Pedang Kayu Harum Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA menuju ke sebuah dusun kemudian dengan bantuan para penduduk di situ, lima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya turut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih,

"Totiang tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima."

Enam orang Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sambil berkemak-kemik di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci pemuda ini yang sudah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti pula bahwa pemuda itu dapat mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan diri.

Kewajiban mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai lalu menyerahkannya kepada para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa walau pun kedua lengannya telah dibelenggu, apa bila pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah lawannya.

Dua orang wanita anak murid Kong-thong-pai itu, di samping menyimpan rasa benci dan dendam akibat kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua merasa amat kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, juga kagum akan sikapnya yang tenang dan gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan kebagusan bentuk tubuhnya.

Apa lagi bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik berbaju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika dia dan para saudara seperguruannya bersama murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini, bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkang-nya oleh pemuda yang aneh ini. Dia kagum sekali akan kegagahan Keng Hong.

Kiu Bwee Ceng ini adalah seorang janda muda dan usianya mendekati tiga puluh tahun. Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara para suheng-suheng-nya. Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang mampu menandingi suaminya. Bagaimana hatinya tak akan menjadi tertarik?

Apa lagi karena ia dapat pula menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid Lam-hai Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika tadi melihat betapa Keng Hong membentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, dia menjadi makin tertarik.

Ada pun wanita ke dua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoi-nya. Wanita ini masih gadis meski pun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki wajah yang cantik dengan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, akan tetapi gadis ini selalu menolaknya karena tidak ada seorang pun di antara para pelamar itu yang menggerakkan hatinya.

Sekarang bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tiak karuan rasanya. Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yang telanjang sebagian akibat pakaiannya telah robek-robek termakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi.

Melihat kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi sudah menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang yang sangat hebat hingga gurunya sendiri pun tak kuat menghadapinya, hati gadis ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya berdebar tidak karuan.

Bwee Ceng agaknya maklum akan gerak-gerik sumoi-nya. Sebagai seorang wanita yang pernah bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoi-nya, dia dapat menduga bahwa sumoi-nya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri. Diam-diam dia mendekatinya sumoi-nya sehingga mereka berjalan berendeng, agak jauh dari empat orang suheng mereka.

Bwee Ceng menowel lengan sumoi-nya, dan bicara berbisik-bisik sambil kadang-kadang memandang ke arah tawanan mereka itu. Kelihatan mata Swat Si terbelalak memandang suci-nya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya mengerling tajam sambil membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka, kecuali Keng Hong!

Pada saat itu, Keng Hong sedang berjalan sambil melamun, memikirkan Sie Biauw Eng. Kebenciannya dan penyesalan hatinya terhadap gadis itu makin menghebat. Ia mengerti bahwa gadis itu sangat mencintainya, entah cinta hanya terdorong nafsu birahi belaka, seperti yang terbukti dari pengalamannya malam itu ketika Biauw Eng mendatanginya dan mencurahkan segala kemesraan kepada dirinya, entah cinta yang lain lagi sifatnya sebab buktinya secara diam-diam gadis itu selalu mengikutinya dan membantunya.

Betapa pun sifatnya, dua macam cinta kasih ini tentu saja dapat dia terima dengan hati senang dan puas. Akan tetapi yang membuat dia menyesal dan membenci adalah bahwa setiap kali Biauw Eng turun tangan, tentu terjadi pembunuhan keji dan akibatnya dialah yang dimusuhi orang!

Yang terakhir ini sudah keterlaluan. Kalau saja Biauw Eng tidak turun tangan, tak mungkin empat orang tokoh murid Kong-thong-pai tewas dan seorang tokoh di antara Kong-thong Ngo-Iojin tewas pula!

Dan yang paling memanaskan hatinya akan kekejian gadis itu adalah kematian Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang lemah lembut, yang sama sekali tidak berdosa. Hanya karena gadis Hoa-san-pai itu mencintainya lalu dibunuh secara keji oleh Biauw Eng. Hemmm. demikian kejikah hati seorang wanita yang sudah mencinta? Apakah kalau melihat setiap orang wanita lain mencintanya, lalu turun tangan tangan membunuhnya? Ahhh, ingin dia melihatnya!

Jika memang demikian, dia harus dapat menangkap basah Biauw Eng, dan menyeretnya untuk menerima hukuman dari partai persilatan yang bersangkutan! Biar pun dia memiliki perasaan sayang yang sangat aneh di sudut hatinya terhadap Sie Biauw Eng, akan tetapi mengingat akan kekejian gadis itu, ingin sekali ia menangkap basah Biauw Eng kemudian menyerahkannya kepada Hoa-san-pai atau Kong-thong-pai!

Pada saat dia merenung sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan dua orang wanita yang berjalan sedikit jauh di sebelah belakangnya. Ketika itu Keng Hong sedang termenung dan keadaan orang yang termenung hampir sama dengan keadaannya kalau sedang bersemedhi.

Begitu telinganya dapat menangkap bisikan-bisikan itu, dia menghentikan renungannya dan mencurahkan perhatiannya pada bisikan-bisikan tadi sehingga terdengar cukup jelas oleh Keng Hong yang memang memiliki sinkang yang sangat kuat itu. Muka Keng Hong menjadi merah ketika dia menangkap bisikan-bisikan itu dan dia mengerling ke kanan kiri, ke arah empat orang murid pria Kong-thong-pai yang berjalan di kanan kirinya, akan tetapi hatinya lega melihat mereka ini tidak mendengar apa-apa.

"Suci apa yang kau katakan ini? Jangan menuduh yang bukan-bukan…," terdengar jelas oleh Keng Hong gadis baju biru, Tang Swat Si, berbisik.

"Hi-hik-hik, tak perlu bepura-pura lagi, Sumoi. Aku pun amat tertarik padanya. Dia seorang jantan pilihan, dan kalau saja kita dapat menerima cintanya untuk semalam saja… ahh, selamanya kita tidak akan penasaran...," balas Kiu Bwee Ceng sambil menghela napas.

"Ihhh..! Suci, apa yang kau katakan ini? Sungguh memalukan.."

"Memalukan apa? Sumoi, kita sama-sama wanita dan sama-sama jatuh hati kepadanya. Dia mempunyai sinkang yang kuat luar biasa. Siapa tahu, kalau... satu kali saja dia suka melimpahkan cintanya kepada kita…, sinkang-nya yang kuat itu akan menular kepada kita..."

"Hina dan rendah sekali, Suci.."

"Benarkah? Kurasa tidak demikian isi hatimu. Atau, kalau engkau tidak mau, biarlah aku yang mencobanya asal engkau dapat menutup rahasia ini. Kulihat matanya penuh gairah ketika memandang kita. Mata seperti itu hanya dimiliki oleh pria yang bersemangat dan yang selalu suka kepada wanita. Malam ini... kalau ada kesempatan, kalau engkau mau, lebih baik lagi..., maukah engkau, Sumoi?"

"Ihhhhh, aku... aku malu, Suci. Engkau lebih dulu..."

"Baik, aku lebih dulu dan engkau menjaga. Kalau berhasil, akan kubujuk dia supaya suka melayanimu pula."

Keng Hong tersenyum dalam hatinya, tersenyum geli. Alangkah banyaknya wanita cantik seperti mereka itu di dunia ini. Seperti Cui Im! Bahkan Biauw Eng, yang tadinya disangka lain dari pada yang lain, bukan penghamba nafsu birahi, kiranya juga sama saja! Ahh, dia tidak peduli lagi. Kalau memang mereka menghendaki dia tidak akan menolak. Mereka itu manis-manis dan apakah kata gurunya?

"Uluran cinta kasih wanita merupakan anugerah nikmat yang tidak semestinya dibiarkan sia-sia, tentu saja kalau engkau sendiri tertarik kepadanya. Kalau tidak sekali pun, jangan menolak secara kasar karena hal itu akan menyakiti perasaannya yang halus. Tidak ada sakit hati yang lebih parah bagi seorang wanita dari pada cintanya ditolak oleh seorang pria."

Dia akan melayani mereka bahkan akan membuka jalan. Hal ini bukan sekali-kali karena dia sudah tergila-gila kepada mereka, atau sudah terlalu mendesak keinginannya untuk bermain cinta dengan mereka. Sama sekali bukan. Terutama sekali karena dia sekarang mendapat jalan untuk memancing Biauw Eng.

Bukankah Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi karena gadis Hoa-san-pai itu mencintai dirinya? Nah, biarlah dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini bermain cinta dengannya supaya Biauw Eng turun tangan pula membunuh mereka. Akan tetapi sekali ini dia akan waspada, tidak akan tertidur pulas dan akan selalu menjaga agar dia dapat menangkap Biauw Eng bila gadis itu berusaha membunuh mereka, dan tentu saja dia akan berusaha mencegah pembunuhan atas diri ke dua orang murid Kong-thong-pai ini.

Malam itu, rombongan murid Kong-thong-pai bermalam di sebuah dusun. Karena mereka tidak ingin mengganggu penduduk dusun itu, dan di dalam dusun kecil itu tidak terdapat rumah penginapan, terpaksa mereka lalu mengaso di dalam sebuah kuil tua yang sudah kosong.

Hati para murid Kong-thong-pai itu tengah risau dan berduka berhubung dengan kematian guru mereka, ada pun Keng Hong merupakan seorang tawanan yang suka rela, tak perlu dijaga lagi karena andai kata mau melarikan diri, biar dijaga sekali pun akan percuma dan tetap akan dapat lari. Maka empat orang murid pria dan dua orang murid wanita itu segera merebahkan diri mengaso di lantai kuil setelah mereka makan malam dan lantai itu disapu bersih oleh Bwee Ceng dan Swat Si.

Tentu saja, seperti biasa, Bwee Ceng dan Swat Si memisahkan diri. Biar pun empat orang itu adalah suheng-suheng mereka, namun sebagai wanita tentu saja mereka merasa tidak leluasa untuk tidur di dalam suatu ruangan dengan mereka, apa lagi di situ terdapat Keng Hong dan lebih-lebih lagi karena mereka berdua diam-diam mempunyai rencana rahasia!

Malam itu, menjelang tengah malam, Bwee Ceng berindap memasuki ruangan belakang di mana Keng Hong tidur. Pemuda ini memang sengaja memilih ruangan terpisah untuk tidur. Dengan suara gemetar Bwee Ceng berbisik,

"Keng Hong.."

Keng Hong memang belum tidur, dia masih duduk bersandar tembok kuil. "Ah, engkaukah itu? Apakah kehendakmu?"

"Aku... aku ingin membuka belenggumu. Amat tidak enak bila tidur dengan kedua tangan terbelenggu."

Keng Hong tersenyum dan mengangkat kedua tangannya yang sudah bebas. Dia sudah membuka sendiri belenggu tangannya yang dia taruh di atas lantai. "Aku sudah bebas dan siap menantimu, nona. Ataukah... perasaan cintamu yang kau bisikkan siang tadi sudah berubah?"

Bwee ceng makin kaget. "Kau… kau dapat mendengarkan percakapan itu...?"

"Tentu saja, dan aku merasa girang sekali. Kalian adalah nona-nona yang cantik manis. Akan tetapi, kita harus keluar dari kuil ini. Tidak enak rasanya apa bila kita bersenang-senang di sini, di mana para suheng-mu sedang tidur. Dan ajaklah sumoi-mu. Kita bertiga berjalan-jalan di kebun belakang kuil. Bagaimana, maukah?"

Dengan dua pipi berubah kemerahan Bwee Ceng hanya mengangguk-angguk, tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian dia tertawa kecil dan berlari-larian pergi untuk memanggil sumoi-nya. Keng Hong sudah melangkah keluar dari kuil menuju ke kebun bunga yang berada di belakang kuil.

Seperti kuil itu sendiri, kebun itu pun tidak terpelihara, namun masih banyak bunga-bunga liar tumbuh di situ dan ditumbuhi rumput tebal. Keng Hong yang hendak mempergunakan pertemuannya dengan dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini sebagai ‘pancingan’ kepada Biauw Eng, memilih tempat terbuka dan duduklah dia di atas tanah yang bertilam rumput hijau tebal. Tak lama dia menanti dan tampaklah Bwee Ceng, janda muda ini yang begitu tiba di tempat itu, lalu menarik sumoi-nya duduk di dekat Keng Hong, kemudian sambil tersenyum dia merangkul Keng Hong yang balas memeluknya.

"Ahh, engkau begini tampan, begini gagah...," Bwee Ceng berbisik.

Karena memang sudah mempunyai dasar batin lemah terhadap godaan nafsu, meski pun tadinya sungkan dan malu, atas desakan Bwee Ceng dan keramahan Keng Hong, pada akhirnya Swat Si mulai berani pula membalas rangkulan Keng Hong.

Pemuda ini melayani kedua orang murid Kong-thong-pai yang dimabuk nafsu itu dengan penuh kesediaan dan keramahan, tetapi dia hanya mencurahkan perhatiannya setengah saja untuk itu, karena sebagian perhatiannya lagi dia kerahkan untuk meneliti keadaan di sekeliling kebun itu, dan untuk dapat ‘menangkap basah’ apa bila Biauw Eng turun tangan melakukan serangan kejam terhadap dua orang nona dalam pelukannya.

Menjelang fajar, Swat Si sudah tertidur kelelahan, dan Bwee Ceng masih membelai dan memeluk Keng Hong. Janda ini benar-benar tergila-gila kepada pemuda perkasa itu dan dia berbisik-bisik mesra,

"Keng Hong, kekasihku... Engkau jangan khawatir, kelak di hadapan para supek-ku, aku akan membelamu dan akan kuceritakan bahwa bukan engkau yang membunuh suhu dan keempat orang suheng-ku, melainkan Song-bun Siu-li. Aku akan bersumpah dan dengan segala daya akan kubela engkau, kekasihku."

Keng Hong lalu menciumnya sambil tersenyum. "Engkau baik sekali, Bwee Ceng. Terima kasih."

Pada saat itu, Keng Hong cepat melepaskan pelukan Bwee Ceng dan tubuhnya bergerak ke depan, menangkap dua benda yang mengeluarkan sinar putih dan yang menyambar cepat ke arah pelipis Bwee Ceng dan Swat Si. Tepat seperti dugaannya, Biauw Eng turun tangan menyerang dengan senjata rahasianya, yaitu bola-bola putih berduri!

"Biauw Eng, perempuan keji...!" Keng Hong cepat meloncat ke arah dari mana datangnya senjata-senjata rahasia itu, tidak peduli bahwa tubuhnya masih telanjang. Akan tetapi tak tampak bayangan seorang pun manusia.

Keng Hong cepat-cepat kembali dan mengenakan pakaian, sedangkan dua orang wanita itu sudah cepat kembali ke dalam kuil. Karena tidak berhasil menangkap Biauw Eng, Keng Hong dengan hati panas kembali ke ruangan belakang kuil, lalu tertidur sampai pagi.

Pada keesokan harinya, dengan wajah berseri dan kedua pipi kemerahan, Bwee Ceng dan Swat Si sudah memasak makanan. Pagi-pagi benar mereka telah membeli beberapa ekor ayam dan gandum dari penduduk dusun, bahkan Bwee Ceng membawa pula seguci arak.

Keng Hong yang melihat betapa wajah mereka berseri, diam-diam harus mengakui bahwa mereka itu cantik-cantik dan manis, maka hatinya menjadi makin girang. Apa lagi melihat Swat Si yang menahan senyum dan dengan malu-malu kadang-kadang mengerling ke arahnya, dia mengakui gadis ini dan membandingkannya dengan Ciang Bi. Untung bahwa dia bersikap waspada, kalau tidak, tentu dua orang wanita cantik ini sekarang sudah menjadi mayat, pelipis mereka telah pecah oleh dua bola putih berduri korban keganasan Biauw Eng. Ia makin marah dan benci kepada Biauw Eng.

"Wah, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) sungguh rajin, sepagi ini sudah mendapatkan makanan pagi yang lengkap!" Keng Hong berseru gembira sambil mendekati salah seorang murid Kong-thong-pai minta dibukakan belenggunya.

Murid Kong-thong-pai itu lalu membuka belenggu tangannya untuk memberi kesempatan Keng Hong ikut makan pagi.

"Ehh, ada araknya pula. Dari mana Ji-wi bisa mendapatkan arak?"

Swat Si tidak dapat mengeluarkan suara. Ia masih merasa malu dan jengah dan sehingga khawatir kalau-kalau suaranya akan gemetar. Bwee Ceng tersenyum dan menjawab,

"Kebetulan sekali ada seorang wanita petani membawa hendak ditawarkan kepada kita. Aku lalu membelinya dan araknya baik sekali, wangi."

Setelah masakan gandum dan ayam matang, makanlah Keng Hong bersama enam orang murid Kong-thong-pai itu dan kalau melihat keadaan mereka itu, Keng Hong sama sekali bukan seperti seorang tawanan, melainkan seorang sahabat baik. Bahkan empat orang murid laki-laki Kong-thong-pai kini sudah mulai mengajaknya bercakap-cakap dan kadang kala berkelakar.

Ketika Bwee Ceng membagikan arak dan menuangkan arak pada cawan masing-masing yang diambilnya dari bungkusan perbekalan mereka, tercium bau arak yang wangi dan sedap sekali. Mereka menjadi gembira dan segera mengangkat cawan arak dan minum arak yang ternyata manis dan enak sekali.

Akan tetapi, mendadak Keng Hong mengerutkan alisnya ketika arak itu melalui lidahnya. Mulutnya yang sudah sangat peka itu dapat merasakan ada racun yang amat kuat berada di dalam arak, racun yang sama sekali tidak berbau dan tidak ada rasanya. Akan tetapi begitu tersentuh racun itu lidahnya sudah dapat merasakan dan tahulah dia bahwa dia hendak di racun!

Keng Hong tersenyum ketika dia mengerling ke arah Swat Si yang kebetulan mengerling ke arahnya pula dari balik cawannya. Hemm, tentu cawan untuknya itu saja yang diberi racun. Diam-diam dia mengeluh hatinya.

Agaknya kedua orang wanita itu, ataukah Bwee Ceng itu karena dia tidak percaya bahwa Swat Si yang begitu halus dan mesra akan suka meracuninya, sengaja ingin membunuh dia karena khawatir kalau-kalau peristiwa semalam akan terbongkar dan diketahui orang lain. Kalau Keng Hong mati, tentu rahasia itu takkan pernah dapat terbongkar lagi. Begini kejamkan wanita? Keng Hong hanya mengeluh dalam hatinya, akan tetapi terus meneguk habis araknya karena baginya, racun itu tidak akan ada bahayanya.

Tiba-tiba Keng Hong meloncat bangun ketika melihat perubahan pada wajah enam orang itu. Mendadak saja wajah enam orang itu berubah. Mendadak saja wajah mereka yang tadinya duduk di atas lantai itu menjadi biru.

"Aduhhh... Keng Hong..!" Swat Si mengeluh.

Melihat wajah Swat Si, hati Keng Hong penuh keharuan dan kekhawatiran. Dia cepat meloncat dekat dan merangkul leher gadis itu. Wajah gadis itu menjadi agak menghitam, tubuhnya berkelojotan, akan tetapi matanya memandang wajah Keng Hong dan mulutnya agak tersenyum walau pun giginya yang kecil rata dan putih mengkilap itu menggigit bibir bawah menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk perut.

"Swat Si... kenapa...?" Keng Hong yang mendekapnya bertanya khawatir.

"Keng Hong... jangan lupakan aku…" Swat Si berbisik kemudian tubuhnya menjadi lemas, matanya mendelik.

Tak salah lagi, tentu arak itu! Dan Bwee Ceng yang membelinya! Ia melepaskan tubuh Swat Si yang sudah sekarat lalu membalik menubruk Bwee Ceng, mengangkat tubuh itu yang lalu di rangkulnya.

Seperti juga Swat Si, ketika memandangnya, Bwee Ceng berusaha untuk tersenyum.

"Keng Hong... arak... itu... ada racun.. aku tidak penasaran... setelah semalam..." Ia tidak dapat melanjutkan karena tubuhnya berkelojotan dan matanya mendelik pula.

Keng Hong segera melepaskan Bwee Ceng dan memeriksa keempat orang murid pria Kong-thong-pai. Semua sama keadaannya, merasa sekarat dan dalam perjalanan maut.

Arak beracun! Seorang wanita petani menjual seguci arak kepada Bwee Ceng! Seperti kemasukan setan Keng Hong meloncat dan lari memasuki dusun. Hari masih pagi sekali akan tetapi seperti kebiasaan dusun-dusun, sepagi itu para penduduk telah bangun.

Melihat Keng Hong berlari-lari, mereka semua merasa terkejut dan amat heran. Bukankah pemuda ini yang kemarin menjadi tawanan enam orang gagah yang bermalam di dalam kuil? Pemuda tampan ini tentulah seorang penjahat, maka menjadi tawanan enam orang pendekar itu.

"Siapa yang sudah menjual seguci arak kepada kami?" Keng Hong berteriak-teriak seperti orang gila.

Seorang wanita setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak melangkah maju dan berkata, "Saya yang menjual seguci arak kepada mereka tadi pagi. Ada apakah orang muda? Arakku hanya ada seguci itu, kalau mau tambah lagi harus pergi ke kota..!"

Wanita itu menghentikan kata-katanya, berganti mengaduh-aduh sebab Keng Hong telah mencekeram lengannya. Tadinya pemuda ini mengira bahwa nenek yang telah meracuni mereka tentu mempunyai kepandaian lihai, akan tetapi ketika memegang lengannya dan mendapat kenyataan bahwa wanita ini tidak bisa apa-apa dan sangat lemah, dia segera mengendurkan cengkeramannya dan membentak,

"Lekas katakan! Dari mana engkau mendapat arak itu? Awas kalau membohong, kubunuh kau!"

Para penduduk dusun itu menjadi marah menyaksikan kekasaran Keng Hong terhadap seorang wanita. Mereka itu, yang laki-laki, sudah menyerbu sambil memaki, "Orang gila! Kenapa datang-datang mengamuk? Engkau adalah seorang tawanan, tentu seorang yang jahat!" Melayanglah pukulan dan tendangan ke tubuh Keng Hong.

Tapi pemuda ini tidak mempedulikan mereka semua dan tetap memegangi lengan wanita setengah tua yang menggigil ketakutan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika serangan itu mengenai tubuh Keng Hong, disusul teriakan-teriakan mengaduh-ngaduh para penyerang itu sendiri karena kaki tangan mereka bertemu dengan tubuh yang kerasnya seperti baja!

"Dia setan...!"

"Siluman...!" teriakan-teriakan mereka yang mengaduh-ngaduh ini membuat suasana di situ menjadi gaduh sekali.

"Saudara-saudara jangan bertindak sembrono!" Keng Hong berteriak lantang, "arak yang dijual oleh wanita ini mengandung racun karena semua sahabatku yang meminum arak itu kini mati semua!"

Mendengar penjelasan ini, orang-orang dusun itu menjadi pucat mukanya dan otomatis mereka melangkah mundur lalu memandang ke arah wanita itu dengan mata terbelalak. Wanita itu sendiri kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

"Aku tidak tahu apa-apa... Aku tidak tahu tentang arak dan tentang racun. Seguci arak itu aku terima dari seorang puteri dengan pesan supaya kuberikan kepada rombongan yang menginap di kuil... Dan… karena niocu (nona) itu berbaik hati memberi hadiah uang..., tentu kuterima…"

Keng Hong melepaskan cengkeraman tangannya dan mendorong tubuh wanita setengah tua itu yang terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan yang terasa nyeri, menangis dengan muka pucat.

"Lekas katakan, seperti apa macamnya nona yang memberi arak kepadamu itu?"

"Dia masih muda, cantik sekali bagaikan dewi... pakaiannya serba putih, suaranya halus dan..."

Akan tetapi Keng Hong sudah meloncat pergi dan sebentar saja sudah lenyap dari depan para penduduk yang melongo keheranan. Keng Hong tidak lagi merasa heran mendengar keterangan wanita dusun itu karena memang sudah disangkanya. Tangan keji Biauw Eng lagi! Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng yang menggunakan racun membunuh enam orang Kong-thong-pai itu?

Pagi tadi, menyaksikan dua orang gadis Kong-thong-pai dilayani bercinta kasih oleh Keng Hong, dalam cemburunya gadis berwatak iblis itu lalu menyerang dengan senjata rahasia. Kemudian, karena ada Keng Hong yang menghalangi niat kejinya, dia lalu menggunakan racun secara keji dan cerdik sekali. Tentu gadis itu tahu bahwa Keng Hong kebal akan racun, akan tetapi enam orang Kong-thong-pai tidak!

"Biauw Eng, engkau sungguh jahat!" Keng Hong berkata dengan hati penuh penyesalan dan duka ketika dia tiba di dalam kuil dan berdiri memandang ke arah enam sosok mayat murid-murid Kong-thong-pai itu.

Dengan perasaan berat Keng Hong kemudian menggali lubang di pekarangan kuil dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah selesai dia meninggalkan kuil dan baru mendapat kenyataan bahwa banyak penduduk menonton dari jauh dan secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia melangkah dekat, mereka melarikan diri dan terdengar suara mereka,

"Pembunuh...! Pembunuh keji…!"

Keng Hong menghela napas panjang. Semua murid-murid Kong-thong-pai dibunuh Biauw Eng, dan kembali dialah yang tertuduh. Dia tak menyalahkan orang-orang dusun itu yang menuduhnya, dan ia merasa tak ada gunanya untuk memberi penjelasan kepada mereka. Semakin keras hasrat hatinya untuk cepat kembali ke Kiam-kok-san, di mana dia tak akan berhubungan lagi dengan dunia ramai, takkan terlibat segala urusan manusia yang hanya membuat kegetiran-kegetiran dan permusuhan. Dia berjalan terus mendaki lereng Pegunungan Kun-lun-san.

********************
Keng Hong berhenti melangkahkan kakinya dan memandang ke kiri dengan rasa kagum. Gadis itu, dia berani menduga bahwa bayangan tubuh ramping gesit itu tentulah seorang gadis, berlari dengan cepat sekali.

Tadinya jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas karena mengira bahwa gadis itu Biauw Eng. Akan tetapi setelah agak dekat dan pakaian gadis itu hijau muda, tidak putih seperti pakaian Biauw Eng, dia menduga-duga. Jelas bukan Biauw Eng, bukan pula Cui Im, sungguh pun gerakan gadis itu menunjukkan ginkang yang sudah tinggi.

Yang jelas berbeda dan tampak dari jauh adalah cara gadis ini menyanggul rambutnya, disanggul tinggi di atas kepala seperti sebuah menara yang bergoyang-goyang ketika dia berlari cepat. Di punggungnya tampak sebatang pedang dalam sarung pedang merah.

Ketika gadis yang ternyata cantik manis dengan pandang mata tajam dan penuh gairah hidup itu tiba di dekat Keng Hong yang duduk di bawah pohon, gadis itu kelihatan kaget, akan tetapi dia bahkan langsung menghampiri Keng Hong. Sejenak gadis itu memandang tajam kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan ketika dia bertanya,

"Maafkan kalau aku yang sesat jalan mengganggu Twako dengan pertanyaan."

Keng Hong tersenyum. Senang hatinya menyaksikan sikap gadis yang membayangkan kegagahan ini ternyata sangat peramah dan sopan santun. Dia cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatannya, kemudian menjawab,

"Sudah sewajarnya apa bila dua orang yang saling jumpa di tempat sesunyi ini saling bertanya. Nona hendak bertanya tentang apakah?"

Gadis itu kembali tertegun. Agaknya dia sama sekali tak mengira bahwa pemuda tampan yang duduk mengaso di pohon itu adalah seorang yang demikian halus tutur sapanya, membayangkan seorang yang tahu akan kebudayaan dan sama sekali bukanlah seorang penduduk pegunungan yang buta huruf. Maka pandang matanya menjadi semakin tajam dan penuh selidik.

"Aku hendak bertanya jalan yang menuju ke Kiam-kok-san.."

Kini Keng Hong yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera bisa menekan perasaannya dengan pengertian bahwa sekarang ini Kiam-kok-san agaknya menjadi mercu suar bagi orang-orang kang-ouw, menjadi seperti sebuah lampu yang menarik datangnya laron dan kupu-kupu.

Ia menarik napas panjang, kemudian mencari jalan untuk mengetahui siapakah gerangan nona muda ini yang juga ikut-ikutan memperebutkan pusaka Kiam-kok-san. Karena hanya orang yang ingin memperoleh pusaka-pusaka milik suhu-nya sajalah yang bertanya-tanya tentang Kiam-kok-san!

"Pertanyaanmu sangat mengejutkan hati, Nona. Kiam-kok-san bukan sebuah tempat yang dikenal oleh semua orang. Bolehkah aku mengetahui namamu dan keperluannya mencari tempat seperti itu? Perkenalkan, aku she Cia..."

"Harap engkau suka berbaik hati menunjukkan jalan itu kalau kau mengetahuinya ..ehhh, Cia-twako. Namaku ialah Tan Hun Bwee dan tentang keperluanku dengan Kiam-kok-san adalah urusan pribadiku. Apa bila engkau mengetahui tempat itu dan dapat menunjukkan jalan untukku, aku akan berterima kasih sekali. Kalau engkau tidak mengetahui, biarlah aku pergi mencari sendiri, tidak perlu terlalu lama di sini.."

Keng Hong tersenyum. "Aku sudah tahu mengapa Nona datang mencari Kiam-kok-san. Bukankah Nona puteri Ketua Hek-houw Piawkiok bernama Tan Kai Sek?"

Nona itu terkejut sekali, kemudian tangannya bergerak secara otomatis hendak meraba pedangnya sambil bertanya dengan suara nyaring, "Engkau siapakah?" Apakah engkau murid Kun-lun-pai dan hendak menghalangi aku mencari Kiam-kok-san?"

Keng Hong tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi nona itu, menghampiri pohon dan duduk kembali di bawah pohon yang teduh. Setelah duduk menghadapi nona itu dia berkata, "Tenanglah, Nona dan tidak perlu mencabut pedang itu. Aku bukan murid Kun-lun-pai dan juga tidak akan menghalangi orang. Marilah duduk di sini dan dengarlah dulu kata-kataku, baru kutunjukkan padamu jalan ke Kiam-kok-san."

Tan Hun Bwee, gadis itu, menjadi curiga, namun karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dia tidak merasa takut dan menghampiri lalu duduk agak jauh di atas sebuah batu, menghadapi pemuda yang ia dapat menduga tentu bukan orang sembarangan itu. Orang yang tahu akan adanya Kiam-kok-san kiranya bukan sembarangan orang.

"Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal ayahku?"

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku she Cia dan tentang ayahmu, pernah aku bertemu dan berkenalan. Aku tahu bahwa ayah beserta ibumu pernah mendatangi Kiam-kok-san untuk memusuhi Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi gagal karena dikalahkan oleh kakek itu. Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan urusan itu?"

Kembali gadis itu terkejut dan terheran-heran. Bagaimana pemuda tampan dan halus tutur sapanya ini mengetahui akan hal itu? Ia tak suka urusan pribadi orang tuanya dibicarakan orang lain, maka dia pun menjawab singkat, "Dendam besar antara keluarga kami dengan Sin-jiu Kiam-ong adalah urusan pribadi, tidak perlu aku membicarakannya dengan orang lain. Apa bila engkau mengetahui jalan ke Kiam-kok-san dan suka menunjukkannya kepadaku, harap katakan sekarang juga."

"Nanti dulu, Nona. Kenapa Nona berkeras hendak mendatangi Kiam-kok-san? Kakek yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong itu sudah meninggal dunia, dengan demikian maka urusan yang ada antara beliau dan orang tua Nona sudah terhapus..."

Sepasang alis menjelirit hitam itu bergerak-gerak, sangat indah dalam pandangan Keng Hong, lantas bibir yang merah itu bergerak cepat, "Terhapus bagaimana? Enak saja! Dia seorang yang amat jahat, seorang manusia sombong dan keji, yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga ayahku!"

"Ah, terlalu keras engkau menjatuhkan keputusan, Nona. Aku pun telah mengetahui akan urusan antara Sin-jiu Kiam-ong dan orang tuamu. Bukankah dahulu orang tuamu sebagai piauwsu dari Hek-houw Piauwkiok pernah dirampok oleh kakek itu yang lalu merampas benda-benda perhiasaan milik seorang pembesar tinggi?"

"Bukan itu saja! Bahkan dia berani mengganggu puteri dari menteri..."

"Hemmm, bukan mengganggu, karena keduanya sama suka. Puteri itu tadinya ditawan dengan maksud dimintakan uang tebusan dan Sin-jiu Kiam-ong melakukan hal ini sebagai pelajaran oleh karena sang menteri adalah seorang pejabat tinggi yang di samping korup juga menindas rakyat mengandalkan kekuasaan. Akan tetapi puteri itu jatuh cinta kepada Sin-jiu Kiam-ong sehingga terjadilah hubungan cinta kasih antara mereka. Urusan itu ada sangkut pautnya dengan orang tuamu?"

"Piauwkiok ayahku menjadi tercemar namanya, dan menyeret pula nama besar ayahku. Pendeknya, aku tidak terima! Biar pun Sin-jiu Kiam-ong telah menginggal, tapi dia masih berhutang kepada ayahku, dan aku harus mendapatkan kembali harta pusaka yang dia rampok karena itu menjadi hakku, di samping pusaka lainnya yang ditinggalkannya. Aku akan menggeledah Kiam-kok-san!"

Keng Hong tersenyum lebar. "Nona, berpikirlah masak-masak. Dendam digerakkan oleh benci, dan siapa yang membenci orang lain berarti membenci diri sendiri. Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia, kenapa engkau masih menaruh dendam? Padahal, engkau sendiri tidak mempunyai urusan dengan dia, bahkan mengenal pun tidak. Apa perlunya dendam dibawa hingga menurun dari ayahmu kepadamu? Menurutkan dendam sama saja engkau mengikatkan dirimu dengan tali temali karma yang sangat ruwet, Nona. Bukankah dengan begitu engkau hanya akan menyia-nyiakan waktu hidupmu? Perlukah engkau memenuhi permintaan orang tuamu yang begitu tega menyuruh seorang gadis muda seperti Nona menempuh bahaya besar, hendak mendatangi Kiam-kok-san yang tidak dapat didatangi oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw? Orang tuamu benar-benar berpemandangan picik...”

"Ayah ibuku telah meninggal dunia..!"

"Ahh, maaf... aku tidak tahu..."

"Mereka telah meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri. Mereka meninggal karena tekanan batin, karena tidak mampu membalas kepada musuh besar kami. Aku sebagai puterinya harus melanjutkannya, harus dapat merampas kembali benda-benda berharga yang dahulu dirampas oleh Sin-jiu Kiam-ong. Aku akan… ehh, engkau ini siapakah yang tahu akan segala hal?"

"Tentu saja aku tahu, mendiang Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku.."

"Bagus..! Ada yang mewakili untuk menerima pembalasan keluarga Tan...!"

Sambil berkata demikian, gadis itu telah meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Gerakannya cepat sekali maka Keng Hong dapat menduga bahwa tentu gadis itu sudah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya. Ia diam saja, hanya duduk sambil memandang gadis itu dengan wajah tenang.

"Hayo bangkitlah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong! Bangkitlah supaya segala perhitungan lama dapat dibereskan saat ini!" Gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke arah hidung Keng Hong yang masih duduk tenang tak bergerak dari tempatnya.

"Mendiang guruku tidak pernah merasa menjadi musuh orang tuamu, apa lagi musuhmu, Nona. Dan aku pun tidak pernah merasa menjadi musuh keluarga Tan-piauwsu, karena itu bagiku tidak ada perhitungan apa-apa yang harus dibereskan. Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis perkasa seperti Nona tidak akan membunuh orang yang tidak mau melawannya, apa lagi kalau orang itu selama hidupnya tidak pernah ada urusan dengan Nona mau pun orang tua Nona. Akan tetapi apa bila dugaanku keliru dan ternyata Nona adalah seorang wanita yang berhati keji dan haus darah, boleh saja Nona tusuk dada ini sampai tembus, aku pun tidak akan melawanmu!"

Pedang di tangan gadis itu nampak menggigil, akan tetapi tidak turun dari depan hidung Keng Hong. "Aku mendengar penuturan dari orang tuaku bahwa Sin-jiu Kim-ong adalah seorang laki-laki yang bermulut tajam, pandai membujuk dan menipu. Siapa tahu kalau muridnya pun mewarisi kepandaian itu!"

Keng Hong bukanlah seorang bodoh yang membiarkan dirinya terancam maut begitu saja sehingga dia mengeluarkan ucapan tadi. Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapan-ucapannya, dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak mungkin mau membunuhnya begitu saja kalau dia tidak mau melawan. Kini dia tertawa dan menjawab,

"Nona, biar pun kau buka dada ini, engkau takkan mendapatkan niat buruk dalam hatiku terhadapmu. Aku tidak membujuk, hanya bicara sesungguhnya bahwa aku tidak pernah memusuhimu dan tidak suka bermusuhan denganu karena memang tidak ada sebab yang mengharuskan kita saling bermusuhan. Apa lagi setelah sekarang suhu tidak ada, juga kedua orang tuamu tidak ada, mengapa kita harus melanjutkan sikap bermusuhan orang tuamu? Percayalah bahwa kelak apa bila aku berhasil menemukan simpanan suhu, tentu benda-benda itu akan kukembalikan kepadamu. Bukan hanya benda-benda dari orang tuamu, bahkan benda milik semua orang yang pernah diambil suhu akan kukembalikan. Dengan jalan itu aku hendak menebus semua perbuatan suhu yang sudah menimbulkan sikap bermusuhan dari orang-orang gagah terhadap suhu."

Ujung pedang yang menodong itu menurun, perlahan-lahan. Kemudian tubuh gadis yang menegang itu menjadi agak lemas ketika dia berkata perlahan, seperti mengeluh.

"Ahh, mengapa engkau tidak mau bangkit melawan saja? Supaya terpenuhi kebaktianku kepada kedua orang tuaku. Kenapa engkau tidak menjadi murid berbakti dari gurumu dan mempertahankan nama gurumu dengan menghadapi musuhnya?"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Engkau keliru dalam mengartikan sikap berbakti, Nona. Melanjutkan perbuatan orang tua baru dapat dikatkan berbakti kalau perbuatan itu sendiri benar. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak benar, maka kewajiban seorang berbakti adalah membetulkan perbuatan itu, tidak melanjutkannya. Mengerti engkau, Nona?"

Gadis itu menunduk, perlahan-lahan menyimpan kembali pedangnya. "Biar pun aku tidak suka mengakui, namun aku percaya kepadamu."

Tiba-tiba Keng Hong mengangkat muka memandang ke kanan dan terdengarlah suara. "Siancai..! Bocah keparat ini sama sekali tidak boleh dipercaya!"

Tan Hun Bwee cepat memutar tubuh memandang ke arah suara itu dan tahu-tahu di situ muncul dua tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditugaskan untuk mencari dan menangkap Keng Hong yang telah menipu Kun-lun-pai dengan menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.

Melihat kedua orang tosu ini, Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia maju, menjatuhkan diri berlutut.

"Kiranya Ji-wi Totiang yang datang, harap menerima penghormatan teecu," kata Keng Hong penuh hormat.

Sejak kecil Keng Hong hidup di Kun-lun-pai dan tidak pernah dia kehilangan rasa terima kasihnya kepada Kun-lun-pai, terutama kepada Kiang Tojin yang telah menolong jiwanya dan telah memeliharanya. Dua orang tosu ini adalah adik seperguruan Kiang Tojin, tentu saja dia bersikap amat hormat.

"Cia Keng Hong! Tahukah engkau akan dosamu terhadap Kun-lun-pai?" bentak Sian Ti Tojin sambil menggerakkan ujung lengannya yang panjang dan sikapnya kereng.

"Teecu telah banyak menerima budi kebaikan Kun-lun-pai dan belum sempat membalas. Hal itu sudah merupakan dosa."

"Tidak usah memutar lidah!" bentak Lian Ci Tojin yang seperti suheng-nya, sangat marah kalau mengingat betapa Kun-lun-pai sampai bentrok antara saudara sendiri, dan betapa Kun-lun-pai didatangi oleh banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggu. Apa lagi bila teringat akan penipuan pedang palsu.

"Engkau telah menipu kami dan menipu guru kami dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu. Apakah kau hendak menyangkal dosa besar ini?"

Keng Hong menundukkan mukanya dalam keadaan masih berlutut. "Teecu tidak pernah menyangkal, karena memang hal itu benar telah teecu lakukan. Kini teecu bersedia untuk menghadap Kiang Tojin serta para locianpwe di Kun-lun-pai untuk mohon pengampunan atas perbuatan teecu yang tidak patut itu."

"Enak saja kau bicara tentang minta ampun setelah kekacauan yang dulu kau ciptakan di Kun-lun-pai!" bentak Sian Ti Tojin sambil melangkah maju dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!"

Pipi kanan Keng Hong ditamparnya keras sekali sehingga tubuh pemuda itu terguncang miring dan hampir roboh.

"Kalau kami tidak menerima perintah untuk menangkapmu hidup-hidup dan menyeretmu ke depan kaki suhu, tentu sekarang juga pinto membunuhmu, bocah keparat!" ucapan ini keluar dari mulut Lian Ci Tojin yang juga menggerakkan tangan ke depan, menampar pipi kiri Keng Hong.

"Plakkk!"

Tamparan ini lebih keras lagi, sesuai dengan watak Lian Ci Tojin yang berangasan. Apa lagi karena tosu ini amat benci kepada Kiang Tojin sehingga kemarahannya dia timpakan kepada anak yang dipungut dan ditolong oleh Kiang Tojin itu. Kembali tubuh Keng Hong terguncang dan dari kedua ujung bibirnya menitik darah.

"Pendeta-pendeta berhati kejam!" Tiba-tiba saja Tan Hun Bwee memaki sambil meloncat ke depan. "Kalian sungguh tidak tahu malu, memukul orang yang sama sekali tidak mau melawan."

Lian Ci Tojin dan suheng-nya mengangkat muka memandang gadis itu. Lian Ci Tojin tersenyum dan mengejek. "Cia Keng Hong, apakah engkau sudah mewarisi watak mata keranjang suhu-mu dan gadis ini menjadi seorang di antara pacarmu?"

"Lian Ci totiang harap jangan bicara sembarangan. Nona ini adalah seorang gadis yang terhormat, dia adalah puteri Tan-piauwsu dan sama sekali bukan pacar teecu."

"Tosu bau, mulutmu busuk!" Tan Hun Hwee sudah tidak dapat menahan kemarahannya dan pedangnya sudah dia cabut kemudian secepatnya kilat dia menyerang Lian Ci Tojin.

Akan tetapi dengan mudahnya Lian Ci Tojin mengelak. Tosu ini adalah murid ke lima dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang termasuk golongan atas.

"Hemmm, kalau bukan pacar bocah keparat ini, setidaknya tentu mata-mata musuh yang hendak menyelidiki keadaan Kun-lun-pai. Mengakulah, mau apa kau datang ke wilayah Kun-lun-pai?" bentak tosu itu.

"Tosu keparat, tosu palsu, lihat pedang!" Tan Hun Bwee sudah menyerang kembali dan ternyata gadis ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai sehingga kembali Lian Ci Tojin terpaksa melompat ke belakang mengelak sambil meraba punggungnya dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan.

"Engkau hendak menggunakan kekerasan? Baik, majulah!"

Pada waktu gadis itu menyerang lagi, Lian Ci Tojin sudah menggerakkan pula pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan hebat.

"Sute, jangan membunuh orang!" Sian Ti Tojin memperingatkan sute-nya.

"Ha-ha-ha, menghadapi bocah seperti ini, masa perlu membunuhnya, Suheng? Dia harus ditangkap, mungkin dia mata-mata musuh yang berbahaya."

Tan Hun Bwee boleh jadi lihai dan jarang terdapat seorang gadis muda memiliki keahlian bermain pedang seperti dia, akan tetapi kalau berhadapan dengan seorang tokoh besar Kun-lun-pai seperti Lian Ci Tojin, dia masih kalah jauh. Sesudah bertanding mati-matian selama tiga puluh jurus, dalam pertemuan pedang Lian Ci Tojin mengerahkan tenaganya dan gadis itu berteriak kaget, pedangnya terlepas dari pegangan dan sempat ia mengelak, namun tangan kiri tosu itu telah menotok pundaknya, membuat ia roboh lemas tak dapat berkutik lagi!

"Ha-ha-ha, bocah-bocah sekarang banyak yang tak tahu diri, seperti bocah keparat Keng Hong ini dan gadis galak ini. Suheng, keadaan gadis ini sangat mencurigakan, dia datang bersama Keng Hong, siapa tahu di belakangnya ada orang-orang lain. Biar dia kubawa lebih dulu menghadap suhu agar diselidiki. Harap Suheng mengantar Keng Hong ke atas dan menyusul."

Sian Ti Tojin hanya mengangguk sambil berkata kepada Keng Hong, "Hayo berdiri dan ikut dengan pinto ke puncak Kun-lun-pai."

Keng Hong tadi hanya menonton saja ketika nona Tan bertanding melawan Lian Ci Tojin. Hatinya gelisah tidak karuan, akan tetapi bagaimana dia dapat turun tangan melindungi nona itu atau mencegah Lian Ci Tojin? Bila mana dia melakukan hal ini berarti bahwa dosanya terhadap Kun-lun-pai akan menjadi bertambah.

Apa lagi dia dapat melihat bahwa tosu itu tidak akan membunuh Tan Hun Bwee, dan hanya akan menangkapnya kemudian membawanya ke Kun-lun-pai untuk diselidiki. Kalau memang gadis itu tidak bersalah, dan benar hanya ingin mencari pusaka di Kiam-kok-san, dia percaya akan kebijaksaan para pimpinan Kun-lun-pai yang tentu akan membebaskan gadis itu.

Akan tetapi pada saat dia hendak bangkit memenuhi permintaan atau perintah Sian Ti Tojin dan mengerling ke arah Tan Hun Bwee yang sudah tertotok, dia melihat Lian Ci Tojin secara kasar dan sembarangan mengempit tubuh gadis itu dan dibawa pergi. Pada saat itu dia melihat sinar mata Lian Ci Tojin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia berusaha menekan-nekan debar jantungnya, akan tetapi tak berhasil sehingga ketika dia bangkit berdiri, kakinya gemetar serta mukanya menjadi berubah dan keningnya berkerut.

Melihat hal ini, Sian Ti Tojin mengira bahwa pemuda ini hendak membangkang. Ia sudah maklum akan kelihaian bocah ini yang mempunyai ilmu aneh dan pernah menggegerkan Kun-lun-pai. Tentu saja dia tidak takut dan merasa dapat mengatasi bocah ini karena dia tahu bahwa Keng Hong hanya mempunyai tenaga sedot mukjijat itu sedangkan dalam hal ilmu silat, pemuda ini masih rendah ilmunya.

Ada pun tentang ilmu sedot itu, sesudah dahulu Keng Hong menggegerkan Kun-lun-pai, suhu-nya sudah memberi penjelasan kepada para murid, dan kini sudah tahu bagaimana caranya menolong diri sendiri apa bila dia kena ‘disedot’. Tapi betapa pun juga, dia tidak menghendaki pemuda ini membangkang sehingga dia tak usah menggunakan kekerasan.

"Cia Keng Kong, mengapa kau? Apakah kau hendak membangkang?"

Keng Hong tadinya memandang ke arah bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari Hun Bwee dan kini bayangan itu sudah lenyap di tikungan lereng. Ia menghela napas panjang dan memutar tubuhnya menghadapi Sian Ti Tojin. Sian Ti Tojin adalah murid ke dua dari Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sehingga dalam hal ilmu silat, tosu ini hanya berada di bawah suheng-nya yang tertua, yaitu Kiang Tojin.

"Totiang, mengapa Totiang membiarkan Lian Ci Tojin membawa pergi nona Tan? Kenapa tidak bersama-sama saja?"

"Hemmm, engkau lancang sekali. Ada sangkut pautnya apakah denganmu? Sute hendak membawa gadis itu lebih dahulu karena menaruh curiga kepadanya. Sebenarnya apakah keperluannya berada di tempat ini bersamamu?"

"Totiang, dia itu orang baik-baik, tidak ada kesalahan terhadap Kun-lun-pai. Dia sengaja datang ke sini untuk mencari Kim-kok-san."

"Apa? Mengapa?'

"Dia adalah puteri dari Tan-piauwsu yang dahulu pernah bermusuhan dengan mendiang suhu. Ada beberapa buah barang berharga milik ayah ibunya yang dirampas suhu dan dia hendak mencari barang-barang itu. Dia sama sekali tidak memiliki maksud buruk terhadap Kun-lun-pai. Mengapa ditangkap?"

Sian Ti Tojin menggelengkan kepala. "Tidak bermaksud buruk akan tetapi dia menyerang sute. Sudahlah, kalau memang dia tak bersalah, tentu akan dibebaskan kembali. Mari kita naik menghadap suhu dan jangan banyak tingkah agar pinto tidak perlu menggunakan kekerasan terhadapmu."

Keng Hong menghela napas panjang dan melangkah pergi diikuti kakek itu dari belakang. Akan tetapi baru beberapa ratus langkah, dia berhenti lagi.

"Totiang..."

"Kenapa kau berhenti? Hayo jalan terus."

"Totiang, hati saya merasa tidak enak sekali. Amat berbahaya nona Tan dibawa pergi Lian Ci Tojin. Tidakkah Totiang dapat melihat betapa tadi sinar mata Lian Ci Tojin berapi-api? Apakah patut dia mengempit tubuh seorang gadis? Lebih baik kita susul dia."

"Ah, engkau benar-benar kurang ajar dan patut dipukul, Keng Hong. Berani benar engkau mengeluarkan fitnahan-fitnahan menghina sute. Kami adalah tosu-tosu yang menyucikan diri dan batin, masa terhadap seorang wanita akan timbul pikiran kotor seperti mendiang suhu-mu? Uhh, jika sekali lagi kau mengeluarkan ucapan seperti itu, terpaksa akan pinto pukul sebagai hajaran."

Kembali Keng Hong menghela napas lalu berjalan lagi. Dia menganggap bahwa alasan tosu tua ini benar. Masa Lian Ci Tojin akan melakukan hal yang sangat rendah terhadap gadis itu? Bukankah para tosu Kun-lun-pai ini bukan sembarangan tosu melainkan tosu murid langsung Thian Seng Cinjin?

Kembali sinar mata Lian Ci Tojin yang ditangkapnya ketika tosu itu mengempit tubuh Hun Bwee menggoda hatinya. Betapa pun percaya dia akan alasan Sian Ti Tojin tadi, namun sinar mata itu! Seperti mata orang kehausan melihat air, mata orang kelaparan melihat makanan enak, mata seekor anjing melihat daging, mata yang penuh memancarkan nafsu birahi!

Kalau benar seperti yang dikhawatirkannya, celakalah nasib Hun Bwee di tangan tosu itu. Gadis yang sudah begitu baik kepadanya, dan jelas tampak kebaikannya pada saat gadis itu membelanya melihat dia dipukuli oleh kedua orang tosu Kun-lun-pai. Betapa beraninya membela dia dari dua orang tosu yang lihai! Gadis yang berwatak pendekar dan gagah perkasa. Dan kini terancam bahaya yang bagi seorang gadis lebih hebat dari pada maut!

"Totiang, terpaksa teecu harus menyusul non Tan..."

"Cia Keng Hong, berhenti! Kalau tidak, terpaksa kupukul kau!"

Namun Keng Hong sudah meloncat pergi hendak mengejar Lian Ci Tojin.

"Keng Hong, kalau engkau tidak berhenti, pinto akan memukulmu!" Kembali teriakan Sian Ti Tojin menggema di belakangnya dan tosu itu telah mengejarnya.

Keng Hong berpikir cepat. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, dia hanya akan menang sedikit karena para tosu Kun-lun-pai tentu saja memiliki ginkang yang hebat. Dan kalau dikejar-kejar, bagaimana dia dapat mencari Hun Bwee? Setelah berpikir, dia lalu berlari terus, sengaja memperlambat larinya.

"Peringatan terakhir, Keng Hong. Berhentilah!"

Keng Hong berlari terus.

"Siancai! Pinto terpaksa memukulmu!"

Angin pukulan dahsyat terasa menyambar dari belakang. Keng Hong cepat membalikkan tubuhnya, mengerahkan sinkang-nya ke lengan dan segera menangkis pukulan itu terus mendorong ke samping.

"Dukkk!"

Tubuh Sian Ti Tojin terpental ke belakang bagaikan disambar angin yang kuat bukan main sehingga dia berseru kaget. Untung bahwa dia telah memiliki lweekang yang sangat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, akan tetapi dia merasa betapa tenaga lweekang dalam pukulannya tadi membalik dan membuat dadanya sesak. Ia tahu bahwa jika dia kembali mengerahkan tenaga, maka dia akan terluka. Karena itu cepat dia duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan keadaannya dan tentu saja ia harus membiarkan pemuda yang luar biasa itu pergi.

Keng Hong berlari terus secepatnya. Memang dia sudah melakukan hal yang membuat hatinya menjadi semakin tidak enak terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi karena dia hanya menangkis dan yang memukul adalah Sian Ti Tojin, maka dia menekan kekhawatirannya. Mengejar dan menolong Tan Hun Bwee lebih penting lagi.

Ia tadi melihat bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari nona itu naik ke atas, maka kini dia pun mengejar, akan tetapi hingga sekian lama berlari belum juga dia dapat menyusul. Hatinya menjadi penasaran dan gelisah sekali.

Dari sebuah puncak dia telah dapat melihat dinding tinggi dari Kun-lun-pai dan tak tampak bayangan tosu itu. Kalau Lian Ci Tojin membawa Hun Bwee ke Kun-lun-pai, dia tak usah khawatir. Akan tetapi dia merasa curiga dan menduga bahwa tentu nona itu tidak dibawa ke sana.

Maka dia lalu membelok dan kembali menuruni puncak, lalu mencoba untuk mencari ke dalam sebuah sebuah hutan besar yang berada di lereng. Apa bila tosu itu yang sinar matanya penuh nafsu berniat melakukan kekejian, tidak ada tempat yang lebih baik dari pada dalam hutan itu. Setibanya di dalam hutan, dia mencari-cari. Keadaan dalam hutan sunyi senyap.

Mendadak Keng Hong menghentikan langkahnya dan membungkuk, mengambil sehelai pita sutera hijau yang berbau harum. Agaknya pita rambut atau pita pelindung leher dan tak salah lagi, warna hijau muda ini menyatakan bahwa pita ini milik Tan Hun Bwee. Tentu orangnya berada tak jauh dari tempat ini. Hatinya makin tidak enak dan berdebar.

"Tan-siocia (nona Tan )...!" dia memanggil. Tiada jawaban.

Ia meneliti dan akhirnya melihat tapak kaki di atas tanah yang agak basah. Namun cukup baginya. Jejak kaki itu menuju ke arah serumpun alang-alang atau rumput tinggi di sebelah kirinya. Cepat dia menerobos semak-semak itu dan akhirnya dia melihat Tan Hun Bwee menggeletak di atas rumput, tersembunyi di balik semak-semak yang tebal.

Gadis itu dalam keadaan pingsan, agaknya tertotok dan melihat keadaan pakaiannya, hati Keng Hong seperti ditusuk pisau. Gadis ini sudah diperkosa! Dengan hati penuh iba, dia membereskan pakaian itu sebisa mungkin, kemudian ia mengurut tengkuk dan punggung Tan Hun Bwee.

Gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya dan berteriak kaget sambil meloncat berdiri. Sepasang mata yang tajam itu sejenak menunduk, meneliti keadaan dirinya, kemudian wajah itu diangkat memandang Keng Hong, wajah yang pucat sekali dan matanya liar.

"Kau... kau… laki-laki jahat… apa yang sudah kau perbuat atas diriku...?" Air mata deras mengalir di sepasang pipi yang semakin pucat, ada pun mata itu makin beringas.

"Tenanglah, Nona. Aku mendapatkan Nona menggeletak di sini, dan..."

"Bohong! Engkau telah melakukan kekejian kepadaku! Aihhh, engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong..., keparat busuk!" tiba-tiba saja Hun Bwee menerkam ke depan dan menyerang Keng Hong dengan pukulan ke arah dada pemuda itu.

Saking kaget dan menyesal menyaksikan kesalah pahaman ini, Keng Hong sampai tidak sempat mengelak. Akan tetapi begitu dadanya terpukul, otomatis sinkang pada tubuhnya bergerak.

"Dukkkk...!" Dan tubuh gadis itu terjengkang roboh sendiri.

"Aah, Nona, sungguh mati, aku tidak..."

"Laki-laki jahanam! Pengecut hina dina! Telah berani berbuat tapi tidak berani bertangung jawab, malah menyangkal, keparat!" kembali Hun Bwee memaki.

Akan tetapi kemarahan yang begitu meluap membuat gadis ini lemah, selain berduka dan malu. Juga air matanya membuat kedua matanya sukar melihat. Serangan-serangannya menjadi ngawur dan asal pukul saja.

Keng Hong merasa kasihan, akan tetapi juga bingung menghadapi gadis yang mengamuk tidak karuan itu. Akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu sehingga tak dapat bergerak lagi, lalu berkata,

"Dengarlah Nona, aku tak melakukan sesuatu apa pun kepadamu, kudapati engkau telah menggeletak pingsan di sini…"

"Bohong! Bohong...!" Gadis itu meronta-ronta sehingga terpaksa Keng Hong melepaskan pegangannya. Karena maklum bahwa terhadap pemuda ini dia tidak akan dapat menang, gadis itu kemudian membalikkan tubuh dan berlari pergi dari tempat itu sambil menangis terisak-isak, meninggalkan Keng Hong yang berdiri bengong.

Sesudah bayangan gadis itu lenyap, Keng Hong menunduk, melihat ke tempat di mana seorang tosu Kun-lun-pai yang terhormat melakukan perbuatan biadab yang sama sekali tidak terhormat. Dia mengeluarkan pita hijau yang tadi dia masukkan saku, memandang pita itu dan berkata perlahan,

"Lian Ci Tojin... akan tiba saatnya engkau menyesali perbuatanmu yang terkutuk ini..."
Tak lama kemudian dia mengantongi pita hijau itu kembali dan meninggalkan tempat itu, berjalan dengan kepala tunduk menuju ke Kun-lun-pai. Hatinya makin berduka karena dia kembali menjadi korban perbuatan jahat orang lain yang ditimpakan kepadanya.

Berkali-kali Biauw Eng melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan selalu dialah yang menanggung akibatnya, dan kini dia merasa yakin bahwa Lian Ci Tojin telah memperkosa Tan Hun Bwee dalam keadaan pingsan namun akibatnya dia pula yang dituduh oleh gadis itu!

"Suhu, kenapa nasib teecu tidak sebaik nasib suhu yang selalu mengalami kegembiraan? Apakah karena teecu masih terlalu bodoh dan perlu menyempurnakan ilmu peninggalan suhu?" Demikian keluh hatinya terhadap mendiang gurunya.

Biar pun Keng Hong menjalani hidup, namun dia belum banyak pengalaman dan jiwanya belum matang, sehingga dia lupa bahwa senang mau pun susah bukan datang dari luar melainkan akibat terhadap segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala macam derita hidup dengan tertawa geli dan seolah-olah menyaksikan sebuah lelucon.

"Lian Ci Tojin, engkau benar-benar lebih jahat dari pada seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Seorang jai-hwa-cat melakukan kejahatannya dengan berterang, tapi sebaliknya engkau bersebunyi dalam kependetaan. Alangkah hina dan jahatnya engkau!"

Begitu teringat akan tosu itu, dalam hatinya Keng Hong memaki-maki. Kemudian dia juga teringat kepada Biauw Eng dan sedetik timbul rasa rindu yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi begitu mengingat perbuatan-perbuatan Biauw Eng, dia memaki-maki pula di dalam hatinya.

"Aku benci kepadamu! Kau perempuan hina, kejam, curang! Tak tahu malu engkau, aku tidak cinta kepadamu, melainkan benci... benci...!"

Keng Hong menghentikan langkahnya dan terpaksa menutupkan kedua tangan di depan muka karena sungguh pun mulutnya menyebutkan benci sampai berulang kali, namun dia maklum bahwa di dalam hatinya dia tak pernah dapat membenci Biauw Eng!

Keng Hong berlari terus secepatnya dengan hati yang tertekan dan wajah muram. Kalau menurutkan hatinya, ingin dia langsung saja naik ke Kiam-kok-san untuk menjauhkan diri dari pada segala urusan dunia yang banyak menimbulkan kepahitan. Akan tetapi ia harus mentaati kesadaraannya bahwa dia harus lebih dulu menghadap Kiang Tojin dan mohon maaf akan kedosaannya sudah menipu tosu itu dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.

Tosu itu adalah penolongnya, dan semua tosu di Kun-lun-pai telah bersikap baik padanya pada waktu dia masih kecil. Kalau dia tidak pergi menghadap, tentu selamanya dia akan menyesal dan berdosa. Biarlah dia akan menanggung segala akibatnya. Apa pun yang akan terjadi, akan dia hadapi.

Dan kalau perlu dia akan membela diri di depan semua tosu bahwa dialah sesungguhnya satu-satunya manusia yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam hingga dia terpaksa menipu mereka, menyerahkan pedang kayu yang palsu. Bahkan peristiwa itu akan dapat menjadi tamparan bagi tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang sangat tamak, secara tak bermalu memperebutkan benda milik orang lain!

Meski pun hatinya tertekan oleh semua peristiwa yang dialami, oleh kekecewaan melihat perbuatan Biauw Eng, oleh kemarahan karena perbuatan Lian Ci Tojin, namun dengan penuh semangat Keng Hong mendaki lereng yang menuju puncak di mana berdiri markas Kun-lun-pai dengan megahnya. Puncak itu masih jauh, masih membutuhkan perjalanan setengah hari, walau pun dindingnya sudah tampak dari lereng.

Ketika melalui sebuah tikungan, tiba-tiba Keng Hong berhenti dan matanya memandang terbelalak ke depan. Dia segera maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut ketika dia mengenal orang-orang yang telah menghadangnya di tengah jalan itu.

Pertama-tama dia mengenal Sim Lai Sek, pemuda remaja adik mendiang Sim Ciang Bi yang dahulu terbunuh oleh Biauw Eng. Sim Lai Sek berdiri dengan muka merah saking marahnya, berdampingan dengan dua orang kakek yang juga sudah dikenal Keng Hong sebagai tokoh-tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang amat lihai!

Di samping tiga orang Hoa-san-pai ini, dia melihat empat orang tosu tua yang bersikap angker dan penuh wibawa tetapi yang belum pernah dikenalnya. Karena belum mengenal empat orang tosu tua itu, maka perhatiannya tertarik kepada dua orang yang lain yang berdiri dengan alis berdiri saking marahnya.

Mereka berdua ini bukan lain adalah Kim-to Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang serta seorang laki-laki tua yang mukanya licin seperti muka anak-anak, akan tetapi sepasang matanya bundar seperti mata ikan bandeng raksasa! Melihat sikap kakek bermuka halus itu hati Keng Hong menjadi berdebar dan menduga bahwa agaknya dia itu adalah ketua Tiat-ciang-pang!

Memang dugaannya benar. Laki-laki tua yang datang bersama Kim-to Lai Ban itu bukan lain adalah Ouw Beng Kok, pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang. Kakek yang hebat ini tangan kirinya merupakan tangan kiri palsu yang terbuat dari pada logam kehijauan yang mengerikan sekali, seperti cakar iblis! Ada pun empat orang tosu tua yang tidak di kenal Keng Hong itu pun bukan orang-orang sembarangan, melainkan empat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin, tokoh-tokoh utama Kong-thong-pai!

Keng Hong menenangkan hatinya, lalu dia menjura dengan hormat kepada semua orang sambil berkata, "Para Locianpwe berada di sini apakah sengaja menghadang saya dan ada urusan apakah? Ehh, adik Sim Lai Sek juga berada di sini? Apakah engkau baik-baik saja?"

"Manusia keparat! Siapa sudi menjadi adikmu? Engkau telah mencemarkan kehormatan cici-ku kemudian masih tega membunuhnya! Nah, untuk perbuatanmu yang terkutuk itulah aku datang bersama Ji-wi Supek untuk membunuhmu!" Sim Lai Sek membentak penuh kebencian.

"Celaka, bocah ini lebih jahat dari pada gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Patut dilenyapkan dari muka bumi!" kata Coa Kiu orang tertua dari Hoa-san Siang-sin-kiam.

Keng Hong mengangguk-angguk. "Cukup sudah kuketahui maksud Ji-wi Locianpwe dari Hoa-san-pai yang hendak membunuhku berdasarkan fitnah memperkosa dan membunuh. Bagaimana dengan para Locianpwe yang lain? Ada urusan apakah?"

Sikap Keng Hong tenang saja karena memang sesungguhnya dia tidak merasa berdosa terhadap orang-orang ini. Sikapnya ini mengingatkan semua tokoh itu kepada sikap Sin-jiu Kiam-ong dan membuat mereka makin marah.

"Lai-pangcu, aku menyesal sekali akan peristiwa yang terjadi antara kita, dan Lai-pangcu sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi telah memaksaku hingga terjadi bentrokan dan jatuh korban. Semenjak semula sudah kunyatakan bahwa aku tidak bermusuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan Tiat-ciang-pang. Kenapa sekarang Lai-pangcu datang lagi menghadang perjalankanku?"

"Bocah iblis! Engkau mengandalkan ilmu iblismu membunuh murid-murid Tiat-ciang-pang, masih banyak bicara lagi? Kami datang untuk membinasakanmu!" jawab Kim-to Lai Ban.

Sedangkan Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang masih berdiri dan memandang penuh keheranan. Hampir saja dia tidak dapat percaya bahwa bocah ini yang telah merobohkan banyak anak muridnya dan bahkan hampir saja membunuh Lai Ban, sute-nya!

"Sungguh disayangkan bahwa ucapan Siauw-bin Kuncu mengenai Tiat-ciang-pang tepat sekali, bukan hanya mengandalkan Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mempunyai Tiat-sim (Hati Besi) pula. Dan bagaimana dengan para Locianpwe ini? Apakah para Totiang ini juga hendak mencariku?" Dia memandang ke arah empat orang tosu yang bersikap galak dan sejak tadi memandangnya dengan sinar mata tajam.

Tosu tertua di antara Kong-thong Ngo-lojin ialah seorang kakek tinggi kurus bermata buta di sebelah kiri. Dia memegang tongkat bambunya, ditudingkan ke arah Keng Hong sambil berkata,

"Cia Keng Hong, engkau sudah membunuh sute termuda kami dan sepuluh orang murid kami, sekarang terpaksa kami orang-orang tua dari Kong-thong-pai melupakan malu dan harus mencabut nyawa seorang muda yang berbahaya seperti engkau!"

Keng Hong terkejut. Kiranya empat orang ini adalah para suheng dari Kok Cin Cu yang terkenal dengan sebutan Kong-thong Ngo-lojin! Wah, sekali ini dia menghadapi ancaman lawan berat, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka? Akan tetapi jika tidak dapat melawan, dia hendak membela diri dengan mulut. Dia tak merasa bersalah, maka sebelum mereka turun tangan, dia harus membela diri, menyatakan kebersihannya.

"Aku sudah mendengar semua tuduhan, akan tetapi cu-wi Locianpwe sesungguhnya telah keliru menjatuhkan tuduhan-tuduhan palsu. Tuduhan yang tidak benar berarti fitnah, dan hal itu merupakan perbuatan keji yang bahkan melebihi pembunuhan. Aku tidak bersalah. Pertama-tama tuduhan dari Hoa-san-pai yang mengatakan bahwa aku telah memperkosa dan membunuh nona Sim Ciang Bi. Memang benar ada hubungan cinta antara aku dan mendiang nona Sim, akan tetapi bukan perkosaan. Sedangkan kematian nona itu yang berada dalam pelukanku bukanlah karena aku yang membunuhnya!"

"Aku melihat dengan mata kepala sendiri, engkau masih berani menyangkal?" bentak Sim Lai Sek setengah menjerit.

"Apakah engkau melihat aku membunuh, adik Sim Lai Sek?" tanya Keng Hong dengan sikap tenang.

"Aku melihat engkau... engkau... memperkosanya... kemudian melihat dia mati di dalam pelukanmu. Siapa lagi kalau bukan engkau atau perempuan iblis temanmu itu yang telah membunuhnya?"

"Kesaksianmu lemah. Aku tak memperkosanya dan tidak pula membunuhnya. Sekarang tuduhan dari Tiat-ciang-pang. Saat itu aku membantu nona Sim dari desakan orang-orang Tiat-ciang-pang. Aku tidak beraksud membunuhi anak buah Tiat-ciang-pang, kemudian datang Lai-pangcu yang memaksaku dengan kekerasan sehingga terjadi bentrokan dan di dalam pertempuran jatuh pula korban di pihak Tiat-ciang-pang. Jelas bahwa bukan aku sengaja memusuhi Tiat-ciang-pang karena aku hanya membela diri. Hal ini disaksikan oleh seorang Locianpwe yang patut dipercaya, yaitu Siauw-bin Kuncu Locianpwe."

"Bocah berilmu iblis! Engkau berbahaya sekali, memiliki ilmu iblis, tukang merayu wanita, pandai pula memutar lidah. Engkau sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membikin kotor dunia!" bentak Kim-to Lai Ban marah.

"Terserah wawasan Ji-pangcu dan Tiat-ciang-pang. Kini urusan dengan Kong-thong-pai yang menuduh aku membunuh Kok Cin Cu totiang dan sepuluh orang murid-muridnya. Bagaimana aku bisa membunuh seorang lihai seperti Kok Cin Cu totiang? Ada orang lain yang membunuh, akan tetapi jelas bukan aku. Ada pun tentang sepuluh orang anak murid Kong-thong-pai yang tewas dalam pertempuran yang sudah sewajarnya dan sebagian..."

"Sebagian lagi kau bunuh dalam kuil setelah kau perkosa dua orang murid wanita!" bentak Kok Seng Cu, tosu ke empat dari Kong-thong Ngo-lojin.

Keng Hong terkejut dan menduga bagaimana tosu ini tahu akan hubungannya dengan Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si? Dia tidak tahu bahwa empat orang tokoh Kong-thong-pai ini menerima pemberitahuan dari coretan yang dilakukan dengan tusuk konde bunga bwe yang ditinggalkan menancap di pondok sesudah melakukan coretan peberitahuan bahwa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si telah diperkosa oleh murid Sin-jiu Kiam-ong dan bahwa kedua orang gadis itu bersama para saudara seperguruannya telah dibunuh pula.

"Aku tidak memperkosa. Memang kami berhubungan secara suka sama suka, tetapi aku tidak membunuh siapa-siapa…"

"Manusia keji!"

Kok Sian Cu, orang pertama dari Kong-thong Ngo-lojin sudah tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Tubuhnya bergerak maju dan mengirim pukulan ke arah ubun-ubun kepala Keng Hong. Sebuah pukulan maut yang didahului angin pukulan dahsyat sekali.

Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan jalan meloncat ke kiri sambil mengangkat tangan menjaga kepalanya. Tetapi dari sebelah kiri pundaknya disambar lagi oleh hantaman tangan yang lebih ampuh lagi dari pada pukulan pertama tadi, terbuat dari pada logam.

Hebat bukan main datangnya pukulan ini sebab Ouw Beng Kok dijuluki Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mendirikan perkumpulan Tiat-ciang-pang adalah karena kehebatan tangan kirinya yang palsu inilah. Tangan itu bukan terbuat dari besi sebarangan, melainkan besi yang mengandung racun hebat, dan karena ketua Tiat-ciang-pang ini memiliki lweekang yang amat kuat maka pukulannya itu benar-benar merupakan pukulan maut yang sukar dihindarkan.

Untung bagi Keng Hong bahwa sebelum suhu-nya meninggal dunia, kakek sakti itu telah ‘mengoperkan’ hawa sinkang mukjijat ke dalam tubuh muridnya sehingga otomatis Keng Hong memiliki sinkang kuat sekali seperti mendiang suhu-nya dan tanpa dia sadari pula dia telah mempunyai ginkang yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat bergerak di luar kesadarannya. Datangnya pukulan Ouw Beng Kok cepat, namun tubuh pemuda itu lebih cepat lagi, membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauhi lawan.

Orang-orang yang menyerangnya adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, sedikit banyak merasa malu dan sungkan untuk menggeroyok seorang pemuda, maka mereka itu begitu menyerang dan luput, merasa sungkan untuk mendesak dan membiarkan orang lain yang lebih dekat untuk turun tangan.

"Bukkk..!"

Ketika tubuh Keng Hong sedang bergulingan, datang kaki Kok Liong Cu, yaitu tosu ke dua dari Kong-thong Ngo-lojin yang selain memiliki Ilmu Pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang dimiliki oleh mereka berlima, juga terkenal lihai sekali dalam ilmu tendangan. Datangnya tendangan ini cepat dan tidak terduga sehingga tubuh Keng Hong terlempar ketika dicium ujung sepatunya.

Keng Hong merasa napasnya seolah-olah berhenti, namun dengan pengerahan sinkang dia dapat melindungi tubuh dan tidak sampai terluka, hanya merasa nyeri di punggung. Ia melompat bangun lagi hanya untuk menghadapi cahaya berkeredepan yang menyambar dari depan dibarengi bentakan Coa Bu orang kedua dari Hoa-san Siang-sin-kiam yang menusukkan pedangnya sambil membentak,

"Bocah iblis, mampuslah!"

Keng Hong kaget bukan main, cepat dia membuang diri lagi ke kanan menghindarkan diri dari sambaran pedang. Sinar pedang itu menyeleweng lewat dan hanya membabat rumput sehingga rumput-rumput itu terbabat habis tanpa tergerak, menandakan betapa tajam dan lihainya pedang kakek ini!

Keng Hong sudah meloncat bangun lagi, wajahnya pucat, napasnya terengah dan ketika dia mengerling, kiranya dia sudah dikurung!

"Aku tidak bersalah, dan aku akan mempertahankan nyawaku dari kalian orang-orang tua yang tidak adil!" teriaknya.

Ia maklum bahwa sekali ini sukar bagi dia untuk lolos, karena yang megepungnya adalah orang-orang yang sakti dan jumlah mereka, tanpa menghitung Sim Lai Sek yang tidak ada artinya, adalah delapan orang. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah sangat berat, apa lagi delapan orang sekaligus! Baiknya mereka itu masih sungkan untuk mengeroyok, hanya menjaga supaya dia tidak melarikan diri dan siap-siap menerjang jika pemuda itu mendekat.

Dalam keadaan marah dan penasaran, Keng Hong merasa betapa seluruh tubuhnya kini menggetar dan teringatlah dia bahwa apa bila tubuhnya menggetar seperti ini berarti dia dapat menyedot hawa sinkang lawannya. Dia lalu mengerling dan melihat bahwa di antara mereka, yang bersenjata dan yang sukar untuk dihadapi dengan sinkang ialah dua orang dari Hoa-san-pai yang berpedang itu, Coa Kiu dan Coa Bu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, yaitu Kok Sian Cu yang memegang tongkat bambu, dan Thiat-ciang Ouw Ban Kok yang bertangan palsu.

Maka dia lalu sengaja menggeser kaki mendekatkan diri dengan Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu, dua orang kakek Kong-thong-pai yang tak bersenjata. Pancingannya berhasil karena kedua orang ini sudah mengulur tangan hendak mencengkeram dan memukulnya. Keng Hong mengeluarkan teriakan keras, lantas cepat menggerakkan lengan menangkis, sekaligus menangkis dua lengan mereka.

"Plakk! Plakk!"

Tangan kedua orang tua itu berhasil dia tempel dengan tangkisannya dan benar saja, begitu menempel, hawa sinkang dari dua orang kakek itu menerobos keluar memasuki tubuhnya melalui lengannya yang menangkis tadi! Dua orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut dan makin besar mereka mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, makin lekat tangan mereka dan makin banyak tenaga mereka tersedot keluar!

"Ilmu keji!" Kok Sian Cu yang menyaksikan keadaan dua orang sute-nya itu sudah cepat menggerakkan tongkatnya, seperti kilat menusuk mata Keng Hong!

Pemuda ini terkejut dan memiringkan kepalanya, akan tetapi ternyata serangan itu hanya merupakan gertakan saja sebab tahu-tahu ujung tongkat telah menotok sikunya, segera membuat lengannya lumpuh dan otomatis daya tempel atau daya sedotnya lenyap untuk sementara sehingga kedua orang kakek Kong-thong-pai itu dapat membebaskan diri. Ujung tongkat terus menyambar ke arah lehernya. Keng Hong kembali mengelak dan…

"Brettt!" ujung tongkat itu menusuk pecah baju di pundaknya.

"Desss…!"

Pada saat itu pula, kaki Kok Liong Cu sudah mengirim tendangan yang amat keras dan yang tepat mengenai lambung Keng Hong, membuat pemuda itu roboh terguling-guling dengan dengan kepala pening.

Melihat betapa pemuda itu kembali mempergunakan ilmu yang mukjijat dan yang mereka kira adalah ilmu hitam Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), para tokoh kang-ouw itu menjadi marah dan telah mengambil keputusan untuk turun tangan sekaligus membunuh bocah berbahaya itu...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 11

Pedang Kayu Harum Jilid 11
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
MEREKA menuju ke sebuah dusun kemudian dengan bantuan para penduduk di situ, lima buah jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang terbelenggu kedua lengannya turut pula menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih,

"Totiang tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima."

Enam orang Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sambil berkemak-kemik di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci pemuda ini yang sudah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti pula bahwa pemuda itu dapat mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan diri.

Kewajiban mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai lalu menyerahkannya kepada para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa walau pun kedua lengannya telah dibelenggu, apa bila pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah lawannya.

Dua orang wanita anak murid Kong-thong-pai itu, di samping menyimpan rasa benci dan dendam akibat kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua merasa amat kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, juga kagum akan sikapnya yang tenang dan gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan kebagusan bentuk tubuhnya.

Apa lagi bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik berbaju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika dia dan para saudara seperguruannya bersama murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini, bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkang-nya oleh pemuda yang aneh ini. Dia kagum sekali akan kegagahan Keng Hong.

Kiu Bwee Ceng ini adalah seorang janda muda dan usianya mendekati tiga puluh tahun. Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara para suheng-suheng-nya. Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang mampu menandingi suaminya. Bagaimana hatinya tak akan menjadi tertarik?

Apa lagi karena ia dapat pula menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid Lam-hai Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika tadi melihat betapa Keng Hong membentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, dia menjadi makin tertarik.

Ada pun wanita ke dua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoi-nya. Wanita ini masih gadis meski pun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki wajah yang cantik dengan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, akan tetapi gadis ini selalu menolaknya karena tidak ada seorang pun di antara para pelamar itu yang menggerakkan hatinya.

Sekarang bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tiak karuan rasanya. Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yang telanjang sebagian akibat pakaiannya telah robek-robek termakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi.

Melihat kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi sudah menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang yang sangat hebat hingga gurunya sendiri pun tak kuat menghadapinya, hati gadis ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya berdebar tidak karuan.

Bwee Ceng agaknya maklum akan gerak-gerik sumoi-nya. Sebagai seorang wanita yang pernah bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoi-nya, dia dapat menduga bahwa sumoi-nya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri. Diam-diam dia mendekatinya sumoi-nya sehingga mereka berjalan berendeng, agak jauh dari empat orang suheng mereka.

Bwee Ceng menowel lengan sumoi-nya, dan bicara berbisik-bisik sambil kadang-kadang memandang ke arah tawanan mereka itu. Kelihatan mata Swat Si terbelalak memandang suci-nya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya mengerling tajam sambil membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka, kecuali Keng Hong!

Pada saat itu, Keng Hong sedang berjalan sambil melamun, memikirkan Sie Biauw Eng. Kebenciannya dan penyesalan hatinya terhadap gadis itu makin menghebat. Ia mengerti bahwa gadis itu sangat mencintainya, entah cinta hanya terdorong nafsu birahi belaka, seperti yang terbukti dari pengalamannya malam itu ketika Biauw Eng mendatanginya dan mencurahkan segala kemesraan kepada dirinya, entah cinta yang lain lagi sifatnya sebab buktinya secara diam-diam gadis itu selalu mengikutinya dan membantunya.

Betapa pun sifatnya, dua macam cinta kasih ini tentu saja dapat dia terima dengan hati senang dan puas. Akan tetapi yang membuat dia menyesal dan membenci adalah bahwa setiap kali Biauw Eng turun tangan, tentu terjadi pembunuhan keji dan akibatnya dialah yang dimusuhi orang!

Yang terakhir ini sudah keterlaluan. Kalau saja Biauw Eng tidak turun tangan, tak mungkin empat orang tokoh murid Kong-thong-pai tewas dan seorang tokoh di antara Kong-thong Ngo-Iojin tewas pula!

Dan yang paling memanaskan hatinya akan kekejian gadis itu adalah kematian Sim Ciang Bi, gadis Hoa-san-pai yang lemah lembut, yang sama sekali tidak berdosa. Hanya karena gadis Hoa-san-pai itu mencintainya lalu dibunuh secara keji oleh Biauw Eng. Hemmm. demikian kejikah hati seorang wanita yang sudah mencinta? Apakah kalau melihat setiap orang wanita lain mencintanya, lalu turun tangan tangan membunuhnya? Ahhh, ingin dia melihatnya!

Jika memang demikian, dia harus dapat menangkap basah Biauw Eng, dan menyeretnya untuk menerima hukuman dari partai persilatan yang bersangkutan! Biar pun dia memiliki perasaan sayang yang sangat aneh di sudut hatinya terhadap Sie Biauw Eng, akan tetapi mengingat akan kekejian gadis itu, ingin sekali ia menangkap basah Biauw Eng kemudian menyerahkannya kepada Hoa-san-pai atau Kong-thong-pai!

Pada saat dia merenung sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan dua orang wanita yang berjalan sedikit jauh di sebelah belakangnya. Ketika itu Keng Hong sedang termenung dan keadaan orang yang termenung hampir sama dengan keadaannya kalau sedang bersemedhi.

Begitu telinganya dapat menangkap bisikan-bisikan itu, dia menghentikan renungannya dan mencurahkan perhatiannya pada bisikan-bisikan tadi sehingga terdengar cukup jelas oleh Keng Hong yang memang memiliki sinkang yang sangat kuat itu. Muka Keng Hong menjadi merah ketika dia menangkap bisikan-bisikan itu dan dia mengerling ke kanan kiri, ke arah empat orang murid pria Kong-thong-pai yang berjalan di kanan kirinya, akan tetapi hatinya lega melihat mereka ini tidak mendengar apa-apa.

"Suci apa yang kau katakan ini? Jangan menuduh yang bukan-bukan…," terdengar jelas oleh Keng Hong gadis baju biru, Tang Swat Si, berbisik.

"Hi-hik-hik, tak perlu bepura-pura lagi, Sumoi. Aku pun amat tertarik padanya. Dia seorang jantan pilihan, dan kalau saja kita dapat menerima cintanya untuk semalam saja… ahh, selamanya kita tidak akan penasaran...," balas Kiu Bwee Ceng sambil menghela napas.

"Ihhh..! Suci, apa yang kau katakan ini? Sungguh memalukan.."

"Memalukan apa? Sumoi, kita sama-sama wanita dan sama-sama jatuh hati kepadanya. Dia mempunyai sinkang yang kuat luar biasa. Siapa tahu, kalau... satu kali saja dia suka melimpahkan cintanya kepada kita…, sinkang-nya yang kuat itu akan menular kepada kita..."

"Hina dan rendah sekali, Suci.."

"Benarkah? Kurasa tidak demikian isi hatimu. Atau, kalau engkau tidak mau, biarlah aku yang mencobanya asal engkau dapat menutup rahasia ini. Kulihat matanya penuh gairah ketika memandang kita. Mata seperti itu hanya dimiliki oleh pria yang bersemangat dan yang selalu suka kepada wanita. Malam ini... kalau ada kesempatan, kalau engkau mau, lebih baik lagi..., maukah engkau, Sumoi?"

"Ihhhhh, aku... aku malu, Suci. Engkau lebih dulu..."

"Baik, aku lebih dulu dan engkau menjaga. Kalau berhasil, akan kubujuk dia supaya suka melayanimu pula."

Keng Hong tersenyum dalam hatinya, tersenyum geli. Alangkah banyaknya wanita cantik seperti mereka itu di dunia ini. Seperti Cui Im! Bahkan Biauw Eng, yang tadinya disangka lain dari pada yang lain, bukan penghamba nafsu birahi, kiranya juga sama saja! Ahh, dia tidak peduli lagi. Kalau memang mereka menghendaki dia tidak akan menolak. Mereka itu manis-manis dan apakah kata gurunya?

"Uluran cinta kasih wanita merupakan anugerah nikmat yang tidak semestinya dibiarkan sia-sia, tentu saja kalau engkau sendiri tertarik kepadanya. Kalau tidak sekali pun, jangan menolak secara kasar karena hal itu akan menyakiti perasaannya yang halus. Tidak ada sakit hati yang lebih parah bagi seorang wanita dari pada cintanya ditolak oleh seorang pria."

Dia akan melayani mereka bahkan akan membuka jalan. Hal ini bukan sekali-kali karena dia sudah tergila-gila kepada mereka, atau sudah terlalu mendesak keinginannya untuk bermain cinta dengan mereka. Sama sekali bukan. Terutama sekali karena dia sekarang mendapat jalan untuk memancing Biauw Eng.

Bukankah Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi karena gadis Hoa-san-pai itu mencintai dirinya? Nah, biarlah dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini bermain cinta dengannya supaya Biauw Eng turun tangan pula membunuh mereka. Akan tetapi sekali ini dia akan waspada, tidak akan tertidur pulas dan akan selalu menjaga agar dia dapat menangkap Biauw Eng bila gadis itu berusaha membunuh mereka, dan tentu saja dia akan berusaha mencegah pembunuhan atas diri ke dua orang murid Kong-thong-pai ini.

Malam itu, rombongan murid Kong-thong-pai bermalam di sebuah dusun. Karena mereka tidak ingin mengganggu penduduk dusun itu, dan di dalam dusun kecil itu tidak terdapat rumah penginapan, terpaksa mereka lalu mengaso di dalam sebuah kuil tua yang sudah kosong.

Hati para murid Kong-thong-pai itu tengah risau dan berduka berhubung dengan kematian guru mereka, ada pun Keng Hong merupakan seorang tawanan yang suka rela, tak perlu dijaga lagi karena andai kata mau melarikan diri, biar dijaga sekali pun akan percuma dan tetap akan dapat lari. Maka empat orang murid pria dan dua orang murid wanita itu segera merebahkan diri mengaso di lantai kuil setelah mereka makan malam dan lantai itu disapu bersih oleh Bwee Ceng dan Swat Si.

Tentu saja, seperti biasa, Bwee Ceng dan Swat Si memisahkan diri. Biar pun empat orang itu adalah suheng-suheng mereka, namun sebagai wanita tentu saja mereka merasa tidak leluasa untuk tidur di dalam suatu ruangan dengan mereka, apa lagi di situ terdapat Keng Hong dan lebih-lebih lagi karena mereka berdua diam-diam mempunyai rencana rahasia!

Malam itu, menjelang tengah malam, Bwee Ceng berindap memasuki ruangan belakang di mana Keng Hong tidur. Pemuda ini memang sengaja memilih ruangan terpisah untuk tidur. Dengan suara gemetar Bwee Ceng berbisik,

"Keng Hong.."

Keng Hong memang belum tidur, dia masih duduk bersandar tembok kuil. "Ah, engkaukah itu? Apakah kehendakmu?"

"Aku... aku ingin membuka belenggumu. Amat tidak enak bila tidur dengan kedua tangan terbelenggu."

Keng Hong tersenyum dan mengangkat kedua tangannya yang sudah bebas. Dia sudah membuka sendiri belenggu tangannya yang dia taruh di atas lantai. "Aku sudah bebas dan siap menantimu, nona. Ataukah... perasaan cintamu yang kau bisikkan siang tadi sudah berubah?"

Bwee ceng makin kaget. "Kau… kau dapat mendengarkan percakapan itu...?"

"Tentu saja, dan aku merasa girang sekali. Kalian adalah nona-nona yang cantik manis. Akan tetapi, kita harus keluar dari kuil ini. Tidak enak rasanya apa bila kita bersenang-senang di sini, di mana para suheng-mu sedang tidur. Dan ajaklah sumoi-mu. Kita bertiga berjalan-jalan di kebun belakang kuil. Bagaimana, maukah?"

Dengan dua pipi berubah kemerahan Bwee Ceng hanya mengangguk-angguk, tanpa bisa mengeluarkan suara, kemudian dia tertawa kecil dan berlari-larian pergi untuk memanggil sumoi-nya. Keng Hong sudah melangkah keluar dari kuil menuju ke kebun bunga yang berada di belakang kuil.

Seperti kuil itu sendiri, kebun itu pun tidak terpelihara, namun masih banyak bunga-bunga liar tumbuh di situ dan ditumbuhi rumput tebal. Keng Hong yang hendak mempergunakan pertemuannya dengan dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini sebagai ‘pancingan’ kepada Biauw Eng, memilih tempat terbuka dan duduklah dia di atas tanah yang bertilam rumput hijau tebal. Tak lama dia menanti dan tampaklah Bwee Ceng, janda muda ini yang begitu tiba di tempat itu, lalu menarik sumoi-nya duduk di dekat Keng Hong, kemudian sambil tersenyum dia merangkul Keng Hong yang balas memeluknya.

"Ahh, engkau begini tampan, begini gagah...," Bwee Ceng berbisik.

Karena memang sudah mempunyai dasar batin lemah terhadap godaan nafsu, meski pun tadinya sungkan dan malu, atas desakan Bwee Ceng dan keramahan Keng Hong, pada akhirnya Swat Si mulai berani pula membalas rangkulan Keng Hong.

Pemuda ini melayani kedua orang murid Kong-thong-pai yang dimabuk nafsu itu dengan penuh kesediaan dan keramahan, tetapi dia hanya mencurahkan perhatiannya setengah saja untuk itu, karena sebagian perhatiannya lagi dia kerahkan untuk meneliti keadaan di sekeliling kebun itu, dan untuk dapat ‘menangkap basah’ apa bila Biauw Eng turun tangan melakukan serangan kejam terhadap dua orang nona dalam pelukannya.

Menjelang fajar, Swat Si sudah tertidur kelelahan, dan Bwee Ceng masih membelai dan memeluk Keng Hong. Janda ini benar-benar tergila-gila kepada pemuda perkasa itu dan dia berbisik-bisik mesra,

"Keng Hong, kekasihku... Engkau jangan khawatir, kelak di hadapan para supek-ku, aku akan membelamu dan akan kuceritakan bahwa bukan engkau yang membunuh suhu dan keempat orang suheng-ku, melainkan Song-bun Siu-li. Aku akan bersumpah dan dengan segala daya akan kubela engkau, kekasihku."

Keng Hong lalu menciumnya sambil tersenyum. "Engkau baik sekali, Bwee Ceng. Terima kasih."

Pada saat itu, Keng Hong cepat melepaskan pelukan Bwee Ceng dan tubuhnya bergerak ke depan, menangkap dua benda yang mengeluarkan sinar putih dan yang menyambar cepat ke arah pelipis Bwee Ceng dan Swat Si. Tepat seperti dugaannya, Biauw Eng turun tangan menyerang dengan senjata rahasianya, yaitu bola-bola putih berduri!

"Biauw Eng, perempuan keji...!" Keng Hong cepat meloncat ke arah dari mana datangnya senjata-senjata rahasia itu, tidak peduli bahwa tubuhnya masih telanjang. Akan tetapi tak tampak bayangan seorang pun manusia.

Keng Hong cepat-cepat kembali dan mengenakan pakaian, sedangkan dua orang wanita itu sudah cepat kembali ke dalam kuil. Karena tidak berhasil menangkap Biauw Eng, Keng Hong dengan hati panas kembali ke ruangan belakang kuil, lalu tertidur sampai pagi.

Pada keesokan harinya, dengan wajah berseri dan kedua pipi kemerahan, Bwee Ceng dan Swat Si sudah memasak makanan. Pagi-pagi benar mereka telah membeli beberapa ekor ayam dan gandum dari penduduk dusun, bahkan Bwee Ceng membawa pula seguci arak.

Keng Hong yang melihat betapa wajah mereka berseri, diam-diam harus mengakui bahwa mereka itu cantik-cantik dan manis, maka hatinya menjadi makin girang. Apa lagi melihat Swat Si yang menahan senyum dan dengan malu-malu kadang-kadang mengerling ke arahnya, dia mengakui gadis ini dan membandingkannya dengan Ciang Bi. Untung bahwa dia bersikap waspada, kalau tidak, tentu dua orang wanita cantik ini sekarang sudah menjadi mayat, pelipis mereka telah pecah oleh dua bola putih berduri korban keganasan Biauw Eng. Ia makin marah dan benci kepada Biauw Eng.

"Wah, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) sungguh rajin, sepagi ini sudah mendapatkan makanan pagi yang lengkap!" Keng Hong berseru gembira sambil mendekati salah seorang murid Kong-thong-pai minta dibukakan belenggunya.

Murid Kong-thong-pai itu lalu membuka belenggu tangannya untuk memberi kesempatan Keng Hong ikut makan pagi.

"Ehh, ada araknya pula. Dari mana Ji-wi bisa mendapatkan arak?"

Swat Si tidak dapat mengeluarkan suara. Ia masih merasa malu dan jengah dan sehingga khawatir kalau-kalau suaranya akan gemetar. Bwee Ceng tersenyum dan menjawab,

"Kebetulan sekali ada seorang wanita petani membawa hendak ditawarkan kepada kita. Aku lalu membelinya dan araknya baik sekali, wangi."

Setelah masakan gandum dan ayam matang, makanlah Keng Hong bersama enam orang murid Kong-thong-pai itu dan kalau melihat keadaan mereka itu, Keng Hong sama sekali bukan seperti seorang tawanan, melainkan seorang sahabat baik. Bahkan empat orang murid laki-laki Kong-thong-pai kini sudah mulai mengajaknya bercakap-cakap dan kadang kala berkelakar.

Ketika Bwee Ceng membagikan arak dan menuangkan arak pada cawan masing-masing yang diambilnya dari bungkusan perbekalan mereka, tercium bau arak yang wangi dan sedap sekali. Mereka menjadi gembira dan segera mengangkat cawan arak dan minum arak yang ternyata manis dan enak sekali.

Akan tetapi, mendadak Keng Hong mengerutkan alisnya ketika arak itu melalui lidahnya. Mulutnya yang sudah sangat peka itu dapat merasakan ada racun yang amat kuat berada di dalam arak, racun yang sama sekali tidak berbau dan tidak ada rasanya. Akan tetapi begitu tersentuh racun itu lidahnya sudah dapat merasakan dan tahulah dia bahwa dia hendak di racun!

Keng Hong tersenyum ketika dia mengerling ke arah Swat Si yang kebetulan mengerling ke arahnya pula dari balik cawannya. Hemm, tentu cawan untuknya itu saja yang diberi racun. Diam-diam dia mengeluh hatinya.

Agaknya kedua orang wanita itu, ataukah Bwee Ceng itu karena dia tidak percaya bahwa Swat Si yang begitu halus dan mesra akan suka meracuninya, sengaja ingin membunuh dia karena khawatir kalau-kalau peristiwa semalam akan terbongkar dan diketahui orang lain. Kalau Keng Hong mati, tentu rahasia itu takkan pernah dapat terbongkar lagi. Begini kejamkan wanita? Keng Hong hanya mengeluh dalam hatinya, akan tetapi terus meneguk habis araknya karena baginya, racun itu tidak akan ada bahayanya.

Tiba-tiba Keng Hong meloncat bangun ketika melihat perubahan pada wajah enam orang itu. Mendadak saja wajah enam orang itu berubah. Mendadak saja wajah mereka yang tadinya duduk di atas lantai itu menjadi biru.

"Aduhhh... Keng Hong..!" Swat Si mengeluh.

Melihat wajah Swat Si, hati Keng Hong penuh keharuan dan kekhawatiran. Dia cepat meloncat dekat dan merangkul leher gadis itu. Wajah gadis itu menjadi agak menghitam, tubuhnya berkelojotan, akan tetapi matanya memandang wajah Keng Hong dan mulutnya agak tersenyum walau pun giginya yang kecil rata dan putih mengkilap itu menggigit bibir bawah menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk perut.

"Swat Si... kenapa...?" Keng Hong yang mendekapnya bertanya khawatir.

"Keng Hong... jangan lupakan aku…" Swat Si berbisik kemudian tubuhnya menjadi lemas, matanya mendelik.

Tak salah lagi, tentu arak itu! Dan Bwee Ceng yang membelinya! Ia melepaskan tubuh Swat Si yang sudah sekarat lalu membalik menubruk Bwee Ceng, mengangkat tubuh itu yang lalu di rangkulnya.

Seperti juga Swat Si, ketika memandangnya, Bwee Ceng berusaha untuk tersenyum.

"Keng Hong... arak... itu... ada racun.. aku tidak penasaran... setelah semalam..." Ia tidak dapat melanjutkan karena tubuhnya berkelojotan dan matanya mendelik pula.

Keng Hong segera melepaskan Bwee Ceng dan memeriksa keempat orang murid pria Kong-thong-pai. Semua sama keadaannya, merasa sekarat dan dalam perjalanan maut.

Arak beracun! Seorang wanita petani menjual seguci arak kepada Bwee Ceng! Seperti kemasukan setan Keng Hong meloncat dan lari memasuki dusun. Hari masih pagi sekali akan tetapi seperti kebiasaan dusun-dusun, sepagi itu para penduduk telah bangun.

Melihat Keng Hong berlari-lari, mereka semua merasa terkejut dan amat heran. Bukankah pemuda ini yang kemarin menjadi tawanan enam orang gagah yang bermalam di dalam kuil? Pemuda tampan ini tentulah seorang penjahat, maka menjadi tawanan enam orang pendekar itu.

"Siapa yang sudah menjual seguci arak kepada kami?" Keng Hong berteriak-teriak seperti orang gila.

Seorang wanita setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak melangkah maju dan berkata, "Saya yang menjual seguci arak kepada mereka tadi pagi. Ada apakah orang muda? Arakku hanya ada seguci itu, kalau mau tambah lagi harus pergi ke kota..!"

Wanita itu menghentikan kata-katanya, berganti mengaduh-aduh sebab Keng Hong telah mencekeram lengannya. Tadinya pemuda ini mengira bahwa nenek yang telah meracuni mereka tentu mempunyai kepandaian lihai, akan tetapi ketika memegang lengannya dan mendapat kenyataan bahwa wanita ini tidak bisa apa-apa dan sangat lemah, dia segera mengendurkan cengkeramannya dan membentak,

"Lekas katakan! Dari mana engkau mendapat arak itu? Awas kalau membohong, kubunuh kau!"

Para penduduk dusun itu menjadi marah menyaksikan kekasaran Keng Hong terhadap seorang wanita. Mereka itu, yang laki-laki, sudah menyerbu sambil memaki, "Orang gila! Kenapa datang-datang mengamuk? Engkau adalah seorang tawanan, tentu seorang yang jahat!" Melayanglah pukulan dan tendangan ke tubuh Keng Hong.

Tapi pemuda ini tidak mempedulikan mereka semua dan tetap memegangi lengan wanita setengah tua yang menggigil ketakutan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika serangan itu mengenai tubuh Keng Hong, disusul teriakan-teriakan mengaduh-ngaduh para penyerang itu sendiri karena kaki tangan mereka bertemu dengan tubuh yang kerasnya seperti baja!

"Dia setan...!"

"Siluman...!" teriakan-teriakan mereka yang mengaduh-ngaduh ini membuat suasana di situ menjadi gaduh sekali.

"Saudara-saudara jangan bertindak sembrono!" Keng Hong berteriak lantang, "arak yang dijual oleh wanita ini mengandung racun karena semua sahabatku yang meminum arak itu kini mati semua!"

Mendengar penjelasan ini, orang-orang dusun itu menjadi pucat mukanya dan otomatis mereka melangkah mundur lalu memandang ke arah wanita itu dengan mata terbelalak. Wanita itu sendiri kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

"Aku tidak tahu apa-apa... Aku tidak tahu tentang arak dan tentang racun. Seguci arak itu aku terima dari seorang puteri dengan pesan supaya kuberikan kepada rombongan yang menginap di kuil... Dan… karena niocu (nona) itu berbaik hati memberi hadiah uang..., tentu kuterima…"

Keng Hong melepaskan cengkeraman tangannya dan mendorong tubuh wanita setengah tua itu yang terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan yang terasa nyeri, menangis dengan muka pucat.

"Lekas katakan, seperti apa macamnya nona yang memberi arak kepadamu itu?"

"Dia masih muda, cantik sekali bagaikan dewi... pakaiannya serba putih, suaranya halus dan..."

Akan tetapi Keng Hong sudah meloncat pergi dan sebentar saja sudah lenyap dari depan para penduduk yang melongo keheranan. Keng Hong tidak lagi merasa heran mendengar keterangan wanita dusun itu karena memang sudah disangkanya. Tangan keji Biauw Eng lagi! Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng yang menggunakan racun membunuh enam orang Kong-thong-pai itu?

Pagi tadi, menyaksikan dua orang gadis Kong-thong-pai dilayani bercinta kasih oleh Keng Hong, dalam cemburunya gadis berwatak iblis itu lalu menyerang dengan senjata rahasia. Kemudian, karena ada Keng Hong yang menghalangi niat kejinya, dia lalu menggunakan racun secara keji dan cerdik sekali. Tentu gadis itu tahu bahwa Keng Hong kebal akan racun, akan tetapi enam orang Kong-thong-pai tidak!

"Biauw Eng, engkau sungguh jahat!" Keng Hong berkata dengan hati penuh penyesalan dan duka ketika dia tiba di dalam kuil dan berdiri memandang ke arah enam sosok mayat murid-murid Kong-thong-pai itu.

Dengan perasaan berat Keng Hong kemudian menggali lubang di pekarangan kuil dan menguburkan mayat-mayat itu. Setelah selesai dia meninggalkan kuil dan baru mendapat kenyataan bahwa banyak penduduk menonton dari jauh dan secara sembunyi-sembunyi. Ketika dia melangkah dekat, mereka melarikan diri dan terdengar suara mereka,

"Pembunuh...! Pembunuh keji…!"

Keng Hong menghela napas panjang. Semua murid-murid Kong-thong-pai dibunuh Biauw Eng, dan kembali dialah yang tertuduh. Dia tak menyalahkan orang-orang dusun itu yang menuduhnya, dan ia merasa tak ada gunanya untuk memberi penjelasan kepada mereka. Semakin keras hasrat hatinya untuk cepat kembali ke Kiam-kok-san, di mana dia tak akan berhubungan lagi dengan dunia ramai, takkan terlibat segala urusan manusia yang hanya membuat kegetiran-kegetiran dan permusuhan. Dia berjalan terus mendaki lereng Pegunungan Kun-lun-san.

********************
Keng Hong berhenti melangkahkan kakinya dan memandang ke kiri dengan rasa kagum. Gadis itu, dia berani menduga bahwa bayangan tubuh ramping gesit itu tentulah seorang gadis, berlari dengan cepat sekali.

Tadinya jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas karena mengira bahwa gadis itu Biauw Eng. Akan tetapi setelah agak dekat dan pakaian gadis itu hijau muda, tidak putih seperti pakaian Biauw Eng, dia menduga-duga. Jelas bukan Biauw Eng, bukan pula Cui Im, sungguh pun gerakan gadis itu menunjukkan ginkang yang sudah tinggi.

Yang jelas berbeda dan tampak dari jauh adalah cara gadis ini menyanggul rambutnya, disanggul tinggi di atas kepala seperti sebuah menara yang bergoyang-goyang ketika dia berlari cepat. Di punggungnya tampak sebatang pedang dalam sarung pedang merah.

Ketika gadis yang ternyata cantik manis dengan pandang mata tajam dan penuh gairah hidup itu tiba di dekat Keng Hong yang duduk di bawah pohon, gadis itu kelihatan kaget, akan tetapi dia bahkan langsung menghampiri Keng Hong. Sejenak gadis itu memandang tajam kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan ketika dia bertanya,

"Maafkan kalau aku yang sesat jalan mengganggu Twako dengan pertanyaan."

Keng Hong tersenyum. Senang hatinya menyaksikan sikap gadis yang membayangkan kegagahan ini ternyata sangat peramah dan sopan santun. Dia cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatannya, kemudian menjawab,

"Sudah sewajarnya apa bila dua orang yang saling jumpa di tempat sesunyi ini saling bertanya. Nona hendak bertanya tentang apakah?"

Gadis itu kembali tertegun. Agaknya dia sama sekali tak mengira bahwa pemuda tampan yang duduk mengaso di pohon itu adalah seorang yang demikian halus tutur sapanya, membayangkan seorang yang tahu akan kebudayaan dan sama sekali bukanlah seorang penduduk pegunungan yang buta huruf. Maka pandang matanya menjadi semakin tajam dan penuh selidik.

"Aku hendak bertanya jalan yang menuju ke Kiam-kok-san.."

Kini Keng Hong yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera bisa menekan perasaannya dengan pengertian bahwa sekarang ini Kiam-kok-san agaknya menjadi mercu suar bagi orang-orang kang-ouw, menjadi seperti sebuah lampu yang menarik datangnya laron dan kupu-kupu.

Ia menarik napas panjang, kemudian mencari jalan untuk mengetahui siapakah gerangan nona muda ini yang juga ikut-ikutan memperebutkan pusaka Kiam-kok-san. Karena hanya orang yang ingin memperoleh pusaka-pusaka milik suhu-nya sajalah yang bertanya-tanya tentang Kiam-kok-san!

"Pertanyaanmu sangat mengejutkan hati, Nona. Kiam-kok-san bukan sebuah tempat yang dikenal oleh semua orang. Bolehkah aku mengetahui namamu dan keperluannya mencari tempat seperti itu? Perkenalkan, aku she Cia..."

"Harap engkau suka berbaik hati menunjukkan jalan itu kalau kau mengetahuinya ..ehhh, Cia-twako. Namaku ialah Tan Hun Bwee dan tentang keperluanku dengan Kiam-kok-san adalah urusan pribadiku. Apa bila engkau mengetahui tempat itu dan dapat menunjukkan jalan untukku, aku akan berterima kasih sekali. Kalau engkau tidak mengetahui, biarlah aku pergi mencari sendiri, tidak perlu terlalu lama di sini.."

Keng Hong tersenyum. "Aku sudah tahu mengapa Nona datang mencari Kiam-kok-san. Bukankah Nona puteri Ketua Hek-houw Piawkiok bernama Tan Kai Sek?"

Nona itu terkejut sekali, kemudian tangannya bergerak secara otomatis hendak meraba pedangnya sambil bertanya dengan suara nyaring, "Engkau siapakah?" Apakah engkau murid Kun-lun-pai dan hendak menghalangi aku mencari Kiam-kok-san?"

Keng Hong tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi nona itu, menghampiri pohon dan duduk kembali di bawah pohon yang teduh. Setelah duduk menghadapi nona itu dia berkata, "Tenanglah, Nona dan tidak perlu mencabut pedang itu. Aku bukan murid Kun-lun-pai dan juga tidak akan menghalangi orang. Marilah duduk di sini dan dengarlah dulu kata-kataku, baru kutunjukkan padamu jalan ke Kiam-kok-san."

Tan Hun Bwee, gadis itu, menjadi curiga, namun karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dia tidak merasa takut dan menghampiri lalu duduk agak jauh di atas sebuah batu, menghadapi pemuda yang ia dapat menduga tentu bukan orang sembarangan itu. Orang yang tahu akan adanya Kiam-kok-san kiranya bukan sembarangan orang.

"Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal ayahku?"

"Sudah kukatakan tadi bahwa aku she Cia dan tentang ayahmu, pernah aku bertemu dan berkenalan. Aku tahu bahwa ayah beserta ibumu pernah mendatangi Kiam-kok-san untuk memusuhi Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi gagal karena dikalahkan oleh kakek itu. Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan urusan itu?"

Kembali gadis itu terkejut dan terheran-heran. Bagaimana pemuda tampan dan halus tutur sapanya ini mengetahui akan hal itu? Ia tak suka urusan pribadi orang tuanya dibicarakan orang lain, maka dia pun menjawab singkat, "Dendam besar antara keluarga kami dengan Sin-jiu Kiam-ong adalah urusan pribadi, tidak perlu aku membicarakannya dengan orang lain. Apa bila engkau mengetahui jalan ke Kiam-kok-san dan suka menunjukkannya kepadaku, harap katakan sekarang juga."

"Nanti dulu, Nona. Kenapa Nona berkeras hendak mendatangi Kiam-kok-san? Kakek yang berjuluk Sin-jiu Kiam-ong itu sudah meninggal dunia, dengan demikian maka urusan yang ada antara beliau dan orang tua Nona sudah terhapus..."

Sepasang alis menjelirit hitam itu bergerak-gerak, sangat indah dalam pandangan Keng Hong, lantas bibir yang merah itu bergerak cepat, "Terhapus bagaimana? Enak saja! Dia seorang yang amat jahat, seorang manusia sombong dan keji, yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga ayahku!"

"Ah, terlalu keras engkau menjatuhkan keputusan, Nona. Aku pun telah mengetahui akan urusan antara Sin-jiu Kiam-ong dan orang tuamu. Bukankah dahulu orang tuamu sebagai piauwsu dari Hek-houw Piauwkiok pernah dirampok oleh kakek itu yang lalu merampas benda-benda perhiasaan milik seorang pembesar tinggi?"

"Bukan itu saja! Bahkan dia berani mengganggu puteri dari menteri..."

"Hemmm, bukan mengganggu, karena keduanya sama suka. Puteri itu tadinya ditawan dengan maksud dimintakan uang tebusan dan Sin-jiu Kiam-ong melakukan hal ini sebagai pelajaran oleh karena sang menteri adalah seorang pejabat tinggi yang di samping korup juga menindas rakyat mengandalkan kekuasaan. Akan tetapi puteri itu jatuh cinta kepada Sin-jiu Kiam-ong sehingga terjadilah hubungan cinta kasih antara mereka. Urusan itu ada sangkut pautnya dengan orang tuamu?"

"Piauwkiok ayahku menjadi tercemar namanya, dan menyeret pula nama besar ayahku. Pendeknya, aku tidak terima! Biar pun Sin-jiu Kiam-ong telah menginggal, tapi dia masih berhutang kepada ayahku, dan aku harus mendapatkan kembali harta pusaka yang dia rampok karena itu menjadi hakku, di samping pusaka lainnya yang ditinggalkannya. Aku akan menggeledah Kiam-kok-san!"

Keng Hong tersenyum lebar. "Nona, berpikirlah masak-masak. Dendam digerakkan oleh benci, dan siapa yang membenci orang lain berarti membenci diri sendiri. Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia, kenapa engkau masih menaruh dendam? Padahal, engkau sendiri tidak mempunyai urusan dengan dia, bahkan mengenal pun tidak. Apa perlunya dendam dibawa hingga menurun dari ayahmu kepadamu? Menurutkan dendam sama saja engkau mengikatkan dirimu dengan tali temali karma yang sangat ruwet, Nona. Bukankah dengan begitu engkau hanya akan menyia-nyiakan waktu hidupmu? Perlukah engkau memenuhi permintaan orang tuamu yang begitu tega menyuruh seorang gadis muda seperti Nona menempuh bahaya besar, hendak mendatangi Kiam-kok-san yang tidak dapat didatangi oleh orang-orang sakti di dunia kang-ouw? Orang tuamu benar-benar berpemandangan picik...”

"Ayah ibuku telah meninggal dunia..!"

"Ahh, maaf... aku tidak tahu..."

"Mereka telah meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri. Mereka meninggal karena tekanan batin, karena tidak mampu membalas kepada musuh besar kami. Aku sebagai puterinya harus melanjutkannya, harus dapat merampas kembali benda-benda berharga yang dahulu dirampas oleh Sin-jiu Kiam-ong. Aku akan… ehh, engkau ini siapakah yang tahu akan segala hal?"

"Tentu saja aku tahu, mendiang Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku.."

"Bagus..! Ada yang mewakili untuk menerima pembalasan keluarga Tan...!"

Sambil berkata demikian, gadis itu telah meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya. Gerakannya cepat sekali maka Keng Hong dapat menduga bahwa tentu gadis itu sudah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya. Ia diam saja, hanya duduk sambil memandang gadis itu dengan wajah tenang.

"Hayo bangkitlah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong! Bangkitlah supaya segala perhitungan lama dapat dibereskan saat ini!" Gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke arah hidung Keng Hong yang masih duduk tenang tak bergerak dari tempatnya.

"Mendiang guruku tidak pernah merasa menjadi musuh orang tuamu, apa lagi musuhmu, Nona. Dan aku pun tidak pernah merasa menjadi musuh keluarga Tan-piauwsu, karena itu bagiku tidak ada perhitungan apa-apa yang harus dibereskan. Dan aku merasa yakin bahwa seorang gadis perkasa seperti Nona tidak akan membunuh orang yang tidak mau melawannya, apa lagi kalau orang itu selama hidupnya tidak pernah ada urusan dengan Nona mau pun orang tua Nona. Akan tetapi apa bila dugaanku keliru dan ternyata Nona adalah seorang wanita yang berhati keji dan haus darah, boleh saja Nona tusuk dada ini sampai tembus, aku pun tidak akan melawanmu!"

Pedang di tangan gadis itu nampak menggigil, akan tetapi tidak turun dari depan hidung Keng Hong. "Aku mendengar penuturan dari orang tuaku bahwa Sin-jiu Kim-ong adalah seorang laki-laki yang bermulut tajam, pandai membujuk dan menipu. Siapa tahu kalau muridnya pun mewarisi kepandaian itu!"

Keng Hong bukanlah seorang bodoh yang membiarkan dirinya terancam maut begitu saja sehingga dia mengeluarkan ucapan tadi. Melihat sikap gadis itu dan mendengar ucapan-ucapannya, dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak mungkin mau membunuhnya begitu saja kalau dia tidak mau melawan. Kini dia tertawa dan menjawab,

"Nona, biar pun kau buka dada ini, engkau takkan mendapatkan niat buruk dalam hatiku terhadapmu. Aku tidak membujuk, hanya bicara sesungguhnya bahwa aku tidak pernah memusuhimu dan tidak suka bermusuhan denganu karena memang tidak ada sebab yang mengharuskan kita saling bermusuhan. Apa lagi setelah sekarang suhu tidak ada, juga kedua orang tuamu tidak ada, mengapa kita harus melanjutkan sikap bermusuhan orang tuamu? Percayalah bahwa kelak apa bila aku berhasil menemukan simpanan suhu, tentu benda-benda itu akan kukembalikan kepadamu. Bukan hanya benda-benda dari orang tuamu, bahkan benda milik semua orang yang pernah diambil suhu akan kukembalikan. Dengan jalan itu aku hendak menebus semua perbuatan suhu yang sudah menimbulkan sikap bermusuhan dari orang-orang gagah terhadap suhu."

Ujung pedang yang menodong itu menurun, perlahan-lahan. Kemudian tubuh gadis yang menegang itu menjadi agak lemas ketika dia berkata perlahan, seperti mengeluh.

"Ahh, mengapa engkau tidak mau bangkit melawan saja? Supaya terpenuhi kebaktianku kepada kedua orang tuaku. Kenapa engkau tidak menjadi murid berbakti dari gurumu dan mempertahankan nama gurumu dengan menghadapi musuhnya?"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. "Engkau keliru dalam mengartikan sikap berbakti, Nona. Melanjutkan perbuatan orang tua baru dapat dikatkan berbakti kalau perbuatan itu sendiri benar. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak benar, maka kewajiban seorang berbakti adalah membetulkan perbuatan itu, tidak melanjutkannya. Mengerti engkau, Nona?"

Gadis itu menunduk, perlahan-lahan menyimpan kembali pedangnya. "Biar pun aku tidak suka mengakui, namun aku percaya kepadamu."

Tiba-tiba Keng Hong mengangkat muka memandang ke kanan dan terdengarlah suara. "Siancai..! Bocah keparat ini sama sekali tidak boleh dipercaya!"

Tan Hun Bwee cepat memutar tubuh memandang ke arah suara itu dan tahu-tahu di situ muncul dua tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun. Mereka ini bukan lain adalah Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditugaskan untuk mencari dan menangkap Keng Hong yang telah menipu Kun-lun-pai dengan menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.

Melihat kedua orang tosu ini, Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia maju, menjatuhkan diri berlutut.

"Kiranya Ji-wi Totiang yang datang, harap menerima penghormatan teecu," kata Keng Hong penuh hormat.

Sejak kecil Keng Hong hidup di Kun-lun-pai dan tidak pernah dia kehilangan rasa terima kasihnya kepada Kun-lun-pai, terutama kepada Kiang Tojin yang telah menolong jiwanya dan telah memeliharanya. Dua orang tosu ini adalah adik seperguruan Kiang Tojin, tentu saja dia bersikap amat hormat.

"Cia Keng Hong! Tahukah engkau akan dosamu terhadap Kun-lun-pai?" bentak Sian Ti Tojin sambil menggerakkan ujung lengannya yang panjang dan sikapnya kereng.

"Teecu telah banyak menerima budi kebaikan Kun-lun-pai dan belum sempat membalas. Hal itu sudah merupakan dosa."

"Tidak usah memutar lidah!" bentak Lian Ci Tojin yang seperti suheng-nya, sangat marah kalau mengingat betapa Kun-lun-pai sampai bentrok antara saudara sendiri, dan betapa Kun-lun-pai didatangi oleh banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggu. Apa lagi bila teringat akan penipuan pedang palsu.

"Engkau telah menipu kami dan menipu guru kami dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu. Apakah kau hendak menyangkal dosa besar ini?"

Keng Hong menundukkan mukanya dalam keadaan masih berlutut. "Teecu tidak pernah menyangkal, karena memang hal itu benar telah teecu lakukan. Kini teecu bersedia untuk menghadap Kiang Tojin serta para locianpwe di Kun-lun-pai untuk mohon pengampunan atas perbuatan teecu yang tidak patut itu."

"Enak saja kau bicara tentang minta ampun setelah kekacauan yang dulu kau ciptakan di Kun-lun-pai!" bentak Sian Ti Tojin sambil melangkah maju dan tangan kirinya menampar.

"Plakk!"

Pipi kanan Keng Hong ditamparnya keras sekali sehingga tubuh pemuda itu terguncang miring dan hampir roboh.

"Kalau kami tidak menerima perintah untuk menangkapmu hidup-hidup dan menyeretmu ke depan kaki suhu, tentu sekarang juga pinto membunuhmu, bocah keparat!" ucapan ini keluar dari mulut Lian Ci Tojin yang juga menggerakkan tangan ke depan, menampar pipi kiri Keng Hong.

"Plakkk!"

Tamparan ini lebih keras lagi, sesuai dengan watak Lian Ci Tojin yang berangasan. Apa lagi karena tosu ini amat benci kepada Kiang Tojin sehingga kemarahannya dia timpakan kepada anak yang dipungut dan ditolong oleh Kiang Tojin itu. Kembali tubuh Keng Hong terguncang dan dari kedua ujung bibirnya menitik darah.

"Pendeta-pendeta berhati kejam!" Tiba-tiba saja Tan Hun Bwee memaki sambil meloncat ke depan. "Kalian sungguh tidak tahu malu, memukul orang yang sama sekali tidak mau melawan."

Lian Ci Tojin dan suheng-nya mengangkat muka memandang gadis itu. Lian Ci Tojin tersenyum dan mengejek. "Cia Keng Hong, apakah engkau sudah mewarisi watak mata keranjang suhu-mu dan gadis ini menjadi seorang di antara pacarmu?"

"Lian Ci totiang harap jangan bicara sembarangan. Nona ini adalah seorang gadis yang terhormat, dia adalah puteri Tan-piauwsu dan sama sekali bukan pacar teecu."

"Tosu bau, mulutmu busuk!" Tan Hun Hwee sudah tidak dapat menahan kemarahannya dan pedangnya sudah dia cabut kemudian secepatnya kilat dia menyerang Lian Ci Tojin.

Akan tetapi dengan mudahnya Lian Ci Tojin mengelak. Tosu ini adalah murid ke lima dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang termasuk golongan atas.

"Hemmm, kalau bukan pacar bocah keparat ini, setidaknya tentu mata-mata musuh yang hendak menyelidiki keadaan Kun-lun-pai. Mengakulah, mau apa kau datang ke wilayah Kun-lun-pai?" bentak tosu itu.

"Tosu keparat, tosu palsu, lihat pedang!" Tan Hun Bwee sudah menyerang kembali dan ternyata gadis ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai sehingga kembali Lian Ci Tojin terpaksa melompat ke belakang mengelak sambil meraba punggungnya dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan.

"Engkau hendak menggunakan kekerasan? Baik, majulah!"

Pada waktu gadis itu menyerang lagi, Lian Ci Tojin sudah menggerakkan pula pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan hebat.

"Sute, jangan membunuh orang!" Sian Ti Tojin memperingatkan sute-nya.

"Ha-ha-ha, menghadapi bocah seperti ini, masa perlu membunuhnya, Suheng? Dia harus ditangkap, mungkin dia mata-mata musuh yang berbahaya."

Tan Hun Bwee boleh jadi lihai dan jarang terdapat seorang gadis muda memiliki keahlian bermain pedang seperti dia, akan tetapi kalau berhadapan dengan seorang tokoh besar Kun-lun-pai seperti Lian Ci Tojin, dia masih kalah jauh. Sesudah bertanding mati-matian selama tiga puluh jurus, dalam pertemuan pedang Lian Ci Tojin mengerahkan tenaganya dan gadis itu berteriak kaget, pedangnya terlepas dari pegangan dan sempat ia mengelak, namun tangan kiri tosu itu telah menotok pundaknya, membuat ia roboh lemas tak dapat berkutik lagi!

"Ha-ha-ha, bocah-bocah sekarang banyak yang tak tahu diri, seperti bocah keparat Keng Hong ini dan gadis galak ini. Suheng, keadaan gadis ini sangat mencurigakan, dia datang bersama Keng Hong, siapa tahu di belakangnya ada orang-orang lain. Biar dia kubawa lebih dulu menghadap suhu agar diselidiki. Harap Suheng mengantar Keng Hong ke atas dan menyusul."

Sian Ti Tojin hanya mengangguk sambil berkata kepada Keng Hong, "Hayo berdiri dan ikut dengan pinto ke puncak Kun-lun-pai."

Keng Hong tadi hanya menonton saja ketika nona Tan bertanding melawan Lian Ci Tojin. Hatinya gelisah tidak karuan, akan tetapi bagaimana dia dapat turun tangan melindungi nona itu atau mencegah Lian Ci Tojin? Bila mana dia melakukan hal ini berarti bahwa dosanya terhadap Kun-lun-pai akan menjadi bertambah.

Apa lagi dia dapat melihat bahwa tosu itu tidak akan membunuh Tan Hun Bwee, dan hanya akan menangkapnya kemudian membawanya ke Kun-lun-pai untuk diselidiki. Kalau memang gadis itu tidak bersalah, dan benar hanya ingin mencari pusaka di Kiam-kok-san, dia percaya akan kebijaksaan para pimpinan Kun-lun-pai yang tentu akan membebaskan gadis itu.

Akan tetapi pada saat dia hendak bangkit memenuhi permintaan atau perintah Sian Ti Tojin dan mengerling ke arah Tan Hun Bwee yang sudah tertotok, dia melihat Lian Ci Tojin secara kasar dan sembarangan mengempit tubuh gadis itu dan dibawa pergi. Pada saat itu dia melihat sinar mata Lian Ci Tojin dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia berusaha menekan-nekan debar jantungnya, akan tetapi tak berhasil sehingga ketika dia bangkit berdiri, kakinya gemetar serta mukanya menjadi berubah dan keningnya berkerut.

Melihat hal ini, Sian Ti Tojin mengira bahwa pemuda ini hendak membangkang. Ia sudah maklum akan kelihaian bocah ini yang mempunyai ilmu aneh dan pernah menggegerkan Kun-lun-pai. Tentu saja dia tidak takut dan merasa dapat mengatasi bocah ini karena dia tahu bahwa Keng Hong hanya mempunyai tenaga sedot mukjijat itu sedangkan dalam hal ilmu silat, pemuda ini masih rendah ilmunya.

Ada pun tentang ilmu sedot itu, sesudah dahulu Keng Hong menggegerkan Kun-lun-pai, suhu-nya sudah memberi penjelasan kepada para murid, dan kini sudah tahu bagaimana caranya menolong diri sendiri apa bila dia kena ‘disedot’. Tapi betapa pun juga, dia tidak menghendaki pemuda ini membangkang sehingga dia tak usah menggunakan kekerasan.

"Cia Keng Kong, mengapa kau? Apakah kau hendak membangkang?"

Keng Hong tadinya memandang ke arah bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari Hun Bwee dan kini bayangan itu sudah lenyap di tikungan lereng. Ia menghela napas panjang dan memutar tubuhnya menghadapi Sian Ti Tojin. Sian Ti Tojin adalah murid ke dua dari Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sehingga dalam hal ilmu silat, tosu ini hanya berada di bawah suheng-nya yang tertua, yaitu Kiang Tojin.

"Totiang, mengapa Totiang membiarkan Lian Ci Tojin membawa pergi nona Tan? Kenapa tidak bersama-sama saja?"

"Hemmm, engkau lancang sekali. Ada sangkut pautnya apakah denganmu? Sute hendak membawa gadis itu lebih dahulu karena menaruh curiga kepadanya. Sebenarnya apakah keperluannya berada di tempat ini bersamamu?"

"Totiang, dia itu orang baik-baik, tidak ada kesalahan terhadap Kun-lun-pai. Dia sengaja datang ke sini untuk mencari Kim-kok-san."

"Apa? Mengapa?'

"Dia adalah puteri dari Tan-piauwsu yang dahulu pernah bermusuhan dengan mendiang suhu. Ada beberapa buah barang berharga milik ayah ibunya yang dirampas suhu dan dia hendak mencari barang-barang itu. Dia sama sekali tidak memiliki maksud buruk terhadap Kun-lun-pai. Mengapa ditangkap?"

Sian Ti Tojin menggelengkan kepala. "Tidak bermaksud buruk akan tetapi dia menyerang sute. Sudahlah, kalau memang dia tak bersalah, tentu akan dibebaskan kembali. Mari kita naik menghadap suhu dan jangan banyak tingkah agar pinto tidak perlu menggunakan kekerasan terhadapmu."

Keng Hong menghela napas panjang dan melangkah pergi diikuti kakek itu dari belakang. Akan tetapi baru beberapa ratus langkah, dia berhenti lagi.

"Totiang..."

"Kenapa kau berhenti? Hayo jalan terus."

"Totiang, hati saya merasa tidak enak sekali. Amat berbahaya nona Tan dibawa pergi Lian Ci Tojin. Tidakkah Totiang dapat melihat betapa tadi sinar mata Lian Ci Tojin berapi-api? Apakah patut dia mengempit tubuh seorang gadis? Lebih baik kita susul dia."

"Ah, engkau benar-benar kurang ajar dan patut dipukul, Keng Hong. Berani benar engkau mengeluarkan fitnahan-fitnahan menghina sute. Kami adalah tosu-tosu yang menyucikan diri dan batin, masa terhadap seorang wanita akan timbul pikiran kotor seperti mendiang suhu-mu? Uhh, jika sekali lagi kau mengeluarkan ucapan seperti itu, terpaksa akan pinto pukul sebagai hajaran."

Kembali Keng Hong menghela napas lalu berjalan lagi. Dia menganggap bahwa alasan tosu tua ini benar. Masa Lian Ci Tojin akan melakukan hal yang sangat rendah terhadap gadis itu? Bukankah para tosu Kun-lun-pai ini bukan sembarangan tosu melainkan tosu murid langsung Thian Seng Cinjin?

Kembali sinar mata Lian Ci Tojin yang ditangkapnya ketika tosu itu mengempit tubuh Hun Bwee menggoda hatinya. Betapa pun percaya dia akan alasan Sian Ti Tojin tadi, namun sinar mata itu! Seperti mata orang kehausan melihat air, mata orang kelaparan melihat makanan enak, mata seekor anjing melihat daging, mata yang penuh memancarkan nafsu birahi!

Kalau benar seperti yang dikhawatirkannya, celakalah nasib Hun Bwee di tangan tosu itu. Gadis yang sudah begitu baik kepadanya, dan jelas tampak kebaikannya pada saat gadis itu membelanya melihat dia dipukuli oleh kedua orang tosu Kun-lun-pai. Betapa beraninya membela dia dari dua orang tosu yang lihai! Gadis yang berwatak pendekar dan gagah perkasa. Dan kini terancam bahaya yang bagi seorang gadis lebih hebat dari pada maut!

"Totiang, terpaksa teecu harus menyusul non Tan..."

"Cia Keng Hong, berhenti! Kalau tidak, terpaksa kupukul kau!"

Namun Keng Hong sudah meloncat pergi hendak mengejar Lian Ci Tojin.

"Keng Hong, kalau engkau tidak berhenti, pinto akan memukulmu!" Kembali teriakan Sian Ti Tojin menggema di belakangnya dan tosu itu telah mengejarnya.

Keng Hong berpikir cepat. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, dia hanya akan menang sedikit karena para tosu Kun-lun-pai tentu saja memiliki ginkang yang hebat. Dan kalau dikejar-kejar, bagaimana dia dapat mencari Hun Bwee? Setelah berpikir, dia lalu berlari terus, sengaja memperlambat larinya.

"Peringatan terakhir, Keng Hong. Berhentilah!"

Keng Hong berlari terus.

"Siancai! Pinto terpaksa memukulmu!"

Angin pukulan dahsyat terasa menyambar dari belakang. Keng Hong cepat membalikkan tubuhnya, mengerahkan sinkang-nya ke lengan dan segera menangkis pukulan itu terus mendorong ke samping.

"Dukkk!"

Tubuh Sian Ti Tojin terpental ke belakang bagaikan disambar angin yang kuat bukan main sehingga dia berseru kaget. Untung bahwa dia telah memiliki lweekang yang sangat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, akan tetapi dia merasa betapa tenaga lweekang dalam pukulannya tadi membalik dan membuat dadanya sesak. Ia tahu bahwa jika dia kembali mengerahkan tenaga, maka dia akan terluka. Karena itu cepat dia duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan keadaannya dan tentu saja ia harus membiarkan pemuda yang luar biasa itu pergi.

Keng Hong berlari terus secepatnya. Memang dia sudah melakukan hal yang membuat hatinya menjadi semakin tidak enak terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi karena dia hanya menangkis dan yang memukul adalah Sian Ti Tojin, maka dia menekan kekhawatirannya. Mengejar dan menolong Tan Hun Bwee lebih penting lagi.

Ia tadi melihat bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari nona itu naik ke atas, maka kini dia pun mengejar, akan tetapi hingga sekian lama berlari belum juga dia dapat menyusul. Hatinya menjadi penasaran dan gelisah sekali.

Dari sebuah puncak dia telah dapat melihat dinding tinggi dari Kun-lun-pai dan tak tampak bayangan tosu itu. Kalau Lian Ci Tojin membawa Hun Bwee ke Kun-lun-pai, dia tak usah khawatir. Akan tetapi dia merasa curiga dan menduga bahwa tentu nona itu tidak dibawa ke sana.

Maka dia lalu membelok dan kembali menuruni puncak, lalu mencoba untuk mencari ke dalam sebuah sebuah hutan besar yang berada di lereng. Apa bila tosu itu yang sinar matanya penuh nafsu berniat melakukan kekejian, tidak ada tempat yang lebih baik dari pada dalam hutan itu. Setibanya di dalam hutan, dia mencari-cari. Keadaan dalam hutan sunyi senyap.

Mendadak Keng Hong menghentikan langkahnya dan membungkuk, mengambil sehelai pita sutera hijau yang berbau harum. Agaknya pita rambut atau pita pelindung leher dan tak salah lagi, warna hijau muda ini menyatakan bahwa pita ini milik Tan Hun Bwee. Tentu orangnya berada tak jauh dari tempat ini. Hatinya makin tidak enak dan berdebar.

"Tan-siocia (nona Tan )...!" dia memanggil. Tiada jawaban.

Ia meneliti dan akhirnya melihat tapak kaki di atas tanah yang agak basah. Namun cukup baginya. Jejak kaki itu menuju ke arah serumpun alang-alang atau rumput tinggi di sebelah kirinya. Cepat dia menerobos semak-semak itu dan akhirnya dia melihat Tan Hun Bwee menggeletak di atas rumput, tersembunyi di balik semak-semak yang tebal.

Gadis itu dalam keadaan pingsan, agaknya tertotok dan melihat keadaan pakaiannya, hati Keng Hong seperti ditusuk pisau. Gadis ini sudah diperkosa! Dengan hati penuh iba, dia membereskan pakaian itu sebisa mungkin, kemudian ia mengurut tengkuk dan punggung Tan Hun Bwee.

Gadis itu mengeluh, lalu membuka matanya dan berteriak kaget sambil meloncat berdiri. Sepasang mata yang tajam itu sejenak menunduk, meneliti keadaan dirinya, kemudian wajah itu diangkat memandang Keng Hong, wajah yang pucat sekali dan matanya liar.

"Kau... kau… laki-laki jahat… apa yang sudah kau perbuat atas diriku...?" Air mata deras mengalir di sepasang pipi yang semakin pucat, ada pun mata itu makin beringas.

"Tenanglah, Nona. Aku mendapatkan Nona menggeletak di sini, dan..."

"Bohong! Engkau telah melakukan kekejian kepadaku! Aihhh, engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong..., keparat busuk!" tiba-tiba saja Hun Bwee menerkam ke depan dan menyerang Keng Hong dengan pukulan ke arah dada pemuda itu.

Saking kaget dan menyesal menyaksikan kesalah pahaman ini, Keng Hong sampai tidak sempat mengelak. Akan tetapi begitu dadanya terpukul, otomatis sinkang pada tubuhnya bergerak.

"Dukkkk...!" Dan tubuh gadis itu terjengkang roboh sendiri.

"Aah, Nona, sungguh mati, aku tidak..."

"Laki-laki jahanam! Pengecut hina dina! Telah berani berbuat tapi tidak berani bertangung jawab, malah menyangkal, keparat!" kembali Hun Bwee memaki.

Akan tetapi kemarahan yang begitu meluap membuat gadis ini lemah, selain berduka dan malu. Juga air matanya membuat kedua matanya sukar melihat. Serangan-serangannya menjadi ngawur dan asal pukul saja.

Keng Hong merasa kasihan, akan tetapi juga bingung menghadapi gadis yang mengamuk tidak karuan itu. Akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu sehingga tak dapat bergerak lagi, lalu berkata,

"Dengarlah Nona, aku tak melakukan sesuatu apa pun kepadamu, kudapati engkau telah menggeletak pingsan di sini…"

"Bohong! Bohong...!" Gadis itu meronta-ronta sehingga terpaksa Keng Hong melepaskan pegangannya. Karena maklum bahwa terhadap pemuda ini dia tidak akan dapat menang, gadis itu kemudian membalikkan tubuh dan berlari pergi dari tempat itu sambil menangis terisak-isak, meninggalkan Keng Hong yang berdiri bengong.

Sesudah bayangan gadis itu lenyap, Keng Hong menunduk, melihat ke tempat di mana seorang tosu Kun-lun-pai yang terhormat melakukan perbuatan biadab yang sama sekali tidak terhormat. Dia mengeluarkan pita hijau yang tadi dia masukkan saku, memandang pita itu dan berkata perlahan,

"Lian Ci Tojin... akan tiba saatnya engkau menyesali perbuatanmu yang terkutuk ini..."
Tak lama kemudian dia mengantongi pita hijau itu kembali dan meninggalkan tempat itu, berjalan dengan kepala tunduk menuju ke Kun-lun-pai. Hatinya makin berduka karena dia kembali menjadi korban perbuatan jahat orang lain yang ditimpakan kepadanya.

Berkali-kali Biauw Eng melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan selalu dialah yang menanggung akibatnya, dan kini dia merasa yakin bahwa Lian Ci Tojin telah memperkosa Tan Hun Bwee dalam keadaan pingsan namun akibatnya dia pula yang dituduh oleh gadis itu!

"Suhu, kenapa nasib teecu tidak sebaik nasib suhu yang selalu mengalami kegembiraan? Apakah karena teecu masih terlalu bodoh dan perlu menyempurnakan ilmu peninggalan suhu?" Demikian keluh hatinya terhadap mendiang gurunya.

Biar pun Keng Hong menjalani hidup, namun dia belum banyak pengalaman dan jiwanya belum matang, sehingga dia lupa bahwa senang mau pun susah bukan datang dari luar melainkan akibat terhadap segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala macam derita hidup dengan tertawa geli dan seolah-olah menyaksikan sebuah lelucon.

"Lian Ci Tojin, engkau benar-benar lebih jahat dari pada seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Seorang jai-hwa-cat melakukan kejahatannya dengan berterang, tapi sebaliknya engkau bersebunyi dalam kependetaan. Alangkah hina dan jahatnya engkau!"

Begitu teringat akan tosu itu, dalam hatinya Keng Hong memaki-maki. Kemudian dia juga teringat kepada Biauw Eng dan sedetik timbul rasa rindu yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi begitu mengingat perbuatan-perbuatan Biauw Eng, dia memaki-maki pula di dalam hatinya.

"Aku benci kepadamu! Kau perempuan hina, kejam, curang! Tak tahu malu engkau, aku tidak cinta kepadamu, melainkan benci... benci...!"

Keng Hong menghentikan langkahnya dan terpaksa menutupkan kedua tangan di depan muka karena sungguh pun mulutnya menyebutkan benci sampai berulang kali, namun dia maklum bahwa di dalam hatinya dia tak pernah dapat membenci Biauw Eng!

Keng Hong berlari terus secepatnya dengan hati yang tertekan dan wajah muram. Kalau menurutkan hatinya, ingin dia langsung saja naik ke Kiam-kok-san untuk menjauhkan diri dari pada segala urusan dunia yang banyak menimbulkan kepahitan. Akan tetapi ia harus mentaati kesadaraannya bahwa dia harus lebih dulu menghadap Kiang Tojin dan mohon maaf akan kedosaannya sudah menipu tosu itu dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.

Tosu itu adalah penolongnya, dan semua tosu di Kun-lun-pai telah bersikap baik padanya pada waktu dia masih kecil. Kalau dia tidak pergi menghadap, tentu selamanya dia akan menyesal dan berdosa. Biarlah dia akan menanggung segala akibatnya. Apa pun yang akan terjadi, akan dia hadapi.

Dan kalau perlu dia akan membela diri di depan semua tosu bahwa dialah sesungguhnya satu-satunya manusia yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam hingga dia terpaksa menipu mereka, menyerahkan pedang kayu yang palsu. Bahkan peristiwa itu akan dapat menjadi tamparan bagi tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang sangat tamak, secara tak bermalu memperebutkan benda milik orang lain!

Meski pun hatinya tertekan oleh semua peristiwa yang dialami, oleh kekecewaan melihat perbuatan Biauw Eng, oleh kemarahan karena perbuatan Lian Ci Tojin, namun dengan penuh semangat Keng Hong mendaki lereng yang menuju puncak di mana berdiri markas Kun-lun-pai dengan megahnya. Puncak itu masih jauh, masih membutuhkan perjalanan setengah hari, walau pun dindingnya sudah tampak dari lereng.

Ketika melalui sebuah tikungan, tiba-tiba Keng Hong berhenti dan matanya memandang terbelalak ke depan. Dia segera maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut ketika dia mengenal orang-orang yang telah menghadangnya di tengah jalan itu.

Pertama-tama dia mengenal Sim Lai Sek, pemuda remaja adik mendiang Sim Ciang Bi yang dahulu terbunuh oleh Biauw Eng. Sim Lai Sek berdiri dengan muka merah saking marahnya, berdampingan dengan dua orang kakek yang juga sudah dikenal Keng Hong sebagai tokoh-tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang amat lihai!

Di samping tiga orang Hoa-san-pai ini, dia melihat empat orang tosu tua yang bersikap angker dan penuh wibawa tetapi yang belum pernah dikenalnya. Karena belum mengenal empat orang tosu tua itu, maka perhatiannya tertarik kepada dua orang yang lain yang berdiri dengan alis berdiri saking marahnya.

Mereka berdua ini bukan lain adalah Kim-to Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang serta seorang laki-laki tua yang mukanya licin seperti muka anak-anak, akan tetapi sepasang matanya bundar seperti mata ikan bandeng raksasa! Melihat sikap kakek bermuka halus itu hati Keng Hong menjadi berdebar dan menduga bahwa agaknya dia itu adalah ketua Tiat-ciang-pang!

Memang dugaannya benar. Laki-laki tua yang datang bersama Kim-to Lai Ban itu bukan lain adalah Ouw Beng Kok, pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang. Kakek yang hebat ini tangan kirinya merupakan tangan kiri palsu yang terbuat dari pada logam kehijauan yang mengerikan sekali, seperti cakar iblis! Ada pun empat orang tosu tua yang tidak di kenal Keng Hong itu pun bukan orang-orang sembarangan, melainkan empat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin, tokoh-tokoh utama Kong-thong-pai!

Keng Hong menenangkan hatinya, lalu dia menjura dengan hormat kepada semua orang sambil berkata, "Para Locianpwe berada di sini apakah sengaja menghadang saya dan ada urusan apakah? Ehh, adik Sim Lai Sek juga berada di sini? Apakah engkau baik-baik saja?"

"Manusia keparat! Siapa sudi menjadi adikmu? Engkau telah mencemarkan kehormatan cici-ku kemudian masih tega membunuhnya! Nah, untuk perbuatanmu yang terkutuk itulah aku datang bersama Ji-wi Supek untuk membunuhmu!" Sim Lai Sek membentak penuh kebencian.

"Celaka, bocah ini lebih jahat dari pada gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Patut dilenyapkan dari muka bumi!" kata Coa Kiu orang tertua dari Hoa-san Siang-sin-kiam.

Keng Hong mengangguk-angguk. "Cukup sudah kuketahui maksud Ji-wi Locianpwe dari Hoa-san-pai yang hendak membunuhku berdasarkan fitnah memperkosa dan membunuh. Bagaimana dengan para Locianpwe yang lain? Ada urusan apakah?"

Sikap Keng Hong tenang saja karena memang sesungguhnya dia tidak merasa berdosa terhadap orang-orang ini. Sikapnya ini mengingatkan semua tokoh itu kepada sikap Sin-jiu Kiam-ong dan membuat mereka makin marah.

"Lai-pangcu, aku menyesal sekali akan peristiwa yang terjadi antara kita, dan Lai-pangcu sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi telah memaksaku hingga terjadi bentrokan dan jatuh korban. Semenjak semula sudah kunyatakan bahwa aku tidak bermusuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan Tiat-ciang-pang. Kenapa sekarang Lai-pangcu datang lagi menghadang perjalankanku?"

"Bocah iblis! Engkau mengandalkan ilmu iblismu membunuh murid-murid Tiat-ciang-pang, masih banyak bicara lagi? Kami datang untuk membinasakanmu!" jawab Kim-to Lai Ban.

Sedangkan Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang masih berdiri dan memandang penuh keheranan. Hampir saja dia tidak dapat percaya bahwa bocah ini yang telah merobohkan banyak anak muridnya dan bahkan hampir saja membunuh Lai Ban, sute-nya!

"Sungguh disayangkan bahwa ucapan Siauw-bin Kuncu mengenai Tiat-ciang-pang tepat sekali, bukan hanya mengandalkan Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mempunyai Tiat-sim (Hati Besi) pula. Dan bagaimana dengan para Locianpwe ini? Apakah para Totiang ini juga hendak mencariku?" Dia memandang ke arah empat orang tosu yang bersikap galak dan sejak tadi memandangnya dengan sinar mata tajam.

Tosu tertua di antara Kong-thong Ngo-lojin ialah seorang kakek tinggi kurus bermata buta di sebelah kiri. Dia memegang tongkat bambunya, ditudingkan ke arah Keng Hong sambil berkata,

"Cia Keng Hong, engkau sudah membunuh sute termuda kami dan sepuluh orang murid kami, sekarang terpaksa kami orang-orang tua dari Kong-thong-pai melupakan malu dan harus mencabut nyawa seorang muda yang berbahaya seperti engkau!"

Keng Hong terkejut. Kiranya empat orang ini adalah para suheng dari Kok Cin Cu yang terkenal dengan sebutan Kong-thong Ngo-lojin! Wah, sekali ini dia menghadapi ancaman lawan berat, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka? Akan tetapi jika tidak dapat melawan, dia hendak membela diri dengan mulut. Dia tak merasa bersalah, maka sebelum mereka turun tangan, dia harus membela diri, menyatakan kebersihannya.

"Aku sudah mendengar semua tuduhan, akan tetapi cu-wi Locianpwe sesungguhnya telah keliru menjatuhkan tuduhan-tuduhan palsu. Tuduhan yang tidak benar berarti fitnah, dan hal itu merupakan perbuatan keji yang bahkan melebihi pembunuhan. Aku tidak bersalah. Pertama-tama tuduhan dari Hoa-san-pai yang mengatakan bahwa aku telah memperkosa dan membunuh nona Sim Ciang Bi. Memang benar ada hubungan cinta antara aku dan mendiang nona Sim, akan tetapi bukan perkosaan. Sedangkan kematian nona itu yang berada dalam pelukanku bukanlah karena aku yang membunuhnya!"

"Aku melihat dengan mata kepala sendiri, engkau masih berani menyangkal?" bentak Sim Lai Sek setengah menjerit.

"Apakah engkau melihat aku membunuh, adik Sim Lai Sek?" tanya Keng Hong dengan sikap tenang.

"Aku melihat engkau... engkau... memperkosanya... kemudian melihat dia mati di dalam pelukanmu. Siapa lagi kalau bukan engkau atau perempuan iblis temanmu itu yang telah membunuhnya?"

"Kesaksianmu lemah. Aku tak memperkosanya dan tidak pula membunuhnya. Sekarang tuduhan dari Tiat-ciang-pang. Saat itu aku membantu nona Sim dari desakan orang-orang Tiat-ciang-pang. Aku tidak beraksud membunuhi anak buah Tiat-ciang-pang, kemudian datang Lai-pangcu yang memaksaku dengan kekerasan sehingga terjadi bentrokan dan di dalam pertempuran jatuh pula korban di pihak Tiat-ciang-pang. Jelas bahwa bukan aku sengaja memusuhi Tiat-ciang-pang karena aku hanya membela diri. Hal ini disaksikan oleh seorang Locianpwe yang patut dipercaya, yaitu Siauw-bin Kuncu Locianpwe."

"Bocah berilmu iblis! Engkau berbahaya sekali, memiliki ilmu iblis, tukang merayu wanita, pandai pula memutar lidah. Engkau sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi agar jangan membikin kotor dunia!" bentak Kim-to Lai Ban marah.

"Terserah wawasan Ji-pangcu dan Tiat-ciang-pang. Kini urusan dengan Kong-thong-pai yang menuduh aku membunuh Kok Cin Cu totiang dan sepuluh orang murid-muridnya. Bagaimana aku bisa membunuh seorang lihai seperti Kok Cin Cu totiang? Ada orang lain yang membunuh, akan tetapi jelas bukan aku. Ada pun tentang sepuluh orang anak murid Kong-thong-pai yang tewas dalam pertempuran yang sudah sewajarnya dan sebagian..."

"Sebagian lagi kau bunuh dalam kuil setelah kau perkosa dua orang murid wanita!" bentak Kok Seng Cu, tosu ke empat dari Kong-thong Ngo-lojin.

Keng Hong terkejut dan menduga bagaimana tosu ini tahu akan hubungannya dengan Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si? Dia tidak tahu bahwa empat orang tokoh Kong-thong-pai ini menerima pemberitahuan dari coretan yang dilakukan dengan tusuk konde bunga bwe yang ditinggalkan menancap di pondok sesudah melakukan coretan peberitahuan bahwa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si telah diperkosa oleh murid Sin-jiu Kiam-ong dan bahwa kedua orang gadis itu bersama para saudara seperguruannya telah dibunuh pula.

"Aku tidak memperkosa. Memang kami berhubungan secara suka sama suka, tetapi aku tidak membunuh siapa-siapa…"

"Manusia keji!"

Kok Sian Cu, orang pertama dari Kong-thong Ngo-lojin sudah tidak dapat lagi menahan kesabarannya. Tubuhnya bergerak maju dan mengirim pukulan ke arah ubun-ubun kepala Keng Hong. Sebuah pukulan maut yang didahului angin pukulan dahsyat sekali.

Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan jalan meloncat ke kiri sambil mengangkat tangan menjaga kepalanya. Tetapi dari sebelah kiri pundaknya disambar lagi oleh hantaman tangan yang lebih ampuh lagi dari pada pukulan pertama tadi, terbuat dari pada logam.

Hebat bukan main datangnya pukulan ini sebab Ouw Beng Kok dijuluki Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mendirikan perkumpulan Tiat-ciang-pang adalah karena kehebatan tangan kirinya yang palsu inilah. Tangan itu bukan terbuat dari besi sebarangan, melainkan besi yang mengandung racun hebat, dan karena ketua Tiat-ciang-pang ini memiliki lweekang yang amat kuat maka pukulannya itu benar-benar merupakan pukulan maut yang sukar dihindarkan.

Untung bagi Keng Hong bahwa sebelum suhu-nya meninggal dunia, kakek sakti itu telah ‘mengoperkan’ hawa sinkang mukjijat ke dalam tubuh muridnya sehingga otomatis Keng Hong memiliki sinkang kuat sekali seperti mendiang suhu-nya dan tanpa dia sadari pula dia telah mempunyai ginkang yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat bergerak di luar kesadarannya. Datangnya pukulan Ouw Beng Kok cepat, namun tubuh pemuda itu lebih cepat lagi, membuang diri ke belakang lalu bergulingan menjauhi lawan.

Orang-orang yang menyerangnya adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, sedikit banyak merasa malu dan sungkan untuk menggeroyok seorang pemuda, maka mereka itu begitu menyerang dan luput, merasa sungkan untuk mendesak dan membiarkan orang lain yang lebih dekat untuk turun tangan.

"Bukkk..!"

Ketika tubuh Keng Hong sedang bergulingan, datang kaki Kok Liong Cu, yaitu tosu ke dua dari Kong-thong Ngo-lojin yang selain memiliki Ilmu Pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang dimiliki oleh mereka berlima, juga terkenal lihai sekali dalam ilmu tendangan. Datangnya tendangan ini cepat dan tidak terduga sehingga tubuh Keng Hong terlempar ketika dicium ujung sepatunya.

Keng Hong merasa napasnya seolah-olah berhenti, namun dengan pengerahan sinkang dia dapat melindungi tubuh dan tidak sampai terluka, hanya merasa nyeri di punggung. Ia melompat bangun lagi hanya untuk menghadapi cahaya berkeredepan yang menyambar dari depan dibarengi bentakan Coa Bu orang kedua dari Hoa-san Siang-sin-kiam yang menusukkan pedangnya sambil membentak,

"Bocah iblis, mampuslah!"

Keng Hong kaget bukan main, cepat dia membuang diri lagi ke kanan menghindarkan diri dari sambaran pedang. Sinar pedang itu menyeleweng lewat dan hanya membabat rumput sehingga rumput-rumput itu terbabat habis tanpa tergerak, menandakan betapa tajam dan lihainya pedang kakek ini!

Keng Hong sudah meloncat bangun lagi, wajahnya pucat, napasnya terengah dan ketika dia mengerling, kiranya dia sudah dikurung!

"Aku tidak bersalah, dan aku akan mempertahankan nyawaku dari kalian orang-orang tua yang tidak adil!" teriaknya.

Ia maklum bahwa sekali ini sukar bagi dia untuk lolos, karena yang megepungnya adalah orang-orang yang sakti dan jumlah mereka, tanpa menghitung Sim Lai Sek yang tidak ada artinya, adalah delapan orang. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja sudah sangat berat, apa lagi delapan orang sekaligus! Baiknya mereka itu masih sungkan untuk mengeroyok, hanya menjaga supaya dia tidak melarikan diri dan siap-siap menerjang jika pemuda itu mendekat.

Dalam keadaan marah dan penasaran, Keng Hong merasa betapa seluruh tubuhnya kini menggetar dan teringatlah dia bahwa apa bila tubuhnya menggetar seperti ini berarti dia dapat menyedot hawa sinkang lawannya. Dia lalu mengerling dan melihat bahwa di antara mereka, yang bersenjata dan yang sukar untuk dihadapi dengan sinkang ialah dua orang dari Hoa-san-pai yang berpedang itu, Coa Kiu dan Coa Bu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, yaitu Kok Sian Cu yang memegang tongkat bambu, dan Thiat-ciang Ouw Ban Kok yang bertangan palsu.

Maka dia lalu sengaja menggeser kaki mendekatkan diri dengan Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu, dua orang kakek Kong-thong-pai yang tak bersenjata. Pancingannya berhasil karena kedua orang ini sudah mengulur tangan hendak mencengkeram dan memukulnya. Keng Hong mengeluarkan teriakan keras, lantas cepat menggerakkan lengan menangkis, sekaligus menangkis dua lengan mereka.

"Plakk! Plakk!"

Tangan kedua orang tua itu berhasil dia tempel dengan tangkisannya dan benar saja, begitu menempel, hawa sinkang dari dua orang kakek itu menerobos keluar memasuki tubuhnya melalui lengannya yang menangkis tadi! Dua orang kakek Kong-thong-pai itu terkejut dan makin besar mereka mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri, makin lekat tangan mereka dan makin banyak tenaga mereka tersedot keluar!

"Ilmu keji!" Kok Sian Cu yang menyaksikan keadaan dua orang sute-nya itu sudah cepat menggerakkan tongkatnya, seperti kilat menusuk mata Keng Hong!

Pemuda ini terkejut dan memiringkan kepalanya, akan tetapi ternyata serangan itu hanya merupakan gertakan saja sebab tahu-tahu ujung tongkat telah menotok sikunya, segera membuat lengannya lumpuh dan otomatis daya tempel atau daya sedotnya lenyap untuk sementara sehingga kedua orang kakek Kong-thong-pai itu dapat membebaskan diri. Ujung tongkat terus menyambar ke arah lehernya. Keng Hong kembali mengelak dan…

"Brettt!" ujung tongkat itu menusuk pecah baju di pundaknya.

"Desss…!"

Pada saat itu pula, kaki Kok Liong Cu sudah mengirim tendangan yang amat keras dan yang tepat mengenai lambung Keng Hong, membuat pemuda itu roboh terguling-guling dengan dengan kepala pening.

Melihat betapa pemuda itu kembali mempergunakan ilmu yang mukjijat dan yang mereka kira adalah ilmu hitam Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), para tokoh kang-ouw itu menjadi marah dan telah mengambil keputusan untuk turun tangan sekaligus membunuh bocah berbahaya itu...
Selanjutnya,