Petualang Asmara Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
WANITA ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemulai ketika melangkah menuruni anak tangga di depan pondoknya.

Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai.

Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya. Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya!

Namun langkah kakek ini masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik sekali dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan.

Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri kemudian seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya, "Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!"

Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khikang yang kuat sekali!

"Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!"

"Aku yakin dia ini yang telah menyembunyikan bokor emas yang asli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana adanya bokor yang asli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!"

Kun Liong cemberut, menyembunyikan hatinya yang panas mengingat bahwa wanita ini adalah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masih hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Akan tetapi dia dapat bersikap tenang karena terlebih dulu dia ingin mendapatkan pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata,

"Kwi-eng Niocu, dahulu aku sudah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli lagi. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, sekarang aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka beserta sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda kuno yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Aku harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si."

"Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang takkan pernah melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu."

"Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang telah kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun yang terjadi!" Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.

"Gundul sombong!" Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. "Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran yang mengandalkan kepandaian. Jika memang engkau ada kepandaian, boleh kau coba merampasnya kembali dari tanganku!"

Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biar pun potongon mukanya paling cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat disayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!

Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh salah seorang di antara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning.

Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning hingga tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!

Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata, "Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?"

Liong Bu Kong tertawa mengejek. "Kita lihat saja nanti, tetapi coba lebih dulu kau lawan aku, Gundul!" Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong telah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) yang ampuh!

"Bu Kong, jangan bunuh dia dulu. Aku masih membutuhkannya!" Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.

"Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya hendak menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!"

Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong.

Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Bagi umum, boleh jadi ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguh pun dibantu dengan sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini sambil dikejar oleh bayangan pedang.

Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong lalu menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan untuk menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga mampu disentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.

Sungguh pun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi karena dia sudah memainkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong Sin-kun, andai kata ia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini.

Dia sama sekali tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apa lagi melukainya? Yang terpenting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu dan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.

Oleh karena pikiran ini, maka sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mengelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

"Eiiihhh...!" Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.

Liong Bu Kong marah bukan main. "Kurang ajar! Kembalikan benda itu!" Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong.

Pemuda gundul ini membiarkan pedang lawan meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

"Auhhhhh...!" Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong.

Sesudah menyimpan dua benda pusaka itu dengan cara mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu ketika menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak dapat menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka juga pedang Lui-kong-kiam dapat dirampas, dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!

Betapa pun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia merasa malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, "Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!" Sesudah berkata demikian, dengan gerakan yang dahsyat sekali Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

"Wussss... brettt!"

Kun Liong terpekik kaget. Dia tadi telah mengelak cepat, namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya di dekat pundak. Padahal tadi sampai puluhan jurus pedang di tangan Liong Bu Kong tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidak percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.

Kun Liong kini siap siaga dan hendak melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apa lagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini adalah orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!

"Siuuuuttt...!"

Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, ada pun yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.

Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis.

"Duk! Dukkk!"

Tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.

"Plak! Dukkk...! Haittt...!"

Kun Liong menangkis dua kali dan dalam detik berikutnya melanjutkan dengan hantaman tangan kiri dan dengan tangan terbuka. Tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang sangat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiong Pek Hosiang.

Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangannya sambil melempar tubuh ke kiri, akan tetapi tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, tetapi mengalami kekagetan hebat sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai!

Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru "Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!"

Kakek raksasa itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Niocu, hanya menghadapi seorang bocah gundul saja kenapa harus minta bantuanku? Engkau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?"

Kwi-eng Niocu sudah kembali menyambut serangan Kun Liong. Sekali ini Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiong Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk merampas kembali dan mempertahankan benda pusaka Siauw-lim-pai.

"Plak-plak...!"

Kwi-eng Niocu masih mampu menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.

"Krakkk!" Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.

"Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!"

"Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan namanya!"

Kini raksasa itu sudah bergerak maju, sepasang lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.

"Aihhhh…!" Kun Liong kaget bukan main.

Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.

"Desss…!"

Tamparan amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sebuah gunung baja!

"Huah-ha-ha-hah!" Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba.

Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher serta pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi I-beng karena kalau tidak, dia tentu tak akan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!

"Aduhhh... auuughhh...!" Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu.

Melihat ini, Kwi-eng Niocu segera melolos sapu tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, sapu tangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.

"Prattttt!"
Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andai kata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu tenaga sinkang nenek ini pun akan ikut tersedot oleh Thi-khi I-beng. Namun sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat keadaan raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguh pun penuh keheranan, maka dia menggunakan sapu tangannya sebagai pengganti jari tangan.

Raksasa itu adalah Thian-ong Lo-mo. Dia bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo. Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia sedang menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.

Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari kening. "Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan saja, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan."

"Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi I-beng apa lagi?" kata Kwi-eng Niocu.

"Thi-khi I-beng?" Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget.

Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.

"Thi-khi I-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?" tanya pula Thian-ong Lo-mo.

"Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting..."

"Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!" kata Bu Kong.

"Hushhh! Bodoh kau. Dia ini penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi I-beng, hemmm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami."

"Ha-ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!" Kakek raksasa itu segera melepaskan ‘kolor’ celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya.

Kaki dan tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.

Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan di antara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.

Sementara itu, di kamar para pelayan, tidak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik,

"Malam ini Niocu tak mau diganggu, kita menganggur...," kata seorang yang paling genit.

"Hemm, kenapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!" kata yang ke dua sambil terkekeh genit.

"Kalian jangan main-main, apa bila terdengar Niocu kalian bisa dibunuh," kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.

"Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar pun hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah..." kata orang pertama.

"Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita."

"Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu," kata yang bopeng.

"Aihhh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis dari pada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau mau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu."

"Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Jika nanti dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?"

"Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ahh, A-hwi kau baik sekali."

"Pergi dan bersenanglah," kata A-hwi yang bopeng.

Dua orang pelayan itu cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut serta pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka pun menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.

Sesudah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... ada selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan mempunyai wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya setitik pun! Gerakannya berubah lincah sekali pada saat dia berkelebat lenyap dalam gelap.

Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Sudah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalan menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan untuk memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan.

Giok Keng sudah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga mengenai bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia berjumpa dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.

"Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor?"

"Sssttt... Cia-lihiap," Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang dia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri. "Ada berita hebat sekali..."

Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan mengenai munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.

"Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah."

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas. "Si tolol itu! Sungguh tidak tahu diri, berani mendatangi goa harimau. Biar dia rasakan kelancangannya sendiri itu!"

"Tetapi... Lihiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia yang membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?"

Oleh karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapa pun juga dia tetap harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan.

Tidak percuma selama sebulan Hwi Sian menjadi pelayan di situ. Selama itu dia sudah menyelidiki semua tempat rahasia dan tahu di mana Kun Liong disekap. Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini menyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedangkan dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh.

Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang penjaga pintu telah menggeletak dan ‘tidur’ alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka pada saat mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak ‘kolor’ hitam terbuat dari otot yang sangat dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di tengah kamar tahanan, akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!

"Ke mana dia?" Giok Keng bertanya heran.

"Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya." Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah.

Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu mampu meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiong Pek Hosiang.

Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia telah mempelajari Ilmu Jiu-kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia sudah mempelajari bagian tingkat tinggi ilmu ini karena digembleng oleh Tiong Pek Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah bisa meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin.

Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya segera menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat tubuh selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan ‘ngorok’ tapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!

Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga dan mereka ini pun dibikin ‘pulas’ sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan ‘cengli’ (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu, lalu dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya.

Gerakannya ringan serta cepat sekali, dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Memang Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam mampu menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.

"Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!" Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.

"Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku pun telah berjanji, maka aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!"

"Aku bukannya mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya..."

"Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu..."

"Hehhh...?!"

"Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami sangat akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat lagi mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda keparat itu? Dia tak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggota kaum sesat, katanya. Nah, aku lalu membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, hasil dari hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah..."

"Liong Bu Kong...?"

"Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau dapat menyimpan rahasia ini baik-baik."

"Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis."

"Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku."

Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong, karena itu tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya ‘cinta’!

Benarkah cinta itu selalu mendatangkan mala petaka? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula dengan Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya pada Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa.

Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya. "Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!"

Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Akan tetapi pemuda gundul ini sudah bisa menghindarkan diri, mengelak dengan loncatan ke kiri dan dia pun berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam.

Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong sudah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, sudah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa bermata lebar yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!

"Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!" teriak Kwi-eng Niocu yang merasa amat terkejut melihat tawanan penting itu telah dapat lolos.

Akan tetapi karena semua anggota Kwi-eng-pang tahu betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini mempergunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun.

Sedangkan Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang sangat mengerikan, apa lagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain dua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh.

Karena maklum bahwa kini dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidak hanya menjaga diri seperti tadi pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan ginkang-nya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan yang tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya.

Tapi, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan Thi-khi I-beng, terpaksa hanya mengerahkan dan mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung.

Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggota Kwi-eng-pang mendadak roboh, kemudian berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya sama-sama memegang sebatang pedang dan gerakannya amat gesit, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak.

Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang dan memasuki kepungan, lantas tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!

"Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!" kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.

"Hwi Sian!" Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru, "Nona Cia...!"

Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong tadi menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apa lagi mereka berada di depan banyak orang.

Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng!

Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Ada pun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Niocu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata. "Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah salah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!"

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat. "Kau... sudah tahu? Hi-hi-hi-hik!" Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini. "Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!"

Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah cahaya penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.

"Bu Kong, cepat bantulah aku!" Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian besar bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong hingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari-jemari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.

Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata, "Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!"

"Keparat!" Giok Keng menjadi merah sekali mukanya.

Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andai kata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di hadapan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga dari pada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apa lagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Oleh karena itu sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.

"Cringgg…!"

Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Bagaimana pun juga pemuda ini bukanlah orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.

Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Walau pun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, akan tetapi ilmunya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giok Keng, apa lagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia lalu terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.

"Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha-ha!" kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya.

Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan lantas memutar pedangnya dengan gerakan nekat.

"Wirrrrrr...!"

Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.

"Plak... krekkk!"

Hwi Sian mengeluh karena hampir saja kulit telapak tangannya terkupas saat dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian. Ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.

"Plakkk!"
Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sinkang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.

"Huah-ha-ha!" Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.

"Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!"

Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Baru saja lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untunglah Kun Liong masih sempat melihat saat Hwi Sian terancam maut, maka pemuda ini cepat-cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sesungguhnya telah terdesak, untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.

"Kun Liong, aku... aku terluka... ahhh..." Hwi Sian mengeluh tidak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.

"Jangan khawatir, aku melindungimu!" Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi oleh tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan main permainan ini sehingga meski pun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring.

Tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak-anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa hingga mereka menjadi panik.

Ada pun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang sangat lihai. Pada waktu dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru, "Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!"

Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jeri ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Tetapi dia juga menggereng keras, dan senjatanya yang juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan sangat cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini.

Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.

"Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini..." Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.

"Cring-trak-trakkk... aihhh...!"

Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tidak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut ketika tenaga sinkang-nya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.

"Auuughhh... celaka...!" Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya.

Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapat digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sinkang-nya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.

"Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku..." Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon.

Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi I-beng sambil terus membayangkan kematian ayah dan ibunya di tangan nenek ini dan datuk-datuk hitam lain yang telah tewas.

Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sinkang-nya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya, sebab sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia beserta teman-temannya ketika itu.

Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, mempergunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi I-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu sudah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.

"Crottt.. aughhh...!"

Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan. Dua matanya melotot memandang ke arah Kun Liong!

Kun Liong berdiri bagaikan arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia maklum bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya.

Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena sudah membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri apa bila dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, mau pun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Kun Liong... aduh... kakiku...!"

Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang sangat lihai itu, sementara para prajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulah dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.

"Ke mana Nona Cia Giok Keng?" tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.

"Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh..." Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.

"Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar dia!"

Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini. Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu.

"Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!" Kun Liong lalu merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan sangat cepat, dengan harapan mereka akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya.

Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah dan tubuhnya panas semua itu berkata, "Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh..." Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.

Barulah Kun Liong terkejut. Cepat-cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Jika dia tidak cepat mendapatkan obat pemunahnya tentu akan berbahaya sekali keadaannya.

Karena itu dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Setelah perahunya mendarat, dia lalu memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.

********************

Hwi Sian merintih lirih, perlahan-lahan membuka matanya. Pertama-tama yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia bisa melihat bahwa dia berada di dalam kamar sebuah kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, di dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.

Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa hawa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, dan rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang.

Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata, "Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu."

Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata.

Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,

"Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi amat cengeng (mudah menangis)?"

Ditanya dengan suara senda gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas kedua pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.

"Eh-eh...! Kau kenapakah?" Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak diduganya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian semakin tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.

Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.

"Kun Liong...," akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.

"Hemmm...?" Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya bahkan akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.

"Kau terlampau baik kepadaku..."

"Ehh...? Masa...?" Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.

"Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari mala petaka, seolah-olah engkau memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, sementara aku... aku hanya menghinamu..."

Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Ternyata dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu-satunya jalan adalah senda gurau. "Ahh, masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?"

Seketika Kun Liong dapat merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya. "Itulah dia... dan aku menganggapmu... ahhh..." Kembali dara itu menangis!

Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa senda gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagai mana kalau dipancing agar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.

"Ehh, Hwi Sian! Kau menangis lagi?"

"Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu..."

"Budi apa? Sudah lunas! Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.

Benar saja. Tubuh itu meregang di dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang telah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar, "Kalau begitu... kau... kau ciumlah aku, Kun Liong..."

Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia pun melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apa lagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya?

Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, lalu mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat.

Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian segera merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam, "Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu..."

"Aihh, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu..."

"Memang, aku sudah tahu. Engkau tidak cinta padaku. Engkau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?"

"Maafkan aku..."

"Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja..."

"Heiii! Gila kau...!"

"Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji-suheng (Kakak Seperguruan ke dua)..."

"Ahhh, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!" Ucapan ini keluar dengan setulus hatinya.

"Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapa pun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!"

"Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!" Kun Liong menegur setengah menggoda. "Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri."

"Dengan kepandaianmu, engkau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi bila aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja dari pada membikin susah hati orang lain."

"Wah-wah-wah, kau bikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kau maksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah…, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tak akan pernah membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku tak akan dapat nyenyak tidur dan enak makan!"

"Kun Liong, keputusanku ini sudah bulat. Aku pasti akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku."

"Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang."

"Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?" Hwi Sian memandang wajah itu.

Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk seluruh isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.

"Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk dapat menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!" Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.

"Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu..."

"Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?"

"Kun Liong, hanya... hanya untuk malam ini... kau penuhilah hasrat hatiku, aku hanya bisa menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau saja kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng..."

"Wah, apa-apaan ini? Aku..."

Hwi Sian sudah merangkulnya lagi. "Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong..." Dara itu mendekap dan menciuminya.

Gairah yang membuat Hwi Sian seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini tidak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh birahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apa bila sudah diamuk birahi.

Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan serta ciuman mesra sudah tak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang dia sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 26

Petualang Asmara Jilid 26
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
WANITA ini usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi pantasnya dan kelihatannya baru kurang dari empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan gerakannya masih lemah gemulai ketika melangkah menuruni anak tangga di depan pondoknya.

Di sebelah kirinya tampak seorang pemuda tampan tinggi besar yang selain tampan juga gagah sikapnya, pakaiannya indah dan mewah. Tentu itulah putera angkat Kwi-eng Niocu yang kabarnya bernama Liong Bu Kong, tinggi kepandaiannya dan yang diduga oleh Kun Liong sebagai pemimpin para pencuri di Siauw-lim-pai.

Dan di sebelah kanan wanita itu berjalan seorang kakek yang hebat sekali keadaannya. Kakek ini sekepala lebih tinggi dari Liong Bu Kong yang sudah tinggi besar itu, tubuhnya seperti raksasa dan jelas tampak kuat seperti gajah! Usianya tentu amat tinggi, namun sukar ditaksir berapa! Brewoknya menutupi sebagian besar mukanya dan brewok itu, seperti rambutnya, sudah putih semua berikut alis dan bulu matanya!

Namun langkah kakek ini masih gagah seperti langkah seekor harimau, kedua lengannya diayun agak jauh dari tubuhnya dan kakinya menginjak bumi dengan mantap seperti kaki gajah berjalan! Matanya lebar dan sinar matanya tajam luar biasa, menandakan bahwa kakek aneh ini cerdik sekali dan tentunya amat lihai, melihat sikap ibu dan anak itu yang menghormatinya sebagai tamu yang berjalan paling kanan.

Melihat pemuda gundul ini, seketika wajah cantik nenek itu berseri-seri kemudian seperti berbisik dia berkata kepada kakek raksasa di sebelah kanannya, "Inilah dia yang bernama Yap Kun Liong!"

Kakek itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian tertawa bergelak, suara ketawa yang keluar dari perut dan mengejutkan Kun Liong karena suara ini mengandung khikang yang kuat sekali!

"Hua-ha-hah-ho-hoh! Ini namanya ular mencari penggebuk, ikan menghampiri sujen!"

"Aku yakin dia ini yang telah menyembunyikan bokor emas yang asli. Hai, orang muda, bukankah engkau yang memalsukan bokor emas? Bocah tampan, katakanlah di mana adanya bokor yang asli dan engkau akan kujadikan muridku, hidup mewah dan mulia di pulau ini!"

Kun Liong cemberut, menyembunyikan hatinya yang panas mengingat bahwa wanita ini adalah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundanya, satu-satunya orang yang masih hidup dan yang akan dibunuhnya untuk membalas kemaitian ayah bundanya. Akan tetapi dia dapat bersikap tenang karena terlebih dulu dia ingin mendapatkan pusaka Siauw-lim-si, maka dia berkata,

"Kwi-eng Niocu, dahulu aku sudah melemparkan bokor emas kepadamu, aku tidak tahu menahu tentang bokor palsu atau tulen dan aku juga tidak peduli lagi. Yang penting aku datang menagih janjimu karena bukankah dahulu kau berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si yang dicuri oleh orang-orangmu kalau aku memberikan bokor kepadamu? Nah, sekarang aku datang untuk menerima sebatang pedang pusaka beserta sebuah hiolouw, keduanya merupakan benda kuno yang menjadi pusaka Siauw-lim-si. Aku harap engkau sebagai seorang yang terkenal, sebagai seorang Pangcu (Ketua) dari Kwi-eng-pang, suka memegang janji dan menyerahkan kedua benda pusaka itu kepadaku untuk kukembalikan ke Siauw-lim-si."

"Yap Kun Liong, seorang Ketua Kwi-eng-pang takkan pernah melanggar janjinya. Dahulu memang aku berjanji akan mengembalikan dua buah pusaka Siauw-lim-si kalau ditukar dengan bokor emas pusaka The Hoo. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa pusaka yang terlepas kembali dari tanganku itu adalah pusaka palsu! Oleh karena itu, tak mungkin aku menukarkan dua buah pusaka itu dengan sebuah benda palsu."

"Hemmm, tentang bokor emas aku tidak tahu-menahu, akan tetapi pedang dan hiolouw itu jelas adalah milik Siauw-lim-si yang telah kalian curi. Maka sekarang aku datang mewakili Siauw-lim-pai untuk minta kembali dua buah benda itu, apa pun yang terjadi!" Kun Liong sengaja bicara dengan nada marah dan bersikap menantang.

"Gundul sombong!" Tiba-tiba Liong Bu Kong, pemuda tampan gagah putera angkat Ketua Kwi-eng-pang itu sudah meloncat maju ke depan. "Ketahuilah dahulu aku yang mencuri dua buah pusaka itu dan semua orang di dunia tahu bahwa untuk mengambil pusaka dari gudang pusaka Siauw-lim-si membutuhkan kepandaian dan harus menempuh kesukaran yang mengandalkan kepandaian. Jika memang engkau ada kepandaian, boleh kau coba merampasnya kembali dari tanganku!"

Liong Bu Kong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah tiga orang pelayan cantik manis akan tetapi yang seorang lagi mukanya bopeng biar pun potongon mukanya paling cantik di antara mereka bertiga. Totol-totol hitam di muka pelayan ketiga ini benar-benar amat disayangkan, pikir Kun Liong dan diam-diam merasa heran mengapa dia seperti pernah melihat pelayan bopeng yang cantik ini!

Akan tetapi dia segera tertarik kepada dua buah benda yang dibawa oleh salah seorang di antara tiga pelayan itu, yaitu yang tertua dan yang matanya bergerak genit. Perempuan ini membawa sebuah baki dan di atas baki terdapat benda yang ditutup sutera kuning.

Setelah mereka bertiga datang dekat dan berlutut di pinggiran, Liong Bu Kong merenggut lepas kain kuning hingga tampaklah dua benda yang dicari-cari Kun Liong, yaitu sebatang pedang kuno dan sebuah hiolouw kuno, dua buah benda pusaka Siauw-lim-si yang dulu dicuri oleh pemuda putera angkat Kwi-eng Niocu ini!

Kun Liong memandang Bu Kong dan berkata, "Aku menerima tantanganmu! Kalau aku dapat menangkan engkau, berarti dua buah benda pusaka itu dikembalikan kepadaku?"

Liong Bu Kong tertawa mengejek. "Kita lihat saja nanti, tetapi coba lebih dulu kau lawan aku, Gundul!" Sambil berkata demikian, Liong Bu Kong telah mencabut sebatang pedang yang membuat mata Kun Liong silau karena pedang itu mengeluarkan sinar kilat yang amat terang. Itulah pedang pusaka Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) yang ampuh!

"Bu Kong, jangan bunuh dia dulu. Aku masih membutuhkannya!" Kwi-eng Niocu berseru khawatir melihat putera angkatnya itu menghunus Lui-kong-kiam.

"Ha-ha-ha-ha, jangan khawatir, Ibu. Aku hanya hendak menggurat beberapa garis di atas kepalanya yang gundul pelontos itu. Yap Kun Liong bocah gundul, sambutlah ini!"

Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menggunakan suatu senjata, Bu Kong sudah menyerang dengan pedangnya. Pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar ke arah leher Kun Liong.

Kun Liong mengenal pedang ampuh, akan tetapi dia pun mengenal gerakan yang tidak begitu berbahaya seperti yang mula-mula dikhawatirkannya. Bagi umum, boleh jadi ilmu kepandaian Liong Bu Kong ini sudah hebat sekali, akan tetapi bagi dia, pemuda itu bukan merupakan lawan yang terlalu berbahaya sungguh pun dibantu dengan sebatang pedang seampuh itu. Dengan mudah dia lalu mengelak dan meloncat ke sana-sini sambil dikejar oleh bayangan pedang.

Setelah belasan jurus menyerang tanpa dapat mengenai sasarannya, Liong Bu Kong lalu menjadi penasaran, malu dan marah. Jangankan untuk menggurat-gurat kepala lawan, sedangkan ujung baju lawan saja sekian lamanya belum juga mampu disentuh dengan ujung pedangnya. Maka dikeluarkanlah semua jurus-jurus maut dan dia mengurung tubuh Kun Liong dengan lingkaran sinar pedang yang bergulung-gulung.

Sungguh pun Kun Liong tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi karena dia sudah memainkan ilmu silatnya yang sakti, yaitu Pat-hong Sin-kun, andai kata ia harus menjaga diri dengan elakan dan tangkisan saja, kiranya dia akan dapat bertahan sampai ratusan jurus tanpa membalas. Namun, yang menjadi pokok perhatiannya bukanlah mengalahkan pemuda ini.

Dia sama sekali tidak mempunyai urusan atau permusuhan dengan Bu Kong, maka perlu apa mengalahkannya, apa lagi melukainya? Yang terpenting baginya adalah merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai, kemudian baru dia akan menandingi Kwi-eng Niocu dan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.

Oleh karena pikiran ini, maka sambil mengelak ke sana-sini sehingga dia kelihatan repot terdesak hebat, dia melirik ke arah pelayan yang membawa baki terisi dua benda pusaka. Dia sengaja mengelak dan membiarkan dirinya terdesak mundur mendekati pelayan dan tiba-tiba, bagaikan gerakan seekor burung walet, tangannya menyambar dan di lain detik dua buah benda pusaka itu telah dapat dirampasnya!

"Eiiihhh...!" Pelayan itu menjerit dan terjengkang pingsan, buru-buru ditolong oleh pelayan bopeng dan temannya yang seorang lagi, kemudian digotong masuk ke dalam.

Liong Bu Kong marah bukan main. "Kurang ajar! Kembalikan benda itu!" Teriaknya dan pedangnya menusuk dada Kun Liong.

Pemuda gundul ini membiarkan pedang lawan meluncur, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga pedang itu menusuk tempat kosong di bawah lengannya dan sekali lengannya dirapatkan, pedang terjepit dan kakinya menendang perlahan ke arah lutut Bu Kong.

"Auhhhhh...!" Seketika kaki Bu Kong lumpuh dan pemuda ini jatuh berlutut, pedangnya masih dikempit oleh Kun Liong.

Sesudah menyimpan dua benda pusaka itu dengan cara mengikatkan kain kuning yang membungkusnya ke belakang pundak, Kun Liong lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam, melempar pedang itu ke bawah dan pedang menancap di depan kaki Bu Kong, amblas sampai hampir ke gagangnya!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya hati Kwi-eng Niocu ketika menyaksikan kekalahan puteranya yang memalukan itu. Melawan pemuda gundul bertangan kosong yang sama sekali tidak balas menyerang saja, sampai puluhan jurus puteranya tak dapat menang, bahkan akhirnya dua benda pusaka juga pedang Lui-kong-kiam dapat dirampas, dan puteranya roboh berlutut! Betapa memalukan hal ini!

Betapa pun juga, sebagai seorang Ketua Kwi-eng-pang yang berkuasa, dia merasa malu kalau harus menarik kembali janjinya, maka dia membentak, "Serahkan dulu bokor emas yang tulen, baru boleh pergi!" Sesudah berkata demikian, dengan gerakan yang dahsyat sekali Kwi-eng Niocu sudah menyerang Kun Liong dengan cengkeraman kuku tangannya yang panjang.

"Wussss... brettt!"

Kun Liong terpekik kaget. Dia tadi telah mengelak cepat, namun tetap saja kuku itu masih merobek pinggir bajunya di dekat pundak. Padahal tadi sampai puluhan jurus pedang di tangan Liong Bu Kong tak pernah mampu menyentuhnya, dan sekarang ibu pemuda ini, begitu menyerang telah merobek bajunya! Dari bukti ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya Ketua Kwi-eng-pang ini. Tidak percuma nenek ini mendapat julukan Si Bayangan Hantu karena memang ilmu kepandaiannya hebat.

Kun Liong kini siap siaga dan hendak melawan mati-matian. Berbeda dengan tadi ketika menghadapi Bu Kong, dia tadi tidak mau melukai berat apa lagi membunuh pemuda itu, akan tetapi sekarang, maklum bahwa nenek ini adalah orang terakhir yang membunuh ayah bundanya, dia tidak hanya mengelak dan menangkis, namun juga balas menyerang!

"Siuuuuttt...!"

Kedua lengan Kwi-eng Niocu bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong, ada pun yang kiri mencengkeram ke arah bawah pusar. Dua serangan sekaligus yang merupakan cengkeraman maut dan yang datangnya amat cepat.

Kun Liong menggerakkan kedua lengannya ke atas dan ke bawah menangkis.

"Duk! Dukkk!"

Tangkisan yang amat kuat sehingga kedua lengan lawan terpental, namun dengan amat cepatnya Kwi-eng Niocu sudah menyerang lagi dengan cakar ke arah mata dan dada.

"Plak! Dukkk...! Haittt...!"

Kun Liong menangkis dua kali dan dalam detik berikutnya melanjutkan dengan hantaman tangan kiri dan dengan tangan terbuka. Tangan kirinya mengeluarkan uap putih dan itulah pukulan Pek-in-ciang yang sangat ampuh, yang dia pelajari dari manusia sakti Tiong Pek Hosiang.

Kwi-eng Niocu cepat menangkis dengan kedua tangannya sambil melempar tubuh ke kiri, akan tetapi tetap saja hawa pukulan membuat dia terjengkang dan bergulingan. Dia tidak terluka parah, tetapi mengalami kekagetan hebat sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar amat lihai!

Dia sudah meloncat bangun lagi, dan berseru "Lo-mo, kenapa kau diam saja? Bantulah aku!"

Kakek raksasa itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Niocu, hanya menghadapi seorang bocah gundul saja kenapa harus minta bantuanku? Engkau sendiri tidak mau memenuhi permintaanku, bagaimana aku bisa memenuhi permintaanmu sekali ini?"

Kwi-eng Niocu sudah kembali menyambut serangan Kun Liong. Sekali ini Kun Liong yang menyerang dan serangannya itu adalah pukulan dari jurus Im-yang Sin-kun dan masih menggunakan tenaga Pek-in-ciang. Dia mengambil keputusan untuk menggunakan ilmu yang didapatnya dari Tiong Pek Hosiang tokoh besar Siauw-lim-pai itu untuk merampas kembali dan mempertahankan benda pusaka Siauw-lim-pai.

"Plak-plak...!"

Kwi-eng Niocu masih mampu menangkis, akan tetapi kembali dia terhuyung. Dia masih sempat mengirim cakar mautnya dan melihat kuku-kuku meruncing itu menyambar dekat mukanya, dengan gemas Kun Liong menyentil dengan jari telunjuknya.

"Krakkk!" Dan patahlah sebuah kuku runcing dari ibu jari tangan kiri Kwi-eng Niocu.

"Aihhhh... Lo-mo, bantulah aku, dan aku akan melayanimu semalam nanti. Keparat!"

"Ha-ha-ha-ha! Begitu baru sepadan namanya!"

Kini raksasa itu sudah bergerak maju, sepasang lengannya yang sebesar paha orang dan panjang berbulu itu sudah menyambar dari kanan kiri dengan membawa angin pukulan yang dahsyat.

"Aihhhh…!" Kun Liong kaget bukan main.

Cepat dia mengelak ke belakang, kemudian tangannya menampar ke arah leher lawan. Raksasa itu tidak mengelak, hanya mengangkat bahunya ke atas menerima tamparan itu.

"Desss…!"

Tamparan amat hebat yang dilakukan oleh Kun Liong itu akibatnya membuat pemuda ini terpelanting sendiri seolah-olah dia tadi menampar sebuah gunung baja!

"Huah-ha-ha-hah!" Kakek itu tertawa dan dengan cepatnya menubruk seperti sikap seekor harimau menubruk seekor domba.

Dengan menggunakan kedua tangan menekan bumi, Kun Liong mencelat ke atas untuk menghindarkan, namun lengan kakek raksasa itu terlalu panjang sehingga tetap saja dia dapat dirangkul dan dipeluk erat-erat. Dua lengan panjang besar itu seperti dua ekor ular membelit tubuhnya, melingkari leher serta pinggangnya dengan kekuatan belalai seekor gajah! Terpaksa Kun Liong menggunakan Thi-khi I-beng karena kalau tidak, dia tentu tak akan dapat bernapas dan jangan-jangan tulang-tulang iganya akan remuk!

"Aduhhh... auuughhh...!" Raksasa itu berteriak-teriak dengan mata melotot ketika merasa betapa tenaganya memberobot keluar disedot oleh tubuh pemuda yang dipeluknya itu.

Melihat ini, Kwi-eng Niocu segera melolos sapu tangannya dan sekali dia menggerakkan tangan, sapu tangan itu meluncur ke arah leher Kun Liong.

"Prattttt!"
Tubuh Kun Liong menjadi lemas karena jalan darahnya telah tertotok secara tepat sekali. Andai kata Kwi-eng Niocu menggunakan tangannya, tentu tenaga sinkang nenek ini pun akan ikut tersedot oleh Thi-khi I-beng. Namun sebagai Ketua Kwi-eng-pang dan sebagai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat yang sudah luas pengetahuannya, melihat keadaan raksasa tadi dia sudah dapat menduga, sungguh pun penuh keheranan, maka dia menggunakan sapu tangannya sebagai pengganti jari tangan.

Raksasa itu adalah Thian-ong Lo-mo. Dia bukan lain adalah guru dari Tok-jiauw Lo-mo, dan dia adalah suheng dari mendiang Thian-te Sam-lo-mo. Tempat tinggalnya adalah di kaki Pegunungan Go-bi-san dan pada hari itu dia sedang menjadi tamu Kwi-eng Niocu yang merasa kehilangan teman-teman, sengaja mendekati kakek raksasa yang lihai ini untuk diajak bersekutu mencari bokor emas yang tulen, juga untuk membalas dendamnya kepada Panglima The Hoo.

Thian-ong Lo-mo melepaskan pelukannya dan mengusap keringatnya dari kening. "Hebat benar... ilmu apa itu tadi? Seperti setan saja, tahu-tahu tenagaku disedotnya tanpa dapat kutahan."

"Hemm, ilmu itu kalau bukan Thi-khi I-beng apa lagi?" kata Kwi-eng Niocu.

"Thi-khi I-beng?" Liong Bu Kong menghampiri dan bertanya kaget.

Dia pun terheran-heran menyaksikan kelihaian Kun Liong sehingga setelah dikeroyok dua oleh ibunya dan Thian-ong Lo-mo, baru dapat ditangkap.

"Thi-khi I-beng? Bukankah katanya hanya Pendekar Cia Keng Hong yang memilikinya?" tanya pula Thian-ong Lo-mo.

"Hemm, siapa tahu bocah ini telah mewarisinya. Bocah ini amat penting..."

"Bunuh saja dia, Ibu! Dia berbahaya!" kata Bu Kong.

"Hushhh! Bodoh kau. Dia ini penting sekali. Pertama, dialah yang agaknya tahu di mana letaknya bokor yang tulen. Ke dua, kalau dia mengerti Thi-khi I-beng, hemmm, kita bisa siksa dan paksa dia untuk mengajarkannya kepada kami."

"Ha-ha-ha-ha! Pikiran bagus sekali! Dia harus ditahan dan dibelenggu kuat-kuat. Jangan khawatir, pergunakan ini untuk mengikatnya, dia tidak akan mampu lolos!" Kakek raksasa itu segera melepaskan ‘kolor’ celananya yang berwarna hitam. Benda ini terbuat dari otot binatang ajaib di Go-bi, dan uletnya tidak ada yang dapat menandinginya.

Kaki dan tangan Kun Liong lalu dibelenggu dengan tali otot itu, dan dia dilempar ke dalam kamar tahanan, dijaga ketat oleh selosin orang penjaga.

Malam itu sunyi sekali. Tiap dua jam sekali selosin penjaga yang menjaga di luar kamar tahanan Kun Liong diganti dan di antara mereka itu dipilih para anak murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya.

Sementara itu, di kamar para pelayan, tidak jauh dari kamar Kwi-eng Niocu, tiga orang pelayan wanita muda saling berbisik-bisik,

"Malam ini Niocu tak mau diganggu, kita menganggur...," kata seorang yang paling genit.

"Hemm, kenapa Niocu suka melayani kakek seperti itu? Idihh, menjijikkan sekali, raksasa seperti itu... bisa mati aku kalau harus melayaninya!" kata yang ke dua sambil terkekeh genit.

"Kalian jangan main-main, apa bila terdengar Niocu kalian bisa dibunuh," kata pelayan ke tiga yang mukanya bopeng.

"Sebaiknya kita pergi saja ke kamar Kongcu, dia tentu membutuhkan kita. Lebih senang melayani dia, biar pun hanya untuk memijati tubuhnya yang kuat dan gagah..." kata orang pertama.

"Cocok! Mari kita menghadap Kongcu. Sudah lebih sepekan dia tidak mengundang kita."

"Pergilah kalian. Aku sih tidak dibutuhkan Kongcu," kata yang bopeng.

"Aihhh, A-hwi, kau sebenarnya cantik sekali, lebih manis dari pada kami berdua, sayang mukamu banyak totol-totol hitam. Kau sih tidak mau menurut, kalau kau mau berobat dan totol-totolmu itu bersih, tentu Kongcu akan tergila-gila kepadamu."

"Huh, aku tidak memikirkan soal itu. Pergilah kalian kepadanya, aku sendiri akan menjaga di kamar ini, kalau-kalau Niocu membutuhkan sesuatu. Jika nanti dia memanggil dan kita bertiga tidak ada semua, bukankah celaka?"

"Kau mau menjaga di sini untuk kami? Ahh, A-hwi kau baik sekali."

"Pergi dan bersenanglah," kata A-hwi yang bopeng.

Dua orang pelayan itu cepat berdandan, menambah bedak dan gincu di muka dan bibir, memakai beberapa tetes minyak wangi, membereskan rambut serta pakaian, kemudian sambil tersenyum-senyum dan tertawa-tawa genit mereka pun menuju ke kamar Liong Bu Kong yang memang sudah menjadikan mereka berdua sebagai kekasihnya dan kadang-kadang memanggil mereka ke kamarnya untuk melayaninya bersenang-senang.

Sesudah dua orang pelayan itu pergi, A-hwi yang mukanya bopeng itu cepat meloncat keluar dari kamar, tangannya mengusap mukanya dan... ada selaput tipis terlepas atau terkupas dari kulit mukanya yang halus dan sedikit pun tidak ada totol hitamnya. Dara ini sama sekali bukan bopeng, melainkan mempunyai wajah yang cantik jelita dan tidak ada cacat bopengnya setitik pun! Gerakannya berubah lincah sekali pada saat dia berkelebat lenyap dalam gelap.

Siapakah dara jelita ini? Dia bukan lain adalah Lim Hwi Sian, dara cantik murid Gak Liong di Secuan, atau masih terhitung cucu keponakan murid dari Panglima The Hoo karena Gak Liong adalah murid keponakan panglima besar itu. Sudah sebulan lebih Hwi Sian menyelundup ke Kwi-ouw dan diterima sebagai pelayan. Dia dapat melindungi dirinya dari Bu Kong yang mata keranjang itu dengan jalan menyelaputi mukanya dengan selaput tipis sehingga mukanya yang cantik jelita itu menjadi bopeng. Dan semua ini dikerjakan untuk memenuhi rencana dan siasat Cia Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Setelah menyelinap di tempat gelap agak jauh dari kelompok bangunan, terdengar suara burung malam. Hwi Sian cepat menghampiri dan ternyata Giok Keng telah berada di situ, tepat seperti telah mereka janjikan.

Giok Keng sudah mendengar dari ayahnya tentang ayah bunda Kun Liong yang dibunuh oleh lima datuk, juga mengenai bokor yang dipalsukan dan yang diduga dilakukan oleh Kwi-eng Niocu. Karena merasa marah mendengar kematian bibi gurunya Gui Yan Cu dan suaminya, Giok Keng lalu minggat untuk menyelidiki Kwi-ouw dan di jalan dia berjumpa dengan Hwi Sian yang tentu saja sudah dikenalnya.

"Bagaimana, Hwi Sian? Sudah dapatkah kau menyelidiki tentang bokor?"

"Sssttt... Cia-lihiap," Hwi Sian menyebut lihiap kepada Giok Keng mengingat bahwa nona ini adalah puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan yang dia tahu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri. "Ada berita hebat sekali..."

Dengan suara bisik-bisik Hwi Sian lalu menuturkan mengenai munculnya Yap Kun Liong yang hendak merampas kembali dua benda pusaka Siauw-lim-pai.

"Dia sudah berhasil mengalahkan Liong Bu Kong dan merampas pusaka, akan tetapi dia dikeroyok oleh Kwi-eng Niocu dan Thian-ong Lo-mo, tertawan dan dijebloskan di dalam kamar tahanan bawah tanah."

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan gemas. "Si tolol itu! Sungguh tidak tahu diri, berani mendatangi goa harimau. Biar dia rasakan kelancangannya sendiri itu!"

"Tetapi... Lihiap... dia itu orang baik. Kita harus menolongnya. Dengan adanya dia yang membantu kita, agaknya pekerjaan kita akan lebih ringan. Pula, bukankah dia pun berhak untuk membalas kematian orang tuanya?"

Oleh karena suara ini dilakukan dalam bisik-bisik, maka Giok Keng tak dapat menangkap getaran aneh dalam suara Hwi Sian ini. Akhirnya, mengingat bahwa betapa pun juga dia tetap harus menolong Kun Liong, dia mengangguk dan keduanya lalu berindap mendekati kelompok bangunan.

Tidak percuma selama sebulan Hwi Sian menjadi pelayan di situ. Selama itu dia sudah menyelidiki semua tempat rahasia dan tahu di mana Kun Liong disekap. Dengan hati-hati dua orang dara perkasa ini menyelinap, Hwi Sian di depan dan Giok Keng di belakang. Giok Keng telah menyerahkan sebatang pedang kepada Hwi Sian, sedangkan dia sendiri memegang pedang Gin-hwa-kiam yang berkilauan, sebatang pedang pusaka perak yang ampuh.

Ketika kedua orang dara itu menuruni anak tangga menuju ke kamar tahanan di bawah tanah, mereka bengong melihat betapa pintu menembus ke anak tangga itu telah terbuka dan dua orang penjaga pintu telah menggeletak dan ‘tidur’ alias pingsan tanpa luka. Lebih besar lagi keheranan mereka pada saat mereka melihat dua belas orang penjaga di luar kamar tahanan sudah rebah malang-melintang, kesemuanya pingsan dan kamar tahanan itu sendiri sudah kosong! Tampak ‘kolor’ hitam terbuat dari otot yang sangat dibanggakan oleh Thian-ong Lo-mo itu menggeletak di tengah kamar tahanan, akan tetapi Kun Liong si Pemuda Gundul sudah tidak berada di tempat itu!

"Ke mana dia?" Giok Keng bertanya heran.

"Entah, tapi itu tadi tali pengikatnya..., tentu dia telah dapat mololoskan diri, atau mungkin ada yang menolongnya. Mari kita cepat keluar sebelum ada penjaga yang melihatnya." Dua orang dara itu bergegas keluar dari kamar tahanan bawah tanah.

Ke manakah perginya Kun Liong? Dugaan Hwi Sian memang benar. Pemuda itu mampu meloloskan diri, akan tetapi bukan karena pertolongan orang lain. Thian-ong Lo-mo terlalu memandang rendah pemuda ini, tidak tahu bahwa pemuda ini adalah murid gemblengan dari tokoh sakti Siauw-lim-pai Tiong Pek Hosiang.

Sebagai murid Siauw-lim-pai tentu saja dia telah mempelajari Ilmu Jiu-kut-kang, yaitu ilmu melemaskan tulang dan tubuh dari Siauw-lim-pai, bahkan dia sudah mempelajari bagian tingkat tinggi ilmu ini karena digembleng oleh Tiong Pek Hosiang sendiri. Oleh karena itu, ketika dia dimasukkan ke dalam kamar tahanan, sebentar saja dia sudah bisa meloloskan kaki tangannya dari belenggu otot hitam itu tanpa mematahkan belenggu karena untuk mematahkan belenggu yang ulet dan mulur itu memang tidak mungkin.

Ketika melihat malam tiba dan para penjaga sudah mengantuk, dengan gerakan secepat kilat Kun Liong lalu mematahkan pintu besi kamar tahanan dan sebelum dua belas orang penjaga yang sebagian besar sudah setengah pulas itu dapat berteriak, tubuhnya segera menyambar ke sana-sini dan totokan-totokannya membuat tubuh selosin orang penjaga itu malang melintang dan tumpang tindih dalam keadaan ‘ngorok’ tapi bukan tertidur pulas melainkan pingsan!

Cepat dia lari ke pintu di atas anak tangga yang menuju ke jalan keluar. Di sini terdapat pula dua orang penjaga dan mereka ini pun dibikin ‘pulas’ sebelum sempat berteriak. Kun Liong kini mengerti bahwa kalau dia hanya menggunakan ‘cengli’ (aturan) saja terhadap Ketua Kwi-eng-pang akan percuma. Terpaksa dia harus menggunakan kekerasan, yaitu dengan paksa dia akan berusaha mencuri kembali pusaka-pusaka Siauw-lim-pai itu, lalu dia akan berusaha membunuh orang terakhir yang menjadi pembunuh ayah bundanya.

Gerakannya ringan serta cepat sekali, dan tak lama kemudian dia telah mengintai di luar jendela sebuah kamar. Kamar Kwi-eng Niocu! Memang Kun Liong tidak dapat melihat ke dalam, namun telinganya yang berpendengaran tajam mampu menangkap suara Kwi-eng Niocu dan Kakek Thian-ong Lo-mo yang bercakap-cakap di dalam kamar itu.

"Ahhh, Ang Hwi Nio, sungguh aku tidak menyangka bahwa engkau yang terkenal sebagai seorang gadis itu ternyata hanya kabar kosong belaka!" Suara kakek itu penuh kecewa dan penyesalan.

"Cih, tua bangka tak tahu malu! Bagimu apa sih bedanya? Engkau tergila-gila kepadaku dan karena engkau sudah membantu dan aku pun telah berjanji, maka aku menyerahkan diriku kepadamu dan kau masih berani mengomel!"

"Aku bukannya mengomel. Engkau hebat dan aku cinta kepadamu, Niocu, akan tetapi aku hanya heran bahwa kenyataannya..."

"Bodoh! Aku terkenal sebagai seorang perawan karena aku tidak pernah menikah, bukan berarti bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan laki-laki. Bahkan aku telah menjadi seorang ibu..."

"Hehhh...?!"

"Engkau kuanggap sebagai seorang sahabat baik, Lo-mo, dan kuharap selanjutnya kita dapat bekerja sama untuk memperoleh bokor pusaka itu. Maka biarlah kubuka rahasiaku kepadamu seorang. Ketahuilah bahwa dulu, aku berhubungan dengan seorang pemuda she Liong. Hubungan kami sangat akrab dan karena bujuk rayunya aku tidak dapat lagi mempertahankan diri sampai aku mengandung. Akan tetapi apa yang dilakukan pemuda keparat itu? Dia tak mau mengakui kandunganku karena dia merasa malu menjadi suami seorang anggota kaum sesat, katanya. Nah, aku lalu membunuhnya dan setelah anak itu terlahir, kuangkat dia menjadi anakku. Padahal dia anakku sendiri, hasil dari hubunganku dengan pemuda she Liong itu, anak terlahir tidak sah..."

"Liong Bu Kong...?"

"Benar. Nah, kau sudah mendengar dan kuharap saja engkau dapat menyimpan rahasia ini baik-baik."

"Tentu saja selama engkau suka melayaniku, manis."

"Aku akan melayanimu sepuasmu asal engkau selalu suka membantuku."

Kun Liong yang mendengarkan penuturan wanita itu menjadi bengong, karena itu tanpa disadarinya timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio! Kembali ada seorang manusia menjadi korban apa yang tadinya dianggapnya ‘cinta’!

Benarkah cinta itu selalu mendatangkan mala petaka? Betapa banyaknya peristiwa yang disaksikannya sendiri, peristiwa menyedihkan akibat perasaan yang terkenal dinamakan cinta. Hwi Sian mencintanya dan karena dia tidak dapat membalasnya, dara itu merana. Demikian pula dengan Yuanita. Dan Li Hwa, demi cintanya pada Yuan, keduanya menjadi korban dan binasa.

Sekarang, ternyata Kwi-eng Niocu, seorang di antara datuk kaum sesat yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan ditakuti, yang terkenal sebagai seorang gadis tua, kiranya hanyalah seorang wanita korban cinta sehingga melahirkan seorang anak yang terpaksa dianggap sebagai anak angkat!

Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakangnya. "Keparat, jadi engkau dapat meloloskan diri? Kalau begitu engkau memang layak mampus!"

Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pedang kilat yang mengejutkan Kun Liong. Akan tetapi pemuda gundul ini sudah bisa menghindarkan diri, mengelak dengan loncatan ke kiri dan dia pun berhadapan dengan Liong Bu Kong yang sudah memegang pedang Lui-cong-kiam.

Terdengar bentakan-bentakan dan sebentar saja Kun Liong sudah dikurung, bahkan kini Kwi-eng Niocu sendiri dengan rambut masih kusut dan muka masih kemerahan, sudah datang pula bersama Thian-ong Lo-mo, kakek raksasa bermata lebar yang mulai malam itu telah menjadi kekasihnya itu!

"Kepung! Tangkap dia! Jangan biarkan dia lolos!" teriak Kwi-eng Niocu yang merasa amat terkejut melihat tawanan penting itu telah dapat lolos.

Akan tetapi karena semua anggota Kwi-eng-pang tahu betapa lihainya pemuda gundul ini, mereka hanya mengepung dari jarak jauh dengan membentuk lingkaran dan memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali, sedangkan yang maju menyerang Kun Liong tentu saja adalah Kwi-eng Niocu sendiri yang kini mempergunakan sebuah kebutan bulu panjang berwarna kuning di samping cengkeraman kukunya yang beracun.

Sedangkan Thian-ong Lo-mo sudah pula mengeluarkan senjatanya yang luar biasa dan mengerikan, yaitu sehelai sabuk terbuat dari baja lemas berbentuk runcing tajam penuh dengan gigi seperti gergaji. Sebuah senjata yang sangat mengerikan, apa lagi dimainkan oleh seorang yang bertenaga gajah seperti kakek itu, senjata aneh ini lenyap bentuknya dan hanya terdengar suara mengaung dan tampak sinar bergulung-gulung seperti seekor naga bermain di angkasa! Selain dua orang tokoh sakti ini, Liong Bu Kong juga ikut pula mengeroyok dengan pedang pusakanya yang ampuh.

Karena maklum bahwa kini dia menghadapi orang-orang pandai dan nyawanya terancam bahaya, maka sekali ini Kun Liong tidak hanya menjaga diri seperti tadi pertama kali dia dikeroyok, melainkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari mengerahkan ginkang-nya dan dia sudah membalas dengan pukulan-pukulan yang tak kalah berbahayanya pula kepada tiga orang pengeroyoknya.

Tapi, karena tiga orang itu masing-masing menggunakan senjata ampuh dan hebat, tentu saja Kun Liong tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan Thi-khi I-beng, terpaksa hanya mengerahkan dan mengandalkan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet yang beterbangan di antara sinar-sinar senjata lawan yang bergulung-gulung.

Tiba-tiba timbul kekacauan di bagian kiri para pengepung karena beberapa orang anggota Kwi-eng-pang mendadak roboh, kemudian berkelebatlah bayangan dua orang gadis yang keduanya sama-sama memegang sebatang pedang dan gerakannya amat gesit, terutama sekali gadis yang pedangnya mengeluarkan sinar perak.

Mereka ini bukan lain adalah Cia Giok Keng dengan pedang Gin-hwa-kiam dan Lim Hwi Sian yang memegang sebatang pedang yang baik pula. Keduanya sudah menerjang dan memasuki kepungan, lantas tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerbu ke medan pertandingan membantu Kun Liong!

"Kun Liong, mari kita basmi ibils-iblis ini!" kata Hwi Sian sambil memutar pedangnya menyerang Thian-ong Lo-mo.

"Hwi Sian!" Kun Liong berseru kaget dan girang, kemudian dia melihat pula Giok Keng dan berseru, "Nona Cia...!"

Akan tetapi Giok Keng tidak menjawab. Hatinya malah mendongkol. Mengapa Kun Liong tadi menyebut Hwi Sian dengan namanya begitu saja, dengan suara mesra, sedangkan kepadanya menyebut Nona Cia segala macam? Dia tidak mengerti bahwa sengaja Kun Liong menyebutnya nona untuk mengangkatnya, untuk menghormatinya sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, apa lagi mereka berada di depan banyak orang.

Cia Giok Keng cepat melepaskan anak panah berapi. Anak panah itu meluncur ke udara, tinggi sekali dan tampak api kehijauan menyala-nyala. Itulah tanda rahasia yang diberikan kepada pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan dan sudah siap menanti di pantai untuk menyerbu begitu ada tanda dari Cia Giok Keng!

Setelah itu, Giok Keng membantu Hwi Sian yang segera terdesak oleh senjata berbentuk gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo. Ada pun Kun Liong kini menghadapi Kwi-eng Niocu seorang diri, cepat dia mendesaknya dan berkata. "Kwi-eng Niocu, sekarang tiba saatnya aku membalaskan kematian ayah bundaku! Kaulah salah seorang di antara mereka yang membunuh ayah bundaku!"

Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat. "Kau... sudah tahu? Hi-hi-hi-hik!" Dia memaksa diri tertawa untuk menutupi rasa gentarnya melihat betapa lihainya pemuda gundul ini. "Kalau begitu biar kau kukirim menyusul ayah bundamu!"

Sementara itu, begitu Liong Bu Kong melihat munculnya Cia Glok Keng, seketika kumat gilanya. Dia tergila-gila kepada nona ini dan kini melihat wajah cantik itu di bawah cahaya penerangan obor yang kemerahan, dia terpesona sehingga sampai lama dia diam saja berdiri tegak dengan pedang di tangan.

"Bu Kong, cepat bantulah aku!" Kwi-eng Niocu berseru minta bantuan puteranya karena sebagian besar bulu kebutannya kena ditampar tangan Kun Liong hingga membodol dan berhamburan! Demikian kuatnya jari-jemari tangan pemuda itu sehingga kebutannya yang biasanya dapat menghancurkan batu karang itu kini membodol kena tamparan jari tangan Kun Liong.

Akan tetapi seperti orang mabuk, Bu Kong sama sekali tak mempedulikan ibunya, bahkan dia lalu meloncat ke depan Giok Keng dan berkata, "Nona Cia Giok Keng, selamat datang di tempatku yang buruk. Nona, mengapa Nona datang sebagai penyerbu? Bukankah kita sahabat baik dan bukankah aku mempunyai niat baik terhadap dirimu. Nona, aku masih cinta kepadamu, selamanya aku cinta kepadamu...!"

"Keparat!" Giok Keng menjadi merah sekali mukanya.

Harus dia akui bahwa dia dahulu tertarik kepada pemuda tampan ini, dan andai kata Bu Kong tidak bersikap semanis itu di hadapan banyak orang, agaknya dia pun akan lebih merasa bangga dari pada marah. Akan tetapi, di depan banyak orang, apa lagi di depan Kun Liong dan Hwi Sian, pemuda ini berani menyatakan cintanya. Oleh karena itu sambil membentak pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan kilat.

"Cringgg…!"

Bu Kong menangkis dan Giok Keng menjadi makin marah. Kepandaiannya kini tentu saja tidak dapat disamakan dengan dahulu, ketika Liong Bu Kong datang ke Cin-ling-san. Dia sudah memperoleh kemajuan hebat dan begitu dia memutar pedang mendesak, Bu Kong menjadi terkejut dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Bagaimana pun juga pemuda ini bukanlah orang sembarangan dan dia sudah mewarisi kepandaian ibunya. Hanya dia benar-benar jatuh hati kepada Giok Keng dan tidak mau melukainya, maka dalam pertandingan itu, dia terus main mundur didesak oleh Giok Keng sehingga makin lama keduanya makin menjauh dari medan pertandingan.

Setelah ditinggalkan Giok Keng, tentu saja Hwi San menjadi repot sekali. Walau pun dia juga seorang dara yang berilmu tinggi, akan tetapi ilmunya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giok Keng, apa lagi dibandingkan dengan kepandaian Thian-ong Lo-mo! Dia lalu terdesak hebat sekali dan beberapa kali hampir saja dia menjadi korban senjata gergaji di tangan lawannya yang tertawa-tawa mengejek.

"Huah-ha-ha, mukamu yang halus akan kugurat-gurat malang melintang, tubuhmu yang montok akan kurobek dengan senjataku, huah-ha-ha-ha!" kakek itu agaknya girang sekali dapat mendesak Hwi Sian yang merupakan makanan empuk baginya.

Namun Hwi Sian menggigit bibir dan tak pernah mau menyerah, bahkan lantas memutar pedangnya dengan gerakan nekat.

"Wirrrrrr...!"

Senjata gergaji itu menyambar dengan gerakan berputar. Hwi Sian menangkis.

"Plak... krekkk!"

Hwi Sian mengeluh karena hampir saja kulit telapak tangannya terkupas saat dia hendak mempertahankan pedangnya yang kena dikait dan diputar oleh senjata lawan sehingga akhirnya patah-patah. Tangan kiri kakek itu menyambar ke arah kepala Hwi Sian. Ketika dara itu mengelak, tiba-tiba saja tangan itu menghantam ke bawah.

"Plakkk!"
Telapak tangan kiri kakek itu telah menampar paha kanan Hwi Sian dengan sikap kurang ajar sekali, akan tetapi karena tamparan itu mengandung hawa sinkang yang beracun, akibatnya Hwi Sian terpelanting.

"Huah-ha-ha!" Kakek itu maju dengan senjatanya digerakkan ke arah muka Hwi Sian.

"Plak! Bukkk...! Aadouuuhhh...!"

Kakek raksasa itu terhuyung mundur. Baru saja lengannya yang memegang senjata kena ditampar tangan Kun Liong kemudian pinggangnya dihantam pemuda itu. Untunglah Kun Liong masih sempat melihat saat Hwi Sian terancam maut, maka pemuda ini cepat-cepat meninggalkan Kwi-eng Niocu yang sesungguhnya telah terdesak, untuk menolong nyawa Hwi Sian dan dia berhasil.

"Kun Liong, aku... aku terluka... ahhh..." Hwi Sian mengeluh tidak dapat bangkit kembali, pahanya terasa panas dan kakinya lumpuh.

"Jangan khawatir, aku melindungimu!" Kini Kun Liong menyambar pedang buntung bekas milik Hwi Sian dan dengan senjata ini, dia mainkan ilmu Silat Siang-liong-pang, diimbangi oleh tangan kirinya yang dipergunakan sebagai tongkat. Hebat bukan main permainan ini sehingga meski pun kakek raksasa dan Kwi-eng Niocu mengeroyoknya, dia tetap dapat mempertahankan diri dan sekaligus juga melindungi tubuh Hwi Sian yang rebah miring.

Tiba-tiba saja terdengar sorak-sorai dan muncullah pasukan yang dipimpin oleh Tio Hok Gwan! Jumlah mereka banyak sekali dan terjadilah perang campuh yang seru dan kacau balau di mana anak-anak buah Kwi-eng-pang mengalami himpitan yang luar biasa hingga mereka menjadi panik.

Ada pun Tio Hok Gwan ketika melihat Kun Liong dikeroyok dan Hwi Sian menggeletak dilindungi oleh Kun Liong, segera menerjang maju. Di tangannya terpegang sabuk pecut, yaitu senjata joan-pian (ruyung lemas) yang sangat lihai. Pada waktu dia menggerakkan pecutnya, terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan terdengar dia berseru, "Tua bangka Thian-ong Lo-mo, tak tahu malu melakukan pengeroyokan, Akulah lawanmu!"

Jelas nampak betapa kakek raksasa ini jeri ketika melihat kakek tinggi kurus yang seperti orang pengantuk itu. Dia sudah mengenal Tio Hok Gwan, mengenal pengawal nomor satu dari Panglima The Hoo yang berjuluk Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati) dan amat lihai ini. Tetapi dia juga menggereng keras, dan senjatanya yang juga berupa sabuk akan tetapi berbentuk gergaji, digerakkan dengan sangat cepat. Terjadilah pertandingan antara dua orang sakti ini.

Kini Kun Liong kembali menyerang Kwi-eng Niocu yang menjadi makin panik.

"Kun Liong... kuserahkan pusaka Siauw-lim-pai... tetapi engkau bebaskan aku dari sini..." Nenek itu memohon, akan tetapi Kun Liong tidak menjawab, melainkan mendesak terus dengan pedang buntungnya.

"Cring-trak-trakkk... aihhh...!"

Kwi-eng Niocu memekik ngeri ketika kuku jari tangan kanannya semua buntung terbabat pedang buntung! Dengan nekat dia lalu menghantamkan kebutannya ke arah kepala Kun Liong. Pemuda ini menggerakkan pedang buntungnya dan segera bulu kebutan melibat pedangnya sehingga tidak dapat ditarik kembali, sedangkan tangan kiri nenek itu sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

Kun Liong juga menggerakkan tangan kiri, menyambut. Dia merasa sakit sekali ketika kuku-kuku runcing mencengkeram telapak tangannya, namun segera nenek itu menjerit dan jatuh berlutut ketika tenaga sinkang-nya membanjir keluar disedot melalui telapak tangan pemuda yang dicengkeramnya.

"Auuughhh... celaka...!" Dia berseru dan berusaha untuk menarik kembali tangannya.

Celakanya kebutannya melibat pedang buntung dan tak dapat digerakkan pula dan ketika dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang untuk menarik tangannya yang melekat, makin banyak sinkang-nya memberobot keluar. Makin dia mengerahkan sinkang, makin banyak pula tenaga saktinya keluar.

"Oughhh... lepaskan aku... ampunkan aku..." Tanpa malu-malu lagi nenek itu memohon.

Kun Liong mengeraskan hatinya dan tidak mau menghentikan Thi-khi I-beng sambil terus membayangkan kematian ayah dan ibunya di tangan nenek ini dan datuk-datuk hitam lain yang telah tewas.

Wajah nenek itu menjadi pucat sekali dan dia merasa betapa tenaga sinkang-nya makin lama makin habis membanjir keluar melalui tangannya yang melekat pada telapak tangan pemuda itu. Tahulah dia apa artinya ini. Dia maklum pula bahwa pemuda ini tak mungkin mau mengampuninya, sebab sudah tahu bahwa ayah bundanya dibunuh oleh dia beserta teman-temannya ketika itu.

Maka sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, sebagai Ketua Kwi-eng-pang, sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat, Kwi-eng Niocu tidak mau terbunuh oleh lawan seorang pemuda seperti ini. Lebih baik bunuh diri! Dilepasnya gagang kebutannya dan secepat kilat dia mengerahkan seluruh tenaga yang masih ada, mempergunakan tangan kanan yang sudah tidak ada kukunya itu mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

Pada saat itu, Kun Liong sudah melepaskan Ilmu Thi-khi I-beng karena di dalam hatinya timbul perasaan tidak tega untuk membunuh nenek itu. Tepat pada saat dia melepaskan tangan nenek yang menempel pada telapak tangannya, nenek itu sudah mencengkeram ubun-ubun kepalanya sendiri dengan tangan kanan.

"Crottt.. aughhh...!"

Nenek itu roboh, kepalanya pecah dan otak serta darahnya berhamburan. Dua matanya melotot memandang ke arah Kun Liong!

Kun Liong berdiri bagaikan arca, matanya terbelalak memandang mayat Kwi-eng Niocu, hatinya merasa ngeri dan menyesal sekali. Dia maklum bahwa nenek itu membunuh diri sendiri, akan tetapi dia merasa bahwa dialah yang membunuh nenek ini. Dia membunuh karena nenek ini telah membunuh ayah bundanya.

Kalau dia menganggap nenek ini jahat karena sudah membunuh ayah bundanya, lalu apa bedanya dengan dia sendiri apa bila dia sekarang membunuh nenek itu? Baik nenek itu, mau pun dia, apa pun alasannya, keduanya adalah sama-sama pembunuh! Kun Liong menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Kun Liong... aduh... kakiku...!"

Keluhan suara Hwi Sian ini menyadarkan Kun Liong. Dia menurunkan kedua tangannya, membalik dan tidak melihat lagi kepada mayat Kwi-eng Niocu. Ketika melihat betapa Tio Hok Gwan mendesak hebat kakek brewok tinggi besar yang sangat lihai itu, sementara para prajurit kerajaan juga mendesak anak buah Kwi-eng-pang, dia lalu membungkuk dan membangunkan Hwi Sian. Dilihatnya paha kanan dara itu terluka parah dan matang biru, tahulah dia bahwa Hwi Sian telah menderita pukulan beracun, maka dipondongnya tubuh dara itu.

"Ke mana Nona Cia Giok Keng?" tanyanya sambil menoleh ke kanan kiri karena dia tidak melihat gadis itu.

"Dia... tadi kulihat dia mengejar Liong Bu Kong ke sana... aduh..." Hwi Sian merintih dan merangkul leher Kun Liong.

"Hemmm, jangan-jangan dia terjebak musuh. Mari kita kejar dia!"

Kun Liong berlari cepat menuju ke arah yang ditunjuk Hwi Sian sambil memondong tubuh dara ini. Akan tetapi sampai di pantai pulau, mereka tidak melihat bayangan Giok Keng dan Bu Kong yang dikejar gadis itu.

"Mereka tentu telah menyeberang ke darat, sebaiknya kita kejar mereka!" Kun Liong lalu merebahkan tubuh Hwi Sian ke dalam sebuah perahu kecil, kemudian mendayung perahu itu dengan sangat cepat, dengan harapan mereka akan dapat menyusul Cia Giok Keng yang dikhawatirkannya.

Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah dan tubuhnya panas semua itu berkata, "Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh..." Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.

Barulah Kun Liong terkejut. Cepat-cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Jika dia tidak cepat mendapatkan obat pemunahnya tentu akan berbahaya sekali keadaannya.

Karena itu dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Setelah perahunya mendarat, dia lalu memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.

********************

Hwi Sian merintih lirih, perlahan-lahan membuka matanya. Pertama-tama yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia bisa melihat bahwa dia berada di dalam kamar sebuah kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, di dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.

Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa hawa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, dan rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang.

Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata, "Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu."

Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata.

Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,

"Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi amat cengeng (mudah menangis)?"

Ditanya dengan suara senda gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas kedua pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.

"Eh-eh...! Kau kenapakah?" Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak diduganya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian semakin tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.

Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.

"Kun Liong...," akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.

"Hemmm...?" Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya bahkan akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.

"Kau terlampau baik kepadaku..."

"Ehh...? Masa...?" Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.

"Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari mala petaka, seolah-olah engkau memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, sementara aku... aku hanya menghinamu..."

Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Ternyata dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu-satunya jalan adalah senda gurau. "Ahh, masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?"

Seketika Kun Liong dapat merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya. "Itulah dia... dan aku menganggapmu... ahhh..." Kembali dara itu menangis!

Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa senda gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagai mana kalau dipancing agar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.

"Ehh, Hwi Sian! Kau menangis lagi?"

"Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu..."

"Budi apa? Sudah lunas! Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!" Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.

Benar saja. Tubuh itu meregang di dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang telah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar, "Kalau begitu... kau... kau ciumlah aku, Kun Liong..."

Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia pun melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apa lagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya?

Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, lalu mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat.

Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian segera merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam, "Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu..."

"Aihh, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu..."

"Memang, aku sudah tahu. Engkau tidak cinta padaku. Engkau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?"

"Maafkan aku..."

"Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja..."

"Heiii! Gila kau...!"

"Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji-suheng (Kakak Seperguruan ke dua)..."

"Ahhh, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!" Ucapan ini keluar dengan setulus hatinya.

"Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapa pun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!"

"Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!" Kun Liong menegur setengah menggoda. "Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri."

"Dengan kepandaianmu, engkau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi bila aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja dari pada membikin susah hati orang lain."

"Wah-wah-wah, kau bikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kau maksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah…, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tak akan pernah membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku tak akan dapat nyenyak tidur dan enak makan!"

"Kun Liong, keputusanku ini sudah bulat. Aku pasti akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku."

"Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang."

"Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?" Hwi Sian memandang wajah itu.

Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk seluruh isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.

"Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk dapat menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!" Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.

"Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu..."

"Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?"

"Kun Liong, hanya... hanya untuk malam ini... kau penuhilah hasrat hatiku, aku hanya bisa menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau saja kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng..."

"Wah, apa-apaan ini? Aku..."

Hwi Sian sudah merangkulnya lagi. "Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong..." Dara itu mendekap dan menciuminya.

Gairah yang membuat Hwi Sian seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini tidak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh birahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apa bila sudah diamuk birahi.

Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan serta ciuman mesra sudah tak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang dia sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung...
Selanjutnya,