Petualang Asmara Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Petualang Asmara Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw di luar! Semua orang kecuali Kun Liong yang masih terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin, berlarian ke luar.

Kun Liong mendengar ada suara orang yang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak dapat mendengar jelas dan tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari tempat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram karena hari masih sangat pagi dan sinar matahari baru sedikit menyinari ruangan dalam kuil itu di mana dia berada.

"Engkau Kun Liong, bukan?" Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja.

Tentu Hwi Sian, siapa lagi? Berdebar rasa jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas sekali karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat menjawab pertanyaan aneh itu, karena kalau dia Hwi Sian perlu apa bertanya lagi apakah dia Kun Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di tangan Kun Liong putus semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini!

Kun Liong menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati rasa. Malam tadi totokan pada tubuhnya telah terbebas dengan sendirinya. Sekarang dia memandang terbelalak.

Dara ini bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biar pun dara remaja yang agak lebih muda ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan agak dingin. Sikap dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang mengeras, dan matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan.

"Kau... kau siapakah?"

"Engkau tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok."

"Aihh! Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang dara yang... ahhh, cantik jelita!" Kun Liong berhenti ketika melihat sinar mata itu tiba-tiba menjadi tajam sekali ditujukan padanya. Maka cepat dia menyambungnya, "Dan engkau menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok, bagaimana engkau bisa mengenalku?"

Bi Kiok menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja, di dunia ini mana ada kepala gundul lain kecuali dia? Kalau ada pemuda gundul, tentu para hwesio.

Tak terasa lagi ia menggerakkan tangan mengelus kepalanya, memandang Bi Kiok sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bi Kiok. Engkau telah dua kali menyelamatkan nyawaku. Yang pertama di sungai dahulu dan kini..."

"Sudahlah. Harap engkau cepat-cepat pergi dari sini. Kalau terlambat, aku benar-benar tak akan dapat menyelamatkan nyawamu lagi. Cepat pergi, Kun Liong dan jangan banyak bertanya!"

"Ah, mengapa begitu? Apakah aku tidak boleh bicara denganmu setelah pertemuan yang tak tersangka-sangka ini?"

"Tidak, jangan! Pergilah!"

"Hanya untuk mengucapkan terima kasih juga tidak boleh?"

Dara itu menghela napas. "Engkau bandel. Mereka semua akan mati, dan engkau juga kalau tidak lekas pergi!"

Melihat dara itu gelisah bukan main, Kun Liong menjadi tidak tega. Dia tidak takut akan ancaman maut, akan tetapi dia tidak mau menyusahkan hati dara yang sudah dua kali menolongnya ini.

"Baiklah, Bi Kiok. Aku pergi, akan tetapi terimalah ucapan terima kasihku kepadamu!"

Rasa terima kasih membuat Kun Liong memegang tangan kanan dara itu, lalu membawa tangan itu kepada... kepalanya yang gundul hingga terasa olehnya betapa telapak tangan yang halus hangat itu menyentuh gundulnya! Di dalam hatinya dia heran sekali, mengapa dia ingin sekali gundulnya disentuh oleh tangan dara ini? Akan tetapi Bi Kiok merasa geli dan menarik tangannya biar pun secara halus.

"Pergilah, Kun Liong."

"Kapan kita bertemu lagi, Bi Kiok?"

"Tidak mungkin bertemu lagi. Selamat berpisah!" Sesudah berkata demikian, dara itu lalu melangkah ke luar, di pintu membalik dan berkata, "Kau ambil jalan dari pintu belakang. Cepat!" Barulah dara itu meloncat ke depan dan tak nampak lagi.

Kun Liong segera menyelinap melalui belakang kuil, akan tetapi dia tidak pergi seperti sudah dipesan oleh Bi Kiok, melainkan berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon menuju ke luar kuil. Tak lama kemudian dia telah bersembunyi di belakang semak-semak sambil mengintai ke halaman kuil. Sepasang matanya terbelalak penuh kengerian ketika dia menyaksikan apa yang terjadi di halaman kuil tua itu.

Seorang wanita yang bertubuh pendek, sama tingginya dengan Bi Kiok yang baru berusia tiga belas tahun, akan tetapi wajah wanita itu menunjukkan bahwa dia telah berusia dua kali lebih, tampak berdiri di tengah halaman. Wajah wanita itu cantik dengan muka bulat, di punggungnya tampak sebatang pedang panjang agak melengkung, rambutnya panjang digelung secara aneh. Yang mengerikan adalah tangannya yang berlepotan darah itu menggenggam sepotong benda berdarah yang dimakannya dengan gigitan-gigitan kecil!

Di hadapan kakinya menggeletak sesosok mayat anak buah Pek-lian-kauw dengan dada robek, ada pun empat orang anggota Pek-lian-kauw lainnya masih mengurungnya dengan senjata di tangan, bersama Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang semua telah memegang senjata masing-masing menghadapi wanita cantik itu. Bi Kiok berdiri di pinggir, bersedakap dan menonton dengan wajah dingin!

Tiba-tiba saja Loan Khi Tosu mengeluarkan suara pekik dahsyat, itulah Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan. Akan tetapi wanita itu tidak bergoyang sedikit pun, bahkan menghadapi terjangan Loan Khi Tosu yang disusul teman-temannya, dia hanya bersikap seenaknya, menghabiskan benda berdarah yang dimakannya.

Setelah senjata tujuh orang itu berkelebatan dekat hampir mengenai tubuhnya, barulah wanita itu menyambutnya. Sisa benda berdarah itu digigitnya, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak dan tiba-tiba sanggul rambutnya terlepas, rambut itu lalu berubah menjadi bayangan hitam yang menyambar ke sekelilingnya, jari-jari tangannya juga menyambar sehingga tampaklah darah muncrat-muncrat disusul pekik mengerikan berkali-kali.

Sebentar saja semua gerakan berhenti, dan Kun Liong yang bersembunyi memandang dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya terasa kering! Penglihatan di depannya itu terlalu menyeramkan!

Hanya Loan Khi Tosu dan Kiang Ti dua orang saja yang masih hidup, bangkit duduk dan cepat mengatur pernapasan. Lima orang yang lain, yaitu Ouw Ciang Houw Si Sastrawan Cabul dan empat orang anggota Pek-lian-kauw yang tadi mengeroyok, telah menggeletak malang-melintang dengan dada terobek dan jantung mereka kini sudah berada di tangan wanita itu!

"Tahukah engkau mengapa aku tidak membunuh kalian berdua?" Terdengar suara wanita itu sesudah dia menyemburkan sisa jantung pertama yang tadi digigitnya ke atas tanah. Mulutnya yang berlepotan darah itu amat mengerikan.

"Loan Khi Tosu, karena aku ingin engkau pergi dan menghadap Ketua Pek-lian-kauw lalu mengatakan bahwa kalau dia menghendaki bantuan Siang-tok Mo-li, dia harus bersikap lebih hormat dan mengundangku sendiri, dan kematian lima orang anak buahnya ini untuk peringatan bahwa meski pun aku suka bekerja sama, namun sama sekali aku bukanlah anak buah atau kaki tangan Pek-lian-kauw!"

Dengan susah payah Loan Khi Tosu bangkit, tongkatnya sudah patah-patah serta tulang pundaknya patah pula. "Pinto mengerti dan pesan Locianpwe akan pinto sampaikan pada ketua kami."

"Tolol kau, tosu busuk! Setua engkau menyebut aku Locianpwe? Aku adalah Nona Bu, mengerti?"

Tosu itu mengangguk-angguk dan menyeringai.

"Dan engkau orang she Kiang, aku tidak membunuhmu bukan karena aku takut terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, melainkan aku ingin engkau menyampaikan pesan kepada gurumu itu bahwa kalau aku memang mau, mudah saja aku membunuh murid kepalanya. Nah, kalian minggatlah!"

Dua orang itu melangkah pergi dengan terhuyung-huyung dan wanita itu terkekeh genit, kemudian dia memandang sambil menegur kepada Bi Kiok yang sejak tadi berdiri dengan kedua lengan bersedakap tanpa bergerak bagaikan patung, "Bi Kiok, mengapa engkau menolong Si Gundul itu?"

Bukan main kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam merasa kaget sekali biar pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu.

"Dia bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo," jawab Bi Kiok, suaranya dingin dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

"Hemm, kau kira aku tidak tahu akan hal itu? Semalam kulihat dia seorang pemuda yang bertulang baik dan berdarah bersih, tentu jantungnya lebih bermanfaat bagiku. Akan tetapi engkau sudah menolongnya dan membebaskannya. Ehh, Bi Kiok jangan main-main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan itu?"

Kembali Kun Liong kaget hingga tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu. Amat mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi Kiok sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu.

"Tidak, Subo. Jangan Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi tawanan orang-orang ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tak menghendakinya dan teecu melepaskan belenggunya."

"Untung bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia akan kubunuh dari tempat ini!"

Untuk ketiga kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita mengerikan itu tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Jika tidak, mana mungkin wanita itu mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri?

"Mengapa begitu, Subo? Teecu tidak mencinta pada siapa-siapa, akan tetapi jika teecu mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?"

"Pertanyaan yang tolol! Jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat demi sekerat, tahukah engkau? Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah setinggi langit sedalam lautan, tetapi kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari perempuan lain. Tahu? Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada pria, dan kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah membunuhnya, merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?"

Bi Kiok tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh darah itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel,

"Ihhh, jantung manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia yang berpakaian sastrawan ini!" Dia menggerakkan kakinya menendang.

"Prokkk!" Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan!

"Uweeekk…!"

Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat persembunyiannya! Dia muak bukan main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak melihat iblis betina itu makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya.

"Ihhhh...!" Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu!

"Nah, kau lihat betapa menjemukan laki-laki!" Gurunya berkata lagi, "Untung engkau tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya sekarang juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi! Biarlah dia bebas, akan tetapi sekali lagi kita berjumpa dengan bocah gundul itu, engkau ketuk kepala gundulnya sampai pecah!"

Kun Liong tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh mati dibunuh, akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang, meski pun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dihina?

"Ehh, ehhh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan tiada angin, tiada api tiada air, Bibi datang-datang lantas memaki-maki aku?" Kun Liong sudah melompat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya yang tadi muntah, memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit pun tidak merasa takut.

"Gundul buruk! Siapa bibimu?!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci membentak, terheran juga menyaksikan keberanian bocah gundul ini.

"Siapa lagi kalau bukan Siang-tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat? Kalau tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?"

"Swinggg... siuuuuttt...!"

Kun Liong sudah meramkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu menyambar dengan kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-rambut halus panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya, kemudian tubuhnya terangkat ke atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggota tubuhnya itu ikut terbelit. Sekali saja dibanting, akan remuk dia!

"Aku adalah Nona Bu, tahu?"

"Aku tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak mampu melawan! Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas tanah!"

"Apa kau bilang ? Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!"

"Siksalah. Siapa takut? Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal sebagai salah seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang suka melanggar janji sendiri!"

"Brukkk!" Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras karena kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu.

"Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau tak akan kubunuh sekarang, hal itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk tidak membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi tulang-tulang kedua buah kakimu akan kubikin remuk sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada gunanya!"

"Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!" Kun Liong menjawab dengan sikap tenang, seakan-akan ancaman dibuntungi kedua kakinya itu hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!

"Kenyataan apa yang kau maksudkan?"

Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. "Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau."

"Ihhh…! Benarkah? Siapa yang kau jumpai?"

"Yang amat sakti Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!"

Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu.

"Bohong kau! Kau hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemmm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga salah sebuah lenganmu akan kubikin buntung!"

Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan semua kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,

"Siapa bohong? Ban-tok Coa-ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia memiliki terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya panjang dapat berputar-putar."

Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya.

"Akan tetapi dibandingkan dengan Siang-tok Mo-li, Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu, terutama Si Bayangan Hantu..."

"Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kau saksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!"

Iblis betina itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!

Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu.

Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti bahwa di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang-tok Mo-li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya!

Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu.

"Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok." Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca.

Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai dari pada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.

Jangan bicara tentang bokor kepada siapa pun juga agar nyawamu selamat!’.

Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman.

Akan tetapi dia juga merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya?

Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Betulkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.

"Plakkk!" Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri.

"Wah, gundul! Untungmu memang besar sekali!" Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri-seri.

Dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa hanya gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya?

Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong lalu melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin-ling-san yang tak berapa jauh lagi.

********************

Cin-ling-san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun-lun-san, Tang-la-san, Heng-tuan-san atau bahkan Ci-lian-san yang konon kabarnya puncak-puncaknya menjulang tinggi sampai memasuki langit! Akan tetapi, justru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat Pegunungan Cin-ling-san merupakan daerah yang selain indah juga sangat subur tanahnya, sangat sejuk nyaman hawanya.

Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin-ling-pai (Perkumpulan Cin-ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker sehingga tak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok.

Apa lagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin-ling-san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih mau pun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin-ling-san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, yakni di bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai.

Mula-mula perkumpulan ini hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka makin lama makin membesar sehingga terkenallah Perkumpulan Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong juga menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.

Pemandangan dari lereng timur Cin-ling-san menakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar bagai seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei-ho yang mengalir ke timur. Bila memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta-pa-san di mana mengalir Sungai Han-shui. Di selatan tampaklah puncak Pegunungan Ta-pa-san dan Sungai Cia-ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.

Yang disebut Cin-ling-pai adalah sebuah dusun di lereng timur Cin-ling-san. Sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin-ling-pai, juga merupakan semacam kepala dusun yang sangat disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggota Cin-ling-pai, mulai dari kanak-kanak yang baru belajar berbicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biar pun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang.

Baik pakaiannya, sikap mau pun tutur sapanya sederhana sekali sehingga bila dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang dikenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut apa bila dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya jika orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.

Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat sebab namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dulu di waktu masih gadis berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia merupakan murid sekaligus puteri datuk golongan sesat, mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan)!

Di dalam cerita Siang Bhok Kiam atau Pedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja. Tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput.

Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi apa bila sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi. Biar pun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh-tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya!

Suami isteri yang gagah perkasa dan seperti petani yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada saat itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini amat cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, persis ibunya pada waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.

Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia bukanlah pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi.

Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias oleh anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik dan mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar.

Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memang kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.

"Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?" dia menuntut manja. "Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pernah bertemu dengan mereka?"

"Lain kali saja, manis," jawab ayahnya penuh kasih sayang. "Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, kau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin-ling-pai. Engkau sudah cukup dewasa!"

Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia sesudah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung.

********************

Sementara itu, tidak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pada pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu sesudah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit.

Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka, kemudian memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, yang ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggota Cin-ling-pai sudah biasa bersikap waspada dan berhati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.

Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. "Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin-ling-pai?"

Mendengar tutur sapa Kun Liong, empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana, "Dusun kami itulah Cin-ling-pai dan kami adalah anggota-anggota Cin-ling-pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin-ling-pai?"

Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin-ling-pai merupakan nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum saja dan berkata pula, "Tak ada keperluan dengan Cin-ling-pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin-ling-pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?"

Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya kembali dengan hati-hati, "Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?"

"Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia-supek."

Empat orang itu kelihatan terkejut sekali dan cepat-cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk. "Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah."

"Tidak mengapa, Paman, dan terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri," kata Kun Liong.

Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda itu melaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda sangat galak, dan meski pun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri sangat rajin dan suka bekerja!

Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanyalah merupakan sebuah dusun kecil dengan tidak banyak rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah saja. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti umumnya di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!

"Heeeiii! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?"

Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok dan mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.

"Ehhh...! Siapa kau...?" Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.

Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.

"Mau apa engkau? Kalau engkau adalah hwesio yang hendak minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!"

Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hmm, apakah karena dia cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapa pun cantiknya dia?

"Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang hendak minta derma!" Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!

Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan cahaya berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut semakin dalam, sedangkan bibir yang merah serta berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,

"Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!"

"Sialan! Aku bukan seorang hwesio!" Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak.

Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. "Bukan hwesio ya sudah, tidak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki banyak kutu rambut, atau mungkin juga kepalamu penuh kudis maka semua rambutmu kau buang!"

"Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?" Kun Liong lantas melangkah maju setindak.

Senyum ejekan itu makin melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, "Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?"

Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.

"Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!"

"Coba saja kalau berani!"

"Wah, sombongnya! Masa aku tak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti hmm... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm..." Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.

Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. "Seperti apa?! Hayo katakan kalau berani!" Kedua tangan yang tadinya bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.

Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, sepasang pipi itu menjadi kemerahan, persis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirnya dan dia berkata, "Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!"

"Keparat kau!"

Giok Keng sudah menerjang maju dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-benar sangat cepat luar biasa.

"Takkk!" Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng.

Berkat sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!

"Aihhh, ternyata kepala gundulmu keras juga, ya?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!

"Pukulanmu seperti tahu saja!" Dia balas mengejek sekaligus balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangan kanannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.

"Cih, kiranya engkau manusia cabul!" Giok Keng mengelak.

"Cabul hidungmu!" Kun Liong makin marah. "Siapa yang cabul?" Ia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?

"Gundul cabul tidak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!" Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang sangat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri supek-nya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.

"Ehh, tahan dulu...!”

“Plakk!"
Karena lengah, pundaknya kena dipukul dan membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa-apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.

"Nanti dulu…!”

“Desss…!" Kun Liong menangkis dengan keras sehingga kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang.

"Apakah engkau Keng?"

Giok Keng menghentikan serangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut pada dahi itu kacau-balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah. "Apa Keng?!" Dia membentak.

"Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin-ling-pai?"

"Banyak cerewet! Rasakan tanganku!"

Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia mempergunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biar pun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.

"Cusss!"

Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti bila terkena secara tepat, melainkan bergoyang dan menggigil sedikit.

Pemuda itu telah meloncat mundur kemudian berkata, "Hemm, engkau hendak mengajak berkelahi, ya? Aku adalah seorang laki-laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri."

"Kau laki-laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!"

"Wuussss...!"

Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang kembali dengan totokan-totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus-jurus San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San-in Kun-hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan-gerakan yang luar biasa lihainya.

Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sinkang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan.

Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini segera mainkan jurus dari Pat-hong Sin-kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andai kata dia diserang dari delapan jurusan sekali pun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi semakin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya, "Hayo, keluarkan Thi-khi I-beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."

"Eihhh...!" Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya.

Thi-khi I-beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau selamanya belum tentu akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasar lahir batinnya belum kuat benar. Tapi kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi-khi I-beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

"Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi-khi I-beng jika hanya melawan manusia semacam engkau!"

Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah dapat mendesak Kun Liong dengan totokan-totokan mautnya, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

"Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu-tahu menendang pinggul!"

"Mampuslah!" Giok Keng sudah menubruk maju.

"Ciaaattt…!" Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

"Aihhhh...!"

Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangannya sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya segera dibuka berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

"Aduhhh... curang kau, setan!" Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbarengan dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!

Sambil bertolak pinggang dan berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepala untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan akibat dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

"Hemmm, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!" Dia mengejek.

Biar pun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut untuk berbicara dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek!

"Kalau begitu, mengapa tidak kau bunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kau curangi sehingga tanpa tersangka-sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!"

"Setan gundul! Kau masih berani membuka mulut besar?"

"Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik namun galak, berhati baik akan tetapi pura-pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu saja berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kelak kuceritakan kepada ayah bundamu!"

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. "Ehh...? Kau... kau siapa?"

"Ayahmu adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoi-nya."

"Apa? Engkau... engkau she Yap?"

"Tidak ada keduanya!"

"Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"

"Hanya inilah orangnya!"

"Celaka! Mengapa kau tidak bilang semenjak tadi?" Tergopoh-gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi.

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. "Eh, kau jangan..."

"Namaku bukan eh!"

"Orang she Yap..."

"Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku seorang penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?"

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan hati jengkel, gerakan yang dia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini!

Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah-ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya amat keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

"Kun Liong..."

"Eh, ehh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"

"Kenapa lagi? Cerewet benar kau!"

"Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, itu berarti di antara kita masih ada hubungannya."

"Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"

"Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau-bau..."

"Bau apa? Kurang ajar kau!"

"Maksudku, masih bau-bau... ehhh… hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil..."

"Sombong! Apa kau kira engkau ini sudah kakek-kakek? Aku bukan anak kecil!"

"Kalau begitu engkau nenek-nenek!"

"Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!"

"Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw-sumoi, sedang aku adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"

Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal-gatal untuk menampar kepala gundul licin itu.

"Baiklah, Piauw-suheng!" Dia mengejek sambil membungkuk dengan lagak dibuat-buat. "Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"

Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka.

"Salah siapa? Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek-bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!"

"Aihhh... janganlah, Piauw-suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan terhadap piauw-sumoi-mu?"

"Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, sekarang malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"

"Piauw-suheng yang baik, kau maafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... ehhh..."

"Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu-ragu?" Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

"Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu tadi mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, bahkan pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling-pai. Bayangkan saja alangkah beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?"

Kun Liong merasa bagaikan dielus-elus, enak sekali rasanya. Akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. "Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf."

"Habis, harus bagaimana?" Giok Keng bertanya penasaran. "Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?"

Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan terhadap Hwi Sian, yaitu supaya dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Apa bila sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu!
Selanjutnya,

Petualang Asmara Jilid 08

Petualang Asmara Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu sudah siap untuk meninggalkan kuil tua melanjutkan perjalanan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan kaget seorang di antara para anggota Pek-lian-kauw di luar! Semua orang kecuali Kun Liong yang masih terbelenggu dan rebah meringkuk di atas lantai dingin, berlarian ke luar.

Kun Liong mendengar ada suara orang yang berbantahan di luar kuil, akan tetapi dia tidak dapat mendengar jelas dan tidak dapat melihat karena tak dapat bergerak dari tempat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat masuk. Cuaca masih suram karena hari masih sangat pagi dan sinar matahari baru sedikit menyinari ruangan dalam kuil itu di mana dia berada.

"Engkau Kun Liong, bukan?" Terdengar suara bayangan itu yang tidak begitu jelas bentuk wajahnya, namun bentuk tubuhnya jelas menunjukkan seorang dara remaja.

Tentu Hwi Sian, siapa lagi? Berdebar rasa jantung Kun Liong dan mukanya terasa panas sekali karena jengah teringat akan ciuman di kepalanya. Sebelum dia sempat menjawab pertanyaan aneh itu, karena kalau dia Hwi Sian perlu apa bertanya lagi apakah dia Kun Liong, dara remaja itu menggerakkan sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan... sekali tebas saja belenggu kaki di tangan Kun Liong putus semua! Bukan main hebatnya gerakan pedang ini!

Kun Liong menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa nyeri dan hampir mati rasa. Malam tadi totokan pada tubuhnya telah terbebas dengan sendirinya. Sekarang dia memandang terbelalak.

Dara ini bukan Hwi Sian! Sama sekali bukan, biar pun dara remaja yang agak lebih muda ini juga cantik sekali, cantik dan sikapnya tenang, bahkan agak dingin. Sikap dingin itu terasa sekali pada bentuk mulut dan dagunya yang mengeras, dan matanya yang keras seperti baja, memandang seperti tanpa perasaan.

"Kau... kau siapakah?"

"Engkau tentu lupa lagi kepadaku, setelah berpisah lima tahun. Aku Yo Bi Kiok."

"Aihh! Tentu saja aku lupa! Engkau sudah... eh, besar sekarang, sudah menjadi seorang dara yang... ahhh, cantik jelita!" Kun Liong berhenti ketika melihat sinar mata itu tiba-tiba menjadi tajam sekali ditujukan padanya. Maka cepat dia menyambungnya, "Dan engkau menjadi lihai sekali dengan pedangmu. Bi Kiok, bagaimana engkau bisa mengenalku?"

Bi Kiok menggerakkan pandang matanya dan tahulah Kun Liong. Kepalanya! Tentu saja, di dunia ini mana ada kepala gundul lain kecuali dia? Kalau ada pemuda gundul, tentu para hwesio.

Tak terasa lagi ia menggerakkan tangan mengelus kepalanya, memandang Bi Kiok sambil tersenyum.

"Terima kasih, Bi Kiok. Engkau telah dua kali menyelamatkan nyawaku. Yang pertama di sungai dahulu dan kini..."

"Sudahlah. Harap engkau cepat-cepat pergi dari sini. Kalau terlambat, aku benar-benar tak akan dapat menyelamatkan nyawamu lagi. Cepat pergi, Kun Liong dan jangan banyak bertanya!"

"Ah, mengapa begitu? Apakah aku tidak boleh bicara denganmu setelah pertemuan yang tak tersangka-sangka ini?"

"Tidak, jangan! Pergilah!"

"Hanya untuk mengucapkan terima kasih juga tidak boleh?"

Dara itu menghela napas. "Engkau bandel. Mereka semua akan mati, dan engkau juga kalau tidak lekas pergi!"

Melihat dara itu gelisah bukan main, Kun Liong menjadi tidak tega. Dia tidak takut akan ancaman maut, akan tetapi dia tidak mau menyusahkan hati dara yang sudah dua kali menolongnya ini.

"Baiklah, Bi Kiok. Aku pergi, akan tetapi terimalah ucapan terima kasihku kepadamu!"

Rasa terima kasih membuat Kun Liong memegang tangan kanan dara itu, lalu membawa tangan itu kepada... kepalanya yang gundul hingga terasa olehnya betapa telapak tangan yang halus hangat itu menyentuh gundulnya! Di dalam hatinya dia heran sekali, mengapa dia ingin sekali gundulnya disentuh oleh tangan dara ini? Akan tetapi Bi Kiok merasa geli dan menarik tangannya biar pun secara halus.

"Pergilah, Kun Liong."

"Kapan kita bertemu lagi, Bi Kiok?"

"Tidak mungkin bertemu lagi. Selamat berpisah!" Sesudah berkata demikian, dara itu lalu melangkah ke luar, di pintu membalik dan berkata, "Kau ambil jalan dari pintu belakang. Cepat!" Barulah dara itu meloncat ke depan dan tak nampak lagi.

Kun Liong segera menyelinap melalui belakang kuil, akan tetapi dia tidak pergi seperti sudah dipesan oleh Bi Kiok, melainkan berindap-indap menyelinap di antara pohon-pohon menuju ke luar kuil. Tak lama kemudian dia telah bersembunyi di belakang semak-semak sambil mengintai ke halaman kuil. Sepasang matanya terbelalak penuh kengerian ketika dia menyaksikan apa yang terjadi di halaman kuil tua itu.

Seorang wanita yang bertubuh pendek, sama tingginya dengan Bi Kiok yang baru berusia tiga belas tahun, akan tetapi wajah wanita itu menunjukkan bahwa dia telah berusia dua kali lebih, tampak berdiri di tengah halaman. Wajah wanita itu cantik dengan muka bulat, di punggungnya tampak sebatang pedang panjang agak melengkung, rambutnya panjang digelung secara aneh. Yang mengerikan adalah tangannya yang berlepotan darah itu menggenggam sepotong benda berdarah yang dimakannya dengan gigitan-gigitan kecil!

Di hadapan kakinya menggeletak sesosok mayat anak buah Pek-lian-kauw dengan dada robek, ada pun empat orang anggota Pek-lian-kauw lainnya masih mengurungnya dengan senjata di tangan, bersama Loan Khi Tosu, Ouw Ciang Houw dan Kiang Ti yang semua telah memegang senjata masing-masing menghadapi wanita cantik itu. Bi Kiok berdiri di pinggir, bersedakap dan menonton dengan wajah dingin!

Tiba-tiba saja Loan Khi Tosu mengeluarkan suara pekik dahsyat, itulah Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan. Akan tetapi wanita itu tidak bergoyang sedikit pun, bahkan menghadapi terjangan Loan Khi Tosu yang disusul teman-temannya, dia hanya bersikap seenaknya, menghabiskan benda berdarah yang dimakannya.

Setelah senjata tujuh orang itu berkelebatan dekat hampir mengenai tubuhnya, barulah wanita itu menyambutnya. Sisa benda berdarah itu digigitnya, kemudian kedua tangannya bergerak-gerak dan tiba-tiba sanggul rambutnya terlepas, rambut itu lalu berubah menjadi bayangan hitam yang menyambar ke sekelilingnya, jari-jari tangannya juga menyambar sehingga tampaklah darah muncrat-muncrat disusul pekik mengerikan berkali-kali.

Sebentar saja semua gerakan berhenti, dan Kun Liong yang bersembunyi memandang dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya terasa kering! Penglihatan di depannya itu terlalu menyeramkan!

Hanya Loan Khi Tosu dan Kiang Ti dua orang saja yang masih hidup, bangkit duduk dan cepat mengatur pernapasan. Lima orang yang lain, yaitu Ouw Ciang Houw Si Sastrawan Cabul dan empat orang anggota Pek-lian-kauw yang tadi mengeroyok, telah menggeletak malang-melintang dengan dada terobek dan jantung mereka kini sudah berada di tangan wanita itu!

"Tahukah engkau mengapa aku tidak membunuh kalian berdua?" Terdengar suara wanita itu sesudah dia menyemburkan sisa jantung pertama yang tadi digigitnya ke atas tanah. Mulutnya yang berlepotan darah itu amat mengerikan.

"Loan Khi Tosu, karena aku ingin engkau pergi dan menghadap Ketua Pek-lian-kauw lalu mengatakan bahwa kalau dia menghendaki bantuan Siang-tok Mo-li, dia harus bersikap lebih hormat dan mengundangku sendiri, dan kematian lima orang anak buahnya ini untuk peringatan bahwa meski pun aku suka bekerja sama, namun sama sekali aku bukanlah anak buah atau kaki tangan Pek-lian-kauw!"

Dengan susah payah Loan Khi Tosu bangkit, tongkatnya sudah patah-patah serta tulang pundaknya patah pula. "Pinto mengerti dan pesan Locianpwe akan pinto sampaikan pada ketua kami."

"Tolol kau, tosu busuk! Setua engkau menyebut aku Locianpwe? Aku adalah Nona Bu, mengerti?"

Tosu itu mengangguk-angguk dan menyeringai.

"Dan engkau orang she Kiang, aku tidak membunuhmu bukan karena aku takut terhadap Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, melainkan aku ingin engkau menyampaikan pesan kepada gurumu itu bahwa kalau aku memang mau, mudah saja aku membunuh murid kepalanya. Nah, kalian minggatlah!"

Dua orang itu melangkah pergi dengan terhuyung-huyung dan wanita itu terkekeh genit, kemudian dia memandang sambil menegur kepada Bi Kiok yang sejak tadi berdiri dengan kedua lengan bersedakap tanpa bergerak bagaikan patung, "Bi Kiok, mengapa engkau menolong Si Gundul itu?"

Bukan main kagetnya hati Kun Liong. Juga Bi Kiok diam-diam merasa kaget sekali biar pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu.

"Dia bukan segolongan dengan orang-orang ini, Subo," jawab Bi Kiok, suaranya dingin dan sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

"Hemm, kau kira aku tidak tahu akan hal itu? Semalam kulihat dia seorang pemuda yang bertulang baik dan berdarah bersih, tentu jantungnya lebih bermanfaat bagiku. Akan tetapi engkau sudah menolongnya dan membebaskannya. Ehh, Bi Kiok jangan main-main kau. Apakah engkau jatuh cinta kepada pemuda gundul yang tampan itu?"

Kembali Kun Liong kaget hingga tubuhnya terguncang. Bukan main perempuan itu. Amat mengerikan dan ganas, juga cerdik luar biasa. Entah mengapa dan bagaimana Bi Kiok sampai bisa menjadi murid Iblis betina yang menyeramkan itu.

"Tidak, Subo. Jangan Subo menyangka yang bukan-bukan. Karena melihat dia menjadi tawanan orang-orang ini, maka teecu menganggap bahwa Subo tak menghendakinya dan teecu melepaskan belenggunya."

"Untung bahwa kau tidak mencintanya. Kalau kau mencintanya, sekarang juga dia akan kubunuh dari tempat ini!"

Untuk ketiga kalinya Kun Liong kaget setengah mati. Celaka, agaknya wanita mengerikan itu tahu bahwa dia bersembunyi di situ. Jika tidak, mana mungkin wanita itu mengatakan dapat membunuh Kun Liong dari tempat dia berdiri?

"Mengapa begitu, Subo? Teecu tidak mencinta pada siapa-siapa, akan tetapi jika teecu mencintanya mengapa Subo hendak membunuhnya?"

"Pertanyaan yang tolol! Jatuh cinta kepada seorang pria berarti membunuh diri sekerat demi sekerat, tahukah engkau? Mencinta pria tidak ada gunanya sama sekali, karena di dunia ini tidak ada pria yang setia! Sebelum mendapatkan dirimu, pria bersumpah setinggi langit sedalam lautan, tetapi kalau sudah mendapatkan, matanya liar mencari perempuan lain. Tahu? Karena itu, jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada pria, dan kalau kelak engkau jatuh cinta jalan satu-satunya yang baik adalah membunuhnya, merubah cintamu menjadi benci. Mengerti?"

Bi Kiok tidak menjawab dan agaknya iblis betina itu pun tidak membutuhkan jawaban karena dia sudah mulai mengganyang lima buah jantung yang masih basah oleh darah itu, masing-masing digigit sepotong lalu dibuang sambil mengomel,

"Ihhh, jantung manusia-manusia celaka ini sama sekali tidak enak, terutama jantung dia yang berpakaian sastrawan ini!" Dia menggerakkan kakinya menendang.

"Prokkk!" Kepala mayat Ouw siucai remuk dan otaknya berantakan!

"Uweeekk…!"

Tak dapat ditahan lagi Kun Liong muntah-muntah di tempat persembunyiannya! Dia muak bukan main, tak dapat ditahannya lagi, bukan hanya muak melihat iblis betina itu makan jantung mentah, juga amat muak mendengar ucapannya.

"Ihhhh...!" Bi Kiok tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya karena dia sungguh tidak menyangka bahwa Kun Liong masih bersembunyi di tempat itu!

"Nah, kau lihat betapa menjemukan laki-laki!" Gurunya berkata lagi, "Untung engkau tidak mencintanya, kalau kau mencintanya, engkau kuharuskan membunuhnya sekarang juga. Karena kau sudah membebaskannya, kita harus menjaga gengsi! Biarlah dia bebas, akan tetapi sekali lagi kita berjumpa dengan bocah gundul itu, engkau ketuk kepala gundulnya sampai pecah!"

Kun Liong tak dapat menahan rasa panas yang membakar di dalam perutnya. Dia boleh mati dibunuh, akan tetapi tidak mungkin dia diam saja menelan penghinaan orang, meski pun orang itu sekejam iblis betina ini! Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dihina?

"Ehh, ehhh, nanti dulu! Aku tidak melakukan suatu kesalahan, mengapa tiada hujan tiada angin, tiada api tiada air, Bibi datang-datang lantas memaki-maki aku?" Kun Liong sudah melompat keluar dari balik semak-semak sambil mengusap mulutnya yang tadi muntah, memandang kepada iblis betina itu tanpa berkedip dan sedikit pun tidak merasa takut.

"Gundul buruk! Siapa bibimu?!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci membentak, terheran juga menyaksikan keberanian bocah gundul ini.

"Siapa lagi kalau bukan Siang-tok Mo-li, seorang di antara para datuk kaum sesat? Kalau tidak boleh disebut bibi, habis aku disuruh menyebut apa?"

"Swinggg... siuuuuttt...!"

Kun Liong sudah meramkan mata melihat sinar hitam dari rambut wanita itu menyambar dengan kecepatan yang mengerikan. Benar saja, dia merasa ada rambut-rambut halus panjang dan harum membelit seluruh tubuhnya, kemudian tubuhnya terangkat ke atas lalu berputar-putar seperti kitiran angin. Celaka, pikirnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan karena keempat anggota tubuhnya itu ikut terbelit. Sekali saja dibanting, akan remuk dia!

"Aku adalah Nona Bu, tahu?"

"Aku tahu, Nona Bu yang bisanya hanya membunuh orang yang tidak mampu melawan! Bisanya hanya menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan di atas tanah!"

"Apa kau bilang ? Bedebah busuk, kusiksa engkau sampai minta-minta ampun!"

"Siksalah. Siapa takut? Hal itu hanya akan menambah bukti bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal sebagai salah seorang di antara datuk-datuk hanyalah bernama kosong, yang suka melanggar janji sendiri!"

"Brukkk!" Tubuh Kun Liong dibanting ke atas tanah, akan tetapi tidak terlalu keras karena kata-kata pemuda itu sudah menikam ke dalam dada iblis betina itu.

"Bocah setan! Siapa bilang aku melanggar janji? Engkau tak akan kubunuh sekarang, hal itu tidak akan kulanggar, akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk tidak membuntungi kedua kakimu! Aku akan membiarkan kau hidup, akan tetapi tulang-tulang kedua buah kakimu akan kubikin remuk sehingga engkau akan menjadi seorang buntung yang tidak ada gunanya!"

"Aku hanya bisa mengatakan sayang, karena hal itu menunjukkan bahwa engkau tidak berani menghadapi kenyataan!" Kun Liong menjawab dengan sikap tenang, seakan-akan ancaman dibuntungi kedua kakinya itu hanya seperti mendengar dibuntungi rambut atau kuku jarinya saja!

"Kenyataan apa yang kau maksudkan?"

Kun Liong yang cerdik sudah mendapatkan akal dan dia menjawab tenang. "Aku sudah pernah bertemu dengan seorang di antara datuk-datuk yang tersohor itu selain engkau."

"Ihhh…! Benarkah? Siapa yang kau jumpai?"

"Yang amat sakti Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok sendiri, bersama puteranya, Ouwyang Bouw!"

Iblis betina itu benar benar tertarik sekali. Dia tahu akan kelihaian raja ular itu, dan merasa heran bahwa pemuda itu masih hidup setelah bertemu dengan ayah dan anak itu.

"Bohong kau! Kau hanya mendengar nama mereka dari orang lain saja! Hemmm, untuk kebohonganmu itu, bukan hanya kedua kaki, juga salah sebuah lenganmu akan kubikin buntung!"

Kalau Kun Liong mengenal wanita iblis ini, tentu dia akan menjadi pucat seperti Bi Kiok, karena iblis betina ini tidak pernah mengancam dan selalu akan melaksanakan semua kata-katanya. Akan tetapi Kun Liong tetap tenang dan menjawab,

"Siapa bohong? Ban-tok Coa-ong orangnya tinggi kurus seperti ular, dia memiliki terompet aneh dan pedang ular, matanya sipit, lehernya panjang dapat berputar-putar."

Dia lalu menceritakan dengan jelas keadaan kakek raja ular itu dan puteranya. Karena dia memang pernah bertemu dengan mereka, tentu saja dia dapat bercerita dengan tepat sehingga wanita iblis itu percaya.

"Akan tetapi dibandingkan dengan Siang-tok Mo-li, Raja Ular itu masih kalah jauh, kalah kejam, kalah menyeramkan, dan agaknya melihat gerakan-gerakan tadi, dia masih kalah sakti. Hanya aku ingin sekali bertemu dengan para datuk yang lain, Kukira engkau tidak akan sehebat mereka itu, terutama Si Bayangan Hantu..."

"Boleh! Aku membiarkan engkau pergi dan boleh kau saksikan sendiri. Kelak masih belum terlambat bagiku untuk mencari bocah gundul macam engkau untuk kuganyang otak dan jantungmu! Bi Kiok, hayo pergi, bocah ini menjemukan sekali!"

Iblis betina itu kemudian menggandeng tangan muridnya dan sekali berkelebat dia lenyap. Agaknya dia ingin memamerkan ginkangnya yang luar biasa kepada Kun Liong!

Kun Liong tersenyum seorang diri. Akalnya berhasil. Untung bahwa dia tadi mengintai dan mendengarkan ucapan iblis betina itu terhadap Kiang Ti dan Loan Khi Tosu. Kalau tidak tentu dia tidak akan dapat menggunakan akal itu, karena dia tentu tidak mengenal watak iblis itu.

Dari ucapan iblis tadi dia dapat mengerti bahwa di samping kelihaian dan kekejamannya, iblis betina itu memiliki watak angkuh dan tinggi hati, tidak mau dikalahkan. Karena itulah maka dia sengaja membakar hati iblis betina itu yang tentu saja menjadi penasaran dan membebaskan pemuda itu hanya untuk memberinya kesempatan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Siang-tok Mo-li tidak kalah dibandingkan dengan datuk lainnya!

Akan tetapi Kun Liong juga merasa menyesal sekali mengapa dara seperti Bi Kiok sampai menjadi murid iblis itu.

"Aihh, kasihan engkau, Bi Kiok." Kun Liong mengeluh dan memandang ke arah tempat dara itu tadi berdiri seperti arca.

Tampak olehnya sesuatu di atas lantai batu depan kuil di mana tadi dara itu berdiri. Cepat dia menghampiri dan ternyata di atas lantai di mana Bi Kiok tadi berdiri terdapat guratan-guratan huruf yang agaknya dibuat dengan kaki dara itu. Menggurat lantai dengan kaki mengukir huruf itu saja sudah membuktikan betapa lihai dara itu, agaknya jauh lebih lihai dari pada Lim Hwi Sian, dara remaja pendekar Secuan itu! Kun Liong cepat membaca guratan huruf-huruf itu.

Jangan bicara tentang bokor kepada siapa pun juga agar nyawamu selamat!’.

Kun Liong menggaruk kepalanya yang gundul. Dia sudah cukup cerdik untuk mengerti betapa bokor yang dia temukan di dasar Sungai Huang-ho itu dijadikan perebutan orang, dan tentu saja dia tak mau sembarangan membicarakannya. Bokor itu telah disimpannya dengan aman.

Akan tetapi dia juga merasa heran sekali mengapa Bi Kiok yang tadinya terancam oleh gurunya yang seperti iblis, masih mempedulikan dia bahkan meninggalkan pesan yang berbahaya ini? Tentu saja akan menjadi berbahaya sekali kalau iblis betina itu tahu akan perbuatan muridnya itu. Mengapa Bi Kiok selalu menolongnya?

Teringat dia akan pertanyaan Si Iblis Betina kepada muridnya apakah dara remaja itu mencinta dia! Dan teringat akan ini, Kun Liong melebarkan matanya dan tersenyum kecut. Mana mungkin seorang dara secantik Bi Biok jatuh cinta kepada seorang gundul plontos seperti dia! Akan tetapi mengapa pula Bi Kiok selalu menolongnya, bahkan berani mati meninggalkan pesan itu? Betulkah dia mencinta? Atau setidak-tidaknya kasihan atau suka kepadanya.

"Plakkk!" Gundul yang bersih itu kembali dicium tamparan telapak tangannya sendiri.

"Wah, gundul! Untungmu memang besar sekali!" Kun Liong berkata demikian dengan wajah berseri-seri.

Dia teringat akan Souw Li Hwa yang bersikap manis dan memuji gundulnya, teringat akan Lim Hwi Sian yang bahkan suka mencium gundulnya, kini teringat akan Bi Kiok yang juga suka kepadanya. Aihhhh, mengapa hanya gadis-gadis cantik melulu yang bersikap manis kepadanya?

Dengan langkah-langkah ringan, seringan hatinya yang mengenangkan wajah tiga orang dara remaja yang cantik-cantik itu, Kun Liong lalu melanjutkan perjalanannya ke selatan, menuju Cin-ling-san yang tak berapa jauh lagi.

********************

Cin-ling-san merupakan pegunungan yang tidak berapa tinggi, tidak setinggi Pegunungan Kun-lun-san, Tang-la-san, Heng-tuan-san atau bahkan Ci-lian-san yang konon kabarnya puncak-puncaknya menjulang tinggi sampai memasuki langit! Akan tetapi, justru karena tinggi puncaknya tidak menembus awan itulah yang membuat Pegunungan Cin-ling-san merupakan daerah yang selain indah juga sangat subur tanahnya, sangat sejuk nyaman hawanya.

Beberapa tahun yang lalu, sebelum Cin-ling-pai (Perkumpulan Cin-ling) terbentuk oleh Pendekar Besar Cia Keng Hong dan isterinya, pegunungan ini merupakan daerah angker sehingga tak ada orang berani mendaki pegunungan ini yang selain penuh dengan hutan yang dihuni binatang liar itu, juga menjadi sarang kawanan perampok.

Apa lagi ketika mendiang Nenek Tung Sin Nio tinggal di lereng sebelah timur Cin-ling-san, tidak ada seorang pun, baik orang berilmu golongan bersih mau pun sesat, yang berani mendekati daerah itu. Nenek Tung Sun Nio adalah guru ke dua dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

Memang di seluruh daerah Pegunungan Cin-ling-san ini, lereng timur merupakan bagian yang paling indah pemandangannya dan paling subur tanahnya. Karena itu, di tempat ini pula, yakni di bekas tempat pertapaan Nenek Tung Sun Nio, Cia Keng Hong mendirikan perkumpulan Cin-ling-pai.

Mula-mula perkumpulan ini hanya merupakan kelompok petani yang berlindung di bawah wibawa suami isteri pendekar itu. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka makin lama makin membesar sehingga terkenallah Perkumpulan Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong juga menurunkan ilmu silat kepada pemuda-pemuda yang tinggal di situ.

Pemandangan dari lereng timur Cin-ling-san menakjubkan sekali. Memandang ke utara tampak samar-samar bagai seekor ular biru yang panjang, yang bukan lain adalah Sungai Wei-ho yang mengalir ke timur. Bila memandang ke timur tampak pula kaki Pegunungan Ta-pa-san di mana mengalir Sungai Han-shui. Di selatan tampaklah puncak Pegunungan Ta-pa-san dan Sungai Cia-ling yang airnya agak kuning. Di barat tampak menjulang tinggi puncak Pegunungan Min-san yang terkenal itu.

Yang disebut Cin-ling-pai adalah sebuah dusun di lereng timur Cin-ling-san. Sedangkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong serta isterinya yang diangkat menjadi Ketua Cin-ling-pai, juga merupakan semacam kepala dusun yang sangat disegani dan dihormati, akan tetapi juga dicinta oleh semua penduduk dusun di situ. Penduduk dusun ini juga menyebut diri mereka anggota Cin-ling-pai, mulai dari kanak-kanak yang baru belajar berbicara sampai kakek-kakek yang sudah pikun!

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar yang usianya pada waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun. Wajahnya masih tampak gagah dan tampan, dengan tubuh sedang dan biar pun sudah mendekati empat puluh tahun, tidak seperti sebagian besar kaum pria setengah tua, pinggangnya masih ramping dan dadanya bidang.

Baik pakaiannya, sikap mau pun tutur sapanya sederhana sekali sehingga bila dipandang sepintas lalu, tidaklah pantas kalau dia itu Cia Keng Hong yang dikenal oleh setiap orang di dunia persilatan, lebih patut apa bila dia itu seorang sastrawan dusun, atau seorang terpelajar yang mengundurkan diri dan hidup sebagai petani sederhana. Hanya jika orang memperhatikan sinar matanya dan mendengarkan ucapannya, barulah orang tahu bahwa dia bukanlah orang biasa dan dari pribadinya mencuat keluar wibawa yang berpengaruh.

Isteri pendekar itu pun bukan orang biasa. Bahkan mungkin sekali namanya lebih banyak dikenal, terutama di kalangan kaum sesat sebab namanya pernah membuat setiap orang yang mendengar menjadi ketakutan. Isteri pendekar itu bernama Sie Biauw Eng dan dulu di waktu masih gadis berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) karena pakaiannya selalu serba putih. Namanya terkenal sekali karena dia merupakan murid sekaligus puteri datuk golongan sesat, mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan)!

Di dalam cerita Siang Bhok Kiam atau Pedang Kayu Harum diceritakan riwayat Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini sebelum menjadi isteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong! Kini usia Sie Biauw Eng sudah kurang lebih tiga puluh lima tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik, seperti seorang wanita muda berusia kurang dari tiga puluh tahun saja. Tubuhnya masih tetap ramping, tegap berisi dengan kulit halus tanpa noda keriput.

Sikapnya kadang-kadang masih agak dingin dan kadang-kadang amat galak, akan tetapi apa bila sudah timbul ramahnya, dia halus budi dan lemah gemulai seperti seorang dewi. Biar pun tingkat ilmu silatnya tidak setinggi suaminya, namun di dunia kang-ouw namanya terkenal sekali dan agaknya tidak banyak tokoh-tokoh dunia persilatan yang akan mampu menandinginya. Cantik dan halus gerak-geriknya, wanita cantik yang lemah tampaknya, akan tetapi sekali dia mengamuk, jarang ada pendekar yang berani mendekatinya!

Suami isteri yang gagah perkasa dan seperti petani yang hidup rukun saling mencinta ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cia Giok Keng yang pada saat itu telah berusia empat belas tahun lebih. Dara remaja ini amat cantik seperti ibunya, juga berani mati, tidak mengenal takut dan galaknya seperti harimau, persis ibunya pada waktu muda. Namun berbeda dengan ibunya yang pendiam dan kelihatan dingin, Giok Keng ini lincah gembira dan pandai sekali bicara, pandai berdebat seperti ayahnya.

Pada pagi hari itu, Giok Keng berada di rumah dan duduk melamun. Seperti biasanya pagi-pagi sekali dia sudah bangun, mandi dan mengenakan pakaian bersih. Dia bukanlah pesolek, akan tetapi seperti ibunya, dia suka akan pakaian yang bersih dan rapi.

Rambutnya dibelah menjadi dua dikuncir di sebelah belakang, anak rambutnya berjuntai di depan, menutupi dahi dengan rapi sekali. Telinganya dihias oleh anting-anting bermata kemala hijau, sepatunya tinggi, terbuat dari kulit. Cantik dan mungil dara remaja ini, segar bagaikan sekuntum bunga mawar hutan yang menguncup dan mulai mekar.

Akan tetapi pagi itu, tidak seperti biasanya, dia duduk melamun, mulutnya agak cemberut dan alisnya berkerut. Hatinya memang kesal sekali. Ayah dan ibunya pergi dan dia tidak diperbolehkan ikut. Sudah tiga hari mereka pergi, katanya hendak pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi Yap Cong San.

"Mengapa saya tidak boleh ikut mengunjungi Paman Yap Cong San, Ayah?" dia menuntut manja. "Bukankah kata Ayah dan Ibu, Paman Yap adalah keluarga terdekat, dan sampai sekarang pun saya belum pernah bertemu dengan mereka?"

"Lain kali saja, manis," jawab ayahnya penuh kasih sayang. "Kalau kau ikut pergi, siapa yang akan menjaga rumah dan bertanggung jawab di sini? Sekali ini, kau harus mewakili Ayah Ibumu, menjaga Cin-ling-pai. Engkau sudah cukup dewasa!"

Jawaban yang cerdik ini menyudutkan Giok Keng. Dia ditinggalkan, akan tetapi sekaligus diangkat menjadi wakil! Tentu saja dia tidak sanggup membantah lagi dan pada pagi hari itu, setelah tiga hari lamanya dia merasakan kesunyian yang membuat hatinya mengkal, pagi-pagi dia sesudah mandi duduk di ruangan depan rumahnya sambil bertopang dagu dan termenung.

********************

Sementara itu, tidak jauh dari situ, di luar dusun Kun Liong bertemu dengan beberapa orang penduduk yang sedang menuju ke sawah dengan wajah gembira karena pada pagi hari itu udara cerah dan hawanya sangat sejuk. Dengan susah payah, bertanya-tanya, akhirnya pagi hari itu Kun Liong sudah sampai di luar dusun itu sesudah malam tadi dia melewatkan malam dingin di dalam hutan di lereng bukit.

Empat orang petani itu menghentikan langkah mereka, kemudian memandang Kun Liong dengan heran. Jarang ada orang luar daerah datang berkunjung, kecuali para pedagang yang hendak membeli daun-daun dan akar-akar obat, yang ditukar dengan segala macam benda dari kota yang mereka butuhkan. Karena mereka tidak tahu apakah pemuda itu seorang hwesio yang berpakaian biasa ataukah seorang pemuda biasa yang berkepala gundul, empat orang itu hanya memandang dan bersikap waspada. Semua penduduk atau anggota Cin-ling-pai sudah biasa bersikap waspada dan berhati-hati sesuai dengan petunjuk ketua mereka.

Kun Liong segera mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dibalas oleh empat orang itu dengan gerakan yang sama. "Sudikah Cuwi (Anda Sekalian) menunjukkan kepada saya di mana adanya Cin-ling-pai?"

Mendengar tutur sapa Kun Liong, empat orang dusun itu saling pandang. Mereka tidak pernah mengenal huruf dan kesopan santunan kota, dan ketua mereka pun tidak berniat mengubah kewajaran orang-orang dusun itu. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang baik, maka seorang di antara mereka menjawab sederhana, "Dusun kami itulah Cin-ling-pai dan kami adalah anggota-anggota Cin-ling-pai. Ada keperluan apakah engkau mencari Cin-ling-pai?"

Kun Liong menyembunyikan rasa herannya. Cin-ling-pai merupakan nama perkumpulan, bagaimana mungkin sebuah dusun disebut perkumpulan? Dia hanya tersenyum saja dan berkata pula, "Tak ada keperluan dengan Cin-ling-pai, hanya saja ingin menghadap Ketua Cin-ling-pai. Bukankah ketuanya bernama Cia Keng Hong?"

Kini empat orang itu memandang penuh kecurigaan, dan orang yang tertua tadi bertanya kembali dengan hati-hati, "Kalau boleh aku bertanya, ada hubungan apakah antara Anda dengan ketua kami?"

"Dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong? Ahh, saya hanyalah murid keponakannya, ibu saya adalah sumoi dari Cia-supek."

Empat orang itu kelihatan terkejut sekali dan cepat-cepat mereka memberi hormat dengan membungkuk. "Aihh, harap Sicu (Tuan Yang Gagah) sudi memaafkan kami. Rumah Cia taihiap berada di dalam dusun kami, rumah besar yang bercat kuning di tengah dusun. Maaf, kami tidak dapat mengantar karena kami hendak melaksanakan tugas pekerjaan kami di sawah."

"Tidak mengapa, Paman, dan terima kasih atas kebaikan Paman, saya akan mencarinya sendiri," kata Kun Liong.

Empat orang dusun itu bergegas pergi menuju ke sawah. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda itu melaporkan bahwa mereka kurang pagi berangkat atau bermalas-malasan. Nona muda sangat galak, dan meski pun hidup mereka di situ tidak ditekan, namun nona muda paling tidak suka melihat orang malas karena dia sendiri sangat rajin dan suka bekerja!

Kun Liong memasuki dusun dan mudah saja dia menemukan rumah besar bercat kuning karena dusun itu ternyata hanyalah merupakan sebuah dusun kecil dengan tidak banyak rumah-rumah, paling banyak ada lima puluh buah rumah saja. Dia memasuki pekarangan rumah yang lebar dan penuh dengan tanaman bunga yang amat indah. Bunga-bunga di sini segar dan sehat seperti umumnya di tempat-tempat dingin, dan dia harus mengagumi kepandaian orang yang mengatur taman depan rumah itu. Tidak kalah oleh taman-taman milik orang bangsawan di kota agaknya!

"Heeeiii! Mau apa kau longak-longok di tamanku? Apakah engkau mau mencuri bunga? Mau malas-malasan tidak bekerja, ya?"

Kun Liong terkejut sekali. Tadi dia berjongkok dan mencium setangkai bunga mawar yang amat indahnya, warna merah muda dan berbau harum. Dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya.

"Ehhh...! Siapa kau...?" Dara remaja yang berdiri di ruangan depan rumah itu bertolak pinggang dan mengerutkan alisnya.

Kun Liong cepat melangkah maju dan naik anak tangga ke ruangan depan, menghadapi dara remaja itu dengan sinar mata kagum. Dara remaja ini bukan main cantiknya! Seperti bunga mawar tadi, segar kemerahan dan harum! Dan seperti mawar yang berduri, dara ini pun agak galak! Entah mengapa, pribadi dara ini mengeluarkan daya tarik yang membetot semangatnya, membuat Kun Liong hanya berdiri terlongong di depannya.

"Mau apa engkau? Kalau engkau adalah hwesio yang hendak minta derma, sebutkan di mana kuilmu dan siapa ketua kuil yang mengutusmu!"

Merah muka Kun Liong, merah juga kepalanya yang gundul dan perutnya terasa panas! Datang-datang dia disambut penghinaan oleh dara cantik ini! Sombongnya! Hmm, apakah karena dia cantik jelita dan agaknya menjadi orang penting di rumah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, bocah ini boleh menghinanya sembarangan saja? Dia seorang laki-laki yang tidak takut apa-apa, masa datang-datang dihina oleh seorang bocah perempuan, betapa pun cantiknya dia?

"Eh, eh, jangan sembarangan menyangka orang. Aku bukan hwesio dan aku sama sekali bukan datang hendak minta derma!" Kata-kata ini diucapkan dengan marah karena Kun Liong merasa terhina sekali disangka minta derma!

Sepasang mata yang seperti mata burung hong itu mengeluarkan cahaya berapi, dan alis yang melengkung indah itu berkerut semakin dalam, sedangkan bibir yang merah serta berbentuk gendewa terpentang itu mencibir runcing, kemudian membentak,

"Kalau bukan hwesio mengapa kepalamu gundul? Tentu engkau hwesio yang menyamar dan kalau ada pendeta menyamar berarti hatinya mengandung niat buruk. Berbahaya!"

"Sialan! Aku bukan seorang hwesio!" Kun Liong juga membentak marah, matanya yang lebar terbelalak.

Giok Keng tersenyum. Manis sekali senyumnya, akan tetapi juga menusuk jantung karena di balik senyum manis ini tampak jelas maksud mengejek. "Bukan hwesio ya sudah, tidak perlu menggonggong! Kalau bukan hwesio, tentu engkau seorang pemuda yang memiliki banyak kutu rambut, atau mungkin juga kepalamu penuh kudis maka semua rambutmu kau buang!"

"Bocah perempuan sombong! Engkau menghina, ya?" Kun Liong lantas melangkah maju setindak.

Senyum ejekan itu makin melebar dan tampak jelas dara itu mengangkat dada ke depan, membusungkan dada yang sudah mulai membusung itu, sambil berkata, "Kalau benar aku menghina, habis engkau mau apa?"

Makin panas rasa perut Kun Liong. Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikirnya.

"Kalau engkau menghina, aku pun bisa menghinamu!"

"Coba saja kalau berani!"

"Wah, sombongnya! Masa aku tak berani membalas seorang bocah perempuan sombong seperti engkau? Engkau memang cantik seperti hmm... bunga mawar, akan tetapi banyak sekali durinya. Engkau cantik akan tetapi galak seperti... hemmm..." Kun Liong memutar otak untuk mencari perbandingan agar dapat balas menghina.

Muka Giok Keng sudah mulai merah dan dia membanting kaki kanannya. "Seperti apa?! Hayo katakan kalau berani!" Kedua tangan yang tadinya bertolak pinggang sudah turun dan dikepal menjadi dua tinju kecil.

Senang hati kun Liong melihat dara itu mulai marah. Makin manis kalau marah, pikirnya, sepasang pipi itu menjadi kemerahan, persis bunga mawar. Biar dia bertambah marah, pikirnya dan dia berkata, "Seperti... kucing betina kehilangan tanduk!"

"Keparat kau!"

Giok Keng sudah menerjang maju dengan pukulan kilat ke arah kepala gundul Kun Liong. Pemuda ini mengelak, namun kalah cepat karena gerakan gadis ini benar-benar sangat cepat luar biasa.

"Takkk!" Kepala Kun Liong yang gundul kena diketak (dipukul dengan buku jari) tangan kanan Giok Keng.

Berkat sinkang yang dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu, kepala itu terlindung dan tidak terluka, akan tetapi kulit kepalanya terasa nyeri sehingga Kun Liong meringis. Akan tetapi Giok Keng juga menyeringai kesakitan ketika buku jari tangannya bertemu dengan batok kepala yang amat keras!

"Aihhh, ternyata kepala gundulmu keras juga, ya?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan bukan untuk mengejek, melainkan karena terheran dan dengan sungguh-sungguh, akan tetapi membuat Kun Liong makin marah. Tidak saja kepalanya diketak, akan tetapi juga diejek!

"Pukulanmu seperti tahu saja!" Dia balas mengejek sekaligus balas pula menyerang, akan tetapi karena dia tidak ingin memukul, dia hanya menggunakan tangan kanannya untuk mendorong pundak dara itu dengan tangan terbuka.

"Cih, kiranya engkau manusia cabul!" Giok Keng mengelak.

"Cabul hidungmu!" Kun Liong makin marah. "Siapa yang cabul?" Ia menjadi makin marah dan mukanya makin merah. Dorongan ke pundak dikatakan cabul, apakah dia disangka akan menggunakan tangannya untuk memegang apa?

"Gundul cabul tidak tahu malu! Rasakan hajaran Nona Cia!" Giok Keng kini menyerang dengan gerakan yang sangat cepatnya sehingga Kun Liong sibuk mengelak ke sana sini. Juga dia kaget setengah mati mendengar bahwa dara di depannya ini adalah Nona Cia. Berarti puteri supek-nya! Dia sudah mendengar sepintas lalu dari ayah ibunya bahwa Cia Keng Hong mempunyai seorang puteri kalau tidak salah ingat namanya pakai Keng keng begitu.

"Ehh, tahan dulu...!”

“Plakk!"
Karena lengah, pundaknya kena dipukul dan membuat dia terhuyung, akan tetapi tidak apa-apa. Hal ini membuat Giok Keng heran dan penasaran, maka dia menerjang lagi.

"Nanti dulu…!”

“Desss…!" Kun Liong menangkis dengan keras sehingga kini Giok Keng yang terhuyung karena Kun Liong menggunakan sinkang.

"Apakah engkau Keng?"

Giok Keng menghentikan serangannya, dahinya berkeringat sehingga anak rambut pada dahi itu kacau-balau dan melekat seperti dilukis, matanya berkilat dan pipinya bertambah merah. "Apa Keng?!" Dia membentak.

"Bukankah namamu memakai Keng-keng begitu? Kau puteri Ketua Cin-ling-pai?"

"Banyak cerewet! Rasakan tanganku!"

Giok Keng sudah menyerang lagi dan karena dia dapat menduga bahwa pemuda gundul ini lihai juga serta memiliki kekebalan sehingga dapat menahan pukulannya, maka kini dia mempergunakan dua jari tangan kanan kiri, melakukan serangan dengan totokan-totokan yang cepat sekali. Biar pun kebal, jalan darahnya tentu tidak kebal, pikirnya.

"Cusss!"

Serangan bertubi tubi itu akhirnya berhasil dan dada kanan Kun Liong kena ditotok. Akan tetapi karena jalan darah yang ditotoknya itu tidak kena dengan tepat, tubuh Kun Liong tidak menjadi kaku seperti bila terkena secara tepat, melainkan bergoyang dan menggigil sedikit.

Pemuda itu telah meloncat mundur kemudian berkata, "Hemm, engkau hendak mengajak berkelahi, ya? Aku adalah seorang laki-laki sejati, tidak mau memukul perempuan, akan tetapi aku harus membela diri."

"Kau laki-laki apa? Cerewetnya melebihi seorang nenek bawel. Mampuslah!"

"Wuussss...!"

Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang kembali dengan totokan-totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus-jurus San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San-in Kun-hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan-gerakan yang luar biasa lihainya.

Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sinkang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan.

Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini segera mainkan jurus dari Pat-hong Sin-kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andai kata dia diserang dari delapan jurusan sekali pun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin).

Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi semakin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya, "Hayo, keluarkan Thi-khi I-beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."

"Eihhh...!" Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya.

Thi-khi I-beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau selamanya belum tentu akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasar lahir batinnya belum kuat benar. Tapi kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi-khi I-beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

"Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi-khi I-beng jika hanya melawan manusia semacam engkau!"

Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah dapat mendesak Kun Liong dengan totokan-totokan mautnya, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

"Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu-tahu menendang pinggul!"

"Mampuslah!" Giok Keng sudah menubruk maju.

"Ciaaattt…!" Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

"Aihhhh...!"

Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangannya sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya segera dibuka berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

"Aduhhh... curang kau, setan!" Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbarengan dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!

Sambil bertolak pinggang dan berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepala untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan akibat dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

"Hemmm, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!" Dia mengejek.

Biar pun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut untuk berbicara dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek!

"Kalau begitu, mengapa tidak kau bunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kau curangi sehingga tanpa tersangka-sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!"

"Setan gundul! Kau masih berani membuka mulut besar?"

"Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik namun galak, berhati baik akan tetapi pura-pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu saja berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kelak kuceritakan kepada ayah bundamu!"

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. "Ehh...? Kau... kau siapa?"

"Ayahmu adalah Supek-ku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoi-nya."

"Apa? Engkau... engkau she Yap?"

"Tidak ada keduanya!"

"Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"

"Hanya inilah orangnya!"

"Celaka! Mengapa kau tidak bilang semenjak tadi?" Tergopoh-gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi.

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. "Eh, kau jangan..."

"Namaku bukan eh!"

"Orang she Yap..."

"Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku seorang penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?"

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan hati jengkel, gerakan yang dia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini!

Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah-ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya amat keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

"Kun Liong..."

"Eh, ehh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"

"Kenapa lagi? Cerewet benar kau!"

"Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, itu berarti di antara kita masih ada hubungannya."

"Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"

"Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau-bau..."

"Bau apa? Kurang ajar kau!"

"Maksudku, masih bau-bau... ehhh… hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil..."

"Sombong! Apa kau kira engkau ini sudah kakek-kakek? Aku bukan anak kecil!"

"Kalau begitu engkau nenek-nenek!"

"Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!"

"Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw-sumoi, sedang aku adalah piauw-suheng-mu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"

Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal-gatal untuk menampar kepala gundul licin itu.

"Baiklah, Piauw-suheng!" Dia mengejek sambil membungkuk dengan lagak dibuat-buat. "Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"

Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka.

"Salah siapa? Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek-bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!"

"Aihhh... janganlah, Piauw-suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan terhadap piauw-sumoi-mu?"

"Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, sekarang malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"

"Piauw-suheng yang baik, kau maafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... ehhh..."

"Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu-ragu?" Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

"Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu tadi mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, bahkan pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling-pai. Bayangkan saja alangkah beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?"

Kun Liong merasa bagaikan dielus-elus, enak sekali rasanya. Akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. "Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf."

"Habis, harus bagaimana?" Giok Keng bertanya penasaran. "Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?"

Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan terhadap Hwi Sian, yaitu supaya dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Apa bila sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu!
Selanjutnya,