Petualang Asmara Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DARA ini takut kepada ibunya yang keras, dan tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba-tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum.

"Tadi engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan engkau juga telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"

Mata Giok Keng terbelalak lebar. "Apa...?! Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh-sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup..."

"Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik supaya ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka bahkan sudah menyambut kedatangan Piauw-suheng-nya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!"

"Aihhh... habis bagaimana?"

"Terserah kepadamu. Pendek kata, aku ingin kau mempergunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!"

Giok Keng menatap kepala gundul itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang telah gatal-gatal rasanya, betapa inginnya dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Dia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, "Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!"

"Eh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak, mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin-ling-pai! Siapa mau percaya?"

"Habis bagaimana?"

"Terserah, asal menampar kepala." Kun Liong diam-diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.

"Kalau pelan-pelan boleh, kan?"

"Pokoknya asal mempergunakan tangan menampar kepala." Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus-elus oleh telapak tangan yang halus itu!

"Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!"

Giok Keng lalu menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang dikehendaki dan diduga Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali.

"Sudah cukup tiga kali!" berkata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.

"Terima kasih, enak sekali!" kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.

"Pringas-pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pakai pura-pura minta ditampar!"

"Sudah pantas saja, Piauw-sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri karena tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek-bo tidak berada di rumah?"

"Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"

"Wah, kau tidak percaya kepadaku? Ehh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... ehh, maksudku... ehh, kau cantik sekali, Piauw-moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu."

"Dan aku benci kepadamu!"

"Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"

"Aku benci, terutama kepalamu."

"Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini." Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak ‘untung’ tiap kali dia bertemu dengan dara~dara jelita!

Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, "Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"

"Tidak sudi! Sekali pun cukuplah."

"Uihhh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?"

"Tidak usah, ya!"

Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki saking jengkelnya.

Biar pun mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus-elus kepalanya oleh tangan halus itu, tetapi secara diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh-sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ayah bundanya sendiri.

Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk dapat mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang semacam Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?

Akan tetapi, ke manakah dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid dari supek-nya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik apa bila mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apa lagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing!

Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha-ha-ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek-pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dulu menumpahkan obat ayahnya.

Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek-pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw-lim-si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim-si! Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si lalu belajar kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai!

Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw-lim-si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim-si?

Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang-kadang hanya makan buah-buah dan binatang hutan saja, cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw-lim-si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim-si.

Menjadi murid Siauw-lim-pai? Tidak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim-si dan tidak diakui sebagai murid. Meski pun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tahu bahwa dengan menyebut dirinya ‘bekas murid Siauw-lim-pai’ berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid.

Kalau para hwesio tokoh Siauw-lim-pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang sudah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim-pai mau menerima dirinya. Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.

Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia sudah berdiri di depan pintu gerbang Kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-lim-pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil-kuil Siauw-lim-si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga siang malam oleh dua orang hwesio, seperti sebuah benteng saja!

"Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?" tanya kepala penjaga yang telah diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu.

Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, "Demikianlah, Losuhu, sungguh pun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."

"Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau-kalau ada pihak musuh yang menyelundup."

Dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang harus melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh?

Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau-kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw-lim-pai. Dia telah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw-lim-pai adalah bekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, karena itu dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.

Memang benar demikian, ternyata Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga. Hati Kun Liong menjadi kecut ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia lebih dari delapan puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya bagaikan kelereng besar, dan sikapnya kereng, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!

"Saudara muda, kepalamu kenapakah?"

Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di hadapan hwesio itu, di samping hwesio kepala penjaga.

"Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu." Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia pun tak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga akan sia-sialah usahanya.

"Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang dapat membuat rambut rontok seperti itu adalah racun yang hebat sekali! Biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa hanya merontokkan rambut, berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"

Diam-diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding di dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya!

Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ahh, tentu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian ayahnya. Hubungan mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiong Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukong-nya (kakek gurunya)!

Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu sudah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw-lim-si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukong-nya itulah dia ingin berguru!

"Sebetulnya di sini sudah tidak lagi membutuhkan bantuan seorang kacung, karena sudah banyak anak murid yang melakukan semua pekerjaan, akan tetapi karena secara mukjijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seakan-akan Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau untuk menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak bila memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapa namamu?"

"Teecu she Liong, bernama Kun," Kun Liong membohong.

"Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan pula beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu," kata ketua itu yang kemudian duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, lalu menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.

Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong-ji, bekerja di dalam Kuil Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas.

Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing-pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar bahwa ayah dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiong Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.

Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapa pun juga, baik dia anggota Siauw-lim-pai atau pun orang luar, tanpa ijin dari ketua sendiri dilarang keras memasuki dua tempat, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tak berani mengusiknya, dan ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang-jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiong Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!

Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiong Pek Hosiang, apa pun juga yang menjadi risikonya.

Ia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah bila dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah jika orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang!

Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memang memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.

Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, dengan amat hati-hati Kun Liong keluar dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi kawannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, juga di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.

Karena telah hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiong Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh keempat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.

Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin!

Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andai kata tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya.

Dia lalu menyelinap dengan hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun keadaannya sama dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!

Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka sudah terbuka, dan ada cahaya penerangan menyorot dari dalam.

Cepat namun hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang lelaki yang membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.

"Maling...!" Kun Liong berteriak sambil meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka.

Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang walau pun mukanya ditutup sebagian dengan sapu tangan namun tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya.

"Robohkan dia, hwesio cilik itu!" katanya kepada seorang di antara mereka.

Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya sangat berbahaya. Melihat totokan ini, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sinkang-nya, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga totokan itu meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri segera membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkang-nya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarkan suara…

"Hekkkhh!" dan roboh pingsan.

"Crattt! Augghh...!"

Kun Liong terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsan dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu.

Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Lee Hwesio, sute Thian Kek Hwesio atau wakil Ketua Siauw-lim-si, memimpin sendiri para muridnya menuju ke kamar pusaka.

Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng dengan membobol langit-langit kamar itu dan meski pun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang lainnya yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.

Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Akan tetapi masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat orang hwesio telah tewas!

"Liong-ji, ke mana dia? Suruh dia ke sini!" Thian Lee Hwesio berkata.

Para hwesio mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Lee Hwesio sendiri turut pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suheng-nya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat laporan.

Ke manakah sebenarnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok sapu tangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.

Pada saat siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang sangat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit dan saat dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini.

Otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini sudah tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolong dirinya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

"Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."

Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya. "Aihhh…, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?"

"Sukong adalah Tiong Pek Hosiang..."

"Hemmm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap-indap bagaikan maling, tetapi malah memergoki maling-maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"

"Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sebenarnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan serta membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong..."

"Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena ingin bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"

"Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."

Kakek itu tersenyum lebar. "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut di kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apa lagi engkau dapat minta petunjuk supek-mu Cia Keng Hong?"

"Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu sudah dibimbing selama lima tahun..." Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hwat Tosu, maka cepat dia menyambung. "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji."

"Ha-ha-ha, Bun Hwat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justru kepadamu dia menurunkan ilmunya?"

"Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"

"Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah berkata kepadaku hendak menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?"

"Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Selama lima tahun teecu sudah diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang serta ilmu silat tangan kosong Pat-hong Sin-kun, juga latihan tenaga sinkang yang mempunyai daya membetot."

"Ha-ha-ha! Tentu untuk melawan Thi-khi I-beng, bukan?"

"Ehh...! Sukong tahu juga?"

"Kakek tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali kenapa sampai tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi-khi I-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi I-beng."

Kun Liong mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai. "Mohon petunjuk dari Sukong."

"Baiklah. Bun Hwat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya."

Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, Kun Liong mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Kenapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiong Pek Hosiang, kemudian meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apa lagi karena kakek itu jarang sekali makan.

********************

Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-pai, lalu berkata, "Siapakah ji-wi (kalian berdua) dan siapakah pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor kami? Kalian dari golongan mana?"

Biar pun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu karena sikapnya memang angker sekali, apa lagi dengan tubuh yang tinggi besar bermuka hitam dan matanya lebar. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia belaka karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.

"Bebaskan totokan mereka," kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sute-nya, Thian Lee Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung kedua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.

"Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman."

Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau bersiap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba saja dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher lantas keduanya terguling, berkelojotan dan mati.

Thian Lee Hwesio meloncat mendekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan sapu tangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata, "Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!"

Dia melangkah maju dan memperlihatkan dua batang duri itu kepada suheng-nya, Ketua Siauw-lim-pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Engkau benar, Sute. Tentu inilah duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."

"Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!" Thian Lee Hwesio berseru kaget. "Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!"

Pada saat itu pula, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sute-nya, Thian Lee Hwesio memandang heran dan tidak mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiong Pek Hosiang!

"Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya."

Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata, "Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."

Thian Lee Hwesio memandang dengan penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk lantas mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw-lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam-diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali.

Boleh jadi Kwi-eng-pai adalah perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apa lagi ketuanya yang berjuluk Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk-datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw-lim-pai juga sebuah perkumpulan bersih yang sangat besar. Kalau sampai terdengar oleh dunia kang-ouw betapa Siauw-lim-pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang dari Kwi-eng-pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim-pai akan ditertawakan orang-orang dan para tokoh Siauw-lim-pai dianggap penakut?

Betapa pun juga, Thian Lee Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suheng-nya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio-louw pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang itu. Ada pun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang-ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana.

Tidak saja dia hendak mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sute-nya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw-lim-pai yang amat bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim-pai yang lain maju menyerbu Kwi-eng-pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya, jika kacung yang sekarang digembleng suhu-nya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan menjadi anggota resmi Siauw-lim-pai dan tak ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, tentu Siauw-lim-pai akan bebas dari libatan permusuhan.

********************

Lima tahun lewat dengan sangat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terdapat di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim-si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiong Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im-yang Sin-kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong mau pun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sinkang yang disebut Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sinkang yang amat lembut namun mempunyai kekuatan yang amat dahsyat.

Siang malam Kun Liong terus berlatih. Tubuhnya menjadi kurus akibat kurang makan dan mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, tapi matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah-olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh!

Dia sudah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak-geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Jika melihat kepalanya, semua orang tentu akan menganggapnya sebagai seorang hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.

Pada suatu pagi, Tiong Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya, "Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim-pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang-orang kang-ouw."

"Sukong...!" Kun Liong terkejut bukan kepalang mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat.

Kakek itu tersenyum lebar. "Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan mukamu pucat seperti orang takut?"

"Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"

"Mengapa timbul takut, Kun Liong?"

"Karena kita tidak mengetahui apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."

"Ha-ha-ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Takut baru timbul kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan setelah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu."

"Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng mengenai neraka, akan tetapi teecu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."

"Hemmm, kalau begitu, yang kau takutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kau kenal di dunia kehidupan ini. Andai kata orang-orang yang kau sayang, benda-benda yang kau sukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"

Kun Liong berpikir dan mengangguk, "Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong."

"Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?"

Kun Liong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang, "Teecu mengerti, akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, jika benar Sukong hendak pergi meninggalkan kehidupan ini, maka perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."

"Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan sisa waktuku yang tinggal beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, sekarang keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!" Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila.

Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan setiap hari menerima gemblengan-gemblengan yang amat hebat. Dia berlutut dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai di depan kaki sukong-nya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang dia pun membuka daun pintu, keluar dari ruangan itu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam.

Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat ada seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka melompat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apa lagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata,

"Ji-wi Suhu apakah sudah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek-losuhu."

"Kau... kau kacung Liong-ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?" Salah seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan kedua matanya dan hampir tidak percaya.

"Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek Losuhu tentu mengerti, karena itu harap bawa aku menghadap beliau."

Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam-diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.

"Liong-ji, engkau baru keluar sekarang?" Ketua Siauw-lim-pai itu menyambut Kun Liong dengan kata-kata ini.

Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Pertama-tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebetulnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di kota Leng-kok."

Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk-angguk. "Pengakuanmu ini semakin menggirangkan hatiku, Yap-sicu karena berarti bahwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Dan hal ke dua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong."

"Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap-sicu, dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah-mudahan saja Sicu dapat menggunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela keadilan dan kebenaran."

"Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta supaya Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati yang sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu orang-orang kang-ouw."

"Omitohud...!" Thian Kek Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada kemudian memejamkan kedua matanya. "Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."

"Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw-lim-si," kata Kun Liong sambil memberi hormat.

"Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"

"Tidak, Locianpwe."

"Jika begitu, agaknya Suhu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Sicu-lah yang kelak akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling-maling itu. Karena itu, kini pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu."

"Ahh, jadi maling-maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"

"Yang diambil adalah sebatang pedang Liong-bwe-kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio-louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Ada pun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh-tokoh dari Kwi-eng-pai yang berpusat di pulau di tengah-tengah Telaga Kwi-ouw (Telaga Hantu)." Hwesio tua itu lalu menceritakan mengenai dua orang anggota maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.

"Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Lee Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka-pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Lee Hwesio secara diam-diam sudah meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka-pusaka itu. Oleh karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi-ouw untuk membantunya mengambil kembali dua pusaka yang tercuri."

"Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu."

Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hantu, maka Kun Liong pun berangkat meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pemandangan alam yang amat indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukong-nya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.

Betapa indahnya pemandangan alam yang telah dipisahkan darinya selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu kemudian memasuki dunia luas ini, dia seolah-olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang-kembang.

Ingin dia bernyanyi-nyanyi, begitu senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun.

********************


Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu sangat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali.

Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).

Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanannya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.

Sukong-nya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini, yang sesungguhnya nikmat apa bila pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.

Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, atau dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap sudah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?

Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang sangat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh dengan persoalan yang agaknya sambung menyambung tak kunjung henti.

Dan apa bila dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekali pun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Dan Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, sehingga membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing.


Memang benar sukong-nya yang berkata bahwa bagi orang yang sudah dapat mematikan AKU-nya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!

Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar dan sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio.

Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukong-nya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih.

Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.

Tiga orang tamu yang sudah terlebih dahulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu memandangnya penuh selidik, hati Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"

Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang lagi, "Arak? Dan bakmi dengan daging?"

Kun Liong mengangguk, kemudian dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh salah satu di antara ketiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlampau banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundak sambil bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu segera pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.

"Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan sudah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat sampai menyakitkan anak telinga.

Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.

"Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggota Siauw-lim-pai!" kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.

Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biar pun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut berbicara dengan kedua orang kawannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.

"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.

"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiong Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"

"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran."

"Urusan apakah?"

"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang tadi disebut Pendekar Besar Tio itu.

"Sudahlah, perlu apa berbicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."

Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya amat mencurigakan dan mereka ini besok hendak naik ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang sudah mencuri pusaka Siauw-lim-si?

"Ucapan Tio-taihiap benar," Si Jenggot Pendek berkata. "Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang ke tubuh bagian bawah.

Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja bermain gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang sudah melanggar pantangan makan daging dan minum arak.

Perutnya terasa panas! Akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sinkang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali!

Si Muka Merah terbelalak dan terheran, lalu menjadi penasaran. Sinkang-nya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andai kata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sinkang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, segera terdengar suara…

"Krakkk!"

Bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh sebuah tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulurkan tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu!

Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinjunya sambil memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!

"Pendeta palsu, hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka Merah itu membentak marah.

Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu lantas terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Ia merogoh saku bajunya dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, lalu membayar harga makanan serta minuman setelah menanyakan harganya.

Sesudah pelayan itu bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, "Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tanpa pernah mengganggu orang, baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?"

"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"

"Saudara Song, duduklah!" Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring.

Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biar pun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk lagi di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,

"Siauw-suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya ada seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan minum arak."

Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia kini tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia pun menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalah pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul. Taihiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku untuk berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"

Si Muka Pucat tertawa dan sungguh aneh. Walau pun dia kelihatan mengantuk, namun sesudah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."

Orang she Song itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, "Aihhh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw-enghiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"

Kun Liong cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali hendak mengaso. Maaf!"

Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim-si.

Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw-lim-si. Sedikitnya dia harus memberi tahukan Thian Kek Hwesio mengenai ketiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar supaya Siauw-lim-pai dapat berjaga-jaga.

Meski pun sekarang Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar dari pada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa-gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw-lim-si yang amat luas.

Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw-lim-pai, dan setelah dia bertemu dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim-pai di ruangan depan, bisa dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio!

Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukong-nya, Tiong Pek Hosiang, dan jenazah Thian Lee Hwesio!

"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apa lagi karena sudah sepatutnya bila jenazah Suhu mendapat kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang-ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah ini selesai disempurnakan."

Kun Liong mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee-losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu-tahu kembali dalam keadaan sudah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw-kiok itu?"

"Yap-sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali dua pusaka sesuai dengan pesan Suhu. Sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute," kata Ketua Siauw-lim-pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu masuk ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.

Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Pada saat mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai, mereka segera memberi hormat, apa lagi ketika Ketua Siauw-lim-pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Liong, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.

Sam-to Piauwkiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam-san-bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam-to-eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini sangat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang-barang berharga.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam-to Piauwkiok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw-lim-pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!

"Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka sebagai pembantu-pembantunya kami menerima barang itu. Kami tidak mengutus para anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw-lim-pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim-si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi..."

"Jenazah Thian Lee-losuhu?" Kun Liong melanjutkan sebab pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.

"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"

"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"

"Seorang pemuda tampan, namun sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, timbul dugaan kami bahwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu-ragu dan jeri, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seakan-akan dia merasa takut kalau-kalau suaranya terdengar orang lain!

"Siapakah dia yang kau maksudkan?"

"Giok... hong... cu..."
Kun Liong mengerutkan sepasang alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang apakah?"

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan muka heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw-lim-pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang-ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata,

"Dia adalah seorang wanita muda yang selama dua tahun ini namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya pun ganas sekali. Melihat betapa banyaknya tokoh-tokoh golongan putih yang sudah menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguh pun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia adalah seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, segera saja kami ingat kepadanya."

"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapa pun juga orang itu," Kun Liong membantah. Hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Lee Hwesio.

"Kami tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam itu membantah. "Sungguh pun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak-geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."

"Akan tetapi, bagaimana kau dapat memastikan bahwa dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok-hong-cu?"

"Karena Giok-hong-cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, pada bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan Giok-hong-cu, tetapi kabarnya tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."

Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah dari mendiang sukong-nya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Lee Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentu orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu.

Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang sudah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi, pemuda itu dulu berkedok sapu tangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw-lim-pai, dua orang pencuri yang dapat tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali merupakan anggota Kwi-eng-pai di Kwi-ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.

"Apakah Giok-hong-cu yang kau sebut itu seorang anggota Kwi-eng-pai?" tanyanya.

Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jeri, menggeleng kepala dengan kuat. "Ahh, saya rasa ini… tidak ada hubungannya dengan Kwi-eng-pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok-hong-cu selalu bergerak sendiri. Kwi-eng-pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu."

Kun Liong lalu mengangguk-angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar sebagai Giok-hong-cu itu mendatangi Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun? Apakah memang dia tinggal di Lam-san-bun?"

"Yap-sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Tetapi memang pada bulan-bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam-san-bun sampai ke kota raja."

Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biar pun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunuh wakil Ketua Siauw-lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san-bun dan kota raja.

Para piauwsu Sam-to Piauwkiok itu tidak lama berada di kuil Siauw-lim-si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san-bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka.

Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim-pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw-lim-si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang-orang biasa, adalah anak buah Kwi-eng-pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Lee Hwesio.

Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti kemunculan tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu-tunggu itu berlari-lari mendaki puncak dengan gerakan cepat.

Diam-diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka bertiga adalah orang-orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah dia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar untuk kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar-benar tercengang dan kecurigaannya bertambah.

Sekarang Siauw-lim-pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar supaya tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti-peti mati.

Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio amat sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam-keng (doa) mereka dengan suara ketukan-ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji-puji yang penuh khidmat.

Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka terlihat marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim-si!

Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk itu sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw-lim-si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw-lim-si sudah selesai."

Kun Liong bersikap tenang, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. "Pada saat ini Siauw-lim-si sedang tidak menerima kunjungan orang-orang asing. Harap Sam-wi kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk."

"Ehh, ehhh, omongan apa ini?" Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. "Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio walau pun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?"

"Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si."

"Manusia sombong! Apakah engkau menantang berkelahi?" Si Muka Merah membentak.

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apa lagi terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk."

"Bocah lancang! Engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau memang layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,

"Saudara Song, jangan!"

Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Sekarang Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata,

"Sahabat muda, dengan tegas engkau melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukan kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami."

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini."

Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami memang ada urusan penting sekali dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberi tahukan kepada siapa pun juga."

"Kalau begitu menyesal sekali, kuharap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong berkata tegas.

"Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"

"Terpaksa aku mencegah kalian."

"Orang muda, engkau menantang kami?"

"Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini orang tua yang disebut taihiap yang berarti pendekar besar, maka dengan sendirinya seorang pendekar tentu maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta supaya Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja aku akan mencegah kalau Sam-wi memaksa. Ehh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?"

Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya terdengar dingin serta tegas. "Orang muda, agaknya engkau mempunyai sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"

"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."

"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan."

"Aku tidak mau berkelahi."

Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,

"Dia pengecut!"

"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti aku bukan pengecut," bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

"Kalau berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.

"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"

"Ehh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"

"Maksudku sudah jelas, Taihiap. Aku minta supaya kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"

"Bocah sombong! Tio-taihiap, biarkan aku menghajarnya!" orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Biar pun pukulan kasar ini dilakukan dengan pengerahan sinkang dan cepat serta keras sekali datangnya, tapi bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan yang berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan itu dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sinkang yang sama pula, dahulu Bun Hwat Tosu juga pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

"Bukkkk!"

Keras sekali datangnya pukulan itu, tepat mengenai dada Kun Liong sehingga membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang. Namun berkat tenaga sinkang yang membetot dan menolak, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras.

Dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

"Saudara Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.

"Sute, mundurlah!"

Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirim totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.

Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat.

Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagumnya. Gerakan Kun Liong ini jauh lebih cepat dari pada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tidak pernah berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan bila semua serangan itu gagal karena Kun Liong telah melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Sakti Im-yang Sin-kun bagian pertahanan.

Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda itu hanya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, ada pun perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dapat dia kenali! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apa lagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.

Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tak membalas serangan temannya, akan tetapi semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil, tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang ilmu silatnya amat aneh itu. Maka dengan gerakan ringan sekali bagaikan seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, lalu menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!"

Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang dia tahu amat lihai.

"Sam-wi betul-betul keras kepala dan mau mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang dia tahu tak boleh dipandang ringan itu.

"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya saja, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.

Pemuda itu terkejut bukan main. Biar pun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan lalu menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.

"Plak! Plakkk!"

Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya.

Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tak terlihat menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi sudah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang.

Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!

"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk itu berkata.

Kedua lengannya lalu bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum terlalu banyak pengalaman memandang dengan dua mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mukjijat.

"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"

Si Pengantuk dan Kun Liong yang telah siap untuk bertanding secara mati-matian karena maklum bahwa lawannya tidak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan menoleh. Ternyata Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang sudah berada di situ.

Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,

"Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..."

Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan wajah terheran-heran, lalu bertanya, "Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?"

Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu betul-betul mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab, "Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran."

Hwesio tua itu tampak kaget sekali. "Aihh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang ini, Sicu!"

Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia merupakan seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"

Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas, mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, "Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja."

Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi.

Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Meski pun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, akan tetapi melihat sikap Ketua Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal....
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 09

Petualang Asmara Jilid 09
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
DARA ini takut kepada ibunya yang keras, dan tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba-tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum.

"Tadi engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan engkau juga telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"

Mata Giok Keng terbelalak lebar. "Apa...?! Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh-sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup..."

"Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik supaya ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka bahkan sudah menyambut kedatangan Piauw-suheng-nya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!"

"Aihhh... habis bagaimana?"

"Terserah kepadamu. Pendek kata, aku ingin kau mempergunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!"

Giok Keng menatap kepala gundul itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang telah gatal-gatal rasanya, betapa inginnya dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Dia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, "Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!"

"Eh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak, mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin-ling-pai! Siapa mau percaya?"

"Habis bagaimana?"

"Terserah, asal menampar kepala." Kun Liong diam-diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.

"Kalau pelan-pelan boleh, kan?"

"Pokoknya asal mempergunakan tangan menampar kepala." Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus-elus oleh telapak tangan yang halus itu!

"Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!"

Giok Keng lalu menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang dikehendaki dan diduga Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali.

"Sudah cukup tiga kali!" berkata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.

"Terima kasih, enak sekali!" kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.

"Pringas-pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pakai pura-pura minta ditampar!"

"Sudah pantas saja, Piauw-sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri karena tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek-bo tidak berada di rumah?"

"Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"

"Wah, kau tidak percaya kepadaku? Ehh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... ehh, maksudku... ehh, kau cantik sekali, Piauw-moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu."

"Dan aku benci kepadamu!"

"Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"

"Aku benci, terutama kepalamu."

"Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini." Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak ‘untung’ tiap kali dia bertemu dengan dara~dara jelita!

Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, "Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"

"Tidak sudi! Sekali pun cukuplah."

"Uihhh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?"

"Tidak usah, ya!"

Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting-banting kaki saking jengkelnya.

Biar pun mulutnya tertawa-tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus-elus kepalanya oleh tangan halus itu, tetapi secara diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh-sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ayah bundanya sendiri.

Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk dapat mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang semacam Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?

Akan tetapi, ke manakah dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid dari supek-nya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik apa bila mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apa lagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing!

Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha-ha-ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek-pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dulu menumpahkan obat ayahnya.

Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek-pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw-lim-si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim-si! Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si lalu belajar kepada tokoh-tokoh Siauw-lim-pai!

Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw-lim-si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim-si?

Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang-kadang hanya makan buah-buah dan binatang hutan saja, cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw-lim-si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim-si.

Menjadi murid Siauw-lim-pai? Tidak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim-si dan tidak diakui sebagai murid. Meski pun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tahu bahwa dengan menyebut dirinya ‘bekas murid Siauw-lim-pai’ berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid.

Kalau para hwesio tokoh Siauw-lim-pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang sudah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim-pai mau menerima dirinya. Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.

Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia sudah berdiri di depan pintu gerbang Kuil Siauw-lim-si yang menjadi pusat dari Siauw-lim-pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil-kuil Siauw-lim-si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga siang malam oleh dua orang hwesio, seperti sebuah benteng saja!

"Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?" tanya kepala penjaga yang telah diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu.

Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, "Demikianlah, Losuhu, sungguh pun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."

"Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau-kalau ada pihak musuh yang menyelundup."

Dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang harus melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh?

Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau-kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw-lim-pai. Dia telah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw-lim-pai adalah bekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, karena itu dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.

Memang benar demikian, ternyata Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga. Hati Kun Liong menjadi kecut ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia lebih dari delapan puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya bagaikan kelereng besar, dan sikapnya kereng, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!

"Saudara muda, kepalamu kenapakah?"

Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di hadapan hwesio itu, di samping hwesio kepala penjaga.

"Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu." Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia pun tak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga akan sia-sialah usahanya.

"Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang dapat membuat rambut rontok seperti itu adalah racun yang hebat sekali! Biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa hanya merontokkan rambut, berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"

Diam-diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding di dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya!

Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ahh, tentu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian ayahnya. Hubungan mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim-pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiong Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukong-nya (kakek gurunya)!

Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu sudah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw-lim-si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukong-nya itulah dia ingin berguru!

"Sebetulnya di sini sudah tidak lagi membutuhkan bantuan seorang kacung, karena sudah banyak anak murid yang melakukan semua pekerjaan, akan tetapi karena secara mukjijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seakan-akan Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau untuk menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak bila memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapa namamu?"

"Teecu she Liong, bernama Kun," Kun Liong membohong.

"Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan pula beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu," kata ketua itu yang kemudian duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, lalu menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.

Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong-ji, bekerja di dalam Kuil Siauw-lim-si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas.

Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing-pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar bahwa ayah dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiong Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw-lim-pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.

Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapa pun juga, baik dia anggota Siauw-lim-pai atau pun orang luar, tanpa ijin dari ketua sendiri dilarang keras memasuki dua tempat, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tak berani mengusiknya, dan ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang-jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiong Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!

Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia-sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiong Pek Hosiang, apa pun juga yang menjadi risikonya.

Ia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah bila dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah jika orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang!

Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memang memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.

Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, dengan amat hati-hati Kun Liong keluar dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi kawannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, juga di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.

Karena telah hafal akan tempat-tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiong Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh keempat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.

Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin!

Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andai kata tertidur, masa dua-duanya? Tentu ada apa-apa yang tidak beres, pikirnya.

Dia lalu menyelinap dengan hati-hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun keadaannya sama dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!

Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw-lim-pai yang menyelundup masuk ke Siauw-lim-pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka sudah terbuka, dan ada cahaya penerangan menyorot dari dalam.

Cepat namun hati-hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki-laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang lelaki yang membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda-benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.

"Maling...!" Kun Liong berteriak sambil meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka.

Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang walau pun mukanya ditutup sebagian dengan sapu tangan namun tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya.

"Robohkan dia, hwesio cilik itu!" katanya kepada seorang di antara mereka.

Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling-maling yang dianggapnya sangat berbahaya. Melihat totokan ini, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sinkang-nya, menggoyang sedikit tubuhnya sehingga totokan itu meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri segera membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkang-nya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarkan suara…

"Hekkkhh!" dan roboh pingsan.

"Crattt! Augghh...!"

Kun Liong terhuyung-huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsan dia melihat banyak bayangan hwesio-hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu.

Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw-lim-si. Thian Lee Hwesio, sute Thian Kek Hwesio atau wakil Ketua Siauw-lim-si, memimpin sendiri para muridnya menuju ke kamar pusaka.

Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng dengan membobol langit-langit kamar itu dan meski pun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw-lim-si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang lainnya yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.

Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan-buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw-lim-pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio-louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw-lim-si! Akan tetapi masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong-ji, karena empat orang hwesio telah tewas!

"Liong-ji, ke mana dia? Suruh dia ke sini!" Thian Lee Hwesio berkata.

Para hwesio mencari-cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Lee Hwesio sendiri turut pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran-heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suheng-nya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai untuk membuat laporan.

Ke manakah sebenarnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana-mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok sapu tangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.

Pada saat siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang sangat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit dan saat dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini.

Otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini sudah tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolong dirinya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw-lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

"Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."

Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya. "Aihhh…, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?"

"Sukong adalah Tiong Pek Hosiang..."

"Hemmm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap-indap bagaikan maling, tetapi malah memergoki maling-maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"

"Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sebenarnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan serta membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong..."

"Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena ingin bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"

"Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."

Kakek itu tersenyum lebar. "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut di kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apa lagi engkau dapat minta petunjuk supek-mu Cia Keng Hong?"

"Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu sudah dibimbing selama lima tahun..." Tiba-tiba dia teringat akan janjinya kepada Bun Hwat Tosu, maka cepat dia menyambung. "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji."

"Ha-ha-ha, Bun Hwat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justru kepadamu dia menurunkan ilmunya?"

"Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"

"Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa-san-pai. Dahulu dia pernah berkata kepadaku hendak menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?"

"Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Selama lima tahun teecu sudah diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang-liong-pang serta ilmu silat tangan kosong Pat-hong Sin-kun, juga latihan tenaga sinkang yang mempunyai daya membetot."

"Ha-ha-ha! Tentu untuk melawan Thi-khi I-beng, bukan?"

"Ehh...! Sukong tahu juga?"

"Kakek tua Hoa-san-pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali kenapa sampai tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi-khi I-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi I-beng."

Kun Liong mengangguk-angguk sampai dahinya membentur lantai. "Mohon petunjuk dari Sukong."

"Baiklah. Bun Hwat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa-apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu-ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya."

Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, Kun Liong mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Kenapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiong Pek Hosiang, kemudian meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minum mereka berdua, apa lagi karena kakek itu jarang sekali makan.

********************

Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw-lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim-pai, lalu berkata, "Siapakah ji-wi (kalian berdua) dan siapakah pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor kami? Kalian dari golongan mana?"

Biar pun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu karena sikapnya memang angker sekali, apa lagi dengan tubuh yang tinggi besar bermuka hitam dan matanya lebar. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia belaka karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.

"Bebaskan totokan mereka," kata pula Ketua Siauw-lim-pai itu kepada sute-nya, Thian Lee Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung kedua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.

"Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman."

Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw-lim-pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau-kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau bersiap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba saja dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher lantas keduanya terguling, berkelojotan dan mati.

Thian Lee Hwesio meloncat mendekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan sapu tangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata, "Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!"

Dia melangkah maju dan memperlihatkan dua batang duri itu kepada suheng-nya, Ketua Siauw-lim-pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Engkau benar, Sute. Tentu inilah duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."

"Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi-eng-pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!" Thian Lee Hwesio berseru kaget. "Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!"

Pada saat itu pula, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sute-nya, Thian Lee Hwesio memandang heran dan tidak mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiong Pek Hosiang!

"Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya."

Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata, "Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."

Thian Lee Hwesio memandang dengan penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk lantas mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw-lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam-diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali.

Boleh jadi Kwi-eng-pai adalah perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apa lagi ketuanya yang berjuluk Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk-datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw-lim-pai juga sebuah perkumpulan bersih yang sangat besar. Kalau sampai terdengar oleh dunia kang-ouw betapa Siauw-lim-pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang dari Kwi-eng-pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim-pai akan ditertawakan orang-orang dan para tokoh Siauw-lim-pai dianggap penakut?

Betapa pun juga, Thian Lee Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suheng-nya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio-louw pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang itu. Ada pun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang-ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana.

Tidak saja dia hendak mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sute-nya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw-lim-pai yang amat bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim-pai yang lain maju menyerbu Kwi-eng-pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim-pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya, jika kacung yang sekarang digembleng suhu-nya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan menjadi anggota resmi Siauw-lim-pai dan tak ada hubungannya dengan Siauw-lim-pai, tentu Siauw-lim-pai akan bebas dari libatan permusuhan.

********************

Lima tahun lewat dengan sangat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terdapat di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim-si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiong Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im-yang Sin-kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong mau pun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sinkang yang disebut Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sinkang yang amat lembut namun mempunyai kekuatan yang amat dahsyat.

Siang malam Kun Liong terus berlatih. Tubuhnya menjadi kurus akibat kurang makan dan mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, tapi matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah-olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh!

Dia sudah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak-geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Jika melihat kepalanya, semua orang tentu akan menganggapnya sebagai seorang hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.

Pada suatu pagi, Tiong Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya, "Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim-pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang-orang kang-ouw."

"Sukong...!" Kun Liong terkejut bukan kepalang mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat.

Kakek itu tersenyum lebar. "Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan mukamu pucat seperti orang takut?"

"Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"

"Mengapa timbul takut, Kun Liong?"

"Karena kita tidak mengetahui apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."

"Ha-ha-ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Takut baru timbul kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan setelah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu."

"Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng mengenai neraka, akan tetapi teecu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."

"Hemmm, kalau begitu, yang kau takutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kau kenal di dunia kehidupan ini. Andai kata orang-orang yang kau sayang, benda-benda yang kau sukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"

Kun Liong berpikir dan mengangguk, "Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong."

"Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?"

Kun Liong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang, "Teecu mengerti, akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, jika benar Sukong hendak pergi meninggalkan kehidupan ini, maka perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."

"Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan sisa waktuku yang tinggal beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, sekarang keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!" Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila.

Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan setiap hari menerima gemblengan-gemblengan yang amat hebat. Dia berlutut dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai di depan kaki sukong-nya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang dia pun membuka daun pintu, keluar dari ruangan itu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam.

Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat ada seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka melompat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apa lagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata,

"Ji-wi Suhu apakah sudah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek-losuhu."

"Kau... kau kacung Liong-ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?" Salah seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan kedua matanya dan hampir tidak percaya.

"Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek Losuhu tentu mengerti, karena itu harap bawa aku menghadap beliau."

Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam-diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.

"Liong-ji, engkau baru keluar sekarang?" Ketua Siauw-lim-pai itu menyambut Kun Liong dengan kata-kata ini.

Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Pertama-tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebetulnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di kota Leng-kok."

Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk-angguk. "Pengakuanmu ini semakin menggirangkan hatiku, Yap-sicu karena berarti bahwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Dan hal ke dua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong."

"Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap-sicu, dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah-mudahan saja Sicu dapat menggunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela keadilan dan kebenaran."

"Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta supaya Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati yang sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu orang-orang kang-ouw."

"Omitohud...!" Thian Kek Hwesio merangkapkan kedua tangan ke depan dada kemudian memejamkan kedua matanya. "Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."

"Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw-lim-si," kata Kun Liong sambil memberi hormat.

"Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"

"Tidak, Locianpwe."

"Jika begitu, agaknya Suhu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Sicu-lah yang kelak akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling-maling itu. Karena itu, kini pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu."

"Ahh, jadi maling-maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"

"Yang diambil adalah sebatang pedang Liong-bwe-kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio-louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Ada pun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh-tokoh dari Kwi-eng-pai yang berpusat di pulau di tengah-tengah Telaga Kwi-ouw (Telaga Hantu)." Hwesio tua itu lalu menceritakan mengenai dua orang anggota maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.

"Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Lee Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka-pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Lee Hwesio secara diam-diam sudah meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka-pusaka itu. Oleh karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi-ouw untuk membantunya mengambil kembali dua pusaka yang tercuri."

"Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu."

Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hantu, maka Kun Liong pun berangkat meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pemandangan alam yang amat indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukong-nya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.

Betapa indahnya pemandangan alam yang telah dipisahkan darinya selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu kemudian memasuki dunia luas ini, dia seolah-olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru-parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang-kembang.

Ingin dia bernyanyi-nyanyi, begitu senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun-tahun.

********************


Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu sangat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali.

Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam-to Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).

Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim-pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanannya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.

Sukong-nya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini, yang sesungguhnya nikmat apa bila pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal-hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan.

Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan-bayangan, atau dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap sudah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?

Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang sangat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh dengan persoalan yang agaknya sambung menyambung tak kunjung henti.

Dan apa bila dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si-akunya manusia, sampai-sampai kebenaran sekali pun ingin dimonopoli. Kebenaran-Ku! Dan Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, sehingga membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing-masing.


Memang benar sukong-nya yang berkata bahwa bagi orang yang sudah dapat mematikan AKU-nya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!

Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar dan sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio.

Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukong-nya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih.

Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.

Tiga orang tamu yang sudah terlebih dahulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang-orang itu memandangnya penuh selidik, hati Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"

Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu-ragu dan mengulang lagi, "Arak? Dan bakmi dengan daging?"

Kun Liong mengangguk, kemudian dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh salah satu di antara ketiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlampau banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakkan kedua pundak sambil bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu segera pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.

"Aku mendengar bahwa Siauw-lim-pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan sudah terkenal sekali bahwa hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat sampai menyakitkan anak telinga.

Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.

"Ha-ha-ha-ha, apa yang kau dengar itu memang benar, Kui-suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggota Siauw-lim-pai!" kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.

Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biar pun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut berbicara dengan kedua orang kawannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.

"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw-lim-si bertindak keras sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui-suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.

"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiong Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"

"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim-pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggotaannya dari Siauw-lim-pai karena pelanggaran."

"Urusan apakah?"

"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio-taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam-diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang tadi disebut Pendekar Besar Tio itu.

"Sudahlah, perlu apa berbicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim-si. Mudah-mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."

Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya amat mencurigakan dan mereka ini besok hendak naik ke Siauw-lim-si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi-eng-pai yang sudah mencuri pusaka Siauw-lim-si?

"Ucapan Tio-taihiap benar," Si Jenggot Pendek berkata. "Kita harus menghormati para pendeta Siauw-lim-pai yang terhormat, tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang-terangan melanggar pantangan di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang ke tubuh bagian bawah.

Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba-tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja bermain gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang sudah melanggar pantangan makan daging dan minum arak.

Perutnya terasa panas! Akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sinkang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali!

Si Muka Merah terbelalak dan terheran, lalu menjadi penasaran. Sinkang-nya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andai kata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sinkang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, segera terdengar suara…

"Krakkk!"

Bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh sebuah tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu tidak mengulurkan tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu!

Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir-balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinjunya sambil memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak-enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!

"Pendeta palsu, hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka Merah itu membentak marah.

Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu lantas terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Ia merogoh saku bajunya dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk-bungkuk dengan ketakutan, lalu membayar harga makanan serta minuman setelah menanyakan harganya.

Sesudah pelayan itu bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, "Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tanpa pernah mengganggu orang, baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut-ribut hendak menantang orang?"

"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"

"Saudara Song, duduklah!" Tiba-tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring.

Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biar pun bersungut-sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk lagi di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,

"Siauw-suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya ada seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan minum arak."

Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia kini tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia pun menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa-apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalah pahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul. Taihiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku untuk berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"

Si Muka Pucat tertawa dan sungguh aneh. Walau pun dia kelihatan mengantuk, namun sesudah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Ha-ha-ha, Song-laote, kau lihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan-bukan dan sudah tergesa-gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orang. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."

Orang she Song itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, "Aihhh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw-enghiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"

Kun Liong cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali hendak mengaso. Maaf!"

Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi diam-diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim-si.

Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah. Maka pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw-lim-si. Sedikitnya dia harus memberi tahukan Thian Kek Hwesio mengenai ketiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar supaya Siauw-lim-pai dapat berjaga-jaga.

Meski pun sekarang Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar dari pada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa-gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw-lim-si yang amat luas.

Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw-lim-pai, dan setelah dia bertemu dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim-pai di ruangan depan, bisa dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio!

Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukong-nya, Tiong Pek Hosiang, dan jenazah Thian Lee Hwesio!

"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apa lagi karena sudah sepatutnya bila jenazah Suhu mendapat kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang-ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah ini selesai disempurnakan."

Kun Liong mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee-losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu-tahu kembali dalam keadaan sudah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw-kiok itu?"

"Yap-sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali dua pusaka sesuai dengan pesan Suhu. Sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute," kata Ketua Siauw-lim-pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu masuk ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.

Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Pada saat mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai, mereka segera memberi hormat, apa lagi ketika Ketua Siauw-lim-pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Liong, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.

Sam-to Piauwkiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam-san-bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam-to-eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini sangat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang-barang berharga.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam-to Piauwkiok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw-lim-pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!

"Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka sebagai pembantu-pembantunya kami menerima barang itu. Kami tidak mengutus para anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw-lim-pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim-si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi..."

"Jenazah Thian Lee-losuhu?" Kun Liong melanjutkan sebab pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.

"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"

"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"

"Seorang pemuda tampan, namun sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, timbul dugaan kami bahwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu-ragu dan jeri, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seakan-akan dia merasa takut kalau-kalau suaranya terdengar orang lain!

"Siapakah dia yang kau maksudkan?"

"Giok... hong... cu..."
Kun Liong mengerutkan sepasang alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok-hong-cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang apakah?"

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan muka heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw-lim-pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang-ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata,

"Dia adalah seorang wanita muda yang selama dua tahun ini namanya tersohor di seluruh dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya pun ganas sekali. Melihat betapa banyaknya tokoh-tokoh golongan putih yang sudah menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguh pun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia adalah seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim-pai, segera saja kami ingat kepadanya."

"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapa pun juga orang itu," Kun Liong membantah. Hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Lee Hwesio.

"Kami tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam itu membantah. "Sungguh pun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak-geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."

"Akan tetapi, bagaimana kau dapat memastikan bahwa dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok-hong-cu?"

"Karena Giok-hong-cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, pada bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan Giok-hong-cu, tetapi kabarnya tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."

Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah dari mendiang sukong-nya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Lee Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentu orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu.

Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang sudah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi, pemuda itu dulu berkedok sapu tangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw-lim-pai, dua orang pencuri yang dapat tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali merupakan anggota Kwi-eng-pai di Kwi-ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.

"Apakah Giok-hong-cu yang kau sebut itu seorang anggota Kwi-eng-pai?" tanyanya.

Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jeri, menggeleng kepala dengan kuat. "Ahh, saya rasa ini… tidak ada hubungannya dengan Kwi-eng-pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok-hong-cu selalu bergerak sendiri. Kwi-eng-pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu."

Kun Liong lalu mengangguk-angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar sebagai Giok-hong-cu itu mendatangi Sam-to Piauwkiok di Lam-san-bun? Apakah memang dia tinggal di Lam-san-bun?"

"Yap-sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Tetapi memang pada bulan-bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam-san-bun sampai ke kota raja."

Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biar pun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunuh wakil Ketua Siauw-lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san-bun dan kota raja.

Para piauwsu Sam-to Piauwkiok itu tidak lama berada di kuil Siauw-lim-si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san-bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka.

Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim-pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw-lim-si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau ketiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang-orang biasa, adalah anak buah Kwi-eng-pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Lee Hwesio.

Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti kemunculan tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu-tunggu itu berlari-lari mendaki puncak dengan gerakan cepat.

Diam-diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka bertiga adalah orang-orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah dia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio-taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar untuk kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar-benar tercengang dan kecurigaannya bertambah.

Sekarang Siauw-lim-pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar supaya tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti-peti mati.

Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio amat sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam-keng (doa) mereka dengan suara ketukan-ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji-puji yang penuh khidmat.

Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka terlihat marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim-si!

Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk itu sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, "Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw-lim-si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw-lim-si sudah selesai."

Kun Liong bersikap tenang, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. "Pada saat ini Siauw-lim-si sedang tidak menerima kunjungan orang-orang asing. Harap Sam-wi kembali saja dari mana Sam-wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk."

"Ehh, ehhh, omongan apa ini?" Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. "Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio walau pun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim-si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?"

"Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw-lim-pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim-si."

"Manusia sombong! Apakah engkau menantang berkelahi?" Si Muka Merah membentak.

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apa lagi terhadap Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk."

"Bocah lancang! Engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau memang layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,

"Saudara Song, jangan!"

Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Sekarang Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata,

"Sahabat muda, dengan tegas engkau melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukan kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami."

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di sini."

Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami memang ada urusan penting sekali dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberi tahukan kepada siapa pun juga."

"Kalau begitu menyesal sekali, kuharap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong berkata tegas.

"Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"

"Terpaksa aku mencegah kalian."

"Orang muda, engkau menantang kami?"

"Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini orang tua yang disebut taihiap yang berarti pendekar besar, maka dengan sendirinya seorang pendekar tentu maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta supaya Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja aku akan mencegah kalau Sam-wi memaksa. Ehh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?"

Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya terdengar dingin serta tegas. "Orang muda, agaknya engkau mempunyai sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"

"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."

"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan."

"Aku tidak mau berkelahi."

Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi,

"Dia pengecut!"

"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti aku bukan pengecut," bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

"Kalau berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.

"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"

"Ehh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"

"Maksudku sudah jelas, Taihiap. Aku minta supaya kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"

"Bocah sombong! Tio-taihiap, biarkan aku menghajarnya!" orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Biar pun pukulan kasar ini dilakukan dengan pengerahan sinkang dan cepat serta keras sekali datangnya, tapi bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan yang berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan itu dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sinkang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sinkang yang sama pula, dahulu Bun Hwat Tosu juga pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

"Bukkkk!"

Keras sekali datangnya pukulan itu, tepat mengenai dada Kun Liong sehingga membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang. Namun berkat tenaga sinkang yang membetot dan menolak, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras.

Dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

"Saudara Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.

"Sute, mundurlah!"

Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirim totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.

Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat.

Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagumnya. Gerakan Kun Liong ini jauh lebih cepat dari pada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tidak pernah berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan bila semua serangan itu gagal karena Kun Liong telah melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Sakti Im-yang Sin-kun bagian pertahanan.

Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Akan tetapi ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda itu hanya memiliki dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, ada pun perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dapat dia kenali! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apa lagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.

Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tak membalas serangan temannya, akan tetapi semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil, tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang ilmu silatnya amat aneh itu. Maka dengan gerakan ringan sekali bagaikan seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, lalu menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!"

Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang dia tahu amat lihai.

"Sam-wi betul-betul keras kepala dan mau mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang dia tahu tak boleh dipandang ringan itu.

"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya saja, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.

Pemuda itu terkejut bukan main. Biar pun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan lalu menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.

"Plak! Plakkk!"

Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya.

Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tak terlihat menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi sudah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiong Pek Hosiang.

Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!

"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk itu berkata.

Kedua lengannya lalu bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum terlalu banyak pengalaman memandang dengan dua mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mukjijat.

"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!"

Si Pengantuk dan Kun Liong yang telah siap untuk bertanding secara mati-matian karena maklum bahwa lawannya tidak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan menoleh. Ternyata Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang sudah berada di situ.

Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata,

"Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..."

Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan wajah terheran-heran, lalu bertanya, "Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?"

Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu betul-betul mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab, "Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran."

Hwesio tua itu tampak kaget sekali. "Aihh... engkau tidak tahu siapa yang kau tentang ini, Sicu!"

Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda. Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia merupakan seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!"

Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas, mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, "Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja."

Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi.

Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Meski pun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, akan tetapi melihat sikap Ketua Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal....
Selanjutnya,