Petualang Asmara Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 17
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA berjalan berdampingan menuruni bukit itu. Kelihatan bagaikan dua orang sahabat baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang sedang bergegas pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat bahwa kedua tangan pemuda gundul itu terbelenggu!

Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoatsu amat melelahkan tubuh dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya.

Dia tahu bahwa bila kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saja tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan di dalam hidupnya sebelum mati konyol begitu saja.

Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab Siauw-lim-pai yang hilang juga belum dia penuhi. Oleh karena itu dia harus berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum sesat itu!

"Toat-beng Hoatsu, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mempunyai ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku terbelenggu?" Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini sangat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.

Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang sakit. Apa lagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang gadis! Kepalanya itu sangat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran tamparan!

"Toat-beng Hoatsu," Kun Liong berkata lagi dengan nekatnya. "Engkau mengingatkan aku akan Kongkong-ku (Kakekku)."

Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.

"Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku."

Karena Toat-beng Hoatsu sama sekali tidak menjawab, tapi kelihatannya memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi, "Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau keluarga lain seorang pun? Apakah engkau hanya hidup seorang diri, sebatang kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?"

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu sudah siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Meski pun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi jika hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji untuk membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

"Duduk!" Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata,

"Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama sejati, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di suatu kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, sungguh pun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan membuat aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Namun aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan dalam usia tiga puluh tahun aku menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."

Kun Liong mendengar dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada seorang pun manusia yang bersalah dalam mala petaka yang telah menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?"

"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci terhadap setiap manusia, membenci kebahagiaan mereka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih-pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa mala petaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuat dia menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biar pun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"

"Kau juga manusia!"

"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kau belenggu?"

"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau mempunyai kepandaian lumayan. Jika kulepaskan belenggu itu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang kakek itu dengan dua mata terbelalak penuh kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kini kau telah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku dari pada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli engkau membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus membunuhmu!"

Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huhh! Kau kira begitu mudah, Toat-beng Hoatsu? Biar pun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!"

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia kemudian menurunkan kembali tangannya sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"

"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang sangat patut dikasihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin memperebutkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusaka? Tentu semua itu tidak akan dapat mencegah kematian karena usia tua!"

"Cerewet, hayo jalan lagi!"

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam di dalam lamunannya. Percakapan tadi sangat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan yang lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andai kata dia betul-betul kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka hingga menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian?

Kini jelaslah tampak olehnya bahwa ketergantungan terhadap sesuatu akan menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain mau pun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Sebab mengikatkan diri sama artinya membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apa bila tiba saatnya sesuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Kenapa kita sampai terikat oleh sesuatu? Karena kesenangan! Keluarga kita, harta benda kita, nama baik dan kedudukan kita, kemuliaan kita, semua mendatangkan kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kita ingin agar semua itu tetap kekal bersama dengan kita! Karena itu kita mengikatkan diri jiwa raga kepada semua yang menimbulkan kesenangan kita, baik jasmaniah mau pun batiniah.

Dan sekali terkait, sekali yang kita senangi itu berakar di hati, bila tiba saatnya dipisahkan dari kita dan ini pasti akan terjadi sebab tidak ada yang kekal dalam setiap keadaan, akan selalu berubah, maka perpisahan itu akan menimbulkan penderitaan karena akar yang direnggutkan itu menimbulkan ikatan di hati.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari ikatan, berarti kita takkan bebas karena tindakan itu merupakan paksaan, merupakan perbuatan pura-pura dan munafik. Akan tetapi kalau persoalan derita yang timbul karena ikatan ini kita sadari benar-benar, kita mengerti pokok pangkalnya, pengertian ini sendiri akan bertindak membebabskan kita.


********************

Pada suatu pagi mereka tiba di suatu lembah Sungai Huang-ho yang merupakan daerah tandus penuh dengan pasir. Pasir-pasir ini tadinya terbawa oleh banjir, dan oleh karena banyaknya dan seringnya, membuat lembah sungai itu seperti sebuah padang pasir yang tandus!

Selagi mereka berdua berjalan dengan kepala tunduk, menuju ke utara ke arah Sungai Huang-ho untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu seperti yang diusulkan Kun Liong karena dia hanya dapat mengenal tempat itu kalau melakukan perjalanan dengan perahu, tiba-tiba di tempat sunyi itu muncul Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok.

Kakek itu menyeringai dan mengejek, “Wah, nyawamu ulet juga!”

“Toat-beng Hoatsu!” Bu Leng Ci membentak sambil mencabut samurainya.

Ternyata wanita ini sudah sembuh sama sekali, pikir Kun Liong yang menonton dengan hati tertarik.

“Bocah ini akulah yang menemukannya. Bagaimana mungkin aku membiarkan engkau membawanya begitu saja? Serahkan dia kepadaku!”

“Heh-heh-heh, kalau tidak kuberikan?”

“Aku akan memaksamu dengan samuraiku!”

“Hemm, boleh coba!” kata kakek itu sambil melepaskan kancing-kancing jubahnya yang berarti bahwa dia telah siap dengan ‘senjatanya’.

Bu Leng Ci cepat menggerakkan samurainya dan dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebat dan serunya. Sekarang barulah Bu Leng Ci dapat mengadakan perlawanan setelah luka dalam di tubuhnya sembuh dan ternyata oleh kakek itu bahwa kepandaian wanita ini benar-benar dahsyat, pantas menjadi saingannya dalam kedudukannya sebagai datuk.

Bu Leng Ci sekarang benar-benar mengeluarkan kepandaiannya, dan serangannya tidak hanya terbatas pada pedang samurainya, akan tetapi juga dibantu oleh sambaran rambut dan kadang-kadang tangan kirinya menyambitkan Siang-tok-soa, pasir berwarna hijau yang berbau harum akan tetapi mengandung racun jahat itu.

“Kun Liong, mari lari bersamaku!” Bi Kiok meloncat ke dekat Kun Liong.

Kun Liong berseru kepada kakek yang sedang bertanding itu, “Toat-beng Hoatsu, karena keadaan, terpaksa kita berpisah di sini! Bukan berarti aku melanggar janji!”

“Kalau begitu mampuslah!”

Saat itu Bi Kiok sudah menarik lengan Kun Liong dan tiba-tiba tubuh kakek itu menerjang Bu Leng Ci dan langsung meloncat tinggi ke atas ketika lawannya mundur oleh terjangan jubah yang dahsyat itu, kemudian dari atas dia melayang ke arah Bi Kiok.

“Desss! Desss!”

Bi Kiok terhuyung oleh angin sambaran jubah, akan tetapi jubah itu membalik ketika Kun Liong mengangkat lengannya yang terbelenggu itu untuk menangkis.

Bu Leng Ci sudah menyerangnya lagi dengan hebat sekali, memaksa Toat-beng Hoatsu melayaninya, ada pun Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka berdua cepat lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka berlari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu-batu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah goa di antara batu-batu karang.

"Kita menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah.

Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoatsu, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.

Kun Liong memandang kepadanya sambil tersenyum. "Bi Kiok yang manis, entah sudah berapa kali kau menolong nyawaku. Pertama, ketika dulu kau menolongku di kuil itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, pada waktu aku ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku..."

"Hemm, bagaimana kau tahu?"

"Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan sekarang, lagi-lagi kau menolongku. Ehh, anak baik, mengapa kau begini baik kepadaku?"

Gadis itu mengerutkan kedua alisnya, menunduk kemudian tiba-tiba dia meloncat bangkit dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu sudah terbebas dari belenggu. "Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!"

Kun Liong mengangkat kedua tangannya ke atas dan tersenyum. "Wah, aku lupa ketika menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu."

"Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian yang hebat. Aku sendiri tak akan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoatsu!"

Kun Liong memandang dan tersenyum. Sungguh hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian membuatnya tergila-gila karena mulutnya yang indah, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini... hemmm, kedua matanya itulah yang membuat dia tak dapat mengalihkan pandangannya. Mata itu demikian… indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah? Entahlah, akan tetapi benar-benar dia senang sekali memandangi mata itu!

"Begitukah...?" komentarnya atas dugaan Bi Kiok.

"Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Mengapa kau mandah saja dibawa pergi?"

"Karena aku sudah berjanji kepadanya, Nona yang baik, bahwa apa bila kau dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!"

"Ehh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, kenapa sampai sekarang gundul terus?"

"Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!"

"Ceriwis!" Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.

Kun Liong terus menatap kedua mata yang indah itu sehingga membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan jengah, juga marah. Dia sendiri merasa heran sekali mengapa dia selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apakah karena pengalaman mereka bersama pada waktu kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tidak pernah mampu dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kunci rahasia bokor emas yang diperebutkan?

"Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?" Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.

Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling itu berkesan di hati Kun Liong!

"Kalau benar mengapa?"
Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut, matanya memandang tak senang, telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, "Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Lee Hwesio?"

Bi Kiok menarik napas panjang. "Hemmm, ternyata engkau sudah tahu pula? Bukan aku pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si."

"Siapa menyuruhmu?"

"Siapa lagi kalau bukan Subo."

"Subo-mu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?"

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Bukan. Ehhh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?"

"Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!"

"Hemmm..." Dara itu makin terheran-heran. "Kalau begitu, gundulmu itu ada hubungannya dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?"

Kun Liong meringis kemudian meraba kepalanya. "Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang membunuhnya dan mengapa?"

"Kau cari sendiri!"

Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, "Bi Kiok...!"

Seruan itu segera disusul oleh teriakan lain yang parau akan tetapi tak kalah nyaringnya. "Kun Liong...!"

Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoatsu. Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya segera dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil, wajahnya pucat sekali.

"Kau kenapa...?"

"Sssttt...!" Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di goa itu, sampai mereka tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, "Kalau sampai Subo atau Toat-beng Hoatsu menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong."

"Aku...? Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku untuk menunjukkan tempat aku menyembunyikan bokor tua itu. Biar aku menjumpai mereka."

"Bodoh kau! Kau kira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Setelah salah seorang di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!"

"Heh? Mengapa? Tak mungkin!"

"Hemm, kau masih belum tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan orang yang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apa kau kira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?"

Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati terharu, "Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini bahkan membahayakan dirimu sendiri?"

"Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kau kira kita akan selamat kalau seorang di antara mereka menemukan kita di sini?"

"Tapi..."

"Ssstttt...!" Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak mengeluarkan suara.

"Bi Kiok...!" Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel di depan goa. "Ke mana bocah itu? Mungkinkah dia yang melarikan Kun Liong? Hemmm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!" Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan goa.

Dari jauh terdengar gema suara Toat-beng Hoatsu, "Kun Liong...! Hayo lekas ke sini untuk memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak lekas pergi bisa celaka!"

Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seakan-akan dara ini tidak menghendaki pemuda itu pergi. Kemudian, setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari kejauhan terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali kuda.

Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengan perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu kemudian bertanya, "Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?"

"Aku... aku..." Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu kemudian memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.

"Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?"

"Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan padamu dan suka padamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat padamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya..."

Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang sangat manis itu, mata yang indah mempesona itu. "Bi Kiok, betapa indahnya matamu..."

Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah seluruh perasaan kewanitaannya hendak meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, "Kun Liong..."

Pada saat dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, barulah Kun Liong sadar akan perbuatannya tadi. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa herannya mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yang disenanginya!

Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun sepasang lengannya tanpa disadarinya sedang mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula sesudah Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, "Kun Liong..."

Kun Liong mengendurkan dekapannya lantas berbisik, "Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, sesudah kehilangan segalanya engkau menjadi murid seorang datuk kaum sesat..."

"Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku sangat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?"

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia lalu balas bertanya, "Bi Kiok, apakah engkau cinta kepadaku?"

Gadis itu menarik napas panjang. "Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku merasa kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong."

"Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku."

"Heh? Mengapa?"

"Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan..."

"Tapi... tapi... kau telah menciumku!"

Kun Liong tersenyum pahit. Persis sama seperti Hwi Sian! Apakah seperti ini anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Walau pun yang mencium dan yang dicium sama-sama rela dan suka?

"Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?"

"Kun Liong...!" Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

"Bi Kiok, jangan menangis...!" Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang menetes di pipi. "Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menyakiti hatimu, tapi aku lebih suka berterus terang dari pada membohongimu."

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, kemudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong.

"Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Ada pun tentang ciuman tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan..."

"Ssssttt...!" Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya.

Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Hal ini tidak boleh terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau malah keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Bila mana perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan goa dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, "Pemberontak yang berada di dalam goa! Keluarlah!"

"Ssst...!" Kembali Kun Liong memberi isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

"Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam goa, ada tapak tangan kakimu di luar!" Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar goa.

"Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, sesudah aman kau keluar dan apa bila bertemu subo-mu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kau karang cerita lain."

Bi Kiok menggeleng kepala dan kembali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. "Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!"

Pada saat dia sampai di depan goa, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah memenuhi tempat itu, kelihatan gagah menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang sudah berada di depan goa agaknya adalah perwira-perwiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena matanya langsung melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali.

Usia gadis itu tak akan lebih dari sembilan belas tahun, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau atau petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan.

Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantelnya berwarna merah jingga, membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, "Tangkap dan belenggu dia!"

"Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?"

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara serta ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

"Jadi engkaukah ini...?" Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya semakin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

"Engkau Kun Liong!"

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengenal nona yang dagu dan lehernya membuat dia terpesona itu.

"Nona... siapakah...?"

Dara itu langsung merengut. "Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanyalah kepala gundulmu, akan tetapi watakmu telah berubah seperti bumi dengan langit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hwat Tosu jika melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan segala macam pemberontak dan orang jahat!"

"Eh-ehh-ehhh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!"

"Kau kelihatan sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoatsu, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kau sangkalkah itu?"

"Memang benar melakukan perjalanan bersama, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantarkan dia ke tempat bokor... ehhh..." Kun Liong terkejut.

Sikap gadis itu membuat dia merasa penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. "Tangkap dia!" Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulurkan tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong. Seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu.

Akan tetapi Kun Liong membentak, "Mundurlah kalian!" Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

"Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Kau pemberontak rendah!"

"Aku bukan pemberontak dan aku tidak ingin melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, katakan sebab-sebabnya dan apa kesalahanku!"

"Pertama, kau sudah bergaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kau pun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, karena itu engkau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!"

"Apa...? Bokor emas milik... suhu-mu...?" Aihhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!"

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

"Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?"

"Wah, dasar untungku...! Aku tak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!"

"Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!"

Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang sangat lihai. Dia mendapat tugas dari suhu-nya untuk membantu pemerintah, turut mengawal sepasukan tentara untuk mengepung para pemberontak yang menurut suhu-nya berpangkalan di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing lantas menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan goa sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah bukan main. Salah seorang perwira tinggi besar yang brewok sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

"Heii, jangan...!" Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu sama sekali tidak mengelak, dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun seruannya terlambat, karena golok itu sudah menyambar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tak bergerak dari tempatnya.

"Krookk!"

Perwira brewok tinggi besar itu segera melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

"Mundur semua!" Li Hwa membentak.

Dara ini marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian pemuda kepala gundul itu. Semua perwira yang sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung serta memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari kuda, tangan kanannya meraba gagang pedang dan dia pun menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

"Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, tetapi kepada orang lain melawan?" Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.

"Banyak sebabnya," kata Kun Liong, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam goa tidak mengeluarkan suara. "Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua karena agaknya aku tak tega untuk menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong."

"Bawa tali ke sini!" Li Hwa memerintah.

Seorang perwira datang berlari sambil membawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

"Bawa seekor kuda ke sini!" Kembali dia memerintah.

Sesudah seekor kuda dituntun dekat, Li Hwa berkata kepada Kun Liong, "Sekarang kau naiklah ke kuda ini."

"Wah, terima kasih. Aku seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!" Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

"Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?" Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur, lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

"Kwan-ciangkun, kau tuntun dia!" katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

"Aihhh!" Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia meloncat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong segera menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok.

Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia lalu melibat-libatkan ujung tali itu pada tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, ada pun Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk.

Sungguh sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh sambil meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tidak dapat menahan ketawa menyaksikan peristiwa yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

"Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?" Li Hwa membentak marah.

"Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku."

"Manusia aneh dan gila!" Li Hwa mengomel.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang sanggup menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia cepat menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda dan dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

"Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu," kata Li Hwa.

"Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu..."

"Bohong! Siapa percaya omonganmu?"

"Percaya atau tidak terserah."

"Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoatsu."

"Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku akan menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu."

"Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?"

"Sama sekali tidak sama. Jika telah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya."

"Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?"

"Karena... perjanjian!"

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

"Kau cantik, Li Hwa..."
Li Hwa mendengus. "Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat golongan hitam yang cabul dan hina!"

"Wah-wah-wah, mengatakan kau cantik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis bagaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?"

"Jangan mengatakan apa-apa!" Li Hwa membentak dan

Kun Liong hanya mengangkat pundak dan alis, menggeleng kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Makhluk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

"Hayo jawab!" Setelah agak lama berdiam, Li Hwa membentak.

Dengan tangan kirinya Li Hwa membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu tersentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sinkang untuk menjepit perut kuda sehingga biar pun dia yang dibetot ke depan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!

Kun Liong diam saja.

"Kun Liong, hayo lekas kau jawab pertanyaanku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjukkan kepadaku!"

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik lebar ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepadanya.

"Mesam-mesem jual lagak kau! Ditanya tidak mau menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?"

"Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepadaku bahwa aku jangan mengatakan apa-apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau bahkan marah-marah dan memaki aku gagu. Sebenarnya bagaimana sih kehendakmu, Nona cantik?"

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh meter.

"Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kau kira aku ini siapa?"

"Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo."

"Kalau sudah tahu, mengapa kau berani kurang ajar?"

"Aihhhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Lihiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurang ajaranku?"

"Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!"

"Lagi-lagi itu! Habis kalau memangnya engkau cantik jelita..."

"Sudahlah... sudahlah!" Li Hwa berkata kewalahan. "Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu."

"Kau pimpin pasukanmu melalui sepanjang pantai Sungai Huang-ho sampai... ehh…, apa kau masih ingat ketika dahulu kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang-ho yang airnya tidak begitu dalam, banyak batu-batu besar."

Li Hwa mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini."

Dia kemudian memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, lalu melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemukan bokor itu.

Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok beserta yang lain-lainnya. Hanya diceritakan bahwa bokor itu tadinya dicuri oleh Phoa Sek It, kemudian hilang di sungai Huang-ho dan secara kebetulan dia menemukannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan menyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran mendengar cerita Kun Liong itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu, dan suhu-nya juga sudah menyebar orang untuk mencarinya karena suhu-nya khawatir bahwa kalau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa sangka, bokor yang menimbulkan heboh itu ditemukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai dan membiarkannya sampai sepuluh tahun!

"Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak melaporkan ke kota raja?"

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa amat terkejut. "Kami justru mendengar tentang pemberontakan dari beliau."

"Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan mengintai para pemberontak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpisah dariku setelah kami berhasil menyelamatkan seorang gadis yang tentu kau kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya."

Li Hwa membelalakkan matanya. "Siapa yang percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoatsu, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya."

"Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis."

"Hemmm... gadis lagi!"

"Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!" Tentu saja yang dimaksudkannya bunga seruni adalah Bi Kiok (Seruni Cantik), sesuai dengan namanya.

"Engkau memang mata keranjang!"

Kun Liong tertawa. "Kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik, semua laki-laki mata keranjang! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?"

"Yang kau katakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?"

"Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian..."

"Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?"

"Mungkin masih ada lagi dua orang suheng-nya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain bibirnya manis sekali, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?"

"Di mana dia sekarang?" Li Hwa tak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

"Sudah diselamatkan oleh Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?"

"Kita lihat saja nanti keputusan pengadilan di kota raja."

"Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas itu, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?"

"Tentu saja!"

"Biar pun sudah kuceritakan semua kepadamu?"

"Aku tidak percaya ceritamu."

"Biar pun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?"

"Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat."

"Ha-ha-ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku ini dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sebenarnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa."

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Dari tamparan itu pemuda ini dapat mengukur bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, namun hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa. Maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sinkang.

Akan tetapi, jika tadi dia menggunakan Pek-in-sinkang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang hingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi I-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

"Plakkk!" Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!

Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga wajah gadis ini segera berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal yang seaneh ini!

"He-heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya."

Muka Li Hwa menjadi merah sekali dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwira melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.

"Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?" Kun Liong berkata dan segera melepaskan pengerahan sinkang-nya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali.

Mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengan pengerahan sinkang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!

Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sinkang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan, karena kepala pemuda itu gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak.

Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi, pada saat kepala itu dapat ‘menangkap’ dan menempel telapak tangannya, benar-benar sudah membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu sampai di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu.

Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.

"Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ..."

Li Hwa mengerutkan alisnya. "Sungguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat menyelidiki ke dalam dusun itu."

Dia segera menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan di pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran-heran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong.

Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, mendadak terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru. Dari semua pintu gerbang datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang turut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!

Tentu saja pasukan yang dipimpin oleh Li Hwa menjadi kaget dan langsung kacau-balau karena mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata sekarang sudah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia lantas bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. "Basmi para pemberontak!"

Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang kini telah menjadi sarang para pemberontak yang bersekutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu terjadi dalam jarak dekat, maka senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk mengisi mesiu itu kurang praktis, dan karena itu suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata tajam bertemu!

Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini lalu mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pedangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh.

"Darr! Darr!"

Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya.

Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan langsung roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!

"Singggg... trang-trang...!"

Li Hwa terkejut juga pada saat pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang mempunyai tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang dan menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata jalang.

"Sungguh hebat...!" Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biar pun suaranya agak kaku, "Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!"

"Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak untuk mengkhianati negaranya?" Li Hwa membentak marah.

"Ha-ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban di dalam perang ini. Mari kau ikut saja bersamaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!"

"Mampuslah!" Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan.

Hendrik Selado terkejut, silau matanya melihat sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Akan tetapi, dia mampu menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapa pun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi.

Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan sudah mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia harus mempertahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!

"Keparat, hendak lari ke mana kau?"

Oleh karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu para pemberontak, maka dia cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat sekali, dan meski pun berhadapan dengan pemuda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, secara diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya lantas pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas.

Dia tertegun dan merasa bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini sudah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini sudah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.

Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, paling sedikit teruruk sampai hampir dua meter dalamnya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tanpa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para prajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.

Selagi Kun Liong berdiri bingung bagaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba saja dia melihat Hendrik berlari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring,

"Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?"

Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping dan membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu sangat terkejut, dapat menduga bahwa pemuda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak,

"Li Hwa, hati-hati...!"

"Darrr... blungggg...!"

Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, dan batu bulat juga terbongkar lalu terlempar sehingga tanah di mana batu beserta rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.

"Bokor...! Di situ...!" Terdengar teriakan-teriakan dan tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu sekarang diserbu oleh para prajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya.

Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang tadi hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.

Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja sudah mendatang dan para prajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa amat berat menghadapi serbuan para pemberontak yang jumlahnya lebih banyak, apa lagi karena mereka juga tidak lagi melihat Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka.

Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, dan menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka pergi setelah mereka jauh dari perkampungan.

Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para prajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.

Yuan de Gama, pemuda tampan putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga turut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel.

"Heran sekali, ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya."

Yuan de Gama segera mengatur penjagaan beberapa orang prajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, lalu dia memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Sesudah itu dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik.

Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu.

Sekarang dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang sangat berbahaya. Sesudah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Namun batang hidung Hendrik sama sekali tak nampak.

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik datang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas,

"Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!"

Sesudah berkata demikian Yuan de Gama kemudian berjalan cepat, pergi menuju ujung perkampungan itu, bekas hutan yang sudah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ.

Yuan de Gama menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia pun berusaha menahan makiannya. Dia melihat gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah sedang terbelenggu dengan rantai besi di tiang pondok, ada pun di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di sana? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu dengan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan sudah tergila-gila melihat kecantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

"He, kau sudah sadar, manis?"

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya dan segera membentak, "Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau segera lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!"

"Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah..." Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

"Dan matamu bagai sepasang bintang... kau cantik jelita... dari pada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang..."

"Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!" Li Hwa berteriak lagi.

"Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta kepadamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkaulah yang benar-benar sudah menjatuhkan hatiku... ehh, sayang, siapakah namamu?"

"Persetan dengan kamu!" Li Hwa memalingkan mukanya.

"Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tidak tahan aku untuk tidak menciummu!" Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu dan bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biar pun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka dan hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

"Auuuughhh... aduuuhhh..."

Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh-aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya namun tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang sedang mengecup-ngecup bibirnya secara amat mengerikan!
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 17

Petualang Asmara Jilid 17
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA berjalan berdampingan menuruni bukit itu. Kelihatan bagaikan dua orang sahabat baik, atau lebih pantas lagi seorang kakek dengan cucunya yang sedang bergegas pulang ke kampungnya, kalau saja orang tidak melihat bahwa kedua tangan pemuda gundul itu terbelenggu!

Melakukan perjalanan berhari-hari di samping Toat-beng Hoatsu amat melelahkan tubuh dan hati Kun Liong. Dia tidak kekurangan makan karena setiap kakek itu berhenti makan atau minum, dia selalu mendapat bagiannya. Akan tetapi kakek itu berwatak aneh bukan main, kadang-kadang sampai sehari penuh tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kata dan dia sama sekali tidak dipedulikan. Hal ini amat mengesalkan hatinya.

Dia tahu bahwa bila kakek ini kumat gilanya, kemungkinan besar dia akan dibunuh begitu saja tanpa sebab! Bukan sekali-kali karena dia merasa takut akan hal ini, hanya dia tahu bahwa masih banyak hal yang harus dia lakukan di dalam hidupnya sebelum mati konyol begitu saja.

Ayah bundanya belum diketahuinya berada di mana. Tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Ho-siang, untuk mendapatkan kembali dua buah kitab Siauw-lim-pai yang hilang juga belum dia penuhi. Oleh karena itu dia harus berpikir seratus kali sebelum memancing bahaya kematian di tangan kakek aneh, datuk nomor satu kaum sesat itu!

"Toat-beng Hoatsu, engkau adalah datuk nomor satu yang terkenal, bahkan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang mempunyai ilmu kepandaian dahsyat itu pun sama sekali bukan tandinganmu. Akan tetapi, mengapa kau sekarang membawaku dengan kedua tanganku terbelenggu?" Akhirnya Kun Liong tidak mampu menahan diri untuk berdiam lagi karena melakukan perjalanan ada kawannya akan tetapi bersunyi seperti ini sangat melelahkan tubuh dan mengesalkan hati.

Kakek itu melirik kepadanya, akan tetapi tidak menjawab, dan mempercepat langkahnya. Terpaksa Kun Liong juga mempercepat langkahnya, karena dia tidak mau ditampar lagi kepalanya seperti kemarin dulu ketika dia mogok berjalan, kepalanya ditampar dua kali. Tamparan itu tidak terlalu menyakitkan, akan tetapi batinnya yang sakit. Apa lagi kalau dia mengingat betapa kepalanya itu pernah diciumi oleh seorang gadis! Kepalanya itu sangat berharga, tentu dia tidak rela kalau sekarang dijadikan sasaran tamparan!

"Toat-beng Hoatsu," Kun Liong berkata lagi dengan nekatnya. "Engkau mengingatkan aku akan Kongkong-ku (Kakekku)."

Kembali kakek itu melirik tanpa menjawab.

"Aku tidak pernah mengenal kakekku, baik kakek dalam (ayah dari ayah) atau kakek luar (ayah dari ibu), akan tetapi kalau mereka itu masih hidup, tentu setua engkau. Berjalan denganmu, aku merasa seperti berjalan dengan seorang kakekku."

Karena Toat-beng Hoatsu sama sekali tidak menjawab, tapi kelihatannya memperhatikan, Kun Liong bertanya lagi, "Apakah engkau tidak mempunyai cucu? Anak? Atau keluarga lain seorang pun? Apakah engkau hanya hidup seorang diri, sebatang kara di dunia yang ramai penuh manusia ini?"

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang Kun Liong. Pemuda itu sudah siap untuk mengelak dan akan melawan kalau dia ditampar lagi. Meski pun kedua pergelangannya dibelenggu menjadi satu, akan tetapi jika hanya untuk membela diri saja dia masih sanggup. Adanya dia tidak lari dan tidak menyerang kakek itu karena memang dia sudah berjanji untuk membawa kakek itu ke tempat dia menyimpan bokor!

"Duduk!" Kakek itu berkata dengan nada memerintah.

Kun Liong mengangkat kedua alisnya, menggerakkan pundak dan duduk di atas sebuah batu besar. Kakek itu pun duduk di depannya, menghapus peluh karena hari amat panas, kemudian berkata,

"Kau ingin sekali mendengar riwayatku? Nah, dengarlah baik-baik."

Dengan suara lambat dan parau berceritalah kakek itu, "Dahulu aku pun seorang yang mempunyai nama sejati, mempunyai tiga orang anak, seorang isteri yang tercinta, hidup terhormat sebagai seorang pedagang ikan di suatu kota nelayan di tepi Sungai Huang-ho. Kepandaian silatku, sungguh pun tidak amat tinggi, membuat aku sekeluarga hidup aman tenteram. Akan tetapi, banjir besar melanda kotaku, dan membuat aku kehilangan semua keluargaku! Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa tiga orang anak-anakku dan isteriku dihanyutkan air, dihempaskan, aku mendengar mereka menjerit-jerit minta tolong, melihat mereka mengangkat tangan hendak meraihku. Namun aku sendiri tidak berdaya sama sekali menghadapi kekuatan air bah yang dahsyat. Aku kehilangan segala-galanya. Kehilangan kebahagiaanku, yang lenyap bersama hilangnya keluarga dan seluruh milikku. Aku kehilangan pula kepercayaan kepada Thian, kepada keadilan, dan dalam usia tiga puluh tahun aku menjadi gila. Aku merantau sampai ke luar negeri, mempelajari berbagai ilmu, dan aku membenci semua manusia."

Kun Liong mendengar dengan mata terbelalak. Timbul rasa iba di dalam hatinya terhadap kakek tua renta ini. "Akan tetapi, Locianpwe, mengapa membenci semua manusia? Tidak ada seorang pun manusia yang bersalah dalam mala petaka yang telah menghancurkan kebahagiaanmu itu. Yang bersalah adalah air banjir, mengapa kau membenci manusia?"

"Habis, apakah aku harus membenci dan membasmi air banjir? Mana aku bisa melawan alam? Aku benci terhadap setiap manusia, membenci kebahagiaan mereka, membenci keadaan mereka. Aku membenci mereka tanpa pilih-pilih bulu, seperti bencinya air banjir kepada manusia, siapa pun diterjangnya. Maka siapa pun yang menghalang di depanku, kuterjang dan kubunuh!"

Kun Liong bergidik. Jelas bahwa mala petaka itu telah merusak jiwa orang ini, membuat dia menjadi gila dan sampai sekarang pun masih gila, biar pun ilmu kepandaiannya sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

"Jadi kau juga benci kepadaku, Locianpwe?"

"Kau juga manusia!"

"Karena bencimu itukah maka kedua tanganku kau belenggu?"

"Hemmm, ketika malam itu kau menangkisku, kau mempunyai kepandaian lumayan. Jika kulepaskan belenggu itu, tentu kau membikin repot aku, tentu kau hendak melarikan diri sehingga aku harus lebih memperhatikanmu. Aku tidak mau repot!"

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang kakek itu dengan dua mata terbelalak penuh kemarahan. "Locianpwe, kau menganggap aku ini orang macam apa? Aku sudah berjanji membawamu ke tempat bokor yang kusembunyikan, dan kini kau telah membebaskan Bi Kiok. Lebih baik mati bagiku dari pada melanggar janjiku. Mengerti? Sekarang tak peduli engkau membelenggu aku atau tidak, mau membunuh aku atau tidak, bagiku sama saja kerena ternyata engkau seorang yang tidak mengenal artinya kemurnian sebuah janji!"

Kakek itu memandang penuh heran, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Kau memang aneh, orang muda yang aneh sekali, aneh dan berbahaya. Kalau sudah selesai urusan bokor ini, aku harus membunuhmu!"

Kun Liong menggerakkan hidungnya. "Huhh! Kau kira begitu mudah, Toat-beng Hoatsu? Biar pun kedua tanganku terbelenggu, belum tentu kau akan dapat membunuhku dengan mudah saja!"

Kembali kakek itu terbelalak dan tangan kanannya sudah bergerak hendak menampar. Akan tetapi melihat pemuda itu berdiri tegak memandangnya dengan sepasang mata tak berkedip, dengan sikap menantang, dia kemudian menurunkan kembali tangannya sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Aneh...! Luar biasa...! Biar disambar geledek aku kalau pernah bertemu dengan orang muda seperti engkau!"

"Dan aku pun belum pernah melihat seorang kakek yang sangat patut dikasihani seperti engkau! Kedukaan membuat kau menjadi gila dan jahat, masih engkau murka akan harta benda ingin memperebutkan bokor. Hemm, kau lupa diri, lupa usia, untuk apakah semua kepandaianmu, nama besarmu, dan segala macam pusaka? Tentu semua itu tidak akan dapat mencegah kematian karena usia tua!"

"Cerewet, hayo jalan lagi!"

Mereka berjalan lagi tanpa berkata-kata dan Kun Liong terbenam di dalam lamunannya. Percakapan tadi sangat berguna baginya, membuka matanya melihat sesuatu yang ganjil dalam hidup manusia. Mengapa manusia menderita begitu hebat setelah ditinggal oleh semua miliknya, keluarganya, dan semua yang dicintanya di dunia ini? Demikian hebat deritanya sampai gila seperti kakek ini, dan yang lebih celaka lagi, kegilaan karena duka kehilangan itu membuatnya menjadi jahat, pembenci manusia dan menjadikannya datuk nomor satu di dunia?

Dia juga sebatang kara. Andai kata dia betul-betul kehilangan ayah bundanya, kehilangan segala-galanya, apakah dia pun akan merasa demikian berduka hingga menderita seperti kakek ini? Mengapa mesti demikian?

Kini jelaslah tampak olehnya bahwa ketergantungan terhadap sesuatu akan menimbulkan derita kalau sesuatu itu direnggutkan darinya. Dalam hidup, tidak boleh mengikatkan diri kepada sesuatu, baik itu orang lain berupa orang tua, keluarga, kekasih dan lain-lain mau pun kepada benda, nama, kedudukan dan lain-lain. Sebab mengikatkan diri sama artinya membiarkan sesuatu itu, keluarga, benda, dan lain-lain, berakar di dalam dirinya. Dan apa bila tiba saatnya sesuatu yang berakar itu tercabut, akar itu akan menimbulkan kerusakan dan penderitaan! Jelas!

Kenapa kita sampai terikat oleh sesuatu? Karena kesenangan! Keluarga kita, harta benda kita, nama baik dan kedudukan kita, kemuliaan kita, semua mendatangkan kesenangan, kenikmatan, kepuasan dan kita ingin agar semua itu tetap kekal bersama dengan kita! Karena itu kita mengikatkan diri jiwa raga kepada semua yang menimbulkan kesenangan kita, baik jasmaniah mau pun batiniah.

Dan sekali terkait, sekali yang kita senangi itu berakar di hati, bila tiba saatnya dipisahkan dari kita dan ini pasti akan terjadi sebab tidak ada yang kekal dalam setiap keadaan, akan selalu berubah, maka perpisahan itu akan menimbulkan penderitaan karena akar yang direnggutkan itu menimbulkan ikatan di hati.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Kalau kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari ikatan, berarti kita takkan bebas karena tindakan itu merupakan paksaan, merupakan perbuatan pura-pura dan munafik. Akan tetapi kalau persoalan derita yang timbul karena ikatan ini kita sadari benar-benar, kita mengerti pokok pangkalnya, pengertian ini sendiri akan bertindak membebabskan kita.


********************

Pada suatu pagi mereka tiba di suatu lembah Sungai Huang-ho yang merupakan daerah tandus penuh dengan pasir. Pasir-pasir ini tadinya terbawa oleh banjir, dan oleh karena banyaknya dan seringnya, membuat lembah sungai itu seperti sebuah padang pasir yang tandus!

Selagi mereka berdua berjalan dengan kepala tunduk, menuju ke utara ke arah Sungai Huang-ho untuk melanjutkan perjalanan dengan perahu seperti yang diusulkan Kun Liong karena dia hanya dapat mengenal tempat itu kalau melakukan perjalanan dengan perahu, tiba-tiba di tempat sunyi itu muncul Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu Yo Bi Kiok.

Kakek itu menyeringai dan mengejek, “Wah, nyawamu ulet juga!”

“Toat-beng Hoatsu!” Bu Leng Ci membentak sambil mencabut samurainya.

Ternyata wanita ini sudah sembuh sama sekali, pikir Kun Liong yang menonton dengan hati tertarik.

“Bocah ini akulah yang menemukannya. Bagaimana mungkin aku membiarkan engkau membawanya begitu saja? Serahkan dia kepadaku!”

“Heh-heh-heh, kalau tidak kuberikan?”

“Aku akan memaksamu dengan samuraiku!”

“Hemm, boleh coba!” kata kakek itu sambil melepaskan kancing-kancing jubahnya yang berarti bahwa dia telah siap dengan ‘senjatanya’.

Bu Leng Ci cepat menggerakkan samurainya dan dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebat dan serunya. Sekarang barulah Bu Leng Ci dapat mengadakan perlawanan setelah luka dalam di tubuhnya sembuh dan ternyata oleh kakek itu bahwa kepandaian wanita ini benar-benar dahsyat, pantas menjadi saingannya dalam kedudukannya sebagai datuk.

Bu Leng Ci sekarang benar-benar mengeluarkan kepandaiannya, dan serangannya tidak hanya terbatas pada pedang samurainya, akan tetapi juga dibantu oleh sambaran rambut dan kadang-kadang tangan kirinya menyambitkan Siang-tok-soa, pasir berwarna hijau yang berbau harum akan tetapi mengandung racun jahat itu.

“Kun Liong, mari lari bersamaku!” Bi Kiok meloncat ke dekat Kun Liong.

Kun Liong berseru kepada kakek yang sedang bertanding itu, “Toat-beng Hoatsu, karena keadaan, terpaksa kita berpisah di sini! Bukan berarti aku melanggar janji!”

“Kalau begitu mampuslah!”

Saat itu Bi Kiok sudah menarik lengan Kun Liong dan tiba-tiba tubuh kakek itu menerjang Bu Leng Ci dan langsung meloncat tinggi ke atas ketika lawannya mundur oleh terjangan jubah yang dahsyat itu, kemudian dari atas dia melayang ke arah Bi Kiok.

“Desss! Desss!”

Bi Kiok terhuyung oleh angin sambaran jubah, akan tetapi jubah itu membalik ketika Kun Liong mengangkat lengannya yang terbelenggu itu untuk menangkis.

Bu Leng Ci sudah menyerangnya lagi dengan hebat sekali, memaksa Toat-beng Hoatsu melayaninya, ada pun Bi Kiok sudah menggandeng tangan Kun Liong dan mereka berdua cepat lari dari situ ke arah yang ditunjukkan oleh gadis itu. Kun Liong hanya menurut saja. Mereka berlari ke pantai Huang-ho, daerah yang berbatu-batu karang, kemudian Bi Kiok membawanya masuk ke sebuah goa di antara batu-batu karang.

"Kita menanti di sini..." Gadis itu berbisik sambil terengah-engah.

Hatinya masih tegang karena tadi hampir saja dia celaka oleh jubah Toat-beng Hoatsu, kalau Kun Liong tidak menangkis jubah itu.

Kun Liong memandang kepadanya sambil tersenyum. "Bi Kiok yang manis, entah sudah berapa kali kau menolong nyawaku. Pertama, ketika dulu kau menolongku di kuil itu pada waktu aku ditawan orang-orang Pek-lian-kauw. Kemudian, pada waktu aku ditawan oleh orang-orang Kwi-eng-pang, kau pun membawa gurumu untuk menolongku..."

"Hemm, bagaimana kau tahu?"

"Mudah saja, dengan menggunakan otak di dalam kepalaku ini. Dan sekarang, lagi-lagi kau menolongku. Ehh, anak baik, mengapa kau begini baik kepadaku?"

Gadis itu mengerutkan kedua alisnya, menunduk kemudian tiba-tiba dia meloncat bangkit dari duduknya di atas batu ketika melihat kedua tangan pemuda itu sudah terbebas dari belenggu. "Aihhh...! Kau sudah dapat mematahkan belenggu itu!"

Kun Liong mengangkat kedua tangannya ke atas dan tersenyum. "Wah, aku lupa ketika menangkis jubah kakek siluman tadi sehingga aku mematahkan belenggu."

"Kun Liong...! Kau... kau ternyata lihai... kau memiliki kepandaian yang hebat. Aku sendiri tak akan dapat mematahkan belenggu tali sutera hitam dari Subo itu, dan... dan tadi kau mampu menangkis hantaman jubah Toat-beng Hoatsu!"

Kun Liong memandang dan tersenyum. Sungguh hebat dara ini, pikirnya. Wajah Cia Giok Keng yang cantik jelita menonjol daya tariknya karena hidungnya, wajah Lim Hwi Sian membuatnya tergila-gila karena mulutnya yang indah, sedangkan wajah Yo Bi Kiok ini... hemmm, kedua matanya itulah yang membuat dia tak dapat mengalihkan pandangannya. Mata itu demikian… indah, bening, hidup! Ataukah karena tarikan muka itu dingin sekali maka hanya matanya yang tampak hidup dan indah? Entahlah, akan tetapi benar-benar dia senang sekali memandangi mata itu!

"Begitukah...?" komentarnya atas dugaan Bi Kiok.

"Akan tetapi, kenapa engkau tidak membebaskan diri dari tawanan kakek itu? Mengapa kau mandah saja dibawa pergi?"

"Karena aku sudah berjanji kepadanya, Nona yang baik, bahwa apa bila kau dibebaskan, aku suka membawanya ke tempat bokor. Dan dia telah membebaskanmu!"

"Ehh, kau aneh sekali...! Dan terutama sekali kepalamu, kenapa sampai sekarang gundul terus?"

"Dan kau cantik manis sekali! Terutama matamu, Bi Kiok!"

"Ceriwis!" Bi Kiok berkata dan membungkam, alisnya berkerut dan matanya menyorotkan kemarahan. Akan tetapi malah menambah manis dalam pandangan Kun Liong.

Kun Liong terus menatap kedua mata yang indah itu sehingga membuat Bi Kiok menjadi gelisah dan jengah, juga marah. Dia sendiri merasa heran sekali mengapa dia selalu ingin menolong pemuda gundul ini! Apakah karena pengalaman mereka bersama pada waktu kakeknya terbunuh itu merupakan hal yang tidak pernah mampu dilupakannya? Ataukah karena pemuda ini menjadi kunci rahasia bokor emas yang diperebutkan?

"Ehh! Kau... kau Giok-hong-cu...?" Tiba-tiba Kun Liong berseru ketika tanpa disengaja dia melihat hiasan rambut yang indah di kepala dara itu.

Dara itu mengerling kepadanya dan di balik kekagetannya, masih saja keindahan kerling itu berkesan di hati Kun Liong!

"Kalau benar mengapa?"
Kun Liong bangkit berdiri, alisnya berkerut, matanya memandang tak senang, telunjuknya menuding ke arah hidung Bi Kiok ketika dia berkata, "Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, mengapa engkau membunuh Thian Lee Hwesio?"

Bi Kiok menarik napas panjang. "Hemmm, ternyata engkau sudah tahu pula? Bukan aku pembunuhnya, Kun Liong. Aku hanya mengantar jenazahnya kepada Perusahaan Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun untuk membawa jenazah dalam peti itu ke Siauw-lim-si."

"Siapa menyuruhmu?"

"Siapa lagi kalau bukan Subo."

"Subo-mu Siang-tok Mo-li yang membunuhnya?"

Gadis itu menggeleng kepalanya. "Bukan. Ehhh, Kun Liong. Mengapa engkau melibatkan diri dengan segala macam urusan yang tiada sangkut pautnya denganmu?"

"Urusan Siauw-lim-pai sama dengan urusanku sendiri!"

"Hemmm..." Dara itu makin terheran-heran. "Kalau begitu, gundulmu itu ada hubungannya dengan engkau menjadi hwesio Siauw-lim-si?"

Kun Liong meringis kemudian meraba kepalanya. "Sama sekali tidak, Bi Kiok, siapa yang membunuhnya dan mengapa?"

"Kau cari sendiri!"

Tiba-tiba terdengar seruan panjang dan nyaring, dari jauh, "Bi Kiok...!"

Seruan itu segera disusul oleh teriakan lain yang parau akan tetapi tak kalah nyaringnya. "Kun Liong...!"

Yang pertama adalah teriakan Siang-tok Mo-li, yang ke dua teriakan Toat-beng Hoatsu. Mendengar namanya dipanggil, Kun Liong bangkit berdiri, akan tetapi tangannya segera dipegang dan ditarik oleh Bi Kiok. Dia menoleh, kaget melihat tubuh dara itu menggigil, wajahnya pucat sekali.

"Kau kenapa...?"

"Sssttt...!" Bi Kiok berbisik dan menarik lengan Kun Liong masuk makin dalam di goa itu, sampai mereka tidak kelihatan dari luar, kemudian dia berbisik, "Kalau sampai Subo atau Toat-beng Hoatsu menemukan engkau, engkau akan celaka, Kun Liong."

"Aku...? Celaka...? Mengapa? Paling hebat mereka akan memaksaku untuk menunjukkan tempat aku menyembunyikan bokor tua itu. Biar aku menjumpai mereka."

"Bodoh kau! Kau kira begitu mudah kau akan menyelamatkan diri? Setelah salah seorang di antara mereka menemukan bokor, engkau akan dibunuh!"

"Heh? Mengapa? Tak mungkin!"

"Hemm, kau masih belum tahu watak mereka. Kalau mereka menemukan bokor, engkau merupakan orang yang berbahaya karena engkau dapat memberitakan hal itu di luaran. Apa kau kira percuma saja aku membujuk dan menipu Subo sendiri, kemudian dengan berani mati aku melarikan engkau ke sini selagi mereka saling bertempur?"

Kun Liong memandang dan sambil memegang kedua tangan dara itu, dia berseru dengan hati terharu, "Aihhh... mengapa, Bi Kiok? Mengapa engkau selalu menolongku, sekali ini bahkan membahayakan dirimu sendiri?"

"Bukan diriku sendiri, juga engkau. Kau kira kita akan selamat kalau seorang di antara mereka menemukan kita di sini?"

"Tapi..."

"Ssstttt...!" Tangan Bi Kiok mendekap mulut Kun Liong dan sejenak mereka berdua tidak mengeluarkan suara.

"Bi Kiok...!" Suara itu jelas suara Bu Leng Ci, kemudian terdengar wanita itu mengomel di depan goa. "Ke mana bocah itu? Mungkinkah dia yang melarikan Kun Liong? Hemmm..., mungkinkah dia terserang penyakit cinta? Celaka...!" Kemudian terdengar langkah wanita itu yang amat ringan dari depan goa.

Dari jauh terdengar gema suara Toat-beng Hoatsu, "Kun Liong...! Hayo lekas ke sini untuk memenuhi janjimu! Tempat ini sudah terkepung tentara pemerintah, kalau kita tidak lekas pergi bisa celaka!"

Bi Kiok memegang lengan Kun Liong erat-erat, seakan-akan dara ini tidak menghendaki pemuda itu pergi. Kemudian, setelah menanti beberapa lama, keadaan menjadi sunyi di sekitar situ, akan tetapi dari kejauhan terdengar bunyi terompet dan ringkik banyak sekali kuda.

Kun Liong yang masih saling berpegang lengan dengan Bi Kiok, menunduk dan dengan perlahan dia memegang dagu dara itu, mengangkat muka yang menunduk, memandang wajah itu kemudian bertanya, "Bi Kiok, mengapa kau melakukan semua ini untukku?"

"Aku... aku..." Gadis itu merenggutkan kepalanya dan menunduk kembali. Akan tetapi Kun Liong kini menggunakan kedua tangannya, memegang kepala gadis itu kemudian memaksanya menengadah, memandang sepasang mata itu penuh selidik.

"Apakah benar dugaan gurumu di luar tadi bahwa kau... terserang penyakit cinta? Bi Kiok, mungkinkah engkau... jatuh cinta kepadaku?"

"Aku... aku tidak tahu... aku hanya selalu merasa... kasihan padamu dan suka padamu. Aku... tak pernah dapat melupakanmu, Kun Liong... dan hidup dengan orang-orang yang tidak disukai di Telaga Kwi-ouw itu... membuat aku selalu teringat padamu. Tak mungkin aku diam saja melihat kau terancam bahaya..."

Makin terharu hati Kun Liong. Ditatapnya wajah yang sangat manis itu, mata yang indah mempesona itu. "Bi Kiok, betapa indahnya matamu..."

Bi Kiok memejamkan matanya dan terpengaruh oleh rasa haru dan berterima kasih yang meluap-luap di dalam perasaannya, Kun Liong tidak dapat menahan kemesraan terhadap gadis itu, dia menunduk dan mencium kedua mata yang terpejam itu!

Naik sedu-sedan dari dada Bi Kiok. Sejenak dia menggigil seolah-olah seluruh perasaan kewanitaannya hendak meronta, akan tetapi kemudian dia menjadi lemas, merangkul dan menyembunyikan muka di dada Kun Liong sambil terisak, "Kun Liong..."

Pada saat dia mendekap tubuh dara itu, merasa betapa kepala dengan rambut halus itu menempel ketat di dadanya, barulah Kun Liong sadar akan perbuatannya tadi. Dia tidak menyesal, akan tetapi timbul rasa herannya mengapa dia sekarang menjadi suka sekali mencium sesuatu yang disenanginya!

Dia tadi mencium sepasang mata indah yang terpejam itu di luar kesadarannya, seperti otomatis tanpa dikehendakinya, terdorong oleh rasa tertarik yang luar biasa, kemesraan yang memenuhi hatinya sehingga sekarang pun sepasang lengannya tanpa disadarinya sedang mendekap tubuh itu dengan kuat. Hal ini baru disadarinya pula sesudah Bi Kiok terengah-engah dan merintih lirih, "Kun Liong..."

Kun Liong mengendurkan dekapannya lantas berbisik, "Bi Kiok, betapa baiknya hatimu... betapa buruknya nasibmu, sesudah kehilangan segalanya engkau menjadi murid seorang datuk kaum sesat..."

"Aku menerima nasib, Kun Liong... dan kuanggap nasibku sangat baik, karena bukankah masih ada engkau yang mencintaku?"

Perasaan hati Kun Liong tersentuh oleh pertanyaan ini. Dia lalu balas bertanya, "Bi Kiok, apakah engkau cinta kepadaku?"

Gadis itu menarik napas panjang. "Entahlah, aku belum tahu apa itu cinta. Akan telapi semestinya aku cinta kepadamu karena aku senang sekali berada di dekatmu, aku ingin selamanya tidak akan terpisah dari sampingmu, aku merasa kasihan kepadamu, aku suka kepadamu. Ya, kukira aku cinta kepadamu, Kun Liong."

"Hemm... sayang sekali. Sebaiknya kalau kau tidak cinta kepadaku."

"Heh? Mengapa?"

"Karena... aku tidak bisa membohongimu dengan pengakuan cinta. Tidak! Aku memang suka dan kasihan kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, cintakah ini? Kurasa bukan..."

"Tapi... tapi... kau telah menciumku!"

Kun Liong tersenyum pahit. Persis sama seperti Hwi Sian! Apakah seperti ini anggapan semua wanita yang menentukan bahwa ciuman adalah tanda cinta? Apakah orang yang hanya suka, tanpa cinta yang dimaksudkan itu, tidak boleh mencium? Walau pun yang mencium dan yang dicium sama-sama rela dan suka?

"Bi Kiok, aku suka padamu, dan aku suka menciummu, terutama sekali kedua matamu yang amat indah. Matamu luar biasa sekali, Bi Kiok, seolah-olah aku melihat telaga bening yang amat dalam di situ, seolah-olah aku melihat angkasa biru cerah yang amat tinggi... dan aku melihat keindahan terkandung di dalamnya. Aku suka menciummu, apakah hal ini harus kujadikan alasan membohong bahwa aku cinta kepadamu?"

"Kun Liong...!" Bi Kiok merintih dan dua titik air mata mengalir turun dari matanya.

"Bi Kiok, jangan menangis...!" Kun Liong meraih kepala itu, didekapnya dan kembali dia mencium kedua mata itu, mengisap dua butir air mata yang menetes di pipi. "Aku tidak bisa melihat kau menangis. Maafkan aku kalau aku menyakiti hatimu, tapi aku lebih suka berterus terang dari pada membohongimu."

Bi Kiok merenggutkan kepalanya, menggeser duduknya agak menjauh, kemudian menarik napas panjang sambil menatap wajah Kun Liong.

"Aku mengerti... dan aku menerima nasib. Mungkin aku cinta kepadamu, mungkin juga tidak. Kau lebih tegas dan jujur. Ada pun tentang ciuman tadi... kau tidak bersalah karena aku pun senang menerimanya, dan..."

"Ssssttt...!" Kini Kun Liong yang menaruh telunjuk di depan mulutnya.

Kini dia yang merasa khawatir kalau-kalau Bi Kiok akan celaka karena dia. Hal ini tidak boleh terjadi. Seribu kali tidak boleh! Kalau seorang di antara dua datuk itu, atau malah keduanya, menemukan mereka, dia akan melindungi Bi Kiok. Bila mana perlu dia akan melawan mereka untuk menyelamatkan Bi Kiok.

Akan tetapi yang terdengar adalah suara derap kaki kuda dan ringkik banyak kuda. Suara kaki kuda itu berhenti di depan goa dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita, jelas bukan suara Bu Leng Ci, "Pemberontak yang berada di dalam goa! Keluarlah!"

"Ssst...!" Kembali Kun Liong memberi isyarat kepada Bi Kiok untuk tidak bergerak.

"Hayo keluar, kalau tidak kami akan membakar dan mengasapi kamu! Kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam goa, ada tapak tangan kakimu di luar!" Kembali suara wanita yang nyaring itu membentak dari luar goa.

"Bi Kiok, biarkan aku keluar. Kau bersembunyi di sini saja, sesudah aman kau keluar dan apa bila bertemu subo-mu, bilang saja bahwa kau tidak melihatku atau kau karang cerita lain."

Bi Kiok menggeleng kepala dan kembali dua titik air matanya menetes. Kun Liong cepat mencium kembali kedua mata itu, lalu berseru keras sambil melangkah keluar. "Jangan bakar! Aku keluar dan tidak akan melawan!"

Pada saat dia sampai di depan goa, Kun Liong melihat banyak sekali tentara pemerintah memenuhi tempat itu, kelihatan gagah menunggang kuda pilihan dan di belakang masih tampak pasukan berjalan kaki. Yang sudah berada di depan goa agaknya adalah perwira-perwiranya, akan tetapi semua itu tidak menarik perhatiannya karena matanya langsung melekat pada tubuh seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang duduk di atas seekor kuda besar, berpakaian indah dan gagah sekali.

Usia gadis itu tak akan lebih dari sembilan belas tahun, tubuhnya ramping dan padat dan jelas mengandung isi tenaga yang kuat. Pakaiannya adalah pakaian seorang pendekar wanita, seorang perantau atau petualang wanita yang membumbui kejelitaannya dengan kegagahan yang membuat orang menjadi segan.

Kedua pergelangan tangannya dilindungi oleh pelindung dari kulit dengan tombol-tombol besi. Mantelnya berwarna merah jingga, membuat bajunya yang kuning tampak gemilang. Rambutnya digelung ke atas, tinggi, dengan hiasan untaian mutiara. Wajah dara ini amat jelita, dan bagi Kun Liong, begitu memandang segera saja dia terpesona oleh kecantikan itu, terutama sekali oleh bentuk dagu yang meruncing dan agak menjulur ke depan seperti menantang, dan leher yang panjang berkulit putih kuning itu.

Ketika dara itu melihat munculnya Kun Liong, dia segera memerintah para perwira yang berada di dekatnya, "Tangkap dan belenggu dia!"

"Wah, wah, nanti dulu, Nona yang cantik jelita! Apa salahku...?"

Sepasang mata dara yang gagah itu terbelalak, terheran-heran mendengar suara serta ucapan Kun Liong yang penuh keberanian itu, kemudian pandang matanya berhenti pada kepalanya yang gundul.

"Jadi engkaukah ini...?" Dia menegur, alisnya berkerut dan dagunya semakin ke depan. Manis bukan main bagi Kun Liong!

"Engkau Kun Liong!"

Kun Liong melebarkan matanya yang sudah besar, alisnya yang tebal berbentuk golok itu bergerak-gerak, otak di dalam kepala gundulnya mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengenal nona yang dagu dan lehernya membuat dia terpesona itu.

"Nona... siapakah...?"

Dara itu langsung merengut. "Huhh! Sungguh memalukan! Yang tidak berubah hanyalah kepala gundulmu, akan tetapi watakmu telah berubah seperti bumi dengan langit. Betapa akan malu dan menyesalnya hati Bun Hwat Tosu jika melihat bahwa pemuda yang diaku murid itu ternyata sekarang telah gulung-gulung dengan segala macam pemberontak dan orang jahat!"

"Eh-ehh-ehhh, nanti dulu, Nona! Enak saja memaki-maki orang!"

"Kau kelihatan sebagai sahabat seorang seperti Toat-beng Hoatsu, melakukan perjalanan bersama. Masih hendak kau sangkalkah itu?"

"Memang benar melakukan perjalanan bersama, akan tetapi bukan sahabat. Aku hanya hendak mengantarkan dia ke tempat bokor... ehhh..." Kun Liong terkejut.

Sikap gadis itu membuat dia merasa penasaran dan marah sehingga dalam memberikan keterangan untuk membela diri, dia sampai lupa dan menyebut-nyebut tentang bokor.

Gadis itu dan para perwira jelas kelihatan terkejut mendengar ini. "Tangkap dia!" Gadis itu membentak.

Para perwira segera melompat turun dari kuda dan ada lima perwira mengulurkan tangan mencengkeram pundak dan lengan Kun Liong. Seorang yang membawa tali kuat segera mengikat kedua lengan pemuda itu.

Akan tetapi Kun Liong membentak, "Mundurlah kalian!" Sekali dia menggerakkan kedua lengan, tali itu putus dan lima orang itu terjengkang ke belakang!

"Hemmm, Yap Kun Liong! Kau hendak melawan pasukan pemerintah? Kau pemberontak rendah!"

"Aku bukan pemberontak dan aku tidak ingin melawan siapa-siapa. Kalau kau betul-betul hendak menawan aku, katakan sebab-sebabnya dan apa kesalahanku!"

"Pertama, kau sudah bergaul dengan datuk kaum sesat, berarti kau tentu anak buahnya dan karena kaum sesat menjadi pemberontak, kau pun kucurigai menjadi pemberontak. Kedua, kau mengaku sendiri bahwa kau hendak menunjukkan tempat penyimpanan bokor emas milik Suhu, karena itu engkau harus kutangkap, selain untuk menunjukkan tempat bokor, juga untuk diadili sebagai seorang pembantu pemberontak!"

"Apa...? Bokor emas milik... suhu-mu...?" Aihhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah anak perempuan yang berani dahulu itu, murid Panglima Besar The Hoo! Kau... kau Souw Li Hwa!"

Gadis itu mencibirkan bibir yang kecil mungil dan di dagunya timbul lesung pipit. Manis sekali!

"Kalau sudah tahu, apakah engkau masih juga hendak melawan?"

"Wah, dasar untungku...! Aku tak akan melawan, akan tetapi karena engkau yang hendak menangkap aku, harus engkau sendiri pula yang membelengguku. Kalau orang lain, aku tidak mau!"

"Kurang ajar! Hayo, tangkap dia!"

Dia itu memang benar adalah Souw Li Hwa, murid Panglima Besar The Hoo yang kini telah menjadi seorang dara dewasa yang sangat lihai. Dia mendapat tugas dari suhu-nya untuk membantu pemerintah, turut mengawal sepasukan tentara untuk mengepung para pemberontak yang menurut suhu-nya berpangkalan di Ceng-to dan di sepanjang Sungai Huang-ho dekat muara.

Mendengar perintah nona itu, sepuluh orang tentara dan perwira meloncat turun dari atas kuda masing-masing lantas menubruk maju. Akan tetapi berturut-turut sepuluh orang ini terlempar dan Kun Liong masih berdiri tegak di depan goa sambil tersenyum memandang kepada Souw Li Hwa!

Para perwira marah bukan main. Salah seorang perwira tinggi besar yang brewok sudah menggerakkan goloknya membacok kepala pemuda itu.

"Heii, jangan...!" Li Hwa terkejut dan membentak ketika melihat betapa pemuda berkepala gundul itu sama sekali tidak mengelak, dan dia melihat betapa golok besar yang tajam berkilau itu menyambar ke arah kepala itu. Namun seruannya terlambat, karena golok itu sudah menyambar, tepat mengenai kepala Kun Liong yang sama sekali tak bergerak dari tempatnya.

"Krookk!"

Perwira brewok tinggi besar itu segera melongo memandang goloknya yang telah rompal seolah-olah tadi telah dipakai membacok sebuah bola baja! Tangan Kun Liong mendekap mukanya yang melongo itu dan sekali Kun Liong mendorong, perwira itu terjengkang ke belakang!

"Mundur semua!" Li Hwa membentak.

Dara ini marah bukan main akan tetapi diam-diam dia terkejut juga menyaksikan kelihaian pemuda kepala gundul itu. Semua perwira yang sudah marah dan mencabut senjatanya terpaksa mundur lagi mendengar bentakan Li Hwa dan mereka hanya mengurung serta memandang dengan marah.

Li Hwa meloncat turun dari kuda, tangan kanannya meraba gagang pedang dan dia pun menghampiri Kun Liong. Sambil tersenyum Kun Liong merangkap kedua tangannya dan menjulurkan kedua lengan itu ke depan, ke arah Li Hwa!

"Kenapa kalau kepadaku kau tidak melawan, tetapi kepada orang lain melawan?" Li Hwa tidak dapat menahan ke-inginan tahunya, bertanya.

"Banyak sebabnya," kata Kun Liong, dan diam-diam dia merasa bersyukur bahwa Bi Kiok yang berada di dalam goa tidak mengeluarkan suara. "Pertama, karena kita sudah saling mengenal, ke dua karena agaknya aku tak tega untuk menolak permintaan seorang gadis cantik, dan ke tiga, aku hendak membuktikan bahwa semua tuduhanmu itu kosong."

"Bawa tali ke sini!" Li Hwa memerintah.

Seorang perwira datang berlari sambil membawa sehelai tali panjang yang kuat! Dengan gerakan cepat Li Hwa membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong.

"Bawa seekor kuda ke sini!" Kembali dia memerintah.

Sesudah seekor kuda dituntun dekat, Li Hwa berkata kepada Kun Liong, "Sekarang kau naiklah ke kuda ini."

"Wah, terima kasih. Aku seperti tamu agung saja, disediakan kuda untukku!" Kun Liong tersenyum sambil memandang dagu yang manis itu.

"Cerewet kau! Sekarang engkau menjadi tawananku, tahu?" Li Hwa menggunakan sisa tali untuk mengikat kedua kaki Kun Liong yang berada di kanan kiri perut kuda, kemudian sisanya dia ikatkan di leher pemuda itu, agak kendur, lalu melempar ujung tali ke arah perwira brewok yang tadi membacok kepala Kun Liong.

"Kwan-ciangkun, kau tuntun dia!" katanya. Gadis itu lalu melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk meninggalkan tempat itu.

"Aihhh!" Perwira brewok itu berseru kaget dan tali yang dipegang ujungnya tadi terlepas dari tangannya. Dia meloncat turun lagi dari kuda, menyambar tali dan begitu dia naik ke atas kudanya, Kun Liong segera menggerakkan kepalanya dan... tali itu kembali terlepas dari tangan Si Perwira Brewok.

Tentu saja dia marah sekali dan setelah dia meloncat turun dan menyambar tali, dia lalu melibat-libatkan ujung tali itu pada tangan kanannya sebelum dia melompat naik ke atas kuda. Kembali Kun Liong menggerakkan kepalanya, ada pun Si Perwira mempertahankan sehingga terjadi tarik-menarik dan akhirnya tubuh perwira itu terpelanting dari atas kuda, jatuh berdebuk.

Sungguh sial baginya, dia jatuh dengan pinggul menimpa sebutir batu sebesar kepalan tangan, maka dia mengaduh sambil meringis kesakitan. Beberapa orang perwira lainnya yang tadinya ikut marah, kini hampir tidak dapat menahan ketawa menyaksikan peristiwa yang aneh akan tetapi juga lucu itu.

"Yap Kun Liong, apakah kau benar-benar hendak memberontak dan melawan?" Li Hwa membentak marah.

"Terserah penilaianmu, akan tetapi karena kau yang mencurigai aku, kau yang menawan dan membelengguku, maka harus kau pula yang menuntunku."

"Manusia aneh dan gila!" Li Hwa mengomel.

Akan tetapi karena dia tahu bahwa para perwira bawahannya tidak ada yang sanggup menandingi Si Gundul ini, agar tidak menghambat perjalanan dia cepat menyambar ujung tali, meloncat naik ke atas kuda dan dengan demikian menuntun Kun Liong yang duduk sambil tersenyum di atas kudanya dan pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah dara yang menawannya itu.

"Tunjukkan aku di mana tempat bokor itu," kata Li Hwa.

"Memang aku hendak mengembalikan bokor itu kepada gurumu..."

"Bohong! Siapa percaya omonganmu?"

"Percaya atau tidak terserah."

"Kau tadi bilang hendak menyerahkannya kepada Toat-beng Hoatsu."

"Siapa bilang aku hendak menyerahkan? Aku hanya bilang bahwa aku akan menunjukkan dia tempat di mana aku menyembunyikan bokor itu."

"Hemmm... omongan plintat-plintut! Bukankah itu sama saja?"

"Sama sekali tidak sama. Jika telah kutunjukkan tempatnya, belum tentu aku membiarkan dia mengambilnya."

"Hemm, kalau begitu mengapa kau hendak menunjukkan tempatnya kepada iblis tua itu?"

"Karena... perjanjian!"

Li Hwa menoleh dan memandang Kun Liong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu tetap tenang dan kini dia memperoleh kesempatan banyak untuk menikmati keindahan dagu dan leher itu.

"Kau cantik, Li Hwa..."
Li Hwa mendengus. "Huh! Lagakmu tiada ubahnya seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat golongan hitam yang cabul dan hina!"

"Wah-wah-wah, mengatakan kau cantik apakah merupakan perbuatan jahat, Li Hwa? Kau memang cantik, habis bagaimana? Apakah kau lebih senang kalau aku membohong dan mengatakan bahwa kau buruk?"

"Jangan mengatakan apa-apa!" Li Hwa membentak dan

Kun Liong hanya mengangkat pundak dan alis, menggeleng kepalanya yang gundul, di dalam hatinya makin heran terhadap sikap wanita. Makhluk yang aneh memang, pikirnya. Setiap berjumpa dengan seorang wanita, lain lagi wataknya dan makin lama makin aneh!

"Hayo jawab!" Setelah agak lama berdiam, Li Hwa membentak.

Dengan tangan kirinya Li Hwa membetot tali sehingga kuda yang ditunggangi pemuda itu tersentak maju ke depan. Hal ini adalah karena Kun Liong menggunakan tenaga sinkang untuk menjepit perut kuda sehingga biar pun dia yang dibetot ke depan, yang merasakan adalah kuda yang ditungganginya!

Kun Liong diam saja.

"Kun Liong, hayo lekas kau jawab pertanyaanku tadi, di mana tempat bokor itu. Tunjukkan kepadaku!"

Tiada jawaban. Li Hwa menengok marah dan matanya mendelik lebar ketika dia melihat pemuda gundul itu duduk tenang di atas kudanya dan tersenyum kepadanya.

"Mesam-mesem jual lagak kau! Ditanya tidak mau menjawab malah tersenyum-senyum. Memangnya kau gagu?"

"Hayaaa... sudah nasibku, jatuh dari tangan dara manis yang satu kepada tangan dara cantik yang lain, makin lama makin aneh dan makin menarik! Souw Li Hwa, baru saja kau bilang kepadaku bahwa aku jangan mengatakan apa-apa, setelah aku diam tidak berkata apa-apa, kau bahkan marah-marah dan memaki aku gagu. Sebenarnya bagaimana sih kehendakmu, Nona cantik?"

Li Hwa menggigit bibirnya. Ingin dia memaki-maki akan tetapi takut kalau didengar oleh para perwira yang berada di belakang. Dia memang mendahului mereka dengan jarak antara sepuluh meter.

"Kun Liong, jangan main-main kaul! Memang kau kira aku ini siapa?"

"Engkau adalah Souw Li Hwa, seorang dara remaja yang cantik jelita seperti bidadari dan gagah perkasa seperti Hoan Lee Hwa (tokoh dalam dongeng Sie Jin Kwi), murid panglima besar yang sakti The Hoo."

"Kalau sudah tahu, mengapa kau berani kurang ajar?"

"Aihhhh... benar-benar aku menjadi bingung menghadapimu, Li Hwa, ataukah aku harus menyebutmu Lihiap, atau Li-ciangkun? Apa sih kekurang ajaranku?"

"Beberapa kali kau menyebut aku nona cantik!"

"Lagi-lagi itu! Habis kalau memangnya engkau cantik jelita..."

"Sudahlah... sudahlah!" Li Hwa berkata kewalahan. "Katakan saja di mana adanya bokor emas milik Suhu itu."

"Kau pimpin pasukanmu melalui sepanjang pantai Sungai Huang-ho sampai... ehh…, apa kau masih ingat ketika dahulu kau ditawan? Nah, di dekat sanalah, di pantai Huang-ho yang airnya tidak begitu dalam, banyak batu-batu besar."

Li Hwa mengerutkan alisnya. "Kalau begitu, tidak jauh lagi dari sini."

Dia kemudian memberi aba-aba kepada pasukannya dan pasukan itu bergerak menuju ke tepi Sungai Huang-ho, lalu melanjutkan perjalanan di sepanjang sungai. Dalam perjalanan ini, Kun Liong diminta menceritakan bagaimana dia dapat menemukan bokor itu.

Pemuda itu menceritakannya dengan singkat tanpa menyebut nama Bi Kiok beserta yang lain-lainnya. Hanya diceritakan bahwa bokor itu tadinya dicuri oleh Phoa Sek It, kemudian hilang di sungai Huang-ho dan secara kebetulan dia menemukannya, betapa kemudian hampir terjatuh ke tangan Phoa Sek It kembali, akan tetapi dia berhasil melarikannya dan menyembunyikannya di tempat itu.

Li Hwa merasa terheran-heran mendengar cerita Kun Liong itu. Semua orang di dunia kang-ouw mencari bokor itu, dan suhu-nya juga sudah menyebar orang untuk mencarinya karena suhu-nya khawatir bahwa kalau bokor terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan membahayakan. Siapa sangka, bokor yang menimbulkan heboh itu ditemukan oleh bocah gundul aneh yang lalu menyimpannya begitu saja di pinggir sungai dan membiarkannya sampai sepuluh tahun!

"Engkau telah salah menangkap orang, Li Hwa. Bukan aku tak suka menjadi tawananmu, akan tetapi engkau sungguh keliru kalau menyangka aku pemberontak. Apakah Paman Cia Keng Hong tidak melaporkan ke kota raja?"

Mendengar disebutnya nama pendekar ini, Li Hwa amat terkejut. "Kami justru mendengar tentang pemberontakan dari beliau."

"Ha-ha! Dan tahukah engkau dengan siapa Paman Cia Keng Hong tiba di Ceng-to dan mengintai para pemberontak mengadakan perundingan? Dengan aku! Cia-supek (Paman Guru Cia) berpisah dariku setelah kami berhasil menyelamatkan seorang gadis yang tentu kau kenal karena dia mengaku masih cucu murid gurumu, orangnya cantik manis seperti engkau, terutama bibirnya."

Li Hwa membelalakkan matanya. "Siapa yang percaya omonganmu? Yang jelas menurut penyelidikan orangku, engkau melakukan perjalanan bersama Toat-beng Hoatsu, dan kau bermaksud menyerahkan bokor kepadanya."

"Hanya untuk menyelamatkan seorang gadis."

"Hemmm... gadis lagi!"

"Ya, seorang gadis lain, juga cantik jelita, dibandingkan dengan engkau... hemmm, sukar juga mengatakan siapa lebih manis, seperti bunga mawar dengan bunga seruni!" Tentu saja yang dimaksudkannya bunga seruni adalah Bi Kiok (Seruni Cantik), sesuai dengan namanya.

"Engkau memang mata keranjang!"

Kun Liong tertawa. "Kalau dimaksudkan suka melihat wanita cantik, semua laki-laki mata keranjang! Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita cantik?"

"Yang kau katakan cucu murid guruku itu, siapakah namanya?"

"Gadis dengan bibir manis sekali itu? Liem Hwi Sian..."

"Wah, murid Gak-suheng (Kakak Seperguruan Gak) di Secuan?"

"Mungkin masih ada lagi dua orang suheng-nya, kalau tidak salah namanya Poa Su It dan Tan Swi Bu. Dan Liem Hwi Sian itu, selain bibirnya manis sekali, juga dia suka kepada... kepalaku yang gundul. Mungkin kau benci kepada kepa-laku, ya?"

"Di mana dia sekarang?" Li Hwa tak mempedulikan pertanyaan yang dianggapnya kurang ajar itu.

"Sudah diselamatkan oleh Tan Swi Bu. Nah, apakah engkau masih menuduh aku seorang pemberontak?"

"Kita lihat saja nanti keputusan pengadilan di kota raja."

"Wah-wah, setelah kutunjukkan kepadamu tempat bokor emas itu, engkau masih hendak menawanku dan membawaku ke kota raja?"

"Tentu saja!"

"Biar pun sudah kuceritakan semua kepadamu?"

"Aku tidak percaya ceritamu."

"Biar pun aku sudah menunjukkan tempat aku menyimpan bokor kepadamu?"

"Tadinya kau pun menunjukkan kepada datuk kaum sesat."

"Ha-ha-ha-ha, Nona manis! Mengapa engkau masih menggunakan segala macam alasan kosong? Bilang saja bahwa engkau senang sekali dengan kehadiranku ini dan tidak ingin segera berpisah dari sampingku. Bukan demikiankah sebenarnya? Aku pun suka sekali berdampingan denganmu, Li Hwa."

Li Hwa marah sekali, menahan kudanya sehingga kuda Kun Liong menyusul dekat, lalu tangannya menampar kepala Kun Liong. Dari tamparan itu pemuda ini dapat mengukur bahwa Li Hwa bukan menyerangnya, namun hanya sekedar melepas kemarahan dengan menamparnya dan hanya menggunakan tenaga biasa. Maka dia pun sama sekali tidak mengelak, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sinkang.

Akan tetapi, jika tadi dia menggunakan Pek-in-sinkang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang hingga kepalanya mampu menahan bacokan golok, sekarang dia menggunakan sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, yang diciptakan oleh kakek sakti itu untuk melawan Thi-khi I-beng, yaltu yang mengandung tenaga membetot berdasarkan Im-kang lemas.

"Plakkk!" Dan telapak tangan kiri dara itu melekat pada kulit kepala Kun Liong!

Li Hwa berusaha menarik kembali tangannya, akan tetapi benar-benar telapak tangannya telah melekat ketat sehingga wajah gadis ini segera berubah pucat karena baru sekarang dia mengalami hal yang seaneh ini!

"He-heh-heh, engkau pun agaknya amat suka dengan kepala gundulku, seperti Hwi Sian, maka kau mengelusnya tiada hentinya."

Muka Li Hwa menjadi merah sekali dan dia mengerling ke belakang. Kalau para perwira melihat hal ini, tentu mengira bahwa dia benar-benar membelai Si Kepala Gundul! Maka dia cepat menggunakan jari tangan kirinya untuk menotok ke arah pundak Kun Liong.

"Wahhh... begini kejamkah engkau, Li Hwa?" Kun Liong berkata dan segera melepaskan pengerahan sinkang-nya sehingga telapak tangan kanan gadis itu terlepas kembali.

Mendengar ucapan ini, Li Hwa mengurungkan niatnya menotok. Dia tadi menggunakan Ilmu Menotok It-ci-sian yang amat hebat dari gurunya, yaitu ilmu menotok dengan sebuah jari yang dilakukan dengan pengerahan sinkang khas sehingga totokan itu mengeluarkan angin dingin yang luar biasa!

Li Hwa memandang wajah Kun Liong dan diam-diam dia merasa kagum dan juga kaget sekali di dalam hatinya. Demonstrasi tenaga sinkang yang diperlihatkan Kun Liong tadi ketika kepalanya menerima bacokan golok tidaklah terlalu mengherankan, karena kepala pemuda itu gundul sehingga tentu saja tidak takut rambutnya rusak.

Akan tetapi apa yang diperlihatkannya tadi, pada saat kepala itu dapat ‘menangkap’ dan menempel telapak tangannya, benar-benar sudah membuktikan bahwa pemuda gundul yang ugal-ugalan ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!

Beberapa hari kemudian, pasukan yang dipimpin Souw Li Hwa dan berkekuatan seratus lima puluh orang itu sampai di tepi sungai seperti yang ditunjukkan oleh Kun Liong. Akan tetapi betapa kaget dan heran hati pemuda itu melihat perubahan besar yang terjadi di tempat itu.

Tepi sungai yang dahulunya penuh dengan batu-batu besar itu, kini telah menjadi sebuah perkampungan yang dikelilingi pagar tembok! Dan agaknya batu bulat yang berbentuk kepala manusia itu, di mana dia menyimpan bokor emas dahulu, berada tepat di tengah-tengah dusun itu.

"Wah, kenapa sekarang menjadi perkampungan? Agaknya perkampungan nelayan dan benda itu kusimpan di situ..."

Li Hwa mengerutkan alisnya. "Sungguh ceroboh sekali! Hayo kita cepat menyelidiki ke dalam dusun itu."

Dia segera menyuruh para perwiranya dan berbondong-bondong pasukan itu memasuki perkampungan di pinggir sungai itu. Li Hwa dan Kun Liong yang menjalankan kudanya paling depan, makin terheran-heran melihat betapa kampung itu sunyi sekali dan agaknya kosong.

Akan tetapi, setelah semua memasuki dusun, mendadak terdengar teriakan-teriakan dari segenap penjuru. Dari semua pintu gerbang datang menyerbu banyak sekali orang, ada yang berpakaian biasa, ada yang berseragam, dan bahkan ada juga sedikitnya tiga puluh orang asing berkulit putih yang turut menyerbu dengan pedang panjang melengkung di tangan kanan dan senjata api di tangan kiri!

Tentu saja pasukan yang dipimpin oleh Li Hwa menjadi kaget dan langsung kacau-balau karena mengalami serangan tiba-tiba yang sama sekali tidak disangkanya itu. Barulah Li Hwa tahu bahwa tempat itu ternyata sekarang sudah dijadikan sarang oleh gerombolan pemberontak! Maka sambil berseru keras dia lantas bergerak ke depan sambil mencabut pedang, merobohkan dua orang musuh sekaligus. "Basmi para pemberontak!"

Perang yang kacau-balau terjadi di perkampungan nelayan yang kini telah menjadi sarang para pemberontak yang bersekutu dengan orang-orang kulit putih itu. Ledakan-ledakan senjata api terdengar, akan tetapi karena pertempuran itu terjadi dalam jarak dekat, maka senjata-senjata api yang memerlukan waktu untuk mengisi mesiu itu kurang praktis, dan karena itu suara ledakan makin mengurang, diganti teriakan yang diseling suara senjata tajam bertemu!

Li Hwa sudah meloncat turun dari kudanya dan dara perkasa ini lalu mengamuk dengan pedangnya. Sepak terjangnya hebat bukan main, menggetarkan hati para pemberontak karena ke mana pun pedangnya berkelebat, sinar pedang itu menyambar dan seorang lawan tentu roboh.

"Darr! Darr!"

Dua orang asing yang menyaksikan sepak terjang Li Hwa sudah menyerangnya dengan senjata api. Namun dara itu sudah mendengar dari gurunya tentang bahayanya senjata rahasia orang kulit putih ini, maka begitu tadi dia melihat dua orang itu mengacungkan senjata api ke arahnya, dia sudah melempar diri ke bawah, dan langsung dari bawah tubuhnya meluncur ke depan didahului sinar pedangnya.

Sebelum dua orang kulit putih itu sempat mengisi pistol mereka dan masih terheran-heran melihat betapa dara cantik yang luar biasa itu tiba-tiba lenyap, sinar pedang menyambar mereka. Mereka berteriak dan langsung roboh dengan perut mengucurkan darah, karena ujung pedang Li Hwa telah menembus perut mereka yang gendut!

"Singggg... trang-trang...!"

Li Hwa terkejut juga pada saat pedangnya bertemu dengan pedang seorang lawan yang mempunyai tenaga kuat juga sehingga pedangnya terpental. Cepat dia memandang dan ternyata yang memegang pedang dan menyerangnya dengan hebat tadi adalah seorang pemuda kulit putih yang bertubuh tinggi dan tampan, berpakaian mewah dan pemuda itu memandangnya dengan mulut tersenyum dan mata jalang.

"Sungguh hebat...!" Pemuda kulit putih itu berkata dengan lancar biar pun suaranya agak kaku, "Pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita!"

"Anjing putih biadab, engkaukah yang membujuk para pemberontak untuk mengkhianati negaranya?" Li Hwa membentak marah.

"Ha-ha-ha-ha, urusan pemberontakan adalah urusan mereka sendiri. Kami hanya sahabat mereka. Nona, sayang sekali kalau kau yang begini muda belia dan cantik jelita menjadi korban di dalam perang ini. Mari kau ikut saja bersamaku, jangan khawatir, aku adalah Hendrik Selado, dan engkau akan senang sekali menjadi sahabat baikku!"

"Mampuslah!" Li Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, pedangnya bergerak menyambar ke depan.

Hendrik Selado terkejut, silau matanya melihat sinar pedang yang bergulung-gulung itu. Akan tetapi, dia mampu menangkisnya dan balas menyerang karena dia maklum bahwa betapa pun muda dan cantiknya, dara itu adalah seorang pendekar wanita yang memiliki kepandaian tinggi.

Terjadilah pertandingan antara kedua orang ini dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Hendrik ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang dara itu amat sukar dilawan. Biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan sudah mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya yang dia pelajari dari ayahnya, namun tetap saja dia terus terdesak sehingga dia harus mempertahankan diri sambil mundur-mundur. Kemudian Hendrik membalikkan tubuh dan melarikan diri!

"Keparat, hendak lari ke mana kau?"

Oleh karena Li Hwa menduga bahwa tentu pemuda asing yang lihai itu yang memimpin rombongan orang asing yang membantu para pemberontak, maka dia cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, ketika tadi Kun Liong melihat perang kecil terjadi dan melihat betapa sepak terjang Li Hwa hebat sekali, dan meski pun berhadapan dengan pemuda asing bernama Hendrik itu dara perkasa ini sama sekali tidak terdesak, secara diam-diam Kun Liong telah mematahkan belenggu kaki tangannya, meloncat turun dari kudanya lantas pergi mencari tempat di mana dia dahulu menyembunyikan bokor emas.

Dia tertegun dan merasa bingung ketika melihat betapa tempat di mana dahulu terdapat sebongkah batu bulat berbentuk kepala, kini sudah dibangun sebuah rumah papan yang besar! Agaknya batu bulat itu selama bertahun-tahun ini sudah teruruk tanah sehingga hanya kelihatan menonjol sedikit dan kelihatan di luar dinding rumah itu.

Kun Liong meneliti tempat itu dan dia merasa yakin bahwa memang batu yang menonjol sedikit itulah batu yang dahulu dijadikan tanda. Di bawah batu itulah disimpannya bokor emas. Akan tetapi batu itu telah teruruk, paling sedikit teruruk sampai hampir dua meter dalamnya, dan di situ didirikan rumah. Bagaimana dia dapat mencari benda pusaka itu yang tersembunyi di bawah batu tanpa membongkar rumah itu dan menggali tanah yang menguruk batu? Sedangkan di tempat itu pun terjadi perang campuh antara para prajurit anak buah Li Hwa melawan tentara pemberontak yang dibantu orang-orang asing.

Selagi Kun Liong berdiri bingung bagaimana dia akan bisa mendapatkan kembali benda pusaka yang terpendam di bawah bangunan itu, tiba-tiba saja dia melihat Hendrik berlari memasuki pondok itu, dikejar oleh Li Hwa yang berteriak nyaring,

"Manusia biadab, hendak lari ke mana kau?"

Kun Liong melihat betapa Hendrik sudah keluar lagi dari pintu samping dan membidikkan senjata apinya ke dalam rumah yang dimasuki Li Hwa. Pemuda itu sangat terkejut, dapat menduga bahwa pemuda asing itu menjebak Li Hwa, maka dia berteriak,

"Li Hwa, hati-hati...!"

"Darrr... blungggg...!"

Kun Liong cepat membuang diri ke atas tanah ketika terjadi ledakan hebat itu. Kiranya Hendrik telah meledakkan mesiu yang berada di dalam rumah itu dan agaknya rumah itu merupakan gudang mesiu! Rumah besar itu hancur, dan batu bulat juga terbongkar lalu terlempar sehingga tanah di mana batu beserta rumah tadi berdiri, kini menjadi semacam kubangan besar. Air sungai segera membanjir masuk ke dalam lubang ini.

"Bokor...! Di situ...!" Terdengar teriakan-teriakan dan tempat yang kini penuh dengan air sedalam pinggang itu sekarang diserbu oleh para prajurit kedua pihak, bukan hanya untuk melanjutkan perang, melainkan terutama sekali untuk memperebutkan bokor emas yang tadi tampak di dalam kubangan sebelum air membanjirinya.

Orang-orang asing yang membantu pemberontak juga berlompatan memasuki kubangan penuh air dan ikut pula berebutan, memperebutkan benda yang telah mereka kenal akan tetapi yang kini tidak tampak lagi karena tertutup air. Mereka memperebutkan bokor emas yang tadi hanya tampak sekelebatan sebelum terendam air dan yang hanya terlihat oleh beberapa orang yang berteriak tadi.

Akan tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Senja sudah mendatang dan para prajurit anak buah Li Hwa terpaksa diperintahkan mundur oleh para perwiranya karena mereka merasa amat berat menghadapi serbuan para pemberontak yang jumlahnya lebih banyak, apa lagi karena mereka juga tidak lagi melihat Souw Li Hwa, dara perkasa yang mereka andalkan dan yang menjadi pemimpin mereka.

Dengan meninggalkan teman-teman yang menjadi korban, dan menolong mereka yang terluka, sisa pasukan yang kurang lebih tinggal seratus orang lagi itu melarikan diri keluar dari perkampungan yang menjadi sarang pemberontak itu, dikejar oleh para pemberontak yang akhirnya membiarkan mereka pergi setelah mereka jauh dari perkampungan.

Di tempat bekas pondok yang kini menjadi kubangan air masih tampak orang-orang asing dan para prajurit pemberontak mencari-cari, akan tetapi akhirnya mereka terheran-heran mengapa tidak ada yang berhasil menemukan pusaka itu.

Yuan de Gama, pemuda tampan putera pemilik Kapal Kuda Terbang yang juga turut bertempur dalam perang kecil tadi, memimpin sendiri pencarian di dalam kubangan, akan tetapi segera melepaskan harapan, meloncat keluar dari kubangan dan mengomel.

"Heran sekali, ke mana perginya Hendrik? Hentikan semua pencarian yang sia-sia ini, akan tetapi lakukan penjagaan di sekitar kubangan, jangan biarkan orang mendekatinya."

Yuan de Gama segera mengatur penjagaan beberapa orang prajurit secara bergantian di sekeliling kubangan, lalu dia memasuki pondok dan berganti pakaian karena pakaiannya kotor penuh lumpur, juga pundaknya terluka sedikit. Sesudah itu dia keluar dari pondok untuk mencari Hendrik.

Dia dan Hendrik kebetulan sekali berada di situ memimpin rombongan orang-orangnya mewakili gurunya, Legaspi Selado ketika tadi datang pasukan pemerintah sehingga terjadi perang kecil di situ dan mereka berhasil mengusir pasukan musuh itu.

Sekarang dia harus cepat mengadakan perundingan dengan Hendrik, putera gurunya itu, karena tempat itu merupakan tempat yang sangat berbahaya. Sesudah pihak pemerintah mengetahui bahwa tempat itu mereka jadikan sarang, tentu akan datang pasukan yang lebih besar untuk menghancurkan mereka. Namun batang hidung Hendrik sama sekali tak nampak.

Ketika ada seorang anak buahnya yang disebar untuk mencari Hendrik datang kepadanya dan berbisik-bisik sambil tersenyum menyeringai, Yuan de Gama memukul telapak tangan kirinya sendiri dan memaki gemas,

"Terkutuk! Dia selalu merusak tugas dengan kesenangan pribadi yang kotor!"

Sesudah berkata demikian Yuan de Gama kemudian berjalan cepat, pergi menuju ujung perkampungan itu, bekas hutan yang sudah dibabat, akan tetapi masih menjadi tempat sunyi di mana terdapat sebuah pondok kecil yang di depannya terpasang sebuah lampu. Sunyi bukan main di situ.

Yuan de Gama menghampiri pondok dari belakang dan ketika dia menyelinap dari balik pohon dan memandang ke samping pondok, dia pun berusaha menahan makiannya. Dia melihat gadis cantik yang tadi dikenalnya sebagai pemimpin pasukan pemerintah sedang terbelenggu dengan rantai besi di tiang pondok, ada pun di dekat gadis itu bernyala api unggun yang makin lama makin mendekati sebungkus mesiu yang ditaruh di dekat kaki Si Gadis!

Gadis itu bukan lain adalah Souw Li Hwa! Bagaimana dia dapat terbelenggu di sana? Ketika dia meloncat ke dalam pondok mengejar Hendrik, pemuda asing yang cerdik itu telah meledakkan mesiu dengan pistolnya. Ledakan dahsyat itu secara aneh sekali tidak menewaskan Li Hwa, karena dia telah terlempar oleh hawa ledakan dan terbanting jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan ini, Hendrik yang kagum dan sudah tergila-gila melihat kecantikannya, lalu menyambarnya dan memondongnya pergi ke dalam pondok sunyi itu.

Ketika dia siuman, Li Hwa mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu dan dia melihat bekas lawannya, pemuda asing tadi, duduk di pinggir pembaringan sambil tersenyum-senyum.

"He, kau sudah sadar, manis?"

Sejenak Li Hwa bingung, kemudian dia teringat akan semua pengalamannya dan segera membentak, "Anjing biadab! Hayo bunuh aku, atau segera lepaskan aku dan melanjutkan pertandingan kalau kau memang jantan!"

"Aihhh... mengapa begitu keras hati, manis? Aku cinta padamu, Nona. Kau begini cantik... rambutmu begini indah..." Hendrik membelai rambut yang halus dan panjang itu. Li Hwa mengggerakkan kepalanya merenggutkan rambut.

"Dan matamu bagai sepasang bintang... kau cantik jelita... dari pada bermusuh, bukankah lebih baik kalau kita bersahabat? Kau akan kubawa ke negeriku, sayang..."

"Phuhhh! Manusia biadab, lebih baik aku mati!" Li Hwa berteriak lagi.

"Wah, sayang kalau kau mati. Aku sungguh cinta kepadamu! Jangan kau berpura-pura, benarkah kau tidak suka kepadaku? Sudah banyak sekali wanita yang menyatakan cinta kepadaku, yang ingin menjadi kekasihku, akan tetapi engkaulah yang benar-benar sudah menjatuhkan hatiku... ehh, sayang, siapakah namamu?"

"Persetan dengan kamu!" Li Hwa memalingkan mukanya.

"Heran! Engkau bertambah manis kalau marah, tidak tahan aku untuk tidak menciummu!" Hendrik segera memeluk tubuh yang terbelenggu kaki tangannya itu dan bibirnya yang rakus itu mengecup bibir Li Hwa.

Li Hwa terbelalak, sejenak seperti akan pingsan mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya dan yang belum pernah dialaminya biar pun dalam mimpi. Karena dia hendak memaki, mulutnya terbuka dan hal ini oleh Hendrik dianggap bahwa wanita itu membalas ciumannya, maka dia mencium makin ganas.

"Auuuughhh... aduuuhhh..."

Hendrik meloncat ke belakang dan mengaduh-aduh, bibir bawahnya pecah oleh gigitan Li Hwa tadi. Gadis yang saking ngeri dan muaknya namun tak dapat berbuat apa-apa untuk menyerang itu, telah menggigit bibir yang sedang mengecup-ngecup bibirnya secara amat mengerikan!
Selanjutnya,