Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 50

Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Di Langit Singasari episode Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 50 karya Singgih Hadi Mintarjda
PELANGI DILANGIT SINGASARI
Seri 01: Bunga Di Kaki Gunung Kawi Jilid 50
Karya Singgih Hadi Mintardja
Cerita silat Indonesia Serial Pelangi Dilangit Singasari Karya S H Mintardja

MAKA pada hari itu juga pimpinan pemerintahan Tumapel telah mengumumkan keputusan itu. Di hari berikutnya, di alun-alun Tumapel akan dilakukan perang tanding. Demikianlah segala macam persiapan telah dilakukan. Sebuah panggung telah dibangun di alun-alun sebagai ajang dari perang tanding itu.

Keputusan itu pun segera saja menjalar dari setiap mulut ke setiap telinga sehingga belum lagi matahari terbit di keesokan harinya, rakyat di seluruh Tumapel telah mendengar apa yang akan terjadi itu. Keputusan itu juga mengejutkan keluarga Witantra yang baru saja pulang dari rumah Kebo Ijo. Dengan cemas istrinya bertanya, apakah yang akan terjadi.

“Aku telah menempuh jalan satu-satunya,” desis Witantra.

Istrinya segera terdiam. Ia adalah istri seorang senapati yang harus dapat mengerti tugas-tugas suaminya. Namun terasa kali ini hatinya menjadi berdebar-debar. Suaminya tidak akan berangkat perang melawan kekuatan yang manapun juga di luar kekuatan Tumapel. Tetapi suaminya kali ini akan melakukan perang tanding untuk membela nama adik seperguruannya.

“Nyai,” berkata Witantra, “aku tidak terlampau bernafsu untuk menyelamatkan nama Kebo Ijo itu sendiri. Tetapi aku ingin mempertahankan keyakinanku. Kebo Ijo tidak bersalah.”

“Tetapi bagaimana dengan bukti-bukti itu, Kakang?” bertanya istrinya.

“Itulah kelemahanku. Aku tidak mempunyai bukti apapun,” sahut suaminya, “tapi sebelum Kebo Ijo berusaha melarikan diri, aku hampir dapat meyakinkan pemimpin yang enam itu, bahwa Kebo Ijo tidak akan sebodoh itu, seandainya ia memang melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Yang aku sesalkan adalah kebodohan Kebo Ijo yang ingin melarikan diri, sehingga dalam perkelahian melawan Ken Arok ia telah terbunuh. Meskipun demikian, namanya harus dicuci. Nama Kebo Ijo dan nama seluruh perguruan.”

Istrinya tidak menyahut lagi. Bagaimanapun juga, sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, terasa bahwa keluarganya sedang berada di depan pintu gerbang malapetaka. Demikianlah, maka semalam sebelum perang tanding itu dilaksanakan, baik Mahisa Agni maupun Witantra hampir tidak dapat tidur sekejap pun. Witantra merasa, bahwa ia memang tidak dapat memberikan bukti-bukti sangkalannya atas kesalahan Kebo Ijo. Sehingga ia naik ke arena semata-mata berdasarkan keyakinan yang ada padanya.

“Kalau Kebo Ijo benar-benar tidak bersalah sesuai dengan keyakinanku, maka sungguh tidak adil, apa yang telah terjadi atasnya. Ia menjadi korban nafsu yang menyala di hati orang lain.”

Dan pada saat yang sama Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, “Kenapa aku harus naik ke arena? Sayang, bahwa aku harus berhadapan dengan Witantra. Tetapi apa boleh buat. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, aku pasti tidak akan begitu bernafsu mempertahankan keputusan atas kesalahannya. Aku tidak bernafsu bahwa Kebo Ijo harus dihukum mati. Tetapi ia sudah mati. Dan kesalahan ini tidak boleh ditimpakan kepada orang lain lagi, seandainya keputusan tentang Kebo Ijo dapat dibatalkan. Dengan demikian, maka harus ada orang lain yang akan menerima hukuman atas kematian Akuwu, selain kematian Kebo Ijo. Alangkah tidak adilnya. Hanya karena nama Kebo Ijo diselamatkan di atas arena perang tanding.”

Dengan demikian, keduanya merasa, bahwa mereka akan bertempur untuk mempertahankan keyakinan masing-masing, demi keadilan. Ketika fajar menyingsing, maka Witantra segera mempersiapkan dirinya. Setelah mandi dan mencuci rambutnya, Witantra segera masuk ke dalam biliknya untuk sejenak mengheningkan hati. Dicoba melihat ke dirinya sendiri. Siapa dan apakah dia sebenarnya. Dari mana dan ke mana ia akan pergi sebelum dan sesudah hidup ini. Kemudian setelah ia selesai menimbang diri, maka mulai terbayang wajah gurunya yang kekurus-kurusan. Yang selama ini telah menempanya dalam olah kanuragan.

“Bukan maksudku untuk membanggakan diri,” desisnya, “tetapi aku tidak mempunyai alat yang lain.”

Terbayang, betapa ia mesu diri di saat-saat terakhir. Di saat ia merasa tersisih dari Akuwu Tunggul Ametung. Namun justru dengan demikian ia merasa bahwa bahaya semakin dekat mengancam Tumapel. Karena itu, maka ia telah memperdalam ilmu yang telah dimilikinya. Dari hari ke hari ilmunya kian bertambah-tambah sempurna, sehingga akhirnya kemampuannya mencapai tingkat yang hampir setinggi gurunya. Ia hanya memerlukan setapak lagi untuk sampai ke puncak. Tetapi yang setapak itu belum sempat dilakukan, karena yang setapak itu memerlukan segenap pemusatan segala inderanya untuk waktu yang agak banyak.

Namun, untuk naik ke arena Witantra telah membawa bekal yang cukup itulah sebabnya, maka ia dengan tenang mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun demikian, terasa di sudut hatinya sesuatu yang selalu menyentuh-nyentuh perasaannya. Getaran yang tidak dikenalnya, seakan-akan memberi isyarat kepadanya bahwa kali ini yang dihadapinya, meskipun bukan salah seorang senapati perang, atau manggala pasukan apapun, namun Mahisa Agni adalah seseorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Lebih daripada itu, Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang sangat dikenalnya. Seorang yang baik, seorang yang jujur dan sama sekali tidak dikendalikan oleh nafsu. Tetapi sayang, kematian pamannya telah membuatnya menjadi mata gelap.

Sedang Mahisa Agni pun telah mencoba mempersiapkan dirinya pula lahir dan batin. ia pun sadar, siapakah Witantra. Agaknya Witantra tidak berhenti seperti beberapa saat yang lampau. Karena itu, maka ia pun selalu mencoba menilai diri.

“Witantra adalah orang yang baik,” katanya di dalam hati, “tetapi sayang, bahwa ia telah tergelincir. Meskipun demikian, ia bagiku tetap seorang prajurit yang jarang ada duanya. Seorang prajurit yang berdiri tegak di atas garis keprajuritannya.”

Demikianlah waktu yang semalam itu agaknya telah mengendapkan dua hati yang sedang menggelegak itu. Meskipun mereka masih tetap di dalam pendirian masing-masing untuk naik ke arena, tetapi mereka sudah tidak lagi dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap. Mereka kini adalah orang-orang yang merasa bertanggung jawab atas keyakinannya, dan menghadapi pertanggungan jawab itu dengan sepenuh kesadaran.

Pada hari itu, rakyat Tumapel seperti terhisap seluruhnya keluar dari rumahnya pergi ke alun-alun. Tua muda, laki-laki perempuan. Hampir tidak ada yang ketinggalan. Semuanya ingin melihat, apa yang akan terjadi di arena. Kematian Akuwu Tunggul Ametung adalah persoalan yang telah mengguncangkan seluruh Tumapel. Kemudian disusul oleh kematian Kebo Ijo dan keputusan perang tanding ini sebagai ekor dari peristiwa pembunuhan itu.

Setelah menghadap pemimpin yang enam di pagi-pagi benar, maka Mahisa Agni pun telah siap untuk pergi ke alun-alun bersama-sama keenam pemimpin itu. Namun sebelum ia berangkat, maka seorang perempuan tua telah menemuinya. Perempuan tua pemomong Ken Dedes. Dan perempuan tua pemomong Ken Dedes itu adalah ibunya.

“Aku ingin berbicara dengan kau, Agni,” bisik perempuan tua itu.

Agni tidak menjawab. Ia tahu bahwa perempuan tua itu ingin berbicara seorang diri, tanpa didengar oleh orang lain. Karena itu tanpa menjawab sepatah kata pun ia mengikuti perempuan tua itu memasuki suatu bilik yang kosong di bagian belakang istana.

“Di bilik sebelah Tuan Putri terbaring,” desisnya.

“Apa katanya mengenai perang tanding ini?”

“Ken Dedes tidak tahu, apa yang akan terjadi itu.”

“Kenapa?”

“Tidak seorang pun boleh memberitahukan. Setiap kali ia selalu diganggu oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang tidak dapat diatasinya sehingga pingsan.”

Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Agni,” berkata perempuan tua itu, “kenapa kau tidak berbicara dengan aku dahulu sebelum kau menentukan sikap ini?”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Maksud Ibu? “ ia bertanya.

“Kalau kau berbicara dengan aku, Agni, sebagai seorang emban dan sebagai ibumu, aku akan mencoba mencegahnya.”

“Kenapa?”

“Sudah tentu sebagai seorang ibu, aku mencemaskan nasibmu, Agni. Kau adalah satu-satunya anakku. Kau adalah penyambung hidupku. Dan sebagai seorang emban, aku memang meragukan, apakah benar Angger Kebo Ijo telah melakukannya.”

Dada Mahisa Agni berdesir, ia tidak terkejut ketika ia mendengar alasan ibunya sebagai seorang ibu yang mencemaskan nasib anaknya. Tetapi ia menjadi heran, kenapa ibunya dapat mengatakan bahwa ia meragukan kesalahan Kebo Ijo. “Kenapa Ibu meragukannya?”

“Aku tidak tahu Agni. Aku memang orang bodoh. Aku terlampau dipengaruhi oleh perasaanku. Seandainya belum terlanjur, maka aku akan dapat bercerita panjang lebar tentang keadaan Ken Dedes.”

“Aku ingin mendengar.”

“Terlambat. Meskipun aku mencemaskan kau, Agni, tetapi aku tidak dapat melarang kau atau mempengaruhi dengan segala macam cara, sehingga kau ragu-ragu naik ke arena. Meskipun mungkin sikap dan kata-kataku ini sudah membuat kau ragu-ragu, tetapi kau akan segera melupakannya. Apalagi karena Kebo Ijo sendiri sudah mati.”

Perempuan tua itu berhenti sejenak. Lalu, “Sudahlah. Hati-hatilah. Kalau kau naik ke arena, berdoalah. Bukan saja agar kau mendapat kemenangan, tetapi yang terpenting bagimu, agar kau mendapat sinar terang di hatimu.”

“Apa sebenarnya yang tersimpan di hati ibu?”

“Jangan kau tanyakan sekarang. Kau sudah berada di atas sebuah keputusan untuk perang tanding. Kalau kau mendapat perlindungan dan menang, kau masih mempunyai banyak kesempatan mendengar ceritaku. Segala sesuatu masih dapat diperbaiki. Karena itu, kau harus berusaha sebaik-baiknya. Tetapi kalau kau kalah, maka kau tidak akan mendapat kemungkinan apapun. Sebab, kau harus tahu, akibat dari kekalahan di arena untuk mendukung suatu sikap atas suatu keputusan.”

Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Ia tahu benar, bahwa perang tanding yang demikian, menurut ketentuan, berlangsung sampai salah seorang kalah dan mati.

“Sudahlah Agni, pergilah.”

Mahisa Agni mengangguk perlahan-lahan. Kemudian tanpa sesadarnya ia berlutut di hadapan ibunya, mencium tangannya kemudian sambil berdiri ia berkata, “Aku mohon restu, Ibu. Mudah-mudahan aku dapat mempertahankan keyakinanku, untuk menegakkan keadilan di atas bumi Tumapel.”

Ibu menarik nafas dalam-dalam. “Aku berdoa untuk kemenanganmu, Agni. Tetapi aku tahu bahwa Angger Witantra adalah seorang yang baik. Seorang yang kuat. Dan kau akan menghadapinya.”

“Ya, Ibu. Aku menyadari.”

“Pergilah.”

Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah meninggalkan ibunya, keluar dari bilik itu. Demikian Mahisa Agni hilang dibalik pintu, perempuan tua itu terhuyung-huyung melangkah ke sudut. Sejenak ia berpegangan tiang yang tegak dengan kokohnya. Namun kemudian ia jatuh berlutut. Tanpa dapat ditahan-tahan lagi ia menangis sejadi-jadinya. Ia melihat dan merasakan, bahwa Tumapel memang sedang dilanda oleh kekalutan.

“Anakku,” desisnya, “mudah-mudahan kau selamat. Meskipun dengan keselamatanmu itu, maka sebuah keadilan telah terguncang. Aku mempunyai keyakinan seperti Angger Witantra, bahwa bukan Angger Kebo Ijo yang telah berbuat. Aku melihat apa yang terjadi sebelum peristiwa pembunuhan ini, dan aku melihat perasaan Ken Dedes setelah peristiwa itu terjadi. Dan aku menarik sebuah kesimpulan, bahwa tangan yang lainlah yang telah berbuat. Tetapi aku terlampau bodoh dan terlampau lemah. Aku tidak mempunyai keberanian seperti Angger Witantra, dan Mahisa Agni ternyata kurang mempunyai bahan pertimbangan. Ia masih terlalu muda.”

Perempuan itu menangis sepuas-puasnya. Bilik itu adalah bilik yang jarang sekali dimasuki oleh siapa pun. Yang biasa berada di dalam bilik itu di sore hari adalah Permaisuri Ken Dedes dan kadang-kadang Akuwu sendiri hadir bersamanya untuk sekedar bercakap-cakap. Tetapi sejak Akuwu terbunuh dan sejak Ken Dedes selalu berada di dalam biliknya, maka bilik ini hampir setiap saat kosong. Ketika pemomong Ken Dedes itu sudah puas menangis, maka ia pun kemudian mengusap air matanya yang tersisa dengan ujung kainnya, kemudian dengan langkah yang berat keluar dari bilik itu menuju ke bilik permaisuri.

Ketika ternyata permaisuri masih tidur maka ia menarik nafas dalam-dalam. Kepada setiap emban ia telah berpesan, agar permaisuri dijauhkan dari setiap berita mengenai persoalan Akuwu Tunggul Ametung beserta semua akibat-akibatnya, termasuk perang tanding yang akan dilakukan.

Pada saat itu, di alun-alun Tumapel, rakyat sudah berjejal-jejal menunggu perang tanding yang akan datang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan beberapa orang perempuan sedang berada dalam kecemasan. Mereka adalah Nyai Witantra, pemomong Ken Dedes dan janda Kebo Ijo. Mereka mencemaskan orang-orang yang mereka kasihi dalam nada yang berbeda-beda.

Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, maka hadirlah pemimpin Tumapel yang enam bersama Mahisa Agni. Kemudian naik ke atas panggung yang khusus, seorang yang akan berdiri berlawanan, Witantra.

Sejenak kemudian maka seorang pemimpin yang tertua naik ke arena dan memberikan kata-kata pengantar yang singkat. Betapa pedihnya melihat putra-putra Tumapel yang terbaik justru akan berhadapan di arena. Namun mereka ternyata tidak dapat dipertemukan lagi di dalam keyakinan. Witantra dengan keyakinannya dan Mahisa Agni yang mendukung keyakinan pemimpin yang enam.

Ketika kemudian seorang prajurit memukul bende, alun-alun itu seakan-akan meledak oleh gemuruhnya sorak orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu. Mereka yang sudah lama tidak melihat perang tanding semacam itu, serta mereka yang ingin melihat orang-orang terkuat di Tumapel akan bertempur. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi, bahwa dengan demikian berarti bahwa kesatuan Tumapel sedang retak. Apabila tidak ada tangan yang kuat untuk membina Tumapel, maka Tumapel sedang meluncur ke dalam jurang perpecahan.

Tetapi sorak-sorai yang membahana itu pun kemudian berangsur mereda ketika mereka melihat kedua orang itu naik ke arena. Ternyata keduanya sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Mereka sama sekali tidak berwajah merah padam. Sorot mata mereka tidak menjadi buas dan liar. Keduanya naik ke arena dengan kepala tunduk. Keduanya mengenakan pakaian keprajuritan. Dan kali ini Witantra sama sekali tidak memakai tanda-tanda kebesarannya. Baik sebagai seorang prajurit pengawal, maupun sebagai seorang manggala kesatuan dan salah seorang pemimpin tertinggi dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.

Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi sama sekali tidak terpancar nafsu dari mata mereka. Ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang besar. Mereka adalah orang-orang yang cukup dewasa menanggapi persoalan. Meskipun di dalam hati mereka menyala tekad untuk mempertahankan keyakinan, namun sama sekali tidak membayang nafsu yang tidak terkendali.

Seorang pemimpin yang lain naik juga ke arena, memberikan keterangan tentang keharusan yang berlaku di dalam perang tanding. “Perang tanding ini berlangsung sampai salah seorang mati, atau atas kehendak yang menang, yang kalah tidak dibunuhnya, tetapi sudah yakin, bahwa ia tidak akan dapat melawan dan memenangkan perang tanding ini apabila dilanjutkan, atas persetujuan kami.”

Witantra sama sekali tidak mengajukan keberatan sama sekali, meskipun ia kurang mantap dengan ketentuan itu, karena pemimpin yang enam itu sendiri kesemuanya berdiri di satu pihak. Tetapi Witantra masih yakin, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan jujur menghadapi keputusan ini.

Sedang Mahisa Agni pun masih saja menundukkan kepalanya. Kata-kata ibunya ternyata masih saja terngiang di telinganya. Namun ia selalu ingat pula pesan ibunya itu, “Aku berdoa untuk kemenanganmu Agni.”

Ketika semuanya telah siap, maka terdengarlah suara bende sebagai tengara, bahwa perang tanding sudah akan dimulai. Bende pertama memberi tanda bahwa keduanya siap berada di tempat masing-masing. Bende kedua, mereka harus bersiap untuk mulai dengan perang tanding, dan ketika bende ketiga terdengar, maka perang tanding itu pun segera mulai.

Namun justru penonton yang berjejal-jejal itu sama sekali tidak lagi bersuara seperti orong-orong terinjak kaki. Diam. Diam dalam ketegangan. Mereka terpengaruh oleh sikap kedua orang yang kini berada di arena. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan nafsu berkelahi yang meluap-luap.

Bahkan mereka masih melihat keduanya maju selangkah dan melihat bibir Witantra bergerak-gerak. Tetapi kata-katanya terlampau lambat untuk didengar oleh mereka, “Aku terpaksa melakukan Agni.”

Dan Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya, “Aku mengerti Witantra. Kita bukan lagi anak-anak yang sedang diseret oleh nafsu.”

“Baiklah. Tanda untuk mulai sudah berbunyi.”

“Aku sudah siap.”

Keduanya menjadi semakin mendekat. Betapapun dada mereka menampung persoalan itu dengan nafas kedewasaan, namun mereka pun menjadi semakin tegang juga. Mereka menyadari, bahwa di dalam perang tanding ini mereka bukan saja sekedar mempertahankan keyakinan, tetapi juga mempertahankan nyawa. Demikianlah, maka mereka pun telah berusaha melupakan semua kenangan tentang hubungan mereka selama ini. Kini mereka sedang mengemban suatu tugas yang adil menurut sudut pandang masing-masing.

Sejenak kemudian mulailah Witantra menyerang. Meskipun ia masih sedang berusaha menjajaki kemampuan lawannya. Mahisa Agni yang telah siap pun segera menanggapinya, dengan hati-hati ia menghindari serangan pertama itu. Seperti juga Witantra ia mencoba untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan lawannya.

Dengan demikian maka dalam gerakan-gerakan yang pertama, tampaklah betapa kedua belah pihak berbuat dengan sangat hati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang yang mudah terbakar oleh nafsu tanpa kendali. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu sama sekali tidak berlangsung seperti apa yang diharapkan oleh sebagian dari para penontonnya. Mereka mengharap, yang naik ke arena adalah ayam sabungan, yang demikian bertemu dengan lawan, langsung berkelahi dengan mata gelap.

Keenam pemimpin yang lain yang berada di dalam sebuah panggungan khusus menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Seandainya ada jalan lain, maka jalan yang satu ini memang harus dihindari. Setiap serangan dari masing-masing pihak terasa telah menggetarkan dada mereka. Namun keenam pemimpin yang lain itu pun menyadari, betapa kedua orang yang bertempur itu bukanlah orang-orang yang masih dikuasai oleh nafsu melulu.

Tetapi dengan demikian, agaknya, kecemasan di hati mereka pun menjadi semakin tajam. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang matang di dalam ilmunya, sehingga perkelahian itu pun semakin, lama akan menjadi semakin sengit. Apabila pertempuran itu nanti akan sempat ke puncaknya maka pasti akan membuat setiap jantung seakan-akan berhenti berdetak. Di antara para penonton terdapat seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Kali ini ia tidak sedang bertugas di manapun juga, karena ia memang seharusnya berada di alun-alun. Ia adalah seorang pelayan dalam yang ikut langsung menangani masalah Kebo Ijo. Apalagi kematian Kebo Ijo adalah karena tangannya.

Dengan seksama ia mengikuti pertempuran yang terjadi di arena. Tidak seperti orang-orang kebanyakan, maka penilaian Ken Arok jauh lebih dalam. Seperti pemimpin yang enam, maka ia mengharap, pada saatnya perang tanding itu akan menjadi perang tanding yang paling dahsyat yang pernah berlangsung di arena alun-alun Tumapel.

Demikianlah pertempuran itu pun setiap saat telah meningkat. Ketika keduanya telah mulai dibasahi oleh keringat, maka ketegangan di dalam hati keduanya pun meningkat pula, seperti ketegangan di hati pemimpin yang enam, para pemimpin prajurit, para pandega. Senapati dan prajurit-prajurit yang bertugas di seputar arena dan di sekeliling alun-alun. Demikian juga ketegangan di dalam dada Ken Arok. Bahkan yang tampak olehnya di saat itu bukanlah sekedar pergulatan di dalam arena itu, Tetapi Ken Arok memandang alun-alun itu sebagai lautan manusia Tumapel. Tiba-tiba terasa dadanya mengembang. Orang-orang itulah tujuan dari segala macam rencananya. Menguasai semuanya itu.

Tiba-tiba Ken Arok itu tersenyum sendiri. Sebagian terbesar rencananya telah dapat berjalan dengan baik. Apa yang terjadi di arena itu adalah salah satu dari permainannya. Dan ia berbangga karenanya. Witantra adalah pemimpin tertinggi dari pasukan pengawal istana. Mahisa Agni adalah seorang yang pilih tanding, kakak Permaisuri Ken Dedes. Ia mengharap bahwa akhir dari perang tanding ini adalah, Mahisa Agnilah yang menang. Dengan demikian maka Witantra yang selama ini menentang keputusan tentang Kebo Ijo, tidak akan lagi mengganggunya. Apabila Witantra masih ada, maka ia pasti kelak mengadakan penyelidikan untuk menemukan pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya. Kalau Witantra kalah dalam perang tanding ini berarti Witantra telah tersingkirkan untuk selama-lamanya.

Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun hatinya masih saja berdebar-debar. Meskipun perang tanding di arena itu telah meningkat, namun masih belum mencapai puncak dari kemampuan keduanya. Keduanya masih mencari-cari setiap kemungkinan untuk menyelesaikan perang tanding ini dengan pasti. Kesalahan yang kecil sekalipun akan dapat menggagalkan usaha salah seorang dari mereka.

“Apabila perang tanding ini selesai, dan Mahisa Agni dapat menguasai keadaan, maka aku akan sampai pada rencana terakhir. Aku harus sampai pada kepastian untuk dapat kawin dengan Ken Dedes. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada satu atau dua orang lainnya, akulah yang akan menguasai Tumapel. Akulah yang akan menguasai manusia ini seluruhnya termasuk Mahisa Agni, pemimpin yang enam itu dan bahkan Ken Dedes.”

Ken Arok masih saja tersenyum sendiri. Diedarkannya pandangan matanya. Dipandanginya setiap prajurit yang sedang bertugas, dan bahkan, kemudian keenam pemimpin Tumapel yang berada di panggung yang khusus. Katanya pula di dalam hatinya, “Suatu saat, kalian akan menjadi orang-orangku yang harus patuh kepada perintahku.”

Ken Arok seolah-olah tersadar, ketika ia melihat guncangan dalam perang tanding di arena. Sebuah serangan yang dahsyat, sedahsyat badai, telah mendorong Mahisa Agni, sehingga Mahisa Agni terjatuh. Serangan berikutnya beruntun mengejar Mahisa Agni yang berguling-guling menjauhi lawannya. Namun agaknya Witantra tidak memberinya kesempatan. Ken Arok menahan nafas. Ia melihat seolah-olah Mahisa Agni tidak berkelahi di dalam puncak kemampuannya sedang Witantra agaknya telah mulai mengerahkan ilmu-ilmu puncaknya.

Namun nafasnya seakan-akan berhenti ketika tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Agni mengerahkan kemampuannya. Agaknya ia tidak segera menerima usaha Witantra untuk segera memaksakan akhir dari perang tanding ini. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada padanya, untuk melepaskan diri dari keadaan yang sulit, yang tiba-tiba saja telah melibatnya. Karena ia tidak berhasil mencapai jarak dengan lawannya, maka tiba-tiba Mahisa Agni telah mempergunakan sepasang tangannya untuk melontarkan diri melenting, justru menyerang lawannya.

Witantra terkejut mengalami serangan yang tidak terduga-duga itu. Mahisa Agni telah menjulurkan kedua kaki kirinya sambil membelakangi lawannya, didorong oleh kekuatan lenting tangannya. Karena itu, maka Witantra tidak sempat untuk mengelak. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya, merendah sedikit pada lututnya dan membentur kedua kaki Mahisa Agni itu dengan sikunya. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Mahisa Agni hampir saja tertelungkup. Dengan susah payah ia menjatuhkan dirinya pada pundaknya untuk seterusnya berguling beberapa kali. Sedang Witantra terguncang dan terdorong dua langkah surut.

Terdengar keduanya menggeram. Tetapi Witantra tidak segera dapat mengejar Mahisa Agni. karena keseimbangannya. Karena itu maka selagi ia mencoba untuk tegak, Mahisa Agni telah berhasil meloncat berdiri tegak pula di atas kedua kakinya. Sejenak kemudian mereka pun telah berloncatan maju menyerang dengan garangnya. Witantra bertempur dengan lincah dan tangguh. Setiap langkahnya diperhitungkannya, dan setiap geraknya selalu mendebarkan hati lawannya. Namun Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin mantap. Ketika keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mempergunakan segenap kemampuannya meskipun ia masih tetap mempergunakan akalnya. Namun tandangnya telah benar-benar menjadi seperti banteng ketaton.

Beberapa saat yang lampau, ia pernah bertempur mati-matian melawan seorang iblis yang paling buas, tidak saja di seluruh Tumapel, tetapi di seluruh Kediri. Setelah ia menyempurnakan ilmunya di bawah bimbingan gurunya, Empu Purwa, dan Empu Sada, maka ia telah berhasil mencari suatu tingkatan ilmu yang dapat mengatasi ilmu iblis itu, dan bahkan mengatasi ilmu gurunya dan ilmu Empu Sada seorang demi seorang. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni tidak terlampau banyak mengalami kesulitan, ketika ia berperang tanding melawan Witantra, yang masih belum berhasil menyamai gurunya, Panji Bojong Santi.

Namun Witantra adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas. Karena itu, maka segera ia menyesuaikan dirinya dalam pertempuran itu. Ia lebih banyak mempergunakan perhitungan-perhitungan yang teliti, daripada benturan-benturan yang mungkin dapat terjadi. Meskipun demikian, ia masih belum menyadari, bahwa Mahisa Agni yang sekarang adalah Mahisa Agni yang hampir tidak ada duanya.

Di kejauhan, di belakang para penonton yang lain, guru Witantra menyaksikan perkelahian itu sambil mengusap dada. Segera ia menyadari, bahwa lawan Witantra pasti tidak akan dapat dikalahkan oleh muridnya. Betapapun muridnya berusaha dengan segala kemampuan ilmu dan akal. Namun kemungkinan untuk menang dalam perang tanding itu terlampau tipis, dan bahkan hampir tidak ada sama sekali.

“Bagaimana Guru?” bertanya seseorang.

Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. “Aku tidak menyangka, bahwa murid Empu Purwa itu kini telah berhasil mencapai tingkat gurunya.”

Muridnya yang bertanya itu Mahendra, mengerutkan keningnya. “Maksud Guru, bahwa tingkat ilmu Mahisa Agni telah melampaui Kakang Witantra?”

“Aku kira demikian.”

Mahendra menggigit bibirnya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa suatu ketika kakaknya Witantra benar-benar akan berhadapan dengan Mahisa Agni di arena. “Jadi bagaimana, Guru?” bertanya Mahendra cemas.

Gurunya menggelengkan kepalanya, “Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa Mahendra. Mereka naik ke arena sebagai dua orang lelaki.”

Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang setiap campur tangan gurunya dalam perang tanding itu pasti hanya akan menodai nama kakak seperguruannya.

“Kasihan Witantra,” desis gurunya, “ia telah dibakar oleh keyakinannya. Aku sudah memperingatkan, agar ia mempergunakan cara lain. Apalagi kini ternyata bahwa anak muda yang melawannya itu mempunyai ilmu yang aneh. Aku melihat sebuah perkembangan ilmu Empu Purwa yang diwarnai oleh tata gerak yang luar biasa dari ilmu Empu Sada.”

“Empu Sada?” desis Mahendra, “maksud guru Empu Sada guru Kuda Sempana?”

Panji Bojong Santi mengangguk. Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Meskipun ilmunya sendiri tidak jauh berada di bawah kakak seperguruannya, namun terasa sulitnya mengikuti tata gerak Mahisa Agni.

Di arena, ternyata bahwa Witantra pun telah merasakan, bahwa sekali-kali ia ketinggalan dari kecepatan gerak Mahisa Agni. Bahkan dalam beradu tenaga, dalam benturan-benturan yang terjadi, Witantra pun merasa pula, bahwa Mahisa Agni mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Karena itu, maka dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas bahwa ia tidak akan berhasil membersihkan nama Kebo Ijo dan nama perguruannya. Sama sekali bukan karena nyawanya sendiri.

Demikianlah, perang tanding itu semakin lama menjadi semakin memuncak. Witantra telah terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, lahir dan batin. Semua unsur-unsur gerak yang dimilikinya, dilandasi oleh pengalaman yang tiada terhitung banyaknya yang tersimpan di dalam dirinya, serta tekad yang menyala-nyala di dalam dadanya. Namun demikian ia masih tetap sadar sepenuhnya, sehingga karena itu, ia tidak pernah kehilangan akal.

Dalam pada itu, lambat laun, Mahisa Agni pun menjadi semakin mantap. Meskipun ia tidak dapat meyakini bahwa ia dapat mengalahkan Witantra, namun ia merasa, bahwa ilmunya selapis lebih tinggi dari lawannya. Kalau ia tidak melakukan kesalahan, maka ia berharap untuk dapat memenangkan perang tanding itu. Karena itu, tanpa kehilangan pengamatan diri Mahisa Agni setapak demi setapak maju terus. Semakin lama ia semakin berhasil mendesak lawannya.

Namun, Witantra tidak dengan mudah menjadi berputus asa. Betapa ia heran, bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya. Meskipun demikian, dengan cermat Witantra bertempur terus. Diperasnya segenap kemampuan, akal dan tekadnya untuk tetap bertahan. Mempertahankan hidupnya dan mempertahankan keyakinannya. Karena itu, maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya sama sekali tidak bersenjata. Namun keduanya memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga senjata bagi mereka hampir tidak banyak artinya.

Dalam puncak perkelahian itu. mereka saling mendesak, saling menyerang dan saling membenturkan kekuatan masing-masing. Tangan-tangan mereka bergerak dalam irama maut. Mereka sudah tidak dapat lagi membatasi diri dan menahan-nahan kekuatan dan kemampuan. Semua ilmu yang ada telah mereka tumpahkan. Semua.

Ken Arok yang tegang, lambat laun mulai menarik nafas lega. Ia melihat Mahisa Agni telah menguasai keadaan. Setiap kali ia selalu berhasil mematahkan serangan Witantra dan bahkan menyerangnya kembali. Meskipun sekali dua kali serangan Witantra terasa sangat berbahaya, namun Mahisa Agni selalu dapat menghindarinya. Tetapi justru dengan demikian, maka Witantra menjadi mapan. Ia merasa bahwa ia akan gagal mempertahankan keyakinannya. Namun ia tidak kehilangan akal. Ia bahkan pasrah diri dalam keadaannya, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin mantap. Kedewasaannya sama sekali tidak menyeretnya ke dalam perbuatan putus asa yang berbahaya.

“Bukan main,” gumam Mahisa Agni di dalam hatinya, “betapa tenang dan mantapnya pertimbangan di dalam hatinya. Witantra memang seorang yang mempunyai kedewasaan berpikir. Sayang ia harus mengorbankan nama dan nyawanya.”

Dalam pada itu Witantra pun berkata di dalam hatinya, “Mahisa Agni telah sampai ke puncak ilmunya yang luar biasa. Agaknya ia telah dimatangkan oleh gurunya, sehingga ia telah mencapai tingkat seperti gurunya sendiri. Namun demikian ia berhasil menguasai dirinya dengan sikap dewasa. Meskipun ia masih semuda itu, ia sempat mengendalikan diri. Tetapi sayang, kali ini ia telah dibakar oleh kepedihan perasaannya karena ia telah kehilangan paman dan iparnya. Sehingga ia telah bertempur untuk suatu keyakinan yang keliru menurut penilaianku. Tetapi apa boleh buat. Sudah menjadi garis hidupku, bahwa mungkin sekali aku harus mati di tangannya.”

Demikianlah, maka pertempuran itu merayap ke ujungnya. Keduanya telah memeras segenap kemampuan dan tenaga, sehingga semakin lama tenaga mereka pun semakin menurun pula. Sehingga agaknya tidak ada jalan bagi Witantra untuk mengakhiri pertempuran itu seperti yang diharapkannya.

Meskipun demikian, di bagian terakhir dari perkelahian itu telah benar-benar menggetarkan jantung. Sekali-kali karena ketenangan dan kematangannya, Witantra masih juga berhasil mengenai lawannya. Suatu kesalahan kecil dari Mahisa Agni telah membuatnya terpelanting. Sebuah pukulan yang dahsyat telah mengenai dagunya. Sebelum ia dapat berdiri tegak, maka Witantra mencoba menggunakan kesempatan itu.

Dengan sebuah loncatan panjang ia memburu. Dengan sisi telapak tangannya ia berhasil mengenai pundak Mahisa Agni. Sekali lagi Mahisa Agni terdorong surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan, namun justru ia meloncat mundur untuk mengambil jarak, sehingga ia mempunyai waktu untuk tegak di atas kedua kakinya. Namun kali ini pun Witantra tidak membiarkannya. Ia tidak akan mendapat kesempatan serupa ini lagi. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia meloncat maju mendekati lawannya. Kakinya kali ini diputarnya mendatar setinggi lambung.

Sebuah sambaran yang deras telah menyentuh tubuh Mahisa Agni. Kaki Witantra tepat mengenai lambungnya. Betapa perutnya menjadi mual. Apalagi Witantra telah mempergunakan sepenuh tenaganya. Mahisa Agni kali ini terdorong ke samping. Namun betapa ia dilibat oleh serangan-serangan beruntun, ia tidak menjadi bingung. Ia sadar sepenuhnya ketika ia melihat Witantra berputar sekali lagi di atas satu kakinya. Maka ketika kaki Witantra yang lain menyambarnya, selagi ia masih belum sempat menguasai keseimbangan seutuhnya, maka ia pun justru menghindar dengan menjatuhkan dirinya, sehingga kali ini Witantra telah kehilangan sasaran.

Sebelum Witantra sempat menarik kakinya, maka sambil berguling Mahisa Agni telah menangkap kaki itu, dan sebuah putaran yang tiba-tiba dibarengi dengan berat badannya sendiri, Mahisa Agni berhasil memutar Witantra, sehingga ia pun terbanting jatuh. Namun Witantra pun tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Secepatnya ia menelungkupkan dirinya menyentakkan kakinya yang berada di dalam tangkapan Mahisa Agni dan menyerang sekaligus dengan kakinya yang lain.

Begitu cepatnya, sehingga Mahisa Agni hampir saja kehilangan kesempatan. Tepat pada saatnya Mahisa Agni berhasil menghindar sambil meloncat ke samping. Namun waktu yang sekejap itu pun telah dimanfaatkan pula oleh Witantra. Dengan tangkasnya ia melenting berdiri di atas telapak kakinya. Sebuah desir yang tajam telah tergores di jantung Mahisa Agni. Ketika tanpa disengaja ia mengusap bibirnya, maka tangannya telah diwarnai oleh setitik darah dari mulutnya.

Bagaimanapun juga, maka jantung Mahisa Agni menjadi bergelora karenanya. Pundaknya terasa sakit dan perutnya masih juga mual. Namun dalam pada itu, kaki Witantra pun menjadi betapa sakitnya. Nafasnya telah menjadi semakin sesak dan tenaganya pun telah semakin susut. Darah di bibir Mahisa Agni ternyata telah membuatnya semakin garang. Sakit di pundaknya sama sekali tidak mengganggu geraknya, dan bahkan mual di perutnya pun lambat laun telah hilang.

Namun pada saat yang demikian, agaknya Witantra telah tidak melihat kemungkinan untuk memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia akan segera mengambil jalan yang paling cepat. Dengan suatu loncatan panjang ia mengambil jarak dari lawannya. Kemudian diheningkannya hatinya, dipusatkannya segenap kemampuan lahir dan batinnya. Dalam sekejap ia telah mampu membangunkan puncak dari kekuatan ilmunya, aji pamungkasnya.

Mahisa Agni terkejut melihat sikap itu. Ia tidak menyangka bahwa perang tanding ini benar-benar perang tanding antara hidup dan mati. Sudah barang tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya hancur lumat dihantam oleh kekuatan yang tiada taranya. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya dalam kemampuannya yang tertinggi. Gundala Sasra.

“Terpaksa aku membentur Bajra Pati itu,” desisnya, “kalau tidak, maka aku tidak akan keluar dari arena ini.”

Keduanya tidak memerlukan waktu yang lama. Puncak ilmu mereka seakan-akan telah siap untuk muncul ke permukaan setiap saat. Dan kali ini pun puncak ilmu dari kedua perguruan itu pun telah siap.

Ken Arok yang menyaksikan keduanya itu pun menahan nafasnya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi apabila keduanya nanti berbenturan. Bahkan ketika keduanya siap untuk meloncat dan melepaskan ilmu puncak masing-masing, Ken Arok menjadi gemetar, dan darahnya pun serasa berhenti mengalir. Demikian juga para pemimpin, para manggala, pandega dan senapati-senapati yang mampu menangkap getaran di wajah kedua orang yang berada di arena itu.

Kecuali mereka, Panji Bojong Santi dan Mahendra pun menjadi berdebar-debar. Orang tua yang kekurus-kurusan itu meraba dadanya dengan telapak tangannya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Tidak ada kekuatan yang dapat mencegah lagi.”

Mahendra pun menjadi tegang. Dan bibirnya terkatup rapat-rapat. Sekejap kemudian, hampir setiap orang yang berada di seputar arena di alun-alun Tumapel itu memejamkan mata mereka. Mereka tidak sampai hati melihat betapa dahsyatnya benturan yang terjadi di antara keduanya. Keduanya adalah anak-anak terbaik dari bumi Tumapel. Keduanya adalah kekuatan yang dahsyat dari tanah ini.

Akibat dari benturan itu memang dahsyat sekali. Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Mahisa Agni merasa, seakan-akan dadanya menjadi retak, dan matanya berkunang-kunang. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari persendiannya. Namun ia masih tetap sadar. Dengan susah payah ia menempatkan dirinya, pada keadaan yang sebaik-baiknya ketika ia terbanting jatuh. Ia masih sempat berusaha mengangkat kepalanya sehingga tidak terbentur lantai arena sambil menekuk lututnya dan merentangkan tangannya. Namun kemudian ia menjadi lemah, dan seakan-akan terkulai tidak berdaya.

Dengan sekuat sisa tenaganya. Mahisa Agni masih mencoba untuk mengatur jalan pernafasannya. Ia masih tetap dalam pemusatan segenap kekuatan lahir dan batinnya. Sehingga lambat laun, betapapun lambatnya ia berhasil menguasai keadaan dirinya. Darahnya menjadi semakin lancar, dan tulang-tulangnya pun seakan-akan telah saling berhubungan kembali. Namun terasa betapa badannya seakan-akan terhimpit oleh gunung Kawi. Ketika terasa sesuatu di pipinya, maka Mahisa Agni sadar, bahwa darah telah meleleh dari mulutnya.

“Dadaku terluka di dalam,” desisnya.

Namun tiba-tiba terbayang kembali bahwa di arena itu masih ada Witantra. Lawannya yang baru saja membenturkan kekuatan puncaknya melawan Gundala Sasra. Karena itu, maka dikerahkannya kemampuannya, dan perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya. Ia tidak mau telentang saja untuk menerima nasibnya, sampai Witantra datang menginjak lehernya. Tetapi ketika dengan susah payah ia bangkit dan bersandar pada kedua tangannya, sementara kedua kakinya masih tetap menjelujur, ia melihat Witantra masih terbaring diam.

“Oh, agaknya ia pun terluka parah seperti aku,” desis Mahisa Agni di dalam hatinya, “namun agaknya keadaanku masih agak lebih baik.”

Maka segera diingatnya apa yang baru saja terjadi. Perang tanding yang dahsyat. Namun di dalam perang tanding itu Mahisa Agni menyadari, bahwa tingkat ilmunya masih lebih tinggi setataran dari lawannya. Dan kini, dalam penerapan ilmu puncaknya pun ternyata, bahwa Mahisa Agni lebih kuat dari Witantra. Perlahan-lahan Mahisa Agni berusaha bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri. Ketika ia berusaha menarik nafas dalam-dalam, terasa dadanya menjadi pedih. Namun karena itu, justru ia mengulanginya beberapa kali, sehingga terasa tubuhnya agak menjadi lebih segar, meskipun dadanya serasa masih pepat.

Tertatih-tatih Mahisa Agni melangkah maju. Sejenak kemudian langkahnya tertegun. Ia masih melihat Witantra terbaring diam. Namun tiba-tiba dahinya berkerut. Perlahan-lahan Witantra membuka matanya. Seperti dirinya sendiri, dari mulut Witantra pun telah meleleh darah. Agaknya ia pun terluka di dalam dadanya.

Dengan susah payah Witantra mencoba menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali. Dan ia pun menyeringai menahan sakit, betapa dadanya serasa terbelah. Samar-samar ia melihat Mahisa Agni berdiri beberapa langkah daripadanya. Sekilas terbayang di kepalanya, apa yang baru saja terjadi. Namun kemudian terbayang tubuh yang tegak berdiri itu maju mendekatinya dan tanpa kesulitan apapun mencekiknya sampai mati, karena ia masih belum mampu berbuat apapun juga.

Dan ternyata Witantra memang melihat Mahisa Agni itu setapak maju. Setapak lagi. Sedang pandangan mata Witantra masih juga agak kabur. Tidak ada kemungkinan lain bagi Witantra daripada pasrah diri kepada nasibnya. Kepada kekuasaan Yang Maha Agung. Ia sama sekali bukan seseorang yang mudah jatuh ke dalam keputusasaan. Seperti saat itu ia pun sama sekali tidak berputus asa. Tetapi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya, bahwa tubuhnya sama sekali tidak dapat digerakkannya untuk melawan. Tangannya serasa telah terlepas dari tubuhnya dan dadanya serasa telah pecah.

Ketika ia memaksa diri menggerakkan kakinya, maka betapa sakit tulang-tulang belakangnya sampai meraba ubun-ubun. Karena itu ia hanya dapat menyeringai, kemudian membiarkan apa saja yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni atasnya. Tetapi Mahisa Agni yang melangkah tertatih-tatih mendekatinya itu tertegun dan berhenti beberapa langkah daripadanya. Ia melihat bahwa Witantra seakan-akan sama sekali tidak bergerak. Pimpinan tertinggi pasukan pengawal itu terbaring di lantai arena tanpa berdaya sama sekali menolak apa saja yang akan terjadi atasnya, sebagai akibat dari usahanya untuk mempertahankan keyakinannya.

Witantra yang masih terbaring itu semakin lama menjadi semakin sadar akan keadaan di sekelilingnya. Dan ia menjadi heran kenapa Mahisa Agni masih saja berdiri mematung. Kenapa anak muda itu tidak segera menyelesaikan tugasnya, membunuhnya sama sekali. Dalam keragu-raguan menghadapi lawannya itu. Witantra masih juga berusaha untuk mengatur pernafasannya. Satu-satu ia mencoba menyegarkan dadanya yang seolah-olah telah pecah.

Sementara itu di luar arena, Ken Arok mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Kenapa Mahisa Agni tidak segera menyelesaikan lawannya yang sudah tidak berdaya? Betapa lemahnya Mahisa Agni saat itu, namun ia masih mampu berjalan maju. Mendekap leher Witantra sampai ia tidak dapat menarik nafas lagi. Bahkan tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali ia akan dapat melakukannya. Dengan mendekap hidung Witantra, maka lambat laun Witantra akan terputus juga nafasnya. Tetapi kenapa Mahisa Agni masih tegak di tempatnya?

Beberapa orang yang lain pun menjadi heran. Perang tanding itu adalah perang tanding sampai mati. Apakah Mahisa Agni menganggap bahwa Witantra sudah tidak akan dapat melawannya lagi dan tidak akan membunuhnya? Tetapi apabila demikian, hal itu akan sangat berbahaya bagi Mahisa Agni sendiri. Witantra pada dasarnya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kalau ia masih hidup, maka ia tidak akan dapat melupakan kekalahannya. Ia hanya memerlukan waktu yang singkat untuk menyempurnakan ilmunya. Dan setelah itu, maka perang tanding ini pasti akan berulang. Dan Mahisa Agni tidak akan sepasti ini menyelesaikan pekerjaannya.

Dada setiap orang menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat Mahisa Agni melangkah maju. Akan tetapi dada itu berguncang sesudah mereka melihat Mahisa Agni kemudian justru berjongkok di samping Witantra.

“Witantra,” desis Mahisa Agni, “marilah kita anggap persoalan kita sudah selesai.”

Witantra membelalakkan matanya. Namun ketika ia mencoba untuk bangkit, terasa bahwa tenaganya seolah-olah benar-benar sudah lenyap sama sekali. “Belum,” desisnya kemudian, “kau baru selesai apabila aku sudah mati. Dan sekarang kau mempunyai kesempatan untuk membunuh aku.”

Untuk sejenak Mahisa Agni merenungi wajah Witantra yang pucat itu. Tiba-tiba saja ia menggelengkan kepalanya, “Tidak Witantra. Aku tidak dapat membunuhmu.”

“Gila kau Agni. Itu suatu penghinaan yang tiada taranya bagi seorang prajurit di dalam arena perang tanding. Tidak. Kau harus membunuh aku.”

Sekali lagi Mahisa Agni menggelengkan kepadanya, “Itu tidak perlu Witantra.”

“Kau gila. Apa memang kau sengaja ingin menghinakan aku? Sesudah kau pamerkan kemenanganmu di hadapan rakyat Tumapel, kemudian kau pamerkan keluhuran budimu sekedar untuk menghina aku? Itu bukan suatu perbuatan yang terpuji Mahisa Agni.”

“Apapun yang akan kau katakan tentang diriku Witantra, tetapi aku sama sekali tidak mendapat dorongan untuk membunuhmu. Bahkan sekarang aku tidak tahu lagi arti dari perang tanding ini yang sebenarnya.”

“Kenapa?” bertanya Witantra dengan nafas terengah-engah. “bukankah kita masing-masing sedang mempertahankan keyakinan kita?”

Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku sekarang menjadi ragu-ragu. Apakah kebenaran dapat dipertahankan dengan cara ini? Sebagaimana keadaan yang sebenarnya telah terjadi, tidak akan berubah, siapa pun sama sekali tidak akan dapat mengubah keyakinan di dalam dirimu dan di dalam diriku. Ternyata kita telah berbuat suatu kebodohan.”

“Apa maksudmu?”

Mahisa Agni tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian desahnya, “Aku tidak tahu, apakah hasil dari perkelahian ini. Aku tidak tahu dan justru aku tidak meyakininya. Yang dapat kita lakukan adalah suatu keputusan yang diakui oleh rakyat Tumapel selain suatu kebenaran. Dalam hal ini pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bukan kebenaran itu sendiri.”

“Bukankah memang itu maksudmu? Agar seluruh rakyat Tumapel mengutuk Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh? Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan pembunuh pamanmu Empu Gandring?”

Mahisa Agni termenung sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk lemah. Witantra pun terdiam pula untuk sejenak. Dicobanya memperbaiki letak tubuhnya. Namun terasa betapa tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan. Tanpa disangka-sangkanya Mahisa Agni bergeser maju dan membantunya menggerakkan kakinya.

“Terima kasih,” desis Witantra.

Sementara itu orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu, seakan-akan membeku di tempatnya. Mereka tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di arena. Mereka tidak mendengar apa yang dipercakapkan Mahisa Agni dan Witantra. Namun mereka dapat membaca di wajah Mahisa Agni, bahwa gairahnya untuk membunuh lawannya tiba-tiba telah padam.

“Mahisa Agni,” desis Witantra kemudian, “kau harus membunuh aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Karena aku pasti sudah tidak berharga lagi di mata rakyat Tumapel. Kau harus tahu, bahwa seseorang yang kalah di arena, tetapi ia turun dari arena ini dalam keadaan hidup, maka ia adalah orang yang paling hina. Jauh lebih hina dari kaum paria.”

“Tidak Witantra,” jawab Mahisa Agni, “kau memiliki ilmu dan kemampuan. Kau dapat mencari cara yang baik bagimu untuk memanfaatkan ilmu mu.”

“Kau harus membunuh aku supaya kemenanganmu sempurna. Kalau aku tidak mati Agni, aku pasti masih akan memperjuangkan keyakinanku.”

“Itu hakmu Witantra.”

“Tetapi kau harus membunuh aku. Harus.”

Mahisa Agni menggeleng, “Tidak.”

“Agni kalau kau tidak membunuhku, akulah yang pada suatu saat akan membunuhmu.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian menjawab, “Seandainya memang terjadi demikian, aku tidak akan kecewa.”

“Persetan!” Witantra tiba-tiba menggeram, “Ayo bunuh aku!”

Mahisa Agni tidak menyahut.

“Cepat, sebelum rakyat Tumapel bersorak menghinaku.”

Mahisa Agni masih tetap membeku.

“Agni, apakah kau pengecut yang tidak berani melihat mayat terbujur di bawah kakimu?”

Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam.

“Agni, Agni.”

Suara Witantra itu telah menghentak-hentak dada Mahisa Agni, sehingga ia tidak tahan lagi. Selangkah ia bergeser mundur. Namun Witantra justru berteriak sambil menyeringai, “Cepat Agni, cepat.”

Suara itu serasa bergulung-gulung di dalam dada Mahisa Agni. Sejenak ia menjadi bingung, bahkan dicobanya untuk menyumbat telinganya dengan telapak tangannya. Tetapi suara itu seakan-akan bergema memenuhi rongga telinganya.

“Tidak, tidak,” tiba-tiba Mahisa Agni berteriak untuk mengatasi suara Witantra yang serasa semakin menderu di telinganya.

Tetapi suara Witantra itu sama sekali tidak terdesak karenanya, bahkan semakin keras, “Bunuh aku, bunuh aku.”

“Tidak! Tidak!” Mahisa Agni berteriak semakin keras. Tetapi suara itu masih saja, tetap didengarnya.

Karena itu, maka Mahisa Agni akhirnya tidak tahan lagi berada di samping Witantra yang pucat seperti kapas, yang terbaring menenggang nafas. Maka tanpa diduga oleh siapa pun juga. Mahisa Agni itu pun segera meloncat berdiri dan berlari menjauh. Tidak saja sampai ke sudut arena, namun kemudian ia pun meloncat turun dan berlari menyusup di antara para penonton yang berdiri dengan mulut ternganga.

Para pemimpin yang enam, Ken Arok, para senapati dan para pemimpin prajurit yang lain pun terheran-heran karenanya. Mereka seolah-olah terpukau sehingga mereka sama sekali membeku untuk sesaat. Bahkan Witantra sendiri menjadi heran. Heran sekali. Baru sejenak kemudian alun-alun itu menjadi gempar. Setiap orang bergeramang tanpa ujung dan pangkal.

Bahkan salah seorang pemimpin yang enam itu berteriak, “He. ke mana Mahisa Agni itu?”

Tidak seorang pun yang menjawab, karena memang tidak seorang pun yang tahu. Namun dalam pada itu. Ken Arok mempunyai pikiran yang lain. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni tidak dapat membunuh Witantra. Dan bahwa Witantra masih tetap hidup itu akan sangat berbahaya baginya. Karena itu, maka ia memutar otaknya untuk dapat berbuat sesuatu.

Sementara itu, beberapa orang tanpa mereka sengaja telah menebar. Seolah-olah ada suatu keharusan pada mereka untuk menemukan Mahisa Agni. Karena itu, maka beberapa orang justru bertanya-tanya, “Di mana Mahisa Agni?”

“Seharusnya ia memenangkan perang tanding itu,” sahut yang lain.

“Itu sudah pasti, tetapi kenapa ia meninggalkan arena dan justru lari terbirit-birit,” bertanya yang lain lagi.

Tidak seorang pun dapat menjawab. Semuanya hanya mampu melontarkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan terjawab.

Sementara itu Ken Arok merayap semakin dekat dengan arena. Di dalam dadanya berkecamuk berbagai macam persoalan. Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu, namun kadang-kadang ia menjadi begitu bernafsu. “Anak itu harus mati!” geramnya, “Bagaimanapun juga caranya. Aku dapat berpura-pura menolongnya atau berbuat apapun atas Witantra, sementara itu aku dapat mencekiknya. Ia sudah terlampau lemah dan tidak mungkin akan dapat melawan atau bahkan mengeluh sekalipun.”

Dengan demikian, maka Ken Arok sama sekali tidak menghiraukan lagi ke mana Mahisa Agni akan pergi. Yang terpatri di dalam kepalanya adalah meremas leher Witantra sampai mati. Ken Arok mengharap, selagi orang-orang di sekitar arena itu sibuk dengan Mahisa Agni, maka kesempatan itulah yang akan dipergunakannya. Tidak akan ada orang yang memperhatikan apa yang akan dilakukannya. Mereka akan terkejut dan mungkin heran, apabila, mereka melihat Witantra itu mati. Namun mereka pasti akan menyangka, bahwa hal itu terjadi karena luka yang parah di dalam dadanya.

Demikianlah, maka Ken Arok telah mengambil suatu keputusan. Ialah yang akan menyelesaikan pekerjaan Mahisa Agni. Membunuh Witantra yang masih terbaring di arena. Ketika orang-orang di sekitar arena itu masih belum tenang, Ken Arok telah berdiri di sisi arena itu, Dengan dada yang berdebar-debar ia semakin mendekat, dan dengan sebuah loncatan ia telah berada di atas arena, tanpa seorang pun yang memedulikannya. Bahkan pemimpin Tumapel yang enam pun agaknya masih terlampau sibuk bertanya kepada para pengawal, ke mana Mahisa Agni pergi. Dan seandainya ada orang yang memperhatikannya pun, ia dapat mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin menolong Witantra yang begitu saja ditinggal terbaring di arena.

Sekilas Ken Arok menebarkan pandangannya. Agak tergesa-gesa. Apalagi orang-orang di sekitar arena itu bergerak-gerak seperti gabah di penampian. Namun ketika ia selangkah maju mendekati Witantra, tiba-tiba hatinya berdesir. Nafasnya serasa berhenti mengalir dan menyumbat tenggorokannya, sehingga dadanya menjadi pepat.

Perlahan-lahan ia mendengar seseorang bertanya. “Apakah Witantra dapat ditolong, Ngger?” Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya seorang tua yang kekurus-kurusan. Panji Bojong Santi. Sedang di sampingnya berdiri adik seperguruan Witantra, Mahendra. Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, di hadapan orang itu ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sedang ia tahu bahwa orang itu adalah guru Witantra, seorang yang pilih tanding.

“Bagaimana, Ngger?” bertanya orang tua itu pula.

Ken Arok tergagap. Namun ia kemudian menjawab, “Aku sedang mencobanya Kiai. Mudah-mudahan tidak ada peraturan yang melarang untuk menolongnya.”

“Bukankah Angger juga seorang prajurit?”

“Ya, tetapi aku kurang memperhatikannya. Hal serupa ini terlampau jarang terjadi. Apalagi selagi masih ada Akuwu. Selama aku berada di istana, hal serupa ini baru untuk pertama kalinya terjadi.”

“Baiklah. Kalau begitu biarlah kami yang menolongnya. Biarlah Witantra kami bawa pulang ke padepokan kami.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Jika demikian maka usahanya untuk membunuh orang itu menjadi terlampau sulit. Karena itu maka ia pun berkata, “Tetapi jangan sekarang. Biarlah ia berada di arena lebih dahulu. Kalau tidak ada suatu keputusan apapun dari pemimpin yang enam, biarlah aku akan mengambilnya dan menyerahkannya kepada Kiai.”

“Tetapi ia akan mati Ngger, apabila tidak segera mendapat pertolongan.”

Ken Arok mengerutkan keningnya. Desisnya, “Aku akan mencoba menolongnya di atas arena. Karena aku seorang prajurit, maka aku akan lebih leluasa untuk berbuat sesuatu di sini. Sebaiknya Kiai dan Mahendra jangan berada di dekat arena ini supaya tidak menumbuhkan kecurigaan.”

Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya yang sudah keputih-putihan. Namun bisiknya, “Keadaan Witantra sudah terlampau gawat. Aku akan mengambilnya sekarang, apapun yang akan terjadi. Aku minta Angger membantu aku. Tetapi aku tidak akan mencurinya. Aku akan menemui pemimpin yang enam itu, dan memintanya dengan berterus terang.”

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Tetapi sebelum ia dapat menjawab, Mahendra telah bergeser dari tempatnya sambil berkata, “Akulah yang akan menghadap pemimpin yang enam itu.”

Ken Arok tidak dapat mencegahnya. Karena itu dengan dada berdebar-debar ia memandangi langkah Mahendra yang pergi menghadap ke panggung yang khusus bagi pemimpin yang enam. Mahendra menganggukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan mereka sebagai tata kesopanan apabila ia menghadap para pemimpin, yang apalagi belum semua dikenalnya.

“Siapa kau anak muda?” bertanya salah seorang dari keenam pemimpin itu.

“Aku adalah Mahendra, saudara seperguruan Kakang Witantra yang sekarang terbaring di arena.”

“Oh, maksudmu?” keenam pemimpin itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyangka, bahwa anak muda yang bernama Mahendra ini akan menuntut kekalahan saudara seperguruannya, dengan membuka kemungkinan untuk mengadakan perang tanding yang baru. Apabila demikian, maka keadaan akan berlarut-larut tidak ada putus-putusnya.

Tetapi Mahendra berkata. “Aku datang bersama guruku. Aku ingin memohon agar Kakang Witantra yang meskipun telah terkalahkan, tetapi masih hidup itu, untuk kami bawa ke padepokan.”

Keenam pemimpin itu terdiam sesaat. Mereka pun tahu benar, akibat dari kekalahan Witantra itu baginya. Selagi ia masih hidup, maka persoalannya tidak akan terhenti sampai sekian. Tetapi keenam pemimpin itu tidak dapat membuat perintah untuk membunuh Witantra. itu adalah hak Mahisa Agni. Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah lari meninggalkan arena, justru setelah ia memenangkan perang tanding itu. Sehingga tidak seorang pun yang tahu, apakah sebabnya, maka ia berbuat demikian.

Karena mereka tidak segera menjawab, maka Mahendra pun mendesaknya, “Apakah ada keharusan, bahwa Kakang Witantra harus mati? Sehingga apabila ia masih hidup, maka ia harus dibunuh?”

Hampir bersamaan keenam pemimpin itu menggeleng. “Tidak,” sahut salah seorang dari mereka.

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tumbuhlah harapan di dalam hatinya untuk dapat membawa kakak seperguruannya itu kembali ke padepokan. Kemudian apabila ia telah sadar benar, menunggu perintahnya, apakah yang sebaiknya dilakukan. Meskipun Witantra naik ke arena sebagai seorang lelaki, namun kekalahannya telah membuat hati Mahendra terbakar juga.

“Jadi,” katanya kemudian, “dengan demikian aku membawanya keluar dari arena?”

Keenam pemimpin itu masih saja ragu-ragu. Mahendra berdiri saja menunggu keputusan mereka tanpa bergeser dari tempatnya. “Biarlah Witantra dibawa oleh saudara seperguruannya itu,” desis salah seorang dari mereka, “bagaimanakah pendapat kalian tentang hal ini?”

“Baiklah, aku tidak berkeberatan,” sahut yang lain. Akhirnya karena pemimpin itu bersepakat untuk memberikan Witantra yang masih hidup itu kepada saudara seperguruannya.

“Bawalah. Mudah-mudahan ia segera sembuh.”

“Terima kasih,” jawab Mahendra sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Mahendra pun segera meninggalkan panggung khusus itu kembali ke arena. Dikatakannya kepada gurunya, bahwa keenam pemimpin itu telah memberinya izin untuk membawa Witantra pulang.

“Kau harus berterima kasih kepada mereka,” berkata gurunya.

“Aku sudah mengucapkannya. Aku sangat berterima kasih.”

Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Ken Arok, “Sudahlah, Ngger. Biarlah kami mengambil Witantra. Aku akan berusaha untuk mengobatinya.”

Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia melihat nafas Witantra menjadi semakin teratur, meskipun masih tampak betapa lemah tenaganya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil, berkata, “Silakan. Silakan.”

Mahendra pun segera meloncat naik ke panggung bekas arena perang tanding itu. Kemudian didekatinya kakak seperguruannya dan berjongkok di sampingnya. “Kakang,” desisnya.

Witantra yang sudah tidak berpengharapan itu membuka matanya. Dilihatnya Mahendra, dan beberapa langkah di belakangnya, Ken Arok berdiri kaku. “Tinggalkan aku,” desisnya perlahan-lahan, “umurku sudah aku ikhlaskan.”

“Guru ada di sini Kakang.”

“He?” wajah Witantra memancar sesaat, namun kemudian menjadi suram kembali, “di mana Guru sekarang?”

“Di bawah, di samping arena ini.”

“Aku mohon maaf, bahwa aku telah menodai nama perguruanku. Aku telah berani naik ke arena perang tanding, namun aku tidak dapat mengatasi Gundala Sasra yang hampir sempurna itu.”

“Guru memerintahkan aku untuk membawamu ke padepokan Kakang.”

“Aku kira akan lebih baik bagiku, apabila aku mati di arena perang tanding ini daripada di padepokan.”

“Tetapi itu perintah Guru, Kakang.”

Witantra terdiam sejenak. Ia tidak dapat melawan perintah gurunya, sehingga karena itu, maka katanya, “Terserahlah, apabila Guru benar-benar memerintahkannya.”

“Marilah, aku bantu Kakang berjalan dan turun dari arena ini.”

Witantra tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Mahendra melingkarkan tangannya di bawah lehernya, kemudian perlahan-lahan mengangkatnya bangkit. Alangkah sakitnya punggung Witantra. Seandainya tidak memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, maka tentu tidak akan kuat lagi menanggung sakit yang demikian. Bahkan ketika ia sudah terduduk dilayani oleh adik seperguruannya. tiba-tiba mulutnya mengalir darah yang kehitam-hitaman.

“Oh,” Mahendra terkejut. Tanpa disadarinya ia berpaling mencari gurunya.

Panji Bojong Santi yang melihatnya, menjadi cemas juga, sehingga ia pun kemudian meloncat naik ke arena. Demikian tergesa-gesa ia mendekati muridnya yang ternyata terluka cukup parah di dadanya.

Ketika Witantra melihat gurunya, maka dipaksanya mulutnya berkata, “Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat berlahan, sehingga dengan demikian aku telah menodai nama perguruan.”

“Jangan salahkan diri sendiri, Witantra,” jawab gurunya.

“Akhir yang paling baik bagiku sekarang adalah kematian.”

“Jangan putus asa. Kau akan membuat kesalahan baru lagi.” gurunya berhenti sejenak, lalu. “kalau kau mencari kesalahan, maka semua pihak bersalah. Aku pun bersalah, karena aku tidak dapat membuatmu tanpa tanding.”

Sekali lagi ia berhenti, kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Karena itu, kau harus tetap hidup, supaya kau sempat berbuat sesuatu.”

“Namaku sudah dihinakan di arena ini. Aku akan tersingkir dari pergaulan. Apalagi di kalangan keprajuritan.”

“Tetapi itu tidak berarti bahwa semua kemampuan yang telah ada padamu itu pun ikut tersingkir. Kau masih dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang lain.”

Witantra tidak menyahut, tetapi ia justru menyeringai menahan sakit di dadanya. “Aku tidak dapat berbuat sesuatu dalam perang tanding ini,” gumam gurunya, “karena kau adalah laki-laki. Dan kau telah berbuat sebagai seorang laki-laki.”

“Tetapi yang sempurna, perang tanding ini diakhiri dengan kematian.”

Gurunya menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Dan kau harus berani menghadapi hari depanmu yang suram itu sebagai seorang lelaki pula. Kau tidak dapat lari. Kalau kau terbunuh, terbunuhlah. Tetapi selagi kau masih hidup, kau harus berani menghayatinya.”

Witantra yang terluka parah itu terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan gurunya. Bagaimanapun juga gejolak perasaannya, ia harus keluar dari arena itu. “Sebenarnya aku ingin mati di arena ini,” katanya di dalam hati, “tetapi guru menghendaki lain.”

Witantra pun kemudian dengan dibantu oleh Mahendra mencoba untuk berdiri. Betapa sakit seluruh tubuhnya, namun Witantra telah memaksa dirinya. Perlahan-lahan mereka pun kemudian menepi dan dengan susah payah Witantra telah ditolong turun oleh guru dan saudara seperguruannya.

Ken Arok masih saja berdiri di dekat mereka. Ketika Witantra kemudian duduk bersandar tiang-tiang arena ia pun mendekat. “Mudah-mudahan kau akan segera sembuh, Witantra,” desisnya. Namun di telinga Witantra ucapan itu tidak lebih dari suatu ejekan yang pahit. Namun Witantra mengangguk sambil menyeringai menahan sakit.

“Angger Ken Arok,” berkata Panji Bojong Santi, “Aku akan segera minta diri. Aku sangat berterima kasih kepadamu Ngger, bahwa aku sempat membawa Witantra kembali ke padepokan.”

“Oh, bukankah aku tidak berbuat apa-apa?” sahut Ken Arok.

Panji Bojong Santi tersenyum, katanya kemudian, “Dan terima kasihku kepada pimpinan Tumapel. Kepada siapa saja.”

Ken Arok pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih saja mengumpat-umpat di dalam hatinya. Kali ini ia gagal membunuh Witantra, dengan tangan Mahisa Agni maupun dengan tangannya sendiri. Dan ia sadar, bahwa hal ini pasti akan menjadi masalah di hari kemudian. Dengan dada berdebar-debar Ken Arok kemudian menyaksikan Panji Bojong Santi memberikan sebutir reramuan obat kepada Witantra. Agaknya obat itu cukup tajam. Sejenak kemudian tampak Witantra sudah menjadi agak segar. Meskipun demikian, ketika Mahendra membantunya berdiri, wajahnya masih saja membayangkan penderitaan yang luar biasa di dadanya.

“Gundala Sasra yang sempurna,” desis Ken Arok di dalam hatinya. Dengan dada berdebar-debar Ken Arok menyaksikan Witantra dibantu oleh Mahendra berjalan di antara penonton yang tinggal beberapa orang. Namun mereka tanpa sadar telah mengerumuni Witantra dan bahkan ada yang berjalan mengikutinya beberapa langkah.

Dengan demikian maka Witantra sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia merasa, seolah-olah orang-orang itu mengikutinya sambil mencibirkan bibir mereka, menyorakinya, “Pengecut. Pengecut.”

Namun sejenak kemudian mereka telah sampai ke pinggir alun-alun. Panji Bojong Santi dan Mahendra ternyata hanya membawa dua ekor kuda. Karena itu maka Witantra pun kemudian berdua bersama-sama dengan Mahendra, perlahan-lahan meninggalkan alun-alun diantar oleh tatapan mata orang-orang Tumapel yang masih berada di alun-alun dengan berbagai macam kesan yang tidak terbaca.

Dengan berakhirnya perang tanding itu, maka para pemimpin Tumapel menganggap bahwa persoalan Kebo Ijo telah selesai. Tidak ada lagi persoalan dalam masalah pembunuhan yang terjadi di istana. Kebo Ijo telah dinyatakan bersalah, membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan bahkan telah lebih dahulu membunuh Empu Gandring. Selain bukti yang ditemukan, maka pembelaan Witantra di arena perang tanding pun telah gagal pula.

Dan kegagalan Witantra di arena telah melemparkan Witantra sekaligus dari istana. Ia tidak pernah lagi tampak di antara para pemimpin dan para prajurit. Hal itu telah diduga sejak semula oleh para pemimpin yang enam, sehingga dengan demikian maka kedudukan Witantra pun menjadi kosong karenanya. Kekosongan kedudukan Witantra itu pun telah menjadi masalah pula bagi para pemimpin yang enam. Mereka harus segera menemukan seorang yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal. Pasukan yang akan bertanggung jawab terutama atas pengawalan istana seisinya.

Untuk menemukan orang yang mampu menggantikan Witantra bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap perwira harus mendapat penilaian yang tepat. Sejak Akuwu masih hidup, maka siapakah yang mendapat kepercayaan daripadanya, mendapat perhatian sebaik-baiknya pula. Namun yang telah melonjak di dalam perhatian keenam pemimpin itu adalah Mahisa Agni. Meskipun ia bukan seorang perwira prajurit yang manapun, namun ia ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Lebih daripada itu semua, ia adalah kakak dari Tuan Putri Ken Dedes yang kini telah menjadi janda.

“Pengangkatan Mahisa Agni akan menimbulkan persoalan baru di kalangan para prajurit,” berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.

Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa hal itu akan sulit dimengerti oleh para perwira. Mereka mengharap bahwa salah seorang dari merekalah yang akan menduduki kekosongan itu. Mereka yang sudah cukup lama mengabdikan dirinya, atau mereka telah nyata memberikan jasa-jasanya kepada Tumapel.

“Sebaliknya kita memikirkan calon yang lain, meskipun kemungkinan untuk memanggil Mahisa Agni masih ada,” berkata pemimpin yang lain.

“Aku sangsi, apakah Mahisa Agni bersedia menerima jabatan itu. Sejak semula ia telah menolak untuk berada di dalam istana. Sejak adiknya diambil oleh akuwu. Pada saat itu Akuwu Tunggul Ametung telah menawarkan kedudukan kepadanya,” berkata yang lain lagi.

Sekali lagi para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi salah seorang dari mereka berkata, “Kita mencari seorang lagi dari antara para perwira.”

Keenam pemimpin itu mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Mereka sedang merenungkan beberapa orang yang mungkin dapat diangkat untuk menjadi seorang pemimpin pasukan pengawal. Tetapi untuk mendapatkan seorang prajurit yang memenuhi syarat-syarat untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Witantra memerlukan pertimbangan yang semasak-masaknya. Karena itu, maka belum seorang pun yang dapat menyebutkan sebuah nama untuk pencalonan itu.

“Kita kumpulkan beberapa nama,” berkata salah seorang pemimpin itu, “mungkin setiap orang dari antara kita mempunyai nama yang dapat dibicarakan. Kemudian kita pertimbangkan bersama-sama. Mungkin kita akan mendapatkan sebuah nama yang paling baik dari antara nama-nama itu. Nama itulah yang akan kita jajarkan dengan nama Mahisa Agni.”

Para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Bagaimanakah seandainya keputusan kita itu ditolak oleh Permaisuri.”

“Oh,” kawan-kawannya seolah-olah baru tersadar dari sebuah mimpi. Mereka hampir lupa mempertimbangkan kemungkinan itu, karena kedudukan Ken Dedes bukanlah sekedar seorang bekas permaisuri. Seorang janda dari Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi Tunggul Ametung sebagai seorang akuwu pernah mengucapkannya sendiri, bahwa semua miliknya, bahkan nyawanya, telah diserahkannya kepada Ken Dedes. Kekuasaannya dan jabatannya sebagai akuwu pula. Karena itu, sebenarnya kematian Akuwu Tunggul Ametung tidak menyebabkan kekosongan pimpinan di Tumapel.

Setelah mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka, maka salah seorang dari mereka berkata, “Ada dua jalan. Kita serahkan semuanya kepada Tuan Putri, atau kita membawa nama-nama yang sudah kita pertimbangan masak-masak itu kepadanya.”

“Cara yang kedua.” sahut yang lain, “bukan maksud kami menandingi kekuasaan Tuan Putri yang akan berhak bergelar sebagai Akuwu. Tetapi kita tahu, sebenarnyalah kita tahu dengan pasti, bahwa saat ini Tuan Putri Ken Dedes pasti belum dapat menyesuaikan dirinya dengan keharusan seorang pemimpin tertinggi.”

“Ya, aku sependapat,” sahut yang lain lagi, “selanjutnya terserah kepada Tuan Putri, apakah yang akan dilakukannya.”

“Nah, akhirnya kita akan sampai juga pada menemukan sebuah nama,” berkata salah seorang dari mereka pula.

Kembali keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mencoba menilai setiap perwira yang namanya agak menonjol dari para perwira yang lain. Selain kemampuan mereka seorang demi seorang sebagai seorang prajurit, tetapi dipertimbangkan juga apakah yang pernah mereka lakukan.

“Baiklah, marilah kita mengumpulkan nama-nama. Mungkin untuk pertama kalinya kita akan mendapat lebih dari sepuluh atau dua puluh nama, kemudian kita pilih, sekali dua kali, sehingga kita hanya tinggal mempunyai sebuah nama.”

“Sebutkan siapakah nama-nama yang ada padamu.” berkata yang lain.

Pemimpin yang seorang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Ada lebih dari seribu nama perwira yang tersebar di seluruh Tumapel. Tetapi dalam keadaan serupa ini, kita terlampau sulit untuk menemukan seorang saja di antara mereka.”

Orang itu berhenti sejenak, kemudian, “setelah mempertimbangkan segala kemungkinan, maka aku telah menemukan sebuah nama. Hanya satu. Aku kira aku tidak akan dapat menemukan yang lain lagi. Tetapi terserahlah kepada kalian.”

“Ya, tetapi siapa yang satu itu?”

“Oh, apakah aku belum menyebutkannya?”

“Sebut namanya.”

“Biarlah aku mengutarakan alasannya lebih dahulu, mengapa aku memilih nama itu. Ia mendapat banyak kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung semasa hidupnya. Dan semasa ia terbunuh, orang ini pulalah yang telah berjasa paling banyak dari antara para prajurit, meskipun ia termasuk seorang perwira yang baru.”

“Siapa? Ya, siapa?”

“Namanya Ken Arok. Hanya itulah yang akan aku ajukan. Tetapi mungkin kalian mempunyai sepuluh atau dua puluh nama yang lain, sebab pengamatan kita berbeda-beda. Aku tidak akan melihat daerah pengamatan kalian masing-masing, dan demikian berlaku di antara kita semuanya.”

Tetapi pemimpin itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat para pemimpin yang lain, mengangguk-anggukkan kepala mereka, bahkan ada di antara mereka yang berdesah.

“Bagaimana?”

“Aku adalah pemimpin prajurit Tumapel,” berkata salah seorang dari mereka, “bukan pemimpin tertinggi dari pelayan dalam, lingkungan kesatuan Ken Arok. Tetapi adalah aneh sekali bahwa aku tidak melihat ke dalam lingkunganku. Ada beberapa orang perwira yang mengagumkan di dalam lingkunganku. Tetapi tidak ada yang dapat bertindak secepat Ken Arok. Apalagi Ken Arok memang pernah mendapat kepercayaan dari Akuwu Tunggul Ametung. Kenapa Akuwu menunjuk Ken Arok ketika Akuwu mengirimkan pasukan ke padang Karautan? Dan bahkan ketika Akuwu memerlukan sebuah taman di padang itu pula, Ken Arok pulalah yang diserahinya. Karena itu, adalah kebetulan sekali bahwa aku pun akan mengusulkan Ken Arok untuk menggantikan kedudukan Witantra. Justru bukan dari lingkungan sendiri, atau dari lingkungan pasukan pengawal itu sendiri.”

Para pemimpin yang lain masih mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pemimpin tertinggi Pelayan Dalam pun berkata. “Aku akan sependapat sekali. Ken Arok adalah seorang perwira yang luar biasa. Ia banyak berjasa dalam penyelesaian masalah pembunuhan ini. Ialah orang yang membawa Kebo Ijo sehingga ia dapat ditangkap dengan mudah. Ia pulalah yang berhasil menyelesaikannya ketika Kebo Ijo berusaha melarikan diri.”

“Ternyata aku mempunyai persamaan pendapat dengan kalian,” berkata pemimpin yang lain. “Aku setuju. Ken Arok adalah satu-satunya nama yang dapat kita ke tengahkan.”

Agaknya keenam pemimpin itu sama sekali tidak menemui kesulitan apapun juga. Ternyata mereka sependirian, bahwa tidak ada orang lain yang lebih baik dari Ken Arok untuk menggantikan Witantra apabila Mahisa Agni menolak.

“Kita memang sependapat. Sebaiknya kita menghadap Tuan Putri untuk mengemukakan masalah ini,” berkata salah seorang dari keenam pemimpin itu.

“Baik. Kekosongan ini tidak boleh berlarut-larut,” sahut yang lain.

Maka bersepakatlah mereka untuk pergi menghadap Ken Dedes yang sudah menjadi semakin tenang setelah perasaannya diguncang oleh kematian suaminya.

“Apa yang baik bagi kalian, baik juga untukku,” jawab Ken Dedes ketika keenam pemimpin Tumapel itu mengemukakan pendirian mereka.

“Hamba Tuan Putri,” berkata yang tertua, “kami telah bersepakat untuk membicarakan calon pengganti itu. Namun keputusan terakhir berada di tangan Tuan Putri.”

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tetap sayu. Matanya bendul dan kemerah-merahan. “Kalian pasti lebih mengenal, siapakah yang sepantasnya menggantikan Witantra?” bertanya Ken Dedes.

“Hamba Tuan Putri. Dalam pembicaraan di antara kami berenam, maka kami telah menemukan dua buah nama yang akan kami kemukakan kepada Tuan Putri. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada Tuan Putri.”

“Siapakah nama-nama itu?”

“Yang pertama adalah seorang yang perkasa, yang telah Tuanku kenal baik-baik. Bahkan mungkin seorang yang tidak ada duanya di kalangan prajurit Tumapel meskipun ia sendiri bukan seorang prajurit.”

“Siapa?”

“Kakanda Tuan Putri. Mahisa Agni.”

“Oh,” Ken Dedes terperanjat mendengar nama itu. Ia tidak menyangka bahwa para pemimpin yang enam itu menaruh minat begitu besar terhadap kemampuan kakaknya. Namun, terasa sesuatu yang mengganggu perasaannya. Ken Dedes sendiri tidak segera dapat mengerti perasaannya itu. Namun Putri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Dan siapakah nama yang kedua?”

“Orang itu adalah orang yang paling berjasa di dalam keributan yang baru saja terjadi. Orang itulah yang sebagian terbesar telah berbuat sehingga Kebo Ijo tertangkap dan terbukti bersalah.”

Terasa sesuatu berdesir tajam di dalam dada Ken Dedes. Dengan serta-merta ia bertanya. “Siapa?”

“Ken Arok.”

Tubuh Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi gemetar mendengar nama itu. Sejenak ia tidak dapat berkata sepatah kata pun. Dalam sekejap, tubuhnya telah dibasahi oleh keringat yang seakan-akan terperas daripada tubuhnya. “Nama itu,” desisnya di dalam hati.

Berbagai tanggapan telah bergolak di dalam dirinya. Yang pertama-tama meloncat di hatinya adalah suatu harapan yang cerah bahwa anak muda itu akan semakin dekat dengan dirinya. Tetapi kemudian melonjaklah harga dirinya sebagai seorang permaisuri dan bahkan seorang yang sebenarnya memegang kekuasaan di Tumapel, sejak Akuwu Tunggul Ametung menyerahkannya kepadanya.

Bahkan kemudian pertimbangan-pertimbangan yang lebih jauh telah bergumul pula di hatinya. Apakah kata orang tentang dirinya, apabila pada suatu saat ia menjadi semakin dekat dengan anak muda itu. Dalam keadaan yang demikian Ken Dedes telah berjuang sekuat tenaganya untuk tidak menimbulkan kesan yang dapat mengaburkan tanggapan keenam pemimpin itu atasnya.

Pemimpin yang enam itu masih duduk sambil menundukkan kepala mereka. Mereka menunggu apa yang akan dikatakan oleh Ken Dedes. Karena pemimpin yang enam itu tidak memandang wajah Ken Dedes, maka mereka tidak melihat apa yang kadang-kadang tampak membayang di wajah itu. Justru karena Ken Dedes adalah seorang putri. Memandangi wajahnya terlampau lama akan dapat menimbulkan kesan yang keliru. Dan mereka tidak usah berbuat demikian terhadap Akuwu Tunggul Ametung.

Dan bahkan Akuwu kadang-kadang telah membawa keenam pemimpin itu, bertujuh dengan Witantra untuk berbicara, bergurau dan berbincang dengan bebas, sampai pada saat-saat terakhir Akuwu menjadi agak berubah dari kebiasaan itu. Ternyata perubahan-perubahan yang tidak dapat dimengerti oleh sebagian dari orang-orang Tumapel itu sendiri, berakhir dengan suatu bencana yang dahsyat bagi Tumapel.

Karena Ken Dedes tidak segera menjawab, maka pemimpin yang enam itu menjadi gelisah. Sekali-kali mereka mencuri pandang, menatap wajah Putri itu. Namun mereka menjadi semakin gelisah karena mereka melihat wajah Ken Dedes seakan-akan menjadi beku karenanya. Namun akhirnya, Ken Dedes itu berkata, “Apakah kalian telah mempertimbangkannya masak-masak.”

“Hamba Tuan Putri,” jawab yang tertua di antara mereka.

Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berada dalam kesulitan untuk memilih. Mahisa Agni adalah kakaknya, yang justru ia akan berbuat terlampau hati-hati atasnya. Mungkin kakaknya itu akan membuat kekangan-kekangan yang sangat membatasinya. Seandainya ada perbedaan pendapat di antara mereka, maka akan sulitlah bagi Ken Dedes untuk bersikap sebagai seorang pemimpin tertinggi di Tumapel. Dan kakaknya itu pun pasti tidak akan dapat melepaskan kebiasaannya, kebiasaan seorang kakak terhadap adiknya.

Sedang Ken Arok? Dadanya berguncang apabila ia mengingat nama itu. Nama yang tidak dapat diingkarinya telah berkesan dalam-dalam di hatinya. Namun adalah terlampau pahit untuk mengakuinya. Dalam kebimbangan Ken Dedes duduk merenung memandang ke kejauhan. Ia benar-benar berada di simpang jalan yang tidak segera dapat dipilihnya.

“Kami menunggu keputusan Tuan Putri,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Sudah tentu aku tidak akan dapat memutuskan saat ini. Tetapi sebaiknya kalian menghubungi kedua orang itu. Kalian dapat bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia menerima jabatan itu.”

“Tuan Putri,” berkata salah seorang dari keenam orang itu, “adalah menjadi idaman setiap prajurit untuk sampai kejahatan puncak di dalam tata pemerintahan Tumapel. Menurut dugaan hamba, tidak akan ada seorang prajurit pun yang menolak tawaran yang memang mereka impikan sebagai landasan pengabdian mereka.”

“Tetapi Kakang Mahisa Agni bukan seorang prajurit.”

Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Jawab salah seorang daripadanya, “Memang Mahisa Agni bukan seorang prajurit. Tetapi ia mempunyai syarat-syarat yang lengkap untuk jabatan itu.”

“Maksudku,” sahut Ken Dedes, “adalah kesediaan Kakang Mahisa Agni itu sendiri. Aku tidak meragukan kemampuannya, apalagi demikian juga menurut penilaian kalian.”

“Baiklah.” jawab yang tertua, “kami akan menghubungi keduanya.”

“Aku minta keterangan kalian segera.”

“Baiklah Tuan Putri. Sekarang perkenankan kami mengundurkan diri.”

Keenam pemimpin Tumapel itu pun kemudian meninggalkan Ken Dedes seorang diri. Sejenak Putri itu termenung. Namun sejenak kemudian terasa dadanya mulai terguncang. Baru saja ia kematian suaminya, dan tiba-tiba saja ia telah disentuh oleh suatu pengharapan baru tentang seorang laki-laki.

“Oh, aku adalah perempuan yang paling hina,” tiba-tiba ia menjerit di dalam hatinya. Dan hampir saja mulutnya pun menjerit pula. Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar seseorang yang duduk di belakangnya sambil berkata,

“Apakah Tuan Putri sudah selesai?”

Ken Dedes berpaling. Dilihatnya emban pemomongnya duduk bersimpuh sambil menatapnya. “Bibi,” suara Ken Dedes terputus. Dan tiba-tiba Putri itu berdiri sambil berkata, “Kepalaku pening, Bibi.”

“Tuanku,” sahut emban itu, “Tuanku memang masih lelah sekali. Tetapi Tuanku memang sudah seharusnya mulai dengan tugas-tugas seorang pemimpin tertinggi Tanah Tumapel. Sudah beberapa lama Tuanku belajar dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Tuanku telah mempunyai bekal yang meskipun agak berbeda bentuknya, yang Tuanku terima dari ayahanda. Nah, sekarang adalah waktunya bagi Tuan Putri untuk berbuat sesuatu. Tuan Putri adalah putri seorang pendeta yang agung.”

Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, kata-kata emban pemomongnya itu justru telah membuat kepalanya menjadi semakin pening. Ketika terbayang wajah ayahnya, maka jantungnya serasa berhenti berdenyut. Ken Dedes menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun seakan-akan wajah ayahnya masih tampak di pelupuk matanya, memandanginya dengan mata yang tajam sambil berkata, “Anakku, apakah kau sadari apa yang telah terjadi atasmu?”

“Oh,” hampir saja Ken Dedes terpekik. Tetapi telapak tangannya telah menyumbat mulutnya itu sendiri. Meskipun demikian emban pemomongnya itu melihat sesuatu pada momongannya, sehingga ia pun berdiri pula sambil memegangi kedua lengan Ken Dedes.

“Kenapa Putri?”

“Kepalaku pening, Bibi. Pening sekali.”

“Marilah, masuklah ke dalam bilik peraduan.”

Ken Dedes pun kemudian dibimbing oleh pemomongnya masuk ke dalam biliknya. Perlahan-lahan ia berbaring ditunggui oleh pemomongnya. Namun betapapun juga, bayangan-bayangan yang mendebarkan jantungnya itu masih saja berkeliaran tidak henti-hentinya.

“Tuan Putri memang perlu banyak beristirahat ,” berkata pemomongnya, “seandainya Tuanku memang masih belum merasa tenang, baiklah segala persoalan yang menyangkut tanah ini, diserahkan saja kepada pemimpin yang enam itu.”

Ken Dedes hanya mengangguk-angguk kecil. Ia sama sekali tidak berminat untuk berbicara tentang apapun juga. Ia ingin tidur saja apabila mungkin. “Bibi,” berkata Ken Dedes kemudian, “aku ingin beristirahat. Tetapi aku selalu diganggu oleh bermacam-macam persoalan yang tidak dapat aku singkirkan. Karena itu, tolong, katakan kepada emban untuk membuat air pala. Aku ingin tidur sepanjang hari.”

Pemomongnya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyanggah. Memang Putri itu harus beristirahat. Tetapi air pala itu sebenarnya tidak begitu perlu baginya. Meskipun demikian emban pemomong Ken Dedes itu pun pergi juga ke dapur. Disuruhnya seorang emban untuk membuat air pala yang akan diminum oleh Tuan Putri Ken Dedes.

Dalam pada itu, pemimpin yang enam telah memerintahkan seorang perwira dengan dua orang prajurit untuk pergi ke padang Karautan menemui Mahisa Agni. Perwira itu bertugas untuk menanyakan, apakah Mahisa Agni bersedia untuk memangku sebuah jabatan di istana Tumapel.

“Kami menyangka, bahwa Mahisa Agni telah kembali ke padang Karautan setelah ia selesai dengan perang tanding itu,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam, “sampaikan pesan kami. Dan agaknya lebih baik apabila ia bersedia datang ke Tumapel untuk membicarakannya.”

Sejenak kemudian tiga ekor kuda telah berderap keluar kota Tumapel menuju ke padang Karautan. Semakin lama semakin cepat. Debu yang putih menghambur naik ke udara. kemudian pecah dihembus angin padang. Demikianlah, maka ketiga utusan itu telah mengemban suatu tugas yang penting untuk mencari seorang perwira pengganti Witantra.

Ketika ketiga perwira itu memasuki padang Karautan, pakaian dan seluruh tubuh mereka telah basah oleh keringat, setelah mereka berkuda untuk waktu yang panjang. Sekali-kali mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda-kuda mereka meneguk air dan sekedar beristirahat.

“He, apakah kira-kira jawab Mahisa Agni?” bertanya perwira itu.

Salah seorang kawannya menyahut, “Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini. Apalagi kalau orang itu memang memiliki kemampuan. Meskipun bagi Mahisa Agni jabatan itu terlampau melonjak. Tetapi karena ia adalah saudara tua Tuan Putri, maka hal itu mungkin saja terjadi.”

“Dan Mahisa Agni memang seorang yang luar biasa,” sahut kawannya yang lain, “ia berhasil mengalahkan Witantra di arena. Dan dengan demikian jabatan Witantra itu telah ditinggalkannya.”

“Tetapi untuk menjadi seorang pemimpin ia harus memiliki beberapa kemampuan. Bukan keunggulan itulah satu-satunya syarat yang harus dimilikinya.” berkata yang pertama.

“Tetapi itu adalah syarat yang terpenting bagi seorang perwira tertinggi.”

Mereka pun kemudian berhasil berbicara ketika mereka melihat kehijauan yang terhampar di tengah-tengah padang yang kekuning-kuningan. Kedatangan mereka telah mengejutkan Mahisa Agni yang memang telah berada di padukuhannya yang baru.

“Apakah kepergianku itu telah menimbulkan persoalan?” desisnya.

Karena itu, begitu perwira itu dipersilakan duduk di banjar padukuhannya, dan setelah saling bertanya tentang keselamatan sebagai lazimnya, maka Mahisa Agni pun bertanya, “Kedatangan kalian telah membuat aku berdebar-debar.”

Tetapi perwira itu tersenyum sambil berkata, “Agaknya kau bermimpi terlampau baik. Mungkin memangku bulan atau naik seekor gajah putih bertaring emas.”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. “Kenapa?”

“Kedatangan kami telah mengemban suatu tugas dari pemimpin yang enam atas persetujuan Tuan Putri Ken Dedes untuk menemuimu.”

“Ya?”

“Kami mengemban pesan yang harus kami sampaikan, bahwa kau telah dicalonkan untuk menggantikan kedudukan Witantra.”

Dada Mahisa Agni berdesir mendengar tawaran itu. Sekilas ia merasa bahwa ia benar-benar telah menerima suatu kehormatan yang besar. Ia tahu bahwa apabila ia bersedia menerima jabatan itu, pasti akan berarti bahwa ia termasuk salah seorang dari pemimpin tertinggi Tumapel. Pemimpin yang Tujuh.

“Dari tempat itu aku akan mendapat kesempatan lebih banyak lagi untuk menegakkan segala macam peraturan dan ketentuan yang seharusnya berlaku di Tumapel,” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.

Namun tiba-tiba wajahnya menjadi buram. Tanpa sesadarnya diedarkannya pandangan matanya berkeliling, keluar halaman dan sekitarnya. Kalau ia pergi meninggalkan padukuhan yang masih sangat muda itu, apakah padukuhan ini dapat berkembang seperti yang diharapkannya. Anak-anak muda yang dituntunnya menjadi tenaga-tenaga terpenting di padukuhan ini masih belum cukup masak. Dan lebih daripada itu, sekilas Mahisa Agni teringat kepada kedudukan Ken Dedes yang kini menentukan bagi pemerintahan Tumapel sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung.

“Apakah tawaran ini didasarkan alas kemampuanku, atau sekedar karena aku kakak Ken Dedes dalam pengertian mereka?” ia bertanya di dalam hatinya. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian terangguk-angguk. Tetapi ia masih belum menjawab.

“Pemimpin yang enam mengharap kedatanganmu ke Tumapel untuk membicarakannya,” berkata perwira itu pula.

Namun kemudian Mahisa Agni menjawab perlahan-lahan, “Aku sangat berterima kasih atas tawaran itu. Suatu kesempatan yang barangkali tidak akan terulang lagi sepanjang hidupku. Namun sayang sekali bahwa aku tidak dapat menerimanya.”

Ketiga prajurit itu terperanjat. Sejenak mereka terbungkam sambil menatap wajah Mahisa Agni yang suram. Terngiang di telinga mereka kata-kata salah seorang dari mereka bertiga, “Hanya orang-orang yang aneh yang menolak jabatan ini.” Dan ternyata Mahisa Agni telah menolak.

“Kami tidak dapat mengerti,” berkata perwira itu, “kenapa kau menolak tawaran yang barangkali tidak pernah kau impikan.”

“Ada beberapa alasan,” jawab Mahisa Agni, “padukuhan yang baru berkembang ini memerlukan aku setiap saat. Kemudian, apakah aku mampu melakukan tugas itu? Aku adalah seorang anak pedesaan. Adalah kebetulan saja bahwa aku mempunyai sangkutan keluarga dengan Tuan Putri Ken Dedes. tetapi itu bukan suatu jaminan akan kemampuanku. Bukan terjadi dengan sendirinya, bahwa keluarga seorang besar akan selalu mendapat kesempatan sebaik-baiknya untuk jabatan-jabatan tertinggi.”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan itu cukup dimengertinya. Namun yang tidak dapat dimengerti, justru alasan itu diterangkan pada diri sendiri, jarang sekali ia menjumpai seseorang yang dengan jujur mengakui kekurangan pada dirinya. Pada kebanyakan orang maka kekurangan itu akan selalu disembunyikannya. Apa lagi untuk sebuah tawaran yang demikian.

Tetapi ternyata Mahisa Agni berbuat lain. Ia telah menolak sebuah tawaran untuk menjadi seorang perwira tertinggi di dalam pasukan pengawal. Bagaimanapun juga perwira itu mencoba mendesak untuk meyakinkan pendirian Mahisa Agni, namun Mahisa Agni masih juga tetap menolak.

“Maaf,” berkata Mahisa Agni, “aku sudah memutuskan.”

“Kau terlampau tergesa-gesa,” berkata perwira itu, “mungkin kau dapat merenungkannya.”

Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi ia tidak ingin terlampau mengecewakan utusan pemimpin yang enam itu, sehingga ia kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan berpikir tiga hari. Kalau dalam waktu tiga hari aku tidak datang ke Tumapel, maka aku tidak berubah pendirian. Aku menolak pencalonan itu.”

Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah,” katanya, “aku akan menyampaikannya kepada pemimpin yang enam itu.”

Demikianlah setelah mereka bermalam satu malam, perwira dan kedua kawan-kawannya itu pun meninggalkan padang Karautan. Mereka tidak berhasil membujuk Mahisa Agni untuk dicalonkan sebagai seorang pemimpin tertinggi sekaligus termasuk salah seorang dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.

Tetapi jawaban Mahisa Agni itu tidak mengejutkan pemimpin yang enam di Tumapel. Mereka memang sudah menyangka bahwa Mahisa Agni tidak akan bersedia untuk menjadi seorang penjabat apapun di istana, tentu karena ia adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes. Maka satu-satunya calon untuk jabatan itu adalah Ken Arok. Tidak ada orang lain yang dapat memenuhi banyak syarat seperti Ken Arok. meskipun tidak berarti bahwa Ken Arok adalah seorang yang sempurna.

Akhirnya keenam pemimpin itu pun menyampaikannya pula kepada Tuan Putri Ken Dedes, bahwa Mahisa Agni telah menolaknya. Sampai waktu yang tiga hari telah lampau, Mahisa Agni sama sekali tidak datang ke Tumapel. Dan itu berarti bahwa Mahisa Agni tetap berada dalam pendiriannya.

Mendengar laporan para pemimpin itu Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, ia mencoba menemukan alasan buat dirinya sendiri, bahwa ia tidak dapat berbuat lain kecuali menerima pencalonan Ken Arok. Satu-satunya. “Bukan aku yang telah menunjukkannya,” ia berkata di dalam hatinya, “aku tidak dapat dituduh menyalah gunakan wewenangku untuk memilihnya. Namanya telah dicalonkan oleh pemimpin yang enam. Dan aku tidak mempunyai pilihan setelah Kakang Mahisa Agni menolak.”

“Kami segera memerlukan keputusan,” berkata salah seorang dari pemimpin yang enam itu.

“Aku memerlukan waktu sepekan,” jawab Ken Dedes.

Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa Ken Dedes harus mempertimbangkannya masak-masak. Jabatan ini langsung menyangkut lingkungan terdekat dengan dirinya, di samping para pelayan dalam. Namun pada umumnya, ke manapun ia pergi, maka pemimpin pengawal itu pun selalu mengikutinya. Apalagi apabila ia pergi keluar dari istana.

“Baiklah Tuan Putri, kami menunggu titah Tuan Putri. Semakin cepat semakin baik bagi kami. Dengan demikian maka lingkungan kami pun menjadi lengkap,” berkata salah seorang pemimpin itu pula.

“Ya. Aku telah memberikan batas waktu. Mudah-mudahan aku dapat bekerja lebih cepat.”

Sepeninggal pemimpin yang enam itu, mulailah dada Ken Dedes bergolak. Ia bersyukur bahwa pilihan pemimpin yang enam itu jatuh kepada Ken Arok. Tidak kepada yang lain. Namun kadang-kadang ia merasa, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang sangat tercela. Seolah-olah ia telah berkhianat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi sebenarnyalah bahwa Ken Dedes telah mulai mengandung. Dan putra yang akan lahir itu adalah putra Akuwu Tunggul Ametung.

Namun akhirnya Ken Dedes tidak dapat menghindarkan dirinya lagi. Betapapun pergolakan terjadi di dalam dirinya, namun akhirnya ia memutuskan, untuk menerima usul pemimpin yang enam itu dan dijadikannya sebuah penetapan, bahwa Ken Aroklah yang akan menggantikan pemimpi tertinggi pasukan pengawal Tumapel. Namun sebelum waktu yang sepekan itu habis Ken Dedes masih belum menyatakan keputusannya itu. Ia masih menyimpannya, dan masih meragukannya, apakah pendiriannya tidak akan berubah lagi.

“Adalah hakku untuk tetap hidup meskipun Akuwu telah meninggal. Tidak seharusnya aku pun ikut membeku di dalam hidupku. Kehadiranku di istana bukan maksudku. Dan kini apa yang terjadi pun sama sekali tidak pernah aku rencanakan lebih dahulu. Usul nama itu pun bukan dari aku. Aku hanya tinggal menerima, karena tidak ada nama yang lain.”

Setiap kali Ken Dedes berusaha membela dirinya, apabila dari dalam dirinya pula terlontar berbagai macam tuduhan dan sebutan. Maka pada pekan berikutnya, pemimpin yang enam telah menghadapnya lagi. Mereka berharap agar Tuan Putri Ken Dedes mengabulkan permohonan mereka. Apalagi Ken Arok yang telah dihubungi menyatakan, apabila tidak ada orang lain, apa boleh buat.

“Apakah Ken Arok sendiri bersedia?” bertanya Ken Dedes.

Para pemimpin itu menyampaikan apa yang pernah mereka dengar dari Ken Arok. “Pada dasarnya ia tidak menolak Tuan Putri.”

Sampai saat yang terakhir Ken Dedes masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian dihentakkannya perasaannya untuk menemukan kekuatan. Dan terlontarlah dari sela-sela bibirnya yang tipis, “Aku menerimanya. Karena memang tidak ada orang lain yang lebih baik daripadanya.”

Para pemimpin yang enam itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka merasa bahwa pekerjaan mereka yang terberat telah selesai. Seandainya Ken Dedes tidak menerima Ken Arok untuk menggantikan Witantra, maka mereka masih harus bekerja lagi untuk mencari orang lain. Dan pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sulit. Tetapi ternyata kini bahwa Ken Dedes telah menerimanya. Sehingga yang perlu mereka kerjakan adalah saat-saat meresmikan pengangkatan Ken Arok, untuk menggantikan kedudukan Witantra.

Keputusan itu pun segera tersebar ke seluruh Tumapel. Mahisa Agni di padang Karautan pun kemudian diberi tahu pula oleh dua orang prajurit yang memang diutus menyampaikan berita itu. Bahkan kemudian Panji Bojong Santi, Mahendra dan Witantra pun mendengarnya pula.

“Ken Arok?” desis Witantra.

“Ya, anak muda itu,” sahut Mahendra.

Witantra yang masih belum sembuh benar dari luka-luka di dalam dadanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ia anak muda yang baik, cerdas dan mempunyai kemampuan yang kuat. Ia telah berhasil memimpin sepasukan prajurit di padang Karautan. Dan kita dapat melihat hasil kerja itu.”

Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan ia dapat menunaikan tugasnya yang baru. Mudah-mudahan tidak ada perwira-perwira yang lebih tua daripadanya, baik umurnya maupun pengalamannya, yang merasa tersinggung karenanya.”

“Tetapi ia telah banyak membuktikan kemampuannya.”

Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah benar-benar tersisih dari istana. itu adalah akibat wajar dari kekalahannya. Ia sudah harus dianggap mati.

“Aku tidak mengerti, kenapa Mahisa Agni menolak tawaran itu,” desis Mahendra kemudian.

Witantra mengerutkan keningnya. ia pun mendengar pula penolakan itu. “Tidak mengejutkan,” berkata Witantra, “Mahisa Agni bukan seorang yang menginginkan segala macam jabatan. ia pun orang yang baik. Terlalu baik, sehingga perasaannya mudah sekali tergerak apabila rasa keadilannya tersinggung.”

“Aku tidak dapat memperbandingkan keduanya,” berkata Mahendra kemudian, “manakah yang lebih baik di antara mereka.”

“Kita akan melihat,” jawab Witantra.

Mahendra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas terkenang olehnya, bagaimana Mahisa Agni menyebut dirinya Wiraprana dan mewakilinya berkelahi. Memang benar kata-kata kakaknya. Anak muda itu mudah sekali tergerak apabila perasaan keadilannya tersinggung. Namun dengan demikian, orang lain mungkin akan dapat menyalahgunakannya.

Keputusan pemimpin Tumapel untuk mengangkat Ken Arok menggantikan Witantra, telah mendorong Witantra untuk mengambil keputusan pula. Bersama keluarganya ia akan membuang diri jauh-jauh dari kota Tumapel.

“Apakah itu kau anggap pemecahan yang paling baik Witantra?” bertanya gurunya.

“Aku sudah mati guru.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, betapa parah luka di dada Witantra, tetapi betapa lebih parah luka di hatinya. Hati mudanya.

“Mungkin aku akan dapat mempergunakan kelebihan umur yang sudah seharusnya tidak aku miliki ini untuk semakin mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.”

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia berkata, “Tetapi tidak seorang pun yang mengusir kau dari kota ini Witantra. Bukan saja pemimpin yang enam itu, Tuan Putri Ken Dedes pun tidak.”

“Mereka memang tidak perlu mengusir aku, Guru. Karena bagi mereka aku sudah tidak ada lagi.”

Panji Bojong Santi tidak dapat menahannya lagi. Betapa pahit perasaan orang tua itu. Ia merasa kehilangan muridnya, dua orang sekaligus. Tetapi ia masih mengharap, bahwa pada suatu ketika Witantra akan bangkit kembali, setelah luka hatinya itu berkurang.

Demikianlah maka menjelang peresmian Ken Arok yang diangkat untuk menggantikannya, Witantra pergi meninggalkan Tumapel. Dari gurunya ia mendapat petunjuk, untuk pergi saja ke utara, sehingga pada suatu ketika ia menemukan sebuah hutan yang rindang.

“Kau dapat membuka hutan itu Witantra. Daerah itu didiami oleh orang-orang yang masih jauh terkebelakang. Mungkin kau akan mendapat sedikit kesulitan dengan mereka, tetapi kau akan segera dapat mengatasinya. Orang-orang itu jarang-jarang sekali berhubungan dengan lingkungan yang lain.”

“Baik Guru. Aku akan mencoba bergaul dengan mereka.”

Namun agaknya Mahendra tidak sampai hati melepaskan mereka. Karena itu, katanya, “Kakang Witantra. Aku akan ikut bersama Kakang. Bukan maksudku untuk melepaskan diri dari lingkunganku. Aku hanya akan melihat di mana Kakang akan menetap. Kemudian aku akan kembali lagi ke tempatku dan pekerjaanku. Dengan demikian setiap kali kami memerlukan, aku dapat segera menemuimu.”

Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepercik keharuan telah melonjak di dada Witantra. “Terima Kasih,” jawabnya, “aku tidak akan dapat menolak kemurahan hatimu yang tulus ini.”

Maka sebelum matahari muncul dibalik perbukitan. Witantra telah menyiapkan sebuah pedati berisi alat-alat untuk membuka hutan. Sebuah pedati untuk bekal, dan sebuah pedati lagi untuk ditumpanginya. Beberapa orang pelayannya yang setia telah bertekad untuk mengikutinya meninggalkan Tumapel. Mereka telah menyerahkan diri mereka untuk hidup bersama-sama dengan Witantra.

“Kami telah merasakan manisnya, maka pahitnya pun harus kami telan bersama-sama.”

Bagaimanapun juga, istri Witantra tidak dapat menahan titik air matanya ketika pedati-pedati itu keluar dari halaman rumah yang sudah sekian lama dihuninya. Batang-batang pohon buah-buahan, pohon bunga-bungaan dan taman serta belumbang ikan yang selama ini dipeliharanya. Dan kini semuanya itu harus ditinggalkannya.

Witantra menarik nafas ketika ia melihat titik air mata jatuh di pangkuan istrinya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun juga. Ia mengerti perasaan apa yang bergolak di dalam dada istrinya itu.

Di belakang pedati yang ditumpangi oleh suami istri itu, Mahendra berada di punggung kuda sambil menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Seperti Witantra ia pun yakin bahwa Kebo Ijo tidak akan melakukan pembunuhan atas Akuwu. betapapun bengalnya anak itu. Tetapi tanpa dapat membuktikan ia tidak akan dapat menolak keputusan yang telah jatuh, dan apalagi seakan-akan seluruh rakyat Tumapel telah membenarkannya.

Di belakang Mahendra berderik-derik suara pedati-pedati yang lain, dan kemudian beberapa ekor kuda pelayan-pelayan Witantra yang setia kepadanya.

Ketika ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. dan ketika di langit sebelah timur membayang warna kemerah-merahan Witantra telah meninggalkan kota. Dilaluinya jalan berbatu-batu di bulak-bulak sawah yang panjang, seakan-akan tidak berujung. Batang-batang padi yang hijau segar dialiri oleh air yang jernih lewat parit yang menelusuri di sepanjang tepi jalan.

Nyai Witantra memandangi sawah yang terhampar itu dengan hati yang ngelangut. Daun-daun padi yang kemerah-merahan disentuh oleh cahaya fajar, membuat jantungnya semakin cepat berdenyut. Tetapi ia adalah seorang istri yang setia. Ke manapun suaminya pergi, ia tidak dapat tinggal, meskipun suaminya akan pergi ke daerah yang dipenuhi oleh kesulitan dan bahaya.

Sementara itu. Tumapel pun sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari pengangkatan Ken Arok menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Memang ada satu dua orang yang merasa tersinggung karenanya, namun kemudian mereka menyadari, bahwa Ken Arok memang telah menunjukkan kelebihan-kelebihannya.

Pada saat kesibukan sedang mencengkam istana, Ken Arok sendiri memerlukan memacu kudanya pergi ke rumah Witantra. Ia ingin minta restu kepadanya, bahwa ia telah ditunjuk untuk mengganti kedudukannya. Ken Arok ingin mengatakan, bahwa sama sekali bukan maksudnya untuk merebut kedudukan itu. Tetapi Ken Arok menjadi kecewa. Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, rumah itu telah kosong. Pintu-pintu tertutup rapat dan bahkan regol-regol samping pun tertutup pula.

“Ke manakah isi rumah ini?” katanya di dalam hati.

Ken Arok pun kemudian meloncat turun dari kudanya. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya naik ke tangga pendapa. Dirabanya pintu pringgitan yang tertutup rapat itu. Kemudian selangkah demi selangkah ia menelusur dinding dan turun lagi ke halaman di samping pendapa itu. Ketika terlihat olehnya pintu regol samping, tiba-tiba saja ia tertarik untuk melihat halaman belakang rumah itu. Apakah benar-benar telah kosong sama sekali.

Dengan hati-hati pula ia mendorong pintu yang tertutup itu. Dan ternyata ia berhasil membukanya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke halaman belakang. Ken Arok menjadi berdebar-debar. Rumah itu benar-benar telah kosong. Semua pintu telah tertutup, dan bahkan pintu-pintu longkangan belakang yang menuju ke dapur. Tanpa sesadarnya ia menjengukkan kepalanya ketika ia berhasil membuka sebuah pintu longkangan. Sepi. Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika ia mendengar sebuah sapa halus dari dalam dapur yang disangkanya kosong itu.

“Marilah anak muda.”

Sejenak Ken Arok justru membuka di tempatnya. Dicobanya melihat langsung ke dalam dapur yang masih agak gelap karena pintunya yang belum terbuka sepenuhnya.

“Marilah, jangan takut. Aku bukan wewe yang sedang mencari anak.”

Ken Arok ragu-ragu sejenak. Kemudian ia pun melangkah maju. Dengan satu hentakan ia telah berhasil membuka pintu dapur itu selebar-lebarnya. Ken Arok berdiri tegak di tempatnya seperti tiang yang mati. Matanya terbelalak ketika ia melihat seorang gadis yang sedang berbaring justru di amben dapur.

Tanpa bangkit dari pembaringannya gadis itu tersenyum sambil berkata, “Apakah kau mencari aku?”

Dada Ken Arok menjadi terguncang-guncang. Agaknya dari tempatnya berbaring gadis itu dapat melihat langsung ke pintu longkangan, sehingga ia melihat kedatangannya.

“Kemarilah Ken Arok,” desis gadis itu.

“Apa kerjamu di sini Ken Umang?” bertanya Ken Arok.

Ken Umang tertawa, “Tidak apa-apa.”

“Ke manakah seisi rumah ini?”

“Pergi. Semuanya pergi karena putus asa. Tetapi aku tidak. Aku mau hidup dan menikmati hidup ini. Kenapa aku harus ikut melarikan diri dari kenyataan? Betapa bodohnya. Aku menolak untuk ikut pergi Kakang Witantra, jauh ke tempat yang paling sepi. Sebagai seorang petapa yang sama sekali tidak ikut membangun masa depan lagi.”

Ken Arok mengerutkan keningnya.

“Aku mengucapkan selamat,” berkata gadis itu, “bukankah kau akan menjadi pemimpin tertinggi pasukan pengawal menggantikan Kakang Witantra? Ha, kau akan menjadi terlampau dekat dengan janda yang baru saja kematian suaminya itu.”

Terasa dada Ken Arok berdesir. Ditatapnya mata Ken Umang tajam-tajam. Sementara itu Ken Umang pun bangkit sambil mengibaskan rambutnya yang terurai. Kemudian duduk sambil tersenyum. Dijulurkannya kakinya di atas amben sambil berdesah, “Kenapa kau masih berdiri di situ?”

Seperti orang yang kehilangan, akal Ken Arok melangkah maju. Ia pernah menjadi seorang yang paling liar di sekitar padang Karautan. Sebagai seorang hantu ia pernah berbuat apa saja terhadap setiap orang, setiap perempuan dan gadis-gadis yang ditemuinya. Dalam keadaannya kini. terasa darah Ken Arok itu telah mendidih. Selangkah demi selangkah ia maju, dan Ken Umang itu masih saja tersenyum.

Ketika Ken Arok berada beberapa langkah daripadanya, maka tiba-tiba gadis itu menangkap tangannya dan menariknya sambil berdesis, “Kau adalah seorang senapati yang menggemparkan. Kau masih muda dalam kedudukan yang begitu tinggi, sehingga kau pasti akan menjadi sorotan gadis-gadis.”

Ken Arok yang memiliki segala jenis pengalaman di dalam dirinya itu sama sekali tidak dapat melawan senyum Ken Umang yang serasa membakar jantung. Seperti seorang anak yang dungu ia duduk di amben itu sambil mengusap keringat yang mengalir dari keningnya. Ken Arok tidak berbuat apapun ketika gadis itu membelai pundaknya sambil berkata,

“Aku tidak mau pergi dari kota ini. Aku masih mempunyai beberapa orang keluarga. Karena itu, maka aku tetap tinggal di sini. Aku bermaksud untuk tinggal pada keluargaku yang lain. Sebelum aku berangkat kau tiba-tiba datang kemari. Dan kau telah memberikan harapan baru bagi hidupku di kota ini.”

Ken Arok yang telah berhasil membunuh Akuwu Tunggul Ametung, membunuh Empu Gandring dan membuat istana Tumapel gempar karena Kebo Ijo yang terbunuh pula itu, kini duduk diam, seolah-olah tidak mempunyai kekuasaan apapun atas dirinya sendiri.

“Hari ini kau akan diwisuda,” desis Ken Umang, “dan kau tidak sebodoh Mahisa Agni itu.”

Ken Arok tidak menjawab. Namun tiba-tiba tengkuknya meremang ketika ia mendengar Ken Umang tertawa sambil berdesis, “Kau tidak boleh lepas dari tanganku. Kau adalah seorang anak muda yang paling memenuhi unsur idamanku.”

Ken Arok masih terdiam.

“Setelah kau menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, maka kau harus segera beristri. Kau dengar?”

Ken Arok mengangguk.

“Dengan demikian barulah kau menjadi lengkap.”

Ken Arok mengangguk pula. Tanpa dapat melawan lagi Ken Umang menariknya semakin dekat. Namun tiba-tiba Ken Arok itu menyentakkan dirinya. Ia adalah seorang yang telah berhasil membuat lakon yang dahsyat. Dan ia telah berhasil mendalanginya. Karena itu, ia tidak boleh kehilangan dirinya sendiri. Betapa lunak dan mesra sentuhan tangan gadis itu, namun Ken Arok pun kemudian meloncat berdiri sambil menggeretakkan giginya. Sambil menunjuk gadis itu ia menggeram, “Apakah yang kau lakukan he anak gila?”

Ken Umang terkejut. Namun ia pun kemudian tertawa, “Jangan marah. Demikianlah hasrat hati nuranimu. Tetapi kau masih tetap dapat dikuasai oleh akalmu. Nah. Mudah-mudahan kau berhasil menjadi seorang pemimpin yang baik. Tetapi setiap saat kau akan tetap teringat kepadaku. Dan aku pun akan menunggu kau datang kepadaku dan menjemputku.”

“Persetan!”

Ken Umang masih tetap tertawa ketika ia melihat Ken Arok berlari meninggalkan dapur itu. Katanya, “Jangan takut, aku tidak akan mengejarmu. Kaulah yang akan mencari aku kelak.”

Ken Arok tidak berpaling lagi. Ia kemudian berlari ke kudanya di halaman depan dan segera meloncat ke punggungnya. Seperti seseorang yang ketakutan dikejar oleh hantu yang akan menghisap darahnya, Ken Arok segera memacu kudanya meninggalkan halaman rumah Witantra. Namun tanpa dapat ditahan-tahankannya lagi, ia masih juga berpaling.

Ken Umang masih berada di dalam dapur sambil tertawa berkepanjangan. Seperti orang yang kehilangan ingatan ia berbicara kepada dirinya sendiri, “Ternyata Ken Arok adalah seorang anak muda yang lemah hati. Jauh lebih lemah dari Mahisa Agni. Aku bersumpah pada suatu saat aku akan mengikatnya di bawah kakiku.”

Dan suara tertawa, Ken Umang pun menjadi semakin tinggi. “Mahisa Agni pasti akan terkejut melihat pada suatu saat aku menjadi seorang istri dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.”

Namun wajahnya tiba-tiba berkerut. Terlintas di kepalanya terbayang tentang seorang perempuan yang cantik, janda Akuwu Tunggul Ametung. “Huh, masih juga ada perempuan yang lebih tinggi dari istri salah seorang pemimpin yang tujuh di Tumapel.”

Ken Arok yang berpacu itu pun berpacu semakin cepat. Tetapi ia tidak dapat melarikan dirinya dari bayangan-bayangan tentang gadis yang telah membelai kulitnya. Sentuhan tangannya serasa telah menggetarkan darahnya sehingga jantungnya pun serasa telah terbakar. Tetapi Ken Arok harus tetap berpegangan pada nalarnya. Ia ingin tidak saja menjadi seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal, sekaligus menjadi salah seorang dari pemimpin yang tujuh. Apabila Akuwu, siapa pun orangnya telah melakukan tugasnya, maka kekuasaan dari pemimpin yang tujuh itu sangat terbatas.

Karena itu, maka Ken Arok telah mulai membayangkan betapa Ken Dedes kini menjadi seorang yang paling berkuasa di Tumapel. Apalagi perempuan itu adalah perempuan yang memiliki kelihaian yang mengagumkan. Ken Arok menghentak-hentakkan kendali kudanya. Hari ini ia akan menerima pengangkatannya sebagai seorang pemimpin tertinggi pasukan pengawal. Tetapi yang membayang di kepalanya adalah kesempatan-kesempatan yang akan terbuka karenanya.

Ken Arok memejamkan matanya sejenak. Terkilas di kepalanya cahaya yang kemilau memancar dari tubuh Ken Dedes. Pancaran cahaya itu adalah pertanda bahwa Ken Dedes adalah seorang perempuan yang lain dari perempuan kebanyakan.

“Sepanjang pendengaranku, perempuan itu akan menurunkan orang-orang besar yang kelak akan memiliki kekuasaan dan kewibawaan,” desis Ken Arok.

“Persetan dengan gadis yang gila di rumah Witantra itu,” gumamnya. Namun kehangatan gadis itu masih terasa seakan-akan merayapi kulitnya. Memang keduanya berbeda, Ken Dedes yang lembut, dan Ken Umang yang panas.

Tiba-tiba tebersit sepercik nafsu di kepalanya, “Kenapa tidak keduanya?”

“Ah,” ia berdesah. Ken Arok ternyata kini sedang terombang-ambing antara dua dunia yang berlawanan. Dunianya yang hitam dan dunia lain yang pernah ditemukannya. Dan keduanya kini sedang bergolak berebut pengaruh di dalam hatinya.

Tetapi kuda Ken Arok berpacu terus. Semakin lama semakin dekat dengan istana. Ken Arok akhirnya sampai juga pada saatnya, ia menerima pengangkatan itu. Ketika matahari telah mulai condong ke barat, maka terdengarlah suara yang menggelegar dari dalam istana, suara sebuah gong yang besar, yang tergantung di paseban depan.

Sejenak kemudian Ken Dedes sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Tumapel atas dasar penyerahan kekuasaan dari Akuwu Tunggul Ametung sejak semasa hidupnya, menyerahkan sebilah keris pimpinan kepada Ken Arok dan mengalungkan seutas tali yang berwarna kekuning-kuningan di lehernya, sebagai pertanda bahwa Ken Arok dengan demikian telah diangkat menjadi seorang pemimpin tertinggi dari pasukan pengawal.

Tidak seorang pun yang mempunyai alasan yang cukup untuk menentang keputusan itu. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi persoalan di antara para pemimpin tertinggi Tumapel, para senapati, para manggala dan pandega serta seluruh rakyat. Namun persoalan yang tumbuh justru di dalam dada Ken Dedes itu sendiri. Betapa tangannya menjadi gemetar ketika ia meletakkan tali yang berwarna kekuning-kuningan itu di leher Ken Arok, serta ketika ia menyerahkan keris kepada anak muda itu. Dalam pakaian kebesaran Ken Arok menjadi semakin mengagumkan di dalam pandangan mata Ken Dedes.

Dan getar itu ternyata dapat ditangkap oleh perasaan Ken Arok yang tajam. Sentuhan tangan Ken Dedes pada saat mengalungkan tali yang kekuning-kuningan itu, serta ketika tangan Ken Arok menerima keris pimpinan, terasa bahwa jantung Putri yang memegang pimpinan tertinggi di Tumapel itu bergetar. Tanpa sesadarnya Ken Arok memandang wajah Tuan Putri yang sedang berpakaian kebesaran itu pula. Pada saat yang bersamaan Ken Dedes pun sedang memandanginya pula.

Benturan pandangan itu telah mengguncangkan hati keduanya. Hati Ken Dedes serasa meledak berkeping-keping. Hampir saja ia kehilangan kekuatan untuk menahan dirinya sendiri. Untunglah bahwa ia masih berhasil menguasai perasaannya, sehingga ia tidak meloncat dan berlari ke dalam biliknya.

Sementara itu Ken Arok pun segera menundukkan kepalanya. Namun tangannya yang memegang keris itu pun menjadi gemetar pula. Ketika Ken Arok telah kembali ke tempatnya, maka ia sama sekali tidak berani lagi mengangkat wajahnya. Ia menunduk dalam-dalam dengan jantung yang serasa mengembang.

Demikianlah maka untuk hari-hari seterusnya. Ken Arok adalah seorang pengawal yang mengagumkan. Ternyata ia tidak hanya pandai memanjakan nafsunya, tetapi ia benar-benar mampu melakukan tugasnya. Namun dengan demikian, ia menjadi selalu dekat dengan Ken Dedes sebagai pemegang pimpinan tertinggi di Tumapel. Sebagai minyak yang selalu dekat dengan api. maka akhirnya menyalalah hati keduanya tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.

Sementara Mahisa Agni bekerja keras membangun padukuhannya yang baru, terbetiklah berita, bahwa hubungan antara Ken Dedes dan Ken Arok sama sekali sudah tidak dapat dicegah lagi. Namun Mahisa Agni telah belajar banyak dan pengalaman hidupnya. Ia tidak lagi dapat diterkam oleh kehilangan akal dan kebingungan. Ia menanggapi masalah hidup dengan sepenuh kedewasaan. Karena itu, maka hatinya kini benar-benar telah lekat dengan kerjanya, seperti Witantra yang semakin mencintai kesepian yang ditanggapinya sebagai suatu kedamaian di dalam hati setelah ia berhasil menyesuaikan hidupnya dengan alam di sekitarnya.

Akan tetapi semuanya ternyata tidak berhenti pada tempatnya. Semua masih bergerak dalam lingkaran yang saling bersinggungan. Maka seperti disebut dalam Kitab Pararaton,

Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Arok memang benar-benar menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak-menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah-laku Ken Arok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tidak ada yang berani mengucap apa-apa. Akhirnya Ken Arok kawin dengan Ken Dedes (terjemahan: Ki J. Padmapuspita).

Tetapi ternyata yang terjadi belumlah akhir yang terakhir. Pada saat perkawinan itu berlangsung, maka kekuasaan pun seolah-olah telah berpindah pula ke tangan Ken Arok. Tapi Ken Arok bukanlah seorang yang lekas puas. Ia kemudian mengangkat kepalanya, dan memandang kepada kekuasaan Kerajaan Kediri. Namun persoalan di dalam dirinya masih akan berjalan. Di dalam tubuh Ken Dedes sudah terkandung putra Tunggul Ametung. Kelak bayi itu akan dilahirkan, berbarengan dengan lahirnya masalah-masalah baru.

Demikianlah, seperti matahari yang mengelilingi bumi, maka yang pernah tenggelam akan terbit pada saatnya. Dan cerita tentang keluarga ini masih akan berkepanjangan, dalam sangkutannya dengan nama-nama yang pernah tersebut di dalam kisah ini.

TAMAT

(Bagian Ke 2 Serial Pelangi Di Langit Singasari)

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.