Pedang Kayu Harum Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.

"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," Biauw Eng berkata dengan suara tenang.

"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

Hening sejenak di tempat gelap pekat itu, kemudian baru terdengar suara lirih Biauw Eng, "Sesudah mendengar penuturan Cui Im, barulah aku sadar betapa engkau sangat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..." Dia menahan ucapannya karena seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang turut mendengarkan percakapan mereka.

Maka Biauw Eng diam saja tanpa bicara lagi dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang di dalam gelap itu mencengkeram tangannya, dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.

Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik, "Aku juga sependapat dengan Keng Hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekali pun, asal bersama engkau."

"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" bisik Yan Cu akan tetapi dia tak melepaskan tangannya.

Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia sebab biar pun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu tidak akan menolak dirinya.

Yan Cu sendiri masih ragu-ragu dan masih mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya adalah pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, maka agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

Ada pun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang yang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing.

Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki, yaitu Sim Lai Sek. Di lain pihak, Keng Hong juga merasa menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

Demikianlah, dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia saja segala cita-cita mereka.

Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang dapat mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut.

Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap pada perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan.

Akan tetapi mulutnya tak pernah berhenti berbisik, "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka..."

Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang menolong memperkuat tekadnya, yang lalu menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!

Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dulu dibangun oleh seorang pertapa yang sekarang sudah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpul tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar.

Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan dengan mengalahkan keponakannya sendiri melalui suatu perang saudara antara bangsa sendiri. Setelah naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, kemudian memindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara pun terhenti.

Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini juga mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada pula yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah.

Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apa lagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang secara diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan. Biar pun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat.

Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar itu kini mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, sudah banyak tokoh kang-ouw yang hadir, tak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil dari partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar supaya mau berhati-hati dan tidak menggunakan tenaga tokoh-tokoh sesat.

Di dalam pertemuan ini, hadir utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai, dua orang kakek yang terkenal pula sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam.

Ada pun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang dahulu telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian Cu, Kok Liong Cu, Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka, Kok Cin Cu sudah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng.

Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, ada pun dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang semuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa.

Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dengan keponakannya, banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk bermusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan.

Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo sudah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka bila ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat.

Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai, maka sebagai ketua partai yang besar dan terhormat, apa lagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.

Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa.

Dia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Sekarang jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya.

Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,

"Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"

Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tidak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.

"Lekas tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan teman-temannya..."

"Mereka siapa, Nona?" tanya Kiang Tojin dengan sikap tenang sesudah jarinya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.

"Cia Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong. Masih banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat..."

Mereka semua kaget bukan main mendengar keterangan ini, tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya dia tahan-tahan dalam hatinya, Hun Bwee menjadi lemas.

Kiang Tojin amat terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.

"Di mana mereka? Di mana ditawannya?" Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat.

Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali, "...benteng... benteng..." kemudian ia menghembuskan napas terakhir!

"Ahhh... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!" kata Kiang Tojin kaget.

Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.

"Awas senjata rahasia...!" Kiang Tojin berseru.

Semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar. Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua akan mampu melindungi diri. Pada waktu anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai.

Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok!

Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, akan tetapi dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,

"Nona Bhe Cui Im, sudah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"

Cui Im tertawa kemudian menunjuk kepada Thian Kek Hwesio. "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."

"Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!" Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.

"Plakk! Plakk!"
Dua kali Cui Im menangkis dengan lengannya hingga hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur.

Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya supaya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya, "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."

"Kiang Tojin, engkau bertanya apa maksud kedatanganku? Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini? Bukankah untuk menentang kami? Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami dengan kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian sudah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya, karena itu dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"

"Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?" Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka berbicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.

"Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan jiwa kalian!"

Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama jauh lebih berharga dari pada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biar pun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian.

Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,

"Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, walau pun demikian, apa bila engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekali pun tentu saja engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh semacam engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh lainnya seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa pengeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?"

Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.

"Kiang Tojin, engkau manusia sombong!" Pak-san Kwi-ong menggereng marah. "Biar pun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu? Meski pun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dulu aku tidak pernah merasa takut, apa lagi hanya terhadap engkau!"

Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya, yaitu sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu bergerak-gerak bagaikan hidup dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar suara gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggota rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan.

Akan tetapi masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila sambil memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikang-nya yang amat kuat!

"Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak," kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu. "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kalian, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur sesudah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu? Dengarlah jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan semua perbuatannya yang jahat dan kotor untuk membuat kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"

Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang walau pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan memanasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.

"Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami apa bila tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja pihak yang nanti dinyatakan kalah harus tunduk akan perintah pihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"

Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau pihaknya kalah sekali pun, para orang gagah ini tentu akan memilih mati dari pada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng dari pada kegagahan dan kebenaran.

"Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!"

Diam-diam Kiang Tojin mulai memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, dua orang muda itu telah ditawan!

Sejak tadi Cui Im melihat mayat Hun Bwee, dan dia merasa tidak senang, akan tetapi karena dia melihat di sana tidak terdapat Go-bi Thai-houw, dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur dan tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan dia tidak mempedulikan.

"Kiranya tak perlu mengajukan jago-jago yang tidak mempunyai kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari pihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"

Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, maka dia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali harus menerima tantangan itu.

"Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek! Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."

Cui Im tersenyum lebar, "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa pihak yang terakhir mengajukan jagonya akan dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi kali ini, biar engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia saja, hi-hi-hik! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"

Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia lalu menenangkan hatinya dan menjawab, "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andai kata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang dan kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari pihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti yang telah kau tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian Thian Ti Hwesio, ada pun Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"

Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Walau pun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!

"Hi-hi-hik-hik!" Cui Im terkekeh mengejek. "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang supaya dapat menikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"

"Pinto yang akan maju lebih dulu," kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya. "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran," kemudian dia berkata ke Kok Sian Cu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara."

Sesudah melihat dua orang jagonya mundur dan Kok Sian Cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang sekali.

"Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!" Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah membunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka ia hendak menandinginya sendiri.

Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai. Bila dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir pihaknya akan kalah. Ada pun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.

"Sian-ong dan Kwi-ong, siapakah di antara kalian berdua yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"

Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak, "Siapa sih yang takut? Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!" Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan.

Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtim-nya mengusir hawa panas. Tentu saja ia memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.

Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu sangat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Walau pun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan menggerakkan sepasang senjata tengkorak itu dan pihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu.

Akan tetapi dengan lincahnya Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai pada tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengarlah suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar.

Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuk menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan menerbitkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti serigala, tapi mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan.

Gulungan cahaya yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat amat tinggi. Hanya dengan sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja sudah dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!

Terjadilah sebuah pertandingan yang luar biasa seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama mempunyai banyak pengalaman dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi pada masa itu. Akan tetapi sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya.

Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukanlah tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam setiap jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga sesudah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin mulai terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Pihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang kurang tinggi tingkatnya tentu saja tidak mampu mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuk mereka sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang.

Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang segera mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.

Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seakan-akan mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang Tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering hingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kenal!

Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, ia pun menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut tetapi sangat mirip, dan kalau Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh? Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru? Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung semakin nyaring dan sekarang mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.

Sesungguhnya Kiang Tojin sama sekali tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab yang dulu dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan!

Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Jika dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan.

Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang dari pada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apa lagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga ‘gengsi’ perkumpulannya!

Sesudah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya seakan kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan mulailah dia yang sebaliknya mendesak lagi.

Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu rahasianya belum dikenal orang. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi sebuah pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.

"Robohlah!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak pada tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, lantas mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawannya. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin langsung membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang sedang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.

"Cringgggg…!"

Terdengarlah suara keras di antara bunga api yang berhamburan sehingga menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, namun pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali.

Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dan tubuh Kiang Tojin terhuyung-huyung. Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.

Tengkorak itu berputar-putar, kemudian menukik dan menyerang Kiang Tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun. Maka, terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak, sebab apa bila dia melepaskan senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.

"Bukkk!"

"Dessssss…!"
Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirimkan pukulan sinkang ke arah dada lawan tepat ketika dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil.

Tubuh Kiang Tojin terlempar ke belakang laksana sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni.

Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental sudah terlepas dari libatan, dan kalau Kiang Tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong juga memegang rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan pada pundaknya.

Kok Sian Cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang Tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu. Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung, maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun.

Sambil menahan kemarahan Kok Sian Cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata, "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu mengenai hasil pertandingan pertama ini?"

Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, namun dia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka dia lalu berkata sambil tertawa,

"Kalau aku mengakui bahwa pihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang karena kedua pihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"

Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba saja berkelebat dua sosok bayangan seperti dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!

"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.

Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apa lagi ketika tidak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu mereka telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?

Memang sebenarnya demikianlah. Tanpa pertolongan dari luar, biar pun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu. Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!

Telah terjadi perang besar di dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sute-nya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun Bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sute-nya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih.

Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sute-nya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sute-nya supaya mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia sudah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sute-nya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin paling hebat saat menyaksikan sute-nya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.

Begitulah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat-cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang sudah dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu ke bawah.

Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka pada waktu melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.

"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hati Sian Ti Totiang untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula."

Pemuda ini kemudian cepat menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi sesudah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya semenjak dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,

"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"

Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia lalu menjenguk ke dalam sumur dan berkata, "Naiklah semua!"

Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,

"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."

Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.

"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"

Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, serta sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.

Pada saat dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian Ti Sengjin memegang kedua pundaknya kemudian berkata, "Tidak usah berterima kasih karena kalian sudah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang cepatlah kalian mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi para orang gagah yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!" Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang sudah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.

Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia cepat menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka lalu menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka.

Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Sekarang dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.

Kiang Tojin yang sedang bersemedhi untuk memulihkan tenaga serta mengobati lukanya, membuka mata, kemudian tersenyum lemah. "Thian selalu berpihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di pihak kami sudah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jago-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"

"He-heh-heh, apakah begini sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Janjinya tak dapat dipegang! Bukankah tadi kau telah mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.

"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau berbicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Apa bila engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecurangan yang sudah kau lakukan!"

"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah bersiap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.

Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa, lalu dia berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, namun manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan disangka bahwa aku jeri menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."

Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai karena menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"

Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai... siancai!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.

Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia pun cepat benyanyi,

Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda
di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Dengan tanah liat membuat mangkok bundar
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Membobol pintu jendela pada sebuah rumah
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Yang ada hanya sebagai pegangan
Yang kosong itulah yang berguna!


Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat di dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.

Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, oleh karena itu sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.

Sambil tersenyum Keng Hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan segera dua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biar pun mengenal nyanyian itu akan tetapi tidak tahu kenapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu. Cepat dia telah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 38

Pedang Kayu Harum Jilid 38
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.

"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," Biauw Eng berkata dengan suara tenang.

"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."

Hening sejenak di tempat gelap pekat itu, kemudian baru terdengar suara lirih Biauw Eng, "Sesudah mendengar penuturan Cui Im, barulah aku sadar betapa engkau sangat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..." Dia menahan ucapannya karena seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang turut mendengarkan percakapan mereka.

Maka Biauw Eng diam saja tanpa bicara lagi dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang di dalam gelap itu mencengkeram tangannya, dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.

Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik, "Aku juga sependapat dengan Keng Hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekali pun, asal bersama engkau."

"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" bisik Yan Cu akan tetapi dia tak melepaskan tangannya.

Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia sebab biar pun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itu tidak akan menolak dirinya.

Yan Cu sendiri masih ragu-ragu dan masih mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya adalah pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, maka agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.

Ada pun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang yang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing.

Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki, yaitu Sim Lai Sek. Di lain pihak, Keng Hong juga merasa menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!

Demikianlah, dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia saja segala cita-cita mereka.

Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang dapat mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut.

Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap pada perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan.

Akan tetapi mulutnya tak pernah berhenti berbisik, "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka..."

Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang menolong memperkuat tekadnya, yang lalu menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!

Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dulu dibangun oleh seorang pertapa yang sekarang sudah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpul tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar.

Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan dengan mengalahkan keponakannya sendiri melalui suatu perang saudara antara bangsa sendiri. Setelah naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, kemudian memindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara pun terhenti.

Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini juga mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada pula yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah.

Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apa lagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang secara diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan. Biar pun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat.

Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar itu kini mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, sudah banyak tokoh kang-ouw yang hadir, tak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil dari partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar supaya mau berhati-hati dan tidak menggunakan tenaga tokoh-tokoh sesat.

Di dalam pertemuan ini, hadir utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai, dua orang kakek yang terkenal pula sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam.

Ada pun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang dahulu telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian Cu, Kok Liong Cu, Kok Kim Cu dan Kok Seng Cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka, Kok Cin Cu sudah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng.

Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, ada pun dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang semuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa.

Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dengan keponakannya, banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk bermusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan.

Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo sudah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka bila ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat.

Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai, maka sebagai ketua partai yang besar dan terhormat, apa lagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini mempunyai tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.

Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa.

Dia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Sekarang jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya.

Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,

"Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"

Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tidak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.

"Lekas tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan teman-temannya..."

"Mereka siapa, Nona?" tanya Kiang Tojin dengan sikap tenang sesudah jarinya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.

"Cia Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong. Masih banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat..."

Mereka semua kaget bukan main mendengar keterangan ini, tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya dia tahan-tahan dalam hatinya, Hun Bwee menjadi lemas.

Kiang Tojin amat terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.

"Di mana mereka? Di mana ditawannya?" Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat.

Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali, "...benteng... benteng..." kemudian ia menghembuskan napas terakhir!

"Ahhh... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!" kata Kiang Tojin kaget.

Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.

"Awas senjata rahasia...!" Kiang Tojin berseru.

Semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar. Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua akan mampu melindungi diri. Pada waktu anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai.

Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok!

Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, akan tetapi dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,

"Nona Bhe Cui Im, sudah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"

Cui Im tertawa kemudian menunjuk kepada Thian Kek Hwesio. "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."

"Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!" Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.

"Plakk! Plakk!"
Dua kali Cui Im menangkis dengan lengannya hingga hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur.

Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya supaya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya, "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."

"Kiang Tojin, engkau bertanya apa maksud kedatanganku? Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini? Bukankah untuk menentang kami? Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami dengan kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian sudah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya, karena itu dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"

"Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?" Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka berbicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.

"Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan jiwa kalian!"

Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama jauh lebih berharga dari pada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biar pun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian.

Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,

"Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, walau pun demikian, apa bila engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekali pun tentu saja engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh semacam engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh lainnya seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa pengeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?"

Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.

"Kiang Tojin, engkau manusia sombong!" Pak-san Kwi-ong menggereng marah. "Biar pun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu? Meski pun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dulu aku tidak pernah merasa takut, apa lagi hanya terhadap engkau!"

Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya, yaitu sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu bergerak-gerak bagaikan hidup dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar suara gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggota rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan.

Akan tetapi masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila sambil memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikang-nya yang amat kuat!

"Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak," kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu. "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kalian, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur sesudah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu? Dengarlah jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan semua perbuatannya yang jahat dan kotor untuk membuat kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan. Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"

Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang walau pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan memanasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.

"Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami apa bila tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja pihak yang nanti dinyatakan kalah harus tunduk akan perintah pihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"

Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau pihaknya kalah sekali pun, para orang gagah ini tentu akan memilih mati dari pada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng dari pada kegagahan dan kebenaran.

"Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!"

Diam-diam Kiang Tojin mulai memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, dua orang muda itu telah ditawan!

Sejak tadi Cui Im melihat mayat Hun Bwee, dan dia merasa tidak senang, akan tetapi karena dia melihat di sana tidak terdapat Go-bi Thai-houw, dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur dan tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan dia tidak mempedulikan.

"Kiranya tak perlu mengajukan jago-jago yang tidak mempunyai kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari pihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"

Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, maka dia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali harus menerima tantangan itu.

"Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek! Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."

Cui Im tersenyum lebar, "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa pihak yang terakhir mengajukan jagonya akan dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi kali ini, biar engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia saja, hi-hi-hik! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"

Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia lalu menenangkan hatinya dan menjawab, "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andai kata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang dan kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari pihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti yang telah kau tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian Thian Ti Hwesio, ada pun Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"

Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Walau pun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!

"Hi-hi-hik-hik!" Cui Im terkekeh mengejek. "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang supaya dapat menikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"

"Pinto yang akan maju lebih dulu," kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya. "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran," kemudian dia berkata ke Kok Sian Cu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara."

Sesudah melihat dua orang jagonya mundur dan Kok Sian Cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang sekali.

"Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!" Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah membunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka ia hendak menandinginya sendiri.

Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai. Bila dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir pihaknya akan kalah. Ada pun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.

"Sian-ong dan Kwi-ong, siapakah di antara kalian berdua yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"

Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak, "Siapa sih yang takut? Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!" Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan.

Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtim-nya mengusir hawa panas. Tentu saja ia memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.

Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu sangat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Walau pun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan menggerakkan sepasang senjata tengkorak itu dan pihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu.

Akan tetapi dengan lincahnya Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai pada tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengarlah suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar.

Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuk menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan menerbitkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti serigala, tapi mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan.

Gulungan cahaya yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat amat tinggi. Hanya dengan sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja sudah dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!

Terjadilah sebuah pertandingan yang luar biasa seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama mempunyai banyak pengalaman dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi pada masa itu. Akan tetapi sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya.

Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukanlah tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam setiap jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga sesudah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin mulai terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.

Pihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang kurang tinggi tingkatnya tentu saja tidak mampu mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuk mereka sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang.

Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang segera mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.

Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seakan-akan mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang Tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering hingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kenal!

Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, ia pun menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut tetapi sangat mirip, dan kalau Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh? Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru? Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung semakin nyaring dan sekarang mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.

Sesungguhnya Kiang Tojin sama sekali tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab yang dulu dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan!

Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Jika dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan.

Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang dari pada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apa lagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga ‘gengsi’ perkumpulannya!

Sesudah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya seakan kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan mulailah dia yang sebaliknya mendesak lagi.

Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu rahasianya belum dikenal orang. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi sebuah pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.

"Robohlah!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak pada tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin.

Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, lantas mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawannya. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin langsung membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang sedang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.

"Cringgggg…!"

Terdengarlah suara keras di antara bunga api yang berhamburan sehingga menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, namun pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali.

Tiba-tiba saja terdengar suara meledak dan tubuh Kiang Tojin terhuyung-huyung. Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.

Tengkorak itu berputar-putar, kemudian menukik dan menyerang Kiang Tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun. Maka, terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak, sebab apa bila dia melepaskan senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.

"Bukkk!"

"Dessssss…!"
Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirimkan pukulan sinkang ke arah dada lawan tepat ketika dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil.

Tubuh Kiang Tojin terlempar ke belakang laksana sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni.

Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental sudah terlepas dari libatan, dan kalau Kiang Tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong juga memegang rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan pada pundaknya.

Kok Sian Cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang Tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu. Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung, maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun.

Sambil menahan kemarahan Kok Sian Cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata, "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu mengenai hasil pertandingan pertama ini?"

Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan sudah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, namun dia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka dia lalu berkata sambil tertawa,

"Kalau aku mengakui bahwa pihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang karena kedua pihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"

Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba saja berkelebat dua sosok bayangan seperti dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!

"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.

Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apa lagi ketika tidak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini? Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu mereka telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini? Siapakah yang telah menolong mereka?

Memang sebenarnya demikianlah. Tanpa pertolongan dari luar, biar pun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu. Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!

Telah terjadi perang besar di dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sute-nya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun Bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sute-nya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih.

Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sute-nya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sute-nya supaya mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia sudah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sute-nya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin paling hebat saat menyaksikan sute-nya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.

Begitulah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat-cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang sudah dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu ke bawah.

Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka pada waktu melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.

"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hati Sian Ti Totiang untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula."

Pemuda ini kemudian cepat menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi sesudah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya semenjak dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,

"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"

Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia lalu menjenguk ke dalam sumur dan berkata, "Naiklah semua!"

Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,

"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."

Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.

"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"

Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, serta sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.

Pada saat dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian Ti Sengjin memegang kedua pundaknya kemudian berkata, "Tidak usah berterima kasih karena kalian sudah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang cepatlah kalian mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi para orang gagah yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!" Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang sudah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.

Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia cepat menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka lalu menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka.

Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Sekarang dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.

Kiang Tojin yang sedang bersemedhi untuk memulihkan tenaga serta mengobati lukanya, membuka mata, kemudian tersenyum lemah. "Thian selalu berpihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di pihak kami sudah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jago-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"

"He-heh-heh, apakah begini sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih? Janjinya tak dapat dipegang! Bukankah tadi kau telah mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago? Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.

"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau berbicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji? Berapa kali sudah engkau menipuku? Apa bila engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecurangan yang sudah kau lakukan!"

"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah bersiap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.

Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa, lalu dia berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, namun manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau? Jangan disangka bahwa aku jeri menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."

Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai karena menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"

Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai... siancai!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.

Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia pun cepat benyanyi,

Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda
di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Dengan tanah liat membuat mangkok bundar
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Membobol pintu jendela pada sebuah rumah
Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya!
Yang ada hanya sebagai pegangan
Yang kosong itulah yang berguna!


Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat di dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.

Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, oleh karena itu sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya.

Sambil tersenyum Keng Hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan segera dua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biar pun mengenal nyanyian itu akan tetapi tidak tahu kenapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu. Cepat dia telah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih.
Selanjutnya,