Pedang Kayu Harum Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SETELAH Yap Cong San pergi, Keng Hong segera membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan oleh Cui Im dari tempat persembunyian gurunya.

Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya ditaburi mutiara, yaitu benda pusaka dari Kong-thong-pai, sekumpulan benda-benda perhiasan yang dulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampas dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda kepunyaan pembesar yang dikawalnya, juga sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.

Selain benda-benda dan pusaka milik orang atau partai lain, di sana terdapat pula tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ditulis oleh pendekar sakti itu sendiri, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya, entah milik siapa.

Hemm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.

Pertama-tama ia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu.

Tiba-tiba saja, secepat kilat ia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu sudah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.

Sungguh pun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu sudah berada di situ dan berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!

Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tinggi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong serta Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.

Semenjak dulu mereka dikalahkan oleh Sin-jiu Kiam-ong, sudah puluhan tahun tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, karena mereka telah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa pihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!

Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar supaya kelak jika perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan karena tidak ada kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!

Tetapi, ketika tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka jadi kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu.

Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, maka ketiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu melawan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlampau tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak.

Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang Sancu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka pun mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa Sancu dan suheng-nya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.

Apa lagi pada waktu Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu. Mereka menjadi terheran-heran karena dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat, Cia Keng Hong.

Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali pergi meninggalkan Phu-niu-san, tiga orang kakek itu pun cepat-cepat menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang sudah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu.

Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan!

Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra mau pun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan!

Ada pun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo, seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!

Oleh karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Sekarang mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!

Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan biar pun dia tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini. Maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

"Ahhh, ternyata Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali dengan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!"

Sejenak ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu yang pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!"

"Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.

"Ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tak mau mengaku? Kami tadi sempat mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disimpan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"

Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, meski pun sudah setua mereka itu!

"Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?"

"Bocah lancang, tutup mulutmu!" Mendadak kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju. Dua matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kau sangka kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang milik orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, dan pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?"

Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa bila menghendaki barang, mereka mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!

"Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, tetapi hanya penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun yang lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."

"Nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"

Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."

"Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Sekarang kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.

"Benar, Locianpwe."

"Phuuuahhh! Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak.

Akan tetapi kakek jembel berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya... ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha-ha, persis sekali! Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi di dalam diri muridnya. Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai berbicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu, ditambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!"

"Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.

"Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe."

"Cia Keng Hong?! Ha-ha-ha-ha, pakai huruf Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditinggalkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentulah angin busuk…"

"Alias kentut!" Kakek jembel menyambung ucapan kakek sastrawan sambil tertawa-tawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong atau menipu, apa bedanya dengan kentut?"

Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berarti fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut dan curang serta berwatak hina!"

"Siancai…! Engkau memang membohong atau menipu apa bila mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau mau pun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!"

"Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan kemudian mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan yang dulu dilakukan oleh mendiang suhu terhadap mereka."

"Wah-wah-wah, tidak benar! Jika kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tak akan turun mencari dan mencekikmu? Dia susah payah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang puthauw (tak berbakti)!"

"Hemm, apa pendapat Locianpwe sebagai seorang sastrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan rasa penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw, yang lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat!

Seorang penjahat sekali pun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang puthauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan tidak akan dipercaya oleh siapa pun juga!

"Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengabdi terhadap negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya dari pada itu adalah puthauw!"

"Hanya sebegitu. Locianpwe? Alangkah dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat mengenai hidup dan segala lika-likunya sekali pun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biar pun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu takkan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru kuanggap bukan sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya tetapi perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Bila muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong punggung gurunya dari belakang sehingga si guru menjadi semakin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"

Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang..."

"Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri-seri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan namun makin gemar untuk mengadu ilmu! Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan disertai taruhan. Kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Sekarang kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"

"Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan."

"Itu tandanya engkau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang sudah menjadi gurumu! Jika betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biar pun kami pernah dikalahkan hingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat supaya di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya.

Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.

"Baiklah, jika Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu… apakah yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti…"

Berseri kembali wajah si kakek jembel. "Bagus... bagus...! Nah, begitu baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!"

"Hemmm… ternyata pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Dari pada harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?"

"Wah, alangkah sombongnya monyet cilik ini!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng Hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"

Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tak butuh harta benda, dan kami pun tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"

Keng Hong baru sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus mengalahkan Sam-lo-mo ini, maka dia menjawab,

"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang namanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia apa bila tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi mengeroyok seorang hijau seperti saya?"

Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Apa kau kira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"

Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Walau pun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, akan tetapi kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar sangat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di atas sapu tangan yang dia bentangkan di atas tanah.

"Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan salah seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan pada Sam-wi hingga aku mengambilnya kembali dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi."

"Baik, baik... Biarlah pinto mencobamu lebih dahulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.

"Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap.

Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga akan menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian.

Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhu-nya tentang inti dari ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini sangat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.

"Cia Keng Hong, jagalah serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba saja tubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah!

Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!

Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda jongkok itu telah mengejar elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar.

Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap pada tanah di depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat lantas menendang ke depan. Dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang memaksa Keng Hong menggunakan ginkang-nya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak.

Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping bagai ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya.

Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sulit untuk membalas serangan lawan. Apa lagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa.

Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.

Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan, akhirnya Keng Hong mulai dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo.

Apa bila orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajar saja kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri. Karena serangan balasan lawan bisa saja datang dari segala jurusan, maka yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki.

Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan oleh kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tidak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian itu dapat dicurahkan untuk penyerangan!

Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka sesudah mengetahui dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan.

"Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba saja Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.

"Heiiiiihhhhhh…!"

Tubuh pemuda ini sudah menerjang maju sambil berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan.

Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaimana pemuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya rendah-rendah, sedangkan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang sangat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.

Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakan jurus Soan-hong Liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in Kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.

"Siancai...!"

Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya mendadak terbawa oleh hawa berputar itu yang menariknya ke atas, seakan-akan kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetot ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu lantas cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan…

"Wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya.

Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak bisa terpancing oleh jurusnya Soan-hong Liap-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, bahkan bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya cepat menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tak kalah berbahayanya dari pada senjata rahasia runcing dan tajam!

Tentu saja Keng Hong dapat menghindarkan sambaran ‘senjata rahasia’ itu dengan amat mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu saja, akan tetapi dia gagal menyerang lawan. Dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia lepaskan sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat.

"Aihhhhh!" Keng Hong berteriak.

Tubuhnya segera mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali lalu tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik, dan dengan tenaga yang sangat dahsyat dia menerjang lawan dari atas laksana seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat, jurus terakhir yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan).

Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang baru dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in Kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus In-keng Hong-i ini dia sudah dapat membuat Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya telah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in Kun-hoat ini.

"Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum.

Sungguh pun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sute-nya terancam bahaya, namun sedikit pun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekali pun bagi ketiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.

"Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah terhadap serangan itu, Sute!" Teriak pula si kakek jembel, bukan karena khawatir melainkan karena girang dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sute-nya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.

Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk dapat melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang. Akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba saja dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi.

Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan.
"Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget.

Baru hawa pukulan yang menyambar saja telah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. Ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu mampu menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu, tentu dia akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang.

Maka dia cepat-cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan dapat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan.

Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri. Namun, betapa pun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan di dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.

Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu, yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya memiliki perkembangan yang amat banyak, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu.

Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah. Akan tetapi, pada saat dia sudah merasakan sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, secepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya.

"Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget sebab tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali!

Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas. Dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tidak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat.

"Habis aku...!"

Thian-to Lo-mo melempar tubuhnya ke belakang. Akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biar pun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang!

Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Tentu dia akan menghindarkan pembunuhan selagi dia masih dapat menguasai diri. Betapa pun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit.

"Plakkk!"

Bukan ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya.

"Hebat sekali! Cia Keng Hong, sute-ku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran kepadaku!"

Keng Hong maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai dari kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan bersiap saja dengan sikap tenang.

Seperti juga Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, karena itu Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali, tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam.

Bun-ong Lo-mo berseru, "Haaooowww…!"

Tiba-tiba tubuhnya telah membentuk kuda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan tubuh tegak lurus. Sepasang matanya memandang Keng Hong, kemudian kedua tangannya bergerak, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat gerakan di udara tepat di depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan amat aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan silat.

Mula-mula Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu, akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar! Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini!

Bun-ong Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang dipakai ‘menulis’ di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat gerakan corat-coret di depan mukanya lalu kedua kakinya mulai digeser dan secara cepat telah tiba di depan Keng Hong.

"Cuuuuuutttttt…!" Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu dilanjutkan dengan ‘coretan’ ke bawah menuju ke mata Keng Hong!

Tentu saja Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng Hong. Kembali Keng Hong mengelak.

"Cuuuuuussssss...brettt!"

"Ayaaaaa...!"

Keng Hong cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi, ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang!

Sastrawan tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong. Sekarang tubuhnya menerjang cepat sekali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk.

Keng Hong maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu digunakan sebagai sepasang senjata pit untuk menotok dan bahkan bisa dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan kuku. Karena itu dia menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari. Terpaksa ia harus selalu mengelak sambil memandang penuh perhatian untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari lawannya.

Seperti juga ilmu silat dari Thian-to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini, akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan dua jari telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu Poan-koan-pit, akan tetapi gerakannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti menulis huruf. Justru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan. Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan serangan!

Setelah maklum dengan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa menggunakan San-in Kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak mempergunakan serangan dari atas, seperti jalannya awan yang setiap saat bergerak di puncak Kiam-kok-san.

Ada pun ilmu silat Bun-ong Lo-mo justru menggunakan coretan-coretan ke udara, maka sangat berbahaya apa bila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im di samping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mukjijat ketika gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

"Wah-wah-wah, bocah ini bukan main hebatnya! Dia tidak kalah oleh mendiang gurunya!" Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya pada saat menyaksikan sute-nya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap sehingga yang tampak hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri.

Memang kakek sastrawan itu hebat sekali. Di samping memiliki sinkang yang kuat serta ginkang yang membuat tubuhnya bagaikan tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya.

Namun Keng Hong bergerak dengan tenang. Tangannya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya dari pada serangan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja begini sukar mencapai kemenangan, apa lagi kalau si jembel tua itu yang maju tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai kemenangan.

Sejak tadi, semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah sebabnya kenapa sampai lama dia masih belum mampu juga mencapai kemenangan. Akibat terlalu berhati-hati maka dia lebih memusatkan perhatian pada pertahanan dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja.

Padahal, sifat ilmu silat lawan itu lebih mengutamakan penyerangan dari pada bertahan, sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong Lo-mo. Dia terus mendesak dengan gerakan cepat sekali sambil membuat coretan-coretan yang sangat membingungkan lawan sungguh pun Keng Hong tetap tenang.

Setelah memutar otak dan mengetahui kelemahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras ketika untuk ke sekian kalinya jari telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat tangan, lalu menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan lawan yang menotok iga.

Keng Hong sudah memperhitungkan dengan seksama, maka dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga tak kentara bahwa dia memang membiarkan iganya terkena totokan itu. Akan tetapi diam-diam dia sudah mempergunakan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, yaitu ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhu-nya dari Siauw-lim-pai yang tadi sudah dia berikan kepada Yap Cong San.

"Cusss...! Plakkkk!"

Tepat pada saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, di mana jalan darahnya sudah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar membarengi totokan lawan, dan tangan kiri yang terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo.

Tubuh kakek itu terlempar sampai empat meter jauhnya, lantas terbanting roboh dengan napas terengah-engah. Akan tetapi cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat.

"Luar biasa... ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau, Cia Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku sendiri yang akan menguji kepandaianmu."

Kakek jembel itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan memejamkan mata untuk mengatur pernapasannya, karena biar pun dia tadi sudah memindahkan jalan darah sehingga yang terkena totokan hanyalah tempat yang kosong, akan tetapi kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga dadanya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi.

Namun hanya sebentar saja pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini menghadapi Kai-ong Lo-mo dengan sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba pada puncak dan batas akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi.

"Locianpwe, apakah Locianpwe bertiga masih belum cukup menggangguku?" Keng Hong bertanya.

Kai-ong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda yang luar biasa, mengapa menganggap kami mengganggu? Pertandingan ini amat berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri. Kelak kau justru akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu, engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu silat tangan kosong yang hebat, sekarang aku ingin sekali menyaksikan kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!"

Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, kenapa harus menggunakan senjata? Senjata tak bermata, sekali salah tangan aku bisa mendatangkan bencana."

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong.

"Syuuuuuuttt... Cettt!"

"Ihhhhh!" Keng Hong berteriak kaget.

Ketika dia mengelakkan tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga tangan kakek itu menyambar lewat tanpa mengenai sasaran, tiba-tiba saja ujung lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang sangat hebat. Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong bisa menyelamatkan pundaknya.

Kiranya kakek ini selain mempunyai tenaga yang sangat hebat, juga kedua ujung lengan bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu saja biar pun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang senjata.

Malah lebih lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan tangan!

Ketika kakek itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong sengaja hendak mengakhiri pertandingan ini secepatnya. Maka melihat tangan kakek itu mendorong, dia langsung menyambut dengan dorongan tangannya pula sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Desssss...!"

Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal mengapa dia tadi lupa akan ‘senjata’ istimewa kakek itu.

Ketika menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba saja tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika dan ternyata pergelangan tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia tidak dapat menahan sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Untung dia masih menguasai tubuhnya dan sempat berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai terbanting.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Apakah sekarang engkau masih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan khawatir, walau pun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang dariku!"

Kakek ini memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui pertandingan yang seimbang dan ramai. Jika pemuda itu tidak bersenjata, tentu dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dan hal ini sangat tidak menyenangkan hatinya!

Keng Hong maklum bahwa kakek itu memang lihai bukan main. Jika dia tetap memaksa diri melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka itu tidak cepat-cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti dia akan selalu dimusuhi orang. Apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya kembali?

Berpikir demikian, dia segera mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf, Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!"

Tubuhnya mencelat ke depan, didahului bau yang harum cahaya hijau Siang-bhok-kiam menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau, yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong.

"Brettt! Plak-plak!"

Kakek itu sangat terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, ada pun pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuh kakek itu tergetar.

"Siang-bhok-kiam...!" Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat.

"Siang-bhok-kiam...!” Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang.

"Siang-bhok-kiam...!" Thian-to Lo-mo juga menerjang sambil mencoba merampas Pedang Kayu Harum.

"Eitttttt...!" Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu.

Sinar hijau menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia pun menegur dengan suara nyaring dan marah.

"Apa pula ini? Apakah sebagai orang-orang gagah yang sangat terkenal Sam-wi hendak melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?"

"Tidak ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu kepadaku!"

"Tidak! Berikan kepadaku!" teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu dengan sinar berapi.

"Harus diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak.

Keng Hong marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu ini diberikan kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?"

Tiga orang itu saling pandang. "Dulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus merampas kembali dan kita tak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita bertiga," kata kakek jembel, kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata,

"Orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu? Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya."

Keng Hong mengerutkan keningnya menduga-duga, namun tetap tidak tahu apa gunanya pedang itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena pusaka-pusaka itu sudah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu, di atas sapu tangannya. Untuk apakah?

"Sam-wi membutuhkan pedang kayu untuk apakah?"

"Ketahuilah, orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam memiliki khasiat yang mukjijat untuk memperpanjang usia manusia! Kayunya mengandung khasiat obat yang dapat menambah umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat membutuhkannya!"

Keng Hong menjadi geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini bagaikan orang-orang kelaparan melihat roti pada saat melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa memperpanjang umur mereka!

Sungguh manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, jika mungkin tidak bisa mati! Dan andai kata usia mereka itu benar-benar dapat diperpanjang sehingga menjadi seperti orang muda lagi, tentu saja akan timbul pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa muda mereka dahulu!

Akan tetapi Keng Hong tak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu merupakan peninggalan gurunya dan mutlak menjadi hak pribadinya!

"Tidak mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe."

"Kalau begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila tiga orang itu menerjang maju.

Baru memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka, pikir Keng Hong. Apa lagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Ia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung laksana seekor naga hijau mengamuk di angkasa.

Akan tetapi, tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja Keng Hong sudah terdesak hebat!

"Serahkan pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram ke arah kedua kakinya!

Keng Hong terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo sudah mencegat dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit nyaring. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam kegairahan hati mereka untuk merampas pedang!

Ia membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun kembali, ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot pedang!

"Lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa kubunuh engkau!" Kakek jembel membentak.

Akan tetapi Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia berusaha terus mempertahankan kemudian secara diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya yang hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan Siang-bhok-kiam!

"Bukk…! Bukk…! Bukk...!"

Melihat Keng Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan langsung menghantamnya, di leher, punggung dan lambung. Akan tetapi, sekaligus ketiga tangan kakek itu menempel pada tempat yang dipukul, bahkan sekarang tangan mereka yang mencengkeram pedang juga ikut melekat! Serentak mereka merasa betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti balon-balon membocor!

Ketiganya terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan masing-masing. Akan tetapi karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenaga lagi, maka hawa sinkang mereka lebih banyak pula membanjir keluar sehingga mereka menjadi lemas!

"Celaka... Thi-khi I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget.

Baru sekarang dia teringat, juga kedua orang sute-nya. Tadinya mereka tidak menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap. Rasa kaget ini membuat hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat.

Keng Hong yang menerima sinkang itu segera menampungnya pada pusar, namun hawa sinkang ketiga orang kakek itu benar-benar sangat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini terguncang hebat sampai menggigil. Mukanya merah dan matanya melotot!
"Pergilah...!" Keng Hong berteriak.

Sebenarnya semenjak tadi mencoba untuk melepaskan mereka, namun baru kini usaha itu dapat berhasil. Walau pun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi karena hawa sinkang yang masuk demikian kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri, maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat lalu roboh tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat! Keng Hong juga ikut terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di tangan, dan dia pingsan!

Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!"

Setelah berdiri di situ, bayangan itu memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo, lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, dan akhirnya memandang tumpukan pusaka serta pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kemudian kembali tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada orang yang melihat bayangan ini, orang ini tidak akan ikut menjadi gembira seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan terkencing saking takutnya.

Memang, nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan darah!

Seluruh giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing bagai gigi gergaji. Rambutnya riap-riapan seperti sarang burung yang dirusak angin, kuku tangannya panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi setua itu, hampir seratus tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus tubuhnya dengan ketat hingga terlihat seperti telanjang, sedangkan buah dadanya luar biasa besarnya.

"Hi-hi-hik! Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri! Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"

Nenek itu cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, sibuk membalik-balik semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat ke dekat tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan sabetannya dan terkekeh lagi.

"Hanya dia yang punya Thi-khi I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!"

Sambil tertawa-tawa mengikik nenek ini lantas mengambil sepasang golok emas pusaka milik Kong-thong-pai dan dengan mudahnya dia menekuk kedua golok emas itu sampai melengkung sehingga membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, masih sambil terkekeh-kekeh sampai air ludahnya muncrat-muncrat melalui giginya yang besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng Hong.

"Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!"

Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sudah melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi. Karena tidak menemukan jalan keluar, hawa itu masih berputaran di tubuhnya sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang.

Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka sesudah hilang kagetnya, dia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan.

Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong pada kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya.

"Cresss! Cresss!"

Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus diputar sehingga dua buah kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!

"Augghhh...!" Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh... aduhhh..."

Ia mencoba hendak bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan pada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri pada pundaknya bercampur dengan rasa mual yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.

"Hah-hah-hah-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"

Keng Hong menengok dan tanpa menengok sekali pun dia akan mengenal suara ketawa itu.

"Hemmm..." Dia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya mengeras dan dia mual sekali, hendak muntah.

Maklumlah dia bahwa kedua pundaknya sudah dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini terjadi, maka kedua lengannya akan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi!

Karena itu, soal pundaknya yang terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam. Lebih dulu dia harus membereskan soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini ‘pindah’ ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam pusarnya.

Sambil terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya, Ang-bin Kwi-bo kemudian menghampiri tumpukan pusaka. Dia mengikatkan ujung ikat pinggang pada pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan sapu tangan dan dia kaitkan pada pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang. Sesudah kembali terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya, dia pun berkata kepada Keng Hong.

"Cia Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?"

Pada waktu itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukkan hawa sinkang liar itu dan dia merasa betapa hawa yang kini berkumpul di pusarnya sangat kuat dan panas. Dia sudah memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal jika melatih diri secara biasa, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang ‘diberikan’ ketiga orang kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun!

Mendengar pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab dengan tenang. "Ang-bin Kwi-bo, mati hidupmu sendiri saja engkau tak mampu menguasai, bagaimana engkau akan dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati dan hidup manusia sepenuhnya berada di tangan Thian!"

"Heh-heh-heh! Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus harapan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, apa bila aku menghendaki, sekali sendal saja dengan ikat pinggang ini, maka kedua tulang pundakmu akan patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal ini berarti bahwa kau mati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin engkau dapat hidup lebih lama."

Keng Hong bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tak membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tak akan membunuhnya begitu saja!

"Engkau tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, walau pun keadaan kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!"

"Tutup mulutmu yang sombong!" Tiba-tiba saja Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik sedikit ikat pinggang itu.

Keng Hong merasa seakan-akan semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri pada tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati dan tidak mau mengeluh.

"Apa kehendakmu, Kwi-bo?"

"Katakan, engkau minta mati atau hidup?"

"Maksudmu bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"

Ang-bin Kwi-bo menggeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot.

"Bedebah, engkau keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..."

"Cukup, Kwi-bo! Suhu sudah meninggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apa pun yang kau katakan, aku yakin bahwa suhu merupakan seorang yang paling gagah perkasa dan berbudi mulia di dunia ini!"

"Mulia? Cuhhh!" Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan amblas seperti sebutir peluru. "Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat melihat mukamu!"

Keng Hong menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk dan menghadapi nenek itu. Sejenak nenek itu menatap penuh perhatian, kemudian berkata,

"Hemm… Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan." Nenek itu mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan, "Sayang jika harus mati dalam usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat menarik, hi-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi I-beng kepadaku dan engkau takkan kubunuh!"

"Hemmm, itukah yang dikehendakinya?" Keng Hong memutar otaknya.

Teringatlah dia akan Kiu-bwe Toanio yang juga pernah menawannya dan memaksanya mengajarkan Thi-khi I-beng, akan tetapi kemudian malah hendak menyedot sinkang-nya sampai habis!

Nenek ini, Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai dari pada Kiu-bwe Toanio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia harus dapat bertahan, walau pun sedikit tetap saja ada harapan dapat hidup setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini. Akan tetapi kalau dia ajarkan ilmu itu, dengan memiliki ilmu itu berarti dia telah membantu nenek ini merajalela melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih jahat.

"Aku tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi I-beng itu, Kwi-bo. Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?"

Nenek yang tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan sesudah dua kali ia menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa nyeri tak tertahankan lagi olehnya.

Melihat pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi semakin marah dan panas hatinya. Melihat korbannya pingsan, dia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah pingsan, apa yang dapat dia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar disayat-sayat tubuh itu, tak akan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi I-beng!

Keng Hong siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh.

"Cia Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilmu itu kepadaku?" Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanya.

Keng Hong maklum bahwa kini dia tak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah mempelajari Thi-khi I-beng, melainkan memperoleh ilmu itu secara otomatis saat gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa mukjijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi I-beng dan yang selama ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan.

"Ang-bin Kwi-bo, andai kata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekali pun, agaknya tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat seperti iblis..."

"Sombong! Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!"

"Cukup, Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tetapi tidak perlu engkau menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa beliau dibandingkan dengan engkau?"

"Sie Cun Hong, hi-hi-hik-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!" Nenek itu berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah Sin-jiu Kiam-ong. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu. Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita kesampingkan dahulu ilmu Thi-khi I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!"

"Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang lelaki sejati, dan perempuan-perempuan itulah, termasuk engkau, yang tergila-gila kepadanya!"

Ang-bin Kwi-bo memelintir ikat pinggang pada kedua telapak tangannya itu. Hawa panas beracun dari kedua tangannya yang membuat dia terkenal, yaitu Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pinggang itu, terus kepada kaitan emas dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya.
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 28

Pedang Kayu Harum Jilid 28
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SETELAH Yap Cong San pergi, Keng Hong segera membuka bajunya dan mengeluarkan semua benda yang tadi dia rampas atau curi dari kamar pengantin wanita, pusaka-pusaka yang dahulu dilarikan oleh Cui Im dari tempat persembunyian gurunya.

Sebatang pedang pusaka Hoa-san-pai, sepasang golok emas yang gagangnya ditaburi mutiara, yaitu benda pusaka dari Kong-thong-pai, sekumpulan benda-benda perhiasan yang dulu oleh Sin-jiu Kiam-ong dirampas dari tangan Tan-piauwsu dan isterinya, yaitu benda-benda kepunyaan pembesar yang dikawalnya, juga sebuah kitab kuno dari Go-bi-pai yang dia rampas dari tangan Go-bi Chit-kwi, karena memang kitab ini dari Go-bi-pai dicuri oleh Tujuh Iblis Go-bi itu.

Selain benda-benda dan pusaka milik orang atau partai lain, di sana terdapat pula tujuh buah kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ditulis oleh pendekar sakti itu sendiri, dan sekantung penuh berisi potongan emas dan puluhan butir permata yang amat indah dan mahal harganya, entah milik siapa.

Hemm, benda-benda inilah di antara semua benda yang menimbulkan keributan di dunia kang-ouw, yang membuat gurunya dulu dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw, dan yang kini menjadi tugasnya untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang berhak.

Pertama-tama ia harus mengembalikan pokiam (pedang pusaka) dari Hoa-san-pai seperti yang pernah dia janjikan kepada tokoh-tokoh Hoa-san-pai. Sambil tersenyum puas Keng Hong memandang benda-benda pusaka yang terletak di depan kakinya itu.

Tiba-tiba saja, secepat kilat ia menyambar benda-benda itu dan beberapa detik kemudian benda-benda pusaka itu sudah lenyap tersembunyi di dalam saku-saku bajunya sebelah dalam, sedangkan tubuhnya sudah melompat dan membalik.

Sungguh pun dia tadi sudah bergerak cepat sekali menyimpan semua benda itu ketika mendengar suara mencurigakan di sebelah belakang, namun Keng Hong maklum bahwa dia masih belum cukup cepat untuk menyembunyikan dari mata tiga orang kakek yang tahu-tahu sudah berada di situ dan berdiri memandangnya. Mereka itu bukan lain adalah Thian-te Sam-lo-mo!

Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga orang yang usianya amat tinggi, kurang lebih seratus tahun! Di antara datuk-datuk golongan tua seperti Bu-tek Su-kwi yang kini tinggal tiga orang, yaitu Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong serta Pat-jiu Sian-ong, mereka inilah yang paling tua.

Semenjak dulu mereka dikalahkan oleh Sin-jiu Kiam-ong, sudah puluhan tahun tiga orang iblis tua ini mengundurkan diri, bertapa dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, karena mereka telah berjanji dan bertaruh dengan Sin-jiu Kiam-ong bahwa pihak yang kalah akan mengundurkan diri dan tidak akan muncul lagi di dunia kang-ouw!

Mereka itu bersembunyi dan bertapa di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya, selain untuk memenuhi janji, juga untuk menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang tinggi agar supaya kelak jika perlu mereka akan dapat menebus kekalahan mereka dari Sin-jiu Kiam-ong! Akan tetapi, mereka lalu mendengar bahwa Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia di puncak Kun-lun-san, yaitu Lembah Kiam-kok-san. Berita ini menggirangkan hati mereka karena mereka kini terbebas dari janji karena kalah bertaruh, juga mengecewakan karena tidak ada kesempatan lagi untuk menebus kekalahan!

Tetapi, ketika tiga orang iblis tua ini menuruni Pegunungan Himalaya dan memasuki dunia ramai lagi, mereka jadi kehilangan gairah. Melihat tokoh-tokoh besar yang boleh dijadikan saingan sudah tidak ada, mereka menjadi jemu.

Pula, karena usia mereka yang sudah tua membuat mereka tidak bersemangat lagi untuk bermusuhan dan menimbulkan ribut, dan nafsu-nafsu jasmani mereka sudah mulai lemah, maka ketiga orang ini hanya mencurahkan kesenangan dalam melakukan pibu melawan orang-orang pandai. Akan tetapi mereka tidak mau sembarangan turun tangan mencoba kepandaian orang kalau tidak merasa yakin betul bahwa lawannya cukup berharga untuk mereka tandingi! Watak tiga orang yang sudah terlampau tua ini seperti kembali menjadi kanak-kanak.

Ketika lewat di Phu-niu-san dan mendengar tentang Sancu dari gunung itu yang kabarnya lihai, mereka pun mampir. Akan tetapi setelah bertemu dan mendapat kenyataan bahwa Sancu dan suheng-nya itu hanyalah tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat tiga atau empat saja, mereka memandang rendah dan hanya mau menerima persahabatan Lian Ci Sengjin dan Sian Ti Sengjin setelah dua orang yang dapat mengenal orang sakti itu menerima mereka bertiga sebagai tamu-tamu kehormatan.

Apa lagi pada waktu Thian-te Sam-lo-mo melihat calon isteri Sancu itu. Mereka menjadi terheran-heran karena dapat menduga bahwa calon pengantin wanita ini adalah seorang wanita muda yang memiliki kepandaian yang mungkin tidak akan mengecewakan untuk diajak pibu! Mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu terhormat sampai tiba saat pesta pernikahan di mana ketiga kakek tua renta ini bertemu dengan jago muda Siauw-lim-pai Yap Cong San dan pendekar muda yang memiliki kepandaian hebat, Cia Keng Hong.

Ketika Cui Im yang marah-marah dan kecewa sekali pergi meninggalkan Phu-niu-san, tiga orang kakek itu pun cepat-cepat menggunakan kepandaian mereka untuk mengejar. Akan tetapi mereka kehilangan jejak Cui Im sehingga mereka itu, terutama sekali orang tertua yang berpakaian jembel, membanting-banting kaki dengan gemas dan kecewa. Mereka masih merasa penasaran dan belum puas kalau belum menguji kepandaian wanita muda yang sudah berani menggunakan nama julukan Bu-tek (Tanpa Tanding) setelah mereka kecewa tidak dapat mengadu ilmu dengan dua orang pemuda lihai itu.

Tiga orang itu memang kakak beradik seperguruan. Yang tertua adalah si kakek jembel itu yang mempunyai watak ugal-ugalan dan suka berkelakar. Dahulu dia berjuluk Kai-ong Lo-mo (Iblis tua Raja Pengemis) maka sampai sekarang pun pakaiannya seperti seorang jembel gelandangan!

Orang ke dua adalah Bun-ong Lo-mo (Iblis Tua Raja Sastrawan) yang berwatak angkuh dan menganggap diri sendiri yang paling pandai, baik mengenai ilmu sastra mau pun ilmu silat! Pakaiannya pun sampai sekarang seperti pakaian seorang sastrawan!

Ada pun orang ke tiga dahulu berjuluk Thian-to Lo-mo, seorang penganut to-kauw yang fanatik! Mereka ini setelah tua selalu berkumpul maka terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit)!

Oleh karena penasaran, tiga orang kakek itu melanjutkan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka salah mengambil jalan, bukan Cui Im yang mereka temui, melainkan Keng Hong. Sejenak mereka terkejut, akan tetapi hati mereka girang sekali. Sekarang mereka malah bertemu dengan pemuda yang merupakan lawan Ang-kiam Bu-tek!

Keng Hong maklum bahwa tiga orang kakek ini amat lihai, dan biar pun dia tidak gentar, akan tetapi tidak ingin menanam bibit permusuhan baru dengan tokoh-tokoh datuk hitam ini. Maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,

"Ahhh, ternyata Sam-wi Locianpwe yang datang. Saya kagum sekali dengan kepandaian Sam-wi Locianpwe dan perkenankan saya yang muda menyatakan hormat dan kagum!"

Sejenak ketiga orang kakek itu saling pandang. Si sastrawan hanya tersenyum, si tosu juga menyeringai akan tetapi si kakek jembel tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Engkau ini orang muda sungguh mempunyai banyak bakat! Bakatmu yang pertama, engkau tampan sopan santun dan pandai ilmu silat dan bakatmu ke dua engkau pandai bermulut manis, dan bakatmu ke tiga engkau pandai menjadi pencuri. Ha-ha-ha!"

"Locianpwe, saya bukan pencuri!" Keng Hong membantah.

"Ha-ha-heh-heh-heh, dia bukan pencuri katanya! Ha-ha-ha! Orang muda, apakah engkau mengira kami tiga orang kakek sudah pikun dan lamur? Engkau mencuri benda-benda berharga dari dalam kamar mempelai wanita. Mencuri pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong! Engkau masih tak mau mengaku? Kami tadi sempat mengenal pedang pusaka Hoa-san-pai dan sepasang golok emas Kong-thong-pai! Bahkan kami sudah lama tahu bahwa benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong itu disimpan oleh si mempelai wanita. Ha-ha-ha, dan sekarang kami akan mengambilnya darimu!"

Keng Hong mengangguk-angguk. Di mana-mana, tokoh kaum sesat ini sama saja, tidak lain hanyalah orang-orang yang diperhamba nafsu menginginkan benda lain orang, meski pun sudah setua mereka itu!

"Sam-wi Locianpwe, kalau sudah tahu mengapa tidak mendahului saya mencurinya dari kamar mempelai?"

"Bocah lancang, tutup mulutmu!" Mendadak kakek berpakaian sastrawan Bun-ong Lo-mo membentak sambil melangkah maju. Dua matanya mendelik dan kepalanya dikedikkan ke belakang, dadanya membusung. "Kau lihat baik-baik, siapakah kami? Lancang mulutmu menuduh kami pencuri! Apa kau sangka kami ini hanyalah golongan maling-maling kecil seperti engkau yang secara pengecut mengambil barang milik orang lain di luar tahunya si pemilik? Puluhan tahun lamanya, kalau kami menghendaki sesuatu, kami ambil saja, dan pemiliknya yang melihat di depan hidungnya akan dapat berbuat apakah?"

Keng Hong terkejut. Benar-benar aneh kakek sastrawan ini. Marah disangka maling, akan tetapi dengan bangga mengaku bahwa bila menghendaki barang, mereka mengambilnya begitu saja dari depan hidung pemiliknya alias merampok!

"Maaf, saya tidak menuduh Sam-wi Locianpwe, tetapi hanya penasaran Sam-wi menuduh saya pencuri. Memang saya mengambil benda-benda itu dari kamar mempelai wanita, akan tetapi saya hanya mengambil barang yang menjadi hak saya karena lima enam tahun yang lalu barang-barang itu dicuri oleh Bhe Cui Im dari tangan saya."

"Nah-nah, tambah satu lagi bakatmu, bakat membohong! Barang itu adalah peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, bagaimana kau bisa mengatakan berhak atas pusaka itu?"

Keng Hong tidak perlu menyembunyikan keadaan dirinya lagi. "Memang berhak, karena Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku."

"Siancai...!" Engkau murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong?" Sekarang kakek tosu itu bertanya sambil merangkap kedua tangan penuh keheranan.

"Benar, Locianpwe."

"Phuuuahhh! Gurunya maling besar, muridnya pun maling kecil!" Si sastrawan mengejek, mukanya membayangkan hati yang muak.

Akan tetapi kakek jembel berjingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan. "Ha-ha-ha-heh-heh, lucunya... ha-ha-ha, lucunya! Sie Cun Hong hidup lagi! Ha-ha-ha-ha, persis sekali! Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong hidup lagi di dalam diri muridnya. Sama-sama tampan dengan sepasang mata yang genit dan tentu akan dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita! Dengan lidah yang pandai bergoyang, pandai berbicara dengan sikap lemah-lembut dan halus, pandai menanam tebu di bibir dan pandai membujuk rayu, ditambah lagi pandai mencuri dan membohong! Ha-ha-ha, lucunya!"

"Bocah, siapa namamu?" Si sastrawan bertanya.

"Nama saya Cia Keng Hong, Locianpwe."

"Cia Keng Hong?! Ha-ha-ha-ha, pakai huruf Hong pula, sama dengan gurunya, Sie Cun Hong! Wah-wah, huruf Hong yang dipakai guru dan murid ini entah berarti apa? Kalau Hong lebah, pantas karena memang Sie Cun Hong seperti seekor lebah yang suka sekali mengejar bunga untuk dihisap madunya sampai habis kemudian ditinggalkan begitu saja! Kalau Hong, burung Hong, memang tepat karena guru dan murid ini sama-sama tampan dan angkuh seperti burung hong yang pandai berlagak. Kalau Hong angin, tentulah angin busuk…"

"Alias kentut!" Kakek jembel menyambung ucapan kakek sastrawan sambil tertawa-tawa. "Pandai bicara namun kosong dan hanya membohong atau menipu, apa bedanya dengan kentut?"

Keng Hong merasa panas juga perutnya mendengar gurunya yang sudah mati diejek dan dipermainkan namanya, maka dia cepat berkata, "Sam-wi Locianpwe! Kapankah guruku membohong dan menipu Sam-wi? Menuduh orang tanpa bukti berarti fitnah dan fitnah hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang berjiwa pengecut dan curang serta berwatak hina!"

"Siancai…! Engkau memang membohong atau menipu apa bila mengatakan bahwa kau berhak atas benda-benda pusaka itu, Cia Keng Hong." Kini si kakek tosu mencela "Baik engkau mau pun Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong tidak berhak atas benda-benda pusaka itu!"

"Saya membenarkan akan hal itu, Locianpwe. Memang tidak berhak memiliki, akan tetapi berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan kemudian mengembalikan semua pusaka ini kepada pemiliknya masing-masing untuk menebus kesalahan yang dulu dilakukan oleh mendiang suhu terhadap mereka."

"Wah-wah-wah, tidak benar! Jika kau mengembalikan pusaka-pusaka itu, apakah jenazah gurumu tidak akan berbalik di dalam kuburnya? Apakah arwahnya tak akan turun mencari dan mencekikmu? Dia susah payah merampas dan mencuri, engkau menjadi muridnya malah hendak mengembalikan pusaka-pusaka itu. Benar-benar murid yang puthauw (tak berbakti)!"

"Hemm, apa pendapat Locianpwe sebagai seorang sastrawan tentang hauw (kebakitan)?" Keng Hong bertanya dengan rasa penasaran kepada kakek sastrawan yang memakinya sebagai puthauw, yang lebih rendah dari pada kalau dimaki penjahat!

Seorang penjahat sekali pun, kalau masih mempunyai kebaktian, akan mudah dimaafkan kejahatannya. Sebaliknya seorang puthauw diangggap manusia serendah-rendahnya dan tidak akan dipercaya oleh siapa pun juga!

"Ha-ha-ha, bocah yang baru lahir kemarin sore seperti engkau hendak berdebat tentang hauw dengan aku?" Bun-ong Lo-mo mengejek. "Mengabdi terhadap negara, itulah hauw! Kalau sebaliknya dari pada itu adalah puthauw!"

"Hanya sebegitu. Locianpwe? Alangkah dangkal dan sederhananya. Dan memang tidak mengherankan, segala sesuatu di dunia ini tergantung manusianya, sehingga pelajaran dan filsafat mengenai hidup dan segala lika-likunya sekali pun ditafsirkan menurut selera dan kebenaran masing-masing. Locianpwe, saya tak peduli disebut putahauw atau tidak, akan tetapi bagi saya, yang penting adalah kebenaran. Biar pun perbuatan itu dilakukan oleh musuh guru atau orang tua saya, kalau perbuatan itu saya anggap benar, tidak akan saya tentang. Sebaliknya kalau ada perbuatan yang dilakukan guru saya itu saya anggap tidak benar, tentu takkan saya turut dan malah akan saya tentang. Menentang perbuatan keliru dari orang tua atau guru kuanggap bukan sikap yang puthauw, Locianpwe, karena yang ditentang bukanlah orangnya tetapi perbuatannya! Guru yang melakukan perbuatan tidak benar, sama halnya dengan tersesat jalan memasuki rawa berlumpur. Bila muridnya membenarkan kesesatannya, sama saja dengan si murid mendorong punggung gurunya dari belakang sehingga si guru menjadi semakin jauh tersesat ke dalam lumpur. Inikah yang Locianpwe anggap sebagai hauw?"

Merah wajah kakek sastrawan itu. "Bocah she Cia, engkau manusia yang sombong dan besar kepala! Mari kita berdebat tentang..."

"Ha-ha-ha-ha-ha, perlu apa melayani dia berdebat? Engkau akan kalah, Sute, seperti juga dulu ketika berdebat dengan Sie Cun Hong. Memang bocah ini agaknya telah dilatih dan mewarisi kepandaian Sin-jiu Kiam-ong dalam soal berdebat dan bersilat lidah!" Si jembel memotong dan meloncat ke depan, menghadapi Keng Hong, memandang penuh selidik dengan wajah berseri-seri kemudian berkata, "Cia Keng Hong, kami tiga orang tua sudah bosan untuk merampok, bosan untuk bermusuhan namun makin gemar untuk mengadu ilmu! Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum engkau dapat menangkis, entah masih menjadi apa, kami pernah bertanding mengadu ilmu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan disertai taruhan. Kami kalah dan kami memenuhi janji dalam taruhan itu. Sekarang kami bertemu muridnya. Kebetulan sekali. Kami mengulangi peristiwa puluhan tahun yang lalu dan kami menantangmu untuk menguji kepandaian sambil bertaruh!"

"Saya tidak berniat mengadu ilmu dengan Sam-wi, juga saya bukan seorang penjudi yang biasa bertaruhan."

"Itu tandanya engkau pengecut, engkau takut dan engkau sama sekali tidak menghargai kesenangan orang yang sudah menjadi gurumu! Jika betul sedemikian rendahnya engkau memandang gurumu, biar pun kami pernah dikalahkan hingga terpaksa menyembunyikan diri sampai puluhan tahun, biarlah hari ini kami mewakili gurumu untuk menghajarmu dan mengirimmu ke akhirat supaya di sana gurumu sendiri akan dapat memberi hukuman kepadamu!" Suara si kakek jembel kini berubah, tidak ramah dan ugal-ugalan seperti tadi, melainkan serius sekali dan senyumnya lenyap dari wajahnya.

Keng Hong terkejut sekali dan merasa bahwa kalau dia menolak terus, tentu akan terjadi ribut dan dia pun mulai dapat menangkap maksud dari tiga orang kakek ini tentang sikap gurunya yang agaknya mereka kenal baik di waktu mudanya.

"Baiklah, jika Sam-wi mendesak, saya menerima tantangan Sam-wi untuk mengadu ilmu. Tentang taruhan itu… apakah yang Sam-wi maksudkan? Saya belum pernah bertaruhan, maka tidak mengerti…"

Berseri kembali wajah si kakek jembel. "Bagus... bagus...! Nah, begitu baru murid baik namanya! Kita melakukan pibu (mengadu ilmu silat). Kalau engkau kalah, pusaka-pusaka yang kau curi dari mempelai wanita tadi harus kau serahkan kepada kami!"

"Hemmm… ternyata pada dasarnya Sam-wi memang menginginkan pusaka-pusaka ini!" Keng Hong berkata dengan suara mengejek dan mencela. "Dari pada harus memakai jalan berputaran dan sungkan-sungkan, mengapa tidak terang-terangan merampas saja dari saya kalau bisa?"

"Wah, alangkah sombongnya monyet cilik ini!" Si kakek sastrawan menuding. "Cia Keng Hong simpanlah lidahmu yang tajam berbisa itu!"

Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak. "Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tak butuh harta benda, dan kami pun tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"

Keng Hong baru sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus mengalahkan Sam-lo-mo ini, maka dia menjawab,

"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang namanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia apa bila tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi mengeroyok seorang hijau seperti saya?"

Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak, "Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Apa kau kira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"

Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Walau pun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, akan tetapi kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar sangat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di atas sapu tangan yang dia bentangkan di atas tanah.

"Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan salah seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan pada Sam-wi hingga aku mengambilnya kembali dengan mengalahkan Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan mengangguku lagi."

"Baik, baik... Biarlah pinto mencobamu lebih dahulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.

"Silakan, Locianpwe." Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap.

Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga akan menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian.

Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhu-nya tentang inti dari ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini sangat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.

"Cia Keng Hong, jagalah serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba saja tubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah!

Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong mendorong hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!

Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda jongkok itu telah mengejar elakannya dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar.

Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah. Begitu tubuh kakek itu hinggap pada tanah di depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat lantas menendang ke depan. Dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang memaksa Keng Hong menggunakan ginkang-nya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak.

Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping bagai ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya.

Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sulit untuk membalas serangan lawan. Apa lagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa.

Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.

Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan, akhirnya Keng Hong mulai dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo.

Apa bila orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajar saja kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri. Karena serangan balasan lawan bisa saja datang dari segala jurusan, maka yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki.

Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan oleh kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tidak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian itu dapat dicurahkan untuk penyerangan!

Di samping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka sesudah mengetahui dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan.

"Locianpwe, jaga serangan saya!" Tiba-tiba saja Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.

"Heiiiiihhhhhh…!"

Tubuh pemuda ini sudah menerjang maju sambil berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan.

Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaimana pemuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya rendah-rendah, sedangkan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang sangat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.

Dia tidak tahu bahwa kini pemuda bahwa yang menjadi lawannya ini telah menggunakan jurus Soan-hong Liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in Kun-hoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.

"Siancai...!"

Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya mendadak terbawa oleh hawa berputar itu yang menariknya ke atas, seakan-akan kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetot ke atas. Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu lantas cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan…

"Wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya.

Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak bisa terpancing oleh jurusnya Soan-hong Liap-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, bahkan bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya cepat menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tak kalah berbahayanya dari pada senjata rahasia runcing dan tajam!

Tentu saja Keng Hong dapat menghindarkan sambaran ‘senjata rahasia’ itu dengan amat mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu saja, akan tetapi dia gagal menyerang lawan. Dan kini, mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia lepaskan sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat.

"Aihhhhh!" Keng Hong berteriak.

Tubuhnya segera mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali lalu tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik, dan dengan tenaga yang sangat dahsyat dia menerjang lawan dari atas laksana seekor burung garuda menyambar ular! Inilah jurus ke delapan dari San-in Kun-hoat, jurus terakhir yang disebut In-keng Hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan).

Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang baru dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in Kun-hoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus In-keng Hong-i ini dia sudah dapat membuat Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan. Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya telah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in Kun-hoat ini.

"Bukan main..." Kakek sastrawan terbelalak kagum.

Sungguh pun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sute-nya terancam bahaya, namun sedikit pun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekali pun bagi ketiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.

"Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah terhadap serangan itu, Sute!" Teriak pula si kakek jembel, bukan karena khawatir melainkan karena girang dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sute-nya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.

Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk dapat melihat datangnya serangan dari atas. Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang. Akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba saja dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi.

Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan.
"Hayaaaaa...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget.

Baru hawa pukulan yang menyambar saja telah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong. Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. Ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu mampu menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu, tentu dia akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang.

Maka dia cepat-cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan dapat menubruk dan membalas. Memang niat atau akal kakek ini beralasan.

Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri. Namun, betapa pun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan di dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.

Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu, yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya memiliki perkembangan yang amat banyak, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu.

Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah. Akan tetapi, pada saat dia sudah merasakan sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, secepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya.

"Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget sebab tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali!

Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas. Dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tidak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat.

"Habis aku...!"

Thian-to Lo-mo melempar tubuhnya ke belakang. Akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biar pun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang!

Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Tentu dia akan menghindarkan pembunuhan selagi dia masih dapat menguasai diri. Betapa pun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit.

"Plakkk!"

Bukan ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya.

"Hebat sekali! Cia Keng Hong, sute-ku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran kepadaku!"

Keng Hong maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai dari kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan bersiap saja dengan sikap tenang.

Seperti juga Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, karena itu Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali, tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam.

Bun-ong Lo-mo berseru, "Haaooowww…!"

Tiba-tiba tubuhnya telah membentuk kuda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan tubuh tegak lurus. Sepasang matanya memandang Keng Hong, kemudian kedua tangannya bergerak, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat gerakan di udara tepat di depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan amat aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan silat.

Mula-mula Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu, akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar! Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini!

Bun-ong Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang dipakai ‘menulis’ di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat gerakan corat-coret di depan mukanya lalu kedua kakinya mulai digeser dan secara cepat telah tiba di depan Keng Hong.

"Cuuuuuutttttt…!" Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu dilanjutkan dengan ‘coretan’ ke bawah menuju ke mata Keng Hong!

Tentu saja Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng Hong. Kembali Keng Hong mengelak.

"Cuuuuuussssss...brettt!"

"Ayaaaaa...!"

Keng Hong cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi, ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang!

Sastrawan tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong. Sekarang tubuhnya menerjang cepat sekali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk.

Keng Hong maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu digunakan sebagai sepasang senjata pit untuk menotok dan bahkan bisa dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan kuku. Karena itu dia menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana ke mari. Terpaksa ia harus selalu mengelak sambil memandang penuh perhatian untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari lawannya.

Seperti juga ilmu silat dari Thian-to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini, akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan dua jari telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu Poan-koan-pit, akan tetapi gerakannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti menulis huruf. Justru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan. Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan serangan!

Setelah maklum dengan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa menggunakan San-in Kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak mempergunakan serangan dari atas, seperti jalannya awan yang setiap saat bergerak di puncak Kiam-kok-san.

Ada pun ilmu silat Bun-ong Lo-mo justru menggunakan coretan-coretan ke udara, maka sangat berbahaya apa bila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im di samping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mukjijat ketika gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

"Wah-wah-wah, bocah ini bukan main hebatnya! Dia tidak kalah oleh mendiang gurunya!" Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya pada saat menyaksikan sute-nya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap sehingga yang tampak hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri.

Memang kakek sastrawan itu hebat sekali. Di samping memiliki sinkang yang kuat serta ginkang yang membuat tubuhnya bagaikan tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya.

Namun Keng Hong bergerak dengan tenang. Tangannya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya dari pada serangan lawan.

Seratus jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja begini sukar mencapai kemenangan, apa lagi kalau si jembel tua itu yang maju tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai kemenangan.

Sejak tadi, semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah sebabnya kenapa sampai lama dia masih belum mampu juga mencapai kemenangan. Akibat terlalu berhati-hati maka dia lebih memusatkan perhatian pada pertahanan dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja.

Padahal, sifat ilmu silat lawan itu lebih mengutamakan penyerangan dari pada bertahan, sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong Lo-mo. Dia terus mendesak dengan gerakan cepat sekali sambil membuat coretan-coretan yang sangat membingungkan lawan sungguh pun Keng Hong tetap tenang.

Setelah memutar otak dan mengetahui kelemahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras ketika untuk ke sekian kalinya jari telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat tangan, lalu menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan lawan yang menotok iga.

Keng Hong sudah memperhitungkan dengan seksama, maka dia sengaja memperlambat gerakannya sehingga tak kentara bahwa dia memang membiarkan iganya terkena totokan itu. Akan tetapi diam-diam dia sudah mempergunakan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, yaitu ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhu-nya dari Siauw-lim-pai yang tadi sudah dia berikan kepada Yap Cong San.

"Cusss...! Plakkkk!"

Tepat pada saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, di mana jalan darahnya sudah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong Hoan-hiat, cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar membarengi totokan lawan, dan tangan kiri yang terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo.

Tubuh kakek itu terlempar sampai empat meter jauhnya, lantas terbanting roboh dengan napas terengah-engah. Akan tetapi cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat.

"Luar biasa... ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau, Cia Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku sendiri yang akan menguji kepandaianmu."

Kakek jembel itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan memejamkan mata untuk mengatur pernapasannya, karena biar pun dia tadi sudah memindahkan jalan darah sehingga yang terkena totokan hanyalah tempat yang kosong, akan tetapi kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga dadanya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi.

Namun hanya sebentar saja pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini menghadapi Kai-ong Lo-mo dengan sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba pada puncak dan batas akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu mempunyai ilmu kepandaian yang amat tinggi.

"Locianpwe, apakah Locianpwe bertiga masih belum cukup menggangguku?" Keng Hong bertanya.

Kai-ong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda yang luar biasa, mengapa menganggap kami mengganggu? Pertandingan ini amat berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri. Kelak kau justru akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu, engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu silat tangan kosong yang hebat, sekarang aku ingin sekali menyaksikan kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!"

Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, kenapa harus menggunakan senjata? Senjata tak bermata, sekali salah tangan aku bisa mendatangkan bencana."

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong.

"Syuuuuuuttt... Cettt!"

"Ihhhhh!" Keng Hong berteriak kaget.

Ketika dia mengelakkan tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga tangan kakek itu menyambar lewat tanpa mengenai sasaran, tiba-tiba saja ujung lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang sangat hebat. Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong bisa menyelamatkan pundaknya.

Kiranya kakek ini selain mempunyai tenaga yang sangat hebat, juga kedua ujung lengan bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu saja biar pun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang senjata.

Malah lebih lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan tangan!

Ketika kakek itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong sengaja hendak mengakhiri pertandingan ini secepatnya. Maka melihat tangan kakek itu mendorong, dia langsung menyambut dengan dorongan tangannya pula sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Desssss...!"

Tanpa dapat ditahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal mengapa dia tadi lupa akan ‘senjata’ istimewa kakek itu.

Ketika menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba saja tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika dan ternyata pergelangan tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia tidak dapat menahan sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Untung dia masih menguasai tubuhnya dan sempat berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai terbanting.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Apakah sekarang engkau masih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan khawatir, walau pun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang dariku!"

Kakek ini memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui pertandingan yang seimbang dan ramai. Jika pemuda itu tidak bersenjata, tentu dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dan hal ini sangat tidak menyenangkan hatinya!

Keng Hong maklum bahwa kakek itu memang lihai bukan main. Jika dia tetap memaksa diri melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka itu tidak cepat-cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti dia akan selalu dimusuhi orang. Apa lagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya kembali?

Berpikir demikian, dia segera mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf, Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!"

Tubuhnya mencelat ke depan, didahului bau yang harum cahaya hijau Siang-bhok-kiam menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau, yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong.

"Brettt! Plak-plak!"

Kakek itu sangat terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, ada pun pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuh kakek itu tergetar.

"Siang-bhok-kiam...!" Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat.

"Siang-bhok-kiam...!” Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang.

"Siang-bhok-kiam...!" Thian-to Lo-mo juga menerjang sambil mencoba merampas Pedang Kayu Harum.

"Eitttttt...!" Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu.

Sinar hijau menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia pun menegur dengan suara nyaring dan marah.

"Apa pula ini? Apakah sebagai orang-orang gagah yang sangat terkenal Sam-wi hendak melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?"

"Tidak ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu kepadaku!"

"Tidak! Berikan kepadaku!" teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu dengan sinar berapi.

"Harus diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak.

Keng Hong marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu ini diberikan kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?"

Tiga orang itu saling pandang. "Dulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus merampas kembali dan kita tak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita bertiga," kata kakek jembel, kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata,

"Orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu? Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya."

Keng Hong mengerutkan keningnya menduga-duga, namun tetap tidak tahu apa gunanya pedang itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena pusaka-pusaka itu sudah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu, di atas sapu tangannya. Untuk apakah?

"Sam-wi membutuhkan pedang kayu untuk apakah?"

"Ketahuilah, orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam memiliki khasiat yang mukjijat untuk memperpanjang usia manusia! Kayunya mengandung khasiat obat yang dapat menambah umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat membutuhkannya!"

Keng Hong menjadi geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini bagaikan orang-orang kelaparan melihat roti pada saat melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa memperpanjang umur mereka!

Sungguh manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, jika mungkin tidak bisa mati! Dan andai kata usia mereka itu benar-benar dapat diperpanjang sehingga menjadi seperti orang muda lagi, tentu saja akan timbul pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa muda mereka dahulu!

Akan tetapi Keng Hong tak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu merupakan peninggalan gurunya dan mutlak menjadi hak pribadinya!

"Tidak mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe."

"Kalau begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila tiga orang itu menerjang maju.

Baru memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka, pikir Keng Hong. Apa lagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Ia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung laksana seekor naga hijau mengamuk di angkasa.

Akan tetapi, tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja Keng Hong sudah terdesak hebat!

"Serahkan pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram ke arah kedua kakinya!

Keng Hong terkejut dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo sudah mencegat dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit nyaring. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam kegairahan hati mereka untuk merampas pedang!

Ia membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun kembali, ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot pedang!

"Lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa kubunuh engkau!" Kakek jembel membentak.

Akan tetapi Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia berusaha terus mempertahankan kemudian secara diam-diam dia mengerahkan sinkang-nya yang hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan Siang-bhok-kiam!

"Bukk…! Bukk…! Bukk...!"

Melihat Keng Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan langsung menghantamnya, di leher, punggung dan lambung. Akan tetapi, sekaligus ketiga tangan kakek itu menempel pada tempat yang dipukul, bahkan sekarang tangan mereka yang mencengkeram pedang juga ikut melekat! Serentak mereka merasa betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti balon-balon membocor!

Ketiganya terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan masing-masing. Akan tetapi karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenaga lagi, maka hawa sinkang mereka lebih banyak pula membanjir keluar sehingga mereka menjadi lemas!

"Celaka... Thi-khi I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget.

Baru sekarang dia teringat, juga kedua orang sute-nya. Tadinya mereka tidak menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap. Rasa kaget ini membuat hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat.

Keng Hong yang menerima sinkang itu segera menampungnya pada pusar, namun hawa sinkang ketiga orang kakek itu benar-benar sangat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini terguncang hebat sampai menggigil. Mukanya merah dan matanya melotot!
"Pergilah...!" Keng Hong berteriak.

Sebenarnya semenjak tadi mencoba untuk melepaskan mereka, namun baru kini usaha itu dapat berhasil. Walau pun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi karena hawa sinkang yang masuk demikian kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri, maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat lalu roboh tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat! Keng Hong juga ikut terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di tangan, dan dia pingsan!

Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!"

Setelah berdiri di situ, bayangan itu memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo, lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, dan akhirnya memandang tumpukan pusaka serta pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kemudian kembali tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada orang yang melihat bayangan ini, orang ini tidak akan ikut menjadi gembira seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan terkencing saking takutnya.

Memang, nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan darah!

Seluruh giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing bagai gigi gergaji. Rambutnya riap-riapan seperti sarang burung yang dirusak angin, kuku tangannya panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi setua itu, hampir seratus tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus tubuhnya dengan ketat hingga terlihat seperti telanjang, sedangkan buah dadanya luar biasa besarnya.

"Hi-hi-hik! Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri! Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"

Nenek itu cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, sibuk membalik-balik semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat ke dekat tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan sabetannya dan terkekeh lagi.

"Hanya dia yang punya Thi-khi I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!"

Sambil tertawa-tawa mengikik nenek ini lantas mengambil sepasang golok emas pusaka milik Kong-thong-pai dan dengan mudahnya dia menekuk kedua golok emas itu sampai melengkung sehingga membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, masih sambil terkekeh-kekeh sampai air ludahnya muncrat-muncrat melalui giginya yang besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng Hong.

"Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!"

Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sudah melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi. Karena tidak menemukan jalan keluar, hawa itu masih berputaran di tubuhnya sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang.

Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka sesudah hilang kagetnya, dia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan.

Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong pada kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya.

"Cresss! Cresss!"

Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus diputar sehingga dua buah kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!

"Augghhh...!" Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh... aduhhh..."

Ia mencoba hendak bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan pada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri pada pundaknya bercampur dengan rasa mual yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.

"Hah-hah-hah-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"

Keng Hong menengok dan tanpa menengok sekali pun dia akan mengenal suara ketawa itu.

"Hemmm..." Dia hendak bicara, akan tetapi dadanya seperti hendak meledak, perutnya mengeras dan dia mual sekali, hendak muntah.

Maklumlah dia bahwa kedua pundaknya sudah dikait dan dia tidak berdaya lagi. Kalau dia meronta, berarti kedua tulang pundaknya akan patah-patah dan kalau hal ini terjadi, maka kedua lengannya akan lumpuh tak dapat dia gerakkan lagi!

Karena itu, soal pundaknya yang terkait dan soal Ang-bin Kwi-bo adalah soal ke dua yang membutuhkan pemikiran tenang dan mendalam. Lebih dulu dia harus membereskan soal pertama, yaitu tenaga atau hawa sinkang ketiga orang kakek iblis yang kini ‘pindah’ ke dalam tubuhnya. Maka dia tidak jadi bicara, meramkan matanya dan mengatur napas, menyedot hawa yang berkeliaran dan berputaran itu ke dalam pusarnya.

Sambil terkekeh-kekeh dan memegangi ujung ikat pinggangnya, Ang-bin Kwi-bo kemudian menghampiri tumpukan pusaka. Dia mengikatkan ujung ikat pinggang pada pinggangnya, dengan girang dia membungkus pusaka-pusaka itu dengan sapu tangan dan dia kaitkan pada pundaknya, kemudian menyelipkan Siang-bhok-kiam di pinggang. Sesudah kembali terkekeh-kekeh lagi saking girang dan puas hatinya, dia pun berkata kepada Keng Hong.

"Cia Keng Hong, engkau minta hidup atau mati?"

Pada waktu itu, Keng Hong sudah berhasil menaklukkan hawa sinkang liar itu dan dia merasa betapa hawa yang kini berkumpul di pusarnya sangat kuat dan panas. Dia sudah memperoleh kemajuan dalam waktu singkat, padahal jika melatih diri secara biasa, untuk mendapatkan tenaga sinkang seperti yang ‘diberikan’ ketiga orang kakek itu kepadanya, mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun!

Mendengar pertanyaan nenek itu, Keng Hong menjawab dengan tenang. "Ang-bin Kwi-bo, mati hidupmu sendiri saja engkau tak mampu menguasai, bagaimana engkau akan dapat menguasai mati hidup orang lain? Mati dan hidup manusia sepenuhnya berada di tangan Thian!"

"Heh-heh-heh! Hi-hi-hik! Omongan melantur! Omongan kosong dari orang yang sudah putus harapan! Lihat, dengan kedua pundakmu terkait, apa bila aku menghendaki, sekali sendal saja dengan ikat pinggang ini, maka kedua tulang pundakmu akan patah-patah dan kalau sudah begitu, seorang anak kecil pun akan mampu membunuhmu karena kau tidak dapat menggerakkan lagi kedua tanganmu. Bukankah hal ini berarti bahwa kau mati hidup berada di tanganku? Kalau aku menghendaki kau mati, engkau akan mati, akan tetapi kalau aku menghendaki engkau hidup, mungkin engkau dapat hidup lebih lama."

Keng Hong bukanlah orang bodoh. Kalau memang nenek iblis itu menghendaki dia mati, tentu tidak perlu kedua pundaknya dikait seperti ini. Tadi ketika dia pingsan, apa sukarnya bagi nenek itu untuk membunuhnya? Akan tetapi nenek itu tak membunuhnya, melainkan menawannya. Hal ini sudah meyakinkan bahwa nenek itu tak akan membunuhnya begitu saja!

"Engkau tersesat, Kwi-bo. Mati hidupku bukan berada di tanganmu, melainkan di tangan Tuhan, seperti juga mati hidupmu. Kalau Tuhan menghendaki, walau pun keadaan kita seperti ini, bisa saja engkau yang mati dan aku yang hidup!"

"Tutup mulutmu yang sombong!" Tiba-tiba saja Ang-bin Kwi-bo membentak dan menarik sedikit ikat pinggang itu.

Keng Hong merasa seakan-akan semua urat di tubuhnya dibetot, demikian hebat rasa nyeri pada tubuhnya sehingga jari-jari kaki tangannya mengkerut, mukanya berkerut dan peluh sebesar kacang hijau keluar memenuhi mukanya. Namun dia mengeraskan hati dan tidak mau mengeluh.

"Apa kehendakmu, Kwi-bo?"

"Katakan, engkau minta mati atau hidup?"

"Maksudmu bagaimana? Kalau minta mati bagaimana kalau hidup bagaimana?"

Ang-bin Kwi-bo menggeget kedua baris giginya sehingga terdengar bunyi berkerot.

"Bedebah, engkau keras kepala dan sombong seperti Sie Cun Hong! Sudah menghadapi maut masih bicara besar! Dasar engkau murid seorang yang besar kepala, seorang yang sejahat-jahatnya di dunia ini, seorang..."

"Cukup, Kwi-bo! Suhu sudah meninggal dunia, tidak perlu kau maki-maki. Apa pun yang kau katakan, aku yakin bahwa suhu merupakan seorang yang paling gagah perkasa dan berbudi mulia di dunia ini!"

"Mulia? Cuhhh!" Ang-bin Kwi-bo meludah. Ludah kental itu meluncur ke tanah dan amblas seperti sebutir peluru. "Kau bangun dan duduklah, agar aku dapat melihat mukamu!"

Keng Hong menahan rasa nyeri yang membuat pandang matanya berkunang ketika dia bangkit duduk dan menghadapi nenek itu. Sejenak nenek itu menatap penuh perhatian, kemudian berkata,

"Hemm… Memang cocok menjadi murid Sie Cun Hong, gagah dan tampan." Nenek itu mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan, "Sayang jika harus mati dalam usia muda. Gadis-gadis cantik akan kehilangan seorang penggoda dan pemikat menarik, hi-hi-hi-hik! Cia Keng Hong, kau berikan ilmu Thi-khi I-beng kepadaku dan engkau takkan kubunuh!"

"Hemmm, itukah yang dikehendakinya?" Keng Hong memutar otaknya.

Teringatlah dia akan Kiu-bwe Toanio yang juga pernah menawannya dan memaksanya mengajarkan Thi-khi I-beng, akan tetapi kemudian malah hendak menyedot sinkang-nya sampai habis!

Nenek ini, Ang-bin Kwi-bo, adalah seorang datuk kaum sesat, yang selain jauh lebih lihai dari pada Kiu-bwe Toanio, juga jauh lebih kejam, lebih curang dan jahat. Ia harus dapat bertahan, walau pun sedikit tetap saja ada harapan dapat hidup setelah terjatuh di tangan nenek iblis ini. Akan tetapi kalau dia ajarkan ilmu itu, dengan memiliki ilmu itu berarti dia telah membantu nenek ini merajalela melakukan banyak kejahatan. Tentu nenek ini akan menjadi lebih lihai dan lebih jahat.

"Aku tidak pernah mempelajari ilmu yang kau sebut Thi-khi I-beng itu, Kwi-bo. Bagaimana aku akan dapat memberikan kepadamu?"

Nenek yang tadinya terkekeh-kekeh itu tiba-tiba seperti serigala, dan sesudah dua kali ia menggerakkan ikat pinggangnya, Keng Hong mengeluh dan terguling pingsan. Rasa nyeri tak tertahankan lagi olehnya.

Melihat pemuda itu pingsan, Ang-bin Kwi-bo menjadi semakin marah dan panas hatinya. Melihat korbannya pingsan, dia merasa seperti diejek. Kalau pemuda itu sudah pingsan, apa yang dapat dia lakukan? Menyiksanya pun tiada guna, biar disayat-sayat tubuh itu, tak akan terasa dan juga dia tidak akan mendapatkan Thi-khi I-beng!

Keng Hong siuman. Kedua pundaknya terasa panas dan nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh.

"Cia Keng Hong! Apakah engkau masih berkeras kepala tidak mau memberikan ilmu itu kepadaku?" Ang-bin Kwi-bo yang melihat pemuda itu siuman cepat bertanya.

Keng Hong maklum bahwa kini dia tak perlu lagi berpura-pura. Memang dia tidak pernah mempelajari Thi-khi I-beng, melainkan memperoleh ilmu itu secara otomatis saat gurunya memindahkan sinkang ke tubuhnya, kemudian dia dapat menguasai dan mengendalikan hawa mukjijat itu setelah dia memperdalam ilmunya di tempat rahasia dalam batu pedang di Kiam-kok-san. Akan tetapi dia kini sudah memiliki ilmu itu dan agaknya ilmu itulah yang disebut Thi-khi I-beng dan yang selama ini dikabarkan sudah lenyap dari dunia persilatan.

"Ang-bin Kwi-bo, andai kata aku memiliki ilmu yang kau sebutkan itu sekali pun, agaknya tak mungkin dapat kuberikan kepadamu. Engkau adalah seorang tokoh yang jahat seperti iblis..."

"Sombong! Kau kira engkau ini orang apa? Kau kira gurumu itu manusia baik-baik? Sin-jiu Kiam-ong adalah seorang manusia busuk, seorang suami yang tidak setia!"

"Cukup, Kwi-bo! Mau bunuh boleh bunuh, aku tidak takut mati. Tetapi tidak perlu engkau menjelek-jelekkan nama baik suhu. Suhu adalah seorang yang mulia, mana bisa beliau dibandingkan dengan engkau?"

"Sie Cun Hong, hi-hi-hik-hik. Dengarlah omongan muridmu ini!" Nenek itu berdongak dan bicara kepada awan di angkasa seolah-olah dia bicara dengan arwah Sin-jiu Kiam-ong. "Hi-hi-hik, Cia Keng Hong, engkau benar kepala batu. Kalau tidak disiksa engkau tentu akan berkeras kepala terus. Sekarang kita kesampingkan dahulu ilmu Thi-khi I-beng! Aku hanya minta kau mengatakan bahwa Sie Cun Hong gurumu itu adalah seorang manusia cabul. Hayo, katakan!"

"Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong guruku itu adalah seorang lelaki sejati, dan perempuan-perempuan itulah, termasuk engkau, yang tergila-gila kepadanya!"

Ang-bin Kwi-bo memelintir ikat pinggang pada kedua telapak tangannya itu. Hawa panas beracun dari kedua tangannya yang membuat dia terkenal, yaitu Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) menjalar ke dalam ikat pinggang itu, terus kepada kaitan emas dan memasuki tubuh Keng Hong melalui pundaknya.
Selanjutnya,