Petualang Asmara Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA MALAM itu hawa amat dingin, maka api unggun dibuat pada beberapa tempat untuk mendapatkan penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya sosok bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama semakin dekat, kemudian dengan gerakan yang sangat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat ke dekat seseorang, tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap jongkok, yang bersandar pada pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.

Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, berwarna seba putih, serta memakai kerudung kepala. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah wajah orang itu. Wajah seorang dara yang masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya!

Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan. Tubuhnya ramping dan biar pun pakaiannya kebesaran akan tetapi tidak dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk lengkung indah sekali.

Seorang dara yang betul-betul cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi seorang nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, walau pun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!

"Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?" tanya Kun Liong.

"Sssttttt...!" Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri.

Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu, lantas dengan gerakan cekatan, jari jemari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu, sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong!

Kembali hal ini merupakan demonstrasi sinkang yang amat kuat di samping ginkang-nya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh.

"Aihhh... kau kenapa...?"

Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian.

"Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga..."

"Hushhh!" Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. "Kau kenapa?"

"Tertotok, pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku."

Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak dan di kedua pinggang kanan kiri, dan seketika itu Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata,

"Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... ehh, Suthai!"

"Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... ehh, Hwesio!"

"Wah, aku bukan hwesio!"

"Kau pun mengatakan aku nikouw!"

"Kan pakaianmu itu adalah pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali."

"Kau juga gundul."

"Namun aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sial dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!"

"Engkau gundul tapi bukan hwesio, apa kau kira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw asli?"

"Ehh, ehhh! Apa ada nikouw palsu?"

"Tentu saja ada!"

"Mana?"

"Ini, yang berdiri di depanmu!"

Keduanya saling pandang dan perbantahan itu terasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tetapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu.

Dara itu tersenyum simpul, tapi cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus jujur mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini!

"Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini."

"Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan..."

"Bodoh! Kau kira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira bahwa kau akan dibawa ke sana. Kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian sesudah bokor itu mereka dapatkan, kau akan dibunuh."

"Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah..."

"Tetapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi..."

Kun Liong terkejut bukan main. "Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan kenapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!" Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak,

"Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian berdua mau berkhianat, ya?" Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas kemudian meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.

Segera terjadi geger di tempat itu. Para prajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari-lari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu sudah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua hingga tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok.

"Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!" Kun Liong bicara sambil menudingkan telunjuknya ke arah Lo-mo dan Marcus. "Mereka berdua ini hendak berkhianat. Mereka tak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka, kemudian kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo untuk minta keadilan!"

"He-heh-heh, bocah gundul, kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!" Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, "Akulah yang sudah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan semua orangmu untuk menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!"

Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apa lagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagikan uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru!

"Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian telah ditipu setan tua itu... wah, celaka ini!"

Kun Liong terpaksa mengelak ke sana ke mari sambil mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Belasan orang roboh oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan kini lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa.

Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong ‘terlindung’ oleh begitu banyak pengeroyok. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula.

Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia merasa terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau saja dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki lawan sehingga lima orang prajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih!

"Tolol! Tolol!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus langsung roboh tak bangkit lagi karena kepalanya kena hantam oleh tamparan tangan halus nikouw muda.

Beberapa orang juga terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu. Nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah sapu tangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya.

"Siuuuttt...!" Ujung sapu tangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang.

Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, lalu membentak. "Siapa kau!"

Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan sapu tangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, akan tetapi tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sinkang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran.

"Aihhh...!" Lo-mo amat terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu.

"Hemm, manusia ganas!" Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung sapu tangannya meledak mengenai pundak kakek itu.

"Nikouw keparat!" Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas.

Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung sapu tangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.

"Hayo pergi!"

Apa bila Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia sendiri sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya prajurit, maka dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia berlari cepat sekali diseret oleh nikouw muda yang ternyata memiliki ginkang istimewa,

Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi ringan dan biar pun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!

Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, "Aduhhh... berhenti dulu... aduhh... napasku huhh... senin kamis... huh-huh-huhhh..."

Nikouw itu melepaskan pegangannya, kemudian mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang pada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.

"Aihh,…, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi."

"Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!"

Nikouw itu cemberut dan heranlah hati Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah semakin manis?

"Kau samakan aku dengan kuda?"

"Kalau ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat Po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li."

"Tidak sudi! Biar pun disamakan dengan kuda dewa sekali pun aku tetap tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!"

Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis dari pada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, dan yang satu lebih menarik dan manis dari pada yang lain!

"Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya."

"Itu pun menghina namanya!"

"Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji."

"Siapa bilang? Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari pada kuda!"

"Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia."

"Ngawur, aku hanya seorang nikouw."

"Nikouw palsu."

"Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw..." Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!

"Aihhh... Nona yang baik, kau maafkan aku..." Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.

"Heii, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan ini?" Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.

"Kukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung."

"Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara mengenai diriku."

"Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tak pernah saling bertemu. Mungkin aku mendengar suaramu di dalam mimpi..."

"Bodoh, biar pun hanya di dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku."

"Benar-benarkah? Di mana? Kapan?"

"Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya..." Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat sehingga seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini dulu telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!

"Apa...?!" Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan anehbukan main! Yang kelihatan olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. "Pinggul... ehhh pinggul..."

Kun Liong mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul, otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya.

"Maaf, iihhh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan kenapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?"

Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. "Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?"

Kun Liong mengusap-usap kepalanya. "Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."

Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. "Anaknya sangat jahat, tentu ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku sudah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, namun engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku sebagai nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw."

"Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?"

Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya!

"Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya akan tetapi batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw."

Mendengar dara itu berbicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. "Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tetapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw."

"Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya."

"Ehh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu."

"Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?"

Kun Liong tertawa. Mengelus-elus gundulnya dan berkata, "Memang aku tolol... ha-ha-ha, mungkin karena gundul..."

"Ingat, aku pun gundul...," kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.

Mendadak wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing.

Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.

"Engkau... Pek Hong Ing! Hemmm, biar pun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan, dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan suci-mu!"

"Suci! Harap jangan menuduh sembarangan!" Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan suci-nya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.

"Tak perlu engkau memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja sambil bersenda-gurau tertawa-tawa kalau kalian tidak main gila? Ahhh, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru)."

Dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat Hong Ing menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati dari pada dipaksa menikah..."

"Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, dan setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, tapi aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?"

"Memang lebih baik aku mati!" kata Hong Ing, suaranya kini mantap.

"Singgg...!"
Tampak sinar berkilat pada saat wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya.

"Kau memilih mati? Nah, biar aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu." Begitu selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang amat dahsyat.

Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar sangat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali. Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun suci-nya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dari ujung senjata yang membawa maut itu.

"Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik..."

"Wuuuuttt…!"

Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang itu. Biar pun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan dari pada gerakan suci-nya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak mau melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tanpa terasa lagi tangannya telah meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya.

Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan suci-nya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat suci-nya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.

"Trangggg...!"

Kun Liong sengaja mengerahkan sinkang-nya yang mendatangkan getaran hebat hingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya, pedang itu lantas terpental, terlepas dari tangan pemiliknya!

Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa bagai dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan hanya sekali tangkis membuat pedangnya lepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang tadi lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoi-nya tentu tewas di tangannya?

Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah. "Hong Ing, kau... terluka...?"

Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!"

Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh suci-nya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang secara menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Lagi pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu?

Dia lalu mengerahkan sinkang-nya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit.

"Kun Liong...!"

Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing sudah menggendongnya dan dara ini lantas meloncat jauh dan terus melarikan diri secepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!

“Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!" dia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.

Akan tetapi Hong Ing tak peduli, dia terus menggendong Kun Liong sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk melarikan diri. Pada waktu dia menengok dan melihat suci-nya mengejar, dia berlari makin cepat lagi.

Kun Liong diam-diam merasa geli, dan juga terharu. Tidak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andai kata melarikan diri sekali pun, tidak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing.

Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing sehingga terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan dua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan!

Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua sedang dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan ginkang-nya hingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan suci-nya.

Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya semakin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya, yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya.

Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat hui-to yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa suci-nya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan suci-nya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya!

Akan tetapi dia tak memusingkan hal itu, hanya merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba saja dia merangkul Kun Liong sambil mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan di mana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini nampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa!

Kun Liong melirik dan dapat pula melihat iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantalkan lengan halus itu, apa lagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya lantas menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!

"Sssttt...!" Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada.

Kun Liong meram melek dan sekali ini dia benar-benar hampir pingsan pada saat merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!

Sesudah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, kedua matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia sudah mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.

"Aduhhhh...!" Kun Liong mengeluh.

"Kusangka kau masih pingsan!"

"Aku tidak pernah pingsan!"

"Kalau begitu, mengapa kau diam saja?"

"Habis disuruh apa?"

"Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau adalah seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!"

Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati oleh Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan di dalam hatinya sama sekali tidak ada niat untuk menggoda, sungguh pun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.

Sesudah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata, "Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini."

Kun Liong telah duduk. Mereka duduk saling berhadapan dan Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barang kali aku dapat membantumu, baik dengan nasehat mau pun dengan perbuatan?"

Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata, "Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi di sini sampai keadaan aman benar."

Maka dara cantik jelita yang terpaksa menjadi nikouw ini mulai menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjulukan Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi). Nenek sakti ini hanya memiliki dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu.

Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula suci-nya, Kim In. Sejak berusia lima tahun dia telah digembleng bersama suci-nya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup bagaikan kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.

Sukarlah dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan sangat lihai dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan dengan sehelai sapu tangan sutera saja! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (ginkang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui suci-nya.

Ketika berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu Kim In ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat.

Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang sangat sakti, terkenal sekali akan tetapi seperti juga Go-bi Sin-kouw, dia tak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka.

Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan pada malam hari itulah terjadinya mala petaka.

Di samping kesaktiannya, kakek Thian-ong Lo-mo juga terkenal sebagai seorang kakek yang tidak pernah hidup sendiri, tentu selalu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!

Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan amat tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Sang pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka. Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri!

Pasangan kekasih itu lantas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, maka Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.

Dapatlah dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, tapi terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjinah dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo. Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu di dalam hatinya tumbuh bibit kebencian yang amat mendalam terhadap kaum pria!

Semenjak itu, di hadapan gurunya dia bersumpah untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak mampu berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoi-nya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, semakin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.

“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sekitar tiga bulan yang lalu, mala petaka menimpa diriku..." kata Hong Ing menyambung ceritanya yang terus didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Cerita tentang suci dara ini memang menarik, tetapi dia tidak begitu mempedulikan. Akan tetapi sekarang setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seolah-olah tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.

Hong Ing melanjutkan ceritanya…..

Pada pagi hari itu, seperti biasa dia seorang diri berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti suci-nya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apa lagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan dan burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butir embun menghias setiap ujung daun sehingga membuat rumput dan kembang berseri-seri penuh kesegaran. Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang baginya tidak ada lagi kesunyian karena semua yang ada di sekelilingnya bagai telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.

Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, bagai peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh, mendadak dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.

Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau sudah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, yakni seorang laki-laki berpakaian indah, yang ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.

Dengan tiga loncatan saja Hong Ing sudah sampai di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan dua matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing.

Di dalam hatinya, dara itu merasa gentar juga oleh karena selama ini belum pernah dia melawan harimau. Akan tetapi karena maklum bahwa kalau dia tidak turun tangan tentu laki-laki itu akan menjadi korban harimau, dia sudah bersiap dan meloloskan sapu tangan yang biasanya diselipkan di antara kancing bajunya.

Dengan gerakan hati-hati Hong Ing memutar-mutar sapu tangannya sehingga ujungnya menjadi sebuah cambuk, dan matanya tidak pernah berkedip menentang pandang mata harimau itu. Ada pun laki-laki yang masih rebah itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, bahkan dia kini sudah berhasil menarik kakinya dari tubuh kudanya yang sekarat, lalu bekata,

"Awas Nona.... harap lekas menyingkir...!"

Ucapan ini memperkuat keputusan Hong Ing untuk menolong laki-laki itu. Seorang yang terancam bahaya maut seperti lelaki itu akan tetapi masih ingat untuk mengkhawatirkan keselamatan orang lain, tentulah seorang yang baik budi dan patut ditolong.

Akan tetapi ucapan laki-laki itu seakan-akan menjadi aba-aba bagi sang harimau yang sudah menggereng keras dan meloncat tinggi menubruk ke arah Hong Ing dengan mulut terbuka lebar dan kedua kaki depan siap mencakar dan merobek-robek kulit daging lunak halus dari dara itu!

"Celaka...!" Laki-laki itu berseru dan kini dia sudah mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja melangkah setindak, dia hampir terjatuh karena ternyata kakinya yang terhimpit kuda tadi terkilir.

Akan tetapi, laki-laki itu terbelalak dan memandang dengan mata penuh kagum melihat betapa dengan ringan dan cepat dara itu sudah meloncat ke kiri dan ketika tubuh harimau besar itu lewat, dia melihat dara itu mengebutkan sehelai sapu tangan sutera putih yang mengeluarkan bunyi meledak nyaring dan harimau itu terjungkal dan menggereng-gereng, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kiri saja karena mata kanannya sudah hancur dan bercucuran darah!

Karena nyeri dan marah, harimau itu mengaum dan sekali lagi meloncat dengan dahsyat sekali menubruk si dara muda dan sekarang laki-laki itu lebih bengong lagi melihat betapa dara itu pun segera meloncat menyambut terkaman si harimau, sapu tangannya kembali meledak, kakinya menendang di udara sehingga tubuh harimau itu terlempar sampai tiga meter, jatuh terbanting dan mata kirinya juga sudah hancur.

Harimau itu menggereng-gereng, kemudian seperti gila menubruk sana-sini, lari sana-sini akhirnya kepalanya menumbuk sebuah batu karang besar, pecah dan roboh berkelojotan, kemudian tak bergerak lagi!

Laki-laki itu sejenak tak dapat berkata-kata, hanya memandang ke arah bangkai harimau, lalu menghampiri Hong Ing yang sedang menyeka keringatnya dengan sapu tangannya. Bagaimana pun juga, tadi dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk mengalahkan binatang yang kuat dan galak itu.

Laki-laki itu seperti merasa berada dalam mimpi. Hampir dia tidak dapat percaya, apa lagi setelah kini berhadapan dekat dengan dara itu. Seorang dara yang usianya baru belasan tahun, tujuh belas tahun, mampu membunuh harimau dengan cara sedemikian aneh dan mudah, hanya bersenjata sehelai sapu tangan yang kini dipakai menghapus keringat yang membasahi leher! Bukan main!

"Nona..." Laki-laki itu menjura. "Nona sudah menolong nyawaku dan aku tidak mungkin diam saja. Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Pangeran Han Wi Ong dari kota raja. Aku sedang berburu, akan tetapi tersesat dan terpisah dari para pengawal sampai di tempat ini. Ketika tadi harimau muncul, kudaku terpeleset dan diterkam, kemudian... ah, aku tentu telah menjadi makanan harimau kalau Nona tidak datang menolong."

Diam-diam Hong Ing terkejut, sama sekali tidak menduga bahwa orang yang ditolongnya adalah seorang pangeran dari kota raja! Putera Kaisar! Akan tetapi karena dia selamanya tinggal di gunung dan tidak mengenal tata susila cara bangsawan, dia hanya membalas penghormatan dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu menjawab,

"Harap Pangeran tidak bersikap berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan tiap manusia untuk saling menolong apa bila melihat orang terancam bahaya. Nah, bahaya sudah lewat, saya mohon diri, Pangeran."

Hong Ing sudah membalikkan tubuhnya, namun laki-laki yang gagah tampan, dan usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian indah sekali itu berseru, "Tahan dulu, Nona. Setidaknya harap Nona sudi memperkenalkan nama dan di mana tempat tinggal Nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal dan merasa berdosa tidak mengenal nama penolongku yang telah menyelamatkan nyawaku."

Oleh karena sikap pangeran itu sopan dan tutur sapanya halus, Hong Ing menjawab terus terang, "Namaku Pek Hong Ing, dan aku tinggal bersama guruku, Go-bi Sin-kouw, dan suci-ku di puncak sana itu." Setelah berkata demikian, dara itu berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Han Wi Ong.

Pangeran itu semakin kagum. Sejenak dia terpesona dan kemudian dia menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Dialah yang patut mendampingi aku selama hidupku. Cantik jelita, muda, jujur, dan memiliki ilmu kepandaian yang dapat menjadi pelindungku selamanya! Go-bi Sin-kouw...? Hemm, harus kupinang dia!"

Demikianlah, pada keesokan harinya, Pengeran itu bersama dengan rombongan pasukan pengawalnya sudah mendatangi pondok Go-bi Sin-kouw, lalu dengan jujur dan langsung karena dia pun terkenal jujur dan terang-terangan, mengajukan pinangan terhadap Hong Ing untuk dijadikan isterinya!

"Hendaknya Sin-kouw yakin bahwa saya hendak mengambil Nona Pek Hong Ing sebagai isteri sah, bukan sebagai selir dan pernikahan antara kami akan dirayakan besar-besaran di istanaku. Andai kata kelak saya mempunyai keberuntungan menjadi kaisar, dia pasti menjadi permaisuriku!"

Tentu saja hati nenek itu menjadi bangga bukan main. Serta merta dia segera menerima pinangan itu, karena bukankah dia yang berhak penuh atas diri murid-muridnya? Hong Ing sudah yatim piatu dan semenjak kecil dididiknya, maka dengan berani dia menerima pinangan, bahkan menerima tanda ikatan jodoh berupa pedang bergagang mutiara dan emas, dan juga menerima ketentuan bahwa sebulan lagi Sang Pangeran akan mengirim pasukan untuk menjemput isterinya!

"Demikianlah, Kun Liong," kata Hong Ing melanjutkan ceritanya dan suaranya kini tergetar penuh kedukaan hati yang ditahan-tahan, "kau dapat membayangkan betapa hancurnya hatiku. Oleh Subo aku dianggap seperti seekor binatang saja, begitu mudah dijodohkan, atau sebuah benda yang mudah saja dihadiahkan kepada seorang pria. Memang harus kuakui bahwa Pangeran Han Wi Ong adalah seorang laki-laki yang gagah, baik dan juga berkedudukan tinggi. Akan tetapi usianya sudah empat puluhan tahun, dan sepantasnya menjadi ayahku, mana aku bisa senang menjadi isterinya? Aku menangis dan menolak, akan tetapi Subo adalah seorang yang berkemauan baja dan dia lebih baik melihat aku mati di hadapan kakinya dari pada melihat aku menolak sehingga dia harus membatalkan perjanjiannya dengan seorang pangeran. Apa lagi karena sudah belasan kali aku menolak pinangan orang, maka Subo menjadi marah dan memaksa aku dengan ancaman mati. Aku sudah putus harapan dan malam itu aku sudah menggantung diri, hendak membunuh diri..."

"Hong Ing...!" Kun Liong terkejut sekali dan tak terasa lagi dia memegang lengan dara itu, mukanya menjadi pucat.

Hong Ing tersenyum pahit menyaksikan sikap pemuda gundul itu.

"Agaknya baru sekaranglah aku bertemu dengan orang sebaik engkau, Kun Liong, yang demikian memperhatikan nasib diriku. Aku ditolong oleh Suci yang menurunkan aku dari gantungan, menangisi aku dan menghiburku. Dia mengingatkan aku bahwa kami berdua sudah berhutang budi kepada Subo dan sudah sepatutnyalah kalau aku membalas budi Subo dengan mentaati perintahnya. Pula, demikian kata Suci, bukankah aku menjadi istri seorang pangeran dan bahkan besar kemungkinan kelak menjadi permaisuri? Kalau aku membunuh diri, berarti aku menghina Subo dan nama Subo tentu akan tercemar terhadap keluarga kaisar, mungkin akan dianggap sebagai pemberontak."

"Hemmm, nasibmu sungguh buruk, Hong Ing. Lalu… bagaimana engkau sampai menjadi nikouw?"

"Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melarikan diri dari puncak Go-bi-san. Aku lari pada malam hari dan terus melarikan diri sampai akhirnya aku tiba di Kuil Kwan-im-bio itu, di mana tinggal belasan orang nikouw dikepalai oleh seorang nikouw tua yang saleh. Aku menghadap kepada Biauw Kwi Nikouw, ketua kuil itu, dan minta supaya diterima menjadi nikouw. Kupikir bahwa ke mana pun aku pergi, tentu Subo dan Suci akan dapat mencari dan memaksaku. Akan tetapi setelah aku menjadi nikouw, kiranya mereka takkan berani mengganggu seorang yang sudah memilih hidup suci. Agar dapat membebaskan diri dari pernikahan yang tidak kusuka itu, aku rela mengorbankan hidupku menjadi nikouw, walau pun di dalam hatiku sungguh mati aku tidak berniat menjadi seorang pendeta."

Kun Liong mengangguk-angguk dan hanya di dalam hatinya dia berkata bahwa memang amat tidak patut dan terlalu amat sayang sekali seorang dara berusia tujuh belas secantik Hong Ing ini harus menjadi nikouw gundul yang selama hidupnya tidak berurusan dengan dunia!

"Mula-mula Biauw Kwi Nikouw menolak dan aku sudah hampir putus harapan..."

"Aihhh, mengapa menolak orang hendak menjadi nikouw dengan suka rela?" tanya Kun Liong terheran.

Hong Ing melanjutkan penuturan pengalamannya. Pada waktu dia menghadap Biauw Kwi Nikouw untuk diperkenankan menjadi nikouw, nikouw tua itu berkata,

"Nona, engkau masih muda dan cantik sekali. Apa bila engkau menjadi nikouw di sini, berarti engkau akan mencari mala petaka dan kami pun terkena getahnya. Tidak, kami tidak berani menerimamu menjadi nikouw di sini, Nona."

"Mengapa, Subo? Apa yang telah terjadi?"

"Sudah ada tiga orang muridku, nikouw-nikouw muda, mati menggantung diri dalam waktu sepekan ini."

Hong Ing terkejut. "Mati menggantung diri? Mengapa?"

"Karena mereka tidak sudi lagi hidup di dunia setelah mereka tercemar."

"Tercemar?"
"Ya, diperkosa seorang laki-laki, omitohud..."

Hong Ing meloncat bangun. "Laki-laki mana yang berani memperkosa nikouw?"

"Ah, kami tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi selama sepekan, berturut-turut tiga orang nikouw muda diculik dari kamarnya, dibawa ke hutan kemudian diperkosa. Pada keesokan harinya, mereka itu satu per satu menggantung diri sampai mati. Nah, dengan adanya peristiwa ini, apakah Nona masih tetap ingin menjadi nikouw di sini dan terancam bahaya?"

"Aku tetap ingin menjadi nikouw, dan harap Subo jangan khawatir. Aku akan menangkap dan menghajar binatang busuk itu!"

Demikianlah, karena desakan Hong Ing, akhirnya dara ini digunduli rambutnya, lalu diberi pakaian nikouw dan menjalankan upacara sembahyang untuk menjadi nikouw, disaksikan oleh belasan orang nikouw yang menjadi murid Biauw Kwi Nikouw. Hong Ing menangis tersedu-sedu, akan tetapi bagaimana pun juga, kepalanya sudah menjadi gundul licin dan ditutupi dengan penutup kepala berwarna putih.

Malam hari itu, sengaja Hong Ing keluar seorang diri dan berjalan-jalan di sekeliling kuil untuk menjadikan dirinya sebagai ‘umpan’ memancing kedatangan laki-laki terkutuk yang sudah memperkosa tiga nikouw dan menyebabkan mereka membunuh diri. Para nikouw lain yang maklum akan usaha nikouw baru ini, mengintai dari tempat aman dengan hati berdebar tegang.

Tiba-tiba saja tampak sesosok bayangan orang yang tinggi besar dan begitu tiba di depan Hong Ing, dara ini merasa terkejut dan jijik sekali. Laki-laki itu tinggi besar, usianya sudah lima puluh tahunan, rambut, jenggot serta kumisnya riap-riapan menakutkan, kotor sekali, matanya lebar dan dia terkekeh memandang kepada Hong Ing sambil berkata,

"Ha-ha-heh-heh, nikouw muda baru ya? Wah, cantiknya, wah, malam ini aku benar-benar untung besar! Orang secantik engkau ini sedikitnya harus kupeluk selama sebulan, kalau perlu selamanya, ha-ha-ha!"

Hong Ing sudah meloncat. Sekali tangannya menampar dan…

"Plak-plak-plak!" terdengar suara keras sekali.

Tubuh laki-laki itu langsung terpelanting. Akan tetapi ternyata dia kuat juga, karena sudah dapat bangun kembali, matanya makin terbelalak lebar.

"Ho-ho-ho, jadi kau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, lebih menarik lagi!"

Terjadilah pertandingan, namun sebentar saja laki-laki itu terdesak hebat dan beberapa kali terkena pukulan tangan Hong Ing. Biar pun tubuhnya kebal, namun pukulan Hong Ing bukan tidak keras dan mendatangkan rasa yang cukup nyeri, maka akhirnya laki-laki itu melarikan diri.

"Binatang terkutuk, hendak lari ke mana kau?!" Hong Ing membentak lalu mengejar.

Para nikouw lainnya yang menyaksikan betapa nikouw muda baru itu betul-betul lihai dan berhasil mengalahkan laki-laki cabul yang seperti orang gila itu, langsung turut mengejar pula!

Mereka masih sempat melihat betapa Hong Ing sudah dapat menyusul laki-laki itu, lantas menghajar laki-laki itu sampai jatuh bangun. Laki-laki itu marah, tiba-tiba menggereng dan dengan kedua lengannya laki-laki itu mengangkat sebuah batu besar sekali dan hendak menimpakan batu itu kepada Hong Ing.

"Aihhh...!" Dua orang nikouw lain yang lebih dulu datang di tempat itu menjerit ngeri.

Akan tetapi Hong Ing segera meloncat ke depan, menerima batu itu dan mengerahkan sinkang-nya mendorong sehingga kini justru lelaki itulah yang tertindih batu dan tergencet oleh batu besar itu. Terdengarlah suara orang berteriak mengerikan dan ketika Hong Ing melepaskan batu itu, ternyata lelaki itu telah hancur dan gepeng terhimpit batu, tubuhnya bersandar pada batu gunung. Dada dan kepalanya pecah hingga darah muncrat-muncrat membasahi tempat di sekelilingnya!

"Omitohud...!" Para nikouw berseru ketika menyaksikan ini.

Biauw Kwi Nikouw lalu memerintahkan murid-muridnya untuk mengubur mayat yang amat mengerikan itu, dan semenjak saat itu, Hong Ing dianggap sebagai seorang nikouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bahkan Biauw Kwi Nikouw sendiri berikap manis dan kagum sekali kepadanya.

"Demikianlah, Kun Liong." Hong Ing menutup penuturannya, "semenjak hari itu pula aku menjadi nikouw di Kwan-im-bio dan aku melatih mereka ilmu silat. Tentu saja aku tidak mau diangkat menjadi guru mereka, maka mereka semua, kecuali ketua kuil, menyebutku Toa-suci (Kakak Seperguruan Tertua)."

Kun Liong makin terharu. Sungguh malang sekali nasib dara ini. Patut dikasihani dan dia sendiri merasa menyesal bahwa dia pernah menggoda dara yang sepatutnya dilindungi dan dibela ini.

"Ahh, kasihan sekali engkau, Hong Ing. Tak kukira orang seperti engkau ini dapat dilanda kesengsaraan hidup seperti itu. Dan dahulu, mengapa engkau sampai dapat terluka oleh jarum merah milik Ouwyang Bouw?"

"Ahh, sebetulnya soalnya sepele saja, akan tetapi dasar kami yang tidak mengenal orang pandai. Pada hari itu, kuil kami kedatangan seorang kakek aneh dan seorang pemuda. Karena hari telah malam sedangkan mereka minta menginap, tentu saja Subo tidak dapat menerima mereka, mengatakan bahwa Kuil Kwan-im-bio adalah kuil para nikouw maka merupakan pantangan besar untuk menerima pria sebagai tamu bermalam di kuil."

"Hemmm, orang-orang semacam Ban-tok Coa-ong dan anaknya yang gila itu mana mau mengerti," kata Kun Liong.

"Memang demikianlah. Ban-tok Coa-ong memaki Biauw Kwi Nikouw sebagai nenek gila cerewet yang bosan hidup dan sekali tangannya menampar, Biauw Kwi Nikouw terguling roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika! Para nikouw lainnya menjadi marah dan menyerbu, karena mereka itu sedikit banyak sudah belajar silat kepadaku. Akan tetapi, hanya dengan dorongan-dorongan jarak jauh, semua nikouw terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali karena sudah mengalami luka dalam. Aku sendiri menubruk Biauw Kwi Nikouw dan pada saat itu pula dari belakang Ouwyang Bouw menyerangku dengan jarum merah. Aku tidak dapat mengelaknya dan aku roboh pingsan. Mereka ayah dan anak iblis itu pergi sambil tertawa-tawa dan selebihnya kau mengetahui sendiri. Aku minta supaya dibawa ke seorang ahli obat di kota, dan ketika berada di joli kebetulan sekali berjumpa denganmu dan engkau telah menyelamatkan nyawaku."

"Aihhh... sungguh kau telah mengalami banyak hal yang amat sengsara, Hong Ing. Hanya aku menyesal sekali mengapa engkau mengambil jalan pendek menjadi nikouw."

"Tidak ada jalan lain. Untuk membunuh diri aku... aku tidak berani..."

"Jangan!" Kun Liong setengah berteriak. "Perbuatan itu adalah perbuatan paling rendah dan pengecut di dunia ini. Sekarang engkau tidak perlu takut lagi. Setelah engkau menjadi nikouw, apa yang dapat dilakukan oleh suci-mu dan gurumu? Apakah mereka masih bisa memaksamu? Pula, kalau pangeran tua mata keranjang itu melihat kau sudah menjadi nikouw, apakah dia hendak memaksa memperisteri seorang nikouw?"

Melihat sikap Kun Liong yang marah-marah ini, terharulah hati Hong Ing karena hal ini membuktikan betapa besar perhatian pemuda ini kepada nasib dirinya.

"Ahh, kau tidak mengenal guruku, Kun Liong. Dia adalah orang yang berhati keras seperti baja dan semua kehendaknya harus terlaksana. Apa sukarnya memaksa aku memelihara rambut lagi dan memaksaku menikah? Sudahlah, serahkan hal itu kepadaku. Kau tidak perlu ikut berduka dan bingung, Kun Liong. Engkau sudah terlampau baik kepadaku dan percayalah, sampai mati pun aku tidak akan dapat melupakan kebaikanmu. Lihat, itu Suci mendatangi kuil, apa bila aku tidak lekas menemuinya, tentu para nikouw akan terancam bahaya. Kalau sudah marah, Suci seperti Subo saja, keras dan ganas. Kau pergilah, Kun Liong, pergilah, selamat berpisah, sahabat dan penolongku yang baik!"

Hong Ing menyentuh lengan Kun Liong, kemudian terisak dia meloncat dan lari ke arah kuil di mana tadi bayangan Kim In telah masuk lebih dahulu.

Hati Kun Liong bagaikan diremas-remas rasanya. Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali terhadap Hong Ing dan mengambil keputusan untuk membela dara itu dari segala bahaya. Dengan pikiran ini, dia lalu melompat dan menyelinap, menghampiri kuil itu dari samping dan melakukan pengintaian. Dengan jantung berdebar Kun Liong melihat Hong Ing berdiri dengan kepala tunduk berhadapan dengan suci-nya, Lauw Kim In yang galak itu.

Kim In sudah memegang pedangnya dan dengan suara kereng berkata, "Pek Hong Ing, aku mewakili Subo Go-bi Sin-kouw memerintahkan engkau untuk berlutut!"

Hong Ing menarik napas panjang dan dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya yang galak itu.

"Pek Hong Ing, sebagai murid engkau sudah murtad, melanggar perintah guru dan pergi tanpa pamit. Untuk semua kejadian itu Subo masih bisa mempertimbangkannya asal saja engkau ikut bersamaku ke puncak Go-bi-san. Kalau tidak, sekarang juga akan kupenggal kepalamu dan akan kubawa kepalamu kepada Subo seperti yang diperintahkan Subo!"

Mendengar ucapan itu, belasan orang nikouw yang berada di sana dan yang menonton dengan muka marah itu menjadi makin marah. "Dari mana datangnya perempuan jahat yang menghina Toa-suci?" Mereka itu lalu menyerbu dan mengeroyok Kim In.

"Para sumoi... jangan...!" Hong Ing berteriak, namun cegahannya terlambat, tubuh Kim In melesat ke sana sini dan dalam segebrakan saja belasan orang nikouw itu sudah roboh semua dan mengaduh-aduh terkena pukulan dan tendangan kaki Kim In.

"Hemm, kalau aku tidak ingat bahwa kalian semua adalah pendeta, apakah kalian dapat mengharapkan untuk dapat hidup?" Kim In berkata, sikapnya dingin sekali.

Para nikouw yang hendak membela Hong Ing itu sudah bangun lagi dan mereka mulai mencari senjata. Akan tetapi Hong Ing melompat dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Para sumoi kuperintahkan agar jangan melawan! Biarkan aku pergi bersama dia, dia ini adalah suci-ku!" Kemudian dia menoleh kepada Kim In sambil berkata, "Saya menurut kehendak Suci dan ikut bersamamu menghadap Subo, akan tetapi baik engkau mau pun Subo jangan mengharap akan dapat memaksaku menikah setelah aku sekarang menjadi nikouw."

"Sumoi, kau tahu betapa semenjak dulu aku menganggapmu sebagai adik sendiri. Akan tetapi, betapa pun juga kita tidak bisa menentang Subo."

Ucapan ini membuat Hong Ing amat terharu. Dia teringat bahwa dahulu suci-nya ini yang mencegahnya membunuh diri dan tahu pula bahwa andai kata suci-nya itu membantunya lari, tetap saja mereka berdua tak akan dapat terlepas dari pengejaran subo mereka yang memiliki kepandaian seperti dewi!

Maka berangkatlah dua orang sumoi dan suci ini meninggalkan Kuil Kwan-im-bio, diiringi tangis para nikouw yang dapat menduga bahwa toa-suci mereka yang juga guru mereka yang mereka sayang itu tentu sedang menghadapi mala petaka yang besar dan mereka sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya.

Kim In dan Hong Ing melakukan perjalanan cepat sekali karena keduanya menggunakan ilmu berlari cepat. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan besar yang amat sunyi. Tiba-tiba keduanya berhenti karena tahu-tahu ada bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar di depan mereka. Ketika keduanya memandang ternyata orang itu bukan lain adalah Yap Kun Liong yang berdiri dengan tenang namun dengan kedua alis dikerutkan dan wajah serius sekali, berbeda dari biasanya yang selalu berseri gembira.

"Kun Liong...! Apa yang akan kau lakukan di sini?" Hong Ing berseru kaget sekali.

"Hemm, hwesio cabul apakah kau berani menghadang kami?" Kim In memaki dan sudah mencabut lagi pedangnya.

Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. "Nona Ing, betapa lemahnya engkau, menurut saja kepada kehendak orang lain yang hendak mencelakakanmu. Dan engkau, Nona. Apakah engkau demikian kejam hendak mencelakakan sumoi sendiri? Ke mana peri kemanusiaanmu?"

"Jangan mencampuri urusan kami!" Kim In membentak.

"Kun Liong... aku tahu maksudmu baik, tapi... tapi ahhh, pergilah, jangan membikin aku lebih susah dan bingung...!" Hong Ing memohon.

"Tidak! Sebelum aku bicara, aku tidak akan membiarkan kau dipaksa pergi oleh siapa pun juga!" Dia memandang kepada Kim In, pandang matanya berkilat hingga gadis itu terkejut juga.

"Nona, kau salah sangka. Aku bukanlah hwesio, juga tidak melakukan perbuatan busuk dengan sumoi-mu. Kami adalah dua orang sahabat yang kebetulan saja saling bertemu dan saling menolong dari bahaya, dan hanya orang-orang berpikiran kotor saja yang akan menyangka yang bukan-bukan! Sumoi-mu ini telah menjadi nikouw, berarti telah menjadi seorang suci yang tidak mau lagi berhubungan dengan dunia ramai. Mengapa sekarang dipaksa hendak dibawa dan dikawinkan? Aturan mana ini? Lagi pula, andai kata dia tidak menjadi nikouw, juga amat tidak patut kalau memaksa seorang dara seperti dia menikah di luar kehendaknya. Apakah dia itu seekor kucing atau anjing maka boleh dikawinkan begitu saja menurut selera dan pilihan orang lain? Apakah dia itu sebuah benda yang diperjual belikan, dan karena yang membeli ialah seorang pangeran kaya lalu diserahkan begitu saja meski pun dia tidak sudi menjadi isteri seorang tua bangka? Kau dan gurumu yang berjuluk Go-bi Sin-kouw itu sungguh tidak berperi kemanusiaan dan kejam, sungguh kejam!"

"Keparat, jahanam, tutup mulutmu!" Kim in sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berkelbat menyerang dengan serbuan ganas dan dahsyat sekali.

Akan tetapi dengan mudah Kun Liong sudah mengelak dan pemuda ini sudah siap untuk melawan. Dia akan merobohkan gadis ini tanpa melukainya agar mendapat kesempatan untuk mengajak lari Hong Ing. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat Hong Ing menggerakkan sapu tangannya menyambar dan menyerangnya.

"Tarrr...!"

Ujung sapu tangan menghantam kepala gundulnya dan dia sengaja tidak mau menangkis karena dia merasa heran sekali. Bagaikan disengat lebah, bagian kepala yang dihantam ujung sapu tangan tadi tampak menjendol dan berwarna merah. Hal ini karena Kun Liong sengaja membiarkan kepalanya dihantam, hanya gerakan otomatis dari sinkang-nya saja yang melindungi sebelah dalam kepala. Akan tetapi kulitnya tidak kebal sehingga kepala di bagian itu menjendol sebesar telur ayam.

"Hong Ing...," dia mengeluh.

Hong Ing berdiri dengan wajah pucat. "Sudah kukatakan, pergilah... jangan membikin aku lebih susah lagi, Kun Liong. Engkau tidak akan menang melawan dan kalau sampai Suci membunuhmu, aku... lebih berat lagi untuk mentaatinya. Pergilah, aku tahu niatmu baik dan maafkan seranganku tadi, Kun Liong."

"Bagaimana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?" Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi.

Tanpa menengok Hong Ing menjawab, "Sebenarnya mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!"

Kun Liong masih berdiri pucat sesudah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh diri! Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.

"Nona Ing...!" Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ahh, apakah aku telah gila? pikirnya.

Dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang, berusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya. Betapa pun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan, sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang kala Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, baru berlari lagi secepatnya.

Dengan bantuan peta yang dulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia dapat menemukan sebuah perahu kecil di dalam semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu.

Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw pada waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup gerombolan alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga, lalu melewati semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan.

Dia mempergunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tertidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi dia bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin dan diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja!

Dia terbangun dan di ufuk timur telah tampak sinar kemerahan dari matahari yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tidak pernah dapat dia lupakan?

Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang sudah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua betang besi kaitan. Meski pun dia seorang ahli sinkang yang kuat dan dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, akan tetapi mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan tanpa dibantu oleh dua buah kaitan itu sama halnya bermain-main dengan maut, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari.

Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melempar kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau. Ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri, mengatur sambil menghitung langkahnya sebab tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat hingga akhirnya dia sampai di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum pada saat teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja.

Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan baginya. Sesudah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Ia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada sambil mengerahkan khikang-nya berteriak nyaring sekali, "Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!"

Pulau itu langsung geger karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, cepat menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong.

Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu pun sudah berpindah ke tangannya, kemudian tombak itu dipatah-patahkan seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata,

"Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau bicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!"

Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menunggu datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.

Tidak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 25

Petualang Asmara Jilid 25
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA MALAM itu hawa amat dingin, maka api unggun dibuat pada beberapa tempat untuk mendapatkan penerangan juga untuk sekedar menghangatkan tubuh. Menjelang tengah malam, Kun Liong melihat berkelebatnya sosok bayangan yang cepat sekali menyelinap di antara pepohonan, makin lama semakin dekat, kemudian dengan gerakan yang sangat mengagumkan hatinya karena cepatnya, bayangan itu berloncatan dan setiap kali loncat ke dekat seseorang, tentu terus menotoknya dengan tepat dan membuat mereka pingsan seorang demi seorang dalam keadaan masih seperti semula. Yang jongkok tetap jongkok, yang bersandar pada pohon dan yang rebahan tetap begitu pula. Kemudian bayangan itu berkelebat dan berada di depan Kun Liong.

Kun Liong memandang dengan takjub dan sejenak dia terpesona. Orang ini jelas seorang wanita yang pakaiannya seperti nikouw, berwarna seba putih, serta memakai kerudung kepala. Akan tetapi yang mempesonakannya adalah wajah orang itu. Wajah seorang dara yang masih amat muda dan luar biasa cantik jelitanya!

Alisnya melengkung seperti digambar, matanya seperti sepasang bintang pagi terlindung bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung kecil dan mulutnya sama kecilnya dengan hidung, akan tetapi bibirnya penuh kemerahan. Tubuhnya ramping dan biar pun pakaiannya kebesaran akan tetapi tidak dapat menyembunyikan secara sempurna bentuk tubuh yang penuh lekuk lengkung indah sekali.

Seorang dara yang betul-betul cantik jelita, akan tetapi anehnya menjadi seorang nikouw dan kepalanya tentu gundul pelontos seperti kepalanya sendiri, walau pun kepala gundul dara ini tertutup kerudung putih!

"Engkau siapakah, Nikouw muda yang lihai...?" tanya Kun Liong.

"Sssttttt...!" Desis halus ini keluar dari mulut nikouw itu dan telunjuk tangan kirinya yang panjang meruncing itu menyentuh bibirnya sendiri.

Dengan langkah ringan sekali dia meloncat ke depan pemuda itu, lantas dengan gerakan cekatan, jari jemari tangan yang halus lunak dan meruncing, yang agaknya hanya pantas untuk dipakai menulis sajak, melukis, menyulam atau mengobati orang terluka itu, sekali renggut saja telah mematahkan semua tali yang mengikat kedua lengan, dan kaki Kun Liong!

Kembali hal ini merupakan demonstrasi sinkang yang amat kuat di samping ginkang-nya tadi yang membuat dia bergerak seperti seekor burung dan totokan-totokannya yang lihai. Begitu tali-tali itu tidak mengikatnya, Kun Liong merosot dengan lemasnya karena dia telah tertotok lumpuh.

"Aihhh... kau kenapa...?"

Dengan lemas Kun Liong memandang penuh perhatian.

"Aku... agaknya aku pernah mendengar suaramu yang halus merdu itu... akan tetapi di mana, ya? Wajahmu yang cantik jelita seperti bidadari itu belum pernah aku melihatnya, mungkin hanya dalam mimpi naik ke sorga..."

"Hushhh!" Muka yang berkulit putih halus itu menjadi merah sekali. "Kau kenapa?"

"Tertotok, pusat jalan darah ke lengan dan kaki terhenti, membuat lumpuh kaki tanganku."

Tanpa banyak cakap lagi, jari-jari tangan yang halus itu menotok beberapa kali di kedua pundak dan di kedua pinggang kanan kiri, dan seketika itu Kun Liong dapat bergerak lagi. Dia meloncat berdiri, menghadapi nikouw itu dan berkata,

"Kau hebat! Kau luar biasa sekali, Nona... ehh, Suthai!"

"Dan kau tolol sekali membiarkan dirimu ditawan oleh mereka, Tuan... ehh, Hwesio!"

"Wah, aku bukan hwesio!"

"Kau pun mengatakan aku nikouw!"

"Kan pakaianmu itu adalah pakaian nikouw dan aku berani bertaruh bahwa kepalamu itu tentu gundul halus dan bersih sekali."

"Kau juga gundul."

"Namun aku bukan hwesio, aku Yap Kun Liong orang biasa, orang sial dangkalan yang selalu bernasib malang, akan tetapi juga orang berbintang terang karena selalu tertolong wanita-wanita cantik!"

"Engkau gundul tapi bukan hwesio, apa kau kira kalau aku berpakaian nikouw dan gundul aku lalu seorang nikouw asli?"

"Ehh, ehhh! Apa ada nikouw palsu?"

"Tentu saja ada!"

"Mana?"

"Ini, yang berdiri di depanmu!"

Keduanya saling pandang dan perbantahan itu terasa lucu bagi mereka sehingga mereka tertawa kecil. Kun Liong masih celangap tertawa tetapi segera suara ketawanya terhenti dan dia masih celangap memandang wajah dara itu.

Dara itu tersenyum simpul, tapi cukup untuk memperlihatkan sedikit kilatan gigi dan cukup untuk menciptakan dua lesung pipit di kanan kiri pipinya. Manis sekali! Manis dan jelita membuat Kun Liong terpesona dan bengong terlongong karena dia harus jujur mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan seorang dara secantik ini, belum pernah melihat wajah seperti itu, tiada cacatnya baginya, sempurna dan... dan... sukar dia mengatakan, pendeknya, tidak ada keduanya di dunia ini!

"Kenapa kita berbantahan tidak karuan? Hayo cepat ikut denganku. Kita harus cepat pergi dari sini."

"Kenapa? Aku tidak takut! Dan terus terang saja, aku memang sengaja membiarkan diriku ditangkap agar dibawa ke depan Panglima The Hoo yang sudah kukenal baik. Aku tentu akan dibebaskan dan..."

"Bodoh! Kau kira aku tidak tahu itu semua? Sudah semenjak kau ditangkap aku mengintai dan membayangimu. Akan tetapi jangan mengira bahwa kau akan dibawa ke sana. Kau akan disiksa dan dipaksa mengaku di mana adanya bokor, kemudian sesudah bokor itu mereka dapatkan, kau akan dibunuh."

"Tak mungkin, pasukan itu adalah pasukan pemerintah..."

"Tetapi kau tidak kenal siapa itu, Tok-jiauw Lo-mo. Gurunya... hemmm, lihai bukan main. Dan pemuda asing itu agaknya sekutunya. Mari kita pergi..."

Kun Liong terkejut bukan main. "Tidak, aku akan menemui mereka. Akan kutanya secara terang-terangan kenapa mereka hendak mengkhianati Panglima The Hoo. Mereka harus dihajar dan kalau begitu, harus ditangkap dan dihukum!" Setelah berkata demikian, Kun Liong malah lari ke tenda dan berteriak-teriak,

"Lo-mo setan tua, hayo ke sini kau bersama Marcus itu! Kalian berdua mau berkhianat, ya?" Tanpa mempedulikan lagi kepada nikouw muda itu yang membanting kaki gemas kemudian meloncat pergi ke dalam gelap, Kun Liong terus berteriak-teriak dengan penuh kemarahan.

Segera terjadi geger di tempat itu. Para prajurit terbangun, kecuali dua belas orang yang tertotok, dan komandan pasukan bersama Marcus dan Tok-jiauw Lo-mo juga berlari-lari mendatangi. Melihat pemuda gundul itu sudah bebas, belenggunya terputus semua dan dua belas orang penjaganya tertotok semua hingga tak mampu bergerak, mereka menjadi terkejut dan semua orang sudah mengeluarkan senjata, siap untuk mengeroyok.

"Hai, komandan pasukan. Jangan kau percaya kepada dua orang ini!" Kun Liong bicara sambil menudingkan telunjuknya ke arah Lo-mo dan Marcus. "Mereka berdua ini hendak berkhianat. Mereka tak akan membawaku kepada Panglima The Hoo, melainkan hendak menculikku dan mungkin membunuh kalian semua. Hayo tangkap mereka, kemudian kita bersama pergi menghadap Panglima The Hoo untuk minta keadilan!"

"He-heh-heh, bocah gundul, kalau kau tidak tolol tentu kepalamu terisi otak yang miring!" Tok-jiauw Lo-mo berkata nyaring, "Akulah yang sudah menangkapmu, kalau aku hendak berkhianat apa aku memberi kabar kepada komandan? Hayo Ciangkun, kerahkan semua orangmu untuk menangkap kembali tawanan gila yang berbahaya ini!"

Sang Komandan tentu saja lebih percaya kepada Lo-mo, apa lagi kepada Marcus yang sudah membagi-bagikan uang emas, maka dia memberi aba-aba dan serentak Kun Liong diterjang dari seluruh penjuru!

"Heiii, orang-orang bodoh...! Kalian telah ditipu setan tua itu... wah, celaka ini!"

Kun Liong terpaksa mengelak ke sana ke mari sambil mendorong-dorong dengan kedua tangannya. Belasan orang roboh oleh angin dorongan kedua tangan, akan tetapi mereka bangkit lagi dan kini lebih banyak yang mengeroyoknya karena ketika mereka terbanting, mereka tidak mengalami luka apa-apa.

Marcus sudah mengeluarkan pistolnya, akan tetapi tidak sempat menembak karena Kun Liong ‘terlindung’ oleh begitu banyak pengeroyok. Tok-jiauw Lo-mo sudah menggerakkan tongkat pendeknya yang berujung cakar setan, lalu maju menerjang pula.

Kun Liong memang tidak suka berkelahi, akan tetapi dikeroyok seperti itu tentu saja dia harus mempertahankan diri dan menghalau lawan tanpa melukainya. Akan tetapi ketika Lo-mo maju, dia merasa terkejut dan hampir saja lehernya kena dicengkeram oleh cakar setan kalau saja dia tidak cepat-cepat menggulingkan diri dan bergulingan sambil menarik banyak kaki lawan sehingga lima orang prajurit pengeroyoknya jatuh tumpang tindih!

"Tolol! Tolol!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Marcus langsung roboh tak bangkit lagi karena kepalanya kena hantam oleh tamparan tangan halus nikouw muda.

Beberapa orang juga terpelanting dan ada yang terlempar ke atas pohon dilontarkan oleh tangan kecil itu. Nikouw itu mengamuk menghampiri Kun Liong dan di tangannya terdapat sebuah sapu tangan putih yang digerakkan secara istimewa lihainya.

"Siuuuttt...!" Ujung sapu tangan putih itu menangkap cakar setan sehingga serangannya terhadap Kun Liong terhalang.

Kakek tinggi kurus itu terkejut sekali, lalu membentak. "Siapa kau!"

Akan tetapi nikouw muda itu tidak peduli, cepat melepaskan libatan sapu tangannya dan menyerang kakek itu dengan tamparan tangan kirinya. Pukulannya seperti pukulan biasa saja, seperti seorang wanita menampar muka seorang pria yang hendak berkurang ajar kepadanya, akan tetapi tamparan itu cepat dan mendatangkan angin tenaga sinkang yang kuat, juga datangnya tidak langsung melainkan membentuk lingkaran.

"Aihhh...!" Lo-mo amat terkejut dan meloncat ke belakang lalu membalas dengan gerakan tongkat cakar setannya, mengarah muka nikouw itu.

"Hemm, manusia ganas!" Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung sapu tangannya meledak mengenai pundak kakek itu.

"Nikouw keparat!" Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas.

Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung sapu tangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.

"Hayo pergi!"

Apa bila Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia sendiri sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya prajurit, maka dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia berlari cepat sekali diseret oleh nikouw muda yang ternyata memiliki ginkang istimewa,

Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan ginkang-nya sehingga tubuhnya menjadi ringan dan biar pun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!

Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata, "Aduhhh... berhenti dulu... aduhh... napasku huhh... senin kamis... huh-huh-huhhh..."

Nikouw itu melepaskan pegangannya, kemudian mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang pada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.

"Aihh,…, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi."

"Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!"

Nikouw itu cemberut dan heranlah hati Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah semakin manis?

"Kau samakan aku dengan kuda?"

"Kalau ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat Po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li."

"Tidak sudi! Biar pun disamakan dengan kuda dewa sekali pun aku tetap tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!"

Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis dari pada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, dan yang satu lebih menarik dan manis dari pada yang lain!

"Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya."

"Itu pun menghina namanya!"

"Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji."

"Siapa bilang? Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari pada kuda!"

"Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia."

"Ngawur, aku hanya seorang nikouw."

"Nikouw palsu."

"Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw..." Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!

"Aihhh... Nona yang baik, kau maafkan aku..." Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.

"Heii, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan ini?" Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.

"Kukira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung."

"Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara mengenai diriku."

"Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah di mana karena kita tak pernah saling bertemu. Mungkin aku mendengar suaramu di dalam mimpi..."

"Bodoh, biar pun hanya di dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku."

"Benar-benarkah? Di mana? Kapan?"

"Ketika engkau mengobati seorang nikouw di dalam joli yang terluka... anunya..." Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat sehingga seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini dulu telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!

"Apa...?!" Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan anehbukan main! Yang kelihatan olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. "Pinggul... ehhh pinggul..."

Kun Liong mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul, otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya.

"Maaf, iihhh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan kenapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?"

Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan. "Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?"

Kun Liong mengusap-usap kepalanya. "Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok."

Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu. "Anaknya sangat jahat, tentu ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku sudah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, namun engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku sebagai nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw."

"Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?"

Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya!

"Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya akan tetapi batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw."

Mendengar dara itu berbicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi. "Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tetapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw."

"Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya."

"Ehh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu."

"Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?"

Kun Liong tertawa. Mengelus-elus gundulnya dan berkata, "Memang aku tolol... ha-ha-ha, mungkin karena gundul..."

"Ingat, aku pun gundul...," kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.

Mendadak wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing.

Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.

"Engkau... Pek Hong Ing! Hemmm, biar pun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan, dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan suci-mu!"

"Suci! Harap jangan menuduh sembarangan!" Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan suci-nya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.

"Tak perlu engkau memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja sambil bersenda-gurau tertawa-tawa kalau kalian tidak main gila? Ahhh, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru)."

Dengan kedua mata terbelalak dan muka pucat Hong Ing menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati dari pada dipaksa menikah..."

"Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, dan setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, tapi aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?"

"Memang lebih baik aku mati!" kata Hong Ing, suaranya kini mantap.

"Singgg...!"
Tampak sinar berkilat pada saat wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya.

"Kau memilih mati? Nah, biar aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu." Begitu selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang amat dahsyat.

Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar sangat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali. Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun suci-nya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dari ujung senjata yang membawa maut itu.

"Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik..."

"Wuuuuttt…!"

Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang itu. Biar pun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan dari pada gerakan suci-nya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak mau melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tanpa terasa lagi tangannya telah meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya.

Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan suci-nya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat suci-nya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.

"Trangggg...!"

Kun Liong sengaja mengerahkan sinkang-nya yang mendatangkan getaran hebat hingga ketika rantingnya bertemu dengan pedang yang ditangkisnya, pedang itu lantas terpental, terlepas dari tangan pemiliknya!

Dara itu terbelalak memandang, bukan main rasa heran dan penasarannya dan merasa bagai dalam mimpi. Siapa orangnya yang mampu menangkis pedangnya dengan sebuah ranting dan hanya sekali tangkis membuat pedangnya lepas dari tangannya? Benar-benar aneh dan luar biasa sekali! Ataukah dia yang tadi lengah dan tidak memegang pedangnya erat-erat karena sudah memastikannya bahwa sumoi-nya tentu tewas di tangannya?

Kun Liong tidak mempedulikannya lagi. Dia membuang ranting itu dan menghampiri Hong Ing yang masih rebah. "Hong Ing, kau... terluka...?"

Hong Ing bangkit duduk dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, Kun Liong, biarkanlah aku... heiiii... hati-hati...!"

Namun terlambat. Hui-to (pisau terbang) yang disambitkan oleh suci-nya itu hebat sekali meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah menuju ke sasarannya, yaitu punggung Kun Liong. Pemuda ini sama sekali tidak menyangka bahwa ada dara demikian cantiknya akan sudi menyerang orang secara menggelap, maka seruan Hong Ing itu terlambat. Lagi pula, kalau dia mengelak, bukankah Hong Ing yang terancam oleh senjata rahasia itu?

Dia lalu mengerahkan sinkang-nya dan hui-to itu menancap di punggungnya, tidak terus, melainkan menancap paling banyak sepanjang jari telunjuk dan menempel di situ. Darah muncrat dan Hong Ing menjerit.

"Kun Liong...!"

Sebelum Kun Liong sempat melakukan sesuatu, Hong Ing sudah menggendongnya dan dara ini lantas meloncat jauh dan terus melarikan diri secepat kilat sambil menggendong tubuh Kun Liong!

“Hemm, Sumoi Pek Hong Ing...! Begitu tak tahu malukah engkau? Berhenti!" dia mengejar dari belakang setelah menyambar pedangnya dan menyarungkannya.

Akan tetapi Hong Ing tak peduli, dia terus menggendong Kun Liong sambil mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk melarikan diri. Pada waktu dia menengok dan melihat suci-nya mengejar, dia berlari makin cepat lagi.

Kun Liong diam-diam merasa geli, dan juga terharu. Tidak disangkanya bahwa sang suci seganas dan segalak itu sedang sang sumoi begini halus budinya. Sebenarnya luka di punggungnya itu tidak seberapa dan kalau dia mau, tentu saja dia dapat melawan suci itu, atau andai kata melarikan diri sekali pun, tidak perlu digendong karena dia dapat lari lebih cepat dari Hong Ing.

Akan tetapi, sekali merasa digendong belakang, dia merasa kenikmatan yang luar biasa. Tubuhnya mendekap ketat punggung Hong Ing sehingga terasa kelembutan yang hangat dan hidungnya mencium keharuman memabukkan, maka dia merangkulkan kedua lengan di atas pundak Hong Ing sedangkan dua kakinya yang panjang dia kempitkan di pinggang dara itu. Dia pura-pura setengah pingsan!

Akan tetapi karena maklum bahwa mereka berdua sedang dikejar, diam-diam Kun Liong mengerahkan ginkang-nya hingga tubuhnya ringan sekali dan tidak menjadi penghalang bagi Hong Ing untuk mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat. Dan ternyata dalam hal ilmu berlari cepat, Hong Ing lebih menang dibandingkan dengan suci-nya.

Dia memasuki hutan, menyelinap di antara pohon-pohon dan makin lama jarak antara dia dan pengejarnya semakin jauh dan akhirnya Hong Ing tiba di tempat yang ditujunya, yaitu sebuah kuil kuno di tengah hutan. Dia segera menyelinap di balik pohon dan memasuki semak-semak, menurunkan tubuh Kun Liong yang pura-pura pingsan, mencabut hui-to itu dan memeriksa lukanya.

Betapa heran rasa hati Hong Ing ketika memeriksa luka itu. Ketika mencabut hui-to tadi, dia pun sudah heran melihat hui-to yang panjang itu hanya masuk sedikit saja, padahal ia tahu benar bahwa suci-nya adalah seorang ahli penyambit pisau terbang yang amat lihai dan yang telah mewarisi kepandaian guru mereka sepenuhnya. Tidak saja hui-to itu amat cepat jika dilontarkan suci-nya, juga pasti mengenai sasarannya dan biasanya tentu akan menancap sampai ke gagangnya!

Akan tetapi dia tak memusingkan hal itu, hanya merasa bersyukur dan selagi dia hendak mengambil obat dari dalam saku jubahnya, tiba-tiba saja dia merangkul Kun Liong sambil mendekap mulut pemuda itu dengan tangannya, khawatir kalau-kalau pemuda itu setelah siuman mengeluarkan suara. Matanya memandang ke depan di mana terdapat sebuah lorong kecil dan di atas lorong ini nampak tujuh orang nikouw berjalan beriringan sambil membaca doa!

Kun Liong melirik dan dapat pula melihat iring-iringan itu. Dia senang sekali didekap dan kepalanya berbantalkan lengan halus itu, apa lagi mulutnya didekap. Dengan halus dia memegang lengan yang mendekap mulutnya lantas menariknya sehingga mulutnya tidak tertutup lagi. Dia mengeluarkan rintihan perlahan, pura-pura merasa kesakitan hebat!

"Sssttt...!" Dalam kekhawatirannya akan terlihat oleh para saudaranya dari kuil itu, tanpa disadarinya lagi Hong Ing mendekap kepala Kun Liong ke dadanya dan kebetulan sekali Kun Liong miringkan mukanya sehingga kini mukanya terdekap ke dada.

Kun Liong meram melek dan sekali ini dia benar-benar hampir pingsan pada saat merasa betapa hidung dan pipinya merapat pada dada yang membusung itu dan tercium olehnya keharuman yang aneh. Aduh, mau rasanya aku selamanya begini, pikirnya dan tak terasa lagi mulutnya tersenyum penuh kesenangan hati!

Sesudah rombongan nikouw yang berdoa itu lewat dan sudah jauh, barulah Hong Ing bernapas lega dan ketika dia menunduk, kedua matanya terbelalak melihat betapa tanpa disadarinya dia sudah mendekap muka Kun Liong ke dadanya! Hampir dia menjerit dan dia cepat melepaskan kepala itu sehingga kepala gundul itu jatuh ke tanah mengeluarkan suara berdebuk.

"Aduhhhh...!" Kun Liong mengeluh.

"Kusangka kau masih pingsan!"

"Aku tidak pernah pingsan!"

"Kalau begitu, mengapa kau diam saja?"

"Habis disuruh apa?"

"Hemmm, kau aneh dan kadang-kadang timbul sangkaanku bahwa kau adalah seorang yang kurang ajar! Nah, miringlah, biar kuobati lukamu!"

Kun Liong tidak bicara lagi, takut kalau benar-benar dia dibenci karena dianggap kurang ajar, maka dia miring dan membiarkan lukanya diobati oleh Hong Ing. Sekali ini Kun Liong merasakan sesuatu yang aneh di hatinya. Dia merasa amat kasihan kepada dara ini dan di dalam hatinya sama sekali tidak ada niat untuk menggoda, sungguh pun kehadiran dan kecantikan dara ini jauh lebih hebat pengaruhnya terhadap dirinya dibandingkan dengan gadis-gadis cantik lain yang pernah dijumpainya dan digodanya.

Sesudah selesai mengobati luka di punggung Kun Liong, Hong Ing berkata, "Aku girang sekali dapat membalas kebaikanmu dulu ketika mengobati aku dengan sekarang merawat lukamu, Kun Liong. Sekarang, harap kau suka cepat pergi sebelum Suci datang lagi dan sebelum para nikouw di Kwan-im-bio tahu bahwa kau berada di sini."

Kun Liong telah duduk. Mereka duduk saling berhadapan dan Kun Liong menggelengkan kepalanya. "Nanti dulu, Hong Ing. Sudah terlalu banyak kita mengalami bahaya bersama, dan sudah terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu. Aku ingin sekali mengenalmu lebih dekat dan lebih baik lagi. Sudikah kau menceritakan kepadaku semua hal ihwalmu, barang kali aku dapat membantumu, baik dengan nasehat mau pun dengan perbuatan?"

Hong Ing meragu, sejenak mereka berpandangan. Kemudian Hong Ing menghela napas dan berkata, "Baiklah. Kita memang masih harus bersembunyi di sini sampai keadaan aman benar."

Maka dara cantik jelita yang terpaksa menjadi nikouw ini mulai menceritakan riwayatnya kepada Kun Liong dengan suara bisik-bisik dan yang didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Pek Hong Ing yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun adalah murid tersayang dari seorang pertapa wanita di Pegunungan Go-bi-san yang berjulukan Go-bi Sin-kouw (Wanita Sakti dari Go-bi). Nenek sakti ini hanya memiliki dua orang murid, yang pertama adalah Lauw Kim In, yaitu dara jelita galak yang menyerang Hong Ing itu.

Hong Ing adalah seorang anak yatim piatu, demikian pula suci-nya, Kim In. Sejak berusia lima tahun dia telah digembleng bersama suci-nya oleh Go-bi Sin-kouw, dan kedua orang anak perempuan yang sama-sama yatim piatu ini hidup bagaikan kakak beradik, Kim In lebih tua tiga tahun dari Hong Ing, dan sekarang telah berusia dua puluh tahun.

Sukarlah dikatakan siapa di antara dua orang dara ini yang lebih berhasil mewarisi ilmu kepandaian Go-bi Sin-kouw. Kim In kelihatan sangat lihai dengan ilmu pedangnya dan terutama sekali senjata rahasia hui-to (pisau terbang) yang membuat dara ini sukar dicari tandingannya. Sedangkan Hong Ing telah mewarisi ilmu cambuk dari gurunya yang dapat dia mainkan dengan sehelai sapu tangan sutera saja! Di samping ini, juga dalam hal ilmu meringankan tubuh (ginkang), si sumoi ini agaknya jauh melampaui suci-nya.

Ketika berusia delapan belas tahun, oleh gurunya yang terkenal galak dan berhati baja itu Kim In ditunangkan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi, ketika pada suatu hari pemuda tunangannya ini oleh Go-bi Sin-kouw disuruh berkunjung kepada seorang sahabatnya di kaki Pegunungan Go-bi-san, terjadilah hal yang amat hebat.

Sahabat dari Go-bi Sin-kouw itu adalah seorang tokoh yang sangat sakti, terkenal sekali akan tetapi seperti juga Go-bi Sin-kouw, dia tak pernah turun gunung. Julukannya adalah Thian-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Langit) dan sudah lama menjadi sahabat baik Go-bi Sin-kouw karena memang masih ada pertalian perguruan di antara mereka.

Ketika pemuda tunangan Kim In itu tiba di tempat pertapaan Thian-ong Lo-mo dia diterima baik, suratnya dari Go-bi Sin-kouw juga diterima dan karena hari sudah malam, pemuda itu disuruh bermalam di pondok si kakek pertapa. Dan pada malam hari itulah terjadinya mala petaka.

Di samping kesaktiannya, kakek Thian-ong Lo-mo juga terkenal sebagai seorang kakek yang tidak pernah hidup sendiri, tentu selalu ditemani seorang isteri yang cantik dan muda dan yang hampir setiap tahun berganti orang!

Isteri atau selir cantiknya pada waktu itu, yang biasanya hanya tidur dan dipeluk seorang kakek yang usianya sudah hampir seratus tahun, tentu saja menjadi terpesona dan amat tergila-gila kepada pemuda tampan yang menjadi tamu suaminya. Hal yang lumrah pun terjadilah. Sang pemuda tidak kuat menahan bujuk rayu si cantik jelita sehingga terjadilah perjinahan di antara mereka. Dan celakanya, mereka tertangkap basah oleh Thian-ong Lo-mo sendiri!

Pasangan kekasih itu lantas dibunuh oleh Thian-ong Lo-mo dan kepala mereka dikirimnya kepada Go-bi Sin-kouw yang dapat mengerti apa yang sudah terjadi. Karena kesalahan berada di pihak calon mantunya itu, maka Go-bi Sin-kouw juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali minta maaf.

Dapatlah dibayangkan betapa hancur hati Lauw Kim In melihat peristiwa ini. Bukan hanya hancur karena ia urung menikah, tapi terutama sekali hancur karena sakit hati mendengar betapa tunangannya itu berjinah dengan isteri Kakek Thian-ong Lo-mo. Dengan demikian baginya dianggap bahwa dia dihina dan diremehkan oleh tunangannya, dan mulai saat itu di dalam hatinya tumbuh bibit kebencian yang amat mendalam terhadap kaum pria!

Semenjak itu, di hadapan gurunya dia bersumpah untuk tidak menikah dan gurunya pun tidak mampu berbuat apa-apa karena maklum apa yang diderita oleh murid pertama ini. Kim In dan sumoi-nya yang ketika itu baru berusia lima belas tahun, semakin giat berlatih silat sampai dua tahun lamanya.

“Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sekitar tiga bulan yang lalu, mala petaka menimpa diriku..." kata Hong Ing menyambung ceritanya yang terus didengarkan penuh perhatian oleh Kun Liong.

Cerita tentang suci dara ini memang menarik, tetapi dia tidak begitu mempedulikan. Akan tetapi sekarang setelah Hong Ing mulai menceritakan riwayatnya sendiri, dia benar-benar menaruh perhatian sehingga pandang matanya seolah-olah tergantung kepada bibir yang merah kecil mungil itu.

Hong Ing melanjutkan ceritanya…..

Pada pagi hari itu, seperti biasa dia seorang diri berjalan-jalan di dalam hutan di lereng puncak Go-bi-san. Semenjak kecilnya, tidak seperti suci-nya, dara ini memang suka sekali akan keindahan alam, suka menyendiri di dalam hutan-hutan besar, apa lagi di waktu pagi hari ketika matahari baru saja muncul menyinarkan cahaya keemasan dan burung-burung berkicau menyambut datangnya sinar surya yang cemerlang indah itu, butir-butir embun menghias setiap ujung daun sehingga membuat rumput dan kembang berseri-seri penuh kesegaran. Kalau sudah berjalan seorang diri di dalam hutan seperti itu, Hong Ing merasa hidup di dunia lain, dunia yang baginya tidak ada lagi kesunyian karena semua yang ada di sekelilingnya bagai telah menjadi satu dengan dirinya, membuat dia tak lagi kehilangan orang tuanya yang telah tiada.

Ketika pagi hari itu dia dengan wajahnya yang cantik segar kemerahan berseri-seri, bagai peri jelita penjaga hutan itu sendiri, berlari-larian kecil mengejutkan burung-burung dan kelinci-kelinci, membuatnya tertawa terkekeh, mendadak dia dikejutkan oleh suara auman keras dan suara jerit orang minta tolong.

Cepat laksana seekor kijang meloncat, Hong Ing melarikan diri menuju ke arah suara itu dan apa yang dilihatnya membuat dia terkejut sekali. Seekor harimau yang sebesar anak kerbau sudah merobohkan seekor kuda dan penunggang kuda itu, yakni seorang laki-laki berpakaian indah, yang ikut pula roboh dengan sebelah kaki tertindih tubuh kudanya. Kini harimau itu siap untuk menerkam orang laki-laki itu yang tadi menjerit minta tolong.

Dengan tiga loncatan saja Hong Ing sudah sampai di tempat itu, berdiri di antara laki-laki dengan harimau. Binatang ini menggereng, memperlihatkan taringnya, dan dua matanya seolah-olah hendak menyihir Hong Ing.

Di dalam hatinya, dara itu merasa gentar juga oleh karena selama ini belum pernah dia melawan harimau. Akan tetapi karena maklum bahwa kalau dia tidak turun tangan tentu laki-laki itu akan menjadi korban harimau, dia sudah bersiap dan meloloskan sapu tangan yang biasanya diselipkan di antara kancing bajunya.

Dengan gerakan hati-hati Hong Ing memutar-mutar sapu tangannya sehingga ujungnya menjadi sebuah cambuk, dan matanya tidak pernah berkedip menentang pandang mata harimau itu. Ada pun laki-laki yang masih rebah itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, bahkan dia kini sudah berhasil menarik kakinya dari tubuh kudanya yang sekarat, lalu bekata,

"Awas Nona.... harap lekas menyingkir...!"

Ucapan ini memperkuat keputusan Hong Ing untuk menolong laki-laki itu. Seorang yang terancam bahaya maut seperti lelaki itu akan tetapi masih ingat untuk mengkhawatirkan keselamatan orang lain, tentulah seorang yang baik budi dan patut ditolong.

Akan tetapi ucapan laki-laki itu seakan-akan menjadi aba-aba bagi sang harimau yang sudah menggereng keras dan meloncat tinggi menubruk ke arah Hong Ing dengan mulut terbuka lebar dan kedua kaki depan siap mencakar dan merobek-robek kulit daging lunak halus dari dara itu!

"Celaka...!" Laki-laki itu berseru dan kini dia sudah mencabut pedangnya, akan tetapi baru saja melangkah setindak, dia hampir terjatuh karena ternyata kakinya yang terhimpit kuda tadi terkilir.

Akan tetapi, laki-laki itu terbelalak dan memandang dengan mata penuh kagum melihat betapa dengan ringan dan cepat dara itu sudah meloncat ke kiri dan ketika tubuh harimau besar itu lewat, dia melihat dara itu mengebutkan sehelai sapu tangan sutera putih yang mengeluarkan bunyi meledak nyaring dan harimau itu terjungkal dan menggereng-gereng, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kiri saja karena mata kanannya sudah hancur dan bercucuran darah!

Karena nyeri dan marah, harimau itu mengaum dan sekali lagi meloncat dengan dahsyat sekali menubruk si dara muda dan sekarang laki-laki itu lebih bengong lagi melihat betapa dara itu pun segera meloncat menyambut terkaman si harimau, sapu tangannya kembali meledak, kakinya menendang di udara sehingga tubuh harimau itu terlempar sampai tiga meter, jatuh terbanting dan mata kirinya juga sudah hancur.

Harimau itu menggereng-gereng, kemudian seperti gila menubruk sana-sini, lari sana-sini akhirnya kepalanya menumbuk sebuah batu karang besar, pecah dan roboh berkelojotan, kemudian tak bergerak lagi!

Laki-laki itu sejenak tak dapat berkata-kata, hanya memandang ke arah bangkai harimau, lalu menghampiri Hong Ing yang sedang menyeka keringatnya dengan sapu tangannya. Bagaimana pun juga, tadi dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya untuk mengalahkan binatang yang kuat dan galak itu.

Laki-laki itu seperti merasa berada dalam mimpi. Hampir dia tidak dapat percaya, apa lagi setelah kini berhadapan dekat dengan dara itu. Seorang dara yang usianya baru belasan tahun, tujuh belas tahun, mampu membunuh harimau dengan cara sedemikian aneh dan mudah, hanya bersenjata sehelai sapu tangan yang kini dipakai menghapus keringat yang membasahi leher! Bukan main!

"Nona..." Laki-laki itu menjura. "Nona sudah menolong nyawaku dan aku tidak mungkin diam saja. Nona, ketahuilah bahwa aku adalah Pangeran Han Wi Ong dari kota raja. Aku sedang berburu, akan tetapi tersesat dan terpisah dari para pengawal sampai di tempat ini. Ketika tadi harimau muncul, kudaku terpeleset dan diterkam, kemudian... ah, aku tentu telah menjadi makanan harimau kalau Nona tidak datang menolong."

Diam-diam Hong Ing terkejut, sama sekali tidak menduga bahwa orang yang ditolongnya adalah seorang pangeran dari kota raja! Putera Kaisar! Akan tetapi karena dia selamanya tinggal di gunung dan tidak mengenal tata susila cara bangsawan, dia hanya membalas penghormatan dengan mengangkat kedua tangan depan dada, lalu menjawab,

"Harap Pangeran tidak bersikap berlebihan. Sudah menjadi kebiasaan tiap manusia untuk saling menolong apa bila melihat orang terancam bahaya. Nah, bahaya sudah lewat, saya mohon diri, Pangeran."

Hong Ing sudah membalikkan tubuhnya, namun laki-laki yang gagah tampan, dan usianya kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian indah sekali itu berseru, "Tahan dulu, Nona. Setidaknya harap Nona sudi memperkenalkan nama dan di mana tempat tinggal Nona. Kalau tidak, selamanya aku akan merasa menyesal dan merasa berdosa tidak mengenal nama penolongku yang telah menyelamatkan nyawaku."

Oleh karena sikap pangeran itu sopan dan tutur sapanya halus, Hong Ing menjawab terus terang, "Namaku Pek Hong Ing, dan aku tinggal bersama guruku, Go-bi Sin-kouw, dan suci-ku di puncak sana itu." Setelah berkata demikian, dara itu berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Han Wi Ong.

Pangeran itu semakin kagum. Sejenak dia terpesona dan kemudian dia menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Dialah yang patut mendampingi aku selama hidupku. Cantik jelita, muda, jujur, dan memiliki ilmu kepandaian yang dapat menjadi pelindungku selamanya! Go-bi Sin-kouw...? Hemm, harus kupinang dia!"

Demikianlah, pada keesokan harinya, Pengeran itu bersama dengan rombongan pasukan pengawalnya sudah mendatangi pondok Go-bi Sin-kouw, lalu dengan jujur dan langsung karena dia pun terkenal jujur dan terang-terangan, mengajukan pinangan terhadap Hong Ing untuk dijadikan isterinya!

"Hendaknya Sin-kouw yakin bahwa saya hendak mengambil Nona Pek Hong Ing sebagai isteri sah, bukan sebagai selir dan pernikahan antara kami akan dirayakan besar-besaran di istanaku. Andai kata kelak saya mempunyai keberuntungan menjadi kaisar, dia pasti menjadi permaisuriku!"

Tentu saja hati nenek itu menjadi bangga bukan main. Serta merta dia segera menerima pinangan itu, karena bukankah dia yang berhak penuh atas diri murid-muridnya? Hong Ing sudah yatim piatu dan semenjak kecil dididiknya, maka dengan berani dia menerima pinangan, bahkan menerima tanda ikatan jodoh berupa pedang bergagang mutiara dan emas, dan juga menerima ketentuan bahwa sebulan lagi Sang Pangeran akan mengirim pasukan untuk menjemput isterinya!

"Demikianlah, Kun Liong," kata Hong Ing melanjutkan ceritanya dan suaranya kini tergetar penuh kedukaan hati yang ditahan-tahan, "kau dapat membayangkan betapa hancurnya hatiku. Oleh Subo aku dianggap seperti seekor binatang saja, begitu mudah dijodohkan, atau sebuah benda yang mudah saja dihadiahkan kepada seorang pria. Memang harus kuakui bahwa Pangeran Han Wi Ong adalah seorang laki-laki yang gagah, baik dan juga berkedudukan tinggi. Akan tetapi usianya sudah empat puluhan tahun, dan sepantasnya menjadi ayahku, mana aku bisa senang menjadi isterinya? Aku menangis dan menolak, akan tetapi Subo adalah seorang yang berkemauan baja dan dia lebih baik melihat aku mati di hadapan kakinya dari pada melihat aku menolak sehingga dia harus membatalkan perjanjiannya dengan seorang pangeran. Apa lagi karena sudah belasan kali aku menolak pinangan orang, maka Subo menjadi marah dan memaksa aku dengan ancaman mati. Aku sudah putus harapan dan malam itu aku sudah menggantung diri, hendak membunuh diri..."

"Hong Ing...!" Kun Liong terkejut sekali dan tak terasa lagi dia memegang lengan dara itu, mukanya menjadi pucat.

Hong Ing tersenyum pahit menyaksikan sikap pemuda gundul itu.

"Agaknya baru sekaranglah aku bertemu dengan orang sebaik engkau, Kun Liong, yang demikian memperhatikan nasib diriku. Aku ditolong oleh Suci yang menurunkan aku dari gantungan, menangisi aku dan menghiburku. Dia mengingatkan aku bahwa kami berdua sudah berhutang budi kepada Subo dan sudah sepatutnyalah kalau aku membalas budi Subo dengan mentaati perintahnya. Pula, demikian kata Suci, bukankah aku menjadi istri seorang pangeran dan bahkan besar kemungkinan kelak menjadi permaisuri? Kalau aku membunuh diri, berarti aku menghina Subo dan nama Subo tentu akan tercemar terhadap keluarga kaisar, mungkin akan dianggap sebagai pemberontak."

"Hemmm, nasibmu sungguh buruk, Hong Ing. Lalu… bagaimana engkau sampai menjadi nikouw?"

"Akhirnya aku mengambil keputusan untuk melarikan diri dari puncak Go-bi-san. Aku lari pada malam hari dan terus melarikan diri sampai akhirnya aku tiba di Kuil Kwan-im-bio itu, di mana tinggal belasan orang nikouw dikepalai oleh seorang nikouw tua yang saleh. Aku menghadap kepada Biauw Kwi Nikouw, ketua kuil itu, dan minta supaya diterima menjadi nikouw. Kupikir bahwa ke mana pun aku pergi, tentu Subo dan Suci akan dapat mencari dan memaksaku. Akan tetapi setelah aku menjadi nikouw, kiranya mereka takkan berani mengganggu seorang yang sudah memilih hidup suci. Agar dapat membebaskan diri dari pernikahan yang tidak kusuka itu, aku rela mengorbankan hidupku menjadi nikouw, walau pun di dalam hatiku sungguh mati aku tidak berniat menjadi seorang pendeta."

Kun Liong mengangguk-angguk dan hanya di dalam hatinya dia berkata bahwa memang amat tidak patut dan terlalu amat sayang sekali seorang dara berusia tujuh belas secantik Hong Ing ini harus menjadi nikouw gundul yang selama hidupnya tidak berurusan dengan dunia!

"Mula-mula Biauw Kwi Nikouw menolak dan aku sudah hampir putus harapan..."

"Aihhh, mengapa menolak orang hendak menjadi nikouw dengan suka rela?" tanya Kun Liong terheran.

Hong Ing melanjutkan penuturan pengalamannya. Pada waktu dia menghadap Biauw Kwi Nikouw untuk diperkenankan menjadi nikouw, nikouw tua itu berkata,

"Nona, engkau masih muda dan cantik sekali. Apa bila engkau menjadi nikouw di sini, berarti engkau akan mencari mala petaka dan kami pun terkena getahnya. Tidak, kami tidak berani menerimamu menjadi nikouw di sini, Nona."

"Mengapa, Subo? Apa yang telah terjadi?"

"Sudah ada tiga orang muridku, nikouw-nikouw muda, mati menggantung diri dalam waktu sepekan ini."

Hong Ing terkejut. "Mati menggantung diri? Mengapa?"

"Karena mereka tidak sudi lagi hidup di dunia setelah mereka tercemar."

"Tercemar?"
"Ya, diperkosa seorang laki-laki, omitohud..."

Hong Ing meloncat bangun. "Laki-laki mana yang berani memperkosa nikouw?"

"Ah, kami tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi selama sepekan, berturut-turut tiga orang nikouw muda diculik dari kamarnya, dibawa ke hutan kemudian diperkosa. Pada keesokan harinya, mereka itu satu per satu menggantung diri sampai mati. Nah, dengan adanya peristiwa ini, apakah Nona masih tetap ingin menjadi nikouw di sini dan terancam bahaya?"

"Aku tetap ingin menjadi nikouw, dan harap Subo jangan khawatir. Aku akan menangkap dan menghajar binatang busuk itu!"

Demikianlah, karena desakan Hong Ing, akhirnya dara ini digunduli rambutnya, lalu diberi pakaian nikouw dan menjalankan upacara sembahyang untuk menjadi nikouw, disaksikan oleh belasan orang nikouw yang menjadi murid Biauw Kwi Nikouw. Hong Ing menangis tersedu-sedu, akan tetapi bagaimana pun juga, kepalanya sudah menjadi gundul licin dan ditutupi dengan penutup kepala berwarna putih.

Malam hari itu, sengaja Hong Ing keluar seorang diri dan berjalan-jalan di sekeliling kuil untuk menjadikan dirinya sebagai ‘umpan’ memancing kedatangan laki-laki terkutuk yang sudah memperkosa tiga nikouw dan menyebabkan mereka membunuh diri. Para nikouw lain yang maklum akan usaha nikouw baru ini, mengintai dari tempat aman dengan hati berdebar tegang.

Tiba-tiba saja tampak sesosok bayangan orang yang tinggi besar dan begitu tiba di depan Hong Ing, dara ini merasa terkejut dan jijik sekali. Laki-laki itu tinggi besar, usianya sudah lima puluh tahunan, rambut, jenggot serta kumisnya riap-riapan menakutkan, kotor sekali, matanya lebar dan dia terkekeh memandang kepada Hong Ing sambil berkata,

"Ha-ha-heh-heh, nikouw muda baru ya? Wah, cantiknya, wah, malam ini aku benar-benar untung besar! Orang secantik engkau ini sedikitnya harus kupeluk selama sebulan, kalau perlu selamanya, ha-ha-ha!"

Hong Ing sudah meloncat. Sekali tangannya menampar dan…

"Plak-plak-plak!" terdengar suara keras sekali.

Tubuh laki-laki itu langsung terpelanting. Akan tetapi ternyata dia kuat juga, karena sudah dapat bangun kembali, matanya makin terbelalak lebar.

"Ho-ho-ho, jadi kau memiliki sedikit kepandaian? Bagus, lebih menarik lagi!"

Terjadilah pertandingan, namun sebentar saja laki-laki itu terdesak hebat dan beberapa kali terkena pukulan tangan Hong Ing. Biar pun tubuhnya kebal, namun pukulan Hong Ing bukan tidak keras dan mendatangkan rasa yang cukup nyeri, maka akhirnya laki-laki itu melarikan diri.

"Binatang terkutuk, hendak lari ke mana kau?!" Hong Ing membentak lalu mengejar.

Para nikouw lainnya yang menyaksikan betapa nikouw muda baru itu betul-betul lihai dan berhasil mengalahkan laki-laki cabul yang seperti orang gila itu, langsung turut mengejar pula!

Mereka masih sempat melihat betapa Hong Ing sudah dapat menyusul laki-laki itu, lantas menghajar laki-laki itu sampai jatuh bangun. Laki-laki itu marah, tiba-tiba menggereng dan dengan kedua lengannya laki-laki itu mengangkat sebuah batu besar sekali dan hendak menimpakan batu itu kepada Hong Ing.

"Aihhh...!" Dua orang nikouw lain yang lebih dulu datang di tempat itu menjerit ngeri.

Akan tetapi Hong Ing segera meloncat ke depan, menerima batu itu dan mengerahkan sinkang-nya mendorong sehingga kini justru lelaki itulah yang tertindih batu dan tergencet oleh batu besar itu. Terdengarlah suara orang berteriak mengerikan dan ketika Hong Ing melepaskan batu itu, ternyata lelaki itu telah hancur dan gepeng terhimpit batu, tubuhnya bersandar pada batu gunung. Dada dan kepalanya pecah hingga darah muncrat-muncrat membasahi tempat di sekelilingnya!

"Omitohud...!" Para nikouw berseru ketika menyaksikan ini.

Biauw Kwi Nikouw lalu memerintahkan murid-muridnya untuk mengubur mayat yang amat mengerikan itu, dan semenjak saat itu, Hong Ing dianggap sebagai seorang nikouw yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bahkan Biauw Kwi Nikouw sendiri berikap manis dan kagum sekali kepadanya.

"Demikianlah, Kun Liong." Hong Ing menutup penuturannya, "semenjak hari itu pula aku menjadi nikouw di Kwan-im-bio dan aku melatih mereka ilmu silat. Tentu saja aku tidak mau diangkat menjadi guru mereka, maka mereka semua, kecuali ketua kuil, menyebutku Toa-suci (Kakak Seperguruan Tertua)."

Kun Liong makin terharu. Sungguh malang sekali nasib dara ini. Patut dikasihani dan dia sendiri merasa menyesal bahwa dia pernah menggoda dara yang sepatutnya dilindungi dan dibela ini.

"Ahh, kasihan sekali engkau, Hong Ing. Tak kukira orang seperti engkau ini dapat dilanda kesengsaraan hidup seperti itu. Dan dahulu, mengapa engkau sampai dapat terluka oleh jarum merah milik Ouwyang Bouw?"

"Ahh, sebetulnya soalnya sepele saja, akan tetapi dasar kami yang tidak mengenal orang pandai. Pada hari itu, kuil kami kedatangan seorang kakek aneh dan seorang pemuda. Karena hari telah malam sedangkan mereka minta menginap, tentu saja Subo tidak dapat menerima mereka, mengatakan bahwa Kuil Kwan-im-bio adalah kuil para nikouw maka merupakan pantangan besar untuk menerima pria sebagai tamu bermalam di kuil."

"Hemmm, orang-orang semacam Ban-tok Coa-ong dan anaknya yang gila itu mana mau mengerti," kata Kun Liong.

"Memang demikianlah. Ban-tok Coa-ong memaki Biauw Kwi Nikouw sebagai nenek gila cerewet yang bosan hidup dan sekali tangannya menampar, Biauw Kwi Nikouw terguling roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika! Para nikouw lainnya menjadi marah dan menyerbu, karena mereka itu sedikit banyak sudah belajar silat kepadaku. Akan tetapi, hanya dengan dorongan-dorongan jarak jauh, semua nikouw terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali karena sudah mengalami luka dalam. Aku sendiri menubruk Biauw Kwi Nikouw dan pada saat itu pula dari belakang Ouwyang Bouw menyerangku dengan jarum merah. Aku tidak dapat mengelaknya dan aku roboh pingsan. Mereka ayah dan anak iblis itu pergi sambil tertawa-tawa dan selebihnya kau mengetahui sendiri. Aku minta supaya dibawa ke seorang ahli obat di kota, dan ketika berada di joli kebetulan sekali berjumpa denganmu dan engkau telah menyelamatkan nyawaku."

"Aihhh... sungguh kau telah mengalami banyak hal yang amat sengsara, Hong Ing. Hanya aku menyesal sekali mengapa engkau mengambil jalan pendek menjadi nikouw."

"Tidak ada jalan lain. Untuk membunuh diri aku... aku tidak berani..."

"Jangan!" Kun Liong setengah berteriak. "Perbuatan itu adalah perbuatan paling rendah dan pengecut di dunia ini. Sekarang engkau tidak perlu takut lagi. Setelah engkau menjadi nikouw, apa yang dapat dilakukan oleh suci-mu dan gurumu? Apakah mereka masih bisa memaksamu? Pula, kalau pangeran tua mata keranjang itu melihat kau sudah menjadi nikouw, apakah dia hendak memaksa memperisteri seorang nikouw?"

Melihat sikap Kun Liong yang marah-marah ini, terharulah hati Hong Ing karena hal ini membuktikan betapa besar perhatian pemuda ini kepada nasib dirinya.

"Ahh, kau tidak mengenal guruku, Kun Liong. Dia adalah orang yang berhati keras seperti baja dan semua kehendaknya harus terlaksana. Apa sukarnya memaksa aku memelihara rambut lagi dan memaksaku menikah? Sudahlah, serahkan hal itu kepadaku. Kau tidak perlu ikut berduka dan bingung, Kun Liong. Engkau sudah terlampau baik kepadaku dan percayalah, sampai mati pun aku tidak akan dapat melupakan kebaikanmu. Lihat, itu Suci mendatangi kuil, apa bila aku tidak lekas menemuinya, tentu para nikouw akan terancam bahaya. Kalau sudah marah, Suci seperti Subo saja, keras dan ganas. Kau pergilah, Kun Liong, pergilah, selamat berpisah, sahabat dan penolongku yang baik!"

Hong Ing menyentuh lengan Kun Liong, kemudian terisak dia meloncat dan lari ke arah kuil di mana tadi bayangan Kim In telah masuk lebih dahulu.

Hati Kun Liong bagaikan diremas-remas rasanya. Entah mengapa, dia merasa kasihan sekali terhadap Hong Ing dan mengambil keputusan untuk membela dara itu dari segala bahaya. Dengan pikiran ini, dia lalu melompat dan menyelinap, menghampiri kuil itu dari samping dan melakukan pengintaian. Dengan jantung berdebar Kun Liong melihat Hong Ing berdiri dengan kepala tunduk berhadapan dengan suci-nya, Lauw Kim In yang galak itu.

Kim In sudah memegang pedangnya dan dengan suara kereng berkata, "Pek Hong Ing, aku mewakili Subo Go-bi Sin-kouw memerintahkan engkau untuk berlutut!"

Hong Ing menarik napas panjang dan dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya yang galak itu.

"Pek Hong Ing, sebagai murid engkau sudah murtad, melanggar perintah guru dan pergi tanpa pamit. Untuk semua kejadian itu Subo masih bisa mempertimbangkannya asal saja engkau ikut bersamaku ke puncak Go-bi-san. Kalau tidak, sekarang juga akan kupenggal kepalamu dan akan kubawa kepalamu kepada Subo seperti yang diperintahkan Subo!"

Mendengar ucapan itu, belasan orang nikouw yang berada di sana dan yang menonton dengan muka marah itu menjadi makin marah. "Dari mana datangnya perempuan jahat yang menghina Toa-suci?" Mereka itu lalu menyerbu dan mengeroyok Kim In.

"Para sumoi... jangan...!" Hong Ing berteriak, namun cegahannya terlambat, tubuh Kim In melesat ke sana sini dan dalam segebrakan saja belasan orang nikouw itu sudah roboh semua dan mengaduh-aduh terkena pukulan dan tendangan kaki Kim In.

"Hemm, kalau aku tidak ingat bahwa kalian semua adalah pendeta, apakah kalian dapat mengharapkan untuk dapat hidup?" Kim In berkata, sikapnya dingin sekali.

Para nikouw yang hendak membela Hong Ing itu sudah bangun lagi dan mereka mulai mencari senjata. Akan tetapi Hong Ing melompat dan mengangkat kedua tangan ke atas. "Para sumoi kuperintahkan agar jangan melawan! Biarkan aku pergi bersama dia, dia ini adalah suci-ku!" Kemudian dia menoleh kepada Kim In sambil berkata, "Saya menurut kehendak Suci dan ikut bersamamu menghadap Subo, akan tetapi baik engkau mau pun Subo jangan mengharap akan dapat memaksaku menikah setelah aku sekarang menjadi nikouw."

"Sumoi, kau tahu betapa semenjak dulu aku menganggapmu sebagai adik sendiri. Akan tetapi, betapa pun juga kita tidak bisa menentang Subo."

Ucapan ini membuat Hong Ing amat terharu. Dia teringat bahwa dahulu suci-nya ini yang mencegahnya membunuh diri dan tahu pula bahwa andai kata suci-nya itu membantunya lari, tetap saja mereka berdua tak akan dapat terlepas dari pengejaran subo mereka yang memiliki kepandaian seperti dewi!

Maka berangkatlah dua orang sumoi dan suci ini meninggalkan Kuil Kwan-im-bio, diiringi tangis para nikouw yang dapat menduga bahwa toa-suci mereka yang juga guru mereka yang mereka sayang itu tentu sedang menghadapi mala petaka yang besar dan mereka sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya.

Kim In dan Hong Ing melakukan perjalanan cepat sekali karena keduanya menggunakan ilmu berlari cepat. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan besar yang amat sunyi. Tiba-tiba keduanya berhenti karena tahu-tahu ada bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar di depan mereka. Ketika keduanya memandang ternyata orang itu bukan lain adalah Yap Kun Liong yang berdiri dengan tenang namun dengan kedua alis dikerutkan dan wajah serius sekali, berbeda dari biasanya yang selalu berseri gembira.

"Kun Liong...! Apa yang akan kau lakukan di sini?" Hong Ing berseru kaget sekali.

"Hemm, hwesio cabul apakah kau berani menghadang kami?" Kim In memaki dan sudah mencabut lagi pedangnya.

Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. "Nona Ing, betapa lemahnya engkau, menurut saja kepada kehendak orang lain yang hendak mencelakakanmu. Dan engkau, Nona. Apakah engkau demikian kejam hendak mencelakakan sumoi sendiri? Ke mana peri kemanusiaanmu?"

"Jangan mencampuri urusan kami!" Kim In membentak.

"Kun Liong... aku tahu maksudmu baik, tapi... tapi ahhh, pergilah, jangan membikin aku lebih susah dan bingung...!" Hong Ing memohon.

"Tidak! Sebelum aku bicara, aku tidak akan membiarkan kau dipaksa pergi oleh siapa pun juga!" Dia memandang kepada Kim In, pandang matanya berkilat hingga gadis itu terkejut juga.

"Nona, kau salah sangka. Aku bukanlah hwesio, juga tidak melakukan perbuatan busuk dengan sumoi-mu. Kami adalah dua orang sahabat yang kebetulan saja saling bertemu dan saling menolong dari bahaya, dan hanya orang-orang berpikiran kotor saja yang akan menyangka yang bukan-bukan! Sumoi-mu ini telah menjadi nikouw, berarti telah menjadi seorang suci yang tidak mau lagi berhubungan dengan dunia ramai. Mengapa sekarang dipaksa hendak dibawa dan dikawinkan? Aturan mana ini? Lagi pula, andai kata dia tidak menjadi nikouw, juga amat tidak patut kalau memaksa seorang dara seperti dia menikah di luar kehendaknya. Apakah dia itu seekor kucing atau anjing maka boleh dikawinkan begitu saja menurut selera dan pilihan orang lain? Apakah dia itu sebuah benda yang diperjual belikan, dan karena yang membeli ialah seorang pangeran kaya lalu diserahkan begitu saja meski pun dia tidak sudi menjadi isteri seorang tua bangka? Kau dan gurumu yang berjuluk Go-bi Sin-kouw itu sungguh tidak berperi kemanusiaan dan kejam, sungguh kejam!"

"Keparat, jahanam, tutup mulutmu!" Kim in sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berkelbat menyerang dengan serbuan ganas dan dahsyat sekali.

Akan tetapi dengan mudah Kun Liong sudah mengelak dan pemuda ini sudah siap untuk melawan. Dia akan merobohkan gadis ini tanpa melukainya agar mendapat kesempatan untuk mengajak lari Hong Ing. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat Hong Ing menggerakkan sapu tangannya menyambar dan menyerangnya.

"Tarrr...!"

Ujung sapu tangan menghantam kepala gundulnya dan dia sengaja tidak mau menangkis karena dia merasa heran sekali. Bagaikan disengat lebah, bagian kepala yang dihantam ujung sapu tangan tadi tampak menjendol dan berwarna merah. Hal ini karena Kun Liong sengaja membiarkan kepalanya dihantam, hanya gerakan otomatis dari sinkang-nya saja yang melindungi sebelah dalam kepala. Akan tetapi kulitnya tidak kebal sehingga kepala di bagian itu menjendol sebesar telur ayam.

"Hong Ing...," dia mengeluh.

Hong Ing berdiri dengan wajah pucat. "Sudah kukatakan, pergilah... jangan membikin aku lebih susah lagi, Kun Liong. Engkau tidak akan menang melawan dan kalau sampai Suci membunuhmu, aku... lebih berat lagi untuk mentaatinya. Pergilah, aku tahu niatmu baik dan maafkan seranganku tadi, Kun Liong."

"Bagaimana... kalau... kalau mereka memaksamu menikah?" Kun Liong masih bertanya ketika kedua orang gadis itu sudah berjalan pergi lagi.

Tanpa menengok Hong Ing menjawab, "Sebenarnya mudah saja membebaskan diri dari segala keruwetan dunia ini!"

Kun Liong masih berdiri pucat sesudah bayangan dua orang gadis itu tidak tampak lagi. Ucapan Hong Ing itu hanya mempunyai satu arti saja, yaitu bunuh diri! Kematian memang menjadi jalan yang paling mudah untuk membebaskan diri dari segala macam keruwetan dunia.

"Nona Ing...!" Dia mengeluh dan menghapus dua bintik air matanya dan dia kaget sendiri. Apa artinya ini? Mengapa dia merasa begini sengsara, merasa begini kesepian setelah Hong Ing pergi? Ahh, apakah aku telah gila? pikirnya.

Dia membalikkan tubuh, lalu berlari-lari cepat sekali menuju ke Kwi-eng-pang, berusaha untuk mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu otaknya. Betapa pun juga, masih saja wajah cantik jelita penuh kelembutan, mata yang bening dan sedalam lautan, sikap halus penuh pengertian itu selalu terbayang di depan matanya sampai kadang kala Kun Liong berhenti berlari, mengusap mukanya, mengeluh, baru berlari lagi secepatnya.

Dengan bantuan peta yang dulu dibuatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong untuknya, Kun Liong dapat menyeberangi Telaga Setan. Dia dapat menemukan sebuah perahu kecil di dalam semak-semak di tepi telaga, kemudian dengan mengambil cara memutar sesuai dengan petunjuk di peta, dia mendayung dan menyeberangi Kwi-ouw menuju ke pulau di tengah telaga itu.

Sesuai dengan petunjuk di dalam peta itu, dia menyeberangi Kwi-ouw pada waktu malam terang bulan dan mengemudikan perahunya melalui bagian-bagian tertentu, menyelusup gerombolan alang-alang, melintasi bawah sebuah jembatan yang menjulur ke telaga, lalu melewati semacam pintu dari dinding batu karang dan akhirnya dia dapat mendarat di tepi pulau sebelah timur, bagian yang tebingnya amat terjal dan terdiri dari batu karang yang amat kuat berwarna hitam kemerahan.

Dia mempergunakan tali yang berada di perahu untuk mencancang perahunya pada batu karang, kemudian dia mengaso dan tertidur di atas perahu kecil, dibuai ombak sehingga tidurnya enak sekali. Dalam tidur itu dia bermimpi dia bertemu dengan Hong Ing, melihat Hong Ing menjadi pengantin dan diarak dengan joli, akan tetapi di tengah jalan dara itu menangis dan dia lalu mengobatinya seperti dulu, hanya melihat sebagian pinggul gadis itu saja!

Dia terbangun dan di ufuk timur telah tampak sinar kemerahan dari matahari yang belum muncul. Tertawa sendiri dia mengingat akan mimpinya. Mengapa pinggul itu tidak pernah dapat dia lupakan?

Mulailah Kun Liong mendaki batu karang, dibantu dengan alat yang sudah disediakannya sebelumnya sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong, yaitu dua betang besi kaitan. Meski pun dia seorang ahli sinkang yang kuat dan dapat merayap ke atas dinding seperti seekor cecak, akan tetapi mendaki tebing itu merupakan perbuatan berbahaya sekali dan tanpa dibantu oleh dua buah kaitan itu sama halnya bermain-main dengan maut, karena tebing itu selain curam, juga licinnya bukan main penuh dengan lumut yang tercipta dari air yang tersinar panasnya matahari.

Akhirnya dengan perasaan lega dia dapat mencapai puncak tebing, lalu melempar kedua kaitannya di atas batu dan mulailah dia berloncatan menuju ke tengah pulau. Ini pun dia lakukan dengan hati-hati, dengan perhitungan ke kanan kiri, mengatur sambil menghitung langkahnya sebab tempat ini pun tidak terluput penuh dengan jebakan-jebakan yang amat berbahaya.

Dia sudah menghafalkan lebih dulu petunjuk dalam peta, maka dengan enaknya dia dapat berloncatan dengan selamat hingga akhirnya dia sampai di depan pondok terbesar yang menjadi tempat tinggal Kwi-eng Niocu, Ketua Kwi-eng-pang. Dia masih ingat tempat ini dan tersenyum pada saat teringat betapa dia pernah ditangkap oleh para pelayan seperti orang-orang menangkap ikan saja.

Peta itu dia butuhkan hanya untuk menunjukkan jalan baginya. Sesudah sampai di depan pondok musuhnya ini dia tidak perlu lagi bersikap sembunyi-sembunyi. Dia menggunakan peta hanya agar dapat bertemu dengan Kwi-eng Niocu. Ia datang bukan sebagai pencuri, perlu apa sembunyi-sembunyi? Maka Kun Liong berdiri dengan tegak di depan pondok itu, mengangkat dada sambil mengerahkan khikang-nya berteriak nyaring sekali, "Kwi-eng Niocu...! Keluarlah, ini aku Yap Kun Liong ingin bertemu denganmu untuk bicara...!"

Pulau itu langsung geger karena suara Kun Liong bergema dahsyat sampai ke seluruh permukaan pulau. Para petugas yang menjaga di sekitar pondok, yang tadinya tertidur karena memang tidak menyangka akan ada sesuatu, serentak bangun, cepat menyambar senjata dan berlari-larian datang mengurung Kun Liong.

Akan tetapi pemuda ini tenang-tenang saja dan ketika seorang di antara mereka, seorang komandan penjaga menodongkan tombaknya di depan dadanya sambil membentak agar dia menyerah, Kun Liong menggerakkan tangan dan tombak itu pun sudah berpindah ke tangannya, kemudian tombak itu dipatah-patahkan seperti mematah-matahkan sebatang biting (lidi) saja! Semua penjaga menjadi bengong dan Kun Liong berkata,

"Aku tidak berurusan dengan kalian. Aku mau bicara dengan ketua kalian Kwi-eng Niocu!"

Karena melihat pemuda itu sedemikian lihainya dan benar saja tidak bergerak apa-apa, mereka lalu mundur dan mengurung dengan membuat lingkaran lebar sambil menunggu datangnya ketua mereka untuk menerima perintah.

Tidak lama kemudian, dari dalam pondok itu terdengar suara pintu pondok terbuka dan muncullah tiga orang dengan sikap garang. Seorang wanita setengah tua yang sikapnya agung berdiri di tengah...
Selanjutnya,