Pedang Kayu Harum Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 07
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KENG HONG terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas. Gerakan ini bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi sehingga dia dapat menghindarkan dua kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah menerjangnya dengan pukulan Ban-tok Sin-ciang!

"Rebahlah!" teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa lari karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu datang membantu, dan lebih khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat harum dan amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan menangkis dengan tangan digerakkan dari samping.

"Desssss!"

Sekali ini tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang merasa betapa kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya hingga rambutnya yang riap-riapan itu terpecah menjadi tujuh buah pecut yang menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh Keng Hong!

Pemuda itu terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan sekaligus itu. Dia cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut itu mengenai sasaran lantas membalik ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu merasa tubuhnya bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan karena seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah menubruknya.

Keng Hong mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh oleh totokan-totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya pening. Dalam pandang matanya yang berkunang dia melihat wajah nenek yang tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.

"Keng Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.

Gadis ini sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya masih lemah. Ada pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah membayangkan sikapnya yang dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak dapat ia sangkal bahwa ia mencinta pemuda itu!

Mendengar teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat mempergunakan pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan serangan dan kembali dia sudah mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin Kwi-bo sengaja memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua tangannya sendiri.

"Plakkk...!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.

Hebat bukan main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh Keng Hong terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng Hong makin turun dan akhirnya kedua kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.

"Ha, kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran, juga seruan girang sekali.

Wanita sakti yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa sinkang-nya mulai tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu melakukan totokan ke arah kedua pergelangan tangan Keng Hong.

Pemuda itu merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya sedotnya berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua tangannya hingga terlepas. Kemudian sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu terkena totokan pada kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.

Dalam diri pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah dengan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan! Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu saja, dilatihnya sempurna, maka dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!

"Ang-bin Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.

Gadis ini sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari atas dan bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah serangan yang amat berbahaya, serangan maut!

Ang-bin Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya mengempit dan melingkar di pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek itu melanjutkan tangan kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.

Gadis ini yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia mengelak ke samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-ong telah berada di tangannya, karena itu dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek berpakaian putih yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini usianya sebaya dengan Ang-bin Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah menyeramkan dan buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang cantik sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang ramping, dan gerak-geriknya halus.

"Kwi-bo, sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur dengan suara halus akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi, "Kau ingin merasakan Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan tetapi tangan nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan nenek ini sudah mengancam muka Ang-bin Kwi-bo!

Ang-bin Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-tok Sin-ciang.

"Plakkk!"

Dua tangan bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya sudah tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang keluar dari tubuh Keng Hong tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.

Ang-bin Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih mudah baginya untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga hanya dengan sebelah tangan saja akan sukarlah baginya menyelamatkan diri.

Cepat Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya, kemudian dia memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya mencengkeram ke arah dada lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-ular hitam yang banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.

Nenek tinggi kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini, menggunakan tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi tubuh. Putaran tangannya ini mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo dapat digagalkan semua karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan si nenek sakti.

Akan tetapi, karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat ganas itu, tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo berhasil membebaskan diri lalu meloncat mundur dengan muka beringas.

Sementara itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah cepat-cepat menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui Im yang memikat, sebab pada saat itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.

"Lam-hai Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah menjadi mayat kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang engkau datang-datang langsung menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.

"Dia bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu, teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama subo!"

Nenek tinggi kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan bejuluk Lam-hai Sin-ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,

"Ang-bin Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat dan aku di selatan, masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun. Sungguh pun kini timbul urusan memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan mengandalkan kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau hendak memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"

Melihat sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal siapa adanya datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan untuk menang.

Apa lagi dia melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan Song-bun Siu-li Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih berat menghadapinya. Belum lagi pemuda aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.

Ang-bin Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang pengalamannya. melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa mengejek.

"Hi-hi-hik-hik, Lam-hai Sin-ni. Siapa sih takut menghadapimu? Kepandaian kita satu kati delapan tail (seimbang), dan terbukti tadi aku mampu melawan Thi-khi I-beng yang kau miliki. Kau tunggu saja, akan tiba saatnya aku datang dan menantangmu dalam sebuah pertandingan yang menentukan. Sampai jumpa!" Sesudah berkata begitu, tubuh Ang-bin Kwi-bo berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Dengan ucapan ini, biar pun dia melarikan diri, namun tidak karena kalah bertanding atau memperlihatkan rasa jerinya.

Lam-hai-Sin-ni bersikap dingin sekali dan kini mengertilah Keng Hong mengapa Biauw Eng yang cantik manis itu mempunyai sikap dingin seperti es. Kiranya ibunya pun seperti manusia es, sehingga nona itu mewarisi sikap ibunya.

Pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, sikapnya dingin, wajahnya tidak pernah menyinarkan perasaan hati. Benar-benar ibu dan anak ini mengerikan, lebih mengerikan dari pada wajah Ang-bin Kwi-bo yang buruk dan wataknya yang kasar.

Kini Lam-hai Sin-ni membalikkan tubuhnya perlahan menghadapi Keng Hong. Kalau tadi ketika menghadapi pandang mata penuh kekejaman dari Ang-bin Kwi-bo pemuda ini tidak merasa gentar, kini berhadapan dengan pandang mata itu, dia merasa bulu tengkuknya meremang. Pandang mata nenek ini seolah-olah terasa olehnya merayap laksana seekor laba-laba di seluruh badan, dingin dan meggelikan.

"Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong?" Suara Lam-hai Sin-ni halus, tetapi mengandung tenaga yang mendorong dan memaksa orang harus menjawab sejujurnya karena pandang mata yang dingin itu penuh ancaman.

"Benar, Locianpwe," Keng Hong menjawab singkat sambil menentang padang mata yang dingin itu.

Dengan sikap yang tetap dingin, gerakan tangan lemah lembut, dan suara halus, nenek itu menggerakkan tangan kanannya seperti orang minta sesuatu, "Berikan kepadaku pedang Siang-bhok-kiam."

Keng Hong mengerutkan alisnya. Semua orang minta pedang itu dengan cara dan sikap mereka masing-masing, ada yang kasar, ada yang buas, dan ada pula yang halus seperti sikap nenek ini, akan tetapi baru sekarang ini Keng Hong merasa seram. Sikap nenek ini benar-benar mendatangkan rasa dingin di tengkuknya.

"Siang-bhok-kiam tidak ada pada saya, Locianpwe."

"Hemmm, di mana...?"

"Pedang itu dirampas oleh para tosu Kun-lun-pai."

"Bohong!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangan kanan yang terulur tadi, telunjuknya menuding ke arah Keng Hong dan terdengarlah bunyi bercuitan ketika serangkum tenaga yang luar biasa menuju ke arah dada Keng Hong bagai sebatang pedang yang menusuk.

Keng Hong terkejut sekali, cepat mengibas dengan tangannya sambil membanting tubuh ke kanan terus bergulingan. Tangannya tadi dapat menangkis hawa pukulan yang amat kuat seperti pedang akan tetapi tubuhnya terguling-guling dan akhirnya ia dapat meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi lehernya.

Bukan main, pikirnya. Selama hidupnya baru dua kali ini dia menyaksikan ilmu sehebat itu. Pertama kali dia melihat betapa di Kun-lun-san, Kiang Tojin pernah melakukan totokan terhadap Cui Im dari jarak jauh, hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh nenek ini terhadap dirinya.

Dia menjadi penasaran sekali karena dapat menduga bahwa serangan itu sesungguhnya adalah sebuah pukulan maut. Kiranya nenek yang halus bicaranya, gerak-geriknya halus pula, yang berwajah dingin ini, tanpa sebab hendak membunuhnya begitu saja, dengan darah dingin pula! Agaknya dalam hal kekejaman Lam-hai Sin-ni tak mau kalah oleh para datuk hitam yang lain!

"Hemm, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong engkau boleh juga, dapat mengelak dari sebuah seranganku. Akan tetapi engkau membohong, dan ini tidak patut karena selama hidupnya gurumu itu tidak pernah membohong! Hayo lekas serahkan pedang itu atau jangan harap kau akan dapat mengelak terus!"

Hemm, pikir Keng Hong. Mungkin dahulu suhu tak pernah membohong, dan hal itu tentu saja dapat dilakukan karena suhu-nya sudah memiliki kepandaian sangat tinggi. Namun bagi dia sendiri, bila tidak mau membohong, bagaimana akan dapat menyelamatkan diri? Membohong tidak apa asal jangan menipu, membohong asal tidak merugikan lain orang, kadang-kadang malah amat perlu!

"Saya tidak membawa pedang itu, Locianpwe, pedang itu sudah diambil oleh Kiang Tojin dari Kun-lun-pai!"

"Wuuutttt... Wuuuttt...!" Kedua tangan nenek itu melakukan gerakan mendorong dua kali ke arah Keng Hong.

Pemuda itu cepat mengelak dan mengibaskan tangan. Kembali hawa sinkang di tubuhnya berhasil menangkis angin pukulan nenek itu yang amat hebat, akan tetapi tetap saja dia terjengkang kemudian terguling-guling saking hebatnya tenaga dorongan angin pukulan Lam-hai Sin-ni.

"Kau... kau berani melawan...?" Nenek itu menjadi sangat marah dan baru sekarang dia melangkah maju, hendak menyerang dari jarak dekat karena dua kali serangannya dari jauh gagal.

"Ibu! Dia tidak bohong, memang Siang-bhok-kiam sudah diambil para tosu Kun-lun-pai!" tiba-tiba Biauw Eng berkata.

"Ahh, kau bocah bodoh mana tahu? Bocah ini adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, di samping ugal-ugalan juga tentu amat menyayangi pedang itu. Mana mungkin dia berikan kepada orang lain? Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sesudah menjadi tua bangka, masih juga tidak rela memberikan pedang itu kepada orang lain. Jangan ikut-ikut, bocah ini harus memberikan Siang-bhok-kiam kepadaku atau dia mati di tanganku sekarang juga. Heh, bocah keras kepala, masih belum mengaku di mana adanya Siang-bhok-kiam? Lekas katakan supaya aku dapat mengambilnya."

Keng Hong merasa perutnya panas. Nenek berwajah dingin ini betul-betul menjengkelkan sekali. Di waktu mudanya tentu merupakan seorang wanita cantik yang amat manja dan hendak membawa kehendak sendiri saja, mau menang sendiri. Ia memandang terbelalak penuh kemarahan dan berkata,

"Sudah saya katakan, pedang itu berada di Kun-lun-pai, kalau Locianpwe menghendaki ambillah dari tangan mereka. Akan tetapi hati-hati, di sana banyak terdapat orang lihai..."

Keng Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nenek itu secara tiba-tiba sekali telah melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berada dekat sekali dengannya. Tangan kanan nenek ini lalu menampar ke arah kepalanya!

Keng Hong maklum betapa lihainya nenek ini. Mengelak takkan keburu, maka dia berlaku nekat, mengangkat pula tangan kanannya dan menerima tamparan tangan terbuka itu dengan telapak tangannya sendiri.

"Plakkk!"

Dua buah tangan itu bertemu di udara dan terus melekat karena dalam kemarahannya, Keng Hong yang menggerakkan tenaga sinkang itu tanpa disengaja sudah mengeluarkan daya sedotnya yang amat kuat.

Pada saat nenek itu merasa betapa tamparannya tertangkis bahkan tenaga sinkang-nya mulai tersedot, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya lalu menggunakan ilmunya Thi-khi I-beng untuk balas menyedot. Dua tenaga sinkang yang amat hebat saling sedot.

Tenaga sedot sinkang milik Lam-hai Sin-ni adalah berkat latihan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan, bahkan nenek yang sudah berlatih puluhan tahun sekali pun ini hanya dapat mencapai sebagian kecil saja. Ada pun tenaga sedot dari tangan Keng Hong timbul tanpa dia sengaja, tanpa dilatih dan tercipta sebagai akibat dia kebanjiran sinkang yang dioperkan oleh gurunya sehingga merusak susunan di dalam tubuhnya yang mengakibatkan tenaga sedot mukjijat itu.

Dan dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan penasaran hati Lam-hai Sin-ni ketika dia merasa betapa perlahan-lahan akan tetapi pasti tenaga sedotnya terbetot dan kalah kuat sehingga mulailah sinkang-nya membocor lagi memasuki tubuh pemuda itu lewat telapak tangan mereka!

"Aihhhh...!" Lam-hai Sin-ni berseru keras, tangan kirinya bergerak dan dengan kuku jari tangannya, dia menyentil ke arah pundak kanan Keng Hong.

Seketika tubuh Keng Hong menjadi lemas dan untung pemuda ini masih teringat untuk cepat menarik tangannya sambil meloncat mundur, kalau tidak, tentu ia akan dipukul lagi dengan pukulan maut.

Nenek itu cerdik luar biasa. Kalau tadi ia memukul begitu saja ke tubuh Keng Hong, maka pukulannya tentu akan amblas pula ke dalam lautan sinkang yang memiliki daya sedot luar biasa itu. Maka dia menyentil dengan kuku jari, menotok jalan darah sehingga daya sedot itu tidak dapat menarik sinkang-nya karena terhalang oleh kuku jari.

Kini dengan marah Lam-hai Sin-ni sudah melangkah maju, kedua tangannya siap hendak memberi pukulan maut. Tiba-tiba Cui Im meloncat dan sambil menjatuhkan diri berlutut ia berkata,

"Subo... subo... harap dengar keterangan teecu dahulu... teecu berani bersumpah bahwa pedang Siang-bhok-kiam memang dirampas oleh tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai seperti diceritakan bocah ini. Teecu sendiri yang melihatnya dengan mata teecu."

Nenek itu mengerutkan kening. "Ceritakan!" katanya kepada muridnya itu.

Dengan jelas Cui Im lalu bercerita, menceritakan betapa ia menyusup ke Kun-lun-pai dan sempat tertawan, kemudian betapa dia melihat sendiri Keng Hong menyerahkan pedang kayu Siang-bhok-kiam kepada Kiang Tojin.

Setelah mendengar cerita ini, nenek itu kembali menghadapi Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk. Sejenak dia memandang tajam, kemudian berkata,

"Bocah tak setia! Baru saja turun dari Kiam-kok-san, sudah memberikan pedang kepada tosu Kun-lun-pai! Murid macam apa ini?! Tanpa Siang-bhok-kiam, kau tidak ada gunanya dan lebih baik mati!" Setelah berkata demikian, kembali nenek itu menerjang maju hendak menyerang Keng Hong!

"Ibu, tahan...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Biauw Eng telah berdiri menghadap di depan ibunya, membelakangi Keng Hong yang sudah siap-siap membela diri sekuatnya.

"Eng-ji, mau apa engkau? Minggir!"

"Tidak, Ibu. Kau tidak boleh membunuh Cia Keng Hong."

"Apa? Dia tiada gunanya, tidak membawa Siang-bhok-kiam, harus kubunuh!"

"Jangan, Ibu. Dia sudah menolongku dari kekejian Ang-bin Kwi-bo. Karena itu Ibu tidak boleh membunuhnya."

Sejenak ibu dan anak berdiri tegak berhadapan, saling bertentang pandang. Keng Hong yang melihat ini merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah serupa benar orang ini. Hanya yang seorang nenek-nenek, yang ke dua gadis remaja. Akan tetapi kedua-duanya sama-sama berwajah dingin dan memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati seperti baja!

"Pernah menolongmu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah aku membunuhnya! Dia harus kubunuh karena dia, manusia tolol dan murid tidak setia ini, dia agaknya sudah menerima pelajaran Thi-khi I-beng dari Sin-jiu Kiam-ong setan tidak setia itu! Karena itu dia harus kubunuh. Minggirlah!"

Akan tetapi sejengkal pun Biauw Eng tidak mau minggir, bahkan dia menegakkan kepala, membusungkan dada dan memandang ibunya dengan sikap menantang.

"Tidak!" katanya dan untuk pertama kali terdengar suaranya dipengaruhi nafsu. "Ibu tidak boleh membunuhnya!"

Lam-hai Sin-ni tertegun. Sejak kecil puterinya ini tidak pernah berani membantahnya. Dia yang menjadi semacam ‘ratu’ di daerah pantai laut selatan, yang ditakuti semua orang, kini terheran-heran menyaksikan puterinya sendiri hendak membantah dan melawannya!

"Apa kau bilang? Mengapa tidak boleh?"

"Karena aku cinta kepada Cia Keng Hong!"

Sunyi sekali sesudah ucapan yang nyaring itu diucapkan oleh Biauw Eng. Tiga pasang mata terbelalak, yaitu mata Keng Hong, Cui Im serta Lam-hai Sin-ni sendiri.

Keng Hong terbelalak dan jantungnya berdebar keras sampai tubuhnya menjadi gemetar. Biauw Eng cinta kepadanya? Sungguh hal yang sama sekali tidak pernah dia duga! Kalau Cui Im yang mencintainya, hal itu tidak aneh, dia mengenal watak mata keranjang murid Lam-hai Sin-ni itu. Akan tetapi Biauw Eng? Sikapnya terhadapnya begitu dingin, begitu galak!

Juga Cui Im terbelalak. Mendengar sumoi-nya secara terang-terangan mengaku cinta kepada seorang pemuda, benar-benar membuat dia seperti mimpi di siang hari! Padahal biasanya, sumoi-nya itu memandang rendah semua pria, bahkan menjadi marah-marah dan memaki-makinya kalau dia bicara tentang pria. Sumoi-nya seorang yang ‘alim’ dan agaknya mempunyai pantangan untuk segala macam bentuk cinta terhadap pria!

"Kau... kau gila...? Kau... kau mencita murid Sin-jiu Kiam-ong...?" Lam-hai Sin-ni berbisik, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri.

"Kau... heh-heh-heh... kau mencinta dia...?"

Baru sekali ini Cui Im mendengar gurunya tertawa dan dia merinding penuh keseraman. Suara ketawa itu lebih pantas disebut isak tangis.

"Kau mencinta muridnya? Dia... dia tentu mata keranjang, tidak setia seperti... seperti..."

"Seperti ayah, Ibu? Biarlah! Ibu membenci ayah, akan tetapi aku tidak membenci Sin-jiu Kiam-ong. Dan biar pun ibu berpura-pura membenci ayah, aku tahu bahwa ibu amat cinta kepadanya, buktinya ibu memberi she Sie kepadaku, she dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, ayahku. Aku cinta kepada Cia Keng Hong dan ibu tidak boleh membunuhnya!"

Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni mengeluarkan pekik mengerikan, kemudian wajahnya yang biasa dingin itu kini berubah beringas. "Kau sudah gila! Minggir! Pengakuanmu ini bahkan mendorongku untuk membunuh si keparat! Minggir!"

"Tidak, ibu!" Biauw Eng melolos sabuk suteranya dan berkata kepada Keng Hong dengan suara halus, "Keng Hong, kau pergilah. Kau pergilah setelah kau dengar pengakuanku. Pergilah...!"

Wajah Keng Hong menjadi pucat pasi. Jadi Biauw Eng ini adalah puteri gurunya! Kalau begitu... antara gurunya dan Lam-hai Sin-ni pernah menjadi hubungan suami isteri! Dan puteri gurunya ini mencintainya! Dia tidak tahan lagi, merasa kasihan mendengar suara menggetar dari Biauw Eng ketika menyuruh dia pergi. Sambil menghela napas, dia lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.

"Minggir...!" Lam-hai Sin-ni berteriak sambil menerjang ke depan, hendak mengejar Keng Hong.

Akan tetapi Biauw Eng juga menerjang maju menyambut ibunya dengan serangan sabuk sutera sambil berkata, "Ibu hanya dapat mengejarnya melalui mayatku!"

Nenek itu mendorong anaknya supaya jangan menghalanginya, akan tetapi sabuk sutera putih Biauw Eng bergerak cepat mengirim totokan ke arah kedua lutut ibunya dengan kuat sekali. Lam-hai-Sin-ni menjadi makin marah sebab totokan yang dilakukan puterinya itu kalau mengenai lututnya tentu akan membuat kedua kakinya tak dapat lari lagi.

Maka sambil mendengus ia menyambar ujung sabuk sutera itu dengan kedua tangannya, merenggutnya terlepas dari tangan Biauw Eng dan melemparkannya ke atas tanah. Hal ini terjadi tanpa mampu dicegah oleh Biauw Eng. Sementara itu bayangan Keng Hong sudah pergi jauh sekali dan Lam-hai Sin-ni cepat lari mengejar.

Akan tetapi, kembali Biauw Eng menyerangnya. Kini dengan pukulan tangan yang amat dahsyat. Lam-hai Sin-ni terkejut, terheran-heran dan hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Puterinya sendiri menyerangnya seperti ini? Dengan pukulan maut?

Teringatlah nenek ini akan keadaan dirinya sendiri dahulu lantas terdengar suara terisak dari dalam dadanya. Pukulan puterinya itu dia tangkis dengan keras sehingga Biauw Eng terpekik dan terbanting ke kiri sampai bergulingan.

Gadis ini cepat menoleh ke arah larinya Keng Hong dan hatinya agak lega melihat bahwa pemuda itu tentu sudah lari jauh sekali karena tak tampak lagi bayangannya. Ketika dia menengok ke arah ibunya, dia terkejut dan terheran, kemudian dia bangkit berdiri dan lari menubruk ibunya yang ternyata sudah duduk bersila sambil meramkan mata, mukanya pucat seperti mayat dan tubuhnya kaku! Ia maklum bahwa ibunya sedang berduka sekali dan bahwa di dalam dada ibunya sedang terjadi ‘perang’ antara membunuh Keng Hong atau memenuhi permintaan puterinya. Biauw Eng yang berlutut di depan ibunya segera menyentuh kaki ibunya dan menangis.

Cui Im terbelalak untuk kedua kalinya. Selama menjadi murid Lam-hai Sin-ni baru sekali ini dia melihat keanehan yang terjadi pada diri sumoi-nya yang biasanya amat ia kagumi karena sumoi-nya itu biar pun lebih muda dari padanya, namun amat lihai dan memiliki sifat-sifat yang persis Lam-hai Sin-ni.

Akan tetapi hari ini, gara-gara Keng Hong, ia melihat sumoi-nya menyatakan cinta kepada Keng Hong, dan kini, hal yang luar biasa ia lihat ketika sumoi-nya itu menangis! Timbul perasaan panas di hatinya.

Dia sendiri tergila-gila kepada Keng Hong, tergila-gila akan ketampanannya dan terutama sekali akan ilmu kepandaiannya dan pusaka-pusaka yang mungkin sekali akan bisa dia dapatkan melalui pemuda itu. Sekarang mendengar pengakuan sumoi-nya, diam-diam ia menjadi iri hati, cemburu dan marah.

Ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu betapa Ang-kiam Tok-sian-li memandang ke arah Biauw Eng dengan sinar mata aneh, seolah-olah mengeluarkan api yang akan membakar seluruh tubuh gadis baju putih itu. Tidak tahu pula betapa diam-diam Bhe Cui Im pergi meninggalkan tempat itu dengan sikap aneh dan berkali-kali melirik ke arah Biauw Eng dengan sinar mata penuh kebencian!

Sesaat kemudian, Lam-hai Sin-ni membuka matanya dan melihat puterinya menangis di depanya, ia menghela napas panjang dan berkata halus sambil mengelus rambut kepala puterinya.

"Eng-ji, hukum karma selalu mengikuti kita..."

Biauw Eng memeluk ibunya dan tangisnya semakin memilukan. Sesungguhnya, gadis ini tidak mewarisi watak ibunya, tidak sedingin yang dia perlihatkan. Gadis ini perasa sekali, penuh semangat dan menatap dunia dengan sepasang mata yang penuh kegembiraan, bisa dengan mudah menangkap semua keindahan pada tiap benda yang dipandangnya, yang didengarnya, yang diciumnya.

Akan tetapi, oleh karena semenjak ia kecil ia sudah digembleng oleh Lam-hai Sin-ni untuk mengekang perasaan, untuk meniru sifatnya yang dingin bagai es, maka Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini menjadi seorang gadis yang aneh dan dingin. Dingin paksaan, pada lahirnya saja, seperti sebuah gunung berapi yang diliputi salju.

Inilah sebabnya mengapa sekali jatuh cinta, ia menjadi nekat dan berani mengaku secara terus terang dan bahkan berani membela kekasihnya dengan melawan ibunya! Biar pun diselimuti salju, kalau gunung es itu meletus, tak akan ada yang dapat menahannya!

"Ibu..., kau ampunkan anakmu yang put-hauw (tak berbakti) ini..."
Lam-hai Sin-ni kembali menghela napas. "Menanam bibit apel, maka memetik buah apel, menanam pohon korma, maka memetik buah korma. Aku dulu menentang ayahku karena cinta, kini engkau menentang aku karena cinta. Semua ini sudah adil...!"

Biauw Eng mengangkat mukanya memandang muka ibunya dan baru sekali ini ia melihat betapa wajah ibunya membayangkan sesuatu, membayangkan kedukaan hebat! Dan baru sekarang pula ia mendengar ibunya menyebut-nyebut keluarganya. Biasanya ibunya tak pernah bercerita, hanya menyatakan bahwa ayahnya adalah Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang akhir-akhir ini menjadi terkenal sekali.

Bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam ayahnya itu lalu menjadi rebutan semua orang gagah di dunia kang-ouw karena Pedang Kayu Harum itu menjadi kunci rahasia tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dikumpulkan oleh ayahnya itu baik dengan jalan mencuri, merampas, atau diberi orang. Ketika dia pernah bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah, ibunya hanya menjawab dingin,

"Dia seorang laki-laki yang tidak setia! Semua laki-laki di dunia ini tidak ada yang setia! Karena itu, jangan kau mudah menjatuhkan cinta kasihmu kepada laki-laki, Eng-ji! Sekali cinta kasihmu jatuh, engkau akan menderita!"

Sekarang ibunya menyebut-nyebut mengenai ayah dari ibunya atau kakeknya, karena itu dengan perasaan ingin tahu sekali dia bertanya,

"Ibu menentang kongkong...?"

"Tidak hanya menentang, bahkan aku... membunuhnya..."

"Ibu...!!"

"Ya! Memang aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"

"Ibu...!" Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.

"Cinta memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita ini, menjadi gila, Eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku. Aku tahu betapa cinta membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencinta Sie Cun Hong. padahal aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang sangat berkuasa dan berpengaruh di selatan, seakan-akan menjadi seorang raja muda, dan... dan Sie Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan, bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan pada waktu ayahku melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri...!"

"Ahhh, Ibu..." Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya.

Dalam keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan biasanya. Andai kata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis itu tentu akan lebih bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!

"Kemudian, Sie Cun Hong lelaki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, akan tetapi tetap saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya jatuh ke tanganmu, karena engkau adalah keturunannya, engkau puterinya. Itulah sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi mendongkol dan marah, apa lagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya sudah menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadanya, padahal dahulu aku hanya menerima petunjuk sedikit saja... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi kau... kau sudah… jatuh cinta kepadanya!"

Biauw Eng menarik napas panjang. Sungguh hebat riwayat ibunya itu. "Ibu, aku sendiri hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam hatiku ketika dia menyelamatkan aku dari pada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak detik itu aku... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya... ahh, benarkah ini cinta, Ibu?"

"Hukum karma... hukum karma...! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena pertama-tama dia menolongku dari perkosaan Go-bi Jit-kwi (Tujuh Orang Setan Go-bi)."

"Ibu, kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas membayangkan cinta kasih besar ketika dia mengingat pemuda itu. "Ibu, sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada di dekatnya..."

"Pergilah, akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, tetapi dapatkan pula peninggalan pusaka ayahmu."

Sepasang mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata,

"Ibu, terima kasih. Aku pergi sekarang...!"

Lam-hai Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata, "Hanya satu hal yang kuminta agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."

"Apakah itu, Ibu?"

"Berjanjilah, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu dahulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirimu kepada bocah itu di luar pernikahan! Kalian harus menjadi suami isteri yang syah! Nah, apa bila begitu, barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan mengutukmu, Biauw Eng!"

Gadis itu memeluk ibunya dan berbisik, "Aku bersumpah, Ibu."

Kemudian dia melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi sesudah menyambar sabuk sutera putih yang tadi dirampas dan dilemparkan oleh ibunya.

Lam-hai Sin-ni, tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, ‘ratu’ tak bermahkota dari daerah pantai laut selatan, masih duduk bersila. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya tetap dingin, akan tetapi dari kedua matanya keluar dua butir air mata yang perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih…..

********************

Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok-kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru lewat beberapa hari sejak Keng Hong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu, Kun-lun-pai telah diserbu oleh orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau partai mereka.

Golongan bersih yang merasa pernah ‘menghutangkan sesuatu’ kepada Sin-jiu Kiam-ong dan karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalan pendekar itu, mendatangi Kun-lun-pai secara berterang melalui pintu depan, kemudian terang-terangan menyatakan ‘minta bagian’ karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada pihak Kun-lun-pai, mereka ini menganggap bahwa Kun-lun-pai sudah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong.

Akan tetapi golongan sesat memiliki cara yang lain lagi. Mereka datang dengan berbagai macam cara, ada yang sembunyi-sembunyi bagai pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.

Tetapi, partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang mempunyai banyak tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid Kun-lun-pai rata-rata juga memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.

Karena munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali dan akhirnya mereka sadar bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai wakil suhu-nya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sungguh pun merupakan keputusan yang sangat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya.

Dengan mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu lalu menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw tertuju kepada Kun-lun-pai. Jika dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!

Sungguh pun sejauh ini pihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam, akan tetapi dalam pertandingan-pertandingan yang terjadi selama pedang itu berada di sana, di pihak mereka sudah jatuh korban sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini masih ditambah pula dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para tosu itu tidak dapat lagi tidur nyenyak.

Mulailah timbul perasaan tidak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin dulu yang mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid Thian Seng Cinjin yang lainnya mulai mengomel dan menyatakan ketidak senangan mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!

Murid-murid Thian Seng Cinjin jumlahnya ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala, bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng Cinjin meninggal dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga sudah banyak yang diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu.

Karena Kiang Tojin adalah orang yang luas pandangannya, berpengalaman dan memiliki watak teguh dan adil, selain kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya, maka segala urusan berjalan lancar apa bila dia yang mengatur penyelesaiannya. Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sute-nya diam-diam merasa iri hati.

Pagi hari itu, di dalam ruangan yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di bagian belakang asrama Kun-lun-pai, Thian Seng Cinjin duduk di atas lantai yang ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka.

Suasana di ruangan itu memang sangat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat tampak tamasya pegunungan yang sangat indah. Memang tepat sekali nama ruangan ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di hati, cocok untuk bersemedhi atau untuk bertukar pikiran.

Untuk kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang Siang-bhok-kiam yang ia letakkan di depannya di atas lantai. Kemudian, sesudah sejenak delapan orang tosu ini bersama-sama mengheningkan cipta membersihkan pikiran, kakek itu menggerakkan tangan mengelus jenggot panjangnya dan berkata dengan suara halus,

"Sekarang kita semua sudah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan yang biasanya aman tenteram dan tenang. Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kalau kita mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan hati. Yang membuat pinto prihatin dan sekarang mengumpulkan kalian untuk berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidak tenangan yang timbul di antara kita karena getaran bentrokan ketidak cocokan itu dan mencari jalan keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk kita telaah dan pelajari."

Hening sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka sendiri.

Karena sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua ketidak puasan hati, mereka pun mengambil keputusan hendak menekan Kiang Tojin. Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri hati dan diam-diam menentang kakak seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama Sian Ti Tojin, dan murid ke lima Lian Ci Tojin. Ada pun murid yang lainnya ada yang berpihak kepada Kiang Tojin, namun ada pula yang tidak mau mencampuri pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.

"Tepat sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," berkata Sian Ti Tojin. "Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan orang-orang kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari permusuhan dengan sahabat-sahabat dari dunia kang-ouw? Sudah empat orang anak murid Kun-lun-pai mengorbankan jiwa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

"Benar sekali ucapan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut pendapat teecu, dahulu Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"

Sunyi di ruangan itu sesudah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin tadi hanya mengeluarkan pernyataan yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong kepada ucapan menuduh Kiang Tojin.

Dengan diucapkannya tuduhan tadi, Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan ini. Maka, dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu dengan suara tetap halus,

"Lian Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada fitnah, dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah secara terus terang sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung tinggi."

"Memang teecu menjunjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka dengan perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Bukan tanpa alasan kalau teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong. Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebaskan dari maut oleh Twa-suheng dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong sehingga tidak mengherankan apa bila Twa-suheng melindunginya. Ke dua, memang dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang kang-ouw, melainkan Keng Hong yang akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi, betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana itu!"

Semua mata kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila dengan sikap tenang. Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seakan-akan meminta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus namun lantang, tak menyembunyikan perasaan lain dari pada apa yang akan dikeluarkan melalui mulutnya.

"Semua ucapan Ji-sute dan Ngo-sute tiada yang keliru. Siang-bhok-kiam mendatangkan keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."

Pada saat Kiang Tojin berhenti sejenak, semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang, "Akan tetapi sebenarnya bukan karena keselamatan Keng Hong semata maka teecu memutuskan untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam di sini, melainkan terutama sekali untuk mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."

"Harap Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.

"Siang-bhok-kiam merupakan pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi rebutan orang-orang kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia pada waktu berada di Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan orang lain, bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya? Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur di dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan ditertawakan sampai tujuh keturunan? Harus teecu akui bahwa dengan adanya pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbuan orang luar? Mati sebagai orang gagah perkasa adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."

Kecuali dua orang tosu yang menentang, semua sute dari Kiang Tojin secara diam-diam mengakui kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakui hal itu, maka tuduhan ini menjadi hilang artinya, apa lagi setelah ada alasan lain yang demikian kuatnya.

Thian Seng Cinjin mengelus-elus jenggotnya. Diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Dia lalu menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya, kemudian berkata,

"Siancai! Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapa pun juga, pertemuan ini kita adakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil keputusan begitu saja sebelum pinto mendengar semua isi hati kalian. Tidak boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin melihat pertentangan paham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan Kun-lun-pai, justru pada waktu Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Apa bila kalian tidak bersatu, bagaimana mungkin bisa mempertahankan kebesaran Kun-lun-pai? Karena itu, kalau masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus terang berikut alasannya."

Kembali Lian Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini masih muda apa bila dibandingkan dengan para suheng-nya. Usianya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi karena dia sangat berbakat sehingga dapat menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk salah seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, murid-murid Thian Seng Cinjin. Kini terdengar suaranya.

"Suhu, teecu berpendapat bahwa kalau pun kita menahan Siang-bhok-kiam di sini, berarti pedang itu menjadi hak kita, dan sudah sepatutnya pula bila susah payah yang kita derita untuk mempertahankannya itu mendapat imbalan yang sepadan, yaitu dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kunci dari pada tempat rahasia peninggalan pusaka itu? Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng. Sekarang, sekali lagi di hadapan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng, apakah pusaka-pusaka itu tidak akan kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"

"Tidak! Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak pernah mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" Kiang Tojin menjawab dengan suara tegas sehingga para sute-nya termasuk gurunya sendiri, menjadi amat kagum dan bangga di dalam hati.

Akan tetapi tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, kenapa tidak berani memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai? Ahhh, siapakah tokoh di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki? Termasuk Twa-suheng tentunya! Kalau pusaka-pusaka itu kita ambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak setuju karena Twa-suheng hendak memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri. Bukankah begitu?"

Muka Kiang Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, karena itu sekuat tenaga dia menekan kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya.

Maka dia memandang sute-nya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sute-nya yang ke lima ini seolah-olah membenci dirinya? Kemudian dia teringat. Terhadap para sute-nya, Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dalam memimpin, selalu tidak segan menegur apa bila mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari.

Teringatlah dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali tampak lemah menghadapi godaan nafsu birahi, sering kali tampak nyata amat tergoda batinnya kalau bertemu wanita cantik.

Yang terakhir, pada waktu Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan menyuruh sute-sute-nya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam bisa melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa saat membelenggu tangan sute-nya itu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu.

Penyelewengan karena dorongan nafsu ini, walau pun tidak berarti dan kecil, juga tidak terlihat oleh siapa pun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada keesokan harinya memanggil sute-nya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sute-nya itu memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk tuduhan-tuduhan itu.

Kiang Tojin menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api amarahnya setelah dia melihat latar belakangnya mengapa sute-nya itu seperti membencinya.

"Teecu hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu mengambil keputusan setelah teecu pikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri." Demikian Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.

"Ngo-sute, kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita? Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute dapat mengusulkan agar supaya kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan Sin-jiu Kiam-ong?"

Ditegur begini, Lian Ci Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati atas kecerdikan twa-suheng-nya ini sehingga dari keadaan menuduh kini dia malah menjadi seorang tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata,

"Twa-suheng jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan agar supaya kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu. Tentang mempelajarinya, tentu terserah kepada suhu, bila suhu mengijinkan kita mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar peraturan?"

Melihat keadaan mulai ‘panas’, Thian Seng Cinjin cepat-cepat mengangkat tangannya dan berkata, suaranya amat berpengaruh, "Cukuplah sudah semua perbantahan yang kosong ini! Pinto sangat setuju dengan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong. Kalian harus tahu bahwa kitab-kitab itu adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab itu. Lagi pula, hendaknya kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung pada kitab atau pelajarannya, juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri. Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu-ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa tidak akan kalah saktinya dari pada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah, pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan paham dilenyapkan dari hati masing-masing."

Tujuh orang muridnya itu segera berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka. Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki Ruangan Ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian Seng Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.

"Teecu berdua datang melaporkan bahwa pada saat ini puncak Kun-lun sedang terancam dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasuka selatan! Kita sudah terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking dan dari selatan muncul pasukan dari Nanking. Mereka telah mengurung tempat kita."

Hanya Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata,

"Kita harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan kepada seluruh anak murid Kun-lun-pai untuk mengatur barisan dan bersiap-siap!"
Tujuh orang murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing. Kemudian kakek tua Kun-lun-pai itu diikuti oleh ketujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju ke puncak.

Anak murid Kun-lun-pai telah berbaris rapi, terbagi atas dua bagian, sebagian menghadap selatan dan sebagian lainnya menghadap ke utara. Sedangkan Thian Seng Cinjin sendiri dengan gerakan ringan lantas melompat ke atas sebuah batu yang tinggi di puncak itu, diikuti oleh ketujuh orang muridnya. Mereka berdiri tegak di atas batu ini dan nampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di utara, satu lagi di selatan.

Pasukan itu tidak terlalu besar, paling banyak seratus orang masing-masing pihak, akan tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin mereka itu muncul untuk berperang. Hal ini sangat melegakan hati Thian Seng Cinjin yang segera mengerahkan khikang-nya dan berkata dengan lantangnya.

"Kami dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara. Hari ini pasukan-pasukan kedua pihak telah datang berkunjung ke Kun-lun-pai, harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi maksud dari pada kedatangan cu-wi!"

Tiba-tiba dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira yang bertubuh kurus tinggi. Larinya amat cepat dan geraknya gesit sekali, sungguh pun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai.

Sebentar saja perwira itu sudah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi hormat dengan sikap gagah, dua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya kemudian terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.

"Kami Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang sudah diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang gagah perkasa, calon kaisar yang asli, untuk menghadap kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nanking, karena hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan keadilan yang berada di pihak utara!"

Diam-diam Kiang Tojin tersenyum dan merasa kagum. Perwira dari utara ini benar-benar orang yang tepat dijadikan seorang perwira, karena di samping ilmu kepandaiannya tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya tadi, juga jelas bahwa perwira ini memiliki kecerdikan dan kepandaian untuk menarik rakyat ke pihaknya. Dia sudah banyak mendengar bahwa sifat-sifat ini menjadi inti kekuatan pihak utara, karena sifat itu membuat rakyat jelata merasa bersimpati terhadap perjuangan mereka sehingga rakyat berbondong-bondong membantu.

"Maaf, Han-ciangkun," kata Kiang Tojin sesudah dia mendapat isyarat dari gurunya untuk menjawab. "Kiranya raja muda dari utara tidak seharusnya berterima kasih kepada kami, karena pendirian Kun-lun-pai sama sekali bebas, tidak memihak mana pun juga. Kami seluruh anggota Kun-lun-pai hanya merasa perihatin menyaksikan perang saudara sebab yang menjadi korban tak lain adalah rakyat jelata. Karena inilah kami tidak mau memihak siapa-siapa. Hendaknya Han-ciangkun maklum akan pendirian kami dan selanjutnya suka menjelaskan apa kehendak selanjutnya dengan kunjungan ini."

Perwira utara itu tersenyum sabar dan berkata, "Ucapan Totiang betul-betul membuktikan bahwa para tosu merupakan manusia-manusia dewa yang tidak sudi mencampuri urusan dunia lagi. Sungguh menimbulkan rasa kagum! Kami diutus oleh junjungan kami untuk mengharapkan budi kebaikan pihak Kun-lun-pai, agar suka menyerahkan kitab Thai-yang Tin-keng yang tentu tidak akan ada manfaatnya bagi Kun-lun-pai kepada kami."

"Kitab Thai-yang Tin-keng? Kitab apakah itu? Kami tidak tahu, bahkan baru mendengar namanya sekarang," kata Kiang Tojin tanpa ragu-ragu.

Perwira itu masih bersikap sabar. "Kitab itu, sesuai dengan namanya yaitu Kitab Barisan Matahari, adalah ciptaan Raja Besar Jenghis Khan dan merupakan kitab pelajaran untuk mengatur barisan yang diambil dari pengalaman-pengalaman barisan Mongol pada waktu menyerbu ke Tiong-goan (Daratan Tengah). Junjungan kami mohon pinjam kitab itu dari Kun-lun-pai."

"Tapi... kami tidak mempunyai kitab seperti itu!" jawab Kiang Tojin.

Perwira itu mengangguk-ngangguk. "Mungkin memang bukan milik Kun-lun-pai, akan tetapi setelah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kabarnya jatuh ke tangan Kun-lun-pai, tentu kini kitab itu berada di tangan totiang sekalian. Kitab ini dahulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong dari gedung perpustakaan kaisar."

Sebelum Kiang Tojin dapat menjawab, terdengar teriakan keras dan tampaklah bayangan orang berlari cepat sekali dari selatan. Orang ini pun berpakaian seperti perwira, tubuhnya tinggi besar akan tetapi larinya cepat dan tubuhnya kelihatan ringan sekali, membuktikan bahwa perwira selatan ini pun mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Begitu sampai di sebelah selatan batu tinggi itu, perwira ini menggerak-gerakkan kedua tangannya dan berkata, suaranya seperti geledek.

"Harap para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pemberontak hina dina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pemberontak! Kitab Thai-yang Tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan kepada kami!"

"Manusia sombong! Kami bukan pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah.

"Kau pemberontak laknat! Sudah jelas memberontak terhadap pemerintahan yang syah, kau masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan sambil menerjang maju.

Tanpa dapat dicegah lagi dua oang perwira itu sudah maju menerjang sehingga terjadilah saling serang. Pada gebrakan pertama, dengan marah kedua perwira mengirim pukulan dengan tangan hingga terdengar suara keras. Keduanya terhuyung ke belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak! Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami luka hebat. Sekarang mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk bertanding, sedangkan pasukan kedua belah pihak juga sudah berlari-lari untuk saling terjang.

Dua bayangan yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. Laksana burung garuda yang besar mereka melayang turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara ada pun sute-nya menghadapi perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakkan tangan mereka, pedang kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira itu menjadi kaget dan melongo.

"Ji-wi Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru menegur.

Han Tek Thai menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu..."

"Apa? Kun-lun-pai hendak membela kaum pemberontak?" bentak perwira tinggi besar dari selatan.

Menyaksikan sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya. "Siancai..., kehendak Tuhan terjadilah...! Kembalikan pedang mereka!"

Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur, namun masih bersiap-siap untuk bergerak apa bila tamu-tamu yang tidak dikehendaki ini membikin kacau lagi.

"Ji-wi Ciangkun dari utara dan selatan, dengarkan baik-baik omongan pinto! Pinto Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai selama hidup tak suka berbohong dan apa yang akan pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi masing-masing!"

Suara Thian Seng Cinjin terdengar jelas sekali walau pun kakek ini bicara perlahan saja. Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya dua orang perwira itu saja yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan seluruh pasukan kedua pihak yang tadinya telah bersiap-siap untuk saling hantam, sekarang tak berani mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya.

Dengan gerakan sangat tenang Thian Seng Cinjin mengeluarkan sebatang pedang kayu dari balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

"Hendaknya Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami pihak Kun-lun-pai sama sekali tidak tahu akan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang kitab Thai-yang Tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini karena kami pun tidak menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini sudah ada di wilayah Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tak akan kami serahkan kepada siapa pun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami, harap Ji-wi Ciangkun sekarang membawa pulang pasukan masing-masing karena kami melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Apa bila larangan yang menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, maka terpaksa kami turun tangan tanpa memandang bulu, tanpa memihak siapa pun juga!"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras, "Ha-ha-ha! Tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!"

"Tidak, aku lebih berhak!"

"Berikan kepadaku!"

"Padaku!"

Semua tosu Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ sudah muncul banyak orang-orang kang-ouw yang mempergunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuk dan tiba di tempat itu!

Melihat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan Kong-thong-pai bersama orang-orang kang-ouw yang semenjak dulu mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing. Akan tetapi melihat orang yang tadi mengeluarkan suara tawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menghadapi saat gawat.

Suara tertawa tadi keluar dari mulut seorang kakek tinggi besar yang tubuhnya berkulit hitam bagaikan arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti gajah. Tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara!

Dan tak jauh dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum, tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit, mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar seolah-olah dia benar-benar seorang dewa!

Sedikit di belakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang besar-besar itu menonjol keluar. Mukanya berwarna merah darah, rambut riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau pun Pak-san Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo...!
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 07

Pedang Kayu Harum Jilid 07
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
KENG HONG terkejut sekali, lalu mengerahkan sinkang-nya dan tubuhnya mencela ke atas. Gerakan ini bukan main cepatnya, digerakkan oleh tenaga ginkang yang tinggi sehingga dia dapat menghindarkan dua kakinya dari cengkeraman. Akan tetapi begitu dia meloncat turun, kedua tangan nenek itu sudah menerjangnya dengan pukulan Ban-tok Sin-ciang!

"Rebahlah!" teriak si nenek yang ingin cepat-cepat merobohkan Keng Hong supaya dapat dibawa lari karena dia khawatir kalau-kalau kedua orang anak murid Lam-hai Sin-ni itu datang membantu, dan lebih khawatir lagi kalau-kalau ada datang tokoh-tokoh lain yang dia tahu juga berusaha mendapatkan pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini.

Keng Hong merasa betapa sebuah tenaga raksasa mendorongnya, didahului bau yang sangat harum dan amis. Cepat dia menahan napasnya, mengerahkan sinkang-nya dan menangkis dengan tangan digerakkan dari samping.

"Desssss!"

Sekali ini tubuh Keng Hong yang terhuyung-huyung ke belakang, ada pun nenek itu yang merasa betapa kedua tangannya tergetar, cepat-cepat menggerakkan kepalanya hingga rambutnya yang riap-riapan itu terpecah menjadi tujuh buah pecut yang menyambar dan menotok tujuh jalan darah di bagian atas tubuh Keng Hong!

Pemuda itu terkejut sekali karena tidak mungkin dia menghindarkan diri dari tujuh totokan sekaligus itu. Dia cepat mengerahkan sinkang di tubuhnya dan menutup jalan-jalan darah yang tertotok. Ujung-ujung rambut itu mengenai sasaran lantas membalik ketika bertemu dengan tubuh Keng Hong, akan tetapi pemuda itu merasa tubuhnya bagai disambar petir dan dia terguling roboh. Baiknya dia terus bergulingan karena seandainya tidak, tentu dia kena totok oleh Ang-bin Kwi-bo yang sudah menubruknya.

Keng Hong mencelat berdiri dan kepalanya terasa pening. Biar pun dia tidak terpengaruh oleh totokan-totokan itu, akan tetapi tubuhnya terasa kesemutan dan kepalanya pening. Dalam pandang matanya yang berkunang dia melihat wajah nenek yang tertawa-tawa itu berubah menjadi dua.

"Keng Hong, pergunakan ilmu tempelmu!" Tiba-tiba Cui Im berteriak.

Gadis ini sudah terbebas dari pada pengaruh pukulan beracun tadi, akan tetapi tubuhnya masih lemah. Ada pun Biauw Eng semenjak tadi hanya memandang dan wajahnya sudah membayangkan sikapnya yang dingin lagi. Hal ini adalah karena dirinya masih merasa terguncang oleh perasaan hatinya sendiri yang tidak dapat ia sangkal bahwa ia mencinta pemuda itu!

Mendengar teriakan Cui Im itu, Keng Hong yang masih merasa pening dan belum dapat mempergunakan pikirannya dengan baik itu segera menubruk maju, melakukan serangan dan kembali dia sudah mempergunakan jurus ke tiga, yaitu Siang-in Twi-san. Sekali ini, mendengar seruan Cui Im tadi, Ang-bin Kwi-bo sengaja memapaki kedua tangan Keng Hong yang terbuka dan mendorongnya dengan kedua tangannya sendiri.

"Plakkk...!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara.

Hebat bukan main tenaga sinkang Ang-bin Kwi-bo hingga untuk beberapa detik lamanya tubuh Keng Hong terangkat di udara oleh kedua tangan nenek ini. Sesudah tubuh Keng Hong makin turun dan akhirnya kedua kakinya menyentuh tanah, barulah Ang-bin Kwi-bo mengeluarkan seruan keras.

"Ha, kau paham Thi-khi I-beng...?!" Seruan ini adalah seruan terheran-heran, juga seruan girang sekali.

Wanita sakti yang telapak tangannya telah melekat dengan tangan Keng Hong dan hawa sinkang-nya mulai tersedot itu, cepat sekali menggerakkan kepalanya hingga rambutnya terpecah menjadi dua bagian lalu melakukan totokan ke arah kedua pergelangan tangan Keng Hong.

Pemuda itu merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kesemutan sehingga daya sedotnya berkurang dan pada waktu itulah Ang-bin Kwi-bo merenggut kedua tangannya hingga terlepas. Kemudian sekali lagi rambutnya mengirimkan totokan selagi Keng Hong masih belum siap-siap sehingga pemuda itu terkena totokan pada kedua pundaknya dan tiba-tiba saja dia menjadi lemas! Pada detik lain tubuhnya sudah disambar oleh Ang-bin Kwi-bo yang tertawa terkekeh-kekeh girang sekali.

Dalam diri pemuda ini saja sudah terdapat ilmu-ilmu pukulan yang amat hebat ditambah dengan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan! Kalau dia bisa mendapatkan dua macam ilmu itu saja, dilatihnya sempurna, maka dia akan menjadi tokoh nomor satu di antara Empat Datuk!

"Ang-bin Kwi-bo, dia tawananku, lepaskan!" Tiba-tiba Biauw Eng berseru nyaring.

Gadis ini sudah menyerang dengan sabuk sutera putihnya. Ujung sabuk meluncur cepat dari atas dan bagaikan seekor ular panjang, sabuk itu kini ‘mematuk’ ke arah ubun-ubun kepala Ang-bin Kwi-bo. Inilah serangan yang amat berbahaya, serangan maut!

Ang-bin Kwi-bo maklum akan bahayanya serangan ini, maka dia cepat mempergunakan tangan kanannya untuk mencengkeram ke arah ujung cambuk, sedangkan lengan kirinya mengempit dan melingkar di pinggang Keng Hong. Cengkeraman itu luput karena sabuk sudah disendal oleh Biauw Eng, namun nenek itu melanjutkan tangan kanannya dengan serangan jarak jauh, mendorongkan tangannya itu dengan ilmu Ban-tok Sin-ciang ke arah Biauw Eng.

Gadis ini yang sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pukulan nenek itu, maka cepat dia mengelak ke samping dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk meloncat pergi. Murid Sin-jiu Kiam-ong telah berada di tangannya, karena itu dia tak mau melayani puteri Lam-hai Sin-ni lebih lama lagi.

Akan tetapi tiba-tiba saja tampak berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang nenek berpakaian putih yang bertubuh tinggi kurus telah berdiri di depan Ang-bin Kwi-bo dengan sikap angkuh dan dingin. Nenek ini usianya sebaya dengan Ang-bin Kwi-bo, akan tetapi berbeda dengan Ang-bin Kwi-bo yang berwajah menyeramkan dan buruk, nenek ini jelas menunjukkan bahwa dulunya tentu mempunyai wajah yang cantik sekali. Tubuhnya yang tinggi kurus masih membayangkan bentuk tubuh yang ramping, dan gerak-geriknya halus.

"Kwi-bo, sungguh tidak malu kau menghina orang-orang muda!" Wanita tua ini menegur dengan suara halus akan tetapi nadanya dingin sekali, kemudian nenek itu menggerakkan tangan kanan sambil berkata lagi, "Kau ingin merasakan Thi-khi I-beng? Nah, terimalah ini!" Biar pun gerak-geriknya halus, akan tetapi tangan nenek itu cepat sekali gerakannya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata dan tahu-tahu telapak tangan nenek ini sudah mengancam muka Ang-bin Kwi-bo!

Ang-bin Kwi-bo terkejut sekali dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis sambil mengerahkan tenaga Ban-tok Sin-ciang.

"Plakkk!"

Dua tangan bertemu dan akibatnya membuat Ang-bin Kwi-bo menggereng marah sebab tangannya sudah tertempel dan walau pun tenaga sedotnya tidak sehebat tenaga sedot yang keluar dari tubuh Keng Hong tadi, akan tetapi kini mulai terasa betapa sinkang-nya tersedot oleh nenek itu.

Ang-bin Kwi-bo mengerti bahaya. Jika dia tertempel dan tersedot oleh Keng Hong masih mudah baginya untuk membebaskan diri, akan tetapi nenek ini amat lihai sehingga hanya dengan sebelah tangan saja akan sukarlah baginya menyelamatkan diri.

Cepat Ang-bin Kwi-bo melepaskan tubuh Keng Hong yang dikepit dengan lengan kirinya, kemudian dia memutar tubuh dan mempergunakan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya mencengkeram ke arah dada lawan. Bukan hanya tangan kirinya yang mencengkeram, juga kepalanya telah bergerak dan seperti ular-ular hitam yang banyak sekali, rambutnya lantas meluncur ke depan.

Nenek tinggi kurus itu tetap tenang menghadapi serangan yang ganas dan amat banyak ini, menggunakan tangan kanannya untuk diputar membentuk lingkaran yang melindungi tubuh. Putaran tangannya ini mendatangkan hawa berputar di depan tubuhnya sehingga serangan rambut-rambut kepala Ang-bin Kwi-bo dapat digagalkan semua karena rambut-rambut itu menjadi buyar pada saat bertemu dengan hawa putaran tangan ini, sedangkan cengkeraman itu sendiri dapat disampok oleh tangan kanan si nenek sakti.

Akan tetapi, karena sebagian tenaganya dikerahkan untuk menghadapi serangan yang sangat ganas itu, tenaga sedotnya menjadi berkurang dan sekali renggut Ang-bin Kwi-bo berhasil membebaskan diri lalu meloncat mundur dengan muka beringas.

Sementara itu, Keng Hong sudah berhasil membebaskan diri dari totokan dan Cui Im sudah cepat-cepat menghampirinya. Akan tetapi pemuda ini tak mempedulikan sikap Cui Im yang memikat, sebab pada saat itu perhatiannya ditujukan kepada nenek yang sedang berhadapan dengan Ang-bin Kwi-bo.

"Lam-hai Sin-ni! Baru saja aku telah mengampuni puterimu dan tentu dia sekarang sudah menjadi mayat kalau tidak melihat hubungan segolongan. Akan tetapi sekarang engkau datang-datang langsung menyerangku, sungguh engkau tidak mengenal persahabatan!" Teriak Ang-bin Kwi-bo dengan nada marah.

"Dia bohong, Subo!" Cui Im berteriak. "Bila tidak ada Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong ini yang membantu, teecu dan sumoi tentu sudah dibunuhnya! Dia telah menghina teecu berdua, juga telah menghina nama subo!"

Nenek tinggi kurus yang ternyata adalah tokoh yang paling lihai dari Bu-tek Su-kwi dan bejuluk Lam-hai Sin-ni hanya memandang kepada Ang-bin Kwi-bo, kemudian berkata,

"Ang-bin Kwi-bo, engkau di timur, Pak-san Kwi-ong di utara, Pat-jiu Sian-ong di barat dan aku di selatan, masing-masing tidak saling mengganggu selama puluhan tahun. Sungguh pun kini timbul urusan memperebutkan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, seharusnya dilakukan secara terang-terangan dan mengandalkan kepandaian, tak semestinya engkau mengganggu anak-anak kecil. Apa bila engkau hendak memamerkan Ban-tok Sin-ciang, majulah. Aku lawanmu!"

Melihat sikap yang dingin ini, Ang-bin Kwi-bo menjadi gentar. Memang ia telah mengenal siapa adanya datuk hitam dari selatan ini, yang sejak dahulu amat terkenal kesaktiannya dan ia tidak mempunyai harapan untuk menang.

Apa lagi dia melihat betapa di situ juga masih terdapat Ang-kiam Tok-sian-li Cui Im, dan Song-bun Siu-li Biauw Eng yang kalau membantu lawan tentu membuat dia lebih berat menghadapinya. Belum lagi pemuda aneh itu yang memiliki ilmu mukjijat dan tentu saja akan membantu kedua orang gadis cantik itu.

Ang-bin Kwi-bo bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh besar yang telah matang pengalamannya. melihat keadaan tidak menguntungkan ini, ia lalu ketawa mengejek.

"Hi-hi-hik-hik, Lam-hai Sin-ni. Siapa sih takut menghadapimu? Kepandaian kita satu kati delapan tail (seimbang), dan terbukti tadi aku mampu melawan Thi-khi I-beng yang kau miliki. Kau tunggu saja, akan tiba saatnya aku datang dan menantangmu dalam sebuah pertandingan yang menentukan. Sampai jumpa!" Sesudah berkata begitu, tubuh Ang-bin Kwi-bo berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Dengan ucapan ini, biar pun dia melarikan diri, namun tidak karena kalah bertanding atau memperlihatkan rasa jerinya.

Lam-hai-Sin-ni bersikap dingin sekali dan kini mengertilah Keng Hong mengapa Biauw Eng yang cantik manis itu mempunyai sikap dingin seperti es. Kiranya ibunya pun seperti manusia es, sehingga nona itu mewarisi sikap ibunya.

Pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, sikapnya dingin, wajahnya tidak pernah menyinarkan perasaan hati. Benar-benar ibu dan anak ini mengerikan, lebih mengerikan dari pada wajah Ang-bin Kwi-bo yang buruk dan wataknya yang kasar.

Kini Lam-hai Sin-ni membalikkan tubuhnya perlahan menghadapi Keng Hong. Kalau tadi ketika menghadapi pandang mata penuh kekejaman dari Ang-bin Kwi-bo pemuda ini tidak merasa gentar, kini berhadapan dengan pandang mata itu, dia merasa bulu tengkuknya meremang. Pandang mata nenek ini seolah-olah terasa olehnya merayap laksana seekor laba-laba di seluruh badan, dingin dan meggelikan.

"Engkau murid Sin-jiu Kiam-ong?" Suara Lam-hai Sin-ni halus, tetapi mengandung tenaga yang mendorong dan memaksa orang harus menjawab sejujurnya karena pandang mata yang dingin itu penuh ancaman.

"Benar, Locianpwe," Keng Hong menjawab singkat sambil menentang padang mata yang dingin itu.

Dengan sikap yang tetap dingin, gerakan tangan lemah lembut, dan suara halus, nenek itu menggerakkan tangan kanannya seperti orang minta sesuatu, "Berikan kepadaku pedang Siang-bhok-kiam."

Keng Hong mengerutkan alisnya. Semua orang minta pedang itu dengan cara dan sikap mereka masing-masing, ada yang kasar, ada yang buas, dan ada pula yang halus seperti sikap nenek ini, akan tetapi baru sekarang ini Keng Hong merasa seram. Sikap nenek ini benar-benar mendatangkan rasa dingin di tengkuknya.

"Siang-bhok-kiam tidak ada pada saya, Locianpwe."

"Hemmm, di mana...?"

"Pedang itu dirampas oleh para tosu Kun-lun-pai."

"Bohong!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan tangan kanan yang terulur tadi, telunjuknya menuding ke arah Keng Hong dan terdengarlah bunyi bercuitan ketika serangkum tenaga yang luar biasa menuju ke arah dada Keng Hong bagai sebatang pedang yang menusuk.

Keng Hong terkejut sekali, cepat mengibas dengan tangannya sambil membanting tubuh ke kanan terus bergulingan. Tangannya tadi dapat menangkis hawa pukulan yang amat kuat seperti pedang akan tetapi tubuhnya terguling-guling dan akhirnya ia dapat meloncat bangun dengan keringat dingin membasahi lehernya.

Bukan main, pikirnya. Selama hidupnya baru dua kali ini dia menyaksikan ilmu sehebat itu. Pertama kali dia melihat betapa di Kun-lun-san, Kiang Tojin pernah melakukan totokan terhadap Cui Im dari jarak jauh, hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh nenek ini terhadap dirinya.

Dia menjadi penasaran sekali karena dapat menduga bahwa serangan itu sesungguhnya adalah sebuah pukulan maut. Kiranya nenek yang halus bicaranya, gerak-geriknya halus pula, yang berwajah dingin ini, tanpa sebab hendak membunuhnya begitu saja, dengan darah dingin pula! Agaknya dalam hal kekejaman Lam-hai Sin-ni tak mau kalah oleh para datuk hitam yang lain!

"Hemm, sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong engkau boleh juga, dapat mengelak dari sebuah seranganku. Akan tetapi engkau membohong, dan ini tidak patut karena selama hidupnya gurumu itu tidak pernah membohong! Hayo lekas serahkan pedang itu atau jangan harap kau akan dapat mengelak terus!"

Hemm, pikir Keng Hong. Mungkin dahulu suhu tak pernah membohong, dan hal itu tentu saja dapat dilakukan karena suhu-nya sudah memiliki kepandaian sangat tinggi. Namun bagi dia sendiri, bila tidak mau membohong, bagaimana akan dapat menyelamatkan diri? Membohong tidak apa asal jangan menipu, membohong asal tidak merugikan lain orang, kadang-kadang malah amat perlu!

"Saya tidak membawa pedang itu, Locianpwe, pedang itu sudah diambil oleh Kiang Tojin dari Kun-lun-pai!"

"Wuuutttt... Wuuuttt...!" Kedua tangan nenek itu melakukan gerakan mendorong dua kali ke arah Keng Hong.

Pemuda itu cepat mengelak dan mengibaskan tangan. Kembali hawa sinkang di tubuhnya berhasil menangkis angin pukulan nenek itu yang amat hebat, akan tetapi tetap saja dia terjengkang kemudian terguling-guling saking hebatnya tenaga dorongan angin pukulan Lam-hai Sin-ni.

"Kau... kau berani melawan...?" Nenek itu menjadi sangat marah dan baru sekarang dia melangkah maju, hendak menyerang dari jarak dekat karena dua kali serangannya dari jauh gagal.

"Ibu! Dia tidak bohong, memang Siang-bhok-kiam sudah diambil para tosu Kun-lun-pai!" tiba-tiba Biauw Eng berkata.

"Ahh, kau bocah bodoh mana tahu? Bocah ini adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, di samping ugal-ugalan juga tentu amat menyayangi pedang itu. Mana mungkin dia berikan kepada orang lain? Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sesudah menjadi tua bangka, masih juga tidak rela memberikan pedang itu kepada orang lain. Jangan ikut-ikut, bocah ini harus memberikan Siang-bhok-kiam kepadaku atau dia mati di tanganku sekarang juga. Heh, bocah keras kepala, masih belum mengaku di mana adanya Siang-bhok-kiam? Lekas katakan supaya aku dapat mengambilnya."

Keng Hong merasa perutnya panas. Nenek berwajah dingin ini betul-betul menjengkelkan sekali. Di waktu mudanya tentu merupakan seorang wanita cantik yang amat manja dan hendak membawa kehendak sendiri saja, mau menang sendiri. Ia memandang terbelalak penuh kemarahan dan berkata,

"Sudah saya katakan, pedang itu berada di Kun-lun-pai, kalau Locianpwe menghendaki ambillah dari tangan mereka. Akan tetapi hati-hati, di sana banyak terdapat orang lihai..."

Keng Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nenek itu secara tiba-tiba sekali telah melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berada dekat sekali dengannya. Tangan kanan nenek ini lalu menampar ke arah kepalanya!

Keng Hong maklum betapa lihainya nenek ini. Mengelak takkan keburu, maka dia berlaku nekat, mengangkat pula tangan kanannya dan menerima tamparan tangan terbuka itu dengan telapak tangannya sendiri.

"Plakkk!"

Dua buah tangan itu bertemu di udara dan terus melekat karena dalam kemarahannya, Keng Hong yang menggerakkan tenaga sinkang itu tanpa disengaja sudah mengeluarkan daya sedotnya yang amat kuat.

Pada saat nenek itu merasa betapa tamparannya tertangkis bahkan tenaga sinkang-nya mulai tersedot, dia terkejut sekali dan cepat-cepat dia pun mengerahkan sinkang-nya lalu menggunakan ilmunya Thi-khi I-beng untuk balas menyedot. Dua tenaga sinkang yang amat hebat saling sedot.

Tenaga sedot sinkang milik Lam-hai Sin-ni adalah berkat latihan ilmu Thi-khi I-beng yang kabarnya sudah lenyap dari dunia persilatan, bahkan nenek yang sudah berlatih puluhan tahun sekali pun ini hanya dapat mencapai sebagian kecil saja. Ada pun tenaga sedot dari tangan Keng Hong timbul tanpa dia sengaja, tanpa dilatih dan tercipta sebagai akibat dia kebanjiran sinkang yang dioperkan oleh gurunya sehingga merusak susunan di dalam tubuhnya yang mengakibatkan tenaga sedot mukjijat itu.

Dan dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan penasaran hati Lam-hai Sin-ni ketika dia merasa betapa perlahan-lahan akan tetapi pasti tenaga sedotnya terbetot dan kalah kuat sehingga mulailah sinkang-nya membocor lagi memasuki tubuh pemuda itu lewat telapak tangan mereka!

"Aihhhh...!" Lam-hai Sin-ni berseru keras, tangan kirinya bergerak dan dengan kuku jari tangannya, dia menyentil ke arah pundak kanan Keng Hong.

Seketika tubuh Keng Hong menjadi lemas dan untung pemuda ini masih teringat untuk cepat menarik tangannya sambil meloncat mundur, kalau tidak, tentu ia akan dipukul lagi dengan pukulan maut.

Nenek itu cerdik luar biasa. Kalau tadi ia memukul begitu saja ke tubuh Keng Hong, maka pukulannya tentu akan amblas pula ke dalam lautan sinkang yang memiliki daya sedot luar biasa itu. Maka dia menyentil dengan kuku jari, menotok jalan darah sehingga daya sedot itu tidak dapat menarik sinkang-nya karena terhalang oleh kuku jari.

Kini dengan marah Lam-hai Sin-ni sudah melangkah maju, kedua tangannya siap hendak memberi pukulan maut. Tiba-tiba Cui Im meloncat dan sambil menjatuhkan diri berlutut ia berkata,

"Subo... subo... harap dengar keterangan teecu dahulu... teecu berani bersumpah bahwa pedang Siang-bhok-kiam memang dirampas oleh tosu-tosu bau dari Kun-lun-pai seperti diceritakan bocah ini. Teecu sendiri yang melihatnya dengan mata teecu."

Nenek itu mengerutkan kening. "Ceritakan!" katanya kepada muridnya itu.

Dengan jelas Cui Im lalu bercerita, menceritakan betapa ia menyusup ke Kun-lun-pai dan sempat tertawan, kemudian betapa dia melihat sendiri Keng Hong menyerahkan pedang kayu Siang-bhok-kiam kepada Kiang Tojin.

Setelah mendengar cerita ini, nenek itu kembali menghadapi Keng Hong yang kini sudah bangkit duduk. Sejenak dia memandang tajam, kemudian berkata,

"Bocah tak setia! Baru saja turun dari Kiam-kok-san, sudah memberikan pedang kepada tosu Kun-lun-pai! Murid macam apa ini?! Tanpa Siang-bhok-kiam, kau tidak ada gunanya dan lebih baik mati!" Setelah berkata demikian, kembali nenek itu menerjang maju hendak menyerang Keng Hong!

"Ibu, tahan...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Biauw Eng telah berdiri menghadap di depan ibunya, membelakangi Keng Hong yang sudah siap-siap membela diri sekuatnya.

"Eng-ji, mau apa engkau? Minggir!"

"Tidak, Ibu. Kau tidak boleh membunuh Cia Keng Hong."

"Apa? Dia tiada gunanya, tidak membawa Siang-bhok-kiam, harus kubunuh!"

"Jangan, Ibu. Dia sudah menolongku dari kekejian Ang-bin Kwi-bo. Karena itu Ibu tidak boleh membunuhnya."

Sejenak ibu dan anak berdiri tegak berhadapan, saling bertentang pandang. Keng Hong yang melihat ini merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah serupa benar orang ini. Hanya yang seorang nenek-nenek, yang ke dua gadis remaja. Akan tetapi kedua-duanya sama-sama berwajah dingin dan memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati seperti baja!

"Pernah menolongmu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah aku membunuhnya! Dia harus kubunuh karena dia, manusia tolol dan murid tidak setia ini, dia agaknya sudah menerima pelajaran Thi-khi I-beng dari Sin-jiu Kiam-ong setan tidak setia itu! Karena itu dia harus kubunuh. Minggirlah!"

Akan tetapi sejengkal pun Biauw Eng tidak mau minggir, bahkan dia menegakkan kepala, membusungkan dada dan memandang ibunya dengan sikap menantang.

"Tidak!" katanya dan untuk pertama kali terdengar suaranya dipengaruhi nafsu. "Ibu tidak boleh membunuhnya!"

Lam-hai Sin-ni tertegun. Sejak kecil puterinya ini tidak pernah berani membantahnya. Dia yang menjadi semacam ‘ratu’ di daerah pantai laut selatan, yang ditakuti semua orang, kini terheran-heran menyaksikan puterinya sendiri hendak membantah dan melawannya!

"Apa kau bilang? Mengapa tidak boleh?"

"Karena aku cinta kepada Cia Keng Hong!"

Sunyi sekali sesudah ucapan yang nyaring itu diucapkan oleh Biauw Eng. Tiga pasang mata terbelalak, yaitu mata Keng Hong, Cui Im serta Lam-hai Sin-ni sendiri.

Keng Hong terbelalak dan jantungnya berdebar keras sampai tubuhnya menjadi gemetar. Biauw Eng cinta kepadanya? Sungguh hal yang sama sekali tidak pernah dia duga! Kalau Cui Im yang mencintainya, hal itu tidak aneh, dia mengenal watak mata keranjang murid Lam-hai Sin-ni itu. Akan tetapi Biauw Eng? Sikapnya terhadapnya begitu dingin, begitu galak!

Juga Cui Im terbelalak. Mendengar sumoi-nya secara terang-terangan mengaku cinta kepada seorang pemuda, benar-benar membuat dia seperti mimpi di siang hari! Padahal biasanya, sumoi-nya itu memandang rendah semua pria, bahkan menjadi marah-marah dan memaki-makinya kalau dia bicara tentang pria. Sumoi-nya seorang yang ‘alim’ dan agaknya mempunyai pantangan untuk segala macam bentuk cinta terhadap pria!

"Kau... kau gila...? Kau... kau mencita murid Sin-jiu Kiam-ong...?" Lam-hai Sin-ni berbisik, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri.

"Kau... heh-heh-heh... kau mencinta dia...?"

Baru sekali ini Cui Im mendengar gurunya tertawa dan dia merinding penuh keseraman. Suara ketawa itu lebih pantas disebut isak tangis.

"Kau mencinta muridnya? Dia... dia tentu mata keranjang, tidak setia seperti... seperti..."

"Seperti ayah, Ibu? Biarlah! Ibu membenci ayah, akan tetapi aku tidak membenci Sin-jiu Kiam-ong. Dan biar pun ibu berpura-pura membenci ayah, aku tahu bahwa ibu amat cinta kepadanya, buktinya ibu memberi she Sie kepadaku, she dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, ayahku. Aku cinta kepada Cia Keng Hong dan ibu tidak boleh membunuhnya!"

Tiba-tiba saja Lam-hai Sin-ni mengeluarkan pekik mengerikan, kemudian wajahnya yang biasa dingin itu kini berubah beringas. "Kau sudah gila! Minggir! Pengakuanmu ini bahkan mendorongku untuk membunuh si keparat! Minggir!"

"Tidak, ibu!" Biauw Eng melolos sabuk suteranya dan berkata kepada Keng Hong dengan suara halus, "Keng Hong, kau pergilah. Kau pergilah setelah kau dengar pengakuanku. Pergilah...!"

Wajah Keng Hong menjadi pucat pasi. Jadi Biauw Eng ini adalah puteri gurunya! Kalau begitu... antara gurunya dan Lam-hai Sin-ni pernah menjadi hubungan suami isteri! Dan puteri gurunya ini mencintainya! Dia tidak tahan lagi, merasa kasihan mendengar suara menggetar dari Biauw Eng ketika menyuruh dia pergi. Sambil menghela napas, dia lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.

"Minggir...!" Lam-hai Sin-ni berteriak sambil menerjang ke depan, hendak mengejar Keng Hong.

Akan tetapi Biauw Eng juga menerjang maju menyambut ibunya dengan serangan sabuk sutera sambil berkata, "Ibu hanya dapat mengejarnya melalui mayatku!"

Nenek itu mendorong anaknya supaya jangan menghalanginya, akan tetapi sabuk sutera putih Biauw Eng bergerak cepat mengirim totokan ke arah kedua lutut ibunya dengan kuat sekali. Lam-hai-Sin-ni menjadi makin marah sebab totokan yang dilakukan puterinya itu kalau mengenai lututnya tentu akan membuat kedua kakinya tak dapat lari lagi.

Maka sambil mendengus ia menyambar ujung sabuk sutera itu dengan kedua tangannya, merenggutnya terlepas dari tangan Biauw Eng dan melemparkannya ke atas tanah. Hal ini terjadi tanpa mampu dicegah oleh Biauw Eng. Sementara itu bayangan Keng Hong sudah pergi jauh sekali dan Lam-hai Sin-ni cepat lari mengejar.

Akan tetapi, kembali Biauw Eng menyerangnya. Kini dengan pukulan tangan yang amat dahsyat. Lam-hai Sin-ni terkejut, terheran-heran dan hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Puterinya sendiri menyerangnya seperti ini? Dengan pukulan maut?

Teringatlah nenek ini akan keadaan dirinya sendiri dahulu lantas terdengar suara terisak dari dalam dadanya. Pukulan puterinya itu dia tangkis dengan keras sehingga Biauw Eng terpekik dan terbanting ke kiri sampai bergulingan.

Gadis ini cepat menoleh ke arah larinya Keng Hong dan hatinya agak lega melihat bahwa pemuda itu tentu sudah lari jauh sekali karena tak tampak lagi bayangannya. Ketika dia menengok ke arah ibunya, dia terkejut dan terheran, kemudian dia bangkit berdiri dan lari menubruk ibunya yang ternyata sudah duduk bersila sambil meramkan mata, mukanya pucat seperti mayat dan tubuhnya kaku! Ia maklum bahwa ibunya sedang berduka sekali dan bahwa di dalam dada ibunya sedang terjadi ‘perang’ antara membunuh Keng Hong atau memenuhi permintaan puterinya. Biauw Eng yang berlutut di depan ibunya segera menyentuh kaki ibunya dan menangis.

Cui Im terbelalak untuk kedua kalinya. Selama menjadi murid Lam-hai Sin-ni baru sekali ini dia melihat keanehan yang terjadi pada diri sumoi-nya yang biasanya amat ia kagumi karena sumoi-nya itu biar pun lebih muda dari padanya, namun amat lihai dan memiliki sifat-sifat yang persis Lam-hai Sin-ni.

Akan tetapi hari ini, gara-gara Keng Hong, ia melihat sumoi-nya menyatakan cinta kepada Keng Hong, dan kini, hal yang luar biasa ia lihat ketika sumoi-nya itu menangis! Timbul perasaan panas di hatinya.

Dia sendiri tergila-gila kepada Keng Hong, tergila-gila akan ketampanannya dan terutama sekali akan ilmu kepandaiannya dan pusaka-pusaka yang mungkin sekali akan bisa dia dapatkan melalui pemuda itu. Sekarang mendengar pengakuan sumoi-nya, diam-diam ia menjadi iri hati, cemburu dan marah.

Ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu betapa Ang-kiam Tok-sian-li memandang ke arah Biauw Eng dengan sinar mata aneh, seolah-olah mengeluarkan api yang akan membakar seluruh tubuh gadis baju putih itu. Tidak tahu pula betapa diam-diam Bhe Cui Im pergi meninggalkan tempat itu dengan sikap aneh dan berkali-kali melirik ke arah Biauw Eng dengan sinar mata penuh kebencian!

Sesaat kemudian, Lam-hai Sin-ni membuka matanya dan melihat puterinya menangis di depanya, ia menghela napas panjang dan berkata halus sambil mengelus rambut kepala puterinya.

"Eng-ji, hukum karma selalu mengikuti kita..."

Biauw Eng memeluk ibunya dan tangisnya semakin memilukan. Sesungguhnya, gadis ini tidak mewarisi watak ibunya, tidak sedingin yang dia perlihatkan. Gadis ini perasa sekali, penuh semangat dan menatap dunia dengan sepasang mata yang penuh kegembiraan, bisa dengan mudah menangkap semua keindahan pada tiap benda yang dipandangnya, yang didengarnya, yang diciumnya.

Akan tetapi, oleh karena semenjak ia kecil ia sudah digembleng oleh Lam-hai Sin-ni untuk mengekang perasaan, untuk meniru sifatnya yang dingin bagai es, maka Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini menjadi seorang gadis yang aneh dan dingin. Dingin paksaan, pada lahirnya saja, seperti sebuah gunung berapi yang diliputi salju.

Inilah sebabnya mengapa sekali jatuh cinta, ia menjadi nekat dan berani mengaku secara terus terang dan bahkan berani membela kekasihnya dengan melawan ibunya! Biar pun diselimuti salju, kalau gunung es itu meletus, tak akan ada yang dapat menahannya!

"Ibu..., kau ampunkan anakmu yang put-hauw (tak berbakti) ini..."
Lam-hai Sin-ni kembali menghela napas. "Menanam bibit apel, maka memetik buah apel, menanam pohon korma, maka memetik buah korma. Aku dulu menentang ayahku karena cinta, kini engkau menentang aku karena cinta. Semua ini sudah adil...!"

Biauw Eng mengangkat mukanya memandang muka ibunya dan baru sekali ini ia melihat betapa wajah ibunya membayangkan sesuatu, membayangkan kedukaan hebat! Dan baru sekarang pula ia mendengar ibunya menyebut-nyebut keluarganya. Biasanya ibunya tak pernah bercerita, hanya menyatakan bahwa ayahnya adalah Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang akhir-akhir ini menjadi terkenal sekali.

Bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam ayahnya itu lalu menjadi rebutan semua orang gagah di dunia kang-ouw karena Pedang Kayu Harum itu menjadi kunci rahasia tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dikumpulkan oleh ayahnya itu baik dengan jalan mencuri, merampas, atau diberi orang. Ketika dia pernah bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah, ibunya hanya menjawab dingin,

"Dia seorang laki-laki yang tidak setia! Semua laki-laki di dunia ini tidak ada yang setia! Karena itu, jangan kau mudah menjatuhkan cinta kasihmu kepada laki-laki, Eng-ji! Sekali cinta kasihmu jatuh, engkau akan menderita!"

Sekarang ibunya menyebut-nyebut mengenai ayah dari ibunya atau kakeknya, karena itu dengan perasaan ingin tahu sekali dia bertanya,

"Ibu menentang kongkong...?"

"Tidak hanya menentang, bahkan aku... membunuhnya..."

"Ibu...!!"

"Ya! Memang aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"

"Ibu...!" Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.

"Cinta memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita ini, menjadi gila, Eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku. Aku tahu betapa cinta membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencinta Sie Cun Hong. padahal aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang sangat berkuasa dan berpengaruh di selatan, seakan-akan menjadi seorang raja muda, dan... dan Sie Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan, bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan pada waktu ayahku melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri...!"

"Ahhh, Ibu..." Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya.

Dalam keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan biasanya. Andai kata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis itu tentu akan lebih bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!

"Kemudian, Sie Cun Hong lelaki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, akan tetapi tetap saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya jatuh ke tanganmu, karena engkau adalah keturunannya, engkau puterinya. Itulah sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi mendongkol dan marah, apa lagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya sudah menurunkan Ilmu Thi-khi I-beng kepadanya, padahal dahulu aku hanya menerima petunjuk sedikit saja... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi kau... kau sudah… jatuh cinta kepadanya!"

Biauw Eng menarik napas panjang. Sungguh hebat riwayat ibunya itu. "Ibu, aku sendiri hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam hatiku ketika dia menyelamatkan aku dari pada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak detik itu aku... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya... ahh, benarkah ini cinta, Ibu?"

"Hukum karma... hukum karma...! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena pertama-tama dia menolongku dari perkosaan Go-bi Jit-kwi (Tujuh Orang Setan Go-bi)."

"Ibu, kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas membayangkan cinta kasih besar ketika dia mengingat pemuda itu. "Ibu, sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada di dekatnya..."

"Pergilah, akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, tetapi dapatkan pula peninggalan pusaka ayahmu."

Sepasang mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata,

"Ibu, terima kasih. Aku pergi sekarang...!"

Lam-hai Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata, "Hanya satu hal yang kuminta agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."

"Apakah itu, Ibu?"

"Berjanjilah, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu dahulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirimu kepada bocah itu di luar pernikahan! Kalian harus menjadi suami isteri yang syah! Nah, apa bila begitu, barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan mengutukmu, Biauw Eng!"

Gadis itu memeluk ibunya dan berbisik, "Aku bersumpah, Ibu."

Kemudian dia melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi sesudah menyambar sabuk sutera putih yang tadi dirampas dan dilemparkan oleh ibunya.

Lam-hai Sin-ni, tokoh nomor satu dari Bu-tek Su-kwi, ‘ratu’ tak bermahkota dari daerah pantai laut selatan, masih duduk bersila. Tubuhnya tidak bergerak, wajahnya tetap dingin, akan tetapi dari kedua matanya keluar dua butir air mata yang perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih…..

********************

Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok-kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru lewat beberapa hari sejak Keng Hong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu, Kun-lun-pai telah diserbu oleh orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau partai mereka.

Golongan bersih yang merasa pernah ‘menghutangkan sesuatu’ kepada Sin-jiu Kiam-ong dan karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalan pendekar itu, mendatangi Kun-lun-pai secara berterang melalui pintu depan, kemudian terang-terangan menyatakan ‘minta bagian’ karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada pihak Kun-lun-pai, mereka ini menganggap bahwa Kun-lun-pai sudah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong.

Akan tetapi golongan sesat memiliki cara yang lain lagi. Mereka datang dengan berbagai macam cara, ada yang sembunyi-sembunyi bagai pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.

Tetapi, partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang mempunyai banyak tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid Kun-lun-pai rata-rata juga memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.

Karena munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali dan akhirnya mereka sadar bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai wakil suhu-nya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sungguh pun merupakan keputusan yang sangat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya.

Dengan mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu lalu menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw tertuju kepada Kun-lun-pai. Jika dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!

Sungguh pun sejauh ini pihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam, akan tetapi dalam pertandingan-pertandingan yang terjadi selama pedang itu berada di sana, di pihak mereka sudah jatuh korban sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini masih ditambah pula dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para tosu itu tidak dapat lagi tidur nyenyak.

Mulailah timbul perasaan tidak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin dulu yang mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid Thian Seng Cinjin yang lainnya mulai mengomel dan menyatakan ketidak senangan mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!

Murid-murid Thian Seng Cinjin jumlahnya ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala, bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng Cinjin meninggal dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga sudah banyak yang diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu.

Karena Kiang Tojin adalah orang yang luas pandangannya, berpengalaman dan memiliki watak teguh dan adil, selain kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya, maka segala urusan berjalan lancar apa bila dia yang mengatur penyelesaiannya. Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sute-nya diam-diam merasa iri hati.

Pagi hari itu, di dalam ruangan yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di bagian belakang asrama Kun-lun-pai, Thian Seng Cinjin duduk di atas lantai yang ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka.

Suasana di ruangan itu memang sangat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat tampak tamasya pegunungan yang sangat indah. Memang tepat sekali nama ruangan ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di hati, cocok untuk bersemedhi atau untuk bertukar pikiran.

Untuk kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang Siang-bhok-kiam yang ia letakkan di depannya di atas lantai. Kemudian, sesudah sejenak delapan orang tosu ini bersama-sama mengheningkan cipta membersihkan pikiran, kakek itu menggerakkan tangan mengelus jenggot panjangnya dan berkata dengan suara halus,

"Sekarang kita semua sudah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan yang biasanya aman tenteram dan tenang. Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kalau kita mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan hati. Yang membuat pinto prihatin dan sekarang mengumpulkan kalian untuk berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidak tenangan yang timbul di antara kita karena getaran bentrokan ketidak cocokan itu dan mencari jalan keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk kita telaah dan pelajari."

Hening sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka sendiri.

Karena sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua ketidak puasan hati, mereka pun mengambil keputusan hendak menekan Kiang Tojin. Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri hati dan diam-diam menentang kakak seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama Sian Ti Tojin, dan murid ke lima Lian Ci Tojin. Ada pun murid yang lainnya ada yang berpihak kepada Kiang Tojin, namun ada pula yang tidak mau mencampuri pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.

"Tepat sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," berkata Sian Ti Tojin. "Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan orang-orang kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari permusuhan dengan sahabat-sahabat dari dunia kang-ouw? Sudah empat orang anak murid Kun-lun-pai mengorbankan jiwa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"

"Benar sekali ucapan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut pendapat teecu, dahulu Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"

Sunyi di ruangan itu sesudah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin tadi hanya mengeluarkan pernyataan yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong kepada ucapan menuduh Kiang Tojin.

Dengan diucapkannya tuduhan tadi, Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan ini. Maka, dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu dengan suara tetap halus,

"Lian Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada fitnah, dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah secara terus terang sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung tinggi."

"Memang teecu menjunjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka dengan perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Bukan tanpa alasan kalau teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong. Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebaskan dari maut oleh Twa-suheng dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong sehingga tidak mengherankan apa bila Twa-suheng melindunginya. Ke dua, memang dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang kang-ouw, melainkan Keng Hong yang akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi, betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana itu!"

Semua mata kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila dengan sikap tenang. Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seakan-akan meminta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus namun lantang, tak menyembunyikan perasaan lain dari pada apa yang akan dikeluarkan melalui mulutnya.

"Semua ucapan Ji-sute dan Ngo-sute tiada yang keliru. Siang-bhok-kiam mendatangkan keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."

Pada saat Kiang Tojin berhenti sejenak, semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang, "Akan tetapi sebenarnya bukan karena keselamatan Keng Hong semata maka teecu memutuskan untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam di sini, melainkan terutama sekali untuk mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."

"Harap Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.

"Siang-bhok-kiam merupakan pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi rebutan orang-orang kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia pada waktu berada di Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan orang lain, bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya? Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur di dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan ditertawakan sampai tujuh keturunan? Harus teecu akui bahwa dengan adanya pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbuan orang luar? Mati sebagai orang gagah perkasa adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah dari pada hidup sebagai seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."

Kecuali dua orang tosu yang menentang, semua sute dari Kiang Tojin secara diam-diam mengakui kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakui hal itu, maka tuduhan ini menjadi hilang artinya, apa lagi setelah ada alasan lain yang demikian kuatnya.

Thian Seng Cinjin mengelus-elus jenggotnya. Diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Dia lalu menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya, kemudian berkata,

"Siancai! Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapa pun juga, pertemuan ini kita adakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil keputusan begitu saja sebelum pinto mendengar semua isi hati kalian. Tidak boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin melihat pertentangan paham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan Kun-lun-pai, justru pada waktu Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Apa bila kalian tidak bersatu, bagaimana mungkin bisa mempertahankan kebesaran Kun-lun-pai? Karena itu, kalau masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus terang berikut alasannya."

Kembali Lian Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini masih muda apa bila dibandingkan dengan para suheng-nya. Usianya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi karena dia sangat berbakat sehingga dapat menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk salah seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, murid-murid Thian Seng Cinjin. Kini terdengar suaranya.

"Suhu, teecu berpendapat bahwa kalau pun kita menahan Siang-bhok-kiam di sini, berarti pedang itu menjadi hak kita, dan sudah sepatutnya pula bila susah payah yang kita derita untuk mempertahankannya itu mendapat imbalan yang sepadan, yaitu dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kunci dari pada tempat rahasia peninggalan pusaka itu? Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng. Sekarang, sekali lagi di hadapan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng, apakah pusaka-pusaka itu tidak akan kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"

"Tidak! Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak pernah mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" Kiang Tojin menjawab dengan suara tegas sehingga para sute-nya termasuk gurunya sendiri, menjadi amat kagum dan bangga di dalam hati.

Akan tetapi tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, kenapa tidak berani memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai? Ahhh, siapakah tokoh di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki? Termasuk Twa-suheng tentunya! Kalau pusaka-pusaka itu kita ambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak setuju karena Twa-suheng hendak memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri. Bukankah begitu?"

Muka Kiang Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, karena itu sekuat tenaga dia menekan kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya.

Maka dia memandang sute-nya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sute-nya yang ke lima ini seolah-olah membenci dirinya? Kemudian dia teringat. Terhadap para sute-nya, Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dalam memimpin, selalu tidak segan menegur apa bila mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari.

Teringatlah dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali tampak lemah menghadapi godaan nafsu birahi, sering kali tampak nyata amat tergoda batinnya kalau bertemu wanita cantik.

Yang terakhir, pada waktu Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan menyuruh sute-sute-nya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam bisa melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa saat membelenggu tangan sute-nya itu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu.

Penyelewengan karena dorongan nafsu ini, walau pun tidak berarti dan kecil, juga tidak terlihat oleh siapa pun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada keesokan harinya memanggil sute-nya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sute-nya itu memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk tuduhan-tuduhan itu.

Kiang Tojin menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api amarahnya setelah dia melihat latar belakangnya mengapa sute-nya itu seperti membencinya.

"Teecu hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu mengambil keputusan setelah teecu pikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri." Demikian Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.

"Ngo-sute, kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita? Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute dapat mengusulkan agar supaya kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan Sin-jiu Kiam-ong?"

Ditegur begini, Lian Ci Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati atas kecerdikan twa-suheng-nya ini sehingga dari keadaan menuduh kini dia malah menjadi seorang tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata,

"Twa-suheng jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan agar supaya kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu. Tentang mempelajarinya, tentu terserah kepada suhu, bila suhu mengijinkan kita mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar peraturan?"

Melihat keadaan mulai ‘panas’, Thian Seng Cinjin cepat-cepat mengangkat tangannya dan berkata, suaranya amat berpengaruh, "Cukuplah sudah semua perbantahan yang kosong ini! Pinto sangat setuju dengan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong. Kalian harus tahu bahwa kitab-kitab itu adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab itu. Lagi pula, hendaknya kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung pada kitab atau pelajarannya, juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri. Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu-ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa tidak akan kalah saktinya dari pada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah, pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan paham dilenyapkan dari hati masing-masing."

Tujuh orang muridnya itu segera berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka. Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki Ruangan Ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian Seng Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.

"Teecu berdua datang melaporkan bahwa pada saat ini puncak Kun-lun sedang terancam dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasuka selatan! Kita sudah terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking dan dari selatan muncul pasukan dari Nanking. Mereka telah mengurung tempat kita."

Hanya Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata,

"Kita harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan kepada seluruh anak murid Kun-lun-pai untuk mengatur barisan dan bersiap-siap!"
Tujuh orang murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing. Kemudian kakek tua Kun-lun-pai itu diikuti oleh ketujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju ke puncak.

Anak murid Kun-lun-pai telah berbaris rapi, terbagi atas dua bagian, sebagian menghadap selatan dan sebagian lainnya menghadap ke utara. Sedangkan Thian Seng Cinjin sendiri dengan gerakan ringan lantas melompat ke atas sebuah batu yang tinggi di puncak itu, diikuti oleh ketujuh orang muridnya. Mereka berdiri tegak di atas batu ini dan nampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di utara, satu lagi di selatan.

Pasukan itu tidak terlalu besar, paling banyak seratus orang masing-masing pihak, akan tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin mereka itu muncul untuk berperang. Hal ini sangat melegakan hati Thian Seng Cinjin yang segera mengerahkan khikang-nya dan berkata dengan lantangnya.

"Kami dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara. Hari ini pasukan-pasukan kedua pihak telah datang berkunjung ke Kun-lun-pai, harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi maksud dari pada kedatangan cu-wi!"

Tiba-tiba dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira yang bertubuh kurus tinggi. Larinya amat cepat dan geraknya gesit sekali, sungguh pun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai.

Sebentar saja perwira itu sudah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi hormat dengan sikap gagah, dua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya kemudian terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.

"Kami Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang sudah diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang gagah perkasa, calon kaisar yang asli, untuk menghadap kepada para pimpinan Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nanking, karena hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan keadilan yang berada di pihak utara!"

Diam-diam Kiang Tojin tersenyum dan merasa kagum. Perwira dari utara ini benar-benar orang yang tepat dijadikan seorang perwira, karena di samping ilmu kepandaiannya tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya tadi, juga jelas bahwa perwira ini memiliki kecerdikan dan kepandaian untuk menarik rakyat ke pihaknya. Dia sudah banyak mendengar bahwa sifat-sifat ini menjadi inti kekuatan pihak utara, karena sifat itu membuat rakyat jelata merasa bersimpati terhadap perjuangan mereka sehingga rakyat berbondong-bondong membantu.

"Maaf, Han-ciangkun," kata Kiang Tojin sesudah dia mendapat isyarat dari gurunya untuk menjawab. "Kiranya raja muda dari utara tidak seharusnya berterima kasih kepada kami, karena pendirian Kun-lun-pai sama sekali bebas, tidak memihak mana pun juga. Kami seluruh anggota Kun-lun-pai hanya merasa perihatin menyaksikan perang saudara sebab yang menjadi korban tak lain adalah rakyat jelata. Karena inilah kami tidak mau memihak siapa-siapa. Hendaknya Han-ciangkun maklum akan pendirian kami dan selanjutnya suka menjelaskan apa kehendak selanjutnya dengan kunjungan ini."

Perwira utara itu tersenyum sabar dan berkata, "Ucapan Totiang betul-betul membuktikan bahwa para tosu merupakan manusia-manusia dewa yang tidak sudi mencampuri urusan dunia lagi. Sungguh menimbulkan rasa kagum! Kami diutus oleh junjungan kami untuk mengharapkan budi kebaikan pihak Kun-lun-pai, agar suka menyerahkan kitab Thai-yang Tin-keng yang tentu tidak akan ada manfaatnya bagi Kun-lun-pai kepada kami."

"Kitab Thai-yang Tin-keng? Kitab apakah itu? Kami tidak tahu, bahkan baru mendengar namanya sekarang," kata Kiang Tojin tanpa ragu-ragu.

Perwira itu masih bersikap sabar. "Kitab itu, sesuai dengan namanya yaitu Kitab Barisan Matahari, adalah ciptaan Raja Besar Jenghis Khan dan merupakan kitab pelajaran untuk mengatur barisan yang diambil dari pengalaman-pengalaman barisan Mongol pada waktu menyerbu ke Tiong-goan (Daratan Tengah). Junjungan kami mohon pinjam kitab itu dari Kun-lun-pai."

"Tapi... kami tidak mempunyai kitab seperti itu!" jawab Kiang Tojin.

Perwira itu mengangguk-ngangguk. "Mungkin memang bukan milik Kun-lun-pai, akan tetapi setelah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kabarnya jatuh ke tangan Kun-lun-pai, tentu kini kitab itu berada di tangan totiang sekalian. Kitab ini dahulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong dari gedung perpustakaan kaisar."

Sebelum Kiang Tojin dapat menjawab, terdengar teriakan keras dan tampaklah bayangan orang berlari cepat sekali dari selatan. Orang ini pun berpakaian seperti perwira, tubuhnya tinggi besar akan tetapi larinya cepat dan tubuhnya kelihatan ringan sekali, membuktikan bahwa perwira selatan ini pun mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Begitu sampai di sebelah selatan batu tinggi itu, perwira ini menggerak-gerakkan kedua tangannya dan berkata, suaranya seperti geledek.

"Harap para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pemberontak hina dina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pemberontak! Kitab Thai-yang Tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan kepada kami!"

"Manusia sombong! Kami bukan pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah.

"Kau pemberontak laknat! Sudah jelas memberontak terhadap pemerintahan yang syah, kau masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan sambil menerjang maju.

Tanpa dapat dicegah lagi dua oang perwira itu sudah maju menerjang sehingga terjadilah saling serang. Pada gebrakan pertama, dengan marah kedua perwira mengirim pukulan dengan tangan hingga terdengar suara keras. Keduanya terhuyung ke belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak! Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami luka hebat. Sekarang mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk bertanding, sedangkan pasukan kedua belah pihak juga sudah berlari-lari untuk saling terjang.

Dua bayangan yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. Laksana burung garuda yang besar mereka melayang turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara ada pun sute-nya menghadapi perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakkan tangan mereka, pedang kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira itu menjadi kaget dan melongo.

"Ji-wi Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru menegur.

Han Tek Thai menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu..."

"Apa? Kun-lun-pai hendak membela kaum pemberontak?" bentak perwira tinggi besar dari selatan.

Menyaksikan sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin menghela napas dan mengelus-elus jenggotnya. "Siancai..., kehendak Tuhan terjadilah...! Kembalikan pedang mereka!"

Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur, namun masih bersiap-siap untuk bergerak apa bila tamu-tamu yang tidak dikehendaki ini membikin kacau lagi.

"Ji-wi Ciangkun dari utara dan selatan, dengarkan baik-baik omongan pinto! Pinto Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai selama hidup tak suka berbohong dan apa yang akan pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi masing-masing!"

Suara Thian Seng Cinjin terdengar jelas sekali walau pun kakek ini bicara perlahan saja. Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya dua orang perwira itu saja yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan seluruh pasukan kedua pihak yang tadinya telah bersiap-siap untuk saling hantam, sekarang tak berani mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya.

Dengan gerakan sangat tenang Thian Seng Cinjin mengeluarkan sebatang pedang kayu dari balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

"Hendaknya Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami pihak Kun-lun-pai sama sekali tidak tahu akan pusaka-pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang kitab Thai-yang Tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang ada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini karena kami pun tidak menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini sudah ada di wilayah Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tak akan kami serahkan kepada siapa pun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami, harap Ji-wi Ciangkun sekarang membawa pulang pasukan masing-masing karena kami melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Apa bila larangan yang menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, maka terpaksa kami turun tangan tanpa memandang bulu, tanpa memihak siapa pun juga!"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras, "Ha-ha-ha! Tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!"

"Tidak, aku lebih berhak!"

"Berikan kepadaku!"

"Padaku!"

Semua tosu Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ sudah muncul banyak orang-orang kang-ouw yang mempergunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuk dan tiba di tempat itu!

Melihat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan Kong-thong-pai bersama orang-orang kang-ouw yang semenjak dulu mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing. Akan tetapi melihat orang yang tadi mengeluarkan suara tawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menghadapi saat gawat.

Suara tertawa tadi keluar dari mulut seorang kakek tinggi besar yang tubuhnya berkulit hitam bagaikan arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti gajah. Tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara!

Dan tak jauh dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum, tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit, mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar seolah-olah dia benar-benar seorang dewa!

Sedikit di belakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang besar-besar itu menonjol keluar. Mukanya berwarna merah darah, rambut riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau pun Pak-san Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo...!
Selanjutnya,