Pedang Kayu Harum Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 12
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEPASANG pedang di tangan Hoa-san Siang-sin-kiam meluncur ke arah leher dan dada Keng Hong yang masih bergulingan di atas tanah. Pemuda ini cepat menekan kedua tangan di atas tanah dan mengerahkan tenaga, dan tubuhnya mencelat ke atas begitu cepatnya sehingga dua sinar pedang itu tidak mendapatkan sasarannya.

"Dukkk!"

Keng Hong terbanting roboh kembali ketika tangan besi Ouw Beng Kok menghantamnya dengan cara memapakinya pada saat tubuhnya mencelat ke atas tadi. Pukulan berat ini tidak sempat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini menerimanya dengan pengerahan sinkang melindungi tubuhnya. Ia masih belum terluka parah, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya makin pening.

Begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, dua sinar pedang dari Hoa-san Siang-sin-kiam dan sinar hijau tongkat bambu ditangan Kok Sian Cu datang menyambar. Keng Hong tak melihat jalan keluar lagi, mengelak sudah tak mungkin apalagi menangkis, maka ia hanya membelalakkan mata dan menanti maut sambil secara untung-untungan mengerahkan sinkang-nya untuk mengadu kekebalan tubuh yang penuh tenaga sinkang itu dengan tiga senjata lawan yang ampuh.

"Cring-cring-traaakkk...!"

Kedua orang kakek Hoa-san Siang-sin-kiam, juga Kok Sian Cu, sangat terkejut dan cepat menarik kembali senjata mereka ketika tiba-tiba ada cahaya putih menyambar dan tepat sekali menangkis senjata mereka disusul dengan berkelebatnya sinar putih panjang yang mengancam mereka. Terpaksa mereka meloncat mundur dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita dan sikapnya agung dan penuh wibawa.

Kiranya yang menangkis senjata-senjata yang sudah mengancam nyawa Keng Hong tadi adalah tiga buah senjata rahasia berbentuk bola-bola putih berduri, ada pun sinar panjang berwarna putih adalah sabuk sutera yang sudah berada di tangan gadis itu.

"Sungguh tak tahu malu, golongan tua tokoh-tokoh dari partai besar mengeroyok seorang pemuda yang tidak melawan! Cih, beginikah watak dan sikap golongan yang patut disebut locianpwe?" Gadis itu berkata, suaranya dingin sekali dan pandangan matanya menyapu mereka yang mengurung Keng Hong dengan pandang mata menghina.

"Siancai... bukankah nona ini Song-bun Siu-li, puteri Lam-hai Sin-ni?" Kok Sian Cu orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin berseru heran dan kaget, akan tetapi juga penasaran. "Nona, harap jangan mencampuri urusan kami seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan Lam-hai Sin-ni. Harap nona membuka mata dan melihat bahwa urusan dengan pemuda ini menyangkut Kong-thong-pai, Hoa-san-pai, dan Thiat-ciang-pang!"

Dari ucapannya ini saja orang tertua dari Khong Thong Pai itu jelas menyatakan jerinya terhadap Lam-hai Sin-ni, bukan terhadap putrinya ini dan hendak mempergunakan nama tiga partai besar untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi Sie Biauw Eng atau Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) hanya memandang dengan air muka dingin dan mata bersinar lebih dingin lagi.

"Tidak bisa, selama ada aku di sini, kalian tidak boleh menyentuhnya, apa lagi membunuh dia!"

Tiat-ciang Ouw Beng Kok menjadi marah di dalam hati. Akan tetapi karena dia sendiri telah mendengar akan nama besar Lam-hai Sin-ni sebagai tokoh paling lihai di antara para datuk hitam, maka dia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya berkata dengan suaranya yang besar,

"Nona, oleh karena nona adalah puteri Lam-hai Sin-ni, maka kami bersikap sungkan dan mengharap dengan halus hendaknya nona suka mundur dan jangan melindungi pemuda iblis ini. Bukankah dia itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibu nona yang terhormat Lam-hai Sin-ni?"

"Dengan ibuku memang tidak, akan tetapi dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang kucinta dan akan kubela dengan seluruh tubuh dan nyawaku!" Ucapan yang dikeluarkan dengan suara polos jujur ini sejenak membuat semua orang menjadi tertegun. Akan tetapi dengan sikap wajar nona itu lalu mengeluarkan sebatang pedang kemudian menyerahkan pedang itu kepada Keng Hong sambil berkata, "Keng Hong, kau pergunakanlah pedangku ini dan mari kubantu kau menghadapi manusia-manusia haus darah ini!"

Keng Hong menerima pedang yang diberikan itu, memegangnya dengan kedua tangan dan megerahkan tenaga.

"Krekkkk!" pedang yang terbuat dari pada baja pilihan itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkannya ke atas tanah dengan muka merah dan pandang mata penuh kemarahan kepada Biauw Eng.

"Aku tidak sudi pertolonganmu! Kau perempuan kejam, kau sudah menyeretku ke dalam lembah permusuhan! Engkaulah orangnya yang telah membunuh gadis itu karena merasa cemburu, engkau curang, kejam dan... aku benci kepadamu!"

Semua orang yang memandang peristiwa itu membelalakkan mata, akan tetapi terutama sekali Biauw Eng yang menjadi pucat dan memandang Keng Hong dengan mata seekor kelinci ketakutan, kemudian bibirnya bergerak-gerak.

"Tidak..., aku tidak melakukan hal itu... ahhh, Keng Hong, aku hanya ingin membantumu, membelamu, karena aku cinta padamu...."

"Aku tidak butuh bantuanmu, tidak butuh pembelaanmu, juga tidak membutuhkan cintamu yang keji dan kotor...!"

"Keng Hong..., uuuuhhhhhhhh... Keng Hong..." Gadis itu tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai, kemudian ia menyusut air matanya dan mengangkat mukanya sambil berkata tegas. "Jika begitu, baiklah, kita mati bersama!" Sabuk sutera putih di tangannya bergerak meluncur ke depan menyerang para pengurung yang terdekat.

"Perempuan iblis! Patut dibasmi kalian!" Teriak Kok Kiam Cu yang dengan susah payah baru berhasil menyelamatkan diri dari sambaran sabuk ke arah lehernya ini dengan jalan menggulingkan diri ke tanah karena sinar sabuk itu benar-benar cepat bukan main, tidak sempat lagi dia menangkis.

Sekarang para pengeroyok yang berjumlah banyak itu serentak maju. Dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam memutar pedangnya, bersama Kok Sian Cu, Kok Kim Cu, Ouw Beng Kok dan Lai Ban! Pertandingan terpecah menjadi dua rombongan, tetapi keduanya merupakan pertandingan yang tidak seimbang, atau boleh dikatakan bukan merupakan pertandingan, melainkan pengeroyokkan dan usaha pembunuhan.

Mereka yang mengeroyok itu adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi. Betapa pun lihainya permainan sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng, namun dia bukanlah lawan tiga orang kakek tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai itu. Dia masih sanggup menahan sepasang pedang milik Hoa-san Siang-sin-kiam dengan gulungan sinar sabuk putih yang membentuk lingkaran-lingkaran, akan tetapi desakan tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu, kakek pertama dari Kong-thong Ngo-lojin yang buta mata kirinya, membuat Biauw Eng benar-benar sibuk bukan main.

Sudah dua kali ia terkena senjata lawan. Pertama kali pundaknya kena diserempet ujung pedang Coa Kiu, menimbulkan luka pada kulit dan sedikit dagingnya, tidak parah namun cukup mengakibatkan pakaiannya yang putih bersih bernoda darah. Kedua kalinya, ujung tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu merobek kulit paha dirinya hingga celana putihnya ikut robek dan tampak bagian kulit pahanya yang berdarah. Namun, gadis ini tidak pernah mengeluh dan permainan sabuk suteranya malah menjadi makin cepat dan ganas.

Keng Hong juga sangat repot menghadapi para pengeroyoknya. Keadaannya tidak lebih baik dari pada keadaan Biauw Eng, bahkan lebih buruk lagi. Dia dikeroyok oleh lima orang kakek sakti, yaitu tiga orang dari Kong-thong-pai dan dua orang pimpinan Tiat-ciang pang.

Biar pun dia sudah mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana ke mari dan mengerahkan sinkang untuk menangkis, namun tetap saja berkali-kali tubuhnya terpaksa menerima gebukan-gebukan yang kalau mengenai tubuh orang lain tentu mendatangkan maut. Dia mempunyai tubuh yang secara otomatis akan menggerakkan tenaga sakti untuk melawan pukulan yang datang dari luar, akan tetapi meski pun dia tidak sampai terluka dalam, tetap saja tubuhnya terasa sakit-sakit seperti rontok semua tulang-tulangnya dan kepalanya menjadi pening.

Tetapi pemuda ini juga tidak pernah mengeluh dan dalam daya tahan dan kekerasan hati, belum tentu dia kalah oleh Sie Biauw Eng. Hanya ada satu hal yang membuat hati Keng Hong tidak enak, yaitu adanya Biauw Eng yang membelanya mati-matian. Dia membenci gadis ini akan tetapi dia pun tidak menghendaki gadis ini tewas karena dia. Sayang dan benci bercampur aduk di dalam hatinya, membuat hatinya terasa lebih sakit dari pada pukulan-pukulan yang diterimanya.

Yang paling berat baginya dalam pertandingan ini adalah tangan besi hijau dari Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang. Hebat bukan main ilmu kepandaian kakek ini, dan setiap kali tangannya bertemu dengan tangan besi, dia merasa tangannya panas dan sakit, sungguh pun dalam hal tenaga, dia tidaklah dapat dikatakan kalah karena Tiat-ciang Ouw Ban Kok juga tidak berani mengadu tenaga dengan pemuda ini.

Biauw Eng yang mengamuk secara nekat itu kembali terkena tusukan pedang, sekali ini di tangan Coa Bu. Karena dia sedang menahan desakan tongkat bambu Kok Sian Cu yang berbahaya dengan sabuk suteranya, maka tusukan dari samping kanan itu sukar untuk dapat dia hindarkan lagi. Dia hanya dapat meloncat ke atas untuk menghindarkan tusukan maut yang mengarah lambungnya, namun tetap saja ujung pedang itu menancap daging paha kanannya.

Biauw Eng mengeluarkan jeritan, bukan jerit karena rasa nyeri melainkan jerit kemarahan. Ketika tubuhnya roboh, tangan kirinya bergerak cepat sekali dan sinar-sinar putih segera menyambar ke arah tiga orang kakek yang sedang mengeroyoknya itu. Hebat bukan main sambaran senjata rahasia bola-bola putih berduri yang kesemuanya mengarah ulu hati, leher dan pelipis lawan dan jumlahnya belasan buah karena disambitkan secara cepat dan susul menyusul.

"Aihhhh..!"

Coa Bu yang kegirangan karena berhasil merobohkan gadis yang lihai itu, berteriak kaget dan cepat miringkan tubuhnya. Meski pun bola putih yang menyambar ke ulu hati berhasil dibuat menyeleweng, akan tetapi tetap saja mengenai pundaknya, menimbulkan rasa nyeri dan seketika pundak berikut lengannya seperti lumpuh.

Karena maklum bahwa senjata rahasia itu bagian duri-durinya tentu mengandung racun, kakek Hoa-san ini segera melompat mundur, cepat merobek luka dengan ujung pedang untuk mengeluarkan darahnya, lalu mengobatinya dengan obat bubuk yang disimpan di sakunya.

Coa Kiu dan Kok Sian Cu dapat menangkis runtuh semua senjata rahasia, bahkan ketika gadis itu menguras seluruh senjata bola putih dan tusuk konde bunga bwe, mereka dapat menyampok semua am-gi (senjata gelap) itu ke atas tanah.

"Gadis keji...!"

Kok Sian Cu menggerakkan tongkat bambunya ditusukkan ke arah perut gadis itu yang sudah rebah di atas tanah. Akan tetapi Biauw Eng tidak mau menyerah begitu saja. Dia menggunakan kegesitannya untuk bergulingan di atas tanah sehingga sampai empat lima kali ujung tongkat bambu itu hanya menusuk tanah.

Melihat robohnya Biauw Eng, Keng Hong menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan teriakan melengking nyaring kemudian pukulan Kok Liong Cu ke arah dadanya dia terima begitu saja sambil mengerahkan sinkang dan... tangan itu lalu melekat di dadanya terus disedot sinkang-nya! Namun, seperti juga tadi setiap kali Keng Hong berhasil menyedot singkang seorang lawan, kakek yang lain cepat-cepat menotoknya sehingga terpaksa dia tak dapat mempertahankan kekuatan sinkang-nya dan lawan itu lantas terlepas lagi. Jika saja yang menotok bukan tokoh-tokoh sakti seperti itu, tentu yang menotoknya pun akan tersedot sekalian!

"Dessss..!"

Begitu tangan Kok Liong Cu tertempel pada dadanya dan Kok Seng Cu cepat menotok pundaknya sehingga tubuhnya seperti lumpuh dan tangan Kok Liong Cu terlepas, sebuah pukulan kilat datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, amat keras menghantam tengkuk Keng Hong. Pukulan ini adalah pukulan maut yang amat kuat dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang sanggup menerima pukulan ketua Tiat-ciang-pang seperti itu.

Keng Hong terdorong sebuah pukulan kilat yang datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, sangat keras menghantam tengkuk Keng Hong ke depan sehingga pemuda itu roboh menelungkup dalam keadaan pingsan!

"Keng Hong..!"

Biauw Eng yang tadinya sibuk bergulingan menghindarkan tusukan ujung tongkat bambu Kok Sian Cu, cepat menubruk ke arah Keng Hong ketika dilihatnya pemuda itu roboh dan disangkanya tentu tewas. Kekhawatirannya ini membuat dia kurang waspada dan selagi tubuhnya masih meloncat dan hendak menubruk Keng Hong, dari kiri melayang kaki Kok Liong Cu yang menendang keras, tepat mengenai lambungnya hingga tubuh Biauw Eng terlempar pula, terguling-guling dan rebah miring dalam keadaan pingsan.

"Kita habiskan saja mereka. Dua orang muda ini benar-benar berbahaya sekali!" kata Kok Sian Cu yang sudah menggerakkan tongkat bambu ke arah Biauw Eng yang pingsan, ada pun Ouw Ban Kok sudah menghampiri Keng Hong hendak mengirim pukulan terakhir.

Ketua Tiat-ciang-pang ini merasa penasaran dan malu sekali bahwa pukulannya tadi tidak cukup kuat untuk membunuh Keng Hong, padahal dia maklum sekali bahwa pukulannya itu benar-benar hebat bukan main, dan kiranya orang-orang sakti yang berada di situ tak seorang pun yang akan sanggup menerima pukulan itu dengan hanya menderita pingsan seperti Keng Hong.

Detik-detik menegang itu agaknya merupakan detik-detik penentuan bagi Keng Hong dan Biauw Eng. Sekali saja tokoh Tiat-ciang-pang menjatuhkan pukulan maut pada dua tubuh orang muda yang pingsan itu, tentu mereka akan tewas dan tak akan tertolong lagi. Akan tetapi, apa bila Thian belum menghendaki seseorang mati, pasti ada saja sebabnya yang mencegah datangnya maut.

"Tahan, jangan bunuh dia...!"

Bentakan ini keras dan nyaring sekali, penuh wibawa dan nampaklah bayangan empat orang yang cepat bukan main sehingga tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka, bahkan dua di antara mereka langsung menghadang di depan tubuh Keng Hong dalam keadaan siap untuk mencegah siapa pun juga membunuh pemuda itu.

Karena sesungguhnya yang mereka musuhi adalah Keng Hong, ketika melihat ada orang datang melindungi Keng Hong otomatis Kok Sian Cu juga menarik tongkat bambunya dan mengurungkan niatnya membunuh Biauw Eng. Pada waktu mereka semua memandang empat orang yang baru muncul, mereka menjadi terkejut sekali dan juga terheran-heran mengapa empat orang itu mencegah mereka membunuh Keng Hong.

Mereka itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek berpakaian hitam yang memegang senjata pecut sembilan ekor berujung kaitan, dua orang hwesio Siauw-lim-pai tingkat dua, yaitu Thian Ti Hwesio yang memegang senjata Liong-cu-pang dan Thian Kek Hwesio yang bersenjata jubahnya, ada pun orang ke empat adalah Sin-to Gi-hiap tokoh ahli golok yang sudah berusia delapan puluh lima tahun namun masih nampak gagah dan tampan.

Munculnya empat orang tokoh besar kang-ouw ini tentu saja menimbulkan keheranan, apa lagi karena mereka itu seakan-akan hendak melindungi Keng Hong, padahal baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai mau pun Kong-thong-pai maklum bahwa mereka berempat itu pun merupakan musuh-musuh mendiang Sin-jiu Kiam-ong karena dulu pernah menyerbu Kiam-kok-san.

"Siancai..! Apa sebabnya empat orang sahabat datang-datang melarang kami membunuh bocah setan ini? Hendaknya diketahui bahwa bocah ini sudah membunuh banyak murid Khong-thong-pai, di antaranya bahkan sute Kok Cin Cu telah dibunuhnya!" kata Kok Sian Cu, suaranya halus akan tetapi mengandung penasaran dan tuntutan.

"Dia telah memperkosa dan membunuh murid Hoa-san-pai!" berkata pula Coa Kiu sambil melintangkan pedangnya di depan dada, tanda bahwa dia siap untuk menghadapi siapa saja demi mempertahankan nama Hoa-san-pai.

"Dan dia juga telah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang!" kata Ouw Beng Kok, marah.

"Dia sama sekali tak boleh dibunuh. Belum boleh!" kata Kiu-bwe Toanio dengan suaranya yang nyaring. "Kami menghalangi kalian bukan karena kami membela bocah itu, sama sekali tidak. Kami tidak bermusuhan dan juga tidak bersahabat dengan dia, akan tetapi kami bermusuhan dengan mendiang gurunya. Kami telah bersepakat untuk memaksa dia menyerahkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan bila kalian berlaku cerdik, sebaiknya menyetujui kehendak kami supaya kelak pusaka yang sangat banyak itu dapat dibagi-bagi dengan adil. Setelah pusaka berada di tangan kami, terserah saja apa yang hendak kalian lakukan terhadap bocah ini!"

"Omithoud, Siauw-lim-pai tidak menginginkan benda lain kecuali dua buah kitab pusaka yang dulu dicurinya dari Siauw-lim-pai, " kata Thian Ti Hwesio.

"Akan tetapi mereka ini amat berbahaya, kalau tidak dibunuh sekarang selagi mereka tak berdaya, kelak tentu akan mendatangkan banyak kekacauan, dan pula, sampai kapankah sakit hati kami dapat terbalas?" kata pula Ouw Beng Kok. Ucapannya ini mendapat tanda setuju dari mereka yang ingin sekali membunuh Keng Hong untuk membalas dendam.

"Siapa yang hendak membunuhnya sekarang, berarti dia akan berhadapan dengan kami berempat!" bentak Kiu-bwe Toanio sambil menggerak-gerakkan cambuknya.

Thian Ti Hwesio, Thian Kek Hwesio dan Sin-to Gi-hiap yang memang sudah berunding terlebih dahulu untuk menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda ini menunjukkan tempat persembunyian pusaka, sekarang mengurung pemuda yang masih rebah pingsan itu, siap untuk melawan siapa yang ingin membunuh pemuda itu.

Sejenak kedua golongan ini saling pandang hingga keadaan menjadi makin tegang. Pihak yang hendak membunuh terdiri dari delapan orang ditambah Sim Lai Sek yang tentu saja tidak dapat dimasukkan hitungan, sedangkan pihak yang menentang pembunuhan adalah empat orang. Akan tetapi karena empat orang itu, terutama sekali Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap terkenal sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi, pihak yang hendak membunuh menjadi ragu-ragu. Apa lagi kalau mereka teringat bahwa Keng Hong dan Biauw Eng hanya pingsan saja. kalau mereka siuman, tentu saja mereka itu akan menjadi lawan yang berat pula.

Melihat keadaan ini, Sim Lai Sek menjadi penasaran, marah dan khawatir kalau-kalau kematian cici-nya tidak akan terbalas. Maka dia lalu berteriak-teriak, "Dia harus dibunuh! Cia Keng Hong si keparat harus di bunuh!"

Tiba-tiba bertiup angin dari atas puncak dan terdengar suara yang perlahan namun amat jelas terdengar oleh semua orang.

"Siancai! Di wilayah Kun-lun-pai, siapa berani bicara tentang pembunuhan? Apakah kami tidak boleh berkuasa di wilayah kami sendiri?"

Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata dari atas puncak Kun-lun-pai tampak bayangan beberapa orang tosu yang menuruni puncak dengan gerakan cepat bagaikan terbang. Jumlah mereka ada tujuh orang dan di belakang tujuh orang ini masih kelihatan serombongan tosu yang jumlahnya ada lima puluh orang.

Tentu saja semua orang menjadi jeri sekali, bukan hanya menyaksikan jumlah tosu-tosu Kun-lun-pai yang demikian banyaknya, melainkan terutama sekali Kiang Tojin dan enam orang sute-nya yang merupakan tujuh orang pimpinan Kun-lun-pai yang disegani. Baru mendengar suara Kiang Tojin yang digemakan dari atas tadi saja sudah menbayangkan betapa hebatnya sinkang dan khikang dari tosu itu!

Mereka itu memang benar adalah para tosu Kun-lun-pai yang dipimpin oleh Kiang Tojin sendiri bersama enam orang sute-nya. Setelah tiba di tempat itu, pandangan mata Kiang Tojin dan para sutenya menyapu ke arah para tamu tak diundang itu dan ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng yang masih menggeletak pingsan.

Di lubuk hatinya, Kiang Tojin merasa kasihan kepada Keng Hong. Memang tosu ini selalu merasa suka dan kasihan kepada bocah yang dahulu dia tolong dari bencana maut itu. Kini, di dalam hati tosu ini muncul pertanyaan-pertanyaan yang membikin perasaannya perih, yaitu apakah bukan dia yang menyeret bocah itu ke dalam jurang kesengsaraan?

Karena dia menolong Keng Hong dan menbawa ke Kun-lun-san, maka bocah itu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi muridnya, kemudian karena dia menjadi murid Si Raja Pedang maka dia dimusuhi semua orang kang-ouw, dijadikan rebutan dan nasibnya selalu sengsara karena dimusuhi orang-orang pandai sehingga akhirnya kini menggeletak pingsan di bawah kakinya!

Kiang Tojin menghela napas panjang, dan dia merasa betapa semua itu diakibatkan oleh pertolongannya kepada Keng Hong. Memang mungkin sekali kalau dia tidak turun tangan menolong Keng Hong, tentu pemuda itu telah mati pada waktu kecil. Akan tetapi apakah kematian lebih sengsara dari pada hidup?

"Cu-wi sekalian hendaknya maklum bahwa kedua orang muda yang pingsan ini adalah tawanan-tawanan kami. Pemuda ini kami tawan karena dia memiliki kesalahan terhadap Kun-lun-pai dan memang sedang kami cari-cari, ada pun gadis ini kami tawan karena dia berani melanggar wilayah Kun-lun-pai. Harap cu-wi (tuan sekalian) sebagai orang-orang luar tidak akan menghalangi kami bertindak di dalam wilayah kami sendiri."

Semua orang sakti yang hadir tak dapat membantah kebenaran ucapan Kiang Tojin yang memang pada tempatnya. Sudah menjadi peraturan tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa para tamu harus tunduk kepada peraturan tuan rumah. Mereka semua berada di wilayah Kun-lun-pai sebagai tamu-tamu yang tak diundang, dan mereka semua sudah mendengar akan perbuatan Keng Hong dulu menipu para pimpinan Kun-lun-pai dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.

Hal ini lalu menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw, tentu saja merupakan dosa besar pemuda itu terhadap Kun-lun-pai. Maka kalau sekarang pihak Kun-lun-pai hendak menangkapnya dan pemuda itu sedang berada di wilayah Kun-lun, tentu saja mereka tidak kuasa mencegah.

Di dalam hati mereka timbul rasa tidak puas dan penasaran, akan tetapi karena mereka segan dan jeri terhadap Kun-lun-pai, mereka tidak berani membantah. Hanya Tiat-ciang Ouw Beng Kok yang menyatakan penasaran hatinya, akan tetapi juga dia bersikap halus terhadap Kiang Tojin. Dia menjura sebagai penghormatan lalu berkata,

"Toyu, apa yang Toyu ucapakan semuanya memang benar. Akan tetapi, bocah itu sudah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang, apakah kami tak diberi kesempatan untuk menjatuhkan hukuman kepadanya?"

Pertanyaan ketua Tiat-ciang-pang ini membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengatakan isi hati mereka dan ramailah mereka itu berkata susul-menyusul.

"Benar, dia telah membunuh banyak anak murid kami!"

"Dia telah memperkosa murid wanita kami dan membunuhnya!"

"Sin-jiu Kiam-ong masih berhutang kepada kami, sudah sepatutnya kalau muridnya yang membayar hutangnya!"

"Gurunya mencuri kitab-kitab pusaka kami, muridnya yang harus mengembalikan!"

Kiang Tojin mengangkat kedua tangannya, minta agar mereka tidak ribut-ribut, kemudian berkata, "Pinto mengetahui akan hal itu semua. Siapa yang bersalah harus dihukum, akan tetapi karena kita berada di wilayah kami, maka kamilah yang berhak untuk mengadili dia. Kami akan membawanya ke Kun-lun-pai kemudian akan mengadili Cia Keng Hong. Di situ cu-wi boleh menjatuhkan tuduhan dan ia berhak membela diri, baru kemudian diputuskan hukumannya secara adil. Pinto mengharap cu-wi dapat menyetujui dan ikut bersama kami ke Kun-lun-pai." Tentu saja tidak ada yang dapat membantah kebenaran ucapan ini.

Dan pada saat itu Keng Hong dan Biauw Eng siuman dari pingsannya. Ketika Keng Hong membuka matanya dan melihat para tosu Kun-lun-pai, dia cepat menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu Cia Keng Hong siap untuk menerima pengadilan!"

"Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami di Kun-lun-pai. Dan engkau, Song-bun Siu-li, karena sudah berani melanggar wilayah Kun-lun-pai serta menimbulkan keributan, engkau pun harus ikut untuk menerima pengadilan."

Biauw Eng tidak menjawab dan agaknya tidak peduli karena dia sedang memandang ke arah Keng Hong dengan alis berkerut dan mata membayangkan kesedihan. Akan tetapi dia tidak membantah ketika dia digiring naik ke puncak Kun-lun-pai.

Sebetulnya, keputusan Kiang Tojin untuk menawan pula Biauw Eng ada rahasia atau latar belakangnya. Tosu ini tadi telah mendengar pula akan tuduhan-tuduhan Keng Hong yang dilontarkan kepada gadis ini, karena itu dia ingin membawa gadis ini untuk memperingan dosa pemuda itu. Kalau tidak ada latar belakang ini, kiranya dia tidak begitu sembrono untuk menawan puteri Lam-hai Sin-ni hanya karena telah mendatang wilayah Kun-lun-pai tanpa ijin!

Keng Hong berjalan sambil menundukkan muka, sama sekali tidak mempedulikan Biauw Eng yang berjalan di sebelahnya. Di dalam hatinya, dia berterima kasih sekali terhadap Kiang Tojin karena biar pun tadi dia berada dalam keadaan pingsan, namun dia maklum bahwa sekiranya tidak ada Kiang Tojin di sana, tentu sekarang nyawanya telah melayang ke akhirat.

Rasa terima kasih yang bertumpuk-tumpuk semenjak dahulu terhadap tosu ini membuat dia tunduk dan menyerah, siap untuk melakukan segala perintah dan menerima segala hukuman yang dijatuhkan Kiang Tojin kepadanya.

********************

Keng Hong dan Biauw Eng dibawa masuk ke dalam ‘Ruangan Pengadilan Kun-lun-pai’ yang merupakan sebuah ruangan yang amat luas dengan lantai batu putih. Di situ telah menanti Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai dengan pakaian ketua yang sederhana nan agung dan berwibawa. Kakek tua ini telah diberi tahu lebih dulu sehingga dia menanti di situ.

Kiang Tojin beserta enam orang sute-nya lalu menjatuhkan diri berlutut dan Kiang Tojin melaporkan bahwa Cia Keng Hong sudah ditangkap bersama Song-bun Siu-li yang telah melanggar wilayah Kun-lun-pai. Keng Hong sudah pula menjatuhkan dirinya berlutut di depan ketua Kun-lun-pai dengan sikap tenang.

Akan tetapi Biauw Eng tidak mau berlutut, juga tidak ada yang memaksanya, dan gadis ini duduk di atas bangku yang berada di situ. Tak seorang pun melarangnya karena betapa pun juga, semua orang selain mengenal nama Song-bun Sin-li sebagai tokoh yang amat terkenal, juga nama besar Lam-hai Sin-ni membuat semua orang merasa jeri. Kalau tadi para tokoh sudah mengeroyok dan hendak membunuh Biauw Eng adalah karena gadis itu membela Keng Hong.

Para anak murid Kun-lun-pai yang lain menjaga di luar ruang sidang pengadilan, bersikap menjaga segala kemungkinan. Suasana di situ sunyi dan semua orang menunggu ketua Kun-lun-pai membuka mulut.

Thian Seng Cinjin hanya membalas penghormatan semua tamu kemudian mempersilakan mereka duduk dengan isyarat tangan yang digerakkan perlahan menuju ke arah bangku-bangku yang tersedia di situ.

"Suhu, setelah Cia Keng Hong lepas dari tangan Ngo-sute dan Ji-sute (Adik seperguruan ke lima dan ke dua) teecu dapat menangkap dia di wilayah Kun-lun-pai, sedang dikeroyok oleh para sahabat yang datang dari berbagai partai persilatan dan dunia kang-ouw yang menghendaki agar dilakukan pengadilan atas dirinya. Teecu menyerahkan kepada Suhu dan mohon keputusan." Demikian antara lain Kiang Tojin melapor.

Thian Seng Cinjin menghela napas. "Siancai... siancai! Kekacauan yang ditimbulkan oleh perbuatan mendiang Sin-jiu Kiam-ong dengan sepak terjangnya yang sesuka hati sendiri, kini dilanjutkan oleh muridnya. Muridku, pinto menyerahkan kepadamu untuk mewakiliku dan memulai persidangan pengadilan ini."

Kiang Tojin mengangguk, kemudian bersama enam orang sute-nya lalu bangkit berdiri di belakang suhu mereka. Kiang Tojin lantas berkata kepada semua tamu. "Cu-wi sekalian, sebelum kami mempersilakan cu-wi menjatuhkan tuduhan terhadap Cia Keng Hong, lebih dahulu kami akan menjatuhkan tuduhan kami, harap cu-wi menjadi saksi."

Kiang Tojin memandang sekeliling, menatap satu demi satu pada semua yang hadir, baru kemudian terdengar lagi suaranya.
"Cia Keng Hong! Kurang lebih satu tahun yang lalu engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam, tetapi yang kau serahkan itu adalah pedang palsu. Benarkah bahwa engkau telah menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu kepada kami?"

Sejenak keadaan sunyi, kemudian Keng Hong yang masih berlutut sambil menundukkan mukanya lalu berkata, suaranya lantang dan tegas.

"Saya mengaku, memang pedang Siang-bhok-kiam yang saya serahkan kepada Totiang dahulu adalah pedang kayu palsu buatan saya sendiri."

"Jadi engkau mengaku bahwa engkau sudah menipu Kun-lun-pai dan sengaja melakukan penghinaan agar Kun-lun-pai menjadi buah tertawaan orang sedunia?"

"Sama sekali tidak!" Keng Hong mengangkat muka dan memandang Kiang Tojin dengan pandang mata tajam dan penuh ketabahan. "Saya tidak bermaksud menyerahkan pedang palsu. Semenjak turun dari Kiam-kok-san, saya sudah membawa pedang palsu itu karena maklum bahwa banyak orang menghendaki pedang itu. Pedang Siang-bhok-kiam adalah milik suhu yang telah diwariskan kepada saya, mengapa orang lain hendak memintanya? Mengapa pula Kun-lun-pai hendak memintanya, bahkan hendak merampasnya dengan paksa? Adalah kesalahan Kun-lun-pai sendiri yang juga ikut-ikut menginginkan pedang itu sehingga karena terpaksa saya menyerahkan pedang yang saya bawa, pedang palsu buatan saya sendiri yang disangka Siang-bhok-kiam. Saya tidak merasa bersalah dalam penyerahan pedang itu, juga tidak merasa sengaja hendak menipu, hal itu terjadi karena kesalahan! Kun-lun-pai sendiri yang ingin memiliki benda kepunyaan orang lain!"

Suasana segera menjadi sunyi sekali setelah semua orang mendengar jawaban yang tak tersangka-sangka ini. Kemudian terdengar suara Kiu-bwe Toanio nyaring melengking.

"Anak ini benar! Bukan salahnya, karena memang pedang itu tidak seharusnya dirampas Kun-lun-pai! Pedang itu adalah hak kami bersama, kami orang-orang yang sudah dibuat sakit hati oleh Sin-jiu Kiam-ong dan yang berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalannya. Pedang itu harus diserahkan kepada kami agar dapat kami pakai untuk mencari pusaka itu kemudian kita bagi-bagi bersama. Ini baru adil namanya."

"Omitohud, ucapan Toanio itu tepat sekali. Pinceng juga harus mendapatkan kembali dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, maka pedang itu harus diberikan kepada kami. Dalam hal itu, anak ini tidak bersalah terhadap Kun-lun-pai!" kata pula Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai.

"Tepat sekali… tepat sekali..!" sambung Sin-to Gi-hiap.

Keng Hong mendengarkan semuanya itu dengan hati geli. Dari sikap para tokoh ini jelas sekali terlihat betapa setiap manusia, betapa pun tinggi kepandaian serta kedudukannya, masih selalu diperhamba oleh nafsu mendahulukan kepentingan diri sendiri. Karena nafsu inilah maka setiap persoalan yang dianggap menguntungkan dirinya, langsung dianggap benar dan tepat. Tetapi jika sebaliknya dan persoalan itu dianggap merugikan, tentu akan ditentang!

Kiang Tojin juga maklum akan hal itu, dan diam-diam dia pun girang bahwa Keng Hong dapat menjawab dengan tepat seperti yang diharapkannya sehingga dapat memperingan ‘dosanya’ terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi di samping perasaan sayang kepada Keng Hong, sebagai orang ke dua Kun-lun-pai sekaligus juga calon pengganti suhu-nya kelak sebagai ketua Kun-lun-pai, tentu saja Kiang Tojin lebih mementingkan kebesaran nama Kun-lun-pai, maka dia lalu berkata,

"Cu-wi sekalian sudah mendengar pengakuan Cia Keng Hong dan dengan pengakuannya itu, kami pihak Kun-lun-pai bisa menerimanya sekalian kami dapat mengampuni dosanya karena setelah diteliti memang pemuda ini tidak bermaksud menipu, namun memalsukan pedang Siang-bhok-kiam dengan maksud supaya yang asli tidak sampai terampas orang lain. Dengan pengakuannya itu, sekaligus nama besar kami telah tercuci dari noda-noda. Pertama, jelas bahwa kami tidak menyembunyikan Siang-bhok-kiam asli seperti disangka banyak orang. Ke dua, Kun-lun-pai jelas bukanlah partai yang tamak akan pusaka orang lain sehingga sampai sekian lamanya kami tidak memeriksa pedang itu palsu atau bukan karena memang kami tidak mempunyai maksud mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya karena diperebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka pedang itu rusak dan ketahuan bahwa benda itu palsu. Ada pun tentang anggapan bahwa Kun-lun-pai tidak berhak atas pedang itu adalah salah! Pedang itu selama ini selalu berada di wilayah Kun-lun-pai, yaitu Kiam-kok-san, dan segala benda yang berada di wilayah Kun-lun-pai adalah hak kekuasaan kami untuk menentukan apakah boleh dibawa keluar atau tidak."

Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, terutama sekali Sian Ci Tojin, yang menginginkan pusaka-pusaka itu untuk dipelajari, merasa tidak setuju dengan ucapan Kiang Tojin ini, akan tetapi karena melihat betapa suhu mereka, Thian Seng Cinjin yang lebih mengutamakan nama baik Kun-lun-pai, mengangguk-ngangguk setuju atas ucapan Kiang Tojin, mereka hanya saling pandang dan mengerutkan kening, tidak berani membantah.

"Cia Keng Hong, karena jelas bahwa engkau belum membawa keluar Siang-bhok-kiam dari wilayah Kun-lun-san, dan mendengar pembelaan diri yang tepat, maka kami dapat mengampunimu dengan syarat bahwa kau harus menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam yang asli kepada kami..."

"Wahhh...!" Terdengar seruan tidak setuju dari para tamu.

"Harap tenang dan biarkan Twa-suheng bicara!" Lian Ci Tojin berseru keras, dan tosu ini sudah merasa girang dengan keputusan Kiang Tojin.

"Keputusan ini harus diambil oleh Kun-lun-pai mengingat bahwa kelak Siang-bhok-kiam akan selalu menimbulkan kegemparan di dunia kang-ouw, menjadi perebutan yang akan mengorbankan banyak nyawa secara sia-sia dan karena pedang yang selalu berada di Kiam-kok-san itu menjadi hak kami, maka kamilah yang harus menyimpannya dengan janji bahwa kami Kun-lun-pai tidaklah tamak terhadap pusaka orang lain dan tidak akan menggunakan pedang untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

Ucapan terakhir ini melegakan hati para tamu akan tetapi sebaliknya mengecewakan para tosu Kun-lun-pai terutama Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.

"Nah, pinto rasa sudah jelas bagi dunia kang-ouw umumnya bahwa Kun-lun-pai memiliki alasan-alasan kuat untuk menyimpan Siang-bhok-kiam dan kini persoalan Cia Keng Hong dengan Kun-lun-pai telah selesai. Kini kami persilakan cu-wi yang ingin menuntut pemuda ini agar mengajukan tuntutannya."

Kiang Tojin bersikap cerdik di dalam sikapnya membela Keng Hong. Dia tidak mendesak atau bertanya kepada Keng Hong untuk pelaksanaan keputusan itu karena dia khawatir kalau-kalau Keng Hong secara berterang menolak dan menimbulkan pula kemarahan di pihak para tosu Kun-lun-pai. Kelak dia akan menggunakan pengaruhnya untuk memaksa pemuda itu menyerahkan Siang-bhok-kiam secara baik-baik. Kemudian, dengan memberi kesempatan kepada para tamu untuk mengajukan tuduhan, maka para sute-nya tidak ada kesempatan untuk mendesak Keng Hong.

"Cia Keng Hong sudah memperkosa murid Hoa-san-pai yang bernama Sim Ciang Bi dan kemudian membunuhnya, disaksikan oleh adik korban yang kini hadir, Sim Lai Sek," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Dosa yang keji itu harus ditebus dengan hukuman kematian bagi pemuda jahat ini!"

"Cia Keng Hong sudah memperkosa dua orang murid wanita Hoa-san-pai lalu membunuh mereka, tetapi juga membunuh sute kami Kok Cin Cu serta beberapa orang anak murid Kong-thong-pai. Dosanya lebih besar lagi terhadap kami dan walau pun dia mati sepuluh kali masih belum dapat menebus dosanya!" kata Kok Sian Cu.

"Dia juga telah membunuh banyak anak murid kami dari Tiat-ciang-pang. Dia harus kami hukum mati demi menjaga nama besar kami yang diinjak-injaknya!"

Hening sejenak setelah tiga orang wakil tiga partai besar ini menjatuhkan tuduhannya dan semua mata memandang Keng Hong yang masih menundukkan muka.

"Cia Keng Hong, bagaimana engkau hendak menjawab tuduhan-tuduhan para Locianpwe ini?" Kiang Tojin bertanya, suaranya mengandung getaran sebab hatinya merasa berduka sekali.

Ia merasa berduka kalau-kalau semua tuduhan itu benar dan anak yang disayangnya itu benar-benar telah mewarisi watak suhu-nya, yaitu suka mempermainkan wanita dan telah turun tangan membunuh orang. Hanya dia terkejut dan ragu mendengar bahwa Keng Hong juga membunuh Kok Cin Cu yang dianggapnya tidak mungkin terjadi. Ia tahu siapa Kok Cin Cu, orang yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, tentu tidak akan dapat dikalahkan oleh Keng Hong.

Dia merasa khawatir sekali karena kalau yang dituduhkan itu benar-benar, alangkah berat dosa pemuda ini dan sangat tidak baik kalau dia atau Kun-lun-pai hendak melindunginya. Andai kata tokoh-tokoh kang-ouw hendak mengganggu Keng Hong karena perbuatan-perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, tentu dia akan membela Keng Hong. Akan tetapi kalau yang dituntut adalah semua perbuatan pemuda ini sendiri, tak mungkin dia dapat mencampuri.

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dan menjawab dengan suara tenang akan tetapi tegas, "Semua tuduhan yang dijatuhkan kepada saya itu adalah fitnah yang tidak benar! Saya tidak memperkosa Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai itu sebab hubungan antara kami adalah atas dasar suka rela, dan saya pun tidak membunuhnya, biar pun ada saksi yang menjatuhkan fitnah palsu. Saya tidak membunuh Sim Ciang Bi! Mengenai urusan dengan Kong-thong-pai, Kok Cin Cu totiang tidak mati oleh tangan saya. Dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang dimaksudkan tentulah Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Seperti juga Sim Ciang Bi murid Hoa-san-pai, mereka berdua ini pun amat baik kepada saya dan hubungan di antara kami berdasarkan suka sama suka, tidak ada perkosaan sama sekali. Yang membunuh mereka dan para saudara seperguruan mereka dengan para saudara seperguruan mereka dengan racun juga bukan saya. Demikian pula urusan dengan Tiat-ciang-pang. Mereka itu mengeroyok saya yang hanya membela diri, dan sebagian di antara mereka tewas oleh senjata rahasia juga bukan oleh tangan saya!"

"Wah-wah-wah, pengecut! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab!" bentak Coa Kiu, seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam marah. "Jika engkau tidak mengaku telah membunuh mereka semua, akan tetapi buktinya mereka itu mati, habis apakah hendak kau katakan bahwa mereka itu telah membunuh diri mereka sendiri?"

"Keng Hong! Hendakkah engkau menyangkal bahwa cici-ku mati dalam pelukanmu?" Sim Lai Sek membentak marah.

"Semua penduduk dusun melihat betapa anak murid kami yang wanita engkau perkosa dan kemudian semua anak murid kami itu kau beri racun!" bentak pula Kok Sian Cu.

Keng Hong melirik ke kiri dan kini dia melihat Sie Biauw Eng yang sejak tadi telah siuman dan mendengar semua persidangan yang mengadili Keng Hong itu. Dia melihat betapa Biauw Eng menundukkan muka dengan alis berkerut, wajah jelita itu kelihatan berduka sekali.

Hemmm, wajah palsu, pikirnya! Engkaulah yang mendatangkan semua mala petaka ini kepadaku, dan engkau masih berpura-pura dengan sikap alim berpura-pura seperti orang berduka!

Teringat betapa Sim Ciang Bi mengejang dengan tubuh masih hangat dalam pelukannya, terbunuh secara keji oleh Biauw Eng, dan teringat pula betapa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si yang amat mencintainya juga mati oleh racun Biauw Eng, seketika kemarahan Keng Hong melenyapkan rasa kasihnya yang aneh terhadap gadis itu dan dia menjadi benci, benci sekali! Tiba-tiba Keng Hong meloncat ke kiri dan menyambar tubuh Biauw Eng, dipegangnya lengan gadis itu dan diseretnya ke hadapan Kiang Tojin sambil berseru keras,

"Inilah dia manusianya yang membunuh mereka semua! Inilah Song-bun Siu-li puteri Lam-hai Sin-ni yang berkepandaian tinggi dan berwajah jelita namun berhati iblis! Dialah yang sudah membunuh Sim Ciang Bi dengan darah dingin, juga meracuni murid-murid Tiat-ciang-pang dengan senjata rahasianya! Dia melakukan semua itu karena cemburu, karena iri hati, karena... karena hatinya yang ganas liar dan kejam!"

Semua orang tercengang memandang kepada Biauw Eng yang menundukkan mukanya yang menjadi pucat sekali. Suasana menjadi sunyi senyap dan Kiang Tojin memandang wajah yang menunduk itu penuh perhatian.

Ia percaya akan keterangan Keng Hong berdasarkan pengetahuannya bahwa Keng Hong tidak memiliki watak atau dasar watak jahat dan kejam. Sebaliknya, meski pun dia belum mengenal kepribadian Song-bun Siu-li, namun mengingat bahwa gadis ini adalah puteri Lam-hai Sin-ni yang terkenal sebagai tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tandingan), tidak akan mengherankan kalau gadis yang kelihatan cantik jelita dan dingin seperti salju ini memiliki watak iblis seperti ibunya.

"Cia Keng Hong, engkau yang dijatuhi tuduhan, kenapa engkau menimpakannya kepada orang lain?" Kiang Tojin pura-pura mencela, padahal kehendak hatinya ialah memancing agar tuduhan Keng Hong itu dapat diperkuat.

"Maaf, totiang. Saya sama sekali tidak menuduh sembarangan, bukan menuduh karena saya takut menghadapi hukuman. Meski dihukum mati sekali pun, apa bila memang saya bersalah, saya tidak akan gentar dan siap mempertanggung jawabkan perbuatan saya. Akan tetapi sesungguhnya bukan saya melainkan perempuan iblis inilah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji, curang dan pengecut itu. Apa bila Totiang tidak percaya, harap bertanya kepadanya dan ingin sekali saya mendengar apa yang akan dijawabnya."

Memang Keng Hong ingin sekali mendengar jawaban Biauw Eng. Pada saat gadis ini tadi membelanya ketika dia dikeroyok orang-orang sakti dan dia melancarkan tuduhannya, gadis ini menyangkal. Sekarang, di dalam sidang pengadilan di depan orang-orang sakti, bagaimana gadis ini akan dapat menyangkal pula?

Bukti-buktinya sudah cukup lengkap, yaitu senjata-senjata rahasianya, dan saksi-saksinya juga sudah banyak, terutama sekali dia yang menjadi saksi utama karena beberapa kali dia melihat gadis baju putih ini berkelebat pergi setiap ada pembunuhan-pembunuhan itu, dan masih teringat olehnya, bahkan masih terasa belaian-belaian kasih sayang penuh nafsu dari gadis baju putih yang kelihatannya dingin dan alim ini!

"Nona, jawablah apakah semua yang dikatakan Cia Keng Hong itu benar? Apakah benar Nona yang membunuh murid-murid Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan Tiat-ciang-pang?"

Biauw Eng memandang kepada Keng Hong dengan muka pucat, sinar matanya berduka sekali, bibirnya bergerak-gerak dan gemetar seperti wanita kalau hendak menangis. Akan tetapi gadis yang keras hati ini cepat menggigit bibirnya yang bawah sehingga tampak kilatan gigi putih disusul warna merah karena bibir bawahnya pecah tergigit!

Agaknya dengan kekerasan hati Biauw Eng hendak mengeluarkan kata-kata yang segera ditekan dan ditahannya sendiri dengan gigitan pada bibirnya. Wajahnya tidak pucat lagi, bahkan mulai menjadi kemerahan, sinar matanya menyapu semua orang yang hadir di situ, kemudian memandang Kiang Tojin dan sejenak sinar mata kedua orang itu bertemu.

Dalam detik pertemuan sinar mata itu, keduanya seperti orang bermufakat dan saling saling maklum bahwa masing-masing merasa suka dan mengandung hati kasih sayang terhadap Keng Hong! Akan tetapi hanya sedetik saja pertemuan getaran perasaan ini dan terdengarlah suara Biauw Eng nyaring dan tetap, sedikit pun tidak gemetar dan dia sudah bangkit berdiri.

"Yang bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Itu sudah sewajarnya maka saya minta kepada cu-wi sekalian untuk membebaskan Keng Hong! Dia tidak bersalah karena benar seperti yang dikatakannya tadi, semua pembunuhan itu akulah yang melakukannya! Dan aku siap menerima hukuman, akan tetapi Keng Hong harus dibebaskan sekarang juga!”

Keng Hong menatap gadis itu dengan sinar mata tajam. Begitu Biauw Eng mengucapkan pengakuannya, sungguh heran sekali, kebenciannya menghilang dan dia kini memandang penuh kekhawatiran! Gadis itu jelas telah mengucapkan keputusan kematian sendiri!

Kiang Tojin menghadapi para tokoh tiga buah partai persilatan besar itu, lantas berkata, "Nah, cu-wi telah mendengar sendiri pengakuan Song-bun Siu-li dan berarti bahwa Keng Hong tidak bersalah dalam urusan ini. Kalau dia membela diri pada waktu diserang dan dikeroyok sehingga jatuh korban di antara para pengeroyok, sangatlah tidak adil kalau dia dipersalahkan. Terserah cu-wi sekalian sekarang, apa yang akan cu-wi lakukan kepada yang bersalah."

"Perempuan iblis ini harus dibinasakan!" bentak Tiat-ciang Ouw Beng Kok, menghantam dengan tangan bajanya yang kiri ke arah kepala Biauw Eng.

Juga Coa Kiu sudah menggerakkan pedangnya menyusul, sehingga tampak sinar terang dan suara mencuit ketika sinar pedang ini menyambar dan saat berikutnya, Kok Sian Cu menggerakkan pula tongkat bambunya menusuk ke dada gadis itu. Tiga serangan maut dari tiga tokoh kang-ouw yang sakti ini datang secara beruntun dalam detik-detik yang hampir bersamaan.

Sedangkan Biauw Eng hanya menundukkan muka dan siap menerima datangnya maut. Ia sama sekali tidak menjadi gentar, matanya hanya ditujukan kepada Keng Hong dengan pandang mata sayu penuh kesedihan.

"Tidak! Jangan bunuh dia...!" Keng Hong berseru keras dan dia pun lalu menubruk maju menghadang di depan Biauw Eng sambil menggerakkan tangannya mendorong ke depan dengan maksud melindungi gadis ini.

Karena pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok datang lebih dahulu, maka pukulan tangan baju inilah yang bertemu dengan tangan Keng Hong sehingga terdengarlah suara keras dan tubuh Ouw Beng Kok terjengkang ke belakang, juga Keng Hong terbanting ke kiri!

"Tak boleh melakukan pembunuhan di sini!" terdengar suara halus dan sinar pedang Coa Kiu yang sudah meluncur dekat dan kini telah mengancam Keng Hong karena tubuh Keng Hong masih menutupi tubuh Biauw Eng, mendadak terpental ketika tertangkis tongkat di tangan Thian Seng Cinjin.

Tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu lihai sekali. Biar pun ada tubuh Keng Hong yang menghadang, akan tetapi tongkat itu bisa meliuk melalui punggung Keng Hong kemudian langsung menukik dan menusuk ke arah dada Biauw Eng.

"Trakkk!"

Tongkat bambu di tangan orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin itu menyeleweng dan menghantam lantai sehingga membuat lantai itu berlubang!

"Hi-hi-hi-hik, segala kecoa berani lancang tangan hendak membunuh puteriku?" Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni sudah berada di situ sehingga mengejutkan semua orang.

Pukulan jarak jauh yang sudah berhasil menangkis tongkat bambu di tangan Kok Sin Cu ini benar-benar mengejutkan dan mengagumkan. Lam-hai Sin-ni memandang puterinya dan berkata dengan suara gemetar,

"Eng-ji... ahh, Eng-ji.., mengapa engkau begini lemah? Mengapa engkau menyia-nyiakan nyawa untuk kau korbankan? Begitu murahkah nyawamu kau korbankan untuk seorang pria berhati palsu macam Keng Hong ini…?"

Biauw Eng terisak. "Ibu... aku cinta kepadanya, Ibu..."

Lam-hai Sin-ni membanting kakinya, "Bodoh! Lemah...! Ahhh, Sie Cun Hong, setelah kau menghancurkan hatiku, mengapa sekarang muridmu yang hendak merusak kebahagiaan puteriku dan puterimu?"

"Lam-hai Sin-ni, puterimu sudah berhutang nyawa kepada kami, harus ditebus dengan nyawanya pula!" Kok Kim Cu berseru marah melihat munculnya tokoh utama dari Bu-tek Su-kwi ini.

"Benar, dia harus dibinasakan!" bentak pula Coa Kiu dan Coa Bu.

"Biar pun Lam-hai Sin-ni sendiri, tidak boleh melindungi puterinya yang berhutang nyawa penasaran murid-murid kami!" bentak pula Tiat-ciang Ouw Beng Kok.

"Ehh, ehh begitukah? Anakku hanya membela pemuda tak tahu diri itu, akan tetapi andai kata benar dia yang membunuhi murid-murid kalian yang tak berharga, habis kalian mau apa?" Watak Lam-hai Sin-ni memang amat dingin dan keras, bahkan selalu memandang rendah lain orang, maka sekarang di hadapan tokoh-tokoh sakti itu dia sama sekali tidak memandang mata!

Tentu saja tokoh-tokoh itu menjadi marah sekali. Apa lagi Ngo-lojin dari Kong-thong-pai yang kini tinggal empat orang itu. Dahulu mereka berlima sangat terkenal sehingga para tokoh iblis seperti Thian-te Sam-lo-mo yang menjadi tiga orang datuk hitam dari dunia penjahat dan sangat terkenal sebelum akhirnya muncul Bu-Tek Su-kwi, juga tidak berani memandang rendah. Maka dengan seruan-seruan nyaring meraka itu menerjang maju, mempergunakan cengkeraman-cengkeraman Ang-liong Jiauw-kang mereka yang ampuh, bahkan Kok Sian Cu menyerang dengan tongkat bambunya.

Di saat itu pula, melihat kesempatan baik karena banyak kawan untuk menghadapi nenek iblis yang mereka tahu amat lihai ini, Coa Kiu dan Coa Bu kedua Hoa-san Siang-sin-kiam juga maju dengan pedang mereka, sedangkan Ouw Beng Kok dan Kim-to Lai Ban juga tak tinggal diam, akan tetapi mereka berdua bukan menyerang Lam Hai Sin-ni melainkan Biauw Eng!

Terjangan orang-orang sakti ini dilakukan serentak dan cepat sekali, membuat para tosu Kun-lun-pai tidak sempat melerai dan memandang bingung karena mereka sebagai tuan rumah tentu saja merasa tidak senang kalau tempat tinggal mereka dijadikan gelanggang pertempuran.

"Plak-plak-plak…!"

Yang datang lebih dahulu adalah pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang. Akan tetapi tiga pukulan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu ini ditangkis lengan Lam-hai Sin-ni dan tangan mereka itu melekat pada lengan nenek ini dan terus disedotlah hawa sinkang dari tangan mereka yang membanjir tanpa dapat dicegah memasuki lengan Lam-hai Sin-ni yang tertawa terkekeh.

Ketika mereka bertiga terkejut, tiba-tiba Lam-hai Sin-ni menggerakkan kedua lengannya sehingga tiga orang itu terangkat kemudian diputar-putar ke atas untuk dipakai menangkis serangan bambu Kok Sian Cu dan sepasang pedang Coa Kiu dan Coa Bu!

Tentu saja dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam itu kaget sekali dan cepat menarik kembali pedang mereka supaya tidak melukai para tokoh Kong-thong-pai itu, sedangkan Kok Sian Cu yang lebih cerdik dan lihai, menggerakkan tongkat bambunya menyusup ke samping dan mengirim totokan ke arah pusar Lam-hai Sin-ni secara hebat dan cepat sekali!

Lam-hai Sin-ni tertawa, mundur dua langkah dan melontarkan tubuh ketiga orang tokoh Kong-thong-pai itu ke arah Kok Sian Cu, Coa Kiu dan Coa Bu sehingga terpaksa tiga orang tokoh itu mengelak dan tubuh Kok Seng Cu dan para suheng-nya terbanting roboh dalam keadaan lemas karena sebagian dari sinkang mereka telah tersedot oleh Lam-hai Sin-ni dengan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng!

Sementara itu, Biauw Eng yang masih berdiri seperti orang kehilangan semangat, diam saja pada saat diserang oleh dua orang tokoh Tiat-ciang-pang. Melihat ini, kembali Keng Hong yang meloncat maju dan menyambut serangan itu.

Karena kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu marah sekali, sekali ini serangan mereka pun amat hebat, bahkan Kim-to Lai Ban telah menggunakan goloknya. Keng Hong masih bingung tadi oleh pengakuan Biauw Eng yang tadinya menyangkal kemudian berbalik mengaku, menjadi makin bingung oleh ucapan Lam-hai Sin-ni.

Melihat gadis yang amat aneh, yang dapat mendatangkan rasa cinta dan benci bergantian di hatinya itu kini terancam bahaya, mati-matian dia menubruk maju, menggunakan kedua lengannya untuk menangkis pukulan tangan baja dan golok.

"Desssss..!" Tubuh Keng Hong terbanting lagi ke atas lantai.

Pada waktu dia dikeroyok dalam pertandingan di lereng Kun-lun-san, dia telah mengalami pukulan-pukulan yang mengakibatkan luka di dalam tubuh, kini dia menangkis pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok sampai dua kali. Dadanya terasa sakit-sakit dan dia muntahkan darah segar, ada pun lengannya yang menangkis golok Lai Ban terluka parah di pangkal sikunya, kulit dagingnya robek dan mengucurkan banyak darah.

Namun, dalam usahanya menyelamatkan Biauw Eng, Keng Hong tidak merasakan semua lukanya, bahkan begitu tubuhnya terbanting, dia langsung berguling ke lantai mendekati Biauw Eng, tiba-tiba menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya sekuat tenaga ke arah Lam-hai Sin-ni sambil berkata,

"Locianpwe, harap bawa pergi puterimu dari sini...!"

Lam-hai Sin-ni baru saja memukul mundur para pengeroyok dengan melontarkan tubuh tiga orang tokoh Kong-thong-pai. Sekarang melihat tubuh puterinya melayang ke arahnya, cepat dia menangkap lantas mengempitnya. Dia ingin sekali mengamuk dan membunuhi semua orang yang hendak mengganggu puterinya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara halus.

"Apakah orang tak memandang mata lagi pada Kun-lun-pai sehingga tidak mempedulikan pinto semua dan mengacau sekehendak hatinya?" Yang berbicara ini adalah Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang tadi ketika menangkis sinar pedang Coa Kiu dilakukannya sambil duduk dan semenjak itu menonton dan mendengarkan semua yang terjadi dengan alis berkerut.

Mendengar suara ini, Lam-hai Sin-ni lalu tertawa dan berkata, "Maafkan kelancanganku, Cinjin!"

Tubuhnya segera berkelebat, membawa pergi puterinya dari tempat itu tanpa ada yang berani mengganggu, pertama karena memang jeri menghadapi nenek itu sendirian saja, kedua karena mereka pun terpengaruh suara Thian Seng Cinjin hingga merasa sungkan untuk memperlihatkan kekerasan di depan kakek ini yang selain menjadi tuan rumah, juga terkenal sebagai ketua Kun-lun-pai yang sangat lihai, belum lagi diingat akan banyaknya tosu-tosu lihai di Kun-lun-pai ini.

"Biarlah dia pergi, yang paling penting, bocah ini tak boleh terlepas begitu saja dari tangan kami!" kata Coa Kui. "Andai kata bukan dia yang membunuh, sudah jelas dia menghina murid wanita kami!"

"Juga dua orang murid wanita kami!" kata Kok Sian Cu.

"Benar, tak boleh bocah ini dilepas begitu saja!" Ouw Beng Kok turut pula bicara.

"Omitohud, Pinceng masih harus mendapat kitab-kitab Siauw-lim-pai dari bocah ini!" kata wakil ketua Siauw-lim-pai dan yang lain-lain juga ikut pula membuka suara.

Keng Hong merasa marah sekali. Tubuhnya sakit-sakit, dadanya terasa sesak, kepalanya pening oleh pukulan-pukulan yang diterimanya, ditambah pula kepergian Biauw Eng yang tiba-tiba seperti membawa sebagian semangatnya.

Pengakuan Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu sangat meragukan hatinya. Dia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk menerima hukuman di atas pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.

Siauw Biauw Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni telah meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di balik semua itu. Orang yang kelihatan jahat belum tentu selamanya akan melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang tampaknya baik-baik belum tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara keji laksana binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Tan piauwsu?

Padahal perbuatan itu sampai mati sekali pun tak akan sudi dia melakukannya. Dan para tokoh besar ini. Kurang tampak jelaskah betapa tamak mereka ini, mengejar-ngejar dan berlomba-lomba memperebutkan pusaka gurunya?

Tiba-tiba saja dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tak sudi lagi menuruti segala kata-kata kalian! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai? Salahkah apa bila aku menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong? Coba katakan, perbuatan apakah yang sudah kulakukan terhadap kalian semua? Akan tetapi kalian selalu mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam, ini hanya alasan sebab sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu! Takkan kuberikan kepada siapa pun juga! Semua akan kupelajari sendiri dan kelak akan kupergunakan untuk melawan kalian!"

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, dan terdengar Thian Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam...!"

Akan tetapi Ouw Beng Kok telah menerjang maju. Dia menghantam sambil membentak, "Bocah sombong!"

Berbareng dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghantam dari kiri dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong.

Pemuda ini yang sudah dua kali merasakan pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya lalu memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang mengandung sinkang warisan gurunya.

"Blekkkkkkk…!"

Tubuh Ouw Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan oleh karena lambungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin.

“Sute, jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang cemas.

Keng Hong bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Dia kemudian menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, dan tanpa disadarinya dia mencabut keluar selembar kain hijau milik puteri Tan-paiuwsu yang disimpan dalam saku bajunya. Melihat pita warna hijau ini dia teringat akan gadis itu dan menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin! Sute-mu ini selain curang juga keji sekali terhadap seorang nona baju hijau..."

"Engkau yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang maju lagi, akan tetapi Keng Hong melompat mundur, membalikkan tubuhnya dan segera berlari secepatnya menuju Kiam-kok-san.

"Kejar!"
Entah siapa yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sebuah pasukan tentara menerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin.

Di antara para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar bersama para tokoh lainnya, sedangkan tosu Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri ragu-ragu dan menanti perintah, memandang kepada Kiang Tojin.

"Bawa anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana, jaga agar jangan sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada muridnya yang tertua itu.

Kiang Tojin mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai segera melakukan pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali, kemudian bersila bersemedhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan dalam peristiwa itu.

Keng Hong mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat karena memang pemuda ini mempunyai ginkang yang tidak lumrah dimiliki seorang pemuda, dan pantasnya dimiliki oleh seorang yang sudah berlatih puluhan tahun.

Hal ini adalah berkat diterimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andai kata dia tidak memiliki sinkang yang luar biasa tentulah dia sudah roboh dan karenanya, ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit sekali.

Merasa betapa kepalanya pening sekali sedang napasnya sesak hampir sukar bernapas, terpaksa Keng Hong memperlambat larinya. Namun begitu dia mengurangi kecepatannya empat orang kakek Kong-thong-pai itu telah menyusulnya. Memang Kong-thong Ngo-lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu dapat berlari lebih cepat dari pada tokoh lainnya.

"Bocah setan, engkau hendak lari ke mana?!"

Di antara para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi adalah tokoh-tokoh Kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Ada pun para tokoh lainnya yang juga ikut mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti tokoh-tokoh tiga partai besar pertama, tak ingin membunuh Keng Hong, melainkan hanya ingin memaksanya agar menyerahkan pusaka gurunya.

Begitu Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang saja itu dapat menyusul, serentak mereka lalu mengirim pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang ampuh dari belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang sangat hebat ini dan dia memang sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah marah dan nekat sekali, juga sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerah sampai mati. Maka cepat dia membalik badan sambil merendahkan tubuh menekuk kedua lutut, sedangkan kedua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis.

Kekuatan sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka otomatis daya sedot sinkang-nya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang mengandung tenaga pukulan Ang-liong Jiauw-kang itu menempel di kedua lengan pemuda itu dengan kuatnya.

Tenaga Ang-liong Jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul akibat pengerahan sinkang dan memang amat hebat hingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar, kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan! Maka yang kini mengalir bagaikan banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua lengannya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sampai napasnya hampir berhenti. Keng Hong megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya.

"Celaka... Twa suheng... tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget.

Melihat betapa tiga orang sute-nya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan tangan mereka yang mencengkeram lengan pemuda itu, Kok Sian Cu pun maklum akan keadaan tiga orang sute-nya.

"Terkutuk! Ilmu iblis...!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua siku lengan Keng Hong.

Pemuda ini sedang dalam keadaan setengah kejang dan kaku, tak dapat bergerak karena derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, karena itu biar pun dia maklum akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak.

Betapa pun kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, andai kata Kok Sian Cu menyerang Keng Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh pemuda itu, sinkang-nya akan tersedot pula. Namun kakek ini sangat lihai dan maklum akan hal itu, maka dia lalu menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begitu mengenai sasaran, dengan gerakan ‘sendal pancing’ dia cepat menarik kembali tongkatnya.

Keng Hong merasa betapa kedua tangannya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi. Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main hingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan.

Seperti sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh dari pada kemampuannya yang biasanya. Sudah beberapa kali Keng Hong mengalami keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti ini. Tiap kali dia bingung bagaimana harus membuang tenaga berlebihan itu.

Akan tetapi sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka kelebihan tenaga itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya bagaikan terbang dan semakin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan dan tenaganya sendiri.

Empat orang kakek Kong-thong-pai melongo pada waktu menyaksikan betapa pemuda itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar dan sebentar saja telah sampai di sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan karena tiga orang di antara mereka sudah menjadi agak lemah akibat sebagian besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka melanjutkan pengejaran secara perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh lain.

Akan tetapi ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok-san, mereka melihat tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setengah dari batu pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas.

"Kejar...!" Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya.

Akan tetapi Kiang Tojin yang sudah tiba di situ bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat menghadang di depan batu pedang sambil berkata,

"Maaf, cu-wi sekalian! Kiam-kok-san merupakan sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai. Sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami dapat memperbolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing juga terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami."

"Ah, tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah Kok Sian Cu. "Harus pinto akui kebenaran ucapan Kiang-toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para pimpinan Kun-lun-pai, sekali-kali tak berani melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak melanggar. Kami hanya ingin mengejar lantas menangkap bocah yang naik ke Kiam-kok-san itu. Walau pun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada alasan yang kuat dan bukan semata-mata sengaja ingin melanggar, kami kira sudah sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu."

"Omitohud..., benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kedua kitab pusaka Siauw-lim berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang-toyu hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?"

Selagi Kiang Tojin bingung akibat merasa terdesak oleh omongan-omongan yang memiliki dasar kuat itu, tiba-tiba saja terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu di situ telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, tiga orang di antara empat orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir saja membunuh para tokoh itu bila tidak ditolong oleh Sin-jiu Kiam-ong!

Melihat munculnya ketiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi bicara, cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya.

"Omitohud...! Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Su-kwi jika sekali ini Sam-kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, termasuk kitab-kitab pusaka kami!”

"Kami pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Su-kwi, musuh-musuh kami dari aliran yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Jika tidak ada alasan bermusuhan, kenapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu, mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" kata Pat-jiu Sian-ong yang suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa sedang memberi ceramah kebatinan!

"Kami adalah golongan bersih, lawan golongan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Su-kwi!" kata Coa Bu tokoh Hoa-san-pai.

Memang semua tokoh kang-ouw membenci Bu-tek Su-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi oleh empat orang datuk hitam itu.

"Hi-hi-hik, sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih?" Ang-bin Kwi-bo mengejek.

"Mengapa bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain penuh dosa sedang diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka, kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san Kwi-ong dan kakek tinggi besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua buah tengkorak pada ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan suara berkelotokan mengerikan.

Akan tetapi Pat-jiu Sin-ong mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan sambil tersenyum dan terdengarlah suaranya yang halus bagaikan orang peramah penuh kasih sayang antara manusia.

"Damai…, damai…! Tidak ada yang seindah perdamaian! Kami datang untuk membantu cu-wi sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan pihak Kun-lun-pai! Harap cu-wi jangan salah faham."

Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong memandang kepada kedua orang kawannya. Memang di antara mereka bertiga, Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai bicara dan pandai pula bersiasat. Dia tahu bahwa kedua orang kawannya itu, seperti juga dia sendiri, tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para tokoh kang-ouw itu.

Akan tetapi di situ terdapat para tosu Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di antaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian Seng Cinjin, terutama sekali Kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apa lagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak para tokoh kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai!

“Kiang Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus tetapi penuh nada menekan, Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin.

Tosu Kun-lun-pai ini maklum bahwa akibat munculnya Bu-tek Sam-kwi, keadaan menjadi gawat. Akan tetapi dia bersikap amat tenang ketika menjawab. "Pat-jiu Sian-ong, agaknya di jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin kami membolehkan orang lain mendakinya?"

"Ha-ha-ha-ha-ha, alasan yang sangat lemah, ya... lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat yang sangat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil Kong-thong-pai dan sahabat Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja ingin melanggar, Akan tetapi aku memiliki alasan yang lebih kuat sekali, Kiang Tojin. Bukankah tadi kau sendiri mengatakan bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai sendiri pun dilarang?"

"Benar sekali!" Kiang Tojin berkata tegas.

"Ha-ha-ha-ha! Jika demikian, mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja Cia Keng Hong mendaki Kiam-kok-san, tetapi mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin? Bukankah dengan demikian seakan-akan Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah ada udang bersembunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dalam peraturan ini?"

Mendengar ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab? Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san, dan karena tak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkan dia sudah melepas budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-lun-pai membiarkan saja orang tua itu tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san.

Kemudian Keng Hong tinggal pula di sana, akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dari perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak pihak Kun-lun-pai. Betapa pun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong memang benar terjadi!

Kiang Tojin sudah melihat betapa semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan memusuhi ketiga orang Butek Su-kwi, kini mengangguk-angguk mendengar ucapan Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang merasa ‘mendapat angin’, maka dia lalu melanjutkan desakan kepada Kiang Tojin.

"Kiang Tojin, selama ini Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Jika sekarang ini Kun-lun-pai berkukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah batu karang saja, tentu akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para cu-wi di sini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat sekali. Bahkan sangat berbahaya bagi Kun-lun-pai."

Kakek bertubuh kecil kate akan tetapi mempunyai kepala sebesar gentong beras dengan muka ciut itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan membelai lehernya dengan hudtim (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu Bu-tek Sam-kwi akan berpihak kepada para tokoh kang-ouw!

"Sedangkan bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah ejekan di seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa kalau semua orang telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san, dan menguasai seluruh pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong! Bukankah Kun-lun-pai lalu dianggap sebagai perkumpulan berengsek yang menggunakan akal bulus dan menganggap semua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?"

"Pat-jiu Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua tangan di kepal.

Dia maklum betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk mempertahankan Kun-lun-pai, dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa dengan enam orang sute-nya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Su kwi yang hanya datang bertiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh Kong-thong-pai berkata, "Siancai...! Sekali ini, omongan Pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui kebenarannya!"

Pada saat Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah Kiang Tojin bahwa keadaan benar-benar semakin gawat dan kalau dia tetap bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin merasa bimbang tiba-tiba saja terdengar suara gurunya berkata lembut,

"Pat-jiu Sian-ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam-kwi, Jelaskanlah, apa kehendakmu selanjutnya? Pinto mendengarkan." Tahu-tahu di situ telah muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan tongkat di tangannya.

"Bagus sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam-ong dan mereka yang dahulunya telah diganggu Sin-jiu Kiam-ong, maka sebaiknya kalau kita bersama ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita akan bekerja sama dalam suasana persahabatan, tanpa ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya dahulu dicuri oleh Sin-jiu kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, ada pun pusaka-pusaka lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita. Ada pun bocah itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam padanya. Bagaimana, bukankah keputusan ini sudah adil sekali?"

Semua tokoh kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan ‘adil’ dari beberapa orang murid Kun-lun-pai.

Thian Ti Hwesio cepat-cepat berkata, "Omitohud, kami dari Siauw-lim-pai sama sekali tak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau dapat menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami."

"Kami juga hanya menghendaki kembalinya pedang pusaka beserta ramuan obat milik Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Kami pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai.

"Sin-jiu Kiam-ong berdosa kepadaku. Bila kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap.

Semua orang lalu menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang sejak tadi tersenyum tenang sambil mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata.

"Dan bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apa? Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"

"Ha-ha, Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak apakah gunanya bagi kami? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan perdamaian dan permufakatan di sini, ha-ha-ha!"

Kiang Tojin menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong, akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari bahaya maut kecuali kalau dia pandai terbang di udara, maka dengan menekan keharuan hatinya dia hanya berkata,

"Keputusan terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih mau ingat bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan terjadi di sini!"

"Suheng kenapa khawatir? Para Locianpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah setan itu, tak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin dengan hati girang.

Tosu ini tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan pita hijau dan mendengar omongan pemuda itu. Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya, yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk memukul suheng-nya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti itu...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 12

Pedang Kayu Harum Jilid 12
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
SEPASANG pedang di tangan Hoa-san Siang-sin-kiam meluncur ke arah leher dan dada Keng Hong yang masih bergulingan di atas tanah. Pemuda ini cepat menekan kedua tangan di atas tanah dan mengerahkan tenaga, dan tubuhnya mencelat ke atas begitu cepatnya sehingga dua sinar pedang itu tidak mendapatkan sasarannya.

"Dukkk!"

Keng Hong terbanting roboh kembali ketika tangan besi Ouw Beng Kok menghantamnya dengan cara memapakinya pada saat tubuhnya mencelat ke atas tadi. Pukulan berat ini tidak sempat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini menerimanya dengan pengerahan sinkang melindungi tubuhnya. Ia masih belum terluka parah, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya makin pening.

Begitu tubuhnya terbanting ke atas tanah, dua sinar pedang dari Hoa-san Siang-sin-kiam dan sinar hijau tongkat bambu ditangan Kok Sian Cu datang menyambar. Keng Hong tak melihat jalan keluar lagi, mengelak sudah tak mungkin apalagi menangkis, maka ia hanya membelalakkan mata dan menanti maut sambil secara untung-untungan mengerahkan sinkang-nya untuk mengadu kekebalan tubuh yang penuh tenaga sinkang itu dengan tiga senjata lawan yang ampuh.

"Cring-cring-traaakkk...!"

Kedua orang kakek Hoa-san Siang-sin-kiam, juga Kok Sian Cu, sangat terkejut dan cepat menarik kembali senjata mereka ketika tiba-tiba ada cahaya putih menyambar dan tepat sekali menangkis senjata mereka disusul dengan berkelebatnya sinar putih panjang yang mengancam mereka. Terpaksa mereka meloncat mundur dan tahu-tahu di sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita dan sikapnya agung dan penuh wibawa.

Kiranya yang menangkis senjata-senjata yang sudah mengancam nyawa Keng Hong tadi adalah tiga buah senjata rahasia berbentuk bola-bola putih berduri, ada pun sinar panjang berwarna putih adalah sabuk sutera yang sudah berada di tangan gadis itu.

"Sungguh tak tahu malu, golongan tua tokoh-tokoh dari partai besar mengeroyok seorang pemuda yang tidak melawan! Cih, beginikah watak dan sikap golongan yang patut disebut locianpwe?" Gadis itu berkata, suaranya dingin sekali dan pandangan matanya menyapu mereka yang mengurung Keng Hong dengan pandang mata menghina.

"Siancai... bukankah nona ini Song-bun Siu-li, puteri Lam-hai Sin-ni?" Kok Sian Cu orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin berseru heran dan kaget, akan tetapi juga penasaran. "Nona, harap jangan mencampuri urusan kami seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan Lam-hai Sin-ni. Harap nona membuka mata dan melihat bahwa urusan dengan pemuda ini menyangkut Kong-thong-pai, Hoa-san-pai, dan Thiat-ciang-pang!"

Dari ucapannya ini saja orang tertua dari Khong Thong Pai itu jelas menyatakan jerinya terhadap Lam-hai Sin-ni, bukan terhadap putrinya ini dan hendak mempergunakan nama tiga partai besar untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi Sie Biauw Eng atau Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) hanya memandang dengan air muka dingin dan mata bersinar lebih dingin lagi.

"Tidak bisa, selama ada aku di sini, kalian tidak boleh menyentuhnya, apa lagi membunuh dia!"

Tiat-ciang Ouw Beng Kok menjadi marah di dalam hati. Akan tetapi karena dia sendiri telah mendengar akan nama besar Lam-hai Sin-ni sebagai tokoh paling lihai di antara para datuk hitam, maka dia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya berkata dengan suaranya yang besar,

"Nona, oleh karena nona adalah puteri Lam-hai Sin-ni, maka kami bersikap sungkan dan mengharap dengan halus hendaknya nona suka mundur dan jangan melindungi pemuda iblis ini. Bukankah dia itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibu nona yang terhormat Lam-hai Sin-ni?"

"Dengan ibuku memang tidak, akan tetapi dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang kucinta dan akan kubela dengan seluruh tubuh dan nyawaku!" Ucapan yang dikeluarkan dengan suara polos jujur ini sejenak membuat semua orang menjadi tertegun. Akan tetapi dengan sikap wajar nona itu lalu mengeluarkan sebatang pedang kemudian menyerahkan pedang itu kepada Keng Hong sambil berkata, "Keng Hong, kau pergunakanlah pedangku ini dan mari kubantu kau menghadapi manusia-manusia haus darah ini!"

Keng Hong menerima pedang yang diberikan itu, memegangnya dengan kedua tangan dan megerahkan tenaga.

"Krekkkk!" pedang yang terbuat dari pada baja pilihan itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkannya ke atas tanah dengan muka merah dan pandang mata penuh kemarahan kepada Biauw Eng.

"Aku tidak sudi pertolonganmu! Kau perempuan kejam, kau sudah menyeretku ke dalam lembah permusuhan! Engkaulah orangnya yang telah membunuh gadis itu karena merasa cemburu, engkau curang, kejam dan... aku benci kepadamu!"

Semua orang yang memandang peristiwa itu membelalakkan mata, akan tetapi terutama sekali Biauw Eng yang menjadi pucat dan memandang Keng Hong dengan mata seekor kelinci ketakutan, kemudian bibirnya bergerak-gerak.

"Tidak..., aku tidak melakukan hal itu... ahhh, Keng Hong, aku hanya ingin membantumu, membelamu, karena aku cinta padamu...."

"Aku tidak butuh bantuanmu, tidak butuh pembelaanmu, juga tidak membutuhkan cintamu yang keji dan kotor...!"

"Keng Hong..., uuuuhhhhhhhh... Keng Hong..." Gadis itu tak dapat menahan air matanya yang jatuh berderai, kemudian ia menyusut air matanya dan mengangkat mukanya sambil berkata tegas. "Jika begitu, baiklah, kita mati bersama!" Sabuk sutera putih di tangannya bergerak meluncur ke depan menyerang para pengurung yang terdekat.

"Perempuan iblis! Patut dibasmi kalian!" Teriak Kok Kiam Cu yang dengan susah payah baru berhasil menyelamatkan diri dari sambaran sabuk ke arah lehernya ini dengan jalan menggulingkan diri ke tanah karena sinar sabuk itu benar-benar cepat bukan main, tidak sempat lagi dia menangkis.

Sekarang para pengeroyok yang berjumlah banyak itu serentak maju. Dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam memutar pedangnya, bersama Kok Sian Cu, Kok Kim Cu, Ouw Beng Kok dan Lai Ban! Pertandingan terpecah menjadi dua rombongan, tetapi keduanya merupakan pertandingan yang tidak seimbang, atau boleh dikatakan bukan merupakan pertandingan, melainkan pengeroyokkan dan usaha pembunuhan.

Mereka yang mengeroyok itu adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi. Betapa pun lihainya permainan sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng, namun dia bukanlah lawan tiga orang kakek tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai itu. Dia masih sanggup menahan sepasang pedang milik Hoa-san Siang-sin-kiam dengan gulungan sinar sabuk putih yang membentuk lingkaran-lingkaran, akan tetapi desakan tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu, kakek pertama dari Kong-thong Ngo-lojin yang buta mata kirinya, membuat Biauw Eng benar-benar sibuk bukan main.

Sudah dua kali ia terkena senjata lawan. Pertama kali pundaknya kena diserempet ujung pedang Coa Kiu, menimbulkan luka pada kulit dan sedikit dagingnya, tidak parah namun cukup mengakibatkan pakaiannya yang putih bersih bernoda darah. Kedua kalinya, ujung tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu merobek kulit paha dirinya hingga celana putihnya ikut robek dan tampak bagian kulit pahanya yang berdarah. Namun, gadis ini tidak pernah mengeluh dan permainan sabuk suteranya malah menjadi makin cepat dan ganas.

Keng Hong juga sangat repot menghadapi para pengeroyoknya. Keadaannya tidak lebih baik dari pada keadaan Biauw Eng, bahkan lebih buruk lagi. Dia dikeroyok oleh lima orang kakek sakti, yaitu tiga orang dari Kong-thong-pai dan dua orang pimpinan Tiat-ciang pang.

Biar pun dia sudah mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana ke mari dan mengerahkan sinkang untuk menangkis, namun tetap saja berkali-kali tubuhnya terpaksa menerima gebukan-gebukan yang kalau mengenai tubuh orang lain tentu mendatangkan maut. Dia mempunyai tubuh yang secara otomatis akan menggerakkan tenaga sakti untuk melawan pukulan yang datang dari luar, akan tetapi meski pun dia tidak sampai terluka dalam, tetap saja tubuhnya terasa sakit-sakit seperti rontok semua tulang-tulangnya dan kepalanya menjadi pening.

Tetapi pemuda ini juga tidak pernah mengeluh dan dalam daya tahan dan kekerasan hati, belum tentu dia kalah oleh Sie Biauw Eng. Hanya ada satu hal yang membuat hati Keng Hong tidak enak, yaitu adanya Biauw Eng yang membelanya mati-matian. Dia membenci gadis ini akan tetapi dia pun tidak menghendaki gadis ini tewas karena dia. Sayang dan benci bercampur aduk di dalam hatinya, membuat hatinya terasa lebih sakit dari pada pukulan-pukulan yang diterimanya.

Yang paling berat baginya dalam pertandingan ini adalah tangan besi hijau dari Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang. Hebat bukan main ilmu kepandaian kakek ini, dan setiap kali tangannya bertemu dengan tangan besi, dia merasa tangannya panas dan sakit, sungguh pun dalam hal tenaga, dia tidaklah dapat dikatakan kalah karena Tiat-ciang Ouw Ban Kok juga tidak berani mengadu tenaga dengan pemuda ini.

Biauw Eng yang mengamuk secara nekat itu kembali terkena tusukan pedang, sekali ini di tangan Coa Bu. Karena dia sedang menahan desakan tongkat bambu Kok Sian Cu yang berbahaya dengan sabuk suteranya, maka tusukan dari samping kanan itu sukar untuk dapat dia hindarkan lagi. Dia hanya dapat meloncat ke atas untuk menghindarkan tusukan maut yang mengarah lambungnya, namun tetap saja ujung pedang itu menancap daging paha kanannya.

Biauw Eng mengeluarkan jeritan, bukan jerit karena rasa nyeri melainkan jerit kemarahan. Ketika tubuhnya roboh, tangan kirinya bergerak cepat sekali dan sinar-sinar putih segera menyambar ke arah tiga orang kakek yang sedang mengeroyoknya itu. Hebat bukan main sambaran senjata rahasia bola-bola putih berduri yang kesemuanya mengarah ulu hati, leher dan pelipis lawan dan jumlahnya belasan buah karena disambitkan secara cepat dan susul menyusul.

"Aihhhh..!"

Coa Bu yang kegirangan karena berhasil merobohkan gadis yang lihai itu, berteriak kaget dan cepat miringkan tubuhnya. Meski pun bola putih yang menyambar ke ulu hati berhasil dibuat menyeleweng, akan tetapi tetap saja mengenai pundaknya, menimbulkan rasa nyeri dan seketika pundak berikut lengannya seperti lumpuh.

Karena maklum bahwa senjata rahasia itu bagian duri-durinya tentu mengandung racun, kakek Hoa-san ini segera melompat mundur, cepat merobek luka dengan ujung pedang untuk mengeluarkan darahnya, lalu mengobatinya dengan obat bubuk yang disimpan di sakunya.

Coa Kiu dan Kok Sian Cu dapat menangkis runtuh semua senjata rahasia, bahkan ketika gadis itu menguras seluruh senjata bola putih dan tusuk konde bunga bwe, mereka dapat menyampok semua am-gi (senjata gelap) itu ke atas tanah.

"Gadis keji...!"

Kok Sian Cu menggerakkan tongkat bambunya ditusukkan ke arah perut gadis itu yang sudah rebah di atas tanah. Akan tetapi Biauw Eng tidak mau menyerah begitu saja. Dia menggunakan kegesitannya untuk bergulingan di atas tanah sehingga sampai empat lima kali ujung tongkat bambu itu hanya menusuk tanah.

Melihat robohnya Biauw Eng, Keng Hong menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan teriakan melengking nyaring kemudian pukulan Kok Liong Cu ke arah dadanya dia terima begitu saja sambil mengerahkan sinkang dan... tangan itu lalu melekat di dadanya terus disedot sinkang-nya! Namun, seperti juga tadi setiap kali Keng Hong berhasil menyedot singkang seorang lawan, kakek yang lain cepat-cepat menotoknya sehingga terpaksa dia tak dapat mempertahankan kekuatan sinkang-nya dan lawan itu lantas terlepas lagi. Jika saja yang menotok bukan tokoh-tokoh sakti seperti itu, tentu yang menotoknya pun akan tersedot sekalian!

"Dessss..!"

Begitu tangan Kok Liong Cu tertempel pada dadanya dan Kok Seng Cu cepat menotok pundaknya sehingga tubuhnya seperti lumpuh dan tangan Kok Liong Cu terlepas, sebuah pukulan kilat datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, amat keras menghantam tengkuk Keng Hong. Pukulan ini adalah pukulan maut yang amat kuat dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang sanggup menerima pukulan ketua Tiat-ciang-pang seperti itu.

Keng Hong terdorong sebuah pukulan kilat yang datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua Tiat-ciang-pang, sangat keras menghantam tengkuk Keng Hong ke depan sehingga pemuda itu roboh menelungkup dalam keadaan pingsan!

"Keng Hong..!"

Biauw Eng yang tadinya sibuk bergulingan menghindarkan tusukan ujung tongkat bambu Kok Sian Cu, cepat menubruk ke arah Keng Hong ketika dilihatnya pemuda itu roboh dan disangkanya tentu tewas. Kekhawatirannya ini membuat dia kurang waspada dan selagi tubuhnya masih meloncat dan hendak menubruk Keng Hong, dari kiri melayang kaki Kok Liong Cu yang menendang keras, tepat mengenai lambungnya hingga tubuh Biauw Eng terlempar pula, terguling-guling dan rebah miring dalam keadaan pingsan.

"Kita habiskan saja mereka. Dua orang muda ini benar-benar berbahaya sekali!" kata Kok Sian Cu yang sudah menggerakkan tongkat bambu ke arah Biauw Eng yang pingsan, ada pun Ouw Ban Kok sudah menghampiri Keng Hong hendak mengirim pukulan terakhir.

Ketua Tiat-ciang-pang ini merasa penasaran dan malu sekali bahwa pukulannya tadi tidak cukup kuat untuk membunuh Keng Hong, padahal dia maklum sekali bahwa pukulannya itu benar-benar hebat bukan main, dan kiranya orang-orang sakti yang berada di situ tak seorang pun yang akan sanggup menerima pukulan itu dengan hanya menderita pingsan seperti Keng Hong.

Detik-detik menegang itu agaknya merupakan detik-detik penentuan bagi Keng Hong dan Biauw Eng. Sekali saja tokoh Tiat-ciang-pang menjatuhkan pukulan maut pada dua tubuh orang muda yang pingsan itu, tentu mereka akan tewas dan tak akan tertolong lagi. Akan tetapi, apa bila Thian belum menghendaki seseorang mati, pasti ada saja sebabnya yang mencegah datangnya maut.

"Tahan, jangan bunuh dia...!"

Bentakan ini keras dan nyaring sekali, penuh wibawa dan nampaklah bayangan empat orang yang cepat bukan main sehingga tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka, bahkan dua di antara mereka langsung menghadang di depan tubuh Keng Hong dalam keadaan siap untuk mencegah siapa pun juga membunuh pemuda itu.

Karena sesungguhnya yang mereka musuhi adalah Keng Hong, ketika melihat ada orang datang melindungi Keng Hong otomatis Kok Sian Cu juga menarik tongkat bambunya dan mengurungkan niatnya membunuh Biauw Eng. Pada waktu mereka semua memandang empat orang yang baru muncul, mereka menjadi terkejut sekali dan juga terheran-heran mengapa empat orang itu mencegah mereka membunuh Keng Hong.

Mereka itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek berpakaian hitam yang memegang senjata pecut sembilan ekor berujung kaitan, dua orang hwesio Siauw-lim-pai tingkat dua, yaitu Thian Ti Hwesio yang memegang senjata Liong-cu-pang dan Thian Kek Hwesio yang bersenjata jubahnya, ada pun orang ke empat adalah Sin-to Gi-hiap tokoh ahli golok yang sudah berusia delapan puluh lima tahun namun masih nampak gagah dan tampan.

Munculnya empat orang tokoh besar kang-ouw ini tentu saja menimbulkan keheranan, apa lagi karena mereka itu seakan-akan hendak melindungi Keng Hong, padahal baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai mau pun Kong-thong-pai maklum bahwa mereka berempat itu pun merupakan musuh-musuh mendiang Sin-jiu Kiam-ong karena dulu pernah menyerbu Kiam-kok-san.

"Siancai..! Apa sebabnya empat orang sahabat datang-datang melarang kami membunuh bocah setan ini? Hendaknya diketahui bahwa bocah ini sudah membunuh banyak murid Khong-thong-pai, di antaranya bahkan sute Kok Cin Cu telah dibunuhnya!" kata Kok Sian Cu, suaranya halus akan tetapi mengandung penasaran dan tuntutan.

"Dia telah memperkosa dan membunuh murid Hoa-san-pai!" berkata pula Coa Kiu sambil melintangkan pedangnya di depan dada, tanda bahwa dia siap untuk menghadapi siapa saja demi mempertahankan nama Hoa-san-pai.

"Dan dia juga telah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang!" kata Ouw Beng Kok, marah.

"Dia sama sekali tak boleh dibunuh. Belum boleh!" kata Kiu-bwe Toanio dengan suaranya yang nyaring. "Kami menghalangi kalian bukan karena kami membela bocah itu, sama sekali tidak. Kami tidak bermusuhan dan juga tidak bersahabat dengan dia, akan tetapi kami bermusuhan dengan mendiang gurunya. Kami telah bersepakat untuk memaksa dia menyerahkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan bila kalian berlaku cerdik, sebaiknya menyetujui kehendak kami supaya kelak pusaka yang sangat banyak itu dapat dibagi-bagi dengan adil. Setelah pusaka berada di tangan kami, terserah saja apa yang hendak kalian lakukan terhadap bocah ini!"

"Omithoud, Siauw-lim-pai tidak menginginkan benda lain kecuali dua buah kitab pusaka yang dulu dicurinya dari Siauw-lim-pai, " kata Thian Ti Hwesio.

"Akan tetapi mereka ini amat berbahaya, kalau tidak dibunuh sekarang selagi mereka tak berdaya, kelak tentu akan mendatangkan banyak kekacauan, dan pula, sampai kapankah sakit hati kami dapat terbalas?" kata pula Ouw Beng Kok. Ucapannya ini mendapat tanda setuju dari mereka yang ingin sekali membunuh Keng Hong untuk membalas dendam.

"Siapa yang hendak membunuhnya sekarang, berarti dia akan berhadapan dengan kami berempat!" bentak Kiu-bwe Toanio sambil menggerak-gerakkan cambuknya.

Thian Ti Hwesio, Thian Kek Hwesio dan Sin-to Gi-hiap yang memang sudah berunding terlebih dahulu untuk menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda ini menunjukkan tempat persembunyian pusaka, sekarang mengurung pemuda yang masih rebah pingsan itu, siap untuk melawan siapa yang ingin membunuh pemuda itu.

Sejenak kedua golongan ini saling pandang hingga keadaan menjadi makin tegang. Pihak yang hendak membunuh terdiri dari delapan orang ditambah Sim Lai Sek yang tentu saja tidak dapat dimasukkan hitungan, sedangkan pihak yang menentang pembunuhan adalah empat orang. Akan tetapi karena empat orang itu, terutama sekali Kiu-bwe Toanio dan Sin-to Gi-hiap terkenal sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi, pihak yang hendak membunuh menjadi ragu-ragu. Apa lagi kalau mereka teringat bahwa Keng Hong dan Biauw Eng hanya pingsan saja. kalau mereka siuman, tentu saja mereka itu akan menjadi lawan yang berat pula.

Melihat keadaan ini, Sim Lai Sek menjadi penasaran, marah dan khawatir kalau-kalau kematian cici-nya tidak akan terbalas. Maka dia lalu berteriak-teriak, "Dia harus dibunuh! Cia Keng Hong si keparat harus di bunuh!"

Tiba-tiba bertiup angin dari atas puncak dan terdengar suara yang perlahan namun amat jelas terdengar oleh semua orang.

"Siancai! Di wilayah Kun-lun-pai, siapa berani bicara tentang pembunuhan? Apakah kami tidak boleh berkuasa di wilayah kami sendiri?"

Semua orang terkejut dan memandang. Ternyata dari atas puncak Kun-lun-pai tampak bayangan beberapa orang tosu yang menuruni puncak dengan gerakan cepat bagaikan terbang. Jumlah mereka ada tujuh orang dan di belakang tujuh orang ini masih kelihatan serombongan tosu yang jumlahnya ada lima puluh orang.

Tentu saja semua orang menjadi jeri sekali, bukan hanya menyaksikan jumlah tosu-tosu Kun-lun-pai yang demikian banyaknya, melainkan terutama sekali Kiang Tojin dan enam orang sute-nya yang merupakan tujuh orang pimpinan Kun-lun-pai yang disegani. Baru mendengar suara Kiang Tojin yang digemakan dari atas tadi saja sudah menbayangkan betapa hebatnya sinkang dan khikang dari tosu itu!

Mereka itu memang benar adalah para tosu Kun-lun-pai yang dipimpin oleh Kiang Tojin sendiri bersama enam orang sute-nya. Setelah tiba di tempat itu, pandangan mata Kiang Tojin dan para sutenya menyapu ke arah para tamu tak diundang itu dan ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng yang masih menggeletak pingsan.

Di lubuk hatinya, Kiang Tojin merasa kasihan kepada Keng Hong. Memang tosu ini selalu merasa suka dan kasihan kepada bocah yang dahulu dia tolong dari bencana maut itu. Kini, di dalam hati tosu ini muncul pertanyaan-pertanyaan yang membikin perasaannya perih, yaitu apakah bukan dia yang menyeret bocah itu ke dalam jurang kesengsaraan?

Karena dia menolong Keng Hong dan menbawa ke Kun-lun-san, maka bocah itu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi muridnya, kemudian karena dia menjadi murid Si Raja Pedang maka dia dimusuhi semua orang kang-ouw, dijadikan rebutan dan nasibnya selalu sengsara karena dimusuhi orang-orang pandai sehingga akhirnya kini menggeletak pingsan di bawah kakinya!

Kiang Tojin menghela napas panjang, dan dia merasa betapa semua itu diakibatkan oleh pertolongannya kepada Keng Hong. Memang mungkin sekali kalau dia tidak turun tangan menolong Keng Hong, tentu pemuda itu telah mati pada waktu kecil. Akan tetapi apakah kematian lebih sengsara dari pada hidup?

"Cu-wi sekalian hendaknya maklum bahwa kedua orang muda yang pingsan ini adalah tawanan-tawanan kami. Pemuda ini kami tawan karena dia memiliki kesalahan terhadap Kun-lun-pai dan memang sedang kami cari-cari, ada pun gadis ini kami tawan karena dia berani melanggar wilayah Kun-lun-pai. Harap cu-wi (tuan sekalian) sebagai orang-orang luar tidak akan menghalangi kami bertindak di dalam wilayah kami sendiri."

Semua orang sakti yang hadir tak dapat membantah kebenaran ucapan Kiang Tojin yang memang pada tempatnya. Sudah menjadi peraturan tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa para tamu harus tunduk kepada peraturan tuan rumah. Mereka semua berada di wilayah Kun-lun-pai sebagai tamu-tamu yang tak diundang, dan mereka semua sudah mendengar akan perbuatan Keng Hong dulu menipu para pimpinan Kun-lun-pai dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.

Hal ini lalu menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw, tentu saja merupakan dosa besar pemuda itu terhadap Kun-lun-pai. Maka kalau sekarang pihak Kun-lun-pai hendak menangkapnya dan pemuda itu sedang berada di wilayah Kun-lun, tentu saja mereka tidak kuasa mencegah.

Di dalam hati mereka timbul rasa tidak puas dan penasaran, akan tetapi karena mereka segan dan jeri terhadap Kun-lun-pai, mereka tidak berani membantah. Hanya Tiat-ciang Ouw Beng Kok yang menyatakan penasaran hatinya, akan tetapi juga dia bersikap halus terhadap Kiang Tojin. Dia menjura sebagai penghormatan lalu berkata,

"Toyu, apa yang Toyu ucapakan semuanya memang benar. Akan tetapi, bocah itu sudah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang, apakah kami tak diberi kesempatan untuk menjatuhkan hukuman kepadanya?"

Pertanyaan ketua Tiat-ciang-pang ini membuka kesempatan kepada semua orang untuk mengatakan isi hati mereka dan ramailah mereka itu berkata susul-menyusul.

"Benar, dia telah membunuh banyak anak murid kami!"

"Dia telah memperkosa murid wanita kami dan membunuhnya!"

"Sin-jiu Kiam-ong masih berhutang kepada kami, sudah sepatutnya kalau muridnya yang membayar hutangnya!"

"Gurunya mencuri kitab-kitab pusaka kami, muridnya yang harus mengembalikan!"

Kiang Tojin mengangkat kedua tangannya, minta agar mereka tidak ribut-ribut, kemudian berkata, "Pinto mengetahui akan hal itu semua. Siapa yang bersalah harus dihukum, akan tetapi karena kita berada di wilayah kami, maka kamilah yang berhak untuk mengadili dia. Kami akan membawanya ke Kun-lun-pai kemudian akan mengadili Cia Keng Hong. Di situ cu-wi boleh menjatuhkan tuduhan dan ia berhak membela diri, baru kemudian diputuskan hukumannya secara adil. Pinto mengharap cu-wi dapat menyetujui dan ikut bersama kami ke Kun-lun-pai." Tentu saja tidak ada yang dapat membantah kebenaran ucapan ini.

Dan pada saat itu Keng Hong dan Biauw Eng siuman dari pingsannya. Ketika Keng Hong membuka matanya dan melihat para tosu Kun-lun-pai, dia cepat menghampiri Kiang Tojin dan menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu Cia Keng Hong siap untuk menerima pengadilan!"

"Cia Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami di Kun-lun-pai. Dan engkau, Song-bun Siu-li, karena sudah berani melanggar wilayah Kun-lun-pai serta menimbulkan keributan, engkau pun harus ikut untuk menerima pengadilan."

Biauw Eng tidak menjawab dan agaknya tidak peduli karena dia sedang memandang ke arah Keng Hong dengan alis berkerut dan mata membayangkan kesedihan. Akan tetapi dia tidak membantah ketika dia digiring naik ke puncak Kun-lun-pai.

Sebetulnya, keputusan Kiang Tojin untuk menawan pula Biauw Eng ada rahasia atau latar belakangnya. Tosu ini tadi telah mendengar pula akan tuduhan-tuduhan Keng Hong yang dilontarkan kepada gadis ini, karena itu dia ingin membawa gadis ini untuk memperingan dosa pemuda itu. Kalau tidak ada latar belakang ini, kiranya dia tidak begitu sembrono untuk menawan puteri Lam-hai Sin-ni hanya karena telah mendatang wilayah Kun-lun-pai tanpa ijin!

Keng Hong berjalan sambil menundukkan muka, sama sekali tidak mempedulikan Biauw Eng yang berjalan di sebelahnya. Di dalam hatinya, dia berterima kasih sekali terhadap Kiang Tojin karena biar pun tadi dia berada dalam keadaan pingsan, namun dia maklum bahwa sekiranya tidak ada Kiang Tojin di sana, tentu sekarang nyawanya telah melayang ke akhirat.

Rasa terima kasih yang bertumpuk-tumpuk semenjak dahulu terhadap tosu ini membuat dia tunduk dan menyerah, siap untuk melakukan segala perintah dan menerima segala hukuman yang dijatuhkan Kiang Tojin kepadanya.

********************

Keng Hong dan Biauw Eng dibawa masuk ke dalam ‘Ruangan Pengadilan Kun-lun-pai’ yang merupakan sebuah ruangan yang amat luas dengan lantai batu putih. Di situ telah menanti Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai dengan pakaian ketua yang sederhana nan agung dan berwibawa. Kakek tua ini telah diberi tahu lebih dulu sehingga dia menanti di situ.

Kiang Tojin beserta enam orang sute-nya lalu menjatuhkan diri berlutut dan Kiang Tojin melaporkan bahwa Cia Keng Hong sudah ditangkap bersama Song-bun Siu-li yang telah melanggar wilayah Kun-lun-pai. Keng Hong sudah pula menjatuhkan dirinya berlutut di depan ketua Kun-lun-pai dengan sikap tenang.

Akan tetapi Biauw Eng tidak mau berlutut, juga tidak ada yang memaksanya, dan gadis ini duduk di atas bangku yang berada di situ. Tak seorang pun melarangnya karena betapa pun juga, semua orang selain mengenal nama Song-bun Sin-li sebagai tokoh yang amat terkenal, juga nama besar Lam-hai Sin-ni membuat semua orang merasa jeri. Kalau tadi para tokoh sudah mengeroyok dan hendak membunuh Biauw Eng adalah karena gadis itu membela Keng Hong.

Para anak murid Kun-lun-pai yang lain menjaga di luar ruang sidang pengadilan, bersikap menjaga segala kemungkinan. Suasana di situ sunyi dan semua orang menunggu ketua Kun-lun-pai membuka mulut.

Thian Seng Cinjin hanya membalas penghormatan semua tamu kemudian mempersilakan mereka duduk dengan isyarat tangan yang digerakkan perlahan menuju ke arah bangku-bangku yang tersedia di situ.

"Suhu, setelah Cia Keng Hong lepas dari tangan Ngo-sute dan Ji-sute (Adik seperguruan ke lima dan ke dua) teecu dapat menangkap dia di wilayah Kun-lun-pai, sedang dikeroyok oleh para sahabat yang datang dari berbagai partai persilatan dan dunia kang-ouw yang menghendaki agar dilakukan pengadilan atas dirinya. Teecu menyerahkan kepada Suhu dan mohon keputusan." Demikian antara lain Kiang Tojin melapor.

Thian Seng Cinjin menghela napas. "Siancai... siancai! Kekacauan yang ditimbulkan oleh perbuatan mendiang Sin-jiu Kiam-ong dengan sepak terjangnya yang sesuka hati sendiri, kini dilanjutkan oleh muridnya. Muridku, pinto menyerahkan kepadamu untuk mewakiliku dan memulai persidangan pengadilan ini."

Kiang Tojin mengangguk, kemudian bersama enam orang sute-nya lalu bangkit berdiri di belakang suhu mereka. Kiang Tojin lantas berkata kepada semua tamu. "Cu-wi sekalian, sebelum kami mempersilakan cu-wi menjatuhkan tuduhan terhadap Cia Keng Hong, lebih dahulu kami akan menjatuhkan tuduhan kami, harap cu-wi menjadi saksi."

Kiang Tojin memandang sekeliling, menatap satu demi satu pada semua yang hadir, baru kemudian terdengar lagi suaranya.
"Cia Keng Hong! Kurang lebih satu tahun yang lalu engkau sudah menyerahkan Siang-bhok-kiam, tetapi yang kau serahkan itu adalah pedang palsu. Benarkah bahwa engkau telah menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu kepada kami?"

Sejenak keadaan sunyi, kemudian Keng Hong yang masih berlutut sambil menundukkan mukanya lalu berkata, suaranya lantang dan tegas.

"Saya mengaku, memang pedang Siang-bhok-kiam yang saya serahkan kepada Totiang dahulu adalah pedang kayu palsu buatan saya sendiri."

"Jadi engkau mengaku bahwa engkau sudah menipu Kun-lun-pai dan sengaja melakukan penghinaan agar Kun-lun-pai menjadi buah tertawaan orang sedunia?"

"Sama sekali tidak!" Keng Hong mengangkat muka dan memandang Kiang Tojin dengan pandang mata tajam dan penuh ketabahan. "Saya tidak bermaksud menyerahkan pedang palsu. Semenjak turun dari Kiam-kok-san, saya sudah membawa pedang palsu itu karena maklum bahwa banyak orang menghendaki pedang itu. Pedang Siang-bhok-kiam adalah milik suhu yang telah diwariskan kepada saya, mengapa orang lain hendak memintanya? Mengapa pula Kun-lun-pai hendak memintanya, bahkan hendak merampasnya dengan paksa? Adalah kesalahan Kun-lun-pai sendiri yang juga ikut-ikut menginginkan pedang itu sehingga karena terpaksa saya menyerahkan pedang yang saya bawa, pedang palsu buatan saya sendiri yang disangka Siang-bhok-kiam. Saya tidak merasa bersalah dalam penyerahan pedang itu, juga tidak merasa sengaja hendak menipu, hal itu terjadi karena kesalahan! Kun-lun-pai sendiri yang ingin memiliki benda kepunyaan orang lain!"

Suasana segera menjadi sunyi sekali setelah semua orang mendengar jawaban yang tak tersangka-sangka ini. Kemudian terdengar suara Kiu-bwe Toanio nyaring melengking.

"Anak ini benar! Bukan salahnya, karena memang pedang itu tidak seharusnya dirampas Kun-lun-pai! Pedang itu adalah hak kami bersama, kami orang-orang yang sudah dibuat sakit hati oleh Sin-jiu Kiam-ong dan yang berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalannya. Pedang itu harus diserahkan kepada kami agar dapat kami pakai untuk mencari pusaka itu kemudian kita bagi-bagi bersama. Ini baru adil namanya."

"Omitohud, ucapan Toanio itu tepat sekali. Pinceng juga harus mendapatkan kembali dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, maka pedang itu harus diberikan kepada kami. Dalam hal itu, anak ini tidak bersalah terhadap Kun-lun-pai!" kata pula Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai.

"Tepat sekali… tepat sekali..!" sambung Sin-to Gi-hiap.

Keng Hong mendengarkan semuanya itu dengan hati geli. Dari sikap para tokoh ini jelas sekali terlihat betapa setiap manusia, betapa pun tinggi kepandaian serta kedudukannya, masih selalu diperhamba oleh nafsu mendahulukan kepentingan diri sendiri. Karena nafsu inilah maka setiap persoalan yang dianggap menguntungkan dirinya, langsung dianggap benar dan tepat. Tetapi jika sebaliknya dan persoalan itu dianggap merugikan, tentu akan ditentang!

Kiang Tojin juga maklum akan hal itu, dan diam-diam dia pun girang bahwa Keng Hong dapat menjawab dengan tepat seperti yang diharapkannya sehingga dapat memperingan ‘dosanya’ terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi di samping perasaan sayang kepada Keng Hong, sebagai orang ke dua Kun-lun-pai sekaligus juga calon pengganti suhu-nya kelak sebagai ketua Kun-lun-pai, tentu saja Kiang Tojin lebih mementingkan kebesaran nama Kun-lun-pai, maka dia lalu berkata,

"Cu-wi sekalian sudah mendengar pengakuan Cia Keng Hong dan dengan pengakuannya itu, kami pihak Kun-lun-pai bisa menerimanya sekalian kami dapat mengampuni dosanya karena setelah diteliti memang pemuda ini tidak bermaksud menipu, namun memalsukan pedang Siang-bhok-kiam dengan maksud supaya yang asli tidak sampai terampas orang lain. Dengan pengakuannya itu, sekaligus nama besar kami telah tercuci dari noda-noda. Pertama, jelas bahwa kami tidak menyembunyikan Siang-bhok-kiam asli seperti disangka banyak orang. Ke dua, Kun-lun-pai jelas bukanlah partai yang tamak akan pusaka orang lain sehingga sampai sekian lamanya kami tidak memeriksa pedang itu palsu atau bukan karena memang kami tidak mempunyai maksud mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya karena diperebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka pedang itu rusak dan ketahuan bahwa benda itu palsu. Ada pun tentang anggapan bahwa Kun-lun-pai tidak berhak atas pedang itu adalah salah! Pedang itu selama ini selalu berada di wilayah Kun-lun-pai, yaitu Kiam-kok-san, dan segala benda yang berada di wilayah Kun-lun-pai adalah hak kekuasaan kami untuk menentukan apakah boleh dibawa keluar atau tidak."

Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, terutama sekali Sian Ci Tojin, yang menginginkan pusaka-pusaka itu untuk dipelajari, merasa tidak setuju dengan ucapan Kiang Tojin ini, akan tetapi karena melihat betapa suhu mereka, Thian Seng Cinjin yang lebih mengutamakan nama baik Kun-lun-pai, mengangguk-ngangguk setuju atas ucapan Kiang Tojin, mereka hanya saling pandang dan mengerutkan kening, tidak berani membantah.

"Cia Keng Hong, karena jelas bahwa engkau belum membawa keluar Siang-bhok-kiam dari wilayah Kun-lun-san, dan mendengar pembelaan diri yang tepat, maka kami dapat mengampunimu dengan syarat bahwa kau harus menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam yang asli kepada kami..."

"Wahhh...!" Terdengar seruan tidak setuju dari para tamu.

"Harap tenang dan biarkan Twa-suheng bicara!" Lian Ci Tojin berseru keras, dan tosu ini sudah merasa girang dengan keputusan Kiang Tojin.

"Keputusan ini harus diambil oleh Kun-lun-pai mengingat bahwa kelak Siang-bhok-kiam akan selalu menimbulkan kegemparan di dunia kang-ouw, menjadi perebutan yang akan mengorbankan banyak nyawa secara sia-sia dan karena pedang yang selalu berada di Kiam-kok-san itu menjadi hak kami, maka kamilah yang harus menyimpannya dengan janji bahwa kami Kun-lun-pai tidaklah tamak terhadap pusaka orang lain dan tidak akan menggunakan pedang untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

Ucapan terakhir ini melegakan hati para tamu akan tetapi sebaliknya mengecewakan para tosu Kun-lun-pai terutama Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.

"Nah, pinto rasa sudah jelas bagi dunia kang-ouw umumnya bahwa Kun-lun-pai memiliki alasan-alasan kuat untuk menyimpan Siang-bhok-kiam dan kini persoalan Cia Keng Hong dengan Kun-lun-pai telah selesai. Kini kami persilakan cu-wi yang ingin menuntut pemuda ini agar mengajukan tuntutannya."

Kiang Tojin bersikap cerdik di dalam sikapnya membela Keng Hong. Dia tidak mendesak atau bertanya kepada Keng Hong untuk pelaksanaan keputusan itu karena dia khawatir kalau-kalau Keng Hong secara berterang menolak dan menimbulkan pula kemarahan di pihak para tosu Kun-lun-pai. Kelak dia akan menggunakan pengaruhnya untuk memaksa pemuda itu menyerahkan Siang-bhok-kiam secara baik-baik. Kemudian, dengan memberi kesempatan kepada para tamu untuk mengajukan tuduhan, maka para sute-nya tidak ada kesempatan untuk mendesak Keng Hong.

"Cia Keng Hong sudah memperkosa murid Hoa-san-pai yang bernama Sim Ciang Bi dan kemudian membunuhnya, disaksikan oleh adik korban yang kini hadir, Sim Lai Sek," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Dosa yang keji itu harus ditebus dengan hukuman kematian bagi pemuda jahat ini!"

"Cia Keng Hong sudah memperkosa dua orang murid wanita Hoa-san-pai lalu membunuh mereka, tetapi juga membunuh sute kami Kok Cin Cu serta beberapa orang anak murid Kong-thong-pai. Dosanya lebih besar lagi terhadap kami dan walau pun dia mati sepuluh kali masih belum dapat menebus dosanya!" kata Kok Sian Cu.

"Dia juga telah membunuh banyak anak murid kami dari Tiat-ciang-pang. Dia harus kami hukum mati demi menjaga nama besar kami yang diinjak-injaknya!"

Hening sejenak setelah tiga orang wakil tiga partai besar ini menjatuhkan tuduhannya dan semua mata memandang Keng Hong yang masih menundukkan muka.

"Cia Keng Hong, bagaimana engkau hendak menjawab tuduhan-tuduhan para Locianpwe ini?" Kiang Tojin bertanya, suaranya mengandung getaran sebab hatinya merasa berduka sekali.

Ia merasa berduka kalau-kalau semua tuduhan itu benar dan anak yang disayangnya itu benar-benar telah mewarisi watak suhu-nya, yaitu suka mempermainkan wanita dan telah turun tangan membunuh orang. Hanya dia terkejut dan ragu mendengar bahwa Keng Hong juga membunuh Kok Cin Cu yang dianggapnya tidak mungkin terjadi. Ia tahu siapa Kok Cin Cu, orang yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, tentu tidak akan dapat dikalahkan oleh Keng Hong.

Dia merasa khawatir sekali karena kalau yang dituduhkan itu benar-benar, alangkah berat dosa pemuda ini dan sangat tidak baik kalau dia atau Kun-lun-pai hendak melindunginya. Andai kata tokoh-tokoh kang-ouw hendak mengganggu Keng Hong karena perbuatan-perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, tentu dia akan membela Keng Hong. Akan tetapi kalau yang dituntut adalah semua perbuatan pemuda ini sendiri, tak mungkin dia dapat mencampuri.

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dan menjawab dengan suara tenang akan tetapi tegas, "Semua tuduhan yang dijatuhkan kepada saya itu adalah fitnah yang tidak benar! Saya tidak memperkosa Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai itu sebab hubungan antara kami adalah atas dasar suka rela, dan saya pun tidak membunuhnya, biar pun ada saksi yang menjatuhkan fitnah palsu. Saya tidak membunuh Sim Ciang Bi! Mengenai urusan dengan Kong-thong-pai, Kok Cin Cu totiang tidak mati oleh tangan saya. Dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang dimaksudkan tentulah Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Seperti juga Sim Ciang Bi murid Hoa-san-pai, mereka berdua ini pun amat baik kepada saya dan hubungan di antara kami berdasarkan suka sama suka, tidak ada perkosaan sama sekali. Yang membunuh mereka dan para saudara seperguruan mereka dengan para saudara seperguruan mereka dengan racun juga bukan saya. Demikian pula urusan dengan Tiat-ciang-pang. Mereka itu mengeroyok saya yang hanya membela diri, dan sebagian di antara mereka tewas oleh senjata rahasia juga bukan oleh tangan saya!"

"Wah-wah-wah, pengecut! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab!" bentak Coa Kiu, seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam marah. "Jika engkau tidak mengaku telah membunuh mereka semua, akan tetapi buktinya mereka itu mati, habis apakah hendak kau katakan bahwa mereka itu telah membunuh diri mereka sendiri?"

"Keng Hong! Hendakkah engkau menyangkal bahwa cici-ku mati dalam pelukanmu?" Sim Lai Sek membentak marah.

"Semua penduduk dusun melihat betapa anak murid kami yang wanita engkau perkosa dan kemudian semua anak murid kami itu kau beri racun!" bentak pula Kok Sian Cu.

Keng Hong melirik ke kiri dan kini dia melihat Sie Biauw Eng yang sejak tadi telah siuman dan mendengar semua persidangan yang mengadili Keng Hong itu. Dia melihat betapa Biauw Eng menundukkan muka dengan alis berkerut, wajah jelita itu kelihatan berduka sekali.

Hemmm, wajah palsu, pikirnya! Engkaulah yang mendatangkan semua mala petaka ini kepadaku, dan engkau masih berpura-pura dengan sikap alim berpura-pura seperti orang berduka!

Teringat betapa Sim Ciang Bi mengejang dengan tubuh masih hangat dalam pelukannya, terbunuh secara keji oleh Biauw Eng, dan teringat pula betapa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si yang amat mencintainya juga mati oleh racun Biauw Eng, seketika kemarahan Keng Hong melenyapkan rasa kasihnya yang aneh terhadap gadis itu dan dia menjadi benci, benci sekali! Tiba-tiba Keng Hong meloncat ke kiri dan menyambar tubuh Biauw Eng, dipegangnya lengan gadis itu dan diseretnya ke hadapan Kiang Tojin sambil berseru keras,

"Inilah dia manusianya yang membunuh mereka semua! Inilah Song-bun Siu-li puteri Lam-hai Sin-ni yang berkepandaian tinggi dan berwajah jelita namun berhati iblis! Dialah yang sudah membunuh Sim Ciang Bi dengan darah dingin, juga meracuni murid-murid Tiat-ciang-pang dengan senjata rahasianya! Dia melakukan semua itu karena cemburu, karena iri hati, karena... karena hatinya yang ganas liar dan kejam!"

Semua orang tercengang memandang kepada Biauw Eng yang menundukkan mukanya yang menjadi pucat sekali. Suasana menjadi sunyi senyap dan Kiang Tojin memandang wajah yang menunduk itu penuh perhatian.

Ia percaya akan keterangan Keng Hong berdasarkan pengetahuannya bahwa Keng Hong tidak memiliki watak atau dasar watak jahat dan kejam. Sebaliknya, meski pun dia belum mengenal kepribadian Song-bun Siu-li, namun mengingat bahwa gadis ini adalah puteri Lam-hai Sin-ni yang terkenal sebagai tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tandingan), tidak akan mengherankan kalau gadis yang kelihatan cantik jelita dan dingin seperti salju ini memiliki watak iblis seperti ibunya.

"Cia Keng Hong, engkau yang dijatuhi tuduhan, kenapa engkau menimpakannya kepada orang lain?" Kiang Tojin pura-pura mencela, padahal kehendak hatinya ialah memancing agar tuduhan Keng Hong itu dapat diperkuat.

"Maaf, totiang. Saya sama sekali tidak menuduh sembarangan, bukan menuduh karena saya takut menghadapi hukuman. Meski dihukum mati sekali pun, apa bila memang saya bersalah, saya tidak akan gentar dan siap mempertanggung jawabkan perbuatan saya. Akan tetapi sesungguhnya bukan saya melainkan perempuan iblis inilah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji, curang dan pengecut itu. Apa bila Totiang tidak percaya, harap bertanya kepadanya dan ingin sekali saya mendengar apa yang akan dijawabnya."

Memang Keng Hong ingin sekali mendengar jawaban Biauw Eng. Pada saat gadis ini tadi membelanya ketika dia dikeroyok orang-orang sakti dan dia melancarkan tuduhannya, gadis ini menyangkal. Sekarang, di dalam sidang pengadilan di depan orang-orang sakti, bagaimana gadis ini akan dapat menyangkal pula?

Bukti-buktinya sudah cukup lengkap, yaitu senjata-senjata rahasianya, dan saksi-saksinya juga sudah banyak, terutama sekali dia yang menjadi saksi utama karena beberapa kali dia melihat gadis baju putih ini berkelebat pergi setiap ada pembunuhan-pembunuhan itu, dan masih teringat olehnya, bahkan masih terasa belaian-belaian kasih sayang penuh nafsu dari gadis baju putih yang kelihatannya dingin dan alim ini!

"Nona, jawablah apakah semua yang dikatakan Cia Keng Hong itu benar? Apakah benar Nona yang membunuh murid-murid Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan Tiat-ciang-pang?"

Biauw Eng memandang kepada Keng Hong dengan muka pucat, sinar matanya berduka sekali, bibirnya bergerak-gerak dan gemetar seperti wanita kalau hendak menangis. Akan tetapi gadis yang keras hati ini cepat menggigit bibirnya yang bawah sehingga tampak kilatan gigi putih disusul warna merah karena bibir bawahnya pecah tergigit!

Agaknya dengan kekerasan hati Biauw Eng hendak mengeluarkan kata-kata yang segera ditekan dan ditahannya sendiri dengan gigitan pada bibirnya. Wajahnya tidak pucat lagi, bahkan mulai menjadi kemerahan, sinar matanya menyapu semua orang yang hadir di situ, kemudian memandang Kiang Tojin dan sejenak sinar mata kedua orang itu bertemu.

Dalam detik pertemuan sinar mata itu, keduanya seperti orang bermufakat dan saling saling maklum bahwa masing-masing merasa suka dan mengandung hati kasih sayang terhadap Keng Hong! Akan tetapi hanya sedetik saja pertemuan getaran perasaan ini dan terdengarlah suara Biauw Eng nyaring dan tetap, sedikit pun tidak gemetar dan dia sudah bangkit berdiri.

"Yang bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Itu sudah sewajarnya maka saya minta kepada cu-wi sekalian untuk membebaskan Keng Hong! Dia tidak bersalah karena benar seperti yang dikatakannya tadi, semua pembunuhan itu akulah yang melakukannya! Dan aku siap menerima hukuman, akan tetapi Keng Hong harus dibebaskan sekarang juga!”

Keng Hong menatap gadis itu dengan sinar mata tajam. Begitu Biauw Eng mengucapkan pengakuannya, sungguh heran sekali, kebenciannya menghilang dan dia kini memandang penuh kekhawatiran! Gadis itu jelas telah mengucapkan keputusan kematian sendiri!

Kiang Tojin menghadapi para tokoh tiga buah partai persilatan besar itu, lantas berkata, "Nah, cu-wi telah mendengar sendiri pengakuan Song-bun Siu-li dan berarti bahwa Keng Hong tidak bersalah dalam urusan ini. Kalau dia membela diri pada waktu diserang dan dikeroyok sehingga jatuh korban di antara para pengeroyok, sangatlah tidak adil kalau dia dipersalahkan. Terserah cu-wi sekalian sekarang, apa yang akan cu-wi lakukan kepada yang bersalah."

"Perempuan iblis ini harus dibinasakan!" bentak Tiat-ciang Ouw Beng Kok, menghantam dengan tangan bajanya yang kiri ke arah kepala Biauw Eng.

Juga Coa Kiu sudah menggerakkan pedangnya menyusul, sehingga tampak sinar terang dan suara mencuit ketika sinar pedang ini menyambar dan saat berikutnya, Kok Sian Cu menggerakkan pula tongkat bambunya menusuk ke dada gadis itu. Tiga serangan maut dari tiga tokoh kang-ouw yang sakti ini datang secara beruntun dalam detik-detik yang hampir bersamaan.

Sedangkan Biauw Eng hanya menundukkan muka dan siap menerima datangnya maut. Ia sama sekali tidak menjadi gentar, matanya hanya ditujukan kepada Keng Hong dengan pandang mata sayu penuh kesedihan.

"Tidak! Jangan bunuh dia...!" Keng Hong berseru keras dan dia pun lalu menubruk maju menghadang di depan Biauw Eng sambil menggerakkan tangannya mendorong ke depan dengan maksud melindungi gadis ini.

Karena pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok datang lebih dahulu, maka pukulan tangan baju inilah yang bertemu dengan tangan Keng Hong sehingga terdengarlah suara keras dan tubuh Ouw Beng Kok terjengkang ke belakang, juga Keng Hong terbanting ke kiri!

"Tak boleh melakukan pembunuhan di sini!" terdengar suara halus dan sinar pedang Coa Kiu yang sudah meluncur dekat dan kini telah mengancam Keng Hong karena tubuh Keng Hong masih menutupi tubuh Biauw Eng, mendadak terpental ketika tertangkis tongkat di tangan Thian Seng Cinjin.

Tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu lihai sekali. Biar pun ada tubuh Keng Hong yang menghadang, akan tetapi tongkat itu bisa meliuk melalui punggung Keng Hong kemudian langsung menukik dan menusuk ke arah dada Biauw Eng.

"Trakkk!"

Tongkat bambu di tangan orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin itu menyeleweng dan menghantam lantai sehingga membuat lantai itu berlubang!

"Hi-hi-hi-hik, segala kecoa berani lancang tangan hendak membunuh puteriku?" Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni sudah berada di situ sehingga mengejutkan semua orang.

Pukulan jarak jauh yang sudah berhasil menangkis tongkat bambu di tangan Kok Sin Cu ini benar-benar mengejutkan dan mengagumkan. Lam-hai Sin-ni memandang puterinya dan berkata dengan suara gemetar,

"Eng-ji... ahh, Eng-ji.., mengapa engkau begini lemah? Mengapa engkau menyia-nyiakan nyawa untuk kau korbankan? Begitu murahkah nyawamu kau korbankan untuk seorang pria berhati palsu macam Keng Hong ini…?"

Biauw Eng terisak. "Ibu... aku cinta kepadanya, Ibu..."

Lam-hai Sin-ni membanting kakinya, "Bodoh! Lemah...! Ahhh, Sie Cun Hong, setelah kau menghancurkan hatiku, mengapa sekarang muridmu yang hendak merusak kebahagiaan puteriku dan puterimu?"

"Lam-hai Sin-ni, puterimu sudah berhutang nyawa kepada kami, harus ditebus dengan nyawanya pula!" Kok Kim Cu berseru marah melihat munculnya tokoh utama dari Bu-tek Su-kwi ini.

"Benar, dia harus dibinasakan!" bentak pula Coa Kiu dan Coa Bu.

"Biar pun Lam-hai Sin-ni sendiri, tidak boleh melindungi puterinya yang berhutang nyawa penasaran murid-murid kami!" bentak pula Tiat-ciang Ouw Beng Kok.

"Ehh, ehh begitukah? Anakku hanya membela pemuda tak tahu diri itu, akan tetapi andai kata benar dia yang membunuhi murid-murid kalian yang tak berharga, habis kalian mau apa?" Watak Lam-hai Sin-ni memang amat dingin dan keras, bahkan selalu memandang rendah lain orang, maka sekarang di hadapan tokoh-tokoh sakti itu dia sama sekali tidak memandang mata!

Tentu saja tokoh-tokoh itu menjadi marah sekali. Apa lagi Ngo-lojin dari Kong-thong-pai yang kini tinggal empat orang itu. Dahulu mereka berlima sangat terkenal sehingga para tokoh iblis seperti Thian-te Sam-lo-mo yang menjadi tiga orang datuk hitam dari dunia penjahat dan sangat terkenal sebelum akhirnya muncul Bu-Tek Su-kwi, juga tidak berani memandang rendah. Maka dengan seruan-seruan nyaring meraka itu menerjang maju, mempergunakan cengkeraman-cengkeraman Ang-liong Jiauw-kang mereka yang ampuh, bahkan Kok Sian Cu menyerang dengan tongkat bambunya.

Di saat itu pula, melihat kesempatan baik karena banyak kawan untuk menghadapi nenek iblis yang mereka tahu amat lihai ini, Coa Kiu dan Coa Bu kedua Hoa-san Siang-sin-kiam juga maju dengan pedang mereka, sedangkan Ouw Beng Kok dan Kim-to Lai Ban juga tak tinggal diam, akan tetapi mereka berdua bukan menyerang Lam Hai Sin-ni melainkan Biauw Eng!

Terjangan orang-orang sakti ini dilakukan serentak dan cepat sekali, membuat para tosu Kun-lun-pai tidak sempat melerai dan memandang bingung karena mereka sebagai tuan rumah tentu saja merasa tidak senang kalau tempat tinggal mereka dijadikan gelanggang pertempuran.

"Plak-plak-plak…!"

Yang datang lebih dahulu adalah pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang. Akan tetapi tiga pukulan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu ini ditangkis lengan Lam-hai Sin-ni dan tangan mereka itu melekat pada lengan nenek ini dan terus disedotlah hawa sinkang dari tangan mereka yang membanjir tanpa dapat dicegah memasuki lengan Lam-hai Sin-ni yang tertawa terkekeh.

Ketika mereka bertiga terkejut, tiba-tiba Lam-hai Sin-ni menggerakkan kedua lengannya sehingga tiga orang itu terangkat kemudian diputar-putar ke atas untuk dipakai menangkis serangan bambu Kok Sian Cu dan sepasang pedang Coa Kiu dan Coa Bu!

Tentu saja dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam itu kaget sekali dan cepat menarik kembali pedang mereka supaya tidak melukai para tokoh Kong-thong-pai itu, sedangkan Kok Sian Cu yang lebih cerdik dan lihai, menggerakkan tongkat bambunya menyusup ke samping dan mengirim totokan ke arah pusar Lam-hai Sin-ni secara hebat dan cepat sekali!

Lam-hai Sin-ni tertawa, mundur dua langkah dan melontarkan tubuh ketiga orang tokoh Kong-thong-pai itu ke arah Kok Sian Cu, Coa Kiu dan Coa Bu sehingga terpaksa tiga orang tokoh itu mengelak dan tubuh Kok Seng Cu dan para suheng-nya terbanting roboh dalam keadaan lemas karena sebagian dari sinkang mereka telah tersedot oleh Lam-hai Sin-ni dengan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng!

Sementara itu, Biauw Eng yang masih berdiri seperti orang kehilangan semangat, diam saja pada saat diserang oleh dua orang tokoh Tiat-ciang-pang. Melihat ini, kembali Keng Hong yang meloncat maju dan menyambut serangan itu.

Karena kedua orang tokoh Tiat-ciang-pang itu marah sekali, sekali ini serangan mereka pun amat hebat, bahkan Kim-to Lai Ban telah menggunakan goloknya. Keng Hong masih bingung tadi oleh pengakuan Biauw Eng yang tadinya menyangkal kemudian berbalik mengaku, menjadi makin bingung oleh ucapan Lam-hai Sin-ni.

Melihat gadis yang amat aneh, yang dapat mendatangkan rasa cinta dan benci bergantian di hatinya itu kini terancam bahaya, mati-matian dia menubruk maju, menggunakan kedua lengannya untuk menangkis pukulan tangan baja dan golok.

"Desssss..!" Tubuh Keng Hong terbanting lagi ke atas lantai.

Pada waktu dia dikeroyok dalam pertandingan di lereng Kun-lun-san, dia telah mengalami pukulan-pukulan yang mengakibatkan luka di dalam tubuh, kini dia menangkis pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok sampai dua kali. Dadanya terasa sakit-sakit dan dia muntahkan darah segar, ada pun lengannya yang menangkis golok Lai Ban terluka parah di pangkal sikunya, kulit dagingnya robek dan mengucurkan banyak darah.

Namun, dalam usahanya menyelamatkan Biauw Eng, Keng Hong tidak merasakan semua lukanya, bahkan begitu tubuhnya terbanting, dia langsung berguling ke lantai mendekati Biauw Eng, tiba-tiba menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya sekuat tenaga ke arah Lam-hai Sin-ni sambil berkata,

"Locianpwe, harap bawa pergi puterimu dari sini...!"

Lam-hai Sin-ni baru saja memukul mundur para pengeroyok dengan melontarkan tubuh tiga orang tokoh Kong-thong-pai. Sekarang melihat tubuh puterinya melayang ke arahnya, cepat dia menangkap lantas mengempitnya. Dia ingin sekali mengamuk dan membunuhi semua orang yang hendak mengganggu puterinya, akan tetapi pada saat itu terdengar suara halus.

"Apakah orang tak memandang mata lagi pada Kun-lun-pai sehingga tidak mempedulikan pinto semua dan mengacau sekehendak hatinya?" Yang berbicara ini adalah Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang tadi ketika menangkis sinar pedang Coa Kiu dilakukannya sambil duduk dan semenjak itu menonton dan mendengarkan semua yang terjadi dengan alis berkerut.

Mendengar suara ini, Lam-hai Sin-ni lalu tertawa dan berkata, "Maafkan kelancanganku, Cinjin!"

Tubuhnya segera berkelebat, membawa pergi puterinya dari tempat itu tanpa ada yang berani mengganggu, pertama karena memang jeri menghadapi nenek itu sendirian saja, kedua karena mereka pun terpengaruh suara Thian Seng Cinjin hingga merasa sungkan untuk memperlihatkan kekerasan di depan kakek ini yang selain menjadi tuan rumah, juga terkenal sebagai ketua Kun-lun-pai yang sangat lihai, belum lagi diingat akan banyaknya tosu-tosu lihai di Kun-lun-pai ini.

"Biarlah dia pergi, yang paling penting, bocah ini tak boleh terlepas begitu saja dari tangan kami!" kata Coa Kui. "Andai kata bukan dia yang membunuh, sudah jelas dia menghina murid wanita kami!"

"Juga dua orang murid wanita kami!" kata Kok Sian Cu.

"Benar, tak boleh bocah ini dilepas begitu saja!" Ouw Beng Kok turut pula bicara.

"Omitohud, Pinceng masih harus mendapat kitab-kitab Siauw-lim-pai dari bocah ini!" kata wakil ketua Siauw-lim-pai dan yang lain-lain juga ikut pula membuka suara.

Keng Hong merasa marah sekali. Tubuhnya sakit-sakit, dadanya terasa sesak, kepalanya pening oleh pukulan-pukulan yang diterimanya, ditambah pula kepergian Biauw Eng yang tiba-tiba seperti membawa sebagian semangatnya.

Pengakuan Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu sangat meragukan hatinya. Dia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk menerima hukuman di atas pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.

Siauw Biauw Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni telah meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di balik semua itu. Orang yang kelihatan jahat belum tentu selamanya akan melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang tampaknya baik-baik belum tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara keji laksana binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Tan piauwsu?

Padahal perbuatan itu sampai mati sekali pun tak akan sudi dia melakukannya. Dan para tokoh besar ini. Kurang tampak jelaskah betapa tamak mereka ini, mengejar-ngejar dan berlomba-lomba memperebutkan pusaka gurunya?

Tiba-tiba saja dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tak sudi lagi menuruti segala kata-kata kalian! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai? Salahkah apa bila aku menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong? Coba katakan, perbuatan apakah yang sudah kulakukan terhadap kalian semua? Akan tetapi kalian selalu mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam, ini hanya alasan sebab sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu! Takkan kuberikan kepada siapa pun juga! Semua akan kupelajari sendiri dan kelak akan kupergunakan untuk melawan kalian!"

Semua orang memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, dan terdengar Thian Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam...!"

Akan tetapi Ouw Beng Kok telah menerjang maju. Dia menghantam sambil membentak, "Bocah sombong!"

Berbareng dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghantam dari kiri dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong.

Pemuda ini yang sudah dua kali merasakan pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya lalu memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang mengandung sinkang warisan gurunya.

"Blekkkkkkk…!"

Tubuh Ouw Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan oleh karena lambungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin.

“Sute, jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang cemas.

Keng Hong bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Dia kemudian menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, dan tanpa disadarinya dia mencabut keluar selembar kain hijau milik puteri Tan-paiuwsu yang disimpan dalam saku bajunya. Melihat pita warna hijau ini dia teringat akan gadis itu dan menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin! Sute-mu ini selain curang juga keji sekali terhadap seorang nona baju hijau..."

"Engkau yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang maju lagi, akan tetapi Keng Hong melompat mundur, membalikkan tubuhnya dan segera berlari secepatnya menuju Kiam-kok-san.

"Kejar!"
Entah siapa yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sebuah pasukan tentara menerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan Kiang Tojin.

Di antara para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar bersama para tokoh lainnya, sedangkan tosu Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri ragu-ragu dan menanti perintah, memandang kepada Kiang Tojin.

"Bawa anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana, jaga agar jangan sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada muridnya yang tertua itu.

Kiang Tojin mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai segera melakukan pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali, kemudian bersila bersemedhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan dalam peristiwa itu.

Keng Hong mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat karena memang pemuda ini mempunyai ginkang yang tidak lumrah dimiliki seorang pemuda, dan pantasnya dimiliki oleh seorang yang sudah berlatih puluhan tahun.

Hal ini adalah berkat diterimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andai kata dia tidak memiliki sinkang yang luar biasa tentulah dia sudah roboh dan karenanya, ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit sekali.

Merasa betapa kepalanya pening sekali sedang napasnya sesak hampir sukar bernapas, terpaksa Keng Hong memperlambat larinya. Namun begitu dia mengurangi kecepatannya empat orang kakek Kong-thong-pai itu telah menyusulnya. Memang Kong-thong Ngo-lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu dapat berlari lebih cepat dari pada tokoh lainnya.

"Bocah setan, engkau hendak lari ke mana?!"

Di antara para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi adalah tokoh-tokoh Kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Ada pun para tokoh lainnya yang juga ikut mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti tokoh-tokoh tiga partai besar pertama, tak ingin membunuh Keng Hong, melainkan hanya ingin memaksanya agar menyerahkan pusaka gurunya.

Begitu Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang saja itu dapat menyusul, serentak mereka lalu mengirim pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang ampuh dari belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang sangat hebat ini dan dia memang sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah marah dan nekat sekali, juga sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerah sampai mati. Maka cepat dia membalik badan sambil merendahkan tubuh menekuk kedua lutut, sedangkan kedua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis.

Kekuatan sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka otomatis daya sedot sinkang-nya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang mengandung tenaga pukulan Ang-liong Jiauw-kang itu menempel di kedua lengan pemuda itu dengan kuatnya.

Tenaga Ang-liong Jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul akibat pengerahan sinkang dan memang amat hebat hingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar, kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan! Maka yang kini mengalir bagaikan banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua lengannya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sampai napasnya hampir berhenti. Keng Hong megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya.

"Celaka... Twa suheng... tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget.

Melihat betapa tiga orang sute-nya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan tangan mereka yang mencengkeram lengan pemuda itu, Kok Sian Cu pun maklum akan keadaan tiga orang sute-nya.

"Terkutuk! Ilmu iblis...!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua siku lengan Keng Hong.

Pemuda ini sedang dalam keadaan setengah kejang dan kaku, tak dapat bergerak karena derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, karena itu biar pun dia maklum akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak.

Betapa pun kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, andai kata Kok Sian Cu menyerang Keng Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh pemuda itu, sinkang-nya akan tersedot pula. Namun kakek ini sangat lihai dan maklum akan hal itu, maka dia lalu menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begitu mengenai sasaran, dengan gerakan ‘sendal pancing’ dia cepat menarik kembali tongkatnya.

Keng Hong merasa betapa kedua tangannya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi. Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main hingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan.

Seperti sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh dari pada kemampuannya yang biasanya. Sudah beberapa kali Keng Hong mengalami keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti ini. Tiap kali dia bingung bagaimana harus membuang tenaga berlebihan itu.

Akan tetapi sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka kelebihan tenaga itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya bagaikan terbang dan semakin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan dan tenaganya sendiri.

Empat orang kakek Kong-thong-pai melongo pada waktu menyaksikan betapa pemuda itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar dan sebentar saja telah sampai di sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan karena tiga orang di antara mereka sudah menjadi agak lemah akibat sebagian besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka melanjutkan pengejaran secara perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh lain.

Akan tetapi ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok-san, mereka melihat tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setengah dari batu pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas.

"Kejar...!" Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya.

Akan tetapi Kiang Tojin yang sudah tiba di situ bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat menghadang di depan batu pedang sambil berkata,

"Maaf, cu-wi sekalian! Kiam-kok-san merupakan sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai. Sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami dapat memperbolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing juga terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami."

"Ah, tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah Kok Sian Cu. "Harus pinto akui kebenaran ucapan Kiang-toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para pimpinan Kun-lun-pai, sekali-kali tak berani melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak melanggar. Kami hanya ingin mengejar lantas menangkap bocah yang naik ke Kiam-kok-san itu. Walau pun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada alasan yang kuat dan bukan semata-mata sengaja ingin melanggar, kami kira sudah sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu."

"Omitohud..., benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kedua kitab pusaka Siauw-lim berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang-toyu hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?"

Selagi Kiang Tojin bingung akibat merasa terdesak oleh omongan-omongan yang memiliki dasar kuat itu, tiba-tiba saja terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu di situ telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, tiga orang di antara empat orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir saja membunuh para tokoh itu bila tidak ditolong oleh Sin-jiu Kiam-ong!

Melihat munculnya ketiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi bicara, cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya.

"Omitohud...! Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Su-kwi jika sekali ini Sam-kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, termasuk kitab-kitab pusaka kami!”

"Kami pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Su-kwi, musuh-musuh kami dari aliran yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu.

"Ha-ha-ha-ha! Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Jika tidak ada alasan bermusuhan, kenapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu, mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" kata Pat-jiu Sian-ong yang suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa sedang memberi ceramah kebatinan!

"Kami adalah golongan bersih, lawan golongan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Su-kwi!" kata Coa Bu tokoh Hoa-san-pai.

Memang semua tokoh kang-ouw membenci Bu-tek Su-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi oleh empat orang datuk hitam itu.

"Hi-hi-hik, sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih?" Ang-bin Kwi-bo mengejek.

"Mengapa bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain penuh dosa sedang diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka, kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san Kwi-ong dan kakek tinggi besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua buah tengkorak pada ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan suara berkelotokan mengerikan.

Akan tetapi Pat-jiu Sin-ong mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan sambil tersenyum dan terdengarlah suaranya yang halus bagaikan orang peramah penuh kasih sayang antara manusia.

"Damai…, damai…! Tidak ada yang seindah perdamaian! Kami datang untuk membantu cu-wi sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan pihak Kun-lun-pai! Harap cu-wi jangan salah faham."

Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong memandang kepada kedua orang kawannya. Memang di antara mereka bertiga, Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai bicara dan pandai pula bersiasat. Dia tahu bahwa kedua orang kawannya itu, seperti juga dia sendiri, tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para tokoh kang-ouw itu.

Akan tetapi di situ terdapat para tosu Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di antaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian Seng Cinjin, terutama sekali Kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apa lagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak para tokoh kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai!

“Kiang Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus tetapi penuh nada menekan, Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin.

Tosu Kun-lun-pai ini maklum bahwa akibat munculnya Bu-tek Sam-kwi, keadaan menjadi gawat. Akan tetapi dia bersikap amat tenang ketika menjawab. "Pat-jiu Sian-ong, agaknya di jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin kami membolehkan orang lain mendakinya?"

"Ha-ha-ha-ha-ha, alasan yang sangat lemah, ya... lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat yang sangat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil Kong-thong-pai dan sahabat Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja ingin melanggar, Akan tetapi aku memiliki alasan yang lebih kuat sekali, Kiang Tojin. Bukankah tadi kau sendiri mengatakan bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai sendiri pun dilarang?"

"Benar sekali!" Kiang Tojin berkata tegas.

"Ha-ha-ha-ha! Jika demikian, mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja Cia Keng Hong mendaki Kiam-kok-san, tetapi mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin? Bukankah dengan demikian seakan-akan Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah ada udang bersembunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dalam peraturan ini?"

Mendengar ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab? Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san, dan karena tak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkan dia sudah melepas budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-lun-pai membiarkan saja orang tua itu tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san.

Kemudian Keng Hong tinggal pula di sana, akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dari perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak pihak Kun-lun-pai. Betapa pun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong memang benar terjadi!

Kiang Tojin sudah melihat betapa semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan memusuhi ketiga orang Butek Su-kwi, kini mengangguk-angguk mendengar ucapan Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang merasa ‘mendapat angin’, maka dia lalu melanjutkan desakan kepada Kiang Tojin.

"Kiang Tojin, selama ini Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Jika sekarang ini Kun-lun-pai berkukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah batu karang saja, tentu akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para cu-wi di sini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat sekali. Bahkan sangat berbahaya bagi Kun-lun-pai."

Kakek bertubuh kecil kate akan tetapi mempunyai kepala sebesar gentong beras dengan muka ciut itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan membelai lehernya dengan hudtim (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu Bu-tek Sam-kwi akan berpihak kepada para tokoh kang-ouw!

"Sedangkan bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah ejekan di seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa kalau semua orang telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san, dan menguasai seluruh pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong! Bukankah Kun-lun-pai lalu dianggap sebagai perkumpulan berengsek yang menggunakan akal bulus dan menganggap semua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?"

"Pat-jiu Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua tangan di kepal.

Dia maklum betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk mempertahankan Kun-lun-pai, dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa dengan enam orang sute-nya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Su kwi yang hanya datang bertiga itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh Kong-thong-pai berkata, "Siancai...! Sekali ini, omongan Pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui kebenarannya!"

Pada saat Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah Kiang Tojin bahwa keadaan benar-benar semakin gawat dan kalau dia tetap bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin merasa bimbang tiba-tiba saja terdengar suara gurunya berkata lembut,

"Pat-jiu Sian-ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam-kwi, Jelaskanlah, apa kehendakmu selanjutnya? Pinto mendengarkan." Tahu-tahu di situ telah muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan tongkat di tangannya.

"Bagus sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam-ong dan mereka yang dahulunya telah diganggu Sin-jiu Kiam-ong, maka sebaiknya kalau kita bersama ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita akan bekerja sama dalam suasana persahabatan, tanpa ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya dahulu dicuri oleh Sin-jiu kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, ada pun pusaka-pusaka lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita. Ada pun bocah itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam padanya. Bagaimana, bukankah keputusan ini sudah adil sekali?"

Semua tokoh kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan ‘adil’ dari beberapa orang murid Kun-lun-pai.

Thian Ti Hwesio cepat-cepat berkata, "Omitohud, kami dari Siauw-lim-pai sama sekali tak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau dapat menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami."

"Kami juga hanya menghendaki kembalinya pedang pusaka beserta ramuan obat milik Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang telah dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.

"Kami pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai.

"Sin-jiu Kiam-ong berdosa kepadaku. Bila kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap.

Semua orang lalu menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang sejak tadi tersenyum tenang sambil mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata.

"Dan bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apa? Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"

"Ha-ha, Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak apakah gunanya bagi kami? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan perdamaian dan permufakatan di sini, ha-ha-ha!"

Kiang Tojin menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong, akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari bahaya maut kecuali kalau dia pandai terbang di udara, maka dengan menekan keharuan hatinya dia hanya berkata,

"Keputusan terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih mau ingat bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan terjadi di sini!"

"Suheng kenapa khawatir? Para Locianpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah setan itu, tak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin dengan hati girang.

Tosu ini tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan pita hijau dan mendengar omongan pemuda itu. Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya, yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan kesempatan itu untuk memukul suheng-nya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti itu...
Selanjutnya,