Pedang Kayu Harum Jilid 40 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 40
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan.

Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar lagi oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!

"Subo, pernikahan tidak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang lagi peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?"

Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini. Wajahnya menjadi semakin merah dan matanya laksana mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata, kemudian dia menjerit,

"Apa...?!!" Tangannya meraba gagang pedang dan cahaya maut membayangi pandang matanya!

"Omitohud...! Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum mau insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus.

Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah sudah berubah menjadi patung, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

"Suhu...!" Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai!

Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.

"Tiong-koko...!" Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak. "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa sangka... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."

"Omitohud...! Tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang sangat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap, sekaligus untuk melupakanmu."

Nenek itu menangis semakin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi peristiwa yang aneh dan tidak terduga-duga.

"Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar kelak dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memang begitulah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Jika saja Sie Cun Hong dapat bersikap bijaksana di dalam hubungan suami isteri, agaknya perlahan-lahan Sun Nio akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang di dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan hatinya semakin condong terhadap pinceng! Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!" Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya bisa terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ahhh…, sungguh kasihan dia...!"

"Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali.

Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak lantas menubruk subo-nya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih.

"Begitulah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni memerlukan kesadaran dan kebijaksaan sebab mempunyai cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori oleh nafsu birahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tak hanya menuntut disenangkan, akan tetapi terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau saja cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, bisa mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri."

Yan Cu memandang kepada hwesio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri Cong San!

"Sun Nio. Engkau sudah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua sudah berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, dan kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?"

Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Dia menganggung-angguk, lalu dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"

"Benar, Subo."

"Baiklah, Tiong-koko... Eh, bukankah sekarang namamu adalah Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."

Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut ikut bicara, "Subo, teecu sudah tidak memiliki orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan orang satu-satunya yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"

Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe."

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang sudah memberi kebahagiaan ini kepada kita!"

Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit kemudian memelukya sambil menangis.

"Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."

Maka turunlah dua pasang orang muda bersama sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajar manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia pada waktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas!

Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tanpa ada hentinya sampai berakhir dengan gugur serta rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya.

Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng, dan Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng gunung Tai-hang-san, di belakang nenek dan kakek itu. Mereka tersenyum-senyum, kadang kala saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira!

Memang, hasrat hati yang tercapai akan menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggelam di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran.

********************

Kota kecil Sun-ke-bun terletak di pinggiran Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan, turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut putih yang hangat.

Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dengan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di pihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah menjadi kaisar, Yung Lo memindahkan pusat pemerintahan ke Peking yang dijadikan ibu kota.

Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajimnya terjadi di dunia ini, bila kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullah kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun serta di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, dicekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, bebas melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Malah para pembesar setempat yang keadaan dan kedudukannya masih belum tentu berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-orang golongan hitam.

Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu masih dapat menyesuaikan diri sehingga keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di kota itu tidak terdapat penindasan dan kekacauan.

Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa sangat dingin, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah.

Akan tetapi, samar-samar sesosok bayangan orang yang hampir tidak nampak karena ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari gerbang timur. Dia berjalan terseok-seok, terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang yang kehabisan tenaga, kadang kala berhenti dan sejenak menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentulah dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit.

Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Tampak serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau di punggung. Sikap mereka kasar dan kini mereka menjalankan kuda perlahan-lahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.

"Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"

"Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka masih akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"

"Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!"

"Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"

"Bagaimana kalau dia belum membeli daging?"

"Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"

Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan rumah makan ‘Arak Merah’ yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan ‘Arak Merah’.

"Duk-duk-brukkk!”
“Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"

Tak lama kemudian dari dalam terdengar suara bakiak tersaruk-saruk lalu terdengar suara orang tergesa-gesa, "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!"

Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang lelaki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali. Pakaiannya masih tak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga tampak daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"

"Tentu tebal gajihnya!"

"Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apa lagi kalau dipanggang setengah matang!"

"Akan tetapi harus ditambah banyak jahe dan merica, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!"

"Buntutnya untuk aku saja..."

"Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya, ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu sudah terbiasa dengan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makanan dan minuman. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata,

"Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"

Salah seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak,

"Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang sangat lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!"

Pemilik restoran itu bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk, "Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!"

"Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam! Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan akan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"

Si pemilik restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring, "Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!"

Tujuh orang itu tertawa. Mereka sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi.

"Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkaulah yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!"

Tidak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.

"Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu.

Selagi si pemilik restoran dibantu isteri serta dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, ketujuh orang itu ramai bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di ruangan yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher pada sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, dan ada pula yang duduk nongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya lalu memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.

"Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?" Salah seorang di antara mereka bertanya kepada si brewok.

Dia adalah orang yang termuda, usianya sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk.

Si brewok menghembuskan asap tembakaunya, kemudian mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.

"Phuah! Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam."

"Wah, sungguh menjemukan. Kita hanya mendapatkan perhiasan dan benda-benda mati! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar semacam itu!" Berkata seorang yang dahinya bercodet bekas goresan senjata tajam.

"Boan-te, mengapa engkau mengomel? Setelah kita selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu tak akan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!" kata seorang yang matanya juling.

Tidak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar dengan membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur.

Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata, "Ehh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"

Pemilik restoran tertawa bersama tujuh orang penunggang kuda itu, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk. "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekali, betul tidak, Paman Gendut?"

"Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!" Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu.

Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan. Si pemilik restoran serta dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya kemudian membuka semua pintu restoran.

Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan.

Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah.

Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan memiliki daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan. Bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu! Biar pun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, walau pun rambutnya yang hitam halus serta panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali.

Apa lagi pada saat mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah. Si juling menjadi makin juling, biji matanya berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu!

Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Biar pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan pada bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, akan tetapi bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung!

Wanita ini maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu.

Pemilik rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu. Hatinya tidak nyaman karena di samping wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak.

Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum, "Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik…"

"Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki itu lalu menyambung, "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!" Meski pun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat tubuh pemilik restoran itu menggigil.

"Akan tetapi... kami..."

"Brukkkkk!"

Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, segera membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan sebanyak tiga meja penuh!

"Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"

Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok.

"Baik… baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio."

Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main.

"Aduhhhh... bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar dapat terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.

"Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! Bukan main...!" kata seorang kawannya.

"Dan harumnya tercium dari sini.. apa lagi kalau lebih dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul birahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.

"Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" berkata si codet sambil mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi.

Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,

"Minum arak sendirian mana enak? Kami semua siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"

Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali dia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri.

"Ssttt, biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya. "Dia terlihat luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."

Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan enam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan, mengundi untuk menentukan siapa yang menang dan lebih dulu berhak mendapatkan wanita itu sesudah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama!

Walau pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka. Namun ia sama sekali tidak peduli dan memperlihatkan sikap mengacuhkan, bahkan ketika hidangan sudah datang dia lalu mulai makan dengan lahapnya.

Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, sekarang semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu bagaikan tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan semua hidangannya dan menenggak arak lagi.

"Tanpa dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam orang kawannya.

Tiba-tiba wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget sekali.

"Inikah yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburanlah potongan perak dan emas di atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek.

Tujuh orang itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang berserakan itu. Kiranya wanita itu telah mencopet kantung uang mereka dari atas kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini, kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka, diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja!

"Perempuan rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik molek, jika tidak engkau tentu akan kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami akan mempermainkan tubuhmu sampai engkau mampus!" si brewok membentak dan mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman.

Ada pun si pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

Tiba-tiba saja wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat ketujuh orang itu kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin.

"Kalian hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!”

Tangan kiri wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih dan kuning terbang berkelebatan dibarengi suara bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan!

"Aihhh...!"

"Hiaaattt...!"

"Hayaaa...!"

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan dan menyambar mereka demikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan membuang diri, cepat berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu baru dapat menghindarkan diri dari ancaman maut.

"Cet-cet-cettt...!" Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding restoran sampai lenyap tak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu berlubang-lubang!

Wanita itu masih duduk. Sambil menenggak arak dari cawannya, dia menaruhkan tangan kanan yang pundaknya terluka di atas meja. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala dan berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih tetap hidup. Karena itu biarlah kalian kumaafkan."

Melihat sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Pada saat mengelak tadi, kedua tangannya sempat menangkap dua potong perak yang menyambar, dan kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur! Ia membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil membentak,

"Perempuan sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau sudah!"

Wanita itu menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu berarti kalian minta mati sendiri."

"Perempuan sombong!" teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu.

Mereka adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apa lagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam Siauw-ong (Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi ‘datuk’ kaum hitam di daerah Fen-ho dan bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan penuh terhadap mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil pendapatan kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang tandingnya!

"Cuat! Cuat! Sing! Sing!"

Tampak sinar golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum, dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka!

Kesombongan yang melewati takaran ini tidak dapat mereka tahan lagi. Tadinya memang timbul gairah dan birahi mereka menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis serta bertubuh denok itu. Akan tetapi kini kemarahan mengalahkan birahi mereka dan nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah hendak mencincang hancur tubuh wanita itu!

"Hiaaaaattt…!"
Tujuh orang itu lantas menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat. Pedang dan golok menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak.

"Crok-crok-krak-krakkk!"

Kursi yang tadinya diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena wanita itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas dengan kecepatan yang mentakjubkan.

"Hi-hi-hik…!"

Mendengar suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah.

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget dan makin marah. Biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian yang hebat, mereka sama sekali tidak menjadi jeri, malah secara serentak tubuh mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu.

"Cep-cep-cep-ceppp!" Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit.

"Celaka..!" Si brewok berseru akan tetapi seruannya segera disusul jerit mengerikan dan tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor burung terbang.

Hanya seorang saja di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul, yaitu lelaki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat enam orang kawannya yang telah tewas, kemudian memandang pada wanita yang sekarang telah berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum.

"Perempuan siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan pedang ke arah tenggorokan wanita itu.

Namun sambil tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki tampan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang belum pernah dilihat selama hidupnya ini.

"Hi-hi-hik, tampan, apa kau kira engkau masih dapat hidup sampai saat ini kalau tadi aku menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu kawan yang baik dan mesra. Hemm, jika memang kau ingin mati, apa sulitnya bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan...

"Krakkk!" pedang itu patah!

Sebelum laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya. Akan tetapi tangan kiri yang berjari-jari kecil meruncing dan halus itu tidak memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik...

"Brettttt!" baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali!

Wanita itu membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita itu berseri, mulutnya yang manis bukan main itu tersenyum dan berkata lirih,

"Hemmm... engkau menggairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat lukaku, Tampan!"

Laki-laki yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku tidak bisa mengobati…"

"Hi-hi-hik, bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm…, mengusir kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah engkau tak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?" Berkata demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannya sendiri di bagian pundak kanan yang bernoda darah.

"Bretttttt!"

Robeklah pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh! Laki-laki tampan itu melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah!

"Hi-hi-hik! Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?"

Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka menemanimu."

Tangan itu menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, lekas kau pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat."

Laki-laki itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila laki-laki. Kalau sekarang dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal yang merugikan.

Maka dia lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya menjadi panas.

"Heh, babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih berdiri di luar pintu dengan wajah pucat.

Diam-diam dia tadi sudah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran, hati-hati sekali melangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di dalam restorannya.

"Toanio hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Malam ini aku sewa kamarmu, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air satu panci untuk mencuci lukaku. Cepat! Emas dan perak yang memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau mentaati, bila tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi perutmu!"

Dengan seluruh tubuh menggigil koki gendut ini mengangguk-angguk, kerongkongannya sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan jawaban.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi merah mukanya dan seperti diayun ke sorga ke tujuh.

"Tampan, lekas bawa aku ke kamar…," bisik wanita itu.

Setelah laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari keluar sambil menyeret isterinya, kacungnya serta beberapa orang tetangganya untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang kala matanya melirik ke arah kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu.

Dengan hati kebat-kebit pemilik restoran yang bertubuh gendut itu membawa air yang sudah mendidih ke dalam kamar.

"Ini airnya, Toanio…," katanya tanpa berani mengangkat muka.

"Letakkan di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar ini. Mengerti?'

Si gendut mengangkat muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang kini dipangku oleh wanita itu.

"Baik, Toanio." Ia bergegas keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia terheran-heran.

Bukan main, gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejamnya membunuh orang seperti membunuh ayam saja, dan dalam bercumbu, malah memangku seorang pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman!

Sering dia mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang suka menjelma menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu siluman ular dan darah serta sumsum laki-laki yang tampan itu tentu akan disedot habis! Mengerikan!

Besok pagi-pagi tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu telah menjadi mayat yang kering di atas pembaringan! Celaka! Siapa yang mau berbelanja di restorannya lagi? Dia bakal bangkrut! Akan tetapi... emas dan perak yang tertanam di dinding restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak isterinya pindah, pindah kota.

Kurang lebih satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran. Tampak lima orang lebih berkerumun di depan restoran dipimpin oleh seorang lelaki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya menjadi pembantu-pebantu utamanya.

Si gendut cepat-cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya. Harap Ong-ya suka bekuk siluman rase itu..."

Laki-laki itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk golongan hitam yang dianggap seperti ‘raja’ oleh kaum petualang dan penjahat. Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah, namun sebenarnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya.

Apa lagi ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatang kara dan tidak beristeri itu oleh pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala daerah yang baru berusia delapan belas tahun, lalu hidup mewah dan terhormat. Akan tetapi, sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah itu, Mo-kiam Siauw-ong yang menjamin kekuasaan sang mertua.

Bahkan karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, malah sang mertua juga ikut ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu, kedudukan kepala daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 40

Pedang Kayu Harum Jilid 40
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Nenek yang sudah marah itu meloncat dan menendang Yan Cu dan Cong San yang juga terlempar dalam keadaan saling berpelukan.

Sungguh sial empat orang muda itu. Baru saja mereka dihajar oleh Go-bi Thai-houw si nenek gila sampai babak bundas, kini dihajar lagi oleh Tung Sun Nio sampai dua kali terguling-guling dan kulit mereka bertambah lecet-lecet!

"Subo, pernikahan tidak dapat dipaksakan!" Keng Hong berseru. "Apa artinya perjodohan tanpa cinta kasih? Apakah Subo hendak mengulang lagi peristiwa antara Subo dengan mendiang Suhu?"

Nenek itu tiba-tiba berhenti dan tubuhnya seperti kaku mendengar seruan Keng Hong ini. Wajahnya menjadi semakin merah dan matanya laksana mengeluarkan api yang akan membakar empat orang muda itu. Bibirnya menggigil dan sukar sekali dia mengeluarkan kata-kata, kemudian dia menjerit,

"Apa...?!!" Tangannya meraba gagang pedang dan cahaya maut membayangi pandang matanya!

"Omitohud...! Tepat sekali ucapan orang muda ini. Sun Nio, mengapa engkau belum mau insyaf?" Tiba-tiba terdengar suara yang halus.

Nenek itu terpekik dan membalikkan tubuhnya. Sejenak ia berdiri terbelalak memandang hwesio tua yang berdiri di situ dengan wajah tenang dan sinar mata penuh kebijaksanaan. Nenek itu seolah-olah sudah berubah menjadi patung, menatap hwesio itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

"Suhu...!" Cong San yang masih memeluk Yan Cu melepaskan gadis itu dan menjatuhkan diri berlutut di tempatnya memberi hormat kepada hwesio yang bukan lain adalah gurunya sendiri, Tiong Pek Hosiang ketua Siauw-lim-pai!

Kalau Tung Sun Nio dapat tiba di puncak Tai-hang-san untuk mencari dan menyusul dua orang muridnya, adalah ketua Siauw-lim-pai ini yang merasa tidak tenteram hatinya ingin menghadiri pertemuan puncak menyusul murid-muridnya yang mewakilinya.

"Tiong-koko...!" Nenek itu akhirnya menjerit, lari menghampiri hwesio itu dan berlutut di depannya, merangkul kedua kakinya dan menangis terisak-isak. "Tiong-koko... Puluhan tahun aku mencarimu... Betapa kejam hatimu meninggalkan aku. Siapa sangka... Ketua Siauw-lim-pai adalah engkau... Hu-hu-huuuk... Kiranya engkau menjadi hwesio..."

"Omitohud...! Tenangkan hatimu, Sun Nio. Aku menjadi hwesio untuk menebus dosaku yang sangat besar terhadap mendiang suamimu, Sie Cun Hong Taihiap, sekaligus untuk melupakanmu."

Nenek itu menangis semakin mengguguk di depan kaki Tiong Pek Hosiang, sedangkan empat orang muda itu memandang dengan melongo. Kembali mereka disuguhi peristiwa yang aneh dan tidak terduga-duga.

"Kalian dengarlah penuturan pinceng, orang-orang muda, agar kelak dapat kalian jadikan contoh. Memang tadi pinceng kagum mendengar bantahan orang muda murid Sin-jiu Kiam-ong dan memang begitulah, jodoh yang dipaksakan tanpa cinta kasih hanya akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Contohnya adalah Tung Sun Nio ini sendiri. Tanpa cinta kasih dijodohkan orang tuanya dengan Sie Cun Hong, padahal dia mencinta Ouw-yang Tiong, yaitu pinceng sendiri! Jika saja Sie Cun Hong dapat bersikap bijaksana di dalam hubungan suami isteri, agaknya perlahan-lahan Sun Nio akan dapat melupakan pinceng. Akan tetapi sayang, Sie Cun Hong mempunyai watak romantis, suka berenang di dalam lautan nafsu sehingga Sun Nio menderita batin dan hatinya semakin condong terhadap pinceng! Malapetaka menimpa ketika pinceng yang memang sejak dahulu bersahabat dengan Sie-taihiap, mengunjungi mereka. Cinta kasih lama kambuh, getaran perasaan meluap sehingga Sun Nio dan pinceng lupa diri, menjadi hamba nafsu melakukan pelanggaran!" Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Menyesal pun sudah kasep, pinceng melarikan diri dan tekun menjadi hwesio di Siauw-lim-si sehingga akhirnya bisa terangkat menjadi ketua. Sungguh menyesal sekali bahwa rumah tangga Sie-taihiap menjadi berantakan, Sie-taihiap makin menggila dan Sun Nio.. Ahhh…, sungguh kasihan dia...!"

"Tiong-koko.. hu-huuuuukkkk...!" Nenek itu menangis tersedu-sedu dan hati empat orang muda yang mendengarkan penuturan ini menjadi terharu sekali.

Bahkan Biauw Eng dan Yan Cu tidak dapat menahan mengalirnya air matanya. Yan Cu terisak lantas menubruk subo-nya, menangis berpelukan dengan gurunya yang bernasib malang menjadi korban cinta kasih.

"Begitulah, anak-anak. Cinta adalah perasaan yang suci dan gaib, kekuasaannya besar sekali mempengaruhi kehidupan manusia. Cinta yang murni memerlukan kesadaran dan kebijaksaan sebab mempunyai cabang-cabang yang dapat membingungkan manusia dan kalau tidak hati-hati dapat dikotori oleh nafsu birahi semata sehingga menyeret manusia menjadi hamba nafsu. Cinta bukan hanya meminta, melainkan lebih banyak memberi, tak hanya menuntut disenangkan, akan tetapi terutama sekali harus menyenangkan orang dicintanya. Cinta suci telah diberikan oleh Thian kepada manusia, tengoklah sekelilingmu, sedemikian besar dan suci cinta kasih dari Thian Yang Maha Kasih, menciptakan alam dan memberikan seluruhnya kepada manusia tanpa menuntut sesuatu! Ingatlah akan cinta orang tua terhadap terhadap anaknya, terutama cinta seorang ibu kepada anaknya, hanya memberi, memberi dan memberi! Kalau saja cinta antara pria dan wanita, yang dibahayakan oleh nafsu yang menjadi cabangnya, bisa mencontoh cinta kasih murni itu, memberi, menyenangkan, pinceng kira cinta kasih itu akan menjadi sumber kebahagiaan suami isteri."

Yan Cu memandang kepada hwesio itu dengan terharu dan wajah berseri. Kini dia telah mendapatkan cinta yang dicari-carinya, dalam diri Cong San!

"Sun Nio. Engkau sudah banyak menderita karena cinta. Apakah engkau sekarang ingin melihat muridmu menderita pula seperti engkau karena cinta? Muridmu mencinta muridku Cong San. Nah, sekarang pinceng mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan pinangan atas diri muridmu yang menjadi jodoh muridku. Bukankah ini pemecahan yang amat baik, Sun Nio? Sewaktu kita berdua sudah berada di ambang pintu kematian, sudah sama-sama tua, dan kita masih dapat melanjutkan ikatan di antara kita, menjadi besan! Muridmu menjadi isteri muridku, bukankah hal ini amat membahagiakan?"

Nenek itu menyusut air matanya, lalu perlahan bangkit berdiri, masih merangkul Yan Cu. Dia menganggung-angguk, lalu dengan suara serak bertanya, "Yan Cu, engkau kusayang seperti anakku sendiri. Benarkah engkau mencinta Cong San?"

"Benar, Subo."

"Baiklah, Tiong-koko... Eh, bukankah sekarang namamu adalah Tiong Pek Hosiang? Aku menerima pinanganmu, akan tetapi pernikahan harus dirayakan di tempatku."

Tiba-tiba Keng Hong yang masih berlutut ikut bicara, "Subo, teecu sudah tidak memiliki orang tua, tidak mempunyai wali. Subo sebagai isteri mendiang Suhu merupakan orang satu-satunya yang dapat teecu anggap sebagai wali. Sudikah Subo memberi ijin kepada teecu untuk berjodoh dengan Sie Biauw Eng?"

Biauw Eng yang cerdik cepat pula berkata, "Locianpwe adalah isteri pertama dari ayahku, maka Locianpwe juga merupakan ibu tiriku, maka aku mohon doa restu Locianpwe."

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Tiong Pek Hosiang tertawa. "Omitohud...!" Betapa besar berkah yang dilimpahkan oleh Thian kepada kita semua! Sun Nio, tidak dapatkah kau melihat betapa membahagiakan peristiwa ini? Cia Keng Hong adalah murid Sie Cun Hong, Sie Biauw Eng adalah puterinya dan anak tirimu. Gui Yan Cu adalah muridmu, dan Yap Cong San adalah murid pinceng. Dahulu, cinta segi tiga antara kita orang-orang tua menimbulkan derita, kini keturunan kita mengakhiri derita itu dengan penggabungan kembali keturunan kita bertiga, menjadi satu! Terima kasih kepada Thian yang sudah memberi kebahagiaan ini kepada kita!"

Tung Sun Nio tersenyum dan sinar terang membuat wajahnya yang dahulu selalu muram itu menjadi berseri. Ia mengangguk-angguk memandang Biauw Eng, bulu matanya basah dan air matanya mengalir turun ketika Biauw Eng bangkit kemudian memelukya sambil menangis.

"Kita rayakan bersama! Bagus sekali, dua pasang pengantin kita rayakan pernikahannya secara besar-besaran!" kata Tiong Pek Hosiang. "Akan pinceng undang semua sahabat kang-ouw! Bukan pernikahan kecil-kecilan karena yang menikah adalah puteri Sie Cun Hong, murid Tung Sun Nio, dan murid Ouwyang Tiong. Ha-ha-ha-ha-ha! Marilah, Sun Nio, dan kalian anak-anak yang baik, mari kita turun dari puncak ini."

Maka turunlah dua pasang orang muda bersama sepasang kakek nenek itu dari puncak Tai-hang-san, meninggalkan gundukan-gundukan tanah yang dalam kebisuan mengajar manusia bahwa segala keributan yang dibuat manusia di dunia pada waktu masih hidup, sebenarnya hanya keributan kosong belaka karena kesemuanya itu akan berakhir dengan tiada dan sunyi tanpa bekas!

Bahwa segala macam kesenangan, kedukaan dan permainan perasaan yang menguasai manusia sewaktu hidup, hanya seperti angin lalu yang mempermainkan daun-daun dan bunga-bunga pohon tanpa ada hentinya sampai berakhir dengan gugur serta rontoknya daun-daun dan bunga-bunga itu dari tangkainya.

Keng Hong bergandeng tangan dengan Biauw Eng, dan Cong San bergandeng tangan dengan Yan Cu. Dua pasang orang muda ini berjalan di lereng gunung Tai-hang-san, di belakang nenek dan kakek itu. Mereka tersenyum-senyum, kadang kala saling pandang dengan sinar mata berseri-seri penuh kebahagian hidup. Mereka bergembira!

Memang, hasrat hati yang tercapai akan menimbulkan kegembiraan, bukan kebahagian. Kebahagian sejati tidak dapat dicapai dengan jangkauan, hanya kesenangan yang dapat dicari dan didapatkan. Kebahagiaan sejati sudah ada dalam diri setiap orang manusia. tenggelam di dasar telaga hati, tergantung pada tali kesadaran. Kalau air telaga menjadi keruh karena getaran gelombang nafsu, maka takkan tampaklah dia. Hanya hati yang hening jernih saja yang akan membuat dia tampak melalui kesadaran.

********************

Kota kecil Sun-ke-bun terletak di pinggiran Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan, turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut putih yang hangat.

Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dengan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di pihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah menjadi kaisar, Yung Lo memindahkan pusat pemerintahan ke Peking yang dijadikan ibu kota.

Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajimnya terjadi di dunia ini, bila kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullah kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun serta di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, dicekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, bebas melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Malah para pembesar setempat yang keadaan dan kedudukannya masih belum tentu berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-orang golongan hitam.

Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu masih dapat menyesuaikan diri sehingga keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di kota itu tidak terdapat penindasan dan kekacauan.

Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa sangat dingin, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah.

Akan tetapi, samar-samar sesosok bayangan orang yang hampir tidak nampak karena ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari gerbang timur. Dia berjalan terseok-seok, terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang yang kehabisan tenaga, kadang kala berhenti dan sejenak menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentulah dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit.

Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Tampak serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau di punggung. Sikap mereka kasar dan kini mereka menjalankan kuda perlahan-lahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.

"Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"

"Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka masih akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"

"Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!"

"Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"

"Bagaimana kalau dia belum membeli daging?"

"Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"

Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan rumah makan ‘Arak Merah’ yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan ‘Arak Merah’.

"Duk-duk-brukkk!”
“Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"

Tak lama kemudian dari dalam terdengar suara bakiak tersaruk-saruk lalu terdengar suara orang tergesa-gesa, "Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!"

Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang lelaki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali. Pakaiannya masih tak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga tampak daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"

"Tentu tebal gajihnya!"

"Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apa lagi kalau dipanggang setengah matang!"

"Akan tetapi harus ditambah banyak jahe dan merica, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!"

"Buntutnya untuk aku saja..."

"Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya, ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu sudah terbiasa dengan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makanan dan minuman. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata,

"Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"

Salah seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak,

"Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang sangat lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!"

Pemilik restoran itu bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk, "Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!"

"Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam! Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan akan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"

Si pemilik restoran yang gendut itu berlari anjing ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring, "Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!"

Tujuh orang itu tertawa. Mereka sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi.

"Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkaulah yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!"

Tidak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.

"Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu.

Selagi si pemilik restoran dibantu isteri serta dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, ketujuh orang itu ramai bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di ruangan yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher pada sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, dan ada pula yang duduk nongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya lalu memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.

"Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?" Salah seorang di antara mereka bertanya kepada si brewok.

Dia adalah orang yang termuda, usianya sekitar tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk.

Si brewok menghembuskan asap tembakaunya, kemudian mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.

"Phuah! Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam."

"Wah, sungguh menjemukan. Kita hanya mendapatkan perhiasan dan benda-benda mati! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar semacam itu!" Berkata seorang yang dahinya bercodet bekas goresan senjata tajam.

"Boan-te, mengapa engkau mengomel? Setelah kita selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu tak akan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!" kata seorang yang matanya juling.

Tidak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar dengan membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur.

Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata, "Ehh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"

Pemilik restoran tertawa bersama tujuh orang penunggang kuda itu, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk. "Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekali, betul tidak, Paman Gendut?"

"Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!" Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu.

Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan. Si pemilik restoran serta dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya kemudian membuka semua pintu restoran.

Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan.

Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah.

Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan memiliki daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan. Bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu! Biar pun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, walau pun rambutnya yang hitam halus serta panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali.

Apa lagi pada saat mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah. Si juling menjadi makin juling, biji matanya berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu!

Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Biar pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan pada bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, akan tetapi bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung!

Wanita ini maklum akan pandang mata ketujuh orang laki-laki kasar itu, namun dia tidak peduli dan langsung berjalan dengan langkah perlahan ke arah meja di ujung kiri, hanya empat meter jauhnya dari meja kumpulan penunggang kuda itu.

Pemilik rumah makan mengikutinya dengan pandang mata meragu. Hatinya tidak nyaman karena di samping wanita yang terluka ini kelihatannya sakit dan lemah serta belum tentu mempunyai uang, juga dari pandang mata ketujuh orang laki-laki itu dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal yang membuatnya tidak enak.

Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum, "Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik…"

"Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki itu lalu menyambung, "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!" Meski pun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat tubuh pemilik restoran itu menggigil.

"Akan tetapi... kami..."

"Brukkkkk!"

Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, segera membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan sebanyak tiga meja penuh!

"Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"

Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok.

"Baik… baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio."

Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main.

"Aduhhhh... bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar dapat terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.

"Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! Bukan main...!" kata seorang kawannya.

"Dan harumnya tercium dari sini.. apa lagi kalau lebih dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul birahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.

"Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" berkata si codet sambil mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi.

Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,

"Minum arak sendirian mana enak? Kami semua siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"

Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali dia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri.

"Ssttt, biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya. "Dia terlihat luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."

Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan enam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan, mengundi untuk menentukan siapa yang menang dan lebih dulu berhak mendapatkan wanita itu sesudah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama!

Walau pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka. Namun ia sama sekali tidak peduli dan memperlihatkan sikap mengacuhkan, bahkan ketika hidangan sudah datang dia lalu mulai makan dengan lahapnya.

Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, sekarang semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu bagaikan tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan semua hidangannya dan menenggak arak lagi.

"Tanpa dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam orang kawannya.

Tiba-tiba wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget sekali.

"Inikah yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburanlah potongan perak dan emas di atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek.

Tujuh orang itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang berserakan itu. Kiranya wanita itu telah mencopet kantung uang mereka dari atas kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini, kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka, diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja!

"Perempuan rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik molek, jika tidak engkau tentu akan kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami akan mempermainkan tubuhmu sampai engkau mampus!" si brewok membentak dan mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman.

Ada pun si pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

Tiba-tiba saja wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat ketujuh orang itu kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin.

"Kalian hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!”

Tangan kiri wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih dan kuning terbang berkelebatan dibarengi suara bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan!

"Aihhh...!"

"Hiaaattt...!"

"Hayaaa...!"

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan dan menyambar mereka demikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan membuang diri, cepat berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu baru dapat menghindarkan diri dari ancaman maut.

"Cet-cet-cettt...!" Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding restoran sampai lenyap tak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu berlubang-lubang!

Wanita itu masih duduk. Sambil menenggak arak dari cawannya, dia menaruhkan tangan kanan yang pundaknya terluka di atas meja. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala dan berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih tetap hidup. Karena itu biarlah kalian kumaafkan."

Melihat sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Pada saat mengelak tadi, kedua tangannya sempat menangkap dua potong perak yang menyambar, dan kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur! Ia membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil membentak,

"Perempuan sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau sudah!"

Wanita itu menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu berarti kalian minta mati sendiri."

"Perempuan sombong!" teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu.

Mereka adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apa lagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam Siauw-ong (Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi ‘datuk’ kaum hitam di daerah Fen-ho dan bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan penuh terhadap mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil pendapatan kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang tandingnya!

"Cuat! Cuat! Sing! Sing!"

Tampak sinar golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum, dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka!

Kesombongan yang melewati takaran ini tidak dapat mereka tahan lagi. Tadinya memang timbul gairah dan birahi mereka menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis serta bertubuh denok itu. Akan tetapi kini kemarahan mengalahkan birahi mereka dan nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah hendak mencincang hancur tubuh wanita itu!

"Hiaaaaattt…!"
Tujuh orang itu lantas menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat. Pedang dan golok menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak.

"Crok-crok-krak-krakkk!"

Kursi yang tadinya diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena wanita itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas dengan kecepatan yang mentakjubkan.

"Hi-hi-hik…!"

Mendengar suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah.

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget dan makin marah. Biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian yang hebat, mereka sama sekali tidak menjadi jeri, malah secara serentak tubuh mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu.

"Cep-cep-cep-ceppp!" Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit.

"Celaka..!" Si brewok berseru akan tetapi seruannya segera disusul jerit mengerikan dan tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor burung terbang.

Hanya seorang saja di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul, yaitu lelaki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat enam orang kawannya yang telah tewas, kemudian memandang pada wanita yang sekarang telah berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum.

"Perempuan siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan pedang ke arah tenggorokan wanita itu.

Namun sambil tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki tampan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang belum pernah dilihat selama hidupnya ini.

"Hi-hi-hik, tampan, apa kau kira engkau masih dapat hidup sampai saat ini kalau tadi aku menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu kawan yang baik dan mesra. Hemm, jika memang kau ingin mati, apa sulitnya bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan...

"Krakkk!" pedang itu patah!

Sebelum laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya. Akan tetapi tangan kiri yang berjari-jari kecil meruncing dan halus itu tidak memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik...

"Brettttt!" baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali!

Wanita itu membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita itu berseri, mulutnya yang manis bukan main itu tersenyum dan berkata lirih,

"Hemmm... engkau menggairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat lukaku, Tampan!"

Laki-laki yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku tidak bisa mengobati…"

"Hi-hi-hik, bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm…, mengusir kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah engkau tak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?" Berkata demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannya sendiri di bagian pundak kanan yang bernoda darah.

"Bretttttt!"

Robeklah pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh! Laki-laki tampan itu melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah!

"Hi-hi-hik! Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?"

Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka menemanimu."

Tangan itu menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, lekas kau pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat."

Laki-laki itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila laki-laki. Kalau sekarang dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal yang merugikan.

Maka dia lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya menjadi panas.

"Heh, babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih berdiri di luar pintu dengan wajah pucat.

Diam-diam dia tadi sudah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran, hati-hati sekali melangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di dalam restorannya.

"Toanio hendak memerintah apakah?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Malam ini aku sewa kamarmu, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air satu panci untuk mencuci lukaku. Cepat! Emas dan perak yang memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau mentaati, bila tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi perutmu!"

Dengan seluruh tubuh menggigil koki gendut ini mengangguk-angguk, kerongkongannya sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan jawaban.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi merah mukanya dan seperti diayun ke sorga ke tujuh.

"Tampan, lekas bawa aku ke kamar…," bisik wanita itu.

Setelah laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari keluar sambil menyeret isterinya, kacungnya serta beberapa orang tetangganya untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang kala matanya melirik ke arah kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu.

Dengan hati kebat-kebit pemilik restoran yang bertubuh gendut itu membawa air yang sudah mendidih ke dalam kamar.

"Ini airnya, Toanio…," katanya tanpa berani mengangkat muka.

"Letakkan di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar ini. Mengerti?'

Si gendut mengangkat muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang kini dipangku oleh wanita itu.

"Baik, Toanio." Ia bergegas keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia terheran-heran.

Bukan main, gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejamnya membunuh orang seperti membunuh ayam saja, dan dalam bercumbu, malah memangku seorang pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman!

Sering dia mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang suka menjelma menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu siluman ular dan darah serta sumsum laki-laki yang tampan itu tentu akan disedot habis! Mengerikan!

Besok pagi-pagi tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu telah menjadi mayat yang kering di atas pembaringan! Celaka! Siapa yang mau berbelanja di restorannya lagi? Dia bakal bangkrut! Akan tetapi... emas dan perak yang tertanam di dinding restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak isterinya pindah, pindah kota.

Kurang lebih satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran. Tampak lima orang lebih berkerumun di depan restoran dipimpin oleh seorang lelaki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya menjadi pembantu-pebantu utamanya.

Si gendut cepat-cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya. Harap Ong-ya suka bekuk siluman rase itu..."

Laki-laki itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk golongan hitam yang dianggap seperti ‘raja’ oleh kaum petualang dan penjahat. Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah, namun sebenarnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya.

Apa lagi ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatang kara dan tidak beristeri itu oleh pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala daerah yang baru berusia delapan belas tahun, lalu hidup mewah dan terhormat. Akan tetapi, sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah itu, Mo-kiam Siauw-ong yang menjamin kekuasaan sang mertua.

Bahkan karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, malah sang mertua juga ikut ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai menantu, kedudukan kepala daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu.
Selanjutnya,