Petualang Asmara Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 27
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, mulai dari ubun-ubun kepala sampai telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.

Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa-apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara makhluk-makhluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang kala terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!

Pada keesokan harinya, sesudah cahaya matahari pertama memasuki kuil, nampak Kun Liong duduk bersandar di dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu.

Wajah keduanya agak pucat, tapi di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, ada pun mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biar pun ada air mata di pipinya.

Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian. Walau pun dia kelihatan masih terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat. Barulah teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua sudah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu birahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk.

Baru dia meragukan, apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl!

Dan bagi Hwi Sian sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada laki-laki yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkan diri kepada pria lain yang tidak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.

"Kun Liong..." Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan amat kelelahan.

"Hemmm..."

"Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!"

"Heiii!" Kun Liong melepaskan pelukannya, lalu menjauhkan diri dan cepat membereskan pakaiannya. "Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapa pun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!"

Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong, lalu dia mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.

"Kun Liong," berkata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali. "Aku tadinya mengharap, sesudah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?"

"Hwi Sian!" Kun Liong berkata agak keras. "Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa tadi malam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Karena itu, sekarang berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghiong."

Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik, "Aku berjanji."

"Kau bersumpah?"

"Aku bersumpah."

"Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku takkan lupa kepadamu, Hwi Sian, dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kau kira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kau temukan bersama Tan-enghiong..."

"Tidak mungkin!" Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!

"Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lainnya lagi. Cinta seperti yang kau rasakan terhadap diriku hanyalah nafsu birahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apa lagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal."

"Kun Liong...!"

Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.

"Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia bila mana hidup di samping Tan-enghiong dari pada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan yang jauh lebih berat dari pada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!" Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.

"Kun Liong...!" Hwi Sian mengeluh dan menangis.

Tidak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tubuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.

********************

Sesudah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya di dalam hutan yang sunyi itu.

Pikirannya melayang-layang, mengenangkan kejadian semalam. Kejadian luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, begitu pula bagi Hwi Sian, dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya.

Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... dan semakin dibayangkan, maka makin khawatir pula hati Kun Liong sehingga mulailah dia menyesali kelemahannya, mengapa dia sampai membiarkan dirinya terseret.

Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu birahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu birahi? Hwi Sian mengajaknya dengan suka rela, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana?

Dia bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka, dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu birahi tanpa kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu birahi, jangan-jangan kelak dia akan menjadi seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!

"Dessss! Kraaaakkkk!"

Suara hatinya ‘tidak sudi’ tadi disuarakan melalui mulutnya, lantas diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!

"Tentu aku telah gila!" katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput, mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung.

Harus diakuinya bahwa sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Dan sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapa pun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!

Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah, dan di antaranya adalah wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia apa bila dia senang mencium yang harum-harum dan sedap, di antaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, di antaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia senang menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari-cari! Rasa suka akan semua itu memang telah ada padanya!

Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, biar pun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Apa bila dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?

"Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!" Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!

Dan sesudah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur. "Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!"

Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, sesudah apa yang mereka perbuat bersama tadi malam. Akan tetapi setelah melihat bahwa ternyata yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!

"Ahh, tidak... Nona. Saya... sedang latihan... dan... ehh…, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu..."

Giok Keng meragu untuk menjawab. Bagaimana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini terus mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh dan akhirnya berhasil memancing Giok Keng untuk mengejarnya dengan perahu, meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan.

Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali apa bila dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu. Hari sudah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat.

Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata, "Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal aku cinta padamu, Nona. Hingga kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk bisa berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?"

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah dari pada dahulu! Dia sendiri sangat heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apa lagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat!

Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak, "Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang sangat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!"

"Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andai kata kepandaianku lebih tinggi sekali pun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona."

"Singggg...!"
Giok Keng sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) sudah terhunus.

"Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!" Dara itu membentak.

"Srettt...!" Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah.

"Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku."

Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya bahkan membuang pedang, hatinya menjadi terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biar pun hatinya terguncang, dia masih membentak,

"Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!"

Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini sangat tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya. "Silakan serang dan bunuhlah aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia."

"Siapa yang percaya bujukanmu? Mampuslah!" Giok Keng sudah menerjang maju, cepat menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.

"Aihhhhh...!"

Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong!

Pada saat Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.

"Ahhh... apa yang kau lakukan...? Kenapa kau tidak mengelak? Kenapa tidak menangkis? Kenapa...?" Giok Keng terbelalak, cepat melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya itu sudah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!

"Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya..."

"Hemmm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kau bunuh pun aku akan rela, karena biar pun kau benci, aku tetap cinta padamu..."

Giok Keng telah mengeluarkan sapu tangannya. "Bodoh! Siapa benci padamu?" katanya.

Tanpa berbicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan sapu tangannya. Mula-mula ditaruhnya obat luka yang selalu dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan sapu tangannya yang bersih untuk menutupi luka itu, lantas membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darah berhenti mengucur dari luka itu.

"Nona... nona... Giok Keng... benarkah hal itu? Benarkah kau tidak membenciku?" Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga terdengar menggetar penuh perasaan. "Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?"

Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya. "Entahlah..."

Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya secara halus agar muka itu tengadah. "Giok Keng... Moi-moi... kau pandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta kepadaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?"

Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.

"Moi-moi...!" Bu Kong mengecup kedua pipi dara itu, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.

Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulus hati, dengan hati yang penuh bahagia, merasa dicinta dan mencinta.

Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan.

"Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta kepadamu... dan kalau kau anggap bahwa perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar penderitaanku berakhir...!"

Wajah yang pucat itu kembali menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya agar dapat berbicara, suaranya gemetar, "Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!"

Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Ia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dara itu berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya.

Semalam suntuk dia terus melanjutkan perjalanannya sampai pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air sungai yang jernih sambil menangis!

"Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula kau menangis?" Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalaman telah mengganggu pikirannya.

Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.

"Hwi Sian, ada apakah?" kembali dara ini mendesak penuh keheranan.

"...aku cinta kepadanya... hu-hu-huuh, aku cinta kepadanya..." Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya ‘aku cinta padanya’ yang dikatakan berkali-kali.

Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian sungguh-sungguh menangis, dia segera memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!

"Siapa? Siapa yang kau cinta itu?"

"Aku cinta kepadanya... aaahhh, aku cinta kepadanya!" Hwi Sian berkata lagi.

Giok Keng menjadi tidak sabar. "Ke mana dia sekarang?"

"Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta kepadanya tapi dia pergi..."

"Ke mana?"

Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.

Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan pohon dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak.

"Tidak sudi!" dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya.

Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran,

"Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!"

"Cia Giok Keng, apa maksudmu?" Kun Liong bertanya dan memandang heran.

"Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!"

Seketika pucatlah wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. ternyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Kenapa kau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sangat mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?"

Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang kemudian berkata,

"Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?"

"Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?"

"Dia sudah bertunangan dengan Ji-suheng-nya..."

"Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu akan menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdua yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!" Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong. "Apa lagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan..."

"Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku sudah bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti."

Giok Keng menarik napas panjang. "Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kau bacalah ini dulu." Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.

Pemuda gundul ini menjadi semakin heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.

"Karena ayah ibumu telah meninggal dunia, sebagai supek-mu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng."

Dia dijodohkan dengan Cia Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang amat manis bentuknya!

Namun, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai sepasang suami isteri, tidak bebas hidup lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalah pahaman yang lain, dia merasa ngeri juga!

Kemudian dia teringat akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini!

Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya,

"Engkau sudah tahu tentang ini?" Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.

"Dan bagaimana pendapatmu?"

Giok Keng menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu."

"Engkau agaknya tidak setuju."

"Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?"

"Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian."

"Dan kau... kau... ehh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?"

"Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba."

Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam sekarang memandang penuh selidik seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan, "Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?"

Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul. "Aku tidak mencinta siapa pun, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh dari pada cinta seperti yang kau maksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!"

Sepasang mata itu memandang makin tajam pada saat Giok Keng bertanya lagi, "Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?"

Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini. "Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan..."

"Sebetulnya aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja dan pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?"

"Aihh…, harap kau jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu sudah terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berhenti bekerja. Mengertikah kau?"

Giok Keng mengangguk-angguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaan. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong. Namun pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, meski dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!

"Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?"

Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk. "Tentu saja aku suka!"

Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah. "Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?"

"Mengapa tidak?" Kun Liong cepat menjawab dengan terus terang pula. "Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguh pun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apa lagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu."

Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apa lagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai merasa bingung dan menduga-duga, apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?

"Kun Liong, sebetulnya bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau seorang pria suka kepada seorang wanita atau pun sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebetulnya dan apakah cinta itu?"

Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan. "Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti di dalam hatinya akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apa lagi menikah! Setahuku, wanita merupakan makhluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bisa bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, maka celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguh pun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng."

Sepasang alis Giok Keng berkerut. Betapa tak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!

"Kun Liong...!" Tegurnya dengan kemarahan ditahan.

"Hemmm..."

"Kurasa engkau ini seorang yang..."

"Ya...?"

"Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!"

Makin lebar mata Kun Liong, apa lagi mendengar makian terakhir itu. "Kepala angin?"

"Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Tadi kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah mengenai cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!"

"Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah di dalam hati wanita hanya ada dua macam perasaan itu? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?"

Giok Keng merasa semakin bingung dan marah. "Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta bila kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?"

"Ehh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran..."

"Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!"

"Benarkah? Sayang sekali."

"Akan tetapi aku pun amat berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong."

"Ehh, apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?"

"Setelah kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku."

"Ya, begitulah."

"Dan kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku pun tidak cinta padamu."

Kepala Kun Liong mengangguk-angguk. "Sudah sepatutnya begitu. Aku akan menghadap ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan."

Giok Keng bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala gundulnya!

"Terima kasih, Kun Liong. Terima kasih!"

Dia meloncat pergi dan berlari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu, bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi. Dia makin tidak mengerti akan perangai wanita, terutama Giok Keng!

********************

Dua orang wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu. Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan hutan lebat dan amat sunyi itu. Mereka adalah Pek Hong Ing dan suci-nya, Lauw Kim In.

Wajah keduanya muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan pandang matanya selalu menghindar dari sumoi-nya.

Semenjak kecil mereka berdua sudah menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal bersama di pegunungan sunyi, selalu rukun dan saling mencinta bagaikan kakak beradik. Maka dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap sumoi-nya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa sumoi-nya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya telah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoi-nya.

Akan tetapi dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoi-nya yang sudah menjadi nikouw itu bersenda gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul! Andai kata dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya dia tetap tidak akan tega menangkap sumoi-nya dan dia akan pulang dengan tangan kosong, nekat akan membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoi-nya! Akan tetapi, perbuatan sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar biasa itu membuat dia merasa penasaran dan marah sekali.

"Suci, telah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukan seorang hwesio...," terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan.

Suci-nya tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan di situ dan akhirnya Kim In berkata lirih,

"Mungkin dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan hal ini, Sumoi. Sebagai enci-mu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku malu sekali. Apa bila aku tak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu sudah cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, maka aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo, dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak itu."

"Suci, engkau benar kejam sekali! Pernahkah aku membohong kepadamu semenjak kita menjadi saudara di Go-bi-san! Kami tidak bermain gila seperti yang Suci sangka. Memang aku tidak dapat menahan ketawa, dan kami berdua tertawa itu sama sekali bukan sedang main gila, bermain cinta atau bersenda gurau seperti yang kau duga. Dia memang lucu sekali..."

"Ya, lucu dan tampan!"
"Aihhh Suci. Bukan demikian maksudku. Kalau engkau sendiri mendengar kata-katanya, sikap dan pandangan hidupnya, tentu engkau akan tertawa juga. Kun Liong seorang yang baik, Suci. Pertama-tama aku bertemu dengannya adalah ketika aku terluka parah oleh jarum beracun dari Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dia yang telah mengobatiku secara luar biasa! Dan tahukah engkau bagaimana aneh dan lucunya? Katanya, kepalanya menjadi gundul juga karena jarum beracun Ouwyang Bouw itu! Aku telah berhutang budi kepadanya, maka ketika aku melihat dia tertawan pasukan, aku lalu menolongnya. Dan kau melihat sendiri betapa dia kembali mengorbankan diri menolongku ketika huito-mu menyambar."

Kim In membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi sumoi-nya kemudian menatap wajah sumoi-nya dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya lantang, "Sumoi, apakah kau jatuh cinta kepada pemuda gundul itu?"

Seluruh wajah yang cantik jelita dan kepala yang gundul kelimis itu menjadi merah sekali. Dengan suara gemetar Hong Ing menjawab, "Mengapa Suci bertanya demikian? Aku baru saja bertemu dengan dia. Aku kagum kepadanya, aku suka... akan tetapi, aku tidak tahu... tentang cinta... hemmm, entahlah."

"Itu tandanya kau mulai jatuh cinta. Hemm, laki-laki semua penipu, tidak dapat dipercaya! Jangan kau mudah menjatuhkan hati kepada seorang pria, Sumoi. Kau akan kecewa!"

Hong Ing memandang suci-nya dengan sinar mata penuh iba. "Aku tahu, Suci. Kau sakit hati karena kau pernah tertipu. Akan tetapi aku yakin sekali bahwa sampai detik ini pun kau masih... masih mencintanya."

Berubah wajah Kim In dan cepat dia menghapus dua titik air mata yang membasahi bulu matanya. "Memang, tetapi dia sudah mati. Andai kata dia masih hidup, belum tentu aku dapat memaafkan perbuatannya yang terkutuk itu! Berjinah dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo! Cihh! Akan tetapi dia sudah mati dan bagaimana pun juga aku akan membalaskan kematiannya kepada Thian-ong Lo-mo."

"Tapi kabarnya kakek itu lihai sekali, Suci. Bahkan kabarnya tingkatnya seimbang dengan Subo."

"Pasti akan tiba masanya aku dapat membalaskan kematian tunanganku kepada kakek itu!" kata Kim In berkeras.

Tiba-tiba saja dua orang dara yang cantik itu meloncat berdiri dan memutar tubuh. Mereka mendengar suara langkah kaki orang, akan tetapi ketika mereka meloncat dan memutar tubuh, tidak ada bayangan orangnya! Selagi mereka terheran-heran dan saling pandang, di sebelah belakang mereka terdengar suara orang tertawa, suara tawa seorang laki-laki!

Cepat mereka kembali memutar tubuh dan... mereka tidak melihat apa-apa di situ kecuali pohon-pohon yang lebat dan sunyi. Padahal gema suara ketawa itu masih terdengar oleh mereka.

Kim In dan Hong Ing saling pandang dan merasa ngeri. Mereka tak percaya akan adanya setan. Telah belasan tahun mereka tinggal di Pegunungan Go-bi-san, telah belasan tahun mereka mengenal hutan-hutan lebat tetapi belum pernah mereka bertemu setan. Sebagai murid-murid orang pandai, mereka tahu bahwa mereka kini berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Harap Locianpwe suka memperlihatkan diri kalau ada keperluan dengan kami berdua murid Subo Go-bi Sin-kouw!" Kim In berkata dengan sikap hormat akan tetapi dengan suara berwibawa mengandalkan nama besar subo-nya.

Tiba-tiba saja kembali terdengar suara tertawa bergelak di belakang mereka. Pada waktu mereka memutar tubuh, mereka berdua menjadi bengong keheranan karena yang disebut locianpwe (orang tua gagah) oleh Kim In itu ternyata adalah seorang lelaki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan, bertubuh tegap, dan pakaiannya mewah!

"Ha-ha-ha-ha, kukira tadi dua orang bidadari penunggu hutan yang berada di sini, kiranya dua orang wanita yang cantiknya bahkan melebihi bidadari. Hemmm, meski yang seorang menjadi nikouw, namun cantik juga."

Melihat pemuda itu, segera muka Hong Ing berubah dan dengan desis marah dia berkata, "Engkau... Ouwyang Bouw!"

Pemuda itu memang Ouwyang Bouw. Terkejut juga dia mendengar namanya disebut oleh nikouw muda itu, akan tetapi dia tersenyum kemudian berkata, "Engkau telah mengenal namaku, Nikouw muda? Bagus sekali. Aku memang Ouwyang Bouw."

Kim In langsung mencabut pedangnya, bahkan dia melemparkan pedang ke dua kepada sumoi-nya. Mendengar bahwa pemuda inilah yang pernah melukai sumoi-nya, apa lagi bahwa pemuda ini adalah putera datuk sesat Ban-tok Coa-ong, dia sudah menjadi marah sekali walau pun diam-diam dia kagum bukan main menyaksikan kepandaian pemuda ini yang dapat muncul tanpa mereka ketahui.

"Kiranya anak datuk kaum sesat yang pernah melukaimu, Sumoi. Mari kita hajar dia!"

Sambil berkata demikian, tubuh Kim In sudah berkelebat ke depan. Dia sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan kilat ke arah tenggorokan Ouwyang Bouw. Namun sambil terkekeh, dengan mudahnya Ouwyang Bouw mengelak dan memang pemuda ini memiliki ginkang yang amat tinggi.

Pada saat Hong Ing juga menerjang maju, pemuda itu masih enak-enak melayani kakak beradik seperguruan itu dengan mengandalkan kegesitannya, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil tertawa-tawa.

"Ehh, tahan dulu! Aku mau bicara!" Tiba-tiba saja dia meloncat ke belakang sedemikian cepatnya sehingga dua orang dara itu mendadak kehilangan lawan, dan baru tahu setelah Ouwyang Bouw berdiri belasan meter jauhnya di depan mereka.

"Hemm, bicara apa lagi?" bentak Kim In, dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya gagah sekali.

"Aku baru datang, tidak merasa mengganggu kalian, mengapa kalian memusuhiku?"

"Tidak mengganggu, ya?" Hong Ing menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu. "Lupakah kau ketika bersama ayahmu kau datang ke Kuil Kwan-im-bio, membunuh Biauw Kui Nikouw ketua kuil, kemudian secara menggelap menyerangku dengan jarum merah beracun?"

Berkerut alis Ouwyang Bouw dan sepasang matanya yang liar itu sejenak menghentikan gerakannya, seolah-olah sedang mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,

"Aihh, kiranya engkaukah itu? Aku tidak tahu, kalau aku tahu bahwa dia itu engkau yang cantik jelita ini, tentu aku tak akan menyerangmu dengan jarum! Wah, kau lihai juga dapat menyelamatkan diri dari jarumku. Dengar, jangan menyerang dulu. Kalian tak akan dapat menang. Dengar lebih dulu kata-kataku. Aku sekarang hidup sebatang kara. Teringat aku betapa Ayah dahulu sering kali membujukku untuk memilih seorang gadis yang baik dan menikah. Tadi aku melihatmu, Nona, dan mendengar engkau menaruh dendam kepada Thian-ong Lo-mo." Dia memandang Kim In dengan sinar mata kagum. "Ha-ha, tua bangka itu sudah hampir mampus di Telaga Kwi-ouw, akan tetapi kakek licin itu masih berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan pemerintah dan kini bersembunyi. Hanya aku yang tahu tempatnya. Nona, begitu melihatmu, aku tertarik sekali kepadamu. Kau gagah dan cantik, terbayang kekerasan hati di balik kelembutan dan kehalusan kulitmu. Hebat! Aku sudah jatuh cinta padamu, Nona, dan aku tahu, hanya engkaulah yang pantas untuk menjadi isteriku!"

"Tutup mulutmu, keparat!" Kim In sudah menerjang dengan dahsyat, dan sumoi-nya juga cepat membantu suci-nya mengeroyok pemuda yang lancang mulut dan kurang ajar itu.

"Trang-cringgg...!"

Dua orang dara itu meloncat mundur ke belakang dengan terkejut ketika merasa betapa telapak tangan mereka terasa panas sesudah pedang mereka tertangkis oleh sebatang pedang yang bentuknya seperti ular.

"Ha-ha-ha, percuma saja kalian melawan. Biar subo kalian tak akan menang bertanding melawanku!" Ouwyang Bouw mengejek.

Kim In yang sudah marah sekali, kembali menerjang dibantu oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang hebat, namun Ouwyang Bouw hanya menggunakan pedangnya untuk melindungi tubuh, sama sekali tidak mau membalas. Bahkan dia masih dapat berbicara seenaknya.

"Nona, sampai mati kau tak akan mampu melawan Thian-ong Lo-mo. Jadilah isteriku dan aku akan menyeret tua bangka itu ke depan kakimu!"

"Keparat!" Kim In berteriak lagi dengan marah.

Kini dia menggunakan jurusnya yang paling ampuh untuk menyerang lawan yang tangguh ini. Juga Hong Ing menjadi marah dan membantu suci-nya, menyerang sekuat tenaga.

"Cring! Cringgg... aughhh...!"

Dua orang dara itu roboh tak dapat bergerak lagi karena telah terkena totokan jari tangan kiri Ouwyang Bouw yang lihai bukan main itu.

Kedua orang dara itu memandang dengan mata melotot, setengah ngeri ketika Ouwyang Bouw berlutut di dekat mereka sambil tertawa-tawa. Dengan tangan kiri Ouwyang Bouw mengelus dagu Kim In, memandang penuh kagum dan dia berkata,

"Bagaimana, Nona? Apakah aku masih kurang lihai dan kurang berharga untuk menjadi suamimu? Maukah kau menjadi isteriku, isteri tercinta dan aku bersumpah untuk menjadi seorang suami yang setia, yang baik, yang akan menuruti segala kehendakmu, manis?"

"Tidak sudi!" bentak Kim In yang memang sudah merasa sakit hati terhadap pria setelah tunangannya itu menyeleweng. Dia dapat bicara akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

"Hemm, begitukah? Aku jatuh cinta padamu, tidak seperti kepada wanita lain. Aku tidak suka memaksamu, juga tidak tega memperkosamu. Akan tetapi jika kau tidak menerima lamaranku secara baik-baik, apa boleh buat! Apa bila kau tetap berkeras tidak mau, akan kubunuh sumoi-mu ini, sebab aku ngeri untuk memperkosa seorang nikouw, takut kelak di neraka mengalami hukuman yang terlampau berat! Sesudah membunuh sumoi-mu, aku akan memperkosamu, biar pun dengan hati terluka, dan hendak kulihat apakah kau akan terus berkeras hati menolakku." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bouw menghampiri Hong Ing.

Dara ini sama sekali tidak takut menghadapi kematian, tapi mati secara konyol demikian sungguh mengerikan dan membuat dia penasaran. Kalau dia mati dalam pertandingan, hal itu bukan apa-apa. Namun benar-benar mengerikan juga untuk mati dalam keadaan tertotok seperti itu, maka dia memandang pemuda yang menghampirinya itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Ha-ha-ha, dahulu engkau dapat menyelamatkan diri dari jarum-jarumku, bukan? Mungkin hanya mengenai bagian yang tidak berbahaya. Sekarang hendak kulihat, apakah goresan jarum-jarumku di dadamu akan dapat kau pertahankan. Ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw mengeluarkan dua batang jarum kecil merah. Jari tangan kirinya bergerak cepat dan... jubah pendeta yang menutupi dada Hong Ing sudah terbuka, memperlihatkan pakaian dalamnya berikut belahan dadanya yang membusung keluar. Ketika pemuda itu sudah mengangkat jarum ke atas hendak diguratkan pada kulit dada yang membusung dan halus itu, tiba-tiba Kim In menjerit.

"Tahan dulu!"

"Ha-ha-ha, kau kasihan kepada sumoi-mu, Manis? Baik benar hatimu, dan aku menjadi makin cinta kepadamu."

Kim In mengerutkan alisnya sambil memutar otaknya yang sejak tadi sudah menimbang-nimbang. Jelas bahwa pemuda ini amat lihai, mungkin tidak kalah oleh subo-nya dan tidak kalah oleh Thian-ong Lo-mo! Keadaan dia dan sumoi-nya sudah tak berdaya sama sekali. Sumoi-nya tentu akan tewas dalam keadaan tersiksa dan mengerikan, dan bagaimana dia akan dapat menghindarkan dirinya dari perkosaan dan penghinaan? Kini hanya ada satu jalan, yaitu menerima lamaran pemuda itu yang betapa pun juga merupakan seorang pemuda yang tampan, tegap dan gagah.

"Aku mau menerima pinanganmu, akan tetapi dengan tiga syarat!" katanya.

Sekali meloncat, Ouwyang Bouw sudah menghampiri Kim In, tangannya bergerak dan dara itu telah terbebas dari totokan. Kim In bangkit berdiri, dibantu oleh Ouwyang Bouw dengan gerakan lemah lembut dan mesra, kelihatannya gembira bukan main mendengar kesanggupan Kim In.

"Apakah syaratnya, Manis!"

"Pertama, kau harus membebaskan sumoi."

"Suci! Jangan korbankan diri untukku!" Hong Ing berseru ngeri.

"Tidak, Sumoi. Hanya inilah jalan terbaik, untukmu dan juga untukku. Kau bebas dan asal kau menjadi nikouw dan bersembunyi di dalam bio yang terasing, kiranya Subo tidak akan dapat menemukanmu," kata Kim In sambil menarik napas panjang.

"Dan... kau...?" Hong Ing berbisik dengan mata terbelalak.

"Aku...? Tak perlu kau memikirkan aku. Aku akan menjadi isterinya kemudian aku akan membalas dendam kepada musuh-musuhku."

"Apakah syaratnya yang ke dua dan ke tiga? Syarat pertama tentu saja kulaksanakan sekarang juga!" Ouwyang Bouw yang kegirangan itu sudah meloncat ke dekat Hong Ing dan berkata, "Adikku yang baik, sumoi-ku. Maafkanlah cihu-mu (kakak iparmu), ya?" Dia membebaskan totokan Hong Ing dan dengan sopan menutupkan kembali jubah Hong Ing yang terbuka!

Hong Ing bangkit berdiri, cepat menalikan lagi ikat pinggangnya dan memandang suci-nya dengan muka pucat. Sungguhkah suci-nya hendak mengorbankan diri seperti itu, menjadi isteri pemuda gila putera datuk sesat itu?

"Syarat ke dua, mulai saat ini engkau harus tunduk kepada semua keinginanku."

"Baik, baik, tentu aku akan tunduk kepada keinginan isteriku yang tercinta."

"Dan syarat ke tiga, engkau harus menurunkan seluruh kepandaianmu kepadaku."

"Ha-ha-ha, isteriku yang manis. Tentu saja! Aku menerima semua syarat itu!"

"Bersumpahlah!"

Ouwyang Bouw lalu berlutut dan bersumpah. "Disaksikan Langit dan Bumi, aku Ouwyang Bouw bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama... ehh, siapa namamu?"

Mau tak mau Kim In merasa geli hatinya sedangkan Hong Ing memandang ngeri.

"Namaku Lauw Kim In."

"Wah, namanya seindah orangnya!"

"Teruskan sumpahmu."

"O ya... aku bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama Lauw Kim In dan mengajarkan semua ilmuku kepadanya. Kalau aku melanggar sumpah, biar aku tidak akan lama menjadi suaminya!"

Dia meloncat bangun dan langsung merangkul dan mencium pipi Kim In! Muka gadis ini menjadi merah sekali, segera berpaling kepada sumoi-nya dan berkata, "Nah, Sumoi. Kau pergilah, dan semoga kau berbahagia dengan... Kun Liong..." Dia mengusap air matanya dan berkata kepada Owyang Bouw. "Mari kita pergi!"

"Isteriku yang tercinta!" Owyang Bouw bersorak dan langsung memondong tubuh Kim In, berjingkrak seperti anak kecil. "Isteri yang manis, Kim In... Moi-moi..., mari kita berbulan madu di puncak gunung... di tepi telaga... ha-ha-ha-ha...!" Cepat seperti terbang pemuda yang memondong tubuh Kim In itu berlari dan lenyap dari depan Hong Ing yang masih bengong dengan air mata mengalir turun membasahi kedua pipinya.

Peristiwa itu seperti mimpi saja bagi Hong Ing. Sungguh merupakan hal yang sama sekali tak terduga-duga. Begitu saja pemuda itu datang, dan begitu saja terjadi perubahan hebat dalam hidup Kim In dan dia sendiri! Dalam beberapa menit saja keadaan hidup mereka telah berubah sama sekali, dan sedikit pun hal itu tidak pernah mereka sangka. Betapa anehnya hidup! Begitu saja kini suci-nya menjadi isteri Ouwyang Bouw, ada pun dia yang sudah putus asa kini bebas sama sekali!

Dengan jantung berdebar-debar Hong Ing menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput. Dia memikirkan keadaan suci-nya. Kenapa suci-nya demikian mudahnya menerima pinangan Ouwyang Bouw, pemuda yang meski pun tampan dan lihai sekali namun seperti berotak miring itu? Dia mengenangkan lagi apa yang baru saja terjadi, dan dia merasa terharu setelah dia mengerti akan keputusan yang diambil suci-nya.

Suci-nya ialah seorang yang telah patah dan hancur hatinya, patah oleh penyelewengan tunangan yang dicintanya, kemudian hancur oleh kematiannya. Hatinya penuh dirundung dendam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sukar untuk dibalas dan dia selalu menantikan kesempatan untuk membalasnya. Lalu terjadilah peristiwa pertemuan dengan Ouwyang Bouw itu.

Agaknya dalam waktu singkat, suci-nya sudah dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan yang bulat. Kalau dia menolak, tentu Ouwyang Bouw akan membunuh Hong Ing dan kemudian akan memperkosanya, mungkin kemudian membunuhnya pula. Dan di samping bahaya ini, juga suci-nya menghadapi keadaan yang sangat tidak enak dengan memaksa Hong Ing kembali menghadapi subo mereka.

Kalau dia menerima, tidak saja Hong Ing akan terbebas, juga dia mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam kepada Thian-ong Lo-mo dan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat! Keuntungannya jauh lebih besar kalau dia menerima dan kerugiannya amat hebat kalau dia menolak. Itulah sebabnya!

Hong Ing menarik napas panjang. "Terima kasih atas pengorbananmu ini, Suci... semoga engkau berbahagia..."

Sambil menghapus air matanya, nikouw muda ini meninggalkan hutan, meninggalkan kaki Pegunungan Go-bi-san, menjauhkan diri dari tempat tinggal subo-nya di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san.

Akan tetapi karena pikirannya masih terpengaruh oleh peristiwa tadi dan dia merasa amat berduka mengenangkan nasib suci-nya, Hong Ing salah jalan. Benar dia menjauhi puncak tempat tinggal subo-nya, akan tetapi dia malah memasuki daerah lain dari Pegunungan Go-bi-san yang belum dikenalnya, daerah selatan yang penuh dengan hutan-hutan besar dan kabarnya merupakan daerah yang sukar dan sangat berbahaya sehingga subo-nya sendiri sering kali mengatakan agar kedua orang muridnya itu jangan memasuki daerah ini.

Hong Ing sadar bahwa dia salah jalan setelah malam tiba dan dia terseret dalam sebuah hutan yang amat lebat. Karena tidak mungkin mencari jalan keluar dalam cuaca gelap itu, terpaksa Hong Ing bermalam di hutan itu setelah mendapatkan sebuah goa yang cukup besar. Ia lalu membuat api unggun dan dapat pulas sejenak, cukup untuk menghilangkan lelahnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Ing sudah keluar dari goa dengan niat mencari buah yang dapat dimakan. Perutnya terasa lapar sekali. Setelah makan, baru dia akan mencari jalan keluar dari hutan itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara berkeredepan disusul berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga belas orang wanita muda yang cantik-cantik mengurungnya! Melihat sikap mereka yang galak dan seperti arca hidup itu, Hong Ing terheran dan teringat bahwa dia adalah seorang nikouw, maka cepat dia merangkap kedua telapak tangannya dan berkata.

"Omitohud, mau apa Cuwi (Anda Sekalian) mengurung pinni (aku) yang sedang mencari buah untuk menghilangkan rasa lapar?"

Seorang di antara mereka melangkah maju. Mereka itu adalah gadis-gadis berusia antara lima belas sampai dua puluh lima tahun, ada yang membawa pedang, golok atau tombak, sikap mereka membuktikan bahwa mereka itu rata-rata pandai limu silat akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada pandangan mata mereka yang seperti pandang mata sebuah boneka!

"Nikouw (Nona pendeta) siapakah? Dan tidak tahukah bahwa engkau sudah melanggar wilayah kami tanpa ijin?" tanya wanita yang melangkah maju. Seperti semua temannya, pakaiannya amat indah akan tetapi berwarna kuning semua, dan rambutnya digelung dua di kanan kiri dan dibungkus sutera merah merupakan sepasang bunga mawar.

"Pinni adalah Pek Nikouw dan maafkan kalau pinni telah melanggar wilayah Cuwi karena sesungguhnya pinni tidah sengaja."

Wanita yang memimpin pasukan aneh ini bermain mata dengan teman-temannya, lalu berkata, "Kalau engkau bukan seorang nikouw, tentu sudah kami tangkap dan kami seret ke depan Siocia. Akan tetapi, karena engkau seorang nikouw, maka kami harap Sukouw suka ikut bersama kami menghadap Siocia (Nona) supaya nanti Siocia sendiri yang memutuskan."

Hong Ing adalah seorang dara perkasa, yang tentu saja memiliki keberanian besar dan mempunyai watak tidak mau dihina atau ditundukkan orang begitu saja. Sungguh pun dia berpakaian nikouw dan kepalanya gundul, akan tetapi dia menjadi nikouw akibat terpaksa, maka wataknya sebagai seorang dara perkasa masih tetap ada. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri dengan tegak, memandang mereka dan berkata,

"Aturan apakah ini? Andai kata benar ini wilayah kalian, mana tanda-tandanya? Dan aku masuk ke sini bukan sengaja, kenapa hendak ditangkap? Kalau aku tidak mau ditangkap, kalian mau apa?"

Mendengar ini, tiga belas orang gadis itu berseru marah dan pemimpin mereka segera membentak, "Tangkap dia!"

Dua orang segera menubruk, akan tetapi dengan mudahnya Hong Ing mengelak sambil menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul. Akan tetapi alangkah kagetnya pada waktu melihat bahwa dua orang itu dapat pula mengelak dan menangkis serangan balasannya dan mulailah dia dikeroyok!

Dengan marah Hong Ing mencabut pedang pemberian suci-nya dan membentak. "Mundur semua, kalau tidak ingin mati di ujung pedangku!"

"Phuihh, perempuan sombong!" mereka membentak dan tiga belas orang wanita itu lantas menggunakan senjata masing-masing untuk mengeroyok Hong Ing.

Hong Ing cepat memutar pedangnya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata olehnya bahwa biar pun kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan mereka ini, tetapi sebagai anak buah, tingkat mereka sudah cukup hebat dan jumlah mereka yang banyak membuat dia repot juga. Apa lagi karena senjata yang mereka gunakan ada tiga macam, ada yang menggunakan pedang, ada yang mainkan golok dan ada pula yang bersenjata tombak gagang panjang dan mereka semua merupakan ahli-ahli dalam mainkan senjata mereka.

Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus yang terpilih dari ilmu pedangnya supaya dapat melindungi diri dengan baik dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah lewat seratus jurus lebih, dia hanya dapat melukai pundak dua orang pengeroyok dan ini bukan berarti dia menjadi ringan karena dua orang itu walau pun sudah terluka, masih terus ikut mengeroyoknya!

Mulailah Hong Ing merasa khawatir dan menyesal mengapa dia tidak menyerah saja tadi. Kalau sekarang, dia pantang menyerah sebelum kalah karena sudah terlanjur bertanding. Siapa tahu, meski pun aneh mereka itu bukanlah golongan jahat dan orang yang mereka sebut siocia itu ternyata adalah seorang wanita sakti yang baik-baik! Dengan demikian, dialah yang kelihatan buruk, sebagai seorang melanggar ‘wilayah’ yang melawan dengan kekerasan ketika ditegur dan hendak dihadapkan kepada yang berkuasa di daerah itu!

"Hi-hi-hi, bodoh kalian, sekian lama mengeroyok seekor anjing gundul saja tidak mampu mengalahkannya. Mundurlah!"

Seruan ini disusul berkelebatnya bayangan merah dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah yang lebih cantik dari pada tiga belas orang tadi, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang memegang sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tiga belas orang yang mengeroyok Hong Ing tadi sudah mundur semua dan membentuk lingkaran lebar, berdiri sambil menonton.

Hong Ing memandang dara baju merah itu penuh perhatian, kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil berkata, "Omitohud... agaknya Nona yang disebut Siocia oleh mereka tadi."

Gadis itu tertawa terkekeh dan kagetlah hati Hong Ing melihat betapa gigi yang bentuknya bagus berderet rapi itu semua berwarna hitam, hitam mengkilap! Betapa sayang, pikirnya, gadis secantik itu giginya hitam semua. Dia tidak tahu bahwa warna giginya itulah yang menjadi kebanggaan gadis itu.

"Hi-hi-hik, bukan, Sukouw. Aku adalah Amoi, hanya pelayan ke dua dari Siocia. Pelayan pertama adalah Cici Acui. Mengapa engkau berkelahi dengan pasukan peronda kami?"

Hanya pasukan peronda! Dan hanya tiga belas orang dan dia tidak mampu menangkan mereka! Benar-benar hal ini membuat Hong Ing penasaran sekali. Dia sudah kepalang melawan, kalau sekarang berhadapan hanya dengan seorang pelayan saja dia bersikap mengalah, sungguh-sungguh amat memalukan. Lain lagi kalau umpamanya yang datang adalah Si Siocia yang menjadi kuasa daerah itu, kiranya lebih baik dia mengalah karena tentu Siocia itu lihai bukan main melihat betapa pasukan perondanya saja sudah begitu lihai.

"Aku hendak ditangkap, tentu saja aku tak mau karena tidak merasa bersalah." jawabnya.

"Hi-hi-hik, ada nikouw bersikap kasar dan suka memainkan pedang. Sungguh lucu! Siocia tentu akan suka sekali melihatmu. Sukouw, siapa pun yang lewat di sini tanpa ijin harus ditangkap, maka tidak ada kecualinya, biar pun engkau seorang nikouw muda berkepala gundul, tetap saja harus menghadap Siocia."

"Aku tidak mau, kecuali kalau Siocia kalian itu datang sendiri ke sini, jika hendak bicara dengan pinni," kata Hong Ing dengan sikap angkuh.

"Bagus, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaianmu! Sambut golokku ini!" Wanita baju merah itu telah menerjang dengan goloknya. Gerakannya cepat dan mantap, maka Hong Ing tidak berani memandang rendah, langsung dia melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.

"Cringgg…!"

Bunga api berpijar dan keduanya terpental mundur, membuat Hong Ing semakin terkejut karena ternyata tenaga sinkang yang dikerahkannya tadi hanya seimbang saja dengan lawannya.

"Hi-hi-hik, bagus sekali! Tenagamu lumayan! Mari kita main-main sebentar!"

Gadis berbaju merah itu menyerang kembali setelah tertawa-tawa dan Hong Ing kini cepat mainkan ilmu pedangnya, memutar pedangnya secepat kitiran, menjaga diri sambil balas menyerang dengan dahsyat. Karena dia maklum bahwa biar pun hanya seorang pelayan, tetapi kepandaian Amoi ini benar-benar hebat dan amatlah memalukan kalau dia sampai kalah oleh seorang pelayan saja!

Hong Ing memainkan Ilmu Pedang Pek-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Putih) yang merupakan ilmu pedang kebanggaan subo-nya. Dan benar saja, begitu dia mainkan ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi-pai ini, wanita baju merah menjadi kaget dan mengeluarkan seruan nyaring, kemudian goloknya dimainkan sedemikian rupa yang membuat Hong Ing terheran-heran dan kagum.

Ilmu golok itu sangatlah aneh dan lucunya, kelihatannya kacau-balau akan tetapi justru kekacau balauan gerakan ini yang membuat lawan menjadi bingung! Di balik kekacauan ini terdapat gerakan inti yang sangat kuat, membuat gadis itu mampu menangkis semua serangan pedang Hong Ing, bahkan membalas dengan tiba-tiba, tak terduga-duga dan tak kalah dahsyatnya! Semua ini dilakukan oleh gadis baju merah itu sambil terkekeh-kekeh genit!

Dengan penasaran sekali Hong Ing lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, lantas menerjang maju sambil memainkan jurus yang paling berbahaya dari Pek-eng Kiam-hoat. Pedang itu mula-mula menangkis golok lawan yang menyambar, lalu dari tenaga lawan yang dipinjamnya, pedangnya meluncur ke atas, berputaran dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung, kemudian sinar ini kembali meluncur ke bawah dengan gerakan masih membentuk lingkaran akan tetapi dari lingkaran itu menyambar cahaya kilat ke arah dua tempat secara bertubi dan susul-menyusul, demikian cepatnya hingga hampir berbareng, yaitu ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan tusukan yang disambung dengan babatan ke arah leher. Inilah jurus yang dinamakan Pek-eng To-coa (Garuda Putih Mematuk Ular), sebuah jurus pilihan yang amat sukar dihindarkan lawan saking cepatnya dua serangan susul-menyusul itu.

"Hi-hi-hik... haiii...!”

“Cringgg... trangg...!"

Gadis baju merah yang tadinya terkekeh itu menjerit kaget, cepat menggunakan goloknya menangkis dua kali, namun karena agak terlambat, goloknya terlepas dari pegangannya dan pada saat itu juga, sambil terkekeh lagi gadis itu sudah menubruk maju dan hendak memeluk pinggang Hong Ing!
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 27

Petualang Asmara Jilid 27
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, mulai dari ubun-ubun kepala sampai telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa di mana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.

Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa-apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara makhluk-makhluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang kala terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!

Pada keesokan harinya, sesudah cahaya matahari pertama memasuki kuil, nampak Kun Liong duduk bersandar di dinding, dan Hwi Sian rebah terlentang di atas lantai. Keduanya tak mengeluarkan kata-kata, dan Kun Liong membelai rambut Hwi Sian yang kusut masai itu.

Wajah keduanya agak pucat, tapi di balik kepucatan wajah Hwi Sian, terbayang kepuasan dan kebahagiaan yang membuat bibirnya tersenyum, ada pun mata yang masih kelihatan mengantuk itu mengeluarkan cahaya berseri, biar pun ada air mata di pipinya.

Kun Liong kelihatan tidak sebahagia Hwi Sian. Walau pun dia kelihatan masih terpesona oleh pengalaman luar biasa yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, namun terbayang kekhawatiran dan keraguan pada wajahnya yang agak pucat. Barulah teringat olehnya sekarang betapa mereka berdua sudah menjadi seperti orang mabuk, tidak ingat akan sesuatu kecuali pencurahan gairah hati, menuruti nafsu birahi tak kunjung berhenti sampai semalam suntuk.

Baru dia meragukan, apakah yang diperbuatnya bersama Hwi Sian itu bukan merupakan suatu perbuatan yang amat kotor dan jahat? Dengan keras dia menggeleng kepalanya! Dia tidak melakukan sesuatu paksaan! Dan bahkan lebih dari itu, dia terpaksa oleh Hwi Sian yang mengancam akan membunuh dirl!

Dan bagi Hwi Sian sendiri? Berdosakah dia? Kotorkah perbuatannya itu? Hinakah wanita ini yang ingin menyerahkan tubuhnya dengan suka rela kepada laki-laki yang dikasihinya sebelum dia terpaksa menyerahkan diri kepada pria lain yang tidak dicintanya akan tetapi yang harus menjadi suaminya? Entahlah, Kun Liong tak mampu menjawabnya.

"Kun Liong..." Suara Hwi Sian lirih dan serak, suara orang yang kurang tidur dan amat kelelahan.

"Hemmm..."

"Aku... aku tidak bisa berpisah darimu lagi...!"

"Heiii!" Kun Liong melepaskan pelukannya, lalu menjauhkan diri dan cepat membereskan pakaiannya. "Jangan begitu kau, Hwi Sian! Betapa pun aku masih percaya bahwa kau adalah seorang wanita gagah yang takkan melanggar janji!"

Hwi Sian tersenyum masam, membereskan pakaiannya dan duduk berhadapan dengan Kun Liong, lalu dia mengangkat kedua tangan membereskan rambutnya. Melihat gadis itu mengangkat kedua lengan membereskan rambut, melihat wajah kusut yang agak pucat, melihat mulut yang membayangkan kepahitan, merupakan penglihatan yang amat mesra dan hampir meluluhkan hati Kun Liong. Ingin dia mendekap Hwi Sian, menciuminya dan menghiburnya, mengatakan bahwa dia selamanya takkan meninggalkannya. Akan tetapi dia tahu bahwa hal ini hanyalah seretan perasaan sejenak saja, maka dia tidak membuka mulut.

"Kun Liong," berkata Hwi Sian setelah selesai menyanggul rambutnya sehingga kelihatan manis sekali. "Aku tadinya mengharap, sesudah peristiwa semalam, kalau-kalau engkau akan jatuh cinta kepadaku. Akan tetapi aku lupa bahwa engkau adalah seorang pria yang luar biasa, yang jujur dan tidak pernah mengingkari kata-kata sendiri. Akan tetapi aku.... ahhh, betapa makin mendalamnya perasaan cintaku mengukir di dalam hatiku. Betapa mungkin aku dapat berpisah darimu, Kun Liong?"

"Hwi Sian!" Kun Liong berkata agak keras. "Ingatlah bahwa engkau yang minta sehingga terjadi peristiwa tadi malam. Engkau tahu bahwa aku melakukannya bukan semata-mata karena aku memang suka kepadamu, bahwa aku memang suka melakukannya, akan tetapi terutama sekali karena hendak menolongmu terhindar dari kenekatanmu. Karena itu, sekarang berjanjilah bahwa engkau takkan membunuh diri dan akan baik-baik menjadi isteri Tan-enghiong."

Mata itu terpejam dan air matanya tertumpah keluar seperti diperas oleh bulu-bulu mata yang panjang itu. Kepalanya mengangguk dan bibirnya berbisik, "Aku berjanji."

"Kau bersumpah?"

"Aku bersumpah."

"Nah, begitulah baru Hwi Sian seperti yang kukenal dan kupercaya! Kau yakinlah bahwa selamanya aku takkan lupa kepadamu, Hwi Sian, dan dengan sepenuh hatiku aku doakan semoga kau dapat menemukan bahagia bersama Tan-enghiong. Percayalah bahwa cinta yang kau kira terukir dalam hatimu terhadap aku itu akan mudah terhapus oleh ukiran cinta lain yang mungkin kau temukan bersama Tan-enghiong..."

"Tidak mungkin!" Hwi Sian berseru dengan suara merintih dan dia menangis!

"Jangan bilang tidak mungkin. Cinta seperti ini, yaitu mencintai sesuatu akan tertutup oleh cinta kepada sesuatu yang lainnya lagi. Cinta seperti yang kau rasakan terhadap diriku hanyalah nafsu birahi yang didorong oleh rasa suka dan kecocokan, yang kita sebut cinta dan cinta seperti itu takkan kekal. Hari ini cinta, besok bisa berubah menjadi benci. Aku tidak cinta kepadamu, aku hanya suka dan kasihan kepadamu, karena itu apa pun yang terjadi, aku tidak akan bisa benci kepadamu. Cinta yang bersifat memiliki bukanlah cinta, karena memiliki berarti kehilangan, memiliki berarti kecewa dan sengsara apa lagi menjadi benci. Nah, lebih baik kita berpisah di sini, Hwi Sian. Selamat tinggal."

"Kun Liong...!"

Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.

"Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia bila mana hidup di samping Tan-enghiong dari pada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan yang jauh lebih berat dari pada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!" Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.

"Kun Liong...!" Hwi Sian mengeluh dan menangis.

Tidak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tubuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.

********************

Sesudah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya di dalam hutan yang sunyi itu.

Pikirannya melayang-layang, mengenangkan kejadian semalam. Kejadian luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, begitu pula bagi Hwi Sian, dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya.

Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... dan semakin dibayangkan, maka makin khawatir pula hati Kun Liong sehingga mulailah dia menyesali kelemahannya, mengapa dia sampai membiarkan dirinya terseret.

Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu birahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu birahi? Hwi Sian mengajaknya dengan suka rela, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana?

Dia bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka, dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu birahi tanpa kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu birahi, jangan-jangan kelak dia akan menjadi seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!

"Dessss! Kraaaakkkk!"

Suara hatinya ‘tidak sudi’ tadi disuarakan melalui mulutnya, lantas diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!

"Tentu aku telah gila!" katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput, mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung.

Harus diakuinya bahwa sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Dan sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapa pun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!

Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah, dan di antaranya adalah wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia apa bila dia senang mencium yang harum-harum dan sedap, di antaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, di antaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia senang menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari-cari! Rasa suka akan semua itu memang telah ada padanya!

Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, biar pun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Apa bila dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?

"Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!" Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!

Dan sesudah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur. "Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!"

Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, sesudah apa yang mereka perbuat bersama tadi malam. Akan tetapi setelah melihat bahwa ternyata yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!

"Ahh, tidak... Nona. Saya... sedang latihan... dan... ehh…, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu..."

Giok Keng meragu untuk menjawab. Bagaimana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini terus mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh dan akhirnya berhasil memancing Giok Keng untuk mengejarnya dengan perahu, meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan.

Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali apa bila dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu. Hari sudah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat.

Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata, "Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal aku cinta padamu, Nona. Hingga kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk bisa berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?"

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah dari pada dahulu! Dia sendiri sangat heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apa lagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat!

Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak, "Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang sangat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!"

"Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andai kata kepandaianku lebih tinggi sekali pun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona."

"Singggg...!"
Giok Keng sudah mencabut pedangnya sehingga nampaklah sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) sudah terhunus.

"Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!" Dara itu membentak.

"Srettt...!" Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah.

"Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku."

Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya bahkan membuang pedang, hatinya menjadi terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biar pun hatinya terguncang, dia masih membentak,

"Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!"

Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini sangat tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya. "Silakan serang dan bunuhlah aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia."

"Siapa yang percaya bujukanmu? Mampuslah!" Giok Keng sudah menerjang maju, cepat menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.

"Aihhhhh...!"

Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong!

Pada saat Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.

"Ahhh... apa yang kau lakukan...? Kenapa kau tidak mengelak? Kenapa tidak menangkis? Kenapa...?" Giok Keng terbelalak, cepat melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya itu sudah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!

"Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya..."

"Hemmm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kau bunuh pun aku akan rela, karena biar pun kau benci, aku tetap cinta padamu..."

Giok Keng telah mengeluarkan sapu tangannya. "Bodoh! Siapa benci padamu?" katanya.

Tanpa berbicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan sapu tangannya. Mula-mula ditaruhnya obat luka yang selalu dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan sapu tangannya yang bersih untuk menutupi luka itu, lantas membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darah berhenti mengucur dari luka itu.

"Nona... nona... Giok Keng... benarkah hal itu? Benarkah kau tidak membenciku?" Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga terdengar menggetar penuh perasaan. "Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?"

Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya. "Entahlah..."

Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya secara halus agar muka itu tengadah. "Giok Keng... Moi-moi... kau pandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta kepadaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?"

Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.

"Moi-moi...!" Bu Kong mengecup kedua pipi dara itu, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.

Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulus hati, dengan hati yang penuh bahagia, merasa dicinta dan mencinta.

Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan.

"Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta kepadamu... dan kalau kau anggap bahwa perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar penderitaanku berakhir...!"

Wajah yang pucat itu kembali menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya agar dapat berbicara, suaranya gemetar, "Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!"

Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Ia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dara itu berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya.

Semalam suntuk dia terus melanjutkan perjalanannya sampai pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air sungai yang jernih sambil menangis!

"Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula kau menangis?" Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalaman telah mengganggu pikirannya.

Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.

"Hwi Sian, ada apakah?" kembali dara ini mendesak penuh keheranan.

"...aku cinta kepadanya... hu-hu-huuh, aku cinta kepadanya..." Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya ‘aku cinta padanya’ yang dikatakan berkali-kali.

Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian sungguh-sungguh menangis, dia segera memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!

"Siapa? Siapa yang kau cinta itu?"

"Aku cinta kepadanya... aaahhh, aku cinta kepadanya!" Hwi Sian berkata lagi.

Giok Keng menjadi tidak sabar. "Ke mana dia sekarang?"

"Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta kepadanya tapi dia pergi..."

"Ke mana?"

Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.

Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan pohon dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak.

"Tidak sudi!" dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya.

Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran,

"Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!"

"Cia Giok Keng, apa maksudmu?" Kun Liong bertanya dan memandang heran.

"Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!"

Seketika pucatlah wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. ternyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Kenapa kau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sangat mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?"

Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang kemudian berkata,

"Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?"

"Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?"

"Dia sudah bertunangan dengan Ji-suheng-nya..."

"Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu akan menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdua yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!" Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong. "Apa lagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan..."

"Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku sudah bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti."

Giok Keng menarik napas panjang. "Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kau bacalah ini dulu." Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.

Pemuda gundul ini menjadi semakin heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.

"Karena ayah ibumu telah meninggal dunia, sebagai supek-mu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng."

Dia dijodohkan dengan Cia Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang amat manis bentuknya!

Namun, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai sepasang suami isteri, tidak bebas hidup lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalah pahaman yang lain, dia merasa ngeri juga!

Kemudian dia teringat akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini!

Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya,

"Engkau sudah tahu tentang ini?" Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.

"Dan bagaimana pendapatmu?"

Giok Keng menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu."

"Engkau agaknya tidak setuju."

"Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?"

"Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian."

"Dan kau... kau... ehh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?"

"Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba."

Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam sekarang memandang penuh selidik seakan-akan hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan, "Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?"

Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul. "Aku tidak mencinta siapa pun, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh dari pada cinta seperti yang kau maksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!"

Sepasang mata itu memandang makin tajam pada saat Giok Keng bertanya lagi, "Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?"

Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini. "Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan..."

"Sebetulnya aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja dan pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?"

"Aihh…, harap kau jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu sudah terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berhenti bekerja. Mengertikah kau?"

Giok Keng mengangguk-angguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaan. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong. Namun pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, meski dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!

"Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?"

Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk. "Tentu saja aku suka!"

Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah. "Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?"

"Mengapa tidak?" Kun Liong cepat menjawab dengan terus terang pula. "Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguh pun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apa lagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu."

Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apa lagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai merasa bingung dan menduga-duga, apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?

"Kun Liong, sebetulnya bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau seorang pria suka kepada seorang wanita atau pun sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebetulnya dan apakah cinta itu?"

Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan. "Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti di dalam hatinya akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apa lagi menikah! Setahuku, wanita merupakan makhluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bisa bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, maka celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguh pun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng."

Sepasang alis Giok Keng berkerut. Betapa tak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!

"Kun Liong...!" Tegurnya dengan kemarahan ditahan.

"Hemmm..."

"Kurasa engkau ini seorang yang..."

"Ya...?"

"Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!"

Makin lebar mata Kun Liong, apa lagi mendengar makian terakhir itu. "Kepala angin?"

"Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Tadi kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah mengenai cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!"

"Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah di dalam hati wanita hanya ada dua macam perasaan itu? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?"

Giok Keng merasa semakin bingung dan marah. "Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta bila kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?"

"Ehh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran..."

"Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!"

"Benarkah? Sayang sekali."

"Akan tetapi aku pun amat berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong."

"Ehh, apa pula ini? Muak dan benci akan tetapi berterima kasih?"

"Setelah kau menyatakan dengan jujur bahwa kau tidak cinta kepadaku, tentu kita tidak setuju dengan ikatan jodoh di antara kita yang diadakan oleh ayah ibuku."

"Ya, begitulah."

"Dan kau tentu suka untuk menyatakan secara terus terang pula kepada ayahku bahwa kau tidak bisa menerima ikatan jodoh ini karena kau tidak cinta padaku, dan aku pun tidak cinta padamu."

Kepala Kun Liong mengangguk-angguk. "Sudah sepatutnya begitu. Aku akan menghadap ayahmu dan aku akan minta agar ikatan jodoh kita ini dibatalkan."

Giok Keng bersorak girang, meloncat dan merangkul Kun Liong, lalu... mencium kepala gundulnya!

"Terima kasih, Kun Liong. Terima kasih!"

Dia meloncat pergi dan berlari dari tempat itu, sehingga Kun Liong yang termangu-mangu, bengong meringis bingung dan mengusap-usap kepala gundulnya yang dicium tadi. Dia makin tidak mengerti akan perangai wanita, terutama Giok Keng!

********************

Dua orang wanita muda itu beristirahat di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan itu. Mereka telah tiba di kaki Pegunungan Go-bi-san yang amat luas, penuh dengan hutan lebat dan amat sunyi itu. Mereka adalah Pek Hong Ing dan suci-nya, Lauw Kim In.

Wajah keduanya muram dan Pek Hong Ing masih mengenakan pakaian seorang nikouw. Juga wajah Kim In yang cantik manis itu kelihatan muram sekali dan pandang matanya selalu menghindar dari sumoi-nya.

Semenjak kecil mereka berdua sudah menjadi murid Go-bi Sin-kouw, tinggal bersama di pegunungan sunyi, selalu rukun dan saling mencinta bagaikan kakak beradik. Maka dapat dibayangkan betapa duka hati Kim In bahwa dia terpaksa harus menangkap sumoi-nya dan memaksanya menghadap subo mereka, padahal dia tahu benar bahwa sumoi-nya itu tidak suka dinikahkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang usianya telah lima puluh tahun itu. Sedih hatinya memikirkan nasib sumoi-nya.

Akan tetapi dia pun marah dan penasaran sekali melihat sumoi-nya yang sudah menjadi nikouw itu bersenda gurau dengan seorang pemuda tampan berkepala gundul! Andai kata dia tidak melihat mereka dan hatinya yakin bahwa mereka bermain gila, agaknya dia tetap tidak akan tega menangkap sumoi-nya dan dia akan pulang dengan tangan kosong, nekat akan membohongi gurunya bahwa dia gagal mencari sumoi-nya! Akan tetapi, perbuatan sumoi-nya bermain cinta dengan pemuda gundul aneh yang luar biasa itu membuat dia merasa penasaran dan marah sekali.

"Suci, telah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa Kun Liong bukan seorang hwesio...," terdengar suara Hong Ing penuh kedukaan.

Suci-nya tidak menoleh, hanya menghela napas dan diam saja. Hening sekali keadaan di situ dan akhirnya Kim In berkata lirih,

"Mungkin dia bukan hwesio, mungkin hanya seorang pemuda ugal-ugalan yang sengaja menggunduli kepalanya. Akan tetapi apa bedanya? Tetap saja engkau bermain dengan dia, padahal engkau sudah menjadi nikouw. Betapa memalukan hal ini, Sumoi. Sebagai enci-mu, tentu saja hal ini merupakan tamparan hebat dan aku malu sekali. Apa bila aku tak sayang kepadamu, bukankah perbuatan itu sudah cukup bagiku untuk menjadi alasan membunuhmu? Akan tetapi aku tidak tega, maka aku hanya akan membawamu kembali kepada Subo. Selanjutnya terserah kepada Subo, dan aku pun tidak akan menceritakan tentang peristiwa di balik semak-semak itu."

"Suci, engkau benar kejam sekali! Pernahkah aku membohong kepadamu semenjak kita menjadi saudara di Go-bi-san! Kami tidak bermain gila seperti yang Suci sangka. Memang aku tidak dapat menahan ketawa, dan kami berdua tertawa itu sama sekali bukan sedang main gila, bermain cinta atau bersenda gurau seperti yang kau duga. Dia memang lucu sekali..."

"Ya, lucu dan tampan!"
"Aihhh Suci. Bukan demikian maksudku. Kalau engkau sendiri mendengar kata-katanya, sikap dan pandangan hidupnya, tentu engkau akan tertawa juga. Kun Liong seorang yang baik, Suci. Pertama-tama aku bertemu dengannya adalah ketika aku terluka parah oleh jarum beracun dari Ouwyang Bouw putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan dia yang telah mengobatiku secara luar biasa! Dan tahukah engkau bagaimana aneh dan lucunya? Katanya, kepalanya menjadi gundul juga karena jarum beracun Ouwyang Bouw itu! Aku telah berhutang budi kepadanya, maka ketika aku melihat dia tertawan pasukan, aku lalu menolongnya. Dan kau melihat sendiri betapa dia kembali mengorbankan diri menolongku ketika huito-mu menyambar."

Kim In membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi sumoi-nya kemudian menatap wajah sumoi-nya dengan tajam penuh selidik, lalu bertanya lantang, "Sumoi, apakah kau jatuh cinta kepada pemuda gundul itu?"

Seluruh wajah yang cantik jelita dan kepala yang gundul kelimis itu menjadi merah sekali. Dengan suara gemetar Hong Ing menjawab, "Mengapa Suci bertanya demikian? Aku baru saja bertemu dengan dia. Aku kagum kepadanya, aku suka... akan tetapi, aku tidak tahu... tentang cinta... hemmm, entahlah."

"Itu tandanya kau mulai jatuh cinta. Hemm, laki-laki semua penipu, tidak dapat dipercaya! Jangan kau mudah menjatuhkan hati kepada seorang pria, Sumoi. Kau akan kecewa!"

Hong Ing memandang suci-nya dengan sinar mata penuh iba. "Aku tahu, Suci. Kau sakit hati karena kau pernah tertipu. Akan tetapi aku yakin sekali bahwa sampai detik ini pun kau masih... masih mencintanya."

Berubah wajah Kim In dan cepat dia menghapus dua titik air mata yang membasahi bulu matanya. "Memang, tetapi dia sudah mati. Andai kata dia masih hidup, belum tentu aku dapat memaafkan perbuatannya yang terkutuk itu! Berjinah dengan isteri muda Thian-ong Lo-mo! Cihh! Akan tetapi dia sudah mati dan bagaimana pun juga aku akan membalaskan kematiannya kepada Thian-ong Lo-mo."

"Tapi kabarnya kakek itu lihai sekali, Suci. Bahkan kabarnya tingkatnya seimbang dengan Subo."

"Pasti akan tiba masanya aku dapat membalaskan kematian tunanganku kepada kakek itu!" kata Kim In berkeras.

Tiba-tiba saja dua orang dara yang cantik itu meloncat berdiri dan memutar tubuh. Mereka mendengar suara langkah kaki orang, akan tetapi ketika mereka meloncat dan memutar tubuh, tidak ada bayangan orangnya! Selagi mereka terheran-heran dan saling pandang, di sebelah belakang mereka terdengar suara orang tertawa, suara tawa seorang laki-laki!

Cepat mereka kembali memutar tubuh dan... mereka tidak melihat apa-apa di situ kecuali pohon-pohon yang lebat dan sunyi. Padahal gema suara ketawa itu masih terdengar oleh mereka.

Kim In dan Hong Ing saling pandang dan merasa ngeri. Mereka tak percaya akan adanya setan. Telah belasan tahun mereka tinggal di Pegunungan Go-bi-san, telah belasan tahun mereka mengenal hutan-hutan lebat tetapi belum pernah mereka bertemu setan. Sebagai murid-murid orang pandai, mereka tahu bahwa mereka kini berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Harap Locianpwe suka memperlihatkan diri kalau ada keperluan dengan kami berdua murid Subo Go-bi Sin-kouw!" Kim In berkata dengan sikap hormat akan tetapi dengan suara berwibawa mengandalkan nama besar subo-nya.

Tiba-tiba saja kembali terdengar suara tertawa bergelak di belakang mereka. Pada waktu mereka memutar tubuh, mereka berdua menjadi bengong keheranan karena yang disebut locianpwe (orang tua gagah) oleh Kim In itu ternyata adalah seorang lelaki muda, berusia paling banyak dua puluh lima tahun, berwajah tampan, bertubuh tegap, dan pakaiannya mewah!

"Ha-ha-ha-ha, kukira tadi dua orang bidadari penunggu hutan yang berada di sini, kiranya dua orang wanita yang cantiknya bahkan melebihi bidadari. Hemmm, meski yang seorang menjadi nikouw, namun cantik juga."

Melihat pemuda itu, segera muka Hong Ing berubah dan dengan desis marah dia berkata, "Engkau... Ouwyang Bouw!"

Pemuda itu memang Ouwyang Bouw. Terkejut juga dia mendengar namanya disebut oleh nikouw muda itu, akan tetapi dia tersenyum kemudian berkata, "Engkau telah mengenal namaku, Nikouw muda? Bagus sekali. Aku memang Ouwyang Bouw."

Kim In langsung mencabut pedangnya, bahkan dia melemparkan pedang ke dua kepada sumoi-nya. Mendengar bahwa pemuda inilah yang pernah melukai sumoi-nya, apa lagi bahwa pemuda ini adalah putera datuk sesat Ban-tok Coa-ong, dia sudah menjadi marah sekali walau pun diam-diam dia kagum bukan main menyaksikan kepandaian pemuda ini yang dapat muncul tanpa mereka ketahui.

"Kiranya anak datuk kaum sesat yang pernah melukaimu, Sumoi. Mari kita hajar dia!"

Sambil berkata demikian, tubuh Kim In sudah berkelebat ke depan. Dia sudah menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan kilat ke arah tenggorokan Ouwyang Bouw. Namun sambil terkekeh, dengan mudahnya Ouwyang Bouw mengelak dan memang pemuda ini memiliki ginkang yang amat tinggi.

Pada saat Hong Ing juga menerjang maju, pemuda itu masih enak-enak melayani kakak beradik seperguruan itu dengan mengandalkan kegesitannya, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sambil tertawa-tawa.

"Ehh, tahan dulu! Aku mau bicara!" Tiba-tiba saja dia meloncat ke belakang sedemikian cepatnya sehingga dua orang dara itu mendadak kehilangan lawan, dan baru tahu setelah Ouwyang Bouw berdiri belasan meter jauhnya di depan mereka.

"Hemm, bicara apa lagi?" bentak Kim In, dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya gagah sekali.

"Aku baru datang, tidak merasa mengganggu kalian, mengapa kalian memusuhiku?"

"Tidak mengganggu, ya?" Hong Ing menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu. "Lupakah kau ketika bersama ayahmu kau datang ke Kuil Kwan-im-bio, membunuh Biauw Kui Nikouw ketua kuil, kemudian secara menggelap menyerangku dengan jarum merah beracun?"

Berkerut alis Ouwyang Bouw dan sepasang matanya yang liar itu sejenak menghentikan gerakannya, seolah-olah sedang mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,

"Aihh, kiranya engkaukah itu? Aku tidak tahu, kalau aku tahu bahwa dia itu engkau yang cantik jelita ini, tentu aku tak akan menyerangmu dengan jarum! Wah, kau lihai juga dapat menyelamatkan diri dari jarumku. Dengar, jangan menyerang dulu. Kalian tak akan dapat menang. Dengar lebih dulu kata-kataku. Aku sekarang hidup sebatang kara. Teringat aku betapa Ayah dahulu sering kali membujukku untuk memilih seorang gadis yang baik dan menikah. Tadi aku melihatmu, Nona, dan mendengar engkau menaruh dendam kepada Thian-ong Lo-mo." Dia memandang Kim In dengan sinar mata kagum. "Ha-ha, tua bangka itu sudah hampir mampus di Telaga Kwi-ouw, akan tetapi kakek licin itu masih berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan pemerintah dan kini bersembunyi. Hanya aku yang tahu tempatnya. Nona, begitu melihatmu, aku tertarik sekali kepadamu. Kau gagah dan cantik, terbayang kekerasan hati di balik kelembutan dan kehalusan kulitmu. Hebat! Aku sudah jatuh cinta padamu, Nona, dan aku tahu, hanya engkaulah yang pantas untuk menjadi isteriku!"

"Tutup mulutmu, keparat!" Kim In sudah menerjang dengan dahsyat, dan sumoi-nya juga cepat membantu suci-nya mengeroyok pemuda yang lancang mulut dan kurang ajar itu.

"Trang-cringgg...!"

Dua orang dara itu meloncat mundur ke belakang dengan terkejut ketika merasa betapa telapak tangan mereka terasa panas sesudah pedang mereka tertangkis oleh sebatang pedang yang bentuknya seperti ular.

"Ha-ha-ha, percuma saja kalian melawan. Biar subo kalian tak akan menang bertanding melawanku!" Ouwyang Bouw mengejek.

Kim In yang sudah marah sekali, kembali menerjang dibantu oleh Hong Ing. Terjadilah pertandingan yang hebat, namun Ouwyang Bouw hanya menggunakan pedangnya untuk melindungi tubuh, sama sekali tidak mau membalas. Bahkan dia masih dapat berbicara seenaknya.

"Nona, sampai mati kau tak akan mampu melawan Thian-ong Lo-mo. Jadilah isteriku dan aku akan menyeret tua bangka itu ke depan kakimu!"

"Keparat!" Kim In berteriak lagi dengan marah.

Kini dia menggunakan jurusnya yang paling ampuh untuk menyerang lawan yang tangguh ini. Juga Hong Ing menjadi marah dan membantu suci-nya, menyerang sekuat tenaga.

"Cring! Cringgg... aughhh...!"

Dua orang dara itu roboh tak dapat bergerak lagi karena telah terkena totokan jari tangan kiri Ouwyang Bouw yang lihai bukan main itu.

Kedua orang dara itu memandang dengan mata melotot, setengah ngeri ketika Ouwyang Bouw berlutut di dekat mereka sambil tertawa-tawa. Dengan tangan kiri Ouwyang Bouw mengelus dagu Kim In, memandang penuh kagum dan dia berkata,

"Bagaimana, Nona? Apakah aku masih kurang lihai dan kurang berharga untuk menjadi suamimu? Maukah kau menjadi isteriku, isteri tercinta dan aku bersumpah untuk menjadi seorang suami yang setia, yang baik, yang akan menuruti segala kehendakmu, manis?"

"Tidak sudi!" bentak Kim In yang memang sudah merasa sakit hati terhadap pria setelah tunangannya itu menyeleweng. Dia dapat bicara akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

"Hemm, begitukah? Aku jatuh cinta padamu, tidak seperti kepada wanita lain. Aku tidak suka memaksamu, juga tidak tega memperkosamu. Akan tetapi jika kau tidak menerima lamaranku secara baik-baik, apa boleh buat! Apa bila kau tetap berkeras tidak mau, akan kubunuh sumoi-mu ini, sebab aku ngeri untuk memperkosa seorang nikouw, takut kelak di neraka mengalami hukuman yang terlampau berat! Sesudah membunuh sumoi-mu, aku akan memperkosamu, biar pun dengan hati terluka, dan hendak kulihat apakah kau akan terus berkeras hati menolakku." Setelah berkata demikian, Ouwyang Bouw menghampiri Hong Ing.

Dara ini sama sekali tidak takut menghadapi kematian, tapi mati secara konyol demikian sungguh mengerikan dan membuat dia penasaran. Kalau dia mati dalam pertandingan, hal itu bukan apa-apa. Namun benar-benar mengerikan juga untuk mati dalam keadaan tertotok seperti itu, maka dia memandang pemuda yang menghampirinya itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Ha-ha-ha, dahulu engkau dapat menyelamatkan diri dari jarum-jarumku, bukan? Mungkin hanya mengenai bagian yang tidak berbahaya. Sekarang hendak kulihat, apakah goresan jarum-jarumku di dadamu akan dapat kau pertahankan. Ha-ha-ha!"

Sambil tertawa-tawa, Ouwyang Bouw mengeluarkan dua batang jarum kecil merah. Jari tangan kirinya bergerak cepat dan... jubah pendeta yang menutupi dada Hong Ing sudah terbuka, memperlihatkan pakaian dalamnya berikut belahan dadanya yang membusung keluar. Ketika pemuda itu sudah mengangkat jarum ke atas hendak diguratkan pada kulit dada yang membusung dan halus itu, tiba-tiba Kim In menjerit.

"Tahan dulu!"

"Ha-ha-ha, kau kasihan kepada sumoi-mu, Manis? Baik benar hatimu, dan aku menjadi makin cinta kepadamu."

Kim In mengerutkan alisnya sambil memutar otaknya yang sejak tadi sudah menimbang-nimbang. Jelas bahwa pemuda ini amat lihai, mungkin tidak kalah oleh subo-nya dan tidak kalah oleh Thian-ong Lo-mo! Keadaan dia dan sumoi-nya sudah tak berdaya sama sekali. Sumoi-nya tentu akan tewas dalam keadaan tersiksa dan mengerikan, dan bagaimana dia akan dapat menghindarkan dirinya dari perkosaan dan penghinaan? Kini hanya ada satu jalan, yaitu menerima lamaran pemuda itu yang betapa pun juga merupakan seorang pemuda yang tampan, tegap dan gagah.

"Aku mau menerima pinanganmu, akan tetapi dengan tiga syarat!" katanya.

Sekali meloncat, Ouwyang Bouw sudah menghampiri Kim In, tangannya bergerak dan dara itu telah terbebas dari totokan. Kim In bangkit berdiri, dibantu oleh Ouwyang Bouw dengan gerakan lemah lembut dan mesra, kelihatannya gembira bukan main mendengar kesanggupan Kim In.

"Apakah syaratnya, Manis!"

"Pertama, kau harus membebaskan sumoi."

"Suci! Jangan korbankan diri untukku!" Hong Ing berseru ngeri.

"Tidak, Sumoi. Hanya inilah jalan terbaik, untukmu dan juga untukku. Kau bebas dan asal kau menjadi nikouw dan bersembunyi di dalam bio yang terasing, kiranya Subo tidak akan dapat menemukanmu," kata Kim In sambil menarik napas panjang.

"Dan... kau...?" Hong Ing berbisik dengan mata terbelalak.

"Aku...? Tak perlu kau memikirkan aku. Aku akan menjadi isterinya kemudian aku akan membalas dendam kepada musuh-musuhku."

"Apakah syaratnya yang ke dua dan ke tiga? Syarat pertama tentu saja kulaksanakan sekarang juga!" Ouwyang Bouw yang kegirangan itu sudah meloncat ke dekat Hong Ing dan berkata, "Adikku yang baik, sumoi-ku. Maafkanlah cihu-mu (kakak iparmu), ya?" Dia membebaskan totokan Hong Ing dan dengan sopan menutupkan kembali jubah Hong Ing yang terbuka!

Hong Ing bangkit berdiri, cepat menalikan lagi ikat pinggangnya dan memandang suci-nya dengan muka pucat. Sungguhkah suci-nya hendak mengorbankan diri seperti itu, menjadi isteri pemuda gila putera datuk sesat itu?

"Syarat ke dua, mulai saat ini engkau harus tunduk kepada semua keinginanku."

"Baik, baik, tentu aku akan tunduk kepada keinginan isteriku yang tercinta."

"Dan syarat ke tiga, engkau harus menurunkan seluruh kepandaianmu kepadaku."

"Ha-ha-ha, isteriku yang manis. Tentu saja! Aku menerima semua syarat itu!"

"Bersumpahlah!"

Ouwyang Bouw lalu berlutut dan bersumpah. "Disaksikan Langit dan Bumi, aku Ouwyang Bouw bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama... ehh, siapa namamu?"

Mau tak mau Kim In merasa geli hatinya sedangkan Hong Ing memandang ngeri.

"Namaku Lauw Kim In."

"Wah, namanya seindah orangnya!"

"Teruskan sumpahmu."

"O ya... aku bersumpah untuk memenuhi semua keinginan isteriku yang bernama Lauw Kim In dan mengajarkan semua ilmuku kepadanya. Kalau aku melanggar sumpah, biar aku tidak akan lama menjadi suaminya!"

Dia meloncat bangun dan langsung merangkul dan mencium pipi Kim In! Muka gadis ini menjadi merah sekali, segera berpaling kepada sumoi-nya dan berkata, "Nah, Sumoi. Kau pergilah, dan semoga kau berbahagia dengan... Kun Liong..." Dia mengusap air matanya dan berkata kepada Owyang Bouw. "Mari kita pergi!"

"Isteriku yang tercinta!" Owyang Bouw bersorak dan langsung memondong tubuh Kim In, berjingkrak seperti anak kecil. "Isteri yang manis, Kim In... Moi-moi..., mari kita berbulan madu di puncak gunung... di tepi telaga... ha-ha-ha-ha...!" Cepat seperti terbang pemuda yang memondong tubuh Kim In itu berlari dan lenyap dari depan Hong Ing yang masih bengong dengan air mata mengalir turun membasahi kedua pipinya.

Peristiwa itu seperti mimpi saja bagi Hong Ing. Sungguh merupakan hal yang sama sekali tak terduga-duga. Begitu saja pemuda itu datang, dan begitu saja terjadi perubahan hebat dalam hidup Kim In dan dia sendiri! Dalam beberapa menit saja keadaan hidup mereka telah berubah sama sekali, dan sedikit pun hal itu tidak pernah mereka sangka. Betapa anehnya hidup! Begitu saja kini suci-nya menjadi isteri Ouwyang Bouw, ada pun dia yang sudah putus asa kini bebas sama sekali!

Dengan jantung berdebar-debar Hong Ing menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput. Dia memikirkan keadaan suci-nya. Kenapa suci-nya demikian mudahnya menerima pinangan Ouwyang Bouw, pemuda yang meski pun tampan dan lihai sekali namun seperti berotak miring itu? Dia mengenangkan lagi apa yang baru saja terjadi, dan dia merasa terharu setelah dia mengerti akan keputusan yang diambil suci-nya.

Suci-nya ialah seorang yang telah patah dan hancur hatinya, patah oleh penyelewengan tunangan yang dicintanya, kemudian hancur oleh kematiannya. Hatinya penuh dirundung dendam terhadap Thian-ong Lo-mo yang sukar untuk dibalas dan dia selalu menantikan kesempatan untuk membalasnya. Lalu terjadilah peristiwa pertemuan dengan Ouwyang Bouw itu.

Agaknya dalam waktu singkat, suci-nya sudah dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan yang bulat. Kalau dia menolak, tentu Ouwyang Bouw akan membunuh Hong Ing dan kemudian akan memperkosanya, mungkin kemudian membunuhnya pula. Dan di samping bahaya ini, juga suci-nya menghadapi keadaan yang sangat tidak enak dengan memaksa Hong Ing kembali menghadapi subo mereka.

Kalau dia menerima, tidak saja Hong Ing akan terbebas, juga dia mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam kepada Thian-ong Lo-mo dan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat! Keuntungannya jauh lebih besar kalau dia menerima dan kerugiannya amat hebat kalau dia menolak. Itulah sebabnya!

Hong Ing menarik napas panjang. "Terima kasih atas pengorbananmu ini, Suci... semoga engkau berbahagia..."

Sambil menghapus air matanya, nikouw muda ini meninggalkan hutan, meninggalkan kaki Pegunungan Go-bi-san, menjauhkan diri dari tempat tinggal subo-nya di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san.

Akan tetapi karena pikirannya masih terpengaruh oleh peristiwa tadi dan dia merasa amat berduka mengenangkan nasib suci-nya, Hong Ing salah jalan. Benar dia menjauhi puncak tempat tinggal subo-nya, akan tetapi dia malah memasuki daerah lain dari Pegunungan Go-bi-san yang belum dikenalnya, daerah selatan yang penuh dengan hutan-hutan besar dan kabarnya merupakan daerah yang sukar dan sangat berbahaya sehingga subo-nya sendiri sering kali mengatakan agar kedua orang muridnya itu jangan memasuki daerah ini.

Hong Ing sadar bahwa dia salah jalan setelah malam tiba dan dia terseret dalam sebuah hutan yang amat lebat. Karena tidak mungkin mencari jalan keluar dalam cuaca gelap itu, terpaksa Hong Ing bermalam di hutan itu setelah mendapatkan sebuah goa yang cukup besar. Ia lalu membuat api unggun dan dapat pulas sejenak, cukup untuk menghilangkan lelahnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Ing sudah keluar dari goa dengan niat mencari buah yang dapat dimakan. Perutnya terasa lapar sekali. Setelah makan, baru dia akan mencari jalan keluar dari hutan itu.

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara berkeredepan disusul berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga belas orang wanita muda yang cantik-cantik mengurungnya! Melihat sikap mereka yang galak dan seperti arca hidup itu, Hong Ing terheran dan teringat bahwa dia adalah seorang nikouw, maka cepat dia merangkap kedua telapak tangannya dan berkata.

"Omitohud, mau apa Cuwi (Anda Sekalian) mengurung pinni (aku) yang sedang mencari buah untuk menghilangkan rasa lapar?"

Seorang di antara mereka melangkah maju. Mereka itu adalah gadis-gadis berusia antara lima belas sampai dua puluh lima tahun, ada yang membawa pedang, golok atau tombak, sikap mereka membuktikan bahwa mereka itu rata-rata pandai limu silat akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada pandangan mata mereka yang seperti pandang mata sebuah boneka!

"Nikouw (Nona pendeta) siapakah? Dan tidak tahukah bahwa engkau sudah melanggar wilayah kami tanpa ijin?" tanya wanita yang melangkah maju. Seperti semua temannya, pakaiannya amat indah akan tetapi berwarna kuning semua, dan rambutnya digelung dua di kanan kiri dan dibungkus sutera merah merupakan sepasang bunga mawar.

"Pinni adalah Pek Nikouw dan maafkan kalau pinni telah melanggar wilayah Cuwi karena sesungguhnya pinni tidah sengaja."

Wanita yang memimpin pasukan aneh ini bermain mata dengan teman-temannya, lalu berkata, "Kalau engkau bukan seorang nikouw, tentu sudah kami tangkap dan kami seret ke depan Siocia. Akan tetapi, karena engkau seorang nikouw, maka kami harap Sukouw suka ikut bersama kami menghadap Siocia (Nona) supaya nanti Siocia sendiri yang memutuskan."

Hong Ing adalah seorang dara perkasa, yang tentu saja memiliki keberanian besar dan mempunyai watak tidak mau dihina atau ditundukkan orang begitu saja. Sungguh pun dia berpakaian nikouw dan kepalanya gundul, akan tetapi dia menjadi nikouw akibat terpaksa, maka wataknya sebagai seorang dara perkasa masih tetap ada. Dia mengerutkan alisnya dan berdiri dengan tegak, memandang mereka dan berkata,

"Aturan apakah ini? Andai kata benar ini wilayah kalian, mana tanda-tandanya? Dan aku masuk ke sini bukan sengaja, kenapa hendak ditangkap? Kalau aku tidak mau ditangkap, kalian mau apa?"

Mendengar ini, tiga belas orang gadis itu berseru marah dan pemimpin mereka segera membentak, "Tangkap dia!"

Dua orang segera menubruk, akan tetapi dengan mudahnya Hong Ing mengelak sambil menggerakkan kaki tangannya menendang dan memukul. Akan tetapi alangkah kagetnya pada waktu melihat bahwa dua orang itu dapat pula mengelak dan menangkis serangan balasannya dan mulailah dia dikeroyok!

Dengan marah Hong Ing mencabut pedang pemberian suci-nya dan membentak. "Mundur semua, kalau tidak ingin mati di ujung pedangku!"

"Phuihh, perempuan sombong!" mereka membentak dan tiga belas orang wanita itu lantas menggunakan senjata masing-masing untuk mengeroyok Hong Ing.

Hong Ing cepat memutar pedangnya dan diam-diam dia terkejut karena ternyata olehnya bahwa biar pun kepandaiannya masih lebih tinggi dibandingkan dengan mereka ini, tetapi sebagai anak buah, tingkat mereka sudah cukup hebat dan jumlah mereka yang banyak membuat dia repot juga. Apa lagi karena senjata yang mereka gunakan ada tiga macam, ada yang menggunakan pedang, ada yang mainkan golok dan ada pula yang bersenjata tombak gagang panjang dan mereka semua merupakan ahli-ahli dalam mainkan senjata mereka.

Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus yang terpilih dari ilmu pedangnya supaya dapat melindungi diri dengan baik dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah lewat seratus jurus lebih, dia hanya dapat melukai pundak dua orang pengeroyok dan ini bukan berarti dia menjadi ringan karena dua orang itu walau pun sudah terluka, masih terus ikut mengeroyoknya!

Mulailah Hong Ing merasa khawatir dan menyesal mengapa dia tidak menyerah saja tadi. Kalau sekarang, dia pantang menyerah sebelum kalah karena sudah terlanjur bertanding. Siapa tahu, meski pun aneh mereka itu bukanlah golongan jahat dan orang yang mereka sebut siocia itu ternyata adalah seorang wanita sakti yang baik-baik! Dengan demikian, dialah yang kelihatan buruk, sebagai seorang melanggar ‘wilayah’ yang melawan dengan kekerasan ketika ditegur dan hendak dihadapkan kepada yang berkuasa di daerah itu!

"Hi-hi-hi, bodoh kalian, sekian lama mengeroyok seekor anjing gundul saja tidak mampu mengalahkannya. Mundurlah!"

Seruan ini disusul berkelebatnya bayangan merah dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah yang lebih cantik dari pada tiga belas orang tadi, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang memegang sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tiga belas orang yang mengeroyok Hong Ing tadi sudah mundur semua dan membentuk lingkaran lebar, berdiri sambil menonton.

Hong Ing memandang dara baju merah itu penuh perhatian, kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil berkata, "Omitohud... agaknya Nona yang disebut Siocia oleh mereka tadi."

Gadis itu tertawa terkekeh dan kagetlah hati Hong Ing melihat betapa gigi yang bentuknya bagus berderet rapi itu semua berwarna hitam, hitam mengkilap! Betapa sayang, pikirnya, gadis secantik itu giginya hitam semua. Dia tidak tahu bahwa warna giginya itulah yang menjadi kebanggaan gadis itu.

"Hi-hi-hik, bukan, Sukouw. Aku adalah Amoi, hanya pelayan ke dua dari Siocia. Pelayan pertama adalah Cici Acui. Mengapa engkau berkelahi dengan pasukan peronda kami?"

Hanya pasukan peronda! Dan hanya tiga belas orang dan dia tidak mampu menangkan mereka! Benar-benar hal ini membuat Hong Ing penasaran sekali. Dia sudah kepalang melawan, kalau sekarang berhadapan hanya dengan seorang pelayan saja dia bersikap mengalah, sungguh-sungguh amat memalukan. Lain lagi kalau umpamanya yang datang adalah Si Siocia yang menjadi kuasa daerah itu, kiranya lebih baik dia mengalah karena tentu Siocia itu lihai bukan main melihat betapa pasukan perondanya saja sudah begitu lihai.

"Aku hendak ditangkap, tentu saja aku tak mau karena tidak merasa bersalah." jawabnya.

"Hi-hi-hik, ada nikouw bersikap kasar dan suka memainkan pedang. Sungguh lucu! Siocia tentu akan suka sekali melihatmu. Sukouw, siapa pun yang lewat di sini tanpa ijin harus ditangkap, maka tidak ada kecualinya, biar pun engkau seorang nikouw muda berkepala gundul, tetap saja harus menghadap Siocia."

"Aku tidak mau, kecuali kalau Siocia kalian itu datang sendiri ke sini, jika hendak bicara dengan pinni," kata Hong Ing dengan sikap angkuh.

"Bagus, ingin kulihat sampai di mana sih kepandaianmu! Sambut golokku ini!" Wanita baju merah itu telah menerjang dengan goloknya. Gerakannya cepat dan mantap, maka Hong Ing tidak berani memandang rendah, langsung dia melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.

"Cringgg…!"

Bunga api berpijar dan keduanya terpental mundur, membuat Hong Ing semakin terkejut karena ternyata tenaga sinkang yang dikerahkannya tadi hanya seimbang saja dengan lawannya.

"Hi-hi-hik, bagus sekali! Tenagamu lumayan! Mari kita main-main sebentar!"

Gadis berbaju merah itu menyerang kembali setelah tertawa-tawa dan Hong Ing kini cepat mainkan ilmu pedangnya, memutar pedangnya secepat kitiran, menjaga diri sambil balas menyerang dengan dahsyat. Karena dia maklum bahwa biar pun hanya seorang pelayan, tetapi kepandaian Amoi ini benar-benar hebat dan amatlah memalukan kalau dia sampai kalah oleh seorang pelayan saja!

Hong Ing memainkan Ilmu Pedang Pek-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Putih) yang merupakan ilmu pedang kebanggaan subo-nya. Dan benar saja, begitu dia mainkan ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Go-bi-pai ini, wanita baju merah menjadi kaget dan mengeluarkan seruan nyaring, kemudian goloknya dimainkan sedemikian rupa yang membuat Hong Ing terheran-heran dan kagum.

Ilmu golok itu sangatlah aneh dan lucunya, kelihatannya kacau-balau akan tetapi justru kekacau balauan gerakan ini yang membuat lawan menjadi bingung! Di balik kekacauan ini terdapat gerakan inti yang sangat kuat, membuat gadis itu mampu menangkis semua serangan pedang Hong Ing, bahkan membalas dengan tiba-tiba, tak terduga-duga dan tak kalah dahsyatnya! Semua ini dilakukan oleh gadis baju merah itu sambil terkekeh-kekeh genit!

Dengan penasaran sekali Hong Ing lalu mengeluarkan suara melengking nyaring, lantas menerjang maju sambil memainkan jurus yang paling berbahaya dari Pek-eng Kiam-hoat. Pedang itu mula-mula menangkis golok lawan yang menyambar, lalu dari tenaga lawan yang dipinjamnya, pedangnya meluncur ke atas, berputaran dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung, kemudian sinar ini kembali meluncur ke bawah dengan gerakan masih membentuk lingkaran akan tetapi dari lingkaran itu menyambar cahaya kilat ke arah dua tempat secara bertubi dan susul-menyusul, demikian cepatnya hingga hampir berbareng, yaitu ke arah ubun-ubun kepala lawan dengan tusukan yang disambung dengan babatan ke arah leher. Inilah jurus yang dinamakan Pek-eng To-coa (Garuda Putih Mematuk Ular), sebuah jurus pilihan yang amat sukar dihindarkan lawan saking cepatnya dua serangan susul-menyusul itu.

"Hi-hi-hik... haiii...!”

“Cringgg... trangg...!"

Gadis baju merah yang tadinya terkekeh itu menjerit kaget, cepat menggunakan goloknya menangkis dua kali, namun karena agak terlambat, goloknya terlepas dari pegangannya dan pada saat itu juga, sambil terkekeh lagi gadis itu sudah menubruk maju dan hendak memeluk pinggang Hong Ing!
Selanjutnya,