PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 49
Karya Singgih Hadi Mintardja
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 49
Karya Singgih Hadi Mintardja
SEJENAK kemudian perlahan-lahan Kebo Ijo berdiri dengan dua kaki gemetar. Terhuyung-huyung ia melangkah mendekati Ken Arok. Sejenak ia berpaling. Ketika dilihatnya istrinya tidak berada di dekatnya, ia berkata lirih, “Keris itu hilang Ken Arok.”
Ken Arok meloncat berdiri. Wajahnya menjadi semakin tegang.
“Duduklah, duduklah,” desis Kebo Ijo, “aku tidak mau membuat istriku menjadi gila.”
Ken Arok tidak segera menyahut, tapi wajahnya yang tegang itu menjadi semakin tegang.
“Duduklah,” desis Kebo Ijo.
Perlahan-lahan Ken Arok duduk kembali di tempatnya. Wajahnya masih tetap tegang. Namun di dalam hati ia menjadi sangat heran. Kebo Ijo yang cepat sekali dibakar oleh perasaannya itu, mampu menahan hati menghadapi kenyataan yang tak diduga-duganya. Anak bengal itu masih juga mampu berpikir, bahwa ia tidak mau membuat istrinya menjadi gila karena persoalannya itu. Ken Arok pun kemudian ikut menjadi gemetar. Kebo Ijo harus mendapat kesan bahwa ia terkejut sekali mendengar keterangan bahwa keris itu benar-benar telah hilang.
“Keris itu telah lenyap, Ken Arok,” sekali lagi Kebo Ijo berdesis.
Sejenak Ken Arok masih berdiam diri. Seakan-akan ia sedang dicengkam oleh perasaannya yang tidak dapat dikuasainya lagi. “Kebo Ijo,” berkata Ken Arok dengan suara gemetar, “aku juga melihat keris yang tertancap di dada Akuwu. Aku segera menjadi gelisah. Keris itu mirip benar dengan kerisku yang ada di tanganmu. Tetapi aku percaya bahwa kau tidak akan melakukannya. Itulah sebabnya aku menolak untuk membawa sepasukan prajurit, untuk menangkapmu. Aku menyangka, bahwa keris itu hanya sekedar mirip dengan kerisku itu. Tetapi ternyata keris itu sudah tidak ada lagi di dalam simpanan.”
Kebo Ijo tidak segera menyahut, ia kini duduk di samping Ken Arok dengan kepala tunduk.
“Kebo Ijo,” desis Ken Arok, “hampir setiap orang dapat mengatakan, bahwa keris itu adalah kerismu. Agaknya kau pernah memperlihatkan keris itu kepada banyak orang, Di dalam bilik Akuwu yang penuh dengan para pemimpin tertinggi Tumapel aku tidak sempat mengamat-amati keris itu dengan baik. Apalagi aku yakin, bahwa keris itu hanya sekedar bersamaan bentuk, karena aku yakin, aku yakin Kebo Ijo, bahwa kau tidak akan melakukannya. Ya, aku yakin bahwa kau akan dapat membuktikannya dengan membawa keris itu ke istana. Tetapi…”
Ken Arok berhenti berbicara. Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat mengerti kenapa keris di dalam geledeg itu tiba-tiba saja tidak ada di tempatnya. Sejenak kemudian terdengar, ia bergumam dalam nada yang dalam, “Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat, terjadi?”
“Lihatlah Kebo Ijo, apakah ada pencuri yang masuk ke rumah ini?”
Kebo Ijo menggeleng, “Tidak. Tidak ada apapun yang hilang dari rumah ini selain keris itu. Agaknya semua masih dalam keadaan semula. Tidak ada dinding yang pecah, atau tanah yang tergali.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lalu apakah kira-kira yang terjadi? Persoalan ini bukan sekedar persoalan hilangnya keris itu Kebo Ijo. Kau agaknya menganggap hal ini seperti permainan yang tidak akan membawa akibat.”
“Aku sadar Ken Arok. Aku sadar bahwa mungkin aku harus mempertaruhkan nyawaku.”
“Bukan kau Kebo Ijo. Kalau orang-orang itu kemudian tahu bahwa keris itu adalah kerisku, maka akulah yang akan digantung di bawah gerbang istana.”
“Tidak. Tidak,” tiba-tiba Kebo Ijo berdiri, “aku bukan pengecut. Keris itu ada di tanganku. Karena itu akulah yang akan menengadahkan dada apabila terjadi sesuatu.”
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Kebo Ijo langsung bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, ia memang sedang menjajaki hati Kebo Ijo. Seandainya Kebo Ijo itu berbahaya baginya, maka ada seribu macam alasan untuk menyelesaikannya. Ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Sedangkan Empu Gandring telah dikorbankannya pula.
Setiap kali masih terngiang di telinganya kata-kata Buyut Karuman, “Memang kadang-kadang yang tidak bersalah menjadi korban. Menjadi tawur untuk masa mendatang yang lebih baik.”
Empu Gandring telah menjadi korban meskipun ia tidak bersalah sama sekali. Sekarang datang giliran Kebo Ijo. Saat yang lain siapa lagi?
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Kebo Ijo berkata dengan tatag, “Marilah Ken Arok, kita pergi ke istana. Aku akan melihat keris itu. Seandainya keris itu adalah kerisku yang hilang, maka aku tidak akan mengganggumu. Justru aku minta maaf kepadamu. Akulah yang akan menanggung semua akibatnya.”
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Dan apalagi ketika sejenak kemudian ia mendengar suara anak yang merengek.
“Siapa?” bertanya Ken Arok.
“Anakku.”
“Oh,” Ken Arok menundukkan kepalanya. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa Kebo Ijo mempunyai seorang anak. Tetapi ia tidak mempunyai sasaran lain selain orang itu untuk korban berikutnya.
“Marilah Ken Arok,” desis Kebo Ijo, “aku akan minta diri dahulu kepada istriku.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya. ia pun kemudian berdiri ketika Kebo Ijo melangkah masuk ke dalam biliknya. Sejenak kemudian Kebo Ijo dan istri serta anaknya di dalam dukungan keluar dari dalam biliknya. Anak Kebo Ijo yang masih terlampau kecil itu memandang Ken Arok dengan tatapan mata yang aneh. Ken Arok tiba-tiba menjadi berdebar-debar melihat mata yang basah itu. Mata anak Kebo Ijo yang masih sangat kecil, yang masih belum mengerti persoalan yang sedang terjadi atas ayahnya.
“Anak itu sudah mulai berjalan,” desis Kebo Ijo.
“Oh,” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Mahisa Randi,” berkata Kebo Ijo kepada anaknya, “Ayah akan pergi bersama paman Ken Arok. Tinggallah di rumah sayang. Jangan nakal.”
Anak itu tidak menjawab. Tetapi matanya masih basah. Kemudian kepada istrinya Kebo Ijo minta diri. Hatinya yang gelap membuat kata-katanya menjadi bergetar. “Aku pergi dulu Nyai. Aku akan ke istana melihat apa yang sedang terjadi bersama Ken Arok.”
Istrinya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Silakan Kakang. Apakah malam nanti Kakang tidak pulang?”
“Entahlah,” jawab Kebo Ijo, “istana baru dilanda oleh persoalan yang gawat sekali. Hati-hatilah kau mengurus anakmu, Nyai. Seandainya aku terlambat pulang, ajarilah anakmu berjalan di setiap pagi.”
Istrinya mengerutkan keningnya, “Berapa hari Kakang akan pergi?”
“Oh,” Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “aku tidak tahu Nyai. Seandainya ada tugas yang harus aku lakukan. Mungkin Kakang Witantra memberikan tugas kepadaku untuk mencari orang-orang yang dianggap bersalah. Atau mungkin justru aku harus pergi keluar Tumapel.”
“Apakah Tumapel akan mengalami peperangan?”
“Oh, tidak Nyai. Tidak,” suara Kebo Ijo menjadi semakin perlahan. Ada sesuatu terasa menyumbat kerongkongannya. Ia tahu benar akibat yang akan terjadi atas dirinya, seandainya keris itu benar-benar Keris Ken Arok yang disimpannya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada istrinya. “Aku seorang prajurit, Nyai,” berkata Kebo Ijo itu kemudian, “kau tahu bahwa aku seorang prajurit sejak kita kawin.”
Istrinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baik-baiklah di rumah, Randi. Kau harus menjadi anak yang baik. Hati-hatilah dalam tindakan dan ucapan. Ayahmu agaknya telah terperosok karena sikapnya.”
“Kenapa kau Kakang?” bertanya istrinya.
Kebo Ijo tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa betapa hambarnya di telinga Ken Arok. “Sudahlah. Kakang Witantra menunggu kedatanganku. Mungkin aku akan dibawanya ke Singasari atau ke Kediri atau Ke manapun. Tetapi mungkin juga tidak.”
Seleret pertanyaan membayang di wajah istrinya. Dipandanginya saja Kebo Ijo berganti-ganti dengan Ken Arok. Tetapi perempuan itu tidak bertanya sesuatu.
“Sudah terlampau lama aku di rumah. Keadaan memerlukan aku segera berada di istana. Selaraklah pintu rumah ini kembali. Hati-hatilah!” berkata Kebo Ijo.
Istrinya menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Kalau sudah selesai pekerjaanmu, lekaslah pulang, Kakang.”
“Tentu. Aku tentu segera pulang.” Lalu dikecupnya dahi anaknya. Sekali, dua kali. Tetapi Kebo Ijo menahan hatinya sekuat tenaganya ketika ia ingin mengecupnya untuk ketiga kali, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Mahisa Randi memandang ayahnya dengan mata yang masih basah. Tiba-tiba tangan anak itu menggapai-gapai, seolah-olah mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia ingin ikut pergi bersamanya.
“Anak nakal,” desis Kebo Ijo. Suaranya tiba-tiba menjadi terlampau dalam, “ia sekarang sudah mengerti bahwa inilah ayahnya.”
Kebo Ijo mencoba tertawa. Namun kemudian ia melangkah sambil berkata, “Ah, tidak ada habis-habisnya kita berbicara di sini. Marilah Ken Arok. Kita harus segera sampai ke istana.”
“Marilah,” sahut Ken Arok, yang kemudian minta diri kepada istri Kebo Ijo, “aku akan mengantarkan suamimu ke istana.”
“Aku titipkan ia kepadamu.”
“He,” tiba-tiba Kebo Ijo berhenti, “ada-ada saja kau Nyai. Apakah aku kau persamakan dengan sepotong benda mati?” Sekali lagi Kebo Ijo mencoba tertawa.
Keduanya pun kemudian berjalan melintasi halaman menuju ke kuda mereka. Kebo Ijo tertegun ketika ia mendengar anaknya tiba-tiba menangis sambil meronta-ronta. Digapai-gapaikanya tangannya untuk menyatakan keinginannya ikut bersama ayahnya.
“He, masuklah,” berkata Kebo Ijo, “tidak baik bagi anak-anak, udara malam terlampau dingin.”
Istrinya tidak menjawab. Dicobanya untuk menenteramkan anaknya dan mendukungnya masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian pintu pun telah tertutup. Namun suara tangis itu masih juga terdengar.
Betapapun juga hati Ken Arok serasa tergores oleh tangis itu. Ia merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kesulitan. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menarik rencananya itu. Semuanya harus terlaksana. Apapun yang harus dikorbankannya.
Sementara itu istri Kebo Ijo masih berusaha untuk menenangkan anaknya. Didukungnya anak itu hilir mudik di dalam rumahnya. Bahkan sekali-kali dibawanya anak itu ke belakang, ke ruang tengah, ke pringgitan. Tetapi anak itu masih juga menangis. “Cup, cup Ngger,” bisik istri Kebo Ijo, “ayah pergi hanya sebentar. Nanti ayah akan segera kembali membawa oleh-oleh buatmu.”
Tetapi anak itu masih juga menangis. Sehingga ibunya masih harus berjalan hilir mudik sambil mendukungnya. Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. Dilihatnya selarak pintu butulan tergolek di samping pintu. Dengan ragu-ragu ia melangkah mendekatinya dan kemudian mengambilnya. Sambil menyelarak pintu ia berdesis, “Agaknya kami lupa menyelarak pintu. Untunglah tidak ada seorang pun yang memasuki rumah ini. Tetapi sebagai peringatan aku harus mengatakannya kepada Kakang Kebo Ijo, bahwa pintu butulan masih terbuka.”
Tetapi ternyata, bahwa istri Kebo Ijo itu untuk selama-lamanya tidak lagi mendapat kesempatan untuk mengatakannya. Kebo Ijo mencoba untuk memacu kudanya meskipun dengan ragu-ragu. Suara tangis anaknya masih terngiang saja di telinganya. Sebagai seorang prajurit ia sudah terlampau biasa pergi di dalam tugasnya. Tetapi kali ini ia merasakan kelainan dari masa-masa lampau. Ia sadar, bahwa ia sedang terancam bahaya yang paling parah. Keris itu akan dapat menyeretnya ke tiang gantungan, atau hukuman lain yang sama artinya. Mati.
Karena itu, maka di sepanjang jalan Kebo Ijo itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kini disadarinya semua tingkah lakunya yang salah. Terngiang kembali guraunya, ‘Suatu ketika Akuwu yang dungu itu akan aku cekik sampai mati’. Dan di lain kali, ‘hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang mau menjadi hamba-hamba yang mati bagi Akuwu yang dungu itu’. Bahkan pernah ia sambil menepuk dadanya berkata, “Aku tidak sudi menjadi kuda tunggangan seperti Kakang Witantra.”’
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata lambat, “Aku menyesal Ken Arok, bahwa sejak semula aku tidak pernah mendengarkan nasihatmu. Aku kini merasa bahwa tingkah lakuku sama sekali tidak disukai orang lain. Mungkin mereka menganggap aku terlampau sombong. Dalam keadaan serupa ini aku baru merasa bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan membelaku. Semua orang pasti akan memastikan, seandainya keris itu adalah kerismu yang ada padaku, bahwa akulah yang telah membunuh Akuwu. Apalagi mereka yang pernah mendengar senda gurauku yang gila.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Aku berterima kasih kepadamu Ken Arok, meskipun sudah terlambat. Aku merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi untuk disesali. Aku akan menghadap Kakang Witantra dengan dada tengadah, dan aku akan menjalani semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kakang Witantra adalah seorang prajurit. Ia tidak akan membedakan, apakah aku saudara seperguruannya. Ia akan bertindak terhadap siapa pun juga yang dianggapnya bersalah.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dadanya telah terjadi benturan yang maha dahsyat. Sekali-kali ia berpaling memandangi wajah Kebo Ijo di dalam gelapnya malam. Dan betapa ia menjadi heran melihat wajah itu justru menjadi bening. Ternyata hati Kebo Ijo telah mengendap. Ia tidak cemas lagi menghadapi setiap kemungkinan. Ia harus menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
“Kalau aku ingkar dan mencoba lari dari kenyataan ini, maka namaku akan menjadi semakin tidak berharga. Tidak ada seorang pun yang akan mampu melepaskan aku dari bencana,” katanya di dalam hati, “Namun seandainya aku mendapat kesempatan mengetahui siapakah pembunuh yang sebenarnya, yang telah mempergunakan keris itu, aku akan berbesar hati. Adalah di luar kemampuan berpikir bahwa keris itu tiba-tiba saja telah lenyap dari geledeg itu tanpa tanda-tanda yang dapat memberikan petunjuk apapun juga.”
Tetapi sama sekali tidak tebersit hasrat Kebo Ijo untuk menyeret Ken Arok dalam kesulitan. Ia sudah cukup merasa berterima kasih bahwa setiap kali Ken Arok memberinya peringatan. Adalah salahnya sendiri, bahwa peringatan Ken Arok itu tidak pernah dihiraukannya. Kini datanglah saat itu. Saat ia terdorong ke dalam suatu bencana.
Semakin dekat mereka dengan gerbang istana, hati Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, seperti juga hati Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo sendiri sudah pasrah. Pasrah kepada tangan-tangan Yang Maha Penentu. Setiap prajurit yang bertugas di pintu gerbang melihat keduanya memasuki halaman belakang istana. Dengan dada yang berdebaran mereka berbisik, “He, itulah Kebo Ijo.”
“Tidak aku sangka semudah itu untuk menangkapnya,” sahut yang lain.
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hampir setiap orang di istana telah mendengar bahwa keris yang tertancap di dada Akuwu adalah keris Kebo Ijo, sehingga setiap orang telah memastikan bahwa Kebo Ijolah yang membunuhnya.
“Aku pernah mendengar, Kebo Ijo mengancam untuk membunuh Akuwu,” desis salah seorang dari mereka, “kini ternyata maksud itu telah dilaksanakan. Tetapi aku heran, bahwa seseorang yang telah berani membunuh Akuwu Tunggul Ametung, begitu mudahnya dibawa ke istana.”
“Ken Arok memang orang luar biasa. Selain Ken Arok tidak akan dapat melakukannya. Bahkan Witantra pun tidak,” jawab yang lain.
“Witantra adalah saudara seperguruannya,” gumam yang lain lagi. Dan para prajurit itu pun kemudian saling mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Kebo Ijo tanpa berbuat apapun telah dibawa oleh Ken Arok masuk ke dalam istana. Ia merasa bahwa setiap mata memandanginya dengan penuh kebencian. Tetapi Kebo Ijo tidak menundukkan kepalanya. Ia menengadahkan wajah dan dadanya.
“Anak itu masih juga menyombongkan dirinya,” berkata salah seorang prajurit yang lain, yang bertugas di dalam istana.
Sementara itu Kebo Ijo mengikuti Ken Arok langsung menuju ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Betapapun juga ia mencoba mengendapkan perasaannya, namun ia masih juga berdebar-debar. Yang paling menyakitkan hatinya adalah cara orang lain yang sangat licik itu. Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.
“Kalau saja aku mendapat kesempatan,” katanya di dalam hati, “aku ingin bertemu dengan pembunuhnya. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang mengambang. Tidak seorang pun yang menolak tuduhan bahwa akulah yang telah melakukannya.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka sampai ke muka bilik Akuwu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pun segera menyibak. Seolah-olah mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung sendiri akan memasuki ruangan itu. Demikian Kebo Ijo muncul di pintu bilik, maka Witantra pun kemudian menggeram. Ditatapnya mata Kebo Ijo tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat jauh sampai ke pusat otaknya.
“Kebo Ijo!” suara Witantra bergetar, “Apakah keris ini kerismu?”
Kebo Ijo maju selangkah. Sekilas ia berpaling kepada Ken Arok yang berdebar-debar. Seandainya Kebo Ijo ingkar, maka persoalan itu pasti akan berkepanjangan. Apalagi apabila kemudian terdengar oleh Mahisa Agni dan para cantrik di padepokan Empu Gandring.
“Kenapa anak itu tidak aku bunuh saja sama sekali,” geram Ken Arok di dalam hatinya, “selagi ia masih hidup, ia akan dapat berbicara tentang apa saja.”
Namun Ken Arok melihat Kebo Ijo menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Kakang. Keris itu adalah kerisku.”
Witantra yang sudah tidak dapat menahan hati itu pun langsung bertanya kepadanya, “Jadi kaukah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya dengan tatag. Sama sekali tidak terbayang kecemasan di dalam sorot matanya, “Tidak Kakang. Aku tidak segila itu. Apakah pamrihku membunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
“Lalu bagaimana mungkin keris ini dapat sampai di sini?”
“Itulah yang membuat hatiku menjadi terlampau pahit. Aku tidak takut menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi bahwa kerisku yang dipergunakan oleh pembunuhnya itulah yang paling menyakitkan hati.”
“Tetapi bagaimana mungkin kerismu hilang dari rumahmu?” Witantra berhenti sebentar, lalu suaranya bergetar semakin dalam, “Kebo Ijo, aku mengharap kau datang membawa sebilah keris, dan sambil membuktikan bahwa kerismu masih ada padamu kau berjanji untuk menangkap pembunuhnya. Tetapi ternyata keris ini adalah kerismu.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Kenyataan itu memang tidak dapat diingkarinya. Keris itu adalah kerisnya, dan keris itu pulalah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung.
“Kebo Ijo, apa katamu?” desak Witantra.
“Aku tidak dapat mengingkari kenyataan itu Kakang.”
“Jadi kau mengaku, bahwa kau yang membunuhnya?”
“Aku tidak akan pernah mengaku, bahwa aku yang telah membunuh, karena aku memang tidak melakukannya,” jawab Kebo Ijo dengan hati yang tabah.
“Lalu bagaimana dengan kenyataan ini?”
“Terserahlah kepada Kakang Witantra. Keputusan apakah yang akan dijatuhkan kepadaku. Aku akan patuh menjalani. Baik aku sebagai prajurit maupun aku sebagai adik seperguruan. Tetapi apapun yang akan terjadi, aku tidak akan mengakuinya, karena aku memang tidak melakukannya.”
Witantra menggeretakkan giginya. Ia berdiri pada suatu keadaan yang paling sulit. Namun menilik sikap dan jawaban Kebo Ijo, Witantra dapat mempercayainya, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Tetapi apabila ia berkata demikian, maka setiap orang pasti akan mencemoohkannya, karena justru Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Karena itu, dalam kekeruhan nalar, Witantra tidak segera berbuat dan berkata sesuatu. Bahkan akhirnya kepalanya ditundukkannya sambil mengamat-amati keris yang masih digenggamnya.
Sementara itu setiap orang di luar dan di dalam bilik itu sudah menjatuhkan kepastian, bahwa Kebo Ijolah yang melakukannya. Sikapnya sehari-hari, kata-katanya dan tingkah lakunya, sama sekali tidak disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam keadaan yang demikian itulah akan sangat terasa, hampir tidak ada seorang pun yang berdiri di pihaknya, meskipun benar-benar ia tidak merasa bersalah. Kesalahan yang membebani hatinya adalah, bahwa ia tidak pernah mendengarkan nasihat Ken Arok. Hanya itu, bukan karena ia merasa membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra yang menjadi pening, akhirnya menyerahkan keris itu kepada orang-orang tua dalam pemerintahan Tumapel. Sambil menahan gelora hati yang tidak tertahankan ia berkata, “Terserahlah kepada kalian. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Pimpinan pemerintahan yang tujuh, termasuk manggala perang akan menjatuhkan keputusan. Aku hanya salah seorang dari mereka.”
Salah seorang tetua pemerintahan yang diserahi keris itu berpikir sejenak. Kemudaan diterimanya keris itu sambil berkata, “Kau dapat menentukan Witantra. Orang yang bersalah adalah seorang prajurit di dalam pasukanmu, justru pasukan pengawal.”
“Aku adalah seorang prajurit yang harus berdiri pada watak dan sifat prajurit,” jawab Witantra, “tetapi di sini aku berhadapan dengan diriku sendiri. Aku melihat bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo memang tidak melakukannya, menilik sikap dan jawabannya. Aku mengenal Kebo Ijo sejak lama. Aku mengenal wataknya. Kegilaannya, kebengalannya dan memang kadang-kadang ia berbuat licik. Tetapi aku tidak akan dapat membayangkan, kalau suatu ketika ia melakukan pembunuhan yang sebenarnya. Apalagi membunuh Akuwu Tunggul Ametung.”
Kata-kata Witantra ternyata telah menggetarkan setiap dada. Mereka heran melihat sikap itu. Witantra yang selama ini mereka kenal sebagai seorang prajurit yang bersikap lurus, siapa pun yang dihadapinya. Namun pada suatu saat, di mana saudara seperguruannya sendiri yang terlihat, ia menjadi miyur. Sejenak terdengar suara bergeramang di dalam dan di luar bilik. Semua mata kini memandang ke wajah Witantra yang merah dan tegang. Setegang wajah Ken Arok. Berbagai masalah telah menggelegak di dalam dadanya. Ia pun sama sekali tidak menyangka bahwa Witantra ternyata akan bersikap demikian.
“Karena itulah,” berkata Witantra kemudian, “aku serahkan persoalan ini kepada kalian. Suara kalianlah yang akan menentukan. Aku sudah merasa, bahwa kali ini suara hatiku akan lain sekali dengan keputusan kalian. Aku yakin bahwa yang terjadi bukan seperti yang kita kira-kirakan. Aku tidak menganggap Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh yang biadab.”
Witantra berhenti sejenak. Lalu, “dan aku tidak dapat melepaskan keyakinanku, meskipun aku tahu, bahwa aku akan berdiri menyendiri.”
Sekali lagi terdengar suara bergeramang. Sedang Witantra masih berdiri di tengah-tengah bilik itu dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata di dalam dirinya telah terjadi pertentangan yang dahsyat, ia tidak dapat melepaskan bukti yang pasti tidak dapat diingkari lagi. Tetapi dalam pada itu, ia mempunyai suatu keyakinan yang asing di dalam pertemuan itu. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan keyakinannya.
Tiba-tiba di dalam ketegangan itu, salah seorang tetua pemerintahan berkata, “Angger Witantra. Kita sudah dihadapkan pada suatu kenyataan. Sudah tentu kita tidak akan dapat ingkar lagi.”
“Ya, itulah yang akan aku dengar. Aku sudah tahu. Dan kini terserah kepada kalian,” jawab Witantra. Ketika sejenak dipandanginya wajah Kebo Ijo yang masih saja menatap lurus-lurus ke depan ia menjadi semakin yakin, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Namun sejalan dengan itu, ia pun menjadi semakin yakin pula, bahwa Kebo Ijo tidak akan dapat lepas lagi dari bencana.
Witantra itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika ia mendengar pimpinan prajurit Tumapel berkata, “Baiklah Witantra. Meskipun Kebo Ijo termasuk di dalam pasukan pengawal, tetapi karena kau sudah menyerahkannya kepada kami maka kami akan mengambil keputusan bersama-sama dengan pimpinan pemerintahan yang tujuh dan segenap manggala, termasuk kau.”
Witantra tidak menjawab. Dan ia semakin mengatupkan giginya ketika ia mendengar pimpinan prajurit itu berkata, “Kau menjadi tawanan kami Kebo Ijo.”
Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut mendengar perintah pimpinan prajurit itu. Ia sudah menyadari sebelumnya bahwa itu pasti akan menjadikannya seorang tawanan. Namun demikian ia mencoba untuk menatap wajah Witantra. Tetapi Witantra membuang pandangan matanya jauh-jauh. Seakan-akan ia tidak berani lagi menatap wajah Kebo Ijo. Ketika dua orang prajurit mendekati Kebo Ijo dan memegang kedua belah tangannya Kebo Ijo mengibaskannya sambil menggeram, “Apa kau sangka aku tidak dapat berjalan sendiri?”
Kedua prajurit itu mundur selangkah. Setiap orang yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. Bahkan Witantra pun kemudian menatapnya. Dalam keadaan yang demikian, maka segala hal dapat terjadi. Apalagi kalau Kebo Ijo itu kemudian menjadi berputus asa.
Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok maju beberapa langkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia berbisik, “Marilah Kebo Ijo. Mudah-mudahan pembicaraan di antara para pemimpin akan memberimu jalan.”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia meraba hulu pedangnya sambil mengerutkan keningnya. Sikap itu semakin mendebarkan setiap jantung. Tetapi Ken Arok tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan sekali lagi ia berbisik, “Apakah kau akan melawan?”
“Alangkah gilanya,” jawab Kebo Ijo. Perlahan-lahan maka tangan Kebo Ijo itu menarik pedangnya, tetapi beserta wrangkanya. Kemudian dilemparkannya pedang itu di lantai sambil berkata lantang, “Aku tetap seorang prajurit. Meskipun sampai saat terakhir aku tidak pernah merasa bersalah, tetapi aku akan tunduk kepada setiap keputusan kalau keputusan itu akan memberi kalian kepuasan.”
Wajah-wajah yang ada di sekitarnya pun menjadi semakin tegang. Sejenak tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata. Dan ruangan itu menjadi sunyi.
“Marilah,” terdengar suara Kebo Ijo memecah kesepian, “Ke mana aku akan dibawa? Aku tidak akan lari.”
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu seakan-akan tersadar dari lamunan mereka. Hampir mereka tidak percaya melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka masih juga berdiam diri ketika mereka melihat Ken Arok menggandeng Kebo Ijo keluar dari ruangan itu.
“Aku hormati kau Kebo Ijo,” bisik Ken Arok, “pada saat terakhir kau adalah seorang yang paling jantan yang pernah aku lihat.”
“Jangan memuji. Setiap pujian kini sudah tidak berarti lagi bagiku. Selama ini aku selalu mabuk oleh segala macam sanjungan, pujian dan sikap yang berpura-pura. Tetapi sekarang aku sudah tidak memerlukannya lagi.”
“Aku tidak memuji. Tetapi aku kagum melihat kenyataan ini. Aku kira, selama kau tidak akan ada seorang pun yang dapat melakukannya. Seandainya aku yang mengalaminya, mungkin aku akan berbuat lain. Mungkin lari dan mungkin membunuh diri.”
Kebo Ijo tidak menyahut. Sekali ia berpaling memandang dua orang prajurit yang mengikutinya beberapa langkah di belakangnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kita tempatkan Kebo Ijo di bilik sebelah ruang perbendaharaan. Menurut perintah, ia akan tetap ditahan di dalam istana.”
“Persetan!” Kebo Ijo menggeram.
Ken Arok sama sekali tidak menyahut. Tetapi dibawanya Kebo Ijo itu berbelok ke kiri menyusur serambi belakang. Kemudian melampaui sebuah longkangan, dan naik ke bilik perbendaharaan.
“Kami berdua bertugas untuk menjaganya,” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Baik Ken Arok maupun Kebo Ijo masih tetap berdiam diri. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam sebuah bilik yang kecil di sebelah ruang perbendaharaan istana.
“Biarlah ia berada di dalam. Sebaiknya kau keluar Ken Arok,” berkata salah seorang prajurit itu, “pintunya akan aku palang dari luar.”
“Tunggu,” sahut Ken Arok, “aku masih memerlukannya.”
“Tinggalkan aku,” desis Kebo Ijo.
“Aku akan mengawanimu Kebo Ijo. Kau harus tetap tenang dan tidak kehilangan kebeningan akal.”
“Aku tidak menjadi gila karenanya.”
“Karena kau masih mempunyai kawan untuk membagi perasaan. Karena itu, aku akan tetap tinggal di sini. Seseorang yang dalam keadaan gelap, mudah mempunyai angan-angan yang bukan-bukan.”
“Aku menyadari keadaanku Ken Arok. Aku telah menduga, bahwa tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati.”
“Kau sudah mulai berputus asa.”
Kata-kata Ken Arok terputus ketika ia mendengar prajurit di luar berkata, “Ken Arok, tinggalkan ia sendiri.”
“Tunggu! Aku masih berbicara.”
“Tinggalkan aku,” desis Kebo Ijo.
“Tidak Kebo Ijo. Apalagi agaknya kau sudah mulai berputus asa. Sikap yang demikian adalah tanda-tanda yang kurang baik. Putus asa bagimu dalam keadaan ini adalah langkah pertama menuju kepada bunuh diri.”
Kebo Ijo termenung sejenak. Tiba-tiba ia menyahut, “Itu akan lebih baik daripada aku mati di tiang gantungan. Apa lagi di alun-alun atau di bawah pintu gerbang.”
“Siapa bilang bahwa hukuman itu akan dilakukan dengan cara demikian?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Wajahnya merenung ke alam angan-angannya yang terlampau jauh. Sejenak mereka saling berdiam diri. Kebo Ijo mencoba untuk membayangkan apa saja yang dapat terjadi atasnya. Sedang Ken Arok dengan berdebar-debar memperhatikan perkembangan perasaan Kebo Ijo.
Ken Arok mengangkat kepalanya ketika ia mendengar para penjaga sekali lagi berteriak, “He Ken Arok. Kenapa kau masih ada di dalam?”
“Aku belum selesai. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus kami perbincangkan.”
Para prajurit di luar pintu bersungut-sungut. Tetapi mereka menyangka bahwa Ken Arok sedang melakukan tugasnya.
“Kebo Ijo,” berkata Ken Arok seterusnya, “kau harus tetap tenang. Apapun yang akan terjadi dengan kau.”
Kebo Ijo tidak menyahut. Tetapi wajahnya merenung semakin dalam. Kalau teringat olehnya, perbuatan licik seseorang, dengan mencuri kerisnya dan dipergunakannya untuk membunuh Akuwu, darahnya serasa mendidih. Tetapi kemudian ia pun sampai juga pada suatu kesimpulan adalah kesalahannya, kenapa kerisnya dapat jatuh ke tangan seseorang yang tidak dikenal dan tanpa diketahuinya.
Sejenak terbayang, jenis-jenis hukuman yang dapat dilakukan atasnya apabila para pemimpin di Tumapel menetapkan hukuman mati atasnya. Ia dapat digantung di alun-alun, di bawah gerbang depan istana di muka rakyat Tumapel, ditusuk dengan keris di atas sebuah panggungan yang juga disaksikan oleh rakyat atau disapu sampai mati. Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang anak dan istrinya yang menunggunya di rumah.
“Istri seorang prajurit tidak boleh kehilangan akal apabila ia melihat kematian suaminya,” geram Kebo Ijo di dalam hatinya, “tetapi ternyata aku tidak mati di peperangan. Dan meskipun ia istri seorang prajurit, maka ketahanan hatinya pasti akan runtuh juga apabila ia melihat suaminya tergantung di alun-alun, atau di bawah regol besar istana atau ditusuk dengan keris sampai mati, apalagi disapu.”
“Aku kira, lebih baik aku mati Ken Arok,” tiba-tiba ia berdesis.
“He,” Ken Arok terkejut, “kenapa?”
“Aku akan menjadi gila apabila di alun-alun besok aku dapat melihat istri dan anakku menangisi aku sebelum aku digantung.”
“Ah,” desis Ken Arok, “kau membayangkan yang bukan-bukan. Meskipun seandainya kau dihukum mati, kau pun harus menengadahkan dadamu sebagai laki-laki jantan.”
“Tetapi aku tidak akan dapat melakukannya apabila istri dan anakku hadir untuk melihat dan mendapat kesempatan bertemu untuk yang terakhir.”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
“Bagaimana pertimbanganmu Ken Arok?”
“Tetapi aku tidak yakin bahwa kau akan dihukum mati.”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya, “Tidak ada seorang pun yang menghendaki aku terlepas dari hukuman ini. Karena itu, aku harus menjalani.”
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian katanya, “Aku akan melihat, apakah yang dibicarakan oleh para pemimpin yang tujuh itu sekarang.”
Kebo Ijo tidak menyahut.
“Mungkin hal itu mereka lakukan secara rahasia. Tetapi aku akan berusaha.”
“Terserahlah kepadamu.”
“Aku minta diri sebentar. Tetapi jangan kau biarkan angan-anganmu membubung ke segala arah tanpa terkendali. Mungkin kau akan terjerumus ke dalam suatu sikap yang keliru.”
Kebo Ijo tidak menyahut.
“Tenanglah. Aku akan segera kembali.”
“Beri tahukan kepadaku, kalau mereka mengambil keputusan untuk menghukum aku mati. Lebih baik dilakukan sekarang di tempat tertutup ini daripada di tempat terbuka.”
“Aku akan melihatnya.”
Ken Arok pun kemudian meninggalkan tempat itu. Dicobanya untuk mendekati tempat para pemimpin yang sedang bersidang. Tetapi beberapa langkah dari pintu bilik tempat bersidang itu dijaga oleh beberapa orang prajurit, beberapa orang pengawal istana dan pelayan dalam yang dipimpinnya untuk malam itu. Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berjalan mendekat. Beberapa orang prajurit memandangnya dengan penuh pertanyaan, dan para pengawal istana menjadi berdebar-debar.
“Aku perlu dengan orang-orangku,” berkata Ken Arok kepada pemimpin prajurit yang bertugas di tempat itu.
Orang itu menganggukkan kepalanya. “Silakanlah.”
Ken Arok memanggil orang-orangnya dengan isyarat tangannya. Kemudian setelah mereka berkumpul diberinya mereka beberapa peringatan. Lalu katanya, “Kembalilah ke tempatmu. Aku akan menghadap Witantra.”
“Mereka sedang bersidang,” jawab salah seorang dari mereka, “tidak seorang pun diperkenankan mendekat.”
“Tetapi aku adalah orang yang khusus. Akulah yang menangkap Kebo Ijo.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berpaling kepada pemimpin prajurit dan pengawai istana yang bertugas.
“Aku akan berbicara dengan orang itu,” desis Ken Arok.
Ternyata kesibukan Ken Arok itu mempengaruhi perasaan pemimpin prajurit itu. Agaknya Ken Arok memang sedang melakukan tugas yang penting. “Mintalah izin langsung kepada mereka, apakah kau diizinkan masuk ke tempat sidang itu,” berkata pemimpin pengawal istana.
“Aku tidak akan ikut bersidang. Itu bukan tugasku.”
“Ya. Lalu apa kepentinganmu?” bertanya pemimpin prajurit.
“Aku akan menyampaikan beberapa laporan saja.”
Pemimpin prajurit dan pengawal istana yang sedang bertugas itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah mereka dapat melarang atau mengizinkan, karena Ken Arok sendiri saat itu sedang memimpin sekelompok pelayan dalam yang sedang bertugas pula. Sejenak kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Terserahlah kepadamu. Ketuklah pintu dan sampaikan maksudmu.”
Ken Arok tidak menjawab. ia pun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah mendekati pintu. Para petugas yang berada beberapa langkah di depan pintu itu melihat Ken Arok berdiri tepat di muka pintu. Mereka melihat Ken Arok beberapa kali mengetok, tetapi pintu itu tidak segera terbuka.
Namun sebenarnya Ken Arok sama sekali tidak mengetuk pintu. Para penjaga yang berdiri beberapa langkah daripadanya hanya melihat tangannya bergerak-gerak. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh pintu bilik. Dengan demikian ia dapat mengelabui para penjaga termasuk orang-orangnya sendiri. Yang dilakukan sebenarnya adalah berusaha mendengar pembicaraan, di dalam bilik itu. Betapa lembutnya, namun telinganya yang tajam berhasil menangkap beberapa patah kata daripadanya.
Dadanya berdebar-debar ketika ia mendengar Witantra berkata, “Terserah kepada kalian. Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Kalau ia memang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, maka ia tidak akan gila meninggalkan kerisnya. Betapa ia tergesa-gesa. Apalagi ternyata bahwa pembunuhan itu baru diketahui ketika darah yang meleleh dari luka itu sudah kering. Itu berarti bahwa masih ada beberapa waktu terpaut. Dan waktu itu cukup bagi Kebo Ijo untuk membawa kerisnya serta.”
“Aku tidak yakin,” jawab seseorang, yang agaknya salah seorang dari tetua pemerintahan, “mungkin telah terjadi perkelahian antara Kebo Ijo dan Akuwu, sehingga Kebo Ijo harus melarikan diri segera. Terlebih lagi, ternyata bahwa tanda pasukan pengawal itu tertinggal.”
“Tetapi,” sahut Witantra, “pembunuhnya pasti telah menancapkan keris itu pada saat Akuwu sedang tidur. Tidak ada tanda bahwa Akuwu berusaha mengambil pusakanya. Gerak Akuwu pun pasti sangat terbatas sehingga perkelahian itu tidak berlangsung lama. Waktu yang kemudian cukup banyak bagi Kebo Ijo untuk membawa keris itu.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain lagi, “Ya. Aku cabut tuduhanku. Aku dapat mengerti penjelasan Witantra. Kebo Ijo yang sudah demikian berani dan berhati-hati, sehingga dapat mencapai bilik Akuwu Tunggul Ametung, pasti tidak akan membuat kesalahan yang bodoh. Keris itu pasti tidak akan tertinggal, apalagi masih tetap di dada Akuwu. Sedangkan tidak seorang pun yang segera mengetahui pembunuhan itu. Seandainya ia tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, maka ia masih mendapat kesempatan untuk mengambil kerisnya kembali.”
Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Namun kesepian itu telah mendebarkan jantung Ken Arok. Dalam kesepian yang demikian maka setiap orang akan mendapat kesempatan berpikir dengan bening. Apalagi ketika ia kemudian mendengar seseorang berdesis di dalam bilik itu,
“Maka aku adalah orang yang ketiga yang menyadari kebodohan kita. Seperti yang kita kehendaki selama ini, mengambil keputusan tanpa prasangka dan tanpa pilih bulu. Ternyata kita sudah dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan watak Kebo Ijo yang tidak kita sukai. Namun akhirnya aku menyadari kesalahan itu, dan aku mencoba menempatkan persoalan ini sewajarnya dengan melepaskan prasangka dan kebencian yang ada di dalam diri kita.”
Suara itu berhenti sejenak. Lalu, “terserahlah kepada kita yang tujuh. Masih ada empat orang yang dapat menentukan pendiriannya.”
Ketika suasana di dalam bilik itu menjadi sepi kembali, Ken Arok merasa, bahwa ia harus cepat bertindak. Kalau setiap orang di dalam bilik itu kemudian dipengaruhi oleh sikap Witantra, yang telah menjalar kepada dua orang lainnya, maka keadaannya akan menjadi terlampau jelek baginya. Masih ada saksi yang hidup, yang akan dapat mempengaruhi keadaan kemudian. Ia menyesal bahwa ia tidak membunuh saja sama sekali cantrik yang melepasnya pergi di padepokan Empu Gandring, meskipun ada kemungkinan cantrik itu sudah tidak mengenalnya. Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian telah benar-benar mengetuk pintu itu, sehingga terdengar desis di dalam ruangan, “Siapa?”
“Aku, Ken Arok.”
Terdengar langkah mendekat pintu. Kemudian terdengar palang pintu terangkat, dan pintu itu pun terbuka. “Ken Arok,” berkata Witantra, “seharusnya kau tahu, bahwa kau tidak dapat mengganggu sidang ini.”
“Maafkan,” jawab Ken Arok, “aku pun menyangka bahwa aku akan mengganggu. Tetapi aku memerlukan suatu tindakan yang cepat di dalam masalah ini. Aku mengharap bahwa sebelum para pemimpin yang tujuh ini dapat mengambil keputusan, maka tidak akan terjadi kesalahan yang kurang bijaksana.”
“Apa maksudmu?”
“Kebo Ijo ingin melihat keris itu. Ialah orang yang paling mengenalnya. Meskipun kerisnya tidak ditemukan di dalam rumahnya, tetapi masih ada kemungkinan, bahwa sebenarnya keris itu bukan kerisnya. Keris itu hanyalah mirip atau sengaja dibuat mirip dengan keris yang hilang itu. Kemiripan yang paling mencolok terletak pada tangkainya. Sedang tangkai yang demikian dapat dibuat oleh siapa pun juga. Dengan melihat keris itu dari dekat maka Kebo Ijo akan dapat mengatakan, apakah keris itu benar-benar kerisnya.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil berpaling ke arah enam orang yang lain, yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan itu menjadi sunyi sesaat. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera dapat mengambil suatu keputusan. Ken Arok sendiri masih berdiri tegak di depan pintu. Dipandanginya setiap wajah seorang demi seorang. Namun yang dilihatnya hanyalah keragu-raguan dan kebimbangan.
Baru sejenak kemudian terdengar Witantra berkata, “Bukankah Kebo Ijo telah melihat keris itu?”
“Ya, tetapi Kebo Ijo ingin meyakinkan. Ia ingin melihat setiap guratan pamornya. Dan ia akan dapat memutuskan apakah keris itu miliknya yang hilang.”
“Ia akan dapat berbohong,” berkata salah seorang tetua pemerintahan, “anak itu dapat berkata apa saja tentang keris itu.”
“Bukan maksud Kebo Ijo,” Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Kebo Ijo tidak akan minta belas kasihan atau membuat cerita yang aneh-aneh untuk membebaskan dirinya. Ia cukup jantan menghadapi kenyataan. Yang penting baginya adalah kepuasan perasaan. Kalau keris itu adalah kerisnya yang hilang, maka ia akan dapat menghadapi setiap kemungkinan dengan perasaan yang tenang. Tetapi apabila keris itu bukan kerisnya, meskipun ia tidak ingin bebas karenanya, apalagi membuat-buat cerita ngayawara, namun hal itu akan dapat menyinggung rasa keadilan kita jauh lebih parah lagi.”
Ken Arok berhenti sejenak, “tetapi itu pun bukan berarti suatu pengakuan bahwa seandainya keris itu benar-benar kerisnya ia telah melakukan pembunuhan. Tetapi bahwa kekhilafannya dan hilangnya pusaka itu dari rumahnya, adalah suatu kesalahan yang harus ditebusnya dengan nyawanya.”
Ketika Ken Arok terdiam, maka sekali lagi ruangan itu menjadi senyap. Beberapa orang menundukkan kepalanya dan beberapa orang yang lain menjadi semakin ragu-ragu.
“Aku tidak keberatan,” tiba-tiba Witantra berdesis.
“Aku juga tidak berkeberatan,” sahut yang seorang.
Seorang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku juga tidak. Tetapi siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu?”
Ken Arok mengangkat dadanya, “Akulah yang bertanggung jawab. Aku adalah sahabatnya. Aku akan menghadapinya apabila ia mencoba mempergunakan senjata itu untuk melakukan perlawanan. Tetapi sekali lagi aku ingin menjelaskan, bahwa Kebo Ijo cukup jantan menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak terduga-duga.”
Sesaat orang di dalam bilik itu menjadi tegang. Mereka saling berpandangan. Akhirnya seorang yang lain lagi berkata, “Aku juga tidak berkeberatan.”
Empat orang dari yang tujuh telah menyatakan sikapnya. Karena itu, maka telah merupakan keputusan, sebagai pengganti kekuasaan Akuwu, bahwa yang lain harus memberikan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh setidak-tidaknya seorang dari keempat orang itu apabila keputusan itu hendak diubah atau ditolak. Apabila yang tiga orang itu atau salah seorang daripadanya tidak mengajukan keberatan apapun maka sikap yang empat itu akan menjadi keputusan yang harus dilaksanakan.
Demikianlah, karena tidak ada seorang pun yang berkeberatan, maka orang yang menyimpan keris berkata, “Baiklah. Aku akan menyerahkan keris itu kepadamu Ken Arok. Kaulah yang akan bertanggung jawab.”
“Aku akan bertanggung jawab,” sahut Ken Arok.
Maka keris itu pun segera diambilnya, dan diserahkannya kepada Ken Arok. “Hati-hatilah. Keris ini merupakan barang bukti.”
“Ya. Aku menjadi taruhan, bahwa keris ini tidak akan hilang.”
Witantra memandang keris itu sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi. Sepeninggal Ken Arok, maka orang yang tertua di antara ketujuh orang itu berkata, “Kita akan menunda pembicaraan ini. Kita akan menunggu kedatangan Ken Arok yang telah membawa keris itu.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Kita akan tetap tinggal di dalam bilik ini.”
“Ya,” jawab yang lain, “kita akan tetap tinggal di sini.”
Demikianlah, maka ketujuh orang itu pun kemudian duduk kembali di dalam suatu lingkaran. Mereka tidak beranjak dari tempatnya, meskipun mereka hampir tidak berbicara lagi. Masing-masing mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Akuwu Tunggul Ametung. Dalam kesenyapan itulah, maka sebagian terbesar dari mereka, mulai melihat suatu gambaran yang agak bening. Sebenarnyalah bahwa terlampau bodoh, apabila Kebo Ijo setelah membunuh Akuwu meninggalkan keris itu di dadanya.
Tetapi mereka harus menunggu. Mereka akan mendengar keterangan Ken Arok tentang keris itu. Beberapa orang berpendapat, apabila Kebo Ijo mengaku tanpa banyak persoalan, bahwa keris itu adalah kerisnya maka dugaan bahwa ia yang telah membunuh Akuwu menjadi semakin tipis. Mungkin setiap orang tetap pada tuduhannya, karena sikap, watak dan tingkah laku Kebo Ijo. Tetapi ketujuh orang itu tidak boleh ingkar dari suatu keyakinan, apabila memang demikian, apabila menurut keyakinan mereka, Kebo Ijo tidak melakukan pembunuhan itu. Mungkin keputusan mereka tidak sesuai dengan tuntutan sebagian terbesar dari rakyat Tumapel, terutama mereka yang mengenal Kebo Ijo. Tetapi mereka harus tetap berusaha menegakkan keadilan.
Seperti juga Witantra telah berkorban perasaan untuk mempertahankan keyakinannya, meskipun ia tahu, bahwa setiap orang akan menganggapnya berpihak, karena Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Tetapi justru karena itu ia telah bersikap tanpa pilih. Siapa pun Kebo Ijo, ia berdiri di atas keyakinannya. Keyakinan yang dilandasi oleh berbagai macam bukti, pertimbangan dan pengamatan.
Dalam pada itu Ken Arok pun pergi dengan tergesa-gesa ke bilik Kebo Ijo. Kedua penjaga yang menungguinya menjadi ragu-ragu untuk mengizinkannya masuk kembali ke dalam bilik itu.
“Aku tidak sedang bermain-main,” desis Ken Arok, “aku adalah pimpinan pelayan dalam yang bertugas kali ini. Sadarilah itu. Kalau kau melihat bahwa aku membawa keris yang telah tertancap ke dalam dada Akuwu ini, kau pasti dapat mengerti, bahwa kalian tidak berhak melarang aku masuk.”
Kedua penjaga itu berpandangan sejenak. Kemudian yang tua di antara keduanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Silakanlah. Tetapi jangan terlampau lama. Kami berdualah yang kali ini bertanggung jawab atas tawanan ini.”
“Aku tidak menyangkal. Tetapi aku pun sedang menjalankan tugas.”
Palang pintu bilik itu kemudian diangkat, dan Ken Arok pun masuk ke dalamnya dengan nafas terengah-engah. Kebo Ijo menjadi cemas melihat kedatangan Ken Arok yang tergesa-gesa itu, sehingga ia pun bertanya dengan serta-merta, “Apa kata mereka Ken Arok?”
Namun ia terkejut melihat Ken Arok membawa keris itu, “Buat apa kau bawa keris itu?”
“Aku meminjamnya Kebo Ijo. Aku masih ingin meyakinkan, apakah keris ini benar-benar kerisku yang ada padamu,” Ken Arok berhenti sejenak, “dan ternyata bahwa keris ini benar kerisku itu.”
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Dan kau percaya juga bahwa aku telah membunuh Akuwu dengan keris ini.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak Kebo Ijo. Aku tidak percaya bahwa kau telah melakukannya.”
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Matanya memancarkan sepercik sinar. Terdengar ia berkata, “Itulah yang aku perlukan darimu Ken Arok. Aku berterima kasih, bahwa masih ada orang yang dapat melihat kebenaran. Tetapi apakah keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang tujuh itu?”
Ken Arok menelan ludahnya. Beberapa saat ia berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia berjalan sampai ke sudut bilik itu, kemudian berputar dan menyusur dinding. “Aku mengerti Ken Arok. Apakah mereka mengambil keputusan dengan hukuman mati?”
Perlahan-lahan Ken Arok menganggukkan kepalanya. “Apakah suara mereka dapat memutuskan? Tanpa Akuwu mereka tidak dapat berbuat sendiri-sendiri. Hanya Akuwulah yang berwenang menentukan tanpa pertimbangan mereka bersama-sama.”
“Akhirnya suara mereka menentukan. Bukti inilah yang berbicara,” Ken Arok berhenti sejenak, “apakah kau sependapat Kebo Ijo, apabila aku melenyapkan bukti ini.”
“Apakah maksudmu?”
“Aku telah berhasil membujuk mereka dan meminjam bukti ini. Kalau aku lenyapkan bukti ini, maka para pemimpin harus berpikir lagi.”
“Tetapi akibatnya bagimu terlampau parah.”
“Aku akan lari. Aku adalah seorang petualang sejak kecil. Apa artinya hidup di istana ini bagiku.”
“Jangan Ken Arok,” desis Kebo Ijo, “aku berterima kasih atas semuanya itu. Tetapi itu tidak perlu. Biarlah aku menerima akibat dari kebodohanku selama ini. Dan puncak dari kebodohan itu adalah hilangnya keris itu dari simpananku.”
“Lalu apakah kau akan menerima keputusan itu?”
“Tidak ada hakku untuk menolak. Aku tinggal menjalaninya. Bagaimanakah bunyi keputusan itu?”
Ken Arok tidak segera menjawab.
“Bagaimana Ken Arok?”
“Aku hanya mendengar bagian terakhir dari pembicaraan itu. Kemudian aku mencoba meminjam barang bukti ini.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia harus percaya kepada kata-kata Ken Arok. Terbukti pula ia telah membawa keris itu. “Dan bagaimana bunyi keputusan itu? “ Kebo Ijo mendesak.
“Sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakannya kepadamu Kebo Ijo. Biarlah salah seorang dari merekalah yang akan menyampaikan kepadamu nanti atau besok.”
“Tidak. Aku ingin mendengarkan sekarang. Katakanlah Ken Arok. Aku akan semakin berterima kasih kepadamu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara tertahan-tahan ia berkata, “Kau akan dihukum mati Kebo Ijo. Hukuman mati itu akan dilaksanakan di alun-alun. Hukuman tusuk sampai mati.”
“Gila!” Kebo Ijo menggeram, “Aku tidak takut mati. Tetapi hukuman itu adalah hukuman yang paling jahat.”
“Tetapi itu akan lebih baik dari hukuman gantung.”
“Tetapi akibatnya sama saja. Aku tidak mencemaskan cara kematian itu. Tetapi kematian di hadapan banyak orang sebagai tontonan adalah kematian yang paling hina.”
“Karena itu, apakah aku harus melarikan keris ini?”
Kebo Ijo menggeleng. Setelah merenung sejenak ia berkata, “Tidak Ken Arok. itu tidak perlu. Kalau kau benar-benar ingin menolongku, bunuh sajalah aku sekarang.”
“Uh, gila! Itu adalah suatu kegilaan Kebo Ijo,” wajah Ken Arok menjadi tegang, “kalau kau ingin melarikan diri, aku akan menolongmu. Tetapi tidak dengan cara itu mengakhiri persoalan.”
“Ken Arok,” berkata Kebo Ijo, “sudah aku katakan, aku tidak ingin melihat kau di dalam persoalan ini. Kau sudah cukup baik selama ini. Karena itu, aku minta kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Bunuhlah aku dengan kerismu itu. Keris yang telah merenggut jiwa Akuwu Tunggul Ametung pula.”
“Tidak mungkin Kebo Ijo, tidak mungkin.”
Kebo Ijo menatap mata Ken Arok dengan tajamnya, sehingga seolah-olah langsung tembus ke dalam pusat otaknya. Sejenak ia seakan-akan membeku. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ken Arok. Tidak ada jalan yang lebih baik daripada itu. Apakah kau sampai hati melihat aku diikat pada sebuah tonggak di panggungan di alun-alun? Beribu-ribu orang melihat dengan wajah yang memancarkan kebencian. Kemudian seorang prajurit naik ke atas panggung itu dengan keris di tangan. Diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menonton itulah, aku harus mengakhiri hidupku. Tidak Ken Arok. Aku tidak mau.”
“Tetapi,” Ken Arok tergagap, “aku tidak akan mungkin dapat melakukannya. Aku tidak akan sampai hati pula membunuhmu.”
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Terdengar ia berdesis, “Aku minta pertolonganmu yang terakhir, sebab aku tidak mau memilih jalan yang kedua.”
“Apakah jalan yang kedua itu?”
“Aku tidak akan menemui kesulitan apapun untuk memecah dinding bilik ini, atau palang pintu, tidak usah bersusah payah dengan aji Bajra Pati. Tetapi aku tidak akan lari. Aku dapat mengamuk di dalam istana ini. Dengan demikian aku pun akan mati dikeroyok orang. Mungkin malahan Kakang Witantra sendiri yang akan membunuhku. Tetapi jalan itu tidak begitu menyenangkan, seolah-olah aku ingin mati bersama beberapa orang. Dan kematian yang demikian kurang menyenangkan pula agaknya.”
“Tetapi itu lebih jantan Kebo Ijo.”
“Tetapi tidak bijaksana melawan kakak seperguruan.”
Ken Arok diam sejenak. Dan Kebo Ijo itu berkata selanjutnya, “Aku minta dengan sangat Ken Arok. Bunuhlah aku. Kau jugalah yang telah menangkap aku dan membawa kemari. Sekarang kau jugalah yang sebaiknya menyelesaikannya.”
Ken Arok tidak segera menjawab.
“Cepatlah Ken Arok,” Kebo Ijo pun kemudian mendekati Ken Arok, “angkat kerismu. Kau pasti bukan seorang laki-laki yang takut melihat darah.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi justru ia berpaling dan melangkah menjauh.
“Tolonglah aku, Ken Arok.”
Nafas Ken Arok menjadi terengah-engah. Ia benar-benar berada dalam keragu-raguan meskipun hal itu memang diharapkannya. Tetapi ketika ia sudah berdiri berhadapan dengan Kebo Ijo, maka hatinya menjadi kisruh.
“Cepat, sebelum ada perkembangan lebih lanjut.”
Ken Arok perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang sama sekali tidak membayangkan kecemasan dan ketakutan.
“Aku sudah mapan Ken Arok,” nada suara Kebo Ijo merendah, “tetapi sepeninggalku, aku titipkan pengawasan anakku kepadamu. Mudah-mudahan Mahisa Randi dapat menjadi seorang yang baik. Seorang yang rendah hati seperti kau.”
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Pesan itu telah menghempaskannya ke dalam suatu pengakuan yang pahit. Hampir saja Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan membatalkan semua rencananya. Namun sejenak kemudian ia menghentakkan giginya sambil menggeram di dalam hatinya, “Aku tidak boleh, mundur lagi.”
“Bagaimana Ken Arok?” bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia mencoba mencari kekuatan untuk melangkah lebih jauh lagi. Kalau Kebo Ijo sudah tersingkirkan, maka bahaya baginya sudah akan berkurang lagi. “Bagaimana aku dapat melakukannya, Kebo Ijo?”
“Ini dadaku Ken Arok. Kau tinggal memasukkan keris aku telah membunuh seorang tawanan.”
“Tidak. Aku tidak dapat. Seandainya aku dapat memaksa diriku memenuhi permintaanmu yang gila itu, namun akulah besok yang harus terikat di atas panggungan itu.”
Karena Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, kau benar,” Namun tiba-tiba, “Tetapi aku ada jalan Ken Arok. Aku akan memecah pintu, dan melawan kedua penjaga itu. Kau harus datang tepat pada waktunya dan kaulah yang harus membunuhku sebelum aku membunuh kedua penjaga itu, supaya aku tidak bertambah beban lagi di saat kematianku.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Jangan terlampau banyak berpikir Ken Arok. Kau adalah seorang laki-laki perasa. Lakukanlah, dan kau tidak akan menyesal karena kau telah menolong aku. Bagiku, kematianku sekarang akan lebih baik daripada besok, meskipun agak lebih cepat.”
Ken Arok masih belum menjawab.
“Cepatlah, Ken Arok. Sebentar lagi mereka pasti akan datang kemari untuk menyampaikan keputusan itu.”
Ken Arok masih tetap diam.
“Cepat, kau sekarang pergi keluar bilik ini. Sebelum kau jauh aku akan memecah pintu. Kemudian kau berlari kembali menolong kedua penjaga yang dungu itu.”
Sebelum Ken Arok menjawab, Kebo Ijo telah mendorongnya ke pintu. “Cepat, keluar.”
Seakan-akan di luar sadarnya Ken Arok melangkah maju, mendorong pintu dan berjalan keluar bilik.
“Apakah persoalanmu sudah selesai?” bertanya salah seorang penjaga yang duduk beberapa langkah di depan pintu.
“Sudah,” jawab Ken Arok, “aku akan menghadap Witantra.” Tanpa berpaling lagi Ken Arok kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan bilik itu, sedang kedua penjaganya itu pun segera memasang palang pintu itu.
Tetapi belum lagi Ken Arok melampaui longkangan, tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh suatu hentakan yang keras. Ketika ia berpaling, ia melihat pintu bilik yang ditinggalkannya itu pecah. Dengan sigapnya kedua penjaga itu pun berloncatan ke muka pintu sambil mengacungkan senjata masing-masing.
Kebo Ijo yang telah memecah pintu itu tertegun sejenak, ia sadar, bahwa prajurit yang diserahi tugas untuk menjaganya itu pasti bukan sembarang prajurit. Karena itu, ia harus berhati-hati, agar ia tidak mati terbunuh oleh keduanya. Kebo Ijo ingin mati karena keris yang telah dibasahi oleh darah Akuwu Tunggul Ametung itu. Dan ia akan lebih ikhlas apabila Ken Aroklah yang menghunjamkan keris itu di dadanya.
“Apa maksudmu memecahkan pintu Kebo Ijo?”
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia melihat kemungkinan untuk melawan keduanya sampai Ken Arok datang.
“Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat membuat kau lebih parah lagi.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat ke samping. Begitu kakinya menjejak tanah, maka kakinya yang lain dengan sikapnya menyambar pergelangan tangan salah seorang dari kedua penjaga itu sehingga pedangnya terpelanting. Belum lagi penjaga itu menyadari keadaan sepenuhnya, Kebo Ijo telah meloncat dan memukulnya tepat pada dagunya, sehingga prajurit itu terpelanting jatuh.
Dengan cepatnya Kebo Ijo meraih pedang yang terjatuh, dan sesaat kemudian ia telah siap untuk melakukan perlawanan. Prajurit yang terjatuh itu pun dengan lincahnya meloncat berdiri. Betapa perasaan sakit seakan-akan membakar dagunya, namun rasa bertanggung jawab atas orang yang diserahkan kepadanya telah membuatnya membuang perasaan sakit itu jauh-jauh. Tetapi dada prajurit itu berdesir ketika ia melihat pedangnya telah berada di tangan Kebo Ijo.
“Apakah kau akan mencoba melawan Kebo Ijo?” bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Ya. Aku akan melawan. Aku akan melarikan diri dari kurungan ini.”
“Kau gila. Kau sangka kau akan dapat keluar dari istana ini?”
“Tentu,” jawab Kebo Ijo sambil mencoba mengedarkan pandangan matanya. Ia sekilas melihat Ken Arok berdiri di sudut di seberang longkangan. Tetapi kemudian meloncat menyembunyikan dirinya.
“Menyerahlah,” geram salah seorang prajurit itu.
“Kalianlah yang akan aku binasakan sebelum aku digantung.”
“Persetan!” prajurit yang masih bersenjata itu pun segera menyerang Kebo Ijo. Namun agaknya Kebo Ijo cukup tangkas untuk menghindarinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan kemudian dengan sigapnya Kebo Ijo menjulurkan pedangnya sambil meloncat ke samping. Sebuah sentuhan telah mengenai pundak prajurit itu, sehingga ia terpaksa meloncat mundur sambil berdesis. “Gila!” ia mengumpat.
Sementara kawannya yang tidak bersenjata telah mengambil sepotong palang pintu yang patah karena hentakan Kebo Ijo dari dalam. Dengan senjata itu ia menyerang, sementara kawannya yang lain berusaha memperbaiki kedudukannya. Namun ternyata pedang Kebo Ijo lebih lincah. Apalagi ternyata pula bahwa Kebo Ijo memang mempunyai kelebihan dari keduanya, sehingga sejenak kemudian Kebo Ijo telah berhasil melukai mereka.
“Beri tahukan kepada gardu penjaga,” desis salah seorang dari kedua prajurit yang masih memegang senjatanya, “aku akan menahannya di sini. Cepat!”
Dada Kebo Ijo berdesir. Kalau prajurit itu berhasil mencapai gardu penjaga, kemudian beberapa orang datang untuk menangkapnya, maka ia harus berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ternyata prajurit yang masih bersenjata itu berusaha sekuat tenaganya untuk memberi kesempatan kawannya itu meninggalkan arena. Sepeninggal kawannya maka prajurit itu bertempur mati-matian sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Ia harus menahan Kebo Ijo untuk beberapa saat, supaya Kebo Ijo tidak mendapat kesempatan untuk berlari.
Kebo Ijo menggeram, dan ia belum melihat Ken Arok. “Apakah Ken Arok ingkar karena ia tidak sampai hati untuk melakukannya?” pertanyaan itu mendengung di dadanya. Namun dada Kebo Ijo berdesir ketika ia melihat prajurit yang sedang berlari ke gardu penjagaan tertegun karena di sudut longkangan itu hampir saja ia membentur Ken Arok.
“Ada apa?” bertanya Ken Arok, “aku mendengar kalian ribut di penjagaan kalian.”
“Kebo Ijo berusaha melarikan diri.”
“Kenapa kau malah lari?”
“Aku akan memberitahukan ke gardu penjagaan.”
Ken Arok tidak bertanya lagi. Berlari-lari ia mendekati prajurit yang sedang berkelahi melawan Kebo Ijo mati-matian. Namun Kebo Ijo memang tidak berusaha membunuhnya. Ia hanya melukainya di beberapa tempat. Tetapi lambat laun, prajurit itu betapapun ia mencoba mengerahkan tenaganya, namun tenaganya itu sangat terbatas. Sehingga akhirnya pada suatu saat ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terhuyung-huyung ia terdorong surut, dan kemudian dengan lemahnya jatuh berguling di lantai.
Kebo Ijo tinggal meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya dan menghunjamkan pedang itu di dada prajurit yang sudah tidak berdaya melawannya. Prajurit itu pun telah pasrah diri meskipun pedangnya masih juga digenggamnya erat-erat. Namun menurut perhitungannya lawannya pasti sudah sampai di gardu penjagaan dan menyampaikan persoalannya kepada pimpinan penjaga.
Pada saat yang demikian itulah Ken Arok datang berlari-lari. Dengan keris terhunus ia berdiri tegak menatap Kebo Ijo dengan wajah yang tegang. Setapak Kebo Ijo maju mendekatinya sambil berdesis perlahan-lahan, “Apakah yang kau tunggu lagi Ken Arok?”
Ken Arok masih berdiri tegak mematung di tempatnya. Sekilas dipandanginya prajurit yang terbaring dengan lemahnya, meskipun ia masih menggenggam pedang. Dengan susah payah ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya telah terlampau lemah, sehingga setiap kali ia kembali terjatuh di lantai.
“Cepat Ken Arok,” desis Kebo Ijo sambil mengacu-ngacukan pedangnya.
Ken Arok telah dicengkam oleh keragu-raguan. Sebenarnya keragu-raguan. Ketika ia menatap mata Kebo Ijo yang pasrah, seolah-olah dilihatnya dirinya sendiri di dalam mata itu. Dirinya sendiri yang berdiri di atas mayat korban-korbannya dengan tangan berlumuran darah. Ia telah mengorbankan Empu Gandring yang baik, Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan diri sendiri, kini ia berhadapan dengan Kebo Ijo yang sombong dan tinggi hati. Namun Kebo Ijo yang berdiri di hadapannya kini seolah-olah adalah Kebo Ijo yang lain. Kebo Ijo yang tenang dan mengendap.
“Oh, kenapa ia tidak berbuat sesuatu yang dapat membakar hatiku? Kenapa ia tidak mengumpat-umpati aku atau bercerita tentang keris itu, atau berbuat apa saja sehingga aku akan ringan tangan untuk membunuhnya? Kenapa ia terlampau pasrah dan menengadahkan dadanya?” Ken Arok telah dicengkam oleh perasaannya.
“Cepat, Ken Arok!” desis Kebo Ijo yang kini terpaksa mengayunkan pedangnya, “Hati-hati. Aku harus berpura-pura, supaya kau tidak dicurigai.”
Ken Arok menghindar dengan gerak naluriah. Namun kemudian ia berdiri tegak seperti patung pula tanpa berbuat sesuatu.
“He, kenapa kau Ken Arok?” geram Kebo Ijo yang hampir kehabisan kesabaran.
“Aku tidak bisa, Kebo Ijo.”
“Bodoh, aku sudah terlanjur. Kau harus melakukannya.”
Ken Arok tidak menjawab. Ketika Kebo Ijo menyerangnya, ia menghindar pula.
“Ayo lekas!”
Ken Arok masih belum dapat mengambil suatu sikap. Sejenak ia merenungi keadaannya yang terasa semakin lama menjadi semakin kotor. Kebo Ijo adalah seorang ayah dari seorang bayi yang masih sangat memerlukannya. Dan ayah itu harus dikorbankannya. Dalam keragu-raguan itu Ken Arok terkejut mendengar hiruk-pikuk. Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang prajurit berlari-lari ke arahnya.
“Mereka datang,” desis Kebo Ijo, “cepat Ken Arok, cepat!”
Tanpa sesadarnya serangan Kebo Ijo pun menjadi semakin cepat, dan gerak Ken Arok pun menjadi semakin cepat pula, seakan-akan mereka memang baru berkelahi.
“Mereka menjadi semakin dekat Ken Arok. Jangan memberi kesempatan aku melakukan pembunuhan supaya aku menjadi lapang di perjalananku.”
Ken Arok menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu keharusan untuk berbuat. Prajurit-prajurit itu pun menjadi semakin dekat dengan senjata telanjang di tangan mereka.
“Ken Arok, lakukan. Bukankah kau tidak akan sampai hati membiarkan aku dirampok orang seperti seekor binatang buas di dalam rampogan di alun-alun.”
Wajah Ken Arok menjadi tegang. Ia masih harus berloncatan menghindari pedang Kebo Ijo yang menyambar-nyambar. Dan tiba-tiba saja di luar sadarnya Kebo Ijo telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Ken Arok terkejut. Seolah-olah Kebo Ijo bersungguh-sungguh hendak mengenainya, sehingga dengan tergesa-gesa ia merendahkan dirinya sambil bergeser surut.
“Sekarang, sekarang. Mereka telah menjadi semakin dekat.”
Ken Arok menghentakkan kakinya. Tiba-tiba terngiang di kepalanya suara nafsunya yang selama ini telah membakar jiwanya. “Jangan kau lepaskan kesempatan ini Ken Arok. Kalau Kebo Ijo tertangkap hidup, mungkin ia tidak akan bertahan lagi. Mungkin ia akan membuka rahasiamu dan mungkin Mahisa Agni akan datang sambil membawa cantrik yang melihat kehadiranmu di padepokan Empu Gandring untuk membuktikan, siapakah yang sebenarnya datang ke padepokan itu. Kau atau Kebo Ijo.”
Dalam keadaan yang demikian itulah, Ken Arok meloncat sambil memukul pergelangan tangan Kebo Ijo dengan tangan kirinya. Sebenarnya pukulan itu tidak terlampau keras, karena bagaimanapun juga Ken Arok masih belum dapat mempergunakan segenap kekuatannya. Apalagi Kebo Ijo pun bukanlah seorang prajurit biasa. Tetapi pukulan itu telah cukup untuk melontarkan pedang Kebo Ijo dari tangannya.
“Nah, sekarang. Aku akan sangat berterima kasih,” Justru tanpa senjata apapun Kebo Ijo membenturkan dirinya ke arah Ken Arok sambil menengadahkan dadanya. “Sekarang Ken Arok.”
Seperti dipukau oleh kekuatan di luar sadarnya, tiba-tiba Ken Arok menggerakkan tangannya. Sebuah tekanan telah menghunjamkan keris itu di dada Kebo Ijo. Ken Arok baru sadar, bahwa tekanan itu adalah tekanan tangan Kebo Ijo sendiri yang menarik tangannya, sehingga keris itu langsung menusuk ke dada menembus jantung.
“Terima kasih,” desis Kebo Ijo, “titip anakku. Awasilah. Semoga ia menjadi orang yang baik.”
Tangan Ken Arok menjadi gemetar. Dan tiba-tiba tanpa disadarinya keris itu pun terlepas dari tangannya. Ketika ia melangkah selangkah surut, maka Kebo Ijo itu pun jatuh terjerembab di lantai. Dadanya tertembus oleh keris yang telah menghunjam ke dada Akuwu Tunggul Ametung dan Empu Gandring. Darahnya pun kemudian mengalir dan memerahi lantai di bawah tubuhnya yang diam. Pada saat itulah para prajurit Tumapel yang berlari-lari itu sampai di tempat keributan itu. Mereka hanya dapat melihat tubuh Kebo Ijo terbujur berlumuran darah.
“Kau tidak apa-apa Ken Arok?” bertanya salah seorang daripada prajurit-prajurit itu.
Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia berdiri tegak seperti tonggak sambil memandang mayat Kebo Ijo yang terbaring di lantai, bermandikan darah. Betapapun juga, terasa jantung Ken Arok seolah-olah tergores oleh sembilu, ketika ia tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tahu pasti bahwa Kebo Ijo sebenarnya tidak bersalah. Kebo Ijo sama sekali tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ia tahu pula, bahwa pemimpin-pemimpin Tumapel yang tujuh orang itu sudah mulai meragukan kebenaran tuduhan mereka kepada Kebo Ijo.
Namun Kebo Ijo harus mati. Dan kini ia telah mati. Dan tiba-tiba di luar sadarnya Ken Arok berdesis, “Kasihan anak ini.”
Beberapa orang yang mendengar desis itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kau tidak apa-apa Ken Arok?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
“Kenapa ia harus dikasihani kalau ia memang ingin melarikan dirinya?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya mayat itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Ia masih terlampau muda. Sebenarnya hari depannya masih cukup panjang.”
“Tetapi ia tersesat jalan.”
“Itulah yang menjadikan aku kasihan kepadanya.”
Dalam pada itu, para prajurit segera menyibak dan berdiri tegak ketika dengan tergesa-gesa para pemimpin pemerintahan Tumapel termasuk para pemimpin prajurit, pengawal istana, pelayan dalam, para pemimpin pemerintahan, para Senapati dan para pandega mendekati tempat itu.
“Apa yang telah terjadi Ken Arok?” bertanya Witantra dengan suara yang gemetar.
“Maafkan aku Witantra,” desis Ken Arok. Kini ia tidak boleh diombang-ambingkan oleh perasaannya. Ia harus segera menyadari, bahwa ia sedang melakukan rencananya. Ia harus melakukannya dengan sempurna. Kebo Ijo yang malang, anak dan istrinya sama sekali tidak boleh mempengaruhinya apabila ia tidak ingin gagal, dan justru ia akan digantung di alun-alun.
Witantra mengerutkan keningnya yang tegang. Dilihatnya mayat Kebo Ijo yang terbujur diam.
“Aku telah membunuhnya,” berkata Ken Arok, “terpaksa. Terpaksa sekali, meskipun aku adalah sahabatnya yang paling dekat.”
“Apa yang akan dilakukannya?”
“Sebaiknya biarlah prajurit-prajurit yang bertugas menceritakan.”
Witantra diam sejenak. Ditatapnya pengawal yang masih sangat lemah berdiri terhuyung-huyung berpegangan dinding. Sedang yang seorang lagi berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
“Katakan apa yang sebenarnya telah terjadi!” geram Witantra.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terputus-putus ia menjawab, “Kebo Ijo mencoba melarikan diri. Ia telah memecah pintu dan menyerang kami berdua. Kami berdua tidak dapat melawannya. Salah seorang dari kami berusaha memanggil para penjaga di gardu, sedang aku menahannya agar ia tidak sempat melarikan diri. Tetapi akhirnya aku terlempar jatuh. Aku sudah tidak dapat bertahan sama sekali. Sedang para penjaga masih belum datang. Pada saat itulah Ken Arok datang. Sebelum ia berbuat sesuatu, Kebo Ijo melepaskan aku yang sudah tidak mampu berbuat apapun lagi, dan menyerang Ken Arok, sehingga keduanya berkelahi. Ketika para prajurit datang. Ken Arok tepat mengakhiri perkelahian.”
Wajah Witantra menjadi merah padam. Apalagi ketika ia memandangi wajah para pemimpin Tumapel satu demi satu. Sejenak kemudian terdengar salah seorang berdesis, “Hampir saja aku percaya kepada kau, Angger Witantra. Hampir saja aku melepaskan kecurigaanku, bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi ternyata sekarang, bahwa Kebo Ijo benar-benar telah bersalah. Terbukti ia berusaha melarikan dirinya.”
“Ya. Aku yang sudah terlanjur menarik tuduhanku, kini telah menyadari, hampir-hampir saja aku lalai. Ternyata Kebo Ijo benar-benar bersalah. Kalau ia yakin bahwa dirinya bersih, maka ia tidak akan mencoba melarikan diri. Justru setelah ia melihat keris yang dibawa oleh Ken Arok,” berkata yang lain.
“Akhirnya yang bersalah telah terbukti,” sahut yang lain lagi, “apapun yang dikatakan sebagai pembelaan.”
“Ya,” berkata yang lain pula, “kini telah ternyata siapakah yang bersalah. Ia telah terhukum sebelum kami menjatuhkan keputusan.”
Lalu kepada Ken Arok ia berkata, “Terima kasih Ken Arok. Kau memang orang yang luar biasa. Kaulah yang menangkap Kebo Ijo dengan mudah karena kau justru sahabatnya, dan sekarang kau pulalah yang telah menyudahinya. Kau memang seorang yang luar biasa. Rakyat Tumapel akan sangat berterima kasih kepadamu.”
Ken Arok tidak menjawab. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Namun dalam pada itu, terdengar suara Witantra mengguntur, “Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Bukan maksudku menyalahkan kau, Ken Arok. Kau sudah bertindak wajar sebagai seorang prajurit. Kebo Ijo pun telah wajar, menerima hukuman karena ia berusaha untuk melarikan diri. Tetapi bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak percaya!”
Semua mata memandang wajah Witantra yang seolah-olah menyala. Pemimpin prajurit Tumapel maju selangkah sambil berdesis, “Apakah kau masih akan menyangsikan lagi? Lihat, semua orang di sini mendapat kesimpulan yang serupa. Tetapi kau berpendirian lain karena kau adalah kakak seperguruannya.”
“Justru aku adalah kakak seperguruannya, aku mengenal watak dan tabiatnya. Ia adalah seorang anak yang bengal, tetapi ia bukan seorang yang biadab. Bukan. Aku tidak percaya bahwa Kebo Ijo telah melakukan pembunuhan.”
“Itu adalah pendirian yang aneh. Seharusnya kau melepaskan hubungan yang ada itu, dan bersikap sebagai seorang prajurit, seperti yang selalu kau perlihatkan selama ini.”
Dada Witantra serasa akan retak mendengar kata-kata itu. Kemarahan yang membakar jantungnya serasa tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa ia masih tetap berhasil mengekang dirinya sendiri. Meskipun demikian ia masih juga menggeram, “Siapa pun Kebo Ijo, aku tidak akan dapat melepaskan keyakinanku, bahwa bukan anak itulah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak dapat melepaskan peristiwa ini dengan peristiwa yang mendahuluinya, di mana Akuwu seakan-akan tenggelam dalam suatu suasana yang tidak terkendali lagi, sehingga aku merasa, seakan-akan diriku dikesampingkan.”
Witantra berhenti sejenak, kemudian, “Nah, siapa yang berani melihat ke diri sendiri selama ini. Apakah yang telah kalian lakukan? Pemimpin pemerintahan Tumapel seakan-akan sudah tidak berjalan wajar lagi. Dan sejak itulah aku merasa tersisih. Seakan-akan memang ada kesengajaan memisahkan Akuwu dan aku sebagai pimpinan pengawalnya. Dan apa yang kalian lakukan selama ini adalah melayani keinginan Akuwu yang sesat. Nah, ternyata kita semuanya menjadi lengah. Inilah akhir dari semuanya. Dan kalian ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah. Tanpa berpikir. Asal kalian dapat memberi kepuasan kepada rakyat Tumapel.”
Mereka yang berada di tempat itu terdiam, seakan-akan sedang mengunyah kata-kata Witantra di dalam hatinya. Namun dengan demikian mereka merasa dihadapkan ke muka cermin yang memperlihatkan cacat cela mereka. Dengan demikian, maka sengaja atau tidak sengaja, para pemimpin Tumapel itu berusaha mengelak.
“Angger Witantra,” berkata salah seorang dari mereka, “aku sudah tua. Aku sudah berada di Tumapel berpuluh tahun. Aku sudah menjadi pembantu Tuanku Tunggul Ametung sejak Akuwu Tunggul Ametung memegang kekuasaan di Tumapel. Aku sudah kenyang makan garam pemerintahan. Sedang kau adalah orang yang masih terlampau muda. Itulah sebabnya kau masih kabur melihat kebenaran.”
“Aku tidak lebih muda dari Akuwu Tunggul Ametung. Coba sebutkan. Siapakah yang lebih muda di antara kami. Pada saat Tuanku Tunggul Ametung memegang kekuasaan, aku sudah seorang perwira di istana. Belum lagi tiga tahun, aku kemudian menjabat jabatanku yang sekarang. Tetapi dibandingkan dengan kalian, akulah orang yang paling dekat dengan Akuwu. Hampir setiap saat, ke manapun Akuwu pergi aku selalu pergi bersamanya. Karena itu, aku lebih mengenalnya dari kalian. Dan karena pengenalanku itulah, maka aku tidak melihat ada suatu tali hubungan antara Kebo Ijo dengan Akuwu dalam arti yang kurang baik. Maksudku, bahwa kelakuan Akuwu akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kebo Ijo yang tidak pernah berbuat sesuatu kecuali menyombongkan diri dan mencari pujian dari siapa pun.”
Namun ketika Witantra berhenti sejenak, hampir setiap kepala menggeleng. Bahkan seorang pandega berkata, “Orang yang paling mungkin melakukan adalah Kebo Ijo.”
“Diam!” Witantra membentak, sehingga pandega itu pun segera menundukkan kepalanya. “Adalah tidak Adil,” geram Witantra, “bahwa karena Kebo Ijo adalah adik seperguruanku, lalu aku tidak boleh menyatakan keyakinanku. Tidak, yang penting bagiku, bukan siapa Kebo Ijo. Tetapi apakah ia benar-benar bersalah atau tidak.”
Pemimpin tertinggi pelayan dalam, yang termasuk salah seorang pimpinan pemerintahan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kami tidak dapat ingkar lagi. Bukti yang pertama adalah keris itu. Kemudian usahanya melarikan diri. Jelas. Sudah cukup jelas.”
“Aku masih minta persoalan ini dibicarakan lagi.”
“Buat apa,” bertanya pemimpin prajurit Tumapel, “Kebo Ijo sudah mati. Ia harus segera dikuburkan sebagai seorang pengkhianat.”
“Itu yang aku tidak mau. Ia harus diselenggarakan sewajarnya. Kita mencari kebenaran atas peristiwa yang terjadi itu. Kalau menurut keyakinan kita ia bersalah, kita nyatakan bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi kalau tidak, kita umumkan, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah meskipun ia telah mati. Kesalahan yang tidak dapat diingkari lagi, justru usahanya untuk melarikan diri. Tetapi melarikan diri bukan bukti, bahwa ia telah melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tidak,” desis salah seorang pemimpin Tumapel.
“Tidak,” yang lain bergumam.
“Tidak,” pemimpin prajurit Tumapel pun bersikap serupa.
Dan yang lain pun menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
Darah Witantra menjadi mendidih karenanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik, sehingga karena itu ia tidak dapat hanya sekedar digerakkan oleh perasaannya, dan melakukan tindakan yang salah menurut tata keprajuritan. “Seorang prajurit harus jujur,” desisnya, “apapun yang akan terjadi atas diriku, tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo tidak bersalah.”
Witantra diam sejenak. Disambarnya wajah Ken Arok sekilas, seolah-olah minta pendapatnya, sebagai seorang sahabat terdekat Kebo Ijo. Tetapi Ken Arok hanya menundukkan kepalanya saja. “Kenapa ia tidak mau berbicara?” pertanyaan itu melonjak di hatinya, “apakah ia termasuk salah seorang pengecut yang mengorbankan keyakinannya untuk keselamatan dan kedudukannya?”
Tetapi Witantra tidak dapat memaksanya untuk berbicara. Dan kesabaran Witantra itu pun sampai ke batasnya ketika pemimpin prajurit Tumapel itu berkata, “Kita akan mengambil kesimpulan. Kebo Ijo adalah seorang pengkhianat. Dan kita akan segera memberikan anugerah kepada jasa Ken Arok selama ini.”
“Tidak!” Witantra berteriak, “Masalahnya belum selesai. Aku, salah seorang dari pemimpin yang tujuh, menolak keputusan itu.”
“Kami yang enam sudah sependirian. Tidak ada jalan lagi bagimu untuk menolak, kecuali…”
“Aku akan mengambil jalan itu. Keputusan harus ditangguhkan, dan aku akan melakukan pembelaan dengan ujung senjata.”
Kata-kata Witantra itu seakan-akan petir yang meledak di tengah-tengah pembicaraan itu. Semua orang yang mendengarnya terkejut karenanya. Mereka tidak menyangka, bahwa pendirian Witantra begitu kuatnya dalam hal ini, sehingga ia telah menentang keputusan keenam pemimpin Tumapel itu dengan sebuah perang tanding.
Dalam keheningan suasana terdengar suara Witantra, “Aku akan melakukan perang tanding untuk Kebo Ijo. Apabila kalian tidak mau mengubah keputusan atau setidak-tidaknya membicarakannya lagi, aku tidak melihat jalan lain. Dan aku persilakan kalian mempertahankan keputusan itu, siapa pun yang akan turun ke arena.”
Sejenak para pemimpin Tumapel yang lain itu diam mematung. Tantangan itu telah membuat dada mereka berdebaran. Tidak banyak orang yang dapat menyamai tingkat Witantra di seluruh Tumapel. Sehingga untuk melawannya dalam perang tanding, agaknya jarang yang akan bersedia melakukannya. Namun kalau keenam pemimpin yang lain itu ingin mempertahankan keputusannya. maka perang tanding itu harus dilakukan.
Sejenak mereka saling berpandangan. Pemimpin tertinggi prajurit Tumapel, pemimpin tertinggi pelayan dalam dan senapati yang lain, adalah orang-orang yang pertama-tama harus menyatakan dirinya untuk mewakili keputusan keenam pemimpin itu. Tetapi semua orang menyadari, bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu bertahan melawan Witantra. Namun keenam pemimpin itu sebagai kesatria, sudah tentu tidak akan menjilat ludah mereka kembali. Mereka tidak akan mencabut keputusan yang sudah mereka anggap jatuh.
Ken Arok yang mendengar keputusan Witantra untuk naik ke arena perang tanding itu pun sangat mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang lain, Ken Arok sama sekali tidak merasa segan seandainya ia harus naik ke arena itu pula, untuk mewakili para pemimpin Tumapel dalam mempertahankan keputusan mereka, bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Tetapi dengan melibatkan diri langsung di dalam persoalan itu, Ken Arok agak menjadi cemas.
Sebagai sahabat Kebo Ijo adalah tidak mungkin sama sekali baginya, justru bertempur untuk memperkuat keputusan kesalahan Kebo Ijo. Tetapi apabila dibiarkannya para pemimpin itu mencari wakilnya, maka akan mungkin sekali orang itu dapat dikalahkan oleh Witantra. Dengan demikian maka keputusan atas Kebo Ijo itu batal meskipun Kebo Ijo telah mati. Hal itu akan berarti bahwa Tumapel masih harus mencari pembunuh Tunggul Ametung itu sampai ketemu.
“Ayo,” suara Witantra lantang, “siapakah yang akan mewakili kalian? Nah, sekarang kalian harus memilih. Membatalkan atau menunda keputusan kalian atas Kebo Ijo, atau meletakkan persoalannya di atas arena.”
Para pemimpin itu tidak segera dapat menjawab.
“Aku memberi kalian waktu tiga hari. Kalau kalian telah mendapat cara yang paling baik, kalian harus memberitahukan kepadaku. Manakah yang akan kalian pilih. Sekarang, mayat Kebo Ijo akan aku bawa. Akan aku serahkan kepada guru dan keluarganya. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Keputusan kalian belum dapat diterapkan, karena aku menentang dengan cara itu.”
Tidak seorang pun yang menjawab, sehingga suasana menjadi hening sepi. Namun dalam kediaman itu, Ken Arok, otak dari segala peristiwa itu, memeras pikiran untuk menentukan lakon selanjutnya. Ia tidak boleh gagal. Dan cerita yang sedang disusunnya itu tidak boleh mandek. Dan tiba-tiba saja Ken Arok itu berkata, “Witantra. Masih ada satu orang lagi yang akan dapat dibawa berbicara tentang hal ini.”
Witantra yang sedang tegang itu mengerutkan keningnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Siapa?”
“Aku tidak yakin, apakah orang itu terlibat langsung atau tidak. Tetapi aku menyangka, bahwa ada jalur yang menghubungkan peristiwa ini dengan orang itu.”
“Ya, siapa,” Witantra yang sedang dicengkam oleh kegelapan hati itu membentak, “sebut namanya.”
Dada Ken Arok berdesir. Ia tidak senang mendengar bentakan-bentakan itu. Tetapi ia harus menahan diri supaya lakon yang dikarangkannya ini tidak gagal. “Mahisa Agni.”
Dada Witantra berdesir mendengar nama itu, Mahisa Agni adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Ketika ia berada di Tumapel untuk mencari pembunuh pamannya, ia telah diserang oleh seseorang yang berpakaian seorang pengawal. Meskipun demikian ia bertanya kepada Ken Arok, “Kenapa kau sebut-sebut juga Mahisa Agni.”
“Aku belum tahu pasti, seperti yang sudah aku katakan, apakah ia ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini. Tetapi aku ingin minta izin, meminjam keris itu. Aku tidak dapat mencampuri keputusan para pemimpin yang tujuh dengan cara apapun yang akan ditempuh. Namun aku akan mencoba mencari jalan lain yang lebih baik dan mudah. Tetapi sekali lagi, aku belum pasti,” Ken Arok berhenti sejenak. Lalu, “Aku ingin menunjukkan keris itu kepada Mahisa Agni. Apakah keris itu dapat dikenalinya.”
“Apakah hubungannya, dengan pembunuhan ini menurut dugaanmu itu. Dugaanmu yang belum kau yakini kebenarannya.”
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Mahisa Agni pernah berkelahi melawan seseorang yang menyerangnya. Apakah keris yang dikatakannya bercahaya kebiru-biruan itu juga keris ini.”
“Ia bertempur di malam hari.”
“Aku akan memperlihatkan keris itu di malam hari.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kalau Mahisa Agni mengenali keris itu sebagai keris yang dipergunakan untuk menyerangnya, maka justru akan memperberat tuduhan terhadap Kebo Ijo. Tetapi kalau bukan, maka persoalannya pasti akan berkait dengan persoalan-persoalan lain. Sedangkan Witantra yakin, Kebo Ijo tidak pernah bersangkut paut dengan kegiatan orang lain, selain tugasnya sendiri. Apalagi bagi Witantra, yang penting bukan sekedar menyelamatkan nama Kebo Ijo yang telah terbunuh itu. Yang penting baginya adalah kebenaran, sejauh-jauh dapat dicapai. Karena itu, maka jawab Witantra selanjutnya,
“Baiklah Ken Arok. Pergilah kepada Mahisa Agni. Aku tidak tahu apakah hal itu akan menguntungkan atau justru sebaliknya. Tetapi bagiku yang penting, adalah mengetahui dengan pasti Kalau Kebo Ijo bersalah, biarlah aku yakin kalau ia bersalah. Selama aku tidak dapat meyakininya, maka aku tetap menganggap bahwa ia tidak bersalah apapun.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Jadi aku diizinkan pergi ke Karautan?”
“Ya.”
“Dengan membawa keris ini?”
“Aku tidak berkeberatan. Terserah kepada yang lain.”
Keenam pemimpin Tumapel yang lain pun kemudian merenung sejenak. Namun bagi mereka, Ken Arok telah menunjukkan kelebihannya dan bertindak cepat. Karena itu, maka kepercayaan mereka kepada Ken Arok pun menjadi bertambah-tambah jua.
“Aku juga tidak berkeberatan,” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku pun tidak. Kami berpengharapan agar masalah ini menjadi cepat selesai,” berkata yang lain lagi.
Dan ternyata bahwa keenam orang itu pun tidak berkeberatan pula. Dengan demikian, maka Ken Arok telah diizinkan untuk mengambil keris itu dan membawanya kepada Mahisa Agni.
Sepeninggal Ken Arok, tidak seorang pun yang dapat menahan Witantra mengambil mayat Kebo Ijo. Dengan hati yang pahit, mayat itu pun kemudian dibawanya kepada gurunya. Panji Boiong Santi pun terkejut bukan buatan. Ia tahu benar bahwa Kebo Ijo adalah anak yang bengal. Tetapi seperti Witantra ia berpendirian, bahwa anak yang bengal itu, betapapun juga tidak akan melakukan pembunuhan terhadap Akuwu.
“Tetapi bukti-bukti itu menunjukkan kesalahan Kebo Ijo,” desis gurunya.
“Ya, Guru. Memang tidak dapat disangkal. Tetapi keyakinanku berkata lain.”
“Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan kalian bertujuh, Witantra. Enam orang telah menyatakan pendiriannya, dan kau akan membatalkan keputusan itu dengan perang tanding,” gurunya berhenti sejenak, kemudian, “sebenarnya terlampau berat bagimu Witantra.”
“Kenapa, Guru?”
“Setiap orang, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel tidak akan menolak keputusan keenam pemimpin itu. Kau memang dapat membuat perhitungan, bahwa tidak seorang pun dari para pemimpin itu, dan mungkin tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan kau di arena. Tetapi meskipun kau menang, hasilnya tidak akan bermanfaat apapun bagi Kebo Ijo. Apalagi Kebo Ijo telah terlanjur mati terbunuh.”
“Kenapa, Guru?”
“Seandainya kau menang di arena Witantra, maka secara resmi tuduhan atas Kebo Ijo untuk sementara digugurkan. Tetapi itu hanya bersifat resmi. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan percaya langsung sampai ke dalam hatinya, bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Nama Kebo Ijo akan tetap cemas di dalam setiap dada rakyat Tumapel. Lebih daripada itu, peristiwa ini telah menodai namamu sendiri.”
“Jadi apakah maksud Guru aku harus mengorbankan keyakinanku sekedar untuk kedudukanku?”
“Tidak. Memang bukan begitu. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, tindakanmu itu benar-benar tepat Witantra. Setidak-tidaknya kau akan menyambung nyawa Kebo Ijo sampai persoalan yang sebenarnya terungkapkan. Tetapi Kebo Ijo telah mati. Sehingga seharusnya kau mengambil cara lain untuk menyelesaikan masalahnya. Biarlah Kebo Ijo dicemarkan untuk sementara. Tetapi kau yang masih tetap mendapat hati di kalangan rakyat dan setiap pemimpin dan prajurit Tumapel, dapat dengan diam-diam mencari. Kalau kemudian kau temukan, maka kau akan segera dapat menghapus noda pada nama Kebo Ijo itu. Tetapi sekarang keadaannya akan lain. Setiap orang akan memandangmu dengan curiga. Dan setiap orang akan tidak lagi bersedia bekerja sama dengan kau, karena kau telah berpihak kepada seorang yang bersalah menurut anggapan mereka. Karena mereka pun agaknya yakin, seperti kau yakin, bahwa Kebo Ijo memang bersalah.”
Witantra menundukkan kepalanya. Tetapi darahnya yang masih segar di dalam jantung kemudaannya, tidak dapat mengekang diri begitu lunak seperti gurunya.
“Witantra,” berkata gurunya, “selama ini kau telah berusaha menyempurnakan ilmumu, meskipun kau belum sampai ke puncaknya. Tetapi setapak lagi kau maju, kau sudah akan menyamai aku. Dengan demikian, kau pun harus berusaha berpikir dan berbuat seperti seorang tua.”
Witantra tidak menjawab. Namun dengan demikian gurunya dapat mengerti, bahwa Witantra telah memilih jalan seperti yang telah diucapkannya.
“Baiklah Witantra,” berkata gurunya kemudian, “agaknya kau telah memilih jalan itu. Mudah-mudahan kau berhasil. Namun setelah itu pun kau masih harus bekerja keras, mungkin kau akan bekerja sendiri, untuk mencari pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.”
Witantra masih belum menjawab.
“Kau memberikan waktu kepada para pemimpin Tumapel untuk menentukan wakil mereka, mempertahankan keputusan itu. Sementara itu, kau dapat memanggil adikmu Mahendra, keluarga Kebo Ijo dan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat Kebo Ijo sebagaimana mestinya.”
“Baik, Guru.” Dan Witantra pun kemudian melakukannya. Memanggil beberapa orang yang terdekat, meskipun ada di antara mereka yang segan memenuhinya, karena Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.
Sementara itu Ken Arok sedang berpacu ke padang Karautan. Dibungkusnya keris yang bernoda darah itu dengan selembar kulit, dan diselipkannya pada ikat pinggangnya. “Aku harus segera bertemu dengan Mahisa Agni,” gumam Ken Arok. “Tetapi aku tidak akan segera mengatakan apa yang terjadi. Aku harus mengingatkannya tentang keris ini, sehingga aku akan menunggu di Karautan sampai malam hari.”
Namun tiba-tiba Ken Arok menjadi ragu-ragu. “Apakah Mahisa Agni berada di Karautan atau di rumah Empu Gandring?”
“Aku hanya dapat menemuinya di Karautan,” desisnya, “aku tidak akan dapat pergi ke rumah pamannya. Mungkin cantrik itu masih dapat mengenali aku. Kalau Mahisa Agni tidak ada di Karautan maka aku tidak akan dapat menemuinya.”
Ken Arok pun kemudian berpacu semakin cepat. Udara malam yang dingin telah menjamah seluruh tubuhnya, seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsum. Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika ia melihat cahaya semburat merah di langit. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam seolah-olah ingin menghirup seluruh kesegaran nafas fajar.
Meskipun semalam suntuk Ken Arok sama sekali tidak memejamkan matanya sekejap pun, namun ketahanan tubuhnya memang luar biasa. Seakan-akan ia telah terlatih untuk hidup di malam hari. Karena itu maka sama sekali ia tidak terpengaruh. Ia masih tetap segar sesegar angin pagi. Kudanya pun berpacu semakin cepat pula. Apalagi ketika udara menjadi semakin cerah, serta tanah tempat kaki-kaki kuda itu berpijak menjadi semakin jelas pula.
Ketika Ken Arok berpacu di pinggir hutan yang rindang, maka burung-burung liar pun berloncatan terbang ke atas dahan yang agak tinggi sambil memandang debu yang putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun kemudian terdengar kicaunya yang nyaring, seakan-akan mengucapkan selamat pagi kepada penunggang kuda di pagi yang nyaman itu.
Sinar matahari yang pertama terlempar dan balik perbukitan, menyentuh kulit Ken Arok yang basah oleh keringat. Terasa tubuh itu menjadi hangat. Sedang kicau burung pun menjadi semakin meriah, menyambut kedatangan pagi yang bening. Tetapi hati Ken Arok tidak sebening pagi itu. Semakin dekat padang Karautan, hatinya menjadi semakin gelisah.
“Apakah Mahisa Agni ada di Karautan? Dan apakah tidak mungkin cantrik itu berada di Karautan pula.”
“Persetan!” ia menggeram, “Aku harus segera menemuinya.”
Ken Arok memacu kudanya semakin cepat, tetapi sekali-sekali ia berhenti di sebuah parit untuk memberi kesempatan kudanya meneguk air yang sejuk, dan beristirahat sejenak. Akhirnya kuda Ken Arok itu pun memasuki ujung dari padang Karautan yang terbentang luas. Matahari yang semakin tinggi, terasa menjadi gatal menusuk-nusuk kulit.
“Sebentar lagi kita akan sampai,” desis Ken Arok sambil menepuk leher kudanya. Dan kuda itu seakan-akan menyadarinya, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Ken Arok pun menjadi semakin dekat dengan padang Karautan. Ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat gerumbul yang kehijau-hijauan di tengah-tengah padang yang luas. Segera ia mengenal, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Beberapa orang terheran-heran melihat kedatangan seorang tamu. Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa yang datang itu adalah Ken Arok. Seorang pelayan dalam yang pernah ditugaskan oleh Akuwu Tunggul Ametung di padang ini, membantu membuka tanah ini menjadi sebuah padukuhan yang subur dan bahkan sebuah taman yang paling indah di seluruh Tumapel.
“Selamat datang,” orang-orang Panawijen pun segera menyapanya dengan penuh keramahan.
“Terima kasih. Terima kasih,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia pun meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung bertanya, “Apakah Mahisa Agni ada di padukuhan ini?”
“Ya. Mahisa Agni ada di padukuhan ini.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Marilah,” ajak seseorang, “pergilah ke banjar. Kami akan memberitahukannya kepada Mahisa Agni dan kepada Ki Buyut Panawijen.”
“Terima kasih,” sahut Ken Arok, “di manakah banjar itu?”
“Di tepi jalan induk ini.”
“Terima kasih.” Ken Arok pun kemudian naik pula ke atas punggung kudanya dan berjalan perlahan-lahan menuju ke banjar. Di sepanjang jalan beberapa orang menyapanya dengan ramahnya. Ken Arok bagi orang-orang Panawijen adalah seorang yang banyak mempunyai jasa.
Berita tentang kedatangan Ken Arok segera sampai ke telinga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen. Maka dengan tergesa-gesa mereka pun pergi ke banjar, meskipun dengan tujuan yang berbeda-beda. Mahisa Agni telah dikejar oleh keinginan tahunya, apakah Ken Arok telah membawa berita tentang pembunuh pamannya.
Karena itu, ketika ia melihat Ken Arok di banjar, sebelum ia menanyakan tentang keselamatannya, yang pertama-tama terloncat dari bibirnya adalah, “He, kau Ken Arok. Apakah kau sudah menemukan pembunuh itu?”
Ken Arok yang tengah duduk di pendapa banjar itu pun berdiri sambil tersenyum. Dengan sareh ia berkata, “Marilah Agni. Aku memang membawa persoalan tentang yang kau tanyakan itu. Tetapi aku tidak terlalu tergesa-gesa duduklah. Aku masih mempunyai cukup waktu.”
Mahisa Agni pun kemudian tersenyum kecut. Perlahan-lahan ia naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan. Barulah ia sadar bahwa sebagaimana lazimnya, ditanyakannya tentang keselamatan Ken Arok dan orang-orang yang dikenalnya di Tumapel.
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun telah duduk pula di antara mereka. Percakapan mereka segera menjadi ramai. Beberapa orang tua-tua dan anak-anak muda yang terkemuka telah memerlukan datang untuk menemui Ken Arok, karena Ken Arok adalah seseorang yang telah banyak membantu membangun padukuhan ini. Padukuhan yang masih belum dewasa sampai saat Ken Arok datang itu.
Namun sampai begitu jauh, Ken Arok masih belum mengatakan sesuatu tentang maksud kedatangannya. Justru ketika Mahisa Agni bertanya sekali lagi, maka Ken Arok itu berkata, “Ah, apakah kau mau memberi kesempatan aku untuk beristirahat? Semalam suntuk aku tidak tidur.”
“Baiklah,” jawab Mahisa Agni, “kau dapat tidur di ruang belakang banjar ini.”
“Jangan,” sahut Ki Buyut, “datanglah ke rumahku. Meskipun rumahku belum siap seluruhnya, tetapi aku kira Angger lebih baik berada di sana. Setiap kebutuhan Angger akan segera dapat kami penuhi.”
Ken Arok tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Buyut. Tetapi aku kira, aku lebih senang berada di banjar ini. Mungkin aku ingin berjalan-jalan di tengah malam, atau mungkin aku harus menemui anak-anak muda yang datang untuk menjumpai aku. Dan aku memang bermaksud untuk dapat bertemu dengan kawan-kawan yang telah bersama-sama bekerja beberapa lama di padang ini. Aku sudah rindu kepada mereka dan kelakar mereka yang riang.”
“Tetapi tidak ada seorang pun akan dapat melayanimu di sini.”
“Terima kasih Ki Buyut. Aku akan datang kepada Ki Buyut atau siapa pun, apabila aku memerlukan sesuatu.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Lihat tidak ada seorang pun yang dapat merebus air di sini, apabila aku tidak menyuruh seseorang datang kemari.”
Ken Arok tertawa, “Kedatanganku jangan terlalu merepotkan kalian. Aku sudah biasa minum air sumur seperti pada saat-saat kita membuat bendungan itu. Apakah bedanya sekarang?”
Ki Buyut pun tersenyum pula. “Terserahlah, kalau Angger lebih senang di sini, biarlah Angger di sini. Biarlah ruangan di belakang banjar itu dibersihkan.”
Setelah minum dan makan, Ken Arok pun minta waktu untuk beristirahat. Perjalanannya memang sangat melelahkan. Duduk di atas punggung kuda di malam yang dingin. Tetapi Ken Arok tidak segera dapat tidur. Ia selalu diganggu oleh keputusan Witantra untuk melakukan perang tanding.
“Apakah aku dapat menyeret Mahisa Agni ke dalam persoalan ini secara langsung?” katanya di dalam hati, “kalau aku dapat memberikan kesan kepadanya, bahwa keris ini adalah keris buatan Empu Gandring dan dengan keris ini pula Kebo Ijo membunuh Akuwu setelah ia gagal berusaha membunuh Mahisa Agni, maka harapan untuk memperoleh keputusan seperti yang aku inginkan akan dapat aku capai.”
Dengan demikian, maka sebagian terbesar waktu Ken Arok selama berada di dalam biliknya adalah justru mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Di sore hari Ken Arok mempergunakan waktunya untuk bergurau dengan anak-anak muda Panawijen yang pernah bersama-sama membuat bendungan dan susukan. Berbagai macam masalah telah mereka bicarakan. Hilir mudik tidak henti-hentinya. Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak ada gunanya pun telah mereka percakapkan pula. Ketika kemudian senja turun, maka tiba-tiba saja Ken Arok mengajak Mahisa Agni berjalan-jalan.
“Aku ingin melihat belumbang itu. Apakah selama ini masih selalu dipelihara.”
“Tentu,” jawab Agni, “kami merasa wajib karena belumbang itu kau titipkan kepada kami di sini.”
“Terima kasih,” sahut Ken Arok, “sekarang, apakah kau tidak berkeberatan untuk pergi bersama?”
“Sebentar lagi matahari telah tenggelam sama sekali.”
“Aku hanya ingin mendapat kesan tentang taman itu.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku antar kau pergi ketaman itu.”
“Terima kasih.”
Dan keduanya pun kemudian pergi ke taman agak ke tengah padang Karautan. Mereka berjalan di sepanjang tanggul susukan induk. Susukan yang kini telah berhasil menghijaukan tanah di sebagian dari padang Karautan. Mengairi sawah dan petegalan.
“Padukuhan ini berkembang terlampau cepat,” desis Ken Arok, “sawah-sawah telah menjadi hijau merata sampai seluas ini.”
“Kami harus bekerja keras,” jawab Mahisa Agni, “sampai saat ini belum seluruh kehidupan di Panawijen yang lama dapat kami pindahkan. Meskipun Panawijen lama menjadi semakin kering, namun beberapa bagian dari kami masih harus tetap tinggal di sana. Kami mengharap, bahwa dalam waktu yang singkat, padukuhan ini telah menjadi padukuhan yang sempurna.”
“Waktunya tidak akan lama lagi,” desis Ken Arok, “ternyata kalian benar-benar menguasai masalah yang kalian hadapi.”
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam kediaman, yang terdengar hanyalah desir langkah kaki mereka di atas tanggul susukan induk. Sementara matahari telah hilang di ujung langit di sebelah barat. Keduanya untuk sejenak masih tetap berdiam diri. Sedang langit pun menjadi semakin gelap.
Mahisa Agni terperanjat ketika tiba-tiba Ken Arok berhenti. Sekilas Ken Arok itu menengadahkan wajahnya, melihat bintang yang gemerlapan, namun kemudian ia meloncat beberapa langkah menjauhi Mahisa Agni. Sekejap kemudian tangannya telah bergerak dengan cepatnya mencabut keris yang dibawanya dari wrangka kulitnya.
“Apakah artinya ini?” desis Mahisa Agni. Namun dengan gerak naluriah, ia pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Ken Arok dengan keris telanjang di tangannya. Keris yang bercahaya kebiru-biruan, dengan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan.
“Apa maksudmu Ken Arok?” Mahisa Agni bertanya sekali lagi.
Tetapi Ken Arok tidak menjawab. Dan tiba-tiba saja dada Mahisa Agni berdesir. Ia pernah melihat keris itu. Ketika ia berada di Tumapel mencari pembunuh pamannya ia telah diserang oleh seseorang dengan mempergunakan keris yang berwarna kebiru-biruan. Karena itu, maka tiba-tiba ia mendesis, “Jadi kaukah itu Ken Arok?”
Ken Arok masih belum menjawab. Dibiarkannya Mahisa Agni berteka-teki. Mahisa Agni memandang keris itu dengan tajamnya, “Ya, tidak salah lagi. Keris inilah”
Karena itu maka sekali lagi ia menggeram, “Jadi kaulah yang menyerang aku di Tumapel dengan keris itu?”
Mahisa Agni menjadi heran, ketika tiba-tiba saja ia melihat Ken Arok tertawa. Keris itu pun kemudian terkulai. Yang terdengar disela-sela suara tertawanya adalah gumamnya, “Kau masih ingat kepada keris ini?”
“Tentu. Jadi apa maksudmu sekarang?” bertanya Mahisa Agni.
“Jangan salah mengerti. Aku hanya ingin membuktikannya. Keris ini sama sekali bukan kerisku.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Dari mana kau dapat keris itu?”
“Kau akan dapat melihat nanti di dalam terang, bahwa keris ini telah bernoda darah.”
“Darah?”
“Darah Akuwu Tunggul Ametung.”
“He?”
Maka Ken Arok pun berceritalah tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung. Keris yang digenggamnya itu, dan kematian Kebo Ijo karena ia ingin melarikan dirinya.
“Kebo Ijo. Kebo Ijo.”
“Bukankah kau sudah mengenalnya.”
“Tentu aku sudah mengenalnya. Anak yang sombong itu. Ketika ia berada di padang ini, bersama dengan kau, kesan yang ditinggalkannya memang kurang baik.”
“Lalu bagaimanakah pendapatmu? Apakah kau dapat melihat hubungan antara keris ini, serangan atasmu di Tumapel dan kematian pamanmu?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia menggeram, “Aku akan melihat nanti, apakah keris itu buatan paman Empu Gandring. Kalau benar, maka masalahnya akan menjadi semakin jelas. Dan adalah mungkin sekali, bahwa semuanya itu adalah perbuatan Kebo Ijo.”
“Nah, itulah keperluanku yang sebenarnya. Aku tidak begitu tertarik untuk pergi ke taman. Aku hanya ingin mengingatkan kau kepada keris ini dan peristiwa yang pernah terjadi.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung. Dicobanya menghubung-hubungkan semua peristiwa yang pernah dialaminya. Tiba-tiba Mahisa Agni menggeram, “Kemungkinan terbesar Kebo Ijolah yang telah melakukannya. Marilah kita pulang. Aku ingin melihat keris itu dari dekat.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke padukuhan. Tetapi mereka tidak bermaksud menunjukkan keris itu kepada siapa pun, sehingga karena itu, maka mereka pun segera masuk ke dalam bilik yang disediakan untuk Ken Arok. Di bawah cahaya lampu minyak, Mahisa Agni mencoba melihat keris itu dengan seksama. Dibandingkannya keris itu dengan kerisnya sendiri, dan dengan keris pamannya yang dibawanya sebagai senjata peninggalan.
“Aku yakin keris ini pun buatan paman Empu Gandring,” desis Mahisa Agni.
“Jadi, apakah kau melihat hubungan itu?”
Mahisa Agni merenung sejenak. Kemudian bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Kebo Ijo telah minta agar paman membuat keris ini. Kemudian justru dengan keris ini pula paman telah ditikam dengan curang. Ternyata aku temukan paman yang telah terbunuh itu masih duduk di tempatnya. Sama sekali ia tidak sempat untuk melawan. Paman pasti tidak akan menyangka, bahwa Kebo Ijo akan menikamnya. Sekarang aku pasti, bahwa rencana yang disusun oleh Kebo Ijo, adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Pembunuhan atas paman Empu Gandring adalah sekedar untuk menghilangkan jejak.”
Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “Kemudian dilakukannya rencana itu, setelah ia gagal membunuhku pula. Akuwu Tunggul Ametung ternyata berhasil dibunuhnya. Tetapi adalah suatu kebodohan bahwa keris ini ditinggalkannya. Mungkin ia menyangka, bahwa tidak seorang pun yang tahu, bahwa keris ini adalah kerisnya.”
“Banyak sekali orang yang mengetahuinya, dan bersedia menjadi saksi,” sahut Ken Arok.
“Mungkin ia meninggalkan keris itu tanpa disengaja,” desis Mahisa Agni, “namun ia sudah menjalani hukumannya. Bukankah ia sudah mati terbunuh? Dan bukankah dengan demikian kau dianggap sebagai seorang pahlawan?”
“Ah,” Ken Arok berdesah, namun kemudian, “tetapi persoalan ini masih belum selesai.”
“Kenapa? Bukankah pembunuhnya telah terbunuh? Tetapi aku pun tidak akan dapat menuntut sesosok mayat untuk mempertanggung jawabkan kematian paman.”
“Bukan itu soalnya Mahisa Agni,” jawab Ken Arok, “Witantra menolak keputusan keenam pimpinan pemerintahan Tumapel yang menyatakan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu Tunggul Ametung.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “Tetapi, bukankah sudah jelas bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu dengan keris ini?”
“Ya. Tetapi kau harus ingat. Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar jawaban Ken Arok itu. Witantra menurut pengenalan Mahisa Agni adalah seorang yang berdiri tegak sebagai seorang prajurit pilihan. Yang selama ini tidak pernah meninggalkan sifat-sifat seorang prajurit. Pertama kali ia melihat Witantra, ketika ia mengantarkan Mahendra mencari Wiraprana di Panawijen. Ia sama sekali tidak mau melihat kecurangan adik-adik seperguruannya. Bahkan Witantralah yang saat itu berkata kepada Mahendra, ‘Mahendra, kau kalah’.
Tetapi apakah Witantra yang sekarang bukan Witantra yang dahulu? Atau dalam keadaan yang paling berharga bagi seorang kesatria, yaitu mempertahankan nama, ia telah terperosok ke dalam sikap yang tidak terpuji?
Ken Arok yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Mahisa Agni segera meneruskan kata-katanya, “Mahisa Agni, bagaimanapun juga Witantra adalah manusia seperti kita. Suatu ketika ia menjadi khilaf dan kehilangan pegangan.”
“Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Witantra?”
“Witantra minta pimpinan Tumapel tidak segera mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu. Ia tidak yakin. Hanya karena ia tidak yakin. Witantra sama sekali tidak mempunyai bukti, bahkan petunjuk pun tidak, untuk menyangkal tuduhan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu.”
Mahisa Agni mendengarkan keterangan Ken Arok itu dengan dada yang bergetar, ia tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba saja Witantra telah berubah.
“Bagaimana pendapatmu Agni?”
“Mungkin Witantra telah diguncang oleh keadaan. Tetapi setelah ia sempat berpikir, mungkin ia akan bersikap lain.”
“Tidak Agni. Witantra berkata di atas keyakinannya. Menurut Witantra, betapa gilanya Kebo Ijo, tetapi ia tidak akan berbuat sebiadab itu.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
“Setelah pemimpin Tumapel yang enam mengambil keputusan, maka Witantra mempergunakan kesempatan satu-satunya untuk membatalkan keputusan itu.”
Mahisa Agni masih belum menjawab.
“Apabila dugaan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu ini dapat digugurkan, maka kau tidak akan dapat menarik garis yang dapat sampai pada suatu kesimpulan seperti yang kau katakan.”
“Maksudmu?”
“Kalau bukan Kebo Ijo yang membunuh Akuwu, maka sudah tentu sulit untuk dikatakan bahwa Kebo Ijo lah yang telah berusaha membunuhmu dengan keris ini. Sudah barang tentu, akan sulit pulalah dikatakan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Empu Gandring setelah ia memesan keris ini kepadanya.”
“Yang tidak dilakukan menurut Witantra adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo adalah pasti. Aku tidak akan terpengaruh apapun dengan penolakan Witantra itu. Memang mungkin, Kebo Ijo yang memiliki keris itu dan dipesannya dari Empu Gandring, yang karena sesuatu sebab Kebo Ijo telah membunuhnya. Dan karena aku mencari pembunuh paman, maka ia berusaha melenyapkan aku. Kemudian orang lainlah yang telah mempergunakan keris itu untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin atas persetujuan Kebo Ijo, tetapi mungkin pula tidak.”
Terasa dada Ken Arok berguncang mendengar jawaban Mahisa Agni itu, sehingga sejenak ia terpaku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “Tetapi jika demikian, maka dugaanmu bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Empu Gandring untuk menghilangkan jejak, akan hapus karenanya. Kalau Kebo Ijo memang tidak mempunyai rencana apapun, maka apakah kira-kira yang telah mendorongnya untuk membunuh Empu Gandring? Apakah sekedar agar Empu Gandring tidak dapat minta kepadanya biaya yang telah dijanjikan oleh Kebo Ijo sebagai harga keris itu? Sudah tentu, alasan itu terlampau dibuat-buat.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Keterangan Ken Arok itu memang masuk di akalnya. Adalah suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Apabila dugaannya benar, maka pasti pembunuhan atas Empu Gandring itu pun didasari oleh perhitungan yang cermat, bukan sekedar alasan cengeng dan dibuat-buat.
“Bagaimana Mahisa Agni?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, mungkin memang begitu.”
“Jadi bagaimana pendapatmu tentang pembunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
“Aku tidak melihat dan aku tidak banyak mengerti. Kalau keenam pemimpin yang lain telah mengambil kesimpulan, dan keris ini memang keris Kebo Ijo, maka aku kira tidak ada alasan lagi bagi Witantra untuk menolak keputusan itu.”
“Agni, kalau kau tidak berkeberatan, sebaiknya kau datang ke Tumapel. Kau akan melihat suasana yang telah terjadi di istana. Adikmu pingsan untuk waktu yang tidak terbatas. Setiap ia sadar, segera ia menjerit tinggi untuk kemudian pingsan kembali.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kalau kau berhasil Agni, maka kau akan dapat menetapkan sama sekali, bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh pamanmu pula. Karena itu maka nama Kebo Ijo akan terpahat di dalam setiap hati, bahwa ia adalah seorang pembunuh yang paling licik di Tumapel. Meskipun ia telah terbunuh sebelum ia sempat melakukan hukuman yang akan ditentukan oleh para pemimpin Tumapel, namun apabila penetapan tentang kelakuannya itu dapat dinyatakan, maka keadaannya akan sama saja. Dan kau pun tidak lagi diburu oleh suatu kewajiban untuk mencari pembunuh pamanmu.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa getar di jantungnya menjadi semakin keras. Kemarahan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya atas kematian pamannya, seakan-akan telah terungkit kembali perlahan-lahan. Apalagi apabila dibayangkannya, betapa derita batin Ken Dedes atas kematian suaminya itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Ken Arok melihat warna merah membayang di wajah Mahisa Agni. Kemudian sorot matanya yang menjadi semakin tajam dan lekuk-lekuk di dahinya.
“Mudah-mudahan aku berhasil,” desisnya, “Mahisa Agni adalah seorang yang luar biasa.”
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba membunuhnya dengan keris yang kini berada di tangannya ia menyadari, betapa Mahisa Agni telah jauh maju dengan pesatnya. Dalam berpengharapan itu Ken Arok menjadi berdebar-debar karena Mahisa Agni masih tetap diam saja. Tetapi Ken Arok tidak ingin mengganggunya. Karena itu dibiarkannya Mahisa Agni berpikir.
“Apakah dapat dibenarkan, bahwa Witantra seorang diri menentang keputusan keenam yang lain?”
“Dengan suatu cara yang khusus. Tetapi kalau ia kalah, maka keputusan itu tidak dapat diubah lagi.”
“Apakah cara itu?”
“Perang tanding.”
“He?”
“Witantra berhak mempergunakan cara itu satu kali. Kalau ia tidak naik sendiri ke arena, ia dapat menunjuk atas persetujuan seorang yang lain. Tetapi kali ini Witantra sendiri yang akan naik ke arena. Ia memberi kesempatan tiga hari sejak hari yang baru lalu, Kalau tidak ada seorang pun yang melawannya, maka keputusannyalah yang berlaku.”
Tiba-tiba terasa darah Mahisa Agni bergetar. Mula-mula di ujung tangannya, namun kemudian merambat sampai ke pusat jantungnya. Sejenak ia membeku, namun sejenak kemudian ia berkata, “Aku akan minta ia mengubah keputusan itu. Aku berkepentingan, karena Kebo Ijo telah membunuh pamanku pula.”
Dada Ken Arok berdesir. Ia mengharap Mahisa Agni menyatakan dirinya untuk melawan Witantra. Tetapi yang akan dilakukan hanyalah sekedar minta Witantra mengubah sikapnya.
“Bagaimana kalau Witantra bersedia dan bagaimana kalau ia menolak?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada Ken Arok. Namun ia mencoba untuk berkata, “Tidak banyak gunanya Agni. Witantra adalah seorang yang keras kepala.”
“Aku akan menemuinya.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukkan kepalanya.
“Besok pagi-pagi kita berangkat,” desis Mahisa Agni.
Ken Arok mengangguk, “Baiklah. Memang sebaiknya kau mencoba agar Witantra mengurungkan niatnya.”
Semalam keduanya hampir tidak tidur sekejap pun. Karena itu ketika fajar menyingsing keduanya seolah-olah berebut dahulu pergi ke bendungan. Mandi dan siap untuk berangkat ke Tumapel. Namun keduanya masih memerlukan menghadap Ki Buyut untuk mohon diri.
“Kau juga pergi, Agni?” bertanya Ki Buyut.
“Ya, Ki Buyut. Sudah lama aku tidak menengok Ken Dedes, eh maksudku, Tuan Putri.”
Ki Buyut tersenyum, katanya, “Hati-hatilah di jalan Ngger.”
Keduanya kemudian meninggalkan padukuhan yang sedang berkembang di tengah-tengah padang Karautan itu. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling, memandangi padukuhannya yang telah menghijau, dan sawah-sawah yang telah ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman. Pategalan dengan kebun buah-buahan yang telah bertambah besar, meskipun masih belum berbuah.
Ketika sinar matahari telah mulai menggatalkan kulit maka keduanya pun kemudian memacu kuda mereka. Semakin lama semakin cepat, seakan-akan mereka sedang ditunggu oleh seluruh rakyat Tumapel dalam masalah Kebo Ijo yang telah menggemparkan itu.
Di sepanjang perjalanan, tidak banyaklah yang mereka percakapkan. Masing-masing telah terlibat dalam angan-angan yang membubung tanpa batas. Dengan sudut pandangan masing-masing dan kepentingan masing-masing, mereka mencoba menilai, apakah yang kira-kira akan terjadi di Tumapel.
“Seandainya Kebo Ijo tidak membunuh paman Empu Gandring, aku tidak akan mencampuri persoalan ini,” desis Mahisa Agni, “aku hanyalah sekedar seorang anak pedesaan. Anak padukuhan yang setiap hari hanya pantas bergaul dengan batu-batu dan tanah liat. Tetapi karena Kebo Ijo telah mengorbankan paman Empu Gandring yang baik, yang selama ini telah banyak sekali berbuat untukku. Pada saat aku sedang mulai membuka tanah ini, pada saat-saat aku masih diancam oleh Empu Sada.”
Tiba-tiba dada Mahisa Agni menjadi kian bergetar. Semakin dalam ia mengenangkan pamannya, maka hatinya menjadi semakin bergolak. “Kenapa tiba-tiba Witantra telah dikaburkan oleh hubungan perguruan dengan Kebo Ijo, sehingga ia telah tergelincir karenanya, justru pada saat yang gawat ini?” bertanya Mahisa Agni di dalam hati, “Tumapel dalam keadaan ini memerlukan seorang kuat. Kalau tidak maka Tumapel akan menjadi seperti sebuah perahu yang kehilangan kemudi di tengah lautan yang buas. Ia akan tenggelam dan tidak akan muncul kembali. Maharaja di Kediri akan menentukan sikap dan bentuk baru bagi Tumapel, apabila Tumapel tidak dapat segera membentuk dirinya sendiri.”
Namun kemudian ia menarik nafas, “Aku adalah seorang anak pedesaan. Aku terlampau bodoh untuk memikirkan nasib Tumapel. Aku tidak tahu, apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpinnya. Yang enam dan seorang Witantra. Apakah mereka telah menyusun suatu sikap bagi Tumapel sepeninggal Akuwu, ataukah mereka sedang disibukkan oleh Kebo Ijo, ataukah mereka justru sedang saling menyiasati untuk merebut kepemimpinan yang kosong sebelum ada seorang pun yang dapat mewarisinya.”
Berbagai macam pikiran telah berputar di kepala anak muda dari Panawijen itu. Namun caranya menanggapi persoalan telah dilandasi oleh kesadaran diri, bahwa ia tidak banyak mengerti mengenai tata pemerintahan, justru ia adalah seorang anak padukuhan yang jarang sekali bergaul dengan orang-orang yang berada di pusat pimpinan Tumapel.
Kedua anak muda itu akhirnya memasuki kota Tumapel yang masih sedang berkabung. Mereka langsung menuju ke rumah Witantra. Ken Arok mengharap, bahwa Witantra tidak berada di pusat pimpinan Tumapel. Ternyata dugaan Ken Arok itu tidak salah. Meskipun Witantra masih tampak lesu, namun ia telah berada di rumahnya. Dengan hati yang kosong dipersilakannya Mahisa Agni dan Ken Arok naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar.
“Baru saja aku pulang dari rumah Kebo Ijo,” desis Witantra setelah ia menanyakan keselamatan Mahisa Agni dan Ken Arok sebagai pemenuhan tata pergaulan.
“Bagaimana dengan istri dan anaknya?” bertanya Ken Arok.
“Kepahitan yang tiada taranya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa malapetaka itu akan menimpa keluarga mereka.”
“Kasihan bahwa mereka telah terjerat oleh seseorang yang ternyata bukan yang diinginkannya,” gumam Ken Arok.
“Maksudmu?”
“Bukankah dengan demikian, Kebo Ijo telah membuat istri dan anaknya menderita?”
“Maksudmu, bahwa Kebo Ijo telah bersalah dan membunuh Akuwu sehingga mengakibatkan keluarganya hancur seperti sekarang ini?”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia menganggukkan kepalanya.
“Jangan kau ulangi, Ken Arok!” geram Witantra, “Aku masih tetap yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sekilas ia mencoba memandang wajah Mahisa Agni. Dan ia melihat wajah itu menjadi merah.
“Witantra,” berkata Mahisa Agni, “apakah kau benar-benar meyakini bahwa Kebo Ijo tidak bersalah?”
“Ya, aku yakin. Apalagi ketika aku mendengar dari istrinya, bahwa pintu rumahnya di bagian belakang pada malam itu tidak diselaraknya. Maka menurut perhitunganku, kemungkinan yang terbesar, orang lain telah mengambil keris itu dan mempergunakannya.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
“Istriku dan Ken Umang sekarang masih berada di rumah Kebo Ijo untuk mengawaninya di dalam duka.”
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun dalam pada itu dada Ken Arok lah yang berdentingan. Apakah pada suatu saat Witantra akan berhasil menelusuri, siapakah yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan itu? Ternyata otak orang itu terlampau cerah untuk menyelidiki suatu masalah.
“Witantra,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku telah mendengar peristiwa sedih yang menimpa istana Tumapel. Aku juga telah mendengar bahwa Kebo Ijo telah terbunuh oleh Ken Arok, meskipun ia tidak sengaja membunuhnya.”
“Ya. Menyedihkan sekali.”
“Dan aku pun mendengar pula, bahwa kau menolak keputusan pemimpin-pemimpin Tumapel yang lain, bahwa Kebo Ijolah yang telah membunuh Akuwu.”
“Ya. Aku menolak dengan cara satu-satunya karena aku tidak melihat cara yang lain.”
“Witantra, apakah kau telah berpikir masak-masak?”
Witantra mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar pertanyaan Mahisa Agni itu. “Apakah maksudmu?”
“Aku minta kau merenungkannya kembali Witantra. Dengan bening, dan hati-hati. Agaknya kali ini kau tergelincir dari sikap yang selama ini kau pegang teguh.”
Dada Witantra berdesir. Hatinya yang sedang pepat itu segera merasa tersinggung. Meskipun bukan kebiasaannya, cepat merasa dipersalahkan, tetapi kali ini ia dipengaruhi oleh keadaannya terakhir. “Jadi kau ikut menyalahkan aku pula, Mahisa Agni?” ia bertanya.
“Bukan maksudku Witantra,” jawab Mahisa Agni, “tetapi tuduhan kepada Kebo Ijo itu aku kira sudah Adil. Memang mungkin anggapan seseorang itu salah. Tetapi apabila kelak ternyata bahwa ada petunjuk yang lain, maka keputusan itu dapat digugurkan.”
“Ah,” Witantra berdesah. Dengan susah payah ia menahan dirinya untuk tetap menyadari, dengan siapa ia berhadapan, “bukan demikian cara menanggapi suatu persoalan Agni. Kalau Kebo Ijo masih hidup dan caramu memutuskan perkara dengan cara itu, maka setelah ia dihukum gantung, ia tidak akan hidup lagi meskipun hukuman itu kelak dibatalkan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan Witantra itu. Namun ia masih menjawab, “Tetapi masalah Kebo Ijo kali ini berlainan Witantra. Justru Kebo Ijo sudah meninggal. Apalagi keenam pemimpin Tumapel yang lain sudah yakin, bahwa Kebo Ijo telah bersalah.”
“Aku yakin pula bahwa Kebo Ijo tidak bersalah. Sudah aku katakan, pasti ada orang lain yang melakukan setelah mengambil keris itu dari rumahnya.”
“Bukti-bukti telah cukup Witantra. Dan alasan yang kau kemukakan itu terlampau lemah. Tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa pintu itu memang telah terbuka.”
“Mahisa Agni,” desis Witantra yang hampir tidak dapat menahan diri lagi. Ia sedang kesal menanggapi peristiwa itu dan badannya pun masih terlampau lelah setelah ia menyelenggarakan mayat adik seperguruannya, sehingga dengan demikian pikirannya pun tidak cukup bening untuk menanggapi persoalan yang dikemukakan oleh Mahisa Agni, “aku sudah mempertimbangkan masak-masak. Aku sudah mengambil keputusan untuk membatalkan keputusan itu dengan perang tanding.”
Mendengar jawaban Witantra itu jantung Mahisa Agni terasa berdentingan. Namun ia masih berkata datar, “Kau terlampau tergesa-gesa Witantra. Kau telah terpengaruh hubungan perguruan antara kau dan Kebo Ijo.”
“Agni,” Witantra benar-benar tidak dapat menahan hatinya lagi, “sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan kami, persoalan pucuk pimpinan pemerintahan Tumapel.”
Dalam keadaan yang biasa mungkin Mahisa Agni tidak akan segera terbakar oleh kata-kata Witantra itu. Tetapi seperti juga Witantra, hati Mahisa Agni sedang disaput oleh kedukaan atas kematian pamannya yang terungkit kembali, justru rasa-rasanya lebih dalam lagi melukai hatinya. Apalagi bisa dibayangkannya, betapa sedihnya adiknya yang sedang menikmati ketenteraman hidup sebagai seorang permaisuri. Dan tiba-tiba saja suaminya telah direnggut dari sisinya oleh maut. Karena itu, maka jawaban Witantra itu menjadi serasa api yang menyentuh hatinya. Panas.
Sejenak Mahisa Agni mencoba menguasai perasaannya. Namun tanpa dapat dikendalikan lagi ia menggeram, “Witantra, persoalan ini bukan sekedar persoalan pucuk pimpinan pemerintahan di Tumapel. Persoalan ini adalah persoalan Tumapel seluruhnya.”
“Tetapi tidak perlu setiap orang ikut campur menyelesaikannya menurut seleranya sendiri-sendiri. Sudah ada peraturan-peraturan yang dapat dijadikan pedoman. Dan aku tidak menyimpang daripadanya. Aku minta perang tanding. Tidak ada jalan lain. Dan kau sebaiknya menunggu saja dan melihat apa yang akan terjadi. Sebaiknya kau kembali ke Panawijen atau ke padang Karautan. Di sana kau dapat menentukan cara yang kau sukai. Tidak di sini, di pusat pemerintahan Tumapel.”
“Witantra,” wajah Mahisa Agni menjadi merah padam, karena dengan kata-kata Witantra itu ia merasa dihina, bahwa ia tidak lebih dari seorang anak pedesaan. Namun dengan demikian harga diri Mahisa Agni pun terungkit karenanya. Maka jawabnya, “Tidak. Aku merasa ikut bertanggung jawab akan hal ini. Aku bukan sekedar anak pedesaan yang tidak boleh ikut campur membicarakan masalah-masalah yang terjadi di Tumapel. Seolah-olah masalah yang hanya boleh dibicarakan oleh para pemimpin dan bangsawan. Tetapi seandainya demikian, aku pun berhak menyebut diriku orang penting di Tumapel. Aku adalah kakak Permaisuri Tumapel. Kalau aku menerima, aku sudah mendapat gelar kebangsawanan dan kedudukan yang penting di pemerintahan pada saat Ken Dedes akan diangkat menjadi seorang permaisuri. Tetapi seandainya hal itu tidak diakui, aku adalah ipar dari seseorang yang terbunuh, dan aku adalah kemenakan orang lain yang telah terbunuh pula. Atas hak itulah aku berbicara sekarang.”
Kini wajah Witantra pun telah membara pula. Meskipun sejenak tersirat pengakuan di dadanya bahwa Mahisa Agni memang tidak terlepas sama sekali dari peristiwa ini. Namun demikian, kegelapan hatinya sama sekali tidak dapat dikuasainya, sehingga ia pun menjawab lantang, “Kalau kau merasa dirimu berhak mencampuri persoalan ini, lakukanlah. Aku tidak akan melarang. Tetapi kau jangan mencoba mengubah keputusanku.”
“Baik. Aku tidak akan mengubah keputusanmu. Tetapi aku justru akan memberi kesempatan kepadamu melakukan perang tanding itu. Tetapi ingat. Aku berpendirian sebaliknya. Kebo Ijo adalah pembunuh paman dan iparku sekaligus. Karena itu, namanya harus dipahatkan di dinding gerbang istana, bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh yang paling licik dan kejam.”
“Tidak. Aku menentang. Sudah aku katakan, aku menentang keputusan itu dengan perang tanding.”
“Aku akan menguatkan keputusan itu. Kalau aku diizinkan, aku menyediakan diriku untuk naik ke arena mempertahankan keputusan bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.”
Jawaban Mahisa Agni itu serasa petir yang meledak di atas kepala Witantra. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sorot matanya yang membara seakan-akan membakar udara di ruangan itu. Dua jantung yang masih terhitung muda itu telah menyala. Tidak seorang lagi yang dapat memadamkannya. Dan ketetapan mereka pun agaknya sudah pasti, masing-masing akan berhadapan di arena.
Ken Arok yang ada di ruangan itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia melihat perbantahan itu dengan tubuh yang gemetar, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi Ken Arok tertawa di dalam hati. Memang inilah yang diinginkannya. Inilah yang selama ini diharapkannya akan terjadi. Mahisa Agni adalah kekuatan yang diharapkannya dapat mengimbangi kekuatan Witantra di arena, karena Ken Arok telah menjajaki betapa tinggi ilmu Mahisa Agni kini.
Dalam keadaan yang demikian ikut terdengar suara Witantra gemetar, “Bagus. Kau pun laki-laki jantan yang jarang ada duanya Agni. Kalau kau memang berhasrat untuk mempertahankan keputusan itu, pergilah ke pemimpin yang enam. Ajukan permintaanmu, dan apabila diizinkan, kau akan dapat melakukannya. Kau memang pahlawan yang perkasa. Aku mengenal kau sejak Mahendra mempunyai persoalan dengan seseorang yang bernama Wiraprana. Kau telah menyerahkan dirimu untuk berkelahi melawan Mahendra dengan nama Wiraprana. Dan kau berhasil memenangkan perkelahian itu. Sekarang kau akan bertindak sebagai pahlawan pula untuk menetapkan Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh.”
“Apapun yang kau katakan tentang diriku, aku tidak akan menolak. Tetapi aku harus ikut mempertahankan keadilan di atas Tanah Tumapel. Tidak boleh terjadi seorang pembunuh dapat melepaskan dirinya karena pergulatan di arena. Kalau demikian, maka tegaknya kebenaran berada di ujung senjata. Tetapi kalau memang seharusnya demikian, maka apa boleh buat.”
“Bagus Agni. Aku mengharap enam pemimpin yang lain tidak akan berkeberatan menerima kau. Supaya kau tidak terlambat, karena mereka telah menetapkan orang lain, datanglah kepada mereka, dan nyatakan maksudmu itu. Katakanlah bahwa kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan kemenakan Empu Gandring yang telah terbunuh pula.”
“Baik,” jawab Mahisa Agni pendek, “aku minta diri.” Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan rumah Witantra bersama Ken Arok menemui pemimpin yang enam untuk menyatakan maksudnya.
Sepeninggal Mahisa Agni Witantra duduk tepekur di dalam rumahnya. Ia memang tidak menyangka, bahwa kedatangan Mahisa Agni justru telah menimbulkan persoalan baru baginya. Namun bagaimanapun juga, Witantra sudah bertekad bulat. Ia akan mempertaruhkan namanya untuk menegakkan keyakinannya. Sebab ia pasti, bahwa bukan Kebo Ijolah yang telah melakukan pengkhianatan. Ia kenal Kebo Ijo sebaik-baiknya. Menurut perhitungan Witantra, pasti ada orang lain yang sengaja ingin menjerumuskannya.
Tetapi yang tidak dimengertinya, kenapa justru Kebo Ijo. Bukan dirinya sendiri atau orang lain. Ia tidak dapat mengerti, pamrih apakah yang dikehendaki oleh orang yang melakukan pembunuhan itu atas nama Kebo Ijo dan atas Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi seandainya benar dugaan Mahisa Agni, bahwa Empu Gandring telah terbunuh pula oleh orang yang sama.
“Apakah orang yang datang ke rumah Empu Gandring itu juga Kebo Ijo?” pertanyaan itu selalu mengganggunya, “Seandainya Kebo Ijo masih hidup, maka cantrik itu akan dapat ditanya, orang itukah yang dilihatnya di padepokan Empu Gandring seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni beberapa waktu berselang, ketika ia mencari pembunuh pamannya?”
“Inilah yang harus aku hadapi. Banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi, seperti pada saatnya aku harus naik ke arena melawan Mahisa Agni. Tetapi apa boleh buat. Aku mempertahankan keyakinanku, sedang Mahisa Agni mempertahankan keyakinannya.”
Sementara itu Mahisa Agni yang diantar oleh Ken Arok pergi menghadap pemimpin Tumapel yang lain, yang setiap saat selalu berkumpul di istana. Dengan heran para pemimpin itu menerima Mahisa Agni. Dan dengan dada yang berdebar-debar pula mereka mendengarkan keinginan itu. Sejenak keenam pemimpin itu tidak dapat segera memberikan tanggapan. Mereka saling berpandangan dan mencoba melihat apa saja yang bergolak di dalam dada masing-masing.
Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kami mohon pertimbangan Tuanku Permaisuri.”
“Tidak perlu,” jawab Mahisa Agni, “Ken Dedes, eh maksudku Tuanku Permaisuri tidak perlu tahu apa yang bakal terjadi. Ia tinggal menerima keputusan akibat dari perang tanding di arena itu.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Seandainya Tuanku tidak sedang terganggu, maka Tuan Putrilah yang dapat mengambil semua keputusan dan kebijaksanaan. Perang tanding itu pun mungkin dapat dibatalkan. Sebab kekuasaan Permaisuri yang sekarang adalah mutlak seperti kekuasaan Akuwu sendiri. Atau dengan kata lain, Tuanku Ken Dedeslah sebenarnya Akuwu di Tumapel, karena sebenarnya Tuanku Tunggul Ametung pernah menyerahkan segala yang ada padanya kepada Tuan Putri Ken Dedes sebelum mereka kawin.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun hatinya yang panas telah membakar darah mudanya, sehingga ia menjawab, “Biarlah keputusan itu disaksikan oleh rakyat Tumapel.”
“Tetapi kalau hal itu memang tidak perlu dilakukan, apakah salahnya?” bertanya yang lain.
“Tetapi Witantra menghendakinya,” sahut pemimpin tertinggi pelayan dalam.
“Itu adalah jalan satu-satunya yang dapat dilihatnya,” berkata panglima prajurit Tumapel.
Dengan demikian maka keenam pemimpin itu menjadi terdiam sejenak. Ternyata pendapat mereka berbeda-beda. Para pemimpin dari kalangan keprajuritan menghendaki perang tanding. Sedang pemimpin-pemimpin yang lain masih ingin melihat jalan yang lain.
Dalam pada itu Ken Arok berkata, “Aku tidak tahu, jalan manakah yang paling baik dilakukan. Tetapi sebaiknya hal ini tidak usah dibicarakan dengan Tuan Putri. Setiap kali Tuan Putri mendengar peristiwa ini, maka Tuanku Ken Dedes pasti menjadi pingsan, dan kadang-kadang kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama. Karena itu, apakah tidak sebaiknya keputusan pemimpin yang enam ini sajalah yang menentukan. Kalau perang tanding itu sebaiknya dilakukan, biarlah keputusan itu di jalankan. Kalau pemimpin yang enam ini menerima tuntutan Witantra untuk membatalkan keputusan tentang Kebo Ijo, biarlah keputusan itu dibatalkan tanpa setahu Tuan Putri.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang tidak mungkin berbicara dengan Ken Dedes dalam keadaan serupa itu. Setiap kali permaisuri itu selalu diserang oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang mengganggu kesadarannya. Hanya emban tua pemomongnya sajalah yang dapat melayaninya. Bahkan kadang-kadang permaisuri itu memeluknya tanpa sebab. Kemudian menangis sejadi-jadinya.
Pemomong Ken Dedes itu berusaha menghibur sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun kadang-kadang hatinya sendiri menjadi pedih mengenang perkembangan terakhir di istana Tumapel, sebelum Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Hubungan yang tidak sewajarnya antara permaisuri dengan seorang pelayan dalam yang cakap dan tampan. Karena itu, ketika tiba-tiba Akuwu terbunuh, maka dada pemomong Permaisuri itu bergetar dahsyat, seakan-akan terguncang-guncang. Dan perempuan tua itu memang meragukan, apakah benar Kebo Ijo yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
“Untuk apa?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Tetapi sebagai seorang emban ia tidak dapat berbuat dan berkata apapun. Ia hanya dapat menunggui dan menghibur hati permaisuri yang tiba-tiba telah menjadi janda. Namun kepedihan hati permaisuri itu pun agaknya bukan sekedar karena ia ditinggalkan oleh suaminya. Tetapi agaknya ia menyimpan soal-soal yang lain pula, yang tidak dapat dikatakan kepada orang lain dengan kata-kata. Sehingga yang dapat dilimpahkan hanyalah air matanya saja.
Oleh kenyataan itu, maka keenam pemimpin itu telah bersepakat untuk tidak menyerahkan persoalan ini kepada permaisuri yang sedang berduka itu. Karena itu, maka apa yang sebaiknya mereka lakukan, mereka bicarakan dengan tinjauan dari segala segi dan segala kemungkinan. Selama keenam pemimpin itu sedang berbincang, maka Ken Arok dan Mahisa Agni harus menunggunya di luar bilik. Mereka duduk tepekur tanpa berbicara sepatah kata pun. Sekali-sekali tatapan mata mereka beredar menyusuri tiap-tiap di dalam ruangan itu. Namun, kemudian kembali kepala-kepala mereka tepekur.
Pembicaraan keenam pemimpin itu ternyata berlangsung cukup lama. Keduanya terperanjat, ketika mereka mendengar pintu bilik itu terbuka. Namun agaknya pembicaraan itu belum selesai. Ternyata mereka memanggil Ken Arok untuk dimintai beberapa keterangan. Kembali Mahisa Agni duduk tepekur. Dengan sudut matanya ia melihat salah seorang penjaga yang duduk terkantuk-kantuk.
“Pantas. Kebo Ijo berhasil mendekati bilik Akuwu tanpa diketahui orang. Agaknya telah menjadi kebiasaan para penjaga di dalam istana ini duduk terkantuk-kantuk,” gumam Mahisa Agni di dalam hatinya.
Akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu duduk termenung tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun segera berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. Penjaga yang semula terkantuk-kantuk itu pun memandanginya dengan curiga. Tetapi ia tidak menyapanya, karena ia tahu, bahwa Mahisa Agni sedang menunggu hasil pembicaraan keenam pemimpin Tumapel yang kini berada di dalam bilik yang tertutup itu.
Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat prajurit yang lain berdiri di belakang tiang di depan longkangan dalam. Kemudian ia melihat yang lain lagi di sebelah sebuah patung yang besar.
“Tidak ada gunanya. Penjagaan di dalam istana ini diperkuat setelah Akuwu Tunggul Ametung terbunuh,” katanya di dalam hati, namun kemudian dijawabnya sendiri, “Mungkin mereka masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa peristiwa yang terjadi tidak hanya terhenti sampai sekian. Mungkin mereka mencemaskan nasib Ken Dedes pula. Apabila pembunuhan ini dikendalikan oleh sekelompok pemimpin Tumapel untuk merebut kekuasaan dengan cara yang masih belum dimengerti, maka memang keselamatan Ken Dedes juga terganggu.”
Mahisa Agni pun akhirnya berhenti. Diamatinya sebuah ukiran nada tiang yang hampir sepemeluk. Ukiran yang halus dan diwarnai oleh sungging yang bagus. Namun warna-warna itu kini tampak terlampau suram baginya. Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka. Sejenak kemudian ia melihat Ken Arok berdiri di muka pintu sambil melampaikan tangan memanggilnya. Dengan dada berdebar-debar Mahisa Agni melangkah dengan tergesa-gesa mendekat. Kemudian Ken Arok menariknya masuk ke dalam bilik, dan pintu pun segera tertutup kembali.
“Mahisa Agni,” bertanya salah seorang pemimpin Tumapel yang telah berusia lanjut, “apakah kau benar-benar telah bertekad bulat untuk naik ke arena?”
“Ya,” jawab Mahisa Agni singkat.
“Atas dasar dan pertimbangan apakah maka hal itu kau lakukan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia menjawab, “Aku ingin membantu menegakkan kebenaran di Tumapel. Seandainya kesalahan seseorang terhapus karena kekuatan seorang di dalam perang tanding, maka hal itu menurut aku sama sekali tidak adil. Kalau seseorang bersalah, betapapun juga ia telah bersalah. Meskipun orang lain mempertahankannya dengan kemenangan seratus kali di arena.”
“Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?”
“Tidak. Tetapi hasrat itulah yang ada padaku,” Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian, “tetapi kalau ditanyakan kepadaku tentang kepentinganku yang langsung, maka aku adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes, sehingga aku adalah ipar dari Akuwu yang terbunuh. Selain Akuwu juga pamanku telah terbunuh. Dengan demikian adalah kewajibanku untuk berbuat sesuatu.”
Keenam pemimpin Tumapel itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari Ken Arok mereka telah mendengar, bahwa Mahisa Agni adalah murid dari seorang Empu, dan Empu itu adalah ayahnya sendiri juga ayah Ken Dedes, Empu Purwa.
“Kebo Ijo pernah dikalahkannya, juga kakak seperguruannya yang lain, Mahendra,” berkata Ken Arok ketika ia dimintai keterangan para pemimpin itu.
Sejenak kemudian para pemimpin itu terdiam. Agaknya mereka masih diliputi oleh keragu-raguan. Namun kemudian salah seorang yang mewakili mereka berkata, “Setelah mendapatkan beberapa keterangan Agni, baiklah aku menerima permintaanmu. Kau kami percaya untuk mewakili kami. mempertahankan keputusan yang telah kami ambil tentang Kebo Ijo. Kau memang bukan orang lain. Kau pun berhak untuk melakukan pembelaan itu, karena kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan sekaligus kemenakan Empu Gandring yang terbunuh pula. Kalau kau berhasil, maka sekaligus kita menemukan pembunuh pamanmu itu pula.”
Mahisa Agni menahan nafasnya. Hatinya serasa mengembang di dadanya. Ia mendapat saluran untuk menyatakan kesetiaannya, meskipun yang terutama untuk kepentingan pamannya. Demikianlah, maka telah menjadi keputusan, bahwa Mahisa Agnilah yang akan naik ke arena untuk mempertahankan keputusan pemimpin Tumapel yang enam, melawan keyakinan Witantra bahwa adik seperguruannya itu sama sekali tidak bersalah. Meskipun Witantra sadar, bahwa pendapat sebagian terbesar rakyat Tumapel tidak condong kepadanya, namun ia telah siap menerima akibat dari keyakinannya itu...
Ken Arok meloncat berdiri. Wajahnya menjadi semakin tegang.
“Duduklah, duduklah,” desis Kebo Ijo, “aku tidak mau membuat istriku menjadi gila.”
Ken Arok tidak segera menyahut, tapi wajahnya yang tegang itu menjadi semakin tegang.
“Duduklah,” desis Kebo Ijo.
Perlahan-lahan Ken Arok duduk kembali di tempatnya. Wajahnya masih tetap tegang. Namun di dalam hati ia menjadi sangat heran. Kebo Ijo yang cepat sekali dibakar oleh perasaannya itu, mampu menahan hati menghadapi kenyataan yang tak diduga-duganya. Anak bengal itu masih juga mampu berpikir, bahwa ia tidak mau membuat istrinya menjadi gila karena persoalannya itu. Ken Arok pun kemudian ikut menjadi gemetar. Kebo Ijo harus mendapat kesan bahwa ia terkejut sekali mendengar keterangan bahwa keris itu benar-benar telah hilang.
“Keris itu telah lenyap, Ken Arok,” sekali lagi Kebo Ijo berdesis.
Sejenak Ken Arok masih berdiam diri. Seakan-akan ia sedang dicengkam oleh perasaannya yang tidak dapat dikuasainya lagi. “Kebo Ijo,” berkata Ken Arok dengan suara gemetar, “aku juga melihat keris yang tertancap di dada Akuwu. Aku segera menjadi gelisah. Keris itu mirip benar dengan kerisku yang ada di tanganmu. Tetapi aku percaya bahwa kau tidak akan melakukannya. Itulah sebabnya aku menolak untuk membawa sepasukan prajurit, untuk menangkapmu. Aku menyangka, bahwa keris itu hanya sekedar mirip dengan kerisku itu. Tetapi ternyata keris itu sudah tidak ada lagi di dalam simpanan.”
Kebo Ijo tidak segera menyahut, ia kini duduk di samping Ken Arok dengan kepala tunduk.
“Kebo Ijo,” desis Ken Arok, “hampir setiap orang dapat mengatakan, bahwa keris itu adalah kerismu. Agaknya kau pernah memperlihatkan keris itu kepada banyak orang, Di dalam bilik Akuwu yang penuh dengan para pemimpin tertinggi Tumapel aku tidak sempat mengamat-amati keris itu dengan baik. Apalagi aku yakin, bahwa keris itu hanya sekedar bersamaan bentuk, karena aku yakin, aku yakin Kebo Ijo, bahwa kau tidak akan melakukannya. Ya, aku yakin bahwa kau akan dapat membuktikannya dengan membawa keris itu ke istana. Tetapi…”
Ken Arok berhenti berbicara. Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat mengerti kenapa keris di dalam geledeg itu tiba-tiba saja tidak ada di tempatnya. Sejenak kemudian terdengar, ia bergumam dalam nada yang dalam, “Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat, terjadi?”
“Lihatlah Kebo Ijo, apakah ada pencuri yang masuk ke rumah ini?”
Kebo Ijo menggeleng, “Tidak. Tidak ada apapun yang hilang dari rumah ini selain keris itu. Agaknya semua masih dalam keadaan semula. Tidak ada dinding yang pecah, atau tanah yang tergali.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lalu apakah kira-kira yang terjadi? Persoalan ini bukan sekedar persoalan hilangnya keris itu Kebo Ijo. Kau agaknya menganggap hal ini seperti permainan yang tidak akan membawa akibat.”
“Aku sadar Ken Arok. Aku sadar bahwa mungkin aku harus mempertaruhkan nyawaku.”
“Bukan kau Kebo Ijo. Kalau orang-orang itu kemudian tahu bahwa keris itu adalah kerisku, maka akulah yang akan digantung di bawah gerbang istana.”
“Tidak. Tidak,” tiba-tiba Kebo Ijo berdiri, “aku bukan pengecut. Keris itu ada di tanganku. Karena itu akulah yang akan menengadahkan dada apabila terjadi sesuatu.”
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Kebo Ijo langsung bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, ia memang sedang menjajaki hati Kebo Ijo. Seandainya Kebo Ijo itu berbahaya baginya, maka ada seribu macam alasan untuk menyelesaikannya. Ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Sedangkan Empu Gandring telah dikorbankannya pula.
Setiap kali masih terngiang di telinganya kata-kata Buyut Karuman, “Memang kadang-kadang yang tidak bersalah menjadi korban. Menjadi tawur untuk masa mendatang yang lebih baik.”
Empu Gandring telah menjadi korban meskipun ia tidak bersalah sama sekali. Sekarang datang giliran Kebo Ijo. Saat yang lain siapa lagi?
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Kebo Ijo berkata dengan tatag, “Marilah Ken Arok, kita pergi ke istana. Aku akan melihat keris itu. Seandainya keris itu adalah kerisku yang hilang, maka aku tidak akan mengganggumu. Justru aku minta maaf kepadamu. Akulah yang akan menanggung semua akibatnya.”
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Dan apalagi ketika sejenak kemudian ia mendengar suara anak yang merengek.
“Siapa?” bertanya Ken Arok.
“Anakku.”
“Oh,” Ken Arok menundukkan kepalanya. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa Kebo Ijo mempunyai seorang anak. Tetapi ia tidak mempunyai sasaran lain selain orang itu untuk korban berikutnya.
“Marilah Ken Arok,” desis Kebo Ijo, “aku akan minta diri dahulu kepada istriku.”
Ken Arok menganggukkan kepalanya. ia pun kemudian berdiri ketika Kebo Ijo melangkah masuk ke dalam biliknya. Sejenak kemudian Kebo Ijo dan istri serta anaknya di dalam dukungan keluar dari dalam biliknya. Anak Kebo Ijo yang masih terlampau kecil itu memandang Ken Arok dengan tatapan mata yang aneh. Ken Arok tiba-tiba menjadi berdebar-debar melihat mata yang basah itu. Mata anak Kebo Ijo yang masih sangat kecil, yang masih belum mengerti persoalan yang sedang terjadi atas ayahnya.
“Anak itu sudah mulai berjalan,” desis Kebo Ijo.
“Oh,” Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Mahisa Randi,” berkata Kebo Ijo kepada anaknya, “Ayah akan pergi bersama paman Ken Arok. Tinggallah di rumah sayang. Jangan nakal.”
Anak itu tidak menjawab. Tetapi matanya masih basah. Kemudian kepada istrinya Kebo Ijo minta diri. Hatinya yang gelap membuat kata-katanya menjadi bergetar. “Aku pergi dulu Nyai. Aku akan ke istana melihat apa yang sedang terjadi bersama Ken Arok.”
Istrinya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Silakan Kakang. Apakah malam nanti Kakang tidak pulang?”
“Entahlah,” jawab Kebo Ijo, “istana baru dilanda oleh persoalan yang gawat sekali. Hati-hatilah kau mengurus anakmu, Nyai. Seandainya aku terlambat pulang, ajarilah anakmu berjalan di setiap pagi.”
Istrinya mengerutkan keningnya, “Berapa hari Kakang akan pergi?”
“Oh,” Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “aku tidak tahu Nyai. Seandainya ada tugas yang harus aku lakukan. Mungkin Kakang Witantra memberikan tugas kepadaku untuk mencari orang-orang yang dianggap bersalah. Atau mungkin justru aku harus pergi keluar Tumapel.”
“Apakah Tumapel akan mengalami peperangan?”
“Oh, tidak Nyai. Tidak,” suara Kebo Ijo menjadi semakin perlahan. Ada sesuatu terasa menyumbat kerongkongannya. Ia tahu benar akibat yang akan terjadi atas dirinya, seandainya keris itu benar-benar Keris Ken Arok yang disimpannya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada istrinya. “Aku seorang prajurit, Nyai,” berkata Kebo Ijo itu kemudian, “kau tahu bahwa aku seorang prajurit sejak kita kawin.”
Istrinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baik-baiklah di rumah, Randi. Kau harus menjadi anak yang baik. Hati-hatilah dalam tindakan dan ucapan. Ayahmu agaknya telah terperosok karena sikapnya.”
“Kenapa kau Kakang?” bertanya istrinya.
Kebo Ijo tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa betapa hambarnya di telinga Ken Arok. “Sudahlah. Kakang Witantra menunggu kedatanganku. Mungkin aku akan dibawanya ke Singasari atau ke Kediri atau Ke manapun. Tetapi mungkin juga tidak.”
Seleret pertanyaan membayang di wajah istrinya. Dipandanginya saja Kebo Ijo berganti-ganti dengan Ken Arok. Tetapi perempuan itu tidak bertanya sesuatu.
“Sudah terlampau lama aku di rumah. Keadaan memerlukan aku segera berada di istana. Selaraklah pintu rumah ini kembali. Hati-hatilah!” berkata Kebo Ijo.
Istrinya menganggukkan kepalanya. Desisnya, “Kalau sudah selesai pekerjaanmu, lekaslah pulang, Kakang.”
“Tentu. Aku tentu segera pulang.” Lalu dikecupnya dahi anaknya. Sekali, dua kali. Tetapi Kebo Ijo menahan hatinya sekuat tenaganya ketika ia ingin mengecupnya untuk ketiga kali, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Mahisa Randi memandang ayahnya dengan mata yang masih basah. Tiba-tiba tangan anak itu menggapai-gapai, seolah-olah mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia ingin ikut pergi bersamanya.
“Anak nakal,” desis Kebo Ijo. Suaranya tiba-tiba menjadi terlampau dalam, “ia sekarang sudah mengerti bahwa inilah ayahnya.”
Kebo Ijo mencoba tertawa. Namun kemudian ia melangkah sambil berkata, “Ah, tidak ada habis-habisnya kita berbicara di sini. Marilah Ken Arok. Kita harus segera sampai ke istana.”
“Marilah,” sahut Ken Arok, yang kemudian minta diri kepada istri Kebo Ijo, “aku akan mengantarkan suamimu ke istana.”
“Aku titipkan ia kepadamu.”
“He,” tiba-tiba Kebo Ijo berhenti, “ada-ada saja kau Nyai. Apakah aku kau persamakan dengan sepotong benda mati?” Sekali lagi Kebo Ijo mencoba tertawa.
Keduanya pun kemudian berjalan melintasi halaman menuju ke kuda mereka. Kebo Ijo tertegun ketika ia mendengar anaknya tiba-tiba menangis sambil meronta-ronta. Digapai-gapaikanya tangannya untuk menyatakan keinginannya ikut bersama ayahnya.
“He, masuklah,” berkata Kebo Ijo, “tidak baik bagi anak-anak, udara malam terlampau dingin.”
Istrinya tidak menjawab. Dicobanya untuk menenteramkan anaknya dan mendukungnya masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian pintu pun telah tertutup. Namun suara tangis itu masih juga terdengar.
Betapapun juga hati Ken Arok serasa tergores oleh tangis itu. Ia merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kesulitan. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menarik rencananya itu. Semuanya harus terlaksana. Apapun yang harus dikorbankannya.
Sementara itu istri Kebo Ijo masih berusaha untuk menenangkan anaknya. Didukungnya anak itu hilir mudik di dalam rumahnya. Bahkan sekali-kali dibawanya anak itu ke belakang, ke ruang tengah, ke pringgitan. Tetapi anak itu masih juga menangis. “Cup, cup Ngger,” bisik istri Kebo Ijo, “ayah pergi hanya sebentar. Nanti ayah akan segera kembali membawa oleh-oleh buatmu.”
Tetapi anak itu masih juga menangis. Sehingga ibunya masih harus berjalan hilir mudik sambil mendukungnya. Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. Dilihatnya selarak pintu butulan tergolek di samping pintu. Dengan ragu-ragu ia melangkah mendekatinya dan kemudian mengambilnya. Sambil menyelarak pintu ia berdesis, “Agaknya kami lupa menyelarak pintu. Untunglah tidak ada seorang pun yang memasuki rumah ini. Tetapi sebagai peringatan aku harus mengatakannya kepada Kakang Kebo Ijo, bahwa pintu butulan masih terbuka.”
Tetapi ternyata, bahwa istri Kebo Ijo itu untuk selama-lamanya tidak lagi mendapat kesempatan untuk mengatakannya. Kebo Ijo mencoba untuk memacu kudanya meskipun dengan ragu-ragu. Suara tangis anaknya masih terngiang saja di telinganya. Sebagai seorang prajurit ia sudah terlampau biasa pergi di dalam tugasnya. Tetapi kali ini ia merasakan kelainan dari masa-masa lampau. Ia sadar, bahwa ia sedang terancam bahaya yang paling parah. Keris itu akan dapat menyeretnya ke tiang gantungan, atau hukuman lain yang sama artinya. Mati.
Karena itu, maka di sepanjang jalan Kebo Ijo itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kini disadarinya semua tingkah lakunya yang salah. Terngiang kembali guraunya, ‘Suatu ketika Akuwu yang dungu itu akan aku cekik sampai mati’. Dan di lain kali, ‘hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang mau menjadi hamba-hamba yang mati bagi Akuwu yang dungu itu’. Bahkan pernah ia sambil menepuk dadanya berkata, “Aku tidak sudi menjadi kuda tunggangan seperti Kakang Witantra.”’
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata lambat, “Aku menyesal Ken Arok, bahwa sejak semula aku tidak pernah mendengarkan nasihatmu. Aku kini merasa bahwa tingkah lakuku sama sekali tidak disukai orang lain. Mungkin mereka menganggap aku terlampau sombong. Dalam keadaan serupa ini aku baru merasa bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan membelaku. Semua orang pasti akan memastikan, seandainya keris itu adalah kerismu yang ada padaku, bahwa akulah yang telah membunuh Akuwu. Apalagi mereka yang pernah mendengar senda gurauku yang gila.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
“Aku berterima kasih kepadamu Ken Arok, meskipun sudah terlambat. Aku merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi untuk disesali. Aku akan menghadap Kakang Witantra dengan dada tengadah, dan aku akan menjalani semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kakang Witantra adalah seorang prajurit. Ia tidak akan membedakan, apakah aku saudara seperguruannya. Ia akan bertindak terhadap siapa pun juga yang dianggapnya bersalah.”
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dadanya telah terjadi benturan yang maha dahsyat. Sekali-kali ia berpaling memandangi wajah Kebo Ijo di dalam gelapnya malam. Dan betapa ia menjadi heran melihat wajah itu justru menjadi bening. Ternyata hati Kebo Ijo telah mengendap. Ia tidak cemas lagi menghadapi setiap kemungkinan. Ia harus menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
“Kalau aku ingkar dan mencoba lari dari kenyataan ini, maka namaku akan menjadi semakin tidak berharga. Tidak ada seorang pun yang akan mampu melepaskan aku dari bencana,” katanya di dalam hati, “Namun seandainya aku mendapat kesempatan mengetahui siapakah pembunuh yang sebenarnya, yang telah mempergunakan keris itu, aku akan berbesar hati. Adalah di luar kemampuan berpikir bahwa keris itu tiba-tiba saja telah lenyap dari geledeg itu tanpa tanda-tanda yang dapat memberikan petunjuk apapun juga.”
Tetapi sama sekali tidak tebersit hasrat Kebo Ijo untuk menyeret Ken Arok dalam kesulitan. Ia sudah cukup merasa berterima kasih bahwa setiap kali Ken Arok memberinya peringatan. Adalah salahnya sendiri, bahwa peringatan Ken Arok itu tidak pernah dihiraukannya. Kini datanglah saat itu. Saat ia terdorong ke dalam suatu bencana.
Semakin dekat mereka dengan gerbang istana, hati Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, seperti juga hati Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo sendiri sudah pasrah. Pasrah kepada tangan-tangan Yang Maha Penentu. Setiap prajurit yang bertugas di pintu gerbang melihat keduanya memasuki halaman belakang istana. Dengan dada yang berdebaran mereka berbisik, “He, itulah Kebo Ijo.”
“Tidak aku sangka semudah itu untuk menangkapnya,” sahut yang lain.
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hampir setiap orang di istana telah mendengar bahwa keris yang tertancap di dada Akuwu adalah keris Kebo Ijo, sehingga setiap orang telah memastikan bahwa Kebo Ijolah yang membunuhnya.
“Aku pernah mendengar, Kebo Ijo mengancam untuk membunuh Akuwu,” desis salah seorang dari mereka, “kini ternyata maksud itu telah dilaksanakan. Tetapi aku heran, bahwa seseorang yang telah berani membunuh Akuwu Tunggul Ametung, begitu mudahnya dibawa ke istana.”
“Ken Arok memang orang luar biasa. Selain Ken Arok tidak akan dapat melakukannya. Bahkan Witantra pun tidak,” jawab yang lain.
“Witantra adalah saudara seperguruannya,” gumam yang lain lagi. Dan para prajurit itu pun kemudian saling mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Kebo Ijo tanpa berbuat apapun telah dibawa oleh Ken Arok masuk ke dalam istana. Ia merasa bahwa setiap mata memandanginya dengan penuh kebencian. Tetapi Kebo Ijo tidak menundukkan kepalanya. Ia menengadahkan wajah dan dadanya.
“Anak itu masih juga menyombongkan dirinya,” berkata salah seorang prajurit yang lain, yang bertugas di dalam istana.
Sementara itu Kebo Ijo mengikuti Ken Arok langsung menuju ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Betapapun juga ia mencoba mengendapkan perasaannya, namun ia masih juga berdebar-debar. Yang paling menyakitkan hatinya adalah cara orang lain yang sangat licik itu. Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.
“Kalau saja aku mendapat kesempatan,” katanya di dalam hati, “aku ingin bertemu dengan pembunuhnya. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang mengambang. Tidak seorang pun yang menolak tuduhan bahwa akulah yang telah melakukannya.”
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka sampai ke muka bilik Akuwu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pun segera menyibak. Seolah-olah mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung sendiri akan memasuki ruangan itu. Demikian Kebo Ijo muncul di pintu bilik, maka Witantra pun kemudian menggeram. Ditatapnya mata Kebo Ijo tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat jauh sampai ke pusat otaknya.
“Kebo Ijo!” suara Witantra bergetar, “Apakah keris ini kerismu?”
Kebo Ijo maju selangkah. Sekilas ia berpaling kepada Ken Arok yang berdebar-debar. Seandainya Kebo Ijo ingkar, maka persoalan itu pasti akan berkepanjangan. Apalagi apabila kemudian terdengar oleh Mahisa Agni dan para cantrik di padepokan Empu Gandring.
“Kenapa anak itu tidak aku bunuh saja sama sekali,” geram Ken Arok di dalam hatinya, “selagi ia masih hidup, ia akan dapat berbicara tentang apa saja.”
Namun Ken Arok melihat Kebo Ijo menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Kakang. Keris itu adalah kerisku.”
Witantra yang sudah tidak dapat menahan hati itu pun langsung bertanya kepadanya, “Jadi kaukah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya dengan tatag. Sama sekali tidak terbayang kecemasan di dalam sorot matanya, “Tidak Kakang. Aku tidak segila itu. Apakah pamrihku membunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
“Lalu bagaimana mungkin keris ini dapat sampai di sini?”
“Itulah yang membuat hatiku menjadi terlampau pahit. Aku tidak takut menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi bahwa kerisku yang dipergunakan oleh pembunuhnya itulah yang paling menyakitkan hati.”
“Tetapi bagaimana mungkin kerismu hilang dari rumahmu?” Witantra berhenti sebentar, lalu suaranya bergetar semakin dalam, “Kebo Ijo, aku mengharap kau datang membawa sebilah keris, dan sambil membuktikan bahwa kerismu masih ada padamu kau berjanji untuk menangkap pembunuhnya. Tetapi ternyata keris ini adalah kerismu.”
Kebo Ijo tidak segera menjawab. Kenyataan itu memang tidak dapat diingkarinya. Keris itu adalah kerisnya, dan keris itu pulalah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung.
“Kebo Ijo, apa katamu?” desak Witantra.
“Aku tidak dapat mengingkari kenyataan itu Kakang.”
“Jadi kau mengaku, bahwa kau yang membunuhnya?”
“Aku tidak akan pernah mengaku, bahwa aku yang telah membunuh, karena aku memang tidak melakukannya,” jawab Kebo Ijo dengan hati yang tabah.
“Lalu bagaimana dengan kenyataan ini?”
“Terserahlah kepada Kakang Witantra. Keputusan apakah yang akan dijatuhkan kepadaku. Aku akan patuh menjalani. Baik aku sebagai prajurit maupun aku sebagai adik seperguruan. Tetapi apapun yang akan terjadi, aku tidak akan mengakuinya, karena aku memang tidak melakukannya.”
Witantra menggeretakkan giginya. Ia berdiri pada suatu keadaan yang paling sulit. Namun menilik sikap dan jawaban Kebo Ijo, Witantra dapat mempercayainya, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Tetapi apabila ia berkata demikian, maka setiap orang pasti akan mencemoohkannya, karena justru Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Karena itu, dalam kekeruhan nalar, Witantra tidak segera berbuat dan berkata sesuatu. Bahkan akhirnya kepalanya ditundukkannya sambil mengamat-amati keris yang masih digenggamnya.
Sementara itu setiap orang di luar dan di dalam bilik itu sudah menjatuhkan kepastian, bahwa Kebo Ijolah yang melakukannya. Sikapnya sehari-hari, kata-katanya dan tingkah lakunya, sama sekali tidak disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam keadaan yang demikian itulah akan sangat terasa, hampir tidak ada seorang pun yang berdiri di pihaknya, meskipun benar-benar ia tidak merasa bersalah. Kesalahan yang membebani hatinya adalah, bahwa ia tidak pernah mendengarkan nasihat Ken Arok. Hanya itu, bukan karena ia merasa membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra yang menjadi pening, akhirnya menyerahkan keris itu kepada orang-orang tua dalam pemerintahan Tumapel. Sambil menahan gelora hati yang tidak tertahankan ia berkata, “Terserahlah kepada kalian. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Pimpinan pemerintahan yang tujuh, termasuk manggala perang akan menjatuhkan keputusan. Aku hanya salah seorang dari mereka.”
Salah seorang tetua pemerintahan yang diserahi keris itu berpikir sejenak. Kemudaan diterimanya keris itu sambil berkata, “Kau dapat menentukan Witantra. Orang yang bersalah adalah seorang prajurit di dalam pasukanmu, justru pasukan pengawal.”
“Aku adalah seorang prajurit yang harus berdiri pada watak dan sifat prajurit,” jawab Witantra, “tetapi di sini aku berhadapan dengan diriku sendiri. Aku melihat bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo memang tidak melakukannya, menilik sikap dan jawabannya. Aku mengenal Kebo Ijo sejak lama. Aku mengenal wataknya. Kegilaannya, kebengalannya dan memang kadang-kadang ia berbuat licik. Tetapi aku tidak akan dapat membayangkan, kalau suatu ketika ia melakukan pembunuhan yang sebenarnya. Apalagi membunuh Akuwu Tunggul Ametung.”
Kata-kata Witantra ternyata telah menggetarkan setiap dada. Mereka heran melihat sikap itu. Witantra yang selama ini mereka kenal sebagai seorang prajurit yang bersikap lurus, siapa pun yang dihadapinya. Namun pada suatu saat, di mana saudara seperguruannya sendiri yang terlihat, ia menjadi miyur. Sejenak terdengar suara bergeramang di dalam dan di luar bilik. Semua mata kini memandang ke wajah Witantra yang merah dan tegang. Setegang wajah Ken Arok. Berbagai masalah telah menggelegak di dalam dadanya. Ia pun sama sekali tidak menyangka bahwa Witantra ternyata akan bersikap demikian.
“Karena itulah,” berkata Witantra kemudian, “aku serahkan persoalan ini kepada kalian. Suara kalianlah yang akan menentukan. Aku sudah merasa, bahwa kali ini suara hatiku akan lain sekali dengan keputusan kalian. Aku yakin bahwa yang terjadi bukan seperti yang kita kira-kirakan. Aku tidak menganggap Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh yang biadab.”
Witantra berhenti sejenak. Lalu, “dan aku tidak dapat melepaskan keyakinanku, meskipun aku tahu, bahwa aku akan berdiri menyendiri.”
Sekali lagi terdengar suara bergeramang. Sedang Witantra masih berdiri di tengah-tengah bilik itu dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata di dalam dirinya telah terjadi pertentangan yang dahsyat, ia tidak dapat melepaskan bukti yang pasti tidak dapat diingkari lagi. Tetapi dalam pada itu, ia mempunyai suatu keyakinan yang asing di dalam pertemuan itu. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan keyakinannya.
Tiba-tiba di dalam ketegangan itu, salah seorang tetua pemerintahan berkata, “Angger Witantra. Kita sudah dihadapkan pada suatu kenyataan. Sudah tentu kita tidak akan dapat ingkar lagi.”
“Ya, itulah yang akan aku dengar. Aku sudah tahu. Dan kini terserah kepada kalian,” jawab Witantra. Ketika sejenak dipandanginya wajah Kebo Ijo yang masih saja menatap lurus-lurus ke depan ia menjadi semakin yakin, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Namun sejalan dengan itu, ia pun menjadi semakin yakin pula, bahwa Kebo Ijo tidak akan dapat lepas lagi dari bencana.
Witantra itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika ia mendengar pimpinan prajurit Tumapel berkata, “Baiklah Witantra. Meskipun Kebo Ijo termasuk di dalam pasukan pengawal, tetapi karena kau sudah menyerahkannya kepada kami maka kami akan mengambil keputusan bersama-sama dengan pimpinan pemerintahan yang tujuh dan segenap manggala, termasuk kau.”
Witantra tidak menjawab. Dan ia semakin mengatupkan giginya ketika ia mendengar pimpinan prajurit itu berkata, “Kau menjadi tawanan kami Kebo Ijo.”
Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut mendengar perintah pimpinan prajurit itu. Ia sudah menyadari sebelumnya bahwa itu pasti akan menjadikannya seorang tawanan. Namun demikian ia mencoba untuk menatap wajah Witantra. Tetapi Witantra membuang pandangan matanya jauh-jauh. Seakan-akan ia tidak berani lagi menatap wajah Kebo Ijo. Ketika dua orang prajurit mendekati Kebo Ijo dan memegang kedua belah tangannya Kebo Ijo mengibaskannya sambil menggeram, “Apa kau sangka aku tidak dapat berjalan sendiri?”
Kedua prajurit itu mundur selangkah. Setiap orang yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. Bahkan Witantra pun kemudian menatapnya. Dalam keadaan yang demikian, maka segala hal dapat terjadi. Apalagi kalau Kebo Ijo itu kemudian menjadi berputus asa.
Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok maju beberapa langkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia berbisik, “Marilah Kebo Ijo. Mudah-mudahan pembicaraan di antara para pemimpin akan memberimu jalan.”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia meraba hulu pedangnya sambil mengerutkan keningnya. Sikap itu semakin mendebarkan setiap jantung. Tetapi Ken Arok tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan sekali lagi ia berbisik, “Apakah kau akan melawan?”
“Alangkah gilanya,” jawab Kebo Ijo. Perlahan-lahan maka tangan Kebo Ijo itu menarik pedangnya, tetapi beserta wrangkanya. Kemudian dilemparkannya pedang itu di lantai sambil berkata lantang, “Aku tetap seorang prajurit. Meskipun sampai saat terakhir aku tidak pernah merasa bersalah, tetapi aku akan tunduk kepada setiap keputusan kalau keputusan itu akan memberi kalian kepuasan.”
Wajah-wajah yang ada di sekitarnya pun menjadi semakin tegang. Sejenak tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata. Dan ruangan itu menjadi sunyi.
“Marilah,” terdengar suara Kebo Ijo memecah kesepian, “Ke mana aku akan dibawa? Aku tidak akan lari.”
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu seakan-akan tersadar dari lamunan mereka. Hampir mereka tidak percaya melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka masih juga berdiam diri ketika mereka melihat Ken Arok menggandeng Kebo Ijo keluar dari ruangan itu.
“Aku hormati kau Kebo Ijo,” bisik Ken Arok, “pada saat terakhir kau adalah seorang yang paling jantan yang pernah aku lihat.”
“Jangan memuji. Setiap pujian kini sudah tidak berarti lagi bagiku. Selama ini aku selalu mabuk oleh segala macam sanjungan, pujian dan sikap yang berpura-pura. Tetapi sekarang aku sudah tidak memerlukannya lagi.”
“Aku tidak memuji. Tetapi aku kagum melihat kenyataan ini. Aku kira, selama kau tidak akan ada seorang pun yang dapat melakukannya. Seandainya aku yang mengalaminya, mungkin aku akan berbuat lain. Mungkin lari dan mungkin membunuh diri.”
Kebo Ijo tidak menyahut. Sekali ia berpaling memandang dua orang prajurit yang mengikutinya beberapa langkah di belakangnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kita tempatkan Kebo Ijo di bilik sebelah ruang perbendaharaan. Menurut perintah, ia akan tetap ditahan di dalam istana.”
“Persetan!” Kebo Ijo menggeram.
Ken Arok sama sekali tidak menyahut. Tetapi dibawanya Kebo Ijo itu berbelok ke kiri menyusur serambi belakang. Kemudian melampaui sebuah longkangan, dan naik ke bilik perbendaharaan.
“Kami berdua bertugas untuk menjaganya,” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Baik Ken Arok maupun Kebo Ijo masih tetap berdiam diri. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam sebuah bilik yang kecil di sebelah ruang perbendaharaan istana.
“Biarlah ia berada di dalam. Sebaiknya kau keluar Ken Arok,” berkata salah seorang prajurit itu, “pintunya akan aku palang dari luar.”
“Tunggu,” sahut Ken Arok, “aku masih memerlukannya.”
“Tinggalkan aku,” desis Kebo Ijo.
“Aku akan mengawanimu Kebo Ijo. Kau harus tetap tenang dan tidak kehilangan kebeningan akal.”
“Aku tidak menjadi gila karenanya.”
“Karena kau masih mempunyai kawan untuk membagi perasaan. Karena itu, aku akan tetap tinggal di sini. Seseorang yang dalam keadaan gelap, mudah mempunyai angan-angan yang bukan-bukan.”
“Aku menyadari keadaanku Ken Arok. Aku telah menduga, bahwa tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati.”
“Kau sudah mulai berputus asa.”
Kata-kata Ken Arok terputus ketika ia mendengar prajurit di luar berkata, “Ken Arok, tinggalkan ia sendiri.”
“Tunggu! Aku masih berbicara.”
“Tinggalkan aku,” desis Kebo Ijo.
“Tidak Kebo Ijo. Apalagi agaknya kau sudah mulai berputus asa. Sikap yang demikian adalah tanda-tanda yang kurang baik. Putus asa bagimu dalam keadaan ini adalah langkah pertama menuju kepada bunuh diri.”
Kebo Ijo termenung sejenak. Tiba-tiba ia menyahut, “Itu akan lebih baik daripada aku mati di tiang gantungan. Apa lagi di alun-alun atau di bawah pintu gerbang.”
“Siapa bilang bahwa hukuman itu akan dilakukan dengan cara demikian?”
Kebo Ijo terdiam sejenak. Wajahnya merenung ke alam angan-angannya yang terlampau jauh. Sejenak mereka saling berdiam diri. Kebo Ijo mencoba untuk membayangkan apa saja yang dapat terjadi atasnya. Sedang Ken Arok dengan berdebar-debar memperhatikan perkembangan perasaan Kebo Ijo.
Ken Arok mengangkat kepalanya ketika ia mendengar para penjaga sekali lagi berteriak, “He Ken Arok. Kenapa kau masih ada di dalam?”
“Aku belum selesai. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus kami perbincangkan.”
Para prajurit di luar pintu bersungut-sungut. Tetapi mereka menyangka bahwa Ken Arok sedang melakukan tugasnya.
“Kebo Ijo,” berkata Ken Arok seterusnya, “kau harus tetap tenang. Apapun yang akan terjadi dengan kau.”
Kebo Ijo tidak menyahut. Tetapi wajahnya merenung semakin dalam. Kalau teringat olehnya, perbuatan licik seseorang, dengan mencuri kerisnya dan dipergunakannya untuk membunuh Akuwu, darahnya serasa mendidih. Tetapi kemudian ia pun sampai juga pada suatu kesimpulan adalah kesalahannya, kenapa kerisnya dapat jatuh ke tangan seseorang yang tidak dikenal dan tanpa diketahuinya.
Sejenak terbayang, jenis-jenis hukuman yang dapat dilakukan atasnya apabila para pemimpin di Tumapel menetapkan hukuman mati atasnya. Ia dapat digantung di alun-alun, di bawah gerbang depan istana di muka rakyat Tumapel, ditusuk dengan keris di atas sebuah panggungan yang juga disaksikan oleh rakyat atau disapu sampai mati. Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang anak dan istrinya yang menunggunya di rumah.
“Istri seorang prajurit tidak boleh kehilangan akal apabila ia melihat kematian suaminya,” geram Kebo Ijo di dalam hatinya, “tetapi ternyata aku tidak mati di peperangan. Dan meskipun ia istri seorang prajurit, maka ketahanan hatinya pasti akan runtuh juga apabila ia melihat suaminya tergantung di alun-alun, atau di bawah regol besar istana atau ditusuk dengan keris sampai mati, apalagi disapu.”
“Aku kira, lebih baik aku mati Ken Arok,” tiba-tiba ia berdesis.
“He,” Ken Arok terkejut, “kenapa?”
“Aku akan menjadi gila apabila di alun-alun besok aku dapat melihat istri dan anakku menangisi aku sebelum aku digantung.”
“Ah,” desis Ken Arok, “kau membayangkan yang bukan-bukan. Meskipun seandainya kau dihukum mati, kau pun harus menengadahkan dadamu sebagai laki-laki jantan.”
“Tetapi aku tidak akan dapat melakukannya apabila istri dan anakku hadir untuk melihat dan mendapat kesempatan bertemu untuk yang terakhir.”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
“Bagaimana pertimbanganmu Ken Arok?”
“Tetapi aku tidak yakin bahwa kau akan dihukum mati.”
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya, “Tidak ada seorang pun yang menghendaki aku terlepas dari hukuman ini. Karena itu, aku harus menjalani.”
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian katanya, “Aku akan melihat, apakah yang dibicarakan oleh para pemimpin yang tujuh itu sekarang.”
Kebo Ijo tidak menyahut.
“Mungkin hal itu mereka lakukan secara rahasia. Tetapi aku akan berusaha.”
“Terserahlah kepadamu.”
“Aku minta diri sebentar. Tetapi jangan kau biarkan angan-anganmu membubung ke segala arah tanpa terkendali. Mungkin kau akan terjerumus ke dalam suatu sikap yang keliru.”
Kebo Ijo tidak menyahut.
“Tenanglah. Aku akan segera kembali.”
“Beri tahukan kepadaku, kalau mereka mengambil keputusan untuk menghukum aku mati. Lebih baik dilakukan sekarang di tempat tertutup ini daripada di tempat terbuka.”
“Aku akan melihatnya.”
Ken Arok pun kemudian meninggalkan tempat itu. Dicobanya untuk mendekati tempat para pemimpin yang sedang bersidang. Tetapi beberapa langkah dari pintu bilik tempat bersidang itu dijaga oleh beberapa orang prajurit, beberapa orang pengawal istana dan pelayan dalam yang dipimpinnya untuk malam itu. Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia berjalan mendekat. Beberapa orang prajurit memandangnya dengan penuh pertanyaan, dan para pengawal istana menjadi berdebar-debar.
“Aku perlu dengan orang-orangku,” berkata Ken Arok kepada pemimpin prajurit yang bertugas di tempat itu.
Orang itu menganggukkan kepalanya. “Silakanlah.”
Ken Arok memanggil orang-orangnya dengan isyarat tangannya. Kemudian setelah mereka berkumpul diberinya mereka beberapa peringatan. Lalu katanya, “Kembalilah ke tempatmu. Aku akan menghadap Witantra.”
“Mereka sedang bersidang,” jawab salah seorang dari mereka, “tidak seorang pun diperkenankan mendekat.”
“Tetapi aku adalah orang yang khusus. Akulah yang menangkap Kebo Ijo.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berpaling kepada pemimpin prajurit dan pengawai istana yang bertugas.
“Aku akan berbicara dengan orang itu,” desis Ken Arok.
Ternyata kesibukan Ken Arok itu mempengaruhi perasaan pemimpin prajurit itu. Agaknya Ken Arok memang sedang melakukan tugas yang penting. “Mintalah izin langsung kepada mereka, apakah kau diizinkan masuk ke tempat sidang itu,” berkata pemimpin pengawal istana.
“Aku tidak akan ikut bersidang. Itu bukan tugasku.”
“Ya. Lalu apa kepentinganmu?” bertanya pemimpin prajurit.
“Aku akan menyampaikan beberapa laporan saja.”
Pemimpin prajurit dan pengawal istana yang sedang bertugas itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah mereka dapat melarang atau mengizinkan, karena Ken Arok sendiri saat itu sedang memimpin sekelompok pelayan dalam yang sedang bertugas pula. Sejenak kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Terserahlah kepadamu. Ketuklah pintu dan sampaikan maksudmu.”
Ken Arok tidak menjawab. ia pun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah mendekati pintu. Para petugas yang berada beberapa langkah di depan pintu itu melihat Ken Arok berdiri tepat di muka pintu. Mereka melihat Ken Arok beberapa kali mengetok, tetapi pintu itu tidak segera terbuka.
Namun sebenarnya Ken Arok sama sekali tidak mengetuk pintu. Para penjaga yang berdiri beberapa langkah daripadanya hanya melihat tangannya bergerak-gerak. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh pintu bilik. Dengan demikian ia dapat mengelabui para penjaga termasuk orang-orangnya sendiri. Yang dilakukan sebenarnya adalah berusaha mendengar pembicaraan, di dalam bilik itu. Betapa lembutnya, namun telinganya yang tajam berhasil menangkap beberapa patah kata daripadanya.
Dadanya berdebar-debar ketika ia mendengar Witantra berkata, “Terserah kepada kalian. Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Kalau ia memang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, maka ia tidak akan gila meninggalkan kerisnya. Betapa ia tergesa-gesa. Apalagi ternyata bahwa pembunuhan itu baru diketahui ketika darah yang meleleh dari luka itu sudah kering. Itu berarti bahwa masih ada beberapa waktu terpaut. Dan waktu itu cukup bagi Kebo Ijo untuk membawa kerisnya serta.”
“Aku tidak yakin,” jawab seseorang, yang agaknya salah seorang dari tetua pemerintahan, “mungkin telah terjadi perkelahian antara Kebo Ijo dan Akuwu, sehingga Kebo Ijo harus melarikan diri segera. Terlebih lagi, ternyata bahwa tanda pasukan pengawal itu tertinggal.”
“Tetapi,” sahut Witantra, “pembunuhnya pasti telah menancapkan keris itu pada saat Akuwu sedang tidur. Tidak ada tanda bahwa Akuwu berusaha mengambil pusakanya. Gerak Akuwu pun pasti sangat terbatas sehingga perkelahian itu tidak berlangsung lama. Waktu yang kemudian cukup banyak bagi Kebo Ijo untuk membawa keris itu.”
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain lagi, “Ya. Aku cabut tuduhanku. Aku dapat mengerti penjelasan Witantra. Kebo Ijo yang sudah demikian berani dan berhati-hati, sehingga dapat mencapai bilik Akuwu Tunggul Ametung, pasti tidak akan membuat kesalahan yang bodoh. Keris itu pasti tidak akan tertinggal, apalagi masih tetap di dada Akuwu. Sedangkan tidak seorang pun yang segera mengetahui pembunuhan itu. Seandainya ia tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, maka ia masih mendapat kesempatan untuk mengambil kerisnya kembali.”
Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Namun kesepian itu telah mendebarkan jantung Ken Arok. Dalam kesepian yang demikian maka setiap orang akan mendapat kesempatan berpikir dengan bening. Apalagi ketika ia kemudian mendengar seseorang berdesis di dalam bilik itu,
“Maka aku adalah orang yang ketiga yang menyadari kebodohan kita. Seperti yang kita kehendaki selama ini, mengambil keputusan tanpa prasangka dan tanpa pilih bulu. Ternyata kita sudah dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan watak Kebo Ijo yang tidak kita sukai. Namun akhirnya aku menyadari kesalahan itu, dan aku mencoba menempatkan persoalan ini sewajarnya dengan melepaskan prasangka dan kebencian yang ada di dalam diri kita.”
Suara itu berhenti sejenak. Lalu, “terserahlah kepada kita yang tujuh. Masih ada empat orang yang dapat menentukan pendiriannya.”
Ketika suasana di dalam bilik itu menjadi sepi kembali, Ken Arok merasa, bahwa ia harus cepat bertindak. Kalau setiap orang di dalam bilik itu kemudian dipengaruhi oleh sikap Witantra, yang telah menjalar kepada dua orang lainnya, maka keadaannya akan menjadi terlampau jelek baginya. Masih ada saksi yang hidup, yang akan dapat mempengaruhi keadaan kemudian. Ia menyesal bahwa ia tidak membunuh saja sama sekali cantrik yang melepasnya pergi di padepokan Empu Gandring, meskipun ada kemungkinan cantrik itu sudah tidak mengenalnya. Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian telah benar-benar mengetuk pintu itu, sehingga terdengar desis di dalam ruangan, “Siapa?”
“Aku, Ken Arok.”
Terdengar langkah mendekat pintu. Kemudian terdengar palang pintu terangkat, dan pintu itu pun terbuka. “Ken Arok,” berkata Witantra, “seharusnya kau tahu, bahwa kau tidak dapat mengganggu sidang ini.”
“Maafkan,” jawab Ken Arok, “aku pun menyangka bahwa aku akan mengganggu. Tetapi aku memerlukan suatu tindakan yang cepat di dalam masalah ini. Aku mengharap bahwa sebelum para pemimpin yang tujuh ini dapat mengambil keputusan, maka tidak akan terjadi kesalahan yang kurang bijaksana.”
“Apa maksudmu?”
“Kebo Ijo ingin melihat keris itu. Ialah orang yang paling mengenalnya. Meskipun kerisnya tidak ditemukan di dalam rumahnya, tetapi masih ada kemungkinan, bahwa sebenarnya keris itu bukan kerisnya. Keris itu hanyalah mirip atau sengaja dibuat mirip dengan keris yang hilang itu. Kemiripan yang paling mencolok terletak pada tangkainya. Sedang tangkai yang demikian dapat dibuat oleh siapa pun juga. Dengan melihat keris itu dari dekat maka Kebo Ijo akan dapat mengatakan, apakah keris itu benar-benar kerisnya.”
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil berpaling ke arah enam orang yang lain, yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan itu menjadi sunyi sesaat. Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera dapat mengambil suatu keputusan. Ken Arok sendiri masih berdiri tegak di depan pintu. Dipandanginya setiap wajah seorang demi seorang. Namun yang dilihatnya hanyalah keragu-raguan dan kebimbangan.
Baru sejenak kemudian terdengar Witantra berkata, “Bukankah Kebo Ijo telah melihat keris itu?”
“Ya, tetapi Kebo Ijo ingin meyakinkan. Ia ingin melihat setiap guratan pamornya. Dan ia akan dapat memutuskan apakah keris itu miliknya yang hilang.”
“Ia akan dapat berbohong,” berkata salah seorang tetua pemerintahan, “anak itu dapat berkata apa saja tentang keris itu.”
“Bukan maksud Kebo Ijo,” Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Kebo Ijo tidak akan minta belas kasihan atau membuat cerita yang aneh-aneh untuk membebaskan dirinya. Ia cukup jantan menghadapi kenyataan. Yang penting baginya adalah kepuasan perasaan. Kalau keris itu adalah kerisnya yang hilang, maka ia akan dapat menghadapi setiap kemungkinan dengan perasaan yang tenang. Tetapi apabila keris itu bukan kerisnya, meskipun ia tidak ingin bebas karenanya, apalagi membuat-buat cerita ngayawara, namun hal itu akan dapat menyinggung rasa keadilan kita jauh lebih parah lagi.”
Ken Arok berhenti sejenak, “tetapi itu pun bukan berarti suatu pengakuan bahwa seandainya keris itu benar-benar kerisnya ia telah melakukan pembunuhan. Tetapi bahwa kekhilafannya dan hilangnya pusaka itu dari rumahnya, adalah suatu kesalahan yang harus ditebusnya dengan nyawanya.”
Ketika Ken Arok terdiam, maka sekali lagi ruangan itu menjadi senyap. Beberapa orang menundukkan kepalanya dan beberapa orang yang lain menjadi semakin ragu-ragu.
“Aku tidak keberatan,” tiba-tiba Witantra berdesis.
“Aku juga tidak berkeberatan,” sahut yang seorang.
Seorang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aku juga tidak. Tetapi siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu?”
Ken Arok mengangkat dadanya, “Akulah yang bertanggung jawab. Aku adalah sahabatnya. Aku akan menghadapinya apabila ia mencoba mempergunakan senjata itu untuk melakukan perlawanan. Tetapi sekali lagi aku ingin menjelaskan, bahwa Kebo Ijo cukup jantan menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak terduga-duga.”
Sesaat orang di dalam bilik itu menjadi tegang. Mereka saling berpandangan. Akhirnya seorang yang lain lagi berkata, “Aku juga tidak berkeberatan.”
Empat orang dari yang tujuh telah menyatakan sikapnya. Karena itu, maka telah merupakan keputusan, sebagai pengganti kekuasaan Akuwu, bahwa yang lain harus memberikan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh setidak-tidaknya seorang dari keempat orang itu apabila keputusan itu hendak diubah atau ditolak. Apabila yang tiga orang itu atau salah seorang daripadanya tidak mengajukan keberatan apapun maka sikap yang empat itu akan menjadi keputusan yang harus dilaksanakan.
Demikianlah, karena tidak ada seorang pun yang berkeberatan, maka orang yang menyimpan keris berkata, “Baiklah. Aku akan menyerahkan keris itu kepadamu Ken Arok. Kaulah yang akan bertanggung jawab.”
“Aku akan bertanggung jawab,” sahut Ken Arok.
Maka keris itu pun segera diambilnya, dan diserahkannya kepada Ken Arok. “Hati-hatilah. Keris ini merupakan barang bukti.”
“Ya. Aku menjadi taruhan, bahwa keris ini tidak akan hilang.”
Witantra memandang keris itu sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi. Sepeninggal Ken Arok, maka orang yang tertua di antara ketujuh orang itu berkata, “Kita akan menunda pembicaraan ini. Kita akan menunggu kedatangan Ken Arok yang telah membawa keris itu.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Kita akan tetap tinggal di dalam bilik ini.”
“Ya,” jawab yang lain, “kita akan tetap tinggal di sini.”
Demikianlah, maka ketujuh orang itu pun kemudian duduk kembali di dalam suatu lingkaran. Mereka tidak beranjak dari tempatnya, meskipun mereka hampir tidak berbicara lagi. Masing-masing mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Akuwu Tunggul Ametung. Dalam kesenyapan itulah, maka sebagian terbesar dari mereka, mulai melihat suatu gambaran yang agak bening. Sebenarnyalah bahwa terlampau bodoh, apabila Kebo Ijo setelah membunuh Akuwu meninggalkan keris itu di dadanya.
Tetapi mereka harus menunggu. Mereka akan mendengar keterangan Ken Arok tentang keris itu. Beberapa orang berpendapat, apabila Kebo Ijo mengaku tanpa banyak persoalan, bahwa keris itu adalah kerisnya maka dugaan bahwa ia yang telah membunuh Akuwu menjadi semakin tipis. Mungkin setiap orang tetap pada tuduhannya, karena sikap, watak dan tingkah laku Kebo Ijo. Tetapi ketujuh orang itu tidak boleh ingkar dari suatu keyakinan, apabila memang demikian, apabila menurut keyakinan mereka, Kebo Ijo tidak melakukan pembunuhan itu. Mungkin keputusan mereka tidak sesuai dengan tuntutan sebagian terbesar dari rakyat Tumapel, terutama mereka yang mengenal Kebo Ijo. Tetapi mereka harus tetap berusaha menegakkan keadilan.
Seperti juga Witantra telah berkorban perasaan untuk mempertahankan keyakinannya, meskipun ia tahu, bahwa setiap orang akan menganggapnya berpihak, karena Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Tetapi justru karena itu ia telah bersikap tanpa pilih. Siapa pun Kebo Ijo, ia berdiri di atas keyakinannya. Keyakinan yang dilandasi oleh berbagai macam bukti, pertimbangan dan pengamatan.
Dalam pada itu Ken Arok pun pergi dengan tergesa-gesa ke bilik Kebo Ijo. Kedua penjaga yang menungguinya menjadi ragu-ragu untuk mengizinkannya masuk kembali ke dalam bilik itu.
“Aku tidak sedang bermain-main,” desis Ken Arok, “aku adalah pimpinan pelayan dalam yang bertugas kali ini. Sadarilah itu. Kalau kau melihat bahwa aku membawa keris yang telah tertancap ke dalam dada Akuwu ini, kau pasti dapat mengerti, bahwa kalian tidak berhak melarang aku masuk.”
Kedua penjaga itu berpandangan sejenak. Kemudian yang tua di antara keduanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Silakanlah. Tetapi jangan terlampau lama. Kami berdualah yang kali ini bertanggung jawab atas tawanan ini.”
“Aku tidak menyangkal. Tetapi aku pun sedang menjalankan tugas.”
Palang pintu bilik itu kemudian diangkat, dan Ken Arok pun masuk ke dalamnya dengan nafas terengah-engah. Kebo Ijo menjadi cemas melihat kedatangan Ken Arok yang tergesa-gesa itu, sehingga ia pun bertanya dengan serta-merta, “Apa kata mereka Ken Arok?”
Namun ia terkejut melihat Ken Arok membawa keris itu, “Buat apa kau bawa keris itu?”
“Aku meminjamnya Kebo Ijo. Aku masih ingin meyakinkan, apakah keris ini benar-benar kerisku yang ada padamu,” Ken Arok berhenti sejenak, “dan ternyata bahwa keris ini benar kerisku itu.”
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, “Dan kau percaya juga bahwa aku telah membunuh Akuwu dengan keris ini.”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak Kebo Ijo. Aku tidak percaya bahwa kau telah melakukannya.”
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Matanya memancarkan sepercik sinar. Terdengar ia berkata, “Itulah yang aku perlukan darimu Ken Arok. Aku berterima kasih, bahwa masih ada orang yang dapat melihat kebenaran. Tetapi apakah keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang tujuh itu?”
Ken Arok menelan ludahnya. Beberapa saat ia berdiam diri sambil menundukkan kepalanya. Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia berjalan sampai ke sudut bilik itu, kemudian berputar dan menyusur dinding. “Aku mengerti Ken Arok. Apakah mereka mengambil keputusan dengan hukuman mati?”
Perlahan-lahan Ken Arok menganggukkan kepalanya. “Apakah suara mereka dapat memutuskan? Tanpa Akuwu mereka tidak dapat berbuat sendiri-sendiri. Hanya Akuwulah yang berwenang menentukan tanpa pertimbangan mereka bersama-sama.”
“Akhirnya suara mereka menentukan. Bukti inilah yang berbicara,” Ken Arok berhenti sejenak, “apakah kau sependapat Kebo Ijo, apabila aku melenyapkan bukti ini.”
“Apakah maksudmu?”
“Aku telah berhasil membujuk mereka dan meminjam bukti ini. Kalau aku lenyapkan bukti ini, maka para pemimpin harus berpikir lagi.”
“Tetapi akibatnya bagimu terlampau parah.”
“Aku akan lari. Aku adalah seorang petualang sejak kecil. Apa artinya hidup di istana ini bagiku.”
“Jangan Ken Arok,” desis Kebo Ijo, “aku berterima kasih atas semuanya itu. Tetapi itu tidak perlu. Biarlah aku menerima akibat dari kebodohanku selama ini. Dan puncak dari kebodohan itu adalah hilangnya keris itu dari simpananku.”
“Lalu apakah kau akan menerima keputusan itu?”
“Tidak ada hakku untuk menolak. Aku tinggal menjalaninya. Bagaimanakah bunyi keputusan itu?”
Ken Arok tidak segera menjawab.
“Bagaimana Ken Arok?”
“Aku hanya mendengar bagian terakhir dari pembicaraan itu. Kemudian aku mencoba meminjam barang bukti ini.”
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia harus percaya kepada kata-kata Ken Arok. Terbukti pula ia telah membawa keris itu. “Dan bagaimana bunyi keputusan itu? “ Kebo Ijo mendesak.
“Sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakannya kepadamu Kebo Ijo. Biarlah salah seorang dari merekalah yang akan menyampaikan kepadamu nanti atau besok.”
“Tidak. Aku ingin mendengarkan sekarang. Katakanlah Ken Arok. Aku akan semakin berterima kasih kepadamu.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara tertahan-tahan ia berkata, “Kau akan dihukum mati Kebo Ijo. Hukuman mati itu akan dilaksanakan di alun-alun. Hukuman tusuk sampai mati.”
“Gila!” Kebo Ijo menggeram, “Aku tidak takut mati. Tetapi hukuman itu adalah hukuman yang paling jahat.”
“Tetapi itu akan lebih baik dari hukuman gantung.”
“Tetapi akibatnya sama saja. Aku tidak mencemaskan cara kematian itu. Tetapi kematian di hadapan banyak orang sebagai tontonan adalah kematian yang paling hina.”
“Karena itu, apakah aku harus melarikan keris ini?”
Kebo Ijo menggeleng. Setelah merenung sejenak ia berkata, “Tidak Ken Arok. itu tidak perlu. Kalau kau benar-benar ingin menolongku, bunuh sajalah aku sekarang.”
“Uh, gila! Itu adalah suatu kegilaan Kebo Ijo,” wajah Ken Arok menjadi tegang, “kalau kau ingin melarikan diri, aku akan menolongmu. Tetapi tidak dengan cara itu mengakhiri persoalan.”
“Ken Arok,” berkata Kebo Ijo, “sudah aku katakan, aku tidak ingin melihat kau di dalam persoalan ini. Kau sudah cukup baik selama ini. Karena itu, aku minta kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Bunuhlah aku dengan kerismu itu. Keris yang telah merenggut jiwa Akuwu Tunggul Ametung pula.”
“Tidak mungkin Kebo Ijo, tidak mungkin.”
Kebo Ijo menatap mata Ken Arok dengan tajamnya, sehingga seolah-olah langsung tembus ke dalam pusat otaknya. Sejenak ia seakan-akan membeku. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Ken Arok. Tidak ada jalan yang lebih baik daripada itu. Apakah kau sampai hati melihat aku diikat pada sebuah tonggak di panggungan di alun-alun? Beribu-ribu orang melihat dengan wajah yang memancarkan kebencian. Kemudian seorang prajurit naik ke atas panggung itu dengan keris di tangan. Diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menonton itulah, aku harus mengakhiri hidupku. Tidak Ken Arok. Aku tidak mau.”
“Tetapi,” Ken Arok tergagap, “aku tidak akan mungkin dapat melakukannya. Aku tidak akan sampai hati pula membunuhmu.”
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Terdengar ia berdesis, “Aku minta pertolonganmu yang terakhir, sebab aku tidak mau memilih jalan yang kedua.”
“Apakah jalan yang kedua itu?”
“Aku tidak akan menemui kesulitan apapun untuk memecah dinding bilik ini, atau palang pintu, tidak usah bersusah payah dengan aji Bajra Pati. Tetapi aku tidak akan lari. Aku dapat mengamuk di dalam istana ini. Dengan demikian aku pun akan mati dikeroyok orang. Mungkin malahan Kakang Witantra sendiri yang akan membunuhku. Tetapi jalan itu tidak begitu menyenangkan, seolah-olah aku ingin mati bersama beberapa orang. Dan kematian yang demikian kurang menyenangkan pula agaknya.”
“Tetapi itu lebih jantan Kebo Ijo.”
“Tetapi tidak bijaksana melawan kakak seperguruan.”
Ken Arok diam sejenak. Dan Kebo Ijo itu berkata selanjutnya, “Aku minta dengan sangat Ken Arok. Bunuhlah aku. Kau jugalah yang telah menangkap aku dan membawa kemari. Sekarang kau jugalah yang sebaiknya menyelesaikannya.”
Ken Arok tidak segera menjawab.
“Cepatlah Ken Arok,” Kebo Ijo pun kemudian mendekati Ken Arok, “angkat kerismu. Kau pasti bukan seorang laki-laki yang takut melihat darah.”
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi justru ia berpaling dan melangkah menjauh.
“Tolonglah aku, Ken Arok.”
Nafas Ken Arok menjadi terengah-engah. Ia benar-benar berada dalam keragu-raguan meskipun hal itu memang diharapkannya. Tetapi ketika ia sudah berdiri berhadapan dengan Kebo Ijo, maka hatinya menjadi kisruh.
“Cepat, sebelum ada perkembangan lebih lanjut.”
Ken Arok perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang sama sekali tidak membayangkan kecemasan dan ketakutan.
“Aku sudah mapan Ken Arok,” nada suara Kebo Ijo merendah, “tetapi sepeninggalku, aku titipkan pengawasan anakku kepadamu. Mudah-mudahan Mahisa Randi dapat menjadi seorang yang baik. Seorang yang rendah hati seperti kau.”
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Pesan itu telah menghempaskannya ke dalam suatu pengakuan yang pahit. Hampir saja Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan membatalkan semua rencananya. Namun sejenak kemudian ia menghentakkan giginya sambil menggeram di dalam hatinya, “Aku tidak boleh, mundur lagi.”
“Bagaimana Ken Arok?” bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia mencoba mencari kekuatan untuk melangkah lebih jauh lagi. Kalau Kebo Ijo sudah tersingkirkan, maka bahaya baginya sudah akan berkurang lagi. “Bagaimana aku dapat melakukannya, Kebo Ijo?”
“Ini dadaku Ken Arok. Kau tinggal memasukkan keris aku telah membunuh seorang tawanan.”
“Tidak. Aku tidak dapat. Seandainya aku dapat memaksa diriku memenuhi permintaanmu yang gila itu, namun akulah besok yang harus terikat di atas panggungan itu.”
Karena Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, kau benar,” Namun tiba-tiba, “Tetapi aku ada jalan Ken Arok. Aku akan memecah pintu, dan melawan kedua penjaga itu. Kau harus datang tepat pada waktunya dan kaulah yang harus membunuhku sebelum aku membunuh kedua penjaga itu, supaya aku tidak bertambah beban lagi di saat kematianku.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Jangan terlampau banyak berpikir Ken Arok. Kau adalah seorang laki-laki perasa. Lakukanlah, dan kau tidak akan menyesal karena kau telah menolong aku. Bagiku, kematianku sekarang akan lebih baik daripada besok, meskipun agak lebih cepat.”
Ken Arok masih belum menjawab.
“Cepatlah, Ken Arok. Sebentar lagi mereka pasti akan datang kemari untuk menyampaikan keputusan itu.”
Ken Arok masih tetap diam.
“Cepat, kau sekarang pergi keluar bilik ini. Sebelum kau jauh aku akan memecah pintu. Kemudian kau berlari kembali menolong kedua penjaga yang dungu itu.”
Sebelum Ken Arok menjawab, Kebo Ijo telah mendorongnya ke pintu. “Cepat, keluar.”
Seakan-akan di luar sadarnya Ken Arok melangkah maju, mendorong pintu dan berjalan keluar bilik.
“Apakah persoalanmu sudah selesai?” bertanya salah seorang penjaga yang duduk beberapa langkah di depan pintu.
“Sudah,” jawab Ken Arok, “aku akan menghadap Witantra.” Tanpa berpaling lagi Ken Arok kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan bilik itu, sedang kedua penjaganya itu pun segera memasang palang pintu itu.
Tetapi belum lagi Ken Arok melampaui longkangan, tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh suatu hentakan yang keras. Ketika ia berpaling, ia melihat pintu bilik yang ditinggalkannya itu pecah. Dengan sigapnya kedua penjaga itu pun berloncatan ke muka pintu sambil mengacungkan senjata masing-masing.
Kebo Ijo yang telah memecah pintu itu tertegun sejenak, ia sadar, bahwa prajurit yang diserahi tugas untuk menjaganya itu pasti bukan sembarang prajurit. Karena itu, ia harus berhati-hati, agar ia tidak mati terbunuh oleh keduanya. Kebo Ijo ingin mati karena keris yang telah dibasahi oleh darah Akuwu Tunggul Ametung itu. Dan ia akan lebih ikhlas apabila Ken Aroklah yang menghunjamkan keris itu di dadanya.
“Apa maksudmu memecahkan pintu Kebo Ijo?”
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia melihat kemungkinan untuk melawan keduanya sampai Ken Arok datang.
“Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat membuat kau lebih parah lagi.”
Kebo Ijo tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat ke samping. Begitu kakinya menjejak tanah, maka kakinya yang lain dengan sikapnya menyambar pergelangan tangan salah seorang dari kedua penjaga itu sehingga pedangnya terpelanting. Belum lagi penjaga itu menyadari keadaan sepenuhnya, Kebo Ijo telah meloncat dan memukulnya tepat pada dagunya, sehingga prajurit itu terpelanting jatuh.
Dengan cepatnya Kebo Ijo meraih pedang yang terjatuh, dan sesaat kemudian ia telah siap untuk melakukan perlawanan. Prajurit yang terjatuh itu pun dengan lincahnya meloncat berdiri. Betapa perasaan sakit seakan-akan membakar dagunya, namun rasa bertanggung jawab atas orang yang diserahkan kepadanya telah membuatnya membuang perasaan sakit itu jauh-jauh. Tetapi dada prajurit itu berdesir ketika ia melihat pedangnya telah berada di tangan Kebo Ijo.
“Apakah kau akan mencoba melawan Kebo Ijo?” bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
“Ya. Aku akan melawan. Aku akan melarikan diri dari kurungan ini.”
“Kau gila. Kau sangka kau akan dapat keluar dari istana ini?”
“Tentu,” jawab Kebo Ijo sambil mencoba mengedarkan pandangan matanya. Ia sekilas melihat Ken Arok berdiri di sudut di seberang longkangan. Tetapi kemudian meloncat menyembunyikan dirinya.
“Menyerahlah,” geram salah seorang prajurit itu.
“Kalianlah yang akan aku binasakan sebelum aku digantung.”
“Persetan!” prajurit yang masih bersenjata itu pun segera menyerang Kebo Ijo. Namun agaknya Kebo Ijo cukup tangkas untuk menghindarinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan kemudian dengan sigapnya Kebo Ijo menjulurkan pedangnya sambil meloncat ke samping. Sebuah sentuhan telah mengenai pundak prajurit itu, sehingga ia terpaksa meloncat mundur sambil berdesis. “Gila!” ia mengumpat.
Sementara kawannya yang tidak bersenjata telah mengambil sepotong palang pintu yang patah karena hentakan Kebo Ijo dari dalam. Dengan senjata itu ia menyerang, sementara kawannya yang lain berusaha memperbaiki kedudukannya. Namun ternyata pedang Kebo Ijo lebih lincah. Apalagi ternyata pula bahwa Kebo Ijo memang mempunyai kelebihan dari keduanya, sehingga sejenak kemudian Kebo Ijo telah berhasil melukai mereka.
“Beri tahukan kepada gardu penjaga,” desis salah seorang dari kedua prajurit yang masih memegang senjatanya, “aku akan menahannya di sini. Cepat!”
Dada Kebo Ijo berdesir. Kalau prajurit itu berhasil mencapai gardu penjaga, kemudian beberapa orang datang untuk menangkapnya, maka ia harus berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ternyata prajurit yang masih bersenjata itu berusaha sekuat tenaganya untuk memberi kesempatan kawannya itu meninggalkan arena. Sepeninggal kawannya maka prajurit itu bertempur mati-matian sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Ia harus menahan Kebo Ijo untuk beberapa saat, supaya Kebo Ijo tidak mendapat kesempatan untuk berlari.
Kebo Ijo menggeram, dan ia belum melihat Ken Arok. “Apakah Ken Arok ingkar karena ia tidak sampai hati untuk melakukannya?” pertanyaan itu mendengung di dadanya. Namun dada Kebo Ijo berdesir ketika ia melihat prajurit yang sedang berlari ke gardu penjagaan tertegun karena di sudut longkangan itu hampir saja ia membentur Ken Arok.
“Ada apa?” bertanya Ken Arok, “aku mendengar kalian ribut di penjagaan kalian.”
“Kebo Ijo berusaha melarikan diri.”
“Kenapa kau malah lari?”
“Aku akan memberitahukan ke gardu penjagaan.”
Ken Arok tidak bertanya lagi. Berlari-lari ia mendekati prajurit yang sedang berkelahi melawan Kebo Ijo mati-matian. Namun Kebo Ijo memang tidak berusaha membunuhnya. Ia hanya melukainya di beberapa tempat. Tetapi lambat laun, prajurit itu betapapun ia mencoba mengerahkan tenaganya, namun tenaganya itu sangat terbatas. Sehingga akhirnya pada suatu saat ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terhuyung-huyung ia terdorong surut, dan kemudian dengan lemahnya jatuh berguling di lantai.
Kebo Ijo tinggal meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya dan menghunjamkan pedang itu di dada prajurit yang sudah tidak berdaya melawannya. Prajurit itu pun telah pasrah diri meskipun pedangnya masih juga digenggamnya erat-erat. Namun menurut perhitungannya lawannya pasti sudah sampai di gardu penjagaan dan menyampaikan persoalannya kepada pimpinan penjaga.
Pada saat yang demikian itulah Ken Arok datang berlari-lari. Dengan keris terhunus ia berdiri tegak menatap Kebo Ijo dengan wajah yang tegang. Setapak Kebo Ijo maju mendekatinya sambil berdesis perlahan-lahan, “Apakah yang kau tunggu lagi Ken Arok?”
Ken Arok masih berdiri tegak mematung di tempatnya. Sekilas dipandanginya prajurit yang terbaring dengan lemahnya, meskipun ia masih menggenggam pedang. Dengan susah payah ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya telah terlampau lemah, sehingga setiap kali ia kembali terjatuh di lantai.
“Cepat Ken Arok,” desis Kebo Ijo sambil mengacu-ngacukan pedangnya.
Ken Arok telah dicengkam oleh keragu-raguan. Sebenarnya keragu-raguan. Ketika ia menatap mata Kebo Ijo yang pasrah, seolah-olah dilihatnya dirinya sendiri di dalam mata itu. Dirinya sendiri yang berdiri di atas mayat korban-korbannya dengan tangan berlumuran darah. Ia telah mengorbankan Empu Gandring yang baik, Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan diri sendiri, kini ia berhadapan dengan Kebo Ijo yang sombong dan tinggi hati. Namun Kebo Ijo yang berdiri di hadapannya kini seolah-olah adalah Kebo Ijo yang lain. Kebo Ijo yang tenang dan mengendap.
“Oh, kenapa ia tidak berbuat sesuatu yang dapat membakar hatiku? Kenapa ia tidak mengumpat-umpati aku atau bercerita tentang keris itu, atau berbuat apa saja sehingga aku akan ringan tangan untuk membunuhnya? Kenapa ia terlampau pasrah dan menengadahkan dadanya?” Ken Arok telah dicengkam oleh perasaannya.
“Cepat, Ken Arok!” desis Kebo Ijo yang kini terpaksa mengayunkan pedangnya, “Hati-hati. Aku harus berpura-pura, supaya kau tidak dicurigai.”
Ken Arok menghindar dengan gerak naluriah. Namun kemudian ia berdiri tegak seperti patung pula tanpa berbuat sesuatu.
“He, kenapa kau Ken Arok?” geram Kebo Ijo yang hampir kehabisan kesabaran.
“Aku tidak bisa, Kebo Ijo.”
“Bodoh, aku sudah terlanjur. Kau harus melakukannya.”
Ken Arok tidak menjawab. Ketika Kebo Ijo menyerangnya, ia menghindar pula.
“Ayo lekas!”
Ken Arok masih belum dapat mengambil suatu sikap. Sejenak ia merenungi keadaannya yang terasa semakin lama menjadi semakin kotor. Kebo Ijo adalah seorang ayah dari seorang bayi yang masih sangat memerlukannya. Dan ayah itu harus dikorbankannya. Dalam keragu-raguan itu Ken Arok terkejut mendengar hiruk-pikuk. Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang prajurit berlari-lari ke arahnya.
“Mereka datang,” desis Kebo Ijo, “cepat Ken Arok, cepat!”
Tanpa sesadarnya serangan Kebo Ijo pun menjadi semakin cepat, dan gerak Ken Arok pun menjadi semakin cepat pula, seakan-akan mereka memang baru berkelahi.
“Mereka menjadi semakin dekat Ken Arok. Jangan memberi kesempatan aku melakukan pembunuhan supaya aku menjadi lapang di perjalananku.”
Ken Arok menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu keharusan untuk berbuat. Prajurit-prajurit itu pun menjadi semakin dekat dengan senjata telanjang di tangan mereka.
“Ken Arok, lakukan. Bukankah kau tidak akan sampai hati membiarkan aku dirampok orang seperti seekor binatang buas di dalam rampogan di alun-alun.”
Wajah Ken Arok menjadi tegang. Ia masih harus berloncatan menghindari pedang Kebo Ijo yang menyambar-nyambar. Dan tiba-tiba saja di luar sadarnya Kebo Ijo telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Ken Arok terkejut. Seolah-olah Kebo Ijo bersungguh-sungguh hendak mengenainya, sehingga dengan tergesa-gesa ia merendahkan dirinya sambil bergeser surut.
“Sekarang, sekarang. Mereka telah menjadi semakin dekat.”
Ken Arok menghentakkan kakinya. Tiba-tiba terngiang di kepalanya suara nafsunya yang selama ini telah membakar jiwanya. “Jangan kau lepaskan kesempatan ini Ken Arok. Kalau Kebo Ijo tertangkap hidup, mungkin ia tidak akan bertahan lagi. Mungkin ia akan membuka rahasiamu dan mungkin Mahisa Agni akan datang sambil membawa cantrik yang melihat kehadiranmu di padepokan Empu Gandring untuk membuktikan, siapakah yang sebenarnya datang ke padepokan itu. Kau atau Kebo Ijo.”
Dalam keadaan yang demikian itulah, Ken Arok meloncat sambil memukul pergelangan tangan Kebo Ijo dengan tangan kirinya. Sebenarnya pukulan itu tidak terlampau keras, karena bagaimanapun juga Ken Arok masih belum dapat mempergunakan segenap kekuatannya. Apalagi Kebo Ijo pun bukanlah seorang prajurit biasa. Tetapi pukulan itu telah cukup untuk melontarkan pedang Kebo Ijo dari tangannya.
“Nah, sekarang. Aku akan sangat berterima kasih,” Justru tanpa senjata apapun Kebo Ijo membenturkan dirinya ke arah Ken Arok sambil menengadahkan dadanya. “Sekarang Ken Arok.”
Seperti dipukau oleh kekuatan di luar sadarnya, tiba-tiba Ken Arok menggerakkan tangannya. Sebuah tekanan telah menghunjamkan keris itu di dada Kebo Ijo. Ken Arok baru sadar, bahwa tekanan itu adalah tekanan tangan Kebo Ijo sendiri yang menarik tangannya, sehingga keris itu langsung menusuk ke dada menembus jantung.
“Terima kasih,” desis Kebo Ijo, “titip anakku. Awasilah. Semoga ia menjadi orang yang baik.”
Tangan Ken Arok menjadi gemetar. Dan tiba-tiba tanpa disadarinya keris itu pun terlepas dari tangannya. Ketika ia melangkah selangkah surut, maka Kebo Ijo itu pun jatuh terjerembab di lantai. Dadanya tertembus oleh keris yang telah menghunjam ke dada Akuwu Tunggul Ametung dan Empu Gandring. Darahnya pun kemudian mengalir dan memerahi lantai di bawah tubuhnya yang diam. Pada saat itulah para prajurit Tumapel yang berlari-lari itu sampai di tempat keributan itu. Mereka hanya dapat melihat tubuh Kebo Ijo terbujur berlumuran darah.
“Kau tidak apa-apa Ken Arok?” bertanya salah seorang daripada prajurit-prajurit itu.
Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia berdiri tegak seperti tonggak sambil memandang mayat Kebo Ijo yang terbaring di lantai, bermandikan darah. Betapapun juga, terasa jantung Ken Arok seolah-olah tergores oleh sembilu, ketika ia tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tahu pasti bahwa Kebo Ijo sebenarnya tidak bersalah. Kebo Ijo sama sekali tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ia tahu pula, bahwa pemimpin-pemimpin Tumapel yang tujuh orang itu sudah mulai meragukan kebenaran tuduhan mereka kepada Kebo Ijo.
Namun Kebo Ijo harus mati. Dan kini ia telah mati. Dan tiba-tiba di luar sadarnya Ken Arok berdesis, “Kasihan anak ini.”
Beberapa orang yang mendengar desis itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah kau tidak apa-apa Ken Arok?”
Ken Arok menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
“Kenapa ia harus dikasihani kalau ia memang ingin melarikan dirinya?”
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya mayat itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Ia masih terlampau muda. Sebenarnya hari depannya masih cukup panjang.”
“Tetapi ia tersesat jalan.”
“Itulah yang menjadikan aku kasihan kepadanya.”
Dalam pada itu, para prajurit segera menyibak dan berdiri tegak ketika dengan tergesa-gesa para pemimpin pemerintahan Tumapel termasuk para pemimpin prajurit, pengawal istana, pelayan dalam, para pemimpin pemerintahan, para Senapati dan para pandega mendekati tempat itu.
“Apa yang telah terjadi Ken Arok?” bertanya Witantra dengan suara yang gemetar.
“Maafkan aku Witantra,” desis Ken Arok. Kini ia tidak boleh diombang-ambingkan oleh perasaannya. Ia harus segera menyadari, bahwa ia sedang melakukan rencananya. Ia harus melakukannya dengan sempurna. Kebo Ijo yang malang, anak dan istrinya sama sekali tidak boleh mempengaruhinya apabila ia tidak ingin gagal, dan justru ia akan digantung di alun-alun.
Witantra mengerutkan keningnya yang tegang. Dilihatnya mayat Kebo Ijo yang terbujur diam.
“Aku telah membunuhnya,” berkata Ken Arok, “terpaksa. Terpaksa sekali, meskipun aku adalah sahabatnya yang paling dekat.”
“Apa yang akan dilakukannya?”
“Sebaiknya biarlah prajurit-prajurit yang bertugas menceritakan.”
Witantra diam sejenak. Ditatapnya pengawal yang masih sangat lemah berdiri terhuyung-huyung berpegangan dinding. Sedang yang seorang lagi berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
“Katakan apa yang sebenarnya telah terjadi!” geram Witantra.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terputus-putus ia menjawab, “Kebo Ijo mencoba melarikan diri. Ia telah memecah pintu dan menyerang kami berdua. Kami berdua tidak dapat melawannya. Salah seorang dari kami berusaha memanggil para penjaga di gardu, sedang aku menahannya agar ia tidak sempat melarikan diri. Tetapi akhirnya aku terlempar jatuh. Aku sudah tidak dapat bertahan sama sekali. Sedang para penjaga masih belum datang. Pada saat itulah Ken Arok datang. Sebelum ia berbuat sesuatu, Kebo Ijo melepaskan aku yang sudah tidak mampu berbuat apapun lagi, dan menyerang Ken Arok, sehingga keduanya berkelahi. Ketika para prajurit datang. Ken Arok tepat mengakhiri perkelahian.”
Wajah Witantra menjadi merah padam. Apalagi ketika ia memandangi wajah para pemimpin Tumapel satu demi satu. Sejenak kemudian terdengar salah seorang berdesis, “Hampir saja aku percaya kepada kau, Angger Witantra. Hampir saja aku melepaskan kecurigaanku, bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi ternyata sekarang, bahwa Kebo Ijo benar-benar telah bersalah. Terbukti ia berusaha melarikan dirinya.”
“Ya. Aku yang sudah terlanjur menarik tuduhanku, kini telah menyadari, hampir-hampir saja aku lalai. Ternyata Kebo Ijo benar-benar bersalah. Kalau ia yakin bahwa dirinya bersih, maka ia tidak akan mencoba melarikan diri. Justru setelah ia melihat keris yang dibawa oleh Ken Arok,” berkata yang lain.
“Akhirnya yang bersalah telah terbukti,” sahut yang lain lagi, “apapun yang dikatakan sebagai pembelaan.”
“Ya,” berkata yang lain pula, “kini telah ternyata siapakah yang bersalah. Ia telah terhukum sebelum kami menjatuhkan keputusan.”
Lalu kepada Ken Arok ia berkata, “Terima kasih Ken Arok. Kau memang orang yang luar biasa. Kaulah yang menangkap Kebo Ijo dengan mudah karena kau justru sahabatnya, dan sekarang kau pulalah yang telah menyudahinya. Kau memang seorang yang luar biasa. Rakyat Tumapel akan sangat berterima kasih kepadamu.”
Ken Arok tidak menjawab. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Namun dalam pada itu, terdengar suara Witantra mengguntur, “Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Bukan maksudku menyalahkan kau, Ken Arok. Kau sudah bertindak wajar sebagai seorang prajurit. Kebo Ijo pun telah wajar, menerima hukuman karena ia berusaha untuk melarikan diri. Tetapi bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak percaya!”
Semua mata memandang wajah Witantra yang seolah-olah menyala. Pemimpin prajurit Tumapel maju selangkah sambil berdesis, “Apakah kau masih akan menyangsikan lagi? Lihat, semua orang di sini mendapat kesimpulan yang serupa. Tetapi kau berpendirian lain karena kau adalah kakak seperguruannya.”
“Justru aku adalah kakak seperguruannya, aku mengenal watak dan tabiatnya. Ia adalah seorang anak yang bengal, tetapi ia bukan seorang yang biadab. Bukan. Aku tidak percaya bahwa Kebo Ijo telah melakukan pembunuhan.”
“Itu adalah pendirian yang aneh. Seharusnya kau melepaskan hubungan yang ada itu, dan bersikap sebagai seorang prajurit, seperti yang selalu kau perlihatkan selama ini.”
Dada Witantra serasa akan retak mendengar kata-kata itu. Kemarahan yang membakar jantungnya serasa tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa ia masih tetap berhasil mengekang dirinya sendiri. Meskipun demikian ia masih juga menggeram, “Siapa pun Kebo Ijo, aku tidak akan dapat melepaskan keyakinanku, bahwa bukan anak itulah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak dapat melepaskan peristiwa ini dengan peristiwa yang mendahuluinya, di mana Akuwu seakan-akan tenggelam dalam suatu suasana yang tidak terkendali lagi, sehingga aku merasa, seakan-akan diriku dikesampingkan.”
Witantra berhenti sejenak, kemudian, “Nah, siapa yang berani melihat ke diri sendiri selama ini. Apakah yang telah kalian lakukan? Pemimpin pemerintahan Tumapel seakan-akan sudah tidak berjalan wajar lagi. Dan sejak itulah aku merasa tersisih. Seakan-akan memang ada kesengajaan memisahkan Akuwu dan aku sebagai pimpinan pengawalnya. Dan apa yang kalian lakukan selama ini adalah melayani keinginan Akuwu yang sesat. Nah, ternyata kita semuanya menjadi lengah. Inilah akhir dari semuanya. Dan kalian ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah. Tanpa berpikir. Asal kalian dapat memberi kepuasan kepada rakyat Tumapel.”
Mereka yang berada di tempat itu terdiam, seakan-akan sedang mengunyah kata-kata Witantra di dalam hatinya. Namun dengan demikian mereka merasa dihadapkan ke muka cermin yang memperlihatkan cacat cela mereka. Dengan demikian, maka sengaja atau tidak sengaja, para pemimpin Tumapel itu berusaha mengelak.
“Angger Witantra,” berkata salah seorang dari mereka, “aku sudah tua. Aku sudah berada di Tumapel berpuluh tahun. Aku sudah menjadi pembantu Tuanku Tunggul Ametung sejak Akuwu Tunggul Ametung memegang kekuasaan di Tumapel. Aku sudah kenyang makan garam pemerintahan. Sedang kau adalah orang yang masih terlampau muda. Itulah sebabnya kau masih kabur melihat kebenaran.”
“Aku tidak lebih muda dari Akuwu Tunggul Ametung. Coba sebutkan. Siapakah yang lebih muda di antara kami. Pada saat Tuanku Tunggul Ametung memegang kekuasaan, aku sudah seorang perwira di istana. Belum lagi tiga tahun, aku kemudian menjabat jabatanku yang sekarang. Tetapi dibandingkan dengan kalian, akulah orang yang paling dekat dengan Akuwu. Hampir setiap saat, ke manapun Akuwu pergi aku selalu pergi bersamanya. Karena itu, aku lebih mengenalnya dari kalian. Dan karena pengenalanku itulah, maka aku tidak melihat ada suatu tali hubungan antara Kebo Ijo dengan Akuwu dalam arti yang kurang baik. Maksudku, bahwa kelakuan Akuwu akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kebo Ijo yang tidak pernah berbuat sesuatu kecuali menyombongkan diri dan mencari pujian dari siapa pun.”
Namun ketika Witantra berhenti sejenak, hampir setiap kepala menggeleng. Bahkan seorang pandega berkata, “Orang yang paling mungkin melakukan adalah Kebo Ijo.”
“Diam!” Witantra membentak, sehingga pandega itu pun segera menundukkan kepalanya. “Adalah tidak Adil,” geram Witantra, “bahwa karena Kebo Ijo adalah adik seperguruanku, lalu aku tidak boleh menyatakan keyakinanku. Tidak, yang penting bagiku, bukan siapa Kebo Ijo. Tetapi apakah ia benar-benar bersalah atau tidak.”
Pemimpin tertinggi pelayan dalam, yang termasuk salah seorang pimpinan pemerintahan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kami tidak dapat ingkar lagi. Bukti yang pertama adalah keris itu. Kemudian usahanya melarikan diri. Jelas. Sudah cukup jelas.”
“Aku masih minta persoalan ini dibicarakan lagi.”
“Buat apa,” bertanya pemimpin prajurit Tumapel, “Kebo Ijo sudah mati. Ia harus segera dikuburkan sebagai seorang pengkhianat.”
“Itu yang aku tidak mau. Ia harus diselenggarakan sewajarnya. Kita mencari kebenaran atas peristiwa yang terjadi itu. Kalau menurut keyakinan kita ia bersalah, kita nyatakan bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi kalau tidak, kita umumkan, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah meskipun ia telah mati. Kesalahan yang tidak dapat diingkari lagi, justru usahanya untuk melarikan diri. Tetapi melarikan diri bukan bukti, bahwa ia telah melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung.”
“Tidak,” desis salah seorang pemimpin Tumapel.
“Tidak,” yang lain bergumam.
“Tidak,” pemimpin prajurit Tumapel pun bersikap serupa.
Dan yang lain pun menggelengkan kepalanya, “Tidak.”
Darah Witantra menjadi mendidih karenanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik, sehingga karena itu ia tidak dapat hanya sekedar digerakkan oleh perasaannya, dan melakukan tindakan yang salah menurut tata keprajuritan. “Seorang prajurit harus jujur,” desisnya, “apapun yang akan terjadi atas diriku, tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo tidak bersalah.”
Witantra diam sejenak. Disambarnya wajah Ken Arok sekilas, seolah-olah minta pendapatnya, sebagai seorang sahabat terdekat Kebo Ijo. Tetapi Ken Arok hanya menundukkan kepalanya saja. “Kenapa ia tidak mau berbicara?” pertanyaan itu melonjak di hatinya, “apakah ia termasuk salah seorang pengecut yang mengorbankan keyakinannya untuk keselamatan dan kedudukannya?”
Tetapi Witantra tidak dapat memaksanya untuk berbicara. Dan kesabaran Witantra itu pun sampai ke batasnya ketika pemimpin prajurit Tumapel itu berkata, “Kita akan mengambil kesimpulan. Kebo Ijo adalah seorang pengkhianat. Dan kita akan segera memberikan anugerah kepada jasa Ken Arok selama ini.”
“Tidak!” Witantra berteriak, “Masalahnya belum selesai. Aku, salah seorang dari pemimpin yang tujuh, menolak keputusan itu.”
“Kami yang enam sudah sependirian. Tidak ada jalan lagi bagimu untuk menolak, kecuali…”
“Aku akan mengambil jalan itu. Keputusan harus ditangguhkan, dan aku akan melakukan pembelaan dengan ujung senjata.”
Kata-kata Witantra itu seakan-akan petir yang meledak di tengah-tengah pembicaraan itu. Semua orang yang mendengarnya terkejut karenanya. Mereka tidak menyangka, bahwa pendirian Witantra begitu kuatnya dalam hal ini, sehingga ia telah menentang keputusan keenam pemimpin Tumapel itu dengan sebuah perang tanding.
Dalam keheningan suasana terdengar suara Witantra, “Aku akan melakukan perang tanding untuk Kebo Ijo. Apabila kalian tidak mau mengubah keputusan atau setidak-tidaknya membicarakannya lagi, aku tidak melihat jalan lain. Dan aku persilakan kalian mempertahankan keputusan itu, siapa pun yang akan turun ke arena.”
Sejenak para pemimpin Tumapel yang lain itu diam mematung. Tantangan itu telah membuat dada mereka berdebaran. Tidak banyak orang yang dapat menyamai tingkat Witantra di seluruh Tumapel. Sehingga untuk melawannya dalam perang tanding, agaknya jarang yang akan bersedia melakukannya. Namun kalau keenam pemimpin yang lain itu ingin mempertahankan keputusannya. maka perang tanding itu harus dilakukan.
Sejenak mereka saling berpandangan. Pemimpin tertinggi prajurit Tumapel, pemimpin tertinggi pelayan dalam dan senapati yang lain, adalah orang-orang yang pertama-tama harus menyatakan dirinya untuk mewakili keputusan keenam pemimpin itu. Tetapi semua orang menyadari, bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu bertahan melawan Witantra. Namun keenam pemimpin itu sebagai kesatria, sudah tentu tidak akan menjilat ludah mereka kembali. Mereka tidak akan mencabut keputusan yang sudah mereka anggap jatuh.
Ken Arok yang mendengar keputusan Witantra untuk naik ke arena perang tanding itu pun sangat mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang lain, Ken Arok sama sekali tidak merasa segan seandainya ia harus naik ke arena itu pula, untuk mewakili para pemimpin Tumapel dalam mempertahankan keputusan mereka, bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Tetapi dengan melibatkan diri langsung di dalam persoalan itu, Ken Arok agak menjadi cemas.
Sebagai sahabat Kebo Ijo adalah tidak mungkin sama sekali baginya, justru bertempur untuk memperkuat keputusan kesalahan Kebo Ijo. Tetapi apabila dibiarkannya para pemimpin itu mencari wakilnya, maka akan mungkin sekali orang itu dapat dikalahkan oleh Witantra. Dengan demikian maka keputusan atas Kebo Ijo itu batal meskipun Kebo Ijo telah mati. Hal itu akan berarti bahwa Tumapel masih harus mencari pembunuh Tunggul Ametung itu sampai ketemu.
“Ayo,” suara Witantra lantang, “siapakah yang akan mewakili kalian? Nah, sekarang kalian harus memilih. Membatalkan atau menunda keputusan kalian atas Kebo Ijo, atau meletakkan persoalannya di atas arena.”
Para pemimpin itu tidak segera dapat menjawab.
“Aku memberi kalian waktu tiga hari. Kalau kalian telah mendapat cara yang paling baik, kalian harus memberitahukan kepadaku. Manakah yang akan kalian pilih. Sekarang, mayat Kebo Ijo akan aku bawa. Akan aku serahkan kepada guru dan keluarganya. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Keputusan kalian belum dapat diterapkan, karena aku menentang dengan cara itu.”
Tidak seorang pun yang menjawab, sehingga suasana menjadi hening sepi. Namun dalam kediaman itu, Ken Arok, otak dari segala peristiwa itu, memeras pikiran untuk menentukan lakon selanjutnya. Ia tidak boleh gagal. Dan cerita yang sedang disusunnya itu tidak boleh mandek. Dan tiba-tiba saja Ken Arok itu berkata, “Witantra. Masih ada satu orang lagi yang akan dapat dibawa berbicara tentang hal ini.”
Witantra yang sedang tegang itu mengerutkan keningnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Siapa?”
“Aku tidak yakin, apakah orang itu terlibat langsung atau tidak. Tetapi aku menyangka, bahwa ada jalur yang menghubungkan peristiwa ini dengan orang itu.”
“Ya, siapa,” Witantra yang sedang dicengkam oleh kegelapan hati itu membentak, “sebut namanya.”
Dada Ken Arok berdesir. Ia tidak senang mendengar bentakan-bentakan itu. Tetapi ia harus menahan diri supaya lakon yang dikarangkannya ini tidak gagal. “Mahisa Agni.”
Dada Witantra berdesir mendengar nama itu, Mahisa Agni adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Ketika ia berada di Tumapel untuk mencari pembunuh pamannya, ia telah diserang oleh seseorang yang berpakaian seorang pengawal. Meskipun demikian ia bertanya kepada Ken Arok, “Kenapa kau sebut-sebut juga Mahisa Agni.”
“Aku belum tahu pasti, seperti yang sudah aku katakan, apakah ia ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini. Tetapi aku ingin minta izin, meminjam keris itu. Aku tidak dapat mencampuri keputusan para pemimpin yang tujuh dengan cara apapun yang akan ditempuh. Namun aku akan mencoba mencari jalan lain yang lebih baik dan mudah. Tetapi sekali lagi, aku belum pasti,” Ken Arok berhenti sejenak. Lalu, “Aku ingin menunjukkan keris itu kepada Mahisa Agni. Apakah keris itu dapat dikenalinya.”
“Apakah hubungannya, dengan pembunuhan ini menurut dugaanmu itu. Dugaanmu yang belum kau yakini kebenarannya.”
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian jawabnya, “Mahisa Agni pernah berkelahi melawan seseorang yang menyerangnya. Apakah keris yang dikatakannya bercahaya kebiru-biruan itu juga keris ini.”
“Ia bertempur di malam hari.”
“Aku akan memperlihatkan keris itu di malam hari.”
Witantra mengerutkan keningnya. Kalau Mahisa Agni mengenali keris itu sebagai keris yang dipergunakan untuk menyerangnya, maka justru akan memperberat tuduhan terhadap Kebo Ijo. Tetapi kalau bukan, maka persoalannya pasti akan berkait dengan persoalan-persoalan lain. Sedangkan Witantra yakin, Kebo Ijo tidak pernah bersangkut paut dengan kegiatan orang lain, selain tugasnya sendiri. Apalagi bagi Witantra, yang penting bukan sekedar menyelamatkan nama Kebo Ijo yang telah terbunuh itu. Yang penting baginya adalah kebenaran, sejauh-jauh dapat dicapai. Karena itu, maka jawab Witantra selanjutnya,
“Baiklah Ken Arok. Pergilah kepada Mahisa Agni. Aku tidak tahu apakah hal itu akan menguntungkan atau justru sebaliknya. Tetapi bagiku yang penting, adalah mengetahui dengan pasti Kalau Kebo Ijo bersalah, biarlah aku yakin kalau ia bersalah. Selama aku tidak dapat meyakininya, maka aku tetap menganggap bahwa ia tidak bersalah apapun.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Jadi aku diizinkan pergi ke Karautan?”
“Ya.”
“Dengan membawa keris ini?”
“Aku tidak berkeberatan. Terserah kepada yang lain.”
Keenam pemimpin Tumapel yang lain pun kemudian merenung sejenak. Namun bagi mereka, Ken Arok telah menunjukkan kelebihannya dan bertindak cepat. Karena itu, maka kepercayaan mereka kepada Ken Arok pun menjadi bertambah-tambah jua.
“Aku juga tidak berkeberatan,” berkata salah seorang dari mereka.
“Aku pun tidak. Kami berpengharapan agar masalah ini menjadi cepat selesai,” berkata yang lain lagi.
Dan ternyata bahwa keenam orang itu pun tidak berkeberatan pula. Dengan demikian, maka Ken Arok telah diizinkan untuk mengambil keris itu dan membawanya kepada Mahisa Agni.
Sepeninggal Ken Arok, tidak seorang pun yang dapat menahan Witantra mengambil mayat Kebo Ijo. Dengan hati yang pahit, mayat itu pun kemudian dibawanya kepada gurunya. Panji Boiong Santi pun terkejut bukan buatan. Ia tahu benar bahwa Kebo Ijo adalah anak yang bengal. Tetapi seperti Witantra ia berpendirian, bahwa anak yang bengal itu, betapapun juga tidak akan melakukan pembunuhan terhadap Akuwu.
“Tetapi bukti-bukti itu menunjukkan kesalahan Kebo Ijo,” desis gurunya.
“Ya, Guru. Memang tidak dapat disangkal. Tetapi keyakinanku berkata lain.”
“Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan kalian bertujuh, Witantra. Enam orang telah menyatakan pendiriannya, dan kau akan membatalkan keputusan itu dengan perang tanding,” gurunya berhenti sejenak, kemudian, “sebenarnya terlampau berat bagimu Witantra.”
“Kenapa, Guru?”
“Setiap orang, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel tidak akan menolak keputusan keenam pemimpin itu. Kau memang dapat membuat perhitungan, bahwa tidak seorang pun dari para pemimpin itu, dan mungkin tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan kau di arena. Tetapi meskipun kau menang, hasilnya tidak akan bermanfaat apapun bagi Kebo Ijo. Apalagi Kebo Ijo telah terlanjur mati terbunuh.”
“Kenapa, Guru?”
“Seandainya kau menang di arena Witantra, maka secara resmi tuduhan atas Kebo Ijo untuk sementara digugurkan. Tetapi itu hanya bersifat resmi. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan percaya langsung sampai ke dalam hatinya, bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Nama Kebo Ijo akan tetap cemas di dalam setiap dada rakyat Tumapel. Lebih daripada itu, peristiwa ini telah menodai namamu sendiri.”
“Jadi apakah maksud Guru aku harus mengorbankan keyakinanku sekedar untuk kedudukanku?”
“Tidak. Memang bukan begitu. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, tindakanmu itu benar-benar tepat Witantra. Setidak-tidaknya kau akan menyambung nyawa Kebo Ijo sampai persoalan yang sebenarnya terungkapkan. Tetapi Kebo Ijo telah mati. Sehingga seharusnya kau mengambil cara lain untuk menyelesaikan masalahnya. Biarlah Kebo Ijo dicemarkan untuk sementara. Tetapi kau yang masih tetap mendapat hati di kalangan rakyat dan setiap pemimpin dan prajurit Tumapel, dapat dengan diam-diam mencari. Kalau kemudian kau temukan, maka kau akan segera dapat menghapus noda pada nama Kebo Ijo itu. Tetapi sekarang keadaannya akan lain. Setiap orang akan memandangmu dengan curiga. Dan setiap orang akan tidak lagi bersedia bekerja sama dengan kau, karena kau telah berpihak kepada seorang yang bersalah menurut anggapan mereka. Karena mereka pun agaknya yakin, seperti kau yakin, bahwa Kebo Ijo memang bersalah.”
Witantra menundukkan kepalanya. Tetapi darahnya yang masih segar di dalam jantung kemudaannya, tidak dapat mengekang diri begitu lunak seperti gurunya.
“Witantra,” berkata gurunya, “selama ini kau telah berusaha menyempurnakan ilmumu, meskipun kau belum sampai ke puncaknya. Tetapi setapak lagi kau maju, kau sudah akan menyamai aku. Dengan demikian, kau pun harus berusaha berpikir dan berbuat seperti seorang tua.”
Witantra tidak menjawab. Namun dengan demikian gurunya dapat mengerti, bahwa Witantra telah memilih jalan seperti yang telah diucapkannya.
“Baiklah Witantra,” berkata gurunya kemudian, “agaknya kau telah memilih jalan itu. Mudah-mudahan kau berhasil. Namun setelah itu pun kau masih harus bekerja keras, mungkin kau akan bekerja sendiri, untuk mencari pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.”
Witantra masih belum menjawab.
“Kau memberikan waktu kepada para pemimpin Tumapel untuk menentukan wakil mereka, mempertahankan keputusan itu. Sementara itu, kau dapat memanggil adikmu Mahendra, keluarga Kebo Ijo dan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat Kebo Ijo sebagaimana mestinya.”
“Baik, Guru.” Dan Witantra pun kemudian melakukannya. Memanggil beberapa orang yang terdekat, meskipun ada di antara mereka yang segan memenuhinya, karena Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.
Sementara itu Ken Arok sedang berpacu ke padang Karautan. Dibungkusnya keris yang bernoda darah itu dengan selembar kulit, dan diselipkannya pada ikat pinggangnya. “Aku harus segera bertemu dengan Mahisa Agni,” gumam Ken Arok. “Tetapi aku tidak akan segera mengatakan apa yang terjadi. Aku harus mengingatkannya tentang keris ini, sehingga aku akan menunggu di Karautan sampai malam hari.”
Namun tiba-tiba Ken Arok menjadi ragu-ragu. “Apakah Mahisa Agni berada di Karautan atau di rumah Empu Gandring?”
“Aku hanya dapat menemuinya di Karautan,” desisnya, “aku tidak akan dapat pergi ke rumah pamannya. Mungkin cantrik itu masih dapat mengenali aku. Kalau Mahisa Agni tidak ada di Karautan maka aku tidak akan dapat menemuinya.”
Ken Arok pun kemudian berpacu semakin cepat. Udara malam yang dingin telah menjamah seluruh tubuhnya, seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsum. Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika ia melihat cahaya semburat merah di langit. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam seolah-olah ingin menghirup seluruh kesegaran nafas fajar.
Meskipun semalam suntuk Ken Arok sama sekali tidak memejamkan matanya sekejap pun, namun ketahanan tubuhnya memang luar biasa. Seakan-akan ia telah terlatih untuk hidup di malam hari. Karena itu maka sama sekali ia tidak terpengaruh. Ia masih tetap segar sesegar angin pagi. Kudanya pun berpacu semakin cepat pula. Apalagi ketika udara menjadi semakin cerah, serta tanah tempat kaki-kaki kuda itu berpijak menjadi semakin jelas pula.
Ketika Ken Arok berpacu di pinggir hutan yang rindang, maka burung-burung liar pun berloncatan terbang ke atas dahan yang agak tinggi sambil memandang debu yang putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun kemudian terdengar kicaunya yang nyaring, seakan-akan mengucapkan selamat pagi kepada penunggang kuda di pagi yang nyaman itu.
Sinar matahari yang pertama terlempar dan balik perbukitan, menyentuh kulit Ken Arok yang basah oleh keringat. Terasa tubuh itu menjadi hangat. Sedang kicau burung pun menjadi semakin meriah, menyambut kedatangan pagi yang bening. Tetapi hati Ken Arok tidak sebening pagi itu. Semakin dekat padang Karautan, hatinya menjadi semakin gelisah.
“Apakah Mahisa Agni ada di Karautan? Dan apakah tidak mungkin cantrik itu berada di Karautan pula.”
“Persetan!” ia menggeram, “Aku harus segera menemuinya.”
Ken Arok memacu kudanya semakin cepat, tetapi sekali-sekali ia berhenti di sebuah parit untuk memberi kesempatan kudanya meneguk air yang sejuk, dan beristirahat sejenak. Akhirnya kuda Ken Arok itu pun memasuki ujung dari padang Karautan yang terbentang luas. Matahari yang semakin tinggi, terasa menjadi gatal menusuk-nusuk kulit.
“Sebentar lagi kita akan sampai,” desis Ken Arok sambil menepuk leher kudanya. Dan kuda itu seakan-akan menyadarinya, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Ken Arok pun menjadi semakin dekat dengan padang Karautan. Ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat gerumbul yang kehijau-hijauan di tengah-tengah padang yang luas. Segera ia mengenal, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Beberapa orang terheran-heran melihat kedatangan seorang tamu. Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa yang datang itu adalah Ken Arok. Seorang pelayan dalam yang pernah ditugaskan oleh Akuwu Tunggul Ametung di padang ini, membantu membuka tanah ini menjadi sebuah padukuhan yang subur dan bahkan sebuah taman yang paling indah di seluruh Tumapel.
“Selamat datang,” orang-orang Panawijen pun segera menyapanya dengan penuh keramahan.
“Terima kasih. Terima kasih,” Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia pun meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung bertanya, “Apakah Mahisa Agni ada di padukuhan ini?”
“Ya. Mahisa Agni ada di padukuhan ini.”
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
“Marilah,” ajak seseorang, “pergilah ke banjar. Kami akan memberitahukannya kepada Mahisa Agni dan kepada Ki Buyut Panawijen.”
“Terima kasih,” sahut Ken Arok, “di manakah banjar itu?”
“Di tepi jalan induk ini.”
“Terima kasih.” Ken Arok pun kemudian naik pula ke atas punggung kudanya dan berjalan perlahan-lahan menuju ke banjar. Di sepanjang jalan beberapa orang menyapanya dengan ramahnya. Ken Arok bagi orang-orang Panawijen adalah seorang yang banyak mempunyai jasa.
Berita tentang kedatangan Ken Arok segera sampai ke telinga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen. Maka dengan tergesa-gesa mereka pun pergi ke banjar, meskipun dengan tujuan yang berbeda-beda. Mahisa Agni telah dikejar oleh keinginan tahunya, apakah Ken Arok telah membawa berita tentang pembunuh pamannya.
Karena itu, ketika ia melihat Ken Arok di banjar, sebelum ia menanyakan tentang keselamatannya, yang pertama-tama terloncat dari bibirnya adalah, “He, kau Ken Arok. Apakah kau sudah menemukan pembunuh itu?”
Ken Arok yang tengah duduk di pendapa banjar itu pun berdiri sambil tersenyum. Dengan sareh ia berkata, “Marilah Agni. Aku memang membawa persoalan tentang yang kau tanyakan itu. Tetapi aku tidak terlalu tergesa-gesa duduklah. Aku masih mempunyai cukup waktu.”
Mahisa Agni pun kemudian tersenyum kecut. Perlahan-lahan ia naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan. Barulah ia sadar bahwa sebagaimana lazimnya, ditanyakannya tentang keselamatan Ken Arok dan orang-orang yang dikenalnya di Tumapel.
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun telah duduk pula di antara mereka. Percakapan mereka segera menjadi ramai. Beberapa orang tua-tua dan anak-anak muda yang terkemuka telah memerlukan datang untuk menemui Ken Arok, karena Ken Arok adalah seseorang yang telah banyak membantu membangun padukuhan ini. Padukuhan yang masih belum dewasa sampai saat Ken Arok datang itu.
Namun sampai begitu jauh, Ken Arok masih belum mengatakan sesuatu tentang maksud kedatangannya. Justru ketika Mahisa Agni bertanya sekali lagi, maka Ken Arok itu berkata, “Ah, apakah kau mau memberi kesempatan aku untuk beristirahat? Semalam suntuk aku tidak tidur.”
“Baiklah,” jawab Mahisa Agni, “kau dapat tidur di ruang belakang banjar ini.”
“Jangan,” sahut Ki Buyut, “datanglah ke rumahku. Meskipun rumahku belum siap seluruhnya, tetapi aku kira Angger lebih baik berada di sana. Setiap kebutuhan Angger akan segera dapat kami penuhi.”
Ken Arok tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Buyut. Tetapi aku kira, aku lebih senang berada di banjar ini. Mungkin aku ingin berjalan-jalan di tengah malam, atau mungkin aku harus menemui anak-anak muda yang datang untuk menjumpai aku. Dan aku memang bermaksud untuk dapat bertemu dengan kawan-kawan yang telah bersama-sama bekerja beberapa lama di padang ini. Aku sudah rindu kepada mereka dan kelakar mereka yang riang.”
“Tetapi tidak ada seorang pun akan dapat melayanimu di sini.”
“Terima kasih Ki Buyut. Aku akan datang kepada Ki Buyut atau siapa pun, apabila aku memerlukan sesuatu.”
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Lihat tidak ada seorang pun yang dapat merebus air di sini, apabila aku tidak menyuruh seseorang datang kemari.”
Ken Arok tertawa, “Kedatanganku jangan terlalu merepotkan kalian. Aku sudah biasa minum air sumur seperti pada saat-saat kita membuat bendungan itu. Apakah bedanya sekarang?”
Ki Buyut pun tersenyum pula. “Terserahlah, kalau Angger lebih senang di sini, biarlah Angger di sini. Biarlah ruangan di belakang banjar itu dibersihkan.”
Setelah minum dan makan, Ken Arok pun minta waktu untuk beristirahat. Perjalanannya memang sangat melelahkan. Duduk di atas punggung kuda di malam yang dingin. Tetapi Ken Arok tidak segera dapat tidur. Ia selalu diganggu oleh keputusan Witantra untuk melakukan perang tanding.
“Apakah aku dapat menyeret Mahisa Agni ke dalam persoalan ini secara langsung?” katanya di dalam hati, “kalau aku dapat memberikan kesan kepadanya, bahwa keris ini adalah keris buatan Empu Gandring dan dengan keris ini pula Kebo Ijo membunuh Akuwu setelah ia gagal berusaha membunuh Mahisa Agni, maka harapan untuk memperoleh keputusan seperti yang aku inginkan akan dapat aku capai.”
Dengan demikian, maka sebagian terbesar waktu Ken Arok selama berada di dalam biliknya adalah justru mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Di sore hari Ken Arok mempergunakan waktunya untuk bergurau dengan anak-anak muda Panawijen yang pernah bersama-sama membuat bendungan dan susukan. Berbagai macam masalah telah mereka bicarakan. Hilir mudik tidak henti-hentinya. Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak ada gunanya pun telah mereka percakapkan pula. Ketika kemudian senja turun, maka tiba-tiba saja Ken Arok mengajak Mahisa Agni berjalan-jalan.
“Aku ingin melihat belumbang itu. Apakah selama ini masih selalu dipelihara.”
“Tentu,” jawab Agni, “kami merasa wajib karena belumbang itu kau titipkan kepada kami di sini.”
“Terima kasih,” sahut Ken Arok, “sekarang, apakah kau tidak berkeberatan untuk pergi bersama?”
“Sebentar lagi matahari telah tenggelam sama sekali.”
“Aku hanya ingin mendapat kesan tentang taman itu.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Kemudian katanya, “Baiklah. Aku antar kau pergi ketaman itu.”
“Terima kasih.”
Dan keduanya pun kemudian pergi ke taman agak ke tengah padang Karautan. Mereka berjalan di sepanjang tanggul susukan induk. Susukan yang kini telah berhasil menghijaukan tanah di sebagian dari padang Karautan. Mengairi sawah dan petegalan.
“Padukuhan ini berkembang terlampau cepat,” desis Ken Arok, “sawah-sawah telah menjadi hijau merata sampai seluas ini.”
“Kami harus bekerja keras,” jawab Mahisa Agni, “sampai saat ini belum seluruh kehidupan di Panawijen yang lama dapat kami pindahkan. Meskipun Panawijen lama menjadi semakin kering, namun beberapa bagian dari kami masih harus tetap tinggal di sana. Kami mengharap, bahwa dalam waktu yang singkat, padukuhan ini telah menjadi padukuhan yang sempurna.”
“Waktunya tidak akan lama lagi,” desis Ken Arok, “ternyata kalian benar-benar menguasai masalah yang kalian hadapi.”
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dalam kediaman, yang terdengar hanyalah desir langkah kaki mereka di atas tanggul susukan induk. Sementara matahari telah hilang di ujung langit di sebelah barat. Keduanya untuk sejenak masih tetap berdiam diri. Sedang langit pun menjadi semakin gelap.
Mahisa Agni terperanjat ketika tiba-tiba Ken Arok berhenti. Sekilas Ken Arok itu menengadahkan wajahnya, melihat bintang yang gemerlapan, namun kemudian ia meloncat beberapa langkah menjauhi Mahisa Agni. Sekejap kemudian tangannya telah bergerak dengan cepatnya mencabut keris yang dibawanya dari wrangka kulitnya.
“Apakah artinya ini?” desis Mahisa Agni. Namun dengan gerak naluriah, ia pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Ken Arok dengan keris telanjang di tangannya. Keris yang bercahaya kebiru-biruan, dengan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan.
“Apa maksudmu Ken Arok?” Mahisa Agni bertanya sekali lagi.
Tetapi Ken Arok tidak menjawab. Dan tiba-tiba saja dada Mahisa Agni berdesir. Ia pernah melihat keris itu. Ketika ia berada di Tumapel mencari pembunuh pamannya ia telah diserang oleh seseorang dengan mempergunakan keris yang berwarna kebiru-biruan. Karena itu, maka tiba-tiba ia mendesis, “Jadi kaukah itu Ken Arok?”
Ken Arok masih belum menjawab. Dibiarkannya Mahisa Agni berteka-teki. Mahisa Agni memandang keris itu dengan tajamnya, “Ya, tidak salah lagi. Keris inilah”
Karena itu maka sekali lagi ia menggeram, “Jadi kaulah yang menyerang aku di Tumapel dengan keris itu?”
Mahisa Agni menjadi heran, ketika tiba-tiba saja ia melihat Ken Arok tertawa. Keris itu pun kemudian terkulai. Yang terdengar disela-sela suara tertawanya adalah gumamnya, “Kau masih ingat kepada keris ini?”
“Tentu. Jadi apa maksudmu sekarang?” bertanya Mahisa Agni.
“Jangan salah mengerti. Aku hanya ingin membuktikannya. Keris ini sama sekali bukan kerisku.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, “Dari mana kau dapat keris itu?”
“Kau akan dapat melihat nanti di dalam terang, bahwa keris ini telah bernoda darah.”
“Darah?”
“Darah Akuwu Tunggul Ametung.”
“He?”
Maka Ken Arok pun berceritalah tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung. Keris yang digenggamnya itu, dan kematian Kebo Ijo karena ia ingin melarikan dirinya.
“Kebo Ijo. Kebo Ijo.”
“Bukankah kau sudah mengenalnya.”
“Tentu aku sudah mengenalnya. Anak yang sombong itu. Ketika ia berada di padang ini, bersama dengan kau, kesan yang ditinggalkannya memang kurang baik.”
“Lalu bagaimanakah pendapatmu? Apakah kau dapat melihat hubungan antara keris ini, serangan atasmu di Tumapel dan kematian pamanmu?”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia menggeram, “Aku akan melihat nanti, apakah keris itu buatan paman Empu Gandring. Kalau benar, maka masalahnya akan menjadi semakin jelas. Dan adalah mungkin sekali, bahwa semuanya itu adalah perbuatan Kebo Ijo.”
“Nah, itulah keperluanku yang sebenarnya. Aku tidak begitu tertarik untuk pergi ke taman. Aku hanya ingin mengingatkan kau kepada keris ini dan peristiwa yang pernah terjadi.”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung. Dicobanya menghubung-hubungkan semua peristiwa yang pernah dialaminya. Tiba-tiba Mahisa Agni menggeram, “Kemungkinan terbesar Kebo Ijolah yang telah melakukannya. Marilah kita pulang. Aku ingin melihat keris itu dari dekat.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke padukuhan. Tetapi mereka tidak bermaksud menunjukkan keris itu kepada siapa pun, sehingga karena itu, maka mereka pun segera masuk ke dalam bilik yang disediakan untuk Ken Arok. Di bawah cahaya lampu minyak, Mahisa Agni mencoba melihat keris itu dengan seksama. Dibandingkannya keris itu dengan kerisnya sendiri, dan dengan keris pamannya yang dibawanya sebagai senjata peninggalan.
“Aku yakin keris ini pun buatan paman Empu Gandring,” desis Mahisa Agni.
“Jadi, apakah kau melihat hubungan itu?”
Mahisa Agni merenung sejenak. Kemudian bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Kebo Ijo telah minta agar paman membuat keris ini. Kemudian justru dengan keris ini pula paman telah ditikam dengan curang. Ternyata aku temukan paman yang telah terbunuh itu masih duduk di tempatnya. Sama sekali ia tidak sempat untuk melawan. Paman pasti tidak akan menyangka, bahwa Kebo Ijo akan menikamnya. Sekarang aku pasti, bahwa rencana yang disusun oleh Kebo Ijo, adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Pembunuhan atas paman Empu Gandring adalah sekedar untuk menghilangkan jejak.”
Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, “Kemudian dilakukannya rencana itu, setelah ia gagal membunuhku pula. Akuwu Tunggul Ametung ternyata berhasil dibunuhnya. Tetapi adalah suatu kebodohan bahwa keris ini ditinggalkannya. Mungkin ia menyangka, bahwa tidak seorang pun yang tahu, bahwa keris ini adalah kerisnya.”
“Banyak sekali orang yang mengetahuinya, dan bersedia menjadi saksi,” sahut Ken Arok.
“Mungkin ia meninggalkan keris itu tanpa disengaja,” desis Mahisa Agni, “namun ia sudah menjalani hukumannya. Bukankah ia sudah mati terbunuh? Dan bukankah dengan demikian kau dianggap sebagai seorang pahlawan?”
“Ah,” Ken Arok berdesah, namun kemudian, “tetapi persoalan ini masih belum selesai.”
“Kenapa? Bukankah pembunuhnya telah terbunuh? Tetapi aku pun tidak akan dapat menuntut sesosok mayat untuk mempertanggung jawabkan kematian paman.”
“Bukan itu soalnya Mahisa Agni,” jawab Ken Arok, “Witantra menolak keputusan keenam pimpinan pemerintahan Tumapel yang menyatakan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu Tunggul Ametung.”
“He,” Mahisa Agni terkejut, “Tetapi, bukankah sudah jelas bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu dengan keris ini?”
“Ya. Tetapi kau harus ingat. Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar jawaban Ken Arok itu. Witantra menurut pengenalan Mahisa Agni adalah seorang yang berdiri tegak sebagai seorang prajurit pilihan. Yang selama ini tidak pernah meninggalkan sifat-sifat seorang prajurit. Pertama kali ia melihat Witantra, ketika ia mengantarkan Mahendra mencari Wiraprana di Panawijen. Ia sama sekali tidak mau melihat kecurangan adik-adik seperguruannya. Bahkan Witantralah yang saat itu berkata kepada Mahendra, ‘Mahendra, kau kalah’.
Tetapi apakah Witantra yang sekarang bukan Witantra yang dahulu? Atau dalam keadaan yang paling berharga bagi seorang kesatria, yaitu mempertahankan nama, ia telah terperosok ke dalam sikap yang tidak terpuji?
Ken Arok yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Mahisa Agni segera meneruskan kata-katanya, “Mahisa Agni, bagaimanapun juga Witantra adalah manusia seperti kita. Suatu ketika ia menjadi khilaf dan kehilangan pegangan.”
“Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Witantra?”
“Witantra minta pimpinan Tumapel tidak segera mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu. Ia tidak yakin. Hanya karena ia tidak yakin. Witantra sama sekali tidak mempunyai bukti, bahkan petunjuk pun tidak, untuk menyangkal tuduhan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu.”
Mahisa Agni mendengarkan keterangan Ken Arok itu dengan dada yang bergetar, ia tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba saja Witantra telah berubah.
“Bagaimana pendapatmu Agni?”
“Mungkin Witantra telah diguncang oleh keadaan. Tetapi setelah ia sempat berpikir, mungkin ia akan bersikap lain.”
“Tidak Agni. Witantra berkata di atas keyakinannya. Menurut Witantra, betapa gilanya Kebo Ijo, tetapi ia tidak akan berbuat sebiadab itu.”
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
“Setelah pemimpin Tumapel yang enam mengambil keputusan, maka Witantra mempergunakan kesempatan satu-satunya untuk membatalkan keputusan itu.”
Mahisa Agni masih belum menjawab.
“Apabila dugaan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu ini dapat digugurkan, maka kau tidak akan dapat menarik garis yang dapat sampai pada suatu kesimpulan seperti yang kau katakan.”
“Maksudmu?”
“Kalau bukan Kebo Ijo yang membunuh Akuwu, maka sudah tentu sulit untuk dikatakan bahwa Kebo Ijo lah yang telah berusaha membunuhmu dengan keris ini. Sudah barang tentu, akan sulit pulalah dikatakan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Empu Gandring setelah ia memesan keris ini kepadanya.”
“Yang tidak dilakukan menurut Witantra adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo adalah pasti. Aku tidak akan terpengaruh apapun dengan penolakan Witantra itu. Memang mungkin, Kebo Ijo yang memiliki keris itu dan dipesannya dari Empu Gandring, yang karena sesuatu sebab Kebo Ijo telah membunuhnya. Dan karena aku mencari pembunuh paman, maka ia berusaha melenyapkan aku. Kemudian orang lainlah yang telah mempergunakan keris itu untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin atas persetujuan Kebo Ijo, tetapi mungkin pula tidak.”
Terasa dada Ken Arok berguncang mendengar jawaban Mahisa Agni itu, sehingga sejenak ia terpaku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “Tetapi jika demikian, maka dugaanmu bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Empu Gandring untuk menghilangkan jejak, akan hapus karenanya. Kalau Kebo Ijo memang tidak mempunyai rencana apapun, maka apakah kira-kira yang telah mendorongnya untuk membunuh Empu Gandring? Apakah sekedar agar Empu Gandring tidak dapat minta kepadanya biaya yang telah dijanjikan oleh Kebo Ijo sebagai harga keris itu? Sudah tentu, alasan itu terlampau dibuat-buat.”
Mahisa Agni merenung sejenak. Keterangan Ken Arok itu memang masuk di akalnya. Adalah suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Apabila dugaannya benar, maka pasti pembunuhan atas Empu Gandring itu pun didasari oleh perhitungan yang cermat, bukan sekedar alasan cengeng dan dibuat-buat.
“Bagaimana Mahisa Agni?”
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, mungkin memang begitu.”
“Jadi bagaimana pendapatmu tentang pembunuh Akuwu Tunggul Ametung?”
“Aku tidak melihat dan aku tidak banyak mengerti. Kalau keenam pemimpin yang lain telah mengambil kesimpulan, dan keris ini memang keris Kebo Ijo, maka aku kira tidak ada alasan lagi bagi Witantra untuk menolak keputusan itu.”
“Agni, kalau kau tidak berkeberatan, sebaiknya kau datang ke Tumapel. Kau akan melihat suasana yang telah terjadi di istana. Adikmu pingsan untuk waktu yang tidak terbatas. Setiap ia sadar, segera ia menjerit tinggi untuk kemudian pingsan kembali.”
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kalau kau berhasil Agni, maka kau akan dapat menetapkan sama sekali, bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh pamanmu pula. Karena itu maka nama Kebo Ijo akan terpahat di dalam setiap hati, bahwa ia adalah seorang pembunuh yang paling licik di Tumapel. Meskipun ia telah terbunuh sebelum ia sempat melakukan hukuman yang akan ditentukan oleh para pemimpin Tumapel, namun apabila penetapan tentang kelakuannya itu dapat dinyatakan, maka keadaannya akan sama saja. Dan kau pun tidak lagi diburu oleh suatu kewajiban untuk mencari pembunuh pamanmu.”
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa getar di jantungnya menjadi semakin keras. Kemarahan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya atas kematian pamannya, seakan-akan telah terungkit kembali perlahan-lahan. Apalagi apabila dibayangkannya, betapa derita batin Ken Dedes atas kematian suaminya itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Ken Arok melihat warna merah membayang di wajah Mahisa Agni. Kemudian sorot matanya yang menjadi semakin tajam dan lekuk-lekuk di dahinya.
“Mudah-mudahan aku berhasil,” desisnya, “Mahisa Agni adalah seorang yang luar biasa.”
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba membunuhnya dengan keris yang kini berada di tangannya ia menyadari, betapa Mahisa Agni telah jauh maju dengan pesatnya. Dalam berpengharapan itu Ken Arok menjadi berdebar-debar karena Mahisa Agni masih tetap diam saja. Tetapi Ken Arok tidak ingin mengganggunya. Karena itu dibiarkannya Mahisa Agni berpikir.
“Apakah dapat dibenarkan, bahwa Witantra seorang diri menentang keputusan keenam yang lain?”
“Dengan suatu cara yang khusus. Tetapi kalau ia kalah, maka keputusan itu tidak dapat diubah lagi.”
“Apakah cara itu?”
“Perang tanding.”
“He?”
“Witantra berhak mempergunakan cara itu satu kali. Kalau ia tidak naik sendiri ke arena, ia dapat menunjuk atas persetujuan seorang yang lain. Tetapi kali ini Witantra sendiri yang akan naik ke arena. Ia memberi kesempatan tiga hari sejak hari yang baru lalu, Kalau tidak ada seorang pun yang melawannya, maka keputusannyalah yang berlaku.”
Tiba-tiba terasa darah Mahisa Agni bergetar. Mula-mula di ujung tangannya, namun kemudian merambat sampai ke pusat jantungnya. Sejenak ia membeku, namun sejenak kemudian ia berkata, “Aku akan minta ia mengubah keputusan itu. Aku berkepentingan, karena Kebo Ijo telah membunuh pamanku pula.”
Dada Ken Arok berdesir. Ia mengharap Mahisa Agni menyatakan dirinya untuk melawan Witantra. Tetapi yang akan dilakukan hanyalah sekedar minta Witantra mengubah sikapnya.
“Bagaimana kalau Witantra bersedia dan bagaimana kalau ia menolak?” pertanyaan itu melonjak di dalam dada Ken Arok. Namun ia mencoba untuk berkata, “Tidak banyak gunanya Agni. Witantra adalah seorang yang keras kepala.”
“Aku akan menemuinya.”
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukkan kepalanya.
“Besok pagi-pagi kita berangkat,” desis Mahisa Agni.
Ken Arok mengangguk, “Baiklah. Memang sebaiknya kau mencoba agar Witantra mengurungkan niatnya.”
Semalam keduanya hampir tidak tidur sekejap pun. Karena itu ketika fajar menyingsing keduanya seolah-olah berebut dahulu pergi ke bendungan. Mandi dan siap untuk berangkat ke Tumapel. Namun keduanya masih memerlukan menghadap Ki Buyut untuk mohon diri.
“Kau juga pergi, Agni?” bertanya Ki Buyut.
“Ya, Ki Buyut. Sudah lama aku tidak menengok Ken Dedes, eh maksudku, Tuan Putri.”
Ki Buyut tersenyum, katanya, “Hati-hatilah di jalan Ngger.”
Keduanya kemudian meninggalkan padukuhan yang sedang berkembang di tengah-tengah padang Karautan itu. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling, memandangi padukuhannya yang telah menghijau, dan sawah-sawah yang telah ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman. Pategalan dengan kebun buah-buahan yang telah bertambah besar, meskipun masih belum berbuah.
Ketika sinar matahari telah mulai menggatalkan kulit maka keduanya pun kemudian memacu kuda mereka. Semakin lama semakin cepat, seakan-akan mereka sedang ditunggu oleh seluruh rakyat Tumapel dalam masalah Kebo Ijo yang telah menggemparkan itu.
Di sepanjang perjalanan, tidak banyaklah yang mereka percakapkan. Masing-masing telah terlibat dalam angan-angan yang membubung tanpa batas. Dengan sudut pandangan masing-masing dan kepentingan masing-masing, mereka mencoba menilai, apakah yang kira-kira akan terjadi di Tumapel.
“Seandainya Kebo Ijo tidak membunuh paman Empu Gandring, aku tidak akan mencampuri persoalan ini,” desis Mahisa Agni, “aku hanyalah sekedar seorang anak pedesaan. Anak padukuhan yang setiap hari hanya pantas bergaul dengan batu-batu dan tanah liat. Tetapi karena Kebo Ijo telah mengorbankan paman Empu Gandring yang baik, yang selama ini telah banyak sekali berbuat untukku. Pada saat aku sedang mulai membuka tanah ini, pada saat-saat aku masih diancam oleh Empu Sada.”
Tiba-tiba dada Mahisa Agni menjadi kian bergetar. Semakin dalam ia mengenangkan pamannya, maka hatinya menjadi semakin bergolak. “Kenapa tiba-tiba Witantra telah dikaburkan oleh hubungan perguruan dengan Kebo Ijo, sehingga ia telah tergelincir karenanya, justru pada saat yang gawat ini?” bertanya Mahisa Agni di dalam hati, “Tumapel dalam keadaan ini memerlukan seorang kuat. Kalau tidak maka Tumapel akan menjadi seperti sebuah perahu yang kehilangan kemudi di tengah lautan yang buas. Ia akan tenggelam dan tidak akan muncul kembali. Maharaja di Kediri akan menentukan sikap dan bentuk baru bagi Tumapel, apabila Tumapel tidak dapat segera membentuk dirinya sendiri.”
Namun kemudian ia menarik nafas, “Aku adalah seorang anak pedesaan. Aku terlampau bodoh untuk memikirkan nasib Tumapel. Aku tidak tahu, apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpinnya. Yang enam dan seorang Witantra. Apakah mereka telah menyusun suatu sikap bagi Tumapel sepeninggal Akuwu, ataukah mereka sedang disibukkan oleh Kebo Ijo, ataukah mereka justru sedang saling menyiasati untuk merebut kepemimpinan yang kosong sebelum ada seorang pun yang dapat mewarisinya.”
Berbagai macam pikiran telah berputar di kepala anak muda dari Panawijen itu. Namun caranya menanggapi persoalan telah dilandasi oleh kesadaran diri, bahwa ia tidak banyak mengerti mengenai tata pemerintahan, justru ia adalah seorang anak padukuhan yang jarang sekali bergaul dengan orang-orang yang berada di pusat pimpinan Tumapel.
Kedua anak muda itu akhirnya memasuki kota Tumapel yang masih sedang berkabung. Mereka langsung menuju ke rumah Witantra. Ken Arok mengharap, bahwa Witantra tidak berada di pusat pimpinan Tumapel. Ternyata dugaan Ken Arok itu tidak salah. Meskipun Witantra masih tampak lesu, namun ia telah berada di rumahnya. Dengan hati yang kosong dipersilakannya Mahisa Agni dan Ken Arok naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar.
“Baru saja aku pulang dari rumah Kebo Ijo,” desis Witantra setelah ia menanyakan keselamatan Mahisa Agni dan Ken Arok sebagai pemenuhan tata pergaulan.
“Bagaimana dengan istri dan anaknya?” bertanya Ken Arok.
“Kepahitan yang tiada taranya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa malapetaka itu akan menimpa keluarga mereka.”
“Kasihan bahwa mereka telah terjerat oleh seseorang yang ternyata bukan yang diinginkannya,” gumam Ken Arok.
“Maksudmu?”
“Bukankah dengan demikian, Kebo Ijo telah membuat istri dan anaknya menderita?”
“Maksudmu, bahwa Kebo Ijo telah bersalah dan membunuh Akuwu sehingga mengakibatkan keluarganya hancur seperti sekarang ini?”
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia menganggukkan kepalanya.
“Jangan kau ulangi, Ken Arok!” geram Witantra, “Aku masih tetap yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah.”
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sekilas ia mencoba memandang wajah Mahisa Agni. Dan ia melihat wajah itu menjadi merah.
“Witantra,” berkata Mahisa Agni, “apakah kau benar-benar meyakini bahwa Kebo Ijo tidak bersalah?”
“Ya, aku yakin. Apalagi ketika aku mendengar dari istrinya, bahwa pintu rumahnya di bagian belakang pada malam itu tidak diselaraknya. Maka menurut perhitunganku, kemungkinan yang terbesar, orang lain telah mengambil keris itu dan mempergunakannya.”
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
“Istriku dan Ken Umang sekarang masih berada di rumah Kebo Ijo untuk mengawaninya di dalam duka.”
Mahisa Agni masih belum menjawab. Namun dalam pada itu dada Ken Arok lah yang berdentingan. Apakah pada suatu saat Witantra akan berhasil menelusuri, siapakah yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan itu? Ternyata otak orang itu terlampau cerah untuk menyelidiki suatu masalah.
“Witantra,” berkata Mahisa Agni kemudian, “aku telah mendengar peristiwa sedih yang menimpa istana Tumapel. Aku juga telah mendengar bahwa Kebo Ijo telah terbunuh oleh Ken Arok, meskipun ia tidak sengaja membunuhnya.”
“Ya. Menyedihkan sekali.”
“Dan aku pun mendengar pula, bahwa kau menolak keputusan pemimpin-pemimpin Tumapel yang lain, bahwa Kebo Ijolah yang telah membunuh Akuwu.”
“Ya. Aku menolak dengan cara satu-satunya karena aku tidak melihat cara yang lain.”
“Witantra, apakah kau telah berpikir masak-masak?”
Witantra mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar pertanyaan Mahisa Agni itu. “Apakah maksudmu?”
“Aku minta kau merenungkannya kembali Witantra. Dengan bening, dan hati-hati. Agaknya kali ini kau tergelincir dari sikap yang selama ini kau pegang teguh.”
Dada Witantra berdesir. Hatinya yang sedang pepat itu segera merasa tersinggung. Meskipun bukan kebiasaannya, cepat merasa dipersalahkan, tetapi kali ini ia dipengaruhi oleh keadaannya terakhir. “Jadi kau ikut menyalahkan aku pula, Mahisa Agni?” ia bertanya.
“Bukan maksudku Witantra,” jawab Mahisa Agni, “tetapi tuduhan kepada Kebo Ijo itu aku kira sudah Adil. Memang mungkin anggapan seseorang itu salah. Tetapi apabila kelak ternyata bahwa ada petunjuk yang lain, maka keputusan itu dapat digugurkan.”
“Ah,” Witantra berdesah. Dengan susah payah ia menahan dirinya untuk tetap menyadari, dengan siapa ia berhadapan, “bukan demikian cara menanggapi suatu persoalan Agni. Kalau Kebo Ijo masih hidup dan caramu memutuskan perkara dengan cara itu, maka setelah ia dihukum gantung, ia tidak akan hidup lagi meskipun hukuman itu kelak dibatalkan.”
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan Witantra itu. Namun ia masih menjawab, “Tetapi masalah Kebo Ijo kali ini berlainan Witantra. Justru Kebo Ijo sudah meninggal. Apalagi keenam pemimpin Tumapel yang lain sudah yakin, bahwa Kebo Ijo telah bersalah.”
“Aku yakin pula bahwa Kebo Ijo tidak bersalah. Sudah aku katakan, pasti ada orang lain yang melakukan setelah mengambil keris itu dari rumahnya.”
“Bukti-bukti telah cukup Witantra. Dan alasan yang kau kemukakan itu terlampau lemah. Tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa pintu itu memang telah terbuka.”
“Mahisa Agni,” desis Witantra yang hampir tidak dapat menahan diri lagi. Ia sedang kesal menanggapi peristiwa itu dan badannya pun masih terlampau lelah setelah ia menyelenggarakan mayat adik seperguruannya, sehingga dengan demikian pikirannya pun tidak cukup bening untuk menanggapi persoalan yang dikemukakan oleh Mahisa Agni, “aku sudah mempertimbangkan masak-masak. Aku sudah mengambil keputusan untuk membatalkan keputusan itu dengan perang tanding.”
Mendengar jawaban Witantra itu jantung Mahisa Agni terasa berdentingan. Namun ia masih berkata datar, “Kau terlampau tergesa-gesa Witantra. Kau telah terpengaruh hubungan perguruan antara kau dan Kebo Ijo.”
“Agni,” Witantra benar-benar tidak dapat menahan hatinya lagi, “sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan kami, persoalan pucuk pimpinan pemerintahan Tumapel.”
Dalam keadaan yang biasa mungkin Mahisa Agni tidak akan segera terbakar oleh kata-kata Witantra itu. Tetapi seperti juga Witantra, hati Mahisa Agni sedang disaput oleh kedukaan atas kematian pamannya yang terungkit kembali, justru rasa-rasanya lebih dalam lagi melukai hatinya. Apalagi bisa dibayangkannya, betapa sedihnya adiknya yang sedang menikmati ketenteraman hidup sebagai seorang permaisuri. Dan tiba-tiba saja suaminya telah direnggut dari sisinya oleh maut. Karena itu, maka jawaban Witantra itu menjadi serasa api yang menyentuh hatinya. Panas.
Sejenak Mahisa Agni mencoba menguasai perasaannya. Namun tanpa dapat dikendalikan lagi ia menggeram, “Witantra, persoalan ini bukan sekedar persoalan pucuk pimpinan pemerintahan di Tumapel. Persoalan ini adalah persoalan Tumapel seluruhnya.”
“Tetapi tidak perlu setiap orang ikut campur menyelesaikannya menurut seleranya sendiri-sendiri. Sudah ada peraturan-peraturan yang dapat dijadikan pedoman. Dan aku tidak menyimpang daripadanya. Aku minta perang tanding. Tidak ada jalan lain. Dan kau sebaiknya menunggu saja dan melihat apa yang akan terjadi. Sebaiknya kau kembali ke Panawijen atau ke padang Karautan. Di sana kau dapat menentukan cara yang kau sukai. Tidak di sini, di pusat pemerintahan Tumapel.”
“Witantra,” wajah Mahisa Agni menjadi merah padam, karena dengan kata-kata Witantra itu ia merasa dihina, bahwa ia tidak lebih dari seorang anak pedesaan. Namun dengan demikian harga diri Mahisa Agni pun terungkit karenanya. Maka jawabnya, “Tidak. Aku merasa ikut bertanggung jawab akan hal ini. Aku bukan sekedar anak pedesaan yang tidak boleh ikut campur membicarakan masalah-masalah yang terjadi di Tumapel. Seolah-olah masalah yang hanya boleh dibicarakan oleh para pemimpin dan bangsawan. Tetapi seandainya demikian, aku pun berhak menyebut diriku orang penting di Tumapel. Aku adalah kakak Permaisuri Tumapel. Kalau aku menerima, aku sudah mendapat gelar kebangsawanan dan kedudukan yang penting di pemerintahan pada saat Ken Dedes akan diangkat menjadi seorang permaisuri. Tetapi seandainya hal itu tidak diakui, aku adalah ipar dari seseorang yang terbunuh, dan aku adalah kemenakan orang lain yang telah terbunuh pula. Atas hak itulah aku berbicara sekarang.”
Kini wajah Witantra pun telah membara pula. Meskipun sejenak tersirat pengakuan di dadanya bahwa Mahisa Agni memang tidak terlepas sama sekali dari peristiwa ini. Namun demikian, kegelapan hatinya sama sekali tidak dapat dikuasainya, sehingga ia pun menjawab lantang, “Kalau kau merasa dirimu berhak mencampuri persoalan ini, lakukanlah. Aku tidak akan melarang. Tetapi kau jangan mencoba mengubah keputusanku.”
“Baik. Aku tidak akan mengubah keputusanmu. Tetapi aku justru akan memberi kesempatan kepadamu melakukan perang tanding itu. Tetapi ingat. Aku berpendirian sebaliknya. Kebo Ijo adalah pembunuh paman dan iparku sekaligus. Karena itu, namanya harus dipahatkan di dinding gerbang istana, bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh yang paling licik dan kejam.”
“Tidak. Aku menentang. Sudah aku katakan, aku menentang keputusan itu dengan perang tanding.”
“Aku akan menguatkan keputusan itu. Kalau aku diizinkan, aku menyediakan diriku untuk naik ke arena mempertahankan keputusan bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.”
Jawaban Mahisa Agni itu serasa petir yang meledak di atas kepala Witantra. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sorot matanya yang membara seakan-akan membakar udara di ruangan itu. Dua jantung yang masih terhitung muda itu telah menyala. Tidak seorang lagi yang dapat memadamkannya. Dan ketetapan mereka pun agaknya sudah pasti, masing-masing akan berhadapan di arena.
Ken Arok yang ada di ruangan itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia melihat perbantahan itu dengan tubuh yang gemetar, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi Ken Arok tertawa di dalam hati. Memang inilah yang diinginkannya. Inilah yang selama ini diharapkannya akan terjadi. Mahisa Agni adalah kekuatan yang diharapkannya dapat mengimbangi kekuatan Witantra di arena, karena Ken Arok telah menjajaki betapa tinggi ilmu Mahisa Agni kini.
Dalam keadaan yang demikian ikut terdengar suara Witantra gemetar, “Bagus. Kau pun laki-laki jantan yang jarang ada duanya Agni. Kalau kau memang berhasrat untuk mempertahankan keputusan itu, pergilah ke pemimpin yang enam. Ajukan permintaanmu, dan apabila diizinkan, kau akan dapat melakukannya. Kau memang pahlawan yang perkasa. Aku mengenal kau sejak Mahendra mempunyai persoalan dengan seseorang yang bernama Wiraprana. Kau telah menyerahkan dirimu untuk berkelahi melawan Mahendra dengan nama Wiraprana. Dan kau berhasil memenangkan perkelahian itu. Sekarang kau akan bertindak sebagai pahlawan pula untuk menetapkan Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh.”
“Apapun yang kau katakan tentang diriku, aku tidak akan menolak. Tetapi aku harus ikut mempertahankan keadilan di atas Tanah Tumapel. Tidak boleh terjadi seorang pembunuh dapat melepaskan dirinya karena pergulatan di arena. Kalau demikian, maka tegaknya kebenaran berada di ujung senjata. Tetapi kalau memang seharusnya demikian, maka apa boleh buat.”
“Bagus Agni. Aku mengharap enam pemimpin yang lain tidak akan berkeberatan menerima kau. Supaya kau tidak terlambat, karena mereka telah menetapkan orang lain, datanglah kepada mereka, dan nyatakan maksudmu itu. Katakanlah bahwa kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan kemenakan Empu Gandring yang telah terbunuh pula.”
“Baik,” jawab Mahisa Agni pendek, “aku minta diri.” Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan rumah Witantra bersama Ken Arok menemui pemimpin yang enam untuk menyatakan maksudnya.
Sepeninggal Mahisa Agni Witantra duduk tepekur di dalam rumahnya. Ia memang tidak menyangka, bahwa kedatangan Mahisa Agni justru telah menimbulkan persoalan baru baginya. Namun bagaimanapun juga, Witantra sudah bertekad bulat. Ia akan mempertaruhkan namanya untuk menegakkan keyakinannya. Sebab ia pasti, bahwa bukan Kebo Ijolah yang telah melakukan pengkhianatan. Ia kenal Kebo Ijo sebaik-baiknya. Menurut perhitungan Witantra, pasti ada orang lain yang sengaja ingin menjerumuskannya.
Tetapi yang tidak dimengertinya, kenapa justru Kebo Ijo. Bukan dirinya sendiri atau orang lain. Ia tidak dapat mengerti, pamrih apakah yang dikehendaki oleh orang yang melakukan pembunuhan itu atas nama Kebo Ijo dan atas Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi seandainya benar dugaan Mahisa Agni, bahwa Empu Gandring telah terbunuh pula oleh orang yang sama.
“Apakah orang yang datang ke rumah Empu Gandring itu juga Kebo Ijo?” pertanyaan itu selalu mengganggunya, “Seandainya Kebo Ijo masih hidup, maka cantrik itu akan dapat ditanya, orang itukah yang dilihatnya di padepokan Empu Gandring seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni beberapa waktu berselang, ketika ia mencari pembunuh pamannya?”
“Inilah yang harus aku hadapi. Banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi, seperti pada saatnya aku harus naik ke arena melawan Mahisa Agni. Tetapi apa boleh buat. Aku mempertahankan keyakinanku, sedang Mahisa Agni mempertahankan keyakinannya.”
Sementara itu Mahisa Agni yang diantar oleh Ken Arok pergi menghadap pemimpin Tumapel yang lain, yang setiap saat selalu berkumpul di istana. Dengan heran para pemimpin itu menerima Mahisa Agni. Dan dengan dada yang berdebar-debar pula mereka mendengarkan keinginan itu. Sejenak keenam pemimpin itu tidak dapat segera memberikan tanggapan. Mereka saling berpandangan dan mencoba melihat apa saja yang bergolak di dalam dada masing-masing.
Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Sebaiknya kami mohon pertimbangan Tuanku Permaisuri.”
“Tidak perlu,” jawab Mahisa Agni, “Ken Dedes, eh maksudku Tuanku Permaisuri tidak perlu tahu apa yang bakal terjadi. Ia tinggal menerima keputusan akibat dari perang tanding di arena itu.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, “Seandainya Tuanku tidak sedang terganggu, maka Tuan Putrilah yang dapat mengambil semua keputusan dan kebijaksanaan. Perang tanding itu pun mungkin dapat dibatalkan. Sebab kekuasaan Permaisuri yang sekarang adalah mutlak seperti kekuasaan Akuwu sendiri. Atau dengan kata lain, Tuanku Ken Dedeslah sebenarnya Akuwu di Tumapel, karena sebenarnya Tuanku Tunggul Ametung pernah menyerahkan segala yang ada padanya kepada Tuan Putri Ken Dedes sebelum mereka kawin.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun hatinya yang panas telah membakar darah mudanya, sehingga ia menjawab, “Biarlah keputusan itu disaksikan oleh rakyat Tumapel.”
“Tetapi kalau hal itu memang tidak perlu dilakukan, apakah salahnya?” bertanya yang lain.
“Tetapi Witantra menghendakinya,” sahut pemimpin tertinggi pelayan dalam.
“Itu adalah jalan satu-satunya yang dapat dilihatnya,” berkata panglima prajurit Tumapel.
Dengan demikian maka keenam pemimpin itu menjadi terdiam sejenak. Ternyata pendapat mereka berbeda-beda. Para pemimpin dari kalangan keprajuritan menghendaki perang tanding. Sedang pemimpin-pemimpin yang lain masih ingin melihat jalan yang lain.
Dalam pada itu Ken Arok berkata, “Aku tidak tahu, jalan manakah yang paling baik dilakukan. Tetapi sebaiknya hal ini tidak usah dibicarakan dengan Tuan Putri. Setiap kali Tuan Putri mendengar peristiwa ini, maka Tuanku Ken Dedes pasti menjadi pingsan, dan kadang-kadang kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama. Karena itu, apakah tidak sebaiknya keputusan pemimpin yang enam ini sajalah yang menentukan. Kalau perang tanding itu sebaiknya dilakukan, biarlah keputusan itu di jalankan. Kalau pemimpin yang enam ini menerima tuntutan Witantra untuk membatalkan keputusan tentang Kebo Ijo, biarlah keputusan itu dibatalkan tanpa setahu Tuan Putri.”
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang tidak mungkin berbicara dengan Ken Dedes dalam keadaan serupa itu. Setiap kali permaisuri itu selalu diserang oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang mengganggu kesadarannya. Hanya emban tua pemomongnya sajalah yang dapat melayaninya. Bahkan kadang-kadang permaisuri itu memeluknya tanpa sebab. Kemudian menangis sejadi-jadinya.
Pemomong Ken Dedes itu berusaha menghibur sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun kadang-kadang hatinya sendiri menjadi pedih mengenang perkembangan terakhir di istana Tumapel, sebelum Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Hubungan yang tidak sewajarnya antara permaisuri dengan seorang pelayan dalam yang cakap dan tampan. Karena itu, ketika tiba-tiba Akuwu terbunuh, maka dada pemomong Permaisuri itu bergetar dahsyat, seakan-akan terguncang-guncang. Dan perempuan tua itu memang meragukan, apakah benar Kebo Ijo yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
“Untuk apa?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Tetapi sebagai seorang emban ia tidak dapat berbuat dan berkata apapun. Ia hanya dapat menunggui dan menghibur hati permaisuri yang tiba-tiba telah menjadi janda. Namun kepedihan hati permaisuri itu pun agaknya bukan sekedar karena ia ditinggalkan oleh suaminya. Tetapi agaknya ia menyimpan soal-soal yang lain pula, yang tidak dapat dikatakan kepada orang lain dengan kata-kata. Sehingga yang dapat dilimpahkan hanyalah air matanya saja.
Oleh kenyataan itu, maka keenam pemimpin itu telah bersepakat untuk tidak menyerahkan persoalan ini kepada permaisuri yang sedang berduka itu. Karena itu, maka apa yang sebaiknya mereka lakukan, mereka bicarakan dengan tinjauan dari segala segi dan segala kemungkinan. Selama keenam pemimpin itu sedang berbincang, maka Ken Arok dan Mahisa Agni harus menunggunya di luar bilik. Mereka duduk tepekur tanpa berbicara sepatah kata pun. Sekali-sekali tatapan mata mereka beredar menyusuri tiap-tiap di dalam ruangan itu. Namun, kemudian kembali kepala-kepala mereka tepekur.
Pembicaraan keenam pemimpin itu ternyata berlangsung cukup lama. Keduanya terperanjat, ketika mereka mendengar pintu bilik itu terbuka. Namun agaknya pembicaraan itu belum selesai. Ternyata mereka memanggil Ken Arok untuk dimintai beberapa keterangan. Kembali Mahisa Agni duduk tepekur. Dengan sudut matanya ia melihat salah seorang penjaga yang duduk terkantuk-kantuk.
“Pantas. Kebo Ijo berhasil mendekati bilik Akuwu tanpa diketahui orang. Agaknya telah menjadi kebiasaan para penjaga di dalam istana ini duduk terkantuk-kantuk,” gumam Mahisa Agni di dalam hatinya.
Akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu duduk termenung tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun segera berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu. Penjaga yang semula terkantuk-kantuk itu pun memandanginya dengan curiga. Tetapi ia tidak menyapanya, karena ia tahu, bahwa Mahisa Agni sedang menunggu hasil pembicaraan keenam pemimpin Tumapel yang kini berada di dalam bilik yang tertutup itu.
Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat prajurit yang lain berdiri di belakang tiang di depan longkangan dalam. Kemudian ia melihat yang lain lagi di sebelah sebuah patung yang besar.
“Tidak ada gunanya. Penjagaan di dalam istana ini diperkuat setelah Akuwu Tunggul Ametung terbunuh,” katanya di dalam hati, namun kemudian dijawabnya sendiri, “Mungkin mereka masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa peristiwa yang terjadi tidak hanya terhenti sampai sekian. Mungkin mereka mencemaskan nasib Ken Dedes pula. Apabila pembunuhan ini dikendalikan oleh sekelompok pemimpin Tumapel untuk merebut kekuasaan dengan cara yang masih belum dimengerti, maka memang keselamatan Ken Dedes juga terganggu.”
Mahisa Agni pun akhirnya berhenti. Diamatinya sebuah ukiran nada tiang yang hampir sepemeluk. Ukiran yang halus dan diwarnai oleh sungging yang bagus. Namun warna-warna itu kini tampak terlampau suram baginya. Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka. Sejenak kemudian ia melihat Ken Arok berdiri di muka pintu sambil melampaikan tangan memanggilnya. Dengan dada berdebar-debar Mahisa Agni melangkah dengan tergesa-gesa mendekat. Kemudian Ken Arok menariknya masuk ke dalam bilik, dan pintu pun segera tertutup kembali.
“Mahisa Agni,” bertanya salah seorang pemimpin Tumapel yang telah berusia lanjut, “apakah kau benar-benar telah bertekad bulat untuk naik ke arena?”
“Ya,” jawab Mahisa Agni singkat.
“Atas dasar dan pertimbangan apakah maka hal itu kau lakukan.”
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia menjawab, “Aku ingin membantu menegakkan kebenaran di Tumapel. Seandainya kesalahan seseorang terhapus karena kekuatan seorang di dalam perang tanding, maka hal itu menurut aku sama sekali tidak adil. Kalau seseorang bersalah, betapapun juga ia telah bersalah. Meskipun orang lain mempertahankannya dengan kemenangan seratus kali di arena.”
“Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?”
“Tidak. Tetapi hasrat itulah yang ada padaku,” Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian, “tetapi kalau ditanyakan kepadaku tentang kepentinganku yang langsung, maka aku adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes, sehingga aku adalah ipar dari Akuwu yang terbunuh. Selain Akuwu juga pamanku telah terbunuh. Dengan demikian adalah kewajibanku untuk berbuat sesuatu.”
Keenam pemimpin Tumapel itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari Ken Arok mereka telah mendengar, bahwa Mahisa Agni adalah murid dari seorang Empu, dan Empu itu adalah ayahnya sendiri juga ayah Ken Dedes, Empu Purwa.
“Kebo Ijo pernah dikalahkannya, juga kakak seperguruannya yang lain, Mahendra,” berkata Ken Arok ketika ia dimintai keterangan para pemimpin itu.
Sejenak kemudian para pemimpin itu terdiam. Agaknya mereka masih diliputi oleh keragu-raguan. Namun kemudian salah seorang yang mewakili mereka berkata, “Setelah mendapatkan beberapa keterangan Agni, baiklah aku menerima permintaanmu. Kau kami percaya untuk mewakili kami. mempertahankan keputusan yang telah kami ambil tentang Kebo Ijo. Kau memang bukan orang lain. Kau pun berhak untuk melakukan pembelaan itu, karena kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan sekaligus kemenakan Empu Gandring yang terbunuh pula. Kalau kau berhasil, maka sekaligus kita menemukan pembunuh pamanmu itu pula.”
Mahisa Agni menahan nafasnya. Hatinya serasa mengembang di dadanya. Ia mendapat saluran untuk menyatakan kesetiaannya, meskipun yang terutama untuk kepentingan pamannya. Demikianlah, maka telah menjadi keputusan, bahwa Mahisa Agnilah yang akan naik ke arena untuk mempertahankan keputusan pemimpin Tumapel yang enam, melawan keyakinan Witantra bahwa adik seperguruannya itu sama sekali tidak bersalah. Meskipun Witantra sadar, bahwa pendapat sebagian terbesar rakyat Tumapel tidak condong kepadanya, namun ia telah siap menerima akibat dari keyakinannya itu...