Petualang Asmara Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 16
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KINI mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentunya ‘pendeta’ muda inilah yang semalam sudah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sambil tersenyum berkata,

"Bapak Pendeta datang dari kuil manakah dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis pemberontak itu?"

Kun Liong tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apa lagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah mengenai kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,

"Aku tidak datang dari kuil mana pun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui benar siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!"

Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.

"Pendeta muda sombong, engkaulah yang pemberontak!" Hendrik sudah menerjang maju dengan gerakan yang dahsyat.

Pemuda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan mempunyai tenaga yang dahsyat, kedua tangannya lalu bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.

"Hemm... kau ganas...!"

Kun Liong menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong Sin-kun yang dulu dia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!

"Kau pendeta sombong hebat juga!" Hendrik berkata, kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu sangat runcing, tajam dan ringan, dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!

Kun Liong cepat menghindarkan diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi pedang kecil panjang di tangan lawannya merupakan bahaya baginya.

Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Sian. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah seorang panglima yang menggunakan pedang. Agaknya gadis itu terancam bahaya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.

"Cuit-cuit-cuit-singg...!"

Kun Liong cepat melompat ke belakang. Hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir dengan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, lantas kedua tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.

"Ougghhh...!" Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang paling tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini digunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.

Ternyata Hwi Sian telah terluka pada paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan. Akan tetapi di dekatnya tampak seorang lelaki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki-laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian.

Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya langsung merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang lalu berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!

Tan Swi Bu menoleh sambil berkata, "Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoi-ku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!"

Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali mendapat korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan mengira dia seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli, langsung menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri sambil mendorong roboh seorang prajurit yang menunggang kuda, kemudian ia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.

"Tan-enghiong, lekas lari!" Dia berseru.

Melihat betapa ‘hwesio’ itu telah berhasil melarikan sumoi-nya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lainnya yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan dia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.

"Kejar...! Siapkan kuda...!" Terdengar panglima itu berteriak.

Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing lalu melakukan pengejaran.

Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya sementara para pengejar berada tak jauh di belakangnya, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, kemudian berkata,

"Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!"

"Akan tetapi...," Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.

"Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!"

Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoi-nya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini sesudah melihat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dahulu pernah dilihatnya.

"Jadi engkau... Siauw-hiap..."

"Pergilah cepat!"

Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi oleh Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, lalu membalap dan sebentar saja pemuda serta sumoi-nya itu telah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu telah memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong segera menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar.

Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga pada saat para pengejar sampai di situ, mereka harus menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras lantas meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!

"Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!" seru Bhong-ciangkun sesudah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.

Namun tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu telah melompat melampaui kepala para pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda.

Serangan ini dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang Sin-kun dari Tiong Pek Hosiang. Walau pun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas, namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!

Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia secara terpaksa cepat melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Walau pun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya.

Kun Liong segera dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari hingga pasukan itu tak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau. Tak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!

Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari menjauh membawa sumoi-nya. Sebetulnya tak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan apa bila terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai berat. Biar pun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!

Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi.

Kurang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini, kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata, "Aku sudah lelah, lain kali saja kita main-main lagi!" Kun Liong lalu melarikan diri.

Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapatkan kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul itu selalu lari ke sana ke mari, bagai seekor kucing yang mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus.

********************

Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali Kun Liong sendiri. Celakanya, malam keburu tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dengan derasnya seperti dituangkan dari langit. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin kencang yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia sudah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia memperoleh keterangan bahwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar.

Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu.

Dia tersaruk-saruk, terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak mampu melihat jelas karena terus menerus diserang oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting bagaikan berubah menjadi tangan-tangan setan yang hendak menjangkau, menyergap dan mencekik dirinya! Pohon-pohon besar yang kadang kala tampak hanya kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang sedang berlomba hendak menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin menerjang daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang sangat mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.

"Desss…!" Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.

"Aduhhh...!" Kun Liong meraba tengkuknya.

Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang telah dilatihnya selama ini tak ada gunanya sama sekali. Betapa pun pandainya manusia, benar-benar tak ada artinya ketika menghadapi kekuatan dan kebesaran alam. Mana mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan ranting yang melecut tengkuknya tadi kalau badai mengamuk dan menghembuskan angin yang bergulung-gulung bagaikan menenggelamkan dirinya seperti itu?

Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang sangat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, sungguh pun tanahnya tertutup rumput tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.

Kun Liong menggunakan kedua tangannya mengusap air yang membasahi kepala serta mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuat tubuhnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar sudah membuat sinkang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang menjadi amat kuat sehingga sebentar saja tubuhnya terasa hangat.

Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biar pun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti menggila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu seolah kehabisan tenaga.

Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar sangat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram hingga bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti di dalam dongeng berada di atasnya dan sedang menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seakan-akan iblis-iblis itu hanya menunggu saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.

Kun Liong tersenyum sendiri. Kenapa dia harus takut, pikirnya? Betul-betul adakah hantu seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya ini dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andai kata malam ini dia melihatnya, apakah yang dilihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibacanya?

Andai kata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan merasa takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu.

Bahkan mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang yang tertarik saat melihat sebuah tanaman atau seekor makhluk yang selama hidup belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan mengenai iblis, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!

Tolol bila aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu kemudian membayangkan kalau-kalau hal-hal itu akan timbul lagi pada masa datang!

"Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Marilah kita beramah-tamah dan mengobrol!" Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam desau angin dan desau daun-daun pohon.

Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup. Setiap kali ada angin halus berhembus, butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah.

Kun Liong berjalan perlahan-lahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorong dirinya untuk pergi meninggalkan tempat berteduh itu walau pun malam masih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya. Maka ia pun terus melangkah dengan hati-hati, menggunakan kedua tangannya untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, persis seperti laku seorang buta melangkah melalui jalan yang tidak dikenalnya.

Ketika dia duduk tadi, dia mendengar ada suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya mengenai hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan lebat dan sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!

Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan sering kali tenggelam lalu lenyap kembali. Akan tetapi sekarang mulai terdengar jelas, dan Kun Liong tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara parau itu.
Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi ‘aku’ tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!


Kun Liong melangkah mendekat. Jika saja dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin saat itu dia akan ketakutan dan menyangka bahwa itulah hantu yang tengah dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa hantu bisa mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekali pun?

Dia itu seorang kakek tua, usianya sulit ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun. Pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar, rambutnya yang telah berwarna dua itu tak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?

Kakek itu menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.

"Maaf, Kek, kalau aku mengganggumu," Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.

"Kau mau apa?"

"Aku dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini."

"Kau hwesio?"

"Bukan, Kek, sungguh pun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta."

"Hemmm, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!"

Kun Liong duduk di dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat serta nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.

"Mengapa kau membenci hwesio, Kek?"

"Mereka itu munafik."

"Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?"

"Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!"

"Ahh, tidak semua begitu, Kek! Memang dunia penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, tapi ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, tetapi ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?"

"Akan tetapi pendetalah yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor tapi berpakaian bersih!"

"Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik."

"Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!"

"Aku tidak mengerti, Kek."

"Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang bahwa api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah sekali karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku menarik perhatianmu?"

"Benar, karena nyanyianmu amat indah!"

"Kau suka mendengarnya?"

"Sama sekali tidak!"

Kakek itu mendengus. Matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, kemudian dia mendengus lagi. "Mengapa tidak suka?"

"Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!"

Tiba-tiba saja kakek itu tertawa sehingga Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khikang yang amat kuat! Mendadak kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian.

Biar pun tidak kentara, agaknya kakek itu pun melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khikang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sinkang lumayan sekali pun!

"Orang muda, memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati dan bercerita tentang kematian, dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!"

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang sangat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menduga akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Dessss...! Haiiiih!!"

Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong sudah mengerahkan sinkang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Sebetulnya, ketika mengadu tenaga sinkang tadi, bisa saja jika dia hendak menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.

Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, karena itu dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu. Maka dia segera meloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.

"Hee, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...?!" Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.

Kun Liong menyelinap di belakang sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi sambil mengomel panjang pendek. Sesudah itu barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.

Setelah sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon yang tumbang dan roboh malang melintang dilanda badai, terutama pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seakan-akan ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau di dalam hutan seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa yang menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di situlah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan di tengah-tengah telaga nampak pula pulau-pulau kecil kehijauan. Salah sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng-pang yang dicarinya.

Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang, kemudian secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang sudah menyerbu ke kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa sebagai sebuah perkumpulan besar yang sudah terkenal, Kwi-eng-pang akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang.

Dia akan mengemukakan kebenaran, kemudian akan membujuk Kwi-eng Pangcu supaya tidak menanam bibit permusuhan dengan suatu perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biar pun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut.

Dia datang bukanlah untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang dulu dicuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Hosiang!

Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini nampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok serta genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.

Tiada angin pada pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang sangat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur.

Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari cahaya matahari. Agaknya bukan hanya makhluk darat dan makhluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga makhluk air penghuni telaga.

Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apa lagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.

Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya kini tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau itu, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan tepat seperti yang dikehendakinya, perahu itu didayung ke arah daratan.

Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan!

Jelas nampak dari dandanan rambutnya, dari pakaiannya, dan dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, yaitu wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri?

Betapa pun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia pun cepat-cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.

"Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?" Ia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!

Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak, memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah kenapa sengaja menggunduli kepalanya. Namun kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh karena kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang hingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!

"Siapakah engkau dan kenapa kau minta menumpang di perahuku?" Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.

Kun Liong merasa bahwa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang karena dia sedang menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang. Karena itu dia menjawab, "Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng Pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu."

Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba saja lenyap dari wajah yang cukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga pada waktu dia bertanya, "Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng Pangcu?"

Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. "Bukan!"

"Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?"

"Aku mempunyai sedikit urusan yang akan kubicarakan dengan Kwi-eng Pangcu. Urusan penting yang hendak kusampaikan sendiri kepadanya. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya."

Mendengar pemuda gundul itu telah beberapa kali menyebut ‘kouwnio yang baik’ sambil tersenyum-senyum, wanita itu berkata, "Sebenarnya aku sedang mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu."

Kun Liong merasa terkejut, akan tetapi juga girang. Ternyata Kwi-eng-pang tidak seperti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang sangat berbahaya, sarang dari golongan hitam. Namun kini buktinya sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan manis!

Kun Liong menjura dan berkata girang, "Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik."

Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil itu sedikit bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa walau pun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi wanita itu tentu ‘berisi’!

"Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio."

Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong, kemudian duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, meski pun hatinya tegang dan dia ingin segera tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sinkang-nya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya akan ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya hingga pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!

"Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita." Wanita itu menuding.

Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.

"Mereka tentu terheran-heran kenapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tapi membawa seorang tamu." Wanita itu terkekeh genit. "Kita sudah dekat, biarlah aku yang mendayung karena daerah di dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik."

Kun Liong terkejut mendengar ini sehingga cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, mendadak jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.

Wanita itu hampir menjerit saat ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, akan tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya digunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.

"Krakkk!" Ujung dayung itu patah!

"Ihhhhhh...!" Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air sambil membawa dayungnya.

"Eihhh. Toanio, kau mengapa...?" Kun Liong berseru kaget.

Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga turut terlempar ke dalam air. Dia masih sempat melihat betapa ketiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.

"Byuurrr...!" Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang.

Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya agar tidak tenggelam saja, dia masih bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.

"Ahhauupppp!" Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya!

Dia lalu menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas sesudah dia menjejak dasar telaga. Akan tetapi baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!

Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik sekali. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya bagaikan hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya lantas diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.

Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih bisa melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan naik ke daratan pulau. Yang menyeretnya ialah seorang wanita yang cantik juga, sedang di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yaitu seorang ialah wanita yang membawanya tadi dan kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau.

"Hi-hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!" Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.

"Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!"

"Wah, ikan apa ini? Kepalanya gundul dan bersih sekali tiada rambutnya selembar pun!"

"Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!"

"Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh."

Wanita yang menyeret berkata, "Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!"

"Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?"

"Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan."

"Kehabisan apa?"

"Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!"

Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya bagai serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!

Setelah tubuhnya diseret dan tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon hingga tubuhnya tentu saja tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong.

Tanpa dapat ditahan lagi Kun Liong memuntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena seluruh tubuhnya terasa lemas dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!

Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sedang tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggota dan para murid Kwi-eng-pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.

Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi dari pada lima orang pelayan itu. Akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apa lagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya dapat bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu harus ditahan sampai ketua mereka pulang.

Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini sudah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.

Memang dara ini mempunyai bakat yang sangat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa amat sayang kepadanya telah menggemblengnya hingga tingkat kepandaian gadis itu tak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai dibandingkan semua murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, gadis ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang sekarang selalu dipakai di rambutnya.

Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu sudah berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.

"Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, namun sayang kepalanya telanjang!"

"Telanjang...?" Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.

"Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!"

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tidak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini adalah benar orang yang disangkanya, maka dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.

"Kun Liong...!" Hati Bi Kiok berseru kaget pada saat dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.

Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biar pun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal.

Setelah memutar otak, Bi Kiok lalu bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan wanita.

"Subo, ada kabar penting sekali dan apa bila Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang."

"Hemm, ceritakanlah."

"Akah tetapi, sebelumnya teecu minta agar Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo."

"Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku."

"Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apa lagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo sudah berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?"

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. "Aku sudah tidak ingat lagi, muridku."

"Biar pun begitu, teecu tetap hendak mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dulu telah menemukan bokor emas."

Bu Leng Ci meloncat bangun. "Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Di manakah dia?" Siluman betina itu membentak.

"Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Sesudah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!"

"Apa?!"
"Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo cepat pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu."

"Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!" Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.

Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di pulau itu, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng Pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.

"Mundur semua!" Bu Leng Ci berteriak.

Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu, dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.

Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di hadapan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipit kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan setelah melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia lantas menjura sambil bertanya,

"Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"

"Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang kawanku Song Kin dan Kwi Siang Han. Kami hanya sedang melaksanakan tugas mencari sesuatu, karena itu kami datang untuk menemui Kwi-eng Pangcu hendak menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng Pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!"

"Kalian utusan siapa?"

"Utusan Panglima Besar The Hoo..."

"Hemmm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?"

"Benar."

"Dan yang kau cari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?"

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. "Kau tahu...?"

"Siapa yang tidak mendengar tentang hal itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami telah mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kau kira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!"

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia sudah tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, dan terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja harus mempertahankan nama dan kehormatannya, kakek ini pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

"Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!"

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai pengalaman banyak sekali, maka biar pun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, akan tetapi sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan hal ini tentu saja menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Karena itu dengan muka merah wanita itu membentak,

"Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah lebih dari cukup untuk membunuhmu!"

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat. Dua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan sehingga rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

"Hemm... perempuan ganas!" Tio Hok Gwan berseru, menangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.

"Dukkk!"

Dia menangkis dan keduanya kaget bukan main. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja, ada pun Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kekuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

Terjadilah pertandingan yang sangat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang, gerakannya juga cepat bukan main hingga pukulan itu menerbitkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawannya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum sekali terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati terkejut bahwa dalam hal kekuatan sinkang subo-nya masih kalah setingkat melawan kakek itu!

Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening, oleh karena bagi mereka gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tak banyak selisihnya, sungguh pun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, apa bila Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

"Plak-plak-desss... aihhh...!"

Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sinkang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

"Singgg...!"

Tampak sinar berkilat pada saat pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, "Haaiiittt...!"

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat dengan amat cepatnya, menggunakan ginkang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Pada saat melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya. Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat!

Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya pada waktu dia mengikuti rombongan panglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat digunakannya dengan baik, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

"Trang-trang-cring...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biar pun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, tapi dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu.

Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini sangat mengerikan, bagaikan halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Akan tetapi Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, karena itu dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Sungguh pun senjatanya itu kalah kuat serta kalah berat, dia mampu menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

"Tringgg... tringg...!"

Cepat sekali pertemuan kedua senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring. Akan tetapi wanita ini dapat mencelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi. Ada pun Tio Hak Gwan yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja.

Akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum mempergunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, tadi baru saja pinggangnya juga kena disambar joan-pian sehingga dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sinkang yang dia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Ada pun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura sambil berkata, "Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku memiliki bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun."

"Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Tadi aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu mengenai bokor emas yang hilang, apa lagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai salah seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"

Tio Hok Gwan menjura. "Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah." Ia memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Sambil menahan rasa nyeri di dadanya Bu Leng Ci lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, "Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!"

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apa lagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, lalu mengempit tubuh yang selain dalam keadaan tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu kemudian mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, dia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng Pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Tahu-tahu kini dia sudah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian.

Kun Liong mengangkat muka dan memandang wajah dua orang itu, dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

"Mengapa aku dibawa ke sini...?" Dia berkata dan menahan keinginan memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya pada saat dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya, "Yap Kun Liong, Subo sudah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau simpan bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan pengampunan bagi nyawamu!"

Berkerut alis Kun Liong. Hemm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa, akan tetapi wataknya sudah berubah.

Dia tidak mengharapkan agar dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan dia tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, yang membuat hatinya kecewa bukan karena dara itu tidak menolongnya, melainkan melihat perubahan itu.

Agaknya Bi Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepada Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu pada waktu Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar. "Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja."

"Ihhh...!" Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang bibir itu tergetar. "Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana..."

"Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, walau pun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu.

Mengertilah dia sekarang kenapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan padanya agar bisa membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan supaya dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya!

Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin baginya untuk melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata, "Bi Kiok, meski pun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, meski pun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!"

"Kun Liong...!" Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

"Bedebah, apa kau minta kusiksa dulu?" Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

"Ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!" Mendadak terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di sana sudah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk.

Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan sangat lihai, yang dianggapnya sebagai orang gila!

Kiranya kakek itu terus mengikutinya karena agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu, dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikuti dirinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat.

"Toat Beng Hoatsu...!" teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk golongan sesat! Ternyata kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Karena itu dia memandang penuh kekhawatiran sebab ia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?" Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?

"Ha-ha-ha-ha, kau mencari ini?" Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai.

Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu sudah dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

"Ihhh...!" Bi Kiok sendiri yang sudah mempunyai ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu sudah mengalami kematian yang luar biasa mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

"Singggg...!" Bu Leng Ci mencabut samurainya.

"Toat-beng Hoatsu, mengapa kau melakukan hal ini? Apakah di antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?"

"Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang-tok Mo-li. Terserah kepadamu... he-heh-heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki supaya bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan."

"Keparat!”

“Singgggg...!" Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan sangat mudahnya Toat-beng Hoatsu mengelak.

"Hemmm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?"

"Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!" Bu Leng Ci kembali menyerang dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, maka saat dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sinkang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

"Toat-beng Hoatsu, akulah lawanmu!"

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. "Subo, mengasolah!"

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali, berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoatsu terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai dari pada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

"Hemmm, siapa kau?"

"Orang menyebutku Giok-hong-cu!" jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

"Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apa lagi engkau? Ha-ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!"

Pada saat pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja jubah itu terlepas dari tubuh Toat-beng Hoatsu dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya!

Inilah kelihaian Toat-beng Hoatsu yang memang tidak pernah mempergunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya adalah senjata yang sangat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Memang pedang gadis itu tadi sengaja ‘diterimanya’ dengan jubahnya yang tertusuk, namun sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

"Aihhh...!" Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu cepat menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoatsu memukul.

"Dukkk!"

Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.

Melihat gurunya roboh, Bi Kiok amat marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Tetapi serangannya segera disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras sehingga gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

"Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk dahulu!" Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoatsu memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju hendak merusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

"Tahan dulu, Toat-beng Hoatsu!" Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring. "Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?"

Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.

"Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kau pukul mampus, aku tidak akan sudi memberi tahukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!"

Kakek itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada dara ini, ya?"

Muka Kun Liong menjadi merah. "Tidak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?"

Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur lantas menancap di atas lantai, hanya berselisih setengah jengkal saja dari pipi Bi Kiok!

"Huh, kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali akan kubuntungi hidungmu dan kedua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biar pun dia dalam keadaan tidak terluka."

Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.

"Toat-beng Hoatsu, manusia pengecut!"`Bu Leng Ci berteriak marah. "Kau datang ketika aku terluka! Coba kau datang lagi kelak kalau aku sudah sembuh!"

Kakek itu menoleh dan tertawa. "Heh-heh-heh, boleh saja!"

"Kau sudah mengkhianati kerja sama lima datuk!" Bu Leng Ci yang merasa marah dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, kembali menyerang dengan kata-kata penuh kebencian.

"Huhh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa yang sudi? Boleh saja aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor kepada orang-orang asing!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap dari situ.

"Subo...!" Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.

"Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Tio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andai kata tikus tua itu berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya."

"Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba untuk menyelidiki dan membayanginya."

"Hemnm, kau bukan lawannya. Biar kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanan aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho sangat jauh dan memakan waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu."

Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah dahulu di pulau besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat ketujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoatsu.

********************

Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 16

Petualang Asmara Jilid 16
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KINI mereka saling berhadapan. Seorang pemuda tampan gundul dan seorang pemuda tampan bermata biru berkulit putih. Hendrik memandang tajam karena dia tidak mengenal pemuda gundul ini, akan tetapi dia sudah dapat menduga bahwa tentunya ‘pendeta’ muda inilah yang semalam sudah menolong gadis tawanan itu. Maka dia lalu membungkuk dan sambil tersenyum berkata,

"Bapak Pendeta datang dari kuil manakah dan apakah hubungan Bapak Pendeta dengan gadis pemberontak itu?"

Kun Liong tersenyum masam. Bangsanya sendiri saja, juga seorang gadis seperti Hwi Sian bisa salah menduga bahwa dia seorang hwesio, apa lagi seorang asing seperti yang dihadapinya ini! Dia tidak mau berbantah mengenai kepala gundulnya yang menimbulkan salah kira, maka dia menjawab,

"Aku tidak datang dari kuil mana pun juga, akan tetapi yang jelas, aku adalah seorang yang mengetahui benar siapa pemberontak siapa bukan! Nona ini bukan pemberontak, maka tidak perlu kau orang asing ini menjadi maling berteriak maling!"

Tentu saja Hendrik menjadi kaget sekali mendengar ini, karena ucapan itu berarti bahwa pemuda gundul ini tahu akan rahasia pemberontakan di Ceng-to dan berarti pula bahwa tentu pendeta muda inilah yang semalam telah menolong gadis tawanan.

"Pendeta muda sombong, engkaulah yang pemberontak!" Hendrik sudah menerjang maju dengan gerakan yang dahsyat.

Pemuda asing itu ternyata menguasai ilmu silat yang aneh dan mempunyai tenaga yang dahsyat, kedua tangannya lalu bergerak bergantian dan bertubi-tubi mengirim serangan-serangan berbahaya diseling tendangan kedua kakinya bergantian pula.

"Hemm... kau ganas...!"

Kun Liong menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis dan untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya, dia segera mainkan ilmu silat Pat-hong Sin-kun yang dulu dia pelajari dari Bun Hwat Tosu. Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) ini memang mengandalkan kecepatan dan bayangan Kun Liong seolah-olah berubah menjadi delapan dan bayangan ini mengeroyok Hendrik dari delapan penjuru!

"Kau pendeta sombong hebat juga!" Hendrik berkata, kemudian memaki dalam bahasa asing dan tangannya telah mencabut keluar sebatang pedang tipis yang kecil dan lemas sekali. Pedang itu sangat runcing, tajam dan ringan, dan begitu digerakkan, tampak sinar bergulung dan suaranya bercuitan mengerikan hati!

Kun Liong cepat menghindarkan diri, meloncat ke sana-sini dan dia mulai marah. Tadinya dia tak ingin memukul lawan, hanya membela diri saja. Akan tetapi pedang kecil panjang di tangan lawannya merupakan bahaya baginya.

Pada saat itu, dia mendengar teriakan Hwi Sian. Dia menoleh dan melihat betapa gadis itu dikeroyok oleh banyak orang, di antaranya yang paling hebat adalah seorang panglima yang menggunakan pedang. Agaknya gadis itu terancam bahaya maut dan teriakan tadi menandakan bahwa Hwi Sian telah terkena senjata lawan.

"Cuit-cuit-cuit-singg...!"

Kun Liong cepat melompat ke belakang. Hampir saja dia menjadi korban pedang lawan ketika dia menoleh ke arah Hwi Sian tadi karena saat itu telah dipergunakan oleh Hendrik untuk mengirim serangan kilat secara bertubi-tubi. Karena khawatir dengan keadaan Hwi Sian, Kun Liong mengeluarkan teriakan nyaring, lantas kedua tangannya mendorong dan tampak uap putih keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah Hendrik.

"Ougghhh...!" Pemuda asing itu terjengkang dan cepat membanting diri ke belakang terus bergulingan, cara yang paling tepat untuk menghindarkan diri. Kesempatan ini digunakan oleh Kun Liong untuk melompat ke arah Hwi Sian.

Ternyata Hwi Sian telah terluka pada paha dan pundak, dan dara itu telah roboh miring, agaknya pingsan. Akan tetapi di dekatnya tampak seorang lelaki yang mengamuk dengan pedangnya melindungi tubuh dara yang sudah pingsan itu. Kun Liong mengenal orang itu yang bukan lain adalah Tan Swi Bu, laki-laki tinggi besar yang menjadi ji-suheng (kakak seperguruan ke dua) dari Hwi Sian.

Maka cepat dia meloncat mendekat dan kedua kakinya langsung merobohkan dua orang pengeroyok. Tendangannya tepat mengenai tulang kering kaki kedua orang itu yang lalu berteriak-teriak dan mengaduh-aduh sambil berloncatan dan memegangi kaki yang tulang keringnya rusak!

Tan Swi Bu menoleh sambil berkata, "Harap siauw-suhu (Pendeta Muda) sudi menolong sumoi-ku dan menyelamatkannya pergi dari sini lebih dulu!"

Kun Liong kembali tersenyum pahit. Kepalanya yang sial kembali mendapat korban! Tan Swi Bu tidak mengenalnya dan mengira dia seorang hwesio. Akan tetapi dia tidak peduli, langsung menghampiri Hwi Sian yang pingsan, memondongnya dan dia meloncat ke kiri sambil mendorong roboh seorang prajurit yang menunggang kuda, kemudian ia meloncat ke atas kuda sambil memondong tubuh Hwi Sian.

"Tan-enghiong, lekas lari!" Dia berseru.

Melihat betapa ‘hwesio’ itu telah berhasil melarikan sumoi-nya, Tan Swi Bu lalu memutar pedangnya, kemudian menyerang seorang penunggang kuda lainnya yang berada di luar lingkungan para pengeroyok, merobohkannya dan dia pun meloncat ke atas kuda itu lalu membalapkan kudanya menyusul Kun Liong.

"Kejar...! Siapkan kuda...!" Terdengar panglima itu berteriak.

Pasukan itu segera melakukan pengejaran dan tidak kurang dari tiga puluh orang prajurit dipimpin oleh Bhong-ciangkun Si Panglima dan Hendrik Si Pemuda Asing lalu melakukan pengejaran.

Setelah membalapkan kudanya keluar dari hutan dan pegunungan itu, dan melihat betapa Hwi Sian masih belum sadar dari pingsannya sementara para pengejar berada tak jauh di belakangnya, Kun Liong merasa khawatir sekali. Dia memberi isyarat kepada Tan Swi Bu yang membalapkan kuda sehingga sejajar dengan Kun Liong, kemudian berkata,

"Tan-enghiong harap bawa Nona Hwi Sian pergi lebih dulu. Biarlah saya yang mencegah mereka melakukan pengejaran!"

"Akan tetapi...," Tan Swi Bu membantah ragu-ragu.

"Harap jangan ragu lagi, cepat terimalah dia!"

Dengan tangan kirinya Kun Liong melemparkan tubuh Hwi Sian yang pingsan ke kiri, ke arah Tan Swi Bu yang tentu saja menjadi terkejut dan cepat menerima tubuh sumoi-nya. Dari lontaran itu saja tahulah dia bahwa pemuda gundul itu amat lihai, dan kini sesudah melihat wajahnya, dia pun teringat kembali kepada pemuda gundul yang dahulu pernah dilihatnya.

"Jadi engkau... Siauw-hiap..."

"Pergilah cepat!"

Kun Liong meraih ke depan dan menepuk pinggul kuda yang ditunggangi oleh Tan Swi Bu. Kuda itu terkejut, lalu membalap dan sebentar saja pemuda serta sumoi-nya itu telah jauh mendahului Kun Liong. Ketika melihat suheng Hwi Sian itu telah memasuki sebuah hutan di depan, Kun Liong segera menahan kudanya, membalikkan kuda, meloncat turun dan menggunakan kedua lengannya mendorong roboh dua batang pohon besar.

Dua batang pohon itu malang melintang di tengah jalan sehingga pada saat para pengejar sampai di situ, mereka harus menahan kuda. Melihat bahwa pemuda gundul lihai itu yang menghadang mereka, Hendrik dan Bhong-ciangkun berteriak keras lantas meloncat turun dari kuda, memimpin anak buah mereka untuk mengurung dan mengeroyok Kun Liong!

"Tuan Muda Hendrik, jangan biarkan dia lolos. Aku akan mengejar gadis itu!" seru Bhong-ciangkun sesudah Kun Liong terkurung dan dia lalu mengajak belasan orang anak buah untuk mengejar ke depan.

Namun tiba-tiba tubuh Kun Liong yang terkurung tadi berkelebat, dua orang pengeroyok roboh dan hanya Hendrik seorang yang dapat melihat betapa pemuda gundul yang lihai itu telah melompat melampaui kepala para pengeroyok di belakangnya sambil mendorong roboh dua orang, dan langsung menerjang Bhong-ciangkun yang baru saja meloncat ke atas kuda.

Serangan ini dahsyat sekali, karena Kun Liong menggunakan Im-yang Sin-kun dari Tiong Pek Hosiang. Walau pun panglima itu menggunakan pedangnya membabat ketika tubuh pemuda itu menerjang dari atas, namun ujung kaki Kun Liong dengan tepat menendang pergelangan tangan yang memegang pedang dan jari tangannya menghantam leher!

Bhong-ciangkun berteriak, pedangnya terlempar dan dia secara terpaksa cepat melempar diri dari atas kuda untuk menghindarkan totokan pada lehernya. Walau pun dia berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi dia pun gagal melakukan pengejaran dan memang inilah yang dikehendaki oleh Kun Liong ketika menyerangnya.

Kun Liong segera dikurung dan pemuda ini sengaja berlompatan ke sana ke mari hingga pasukan itu tak dapat memusatkan pengeroyokan dan keadaan menjadi kacau-balau. Tak ada kesempatan bagi Bhong-ciangkun dan Hendrik untuk melakukan pengejaran. Hal ini membuat mereka marah sekali dan dua orang itu kini memusatkan semua kekuatan untuk mengeroyok dan membunuh Kun Liong!

Kun Liong melayani mereka hanya untuk memberi kesempatan kepada Tan Swi Bu untuk dapat lari menjauh membawa sumoi-nya. Sebetulnya tak ada gairah sedikit pun di dalam hatinya untuk berkelahi, maka dia hanya mengelak dan menangkis, dan apa bila terpaksa sekali baru dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok tanpa melukai berat. Biar pun dia dikeroyok puluhan orang, tetap saja Kun Liong masih memegang pendiriannya bahwa dia tidak akan menggunakan ilmu silat untuk memukul orang, kecuali hanya untuk membela dan mempertahankan diri!

Kini mulailah Kun Liong melarikan diri, tetapi bukan lari untuk meninggalkan pertandingan, melainkan lari untuk memancing mereka menjauhi tempat itu dan membawa mereka ke arah yang berlawanan dengan larinya Tan Swi Bu. Dia lari beberapa ratus meter jauhnya, lalu sengaja membiarkan mereka menyusulnya dan dia dikeroyok lagi.

Kurang lebih satu jam dia main kucing-kucingan seperti ini, kemudian dia meloncat ke belakang dan berkata, "Aku sudah lelah, lain kali saja kita main-main lagi!" Kun Liong lalu melarikan diri.

Hendrik dan Bhong-ciangkon marah sekali, berusaha mengejar, akan tetapi sebentar saja bayangan pemuda gundul itu sudah lenyap. Mereka merasa marah sekali dan merasa dipermainkan. Pemuda gundul itu memang lihai, tetapi mereka berdua, terutama Hendrik, belum mendapatkan kesempatan untuk mengadu kepandaian sampai mati-matian karena pemuda gundul itu selalu lari ke sana ke mari, bagai seekor kucing yang mempermainkan pengeroyokan segerombolan tikus.

********************

Hutan di dekat telaga itu amat lebat dan liar, tidak nampak seorang pun manusia kecuali Kun Liong sendiri. Celakanya, malam keburu tiba dan sebelum dia memperoleh tempat untuk melewatkan malam itu, hujan turun dengan derasnya seperti dituangkan dari langit. Bukan hanya hujan yang mengamuk, akan tetapi juga angin kencang yang membuat air hujan menampar muka seperti jarum-jarum runcing dan membuat pohon-pohon bergerak menggila sambil mengeluarkan suara yang menyeramkan.

Kun Liong memicingkan mata untuk melindungi mata dari hantaman air hujan dan untuk menembus kegelapan malam. Dia sudah terjebak ke dalam hutan yang tidak dikenalnya. Ketika sore tadi dia memasuki hutan ini, dari seorang petani dia memperoleh keterangan bahwa telaga yang dicarinya itu berada di seberang hutan ini. Maka dia berani memasuki hutan karena petani itu mengatakan bahwa hutan ini tidak terlalu besar.

Akan tetapi agaknya dia salah jalan, tersesat dan tidak menyeberangi hutan, melainkan memasuki hutan dan berjalan sepanjang hutan itu yang agaknya tiada habisnya sampai malam tiba dan sampai hujan badai datang menyerang hutan itu.

Dia tersaruk-saruk, terhuyung dan mencari jalan dengan kedua tangan, kaki dan pandang matanya yang tidak mampu melihat jelas karena terus menerus diserang oleh air hujan. Pohon-pohon kecil bergerak menggila, ranting-ranting bagaikan berubah menjadi tangan-tangan setan yang hendak menjangkau, menyergap dan mencekik dirinya! Pohon-pohon besar yang kadang kala tampak hanya kalau ada kilat menyambar, seolah-olah iblis-iblis raksasa yang sedang berlomba hendak menerkamnya. Suara air hujan bercampur desis angin menerjang daun-daun pohon menimbulkan pendengaran yang sangat mengerikan, seolah-olah semua iblis dari neraka bangkit memasuki hutan itu.

"Desss…!" Sebuah ranting yang agak besar melecut tengkuknya.

"Aduhhh...!" Kun Liong meraba tengkuknya.

Sungguh celaka. Dalam keadaan seperti itu, semua ilmu kepandaian yang telah dilatihnya selama ini tak ada gunanya sama sekali. Betapa pun pandainya manusia, benar-benar tak ada artinya ketika menghadapi kekuatan dan kebesaran alam. Mana mungkin ketajaman pendengarannya dapat dipergunakan kalau suara air hujan dan angin mengamuk seperti itu? Mana mungkin dia dapat menangkap angin pukulan ranting yang melecut tengkuknya tadi kalau badai mengamuk dan menghembuskan angin yang bergulung-gulung bagaikan menenggelamkan dirinya seperti itu?

Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di bawah pohon besar. Setidaknya di tempat ini, air hujan tidak begitu buas menyerangnya, terlindung oleh daun-daun yang sangat lebat dari pohon itu, juga tetumbuhan di bawah pohon raksasa itu tidak begitu lebat, sungguh pun tanahnya tertutup rumput tipis yang basah semua sehingga tanah basah itu berlumpur mengotori semua pakaiannya.

Kun Liong menggunakan kedua tangannya mengusap air yang membasahi kepala serta mukanya. Bajunya basah kuyup dan hawa dingin membuat tubuhnya menggigil. Cepat dia duduk bersila dan menggunakan tenaga dalam untuk melawan dingin. Tenaga yang dia terima dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong benar-benar sudah membuat sinkang yang dikumpulkannya berkat latihan dari Bun Hwat Tosu dan Tiong Pek Hosiang menjadi amat kuat sehingga sebentar saja tubuhnya terasa hangat.

Hujan tidak selebat tadi turunnya, akan tetapi angin badai masih mengamuk biar pun kini tempatnya bermain agak di atas, membuat pohon-pohon besar masih menari-nari seperti menggila. Hanya pohon-pohon kecil yang rendah sudah tak terlalu keras bergoyang lagi, berdiri miring dan kelelahan, cabang, ranting dan daunnya layu seolah kehabisan tenaga.

Suara angin yang mempermainkan daun-daun pohon di atas benar-benar sangat berisik dan menyeramkan. Kun Liong merasa seram hingga bulu tengkuknya bangun satu-satu karena dia teringat akan dongeng-dongeng tentang hantu. Kalau dia memandang ke atas, di antara sinar kilat seperti tampak olehnya iblis-iblis yang menakutkan, wajah-wajah yang seperti di dalam dongeng berada di atasnya dan sedang menyeringai kepadanya dengan bermacam-macam lagak, seakan-akan iblis-iblis itu hanya menunggu saatnya saja untuk menerkam dan memperebutkannya.

Kun Liong tersenyum sendiri. Kenapa dia harus takut, pikirnya? Betul-betul adakah hantu seperti yang didengarnya dan dibacanya dari dongeng? Selama hidupnya ini dia belum pernah melihat hantu dengan matanya sendiri. Dan andai kata malam ini dia melihatnya, apakah yang dilihatnya itu benar-benar hantu dan iblis? Bukankah yang dilihatnya itu, kalau benar dia dapat melihatnya tak lain hanya bayangan pikirannya sendiri yang telah membentuk wajah iblis dari dongeng-dongeng yang didengar dan dibacanya?

Andai kata sejak kecil dia tidak pernah mendengar cerita orang, tidak pernah membaca kitab tentang setan dan hantu sehingga dia sama sekali tidak mengenal sebutan iblis dan hantu, apakah dia akan dapat melihat bayangan hantu dan mungkinkah dia akan merasa takut kepada hantu? Tak mungkin! Karena dia tak akan dapat mengenal dan mengetahui apakah yang dilihatnya itu.

Bahkan mungkin sekali dalam keadaan tidak pernah mengenal sebutan iblis sama sekali seperti itu, kalau dia kebetulan bertemu sungguh-sungguh dengan iblis, dia akan tertarik sekali seperti orang yang tertarik saat melihat sebuah tanaman atau seekor makhluk yang selama hidup belum pernah didengar dan dilihat sebelumnya! Hanya karena dia pernah mendengar dongeng tentang iblis, mendengar bahwa iblis itu jahat pengganggu manusia, dan lain-lain dongeng menyeramkan mengenai iblis, maka timbullah rasa takut dan timbul pula bayangan-bayangan iblis di antara kegelapan yang samar-samar!

Tolol bila aku takut! Takut timbul karena tidak mengerti! Takut timbul karena ikatan masa lalu tentang sesuatu yang ditakutkan, atau ikatan pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga pikiran merenungkan semua itu kemudian membayangkan kalau-kalau hal-hal itu akan timbul lagi pada masa datang!

"Tidak! Aku tidak takut iblis dan setan! Hai... semua hantu dan iblis yang berada di hutan. Keluarlah bertemu dengan Yap Kun Liong. Marilah kita beramah-tamah dan mengobrol!" Pemuda itu berteriak-teriak, akan tetapi suaranya hanyut dalam desau angin dan desau daun-daun pohon.

Badai mereda. Air yang menitik turun bukan air hujan lagi, melainkan air yang jatuh dari daun-daun yang basah kuyup. Setiap kali ada angin halus berhembus, butiran-butiran air di ujung daun-daun itu rontok semua ke bawah.

Kun Liong berjalan perlahan-lahan, kedua tangannya meraba-raba di antara pohon-pohon menuju ke arah suara yang didengarnya tadi. Suara yang mendorong dirinya untuk pergi meninggalkan tempat berteduh itu walau pun malam masih gelap pekat. Suara itu, arah suara itu, yang menjadi petunjuk jalannya. Maka ia pun terus melangkah dengan hati-hati, menggunakan kedua tangannya untuk meraba ke depan agar dia tidak sampai terjatuh, persis seperti laku seorang buta melangkah melalui jalan yang tidak dikenalnya.

Ketika dia duduk tadi, dia mendengar ada suara orang bernyanyi! Kalau saja dia belum menyadari sepenuhnya mengenai hantu dan rasa takut akan hantu, tentu suara itu akan menimbulkan rasa seram dan takut. Bayangkan saja! Di dalam hutan lebat dan sehabis hujan badai seperti itu, ada suara orang bernyanyi!

Suara itu tadinya hanya lapat-lapat, sayup sampai kadang-kadang timbul dan sering kali tenggelam lalu lenyap kembali. Akan tetapi sekarang mulai terdengar jelas, dan Kun Liong tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk dapat menangkap kata-kata yang dinyanyikan dengan suara parau itu.
Berani hidup mengapa takut mati?
siapa bilang hidup senang
dan mati sengsara?
Lihat mereka semua hidup dan mati!
si bangsawan, si hartawan
si rakyat, si miskin
yang kuat, yang lemah,
yang mulia, yang hina.
Mereka semua telah mati,
sedang mati
dan akan mati,
dalam kematian tiada bedanya
menjadi bangkai kotor membusuk!
Yang hidup, yang mati,
yang lahir silih berganti,
tetapi ‘aku’ tetap berkuasa!
di antara mati dan hidup
aku tetap mempermainkan manusia,
ha-ha-ha-ha!


Kun Liong melangkah mendekat. Jika saja dia belum mengerti akan timbulnya rasa takut terhadap hantu, mungkin saat itu dia akan ketakutan dan menyangka bahwa itulah hantu yang tengah dia hadapi sekarang. Bukankah ada dongeng mengatakan bahwa hantu bisa mengambil bentuk seorang kakek-kakek, atau bahkan seorang dara cantik sekali pun?

Dia itu seorang kakek tua, usianya sulit ditaksir berapa, akan tetapi tentu lebih dari enam puluh tahun. Pakaiannya bersahaja seperti pakaian orang terlantar, rambutnya yang telah berwarna dua itu tak terpelihara, demikian pula dengan kumis dan jenggotnya yang masih basah dan berjuntai ke bawah. Akan tetapi gambaran kakek ini berkurang kelayuannya karena di depannya bernyala api unggun. Hal ini mengherankan hati Kun Liong. Betapa mungkin orang membuat api unggun di hutan yang baru saja diamuk hujan dan badai?

Kakek itu menengok. Mereka berpandangan sebentar, kakek tua yang duduk dan pemuda gundul yang berdiri.

"Maaf, Kek, kalau aku mengganggumu," Kun Liong berkata sambil tersenyum ramah.

"Kau mau apa?"

"Aku dingin, api unggunmu dan nyanyianmu menarik hatiku sehingga aku datang ke sini."

"Kau hwesio?"

"Bukan, Kek, sungguh pun kepalaku gundul. Aku bukan pendeta."

"Hemmm, kalau begitu duduklah. Kalau engkau pendeta, tentu engkau sudah mati begitu engkau mengucapkan pengakuanmu. Aku benci hwesio!"

Kun Liong duduk di dekat api unggun dan baru dia tahu bahwa kakek itu menyalakan api unggun dengan bantuan minyak. Hal ini dapat dia cium baunya. Hangat serta nyaman sekali duduk di dekat api unggun pada waktu malam sedingin itu. Kun Liong menghela napas penuh nikmat sambil memeras ujung bajunya yang basah.

"Mengapa kau membenci hwesio, Kek?"

"Mereka itu munafik."

"Mengapa kau mengatakan begitu, Kek?"

"Mereka itu pura-pura menjadi orang baik, akan tetapi semua itu hanya untuk menutupi kebobrokan watak mereka!"

"Ahh, tidak semua begitu, Kek! Memang dunia penuh dengan keganjilan dan kekecualian. Ada orang berkedudukan tinggi yang batinnya rendah, tapi ada pula orang berkedudukan rendah yang batinnya tinggi. Ada orang kaya yang hatinya miskin, dan ada orang miskin yang hatinya kaya. Ada pendeta yang batinnya kotor, tetapi ada penjahat yang batinnya bersih. Apa anehnya itu?"

"Akan tetapi pendetalah yang paling kotor karena dia berpura-pura! Orang bertubuh kotor berpakaian kotor, apa anehnya? Akan tetapi pendeta adalah seorang bertubuh kotor tapi berpakaian bersih!"

"Tidak semua, Kek. Dan mereka telah berusaha menjadi orang baik."

"Phuah! Berusaha menjadi orang baik adalah usaha yang buruk!"

"Aku tidak mengerti, Kek."

"Tidak mengerti ya sudah. Kau tadi bilang bahwa api unggunku menarik perhatianmu, hal itu lumrah sekali karena kau membutuhkannya. Akan tetapi benarkah nyanyianku menarik perhatianmu?"

"Benar, karena nyanyianmu amat indah!"

"Kau suka mendengarnya?"

"Sama sekali tidak!"

Kakek itu mendengus. Matanya yang sipit itu melirik ke arah wajah Kun Liong, kemudian dia mendengus lagi. "Mengapa tidak suka?"

"Karena dalam nyanyianmu terdapat tertalu banyak soal kematian!"

Tiba-tiba saja kakek itu tertawa sehingga Kun Liong terkejut bukan main. Suara ketawa itu melengking dan membuat dia tergetar, tanda bahwa suara itu mengandung khikang yang amat kuat! Mendadak kakek itu menghentikan suara ketawanya dan dia kini menoleh ke arah Kun Liong, menatap wajah itu dengan penuh perhatian.

Biar pun tidak kentara, agaknya kakek itu pun melihat pemuda gundul itu tidak terjungkal oleh suara ketawanya. Padahal ketawanya itu disertai pengerahan khikang dan menjadi semacam ilmu untuk menyerang lawan. Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang mampu merobohkan orang yang memiliki sinkang lumayan sekali pun!

"Orang muda, memang nyanyianku itu dibuat oleh orang yang hampir mati dan bercerita tentang kematian, dibuat untuk orang mati seperti engkau, karena engkau pun akan mati!"

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kanannya menampar ke arah kepala Kun Liong. Tamparan yang sangat hebat, cepat sekali dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat!

Kun Liong terkejut bukan main karena dia tidak menduga akan diserang oleh kakek aneh itu. Maka terpaksa dia lalu mengangkat lengan kirinya, menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Dessss...! Haiiiih!!"

Kedua orang itu terlempar sampai beberapa meter ke belakang. Kakek itu terkejut bukan main. Tangkisan pemuda gundul itu sedemikian kuatnya sehingga dia sampai terlempar! Hal ini tidaklah aneh karena memang Kun Liong sudah mengerahkan sinkang gabungan yang dia latih dari kedua orang gurunya yang sakti ditambah gemblengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong!

Sebetulnya, ketika mengadu tenaga sinkang tadi, bisa saja jika dia hendak menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi hal ini tidak dilakukannya karena memang dia tidak bermusuh dengan kakek itu. Akibatnya, karena dia kalah latihan, pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat tubuhnya juga terlempar sampai jauh.

Kun Liong mengerti bahwa kakek itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi, karena itu dia tidak ingin terlibat dalam permusuhan dengan kakek yang agaknya miring otaknya itu. Maka dia segera meloncat dan cepat sekali dia menyelinap ke dalam hutan yang gelap yang tak dapat dijangkau oleh sinar api unggun.

"Hee, pemuda gundul aneh! Ke mana kau...?!" Kakek itu melompat pula dan melakukan pengejaran.

Kun Liong menyelinap di belakang sebatang pohon besar. Karena tempat itu gelap sekali kakek itu tidak mampu mencarinya. Setelah berputar-putar tanpa hasil, kakek itu kembali ke tempat tadi sambil mengomel panjang pendek. Sesudah itu barulah Kun Liong berani keluar dari tempat sembunyinya dan berindap-indap menjauhi tempat itu sampai akhirnya secara kebetulan sekali dia berada di luar hutan! Dia lalu duduk di bawah pohon, tidak berani tertidur karena kakek gila itu masih berada di hutan, dan menanti datangnya fajar.

Setelah sinar matahari pagi menerangi tempat itu, tampak oleh Kun Liong bekas amukan badai semalam. Baru sekarang tampak olehnya betapa banyak pohon yang tumbang dan roboh malang melintang dilanda badai, terutama pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan. Karena di luar hutan tidak ada pohon besar dan tidak tampak bekas amukan badai, maka melihat ke arah hutan itu tampak seakan-akan ada iblis-ibils mengamuk semalam, mengamuk di dalam hutan itu. Atau di dalam hutan seperti telah terjadi perkelahian antara raksasa yang menggunakan batang pohon-pohon besar untuk saling menghantam.

Kun Liong bangkit berdiri dan memandang ke arah telaga yang sudah tampak dari tempat yang agak tinggi itu. Di situlah telaga yang dicarinya. Telaga Kwi-ouw, Telaga Setan. Dan di tengah-tengah telaga nampak pula pulau-pulau kecil kehijauan. Salah sebuah di antara pulau-pulau itu adalah tempat perkumpulan Kwi-eng-pang yang dicarinya.

Ya, dia harus menemui Ketua Kwi-eng-pang, kemudian secara jujur menanyakan tentang perbuatan anak buah Kwi-eng-pang yang sudah menyerbu ke kuil Siauw-lim-si. Dia masih menaruh harapan besar bahwa sebagai sebuah perkumpulan besar yang sudah terkenal, Kwi-eng-pang akan memandang Siauw-lim-pai dan akan suka mengembalikan dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh anak buah Kwi-eng-pang.

Dia akan mengemukakan kebenaran, kemudian akan membujuk Kwi-eng Pangcu supaya tidak menanam bibit permusuhan dengan suatu perkumpulan besar seperti Siauw-lim-pai hanya karena urusan dua buah pusaka saja! Biar pun dia mendengar dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong bahwa amat berbahaya menjumpai seorang di antara datuk-datuk kaum sesat seperti Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio Ketua Kwi-eng-pang itu, akan tetapi dia tidak takut.

Dia datang bukanlah untuk mencari permusuhan! Dia datang untuk menuntut hak Siauw-lim-pai mendapatkan kembali pusaka-pusakanya yang dulu dicuri. Dan dia melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh mendiang gurunya, Tiong Pek Hosiang!

Setelah tiba di tepi telaga, tempat itu sunyi sekali. Diam-diam dia merasa heran, mengapa tempat itu demikian sunyi? Mengapa tidak tampak nelayan-nelayan dan pelancong seperti pada telaga-telaga besar yang lain? Dari tepi telaga kini nampak olehnya pulau besar di tengah telaga dan kelihatan pula dari situ tembok serta genteng bangunan tertutup oleh batu-batu karang dan pohon-pohon. Agak jauh di belakang pulau besar itu tampak pula sebuah pulau lain di tengah telaga, pulau yang agak kecil.

Tiada angin pada pagi itu. Air telaga tenang tak bergoyang sedikit pun, seperti permadani beludru biru yang sangat lebar dibentang dari darat ke pulau itu. Cahaya matahari pagi mulai menyapu permukaan telaga dan agaknya cahaya ini menggugah air telaga yang sedang tidur.

Mulai tampak perubahan pada air telaga. Mulai ada kehidupan pada warna biru yang kini sebagian kejatuhan warna kuning emas kemerahan dari cahaya matahari. Agaknya bukan hanya makhluk darat dan makhluk udara saja yang memulai kesibukan hidup pada saat matahari muncul, akan tetapi juga makhluk air penghuni telaga.

Ikan-ikan mulai tampak bergurau, menjenguk dari permukaan air, dan yang nakal malah meloncat ke atas permukaan air, seperti tingkah anak-anak yang meloncat ke air untuk mandi! Tiap kali ada moncong ikan menjenguk ke permukaan air, apa lagi jika ada yang meloncat ke atas, air bergerak dan terbentuklah lingkaran-lingkaran yang makin melebar, lengkungan bundar yang amat sempuma, tak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Kun Liong terpesona menyaksikan semua ini. Dia lupa diri, bahkan dirinya sudah tak ada lagi. Yang ada hanya penglihatan yang serba indah itu dan dia yang melihat sudah tidak ada lagi, tenggelam dalam keasyikan yang amat dalam.

Kalau saja dia tidak membutuhkan penyeberangan, agaknya perahu kecil yang tampak bergerak didayung oleh seseorang itu akan menjadi penambah keindahan pemandangan di pagi hari yang cerah itu. Akan tetapi kebutuhannya mengingatkan dia dan menyeretnya kepada dunia yang penuh dengan kebutuhan si aku. Lenyaplah semua keindahan karena perhatiannya kini tercurah penuh kepada perahu itu, dan harapannya timbul untuk dapat segera pergi ke pulau itu, ke pusat Kwi-eng-pang! Dan tepat seperti yang dikehendakinya, perahu itu didayung ke arah daratan.

Akan tetapi setelah dekat, dia merasa heran dan juga ragu-ragu. Pendayungnya ternyata adalah seorang wanita! Dan bukan wanita nelayan atau wanita dusun yang sederhana. Sama sekali bukan!

Jelas nampak dari dandanan rambutnya, dari pakaiannya, dan dari gayanya, bahwa yang mendayung perahu itu, yaitu wanita berusia tiga puluhan tahun yang berwajah cantik dan bertubuh ramping itu, tentulah wanita kota, atau setidaknya, paling sedikit tentu pelayan orang bangsawan! Hanya anehnya, wanita yang segalanya kelihatan halus itu mengapa sampai mendayung perahu sendiri?

Betapa pun juga, kesempatan ini tidak boleh dia sia-siakan. Tidak ada perahu lain tampak di daratan yang begitu sunyi, maka ia pun cepat-cepat menghampiri wanita dalam perahu yang sudah mendekati pantai.

"Kouwnio, bolehkah saya menumpang perahumu?" Ia bertanya sambil tersenyum ramah, senyum orang yang minta tolong!

Wanita itu mengangkat mukanya memandang sejenak, memandang kepada pemuda itu, kemudian pakaiannya. Agaknya wanita itu teliti juga maka melihat pakaian Kun Liong, dia dapat menduga bahwa pemuda tampan itu bukan hwesio, melainkan seorang yang entah kenapa sengaja menggunduli kepalanya. Namun kepala gundul itu tidak buruk. Memang lucu, akan tetapi tidak buruk. Sebaiknya malah, mempunyai daya tarik yang aneh karena kepala itu begitu bersih, begitu... telanjang hingga wanita itu memandang dengan kedua pipi menjadi merah!

"Siapakah engkau dan kenapa kau minta menumpang di perahuku?" Dengan kerling genit wanita itu membalas bertanya.

Kun Liong merasa bahwa tidak baik kalau dia memperkenalkan diri kepada semua orang karena dia sedang menghadapi urusan besar dengan Ketua Kwi-eng-pang. Karena itu dia menjawab, "Saya datang dari jauh sekali dan hendak pergi menghadap Kwi-eng Pangcu. Maka, saya harap Kouwnio (Nona) yang baik suka menolong saya. Saya mau ikut dengan perahu Kouwnio pergi ke pulau itu."

Senyum dan kerling genit itu tiba-tiba saja lenyap dari wajah yang cukup cantik itu, dan pandang matanya penuh curiga pada waktu dia bertanya, "Apakah engkau sahabat dari Kwi-eng Pangcu?"

Kun Liong tidak biasa membohong, maka dia menggeleng kepala. "Bukan!"

"Habis, apa maksudmu hendak bertemu dengan pangcu?"

"Aku mempunyai sedikit urusan yang akan kubicarakan dengan Kwi-eng Pangcu. Urusan penting yang hendak kusampaikan sendiri kepadanya. Kouwnio, harap suka membawaku, Kouwnio yang baik. Biarlah aku yang akan mendayung perahunya."

Mendengar pemuda gundul itu telah beberapa kali menyebut ‘kouwnio yang baik’ sambil tersenyum-senyum, wanita itu berkata, "Sebenarnya aku sedang mempunyai kepentingan berbelanja, akan tetapi karena engkau seorang tamu, biarlah kau kuantar ke pulau. Aku adalah pelayan dari Ang-pangcu."

Kun Liong merasa terkejut, akan tetapi juga girang. Ternyata Kwi-eng-pang tidak seperti yang disohorkan orang. Kata orang, Kwi-eng-pang adalah perkumpulan iblis yang sangat berbahaya, sarang dari golongan hitam. Namun kini buktinya sama sekali tidak demikian. Baru pelayannya saja begini cantik dan halus budi, peramah dan manis!

Kun Liong menjura dan berkata girang, "Banyak terima kasih, Kouwnio yang baik."

Perahu menepi dan Kun Liong lalu melangkah memasuki perahu. Perahu kecil itu sedikit bergoyang-goyang, akan tetapi wanita itu dapat berdiri dengan tegak, tanda bahwa walau pun kelihatan lemah dan hanya seorang pelayan, akan tetapi wanita itu tentu ‘berisi’!

"Biarlah saya yang mendayungnya, Kouwnio."

Wanita itu menyerahkan dayung kepada Kun Liong, kemudian duduk berhadapan dengan pemuda itu yang mulai mendayung perahu. Kun Liong bersikap sabar, meski pun hatinya tegang dan dia ingin segera tiba di pulau. Dia mendayung biasa saja, tidak mengerahkan sinkang-nya, padahal kalau dia menggunakan tenaga saktinya, tentu perahu akan dapat meluncur jauh lebih cepat.

Wanita itu menatap wajah Kun Liong dan terang-terangan kelihatan rasa kagumnya akan ketampanan wajah Kun Liong. Beberapa kali Kun Liong memandangnya hingga pandang mata mereka bertemu. Kun Liong merasa malu sendiri sampai mukanya menjadi merah!

"Itu teman-temanku sudah menanti dan melihat kita." Wanita itu menuding.

Kun Liong melihat beberapa orang wanita berdiri di pantai pulau.

"Mereka tentu terheran-heran kenapa aku tidak pulang membawa barang belanjaan, tapi membawa seorang tamu." Wanita itu terkekeh genit. "Kita sudah dekat, biarlah aku yang mendayung karena daerah di dekat pulau terdapat banyak rahasia yang dapat membuat perahu terbalik."

Kun Liong terkejut mendengar ini sehingga cepat menyerahkan dayung. Ketika menerima dayung, mendadak jari tangan wanita itu bergerak menotok jalan darah di bawah pangkal lengan Kun Liong. Pemuda ini kaget akan tetapi pura-pura tidak tahu.

Wanita itu hampir menjerit saat ujung jari tangannya bertemu dengan ketiak yang berbulu dan totokannya tepat sekali, akan tetapi pemuda gundul itu tidak apa-apa! Dayung sudah diambil dan tiba-tiba dia membalikkan dayung, gagangnya digunakan untuk menghantam kepala yang gundul itu. Kun Liong mengangkat lengan ke atas, menangkis.

"Krakkk!" Ujung dayung itu patah!

"Ihhhhhh...!" Wanita itu berseru kaget lalu tiba-tiba dia meloncat ke air sambil membawa dayungnya.

"Eihhh. Toanio, kau mengapa...?" Kun Liong berseru kaget.

Akan tetapi tiba-tiba perahu itu terbalik dan tentu saja tubuhnya juga turut terlempar ke dalam air. Dia masih sempat melihat betapa ketiga orang wanita di pantai itu mendayung sebuah perahu yang meluncur cepat sekali.

"Byuurrr...!" Kun Liong gelagapan, menahan napas dan cepat menggerakkan kaki tangan untuk berenang.

Dia bukan seorang ahli, akan tetapi kalau hanya berenang sekedar mencegah tubuhnya agar tidak tenggelam saja, dia masih bisa. Akan tetapi tiba-tiba kakinya dipegang orang, dan tubuhnya diseret ke bawah.

"Ahhauupppp!" Dia lupa dan hendak berteriak, tentu saja air telaga membanjiri mulutnya dan terus mengalir ke perutnya!

Dia lalu menggerakkan kakinya dan berhasil membebaskan kakinya yang terpegang dari bawah. Tubuhnya meluncur ke atas sesudah dia menjejak dasar telaga. Akan tetapi baru saja kepalanya yang gundul tersembul di atas permukaan air dan dia mengambil napas, tiba-tiba kedua kakinya terlibat sesuatu dan dia ditarik lagi ke bawah!

Walau pun dia meronta-ronta, tetap saja kedua kakinya tidak dapat terlepas dari libatan sehelai tali yang kuat. Kun Liong menjadi panik sekali. Dia menahan napas, akan tetapi lama-lama dia terpaksa harus minum air juga dan ketika tubuhnya terasa lemas, dadanya bagaikan hendak meledak dan kepalanya pening, dia merasa betapa ada banyak tangan memeganginya, dan betapa kedua tangannya lantas diikat kuat-kuat, kemudian tubuhnya diseret.

Dengan perut kembung penuh air dan setengah pingsan, napas terengah-engah hampir putus, Kun Liong masih bisa melihat dirinya diseret keluar dari telaga dan naik ke daratan pulau. Yang menyeretnya ialah seorang wanita yang cantik juga, sedang di belakangnya masih ada tiga orang wanita lagi, yaitu seorang ialah wanita yang membawanya tadi dan kini berdiri di atas perahu memegang dayung yang sudah patah gagangnya, sedang yang dua orang wanita lagi tadinya berenang dan kini sudah mendarat sambil tertawa-tawa dan bersenda-gurau.

"Hi-hi-hi-hik, sekali ini pancinganmu berhasil, Adik Biauw! Kau mendapat seekor ikan yang gemuk!" Seorang di antara mereka berkata kepada wanita yang menyeret Kun Liong.

"Bukan dapat mengail, akan tetapi Enci Kun yang mendapat dari pasar!"

"Wah, ikan apa ini? Kepalanya gundul dan bersih sekali tiada rambutnya selembar pun!"

"Malah enak, tinggal mengupas kulitnya saja, tentu gurih. Hi-hi-hik!"

"Sayang Pangcu benci laki-laki, tentu dia dibunuh."

Wanita yang menyeret berkata, "Aku akan mohon kepada Pangcu, sebelum dibunuh biar dia tidur bersamaku satu malam!"

"Enaknya! Apa kau lupa kepadaku, Adik Biauw? Aku yang menemukannya, tahu?"

"Sudah jangan ribut, itu Enci Siu datang, biar kita minta Pangcu agar dia diberikan kepada kita berlima sampai dia mati kehabisan."

"Kehabisan apa?"

"Ih, tanya-tanya. Seperti tidak tahu saja. Hi-hi-hik!"

Mereka berlima tertawa-tawa. Kun Liong yang setengah pingsan masih dapat mendengar percakapan mereka tadi dan dia benar-benar merasa kecelik dan tertipu oleh sikap wanita tadi! Kiranya mereka ini tiada ubahnya bagai serombongan siluman seperti yang terdapat dalam dongeng. Cantik-cantik, genit-genit, cabul dan kejam!

Setelah tubuhnya diseret dan tiba di bawah sebatang pohon, wanita cantik yang bernama Biauw tadi tiba-tiba menggerakkan tangannya dan tubuh Kun Liong terlempar naik melalui sebatang dahan pohon hingga tubuhnya tentu saja tergantung dengan kepala di bawah! Wanita pelayan pertama yang namanya disebut Kun tadi meloncat, menggerakkan tangan memukul perut Kun Liong.

Tanpa dapat ditahan lagi Kun Liong memuntahkan air yang membanjir keluar dari dalam perutnya melalui mulut dan hidung. Kemudian dia ditotok pingsan dan sama sekali tidak dapat melawan karena seluruh tubuhnya terasa lemas dan oleh lima orang pelayan itu dia dilemparkan ke dalam kamar tahanan!

Lima orang wanita itu memang pelayan-pelayan dari Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sendiri! Pada waktu itu, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sedang tidak berada di pulau dan lima orang pelayan ini memiliki kekuasaan yang besar juga sehingga para anggota dan para murid Kwi-eng-pang tidak ada yang berani turut campur ketika melihat mereka itu menangkap Kun Liong.

Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi dari pada lima orang pelayan itu. Akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apa lagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya dapat bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu harus ditahan sampai ketua mereka pulang.

Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini sudah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi.

Memang dara ini mempunyai bakat yang sangat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa amat sayang kepadanya telah menggemblengnya hingga tingkat kepandaian gadis itu tak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai dibandingkan semua murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, gadis ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang sekarang selalu dipakai di rambutnya.

Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu sudah berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.

"Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, namun sayang kepalanya telanjang!"

"Telanjang...?" Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.

"Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!"

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tidak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini adalah benar orang yang disangkanya, maka dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.

"Kun Liong...!" Hati Bi Kiok berseru kaget pada saat dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.

Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biar pun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal.

Setelah memutar otak, Bi Kiok lalu bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan wanita.

"Subo, ada kabar penting sekali dan apa bila Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang."

"Hemm, ceritakanlah."

"Akah tetapi, sebelumnya teecu minta agar Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo."

"Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku."

"Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apa lagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo sudah berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?"

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. "Aku sudah tidak ingat lagi, muridku."

"Biar pun begitu, teecu tetap hendak mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dulu telah menemukan bokor emas."

Bu Leng Ci meloncat bangun. "Mengapa baru kau ceritakan sekarang? Di manakah dia?" Siluman betina itu membentak.

"Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Sesudah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!"

"Apa?!"
"Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo cepat pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu."

"Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!" Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.

Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di pulau itu, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng Pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.

"Mundur semua!" Bu Leng Ci berteriak.

Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu, dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.

Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di hadapan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipit kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan setelah melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia lantas menjura sambil bertanya,

"Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?"

"Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?" Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang kawanku Song Kin dan Kwi Siang Han. Kami hanya sedang melaksanakan tugas mencari sesuatu, karena itu kami datang untuk menemui Kwi-eng Pangcu hendak menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng Pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!"

"Kalian utusan siapa?"

"Utusan Panglima Besar The Hoo..."

"Hemmm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?"

"Benar."

"Dan yang kau cari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?"

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. "Kau tahu...?"

"Siapa yang tidak mendengar tentang hal itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami telah mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kau kira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!"

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia sudah tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, dan terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja harus mempertahankan nama dan kehormatannya, kakek ini pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

"Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!"

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai pengalaman banyak sekali, maka biar pun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, akan tetapi sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan hal ini tentu saja menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Karena itu dengan muka merah wanita itu membentak,

"Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah lebih dari cukup untuk membunuhmu!"

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat. Dua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan sehingga rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

"Hemm... perempuan ganas!" Tio Hok Gwan berseru, menangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.

"Dukkk!"

Dia menangkis dan keduanya kaget bukan main. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja, ada pun Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kekuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

Terjadilah pertandingan yang sangat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang, gerakannya juga cepat bukan main hingga pukulan itu menerbitkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawannya dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum sekali terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati terkejut bahwa dalam hal kekuatan sinkang subo-nya masih kalah setingkat melawan kakek itu!

Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening, oleh karena bagi mereka gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tak banyak selisihnya, sungguh pun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, apa bila Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

"Plak-plak-desss... aihhh...!"

Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sinkang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

"Singgg...!"

Tampak sinar berkilat pada saat pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, "Haaiiittt...!"

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat dengan amat cepatnya, menggunakan ginkang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Pada saat melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya. Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat!

Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya pada waktu dia mengikuti rombongan panglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat digunakannya dengan baik, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

"Trang-trang-cring...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biar pun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, tapi dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu.

Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini sangat mengerikan, bagaikan halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Akan tetapi Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, karena itu dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Sungguh pun senjatanya itu kalah kuat serta kalah berat, dia mampu menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

"Tringgg... tringg...!"

Cepat sekali pertemuan kedua senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring. Akan tetapi wanita ini dapat mencelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi. Ada pun Tio Hak Gwan yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja.

Akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum mempergunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, tadi baru saja pinggangnya juga kena disambar joan-pian sehingga dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sinkang yang dia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Ada pun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura sambil berkata, "Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku memiliki bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun."

"Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Tadi aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu mengenai bokor emas yang hilang, apa lagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai salah seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"

Tio Hok Gwan menjura. "Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah." Ia memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Sambil menahan rasa nyeri di dadanya Bu Leng Ci lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, "Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!"

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apa lagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, lalu mengempit tubuh yang selain dalam keadaan tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu kemudian mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, dia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng Pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Tahu-tahu kini dia sudah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian.

Kun Liong mengangkat muka dan memandang wajah dua orang itu, dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

"Mengapa aku dibawa ke sini...?" Dia berkata dan menahan keinginan memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya pada saat dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya, "Yap Kun Liong, Subo sudah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau simpan bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan pengampunan bagi nyawamu!"

Berkerut alis Kun Liong. Hemm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa, akan tetapi wataknya sudah berubah.

Dia tidak mengharapkan agar dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan dia tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, yang membuat hatinya kecewa bukan karena dara itu tidak menolongnya, melainkan melihat perubahan itu.

Agaknya Bi Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepada Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu pada waktu Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar. "Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja."

"Ihhh...!" Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang bibir itu tergetar. "Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana..."

"Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, walau pun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu.

Mengertilah dia sekarang kenapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan padanya agar bisa membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan supaya dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya!

Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin baginya untuk melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata, "Bi Kiok, meski pun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, meski pun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!"

"Kun Liong...!" Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

"Bedebah, apa kau minta kusiksa dulu?" Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

"Ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!" Mendadak terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di sana sudah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk.

Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan sangat lihai, yang dianggapnya sebagai orang gila!

Kiranya kakek itu terus mengikutinya karena agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu, dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikuti dirinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat.

"Toat Beng Hoatsu...!" teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk golongan sesat! Ternyata kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Karena itu dia memandang penuh kekhawatiran sebab ia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

"Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?" Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?

"Ha-ha-ha-ha, kau mencari ini?" Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai.

Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu sudah dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

"Ihhh...!" Bi Kiok sendiri yang sudah mempunyai ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu sudah mengalami kematian yang luar biasa mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

"Singggg...!" Bu Leng Ci mencabut samurainya.

"Toat-beng Hoatsu, mengapa kau melakukan hal ini? Apakah di antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?"

"Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang-tok Mo-li. Terserah kepadamu... he-heh-heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki supaya bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan."

"Keparat!”

“Singgggg...!" Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan sangat mudahnya Toat-beng Hoatsu mengelak.

"Hemmm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?"

"Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!" Bu Leng Ci kembali menyerang dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, maka saat dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sinkang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

"Toat-beng Hoatsu, akulah lawanmu!"

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. "Subo, mengasolah!"

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali, berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoatsu terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai dari pada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

"Hemmm, siapa kau?"

"Orang menyebutku Giok-hong-cu!" jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

"Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apa lagi engkau? Ha-ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!"

Pada saat pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja jubah itu terlepas dari tubuh Toat-beng Hoatsu dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya!

Inilah kelihaian Toat-beng Hoatsu yang memang tidak pernah mempergunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya adalah senjata yang sangat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Memang pedang gadis itu tadi sengaja ‘diterimanya’ dengan jubahnya yang tertusuk, namun sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

"Aihhh...!" Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu cepat menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoatsu memukul.

"Dukkk!"

Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.

Melihat gurunya roboh, Bi Kiok amat marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Tetapi serangannya segera disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras sehingga gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

"Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk dahulu!" Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoatsu memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju hendak merusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

"Tahan dulu, Toat-beng Hoatsu!" Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring. "Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?"

Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.

"Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kau pukul mampus, aku tidak akan sudi memberi tahukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!"

Kakek itu tertawa bergelak. "Huah-ha-ha-ha! Pemuda gundul! Kau jatuh cinta kepada dara ini, ya?"

Muka Kun Liong menjadi merah. "Tidak usah banyak cakap. Bebaskan dia dan kau akan kuantar ke tempat penyimpanan bokor. Bagaimana?"

Kakek itu menggerakkan tangan kirinya, pedang rampasan meluncur lantas menancap di atas lantai, hanya berselisih setengah jengkal saja dari pipi Bi Kiok!

"Huh, kau masih beruntung, bocah kurang ajar. Lain kali akan kubuntungi hidungmu dan kedua daun telingamu, dan hendak kulihat, apa yang akan dapat dilakukan oleh gurumu, biar pun dia dalam keadaan tidak terluka."

Kakek itu lalu menyambar tubuh Kun Liong, dikempitnya dan dia hendak pergi dari situ.

"Toat-beng Hoatsu, manusia pengecut!"`Bu Leng Ci berteriak marah. "Kau datang ketika aku terluka! Coba kau datang lagi kelak kalau aku sudah sembuh!"

Kakek itu menoleh dan tertawa. "Heh-heh-heh, boleh saja!"

"Kau sudah mengkhianati kerja sama lima datuk!" Bu Leng Ci yang merasa marah dan kecewa sekali melihat Kun Liong dirampas, kembali menyerang dengan kata-kata penuh kebencian.

"Huhh! Siapa sudi melanjutkan persekutuan busuk itu? Pek-lian-kauw membiarkan dirinya diperalat oleh anjing-anjing asing bermata biru. Siapa yang sudi? Boleh saja aku melawan pemerintah, akan tetapi aku tak sudi menjadi pengkhianat bangsa dan mengekor kepada orang-orang asing!" Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan lenyap dari situ.

"Subo...!" Bi Kiok menghampiri gurunya dan membantu gurunya bangun.

"Hemm... sayang aku terluka dan harus menyembuhkan lukaku lebih dulu, Si Keparat Tio Hok Gwan yang menjadi gara-gara! Kalau aku tidak luka, andai kata tikus tua itu berhasil miarikan Kun Liong, aku masih dapat membayanginya."

"Teecu rasa tempat itu tentulah di sekitar daerah Sungai Huang-ho. Teecu akan mencoba untuk menyelidiki dan membayanginya."

"Hemnm, kau bukan lawannya. Biar kita pergi bersama dan sambil melakukan perjalanan aku mengobati lukaku. Perjalanan ke Sungai Huang-ho sangat jauh dan memakan waktu lama, masih banyak waktu bagiku untuk menyembuhkan diri dan turun tangan kalau tikus tua itu benar-benar dapat menemukan tempat persembunyian bokor itu."

Dengan dibimbing oleh muridnya, Siang-tok Mo-li meninggalkan pulau itu dan mereka lalu menggunakan perahu untuk mendarat. Tentu saja kakek itu sudah tidak nampak lagi dan sebelum meninggalkan Telaga Kwi-ouw, Bu Leng Ci singgah dahulu di pulau besar dan menyuruh murid-murid kepala Kwi-eng-pang untuk mengurus mayat-mayat ketujuh orang pelayannya yang semua tewas dengan kepala terkupas bersih, juga minta agar mereka menyampaikan kepada Ketua Kwi-eng-pang kalau Kwi-eng Niocu pulang bahwa tawanan itu telah dirampas dan dibawa pergi oleh Toat-beng Hoatsu.

********************

Selanjutnya,