Petualang Asmara Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PEMUDA itu kembali bicara nyaring sekali, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Dengan kepala tunduk dan muka kemerahan, ketiga orang asing itu langsung berjalan pergi, yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan.

Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biar pun nada suaranya terdengar lucu dan asing,

"Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka itu belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka."

Kun Liong juga membungkuk. Diam-diam dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.

"Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu."

Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.

"Tuan bukan anggota mereka?" Dia mengulang. "Kalau begitu, kenapa Tuan menyerang orang kami?"

"Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya."

Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. "Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?"

"Sama sekali bukan!" jawab Kun Liong. "Saya bukan pendekar, akan tetapi ketiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang."

Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh perhatian, kemudian berkata, "Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan. Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat."

"Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?"

"Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... ehh…, apa namanya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!"

Dan pemuda asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!

"Aihh!" Kun Liong mengelak cepat, semakin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat pula!

"Wut-wutt... siuuuttt…!"

Pemuda asing itu sudah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi-tubi memukul dan saat Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut ‘terbang’ dan kaki kirinya menyusul tendangan kaki kanan itu. Inilah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!

Kun Liong tidak dapat mengelak, lalu bergerak menangkis sambil mendorong.

"Dessss! Aughhhh…!"

Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguh pun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi.

"Bagus, kau hebat! Sambutlah!"

Dia maju menyerang lagi, kini betul-betul mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang dikepal tetapi kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman.

Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.

Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan dua tangan terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sinkang untuk menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng, hanya sekedar membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya.

"Ahhhh...!" Pemuda asing itu terkejut, berusaha menarik kembali kedua tangannya tetapi sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu.

Kembali dia membetot dan kesempatan itu digunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali, lantas tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor.

Dari tempat dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, "Saudara hebat sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?"

Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri sudah mengakui kekalahannya, hati Kun Liong menjadi tertarik dan senang. Dia pun membungkuk sambil berkata, "Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong."

"Terima kasih, sampai jumpa lagi!" Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!

Kun Liong tidak mau memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali membayangi Si Pemuda Asing, tetapi karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja memperlambat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebuah tikungan.

Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang sangat besar dan megah. Agak aneh juga sebab di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil.

Agaknya datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya dengan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang ‘malaikat’ mempunyai penjaga seekor naga!

Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong langsung kembali ke rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika dia tiba kembali di kamar penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan supek-nya mau pun dengan maksud kedatangan mereka berdua di kota itu.

"Setelah kau pergi tadi, secara diam-diam aku pun pergi mengunjungi beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan yang aku peroleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek-bin Thian-sin!"

"Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula dalam urusan kejahatan,"

Kun Liong berkata dan teringatlah dia pada pemuda asing bernama Yuan de Gama tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya sama sekali dia bukan dari golongan penjahat, namun ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah menutupkan daun pintu.

"Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andai kata di sana tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara berterang menanyakan kepadanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dirinya sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang."

Kun Liong mengangguk karena memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu.

Dengan mudah saja dua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu. Kemudian, dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, mereka menggunakan ginkang untuk menyelinap mendekati rumah, mengitari rumah itu kemudian menghampiri bagian belakang.

Atas isyarat Keng Hong, tanpa menimbulkan suara mereka melompat ke atas genteng di bagian belakang, kemudian merayap ke bagian di mana tampak penerangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan amat hati-hati Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.

Ruangan itu lebar dan perabot-perabotnya mewah. Di sepanjang dinding terdapat tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin serta lampu minyak dari perak yang tergantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari.

Banyak lukisan-lukisan indah tergantung pada dinding dan di sana-sini terhias tirai sutera berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap dan buatannya halus, sedangkan kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat indah sekali.

Ada tujuh orang yang berada di dalam ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan bangku-bangku yang letaknya agak berjauhan. Mereka duduk berhadapan sehingga merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak.

Pada saat Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua, kepalanya bagian atas botak pelontos seperti kepalanya sendiri, bahkan lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, sangat mengkilap, rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi anehnya rambut yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya.

Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana jadinya bila kelak kepalanya yang gundul itu dapat tumbuh rambut, tetapi yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan.

Orang-orang asing ini begitu sama mukanya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini membayangkan hati yang kejam dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehijauan itu galak sekali.

Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung si kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang dipakai Yuan de Gama tadi siang, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.

Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga bahwa lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam.

Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembesar yang berkuasa di Ceng-to, sedangkan di sebelahnya yang berpakaian seperti seorang panglima tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pantai sebelah timur, yang markasnya berada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!

Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar percakapan mereka itu, berubah wajah pendekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan!

"Kami hanya bermaksud membantu saja, sebab Kaisar telah menolak untuk mengadakan perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di negeri ini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menjajah. Kami membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, ada pun kami datang membawa dagangan hasil bumi. Juga kami membutuhkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, kami akan membantu mengeluarkan biaya untuk perjuangan saudara-saudara, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini," kata kakek asing botak dengan suara lancar.

"Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado," jawab orang yang berpakaian sebagai pembesar sipil. "Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, ada pun kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggota Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka."

"Memang betul apa yang dikatakan Tung-taijin," berkata panglima berpakaian komandan pasukan. "Selain jumlah pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya." Jelas bahwa panglima ini merasa jeri.

"Hemm, tentang hal itu, kenapa Ciangkun (Panglima) harus merasa khawatir? Kami dari Pek-lian-pai juga mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami pun berhubungan pula dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal."

"Ha-ha-ha-ha!" Kakek asing yang namanya disebut Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil memandang ke atas hingga perutnya yang gendut terguncang-guncang. "Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita, mengapa mesti takut? Jika tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan bisa berhasil? Bagaimana katamu, ehh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?"

Si Muka Hitam menyeringai. "Memang tidak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga tidak salah bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pemerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya memang berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya telah bersemangat, sekarang semangatnya kendur lagi, menganggap perjuangan ini terlalu berbahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti."

"Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa harus takut? Kami sanggup menyediakan senjata-senjata api dan melatih pasukan kalian. Dengan senjata api ini, kiranya kita akan jauh lebih kuat. Kami membawa meriam-meriam di kapal, kalau perlu masih dapat kami datangkan lagi dari barat."

Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring. "Pemberontak-pemberontak hina!" Dan tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu.

Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah seorang gadis muda yang cantik, dan begitu masuk gadis itu sudah mencabut pedangnya dan menyerang Tung-taijin sambil memaki,

"Pembesar terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!"

"Trang-trang...!"

Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Sedangkan seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Tetapi agaknya dia terlalu memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya begitu saja.

"Tosu pemberontak, robohlah!" tiba-tiba saja gadis itu membalikkan tubuh, tangan kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa.

"Dukkk!"
Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam dadanya sehingga dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya.

"Cringgg...! Aihhh...!"

Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek-bin Thian-sin sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.

Maklum bahwa pihak lawan sangat lihai, secepat burung walet terbang dara itu sudah meloncat ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.

"Uiii...! Hendak lari ke manakah, Nona?" Kakek asing berkepala botak bertanya, suaranya nyaring disusul suara bergeletar dan tampaklah sinar putih bagaikan ular menyambar ke arah jendela.

Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menjerit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Kakek itu memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya bergerak menyambar.

"Plakkkk!" tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu pingsan, tak dapat bergerak lagi!

"Ha-ha-ha, beginikah yang kau maksudkan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?" Legaspi Selado berkata sambil tertawa. "Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!"

Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa sambil memandang tubuh dara yang terlentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Gadis itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing menarik hati.

Sementara itu Keng Hong berbisik, "Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka sudah mengejarku, kau tolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tunggu aku di luar kota sebelah barat."

Begitu Kun Liong mengangguk, sekali berkelebat supek-nya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, tidak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk menolong dara cantik itu.

Tidak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin sudah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayangan dua orang melayang ke dalam ruangan itu.

"Tar-tar-tar!"

"Wuuuutttt...!"

Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin langsung bergerak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri lantas roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu adalah dua orang penjaga yang menjadi pengawal Tung-taijin!

Kembali ada dua orang melayang masuk. Namun sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan.

"Keparat, siapa berani main gila di rumahku?" Hek-bin Thian-sin sudah melayang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi serta puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek-lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.

Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu, bahkan rumah itu bagaikan turut tergetar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supek-nya yang menantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan.

Maka dia kemudian melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keadaan remang-remang, sebab itu mereka tak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa terkejut dan marahnya ketika bayangan yang melayang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang telah menjadi tawanan itu.

Mereka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sinkang-nya, sedangkan tangan kanannya dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka.

Akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mukjijat yang dapat merobohkan mereka tadi saja sudah membuktikan bahwa ‘hwesio’ yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh bagi mereka. Betapa pun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, mereka cepat meloncat lalu mengejar sambil berteriak.

"Tahan penjahat yang melarikan tawanan!"

Mereka semua berkumpul di atas genteng, bingung karena mereka kehilangan ‘penjahat’ yang mengacau tadi!

"Eh, ke mana perginya setan itu tadi?" Legaspi bertanya penuh penasaran.

Tadi dia juga ikut mendengar lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang mengeluarkan suara itu memiliki khikang yang sangat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bukan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan orang berkelebat dan lenyap!

"Celaka, tawanan telah dilarikan orang...!" Teriakan dua orang tosu Pek-lian-pai ini makin mengejutkan mereka.

"Siapa yang melarikan?!" bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.

"Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwesio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan tangannya."

Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lantas mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin, memaki-maki mereka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota!

Dengan wajah murung mereka kembali ke ruangan tadi, kemudian menyuruh orang untuk menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.

"Apa yang kukatakan tadi!" Bhong-ciangkun berkata, suaranya terdengar gemetar karena dia merasa tidak enak sekali. "Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja kita sudah kacau balau!"

Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. "Hemmm... orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat kepandaiannya, dan kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini..."

"Harap Saudara Legaspi jangan berpendapat demikian," Hek-bin Thian-sin membantah. "Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini terdapat banyak sekali orang sakti yang melebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang tidak dapat dilawan dengan ilmu yang mana pun juga. Masih ada lagi yang hebat-hebat, seperti pengawal Panglima Besar The Hoo yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum seberapa hebat kalau dibandingkan dengan kesaktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan..."

"Hemmm... kalau saja aku tadi membawa senjata api, agaknya dia tak akan begitu mudah melarikan diri!" Hendrik berkata dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan kepada dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.

Peristiwa di rumah Hek-bin Thian-sin malam itu membikin kecut hati dua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu.

********************

Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supek-nya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supek-nya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.

"Supek!" katanya kagum.

Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. "Dia tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kau larikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Kemudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan kepadanya supaya jangan lancang lagi menyerbu goa harimau. Aku sendiri harus cepat-cepat pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemudian, kalau ada waktu pergilah ke Cin-ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut."

Kun Liong tak dapat membantah biar pun dia masih ingin melakukan perjalanan bersama supek-nya yang sakti itu. "Baiklah, Supek."

Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supek-nya tidak setuju dan melarangnya.

Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong segera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melakukan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia memasuki hutan yang besar.

Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar. Dara itu masih pingsan, maka dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biar pun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menyelimutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu.

Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerahan, apa lagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Sinar api unggun bermain-main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya.

Setelah puas menjelajahi wajah itu dengan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang setengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jantungnya berdebar aneh. Mulut gadis ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya nampak begitu segar, bagaikan buah angco merah yang masak, mendatangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!

"Plakk!" Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. "Gila kau!" Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi.

Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seseorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik ketika melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu?

Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk lalu mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya.

Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu pula bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng pada waktu dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.

"Plakkkk!" Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, sekali ini agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya.

Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin sekali menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor!

Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat.

Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang dicium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayahnya, dan dia menjadi berduka, lalu merebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!

Malam sudah berganti pagi. Kun Liong menggeliat kemudian menelungkup. Tiba-tiba saja dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di tengkuk sudah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah kematian, dan kini ada dua buah jari tangan yang sudah menempel pada tengkuknya, lantas terdengar bentakan,

"Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!"

Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Ternyata dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sinkang-nya untuk menutup jalan darah di tengkuk. Akan tetapi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.

"Eh, eh, kau mau apa?" tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersembunyi di antara kedua lengannya.

"Hayo lekas katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak-pemberontak itu, ya?"

"Hi-hi-hik!" Kun Liong tertawa geli.

"Ehh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?"

"Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tetapi dengar dulu kata-kataku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!"

Gadis itu marah bukan main, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sinkang-nya. Kalau diperlukan, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi I-beng!

Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggapnya hwesio itu, maka dia mendesak, "Jangan kurang ajar! Kekeliruan apa yang sudah kulakukan?"

"Pertama, aku bukan anggota mau pun kawan para pemberontak itu. Ke dua, akulah yang telah melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!"

"Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?" Dara itu cepat membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini Kun Liong pun teringat ketika melihat sepasang mata itu.

"Engkau...?! Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?" Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.

Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas. "Hi-hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian."

Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. "Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu semakin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!"

Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Maafkanlah aku. Aku tadi salah sangka... ahh, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Taihiap (Pendekar Besar)...!"

Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat.

"Kau ini mengangkat atau membanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!"

"Eihhh? Apa salahku?"

"Kau menyebut aku taihiap segala macam. Kau mengejek, ya?"

Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali!

"Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biar pun kau pura-pura... ehh, bodoh dan kepalamu kau cukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa kali ini kau menolongku dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?"

Kun Liong merasa terdesak. "Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku taihiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!"

Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa tadi pemuda gundul ini hanya pura-pura marah. Maka timbul juga kenakalannya. "Habis, aku harus menyebut situ apa?"

"Kok situ? Situ mana?"

Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! "Kau jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau."

"Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kau pun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?"

"Hi-hi-hik... Kau lucu!" Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi menggunakan jari telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!

"Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu saat kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang..."

"Sekarang apa?"

"Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita."

Dara itu mengerutkan alisnya. "Yap Kun Liong, jika aku tak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tetapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu."

"Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah melupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kau benci ini sampai tiga kali!"

Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah bukan main. "Kun Liong, kenapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ahhh…, itu soal lalu, karena aku merasa menyesal telah menyakiti hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku."

"Hemm, kalau sekarang bagaimana? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!"

"Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... ehh, kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Tidak cukup dengan maaf! Kalau dahulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku."

Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. "Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?"

"Terserah kau mau menganggap bagaimana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf jika kau suka kucium. Dengar baik-baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan walau pun kau sedang pingsan karena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu dengan menciummu, akan tetapi hanya kalau kau suka, bukan paksaan!"

Muka yang cantik itu sebentar pucat dan sebentar merah, agaknya bingung bukan main. "Kalau... kalau aku tidak mau?"

"Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaafkanmu dan akan selalu menganggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!"

"Kun Liong..." Suara itu seperti memohon agar pemuda itu tak menganggapnya demikian. "Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepadamu. Akan tetapi… tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukannya?"

"Bukan kau yang melakukan, melainkan aku."

"Maksudku... ehh…, kau membikin aku bingung. Aku... aku..."

"Dengarkan, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara."

"Kau mendesak, seperti memaksa."

"Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Jika kau tidak suka, katakan saja tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?"

"Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!"

"Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!"

"Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau setan..."

"...gundul!" Kun Liong menyambung.

Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.

"Nah, bagaimana?" Kun Liong teringat lagi dan bertanya.

"Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali..."

"Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!" Kun Liong memotong cepat.

"Tiga kali?" Kedua mata itu terbelalak, tangannya meraba-raba rambutnya. "Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak keramas."

"Siapa mau mencium rambutmu?"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga, dan Kun Liong terpaksa memejamkan matanya. Manis sekali wajah itu!

"Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?"

Kun Liong membuka matanya, tersenyum. "Siapa main gila? Aku main sungguhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Kau hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?"

"Mau sih... mau, akan tetapi..."

"Kalau sudah mau masih ada tetapinya, namanya bukan mau..."

"Kau sih aneh! Dulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak mencium... apa?"

"Hwi Sian, memang agak sulit memberi pengakuan. Pokoknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Apa bila engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu kukatakan mana yang akan kucium. Pokoknya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau tidak?"

Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepasang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu tersenyum aneh!

Kemudian Hwi Sian menganggukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tubuh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!

Kun Liong menjadi girang sekali. "Kau benar-benar mau?"

Hwi Sian mengangguk.

"Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?"

Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar-debar tak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!

Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, lalu dia mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak bagaikan kelinci ketakutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!

"Hwi Sian, kau benar-benar mau?"
Hwi Sian tidak berani menjawab sebab jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan. Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya mengangguk, kini dia benar-benar ingin dicium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!

"Kalau mau..." Suara Kun Liong makin gemetar seperti orang sakit demam. "Kalau mau, kau pejamkan matamu..."

Dua mata itu malah terbelalak, agaknya heran, kemudian sepasang mata yang indah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mulutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran sangat hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka sedikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.

Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah. Kini tanpa disadarinya sepasang lengannya telah memeluk pinggang Hwi Sian.

"Satu kali...," bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.

Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika melihat muka Kun Liong mendekat lagi, dia menjadi ngeri dan cepat memejamkan mata. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong.

Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!

Ciuman yang ketiga kalinya amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Pada waktu Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat menahan napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua lengan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.

"Ehh... ehhh... kok menangis? Ada apa ini...?"

Pertanyaan itu membuat Hwi Sian makin sesenggukan.

"Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh..." Kun Liong segera menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu.

Gadis itu masih sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seakan-akan setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!

"Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak? Senang atau susah?"

"Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku… aku juga cinta kepadamu!"

Kun Liong terkejut seperti mendengar suara guntur di tengah hari. "Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?"

"Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku..."

Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat berdiri. Dia memandang dengan alis berkerut dan sikap sungguh-sungguh, "Hwi Sian, siapa bilang... ehhh…, bagaimana engkau tahu bahwa aku cinta kepadamu?"

Sekarang gadis ini pun meloncat berdiri, matanya menatap tajam dan alisnya berkerut. "Tentu saja! Sesudah apa yang kau lakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh…, tidakkah begitu?"

Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. "Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian."

"Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seperti itu..."

"Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan tetapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepadaku!"

Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarahan.

"Yap Kun Liong! Jadi kau... kau hanya mau mempermainkan aku?"

Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul. "Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa pun juga. Sebelum aku menciummu, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?"

"Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kau lakukan tadi..."

"Apa bedanya kalau kita melakukannya dengan dasar sama-sama suka dan rela?"

"Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apa lagi seperti yang kau lakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!"

"Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walau pun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan dengan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilakukan dengan kerelaan kedua pihak..."

"Tapi aku cinta padamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukan perbuatan tadi, dengan siapa pun juga. Lebih baik aku mati!"

Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Kau aneh sekali..."

"Justru kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghinaku!"

"Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biar pun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh..."

Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya secara kalang-kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot mengelak dan menangkis.

"Nanti dulu... ehhh... heiiittt... ehh, luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah engkau sudah gila?"

"Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!" Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.

"Waaahhh... celaka! Nah, kau lihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!"

Kun Liong terpaksa melempar diri ke belakang dan bergulingan, kemudian dia melompat bangun dan melihat Hwi Sian benar-benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!

"Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?" Hwi Sian mengejar.

"Wahh, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka apa bila harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!"

Dia mengerahkan ginkang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil mengepal tinjunya. Sesudah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.

Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya lantas suara yang sama halusnya berkata, "Hwi Sian, jangan menangis. Kau maafkan aku kalau memang kau anggap aku bersalah."

Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh luar biasa, yang menyelinap di hatinya ketika melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya semakin menjadi-jadi!

Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia menarik napas panjang, lalu berkata, "Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat menghinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?"

Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong mengeluarkan sapu tangannya dan menggunakan sapu tangan itu menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini bagaikan meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!

"Sudahlah Hwi Sian," Kun Liong mengelus kepala gadis itu, "Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?"

"Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?"

"Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu."

Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat buruk dan sama sekali tidak ingin menghinanya sungguh pun apa yang dilakukannya sangat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!

"Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apa lagi kepadamu, biar pun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?"

Hwi Sian memandang bingung. "Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya saja… ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku..."

"Hmm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?"

"Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... ehh…, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!"

"Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada seseorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, saat aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku..."

"Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang serta memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan rasa kemarahanku saja."

"Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cinta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir."

"Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?"

"Entahlah, aku sendiri pun belum tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib terlalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian."

"Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?"

"Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat setangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, maka kita akan menyesal dan kecewa. Nah, maukah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!"

Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Sejak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama sekali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasehat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu birahi. Apakah tadi itu nafsu birahi yang mendorong sehingga dia merasakan nikmat dalam pelukan dan menerima ciuman Kun Liong?

Tiba-tiba Kun Liong memegang tangannya. "Ehh, ada banyak orang datang berkuda!"

Mereka bangkit berdiri kemudian menoleh ke belakang. Benar saja, tidak lama kemudian muncullah serombongan orang berkuda. Kun Liong sangat terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek-bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.

"Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!" Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.

"Hwi Sian, mari kita lari!" Kun Liong berbisik.

"Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suheng-ku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka akulah yang kebetulan dapat membongkar rahasia mereka. Aku harus lawan mereka!"

Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari menyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat lalu menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hendrik pemuda asing.

"Pemberontak hina!" Hwi Sian membentak marah.

Diserang secara tiba-tiba dengan dahsyatnya, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, bergulingan lalu meloncat bangun.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencari-carimu, Nona!" katanya sambil mencabut sebatang pedang.

"Tangkap dia!" Panglima itu membentak dan dua orang prajurit lalu menggunakan pedang mereka menubruk.

Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biar pun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Pada saat dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya meraih.

Seorang prajurit berteriak, tubuhnya terjengkang dan pedangnya terampas dan pada lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur jatuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian.

Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.

"Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!" Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Kini tubuhnya sudah melangkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.

"Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu.

Sejak tadi Kun Liong sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan mampu melayani pengeroyokan para prajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi saat melihat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya.
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 15

Petualang Asmara Jilid 15
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PEMUDA itu kembali bicara nyaring sekali, agaknya memarahi ketiga orang asing itu dan telunjuknya menuding ke luar. Dengan kepala tunduk dan muka kemerahan, ketiga orang asing itu langsung berjalan pergi, yang patah lengannya tadi masih mengerang kesakitan.

Setelah ketiga orang itu pergi, pemuda itu membalikkan tubuhnya, membungkuk kepada Kun Liong dan berkata dalam bahasa pribumi yang cukup lancar biar pun nada suaranya terdengar lucu dan asing,

"Harap Saudara maafkan kalau tiga orang kasar tadi mengganggu pertunjukan saudara-saudara di sini. Maklumlah, mereka itu belum pernah melihat orang-orang mengadakan pertunjukan di tempat terbuka."

Kun Liong juga membungkuk. Diam-diam dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda asing ini pandai bicara dalam bahasa pribumi dan sikapnya sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan merendah.

"Saya bukan dari rombongan penari silat, harap Tuan minta maaf kepada mereka itu."

Mendengar ucapan Kun Liong ini, pemuda asing itu mengangkat dada dan memandang tajam, mengerutkan alisnya yang berwarna agak kuning, tidak sekuning rambutnya.

"Tuan bukan anggota mereka?" Dia mengulang. "Kalau begitu, kenapa Tuan menyerang orang kami?"

"Saya tidak menyerang, merekalah yang menyerang saya. Saya melihat mereka memukul para penari silat, maka saya berusaha mencegahnya dan mereka menyerang saya."

Sikap pemuda asing itu berubah, agaknya dia penasaran, dan juga tertarik sekali. "Hem, kau bilang tidak menyerang akan tetapi seorang di antara mereka sampai patah tulang lengannya. Agaknya Tuan seorang pendekar, ya?"

"Sama sekali bukan!" jawab Kun Liong. "Saya bukan pendekar, akan tetapi ketiga orang sahabat Tuan tadi adalah orang-orang jahat yang tidak semestinya dibiarkan berkeliaran seperti binatang buas yang suka mengganggu orang."

Akan tetapi pemuda asing itu tidak memperhatikan kata-kata ini, hanya memandang penuh perhatian, kemudian berkata, "Saya ingin sekali melihat kepandaian Tuan. Marilah kita menguji kepandaian masing-masing secara bersahabat."

"Apa? Tuan menantang saya untuk bertanding? Orang saling pukul, mana bisa secara bersahabat?"

"Saya tidak menantang untuk bermusuhan, akan tetapi untuk... ehh…, apa namanya itu, untuk pibu! Ya, untuk pibu! Marilah Tuan sambut serangan saya!"

Dan pemuda asing itu dengan penuh semangat lalu menerjang maju, menyerang dengan pukulan tangan terkepal, akan tetapi gerakannya lincah sekali dan pukulannya membawa angin pukulan yang mengandung tenaga dalam!

"Aihh!" Kun Liong mengelak cepat, semakin terheran-heran karena jelas dari pukulan itu bahwa Si Pemuda Asing yang tadi dia lihat pandai menggunakan ginkang, kini ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat pula!

"Wut-wutt... siuuuttt…!"

Pemuda asing itu sudah melanjutkan serangannya, kedua tangannya secara bertubi-tubi memukul dan saat Kun Liong mengelak dua kali dengan cepat, kaki kanan pemuda asing itu menyusul dengan sebuah tendangan yang amat berbahaya, karena seluruh tubuhnya ikut ‘terbang’ dan kaki kirinya menyusul tendangan kaki kanan itu. Inilah ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang amat lihai!

Kun Liong tidak dapat mengelak, lalu bergerak menangkis sambil mendorong.

"Dessss! Aughhhh…!"

Pemuda asing itu terlempar, akan tetapi dapat berjungkir balik dan turun sambil berdiri. Dia tadi berteriak karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, sungguh pun tidak sampai patah seperti lengan temannya tadi.

"Bagus, kau hebat! Sambutlah!"

Dia maju menyerang lagi, kini betul-betul mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian silatnya yang aneh namun cukup hebat. Gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar, kedua tangan dikembangkan, kadang-kadang dikepal tetapi kadang-kadang dibuka seperti cengkeraman.

Kun Liong makin kagum dan dia pun cepat mengimbangi kelincahan lawan, mengelak ke sana-sini dan berusaha menghentikan serangan-serangan itu dengan menjatuhkan lawan tanpa melukai sampai parah.

Ketika untuk kesekian kalinya pemuda asing itu menubruk dengan dua tangan terpentang, Kun Liong menyambut kedua tangan itu sambil mengerahkan sinkang untuk menempel, akan tetapi dia tidak mau menggunakan Thi-khi I-beng, hanya sekedar membuat kedua tangan lawan melekat pada tangannya.

"Ahhhh...!" Pemuda asing itu terkejut, berusaha menarik kembali kedua tangannya tetapi sia-sia belaka, kedua telapak tangannya seperti melekat pada tangan pemuda itu.

Kembali dia membetot dan kesempatan itu digunakan oleh Kun Liong untuk mengerahkan tenaga mendorong dan... tubuh pemuda asing itu terlempar ke belakang sampai empat meter dan jatuh terbanting! Akan tetapi dia dapat cepat meloncat bangun kembali, lantas tersenyum kagum sambil mengebut-ngebutkan jubahnya yang kotor.

Dari tempat dia terjatuh, dia membungkuk ke arah Kun Liong dan berkata, "Saudara hebat sekali! Saya Yuan de Gama mengaku kalah. Siapakah nama Saudara?"

Menyaksikan sikap pemuda asing yang dengan jujur dan wajah berseri sudah mengakui kekalahannya, hati Kun Liong menjadi tertarik dan senang. Dia pun membungkuk sambil berkata, "Tuan juga hebat. Nama saya Yap Kun Liong."

"Terima kasih, sampai jumpa lagi!" Pemuda asing itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan cepatnya menuju ke utara!

Kun Liong tidak mau memberi kesempatan kepada orang-orang yang mendekatinya untuk memuji dan bertanya-tanya, dia pun cepat melangkah dan menuju utara, bukan sekali-kali membayangi Si Pemuda Asing, tetapi karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya di rumah Hek-bin Thian-sin seperti yang telah ditunjukkan oleh nelayan tua tadi. Agar tidak disangka membayangi pemuda bekas lawannya, dia sengaja memperlambat langkahnya sampai pemuda di depan itu lenyap di sebuah tikungan.

Kun Liong hanya melihat-lihat dari luar. Rumah Hek-bin Thian-sin memang sangat besar dan megah. Agak aneh juga sebab di bagian atapnya terdapat ukiran seekor naga seperti yang biasanya terdapat pada bangunan kuil.

Agaknya datuk kaum sesat itu hendak menyesuaikan rumahnya dengan julukannya. Dia berjuluk Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) maka sudah sepatutnya kalau rumah seorang ‘malaikat’ mempunyai penjaga seekor naga!

Setelah mempelajari keadaan rumah gedung itu dari luar, Kun Liong langsung kembali ke rumah penginapan. Hari telah mulai senja ketika dia tiba kembali di kamar penginapan di mana Keng Hong telah menantinya. Kun Liong segera menceritakan tentang rumah datuk kaum sesat itu dan sama sekali tidak mau menceritakan tentang peristiwa yang terjadi dengan pemuda asing, karena hal itu dianggapnya tidak ada sangkut-pautnya dengan supek-nya mau pun dengan maksud kedatangan mereka berdua di kota itu.

"Setelah kau pergi tadi, secara diam-diam aku pun pergi mengunjungi beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di sini. Mereka itu sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mendengar di mana adanya orang tuamu. Jalan satu-satunya untuk mencari keterangan agaknya harus dari golongan hitam. Dan menurut cerita mereka, ada hal-hal aneh di kota ini. Sikap para orang asing itu mencurigakan sekali karena menurut keterangan yang aku peroleh, selain mereka itu berhubungan dengan para pembesar, juga kelihatan ada orang asing yang mengunjungi Hek-bin Thian-sin!"

"Hemmm, katanya mereka itu hanya pedagang biasa. Jangan-jangan mereka terlibat pula dalam urusan kejahatan,"

Kun Liong berkata dan teringatlah dia pada pemuda asing bernama Yuan de Gama tadi. Melihat sikap pemuda itu, agaknya sama sekali dia bukan dari golongan penjahat, namun ilmu kepandaiannya benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Malam hari itu, Keng Hong dan Kun Liong keluar dari rumah penginapan. Hari telah jauh malam dan kota Ceng-to sudah mulai sepi, rumah-rumah sudah menutupkan daun pintu.

"Jangan sembarangan turun tangan. Kita menyelidiki saja dulu, dan andai kata di sana tidak ada apa-apa, biarkan aku yang langsung menjumpai Hek-bin Thian-sin dan secara berterang menanyakan kepadanya tentang ayah bundamu, juga tentang penyerbuan ke Siauw-lim-si. Mengingat akan kedudukan dirinya sebagai datuk dan aku sebagai Ketua Cin-ling-pai, kiranya dia akan suka bicara berterus terang."

Kun Liong mengangguk karena memang dia pun tidak ingin melakukan sesuatu, kecuali kalau terjadi apa-apa yang memaksanya melakukan sesuatu.

Dengan mudah saja dua orang ini meloncati pagar ruji besi yang melingkari rumah besar itu. Kemudian, dengan gerakan ringan tanpa menimbulkan suara, mereka menggunakan ginkang untuk menyelinap mendekati rumah, mengitari rumah itu kemudian menghampiri bagian belakang.

Atas isyarat Keng Hong, tanpa menimbulkan suara mereka melompat ke atas genteng di bagian belakang, kemudian merayap ke bagian di mana tampak penerangan dan di bawah itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Dengan amat hati-hati Keng Hong menggeser genteng dan dari celah-celah atap mereka mengintai ke bawah.

Ruangan itu lebar dan perabot-perabotnya mewah. Di sepanjang dinding terdapat tempat lilin dari kayu berukir, sedangkan lilin yang menyala tertutup kaca bulat yang membuat cahaya lilin menjadi terang. Karena banyaknya lilin serta lampu minyak dari perak yang tergantung di ruangan itu, maka ruangan itu terang sekali seperti siang hari.

Banyak lukisan-lukisan indah tergantung pada dinding dan di sana-sini terhias tirai sutera berwarna-warni, membuat suasana kamar itu kelihatan indah dan menyenangkan. Ada dua jendela di kamar besar itu yang berada di kanan kiri, keduanya menembus ke udara terbuka sebuah taman sehingga hawa di kamar itu cukup sejuk. Meja kursi yang terdapat di ruangan itu semua mengkilap dan buatannya halus, sedangkan kedua jendela itu pun langkannya terhias kayu ukir-ukiran yang dicat indah sekali.

Ada tujuh orang yang berada di dalam ruangan itu, duduk seenaknya di atas kursi-kursi dan bangku-bangku yang letaknya agak berjauhan. Mereka duduk berhadapan sehingga merupakan setengah lingkaran, masing-masing menghadapi meja kecil di mana terdapat tempat bunga yang berisi bunga-bunga segar dan cawan-cawan terisi arak.

Pada saat Kun Liong memperhatikan orang-orang itu, dia terkejut melihat bahwa di antara mereka terdapat dua orang asing bermata biru berkulit putih. Yang seorang sudah tua, kepalanya bagian atas botak pelontos seperti kepalanya sendiri, bahkan lebih licin seperti kaca yang menutupi lilin-lilin itu, sangat mengkilap, rambutnya hanya tumbuh di sekeliling kepalanya saja, akan tetapi anehnya rambut yang tumbuh ini cukup lebat, demikian pula jenggotnya dan kumisnya.

Kun Liong bergidik membayangkan bagaimana jadinya bila kelak kepalanya yang gundul itu dapat tumbuh rambut, tetapi yang tumbuh hanya sekeliling kepala seperti kakek asing ini! Lebih baik gundul kalau begitu! Orang asing ke dua tadinya dia kira Yuan de Gama, akan tetapi setelah dipandang dengan teliti, ternyata bukan.

Orang-orang asing ini begitu sama mukanya! Orang ini pun masih muda, paling banyak tiga puluh tahun, juga tampan seperti yang lain, akan tetapi jauh bedanya dengan Yuan de Gama. Lekukan dagu dan tarikan mulut orang ini membayangkan hati yang kejam dan kesombongan, sedangkan sinar matanya yang biru kehijauan itu galak sekali.

Bentuk hidungnya yang seperti burung kakaktua itu serupa benar dengan bentuk hidung si kakek botak. Pakaian mereka berdua sama anehnya, sama pula dengan pakaian yang dipakai Yuan de Gama tadi siang, hanya bedanya, jubah kakek botak itu lebih besar dan panjang, dengan kantung-kantung besar sekali.

Keng Hong juga terkejut karena dia mengenal kakek asing botak itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya ketika dia bersama isterinya menghajar Ma-taijin di Leng-kok kurang lebih lima tahun yang lalu! Yang lain-lain dia tidak mengenalnya, hanya dapat menduga bahwa lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang duduk di atas kursi tuan rumah, membelakangi pintu dalam, tentulah Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu, selain diketahui dari kedudukannya, juga dapat diduga dari mukanya yang berkulit hitam.

Seorang lain yang berpakaian seperti pembesar kiranya adalah pembesar yang berkuasa di Ceng-to, sedangkan di sebelahnya yang berpakaian seperti seorang panglima tentulah komandan pasukan yang memimpin penjagaan di pantai sebelah timur, yang markasnya berada tidak jauh dari kota Ceng-to. Dua orang lagi adalah tosu-tosu yang kalau dia tidak salah menduga, adalah orang-orang Pek-lian-kauw!

Dugaan Keng Hong memang tidak keliru dan ketika dia mendengar percakapan mereka itu, berubah wajah pendekar ini. Kiranya mereka itu merupakan persekutuan yang hendak melakukan pemberontakan!

"Kami hanya bermaksud membantu saja, sebab Kaisar telah menolak untuk mengadakan perdagangan dengan kami, menolak kami untuk membuat pangkalan dagang di negeri ini. Kalian tahu bahwa kami hanyalah pedagang, tidak berniat menjajah. Kami membutuhkan sutera, teh, dan barang-barang kerajinan untuk kami beli, ada pun kami datang membawa dagangan hasil bumi. Juga kami membutuhkan rempah-rempah dan bahan-bahan obat. Jangan khawatir, kami akan membantu mengeluarkan biaya untuk perjuangan saudara-saudara, dan kelak kalau berhasil, kami hanya minta agar diijinkan membuka pangkalan perdagangan di sini," kata kakek asing botak dengan suara lancar.

"Kami percaya akan kerja sama dan bantuan Tuan Legaspi Selado," jawab orang yang berpakaian sebagai pembesar sipil. "Akan tetapi kedudukan kerajaan kuat sekali, ada pun kami kekurangan pasukan. Pasukan-pasukan penjaga yang ada di pantai timur ini tidak terlalu besar ditambah dengan para anggota Pek-lian-kauw, jumlahnya masih belum ada sepersepuluh tentara kerajaan. Melakukan pemberontakan secara berterang merupakan hal yang berbahaya sekali, karena menjadi perang terbuka."

"Memang betul apa yang dikatakan Tung-taijin," berkata panglima berpakaian komandan pasukan. "Selain jumlah pasukan pemerintah besar sekali, juga di sana terdapat banyak pemimpin yang lihai ilmu kepandaiannya." Jelas bahwa panglima ini merasa jeri.

"Hemm, tentang hal itu, kenapa Ciangkun (Panglima) harus merasa khawatir? Kami dari Pek-lian-pai juga mempunyai banyak orang sakti untuk menghadapi mereka dan kami pun berhubungan pula dengan tokoh-tokoh perbatasan di Nepal."

"Ha-ha-ha-ha!" Kakek asing yang namanya disebut Legaspi Selado itu tertawa bergelak sambil memandang ke atas hingga perutnya yang gendut terguncang-guncang. "Memang Taijin dan Ciangkun terlalu kecil hati. Orang-orang petualang seperti kita, mengapa mesti takut? Jika tidak berani menempuh risiko, mana mungkin akan bisa berhasil? Bagaimana katamu, ehh, sahabatku Hek-bin Thian-sin?"

Si Muka Hitam menyeringai. "Memang tidak dapat disangkal kebenaran pendapat kalian semua. Tung-taijin dan Bhong-ciangkun keduanya benar karena kita harus berhati-hati, pihak lawan terlalu kuat. Dan Saudara Legaspi Selado juga tidak salah bahwa kita harus berani. Akan tetapi, kalau orang-orang kang-ouw yang sakti membantu pemerintah, dan para datuk tidak mau bersatu, agaknya memang berat bagi kita. Sayangnya, empat orang datuk yang tadinya telah bersemangat, sekarang semangatnya kendur lagi, menganggap perjuangan ini terlalu berbahaya, tidak sesuai dengan hasilnya untuk mereka nanti."

"Ha-ha-ha, kalau memang kalah kuat, mengapa harus takut? Kami sanggup menyediakan senjata-senjata api dan melatih pasukan kalian. Dengan senjata api ini, kiranya kita akan jauh lebih kuat. Kami membawa meriam-meriam di kapal, kalau perlu masih dapat kami datangkan lagi dari barat."

Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring. "Pemberontak-pemberontak hina!" Dan tampak sesosok bayangan yang gerakannya cepat sekali melayang masuk ke dalam kamar itu.

Kun Liong dan Keng Hong terkejut sekali melihat bahwa yang meloncat masuk itu adalah seorang gadis muda yang cantik, dan begitu masuk gadis itu sudah mencabut pedangnya dan menyerang Tung-taijin sambil memaki,

"Pembesar terkutuk! Pengkhianat bangsa! Orang macam engkau harus mati!"

"Trang-trang...!"

Bhong-ciangkun yang duduk dekat Tung-taijin sudah mencabut goloknya dan menangkis tusukan pedang ini. Sedangkan seorang tosu dari Pek-lian-kauw yang duduknya dekat, cepat menubruk maju untuk menangkap gadis itu. Tetapi agaknya dia terlalu memandang rendah kepada dara yang muda usia itu, maka dia hendak menangkapnya begitu saja.

"Tosu pemberontak, robohlah!" tiba-tiba saja gadis itu membalikkan tubuh, tangan kirinya memukul dengan kecepatan yang luar biasa.

"Dukkk!"
Tosu Pek-lian-kauw yang sama sekali tidak menduga akan serangan ini, kena dihantam dadanya sehingga dia roboh terjengkang, meringis menahan nyeri, akan tetapi tetap saja dia muntahkan darah segar tanda bahwa pukulan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya.

"Cringgg...! Aihhh...!"

Dara itu menjerit kaget ketika sebuah golok besar menghantam pedangnya dan... pedang itu terlepas dari pegangannya. Kiranya Hek-bin Thian-sin sudah turun tangan dan sekali pukul saja pedang di tangan dara itu telah terlepas. Si Muka Hitam ini tertawa bergelak melihat hasil golok besarnya yang lihai.

Maklum bahwa pihak lawan sangat lihai, secepat burung walet terbang dara itu sudah meloncat ke arah jendela yang terbuka dari mana tadi dia meloncat masuk, dengan niat untuk melarikan diri setelah pedangnya terlempar.

"Uiii...! Hendak lari ke manakah, Nona?" Kakek asing berkepala botak bertanya, suaranya nyaring disusul suara bergeletar dan tampaklah sinar putih bagaikan ular menyambar ke arah jendela.

Ujung pecut yang berwarna putih itu telah melibat kedua kaki dara itu yang menjerit kaget dan sekali tarik, tubuh dara itu terbanting ke atas lantai di depan kakek asing itu! Kakek itu memberi aba-aba dalam bahasa asing kepada pemuda asing yang berdiri memandang. Pemuda itu menubruk ke depan, sambil tersenyum tangannya bergerak menyambar.

"Plakkkk!" tengkuk belakang telinga kiri dara itu ditampar dan dara itu pingsan, tak dapat bergerak lagi!

"Ha-ha-ha, beginikah yang kau maksudkan orang-orang lihai yang membantu pemerintah, Tong-taijin?" Legaspi Selado berkata sambil tertawa. "Kalau hanya begini saja, biar ada sepuluh orang masih dapat dihadapi oleh anakku Hendrik ini!"

Hendrik, atau lengkapnya Hendrik Selado, tertawa sambil memandang tubuh dara yang terlentang di atas lantai itu dengan penuh gairah. Gadis itu memang cantik dan bentuk tubuhnya padat langsing menarik hati.

Sementara itu Keng Hong berbisik, "Tunggu aku kacaukan mereka. Kalau mereka sudah mengejarku, kau tolong dara itu, bawa lari lebih dulu ke luar kota. Tunggu aku di luar kota sebelah barat."

Begitu Kun Liong mengangguk, sekali berkelebat supek-nya itu sudah lenyap. Kun Liong memandang ke dalam ruangan itu dengan jantung berdebar tegang, tidak tahu apa yang akan dilakukan supek-nya, namun dia sudah siap untuk menolong dara cantik itu.

Tidak lama kemudian, tampak sinar berkelebat ke beberapa penjuru di dalam ruangan itu dan disusul suara nyaring. Ruangan itu menjadi remang-remang karena kaca lilin sudah pecah, lilinnya padam! Semua ini terjadi amat cepatnya dan mereka yang berada di dalam ruangan menjadi panik ketika tampak bayangan dua orang melayang ke dalam ruangan itu.

"Tar-tar-tar!"

"Wuuuutttt...!"

Pecut di tangan Legaspi dan golok besar di tangan Hek-bin Thian-sin langsung bergerak menyambut bayangan dua orang itu. Dua orang itu memekik ngeri lantas roboh, tewas seketika! Akan tetapi dapat dibayangkan betapa marahnya kedua orang sakti ini ketika melihat bahwa yang menjadi korban senjata mereka itu adalah dua orang penjaga yang menjadi pengawal Tung-taijin!

Kembali ada dua orang melayang masuk. Namun sekali ini dua orang sakti itu tidak mau sembrono turun tangan, akan tetapi dua orang itu terbanting ke atas lantai dalam keadaan sudah pingsan.

"Keparat, siapa berani main gila di rumahku?" Hek-bin Thian-sin sudah melayang ke luar melalui jendela kiri dari mana tadi para penjaga itu melayang masuk, disusul oleh Legaspi serta puteranya yang bernama Hendrik itu. Bhong-ciangkun sudah mengawal Tung-taijin untuk mundur dan masuk ke dalam melalui pintu, sedangkan dua orang tosu Pek-lian-pai menjaga di situ agar dara yang tertawan itu tidak melarikan diri.

Di luar terdengar suara melengking tinggi yang menggetarkan seluruh tempat itu, bahkan rumah itu bagaikan turut tergetar! Mendengar ini Kun Liong menduga bahwa inilah suara supek-nya yang menantang dan memancing keluar orang-orang yang lihai dari dalam ruangan.

Maka dia kemudian melayang masuk melalui jendela. Dua orang tosu terkejut. Keadaan remang-remang, sebab itu mereka tak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau salah tangan seperti yang terjadi tadi. Akan tetapi betapa terkejut dan marahnya ketika bayangan yang melayang masuk itu langsung menyambar tubuh dara yang telah menjadi tawanan itu.

Mereka hendak mengejar, akan tetapi dua kali tangan kiri Kun Liong mendorong disertai sinkang-nya, sedangkan tangan kanannya dipakai memanggul tubuh dara itu, dan... dua orang tosu itu terpental dan terjengkang. Mereka tidak terluka karena Kun Liong memang tidak mau melukai mereka.

Akan tetapi mereka terkejut setengah mati karena dorongan hawa mukjijat yang dapat merobohkan mereka tadi saja sudah membuktikan bahwa ‘hwesio’ yang menyelamatkan dara itu adalah lawan yang terlalu tangguh bagi mereka. Betapa pun juga, merasa bahwa hal itu menjadi kewajiban mereka, mereka cepat meloncat lalu mengejar sambil berteriak.

"Tahan penjahat yang melarikan tawanan!"

Mereka semua berkumpul di atas genteng, bingung karena mereka kehilangan ‘penjahat’ yang mengacau tadi!

"Eh, ke mana perginya setan itu tadi?" Legaspi bertanya penuh penasaran.

Tadi dia juga ikut mendengar lengking yang luar biasa itu dan tahulah dia bahwa yang mengeluarkan suara itu memiliki khikang yang sangat hebat, yang membuat dia merasa seram juga. Akan tetapi karena dia bukan seorang penakut, maka dia telah mengejar ke tempat itu, dibayangi oleh Hek-bin Thian-sin yang memiliki gerakan tidak kalah cepatnya. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan orang berkelebat dan lenyap!

"Celaka, tawanan telah dilarikan orang...!" Teriakan dua orang tosu Pek-lian-pai ini makin mengejutkan mereka.

"Siapa yang melarikan?!" bentak Hek-bin Thian-sin penasaran.

"Kami tidak mengenal karena cuaca agak gelap, akan tetapi dia seorang hwesio gundul. Dia lihai sekali, merobohkan kami hanya dengan hawa dorongan tangannya."

Dengan marah sekali Bhong-ciangkun lantas mengumpulkan pengawalnya dan pengawal Tung-taiiin, memaki-maki mereka kemudian memerintahkan untuk melakukan pengejaran dan pencarian di seluruh kota!

Dengan wajah murung mereka kembali ke ruangan tadi, kemudian menyuruh orang untuk menyingkirkan dua orang pengawal yang tewas dan dua orang lagi yang pingsan.

"Apa yang kukatakan tadi!" Bhong-ciangkun berkata, suaranya terdengar gemetar karena dia merasa tidak enak sekali. "Gadis itu memang tidak seberapa, akan tetapi baru muncul dua orang itu saja kita sudah kacau balau!"

Legaspi Selado juga masih terkejut sekali. "Hemmm... orang yang mengeluarkan suara melengking itu memang hebat kepandaiannya, dan kurasa belum tentu ada keduanya di negeri ini..."

"Harap Saudara Legaspi jangan berpendapat demikian," Hek-bin Thian-sin membantah. "Memang kepandaiannya tadi hebat, akan tetapi di negeri ini terdapat banyak sekali orang sakti yang melebihi dia tadi! Kalau mau disebut nama Pendekar Sakti Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai, sudah hebat bukan main. Dia memiliki Ilmu Thi-khi I-beng yang tidak dapat dilawan dengan ilmu yang mana pun juga. Masih ada lagi yang hebat-hebat, seperti pengawal Panglima Besar The Hoo yang bernama Tio Hok Gwan berjuluk Ban-kin-kwi dan yang lain-lain. Itu semua masih belum seberapa hebat kalau dibandingkan dengan kesaktian Panglima Besar The Hoo sendiri, dan pembantunya yang bernama Ma Huan..."

"Hemmm... kalau saja aku tadi membawa senjata api, agaknya dia tak akan begitu mudah melarikan diri!" Hendrik berkata dengan nada suara gemas dan kecewa. Tadi dia sudah membayangkan betapa kalau gadis tawanan itu diserahkan kepada dia, hemmm... tentu akan asyik dan menyenangkan sekali malam ini baginya.

Peristiwa di rumah Hek-bin Thian-sin malam itu membikin kecut hati dua orang pembesar itu dan mereka segera berpamit pulang. Agak berkurang gairah semangat mereka untuk menjadikan persekutuan pemberontak yang dipelopori oleh Pek-lian-pai dan orang-orang asing itu.

********************

Kun Liong kagum bukan main karena baru saja dia tiba di luar kota sebelah barat, baru saja dia meloncat turun dari atas tembok kota karena dia tidak mau melewati penjagaan di pintu gerbang, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri supek-nya! Baru sekarang dia mendapat bukti akan kesaktian supek-nya yang berhasil mengacaukan rumah Hek-bin Thian-sin Si Datuk Kaum Sesat, padahal di situ terdapat orang lihai seperti kakek asing bemama Legaspi Selado, orang-orang Pek-lian-pai dan lain-lain itu.

"Supek!" katanya kagum.

Melihat dara itu masih pingsan, Keng Hong menjamah lehernya. "Dia tidak terluka, hanya terkena guncangan oleh tamparan yang lihai tadi. Agaknya itulah cara mereka membikin pingsan lawan. Kun Liong, kita harus berpisah di sini. Ada perkara hebat timbul seperti yang kau telah dengar tadi. Kau larikan dara ini, sebaiknya ke barat memasuki hutan agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Kemudian kalau dia siuman, tanya siapa dia dan di mana tinggalnya. Kalau perlu antarkan dia pulang sampai selamat dan pesan kepadanya supaya jangan lancang lagi menyerbu goa harimau. Aku sendiri harus cepat-cepat pergi ke kota raja, menghadap Panglima Besar The Hoo untuk melaporkan bahwa ada bahaya pemberontakan di Ceng-to agar jangan sampai berlarut-larut. Kemudian, kalau ada waktu pergilah ke Cin-ling-san di mana kita dapat bicara lebih lanjut."

Kun Liong tak dapat membantah biar pun dia masih ingin melakukan perjalanan bersama supek-nya yang sakti itu. "Baiklah, Supek."

Dia tidak mau bilang bahwa dia akan melanjutkan penyelidikan-penyelidikannya sendirian saja, karena takut kalau supek-nya tidak setuju dan melarangnya.

Mereka berpisah dari tempat itu. Kun Liong masih memanggul tubuh dara itu lari ke barat sedangkan Keng Hong segera menuju ke utara, ke kota raja. Karena maklum bahwa besar kemungkinan pihak Hek-bin Thian-sin akan melakukan pengejaran, maka Kun Liong berjalan terus tidak mau berhenti sampai dia memasuki hutan yang besar.

Dia memilih tempat yang baik, lalu merebahkan tubuh dara itu di bawah sebatang pohon besar. Dara itu masih pingsan, maka dia lalu membuat api unggun. Karena hawa dingin sekali, biar pun di situ ada api unggun, dia tetap membuka jubahnya dan menyelimutkan jubahnya itu ke atas tubuh Si Dara. Kemudian dia duduk termenung, memandang wajah yang telentang itu.

Wajah yang cantik. Kulit muka itu halus sekali, dan kedua pipinya kemerahan, apa lagi bibirnya yang setengah terbuka itu! Sinar api unggun bermain-main di atas wajah cantik, menimbulkan penglihatan yang luar biasa indahnya.

Setelah puas menjelajahi wajah itu dengan pandang matanya, akhirnya pandang mata itu terhenti pada mulut yang setengah terbuka itu, terpesona! Teringat dia akan Giok Keng, teringat dia akan mulut Giok Keng ketika diadu dengan mulutnya sendiri untuk ditiup dan jantungnya berdebar aneh. Mulut gadis ini tidak kalah manisnya dengan mulut Giok Keng! Bibirnya nampak begitu segar, bagaikan buah angco merah yang masak, mendatangkan gairah kepadanya untuk menggigitnya!

"Plakk!" Kepala gundul itu ditamparnya sendiri. "Gila kau!" Dia memaki ketika mengenal pikirannya sendiri tadi.

Beginikah yang dikatakan orang timbulnya nafsu seseorang yang mata keranjang? Mata keranjangkah dia? Salahkah dia kalau dia terpesona dan tertarik, kalau dia suka sekali melihat wajah seorang gadis ayu, terutama melihat mulutnya? Dia bukan tertarik karena dibuat-buat atau disengaja! Dia memang benar-benar tertarik, seperti orang tertarik ketika melihat setangkai bunga yang indah! Dia ingin menciumnya, seperti orang ingin mencium setangkai mawar yang harum. Salahkah itu?

Bibir setengah terbuka itu seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa sehingga tanpa terasa lagi olehnya sendiri, kepala Kun Liong menunduk lalu mendekati muka gadis yang pingsan itu. Ingin dia menciumnya.

Dia tidak tahu dan tidak pernah ada yang memberi tahu pula bagaimana harus mencium seorang gadis. Akan tetapi pengalamannya ketika dia mengadu mulut dengan Giok Keng pada waktu dia menolong gadis itu, mendatangkan kenangan yang mesra dan nikmat luar biasa. Ketika bibirnya hampir menyentuh bibir dara itu, tiba-tiba dia tersadar dan menarik kembali kepalanya.

"Plakkkk!" Kembali kepala gundulnya menjadi korban tamparannya, sekali ini agak keras sampai muncul bintang-bintang menari di depan matanya.

Tidak boleh! Demikian teriak pikirannya. Ini namanya mencuri! Aku memang ingin sekali menciumnya, akan tetapi hal itu harus terjadi secara terang-terangan. Jika yang punya bibir memperbolehkan dicium, baru dia mau mencium. Memaksa, dia tidak sudi, karena itu merupakan perkosaan yang kotor. Mencuri juga kotor!

Dahulu dengan Giok Keng lain lagi. Bukan mencium namanya karena dia menolong dan pada saat itu pun dia tak merasa apa-apa. Baru setelah menjadi kenangan menimbulkan kemesraan nikmat.

Akan tetapi, kalau terang-terangan mungkinkah Giok Keng mau? Mungkinkah dara ini mau? Mengadu mulut, mengadu bibir merupakan hal yang aneh, tentu dara-dara itu juga merasa aneh. Dia hanya tahu bahwa mencium adalah penyentuhan pipi yang dicium dengan hidung! Demikianlah kalau ibunya dahulu menciumnya. Pikiran ini mengingatkan dia akan ibunya dan ayahnya, dan dia menjadi berduka, lalu merebahkan diri di dekat api unggun dan tertidur!

Malam sudah berganti pagi. Kun Liong menggeliat kemudian menelungkup. Tiba-tiba saja dia terbangun, akan tetapi tidak berani bergerak karena jalan darahnya di tengkuk sudah diancam oleh orang. Jalan darah di tengkuk adalah jalan darah kematian, dan kini ada dua buah jari tangan yang sudah menempel pada tengkuknya, lantas terdengar bentakan,

"Jangan bergerak kalau masih ingin hidup!"

Mengendur kembali urat syaraf Kun Liong mendengar bentakan yang halus merdu ini. Ternyata dara itu yang menodongnya! Tadinya dia hendak bergerak menangkap tangan lawan yang berbahaya itu sambil menggunakan sinkang-nya untuk menutup jalan darah di tengkuk. Akan tetapi begitu mendengar suara dara itu, dia membatalkan niatnya.

"Eh, eh, kau mau apa?" tanyanya tanpa menoleh, mukanya masih tersembunyi di antara kedua lengannya.

"Hayo lekas katakan, engkau hwesio dari mana dan bagaimana aku bisa berada di sini? Engkau tentu kawan pemberontak-pemberontak itu, ya?"

"Hi-hi-hik!" Kun Liong tertawa geli.

"Ehh, pendeta ceriwis! Mengapa engkau malah tertawa? Hayo jawab, atau engkau lebih ingin mampus?"

"Mampus ya mampus, mau bunuh ya boleh saja, tetapi dengar dulu kata-kataku, Nona galak! Aku tertawa karena engkau telah tiga kali keliru!"

Gadis itu marah bukan main, jari tangannya yang menempel di tengkuk itu gemetar sedikit sehingga diam-diam Kun Liong sudah siap dengan sinkang-nya. Kalau diperlukan, untuk menyelamatkan nyawanya, dia akan menggunakan Thi-khi I-beng!

Akan tetapi agaknya dara itu curiga mendengar ucapan orang yang dianggapnya hwesio itu, maka dia mendesak, "Jangan kurang ajar! Kekeliruan apa yang sudah kulakukan?"

"Pertama, aku bukan anggota mau pun kawan para pemberontak itu. Ke dua, akulah yang telah melarikanmu ketika engkau pingsan di dalam ruangan rumah Hek-bin Thian-sin dan bahwa ancamanmu di tengkuk ini pun sia-sia belaka, kemudian yang terakhir, kekeliruan mutlak yang tak boleh diampunkan lagi, aku bukan seorang hwesio!"

"Tapi kau gundul... aihhh... engkaukah ini?" Dara itu cepat membalikkan tubuh Kun Liong sehingga pemuda itu telentang dan... kini Kun Liong pun teringat ketika melihat sepasang mata itu.

"Engkau...?! Aku... aku seperti pernah mengenalmu, tapi siapa... ya?" Dia merasa yakin sudah mengenal dara ini, akan tetapi benar-benar tidak ingat lagi siapa dia.

Dara itu tertawa. Bukan main manisnya. Bibir merah itu merekah dan tampak giginya yang kecil dan putih teratur, dan ujung lidah yang merah meruncing tampak sekilas. "Hi-hik-hik, kau... kau... pemuda gundul itu. Mana aku bisa melupakan kepalamu? Aku Lim Hwi Sian."

Kun Liong meloncat berdiri dan bertolak pinggang, pura-pura marah. "Jadi engkau ini, ya? Kesalahanmu semakin bertumpuk-tumpuk! Dahulu engkau menghinaku karena kepalaku, sekarang kau ulangi lagi! Benar-benar tidak mau bertobat kau ini!"

Dara itu menahan ketawanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Maafkanlah aku. Aku tadi salah sangka... ahh, sungguh aku tidak mengenal budi. Engkau malah yang kembali menolongku dari bahaya maut. Sudah dua kali kau menyelamatkan aku, dan dua kali aku menghinamu tanpa kusengaja. Maafkan aku, Taihiap (Pendekar Besar)...!"

Kun Liong sengaja hendak menggoda, akan tetapi juga karena dia gemas mendengar sebutan itu, dia membanting kakinya dan melotot sehingga matanya yang memang lebar itu membulat.

"Kau ini mengangkat atau membanting! Minta maaf malah menambah penghinaan!"

"Eihhh? Apa salahku?"

"Kau menyebut aku taihiap segala macam. Kau mengejek, ya?"

Dara itu menggeleng-geleng kepalanya, alisnya berkerut. Manis sekali!

"Tidak! Tidak! Aku tahu bahwa engkau adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi biar pun kau pura-pura... ehh, bodoh dan kepalamu kau cukur gundul. Dahulu pun aku sudah menduga. Kalau kau tidak berilmu tinggi, mana bisa kali ini kau menolongku dari rumah seorang datuk sesat seperti Hek-bin Thian-sin?"

Kun Liong merasa terdesak. "Ya sudahlah, tapi jangan menyebut aku taihiap. Sekali lagi, aku benar-benar akan marah!"

Dara itu tersenyum dikulum, tahulah dia bahwa tadi pemuda gundul ini hanya pura-pura marah. Maka timbul juga kenakalannya. "Habis, aku harus menyebut situ apa?"

"Kok situ? Situ mana?"

Hwi Sian menggigit bibir bawahnya. Manis sekali! "Kau jangan main-main lagi! Tentu saja yang kumaksudkan situ adalah engkau."

"Hemm, omongan model mana ini? Namaku Yap Kun Liong. Aku menyebutmu Hwi Sian begitu saja, kau pun menyebut namaku, tak usah pakai pendekar-pendekar, ya?"

"Hi-hi-hik... Kau lucu!" Hwi Sian merasa geli dan tertawa, akan tetapi menggunakan jari telunjuknya untuk menutupi bibir. Manis sekali!

"Hwi Sian, ingatkah engkau lima tahun yang lalu saat kita mula-mula bertemu? Kau masih seorang perempuan yang manis, sekarang..."

"Sekarang apa?"

"Sekarang kau telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita."

Dara itu mengerutkan alisnya. "Yap Kun Liong, jika aku tak yakin bahwa engkau memang seorang pemuda yang lucu dan aneh tetapi baik budi, tentu kau kuanggap ceriwis dengan ucapanmu itu."

"Terserah penilaianmu. Mungkin aku memang ceriwis. Akan tetapi aku tidak akan pernah melupakan betapa engkau telah mencium kepala gundulku yang kau benci ini sampai tiga kali!"

Seketika wajah Hwi Sian menjadi merah bukan main. "Kun Liong, kenapa engkau berkata begitu? Aku tidak benci kepala-mu dan soal itu... ahhh…, itu soal lalu, karena aku merasa menyesal telah menyakiti hatimu padahal engkau dahulu itu telah menyelamatkan aku."

"Hemm, kalau sekarang bagaimana? Aku pun telah mati-matian menolongmu, akan tetapi apa upahnya? Engkau menodongku, hampir membunuhku, dan masih mengnina lagi!"

"Kun Liong, maafkan aku... sungguh mati aku tidak tahu... ehh, kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Tidak cukup dengan maaf! Kalau dahulu kau menyatakan penyesalan dengan mencium kepalaku, sekarang aku akan menghukummu dengan ciuman pula. Akan tetapi aku yang akan menciummu, bukan kau yang menciumku."

Sepasang mata yang bening itu terbelalak, kedua pipinya bertambah merah. "Apa... apa maksudmu...? Kau...? Kau... kau mau kurang ajar kepadaku?"

"Terserah kau mau menganggap bagaimana. Pokoknya, kau tadi minta maaf, kan? Dan aku hanya mau memberi maaf jika kau suka kucium. Dengar baik-baik, aku sudah sejak semalam ingin menciummu, akan tetapi hal itu tidak kulakukan walau pun kau sedang pingsan karena aku tidak sudi melakukan hal kepada orang yang tidak tahu atau tidak suka. Nah, aku hanya akan memaafkanmu dengan menciummu, akan tetapi hanya kalau kau suka, bukan paksaan!"

Muka yang cantik itu sebentar pucat dan sebentar merah, agaknya bingung bukan main. "Kalau... kalau aku tidak mau?"

"Kalau tidak mau ya sudah, aku tidak akan memaksamu. Akan tetapi terus terang saja, aku pun tidak mau memaafkanmu dan akan selalu menganggap kau seorang gadis tak tahu membalas budi!"

"Kun Liong..." Suara itu seperti memohon agar pemuda itu tak menganggapnya demikian. "Kau tahu betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepadamu. Akan tetapi… tetapi permintaanmu... sungguh aneh... bagaimana aku dapat melakukannya?"

"Bukan kau yang melakukan, melainkan aku."

"Maksudku... ehh…, kau membikin aku bingung. Aku... aku..."

"Dengarkan, Nona yang baik! Kalau kau merasa jijik kepadaku, kalau kau merasa benci kepadaku karena kepalaku gundul, kalau kau merasa jijik kucium, katakan saja kau tidak mau. Habis perkara."

"Kau mendesak, seperti memaksa."

"Sama sekali tidak. Kau harus jujur. Jika kau tidak suka, katakan saja tidak mau dan kita berpisah takkan bertemu lagi. Habis perkara, kan?"

"Kun Liong, aku... aku tidak benci kepadamu, akan tetapi... soal itu... eihhh, aku malu, ah!"

"Malu kepada siapa? Di sini tidak ada orang!"

"Kalau di sini tidak ada orang, maka aku adalah siluman hutan dan kau setan..."

"...gundul!" Kun Liong menyambung.

Keduanya tertawa gembira dan sejenak lenyaplah ketegangan di antara mereka karena permintaan Kun Liong yang luar biasa itu.

"Nah, bagaimana?" Kun Liong teringat lagi dan bertanya.

"Bagaimana, ya? Dahulu aku mencium kepalamu tiga kali..."

"Sekarang pun aku akan menciummu tiga kali!" Kun Liong memotong cepat.

"Tiga kali?" Kedua mata itu terbelalak, tangannya meraba-raba rambutnya. "Bagaimana kalau rambutku bau tidak enak? Sudah beberapa hari aku tidak keramas."

"Siapa mau mencium rambutmu?"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga, dan Kun Liong terpaksa memejamkan matanya. Manis sekali wajah itu!

"Tidak mencium... kepalaku? Habis... ihhh, Kun Liong, jangan main gila kau, ya?"

Kun Liong membuka matanya, tersenyum. "Siapa main gila? Aku main sungguhan! Tidak perlu banyak berbantahan, Hwi Sian. Kau hanya tinggal menjawab, mau atau tidak kau kucium?"

"Mau sih... mau, akan tetapi..."

"Kalau sudah mau masih ada tetapinya, namanya bukan mau..."

"Kau sih aneh! Dulu aku mencium kepalamu, sekarang engkau hendak mencium... apa?"

"Hwi Sian, memang agak sulit memberi pengakuan. Pokoknya aku baru suka memaafkan engkau kalau engkau suka kucium tiga kali, kucium di mana saja, terserah aku! Apa bila engkau mau, aku akan menciumnya dan tak perlu kukatakan mana yang akan kucium. Pokoknya engkau mau dan kalau mau berarti tidak pilih-pilih di bagian mana... ahh, aku jadi bingung sendiri. Mau atau tidak?"

Sepasang mata itu masih terbelalak menatap wajah yang tampan dan lucu karena gundul itu. Sepasang pipi dara itu menjadi merah sekali, dan sejenak sepasang mata itu menyipit, hampir terpejam dan bibir yang merah membasah itu tersenyum aneh!

Kemudian Hwi Sian menganggukkan kepala dan menunduk, matanya mengerling tajam, sikapnya menanti dengan takut-takut dan malu-malu, agaknya ingin sekali dara itu melihat bagian tubuh yang mana yang akan dicium pemuda aneh ini!

Kun Liong menjadi girang sekali. "Kau benar-benar mau?"

Hwi Sian mengangguk.

"Dengan suka rela? Dengan senang hati? Tidak terpaksa?"

Kembali Hwi Sian mengangguk dan jantung dara ini berdebar-debar tak karuan, mukanya terasa panas. Dia tidak tahu betapa seluruh mukanya menjadi merah jambon, luar biasa manisnya!

Kun Liong mendekatkan mukanya, kedua tangannya memegang pundak dara itu, lalu dia mendekatkan mulut. Sepasang mata gadis itu terbelalak bagaikan kelinci ketakutan akan diterkam harimau. Kun Liong menjadi malu sendiri!

"Hwi Sian, kau benar-benar mau?"
Hwi Sian tidak berani menjawab sebab jantungnya yang berdebar itu tentu akan membuat suaranya tidak karuan. Suara Kun Liong ketika bertanya terakhir ini pun sudah tak karuan, gemetar dan nadanya sumbang! Maka dia hanya mengangguk, kini dia benar-benar ingin dicium, ingin melihat bagaimana kalau dicium dan apanya yang akan dicium!

"Kalau mau..." Suara Kun Liong makin gemetar seperti orang sakit demam. "Kalau mau, kau pejamkan matamu..."

Dua mata itu malah terbelalak, agaknya heran, kemudian sepasang mata yang indah itu tertutup rapat. Hilang rasa malu di hati Kun Liong, bahkan dia menjadi lega dan kembali dia mendekatkan mulutnya sampai bibirnya menyentuh bibir yang setengah terbuka itu. Sentuhan ini mendatangkan getaran sangat hebat sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, mulutnya mencium dan mengecup. Hwi Sian kaget setengah mati, hendak berteriak akan tetapi mulutnya yang baru terbuka sedikit sudah tertutup dan diterkam bibir Kun Liong.

Kun Liong melepaskan bibirnya dan napasnya terengah. Kini tanpa disadarinya sepasang lengannya telah memeluk pinggang Hwi Sian.

"Satu kali...," bisiknya dan kembali dia merapatkan mulut.

Hwi Sian tidak memejamkan mata lagi, sudah terbelalak lebar saking heran dan kagetnya. Ketika melihat muka Kun Liong mendekat lagi, dia menjadi ngeri dan cepat memejamkan mata. Kembali teriakannya gagal karena mulut yang baru terbuka sedikit sudah disumbat oleh sepasang bibir Kun Liong.

Sekali ini, setelah melepaskan bibirnya, Kun Liong tak mau menghitung lagi dan ketika dia mencium untuk ketiga kalinya, Kun Liong memejamkan matanya, tak merasa lagi betapa kedua lengan Hwi Sian sudah merangkul lehernya!

Ciuman yang ketiga kalinya amat lama, seolah-olah keduanya tidak mau melepaskannya lagi. Pada waktu Kun Liong melepaskannya karena tidak kuat menahan napas, mereka terengah-engah dan baru Kun Liong tahu betapa kedua lengan yang halus itu seperti dua ekor ular membelit lehernya. Dia terheran, dan lebih-lebih lagi herannya ketika Hwi Sian terisak menangis dengan muka merapat di dadanya.

"Ehh... ehhh... kok menangis? Ada apa ini...?"

Pertanyaan itu membuat Hwi Sian makin sesenggukan.

"Wah, jangan begitu, Hwi Sian! Kau membikin aku merasa bersalah besar saja. Bukankah kau tadi sudah menyatakan mau dan tidak terpaksa? Kenapa sekarang menangis dan... ehhh..." Kun Liong segera menghentikan kata-katanya dan terbelalak memandang wajah yang kini diangkat itu.

Gadis itu masih sesenggukan akan tetapi matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum! Mulut yang setengah terbuka, begitu segar seakan-akan setangkai bunga yang baru saja mendapat siraman air!

"Eh... apa pula ini? Kau ini menangis atau tertawa? Kau marah atau tidak? Senang atau susah?"

"Kun Liong... hemmm... Kun Liong, aku… aku juga cinta kepadamu!"

Kun Liong terkejut seperti mendengar suara guntur di tengah hari. "Apa ini? Mengapa kau mengatakan begitu?"

"Artinya, aku juga cinta kepadamu seperti kau cinta kepadaku..."

Kun Liong melepaskan pelukannya dan melangkah mundur setelah melompat berdiri. Dia memandang dengan alis berkerut dan sikap sungguh-sungguh, "Hwi Sian, siapa bilang... ehhh…, bagaimana engkau tahu bahwa aku cinta kepadamu?"

Sekarang gadis ini pun meloncat berdiri, matanya menatap tajam dan alisnya berkerut. "Tentu saja! Sesudah apa yang kau lakukan tadi... tentu engkau cinta padaku... ahhh…, tidakkah begitu?"

Kun Liong menunduk, berpikir, kemudian menggeleng kepala. "Aku tidak tahu apakah aku cinta padamu, Hwi Sian."

"Kun Liong! Apa artinya ucapanmu itu? Setelah kau... kau menciumku seperti itu..."

"Hemmm... tidak kusangkal, aku senang sekali menciummu, Hwi Sian, dan kalau engkau mau, agaknya aku tidak akan bosan-bosan menciummu. Akan tetapi, hal itu bukan sudah berarti bahwa aku cinta kepadamu atau kau cinta kepadaku!"

Pucat wajah gadis itu dan matanya memandang dengan sinar penuh kemarahan.

"Yap Kun Liong! Jadi kau... kau hanya mau mempermainkan aku?"

Kun Liong menarik napas panjang, memandang dara itu dan menggelengkan kepalanya yang gundul. "Kau tahu benar bahwa aku tidak mempermainkan siapa pun juga. Sebelum aku menciummu, bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku mau melakukannya kalau memang kau mau dan rela? Apa hubungannya itu dengan cinta? Kalau kita berdua saling pandang, saling menyentuh tangan, saling bicara, apakah itu sudah menjadi bukti bahwa kita saling mencinta?"

"Tapi... tapi... itu beda lagi! Semua itu biasa saja, akan tetapi ciuman... dan seperti yang kau lakukan tadi..."

"Apa bedanya kalau kita melakukannya dengan dasar sama-sama suka dan rela?"

"Kun Liong, jangan kau main gila! Ciuman, apa lagi seperti yang kau lakukan tadi, hanya patut dilakukan oleh sepasang suami isteri!"

"Ehh! Siapa bilang begitu? Kita tadi pun telah melakukannya walau pun kita bukan suami isteri, dan tidak ada yang memaksa kau atau aku, bukan? Hwi Sian, apa sih bedanya bersentuhan tangan dengan bersentuhan bibir dan mulut? Apa benar bedanya? Asal saja hal itu dilakukan dengan kerelaan kedua pihak..."

"Tapi aku cinta padamu! Kalau kau tidak cinta kepadaku, aku tidak akan sudi melakukan perbuatan tadi, dengan siapa pun juga. Lebih baik aku mati!"

Kun Liong terkejut, memandang dan menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. "Kau aneh sekali..."

"Justru kau yang aneh, kau yang gila! Kau telah menciumku seperti itu, kalau kau tidak mencintaku, berarti kau menghinaku!"

"Mungkin aku gila, akan tetapi aku tidak menghinamu, dan aku juga tidak mencintamu biar pun aku suka sekali kepadamu dan suka sekali menciummu. Ehhh..."

Kun Liong cepat mengelak karena Hwi Sian sudah menyerangnya secara kalang-kabut! Dia berusaha menyabarkan, akan tetapi gadis itu sambil menangis terus menerjangnya dengan pukulan-pukulan maut, membuat Kun Liong repot mengelak dan menangkis.

"Nanti dulu... ehhh... heiiittt... ehh, luput! Wah, nanti dulu, Hwi Sian. Apakah engkau sudah gila?"

"Aku memang gila karena sakit hati, dan aku akan membunuhmu, Yap Kun Liong!" Hwi Sian terus menyerang dengan air mata bercucuran.

"Waaahhh... celaka! Nah, kau lihat. Cinta hanya membikin orang menjadi gila! Mengapa kau mau mengorbankan dirimu kepada cinta? Heiiittt...!"

Kun Liong terpaksa melempar diri ke belakang dan bergulingan, kemudian dia melompat bangun dan melihat Hwi Sian benar-benar menyerangnya mati-matian, dia lalu melompat jauh dan melarikan diri!

"Yap Kun Liong laki-laki keparat! Kau hendak lari ke mana?" Hwi Sian mengejar.

"Wahh, aku hanya suka berciuman denganmu, Hwi Sian, akan tetapi tidak suka apa bila harus berkelahi denganmu. Sampai jumpa pula dalam suasana yang lebih aman!"

Dia mengerahkan ginkang-nya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah lenyap meninggalkan Hwi Sian yang masih menangis sambil mengepal tinjunya. Sesudah berlari ke sana-sini mengejar tanpa hasil, akhirnya gadis itu menjatuhkan diri ke atas tanah dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis sesenggukan.

Gadis itu tidak tahu bahwa ada orang mendekatinya dari belakang. Tahu-tahu sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya lantas suara yang sama halusnya berkata, "Hwi Sian, jangan menangis. Kau maafkan aku kalau memang kau anggap aku bersalah."

Mendengar suara ini, tanpa menengok tahulah Hwi Sian bahwa pemuda gundul itu sudah datang lagi! Dia menjadi makin berduka oleh perasaan girang yang aneh luar biasa, yang menyelinap di hatinya ketika melihat orang yang akan dibunuhnya tadi datang kembali, dan tangisnya semakin menjadi-jadi!

Kun Liong duduk di atas rumput di dekat gadis itu. Berulang-ulang dia menarik napas panjang, lalu berkata, "Hwi Sian, aku bersumpah bahwa aku tidak berniat menggodamu, tidak berniat menghinamu. Semua yang kulakukan kuanggap begitu wajar, sama sekali tidak kusangka bahwa kau akan merasa terhina. Akan tetapi, kalau aku harus mengaku cinta begitu saja, berarti aku membohong, dan kurasa engkau tentu tidak ingin kubohongi, bukan?"

Hwi Sian menghapus air matanya. Dia memandang pemuda itu dengan mata merah dan pipi basah. Kun Liong mengeluarkan sapu tangannya dan menggunakan sapu tangan itu menghapus pipi yang basah. Tanpa disengajanya sama sekali, maksud baik Kun Liong ini bagaikan meremas hati Hwi Sian sehingga kembali gadis itu menangis dan merebahkan kepalanya di atas pundak Kun Liong!

"Sudahlah Hwi Sian," Kun Liong mengelus kepala gadis itu, "Mengapa engkau bersedih sampai begini macam?"

"Kun Liong... kau yang begini baik kepadaku... kau yang suka menciumku seperti tadi... mengapa kau tidak bisa mencintaku? Mengapa?"

"Hwi Sian, duduklah baik-baik, mari kita bicara tentang itu."

Gadis itu kembali mengusap air matanya dan duduk di atas tanah berhadapan dengan pemuda itu. Kini kemarahannya agak mereda karena dia tahu bahwa sebetulnya pemuda ini tidak berniat buruk dan sama sekali tidak ingin menghinanya sungguh pun apa yang dilakukannya sangat aneh. Kalau memang pemuda ini berniat menghinanya, tentu tidak akan datang kembali!

"Nah, sekarang kita bicara sungguh-sungguh, Hwi Sian. Aku tidak suka berbohong apa lagi kepadamu, biar pun aku suka bergurau denganmu. Yang mengganggu hatimu adalah soal cinta. Coba katakan, cinta itu apakah?"

Hwi Sian memandang bingung. "Aku sendiri juga tidak pernah mendengar tentang itu, dan tidak pernah memikirkannya. Hanya saja… ketika aku... tadi... aku merasa bahwa kau mencintaku dan aku..."

"Hmm, jadi menurut perasaanmu, cinta adalah kecondongan hati seseorang yang merasa suka kepada orang lain. Begitukah?"

"Ya, ya, begitulah. Memang sejak dahulu aku suka kepadamu, karena kau... lucu dan... ehh…, baik hati. Aku suka kepadamu dan tadi aku merasa sesuatu yang aneh, aku akan merasa bahagia kalau kau selalu dapat berdekatan dengan aku. Agaknya, itulah cinta!"

"Hemmm, jadi menurut pendapatmu, cinta adalah perasaan suka kepada seseorang dan mendapat balasan dari orang itu? Buktinya, saat aku menyatakan tidak cinta kepadamu, kau marah-marah dan cintamu berubah benci, malah kau hendak membunuhku..."

"Maafkan aku, Kun Liong. Aku tahu bahwa aku takkan menang bertanding denganmu dan tadi aku menyerang serta memakimu hanya untuk melampiaskan kekecewaan dan rasa kemarahanku saja."

"Jadi kalau begitu cinta bukanlah benci, cinta tak akan mendatangkan benci! Cinta bukan pula suka akan sesuatu, karena biasanya suka akan sesuatu itu akan berakhir dengan kebosanan. Cinta bukan benci, bukan marah, bukan suka atau gairah nafsu. Cinta tentu pantasnya lebih luhur lagi, lebih bersih, tiada awal tiada akhir."

"Ihhh! Kalau begitu, apa cinta itu?"

"Entahlah, aku sendiri pun belum tahu. Agaknya hatiku dan pikiranku masib terlalu kotor sehingga belum mengenal cinta itu, Hwi Sian."

"Tapi, engkau suka kepadaku, bukan?"

"Aku suka kepadamu, aku suka menciummu, seperti aku suka melihat setangkai bunga yang cantik jelita, seperti aku suka mencium bunga yang harum. Akan tetapi itu bukan cinta, dan kalau kita menganggapnya cinta, maka kita akan menyesal dan kecewa. Nah, maukah kau melupakan semua itu dan tinggal bersahabat denganku? Percayalah, aku masih suka memandangmu, suka bergurau denganmu, bahkan aku masih suka sekali untuk... menciummu, tentu saja kalau kau juga rela dan mau!"

Hwi Sian menunduk dan terjadi perang di dalam hatinya. Sejak kecil dia telah mendengar banyak tentang kesopanan, tentang kesusilaan, tentang hukum-hukum kesopanan yang sama sekali tidak boleh dilanggar, terutama oleh wanita! Banyak dia mendengar nasehat tentang bahayanya menurutkan nafsu, terutama nafsu birahi. Apakah tadi itu nafsu birahi yang mendorong sehingga dia merasakan nikmat dalam pelukan dan menerima ciuman Kun Liong?

Tiba-tiba Kun Liong memegang tangannya. "Ehh, ada banyak orang datang berkuda!"

Mereka bangkit berdiri kemudian menoleh ke belakang. Benar saja, tidak lama kemudian muncullah serombongan orang berkuda. Kun Liong sangat terkejut ketika melihat bahwa rombongan itu adalah sepasukan tentara yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh panglima yang dilihatnya semalam di rumah Hek-bin Thian-sin dan di samping panglima itu terdapat pula seorang pemuda asing yang juga dilihatnya di rumah Hek-bin Thian-sin! Pemuda asing yang tampan dan gagah, yang bernama Hendrik Selado, putera dari Legaspi Selado si kakek asing botak yang amat lihai.

"Aihhh... pemberontak-pemberontak itu...!" Hwi Sian berseru marah dan juga kaget.

"Hwi Sian, mari kita lari!" Kun Liong berbisik.

"Tidak sudi! Aku harus membasmi mereka! Aku dan kedua orang suheng-ku memang bertugas menyelidiki mereka, dan karena kami berpencar, maka akulah yang kebetulan dapat membongkar rahasia mereka. Aku harus lawan mereka!"

Tanpa menanti jawaban Kun Liong, dara yang gagah perkasa itu sudah lari menyambut rombongan itu, dan langsung dia meloncat lalu menyerang panglima yang menunggang kuda terdepan bersama Hendrik pemuda asing.

"Pemberontak hina!" Hwi Sian membentak marah.

Diserang secara tiba-tiba dengan dahsyatnya, panglima yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dara itu tidak boleh dipandang ringan. Maka dia lalu menjatuhkan diri dari atas kuda, bergulingan lalu meloncat bangun.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang kami sedang mencari-carimu, Nona!" katanya sambil mencabut sebatang pedang.

"Tangkap dia!" Panglima itu membentak dan dua orang prajurit lalu menggunakan pedang mereka menubruk.

Hwi Sian menghadapi dua orang ini dengan tenang. Biar pun dia bertangan kosong dia sama sekali tidak merasa gentar. Pada saat dua orang itu menubruk, secepat kilat dia mendahului, menggeser ke kanan, kakinya menyambar dan tangannya meraih.

Seorang prajurit berteriak, tubuhnya terjengkang dan pedangnya terampas dan pada lain saat, disusul teriakan keras oleh temannya yang juga tersungkur jatuh dengan pundak terluka oleh pedang rampasan di tangan Hwi Sian.

Segera dara itu dikeroyok oleh para tentara! Namun dara itu mengamuk dengan pedang rampasannya dan dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merobohkan empat orang lawan lagi.

"Mundurlah kalian, biarlah aku menangkap kuda betina liar ini!" Hendrik Selado berteriak dengan suaranya yang nyaring dan kaku. Kini tubuhnya sudah melangkah maju dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan.

"Tak tahu malu! Mengeroyok seorang gadis!" Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kun Liong sudah berdiri di depan pemuda asing itu.

Sejak tadi Kun Liong sudah melihat dan siap untuk membantu Hwi Sian. Melihat betapa Hwi Sian dapat merampas pedang dan mampu melayani pengeroyokan para prajurit, dia berdiam diri saja. Akan tetapi saat melihat gerakan pemuda asing yang maju, tahulah dia bahwa pemuda ini adalah sebangsa Yuan de Gama yang cukup tangguh, maka dia sudah mendahului pemuda itu, menghadangnya dan mencelanya.
Selanjutnya,