Petualang Asmara Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SELAGI Kim Seng Siocia meragu, tiba-tiba tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu tampak mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah hingga pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu bukannya melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti dilontarkan. Maka dia memekik kaget.

Akan tetapi tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak tahu bahwa teriakannya itu karena kaget. Mereka semua memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan gentar karena selama hidup mereka belum pernah mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu!

Kun Liong dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu, melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang turun ke dekat Hong Ing.

Dara ini memandang padanya dengan mata bersinar penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing telah menyaksikan semuanya dan dia merasa seperti dalam mimpi. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu menghendaki, biar pun dikeroyok oleh semua orang itu, dia tidak akan kalah!

"Hong Ing, terima kasih atas pertolonganmu."

Hong Ing merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas bahwa pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang hanya untuk bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini, Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih!

"Sekarang bagaimana, Kun Liong?" Dia bertanya sambil tetap menempelkan pedang di leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan kini membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan.

"Mari kita lari dari tempat ini."

"Tapi... kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera..."

"Jangan, Hong Ing. Kasihan sekali dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan sandera lagi. Sekarang pun kita telah terlalu banyak membuat dosa terhadap pemerintah. Marilah!" Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat dan dara itu menjerit penuh kengerian.

Siapa yang tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia segera mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari sana, lalu keduanya melarikan diri secepatnya.

Suara derap kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua dikejar! Maka keduanya terus berlari. Kun Liong mengerahkan ginkang-nya dan karena Hong Ing kalah jauh, maka dara yang sudah mengerahkan ginkang-nya ini masih saja terseret hingga seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi karena dia seperti bergantungan pada lengan Kun Liong.

Beberapa hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri selama hampir dua pekan dan merasa lega bahwa mereka sudah berhasil meninggalkan para pengejar mereka.

Memang mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran para anak buah Kim Seng Siocia dan pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong. Pengejaran pasukan itu mengalami kelambatan karena adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan genit itu. Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka, yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggota pasukan pengawal pangeran!

Melihat kejadian ini, baik Kim Seng Siocia mau pun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana kaisar.

Akan tetapi Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan pengejaran. Biar pun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar, juga dia telah mengirim utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu menyebarkan berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong mau pun Hong Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya.

Kun Liong dan Hong Ing berjalan perlahan-lahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda, maka keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin, barulah mereka keluar dari balik semak-semak.

"Ahh, betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini..." Hong Ing mengeluh. "Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!"

"Kita harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong Ing. Sesudah kita masuk kota di depan itu, kalau di sana terdapat sebuah kuil Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram."

Keduanya berjalan kembali dan sampai lama tak mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia berkata dengan suara datar,

"Engkau memang sangat memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa gangguan lagi. Subo-mu juga pangeran itu, tentu tidak akan tinggal diam dan akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang dikejar-kejar."

"Dan engkau...?" Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang pemuda itu.

Kun Liong juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan.

"Aku? Aku kenapa?"

"Engkau akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus."

Kun Liong tersenyum. "Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku, sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali tentu aku akan memberi pengajaran kepadanya agar tidak melanjutkan cara hidupnya yang busuk itu."

"Kun Liong, berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya karena aku..."

"Ah, jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua sama saja, entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapa pun juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini. Marilah kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan itu saja."

Dan tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan dia tiba-tiba sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan perjalanan bersama.

Biar pun menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapa pun sengsaranya, bila mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara! Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil Kwan-im-bio kemudian dia harus melanjutkan perjalanan seorang diri, benar-benar sangat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya?

Dia mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri ini?

Bagi Hong Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang penting baginya, yaitu suci-nya dan subo-nya. Kini subo-nya seperti memusuhinya, dan suci-nya sudah pergi jauh entah ke mana. Tentu saja Hong Ing bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan hatinya. Bedanya jauh sekali. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan perpisahan mereka ini. Kun Liong memaki diri sendiri.

Seorang dara seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela menjadi seorang nikouw dari pada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tidak mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang semacam dia! Seorang pemuda yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, begitu miskin hingga sehelai rambut pun tak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi kepadanya?

"Tolol!" Kun Liong memaki diri sendiri. Kenapa dia menjadi makin berduka mengenangkan semua ini? Biasanya dia tidak begini. Biasanya dia tidak pernah menyusahkan sesuatu, tidak pernah memikirkan kemiskinan dan kebodohannya.

Untung mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun Liong lupa akan kedukaannya.

"Mari kita mencari warung nasi dulu, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai bekal uang," kata Kun Liong. "Setelah makan, barulah kita mencari Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di sini."

Hong Ing hanya mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju. Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan di dinding.

"Apakah itu? Mari kita menengok sebentar," Kun Liong berkata.

Keduanya lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar!

"Heiii, inilah mereka...!" Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi gambar itu berteriak.

Kun Liong mendongkol bukan main. Orang itu bermata juling. Mengapa justru orang yang matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa tentu akan segera terjadi keributan dan mereka tentu akan dikeroyok, Kun Liong cepat memegang tangan Hong Ing lantas ditariknya dara itu untuk melarikan diri meninggalkan kota Guan-tin.

"Kejar...!"

"Tangkap...!"

Orang-orang yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi jalan yang sunyi.

"Pangeran itu betul-betul gila," Kun Liong bersungut-sungut. "Kiranya rombongan tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebarkan gambar kita. Dengan begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah. Amat berbahaya bila kita memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!"

"Habis bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?" Hong Ing bertanya.

"Tak mungkin mencari di kota. Andai kata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan, akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga."

Hong Ing menarik napas panjang. "Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau harus repot-repot karena aku? Kau lanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil..."

"Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu..."

"Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andai kata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak."

"Hong Ing, kau kira aku orang macam apa?"

"Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Ilmu Thi-khi I-beng!"

"Bukan begitu maksudku. Kau kira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau."

Hong Ing menunduk. "Sudah terlampau banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio."

Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk. "Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlampau memuakkan hatimu?"

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat. "Bukan begitu, Kun Liong..."

"Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja."

"Habis, ke mana kita harus pergi?"

"Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek..."

"Aihh, jadi pendekar sakti itu adalah supek-mu? Kau tak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta..."

"Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik dari pada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutkan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing."

Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu. "Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!"

Maka berangkatlah kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan pada waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka!

Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah apa bila sedang menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia selalu bersikap sopan dan bersungguh-sungguh.

********************

Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira walau pun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong dengan suka rela telah membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong!

Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan berbicara kepada ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong!

Jantungnya berdebar penuh kemesraan membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang pria yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir.

Namun, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar pun ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!

"Nona Cia, tunggu..."

Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.

"Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?"

Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka itu. Sapu tangannya masih membalut pundak itu.

"Kau... bagaimana lukamu...?" tanyanya dengan suara gemetar.

Bu Kong melirik ke arah pundaknya. "Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguh pun sapu tangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku sudah dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu."

Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka dan memandang. Mereka saling berpandangan dan seakan-akan ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya,

"Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?"

Tiba-tiba saja Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng cepat membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.

"Bicaralah! Tidak perlu berlutut!"

"Kau berjanjilah tidak akan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!" kata Bu Kong yang masih terus berlutut.

"Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu."

Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, "Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika engkau pergi meninggalkan aku setelah mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, namun aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan engkau bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya sekali bahwa hati Nona masih bebas, sungguh pun nona sudah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?"

Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apa lagi mendengar bujuk rayu yang sedemikian indahnya. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!

"Tapi... tapi aku sudah bertunangan...," dia berusaha menjawab.

"Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ahhh, mengapa engkau akan menyiksa diri hendak berjodoh dengan seorang lelaki yang tidak kau cinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu..." Bu Kong mencabut pedangnya.

"Jangan...!" Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah.

Sekarang Bu Kong memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.

"Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, hidup penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta kepadamu..."

"Tapi... tapi..."

"Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi..."

Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam, "Benarkah?"

"Tentu saja! Bukankah aku lebih suka mati dari pada menghadapi kegagalan cintaku kepadamu."

"Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?" Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, "Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?" Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.

"Tentu saja, aku bersumpah...!"

"Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?"

Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di dalam hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!

"Tentu saja aku berani, Moi-moi!" Liong Bu Kong menjawab dengan wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.

"Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau yang menceritakan terus terang kepada mereka mengenai cintamu dan mengenai pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku."

Wajah yang berseri-seri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu. "Wah, ini... ini... mana aku berani?"

Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. "Huh! Dan kau bilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja engkau sudah takut dan mundur!"

Bu Kong meloncat mendekati. "Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi ragu-ragu bukan karena takut mati, melainkan aku meragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!"

Segera Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biar pun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?

"Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!"

Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebut dirinya koko (kakanda), maka dia cepat merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya.

Giok Keng terkejut sekali, hampir dia menjerit hingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tak lama dia tenggelam dalam nikmat birahi ini, dia telah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.

"Moi-moi... maafkan aku... aku..." Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia merasa sangat khawatir bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati tadi akan membikin marah dara yang dicintanya.

Giok Keng menggelengkan kepala dan berkata halus, "Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, dan kelak bila mana aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah..." Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.

Bu Kong hampir saja tak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia juga maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng.

Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah.

Akhirnya Bu Kong berkata, "Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai."

"Aku mendengar bahwa... dahulu engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?"

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, "Tidak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian, dahulu aku mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku hendak memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang ibuku telah meninggal dunia, dan sungguh pun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apa lagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai."

Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata, "Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si."

Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Meski pun kekasihnya ialah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia benar-benar hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.

Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang mempunyai kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek yang lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng tiba di depan sebuah goa di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggota Kwi-eng-pang yang juga berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran.

Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di goa tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup!

Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa, "Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri."

"Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!" Thian-ong Lo-mo yang sudah sangat marah itu langsung menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.

"Cringgg! Trangggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu merasa terkejut sekali karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini berjumpa dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biar pun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, tapi agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu.

Demikian pula, biar pun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan begitu mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.

Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, ada pun Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat.

Baiknya Thian-ong Lo-mo masih dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang, maka pertandingan segera berlangsung dengan sangat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, laksana seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.

Dengan senjata mereka, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka, maka mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.

"Cringg... trakkk!"

Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi terkejut bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring lantas pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya.

Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa yang menangkis tusukan pedang Bu Kong.

"Plakk! Bretttt... Dess!"

Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biar pun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih terus dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan tergetar hebat.

"Ha-ha-ha-ha...!" Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!

"Wuuuttt.. plak-plak-plak!"

"Aughhhhh...!" Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang kini terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng.

Ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, dara ini cepat meloloskan sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia mempergunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!

Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sinkang-nya, juga merupakan ahli I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biar pun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja.

Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk lagi ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khikang-nya. Dua matanya yang lebar itu terbelalak merah dan lengking suaranya membuat lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.

"Cringgg... plakkk!"

Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuh dan mengangkat kakinya menendang.

"Brettt... plakkk!"

Baju pada pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong.

Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat di antara ketiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, sudah terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka.

Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apa lagi membantu. Suara khikang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terasa terguncang.

Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan mengerahkan seluruh ilmu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan sama sekali Thian-ong Lo-mo tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biar pun merasa amat penasaran, dia harus mengakui bahwa jika pertempuran itu dilanjutkannya juga, akhirnya dia akan terancam bahaya maut.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.

"Tranggg... cringgg...!"

Tetapi tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat langsung menyerang kedua orang lawannya. Ternyata Thian-ong Lo-mo telah menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sinkang sekuat-kuatnya. Kiranya inilah serangan terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya.

"Wuuuutttt...!"

Giok Keng dan Bu Kong makin kaget, secepatnya mereka melempar diri ke belakang dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya sudah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ.

Kiranya Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu segera melarikan diri dengan cepat sekali!

"Berhenti...!" Bu Kong menghardik, membuat kelima orang bekas anggota Kwi-eng-pang yang mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh dengan muka pucat.

"Ke sini kalian!" Bu Kong membentak lagi dan bagaikan lima ekor anjing yang ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian segera menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

"Ampun... Kongcu...!" Mereka mengeluh ketakutan.

Bu Kong tersenyum mengejek, "Di mana pusaka-pusaka itu?" bentaknya.

"Di... di dalam, Kongcu..."

"Hayo kalian ambil dan keluarkan semua!"

Seperti dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki goa dan tak lama kemudian mereka keluar sambil membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan itu, memeriksa isinya. Ternyata masih lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak!

Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus. Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika!

"Ahhh, mengapa kau membunuh mereka?" Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya.

"Mereka adalah orang-orang jahat, sementara itu aku sudah bersumpah untuk menentang orang-orang jahat, bukan? Moi-moi..." Bu Kong berkata melihat kekasihnya mengerutkan alisnya, "Jika sekarang tidak dibunuh, tentu mereka itu akan mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka, bukan?"

Giok Keng mengangguk-angguk. Ucapan pemuda itu tidak dapat dibantah, maka dengan menarik napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah.

Dari tempat itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang muda-mudi ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan sehingga seperti sepasang pengantin baru saja.

Tetapi Giok Keng tetap bersikeras tidak memperbolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani dia merayu kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara itu sehingga besar kemungkinan cinta kasih dara itu akan berubah menjadi kebencian hebat kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapa pun juga, hatinya sudah merasa puas dan lega bila menyaksikan sikap Giok Keng yang mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang akan dibelanya dengan nyawa!

********************

Kita tinggalkan dahulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu.

Seperti diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang kehendak Pangeran Han Wi Ong, sekarang dicap sebagai pemberontak dan orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel di mana-mana sehingga mereka terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat sukar.

Karena dia bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang menghendaki supaya dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu pada waktu dia membantu supek-nya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Souw Li Hwa ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio!

Kuil itulah yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka. Hong Ing harus bersembunyi dan menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu!

Mereka melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebetulnya, kalau saja mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan terus menyusuri pinggir sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi.

Pada suatu pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap. Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka sedang melewati daerah ramai. Dan pagi hari ini, setelah sampai di hutan yang sepi, mereka duduk beristirahat di bawah pohon.

Hong Ing memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber air yang cukup jernih. Sambil duduk bersandar pada batang pohon, memberi kesempatan kepada tubuh yang lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata,

"Kun Liong, kau tentu lelah sekali..."

Kun Liong duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum. "Tidak lebih lelah dari padamu, Hong Ing."

"Engkau lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang harus pergi untuk mencari tempat persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku."

"Hemmm..." Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya.

"Kenapa, Kun Liong? Kenapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?"

Kun Liong mengangkat mukanya.

"Hong Ing, entah sudah berapa kali kau menanyakan hal ini kepadaku. Kenapa? Kenapa aku melakukan semua ini? Semua kulakukan tentu saja karena engkau adalah seorang sahabatku yang baik, bukan? Andai kata tidak demikian sekali pun, andai kata engkau adalah orang lain dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan juga. Menolong orang yang memerlukan pertolongan merupakan perbuatan yang lumrah dan sudah semestinya, bukan?"

"Karena engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong."

"Hemmm..."

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong mendengar suara yang sumbang dan berada kecewa itu, "Jadi engkau menolongku bukan karena akulah orang itu?"

Karena tidak mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang. "Apa maksudmu?"

Hong Ing menjadi merah mukanya dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, aku hanya hendak menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui sesudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong adalah supek-mu. Ceritakanlah, Kun Liong."

"Apa yang patut kuceritakan? Riwayatku sangat buruk, lebih buruk dari pada riwayatmu, Hong Ing. Aku sudah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku sudah tidak berada di rumah kami." Dia menceritakan dengan singkat pengalaman hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiong Pek Hosiang selama lima tahun pula.

"Aihhh, kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan ke mana perginya ayah bundamu itu?" Hong Ing yang mendengarkan penuh kekaguman itu bertanya.

Kun Liong menarik napas panjang dan menunduk. "Mereka telah tewas..."

"Heiiii....!"

"Mereka tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!" Kun Liong lalu menuturkan betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong.

"Aku meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa lagi dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu..."

Hong Ing merasa terharu sekali saat melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan mengusap dua butir air matanya. "Keparat mereka! Kau harus balas mereka, Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!"

Kun Liog mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum. "Mereka berlima kini sudah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku sudah tewas semua dan sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat semenjak dia lahir."

"Adikmu...?"
Kun Liong mengangguk. "Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah ke mana. Sebab itu, setelah engkau mendapat tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong Ing."

Dara itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Kasihan sekali kau, Kun Liong. Memang engkau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau bisa melakukan perjalanan secara leluasa? Engkau akan ditangkap!"

"Tidak, Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang memiliki hubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu sudah dikembalikan."

"Kau tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa dirimu akibat kau membela aku."

"Marilah kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi Ong yang tidak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi Sin-kouw yang lihai dan galak itu?"

Nikouw muda itu menghela napas sambil mengerutkan alisnya. Kun Liong memandang wajahnya dan pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu sekali dan ingin mencucurkan air mata?

"Aku sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Pada waktu itu aku baru berusia lima tahun dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok oleh banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku sambil melawan mati-matian, lalu Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi terluka parah. Sesudah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia..."

Hampir saja Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncang karena tangisnya itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Memang, siapa yang takkan menangis bila membayangkan pengalamannya pada saat itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat, dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan memanggil-manggil nama ibunya.

"Ahhh…, kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan ceritamu," Kun Liong menghibur.

Hong Ing menyusuti air matanya dengan ujung lengan baju. "Aku hendak menceritakan semuanya kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah dalam sekarat, mendadak muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suci-ku itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia belaka dan dengan napas yang terputus-putus Ibu hanya bisa bercerita kepada Go-bi Sin-kouw sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh Subo dan Suci."

"Apakah Go-bi Sin-kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?"

"Tidak pernah. Subo tak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang bahwa sekarang Subo yang menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tak pernah mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta Lama."

"Ssstt...!" Tiba-tiba saja tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam semak-semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran.

"Ada apakah, Kun Liong?" tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang ringan seperti burung terbang tadi.

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Entahlah, aku tadi seperti mendengar ada suara orang menarik napas panjang dan terdengar pula suara kaki menginjak daun kering. Akan tetapi kucari ke mana-mana tidak ada bayangan seorang pun manusia."

"Ahh, agaknya suara binatang kecil di semak-semak," kata Hong Ing yang duduk kembali. Kun Liong juga duduk di depannya.

"Hong Ing, riwayat kita sama-sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang-orang muda yang menderita sengsara sejak kecil."

"Menang begitulah agaknya, Kun Liong. Hingga kini aku tidak pernah tahu apa itu yang disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?"

Kun Liong merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, dan kepala gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya. "Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanyalah merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya orang-orang yang sengsara! Orang-orang yang sengsara dan menderita menciptakan khayalan yang berlawanan dan berlainan dari pada keadaan hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaan hidup yang sebaliknya dan yang disebutnya bahagia! Maka hanya orang-orang yang sengsara saja, yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukanlah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang dirasakan sebenarnya hanyalah ‘kesenangan’ dan sekali kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!"

Hong Ing memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat berbicara seperti itu. Kata-katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah-olah dibangunkan dari mimpi dan melihat kenyataan.

"Kalau begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?" tanyanya lirih seolah-olah dalam hatinya ada tersembunyi rasa hormat terhadap pemuda itu.

"Entahlah, mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau sudah dapat dituturkan atau digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, tetapi kesenangan. Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati dan tidak berubah lagi, karena itu tak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka dari itu, kiranya tidak akan meleset jauh apa bila kukatakan bahwa Kebahagiaan hanya akan menjenguk isi hati mereka yang tidak membutuhkan kebahagiaan!"

Hong Ing melongo, tiba-tiba merangkap kedua tangannya sambil berkata penuh hikmat, "Omitohud...!"

Kun Liong baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. "Heiii! Apa-apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud segala?"

Hong Ing menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan tadi yang berbeda dengan biasanya. "Ahh, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi... lain! Wajahmu penuh wibawa, namun penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau mendapat semua pelajaran tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tidak mau harus kuakui kebenarannya itu?"

Sejenak Kun Liong tak mampu menjawab, kemudian katanya ragu-ragu, "Entahlah, Hong Ing. Mungkin juga dari kitab, tetapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir semuanya menjanjikan kebahagiaan-kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan hidup seperti apa adanya."

"Hemm, kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Jika si pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam kedunguannya!"

Kun Liong mengangguk-angguk. "Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing."

"Kau yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia, Kun Liong?"

Kepala yang gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. "Kalau kuingat-ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar, kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar-kejar, tapi sesudah terpegang oleh tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya."

"Bagaimana saat sekarang ini? Apakah kau merasa bahagia?" Hong Ing bertanya sambil menatap wajah tampan itu.

"Sekarang ini? Ahhh, pertanyaanmu tadi sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana jadinya kelak dengan nasib kita masing-masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku tidak bahagia."

"Tapi aku berbahagia, Kun Liong!"

"Haiii...? Kau...?"

"Hemm, agaknya pengetahuan dari kitab-kitabmu tak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri."

"Tapi, kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?"

"Mengapa tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?"

"Sebabnya?"

"Apa sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi."

"Tapi... haii!!! Siapa itu...?" Kun Liong berseru keras karena pada saat itu terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema di semua penjuru hutan itu.

Kun Liong kembali meloncat, mengejar ke sana-sini karena sukar mencari dari mana asal suara ketawa itu. Namun ternyata sia-sia belaka. Seperti juga tadi, walau pun dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana-sini di balik semak-semak dan kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong Ing bergidik.

"Bu... bukan manusia...!" katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas terlihat ngeri dan takut.

Dia memang seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi menghadapi suara ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar-benar membuat nyalinya menyempit.

"Ahhh, tidak mungkin. Tentu manusia! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi itu!" Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke cabang sampai dia berada di puncak pohon.

Dia mengintai ke empat penjuru dan tiba-tiba dia melihat debu mengebul tinggi dari arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka cepat-cepat dia melayang turun lagi.

"Ada pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!" katanya.

"Ahhh... bagaimana baiknya?" Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan bingung.

"Kita lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!" Maka larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang pantai Sungai Huang-ho terus ke timur.

Beberapa hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah muara Sungai Huang-ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan-im-bio yang berada di dalam hutan itu.

Sebuah kuil kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biar pun di situ masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ.

Akan tetapi Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini. Dia sudah membeli banyak lilin serta hio, maka bersama Hong Ing dia cepat-cepat membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan sapu tangan sutera milik Hong Ing agar dari luar tidak kelihatan tempat arca yang kosong, mengatur lilin di atas meja. Pendeknya keduanya berusaha keras supaya kuil itu kelihatan sebagai kuil yang masih bekerja.

Tiga hari mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh telah terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar mereka sudah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua.

Kun Liong menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tidak lama kemudian terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam-keng (membaca ayat suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu dan yang masih ada di dalam kuil! Kun Liong sendiri juga sudah menutupi kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut kemak-kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam-keng itu dengan gencar.

Maka ramailah kuil itu, suara Hong Ing berliam-keng diiringi suara tak-tok tak-tok nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan suasana kuil.

Dengan hati berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruang dalam yang gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw.

Derap kaki kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu berhenti di luar kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong, beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki-kaki yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan di mana dia dan Hong Ing berlutut. Hong Ing semakin gencar membaca doa, demikian cepatnya sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya.

"Tidak ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini," terdengar suara orang laki-laki.

"Tentu tidak berada di sini. Kalau ada, tidak mungkin mereka dapat bersembunyi." kata suara laki-laki ke dua.

"Nanti dulu!" Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si Gendut Kim Seng Siocia dan diam-diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai Kun Liong dan Hong Ing.

"Heh, Nikouw! Berhentilah dahulu berliam-keng!" Kim Seng Siocia membentak. "Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat di tempat ini?"

Hong Ing terus berliam-keng dengan suara semakin nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab, mulutnya terus berkemak-kemik ada pun tangannya makin gencar memukuli alat itu.

"Ahh…, dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam-keng? Mereka akan berliam-keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha-ha-ha!" Terdengar suara lelaki pertama.

Terdengar langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega ketika tiba-tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati.

"Nikouw! Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?"

Pertanyaan itu diucapkan dengan bentakan yang begitu mendadak sehingga Kun Liong yang terkejut itu menjawab gagap, "Ohhh... ehhh... belum kami bersihkan...!"

Dia terbeialak dan melongo saat melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas menjadi suara seorang wanita, malah dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia.

"Tangkap mereka!" Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengarlah cambuk hitam di tangannya bersuitan.

Kun Liong dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya untuk menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan.

Setelah melihat bahwa dua orang itu adalah orang-orang yang mereka kejar, Kim Seng Siocia dan dua orang kang-ouw yang tadi melakukan pemeriksaan cepat melompat keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu.

Kun Liong berbisik, "Hati-hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan melarikan diri."

Hong Ing hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar biasa. Dia lalu mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan begitu tiba di luar kuil, tampaklah oleh mereka musuh-musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw.

Kun Liong merasa heran melihat ada orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata ingin membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk ikut mencari bokor emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya tahu di mana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang prajurit!

Maklumlah Kun Liong bahwa amatlah berbahaya melawan orang sebanyak itu. Apa lagi jika mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu.

Kalau melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya mencelat ke sebelah kiri, ke arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya.

"Kejar!"

"Tangkap!"

Empat orang kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri telah menyambit Kun Liong, akan tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya sehingga berturut-turut robohlah empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan. Gerakan ranting itu hebat bukan main karena memang Kun Liong telah memainkan Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa.

Setelah berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu kemudian mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus oleh rombongan itu!

Sehari semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di hadapan mereka membentang luas air laut dan di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus!

Melihat keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata, "Kun Liong, kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tiada gunanya lagi kau mati-matian melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan tetapi janganlah kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di sini. Aku dapat menghadapi mereka."

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau tidak dibunuh."

"Aku tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah, sebelum ditawan aku dapat membunuh diri."

"Tidak!" Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia teringat dan melepaskannya. "Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri. Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati seperti babi, mati konyol!"

Hong Ing menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab lagi, hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai.

"Hong Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku." Sambil berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu lantas meloncat ke atas sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah dia berdiri tegak. Hong Ing di belakangnya seolah-olah dia hendak melindungi dara itu dari segala mara bahaya.

Rombongan pengejar itu berhenti di depannya. Mereka segera turun dari atas kuda dan memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong lantang bergema.

"Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak menggunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara agar menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh perbuatanmu?"

Mendengar ini, muka pangeran itu sebentar merah dan sebentar pucat. Dia marah sekali, karena menganggap pemuda itu terlampau kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya. Dia telah mengajukan lamaran secara baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang!

"Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Apakah engkau tak malu hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang untuk menjadi jodohnya!"

Kim Seng Siocia tertawa lebar. "Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer telingamu biar kau bertobat, hi-hi-hik!"

"Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!"

"Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para prajurit! Percuma saja hidup seperti kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain. Kalian merupakan boneka-boneka sial yang mau saja ditipu serta diperalat oleh segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa kalian!"

"Serbu! Bunuh saja keparat itu!" Tiba-tiba saja terdengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Han Wi Ong. "Dan tangkap nona itu!"

"Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!" Kim Seng Siocia membantah.

Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang, maka berturut-turut robohlah beberapa orang prajurit yang terdekat. Akan tetapi betapa pun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat.

Melihat betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan sedangkan semua itu dilakukan demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin mati di samping pemuda ini!
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 31

Petualang Asmara Jilid 31
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SELAGI Kim Seng Siocia meragu, tiba-tiba tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu tampak mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah hingga pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu bukannya melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti dilontarkan. Maka dia memekik kaget.

Akan tetapi tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak tahu bahwa teriakannya itu karena kaget. Mereka semua memandang dengan mata terbelalak penuh kagum dan gentar karena selama hidup mereka belum pernah mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu!

Kun Liong dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu, melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang turun ke dekat Hong Ing.

Dara ini memandang padanya dengan mata bersinar penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing telah menyaksikan semuanya dan dia merasa seperti dalam mimpi. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu menghendaki, biar pun dikeroyok oleh semua orang itu, dia tidak akan kalah!

"Hong Ing, terima kasih atas pertolonganmu."

Hong Ing merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas bahwa pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang hanya untuk bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini, Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih!

"Sekarang bagaimana, Kun Liong?" Dia bertanya sambil tetap menempelkan pedang di leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan kini membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan.

"Mari kita lari dari tempat ini."

"Tapi... kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera..."

"Jangan, Hong Ing. Kasihan sekali dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan sandera lagi. Sekarang pun kita telah terlalu banyak membuat dosa terhadap pemerintah. Marilah!" Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat dan dara itu menjerit penuh kengerian.

Siapa yang tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia segera mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari sana, lalu keduanya melarikan diri secepatnya.

Suara derap kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua dikejar! Maka keduanya terus berlari. Kun Liong mengerahkan ginkang-nya dan karena Hong Ing kalah jauh, maka dara yang sudah mengerahkan ginkang-nya ini masih saja terseret hingga seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi karena dia seperti bergantungan pada lengan Kun Liong.

Beberapa hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri selama hampir dua pekan dan merasa lega bahwa mereka sudah berhasil meninggalkan para pengejar mereka.

Memang mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran para anak buah Kim Seng Siocia dan pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong. Pengejaran pasukan itu mengalami kelambatan karena adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan genit itu. Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka, yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggota pasukan pengawal pangeran!

Melihat kejadian ini, baik Kim Seng Siocia mau pun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang sekali dapat bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana kaisar.

Akan tetapi Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan pengejaran. Biar pun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar, juga dia telah mengirim utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu menyebarkan berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong mau pun Hong Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya.

Kun Liong dan Hong Ing berjalan perlahan-lahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda, maka keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin, barulah mereka keluar dari balik semak-semak.

"Ahh, betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini..." Hong Ing mengeluh. "Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!"

"Kita harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong Ing. Sesudah kita masuk kota di depan itu, kalau di sana terdapat sebuah kuil Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram."

Keduanya berjalan kembali dan sampai lama tak mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia berkata dengan suara datar,

"Engkau memang sangat memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa gangguan lagi. Subo-mu juga pangeran itu, tentu tidak akan tinggal diam dan akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang dikejar-kejar."

"Dan engkau...?" Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang pemuda itu.

Kun Liong juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan.

"Aku? Aku kenapa?"

"Engkau akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus."

Kun Liong tersenyum. "Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku, sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali tentu aku akan memberi pengajaran kepadanya agar tidak melanjutkan cara hidupnya yang busuk itu."

"Kun Liong, berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya karena aku..."

"Ah, jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua sama saja, entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapa pun juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini. Marilah kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan itu saja."

Dan tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan dia tiba-tiba sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan perjalanan bersama.

Biar pun menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapa pun sengsaranya, bila mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara! Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil Kwan-im-bio kemudian dia harus melanjutkan perjalanan seorang diri, benar-benar sangat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya?

Dia mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri ini?

Bagi Hong Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang penting baginya, yaitu suci-nya dan subo-nya. Kini subo-nya seperti memusuhinya, dan suci-nya sudah pergi jauh entah ke mana. Tentu saja Hong Ing bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan hatinya. Bedanya jauh sekali. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan perpisahan mereka ini. Kun Liong memaki diri sendiri.

Seorang dara seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela menjadi seorang nikouw dari pada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tidak mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang semacam dia! Seorang pemuda yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, begitu miskin hingga sehelai rambut pun tak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi kepadanya?

"Tolol!" Kun Liong memaki diri sendiri. Kenapa dia menjadi makin berduka mengenangkan semua ini? Biasanya dia tidak begini. Biasanya dia tidak pernah menyusahkan sesuatu, tidak pernah memikirkan kemiskinan dan kebodohannya.

Untung mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun Liong lupa akan kedukaannya.

"Mari kita mencari warung nasi dulu, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai bekal uang," kata Kun Liong. "Setelah makan, barulah kita mencari Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di sini."

Hong Ing hanya mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju. Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan di dinding.

"Apakah itu? Mari kita menengok sebentar," Kun Liong berkata.

Keduanya lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar!

"Heiii, inilah mereka...!" Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi gambar itu berteriak.

Kun Liong mendongkol bukan main. Orang itu bermata juling. Mengapa justru orang yang matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa tentu akan segera terjadi keributan dan mereka tentu akan dikeroyok, Kun Liong cepat memegang tangan Hong Ing lantas ditariknya dara itu untuk melarikan diri meninggalkan kota Guan-tin.

"Kejar...!"

"Tangkap...!"

Orang-orang yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi jalan yang sunyi.

"Pangeran itu betul-betul gila," Kun Liong bersungut-sungut. "Kiranya rombongan tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebarkan gambar kita. Dengan begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah. Amat berbahaya bila kita memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!"

"Habis bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?" Hong Ing bertanya.

"Tak mungkin mencari di kota. Andai kata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan, akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga."

Hong Ing menarik napas panjang. "Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau harus repot-repot karena aku? Kau lanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil..."

"Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu..."

"Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andai kata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak."

"Hong Ing, kau kira aku orang macam apa?"

"Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Ilmu Thi-khi I-beng!"

"Bukan begitu maksudku. Kau kira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau."

Hong Ing menunduk. "Sudah terlampau banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio."

Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk. "Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlampau memuakkan hatimu?"

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat. "Bukan begitu, Kun Liong..."

"Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja."

"Habis, ke mana kita harus pergi?"

"Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek..."

"Aihh, jadi pendekar sakti itu adalah supek-mu? Kau tak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta..."

"Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik dari pada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutkan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing."

Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu. "Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!"

Maka berangkatlah kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan pada waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka!

Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah apa bila sedang menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia selalu bersikap sopan dan bersungguh-sungguh.

********************

Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira walau pun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong dengan suka rela telah membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong!

Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan berbicara kepada ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong!

Jantungnya berdebar penuh kemesraan membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang pria yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir.

Namun, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar pun ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!

"Nona Cia, tunggu..."

Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.

"Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?"

Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka itu. Sapu tangannya masih membalut pundak itu.

"Kau... bagaimana lukamu...?" tanyanya dengan suara gemetar.

Bu Kong melirik ke arah pundaknya. "Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguh pun sapu tangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku sudah dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu."

Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka dan memandang. Mereka saling berpandangan dan seakan-akan ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya,

"Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?"

Tiba-tiba saja Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng cepat membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.

"Bicaralah! Tidak perlu berlutut!"

"Kau berjanjilah tidak akan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!" kata Bu Kong yang masih terus berlutut.

"Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu."

Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, "Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika engkau pergi meninggalkan aku setelah mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, namun aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan engkau bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya sekali bahwa hati Nona masih bebas, sungguh pun nona sudah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?"

Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apa lagi mendengar bujuk rayu yang sedemikian indahnya. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!

"Tapi... tapi aku sudah bertunangan...," dia berusaha menjawab.

"Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ahhh, mengapa engkau akan menyiksa diri hendak berjodoh dengan seorang lelaki yang tidak kau cinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu..." Bu Kong mencabut pedangnya.

"Jangan...!" Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah.

Sekarang Bu Kong memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.

"Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, hidup penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta kepadamu..."

"Tapi... tapi..."

"Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi..."

Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam, "Benarkah?"

"Tentu saja! Bukankah aku lebih suka mati dari pada menghadapi kegagalan cintaku kepadamu."

"Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?" Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, "Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?" Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.

"Tentu saja, aku bersumpah...!"

"Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?"

Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di dalam hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!

"Tentu saja aku berani, Moi-moi!" Liong Bu Kong menjawab dengan wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.

"Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau yang menceritakan terus terang kepada mereka mengenai cintamu dan mengenai pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku."

Wajah yang berseri-seri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu. "Wah, ini... ini... mana aku berani?"

Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. "Huh! Dan kau bilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja engkau sudah takut dan mundur!"

Bu Kong meloncat mendekati. "Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi ragu-ragu bukan karena takut mati, melainkan aku meragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!"

Segera Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biar pun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?

"Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!"

Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebut dirinya koko (kakanda), maka dia cepat merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya.

Giok Keng terkejut sekali, hampir dia menjerit hingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tak lama dia tenggelam dalam nikmat birahi ini, dia telah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.

"Moi-moi... maafkan aku... aku..." Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia merasa sangat khawatir bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati tadi akan membikin marah dara yang dicintanya.

Giok Keng menggelengkan kepala dan berkata halus, "Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, dan kelak bila mana aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah..." Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.

Bu Kong hampir saja tak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia juga maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng.

Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah.

Akhirnya Bu Kong berkata, "Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai."

"Aku mendengar bahwa... dahulu engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?"

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, "Tidak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian, dahulu aku mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku hendak memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang ibuku telah meninggal dunia, dan sungguh pun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apa lagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai."

Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata, "Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si."

Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Meski pun kekasihnya ialah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia benar-benar hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.

Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang mempunyai kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek yang lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng tiba di depan sebuah goa di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggota Kwi-eng-pang yang juga berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran.

Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di goa tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup!

Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa, "Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri."

"Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!" Thian-ong Lo-mo yang sudah sangat marah itu langsung menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.

"Cringgg! Trangggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu merasa terkejut sekali karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini berjumpa dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biar pun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, tapi agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu.

Demikian pula, biar pun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan begitu mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.

Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, ada pun Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat.

Baiknya Thian-ong Lo-mo masih dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang, maka pertandingan segera berlangsung dengan sangat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, laksana seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata.

Dengan senjata mereka, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka, maka mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.

"Cringg... trakkk!"

Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi terkejut bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring lantas pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya.

Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa yang menangkis tusukan pedang Bu Kong.

"Plakk! Bretttt... Dess!"

Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biar pun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih terus dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan tergetar hebat.

"Ha-ha-ha-ha...!" Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!

"Wuuuttt.. plak-plak-plak!"

"Aughhhhh...!" Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang kini terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng.

Ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, dara ini cepat meloloskan sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia mempergunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!

Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sinkang-nya, juga merupakan ahli I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biar pun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja.

Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk lagi ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khikang-nya. Dua matanya yang lebar itu terbelalak merah dan lengking suaranya membuat lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.

"Cringgg... plakkk!"

Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuh dan mengangkat kakinya menendang.

"Brettt... plakkk!"

Baju pada pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong.

Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat di antara ketiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, sudah terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka.

Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apa lagi membantu. Suara khikang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terasa terguncang.

Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan mengerahkan seluruh ilmu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan sama sekali Thian-ong Lo-mo tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biar pun merasa amat penasaran, dia harus mengakui bahwa jika pertempuran itu dilanjutkannya juga, akhirnya dia akan terancam bahaya maut.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.

"Tranggg... cringgg...!"

Tetapi tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat langsung menyerang kedua orang lawannya. Ternyata Thian-ong Lo-mo telah menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sinkang sekuat-kuatnya. Kiranya inilah serangan terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya.

"Wuuuutttt...!"

Giok Keng dan Bu Kong makin kaget, secepatnya mereka melempar diri ke belakang dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya sudah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ.

Kiranya Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu segera melarikan diri dengan cepat sekali!

"Berhenti...!" Bu Kong menghardik, membuat kelima orang bekas anggota Kwi-eng-pang yang mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh dengan muka pucat.

"Ke sini kalian!" Bu Kong membentak lagi dan bagaikan lima ekor anjing yang ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian segera menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

"Ampun... Kongcu...!" Mereka mengeluh ketakutan.

Bu Kong tersenyum mengejek, "Di mana pusaka-pusaka itu?" bentaknya.

"Di... di dalam, Kongcu..."

"Hayo kalian ambil dan keluarkan semua!"

Seperti dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki goa dan tak lama kemudian mereka keluar sambil membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan itu, memeriksa isinya. Ternyata masih lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak!

Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus. Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika!

"Ahhh, mengapa kau membunuh mereka?" Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya.

"Mereka adalah orang-orang jahat, sementara itu aku sudah bersumpah untuk menentang orang-orang jahat, bukan? Moi-moi..." Bu Kong berkata melihat kekasihnya mengerutkan alisnya, "Jika sekarang tidak dibunuh, tentu mereka itu akan mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka, bukan?"

Giok Keng mengangguk-angguk. Ucapan pemuda itu tidak dapat dibantah, maka dengan menarik napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah.

Dari tempat itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang muda-mudi ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan sehingga seperti sepasang pengantin baru saja.

Tetapi Giok Keng tetap bersikeras tidak memperbolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani dia merayu kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara itu sehingga besar kemungkinan cinta kasih dara itu akan berubah menjadi kebencian hebat kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapa pun juga, hatinya sudah merasa puas dan lega bila menyaksikan sikap Giok Keng yang mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang akan dibelanya dengan nyawa!

********************

Kita tinggalkan dahulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu.

Seperti diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang kehendak Pangeran Han Wi Ong, sekarang dicap sebagai pemberontak dan orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel di mana-mana sehingga mereka terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat sukar.

Karena dia bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang menghendaki supaya dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu pada waktu dia membantu supek-nya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Souw Li Hwa ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio!

Kuil itulah yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka. Hong Ing harus bersembunyi dan menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu!

Mereka melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebetulnya, kalau saja mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan terus menyusuri pinggir sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi.

Pada suatu pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap. Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka sedang melewati daerah ramai. Dan pagi hari ini, setelah sampai di hutan yang sepi, mereka duduk beristirahat di bawah pohon.

Hong Ing memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber air yang cukup jernih. Sambil duduk bersandar pada batang pohon, memberi kesempatan kepada tubuh yang lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata,

"Kun Liong, kau tentu lelah sekali..."

Kun Liong duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum. "Tidak lebih lelah dari padamu, Hong Ing."

"Engkau lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang harus pergi untuk mencari tempat persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku."

"Hemmm..." Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya.

"Kenapa, Kun Liong? Kenapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?"

Kun Liong mengangkat mukanya.

"Hong Ing, entah sudah berapa kali kau menanyakan hal ini kepadaku. Kenapa? Kenapa aku melakukan semua ini? Semua kulakukan tentu saja karena engkau adalah seorang sahabatku yang baik, bukan? Andai kata tidak demikian sekali pun, andai kata engkau adalah orang lain dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan juga. Menolong orang yang memerlukan pertolongan merupakan perbuatan yang lumrah dan sudah semestinya, bukan?"

"Karena engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong."

"Hemmm..."

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong mendengar suara yang sumbang dan berada kecewa itu, "Jadi engkau menolongku bukan karena akulah orang itu?"

Karena tidak mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang. "Apa maksudmu?"

Hong Ing menjadi merah mukanya dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, aku hanya hendak menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui sesudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong adalah supek-mu. Ceritakanlah, Kun Liong."

"Apa yang patut kuceritakan? Riwayatku sangat buruk, lebih buruk dari pada riwayatmu, Hong Ing. Aku sudah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku sudah tidak berada di rumah kami." Dia menceritakan dengan singkat pengalaman hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiong Pek Hosiang selama lima tahun pula.

"Aihhh, kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan ke mana perginya ayah bundamu itu?" Hong Ing yang mendengarkan penuh kekaguman itu bertanya.

Kun Liong menarik napas panjang dan menunduk. "Mereka telah tewas..."

"Heiiii....!"

"Mereka tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!" Kun Liong lalu menuturkan betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong.

"Aku meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa lagi dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu..."

Hong Ing merasa terharu sekali saat melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan mengusap dua butir air matanya. "Keparat mereka! Kau harus balas mereka, Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!"

Kun Liog mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum. "Mereka berlima kini sudah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku sudah tewas semua dan sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat semenjak dia lahir."

"Adikmu...?"
Kun Liong mengangguk. "Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah ke mana. Sebab itu, setelah engkau mendapat tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong Ing."

Dara itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Kasihan sekali kau, Kun Liong. Memang engkau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau bisa melakukan perjalanan secara leluasa? Engkau akan ditangkap!"

"Tidak, Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang memiliki hubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu sudah dikembalikan."

"Kau tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa dirimu akibat kau membela aku."

"Marilah kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi Ong yang tidak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi Sin-kouw yang lihai dan galak itu?"

Nikouw muda itu menghela napas sambil mengerutkan alisnya. Kun Liong memandang wajahnya dan pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu sekali dan ingin mencucurkan air mata?

"Aku sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Pada waktu itu aku baru berusia lima tahun dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok oleh banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku sambil melawan mati-matian, lalu Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi terluka parah. Sesudah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia..."

Hampir saja Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncang karena tangisnya itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Memang, siapa yang takkan menangis bila membayangkan pengalamannya pada saat itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat, dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan memanggil-manggil nama ibunya.

"Ahhh…, kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan ceritamu," Kun Liong menghibur.

Hong Ing menyusuti air matanya dengan ujung lengan baju. "Aku hendak menceritakan semuanya kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah dalam sekarat, mendadak muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suci-ku itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia belaka dan dengan napas yang terputus-putus Ibu hanya bisa bercerita kepada Go-bi Sin-kouw sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh Subo dan Suci."

"Apakah Go-bi Sin-kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?"

"Tidak pernah. Subo tak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang bahwa sekarang Subo yang menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tak pernah mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta Lama."

"Ssstt...!" Tiba-tiba saja tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam semak-semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran.

"Ada apakah, Kun Liong?" tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang ringan seperti burung terbang tadi.

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Entahlah, aku tadi seperti mendengar ada suara orang menarik napas panjang dan terdengar pula suara kaki menginjak daun kering. Akan tetapi kucari ke mana-mana tidak ada bayangan seorang pun manusia."

"Ahh, agaknya suara binatang kecil di semak-semak," kata Hong Ing yang duduk kembali. Kun Liong juga duduk di depannya.

"Hong Ing, riwayat kita sama-sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang-orang muda yang menderita sengsara sejak kecil."

"Menang begitulah agaknya, Kun Liong. Hingga kini aku tidak pernah tahu apa itu yang disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?"

Kun Liong merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, dan kepala gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, kemudian terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya. "Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanyalah merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya orang-orang yang sengsara! Orang-orang yang sengsara dan menderita menciptakan khayalan yang berlawanan dan berlainan dari pada keadaan hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaan hidup yang sebaliknya dan yang disebutnya bahagia! Maka hanya orang-orang yang sengsara saja, yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukanlah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang dirasakan sebenarnya hanyalah ‘kesenangan’ dan sekali kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!"

Hong Ing memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat berbicara seperti itu. Kata-katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah-olah dibangunkan dari mimpi dan melihat kenyataan.

"Kalau begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?" tanyanya lirih seolah-olah dalam hatinya ada tersembunyi rasa hormat terhadap pemuda itu.

"Entahlah, mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau sudah dapat dituturkan atau digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, tetapi kesenangan. Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati dan tidak berubah lagi, karena itu tak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka dari itu, kiranya tidak akan meleset jauh apa bila kukatakan bahwa Kebahagiaan hanya akan menjenguk isi hati mereka yang tidak membutuhkan kebahagiaan!"

Hong Ing melongo, tiba-tiba merangkap kedua tangannya sambil berkata penuh hikmat, "Omitohud...!"

Kun Liong baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. "Heiii! Apa-apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud segala?"

Hong Ing menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan tadi yang berbeda dengan biasanya. "Ahh, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi... lain! Wajahmu penuh wibawa, namun penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau mendapat semua pelajaran tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tidak mau harus kuakui kebenarannya itu?"

Sejenak Kun Liong tak mampu menjawab, kemudian katanya ragu-ragu, "Entahlah, Hong Ing. Mungkin juga dari kitab, tetapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir semuanya menjanjikan kebahagiaan-kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan hidup seperti apa adanya."

"Hemm, kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Jika si pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam kedunguannya!"

Kun Liong mengangguk-angguk. "Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing."

"Kau yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia, Kun Liong?"

Kepala yang gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. "Kalau kuingat-ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar, kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar-kejar, tapi sesudah terpegang oleh tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya."

"Bagaimana saat sekarang ini? Apakah kau merasa bahagia?" Hong Ing bertanya sambil menatap wajah tampan itu.

"Sekarang ini? Ahhh, pertanyaanmu tadi sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana jadinya kelak dengan nasib kita masing-masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku tidak bahagia."

"Tapi aku berbahagia, Kun Liong!"

"Haiii...? Kau...?"

"Hemm, agaknya pengetahuan dari kitab-kitabmu tak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri."

"Tapi, kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?"

"Mengapa tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?"

"Sebabnya?"

"Apa sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi."

"Tapi... haii!!! Siapa itu...?" Kun Liong berseru keras karena pada saat itu terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema di semua penjuru hutan itu.

Kun Liong kembali meloncat, mengejar ke sana-sini karena sukar mencari dari mana asal suara ketawa itu. Namun ternyata sia-sia belaka. Seperti juga tadi, walau pun dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana-sini di balik semak-semak dan kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong Ing bergidik.

"Bu... bukan manusia...!" katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas terlihat ngeri dan takut.

Dia memang seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi menghadapi suara ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar-benar membuat nyalinya menyempit.

"Ahhh, tidak mungkin. Tentu manusia! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi itu!" Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke cabang sampai dia berada di puncak pohon.

Dia mengintai ke empat penjuru dan tiba-tiba dia melihat debu mengebul tinggi dari arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka cepat-cepat dia melayang turun lagi.

"Ada pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!" katanya.

"Ahhh... bagaimana baiknya?" Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan bingung.

"Kita lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!" Maka larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang pantai Sungai Huang-ho terus ke timur.

Beberapa hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah muara Sungai Huang-ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan-im-bio yang berada di dalam hutan itu.

Sebuah kuil kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biar pun di situ masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ.

Akan tetapi Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini. Dia sudah membeli banyak lilin serta hio, maka bersama Hong Ing dia cepat-cepat membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan sapu tangan sutera milik Hong Ing agar dari luar tidak kelihatan tempat arca yang kosong, mengatur lilin di atas meja. Pendeknya keduanya berusaha keras supaya kuil itu kelihatan sebagai kuil yang masih bekerja.

Tiga hari mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh telah terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar mereka sudah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua.

Kun Liong menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tidak lama kemudian terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam-keng (membaca ayat suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu dan yang masih ada di dalam kuil! Kun Liong sendiri juga sudah menutupi kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut kemak-kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam-keng itu dengan gencar.

Maka ramailah kuil itu, suara Hong Ing berliam-keng diiringi suara tak-tok tak-tok nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan suasana kuil.

Dengan hati berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruang dalam yang gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw.

Derap kaki kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu berhenti di luar kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong, beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki-kaki yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan di mana dia dan Hong Ing berlutut. Hong Ing semakin gencar membaca doa, demikian cepatnya sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya.

"Tidak ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini," terdengar suara orang laki-laki.

"Tentu tidak berada di sini. Kalau ada, tidak mungkin mereka dapat bersembunyi." kata suara laki-laki ke dua.

"Nanti dulu!" Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si Gendut Kim Seng Siocia dan diam-diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai Kun Liong dan Hong Ing.

"Heh, Nikouw! Berhentilah dahulu berliam-keng!" Kim Seng Siocia membentak. "Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat di tempat ini?"

Hong Ing terus berliam-keng dengan suara semakin nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab, mulutnya terus berkemak-kemik ada pun tangannya makin gencar memukuli alat itu.

"Ahh…, dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam-keng? Mereka akan berliam-keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha-ha-ha!" Terdengar suara lelaki pertama.

Terdengar langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega ketika tiba-tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati.

"Nikouw! Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?"

Pertanyaan itu diucapkan dengan bentakan yang begitu mendadak sehingga Kun Liong yang terkejut itu menjawab gagap, "Ohhh... ehhh... belum kami bersihkan...!"

Dia terbeialak dan melongo saat melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas menjadi suara seorang wanita, malah dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia.

"Tangkap mereka!" Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengarlah cambuk hitam di tangannya bersuitan.

Kun Liong dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya untuk menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan.

Setelah melihat bahwa dua orang itu adalah orang-orang yang mereka kejar, Kim Seng Siocia dan dua orang kang-ouw yang tadi melakukan pemeriksaan cepat melompat keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu.

Kun Liong berbisik, "Hati-hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan melarikan diri."

Hong Ing hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar biasa. Dia lalu mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan begitu tiba di luar kuil, tampaklah oleh mereka musuh-musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw.

Kun Liong merasa heran melihat ada orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata ingin membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk ikut mencari bokor emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya tahu di mana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang prajurit!

Maklumlah Kun Liong bahwa amatlah berbahaya melawan orang sebanyak itu. Apa lagi jika mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu.

Kalau melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya mencelat ke sebelah kiri, ke arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya.

"Kejar!"

"Tangkap!"

Empat orang kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri telah menyambit Kun Liong, akan tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya sehingga berturut-turut robohlah empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan. Gerakan ranting itu hebat bukan main karena memang Kun Liong telah memainkan Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa.

Setelah berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu kemudian mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus oleh rombongan itu!

Sehari semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di hadapan mereka membentang luas air laut dan di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus!

Melihat keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata, "Kun Liong, kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tiada gunanya lagi kau mati-matian melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan tetapi janganlah kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di sini. Aku dapat menghadapi mereka."

Kun Liong mengerutkan alisnya. "Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau tidak dibunuh."

"Aku tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah, sebelum ditawan aku dapat membunuh diri."

"Tidak!" Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia teringat dan melepaskannya. "Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri. Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati seperti babi, mati konyol!"

Hong Ing menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab lagi, hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai.

"Hong Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku." Sambil berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu lantas meloncat ke atas sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah dia berdiri tegak. Hong Ing di belakangnya seolah-olah dia hendak melindungi dara itu dari segala mara bahaya.

Rombongan pengejar itu berhenti di depannya. Mereka segera turun dari atas kuda dan memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong lantang bergema.

"Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak menggunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara agar menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh perbuatanmu?"

Mendengar ini, muka pangeran itu sebentar merah dan sebentar pucat. Dia marah sekali, karena menganggap pemuda itu terlampau kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya. Dia telah mengajukan lamaran secara baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang!

"Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Apakah engkau tak malu hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang untuk menjadi jodohnya!"

Kim Seng Siocia tertawa lebar. "Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer telingamu biar kau bertobat, hi-hi-hik!"

"Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!"

"Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para prajurit! Percuma saja hidup seperti kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain. Kalian merupakan boneka-boneka sial yang mau saja ditipu serta diperalat oleh segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa kalian!"

"Serbu! Bunuh saja keparat itu!" Tiba-tiba saja terdengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Han Wi Ong. "Dan tangkap nona itu!"

"Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!" Kim Seng Siocia membantah.

Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang, maka berturut-turut robohlah beberapa orang prajurit yang terdekat. Akan tetapi betapa pun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat.

Melihat betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan sedangkan semua itu dilakukan demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin mati di samping pemuda ini!
Selanjutnya,