Petualang Asmara Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 10
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEMANG demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatannya seperti seorang pengantuk itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah yang tidak mengenal nama besar Panglima The Hoo? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.

Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran dan memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.

Sedangkan kedua orang kawannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sute-nya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.

Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apa lagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio!

"Ahh... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.

Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menjadi penyebab kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.

"Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, jika Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah terlampau tua, adalah Sute Thian Lee Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali."

Dia kemudian menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio yang terbunuh orang!

"Sungguh penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!

Pada waktu diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, "Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat."

Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan kedua mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji, "Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang sudah kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah."

Sebagai tamu-tamu yang dihormati, ketiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguh pun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetes pun arak! Kun Liong yang dianggap ‘keluarga sendiri’ juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,

"Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentu membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan sungguh pun di sini sedang tertimpa mala petaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja."

Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut dan menceritakan keperluan kedatangannya. Setelah beberapa kali meragu, akhirnya dia pun berkata,

"Memang benar apa yang Losuhu katakan. Apa bila kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang sangat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami khusus untuk melayat dan berkabung saja. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kini kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."

Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, "Pinceng beserta para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The."

"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebenarnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu maupun Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini."

Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas bahwa urusan itu tak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.

Dengan sikap ramah Thian Kek Hwesio lantas berkata, "Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu."

Tio Hok Gwan segera bercerita dengan suara perlahan namun jelas, "Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena sudah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah salah seorang pengawal panglima sendiri. Secara diam-diam panglima sudah mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata sudah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu lenyap tenggelam di Sungai Huang-ho. Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak-anak buahnya yang sudah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu sudah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada waktu pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu nampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan semua berita itu dan karena mengingat akan pengetahuan Losuhu yang sangat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk."

Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi, tentulah bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!

Sekarang Bi Kiok tentu sudah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu dulu pernah monolongnya, bahkan sudah dua kali menolong dirinya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air di Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa manisnya anak itu! Tanpa sengaja Kun Liong tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.

Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata,

"Pinceng sendiri belum pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka supaya memasang mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada sahabat-sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita, bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu."

"Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Ehh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?"

Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini. "Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak sekali terjadi perebutan pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?"

"Benar sekali pertanyaan Yap-sicu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya pusaka yang hilang itu." Thian Kek Hwesio berkata.

"Pusaka dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga."

"Sebuah bokor emas...?" Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.

"Kalau hanya emas yang merupakan harta, kenapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw sampai berebutan? Sungguh sikap ini tak ada bedanya dengan para perampok saja!" Kun Liong berkata lagi. Diam-diam jantung pemuda ini berdebar makin keras karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang sekarang telah dia sembunyikan!

Tio Hok Gwan menghela napas panjang. "Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Apa bila hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpan dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap-sicu yang telah kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka."

"Jangan khawatir, Taihiap. Sesudah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan mengenai bokor emas itu," kata Thian Kek Hwesio.

"Saya pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan jika saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia."

Tio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama dua orang pembantunya, dia segera berpamit dan meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh pihak Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu.

Selain merasa berkewajiban untuk membantu, dengan penuh harapan Kun Liong sengaja hendak menanti ayah bundanya yang semoga akan datang pula ke Siauw-lim-si. Ayahnya adalah murid Tiong Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, maka dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio yang menjadi suheng-nya.

Kecuali mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan berjumpa dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu akan datang dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiong Pek Hosiang.

********************

Kita tinggalkan dahulu kuil Siauw-lim-si yang kini sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta keluarganya yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita ini.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong masih berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong dan isterinya sedang turun gunung dan mereka justru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.

Dengan perasaan penuh harap dan gembira sebab akan dapat berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng-kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa-apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik.

Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, kelihatan gagah serta tampan dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau.

Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agaknya hanya karena melihat sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan untuk merantau.

Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walau pun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena seharian itu dia sudah berjalan kaki sampai jauh.

Juga nyonya cantik ini tidak terlihat membawa senjata. Siapa yang akan mengira bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit di pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana, akan tetapi bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.

Biar pun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka itu bukanlah orang-orang lemah, akan tetapi kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan kepada pedangnya, yaitu Siang-bhok-kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang pada waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang sangat terkenal di kalangan kaum sesat?

Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang-ouw mau pun datuk kaum sesat yang lebih terkenal dari pada Siang-bhok-kiam Cia Keng Hong serta isterinya, Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Bahkan Cin-ling-pai yang sebenarnya hanyalah sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi sangat terkenal dan disegani oleh dunia kang-ouw.

Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan-bangunan di dalam kota Leng-kok, Sie Biauw Eng berkata, "Aihhh, sungguh banyak kemajuan yang terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat kota Leng-kok."

Cia Keng Hong tersenyum, "Kau kira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan."

"Hemmm, waktu berlalu dengan amat cepatnya, tanpa terasa belasan tahun sudah lewat! Betapa pun juga, kemajuan di Leng-kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil."

"Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita."

"Hemmm, mengapa kita akan kecewa andai kata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?" Sie Biauw Eng bertanya, "Anak itu bukan anak kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain."

"Wah, isteriku yang baik, lagi-lagi engkau berfilsafat!" Keng Hong menggoda.

"Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka dengan filsafat muluk-muluk yang hanya menjadi permainan kata-kata kosong belaka. Yang baru kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan-harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka sering kali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... ehh, siapa namanya...?"

"Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?"

"Oh ya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong."

"Ahh, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita..."

"Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok bila dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula."

"Hemmm... hemmm..."

"Hemm-hemm apa maksudmu?" Biauw Eng memandang suaminya.

"Kalau engkau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya..."

"Ehh! Apakah yang kau katakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu."

"Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah sampai di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan-lahan..."

"Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!"

"Tenanglah... ingat akan kandunganmu...," Keng Hong memperingatkan.

"Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ini... apa lagi baru dua bulan... ahh, semua gara-gara engkau!"

Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, baru mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali.

"Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberi tahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!" Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.

"Husshhh! Mengapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!"

"Ngacau...!" Blauw Eng membentak sambil mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum-senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah.

"Tak perlu kau bingung, Keng-ji tentu akan menari kegirangan bila mana mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun-tahun diinginkannya."

"Sebetulnya aku pun tidak ingin membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah dari Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa-bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apa engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?"

Keng Hong lalu menarik napas panjang. "Isteriku, Giok Keng masih kanak-kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andai kata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu sudah kita pikirkan masak-masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita."

"Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari pula bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa engkau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main-main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya."

"Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!"

"Betapa pun juga, biarkan dia memilih sendiri."

"Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?"

"Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!"

"Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San."

"Mungkin saja, kalau Keng-ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Kenapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Jika memang sudah jodoh, apa lagi yang dikhawatirkan? Kelak mereka pasti akan bertemu!"

Keng Hong merengut. "Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?"

Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.

"Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Kenapa harus tergesa-gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?"

"Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!"

"Hehhh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?" Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu!

Memang demikianlah cinta kasih di antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak akan pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!

"Husshhh! Malu dilihat orang! Kalau tiba-tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersenda gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!" Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap-sinshe (Tabib Yap).

Dapat dibayangkan alangkah kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng-kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.

"Ji-wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe serta isterinya, sekaligus juga puteranya, telah bertahun-tahun pergi."

"Mengapa? Apa yang terjadi?" Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.

"Mereka... melarikan diri..." Seorang kakek bekas tetangga Yap-sinshe menjelaskan.

"Tak mungkin!" Biauw Eng berseru. "Mereka bukan orang-orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?"

"Mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah."

"Ehhh...?" Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, "Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami."

Kakek itu mengangguk. "Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi."

Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap-sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka hingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap-sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.

"Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?" Keng Hong bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap-sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri."

"Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?"

"Ahhh, Yap-kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul."

Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu-satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.
"Bagaimana matinya?"

"Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian."

Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu. "Ke mana kita harus mencari mereka?" katanya dengan suara kecewa.

"Tak ada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Apa bila mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin-ling-san."

"Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja."

"Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!" kata Biauw Eng gemas.

"Dia? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!"

"Wah-wah! Isteriku, ingatlah, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin-ling-pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?"

"Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!"

"Ehhh, ke mana?" Keng Hong tidak berdaya menghadapi isterinya yang dia tahu sedang marah dan penasaran itu!

"Ke gedung Kepala Daerah!"

Keng Hong tidak membantah dan diam-diam dia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah. Dia masih seperti Song-bun Siu-li dahulu, dara cantik jelita yang kadang-kadang disebut dewi akan namun ada kalanya disebut iblis betina yang ganas!

Isterinya ini, walau pun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong lantas tersenyum-senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya sedang mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.

"Mengapa kau mesam-mesem? Mentertawakan aku, ya?"

"Wah, tidak! Aku hanya..."

"Hanya apa...?"

"Kasihan kepada Ma-taijin!"

"Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!"

Pada waktu itu hari sudah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar salah seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga tengah beristirahat di dalam kamar-kamar tamu yang disediakan untuk mereka.

Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya,

"Ada keperluan apakah Ji-wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini."

Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya. Akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai, maka ia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata,

"Laporkan kepada Ma-taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!"

Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus serta melihat sikap yang sangat tidak menghormat terhadap Ma-taijin itu, maka dia menjawab, "Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus terlebih dahulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya. Lagi pula, permintaan itu baru dapat diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu."

"Apa kau bilang?" Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. "Apa kau kira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?"

Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong segera menjura dan berkata halus, "Harap kalian suka melaporkan kepada Ma-taijin bahwa Cia Keng Hong beserta isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma-taijin."

Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Meski pun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh-tokoh kang-ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.

"Siapa pun adanya Ji-wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji-wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji-wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permohonan menghadap."

"Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!" Biauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya.

Delapan orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan.

"Pergi!" Biauw Eng membentak.

Maka terdengar suara senjata-senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan dan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka.

Tangan pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah-matahkan golok itu demikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur-mundur dan tak ada seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.

"Anjing-aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?!" Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang.

Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu lantas berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, "Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin,"

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan kepalang. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir kalau-kalau isterinya tidak mampu mengendalikan dirinya kemudian membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak,

"Mundur kalian!"

Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tak peduli akan dorongan tangan Keng Hong. Akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget pada saat merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap.

"Heii, ke mana mereka...?" tanya mereka.

"Celaka... mereka memasuki gedung...," jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Hayo kejar...!" Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para pengawal langsung membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga.

Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung. Mereka tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik,

"Lekas katakan di mana kamar Taijin!"

Jari-jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang lalu mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tanpa berani mengangkat muka.

Ketika Biauw Eng dan Keng Hong sampai di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik, "Isteriku, jangan membunuh orang..."

Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu.

"Brakkk…!"

Daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki-laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat-cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.

"Apa ini? Siapa kalian yang berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!" Ma-taijin berseru marah.

Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. "Apakah engkau Ma-taijin?" tanyanya.

Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada. "Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!"

"Manusia rendah!"

Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampaklah cahaya merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin.

Begitu sabuk ditarik dengan satu sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.

"Hayo katakan, apa yang telah kau lakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sinshe dan isterinya!" Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah hingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah-engah.

"Yap-sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!" katanya dengan kedua tangan sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.

Biauw Eng menarik ujung sabuk.

"Uukhhh!" Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.

"Tak mungkin! Kalau kau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tak akan pernah memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, kenapa hal itu harus kau salahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!"

"Am... ampun, Lihiap..." Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.

"Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma-taijin.

"Prettt... aduuuuhhh...!"

Ma-taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya hingga menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih-rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.

"Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Apa bila aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, maka aku akan datang dan mengambil kepalamu!"

"Tar-tar-tarrr...!"

Biauw Eng maklum bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri adalah seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya mempergunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat-cepat dia menggerakkan tangannya sehingga gulungan sinar merah dari sabuk sutera langsung melayang ke atas kepalanya dan meluncur cepat ke belakang kemudian menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak-ledak tadi.

"Tarrr... bretttt!!"

Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget sekali. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya saat bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi lalu diterima dengan tangan kiri yang sangat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,

"Ma-taijin harap suka mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya yang menghadapi dua orang penjahat ini."

Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya sudah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek-kakek yang berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah-tengah sambil memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu.

Walau pun mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh seperti pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!

Orangnya tinggi besar berukuran raksasa. Keng Hong yang bertubuh sedang itu hanyalah setinggi pundaknya. Tubuh orang itu amat besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang laksana tangan monyet.

Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak amat indah, seolah-olah bukan rambut melainkan benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis serta jenggotnya, walau pun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut!

Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya.

Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sangat sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu.

Pakaian bagian atasnya yang lebih aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Pada bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula dengan saku-saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.

Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat di sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia ‘biadab’ yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya pun ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam-macam warnanya.

Akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka sedang berhadapan dengan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar

Lelaki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya, "Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?"

Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, "Kami tidak mengganggu seorang pembesar, oleh karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu sudah berlaku sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian."

Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. "Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!"

Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng telah salah mengira. Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi saling berhadapan, maka kata-kata ‘berkenalan’ dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak,

"Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?"

Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biang keladi mala petaka yang menimpa keluarga Yap Cong San sudah dihukum oleh isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata, "Mari kita pergi dari sini!"

Biauw Eng sadar kembali saat merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini segera melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu beserta para pengawal yang berkerumun di luar kamar.

"Eh-eh, sahabat gagah... tunggu dulu!" Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.

Walau pun gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan ‘ujian’ karena tangan itu tidak menampar atau pun memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang, hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,

"Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!"

"Plak! Plakk!"

Meski pun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Dia berdiri bengong menatap suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah bergerak mengejar,

"Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!"

Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan pandang mata penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengomel, "Hebat...! Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian lain dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi."

Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, "Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai, bukan malah memusuhi mereka."

"Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin…," bantah seorang temannya.

"Hanya luka ringan saja. Ma-taijin tentu mau menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Lagi pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!" Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk bantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.

********************

Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.

"Sungguh membuat orang penasaran sekali!" kata Keng Hong. "Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi kenapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi di samping mengandung sinkang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!"

"Hanya tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!" kata Biauw Eng.

"Belum tentu!" berkata pula suaminya. "Kau lihat tadi selain gerakannya amat lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggota kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri dalam kesunyian di puncak Cin-ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal, selain untuk mendengar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya."

"Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?"

Demikianlah, sekarang kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai sambil beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya!

Betapa pun juga, mereka berdua sudah mendengar jelas mengenai perubahan di dunia kang-ouw pada waktu itu. Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan sering kali mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.

Mereka itu adalah Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu dengannya dan terkenal julukannya saja, yaitu Toat-beng Hoatsu (Kakek Ajaib Pencabut Nyawa).

Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka tentang kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, maka timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk berjumpa dengan mereka lantas mencoba kesaktian mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti mereka, bukan keinginan untuk menundukkan dan menjagoi, tetapi keinginan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Akan tetapi Keng Hong mencegah isterinya sambil menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang sudah memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.

"Lagi pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik apa bila kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun lagi menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggota Cin-ling-pai."

Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng pun tak membantah. Maka pulanglah pasangan suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san dengan hati kecewa karena mereka tak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.

Tentu saja mereka berdua sama sekali tak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru saja beberapa pekan lalu datang mengunjungi Cin-ling-san, bahkan sudah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.

Ketika Giok Keng mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat bagaikan iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam semua ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri.

Selama hampir tiga tahun dara yang mulai berangkat dewasa ini berlatih dengan rajinnya sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Akan tetapi harus diakui bahwa untuk mencari tandingan bagi Giok Keng pada waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!

Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang sangat cantik jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tidak lama setelah ibunya pulang ke Cin-ling-san sehingga pada saat itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat, berwajah tampan dan berwatak gembira mirip seperti enci-nya (kakaknya) ketika masih kecil.

Dengan lahirnya adik laki-laki ini, maka berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apa lagi karena dia kini sudah dewasa. Kini yang tertinggal pada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya.

Ayahnya sering kali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu persis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri.

Biar pun watak isterinya tidak jahat, namun andai kata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang mencinta dan setia, andai kata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan mempunyai watak keras yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam!

Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan mengenai perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul mau pun bujukan orang tuanya supaya dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.

"Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

"Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.

"Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?"

Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa semakin rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari, keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tanpa terhalang awan tebal seperti biasanya, mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa pada siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya.

Pada waktu itu Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya telah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh dari kaum sesat yang lihai, walau pun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat serta menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sinkang dengan bersemedhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersemedhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa pada saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Ketika itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai anggota-anggota Cin-ling-pai, sudah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, dan sebagian lagi ada pula yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang.

Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggota ini berlatih berpasangan, baik lelakinya, wanitanya, mau pun anak-anaknya. Gerakan mereka cepat-cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka mempunyai sinkang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggota Cin-ling-pai.

Untuk para anggota ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan amat lihai, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara-cara bersemedhi untuk menghimpun sinkang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang dinamakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggota Cin-ling-pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Kombinasi ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, lalu digabungkan dan menjadi landasan ilmu silat para anggota Cin-ling-pai.

Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada orang tertentu yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya. Mereka ini berjumlah sebelas orang saja dan merupakan anggota-anggota pimpinan atau murid-murid tertua. Betapa pun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng.

Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena ia bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja ia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang kedua, Thi-khi I-beng, merupakan ilmu mukjijat yang pernah diperebutkan para jagoan di kalangan kang-ouw dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya.

Ilmu ini amat ganas, merupakan sinkang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum mempunyai dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain, bahkan belum berani pula mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mukjijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san tengah berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun.

Saat Cin-ling-pai mula-mula berdiri keduanya adalah dua orang pemuda, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka bolehlah dibilang mereka merupakan dua orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di antara para anggota Cin-ling-pai.

Kedua orang ini tak pernah menikah dan hidup membujang di Cin-ling-san, dan bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, para murid kepala yang semuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan dua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena kehadiran kedua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

"Ha-ha-ha, nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggotanya hanya sebegini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

"Ahhh, Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentunya hanya orang-orang rendahan dari Cin-ling-pai. Betapa pun juga kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha-ha!"

Para anggota Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang walau pun sudah digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tidak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,

"Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?"

"Kalau kau menantang, terimalah seranganku!"

Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.

Biar pun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tak dapat menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tanpa dapat bangun kembali. Melihat kedua orang teman mereka roboh dengan muka pada bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok!

Sambil tertawa-tawa, dua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan keempat orang itu langsung pingsan.

"Mundurlah kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriak nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan berat.

Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang disebut Siang-in Twi-san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Pada waktu tertawa-tawa tadi, dua orang kakek itu bukan semata-mata sengaja hendak mengejek, melainkan karena mereka memang merasa amat terheran dan kecewa melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlalu rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali!

Memang, Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggota Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus-jurus itu amat dahsyat dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing-masing.

Kini, menghadapi jurus Siang-in Twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Akan tetapi, jurus Siang-in Twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu berbalik ke bawah, lengannya digunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.

"Plakkk!"

Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, meski pun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.

Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggota Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak bisa dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong keenam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.

"Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau dan melukai enam orang anggota kita...!"

Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget sekali mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan berlari ke luar sesudah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sute mereka, masih juga belum mampu mendesak dua orang kakek itu, apa lagi merobohkan...
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 10

Petualang Asmara Jilid 10
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEMANG demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang kelihatannya seperti seorang pengantuk itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah yang tidak mengenal nama besar Panglima The Hoo? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.

Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Akan tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran dan memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.

Sedangkan kedua orang kawannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sute-nya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.

Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apa lagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio!

"Ahh... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.

Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menjadi penyebab kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada.

"Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, jika Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah terlampau tua, adalah Sute Thian Lee Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali."

Dia kemudian menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazah Thian Lee Hwesio yang terbunuh orang!

"Sungguh penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!

Pada waktu diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, "Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat."

Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan kedua mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji, "Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang sudah kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung memiliki seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah."

Sebagai tamu-tamu yang dihormati, ketiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguh pun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetes pun arak! Kun Liong yang dianggap ‘keluarga sendiri’ juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya,

"Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentu membawa urusan yang amat penting. Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan sungguh pun di sini sedang tertimpa mala petaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja."

Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut dan menceritakan keperluan kedatangannya. Setelah beberapa kali meragu, akhirnya dia pun berkata,

"Memang benar apa yang Losuhu katakan. Apa bila kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang sangat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami khusus untuk melayat dan berkabung saja. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kini kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri."

Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, "Pinceng beserta para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The."

"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebenarnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu maupun Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini."

Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas bahwa urusan itu tak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.

Dengan sikap ramah Thian Kek Hwesio lantas berkata, "Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu."

Tio Hok Gwan segera bercerita dengan suara perlahan namun jelas, "Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena sudah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah salah seorang pengawal panglima sendiri. Secara diam-diam panglima sudah mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata sudah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu lenyap tenggelam di Sungai Huang-ho. Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak-anak buahnya yang sudah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana. Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu sudah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada waktu pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu nampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan semua berita itu dan karena mengingat akan pengetahuan Losuhu yang sangat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk."

Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. Tidak salah lagi, tentulah bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!

Sekarang Bi Kiok tentu sudah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu dulu pernah monolongnya, bahkan sudah dua kali menolong dirinya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air di Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa manisnya anak itu! Tanpa sengaja Kun Liong tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.

Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik. Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata,

"Pinceng sendiri belum pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka supaya memasang mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada sahabat-sahabat. Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita, bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu."

"Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Ehh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?"

Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini. "Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak sekali terjadi perebutan pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi? Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?"

"Benar sekali pertanyaan Yap-sicu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya pusaka yang hilang itu." Thian Kek Hwesio berkata.

"Pusaka dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga."

"Sebuah bokor emas...?" Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.

"Kalau hanya emas yang merupakan harta, kenapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw sampai berebutan? Sungguh sikap ini tak ada bedanya dengan para perampok saja!" Kun Liong berkata lagi. Diam-diam jantung pemuda ini berdebar makin keras karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang sekarang telah dia sembunyikan!

Tio Hok Gwan menghela napas panjang. "Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Apa bila hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpan dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap-sicu yang telah kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka."

"Jangan khawatir, Taihiap. Sesudah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan mengenai bokor emas itu," kata Thian Kek Hwesio.

"Saya pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan jika saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia."

Tio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama dua orang pembantunya, dia segera berpamit dan meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh pihak Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu.

Selain merasa berkewajiban untuk membantu, dengan penuh harapan Kun Liong sengaja hendak menanti ayah bundanya yang semoga akan datang pula ke Siauw-lim-si. Ayahnya adalah murid Tiong Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, maka dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiong Pek Hosiang dan Thian Lee Hwesio yang menjadi suheng-nya.

Kecuali mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan berjumpa dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu akan datang dan memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiong Pek Hosiang.

********************

Kita tinggalkan dahulu kuil Siauw-lim-si yang kini sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta keluarganya yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita ini.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong masih berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong dan isterinya sedang turun gunung dan mereka justru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.

Dengan perasaan penuh harap dan gembira sebab akan dapat berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng-kok. Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa-apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik.

Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, kelihatan gagah serta tampan dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau.

Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang-ouw pada belasan tahun yang lalu. Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agaknya hanya karena melihat sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan untuk merantau.

Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walau pun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Tubuhnya masih ramping dan padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena seharian itu dia sudah berjalan kaki sampai jauh.

Juga nyonya cantik ini tidak terlihat membawa senjata. Siapa yang akan mengira bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit di pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana, akan tetapi bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.

Biar pun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka itu bukanlah orang-orang lemah, akan tetapi kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan kepada pedangnya, yaitu Siang-bhok-kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang pada waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang sangat terkenal di kalangan kaum sesat?

Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang-ouw mau pun datuk kaum sesat yang lebih terkenal dari pada Siang-bhok-kiam Cia Keng Hong serta isterinya, Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Bahkan Cin-ling-pai yang sebenarnya hanyalah sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi sangat terkenal dan disegani oleh dunia kang-ouw.

Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan-bangunan di dalam kota Leng-kok, Sie Biauw Eng berkata, "Aihhh, sungguh banyak kemajuan yang terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat kota Leng-kok."

Cia Keng Hong tersenyum, "Kau kira baru berapa tahun? Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan."

"Hemmm, waktu berlalu dengan amat cepatnya, tanpa terasa belasan tahun sudah lewat! Betapa pun juga, kemajuan di Leng-kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil."

"Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita."

"Hemmm, mengapa kita akan kecewa andai kata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?" Sie Biauw Eng bertanya, "Anak itu bukan anak kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain."

"Wah, isteriku yang baik, lagi-lagi engkau berfilsafat!" Keng Hong menggoda.

"Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka dengan filsafat muluk-muluk yang hanya menjadi permainan kata-kata kosong belaka. Yang baru kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan-harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka sering kali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... ehh, siapa namanya...?"

"Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?"

"Oh ya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong."

"Ahh, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita..."

"Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok bila dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula."

"Hemmm... hemmm..."

"Hemm-hemm apa maksudmu?" Biauw Eng memandang suaminya.

"Kalau engkau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya..."

"Ehh! Apakah yang kau katakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu."

"Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah sampai di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan-lahan..."

"Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!"

"Tenanglah... ingat akan kandunganmu...," Keng Hong memperingatkan.

"Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ini... apa lagi baru dua bulan... ahh, semua gara-gara engkau!"

Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, baru mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali.

"Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberi tahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!" Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.

"Husshhh! Mengapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!"

"Ngacau...!" Blauw Eng membentak sambil mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum-senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah.

"Tak perlu kau bingung, Keng-ji tentu akan menari kegirangan bila mana mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun-tahun diinginkannya."

"Sebetulnya aku pun tidak ingin membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah dari Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa-bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apa engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?"

Keng Hong lalu menarik napas panjang. "Isteriku, Giok Keng masih kanak-kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andai kata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja. Pilihan kita tentu sudah kita pikirkan masak-masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita."

"Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari pula bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng. Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa engkau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main-main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya."

"Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!"

"Betapa pun juga, biarkan dia memilih sendiri."

"Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?"

"Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!"

"Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San."

"Mungkin saja, kalau Keng-ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Kenapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Jika memang sudah jodoh, apa lagi yang dikhawatirkan? Kelak mereka pasti akan bertemu!"

Keng Hong merengut. "Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?"

Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.

"Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur! Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Kenapa harus tergesa-gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?"

"Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!"

"Hehhh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?" Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu!

Memang demikianlah cinta kasih di antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak akan pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!

"Husshhh! Malu dilihat orang! Kalau tiba-tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersenda gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!" Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap-sinshe (Tabib Yap).

Dapat dibayangkan alangkah kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng-kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.

"Ji-wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yap-sinshe serta isterinya, sekaligus juga puteranya, telah bertahun-tahun pergi."

"Mengapa? Apa yang terjadi?" Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.

"Mereka... melarikan diri..." Seorang kakek bekas tetangga Yap-sinshe menjelaskan.

"Tak mungkin!" Biauw Eng berseru. "Mereka bukan orang-orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?"

"Mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah."

"Ehhh...?" Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, "Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami."

Kakek itu mengangguk. "Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi."

Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap-sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka hingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap-sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.

"Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?" Keng Hong bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap-sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri."

"Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?"

"Ahhh, Yap-kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul."

Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu-satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.
"Bagaimana matinya?"

"Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian."

Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu. "Ke mana kita harus mencari mereka?" katanya dengan suara kecewa.

"Tak ada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri. Apa bila mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin-ling-san."

"Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja."

"Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!" kata Biauw Eng gemas.

"Dia? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!"

"Wah-wah! Isteriku, ingatlah, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin-ling-pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?"

"Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!"

"Ehhh, ke mana?" Keng Hong tidak berdaya menghadapi isterinya yang dia tahu sedang marah dan penasaran itu!

"Ke gedung Kepala Daerah!"

Keng Hong tidak membantah dan diam-diam dia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah. Dia masih seperti Song-bun Siu-li dahulu, dara cantik jelita yang kadang-kadang disebut dewi akan namun ada kalanya disebut iblis betina yang ganas!

Isterinya ini, walau pun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya! Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong lantas tersenyum-senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya sedang mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya. Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.

"Mengapa kau mesam-mesem? Mentertawakan aku, ya?"

"Wah, tidak! Aku hanya..."

"Hanya apa...?"

"Kasihan kepada Ma-taijin!"

"Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!"

Pada waktu itu hari sudah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar salah seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga tengah beristirahat di dalam kamar-kamar tamu yang disediakan untuk mereka.

Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga. Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya,

"Ada keperluan apakah Ji-wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini."

Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya. Akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai, maka ia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata,

"Laporkan kepada Ma-taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!"

Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus serta melihat sikap yang sangat tidak menghormat terhadap Ma-taijin itu, maka dia menjawab, "Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus terlebih dahulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya. Lagi pula, permintaan itu baru dapat diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu."

"Apa kau bilang?" Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. "Apa kau kira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?"

Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu. Akan tetapi Keng Hong segera menjura dan berkata halus, "Harap kalian suka melaporkan kepada Ma-taijin bahwa Cia Keng Hong beserta isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma-taijin."

Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini. Meski pun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh-tokoh kang-ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya. Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.

"Siapa pun adanya Ji-wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji-wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji-wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permohonan menghadap."

"Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!" Biauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya.

Delapan orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan.

"Pergi!" Biauw Eng membentak.

Maka terdengar suara senjata-senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan dan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka.

Tangan pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah-matahkan golok itu demikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur-mundur dan tak ada seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.

"Anjing-aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?!" Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang.

Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu lantas berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, "Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin,"

Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan kepalang. Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng. Karena khawatir kalau-kalau isterinya tidak mampu mengendalikan dirinya kemudian membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak,

"Mundur kalian!"

Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tak peduli akan dorongan tangan Keng Hong. Akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget pada saat merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang! Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap.

"Heii, ke mana mereka...?" tanya mereka.

"Celaka... mereka memasuki gedung...," jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Hayo kejar...!" Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para pengawal langsung membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga.

Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung. Mereka tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik,

"Lekas katakan di mana kamar Taijin!"

Jari-jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah. Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang lalu mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tanpa berani mengangkat muka.

Ketika Biauw Eng dan Keng Hong sampai di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik, "Isteriku, jangan membunuh orang..."

Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu.

"Brakkk…!"

Daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki-laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat-cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Ma-taijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.

"Apa ini? Siapa kalian yang berani kurang ajar? Pengawal! Tangkap mereka...!" Ma-taijin berseru marah.

Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. "Apakah engkau Ma-taijin?" tanyanya.

Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada. "Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!"

"Manusia rendah!"

Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampaklah cahaya merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin.

Begitu sabuk ditarik dengan satu sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.

"Hayo katakan, apa yang telah kau lakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sinshe dan isterinya!" Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah hingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah-engah.

"Yap-sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!" katanya dengan kedua tangan sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.

Biauw Eng menarik ujung sabuk.

"Uukhhh!" Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.

"Tak mungkin! Kalau kau tidak berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tak akan pernah memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, kenapa hal itu harus kau salahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!"

"Am... ampun, Lihiap..." Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.

"Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka! Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma-taijin.

"Prettt... aduuuuhhh...!"

Ma-taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya hingga menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah. Dia merintih-rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.

"Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Apa bila aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, maka aku akan datang dan mengambil kepalamu!"

"Tar-tar-tarrr...!"

Biauw Eng maklum bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri adalah seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya mempergunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat-cepat dia menggerakkan tangannya sehingga gulungan sinar merah dari sabuk sutera langsung melayang ke atas kepalanya dan meluncur cepat ke belakang kemudian menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak-ledak tadi.

"Tarrr... bretttt!!"

Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget sekali. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya saat bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi lalu diterima dengan tangan kiri yang sangat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar asing dan kaku,

"Ma-taijin harap suka mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya yang menghadapi dua orang penjahat ini."

Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya sudah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek-kakek yang berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah-tengah sambil memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu.

Walau pun mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh seperti pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!

Orangnya tinggi besar berukuran raksasa. Keng Hong yang bertubuh sedang itu hanyalah setinggi pundaknya. Tubuh orang itu amat besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang laksana tangan monyet.

Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak amat indah, seolah-olah bukan rambut melainkan benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis serta jenggotnya, walau pun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut!

Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya.

Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sangat sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu.

Pakaian bagian atasnya yang lebih aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Pada bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula dengan saku-saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.

Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat di sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia ‘biadab’ yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya pun ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam-macam warnanya.

Akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka sedang berhadapan dengan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar

Lelaki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya, "Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?"

Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, "Kami tidak mengganggu seorang pembesar, oleh karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu sudah berlaku sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian."

Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. "Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!"

Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng telah salah mengira. Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi saling berhadapan, maka kata-kata ‘berkenalan’ dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak,

"Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?"

Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biang keladi mala petaka yang menimpa keluarga Yap Cong San sudah dihukum oleh isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata, "Mari kita pergi dari sini!"

Biauw Eng sadar kembali saat merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini segera melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu beserta para pengawal yang berkerumun di luar kamar.

"Eh-eh, sahabat gagah... tunggu dulu!" Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.

Walau pun gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan ‘ujian’ karena tangan itu tidak menampar atau pun memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang, hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata,

"Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!"

"Plak! Plakk!"

Meski pun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Dia berdiri bengong menatap suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah bergerak mengejar,

"Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!"

Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan pandang mata penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengomel, "Hebat...! Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian lain dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi."

Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, "Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang pandai seperti mereka. Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai, bukan malah memusuhi mereka."

"Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin…," bantah seorang temannya.

"Hanya luka ringan saja. Ma-taijin tentu mau menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Lagi pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!" Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk bantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.

********************

Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.

"Sungguh membuat orang penasaran sekali!" kata Keng Hong. "Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi kenapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi di samping mengandung sinkang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!"

"Hanya tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!" kata Biauw Eng.

"Belum tentu!" berkata pula suaminya. "Kau lihat tadi selain gerakannya amat lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggota kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri dalam kesunyian di puncak Cin-ling-san. Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal, selain untuk mendengar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya."

"Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?"

Demikianlah, sekarang kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai sambil beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya!

Betapa pun juga, mereka berdua sudah mendengar jelas mengenai perubahan di dunia kang-ouw pada waktu itu. Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan sering kali mengacau dunia kang-ouw dan merobohkan banyak orang gagah.

Mereka itu adalah Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu dengannya dan terkenal julukannya saja, yaitu Toat-beng Hoatsu (Kakek Ajaib Pencabut Nyawa).

Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka tentang kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, maka timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk berjumpa dengan mereka lantas mencoba kesaktian mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti mereka, bukan keinginan untuk menundukkan dan menjagoi, tetapi keinginan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Akan tetapi Keng Hong mencegah isterinya sambil menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang sudah memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.

"Lagi pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik apa bila kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun lagi menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggota Cin-ling-pai."

Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng pun tak membantah. Maka pulanglah pasangan suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san dengan hati kecewa karena mereka tak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.

Tentu saja mereka berdua sama sekali tak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru saja beberapa pekan lalu datang mengunjungi Cin-ling-san, bahkan sudah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.

Ketika Giok Keng mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat bagaikan iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam semua ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri.

Selama hampir tiga tahun dara yang mulai berangkat dewasa ini berlatih dengan rajinnya sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Akan tetapi harus diakui bahwa untuk mencari tandingan bagi Giok Keng pada waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!

Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang sangat cantik jelita dan gagah perkasa. Adiknya lahir tidak lama setelah ibunya pulang ke Cin-ling-san sehingga pada saat itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat, berwajah tampan dan berwatak gembira mirip seperti enci-nya (kakaknya) ketika masih kecil.

Dengan lahirnya adik laki-laki ini, maka berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apa lagi karena dia kini sudah dewasa. Kini yang tertinggal pada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya.

Ayahnya sering kali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu persis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri.

Biar pun watak isterinya tidak jahat, namun andai kata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang mencinta dan setia, andai kata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan mempunyai watak keras yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam!

Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan mengenai perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul mau pun bujukan orang tuanya supaya dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.

"Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

"Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.

"Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?"

Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa semakin rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari, keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tanpa terhalang awan tebal seperti biasanya, mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa pada siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya.

Pada waktu itu Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya telah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh dari kaum sesat yang lihai, walau pun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat serta menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sinkang dengan bersemedhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersemedhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa pada saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Ketika itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai anggota-anggota Cin-ling-pai, sudah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka sedang bekerja di sawah ladang, dan sebagian lagi ada pula yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang.

Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggota ini berlatih berpasangan, baik lelakinya, wanitanya, mau pun anak-anaknya. Gerakan mereka cepat-cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka mempunyai sinkang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggota Cin-ling-pai.

Untuk para anggota ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan amat lihai, yaitu San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara-cara bersemedhi untuk menghimpun sinkang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang dinamakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggota Cin-ling-pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Kombinasi ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, lalu digabungkan dan menjadi landasan ilmu silat para anggota Cin-ling-pai.

Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada orang tertentu yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya. Mereka ini berjumlah sebelas orang saja dan merupakan anggota-anggota pimpinan atau murid-murid tertua. Betapa pun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai-kek Sin-kun dan Thi-khi I-beng.

Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena ia bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja ia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang kedua, Thi-khi I-beng, merupakan ilmu mukjijat yang pernah diperebutkan para jagoan di kalangan kang-ouw dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya.

Ilmu ini amat ganas, merupakan sinkang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum mempunyai dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain, bahkan belum berani pula mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mukjijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san tengah berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun.

Saat Cin-ling-pai mula-mula berdiri keduanya adalah dua orang pemuda, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka bolehlah dibilang mereka merupakan dua orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi di antara para anggota Cin-ling-pai.

Kedua orang ini tak pernah menikah dan hidup membujang di Cin-ling-san, dan bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, para murid kepala yang semuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan dua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena kehadiran kedua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

"Ha-ha-ha, nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggotanya hanya sebegini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

"Ahhh, Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentunya hanya orang-orang rendahan dari Cin-ling-pai. Betapa pun juga kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha-ha!"

Para anggota Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang walau pun sudah digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tidak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,

"Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?"

"Kalau kau menantang, terimalah seranganku!"

Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.

Biar pun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tak dapat menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tanpa dapat bangun kembali. Melihat kedua orang teman mereka roboh dengan muka pada bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok!

Sambil tertawa-tawa, dua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan keempat orang itu langsung pingsan.

"Mundurlah kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriak nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan berat.

Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang disebut Siang-in Twi-san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Pada waktu tertawa-tawa tadi, dua orang kakek itu bukan semata-mata sengaja hendak mengejek, melainkan karena mereka memang merasa amat terheran dan kecewa melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlalu rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali!

Memang, Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggota Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus-jurus itu amat dahsyat dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing-masing.

Kini, menghadapi jurus Siang-in Twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Akan tetapi, jurus Siang-in Twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu berbalik ke bawah, lengannya digunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.

"Plakkk!"

Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, meski pun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati-hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.

Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggota Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak bisa dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong keenam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.

"Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau dan melukai enam orang anggota kita...!"

Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget sekali mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan berlari ke luar sesudah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sute mereka, masih juga belum mampu mendesak dua orang kakek itu, apa lagi merobohkan...
Selanjutnya,