Pedang Kayu Harum Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti, sebab itu diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya ‘nasehat’ yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan.

Pak-san Kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin juga sudah terluka parah, tentu dia tak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia telah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah.

Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini telah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg...!"

Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang Tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong.

Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang sebab ketua Kun-lun-pai itu bisa menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang Tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang amat tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.

Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng yang dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh.

Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung serta membentuk lingkaran-lingkaran itu kadang kala menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain-main di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit lantas menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran?

Sementara itu, Cui Im terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran sekali dia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam ‘benteng baja’ itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,

"Keng Hong, kau curang! Agaknya dulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut.

Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuhnya, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu sangat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding di dekat kekasih hatinya itu.

Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, kini terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sesungguhnya tidak patut disebut pertempuran sebab dalam pertandingan ini Kiang Tojin sama sekali tak pernah membalas serangan.

Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak hebat dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang, hanya mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak terus dan membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi, yaitu agar supaya Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong.

Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apa lagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh semakin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak boleh menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang menggunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga.

Kini mulai tampak perubahan. Walau pun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama semakin limbung. Wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai bergetar menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur!

Pak-san Kwi-ong bukanlah orang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas.

Ia merasa penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja tapi begitu sukar dirobohkan, maka semakin lama dia semakin bernafsu sampai akhirnya dia pun terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya bagai akan meledak.

Dia masih menubruk maju sambil menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin merasa terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Sungguh pun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.

"Prokkk!"

Tengkorak itu pecah berantakan, ada pun kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudian dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata.

Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti. Karena itu dengan marah ia langsung berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia mempercepat serangan pedangnya.

Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras maka kini majulah semua pembantunya ikut menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!

Cong San dan Yan Cu berseru keras, cepat mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang amat dahsyat dan tidak teratur lagi.

Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja mereka sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini.

Dari pihak orang gagah mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu yang menjadi sute Kiang Tojin. Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong.

Melihat betapa pihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jumlahnya jauh kalah besar, Keng Hong mulai menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam.

Cui Im menangkis, akan tetapi dia pun terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkang-nya jauh kalah kuat. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding seru sekali dengan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong segera menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam hingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampaklah sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong.

Kakek ini mendengus. Melihat cepat dan kuatnya serangan ini, dengan gugup kakek ini segera mengebutkan hudtim-nya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya.

Akan tetapi saat yang hanya setengah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.

"Crottttt!"

Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak memandang ke arah perutnya seakan-akan tidak percaya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.

"Aihhhhh...!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtim-nya menyambar ke arah Biauw Eng.

Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik. Pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu segera patah menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras.

Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas.

Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya sambil berkata kepada Biauw Eng, "Kau bantulah teman-teman!"

Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya sangat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini.

Pantas saja gadis ini berani menamakan dirinya Ang-kiam Bu-tek, Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu agaknya sukarlah mencari lawan yang sanggup menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya takkan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya, Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im!

Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan oleh Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuh Cui Im, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapa pun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im juga bisa dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa!

Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar sangat sukar karena dengan serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im? Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.

Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapa pun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, akan tetapi karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga tiap orang terpaksa harus menghadapi empat atau lima orang lawan, maka mulailah pihak mereka terdesak dan keadaan mereka menjadi berbahaya sekali.

Korban kedua pihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling oleh suara bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.

Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul dengan sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari Tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan pihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Sekarang jumlah pihak pemberontak kalah banyak sehingga mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan.

Bagi golongan sesat, perang tanding yang terjadi selama setengah hari lebih di puncak Tai-hang-san itu merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di pihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.

Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum mampu merobohkan Cui Im padahal perang sudah terhenti karena semua musuh telah terbasmi habis.

"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.

"Trang-trang-cringgg…!"

Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.

"Wuuutttttt…!"

Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Keng Hong, engkau selalu menjadi penghalang untukku. Engkau satu-satunya manusia di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, peluhnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.

"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.

"Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.

Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu dan menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.

"Keng Hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.

Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia tengah menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tak mau membunuh lawan, namun pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lainnya akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan pada saat pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menangkis sekuat tenaga.

"Trakkk!"

Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.

"Aihhhhh…!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.

Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Sinar itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas suci-nya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.

"Takkkk…!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.

"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.

Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuh dia? Dia bekas suci-mu sendiri dan jika kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoi-ku sendiri karena dia sudah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan segala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."

"Tapi... tapi... dia telah membunuh ibuku!"

"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam suatu pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia pernah melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan dia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan saja lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."

Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang kini sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andai kata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"

"Aku tak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat itu, Keng Hong memandang sedih.

"Cia-taihiap benar!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi, pinceng merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"

"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia adalah bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak lagi mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian Cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.

Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.
"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.

Cui Im bangkit berdiri. Tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan dan wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat daripada pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya sangat menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!

Setelah sosok bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di dalam kantungnya. Ia menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,

"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kukembalikan kepada yang berhak, maka kumohon sudilah para Locianpwe untuk memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya tersisa sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku, tetapi kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."

Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya. Semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik pihak sendiri mau pun pihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san.

Hanya Kiang Tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong. Pada waktu pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, tosu ketua Kun-lun-pai ini menggelengkan kepala dan memegang pundak pemuda itu,

"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk sekali padamu. Memang semua manusia ini pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain, dan mengakibatkan… ah, semua pembunuhan antar manusia ini..." Tosu itu kelihatan menyesal sekali.

Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut sambil menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.

Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan hanya karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?”

Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,

"Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang lalu menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Jika di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."

"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."

"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, merupakan manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Apa bila orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu masih belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Sesudah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian tetap melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Apa bila di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik akan tetapi tetap dilakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakan oleh manusia sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, bagi kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"

"Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu adalah pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, suka terdorong oleh nafsunya sendiri hingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."

"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."

Kiang Tojin membuka matanya kemudian tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya juga tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."

Demikianlah, mempergunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan.

Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti ketika Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,

"Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."

Kiang Tojin memandang kereng, sejenak pandang matanya penuh teguran, akan tetapi kemudian melunak dan dia pun berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya dari pada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto sudah mendengar semua mengenai dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."

Keng Hong lalu meninggalkan dua kakak beradik seperguruan yang sudah kembali rujuk untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak itu. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San serta Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.

Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para tokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng masih tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ.

Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suheng-nya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu juga tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.

Setelah semua orang pergi, maka sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran itu tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk pula kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.

Biauw Eng merasa amat kasihan dan terharu mengenang nasib suci-nya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka. Ia duduk bersila di depan makam suci-nya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini kemudian mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing.

Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya!

Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja, masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang berupa diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw!

Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andai kata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang.

Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan bercampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka lebar, nenek ini cepat menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!

"Ha-ha-ha-heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, tetapi mengapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Ehh, bocah lucu, apakah engkau begini?"

Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika dia diejek dan dianggap gila. Cepat dia meloncat sambil memukul dada nenek itu.

"Dessssss…!"

Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.

"Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"

"Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"

Tiba-tiba saja Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan dapat tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"

Biar pun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu, "Di mana murid-muridku?"

"Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"

"Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau!"

Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tubuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian, padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.

"Bedebah!" Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa kemudian melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.

Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,

"Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"

Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!

"Subo...!" Biauw Eng berlari lalu berlutut di hadapan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!"

"Ehh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.

Biauw Eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa dan kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi sekarang dia tak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... tewas..."

"Aku sudah tahu!" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"

Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."

"Wuuuuuttttt…!"

Nenek itu sudah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, cepat mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mukjijat!

"Bagus, murid Sie Cun Hong, engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Keng Hong kembali mengelak. "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuh muridmu..."

"Cerewet! Membunuh atau pun tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerakannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana ke mari.

"Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!" Sekarang nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu, tampak kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.

Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.

"Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu dan menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"

"Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia adalah murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.

"Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"

Nenek itu tertawa. "He-he-heh, justru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"

Keng Hong memandang kepada Biauw Eng dengan penuh keharuan, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu pada saat dia hendak dibunuh oleh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang ini, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ahh, Biauw Eng... hatinya menjerit.

"Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"

"Apa? Kau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"

"Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."

"Heh...?!!" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan dia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?”

"Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya, apa lagi aku cinta kepada murid ayahku..."

"Iblis!" Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.

"Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.

"Locianpwe, harap sabar...!"

"Mampus kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya.

Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biar pun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.

Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat sambil mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan dia meloncat ke belakang sambil memaki.

"Aku tidak mengakui engkau sebagai murid, engkau musuhku!"

"Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku sudah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Maka tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama sekali ibuku!" Biauw Eng juga membentak marah dan kembali dia menyerang.

Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping sambil mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki sambil menyeling tangis dan tawa.

Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,

"Jangan pergunakan senjata!"
Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran. "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"

"Justru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya, Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."

Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.

Pukulan-pukulan empat orang muda itu kalau mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat dia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong mempergunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.

Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis tiga serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan dia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!

"Celaka...!" Cong San berseru kaget.

Dengan nekat Cong San menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang sedang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja!

Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu, Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi sangat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!

Nenek itu mendengus-dengus dan tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila yang digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,

"Hian Wi...!" Apa yang kau lakukan ini...?"

Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut bukan main. Wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika dia melihat seorang nenek tua lainnya berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut!

"Ahhhhh... Nyonya... am... ampunkan hamba... hamba tidak apa-apa...!"

Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung itu adalah Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"

"Baik... baik..., Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!

"Subo...!" Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.

"Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapa?" Yan Cu yang memang berwatak jenaka begitu bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah.

Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw sudah menimbulkan kenang-kenangan yang sangat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak dia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang sedang bermimpi dia menjawab pertanyaan Yan Cu.

"Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi dan semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Walau pun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, bahkan diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi..." Nenek itu lalu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, setelah ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya, maka dia ketakutan berjumpa denganku..."

Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untunglah nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia!

Tung Sun Nio agaknya masih terharu. Perjumpaan dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak. Namun tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,

"Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"

"Subo, teecu ingin mencari pengalaman, karena itu teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu.

"Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."

"Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teeculah yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.

"Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.

Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan muram itu tersenyum. "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"

"Tidak...!" Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.

"Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan segera menikah. Hayo jawab!"

"Tidak, Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan saja sambil menonton dengan hati tegang.

"Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"

"Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Sumoi karena teecu mencinta gadis itu!" kata Keng Hong sambil menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.

"Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"

"Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... dia... dia adalah puteri suhu sendiri."

"Apa?!" Sepasang mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri... Sie Cun Hong?"

"Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dengan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."

Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatinya amat terguncang. Kemudian dia menunduk, memandang Yan Cu dan membentak,

"Dan engkau, Yan Cu?"

"Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena..." Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seakan-akan hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..."

"Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.

"Dia itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San.

Pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba saja sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!

Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan. "Siapa pemuda ini?"

"Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."

Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"

"Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.

"Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.

"Desss…!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.

"Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.

"Subo, jangan...!"

"Kau pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi.

Apa bila Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.

"Desss…!" tubuhnya pun terlempar.

"Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya.

Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah.

"Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" bentaknya dan sekali melompat dia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, lalu menendang lagi.

Biauw Eng menggerakkan tangannya menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang.

"Desss…!" Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 39

Pedang Kayu Harum Jilid 39
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti, sebab itu diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya ‘nasehat’ yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan.

Pak-san Kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin juga sudah terluka parah, tentu dia tak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia telah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah.

Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini telah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya.

"Tranggg...!"

Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang Tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong.

Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang sebab ketua Kun-lun-pai itu bisa menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang Tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang amat tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.

Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng yang dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh.

Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung serta membentuk lingkaran-lingkaran itu kadang kala menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain-main di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit lantas menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran?

Sementara itu, Cui Im terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran sekali dia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam ‘benteng baja’ itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,

"Keng Hong, kau curang! Agaknya dulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut.

Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuhnya, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu sangat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding di dekat kekasih hatinya itu.

Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, kini terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sesungguhnya tidak patut disebut pertempuran sebab dalam pertandingan ini Kiang Tojin sama sekali tak pernah membalas serangan.

Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak hebat dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang, hanya mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak terus dan membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi, yaitu agar supaya Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong.

Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apa lagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh semakin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak boleh menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang menggunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga.

Kini mulai tampak perubahan. Walau pun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama semakin limbung. Wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai bergetar menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur!

Pak-san Kwi-ong bukanlah orang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas.

Ia merasa penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja tapi begitu sukar dirobohkan, maka semakin lama dia semakin bernafsu sampai akhirnya dia pun terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya bagai akan meledak.

Dia masih menubruk maju sambil menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin merasa terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Sungguh pun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.

"Prokkk!"

Tengkorak itu pecah berantakan, ada pun kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudian dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata.

Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti. Karena itu dengan marah ia langsung berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia mempercepat serangan pedangnya.

Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras maka kini majulah semua pembantunya ikut menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!

Cong San dan Yan Cu berseru keras, cepat mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang amat dahsyat dan tidak teratur lagi.

Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja mereka sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini.

Dari pihak orang gagah mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu yang menjadi sute Kiang Tojin. Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong.

Melihat betapa pihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jumlahnya jauh kalah besar, Keng Hong mulai menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam.

Cui Im menangkis, akan tetapi dia pun terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkang-nya jauh kalah kuat. Kesempatan itu cepat dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding seru sekali dengan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong segera menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam hingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampaklah sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong.

Kakek ini mendengus. Melihat cepat dan kuatnya serangan ini, dengan gugup kakek ini segera mengebutkan hudtim-nya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya.

Akan tetapi saat yang hanya setengah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.

"Crottttt!"

Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak memandang ke arah perutnya seakan-akan tidak percaya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.

"Aihhhhh...!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtim-nya menyambar ke arah Biauw Eng.

Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik. Pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu segera patah menjadi dua! Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras.

Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas.

Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya sambil berkata kepada Biauw Eng, "Kau bantulah teman-teman!"

Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya sangat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini.

Pantas saja gadis ini berani menamakan dirinya Ang-kiam Bu-tek, Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu agaknya sukarlah mencari lawan yang sanggup menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya takkan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya, Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im!

Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan oleh Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuh Cui Im, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapa pun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im juga bisa dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa!

Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar sangat sukar karena dengan serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im? Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.

Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapa pun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, akan tetapi karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga tiap orang terpaksa harus menghadapi empat atau lima orang lawan, maka mulailah pihak mereka terdesak dan keadaan mereka menjadi berbahaya sekali.

Korban kedua pihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling oleh suara bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.

Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul dengan sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari Tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan pihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Sekarang jumlah pihak pemberontak kalah banyak sehingga mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan.

Bagi golongan sesat, perang tanding yang terjadi selama setengah hari lebih di puncak Tai-hang-san itu merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di pihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.

Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum mampu merobohkan Cui Im padahal perang sudah terhenti karena semua musuh telah terbasmi habis.

"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.

"Trang-trang-cringgg…!"

Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.

"Wuuutttttt…!"

Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.

"Keng Hong, engkau selalu menjadi penghalang untukku. Engkau satu-satunya manusia di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, peluhnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.

"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.

"Menyerah? Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.

Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu dan menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.

"Keng Hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.

Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia tengah menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tak mau membunuh lawan, namun pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lainnya akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan pada saat pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menangkis sekuat tenaga.

"Trakkk!"

Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.

"Aihhhhh…!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.

Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Sinar itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas suci-nya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.

"Takkkk…!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.

"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.

Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuh dia? Dia bekas suci-mu sendiri dan jika kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoi-ku sendiri karena dia sudah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan segala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."

"Tapi... tapi... dia telah membunuh ibuku!"

"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam? Memang ibumu terbunuh olehnya dalam suatu pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia pernah melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan dia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan saja lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."

Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang kini sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andai kata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"

"Aku tak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat itu, Keng Hong memandang sedih.

"Cia-taihiap benar!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi sesudah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi, pinceng merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"

"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia adalah bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak lagi mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian Cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.

Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.
"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.

Cui Im bangkit berdiri. Tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan dan wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat daripada pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya sangat menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!

Setelah sosok bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di dalam kantungnya. Ia menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,

"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kukembalikan kepada yang berhak, maka kumohon sudilah para Locianpwe untuk memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya tersisa sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku, tetapi kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."

Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya. Semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik pihak sendiri mau pun pihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san.

Hanya Kiang Tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong. Pada waktu pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, tosu ketua Kun-lun-pai ini menggelengkan kepala dan memegang pundak pemuda itu,

"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk sekali padamu. Memang semua manusia ini pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain, dan mengakibatkan… ah, semua pembunuhan antar manusia ini..." Tosu itu kelihatan menyesal sekali.

Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut sambil menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.

Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan hanya karena terbagi menjadi dua golongan? Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk? Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?”

Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,

"Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang lalu menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Jika di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."

"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."

"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, merupakan manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Apa bila orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri? Karena anak itu masih belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Sesudah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian tetap melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Apa bila di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik akan tetapi tetap dilakukannya, maka berdosalah dia. Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakan oleh manusia sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, bagi kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"

"Kita sudah terlanjur mengenal baik dan buruk, tentu saja kita harus selalu mengabdi kebaikan, hanya dengan hati besar kita harus dapat mengampuni mereka yang kita angap melakukan perbuatan jahat setelah kita tahu bahwa perbuatannya itu adalah pelanggaran bagi hukum yang sudah dikenalnya, berarti bahwa dia itu lemah, atau sedang sakit, suka terdorong oleh nafsunya sendiri hingga melakukan hal-hal yang sebenarnya berlawanan dengan pengenalan hukum dalam sanubarinya sendiri."

"Terima kasih atas petunjuk Totiang yang bijaksana."

Kiang Tojin membuka matanya kemudian tersenyum kepada pemuda itu. "Semua orang bijaksana, orang muda yang baik. Di dunia tidak ada orang pandai atau bodoh. Yang sudah mengerti disebut pandai. Padahal yang sudah mengerti itu pun tadinya juga tidak mengerti, sebaliknya yang belum mengerti itu pun kelak akan mengerti. Karena itu, adalah menjadi kewajiban kita untuk belajar mengerti, setelah mengerti lalu sadar, setelah sadar lalu menjadikan pengertian sebagai dasar setiap perbuatan."

Demikianlah, mempergunakan kesempatan itu Keng Hong menerima wejangan-wejangan dari ketua Kun-lun-pai itu, sedangkan orang-orang kang-ouw yang lain bersama pasukan dari Tai-goan mengadakan pembersihan terhadap mayat-mayat yang berserakan.

Pembicaraan Keng Hong dan Kiang Tojin terhenti ketika Sian Ti Sengjin datang berlutut di depan ketua Kun-lun-pai sambil berkata,

"Suheng..., Sute yang penuh dosa datang menghadap."

Kiang Tojin memandang kereng, sejenak pandang matanya penuh teguran, akan tetapi kemudian melunak dan dia pun berkata, "Sute, jauh lebih baik seorang yang sadar dan bertobat, menyesali dan mencuci kekotorannya dari pada seorang yang menyombongkan kebersihannya. Pinto sudah mendengar semua mengenai dirimu dan merasa berbahagia dapat menerimamu kembali sebagai seorang murid Kun-lun-pai yang baik."

Keng Hong lalu meninggalkan dua kakak beradik seperguruan yang sudah kembali rujuk untuk membantu orang-orang lain mengurus mayat-mayat yang amat banyak itu. Kembali dia bersama Biauw Eng, Cong San serta Yan Cu mengubur mayat Tan Hun Bwee di tempat terpisah.

Pada keesokan harinya, barulah pasukan pemerintah kembali ke Tai-goan dan para tokoh kang-ouw meninggalkan puncak Tai-hang-san. Biauw Eng masih tidak mau meninggalkan tempat itu karena dia hendak berkabung selama tiga hari di situ.

Keng Hong menemaninya dan Cong San juga berpamit kepada suheng-nya, Thian Kek Hwesio, untuk menemani Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja Yan Cu juga tidak mau ketinggalan menemani Biauw Eng di puncak yang menyeramkan itu.

Setelah semua orang pergi, maka sunyilah puncak Tai-hang-san, sunyi menyeramkan. Di tempat bekas pertempuran itu tampak banyak sekali gundukan tanah kuburan baru, dan untuk memudahkan pekerjaan, ada satu lubang yang diisi sampai lima mayat manusia. Hanya kuburan para tokoh besar saja yang dipisahkan, termasuk pula kuburan Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong.

Biauw Eng merasa amat kasihan dan terharu mengenang nasib suci-nya, Tan Hun Bwee, yang pada akhir hidupnya mengorbankan nyawa dan berusaha untuk menolong mereka. Ia duduk bersila di depan makam suci-nya dengan wajah berduka. Keng Hong tidak mau mengganggunya, malah pemuda ini kemudian mengukir nama-nama para tokoh di atas batu-batu dan memasang batu nisan sederhana ini kuburan masing-masing.

Juga Cong San dan Yan Cu tidak berani mengganggu Biauw Eng. Sepasang orang muda ini tampak rukun dan sering kali bicara bisik-bisik sehingga diam-diam Keng Hong merasa girang sekali hatinya, mengharapkan agar sekali ini Yan Cu yang lincah itu benar-benar dapat menemukan cintanya!

Tak seorang pun di antara orang muda ini mengira bahwa urusan di puncak itu belumlah habis sampai di situ saja, masih ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang berupa diri seorang nenek tua renta, yang berlari cepat seperti terbang sambil kadang-kadang tertawa atau menangis tanda bahwa otaknya tidak waras. Nenek ini adalah Go-bi Thai-houw!

Secara kebetulan saja Go-bi Thai-houw yang melakukan perjalanan mencari kedua orang muridnya, bertemu dengan Cui Im di kaki Gunung Tai-hang-san. Andai kata tidak bertemu dengan Cui Im, tentu nenek ini tidak akan mendaki puncak sambil berlari secepat terbang.

Dia sedang berjalan seenaknya ketika mendengar suara rintihan bercampur isak tangis. Ketika melihat bahwa yang merintih-rintih dan menangis itu adalah seorang wanita muda cantik yang pundaknya terluka lebar, nenek ini cepat menghampiri, berdiri di depan Cui Im kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menudingkan telunjuknya kepada Cui Im!

"Ha-ha-ha-heh-heh, sungguh bocah lucu engkau! Lelah, setengah mati dan terluka, tetapi mengapa malah menangis?" Nenek itu lalu meletakkan telunjuk ke depan dahinya yang penuh keriput dan bertanya, "Ehh, bocah lucu, apakah engkau begini?"

Cui Im mengangkat mukanya dan biar pun dia sudah terluka lahir batin, kemarahannnya memuncak ketika dia diejek dan dianggap gila. Cepat dia meloncat sambil memukul dada nenek itu.

"Dessssss…!"

Cui Im terkejut karena dada yang dipukulnya itu lunak seperti kapas, maka maklumlah ia bahwa tentu nenek ini seorang yang lihai luar biasa.

"Nenek gila! Siapa kau...?" Tiba-tiba ia teringat. Nenek yang gila dan amat lihai. Siapa lagi kalau bukan Go-bi Thai-houw? "Engkau... engkau Go-bi Thai-houw?"

"Hi-hi-he-he-heh! Engkau benar gila tapi matamu tajam. Benar aku Go-bi Thai-houw, dan mengapa engkau menangis di sini?"

Tiba-tiba saja Cui Im tertawa, tertawa didorong kecerdikannya yang pada saat seperti itu masih mempunyai akal untuk membalas kekalahannya. "Hi-hi-hik, nenek gila. Sekarang kau boleh mentertawakan aku yang menangis, akan tetapi engkau takkan dapat tertawa lagi kalau mendengar penuturanku tentang muridmu!"

Biar pun otaknya miring, mendengar tentang muridnya, nenek itu cepat bertanya nafsu, "Di mana murid-muridku?"

"Muridmu bernama Tan Hun Bwee dan Sie Biauw Eng, bukan? Muridmu Tan Hun Bwee itu pun gila seperti engkau?"

"Setan kau! Muridku keduanya waras seperti aku, tidak gila seperti engkau!"

Cui Im tidak mau berbantahan dengan seorang gila, cepat ia berkata, "Percuma saja kau mencari. Muridmu Tan Hun Bwee sudah dibunuh oleh Cia Keng Hong, tubuh mayatnya masih menggeletak di atas puncak!" Cui Im sengaja berkata demikian, padahal sudah sehari semalam ia sampai di kaki gunung ini dalam perjalanannya setengah merangkak.

"Bedebah!" Tanpa bertanya lagi Go-bi Thai-houw lalu melompat dan lari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak Tai-hang-san. Cui Im tertawa-tawa kemudian melanjutkan perjalanannya dengan terhuyung-huyung.

Demikianlah, pada siang hari itu secara tiba-tiba Go-bi Thai-houw muncul di puncak dan begitu melihat Biauw Eng bersama tiga orang berada di situ, cepat ia berseru,

"Mana Hun Bwee? Mana yang bernama Cia Keng Hong?"

Semua orang terkejut dan menengok karena kedatangan nenek itu tidak mereka ketahui sama sekali, tahu-tahu nenek itu telah berada di situ!

"Subo...!" Biauw Eng berlari lalu berlutut di hadapan Go-bi Thai-houw sambil menangis. "Subo... suci telah tewas...!"

"Ehh, Biauw Eng, apakah kau mendadak telah menjadi gila? Ha-ha-ha, Hun Bwee mati, kenapa engkau malah menangis?" Tentu saja Keng Hong, Cong San dan Yan Cu terkejut dan terheran-heran mendengar ucapan yang aneh ini.

Biauw Eng tahu bahwa bagi nenek ini, orang berduka harus tertawa dan kalau senang barulah menangis. Betapa selama dia menjadi murid nenek itu dia dan Hun Bwee selalu harus ikut menggila. Akan tetapi sekarang dia tak bernafsu untuk bermain sandiwara dan tangisnya mengguguk. "Subo... dia... tewas..."

"Aku sudah tahu!" Nenek itu membentak. "Mana murid Sin-jiu Kiam-ong? Mana dia yang bernama Cia Keng Hong yang membunuh Hun Bwee?"

Keng Hong terkejut. Dia sudah mendengar bahwa nenek sakti ini miring otaknya, maka cepat dia menghampiri, memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, sayalah yang bernama Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong dan tentang nona Tan..."

"Wuuuuuttttt…!"

Nenek itu sudah menghantamnya dengan gerakan yang cepat bukan main. Keng Hong terkejut, cepat mengelak sambil menangkis, akan tetapi dia masih terpelanting. Nenek itu memiliki kekuatan yang mukjijat!

"Bagus, murid Sie Cun Hong, engkau mampuslah!" Nenek itu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi.

Keng Hong kembali mengelak. "Locianpwe, tunggu dulu...! Bukan saya yang membunuh muridmu..."

"Cerewet! Membunuh atau pun tidak, murid Sie Cun Hong harus mampus!" Kini serangan Go-bi Thai-houw benar-benar hebat dan gerakannya membingungkan Keng Hong yang terpaksa harus mengerahkan kecepatannya untuk mengelak sambil meloncat ke sana ke mari.

"Heh-heh-heh, engkau pandai juga, keparat!" Sekarang nenek itu mengeluarkan serangan dengan gerakan aneh dan lucu, tampak kacau-balau akan tetapi setiap gerak tangannya mengeluarkan angin yang menyambar-nyambar seperti badai mengamuk.

Keng Hong terkejut, maklum bahwa membantah pun percuma saja terhadap nenek gila yang amat lihai ini. Dia cepat mainkan Thai Kek Sin-kun dan menjaga dirinya rapat-rapat, mengelak sambil menangkis dengan kedua tangan, namun dalam belasan jurus saja dia sudah terdesak hebat dan dipaksa mundur terus.

"Subo...!" Biauw Eng meloncat ke depan nenek itu dan menghalangi nenek itu menyerang Keng Hong. "Subo, jangan menyerang Keng Hong...!"

"Apa kau bilang? Kau sudah gila? Dia adalah murid Sie Cun Hong, hayo kau bantu aku membunuhnya!" Nenek itu membentak-bentak.

"Tidak, Subo! Aku tidak akan menyerangnya, aku cinta kepadanya!"

Nenek itu tertawa. "He-he-heh, justru kalau cinta harus membunuhnya, tolol!"

Keng Hong memandang kepada Biauw Eng dengan penuh keharuan, penuh kemesraan. Terbayanglah dia dahulu pada saat dia hendak dibunuh oleh Lam-hai Sin-ni, gadis itu pun membelanya dan seperti juga sekarang ini, secara terang-terangan penuh ketulusan hati, gadis ini mengaku cinta kepadanya! Ahh, Biauw Eng... hatinya menjerit.

"Tidak Subo. Engkau tidak boleh menyerangnya, dan dia tidak membunuh suci Tan Hun Bwee!"

"Apa? Kau hendak membela Cia Keng Hong? Hendak membela murid Sin-jiu Kiam-ong? Engkau tidak mau membantu memusuhi Sie Cun Hong?"

"Tidak mungkin, Subo, Sie Cun Hong itu adalah mendiang ayahku."

"Heh...?!!" Agaknya untuk detik itu, kegilaan meninggalkan hati dan pikiran nenek itu dan dia memandang terbelalak. "Bukankah kau puteri Lam-hai Sin-ni?”

"Ibuku memang Lam-hai Sin-ni, akan tetapi ayahku Sie Cun Hong yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong, karena itu tidak mungkin aku memusuhinya, apa lagi aku cinta kepada murid ayahku..."

"Iblis!" Nenek itu menendang dan tubuh Biauw Eng mencelat sampai lima meter jauhnya. Gadis itu roboh berguling-guling akan tetapi cepat meloncat bangun lagi.

"Keparat, kau puteri Sie Cun Hong, he-he-heh! Kalau begitu engkau pun harus mampus. Kau puterinya, dan Lam-hai Sin-ni sainganku, ha-ha-ha!" Nenek itu meloncat maju hendak menyerang Biauw Eng, akan tetapi Keng Hong sudah menghadangnya.

"Locianpwe, harap sabar...!"

"Mampus kau!" Go-bi Thai-houw menghantam kedua tangannya dan tampaklah uap hitam menyambar dari sepasang telapak tangannya.

Keng Hong terkejut bukan main dan cepat dia membuang diri ke belakang, namun tetap saja dia masih merasa hawa yang amat dahsyat menyerempet pundaknya sehingga biar pun dia sudah berjungkir balik, tetap saja dia terbanting jatuh.

Biauw Eng yang menyaksikan ini, cepat meloncat sambil mengirim pukulan dari samping ke arah lambung nenek itu. Go-bi Thai-houw berusaha mengelak, namun kepalan tangan Biauw Eng masih masih menyerempet pinggulnya sehingga kuda-kudanya tergempur dan dia meloncat ke belakang sambil memaki.

"Aku tidak mengakui engkau sebagai murid, engkau musuhku!"

"Terserah! Aku hanya berhutang budi setahun lamanya padamu, akan tetapi aku sudah berhutang budi selamanya terhadap orang tuaku, terutama ibuku. Maka tak mungkin aku mendiamkan saja engkau memaki-maki orang tuaku, terutama sekali ibuku!" Biauw Eng juga membentak marah dan kembali dia menyerang.

Hampir saja lengannya dapat ditangkap oleh nenek yang lihai itu kalau saja Keng Hong tidak cepat menyambar tubuh Biauw Eng ke samping sambil mengirim tendangan yang dapat ditangkis oleh Go-bi Thai-houw. Pada saat itu, Cong San dan Yan Cu juga maju membantu dan mengeroyok nenek itu. Dikeroyok empat orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, nenek itu kewalahan juga, memaki-maki sambil menyeling tangis dan tawa.

Menyaksikan kehebatan si nenek gila, Cong San dan Yan Cu mencabut pedang, juga Biauw Eng telah melolos sabuk suteranya, akan tetapi Keng Hong berseru,

"Jangan pergunakan senjata!"
Cong San dan Yan Cu segera menyimpan pedang mereka kembali, akan tetapi Biauw Eng memandang penasaran. "Kenapa, Keng Hong? Dia gila dan jahat!"

"Justru karena dia tidak waras pikirannya kita harus dapat memaafkannya, Biauw Eng. Pula, sedikitnya dia adalah gurumu. Kau tidak boleh membunuhnya."

Nenek itu mengamuk dengan hebat dan karena Keng Hong melarang teman-temannya membunuh, mereka berempat menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan nenek itu sehingga berganti-ganti empat orang muda itu terpelanting dan terlempar.

Pukulan-pukulan empat orang muda itu kalau mengenai tubuh si nenek hanya membuat nenek itu bergoyang tubuhnya. Hanya pukulan Keng Hong yang membuat dia terhuyung dan hampir roboh. Kalau saja Keng Hong mempergunakan seluruh tenaganya, agaknya dibantu tiga orang muda yang lihai itu tentu dia dapat memukul tewas lawannya. Namun pemuda yang bijaksana ini tidak menghendaki demikian.

Untuk ke sekian kalinya, ketika nenek itu sibuk menangkis tiga serangan Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu, Keng Hong dapat menampar punggungnya dari belakang. Nenek itu menggeluarkan keluhan dan tubuhnya terpelanting, akan tetapi sambil bergulingan dia berhasil menyambar pinggang Yan Cu, terus mengempit tubuh dara ini dan mengayun tangan memukul ke arah ubun-ubun Yan Cu!

"Celaka...!" Cong San berseru kaget.

Dengan nekat Cong San menubruk nenek itu, menangkap tangannya dan menelikung ke belakang. Juga Biauw Eng sudah menubruk dan menarik tangan satunya yang sedang mengempit pinggang Yan Cu, sedangkan Keng Hong maju pula menotok pundak untuk membuat nenek itu roboh lemas. Akan tetapi, betapa kaget hati Keng Hong ketika jari tangannya menotok jalan darah yang seolah-olah kering dan kaku seperti kawat baja!

Nenek itu tertawa, tubuhnya bergoyang seperti seekor anjing mengeringkan bulu dan... tubuh Yan Cu, Cong San dan Biauw Eng terlempar dan terbanting keras ke kanan kiri! Tiga orang muda ini bergulingan dan meloncat bangun, tidak terluka akan tetapi sangat kaget dan sedikitnya kulit tangan kaki mereka babak-bundas!

Nenek itu mendengus-dengus dan tertawa-tawa bercampur isak, dikurung seperti seekor anjing gila yang digoda empat orang anak nakal. Tiba-tiba terdengar suara halus namun nyaring berwibawa,

"Hian Wi...!" Apa yang kau lakukan ini...?"

Go-bi Thai-houw kelihatan terkejut bukan main. Wajahnya pucat, matanya terbelalak dan tubuhnya cepat membalik ke arah suara halus itu. Ketika dia melihat seorang nenek tua lainnya berdiri tak jauh dari situ dengan sikap agung dan angkuh memandangnya, Go-bi Thai-houw menjadi semakin ketakutan, tubuhnya gemetar dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut!

"Ahhhhh... Nyonya... am... ampunkan hamba... hamba tidak apa-apa...!"

Nenek yang berdiri dengan sikap angkuh dan agung itu adalah Tung Sun Nio. Sejenak ia memandang nenek gila itu, kemudian berkata dengan suara dingin, "Hemmm... kalau begitu, pergilah, Hian Wi!"

"Baik... baik..., Nyonya!" Nenek gila itu memberi hormat dengan berlutut, kemudian sekali tubuhnya bergerak, ia sudah mencelat dan lari turun dari puncak seperti dikejar setan!

"Subo...!" Keng Hong dan Yan Cu lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Tung Sun Nio yang masih menengok ke arah larinya Go-bi Thai-houw.

"Subo, sungguh menakjubkan! Go-bi Thai-houw itu lihainya bukan main, kepandaiannya seperti iblis, akan tetapi dia begitu takut kepada Subo. Mengapa?" Yan Cu yang memang berwatak jenaka begitu bertemu gurunya sudah bertanya dengan ramah.

Agaknya pertemuannya dengan Go-bi Thai-houw sudah menimbulkan kenang-kenangan yang sangat mempengaruhi batin Tung Sun Nio sehingga sejenak dia seperti lupa akan segala urusan yang dihadapi, melainkan terbayang kembali semua pengalaman masa dahulu. Seperti orang sedang bermimpi dia menjawab pertanyaan Yan Cu.

"Mengapa? Dia bernama Oh Hian Wi dan semenjak kecil menjadi pelayan ibuku, bahkan setelah aku menikah dengan Sie Cun Hong, dia lalu ikut bersamaku, menjadi pelayanku. Walau pun pelayan, dia kami perlakukan dengan baik, bahkan diberi pelajaran ilmu silat sesuai dengan pelayan keluarga ahli silat. Akan tetapi..." Nenek itu lalu menarik napas panjang, "dia tergila-gila kepada suamiku, setelah ketahuan olehku, merasa bersalah dan melarikan diri. Sungguh tak nyana dia sekarang menjadi Go-bi Thai-houw yang gila, ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku, akan tetapi rasa bersalah masih menggores hatinya, maka dia ketakutan berjumpa denganku..."

Keterangan ini membuat Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu tercengang. Pantas saja nenek gila itu lari seperti seekor anjing diancam penggebuk! Dan untunglah nenek itu lari karena sesungguhnya nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia!

Tung Sun Nio agaknya masih terharu. Perjumpaan dengan bekas pelayan itu membuat ia termenung, tenggelam dalam lamunan sehingga keadaan menjadi sunyi sejenak. Namun tiba-tiba nenek itu sadar kembali dan kini pandang matanya ditujukan kepada Yan Cu dan Keng Hong, kemudian terdengar suaranya dingin dan keras,

"Keng Hong! Yan Cu! Apa yang telah kalian lakukan? Mengapa kalian melarikan diri?"

"Subo, teecu ingin mencari pengalaman, karena itu teecu mengajak suheng untuk pergi merantau," kata Yan Cu.

"Maaf, Subo. Teeculah yang mengajak Sumoi pergi untuk meluaskan pengalaman, teecu yang bersalah dalam hal ini."

"Tidak, Subo, Suheng tidak bersalah, teeculah yang bersalah dan kalau Subo hendak menjatuhkan hukuman, teecu siap menerimanya," bantah Yan Cu.

"Sumoi tidak bersalah, teecu yang harus dihukum." Keng Hong tidak mau mengalah.

Tung Sun Nio yang biasanya berwajah dingin dan muram itu tersenyum. "Bagus, agaknya sekarang kalian sudah saling membela dan saling melindungi. Itu artinya kalian saling mencinta! Anak-anak nakal, aku memaafkan kalian. Mari kita pulang dan akan kurayakan pernikahan kalian!"

"Tidak...!" Teriakan ini terdengar hampir berbarengan dari mulut Keng Hong dan Yan Cu sehingga mengejutkan hati Tung Sun Nio. Nenek ini seketika kehilangan senyum dan seri wajahnya, memandang tajam penuh kemarahan.

"Apa kalian bilang? Sekarang juga kalian harus ikut aku pulang dan segera menikah. Hayo jawab!"

"Tidak, Subo!" Kembali kedua orang muda itu menjawab serempak dan wajah nenek itu menjadi merah. Cong San dan Biauw Eng hanya mendengarkan saja sambil menonton dengan hati tegang.

"Keng Hong! Mengapa kau berani membangkang?"

"Maaf, Subo. Teecu tidak mungkin dapat menikah dengan Yan Cu Sumoi karena teecu mencinta gadis itu!" kata Keng Hong sambil menunjuk ke arah Biauw Eng yang tiba-tiba menundukkan mukanya dengan wajah kemerahan.

"Setan! Engkau mewarisi watak gurumu! Siapa gadis ini?"

"Dia bernama Sie Biauw Eng dan dia... dia... dia adalah puteri suhu sendiri."

"Apa?!" Sepasang mata nenek itu terbelalak memandang ke arah Biauw Eng. "Puteri... Sie Cun Hong?"

"Benar, Subo. Ibunya adalah mendiang Lam-hai Sin-ni. Teecu dengan dia sudah saling mencinta semenjak dahulu, mengharapkan kebijaksanaan Subo."

Wajah nenek yang masih cantik itu kerut-merut tanda bahwa hatinya amat terguncang. Kemudian dia menunduk, memandang Yan Cu dan membentak,

"Dan engkau, Yan Cu?"

"Teecu tidak dapat menikah dengan Suheng karena... karena..." Dara itu tiba-tiba menjadi merah mukanya dan melirik ke arah Cong San, kemudian menggigit bibir seakan-akan hendak menambah ketabahannya dan berkata lantang, "Karena teecu mencinta pemuda lain..."

"Siapa dia?" Bentak gurunya, tercengang mendengar semua ini.

"Dia itulah...!" Yan Cu menuding ke arah Cong San.

Pemuda ini memandang dengan wajah berseri penuh kebahagiaan. Baru sekarang Yan Cu menyatakan cinta kasih dengan kata-kata, bahkan pengakuan ini dilakukan di depan banyak orang! Hampir Cong San menari-nari kegirangan dan tiba-tiba saja sinar matahari makin gemilang baginya, dunia tampak seperti sorga!

Seperti tadi, nenek itu memandang Cong San dengan sinar mata penuh selidik bercampur kemarahan. "Siapa pemuda ini?"

"Dia bernama Yap Cong San, murid ketua Siauw-lim-pai. Kami sudah saling mencinta, Subo, maka hanya dengan dialah teecu mau menikah."

Hening sejenak, keheningan yang mencekam hati empat orang muda penuh ketegangan. Tiba-tiba nenek itu membanting kakinya dan menjerit, "Tidak...! Kalian tunduk kepadaku. Kalian harus pulang sekarang juga dan melangsungkan pernikahan!"

"Teecu tidak mau, Subo!" Yan Cu berkata dengan isak tertahan.

"Murid celaka!" Tung Sun Nio menggerakkan kakinya menendang.

"Desss…!" tubuh Yan Cu terlempar jauh dan bergulingan.

"Moi-moi...!" Cong San menubruk dan memeluk gadis itu, membantunya bangun.

"Subo, jangan...!"

"Kau pun murid celaka!" Kakinya menendang lagi.

Apa bila Keng Hong menghendaki, tentu saja akan mudah baginya untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi dia tidak berani melakukan perlawanan.

"Desss…!" tubuhnya pun terlempar.

"Keng Hong...!" Biauw Eng menubruknya.

Dua pasang orang muda itu berpelukan dan memandang kepada nenek itu yang menjadi makin marah.

"Keparat, kubunuh kalian kalau tidak mau menurut!" bentaknya dan sekali melompat dia sudah mendekati Keng Hong yang berpelukan dengan Biauw Eng, lalu menendang lagi.

Biauw Eng menggerakkan tangannya menangkis, akan tetapi tangannya cepat dipegang Keng Hong yang membiarkan dirinya ditendang.

"Desss…!" Kini tubuh Keng Hong dan Biauw Eng keduanya terpental dalam keadaan masih berangkulan dan bergulingan di atas rumput.
Selanjutnya,