuanya yang sudah bertahun-tahun jarang memperlihatkan diri di dunia ramai. Ketua itu sendiri jarang menangani persoalan yang dihadapi Cin-ling-pai karena semua urusan telah dipercayakan oleh ketua ini kepada murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang.

Pada waktu itu, tidak ada seorang pun tokoh dunia kang-ouw yang tidak mengenal Cap-it Ho-han (Sebelas Pendekar) dari Cin-ling-san, yaitu murid-murid kepala dari Cin-ling-pai ini! Sudah sering sekali, entah berapa puluh bahkan berapa ratus kali, Cin-ling-san Cap-it Ho-han ini menggegerkan dunia persilatan dengan kegagahan mereka, dengan berbagai sepak terjang mereka yang selalu didasari untuk membela kaum lemah yang tertindas, menentang kekuasaan sewenang-wenang, membela kebenaran dan melawan kejahatan. Pernah sebelas orang pendekar ini mengobrak-abrik dunia kaum sesat sehingga nama mereka menjulang tinggi, disegani kawan ditakuti lawan.

Para pembaca cerita Pedang Kayu Harum dan cerita Petualang Asmara tentu sudah mengenal baik nama Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai itu. Pendekar sakti ini di samping memiliki ilmu-ilmu yang amat tinggi, juga memiliki ilmu mukjijat seperti Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng, dua macam ilmu yang amat hebat. Hanya sebagian saja dari Thai-kek Sin-kun mampu dikuasai oleh Cap-it Ho-han sebagai murid-murid kepala, ada pun Thi-khi I-beng sampai saat itu hanya dimiliki atau dikuasai oleh Cia Keng Hong sendiri dan orang kedua yang menguasainya adalah Yap Kun Liong.

Isteri ketua ini juga bukan orang sembarangan. Wanita yang kini telah menjadi seorang nenek berusia enam puluh tahun, dahulu pada waktu masih gadis tidak kalah terkenalnya dengan suaminya. Dia bernama Sie Biauw Eng dan dahulu dijuluki orang Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena kesukaannya berpakaian putih. Ilmu silatnya juga amat tinggi, mengenal bermacam-macam ilmu silat tetapi terutama sangat hebat permainannya dengan Pek-in Sin-pian yang merupakan sehelai sabuk sutera putih, dan juga pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun).

Seperti telah dituturkan di dalam cerita Petualang Asmara, suami isteri yang hidup rukun dan saling mencinta ini memiliki dua orang anak. Yang pertama bernama Cia Giok Keng dan sekarang telah menjadi isteri dari Lie Kong Tek, seorang pendekar gagah perkasa. Ada pun yang kedua ialah Cia Bun Houw, yang sekarang telah menjadi seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun. Pemuda ini semenjak beberapa tahun yang lalu sudah diambil murid oleh Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama yang tinggi sekali ilmu silatnya dan yang tinggal di Tibet.

Pada saat itu, ketua Cin-ling-pai dan isterinya sedang tidak berada di rumah. Suami isteri ini tengah pergi ke kota Leng-kok untuk mengunjungi Yap Kun Liong, pendekar sakti yang memiliki hubungan dekat sekali dengan keluarga ketua Cin-ling-pai ini. Kunjungan mereka ini selain untuk melepas kerinduan, juga untuk membicarakan soal yang sangat penting, yaitu urusan perjodohan antara putera ketua Cin-ling-pai itu, Cia Bun Houw yang masih berada di Tibet, dengan Yap In Hong, adik kandung dari Yap Kun Liong yang seperti kita ketahui, telah menjadi murid dari ketua Giok-hong-pang!

Selain suami isteri ketua Cin-ling-pai, juga empat orang di antara Cap-it Ho-han sedang meninggalkan Cin-ling-pai karena diutus oleh ketua mereka untuk pergi ke Tibet menyusul Cia Bun Houw dan menyerahkan surat ketua mereka kepada pendeta Kok Beng Lama.

Biar pun ketua mereka tidak berada di rumah, namun para anggota Cin-ling-pai bekerja seperti biasa dan hidup dalam keadaan aman dan tenteram. Jumlah mereka ada kurang lebih seratus keluarga yang tinggal di lereng Cin-ling-san, dan mereka bekerja sebagai petani-petani dan pemburu-pemburu, di samping berlatih ilmu silat.

Ada pula beberapa puluh orang anggota yang sudah terjun ke masyarakat ramai, ada yang bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal, guru silat dan lain pekerjaan yang mengandalkan kepandaian silat mereka. Namun di mana pun mereka berada, apa pun pekerjaan mereka, murid-murid Cin-ling-pai selalu disegani karena mereka itu rata-rata telah memperoleh pendidikan lahir batin dan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya, sungguh pun mereka itu berasal dari keluarga petani-petani sederhana.

Pagi hari itu matahari baru saja muncul, mendatangkan suasana baru dan kehidupan kepada seluruh permukaan bumi. Para anggota Cin-ling-pai telah tampak sibuk dan asap mulai mengepul dari genteng-genteng pondok mereka, tanda bahwa penghuninya sudah bangun semua dan dapur-dapur rumah telah mulai menghidupkan apinya.

Tujuh orang murid kepala, yaitu tujuh di antara sebelas orang Cap-it Ho-han, karena yang empat orang pergi ke Tibet, pagi-pagi itu seperti biasa telah meninggalkan kamar masing-masing untuk berlatih napas dan semedhi di atas bukit di belakang kompleks perumahan Cin-ling-pai. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlatih karena memang merupakan tempat yang amat hening, indah, dan bersih, memiliki hawa yang murni. Sebentar saja mereka sudah hanyut dalam latihan, dan tujuh orang laki-laki yang duduk bersila di atas rumput hijau itu tiada ubahnya seperti arca-arca mati.

Pagi hari itu hawa udara di puncak bukit amat dinginnya, dingin sejuk menyusup tulang. Akan tetapi tujuh orang laki-laki yang duduk bersila itu sama sekali tidak merasakan hawa dingin ini, bahkan kini tampak uap putih mengepul dari tubuh dan kepala mereka! Itulah tanda pertemuan antara hawa panas yang mengalir di seluruh tubuh mereka dan hawa dingin dari udara di luar tubuh mereka. Dengan berlatih Yang-kang atau tenaga sakti yang panas hawanya ini, tubuh mereka terasa hangat di dalam udara dingin itu.

Udara yang mereka hisap melalui hidung tidak nampak, akan tetapi sesudah keluar dari dalam dada mereka, tampaklah uap tebal putih memanjang seperti seekor ular keluar dari hidung atau pun mulut mereka. Bermacam-macam cara mereka mengeluarkan hawa dari dalam dada ketika latihan pernapasan ini. Ada yang mengeluarkan hawa dari mulut, ada yang dari hidung, dan ada pula yang mengeluarkannya dari satu lubang hidung saja, ada yang bergantian keluarnya, dari lubang hidung kiri dan kanan.

Tujuh orang laki-laki ini memang telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Mereka adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai yang menerima gemblengan langsung dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ketua atau guru mereka.

Setelah lebih dari dua puluh tahun berlatih, sejak mereka masih berupa pemuda-pemuda dusun di pegunungan itu hingga kini menjadi orang-orang setengah tua yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun lebih, mereka telah menguasai ilmu-ilmu silat yang tinggi dan mereka terkenal sebagai jagoan-jagoan Cin-ling-pai dengan julukan sederhana, yaitu Sebelas Pendekar dari Cin-ling-pai.

Pakaian mereka seperti pakaian petani karena memang tujuh orang ini bersama empat orang yang diutus ke Tibet, berasal dari petani-petani sederhana di sekitar Pegunungan Cin-ling-san. Hingga sekarang mereka tetap hidup bertani, hidup sederhana, tanpa banyak keinginan, sebagian ada yang telah membentuk keluarga, menikah dengan wanita-wanita dusun pula sehingga keluarga mereka pun amat sederhana, sebagian lagi ada pula yang membujang. Dalam keadaan hidup sederhana dan selalu tenang tenteram penuh damai ini, tentu saja mereka memiliki kesehatan lahir batin dan ketekunan mereka melatih diri membuat mereka menjadi orang-orang gemblengan yang lihai, menjadi orang-orang yang ‘berisi’ sungguh pun pada lahirnya mereka tidak ada bedanya dengan bapak-bapak petani miskin sederhana.

Sejak pagi-pagi sekali tadi, lama sebelum matahari mengirim cahayanya sebagai pelopor atau pembuka jalan bagi munculnya sang raja siang, tujuh orang lihai ini sudah berlatih di puncak bukit itu. Kini matahari muda yang merah dan hangat sudah mengintai dari balik puncak di timur, namun mereka masih tenggelam ke dalam keheningan.

"Suheng...! Suheng...! Harap turun dari puncak... ada urusan penting...!"

Teriakan-teriakan dari beberapa buah mulut yang terdengar datang dari bawah puncak itu menyadarkan mereka. Dengan tenang mereka membuka mata, menghela napas panjang dan mulai menggerakkan anggota badan, melepaskan kedua kaki yang tadi bersila saling menindih paha.

"Jit-wi suheng... (kakak seperguruan bertujuh)!" kembali terdengar teriakan.

Seorang di antara mereka, yang tertua, usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih dan dahinya lebar, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya juga tebal pendek, tubuhnya kekar dan membayangkan kekasaran seorang petani akan tetapi pandang matanya amat halus, bangkit berdiri dan berkata, "Sute (adik seperguruan) sekalian, marilah kita lihat apa yang terjadi di bawah."

Orang ini adalah murid kepala ke lima dan karena murid-murid kepala pertama sampai ke empat diutus ke Tibet, maka sekarang dia menjadi yang tertua di antara para sute-nya. Dia bernama Sun Kiang, seorang di antara yang tinggal hidup membujang, tak mau menikah. Setelah berkata demikian, dengan tenang dia lalu meninggalkan puncak bersama enam orang sute-nya sambil berseru ke bawah dengan suara nyaring,

"Kami sedang turun...!" Suaranya menggema di seluruh lereng puncak bukit itu, maka dari bawah tidak lagi terdengar teriakan-teriakan yang memanggil-manggil mereka.

Di lereng itu mereka disambut oleh belasan orang murid Cin-ling-pai yang semua terlihat tegang. Namun tujuh orang itu tenang-tenang saja dan Sun Kiang lalu bertanya,

"Apakah yang terjadi?"

"Celaka, Sun-suheng (kakak seperguruan Sun)...!" Seorang di antara mereka berkata dengan muka pucat. "Bendera kita yang di puncak menara itu diambil orang dan di ujung tiangnya terdapat sebuah benda lain, seperti sehelai kain putih...!"

Sun Kiang mengerutkan alisnya yang tebal.

"Hemm, apakah ada yang melihat siapa yang melakukan itu?"

"Tidak ada yang melihatnya. Mungkin perbuatan itu dilakukan pada waktu malam, dan tadi kebetulan ada salah seorang di antara anak-anak kita yang melihatnya dan berteriak keheranan," kata orang yang melapor itu.

"Dan hebatnya, tidak ada bekas-bekasnya orang naik ke menara, Sun-suheng! Menara itu terjaga pintunya siang malam, tak mungkin ada yang dapat naik ke menara melalui anak tangga tanpa diketahui penjaga," kata yang ke dua.

Sun Kiang bersama enam orang sute-nya tidak berkata apa-apa, hanya bergegas turun dari tempat itu menuju ke kompleks perumahan mereka dan langsung menuju ke menara yang dimaksudkan. Mereka memandang ke atas dan benar saja, jauh di atas menara, di mana terdapat tiang bendera, kini bukan lagi bendera Cin-ling-pai yang melambai di ujung tiang bendera, namun sehelai kain putih yang dari bawah tampak ada titik-titik hitamnya. Menara itu tinggi, berloteng empat dan tiang itu dipasang di puncak menara, dikeluarkan dari jendela tingkat teratas, panjang tiang ada tiga tombak dan bendera itu berkibar di ujungnya.

"Sun-suheng, apa bila dia tidak melalui anak tangga menara dan langsung mengambilnya melalui genteng, sungguh hebat kepandaiannya," salah seorang di antara Cap-it Ho-han berkata.

Sun Kiang mengangguk. "Agaknya kain itu mengandung tulisan, biar aku mengambilnya dengan cara seperti ketika benda itu dipasangkan orang."

Setelah berkata demikian, Sun Kiang menggenjot tubuhnya dan melayanglah tubuh tokoh ke lima dari Cap-it Ho-han ini ke atas, tangannya menyambar pinggiran loteng pertama, bergantung lantas menggenjot lagi tubuhnya ke atas berjungkir balik sehingga tubuh itu meluncur ke tingkat dua, kembali menyambar pinggiran loteng, menggenjot lagi ke atas sampai akhirnya dia berhasil menangkap tiang bendera pada puncak menara dan meraih kain putih di ujung tiang bendera, kemudian dia melayang turun dari tingkat ke tingkat seperti tadi dan tiba di atas tanah. Semua ini dilakukan dengan cepat dan sama sekali tidak mengeluarkan suara, dan ketika dia sudah berdiri kembali di tempat tadi, napasnya biasa saja tidak terengah, hanya mukanya yang menjadi agak merah.

Tepuk sorak bergemuruh menyambut perbuatan yang hebat ini, karena para anak murid Cin-ling-pai benar-benar kagum menyaksikan kelihaian suheng mereka. Akan tetapi Sun Kiang mengangkat tangan ke atas minta agar mereka tidak menimbulkan bising.

Bersama dengan enam orang sute-nya, Sun Kiang membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kain putih itu. Kain itu terbuat dari sutera dan agaknya merupakan sehelai sapu tangan putih yang tidak begitu bersih dan melihat coretan yang kasar, tentu huruf-huruf itu ditulis dengan telunjuk yang dicelupkan tinta bak. Tulisannya bergores kuat sungguh pun tidak dapat disebut indah.

LIMA BAYANGAN DEWA MENANTI KEHADIRAN KETUA CIN-LING-PAI DAN CAP-IT HO-HAN DI RESTORAN KOAI-LO KOTA HAN-TIONG HARI INI MENJELANG SENJA

“Hemmm... Lima Bayangan Dewa? Siapakah mereka dan apakah maunya?" berkata Sun Kiang sambil mengerutkan alisnya.

"Kurang ajar! Surat ini berupa tantangan bagi kita!" kata seorang sute-nya.

"Ini penghinaan namanya! Bendera kita dirampas, juga dia menantang suhu dan Cap-it Ho-han!" kata yang lain.

Sun Kiang memberi tanda dengan tangan kepada para sute-nya. "Mari kita masuk dulu ke dalam dan merundingkan urusan ini. Coa-sute, kau perintahkan para murid untuk bekerja seperti biasa, akan tetapi agar mereka waspada dan mengawasi gerak-gerik orang asing yang kelihatan di daerah kita, juga penjagaan harus diperkuat apa lagi pada waktu malam di sekitar menara."

Sesudah melakukan pesan suheng-nya, Coa Seng Ki, yakni tokoh termuda dari Cap-it Ho-han yang usianya tiga puluh delapan tahun, cepat memasuki ruangan dalam di mana para suheng-nya sudah berkumpul untuk merundingkan urusan itu.

"Nama perkumpulan kita sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi karena suhu melarang kita mencampuri urusan luar, maka kita sendiri kurang mengenal tokoh-tokoh golongan putih atau hitam yang kini menjagoi dunia kang-ouw. Betapa pun juga, karena banyaknya murid Cin-ling-pai yang terjun di dunia ramai, tentu terjadi hubungan-hubungan di luar tahu kita. Lima Bayangan Dewa ini tidak kita kenal, tetapi mereka tentu merupakan tokoh-tokoh besar maka sudah berani mengundang suhu dan Cap-it Ho-han mengadakan pertemuan di Han-tiong. Sayang bahwa suhu sedang tidak ada, bahkan twa-suheng dan ji-suheng (kakak tertua dan kakak kedua) juga pergi, padahal biasanya mereka berdua yang memutuskan segala perkara kalau suhu sedang tidak ada. Mereka pergi bersama sam-suheng dan si-suheng sehingga yang ada hanya kita bertujuh."

"Kita tidak perlu takut, Sun-suheng!" Coa Seng Ki, orang termuda yang paling berani dan keras hatinya di antara mereka cepat berkata. "Mereka hanya lima orang, dan kita masih ada tujuh orang, sudah lebih dari cukup untuk menghadapi mereka. Bahkan kalau suheng menghendaki, saya sendiri pun sama sekali tak merasa gentar untuk mewakili Cin-ling-pai menghadapi mereka di Han-tiong."

"Coa-sute, sikapmu ini tidak bijaksana. Apa engkau sudah lupa akan pesan suhu bahwa saat menghadapi apa pun juga kita harus berkepala dingin? Hati yang panas merupakan bekal yang sangat melemahkan diri sendiri dalam menghadapi persoalan!" Sun Kiang lalu menegur sute-nya.

Coa Seng Ki cepat menundukkan kepalanya. "Maafkan saya, Suheng. Karena ada orang menghina suhu maka hati saya menjadi panas."

Hening sejenak, kemudian Sun Kiang berkata pula, "Kita tak mengenal mereka dan tidak tahu apa maksud hati mereka mengundang suhu dan Cap-it Ho-han. Kita belum dapat memastikan apakah mereka itu mengandung niat baik ataukah buruk, akan tetapi melihat betapa mereka telah mengambil bendera Cin-ling-pai, tentu mereka tidak mempunyai niat yang baik. Karena aku tidak mau berbuat sembrono, maka kita rundingkan dulu baik-baik apakah kita harus melayani mereka ataukah tidak."

Setelah berunding sampai lama, akhirnya ditetapkan bahwa mereka bertujuh akan pergi ke Han-tiong memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa, karena apa bila mereka tidak melakukan hal ini, tentu urusan itu akan tinggal gelap. Mereka bukan hendak berangkat untuk mencari permusuhan, namun untuk mempelajari apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Lima Bayangan Dewa itu, dan untuk memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa biar pun di Cin-ling-pai hanya ada tujuh orang dari Cap-it Ho-han, Cin-ling-pai tak pernah merasa gentar menghadapi apa dan siapa pun juga.

Sebelum berangkat, Sun Kiang memesan lagi kepada para adik seperguruannya. "Kalian ingat baik-baik, terutama Coa-sute. Kita tidak boleh bersikap lancang, apa lagi jika sampai menimbulkan permusuhan. Hal ini dilarang keras oleh suhu. Kita ke situ hanya memenuhi undangan untuk mengenal siapa mereka serta mengetahui apa maksud dari undangan mereka."

"Saya mengerti, Suheng. Akan tetapi, bagaimana kalau mereka itu mengeluarkan sikap dan kata-kata yang menghina Cin-ling-pai atau menghina suhu? Mungkin mereka adalah musuh-musuh suhu di waktu suhu masih muda!" Coa Seng Ki membantah.

"Kalau ternyata mereka menghina, serahkan saja kepadaku untuk menghadapi mereka. Kalian semua tidak boleh turun tangan secara lancang."

"Bagaimana kalau mereka menyerang kita? Apakah kita juga harus diam saja?" Coa Seng Ki membantah.
"Hemm, Coa-sute, kalau sampai terjadi seperti itu, perlukah bertanya lagi? Tentu saja kita harus bergerak untuk membela diri. Yang dilarang oleh suhu ialah bila kita menggunakan kekerasan mencari permusuhan. Kalau kita diserang, tentu saja kita harus membela diri."

Coa Seng Ki mengangguk-angguk dan kelihatan girang. "Mereka itu bukan orang-orang baik, aku yakin akan hal ini dan mereka tentu akan menyerang kita."

Setelah meninggalkan pesan kepada para anggota Cin-ling-pai dan juga kepada keluarga mereka, berangkatlah tujuh orang jagoan Cin-ling-pai ini menuju ke kota Han-tiong yang berada di kaki Pegunungan Cin-ling-pai. Karena maklum bahwa mereka akan menghadapi orang-orang pandai, maka mereka tentu saja membawa bekal senjata mereka masing-masing untuk berjaga-jaga dan mereka seperti biasa tidak ingin menonjolkan diri sebagai ahli-ahli silat dan menyembunyikan senjata masing-masing di bawah jubah petani mereka yang longgar.

Tidak semua anak murid Cin-ling-pai bersenjata pedang. Sungguh pun ketua Cin-ling-pai yaitu Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang pusakanya, yaitu pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw, namun tidak semua murid kepala menjadi ahli pedang.

Ketua Cin-ling-pai ini mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada para murid kepala yang disesuaikan dengan bakat masing-masing. Oleh karena itu, di antara tujuh orang jagoan ini, yang bersenjata pedang hanya Sun Kiang, Coa Seng Ki dan dua orang lagi, ada pun dua orang bersenjata golok sedangkan yang seorang bersenjata tongkat yang ujungnya dilapis baja.

Kota Han-tiong berada di tepi Sungai Han-sui yang mata airnya bersumber di Pegunungan Cin-ling-san kemudian terus mengalir ke timur, menampung air dari sungai-sungai yang mengalir dari selatan seperti Sungai Siang-kiang dan Kan-kiang, untuk kemudian terjun ke Lautan Kuning. Kota Han-tiong merupakan kota yang cukup ramai karena merupakan pelabuhan besar pertama dan dari kota ini banyak pedagang membawa hasil bumi dan hasil hutan menuju ke timur melalui sungai dengan perahu-perahu besar. Banyak pula pedagang, kesemuanya dari timur datang ke kota ini untuk mencari dagangan karena rempah-rempah dari daerah ini amat terkenal karena banyaknya dan mutunya yang baik.

Restoran Koai-lo adalah restoran terbesar di kota Han-tiong. Restoran ini besar dan terdiri dari dua tingkat. Ruangan atas merupakan ruangan istimewa karena sering kali tempat ini digunakan sebagai tempat pesta para pembesar, dan tempat pertemuan para pedagang-pedagang kaya sehingga tempat istimewa ini mempunyai tarip makanan yang lebih mahal dan lebih mewah. Orang-orang biasa atau umum selalu memilih tempat duduk di tingkat bawah yang lebih murah.

Biasanya, ruangan atas ini selalu ramai dengan tamu-tamu kaya, bahkan sering terdengar suara musik dan penyanyi dalam suasana pesta karena sering kali para pembesar dan hartawan memang makan minum bermabok-mabokan di atas loteng itu sambil memanggil wanita-wanita pemain musik dan penyanyi sebagai penghibur mereka.

Akan tetapi pada siang hari itu, ruangan atas ini sunyi saja. Bahkan ketika ada langganan yang hendak naik ke tingkat atas melalui anak tangga yang terjaga oleh pelayan, pelayan itu melarang mereka dengan mengatakan bahwa tingkat atas itu telah ‘diborong’ dan tentu saja tidak ada tamu lain yang diperbolehkan naik ke sana.

"Gila! Siapa yang main borong begini, hah? Apakah dia orang yang paling kaya, ataukah pembesar dari lain tempat?" bentak seorang hartawan yarig hendak naik ke loteng akan tetapi dicegah oleh pelayan itu.

Hartawan ini adalah seorang penduduk Han-tiong yang terkenal dan semua pejabat atau pembesar di kota itu semua adalah teman-temannya. Ia juga menjadi langganan restoran Koai-lo dan terkenal sebagai seorang yang royal dengan persen-persennya kepada para pelayan.

"Loya, maafkanlah saya, maafkanlah kami semua. Kalau yang menyewa hanya pembesar atau hartawan setempat, mana berani saya menolak loya? Akan tetapi yang menyewa ini..." Pelayan itu menoleh ke kanan kiri. "...mereka adalah orang-orang kang-ouw yang menyeramkan... dan... dan tamu-tamu mereka adalah Cap-it Ho-han..."

Mendengar disebutnya nama Cap-it Ho-han, wajah orang yang marah-marah itu berobah dan dia segera mengangguk-angguk. Betapa pun juga, nama Cin-ling-pai dengan Cap-it Ho-han sudah terlalu dikenal oleh semua penduduk Han-tiong, bahkan pernah beberapa tahun yang lalu ketika ada segerombolan penjahat mengacau Han-tiong dan para penjaga keamanan sudah kewalahan, penduduk kota itu dibebaskan dari ancaman para pengacau itu oleh dua orang di antara Cap-it Ho-han yang membunuh para pimpinan perampok dan mengusir semua anak buahnya.

"Aihh, kiranya dipakai oleh Cin-ling-pai... kalau begitu sudah sepantasnya kalau tempat di atas ini tidak diganggu," kata si hartawan berangasan itu sambil meninggalkan restoran.

Lewat tengah hari restoran itu masih penuh dengan tamu yang makan siang, yaitu mereka yang menjamu para pedagang yang menjadi tamu. Suasana cukup gembira walau pun mereka semua terpaksa harus mengambil tempat di ruangan bawah, karena semua tamu yang tinggal di Han-tiong tidak ada seorang pun berani mengganggu ruangan yang telah dipesan untuk Cin-ling-pai.

Berita ini sebentar saja sudah menjalar sampai ke mana-mana dan terdengar oleh semua penduduk. Bahkan di luar restoran itu sudah terdapat banyak orang yang kebetulan tidak memiliki kesibukan apa-apa, mereka berkumpul karena ingin melihat Cap-it Ho-han yang namanya mereka puja-puja dan yang kabarnya akan mengunjungi restoran Koai-lo. Para pelayan juga telah menanti-nanti dengan tegang, dan lima orang pelayan sudah disiapkan untuk menjadi pelayan-pelayan khusus bagi para tamu agung itu.

Orang-orang yang menanti di luar itu berbisik-bisik dan suasana menjadi tegang ketika dari luar datang empat orang yang aneh keadaannya. Empat orang ini entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di luar restoran, berdiri di depan pintu dan memandang ke kanan kiri. Sekelebatan saja dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang aneh yang asing, dengan pakaian dan sikap yang luar biasa.

Seorang di antara mereka adalah wanita yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, tetapi mukanya berbedak tebal sampai menjadi putih seperti tembok. Bibirnya yang tebal dicat merah sekali, juga kedua pipinya diberi pemerah pipi, rambutnya digelung rapi dan licin mengkilap oleh minyak yang mengeluarkan bau terlalu wangi hingga tercium sampai jauh.

Rambut itu dihias dengan emas permata yang berkilauan, telinganya terhias anting-anting yang besar terbuat dari emas pula, juga pakaiannya serba mewah dan mahal. Pendek kata, wanita ini adalah seorang pesolek besar dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya yang dibungkus sepatu baru.

Mulut yang berbibir merah itu mesam-mesem genit, matanya melirik-lirik bagaikan sikap seorang dara muda yang cantik jelita. Akan tetapi sebatang pedang membayang dari balik gaunnya, dan kulit di buku-buku jari kedua tangannya tampak tebal dan keras kehitaman seperti besi!

Orang kedua adalah seorang yang melihat jubah dan kepalanya seperti seorang hwesio (pendeta beragama Buddha). Kepalanya yang gundul itu terhias penutup ubun-ubun yang meruncing berwarna putih berkilauan, tubuhnya yang gendut itu hanya terbungkus kain yang dilibat-libatkan seperti jubah, mukanya halus mengkilap dan licin seperti diminyaki, dan seuntai tasbeh yang terbuat dari batu-batu berwarna hijau melingkar di pundaknya. Dengan matanya yang bulat lebar hwesio itu memandang ke kanan kirl dengan sikap tak pedulian.

Orang ketiga adalah seorang lelaki tinggi kurus bermuka seperti monyet saking kurusnya. Matanya cekung dan kedua pipinya juga cekung, hidungnya pesek dan mulutnya lebar. Dibandingkan dengan hwesio yang usianya tentu sudah hampir enam puluh tahun itu, laki-laki tinggi kurus ini kelihatan muda, sungguh pun tentu dia juga sudah berusia empat puluh tahun lebih. Kulitnya kuning pucat seperti orang yang menderita penyakit berat.

Orang keempat agaknya menjadi pimpinan mereka, atau setidaknya tentu yang paling tua. Orang ini memakai jubah luar berwarna hitam, berkantung terlampau lebar, mukanya membayangkan kekasaran dan pandang matanya selalu memandang rendah kepada apa pun yang dipandangnya, hidungnya besar panjang agak bengkok ke bawah, kepalanya memakai sebuah topi. Seperti juga laki-laki kurus kering itu, dia tidak kelihatan membawa senjata apa pun, namun dari sikap dan pandang matanya jelas dapat diduga bahwa dia bukanlah orang sembarangan dan ada sesuatu yang mengerikan terbayang pada sikap empat orang ini.

"Kenapa harus berjalan naik? Aku mengambil jalan terdekat dan termudah!" kata wanita pesolek itu dan mendadak tubuhnya mencelat ke atas, langsung dia sudah meloncat ke dalam ruangan loteng yang tinggi itu!

Tentu saja perbuatan ini membuat semua orang yang melihatnya menjadi bengong, kaget dan juga kagum. Kiranya banyak juga orang pandai yang dapat meloncat ke loteng itu, namun cara nenek pesolek itu melompat benar-benar sangat luar biasa, bukan melompat lagi melainkan terbang!

"Omitohud…, melayang seperti itu di tempat asing sungguh sembrono dan berbahaya. Pinceng lebih suka berhati-hati dan memeriksa keadaan yang belum kita kenal!" Hwesio itu berseru sambil mengangguk-angguk, kemudian dia menghampiri tembok dekat pintu.

Mendengar kata-katanya, orang mengira bahwa dia hendak berjalan masuk melalui pintu seperti biasa, akan tetapi orang-orang yang melihatnya menjadi bengong ketika melihat hwesio itu bukan memasuki pintu, tetapi menghampiri tembok, kemudian menggunakan tangan dan kakinya untuk merayap naik bagaikan seekor cecak saja! Setiap kali telapak tangannya menempel tembok, telapak tangan itu melekat dan pada saat telapak tangan dilepaskan untuk menempel ke atas lagi, terdengar suara,

"Ceplokk!".

Semua orong, baik para tamu yang berada di dalam restoran dan mereka yang berada di luar, terbelalak penuh keheranan dan kekaguman, mengikuti gerakan hwesio itu dengan pandang mata mereka ketika hwesio itu terus memanjat tembok bagaikan seekor cecak besar sehingga akhirnya dia tiba di loteng dan meloncat masuk.

"Heh-heh-heh, Hok Hosiang benar-benar amat tergesa, apakah khawatir kehabisan arak? Tunggu aku, jangan dihabiskan!" Tiba-tiba orang laki-laki kurus seperti monyet itu tertawa, kemudian sekali tubuhnya berkelebat, bayangannya telah lenyap dari tempat itu dan yang tampak hanya bayang-bayang seperti setan berkelebatan melalui anak tangga, tahu-tahu dia sudah berada di loteng pula, disambut dengan tertawa-tawa oleh wanita pesolek dan hwesio berilmu cecak tadi.

Laki-laki yang bertopi dan berhidung besar itu menggeleng kepala. "Aihhh... anak-anak itu masih senang bermain-main di mana pun mereka berada!" Ucapannya ini cukup keras sehingga terdengar oleh semua orang.

Seorang pelayan yang berjaga di kaki anak tangga segera menyambutnya karena dialah yang memesan tempat di atas loteng itu. Pelayan ini tadi juga bengong menyaksikan ulah semua tamunya yang aneh-aneh itu, dan kini dengan senyum lebar dia menjura kepada kakek bertopi sambil berkata, "Kiranya loya (tuan besar) dan para sahabathya telah tiba. Selamat datang dan silakan naik. Apakah hidangannya harus disajikan sekarang?"

Kakek itu memandang dengan sikap merendahkan, lalu berkata, "Kami berempat adalah fihak tuan rumah, tamu-tamu yang kami undang belum datang. Keluarkan saja arak lebih dulu empat guci besar!"

Mata pelayan itu terbelalak. Untuk empat orang saja harus menyajikan empat guci besar? Seguci pun cukup untuk diminum lima orang sampai mabok! Akan tetapi dia tidak berani membantah dan ketika dia hendak pergi melaksanakan perintah ini, tiba-tiba dia berdiri torlongong memandang kakek yang kini melangkah perlahan-lahan naik ke tangga loteng.

Juga para tamu memandang dan bangkit berdiri, mata mereka terbelalak ketika melihat betapa pada lantai dan papan-papan anak tangga bekas kaki orang bertopi itu nampak bekas injakan yang dalamnya setengah jari, lantai dan papan itu melesak ke dalam!

Setelah kakek itu tiba di loteng, semua orang mulai ramai berbisik-bisik membicarakan kehebatan empat orang aneh itu. Ada yang merasa ngeri dan cepat-cepat meninggalkan restoran karena menganggap bahwa empat orang itu pasti bukan manusia, melainkan iblis-iblis dan siluman! Akan tetapi, beberapa orang tamu yang mengerti akan ilmu-ilmu silat dapat mengenal orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi maka tertariklah mereka, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara orang-orang aneh ini dengan tokoh-tokoh Cin-ling-pai.

Dugaan mereka ini memang benar. Empat orang itu bukanlah orang sembarangan, akan tetapi datuk-datuk dalam dunia persilatan dan lebih terkenal lagi di antara golongan hitam atau kaum sesat. Kakek bertopi dan berhidung besar itu bernama Gu Lo It dan terkenal dengan julukannya Liok-te Sin-mo (Si Iblis Bumi) dan dalam rombongan empat orang ini dialah yang paling tua dan agaknya paling disegani oleh teman-temannya.

Hwesio yang merayap tembok seperti cecak itu juga amat terkenal di dunia hek-to (jalan hitam, dunia penjahat), karena dia hanya seorang hwesio palsu, seorang penjahat besar yang menyembunyikan diri di balik jubah pendeta serta kepala gundulnya. Dia memakai nama pendeta Hok Hosiang, dan di samping ini memakai nama julukan yang amat hebat membayangkan kesombongannya, karena julukannya itu adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian (Si Dewa Tertawa Bertangan Sakti)!

Wanita tua yang pesolek itu pun bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Ciok Lee Kim yang berjuluk Hui-giakang (Kelabang Terbang) dan amat terkenal sebagai seorang maling tunggal yang dahulu pernah menggegerkan istana karena selama satu bulan dia berani mengganggu kamar-kamar di istana untuk mencuri benda-benda berharga sehingga dia hampir tertangkap oleh para pengawal dan tidak berani muncul lagi. Ada pun orang yang keempat, laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang bermuka kurus seperti monyet itu, bernama Bu Sit dan berjuluk Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa).

Karena kota Han-tiong yang termasuk daerah Pegunungan Cin-ling-san itu selalu aman dan sejak Cin-ling-pai berdiri di Cin-ling-san keadaan menjadi tenteram, semua penjahat tidak ada yang berani beraksi di daerah itu, maka orang-orang yang berada di situ tidak ada yang mengenal empat orang datuk kaum sesat ini.

Sesungguhnya, empat orang ini hanya merupakan anggota-anggota dari rombongan yang terdiri dari lima orang dan yang terkenal dengan sebutan yang mereka buat sendiri, yaitu Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa). Yang seorang lagi adalah pemimpin mereka dan kehadiran mereka di restoran itu adalah atas perintah orang pertama yang menjadi orang tertua dan menjadi kakak tertua mereka.

Lima Bayangan Dewa ini telah menjadi saudara-saudara angkat yang saling bekerja sama dengan baik hingga kekuatan mereka yang tergabung itu membuat mereka amat ditakuti, baik oleh kaum sesat sendiri, karena memang tak mudah untuk mengalahkan lima orang yang bergabung ini dan sudah menjadi saudara angkat yang bersumpah untuk sehidup semati!

Biar pun para tamu di ruangan bawah restoran itu tidak mengenal mereka yang berada di loteng, namun para tamu yang berani tetap tinggal di situ dapat menduga bahwa empat orang aneh itu tentulah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan karena mereka semua percaya akan perlindungan Cin-ling-pai, maka mendengar bahwa empat orang itu mengundang Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai, mereka bersikap tenang-tenang saja dan ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kepala pelayan kemudian dihujani pertanyaan oleh para tamu dan kepala pelayan ini menceritakan dengan gembira karena dia mendapat kesempatan untuk menonjolkan diri dan menjadi pusat perhatian, bahwa kakek bertopi itulah yang mengatur pesanan untuk menggunakan loteng itu sebagai tempat perjamuan menyambut tamu-tamu mereka, yaitu Cap-it Ho-han dari Cin-ling-pai.

"Tentu saja tadinya saya keberatan kalau loteng itu diborongnya, akan tetapi mendengar bahwa mereka itu hendak menjamu Cap-it Ho-han, siapa yang berani menentang? Kami malah berbahagia sekali dapat menyenangkan hati Cap-it Ho-han, bukan? Dan kiranya, empat orang itu pun adalah orang-orang yang memiliki kepandaian sangat hebat! Pantas menjadi sahabat-sahabat Cap-it Ho-han!"

Akan tetapi di antara para tamu itu ada pula yang diam-diam menyangsikan apakah benar empat orang ini adalah sahabat-sahabat dari Cap-it Ho-han. Mereka sudah mengerti betul siapa adanya Cap-it Ho-han, yaitu tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang sangat terkenal sebagai pendekar-pendekar besar, pembela kebenaran dan keadilan dan yang hidup sederhana seperti petani-petani biasa.

Sedangkan empat orang ini ternyata memiliki watak yang amat sombong, suka menonjol-nonjolkan ilmu kepandaian mereka seperti terbukti tadi betapa mereka berempat terang-terangan sengaja mendemonstrasikan ilmu kepandaian mereka di hadapan orang banyak dengan sikap amat sombongnya.

Agaknya amat aneh apa bila para pendekar seperti Cap-it Ho-han itu bersahabat dengan orang-orang sombong seperti itu, biar pun harus diakui mereka berempat itu mempunyai kepandaian yang sangat hebat. Apa lagi ketika mendengar betapa empat orang di atas loteng itu segera terdengar tertawa-tawa dengan kasarnya, agaknya minum arak sambil bersenda gurau, lagak mereka sama sekali tidak pantas menjadi orang-orang yang dapat disejajarkan dengan para pendekar dari Cin-ling-pai itu.

Betapa pun juga, semua orang merasa tertegun dan terheran bukan main ketika tak lama kemudian pelayan-pelayan yang bertugas di atas itu sudah sibuk mengangkat empat guci arak lagi, dibawa ke atas untuk menambah empat guci pertama yang agaknya telah habis pindah ke dalam perut empat orang aneh itu.

Menjelang senja, terdengar suara berisik di luar restoran itu. Orang-orang mulai berdesak-desakan untuk melihat dan menyambut munculnya tujuh orang jagoan Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang di antara Cap-it Ho-han yang datang memenuhi undangan Lima Bayangan Dewa yang bernada menantang. Sikap tujuh orang pendekar ini tenang saja dan pakaian mereka seperti para petani dusun, dan mereka hanya tersenyum sambil mengangguk ke kanan kiri membalas penghormatan para penduduk Han-tiong yang mengenal mereka.

Para pelayan restoran menyambut mereka penuh penghormatan ketika Sun Kiang dan keenam orang sute-nya memasuki restoran itu, kemudian dengan tenang mereka naik ke loteng melalui anak tangga. Mereka hanya memandang tanpa peduli akan tanda bekas kaki yang dibuat oleh Liok-te Sin-mo Gu Lo It tadi ketika kakek itu naik ke ruangan atas.

Tentu saja mereka yang tadi mengiringkan tujuh orang pendekar ini tidak berani ikut naik dan mereka hanya menonton dari luar restoran. Dari luar rumah makan, mereka dapat melihat keadaan di ruangan loteng yang terbuka itu, hanya tertutup oleh langkan setinggi satu meter sehingga mereka dapat melihat kepala orang-orang yang duduk di loteng...
Selanjutnya,