Petualang Asmara Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SERU dan hebat sekali pertandingan berat sebelah yang berlangsung di tepi pantai yang berhutan itu. Hong Ing telah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang di antara pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina. Hanya subo-nya seorang saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subo-nya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya.

Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan akhirnya dapat tertawan. Maka dia selalu menggerakkan sepasang rantingnya untuk menghadang dan mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.

Biar pun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun Kun Liong merasa kewalahan juga menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu. Apa lagi dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang bermacam senjata dan rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot sekali.

Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Akan tetapi sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi I-beng yang diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban Thi-khi I-beng.

"Awas…!" teriaknya. "Dia pandai Ilmu Mukjijat Thi-khi I-beng! Jangan biarkan tubuh kalian menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap dia!"

Dengan peringatan ini, memang para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya oleh senjata lawan, namun dengan dikurung ketat seperti itu, dia juga takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya dapat melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan prajurit.

Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, mendadak dia melihat bayangan seorang gadis yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang gembira itu segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong.

Tidak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak disangkanya akan tetapi yang segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng bersama Liong Bu Kong sudah menyerbu ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya!

Tanpa menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supek-nya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah orang yang terkenal sering membantu pemerintah. Maka sekarang puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apa lagi karena agaknya pangeran itu sudah memutar balikkan kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi.

Benar saja dugaannya. Sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki, "Yap Kun Liong! Kenapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu kau!"

"Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!" teriak Kun Liong penasaran. "Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!"

"Aku tahu akan watak mata keranjangmu!". Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju.

Tentu saja Kun Liong menjadi semakin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia sudah repot bukan main, kini ditambah dua orang yang mempunyai kepandaian begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk.

Seperti diceritakan pada bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka bermaksud mempergunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara.

Tepat seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong dan menanyakan peristiwa itu, mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan langsung menyerbu bersama Bu Kong.

Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh keringat, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, tetapi mereka yang roboh oleh pedang Hong Ing tidak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika! Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan pahanya. Betapa pun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!

Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum sekali. Baru sekarang ini dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu.

Ilmu tongkat yang dimainkan oleh kedua tangan Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting benar-benar sangat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Ke mana pun tongkat berkelebat, tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari mana pun datangnya hujan senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu!

Dan kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, akan tetapi hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima dengan tubuhnya sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih belum sanggup menahan pedang pusaka!

Dan sekali ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya hingga membuat dia tak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal.

Dan kalau dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukai tubuhnya! Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri supek-nya ini merasa terhina.

Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tak akan ada gunanya pula untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan.

Dia lalu memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengeroyoknya, apa lagi ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur. Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia langsung menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi.

Memperoleh kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat bagaikan kilat menyambar tubuhnya segera mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam.

"Kun Liong, mari kita mati bersama...," Hong Ing berbisik.

"Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!" teriak Kun Liong penasaran.

Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari mana pun juga datangnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung menyambung bagaikan halilintar di musim hujan, bergema ke seluruh penjuru dan membawa kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang prajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khikang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang telah mengeroyok dua orang alim? Ha-ha-ha-ha!"

Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah! Lama jubah merah!

Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan sangat berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.

"Ha-ha-ha, siapa pun yang hendak mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?"

"Hwesio gila...!" Lima orang kang-ouw beserta belasan orang prajurit yang tadi berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, lalu menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam.

Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat segera menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan orang prajurit itu roboh dan tidak mampu bangun kembali!

"Ha-ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau yang maju adalah lawan pinceng yang seimbang. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?"

Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong juga ditantangnya, termasuk pula Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!

Mendengar disebutnya nama bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw, maka marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak nyaring dan melompat ke depan. Tubuh yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan kecil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu.

"Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!"

Kakek Lama itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya saja, dan... seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si Kakek lihai lalu ditangkapnya.

"Lepaskan cambukku! Aihhhhh...!" Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot, akan tetapi cambuknya bagai telah berakar di tangan kakek itu yang masih tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu!

Kim Seng Siocia telah berdiri lagi, lantas memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim Seng Siocia, akan tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong, kakek itu diam-diam merasa kagum. Ia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.

"Selagi masih hidup kalian tidak lekas-lekas masuk ke dalam peti mati, apakah menunggu sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!"

Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang hendak menolong mereka. Karena itu, Kun Liong segera menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti yang dipanggul oleh Si Kakek itu tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!

Biar pun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti mati, bahkan dia lalu tertawa dan sekarang lengking tawanya mengandung tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, lalu mengerahkan sinkang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu.

Pangeran Han Wi Ong sendiri yang tadi berdiri agak jauh, langsung terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan para prajurit banyak yang roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar! Sesudah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang hebat itu, keadaan menjadi amat sunyi dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti,

"Kalian adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu. Nah, sekarang pergilah!" Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan.

"Byuuurrr...!"

Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tindih di dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting.

Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua ketika mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang bergelombang!

Pada saat mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka berdiri di pantai. Untunglah di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka tidak mampu melakukan pengejaran.

Ada pun pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu.

Kun Liong kemudian membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali, lengkap berikut tali temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang bisa digunakan sebagai perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong kemudian memasang layar dan meluncurlah ‘perahu’ mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas!

Sesudah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar sudah tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.

"Ke mana kita pergi?" Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah dan penuh kekhawatiran.

Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!

"Sebaiknya kita mentaati nasehat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita akan terus menjadi orang buruan sebelum aku bisa bertemu dan mendapat pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ahhh…, tipis harapanku..."

"Giok Keng? Apakah kau maksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi? Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?"

"Benar."

"Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?"

"Dia itu... tunanganku..."

"Ihhhh...!" Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara lagi.

Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening yang menggelisahkan hati.

"Dia adalah puteri Supek Keng Hong..." Akhirnya Kun Liong berkata.

Dia tidak tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan karena keadaan mereka.

Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok. "Ehhhh...?"

"Tapi pertunangan kami itu telah putus..."

"Hemm..." Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apa lagi Kun Liong duduknya di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka duduk berdekatan!

"Kenapa...?"

Kun Liong yang termenung, agaknya turut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing yang bagaikan orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba ini.

"Kenapa apanya...?"

"Kenapa pertunangan itu putus?"

"Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku."

Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek. "Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu."

"Tidak! Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera dari Kwi-eng Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti itu."

"Mengapa tidak mungkin? Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta tidak mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta."

"Tapi Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana."

"Tidak! Dia gadis tolol!" Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras.

Kun Liong memandang tajam, agak panas perutnya. "Hong Ing, dia bukan gadis tolol, dia puteri Supek..."

"Puteri dewa sekali pun, tetap saja dia tolol!" Hong Ing juga memandang tajam seakan menantang, seolah-olah dia sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul itu.

Kun Liong hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk dan menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek? Kini mereka masih terancam bahaya, berada di dalam perahu yang aneh dan di tengah samudera, tak tentu arah tujuan.

Lama mereka tenggelam di dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik napas panjang karena suasana hening yang mencekam itu sangat tidak mengenakkan hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi? Lagi pula, Hong Ing tentu masih marah. Mengapa dara ini marah-marah? Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena kedukaannya dan kegelisahannya?
"Kun Liong..."

"Hemm...?" Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.

"Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?"

Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini, akan tetapi karena dia tak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, maka dia terpaksa menjawab, "Tentu saja dia tidak cinta kepadaku, dia sendiri yang menyatakan hal ini dan memutuskan tali perjodohan kami."

"Mengapa tidak cinta padamu?"

"Ehh, apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang gundul seperti aku? Di dunia ini mana mungkin ada seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta kepada seorang lelaki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang semacam Kim Seng Siocia..." Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.

"Kasihan kau, Kun Liong..."

"Tidak perlu kau kasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk," kata Kun Liong sambil cemberut.

Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biar pun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi yang jelas, Hwi Sian sungguh-sungguh mencintanya sehingga dara itu rela menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!

"Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?"

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Yang jelas hanya seorang..."

"Siapa?" Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan ini.

"Mendiang ibuku..."

"Hemm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya..."

"Tidak sama sekali."

"Heiii?"

"Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada cinta!"

"Ehhh...?"

"Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya laki-laki yang jatuh cinta! Semua wanita sama saja. Mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti bunga yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlomba menarik perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu birahi saja! Aku muak! Aku tidak cinta siapa pun dan tidak akan mencinta siapa pun!"

Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya, "Jadi kau... tidak suka kepada wanita?"

"Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak dapat bergerak lagi, kehilangan kebebasan, kemudian selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!"

"Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?"

"Tidak!"

"Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kau pelajari dari kitab?"

"Hemmm... mungkin juga! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang..."

"Kata-katamu seperti syair... teruskan..."

"Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk..."

Kun Liong segera menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya!

Teringatlah dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada dirinya sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang sangat cantik jelita! Barulah dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya terhadap Giok Keng, puteri supek-nya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga telah mengeroyoknya tadi.

"Yap Kun Liong..."

Panggilan nama lengkap ini membuat hati Kun Liong berdebar kencang, namanya disebut lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan lautan.

"Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu berbicara seperti seorang kakek tua renta tentang wanita, padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang dahsyat melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!"

"Hong Ing..." Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.

"Seolah-olah dialah satu-satunya laki-laki yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi makhluk wanita yang lemah dan hina..."

"Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu..."

"Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan ibunya pun seorang wanita..."

"Hong Ing...!" Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi?

Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu lantas merapikan kain putih penutup kepalanya yang sedikit terbuka oleh angin, kemudian gadis ini bersenandung!

Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin. Nyanyiannya lirih akan tetapi kata-katanya terdengar jelas, diiringi oleh suara air laut yang memercik pada peti hingga mendatangkan irama kacau namun pada waktu itu merupakan latar belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu.

Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, yang menjadi istimewa karena dinyanyikan di tempat seperti itu, pada saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya langsung berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta!

Dan sesudah dengan penuh perhatian dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa amat kagum, kagum dan heran sekali. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain mempunyai suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran kenapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.

Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!


"Suaramu indah sekali!"

Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang nyanyiannya lagi. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia menjadi agak mendongkol juga.

Karena pujiannya tadi tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu.

"Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!"

Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia menjawab, "Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya bila nikouw menyanyi?"

Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu sehingga membantahnya. Masih lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-makinya sekali pun dari pada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung.

Kun Liong tertawa. "Tentu saja semua nikouw juga boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang cinta!"

Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah. "Aku bukan nikouw! Aku bukan nikouw asli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw lagi!" Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat.

Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan kedua matanya memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan pada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan ‘telanjang’, maka dia menutupkan kembali kain putih itu ke atas kepalanya dengan tergesa-gesa.

Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi semakin geli dan dia pun mencela, "Heii, mengapa ditutup kembali?"

In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya ‘telanjang’, dan dengan cemberut dia berkata, "Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari."

Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, "Hong Ing, kau maafkanlah atas semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku."

Hong Ing menjawab tidak acuh, "Siapa marah? Aku tidak marah."

"Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong..."

"Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hina...!"

Kun Liong menjadi semakin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Namun karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya pada saat itu, maka dia diam saja. Dia murung dan betapa pun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut.

Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan juga tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengar suara dara itu,

"Kun Liong..." Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya!

"Hemmm...?" Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.

"Lihat ini..."

Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu.

"Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?"

"Wah, tentu enak sekali!" kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi.

Karena di sana tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit potongan kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu.

Akan tetapi sesudah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar!

Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka sedang terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!

"Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita."

Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandangan mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya!

Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin semakin kencang dan tiba-tiba saja dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan gembira dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun begitu lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!

"Celaka...! Lebih baik kita tutup peti ini...!" Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti.

Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tidak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan.

Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati yang tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja.

Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, ada pun Kun Liong sendiri yang selama ini tak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman pada waktu dia masih kanak-kanak dan tanpa terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang sedang menderita ketakutan.

Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar kemudian keadaan menjadi gelap. Pada saat terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya, "Kun Liong...!"

Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Pada waktu Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya.

Malam masih gelap dan suara badai masih menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau saja terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!

"Hong Ing...!" Dia memanggil dengan pengerahan khikang-nya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan.

Tak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil kembali. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis!

Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang. Baru kali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.

Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit.

Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggil namanya.

Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan ada kalanya air meledak bergemuruh saat menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam laut, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.

Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih sangat gelap. Betapa pun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya dibelalakkan dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan disertai pengerahan khikang sekuatnya.

"Hong Ing...!"
Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, terus mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan!

Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut kain layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada!

Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing sudah dimakan ikan! Betapa ngerinya!

"Hong Ing...!" Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil.

Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!

"Hong Ing...!" Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!

********************

Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan kini marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, hidup dengan tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping dua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggota yang juga menjadi murid-muridnya.

Giok Keng kini sudah menjadi seorang dara remaja yang telah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, ada pun Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apa lagi yang dikehendaki?

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang amat dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai seseorang yang sudah berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang hidupnya berbahagia. Namun, benarkah demikian? Apakah benar Cia Keng Hong merasa dirinya bahagia?

Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Demikian pula selanjutnya. Akan tetapi betulkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak?

Selama orang masih mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul rasa iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir mau pun batin?

Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, atau kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk dimiliki!

Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.

Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak akan tetapi selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!


Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandangan mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah mereka benar-benar berbahagia, marilah kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama?

Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong bersama isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap sambil menghadapi sarapan pagi dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tidak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang ketika itu sedang mekar mengharum.

"Giok Keng sudah cukup dewasa," terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya. "Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka nanti sekembalinya anak itu, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita." Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya sangat gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biar pun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.

"Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kau pikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil kalau dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Kenapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?"

"Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan dari pada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoi-ku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi I-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia mempunyai watak yang gagah perkasa dan budiman, biar pun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk."

"Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja."

"Hemmm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum mempunyai pengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanya melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi sesudah menikah, timbul perpecahan karena watak mereka tidak cocok. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tanpa mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal..."

"Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang tetap berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cu. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Lagi pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, karena itu mereka pula yang berhak memilih."

"Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka dari pada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat."

"Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega..."

Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada waktu itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subo-nya.

"Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama..." Sampai di sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira sekali mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.

"Bersama siapa?" Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.

"Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu..."

"Siapa...?!" Biauw Eng membentak marah.

"Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang..."

"Apa...?" Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya kemudian berkata, "Kin Ta, kau ajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini."

Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Sesudah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng kembali duduk, lalu saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak.

"Tenanglah, kita belum tahu apa yang telah terjadi," akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka.

Keng Hong mengangguk. "Tentu sudah terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....," katanya, menarik napas panjang. "Apa pun yang terjadi, agaknya tak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat."

"Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya," isterinya membela puteri mereka.

Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.

Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu.

Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, ada pun Giok Keng sesudah menyebut ‘ayah dan ibu’ lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, "Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini."

Benar saja, perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandangan dan menatap pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu.

Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main.

Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis jelas di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang mempunyai tenaga sinkang mukjijat yang sudah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Orang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.

Sebagai seorang pendekar sakti yang sulit dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong merasa tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu, maka dia bertanya kepada puterinya,

"Siapa yang melakukan ini?"

Memang hal inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut serta memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Ia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusan dirinya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan berputar dan tidak secara langsung.

"Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!"

Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak prajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya pada saat dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.

"Kok Beng Lama...?" Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. "Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw! Mengapa dia menentang prajurit pemerintah?"

"Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.

"Mengapa? Apa yang sudah dilakukannya?" Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran.

"Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu…" Giok Keng langsung menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang sudah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong.

Ketika menuturkan hal ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dengan dibantu oleh beberapa orang perwira beserta orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan. Namun ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang sangat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak prajurit.

Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sehingga mereka berdua tak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong sudah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya turut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya?

"Giok Keng!" tiba-tiba pendekar ini membentak, suaranya terdengar dingin menyeramkan. "Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyok dia? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Yang lebih mengherankan hati kami, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia adalah anak Kwi-eng Niocu?"

Giok Keng sudah menduga pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih tentang diri Bu Kong, dia lalu menjawab,

"Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Walau pun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, sebab itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, ia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."

"Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang telah berani datang menghadap," terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. "Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan."

"Harap Ayah dan Ibu tidak merasa ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika akan mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggota Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya."

"Giok Keng...!" Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali hingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. "Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami agar menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?"

Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab,

"Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena di antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang… orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."

Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih dapat mengeluarkan suara bertanya, "Siapa itu orang yang kau cinta?"

Giok Keng yang memang sudah ‘nekat’ ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata,

"Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sebenarnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... saling mencinta..."

Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong lantas tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan sangat besar, maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!

"Dessss...!"

Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling. Lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung pada waktu dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat dia sudah berada di depan ayahnya lalu dengan suara menentang dan nyaring dia berkata,

"Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku juga cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!"

Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh!

"Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!"

"Tahan...!" Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti sedang mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan.

"Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Engkau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?" Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya.

Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng itu, Keng Hong merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia segera memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, "Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kau lakukan. Pergi...!"

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadi dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan serta kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia telah diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati dari pada dibunuh!

"Ayah...!" Dia menjerit, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat.

"Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali lagi!" Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah semakin menusuk perasaan karena selama hidupnya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu.

"Ibu...!" Dia tersedu memanggil ibunya.

Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biar pun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Kini Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!

"Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...," katanya terisak.

Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia segera membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 32

Petualang Asmara Jilid 32
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SERU dan hebat sekali pertandingan berat sebelah yang berlangsung di tepi pantai yang berhutan itu. Hong Ing telah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang di antara pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina. Hanya subo-nya seorang saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subo-nya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya.

Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan akhirnya dapat tertawan. Maka dia selalu menggerakkan sepasang rantingnya untuk menghadang dan mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.

Biar pun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun Kun Liong merasa kewalahan juga menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu. Apa lagi dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang bermacam senjata dan rata-rata mempunyai kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot sekali.

Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Akan tetapi sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi I-beng yang diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban Thi-khi I-beng.

"Awas…!" teriaknya. "Dia pandai Ilmu Mukjijat Thi-khi I-beng! Jangan biarkan tubuh kalian menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap dia!"

Dengan peringatan ini, memang para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya oleh senjata lawan, namun dengan dikurung ketat seperti itu, dia juga takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya dapat melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan prajurit.

Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, mendadak dia melihat bayangan seorang gadis yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang gembira itu segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong.

Tidak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak disangkanya akan tetapi yang segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng bersama Liong Bu Kong sudah menyerbu ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya!

Tanpa menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supek-nya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah orang yang terkenal sering membantu pemerintah. Maka sekarang puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apa lagi karena agaknya pangeran itu sudah memutar balikkan kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi.

Benar saja dugaannya. Sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki, "Yap Kun Liong! Kenapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu kau!"

"Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!" teriak Kun Liong penasaran. "Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!"

"Aku tahu akan watak mata keranjangmu!". Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju.

Tentu saja Kun Liong menjadi semakin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia sudah repot bukan main, kini ditambah dua orang yang mempunyai kepandaian begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk.

Seperti diceritakan pada bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka bermaksud mempergunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara.

Tepat seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong dan menanyakan peristiwa itu, mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan langsung menyerbu bersama Bu Kong.

Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh keringat, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, tetapi mereka yang roboh oleh pedang Hong Ing tidak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika! Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan pahanya. Betapa pun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!

Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum sekali. Baru sekarang ini dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu.

Ilmu tongkat yang dimainkan oleh kedua tangan Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting benar-benar sangat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Ke mana pun tongkat berkelebat, tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari mana pun datangnya hujan senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu!

Dan kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, akan tetapi hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima dengan tubuhnya sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih belum sanggup menahan pedang pusaka!

Dan sekali ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya hingga membuat dia tak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sinkang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal.

Dan kalau dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukai tubuhnya! Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri supek-nya ini merasa terhina.

Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tak akan ada gunanya pula untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan.

Dia lalu memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengeroyoknya, apa lagi ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur. Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia langsung menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi.

Memperoleh kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat bagaikan kilat menyambar tubuhnya segera mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam.

"Kun Liong, mari kita mati bersama...," Hong Ing berbisik.

"Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!" teriak Kun Liong penasaran.

Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari mana pun juga datangnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung menyambung bagaikan halilintar di musim hujan, bergema ke seluruh penjuru dan membawa kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang prajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khikang itu.

"Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang telah mengeroyok dua orang alim? Ha-ha-ha-ha!"

Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah! Lama jubah merah!

Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan sangat berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.

"Ha-ha-ha, siapa pun yang hendak mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?"

"Hwesio gila...!" Lima orang kang-ouw beserta belasan orang prajurit yang tadi berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, lalu menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam.

Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat segera menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan orang prajurit itu roboh dan tidak mampu bangun kembali!

"Ha-ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau yang maju adalah lawan pinceng yang seimbang. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?"

Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong juga ditantangnya, termasuk pula Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!

Mendengar disebutnya nama bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw, maka marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak nyaring dan melompat ke depan. Tubuh yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan kecil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu.

"Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!"

Kakek Lama itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya saja, dan... seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si Kakek lihai lalu ditangkapnya.

"Lepaskan cambukku! Aihhhhh...!" Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot, akan tetapi cambuknya bagai telah berakar di tangan kakek itu yang masih tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu!

Kim Seng Siocia telah berdiri lagi, lantas memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim Seng Siocia, akan tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong, kakek itu diam-diam merasa kagum. Ia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.

"Selagi masih hidup kalian tidak lekas-lekas masuk ke dalam peti mati, apakah menunggu sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!"

Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang hendak menolong mereka. Karena itu, Kun Liong segera menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti yang dipanggul oleh Si Kakek itu tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!

Biar pun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti mati, bahkan dia lalu tertawa dan sekarang lengking tawanya mengandung tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, lalu mengerahkan sinkang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu.

Pangeran Han Wi Ong sendiri yang tadi berdiri agak jauh, langsung terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan para prajurit banyak yang roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar! Sesudah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang hebat itu, keadaan menjadi amat sunyi dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti,

"Kalian adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu. Nah, sekarang pergilah!" Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan.

"Byuuurrr...!"

Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tindih di dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting.

Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua ketika mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang bergelombang!

Pada saat mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka berdiri di pantai. Untunglah di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka tidak mampu melakukan pengejaran.

Ada pun pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu.

Kun Liong kemudian membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali, lengkap berikut tali temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang bisa digunakan sebagai perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong kemudian memasang layar dan meluncurlah ‘perahu’ mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas!

Sesudah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar sudah tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.

"Ke mana kita pergi?" Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah dan penuh kekhawatiran.

Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!

"Sebaiknya kita mentaati nasehat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita akan terus menjadi orang buruan sebelum aku bisa bertemu dan mendapat pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ahhh…, tipis harapanku..."

"Giok Keng? Apakah kau maksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi? Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?"

"Benar."

"Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?"

"Dia itu... tunanganku..."

"Ihhhh...!" Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara lagi.

Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening yang menggelisahkan hati.

"Dia adalah puteri Supek Keng Hong..." Akhirnya Kun Liong berkata.

Dia tidak tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan karena keadaan mereka.

Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok. "Ehhhh...?"

"Tapi pertunangan kami itu telah putus..."

"Hemm..." Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apa lagi Kun Liong duduknya di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka duduk berdekatan!

"Kenapa...?"

Kun Liong yang termenung, agaknya turut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing yang bagaikan orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba ini.

"Kenapa apanya...?"

"Kenapa pertunangan itu putus?"

"Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku."

Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek. "Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu."

"Tidak! Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera dari Kwi-eng Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti itu."

"Mengapa tidak mungkin? Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta tidak mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta."

"Tapi Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana."

"Tidak! Dia gadis tolol!" Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras.

Kun Liong memandang tajam, agak panas perutnya. "Hong Ing, dia bukan gadis tolol, dia puteri Supek..."

"Puteri dewa sekali pun, tetap saja dia tolol!" Hong Ing juga memandang tajam seakan menantang, seolah-olah dia sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul itu.

Kun Liong hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk dan menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek? Kini mereka masih terancam bahaya, berada di dalam perahu yang aneh dan di tengah samudera, tak tentu arah tujuan.

Lama mereka tenggelam di dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik napas panjang karena suasana hening yang mencekam itu sangat tidak mengenakkan hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi? Lagi pula, Hong Ing tentu masih marah. Mengapa dara ini marah-marah? Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena kedukaannya dan kegelisahannya?
"Kun Liong..."

"Hemm...?" Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.

"Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?"

Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini, akan tetapi karena dia tak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, maka dia terpaksa menjawab, "Tentu saja dia tidak cinta kepadaku, dia sendiri yang menyatakan hal ini dan memutuskan tali perjodohan kami."

"Mengapa tidak cinta padamu?"

"Ehh, apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang gundul seperti aku? Di dunia ini mana mungkin ada seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta kepada seorang lelaki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang semacam Kim Seng Siocia..." Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.

"Kasihan kau, Kun Liong..."

"Tidak perlu kau kasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk," kata Kun Liong sambil cemberut.

Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biar pun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi yang jelas, Hwi Sian sungguh-sungguh mencintanya sehingga dara itu rela menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!

"Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?"

Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Yang jelas hanya seorang..."

"Siapa?" Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan ini.

"Mendiang ibuku..."

"Hemm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya..."

"Tidak sama sekali."

"Heiii?"

"Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada cinta!"

"Ehhh...?"

"Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya laki-laki yang jatuh cinta! Semua wanita sama saja. Mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti bunga yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlomba menarik perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu birahi saja! Aku muak! Aku tidak cinta siapa pun dan tidak akan mencinta siapa pun!"

Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya, "Jadi kau... tidak suka kepada wanita?"

"Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak dapat bergerak lagi, kehilangan kebebasan, kemudian selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!"

"Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?"

"Tidak!"

"Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kau pelajari dari kitab?"

"Hemmm... mungkin juga! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang..."

"Kata-katamu seperti syair... teruskan..."

"Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk..."

Kun Liong segera menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya!

Teringatlah dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada dirinya sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang sangat cantik jelita! Barulah dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya terhadap Giok Keng, puteri supek-nya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga telah mengeroyoknya tadi.

"Yap Kun Liong..."

Panggilan nama lengkap ini membuat hati Kun Liong berdebar kencang, namanya disebut lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan lautan.

"Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu berbicara seperti seorang kakek tua renta tentang wanita, padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang dahsyat melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!"

"Hong Ing..." Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.

"Seolah-olah dialah satu-satunya laki-laki yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi makhluk wanita yang lemah dan hina..."

"Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu..."

"Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan ibunya pun seorang wanita..."

"Hong Ing...!" Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi?

Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu lantas merapikan kain putih penutup kepalanya yang sedikit terbuka oleh angin, kemudian gadis ini bersenandung!

Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin. Nyanyiannya lirih akan tetapi kata-katanya terdengar jelas, diiringi oleh suara air laut yang memercik pada peti hingga mendatangkan irama kacau namun pada waktu itu merupakan latar belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu.

Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, yang menjadi istimewa karena dinyanyikan di tempat seperti itu, pada saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya langsung berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta!

Dan sesudah dengan penuh perhatian dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa amat kagum, kagum dan heran sekali. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain mempunyai suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran kenapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.

Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
Hanya orang bijaksana saja mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!


"Suaramu indah sekali!"

Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang nyanyiannya lagi. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia menjadi agak mendongkol juga.

Karena pujiannya tadi tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu.

"Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!"

Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia menjawab, "Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya bila nikouw menyanyi?"

Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu sehingga membantahnya. Masih lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-makinya sekali pun dari pada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung.

Kun Liong tertawa. "Tentu saja semua nikouw juga boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang cinta!"

Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah. "Aku bukan nikouw! Aku bukan nikouw asli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw lagi!" Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat.

Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan kedua matanya memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan pada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan ‘telanjang’, maka dia menutupkan kembali kain putih itu ke atas kepalanya dengan tergesa-gesa.

Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi semakin geli dan dia pun mencela, "Heii, mengapa ditutup kembali?"

In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya ‘telanjang’, dan dengan cemberut dia berkata, "Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari."

Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, "Hong Ing, kau maafkanlah atas semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku."

Hong Ing menjawab tidak acuh, "Siapa marah? Aku tidak marah."

"Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong..."

"Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hina...!"

Kun Liong menjadi semakin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Namun karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya pada saat itu, maka dia diam saja. Dia murung dan betapa pun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut.

Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan juga tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengar suara dara itu,

"Kun Liong..." Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya!

"Hemmm...?" Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.

"Lihat ini..."

Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu.

"Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?"

"Wah, tentu enak sekali!" kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi.

Karena di sana tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit potongan kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu.

Akan tetapi sesudah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar!

Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka sedang terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!

"Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita."

Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandangan mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya!

Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin semakin kencang dan tiba-tiba saja dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan gembira dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun begitu lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!

"Celaka...! Lebih baik kita tutup peti ini...!" Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti.

Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tidak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan.

Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati yang tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja.

Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, ada pun Kun Liong sendiri yang selama ini tak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman pada waktu dia masih kanak-kanak dan tanpa terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang sedang menderita ketakutan.

Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar kemudian keadaan menjadi gelap. Pada saat terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya, "Kun Liong...!"

Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Pada waktu Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya.

Malam masih gelap dan suara badai masih menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau saja terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!

"Hong Ing...!" Dia memanggil dengan pengerahan khikang-nya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan.

Tak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil kembali. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis!

Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang. Baru kali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.

Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit.

Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggil namanya.

Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan ada kalanya air meledak bergemuruh saat menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam laut, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.

Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih sangat gelap. Betapa pun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya dibelalakkan dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan disertai pengerahan khikang sekuatnya.

"Hong Ing...!"
Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, terus mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan!

Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut kain layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada!

Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing sudah dimakan ikan! Betapa ngerinya!

"Hong Ing...!" Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil.

Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!

"Hong Ing...!" Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!

********************

Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan kini marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, hidup dengan tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping dua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggota yang juga menjadi murid-muridnya.

Giok Keng kini sudah menjadi seorang dara remaja yang telah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, ada pun Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apa lagi yang dikehendaki?

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang amat dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai seseorang yang sudah berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang hidupnya berbahagia. Namun, benarkah demikian? Apakah benar Cia Keng Hong merasa dirinya bahagia?

Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Demikian pula selanjutnya. Akan tetapi betulkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak?

Selama orang masih mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul rasa iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir mau pun batin?

Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, atau kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk dimiliki!

Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.

Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak akan tetapi selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!


Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandangan mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah mereka benar-benar berbahagia, marilah kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama?

Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong bersama isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap sambil menghadapi sarapan pagi dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tidak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang ketika itu sedang mekar mengharum.

"Giok Keng sudah cukup dewasa," terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya. "Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka nanti sekembalinya anak itu, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita." Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya sangat gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biar pun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.

"Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kau pikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil kalau dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Kenapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?"

"Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan dari pada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoi-ku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi I-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia mempunyai watak yang gagah perkasa dan budiman, biar pun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk."

"Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja."

"Hemmm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum mempunyai pengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanya melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi sesudah menikah, timbul perpecahan karena watak mereka tidak cocok. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tanpa mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal..."

"Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang tetap berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cu. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Lagi pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, karena itu mereka pula yang berhak memilih."

"Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka dari pada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat."

"Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega..."

Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada waktu itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subo-nya.

"Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama..." Sampai di sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira sekali mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.

"Bersama siapa?" Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.

"Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu..."

"Siapa...?!" Biauw Eng membentak marah.

"Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang..."

"Apa...?" Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya kemudian berkata, "Kin Ta, kau ajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini."

Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Sesudah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng kembali duduk, lalu saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak.

"Tenanglah, kita belum tahu apa yang telah terjadi," akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka.

Keng Hong mengangguk. "Tentu sudah terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....," katanya, menarik napas panjang. "Apa pun yang terjadi, agaknya tak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat."

"Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya," isterinya membela puteri mereka.

Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.

Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu.

Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, ada pun Giok Keng sesudah menyebut ‘ayah dan ibu’ lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, "Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini."

Benar saja, perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandangan dan menatap pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu.

Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main.

Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis jelas di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang mempunyai tenaga sinkang mukjijat yang sudah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Orang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.

Sebagai seorang pendekar sakti yang sulit dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong merasa tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu, maka dia bertanya kepada puterinya,

"Siapa yang melakukan ini?"

Memang hal inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut serta memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Ia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusan dirinya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan berputar dan tidak secara langsung.

"Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiong Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!"

Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak prajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya pada saat dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.

"Kok Beng Lama...?" Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. "Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw! Mengapa dia menentang prajurit pemerintah?"

"Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan."

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.

"Mengapa? Apa yang sudah dilakukannya?" Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran.

"Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu…" Giok Keng langsung menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang sudah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong.

Ketika menuturkan hal ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dengan dibantu oleh beberapa orang perwira beserta orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan. Namun ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang sangat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak prajurit.

Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sehingga mereka berdua tak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong sudah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya turut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya?

"Giok Keng!" tiba-tiba pendekar ini membentak, suaranya terdengar dingin menyeramkan. "Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyok dia? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Yang lebih mengherankan hati kami, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia adalah anak Kwi-eng Niocu?"

Giok Keng sudah menduga pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih tentang diri Bu Kong, dia lalu menjawab,

"Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Walau pun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, sebab itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, ia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka..."

"Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang telah berani datang menghadap," terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. "Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan."

"Harap Ayah dan Ibu tidak merasa ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika akan mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggota Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya."

"Giok Keng...!" Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali hingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. "Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami agar menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?"

Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab,

"Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena di antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang… orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan..."

Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih dapat mengeluarkan suara bertanya, "Siapa itu orang yang kau cinta?"

Giok Keng yang memang sudah ‘nekat’ ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata,

"Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sebenarnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... saling mencinta..."

Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong lantas tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan sangat besar, maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!

"Dessss...!"

Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling. Lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung pada waktu dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat dia sudah berada di depan ayahnya lalu dengan suara menentang dan nyaring dia berkata,

"Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku juga cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!"

Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh!

"Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!"

"Tahan...!" Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti sedang mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan.

"Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Engkau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?" Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya.

Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng itu, Keng Hong merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia segera memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, "Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kau lakukan. Pergi...!"

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadi dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan serta kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia telah diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati dari pada dibunuh!

"Ayah...!" Dia menjerit, kemudian menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat.

"Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali lagi!" Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah semakin menusuk perasaan karena selama hidupnya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu.

"Ibu...!" Dia tersedu memanggil ibunya.

Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biar pun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Kini Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!

"Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...," katanya terisak.

Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia segera membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng...
Selanjutnya,