Pedang Kayu Harum Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pedang Kayu Harum Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
THIAN SENG CINJIN yang biasanya tenang itu kini harus menarik napas panjang agar dapat menekan guncangan hatinya, sedangkan para muridnya, kecuali Kiang Tojin yang masih tenang pula seperti gurunya, semua menjadi pucat wajahnya. Tiga orang datuk golongan hitam telah hadir di situ, berarti bahwa urusan ini bukan main-main lagi!

Tidak hanya para tosu Kun-lun-pai yang menjadi gelisah, bahkan pasukan-pasukan dari utara dan selatan juga tercengang menyaksikan munculnya banyak orang-orang aneh ini, ada pun dua orang perwira yang memimpin pasukan masing-masing, tak berani bergerak. Mereka maklum bahwa sekali ini mereka sedang bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasanya aneh-aneh wataknya dan kejam-kejam sekali perbuatanya, maka mereka menjadi berhati-hati dan tidak ada yang berani bergerak.

"Pak-san Kwi-ong," kata Thian Seng Cinjin dengan suara sabar, "kiranya engkau ikut pula mengunjungi Kun-lun-pai! Kata-katamu tadi kurang jelas bagi pinto, harap kau ulangi lagi, apakah benar kedatanganmu ini untuk meminta pedang Siang-bhok-kiam ini?" Dia lalu mengangkat lagi pedang kayu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.

Kiang Tojin melihat dengan hati geli betapa semua mata ditujukan ke arah pedang kayu itu, mengingatkan dia akan mata segerombolan anjing kelaparan yang melihat sepotong tulang!

"Ha-ha-ha, benar sekali! Kalau bukan untuk pedang itu, apa kau kira aku datang karena kangen kepadamu? Ha-ha-ha!" jawab Pak-san Kwi-ong.

"Baik sekali. Kalau begitu akan kutanya pula yang lain. Ang-bin Kwi-bo, sekarang engkau juga ikut muncul, jauh-jauh datang dari timur. Apakah kehendakmu mengunjungi pinto dan perkumpulan pinto?"

"Cih, tosu bau! Siapa sudi mengunjungimu? Aku datang hanya untuk mengambil Siang-bhok-kiam dari tanganmu!" Ang-bin Kwi-bo menjawab sambil memandang dengan mulut mengilar ke arah pedang kayu di tangan ketua Kun-lun-pai itu.

"Jika begitu kehendakmu sama dengan Pak-san Kwi-ong. Dan bagaimana dengan engkau Pat-jiu Sian-ong? Apakah engkau pun menginginkan pedang kayu yang tak berharga ini?"

"Hemm, kalau tidak berharga masa diperebutkan, Totiang?" jawab kakek ini dengan suara yang halus dan ramah, akan tetapi kehalusan ini malah menimbulkan sesuatu yang amat menyeramkan. "Kalau tidak berharga, engkau pun jangan terlalu pelit, lebih baik diberikan saja kepadaku."

"Bagaimana dengan para enghiong yang hadir di sini? Apakah kedatangan Cu-wi ini pun untuk memiliki Siang-bhok-kiam?"

"Benar, serahkan kepadaku!"

"Padaku saja!"

"Padaku...!"

Ribut sekali suara mereka itu sehingga sambil tersenyum pahit Thian Seng Cinjin segera mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat agar mereka tidak berteriak-teriak. Keadaan mereka itu bagi kakek ketua Kun-lun-pai ini seperti anak-anak kecli yang patut dikasihani. Ia lalu berkata dengan penuh kesabaran,

"Kasihan sekali Sin-jiu Kiam-ong! Setelah mati, barangnya masih dipakai rebutan. Cu-wi sekalian! Benda ini hanya ada sebuah, tapi yang menginginkan begitu banyak, bagaimana baiknya? Kalau dibiarkan, tentu kita semua akan menggunakan kekerasan saling gempur sehingga akan banyak roboh korban yang tidak ada gunanya. Pinto tidak menghendaki permusuhan, tidak menghendaki darah tertumpah di tanah Pegunungan Kun-lun-san yang suci. Oleh karena itu, biarlah pinto menguji, siapa yang paling kuat maka dia yang akan memiliki Siang-bhok-kiam. Tak boleh menggunakan kekerasan, dan siapa pun juga yang berani menggunakan kekerasan, maka dia akan dikeroyok oleh semua yang hadir di sini. Bagaimana?"

Walau pun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa bila seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biar pun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang!

Apa lagi kakek ketua Kun-lun-pai bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir itu, adalah lawan-lawan yang takkan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini kemudian mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak,

"Akur, akur!"

"Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Bila mana di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar tapi hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya."

Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan ketujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka, berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.

Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan, atau untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus akan turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang!

"Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu.

Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu, maka mereka ini menjadi jeri.

"Maafkan aku!" Tiba-tiba Han-ciangkun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermaksud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata, "Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang Tin-keng?"

"Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah.

Kiang Tojin mewakili suhu-nya menjawab, "Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!"

"Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?" Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, lantas diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tak akan ada gunanya merampas pedang kayu.

"Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba saja Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andai kata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, apakah pedang itu menjadi milikku?"

"Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin.

"Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?"

"Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tak akan ada orang yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukan menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapa pun juga."

"Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!"

Sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju, kemudian memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu. Dua orang datuk hitam yang lain tidak sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati.

Mereka itu tidak dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dan sampai di mana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. Karena itu mereka itu merasa lebih ‘sip’ untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andai kata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong.

Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengadu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang. Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antara dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya.

Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sebenarnya mereka sudah mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang. Dua tenaga sinkang raksasa yang tidak nampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan, kemudian...

"Prokkkk...!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping!

Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, malah muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian pedang yang atas, yang kini telah pecah-pecah, telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya.

Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing sudah melangkah maju dan mengambil beberapa kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya.

"Ahhhhh...!"

"Kayu biasa...!"

"Sama sekali bukan kayu mukjijat!"

"Tidak harum bagian dalamnya!"

"Bukan Siang-bhok-kiam...!" Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thian Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya.

"Bu... bukan... Siang-bhok-kiam...?" tanyanya gagap.

Kiang Tojin berlutut di depan suhu-nya. "Benar, suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!"

"Bagaimana kau bisa merasa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu.

Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai bisa diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu? Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian.

"Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat dari pada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!"

"Bocah setan!" Tiba-tiba Lian Ci Tojin memaki. "Aku sudah tahu bahwa dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!"

"Lian Ci, diam kau!" Thian Seng Cinjin membentak dengan suara nyaring karena malu dan marah. Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai sampai kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong, seorang bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya, tentu hal ini akan menjadi buah percakapan menggembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang telah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni? Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!"

Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini sangat hebat karena selamanya baru sekali inilah Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar sangat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sebenarnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong. Andai kata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan.

Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin.

"Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!"

"Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipegang oleh anak itu, dan entah disembunyikan di mana. Karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu sudah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti.

Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua datang menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka juga tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong.

Kiang Tojin mengerti bahwa suhu-nya sangat marah dan kecewa padanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, perhitungannya meleset dalam menilai diri Keng Hong.

Karena hatinya merasa kesal, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu,

"Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu juga, bahwa di sini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!"

Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, tetapi dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong.

Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentunya akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu pihak apa bila mereka mengadakan perang di tempat itu.

********************


Seperti telah diceritakan di bagian depan, perang saudara yang terjadi antara utara dan selatan itu adalah akibat perebutan mahkota setelah kaisar Thaicu meninggal dunia pada tahun 1398. Ketika itu, putera sulung kaisar Thaicu sudah terlebih dahulu meninggal dunia dan oleh karena itu, maka sebelum dia meninggal, kaisar Thaicu sudah mewariskan tahta kerajaan kepada cucunya, anak dari putera sulung itu, yang bernama Hui Ti.

Di bawah perlindungan dan dukungan para pembesar yang mempergunakan kesempatan untuk mengangkat diri sendiri mencapai kedudukan tinggi dan berenang dalam kemuliaan duniawi, setahun sesudah kaisar Thaicu meninggal, Hui Ti naik tahta dan menjadi Kaisar Kerajaan Beng.

Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara karena Raja Muda Yung Lo, putera yang lain dari kaisar Thaicu dan yang pada waktu itu bertugas mempertahankan wilayah Beng-tiauw di bagian utara melawan penyerbuan bangsa mongol, menjadi marah dan tak mau menerima pengangkatan kaisar baru itu.

Menurut pendapatnya, tidaklah adil kalau mahkota diwariskan kepada keponakannya itu, dan dia yang sudah banyak berjasa kepada kerajaan, dia sebagai putera ke dua, merasa lebih berhak mewarisi mahkota. Demikianlah, Raja Muda Yung Lo yang berkedudukan di Peking ini lalu membawa bala tentara dan menyerbu ke Nanking hingga timbullah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Beng-tiauw.

Telah menjadi kenyataan dalam catatan sejarah bahwa setiap kali terjadi perang, apa lagi perang saudara sesama bangsa, maka rakyatlah yang menderita. Yang memperebutkan kekuasaan demi kemuliaan diri sendiri hanyalah beberapa gelintir orang besar, akan tetapi yang dijadikan makanan golok dan pedang adalah prajurit-prajurit, anak rayat jelata.

Perang dapat mendatangkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu kekacauan dan kejahatan merajalela, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan kekuatan untuk berperang, di mana penjagaan keamanan untuk rakyat menjadi kosong sehingga terjadilah perampokan-perampokan, pembakaran dusun-dusun, penculikan dan pemerkosaan yang semena-mena.

Tidak jarang pula terjadi pasukan-pasukan yang selalu hidup berhadapan dengan maut, yang oleh perang digembleng supaya menjadi manusia-manusia haus darah yang selalu menderita karena tekanan-tekanan batin, karena tekanan-tekanan lahir, berubah menjadi manusia-manusia yang lebih ganas dibandingkan para penjahat. Dengan dalih ‘berpihak kepada musuh’ banyaklah rakyat jelata menjadi korban keganasan mereka, hanya karena mereka itu silau oleh harta dan silau oleh kecantikan wanita!

Keadaan yang kacau-balau di sepanjang jalan yang dilalui Keng Hong inilah sebenarnya yang bahkan menolong Keng Hong, membuat para tokoh kang-ouw termasuk dua orang tosu Kun-lun-pai kehilangan jejaknya.

Setahun lebih Keng Hong merantau, tujuannya adalah kembali ke Kun-lun-san karena dia telah mengambil keputusan untuk memperdalam ilmunya setelah merasakan pengalaman pahit yang dia derita. Ia harus segera memiliki ilmu kepandaian yang tinggi kalau dia tidak menghendaki gangguan-gangguan di masa depan. Akan tetapi, kekacauan yang terjadi di mana-mana membuat dia tersasar. Ada kalanya dia harus mengambil jalan memutar, ada kalanya harus kembali lagi kalau terhalang oleh perang yang dahsyat.

Pada suatu pagi dia memasuki dusun Ciang-cung yang terletak di kaki gunung Min-san, di lembah sungai Cia-liang. Oleh karena sungai Cia-liang ini mengalirkan airnya ke sungai Yang-ce-kiang yang merupakan jalan perhubungan yang terbaik dan tercepat menuju ke pedalaman, maka dusun Ciang-cung ini cukup ramai. Tanpa diketahuinya secara tepat, Keng Hong sudah makin dekat dengan Kun-lun-san yang berada di sebelah barat Gunung Min-san.

Semakin ke barat, semakin berkuranglah perang, karena bala tentara kedua pihak hanya memperebutkan daerah-daerah antara Peking dan Nanking. Biar pun demikian, wilayah barat ini tidak dapat dikatakan tenteram sama sekali, dan akibat perang saudara melanda juga daerah yang jauh dari pusat tempat perang itu sendiri. Di sini timbul kekacauan-kekacauan dan para penjahat merajalela, berpesta-pora seolah-olah segerombolan tikus yang berada di rumah kosong, ditinggal pergi oleh kucing-kucing yang mereka takuti.

Ketika Keng Hong memasuki dusun Ciang-cung di pagi hari itu, segera dia melihat akibat kekacauan yang melanda di mana-mana. Sepagi itu sudah ada orang berkelahi. Memang Keng Hong akhir-akhir ini sering kali melihat orang bertempur.

Seperti biasanya, dia hendak mengambil jalan lain agar tak terlibat dalam perkelahian itu. Terlalu banyak orang berkelahi bunuh-membunuh yang ditemuinya di mana-mana hingga dia menjadi muak dan bosan. Tidak mungkin dia mencampuri urusan orang-orang lain itu yang semua diakibatkan oleh perang sehingga masing-masing membela pihak pilihannya sendiri.

Tentu Keng Hong sudah meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanannya kalau saja dia tak mendengar bentakan-bentakan nyaring suara wanita. Yang berkelahi ternyata adalah seorang wanita yang dikeroyok banyak laki-laki! Sekali pun dia tidak peduli, namun hal ini menarik perhatian Keng Hong sehingga menggerakkan hatinya untuk menghampiri tempat pertempuran.

Betapa pun juga, kalau melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki seperti itu, tak mungkin dia tinggal diam saja. Gurunya pasti akan memakinya kalau dapat melihat dia mendiamkan saja seorang wanita dikeroyok oleh belasan orang laki-laki!

Setelah dekat dengan tempat pertempuran itu, dia melihat dua belas orang laki-laki yang sedang mengeroyok seorang gadis berpakaian biru muda. Hatinya menjadi kagum sekali. Bukan hanya kagum akan kegesitan dan keindahan gadis itu bermain pedang melayani pengeroyokan belasan orang lawan yang kasar-kasar, kuat dan bersenjata golok itu, akan tetapi terutama sekali melihat wajah yang cantik jelita, mata yang bersinar-sinar seperti mata burung hong, muka yang putih kemerahan, tubuh yang padat ramping, pendeknya, seorang gadis yang amat cantik!

Yang membuat Keng Hong terheran-heran dan penasaran adalah pada waktu dia melihat bahwa di situ tak ada orang yang berani mendekat, apa lagi melerai perkelahian, bahkan rumah-rumah dan warung-warung terdekat juga telah menutup pintu dengan tergesa-gesa. Tampak olehnya ada empat orang laki-laki tinggi besar yang sudah roboh berlumur darah, juga seorang pemuda remaja terduduk di atas tanah memegang pundaknya yang terluka terkena bacokan.

Ilmu pedang gadis itu lihai, akan tapi menghadapi pengeroyokan dua belas orang laki-laki kasar itu, si gadis menjadi repot juga. Apa lagi karena para pengeroyoknya mengeluarkan kata-kata yang kasar serta kotor, dengan ancaman-ancaman yang menjijikan, membuat gadis itu makin merah mukanya dan makin kacau gerakan pedangnya.

"He, kawan, jangan sampai dia terluka!"

"Jangan membikin cacat wajahnya yang cantik halus!"

"Biarkan dia kehabisan tenaga, tentu akan menyerah sendiri, ha-ha-ha!"

"Wah, kalau tenaganya habis, bagaimana bisa melayani kita?"

"Jangan khawatir, gadis kang-ouw simpanan ini tenaganya kuat, heh-heh-heh!"

"Robek-robek dan tanggalkan semua pakaiannya, berikan padaku lebih dulu!"

"Aku dulu!"

"Aku dulu!"

"Eh, kawan-kawan. Mengapa ribut-ribut? Biar dia kita tangkap dulu, baru kita mengadakan undian siapa yang akan menikmatinya lebih dulu!"

Muka Keng Hong menjadi merah sekali. Dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi dia masih belum tahu apa urusanya, dan apa yang menyebabkan mereka berkelahi. Apa bila dia langsung membantu gadis itu, apakah itu adil namanya? Siapa tahu, justru gadis ini yang berada di pihak salah. Maka dia menanti dan memandang penuh perhatian.

Gadis baju biru itu sudah mulai lelah. Gerakannya semakin lambat dan ketika tiga buah golok secara berbareng menangkis pedangnya dengan pengerahan tenaga kasar, gadis itu menjerit, pedangnya terlempar dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Banyak tangan menyambarnya dan...

"Brettt... aihhhh...!!" sebagian bajunya terobek berikut baju dalamnya sehingga tampaklah leher, pundak dan sebagian dada kiri yang berkulit putih halus seperti susu.

Keng Hong tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dia meloncat maju dan membentak, "Orang-orang kurang ajar! Mundur...!"

Sekali tangkap dia telah mencengkeram dua orang laki-laki pada bagian tengkuknya dan bagaikan melempar rumput kering saja, dia melontarkan dua orang itu ke belakang hingga mereka terpental dan terlempar sejauh empat meter, terbanting dan bergulingan. Dia tidak berhenti sampai di situ, kaki tangannya bergerak lagi dan kembali empat orang laki-laki terlempar jauh dan jatuh bangun!

Empat orang yang lain cepat-cepat membalikkan tubuh dan golok-golok di tangan mereka menyambar. Akan tetapi, mereka itu hanyalah kumpulan orang kasar yang mengandalkan keberanian, tenaga kasar dan golok. Begitu Keng Hong menggerakkan tangannya, angin dorongan tangan itu membuat keenam orang pengeroyok terhuyung mundur.

Dua orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka menjadi penasaran lalu berseru keras dan menerjang maju lagi dengan golok mereka. Namun Keng Hong mendahului mereka, menyampok keras hingga terdengar bunyi.

"Krek-krek!"
Suara ini muncul ketika tangan Keng Hong bertemu dengan pergelangan tangan mereka yang menjadi patah tulangnya. Mereka meringis kesakitan dan melompat mundur, tidak berani maju lagi.

"Masih tidak lekas minggat dari sini?!" Keng Hong menghardik, pandang matanya tajam menusuk.

Dua belas orang itu tidak berani untuk mencoba-coba lagi, mereka lalu pergi membawa teman-teman yang terluka. Ternyata jumlah mereka semua ada enam belas orang, yang empat telah dirobohkan gadis cantik itu.

Setelah mereka semua kabur, barulah Keng Hong menoleh dan melihat gadis itu tengah menolong pemuda remaja yang terluka pundaknya. Terdengar olehnya suara gadis itu yang halus, "Bagaimana, adikku? Parahkah lukamu?"

Pemuda remaja itu menggigit bibirnya dan menggelengkan kepalanya. "Kurasa tulangnya patah... Cici, lekas haturkan terima kasih..."

Gadis baju biru itu agaknya seperti baru teringat, Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya menghadapi Keng Hong yang berdiri memandang mereka, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

"Saya Sim Ciang Bi bersama adik saya Sim Lai Sek menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap (Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan nyawa kami."

Dua macam perasaan memenuhi hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Dia disebut taihiap! Dia merasa bangga dan juga jengah. Tentu gadis ini menganggap dia seorang pendekar yang berilmu tinggi karena dalam segebrakan saja mampu mengusir dua belas orang laki-laki kasar tadi. Padahal kalau mempergunakan ilmu silat, tanpa disertai tenaga sinkang yang luar biasa, belum tentu dia menang lihai dari pada gadis itu sendiri. Bangga karena mulut yang manis dan mungil itu menyebutnya taihiap, namun jengah dan malu karena dia sendiri merasa amat tidak pantas disebut seorang pendekar besar.

"Ah, harap jangan sungkan, bangkitlah, Nona," katanya sambil mengangkat bangun gadis itu.

Ketika kedua telapak tangannya menyentuh pundak itu, terasa hawa yang hangat lunak keluar dari daging pangkal lengan yang halus itu. Maka berdebarlah jantung Keng Hong, apa lagi ketika pandangan matanya bertemu dengan sebagian dada yang telanjang itu. Pandang matanya seperti lekat pada kaki dan lereng bukit dada yang putih halus.

"Cici... bajumu...!" Pemuda remaja itu memperingatkan cici-nya yang ketika itu sedang memandang wajah Keng Hong.

Gadis itu merintih perlahan dan mukanya menjadi merah sekali. Keng Hong cepat-cepat membuka jubahnya dan menyelimutkan jubah ini pada tubuh si gadis yang memandang kepadanya dengan sinar mata berterima kasih. Hal ini membebaskannya dari rasa malu, apa lagi kalau diingat bahwa kini banyak orang mendatangi tempat itu. Mereka ini adalah penduduk dusun yang baru berani keluar setelah perkelahian itu berakhir.

"Ah, masih untung Sam-wi dapat lolos dari pengeroyokan mereka. Harap Sam-wi segera pergi meninggalkan dusun ini, karena kalau tidak... mereka pasti segera datang lagi dan menyusahkan Sam-wi (Tuan bertiga)." Yang berkata demikian ialah seorang kakek kurus, mukanya membayangkan kegelisahan.

Keng Hong mengerutkan alis. Dia sudah membantu dan dia tak boleh kepalang tanggung membantu nona ini. "Lopek, kami tidak takut menghadapi ancaman mereka. Biarkan saja mereka datang, akan kami hajar mereka semua! Saat ini kami perlu untuk merawat adik yang terluka ini. Siapakah di antara Cu-wi (Tuan sekalian) yang sudi menolong kami dan meminjamkan tempat untuk istirahat dan berobat?"

Akan tetapi, sekian banyaknya pasang mata hanya memandangnya dengan terbelalak, penuh kekhawatiran dan tiada seorang pun yang menawarkan tempatnya. Kakek itu cepat berkata,

"Enghiong (Orang gagah) harap bisa memaklumi keadaan kami. Mereka adalah kawanan buaya darat yang tinggal di dusun tak jauh dari sini. Kalau saja mereka mendengar ada salah seorang di antara kami berani membantu Sam-wi, tentu yang membantu itu akan celaka...!"

"Pengecut!" Tiba-tiba Sim Lai Sek yang terluka pundaknya itu berseru marah. "Apakah dikira kami tidak akan membela dia yang menolong kami? Dan kami bersedia membayar sewa kamar dan harga obat!"

Keng Hong hanya tersenyum dan maklum akan rasa penasaran pemuda remaja itu, yang ternyata tampan seperti cici-nya, sepasang matanya lebar dan mukanya membayangkan keberanian.

"Maaf, Siauw-enghiong. Kami tentu percaya akan kegagahan Sam-wi, akan tetapi maukah Sam-wi selamanya tinggal di dusun ini?"

"Apa...?!" Kini gadis cantik itu yang bertanya, matanya terbelalak heran dan Keng Hong terpaksa harus mengalihkan pandangnya karena mata itu amat indahnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akan melongo menikmati keindahan itu.

"Nona, dan Siauw-te, harap Ji-wi memaklumi kekhawatiran mereka ini. Lopek ini benar. Memang, selama kita masih berada di sini, penjahat-penjahat itu tak akan berani datang mengganggu. Akan tetapi tidak mungkin kita tinggal selamanya di sini dan bila mana kita sudah pergi lalu mereka datang mengamuk, membalas dendam kepada penduduk dusun ini, bukankah sama saja artinya dengan kita yang mencelakakan penduduk di sini?"

Enci dan adik itu tercengang dan mengangguk-angguk. "Ahhh, kalau begitu apa gunanya ada penjaga keamanan? Apa gunanya ada pembesar setempat? Bukankah di sini ada kepala dusun wakil pemerintah?" Sim Lai Sek masih mencoba untuk menyatakan rasa penasarannya.

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Siauw-enghiong, hal begini saja masakah Enghiong masih belum tahu? Semenjak saya masih kanak-kanak sampai sekarang sudah kakek-kakek, mana ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat jelata? Memang selalu ada penjaga keamanan, juga ada pembesar setempat, akan tetapi kenyataan pahit yang menyedihkan namun tidak dapat disangkal adalah bahwa penjaga keamanan di sini hanya namanya saja penjaga keamanan, akan tetapi pada kenyataanya adalah pengacau keamanan. Mereka hanya menjadi pelindung-pelindung bayaran, yang menggunakan kekuasaan untuk kesenangan sendiri. Ada pun pembesar hanya namanya saja besar, akan tetapi, jiwanya kecil dan lalim. Sudahlah, harap Sam-wi memaklumi keadaan kami rakyat kecil yang melarat dan tidak menambah beban kami yang sudah berat."

"Mari kita keluar dari dusun ini, biarlah saya mencarikan tempat istirahat untuk Ji-wi," kata Keng Hong.

Tanpa menanti lagi dia segera membungkuk dan memondong tubuh Sim Lai Sek yang terluka. Pemuda remaja ini sudah amat lemah, bukan hanya oleh lukanya di pundak yang mematahkan tulangnya, namun juga karena lemas akibat kehilangan banyak darah.

"Di luar dusun, di dalam hutan sebelah barat terdapat sebuah kuil yang kosong. Kiranya Sam-wi dapat beristirahat di sana. Sam-wi dapat membawa bekal makanan dan bahan obat," kata pula si kakek yang sesungguhnya menaruh rasa kagum dan simpati kepada tiga orang muda yang sudah berani menentang para buaya darat yang semenjak dahulu merupakan gangguan di dusun itu.

Setelah Ciang Bi, gadis itu, membeli obat-obat dan bahan makanan, berangkatlah mereka bertiga keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat dan benar saja, di tengah hutan itu mereka menemukan sebuah kuil tua yang kosong, akan tetapi lumayan untuk tempat berteduh dan mengaso. Keng Hong lalu merebahkan tubuh Lai Sek di atas lantai yang sudah dibersihkan oleh Ciang Bi. Kemudian dia membantu gadis itu menggodok obat dan merawat Lai Sek.

Setelah pemuda remaja itu minum obat, makan bubur dan tertidur nyenyak, Ciang Bi dan Keng Hong duduk di ruang luar kuil, di atas batu-batu halus yang agaknya dahulu dipakai untuk bersemedhi para pendeta penghuni kuil. Sampai lama mereka hanya berdiam diri dan setiap kali mereka bertemu pandang, gadis itu menundukkan mukanya dan bibir yang merah dan segar selalu itu tersenyum malu-malu.

"Taihiap..."

"Ahh, jangan menyebut aku taihiap, Nona. Aku seorang biasa saja yang kebetulan dapat membantumu. Namaku Keng Hong, Cia Keng Hong."

"Tapi... kepandaianmu sunggguh amat luar biasa, Taihiap. Sungguh membuat hatiku amat kagum."

"Kepandaianmu bermain pedang pun sangat hebat, Nona. Aku yang bodoh mana dapat dibandingkan denganmu. Engkau masih muda tetapi sudah amat pandai bermain pedang, gerakanmu cekatan dan ringan, permainan pedangmu indah sekali bagai seorang bidadari menari dan kau... kau cantik jelita sekali, Nona."

Gadis itu cepat menengok dan menatap wajah Keng Hong. Akan tetapi dia tidak melihat pandang mata kurang ajar, hanya melihat sinar kekaguman yang jujur terpancar keluar dari sepasang mata yang tajam itu sehingga dia tidak jadi marah, bahkan lalu menunduk dengan muka merah, bibirnya tersenyum, matanya mengerling dan jantungnya berdenyut penuh kegembiraan. Wanita manakah di dunia ini yang takkan menjadi dak-dik-duk hatinya kalau menerima pujian-pujian yang begitu jujur dari seorang pemuda yang amat gagah perkasa dan tampan pula?

Sejenak mereka diam tak berkata-kata. Keadaan ini tidak mengganggu Keng Hong yang menikmati pemandangan indah di depannya, rambut yang hitam mulus dan halus panjang terurai itu, wajah yang cantik sekali, sepasang mata seperti mata burung hong, hidung kecil mancung yang cupingnya dapat bergerak-gerak sedikit pada waktu merasa malu dan merah, mulut yang indah bentuknya dengan sepasang bibir yang seolah-olah dicat merah, merah semringah dan selalu segar, sepasang pipinya kemerahan bagaikan buah tomat setengah matang, dagu kecil meruncing yang kalau digerakkan menimbulkan lesung pipit di atasnya. Tubuh yang ramping padat dan biar pun kini tertutup jubah Keng Hong yang terlalu besar, masih tak dapat menyembunyikan bentuknya yang menggairahkan.

Biar pun mereka tak berkata-kata, Keng Hong tidak merasa kesepian. Akan tetapi gadis yang maklum betapa sepasang mata orang yang dikaguminya itu memandangnya penuh kekaguman, menjadi tak tenang dan akhirnya ia berkata lirih,

"Cia-taihiap, betapa aku akan dapat membalas budimu yang amat besar? Biarlah aku dan adikku akan selalu berdoa untuk kebahagianmu..."

"Ihhh, Nona, mengapa begini sungkan? Lupakan saja apa yang telah kulakukan karena itu semua tak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban seorang manusia yang harus membantu manusia lain yang sedang tertimpa kemalangan."

"Engkau gagah dan bijaksana, taihiap..."

Gadis itu memandang dan sejenak pandang mata mereka saling melekat. Keng Hong dapat menangkap sinar kemesraan memancar dari pandang mata di balik bulu mata lentik itu, akan tetapi hanya sebentar saja karena gadis itu sudah cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebelah dalam kuil. Keduanya cepat melesat ke dalam kuil seperti berlomba, dan berbareng mereka memasuki ruangan di mana tadi Lai Sek rebah dan tidur.

Sekarang pemuda remaja itu sudah bangun, akan tetapi masih rebah dan terlihat gelisah sekali. Mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan marah seperti orang sedang berkelahi, kaki tangannya bergerak-gerak, tetapi matanya meram. Keng Hong menarik napas lega. Kiranya pemuda itu hanya mengigau saja.

"Dia diserang demam!" Seru Ciang Bi khawatir ketika meraba leher adiknya itu. Keng Hong meraba dahi pemuda itu dan ternyata pemuda itu diserang demam panas.

"Biar kucarikan obat di dusun itu untuk melawan demamnya," kata Keng Hong dan tanpa menanti jawaban dia sudah berkelebat lari menuju ke dusun itu. Pemilik toko obat dengan senang hati memberikan obat penolak demam yang disebabkan luka, kemudian pemuda ini cepat kembali lagi ke dalam hutan.

Dapat dibayangkan betapa marah hatinya ketika melihat bahwa di depan kuil itu sudah dipenuhi dengan orang-orang yang dia kenal adalah orang-orang yang tadi mengeroyok enci dan adik itu. Jumlah mereka kini tidak kurang dari tiga puluh orang dan paling depan berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka merah yang membawa golok besar.

Laki-laki tinggi ini sedang bicara dengan Ciang Bi, menuding-nudingkan goloknya ke arah gadis itu yang bersikap tenang dengan pedang di tangan, dan sudah siap untuk melayani pengeroyokan. Keng Hong mempercepat larinya dan dengan gerakan indah dia meloncati kepala mereka yang mengurung, langsung turun di dekat Ciang Bi. Wajah gadis ini berseri melihat datangnya penolongnya.

Keng Hong tidak mempedulikan si tinggi besar, bahkan dia memberikan bungkusan obat kepada gadis itu sambil berkata, "Nona, kau serahkan saja tikus-tikus ini kepadaku. Lekas masak obat ini dan minumkan kepada adikmu."

Gadis itu meragu, menyapu para penjahat itu dengan matanya. Agaknya ia merasa berat meninggalkan pemuda penolongnya itu seorang diri saja menghadapi sekian banyaknya penjahat, apa lagi yang kini dipimpin oleh kepala mereka yang kelihatannya kuat dan lihai.

"Akan tetapi..."

"Jangan membantah, lebih baik lekas tolong adikmu. Aku sanggup melayani mereka ..."

"Taihiap, pakailah pedangku..."

"Terima kasih. Tidak usah. Menghadapi segala macam tikus busuk, perlu apa mengotori pedangmu?"

Sejenak gadis itu memandangnya, memandang dengan sinar mata mesra seperti tadi, akan tetapi sekarang lebih lama dan lebih jelas sehingga Keng Hong-lah yang lebih dulu menundukkan muka karena tidak tahan menghadapi pemandangan yang mengguncang perasaannya ini. Gadis itu lalu berlari masuk membawa obat dan pedangnya, sedangkan Keng Hong lalu menghadapi kepala penjahat sambil berkata,

"Kalian ini mau apakah? Puluhan orang laki-laki tinggi besar mendesak dan mengganggu seorang gadis muda dan adiknya yang sedang sakit, sungguh perbuatan yang amat tidak gagah!"

Kepala penjahat itu usianya kurang lebih empat puluh tahun. Tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat sekali dan goloknya amat besar dan kuat, sikapnya pun menyeramkan. Mukanya merah seperti wajah Kwan Kong pahlawan pada jaman Sam-kok, dengan kumis dan jenggotnya yang hitam lebat, sepasang matanya yang lebar itu kemerahan. Dengan gerakan goloknya dia menuding ke arah Keng Hong dan suaranya serak ketika bertanya kepada anak buahnya,

"Inilah pemuda usilan itu?"

"Benar dia, Twako!" kata seorang di antara mereka yang tadi dihajar Keng Hong.

Kepala penjahat itu kembali memandang Keng Hong penuh perhatian, seolah-olah tidak dapat percaya bahwa pemuda yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun ini mampu merobohkan dua belas orangnya!

"Siapa namamu?" bentaknya, sikapnya sombong dan memandang rendah.

"Namaku Cia Keng Hong."

"Kamu orang Hoa-san-pai juga?"

Pertanyaan ini menyadarkan Keng Hong bahwa enci dan adik itu tentu murid Hoa-san-pai. Pantas saja ilmu pedangnya demikian indah. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

"Aku bukan dari partai mana-mana, aku hanyalah seorang yang kebetulan lewat dan tidak tahan melihat belasan laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang wanita. Mengapa kalian bukannya insyaf akan perbuatan pengecut dan memalukan itu bahkan kini kembali datang mengganggu? Lebih baik kalian sadar dan pergi saja, karena perbuatan kalian ini hanya akan membuat kalian tercela dan ditertawakan orang gagah sedunia."

"Bocah sombong! Bocah usilan! Kami mempunyai urusan sendiri dengan orang-orang dari Hoa-san-pai, ada sangkut paut apa denganmu? Engkau sudah bosan hidup!"

Kepala penjahat itu sudah menerjang dengan goloknya dan terdengar suara mendesing pada saat golok itu menyambar ke arah kepala Keng Hong. Pemuda ini belum sempurna mempelajari ilmu silat dan yang telah dipelajarinya hanyalah delapan jurus ilmu serangan dan ilmu pedang yang belum matang, maka dia amat kaget dan cepat meloncat mundur. Loncatannya sangat ringan dan cepat, namun gerakannya mengelak kaku sekali.

Hal ini dilihat oleh kepala penjahat yang ilmu silatnya lumayan juga, maka sambil berseru keras dia maju lagi menubruk sambil membacokkan goloknya. Tetapi sekali ini Keng Hong yang maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, sudah mendahului dengan pukulan atau dorongan dua tangannya ke depan. Ia menggunakan telapak tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang.

Terdengar penjahat tinggi besar itu menjerit dan roboh terjengkang, memuntahkan darah segar. Matanya mendelik dan nyawanya melayang pada saat itu juga!

Melihat robohnya pemimpin mereka, orang-orang kasar itu menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriak memaki mereka sudah menerjang maju, mengeroyok Keng Hong dengan senjata mereka.

Keng Hong yang belum memiliki banyak pengalaman dalam pertempuran, apa lagi kalau dikeroyok tiga puluh orang yang memegang senjata tajam, menjadi bingung sekali. Akan tetapi untung baginya bahwa gemblengan mendiang gurunya ditekankan kepada sinkang dan ginkang sehingga tubuhnya yang mengelak dan meloncat ke sana-sini itu jauh lebih cepat dari pada gerakan para pengeroyoknya sehingga mereka menjadi bingung karena bagi mereka, tubuh pemuda itu seperti lenyap dan berkelebatan seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi sesosok bayangan yang sukar diserang.

Melihat betapa dengan mudah dan leluasa dia dapat bergerak di antara pengeroyoknya yang menurut pandangannya bergerak sangat lambat itu, timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Baru sekarang dia mengerti kenapa suhu-nya dahulu menekankan latihan sinkang dan ginkang.

Kiranya, waktu yang amat pendek ketika dia belajar dahulu telah diisi dengan dasar dari pada syarat utama dalam ilmu silat, yaitu kecepatan gerakan dan kekuatan dalam. Kini, setelah dengan mudah dia dapat menghindarkan semua serangan dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, dia mulai balas menyerang dan alangkah mudahnya merobohkan mereka itu. Dengan satu kali tamparan atau tendangan saja dia telah mampu merobohkan seorang pengeroyok.

Keng Hong lalu mengamuk. Walau pun dipandang oleh mata orang lain dia dikeroyok dan dikepung, namun kenyataannya, seorang demi seorang dari para pengeroyoknya dapat dia robohkan dan makin lama pengeroyokan itu menjadi makin kacau.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok yang sudah kehilangan tujuh orang teman yang sudah dirobohkan Keng Hong. Para pengeroyok yang berada di sebelah luar berjatuhan dan dalam sekejap mata saja ada lima orang roboh!

Keng Hong melirik dan pandang matanya yang tajam hanya bisa melihat sinar-sinar putih berkelebatan. Maka, maklumlah dia bahwa ada orang yang sudah membantunya dengan menggunakan senjata rahasia untuk merobohkan para pengeroyok.

Dia menjadi gembira dan kembali dua orang dapat dia robohkan dengan tamparan kedua tangannya. Para pengeroyok menjadi makin panik dan akhirnya mereka itu melarikan diri pontang-panting, meninggalkan teman-teman yang tewas atau terluka.

"Sahabat baik yang telah membantu, harap suka keluar!" Keng Hong berteriak memanggil setelah semua pengeroyoknya pergi. Tetapi tidak ada jawaban, juga tidak tampak gerakan di balik pohon-pohon. Keadaan sunyi sekali, kecuali suara merintih yang keluar dari mulut mereka yang terluka.

"Dia sudah pergi, In-kong..."
Keng Hong membalikkan tubuhnya, melihat bahwa Ciang Bi telah berdiri di ambang pintu kuil dengan pandang mata penuh kagum dan bersyukur kepadanya. Sekarang gadis itu menyebutnya ‘in-kong’ (tuan penolong).

"Dia siapa, Nona?"

"Entahlah, akan tetapi aku melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berpakaian putih di balik pohon sana. Dia membantumu dengan cara bersembunyi, tentunya kini telah pergi. Tentu In-kong mengenal dia."

Berdebar jantung Keng Hong. Gadis baju putih yang lihai? Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng? Ia menghampiri lima orang pengeroyok yang tadi roboh dan melihat bahwa mereka ini telah tewas, pelipis mereka remuk oleh bola-bola putih berduri yang dia kenal sebagai senjata rahasia Biauw Eng!

Ahhh, kembali gadis itu telah menolongnya. Akan tetapi mengapa harus menolong sambil bersembunyi? Mengapa tidak menemuinya?

"In-kong tentu mengenal gadis yang lihai itu, bukan?"

Keng Hong mengangguk, kemudian bertanya, "Bagaimana dengan adikmu?"

Gadis itu memandang penuh rasa terima kasih. "Berkat pertolonganmu, adikku telah turun panasnya. Berkat pertolonganmu, kami kakak beradik masih dapat bernapas sampai saat ini. Tidak tahu bagaimana kami akan dapat membalas budimu yang besar." Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan diri berlutut.

Sekali meloncat, Keng Hong sudah tiba di depan gadis itu, memegang pundaknya dan mengangkatnya bangun. Darahnya berdesir ketika dia menyentuh kedua pundak itu. Dari luar baju dia dapat merasakan alangkah halusnya kulit pundak itu. Cepat dia melepaskan kedua tangannya sesudah Ciang Bi bangkit berdiri.

Sejenak mereka berpandangan. Dari sepasang mata yang indah itu bersinar kemesaraan yang membuat bulu tengkuk Keng Hong berdiri dan jantungnya berdebar-keras.

"Jangan memberi penghormatan secara berlebihan, Nona. Telahkukatakan bahwa semua yang kulakukan bukanlah pertolongan, akan tetapi kewajiban. Sekarang kita harus cepat pergi dari sini. Tempat ini amat tidak baik dan tidak enak untuk tinggal di sini." Dia lantas memandang ke arah mayat-mayat dan orang-orang terluka. "Mari kita mencari tempat lain untuk merawat adikmu sampai sembuh."

Ciang Bi mengangguk dan Keng Hong lalu memasuki kuil. Sim Lai Sek, pemuda remaja berusia enam belas tahun itu, demamnya sudah turun dan hanya tubuhnya masih lemah. Ia tersenyum dan wajahnya yang pucat itu menyinarkan kekaguman saat dia memandang Keng Hong.

"Engkau hebat dan baik sekali..., Taihiap...," katanya lemah.

Keng Hong tak menjawab, hanya membungkuk dan memondongnya sambil berkata, "Kita harus pergi dan mencari tempat lain."

Pemuda itu kelihatan sungkan. "Aku dapat berjalan sendiri, Taihiap."

"Engkau masih lemah dan kita perlu melakukan perjalanan cepat pergi dari tempat ini," kata Keng Hong yang segera lari dari kuil itu, diikuti oleh Ciang Bi.

Mereka berlari terus keluar dari hutan itu tanpa bercakap satu kata pun. Ciang Bi selalu tersenyum dan kadang-kadang melontarkan kerling penuh kagum dan bersyukur ke arah pemuda yang memondong adiknya. Keng Hong berlari sambil melamun karena pikirannya penuh dengan bayangan Biauw Eng yang dia anggap aneh sekali, menolongnya secara sembunyi-sembunyi dan tidak mau menemuinya.

Karena malam tiba, akhirnya mereka terpaksa menghentikan perjalanan. Untung mereka mendapatkan sawah ladang yang luas dan di sana terdapat beberapa buah gubuk kecil, tempat para petani berteduh dan menjaga sawah.

Sunyi senyap di tempat itu dan langit amat cerah. Meski pun malam itu tidak ada bulan, akan tetapi bintang-bintang memenuhi angkasa dan tidak ada satu pun bayangan pohon yang menggelapkan tempat itu.

Keng Hong merebahkan tubuh Lai Sek di dalam sebuah gubuk, kemudian dia pergi untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Ada pun Ciang Bi menjaga adiknya yang masih amat lemah.

"Cici, dia baik sekali...," kata pemuda remaja itu kepada kakaknya setelah bayangan Keng Hong lenyap ditelan cuaca yang suram.

Gadis itu mengangguk, termenung sampai lama kemudian terdengar bisikan adiknya.

"Dia lihai sekali. Murid siapakah dia, Cici? Dari golongan mana?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. Seluruh perasaannya terselimut dengan bayangan Keng Hong, rongga dada dan kepalanya penuh oleh pemuda penolongnya yang amat menarik hatinya itu.

"Aku tidak tahu..., kami belum sampai bicara tentang itu..."

"Ehhh, mengapa begitu, Cici? Kita sudah ditolongnya, dibebaskannya dari ancaman maut sampai dua kali, bahkan dia terus menjaga serta merawatku. Kita harus tahu siapa dia, bagamana keadaannya dan dari golongan mana. Betapa pun juga, budi sebesar ini harus kita balas kelak. Bahkan kita harus melaporkan kepada suhu supaya Hoa-san-pai kelak dapat membalas budinya."

"Sudahlah, kau mengasolah Lai Sek. Kulihat dia itu tak begitu suka untuk diingatkan akan budinya."

"Tetapi... kau harus bertanya tentang gurunya, partainya..."

Gadis itu menutup mulut adiknya dengan telapak tangannya yang halus. "Akan kulakukan itu, sekarang minumlah obat ini lebih dulu."

Ciang Bi telah membuat api unggun dan memanaskan obat dalam tempat obat dari tanah yang tadi dibawanya, obat dan tempatnya yang didapatkan oleh Keng Hong sebelum para penjahat tadi datang menyerbu.

Lai Sek terpaksa minum obat yang pahit itu dan rasa pahit melenyapkan nafsu bicaranya sehingga dia mulai memejamkan matanya. Tubuhnya masih letih sehingga sebentar saja dia tertidur pulas.

Keng Hong datang membawa beberapa buah bakpauw panas dan seguci besar terisi air teh yang dibelinya dari dusun tak jauh dari sawah itu. Ia menawarkannya kepada Ciang Bi dan mereka lalu makan minum tanpa bicara, menyisihkan bagian Lai Sek supaya dapat dimakan pemuda itu kalau sudah bangun. Kemudian keduanya duduk dekat api unggun.

"Syukurlah kalau adikmu sudah sembuh, Nona," Keng Hong berkata untuk memecahkan kesunyian yang mencekam sambil memandang wajah jelita itu yang disinari cahaya api unggun kemerahan.

"Berkat pertolonganmu, In-kong."

"Harap kau jangan menyebutku In-kong atau taihiap. Namaku Cia Keng Hong dan sebut saja kakak kepadaku karena tentu aku lebih tua darimu. Usiaku sudah hampir sembilan belas tahun."

"Kau juga harap jangan menyebut nona. Namaku Sim Ciang Bi dan usiaku delapan belas tahun, Twako."

Keng Hong tersenyum. "Baiklah, Bi-moi (adik Bi). Dan harap jangan menyebut-nyebut lagi tentang pertolongan, kau membuat aku menjadi malu saja."

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Twako. Engkau telah menolong kami enci dan adik, bolehkah aku mengetahui, engkau dari perguruan mana? Ilmu kepandaianmu hebat sekali." Gadis itu memandang kagum, kekaguman yang setulusnya dan yang terbayang sepenuhnya pada pandang mata yang tajam itu, pada wajah yang jelita itu.

Keng Hong menarik napas panjang. Dia kini sudah cukup kenyang dengan pengalaman pahit apa bila orang mengetahui akan dirinya, mengetahui bahwa dia adalah murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan terutama sekali, bila mengetahui bahwa dia pewaris pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang kang-ouw karena mereka mengira bahwa pedang itu ialah kunci tempat penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya. Karena itu, kini mendengar pernyataan gadis jelita ini, dia enggan untuk memperkenalkan perguruannya.

"Ahh, aku bukan dari perguruan mana-mana, Bi-moi dan sebaiknya aku tidak membawa nama guruku yang telah meninggal dunia. Riwayatku tak menarik, aku seorang sebatang kara, rumah pun tidak punya. Lebih baik mendengar riwayatmu, Bi-moi, kalau kau tidak berkeberatan. Mengapa engkau dan adikmu bermusuhan dengan mereka itu? Di mana tempat tinggalmu dan hendak ke mana kalian pergi?"

"Twako, engkau terlalu merendahkan diri. Seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tentu berasal dari perguruan yang tinggi dan ternama, atau setidak-tidaknya tentu murid seorang yang sangat sakti. Akan tetapi kalau engkau hendak merahasiakannya, aku pun tidak berani memaksa. Tentang aku... ahhh, aku dan adikku hanya murid-murid kecil dari Hoa-san-pai."

Keng Hong teringat akan dua orang tokoh Hoa-san-pai seperti yang sudah dituturkan oleh gurunya, yaitu yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, dua orang kakek bersaudara yang amat terkenal dan di dunia kang-ouw dijuluki Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san)!

Juga dia teringat dengan cerita gurunya akan pengalaman-pengalaman gurunya dimusuhi oleh kaum Hoa-san-pai, yaitu karena gurunya dahulu pernah mencuri ramuan obat dan pedang pusaka dari Hoa-san-pai. Bahkan kemudian terdapat pula seorang murid wanita Hoa-san-pai yang tergila-gila pada Sin-jiu Kiam-ong dan melarikan diri bersama pendekar yang nakal itu! Teringat akan penuturan gurunya, mau tidak mau Keng Hong tersenyum lebar.

"Kenapa engkau tertawa, Twako?"

"Ahh, tidak apa-apa, Bi-moi. Hanya aku girang bahwa aku sudah bertemu dengan murid Hoa-san-pai yang telah lama kudengar nama besarnya. Pantas saja ilmu pedangmu amat indah dan hebat!"

"Ihhh, apanya yang hebat?"

Gadis itu memandang penuh kekaguman dan sama sekali tidak menyembunyikan rasa tertarik pada sinar matanya yang bening. "Engkau lihai luar biasa, engkau baik budi dan manis bahasa, engkau pandai merendahkan diri dan sekarang ternyata engkau pandai pula memuju-muji orang untuk menyenangkan hatinya."

"Wah-wah, yang pandai memuji-muji ini aku atau engkau?" Keng Hong tertawa.

Melihat pemuda ini tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, gadis itu pun tertawa sambil berkata,

"Kita sama-sama pandai memuji orang. Akan tetapi salahkah itu? Memuji orang berarti menyenangkan hati orang, dan aku ingin menyenangkan hatimu, Twako, sungguh pun hal itu merupakan balas budi yang tak ada artinya."

"Sudahlah, Bi-moi. Lebih baik kau ceritakan mengapa kau dan adikmu dimusuhi mereka itu."

Gadis itu menarik napas panjang. "Aahhh, semua adalah salahku, gara-gara akulah maka terjadi permusuhan itu...," katanya, kemudian dia bercerita.

Gadis yang bernama Sim Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek ini adalah putera dan puteri seorang sastrawan di kota Liok-keng yang terkenal karena pandai sekali membuat sajak dan melukis, dikenal dengan sebutan Sim-siucai (sastrawan Sim). Karena sudah banyak mengalami kesengsaraan akibat perang dan kerusuhan, di mana kepandaian bun (sastra) tidak mampu melindunginya, Sim-siucai lalu membawa kedua anaknya itu ke Hoa-san-pai untuk mendidik kedua anaknya dengan ilmu silat, karena siucai ini berpendapat bahwa dalam jaman perang dan kerusuhan itu ilmu silat lebih berguna dari pada ilmu sastra.

Dengan demikian, Ciang Bi yang ketika itu berusia tiga belas tahun sedangkan Lai Sek berusia sebelas tahun lalu menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Selama lima tahun mereka berdua belajar ilmu silat.

Setelah pimpinan Hoa-san-pai merasa bahwa mereka sudah memiliki kepandaian cukup untuk menjaga diri, apa lagi mengingat bahwa Ciang Bi sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun dan sudah sepatutnya berada di rumah orang tua sendiri untuk kemudian berumah tangga, kedua orang anak murid Hoa-san-pai ini disuruh pulang ke tempat tinggal mereka.

Pada saat mereka berdua melakukan perjalanan sampai di dusun Ciang-cung, kecantikan wajah Ciang Bi lalu menimbulkan urusan besar. Di sebuah dusun lain yang tidak jauh dari Ciang-cung tinggal seorang kepala kampung yang menjadi raja kecil di dusun itu, bahkan kekuasaan dan pengaruhnya sampai menjalar ke dusun-dusun lain di dekatnya, termasuk Ciang-cung karena kepala-kepala kampung dari dusun-dusun lainnya tak ada yang berani menentangnya.

Kepala dusun ini bernama Bong-cungcu (Lurah Bong) dan memiliki seorang putera tunggal bernama Bong-cit yang terkenal jahat, mata keranjang dan senang membawa kehendak sendiri mengandalkan kedudukan ayahnya dan mengandalkan kekuatan pasukan tukang pukulnya yang terdiri dari buaya-buaya darat yang pandai ilmu silat. Pada saat Bong Cit mendengar akan kecantikan seorang gadis yang memasuki dusun itu bersama adiknya, segera bersama anak buahnya Bong Cit mengejar ke Ciang-cung, menemui gadis cantik itu dan menggodanya dengan ucapan-ucapan yang tidak sopan.

Tentu saja Ciang Bi dan adiknya menjadi marah dan menghajar para tukang pukul itu sehingga mereka bersama majikan muda mereka lari tunggang-langgang. Akan tetapi, tak lama kemudian kembali datang pasukan tukang pukul yang jumlahnya lebih banyak, lalu mengeroyok Ciang Bi dan adiknya. Pasukan tukang pukul ini kiranya cukup kuat sehingga hampir saja Ciang Bi dan adiknya celaka kalau saja saat itu tidak muncul Keng Hong yang menghajar mereka.

"Begitulah, Twako. Sungguh aku merasa malu sekali bahwa biar pun ayah telah mengirim aku bersama adikku belajar selama lima tahun di Hoa-san-pai, ternyata baru pertama kali bertemu dengan penjahat saja sudah hampir celaka. Masih baik nasibku dapat bertemu dengan seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau. Jika saja kepandaianku setinggi kepandaianmu, tentu akan kucari jahanam Bong Cit itu dan akan kulenyapkan dari dunia. Manusia macam dia itu merupakan ancaman bagi keselamatan gadis-gadis di kampung sekeliling tempat itu."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku tidak dapat terlalu menyalahkan dia."

"Apa maksudmu?"

"Siapa orangnya yang tak akan tergila-gila melihat engkau, Bi-moi. Engkau terlalu cantik jelita dan manis, membuat hati pria menjadi jungkir balik!"

Tiba-tiba saja wajah yang cantik itu menjadi merah sekali, bibir yang mungil itu tersenyum ditahan, matanya mengerling malu-malu. "Ihhh, engkau juga... mata keranjang dan... dan kurang ajar...? Sukar dipercaya...!"

Keng Hong tertawa lirih dan menggeleng-gelengkan kepalanya, pandang matanya secara jujur menatap wajah itu dengan kekaguman.

"Apakah artinya mata keranjang, Bi-moi? Menurut mendiang suhu, wanita itu bagai bunga yang indah. Wanita mana yang tidak selalu berusaha untuk mempercantik diri? Untuk apa semua usaha itu? Tentu agar kelihatan cantik dan menimbulkan rasa kagum di hati pria, dan telah menjadi hak setiap orang pria untuk mengagumi kecantikan wanita. Semua pria tentu saja suka melihat kecantikan wanita, kecuali mereka yang munafik, kalau ada wanita cantik pura-pura menundukkan muka padahal matanya mengerling! Di lahirnya pura-pura tidak suka akan tetapi diam-diam merindukannya! Semua pria suka akan wanita cantik, sedikitnya suka memandang dengan kagum seperti orang mengagumi setangkai bunga yang cantik dan indah. Semua wanita suka untuk dikagumi pandang mata pria, biar pun banyak yang berpura-pura marah dan membenci. Padahal disudut hatinya, wanita mana yang tidak suka dipandang dengan rasa kagum? Tentang kurang ajar, harap jangan keliru sangka, Bi-moi. Pria yang mana saja boleh memandang kagum akan kecantikan wanita yang mana saja, akan tetapi kalau melakukan perbuatan yang lebih dari pada ini, yaitu hendak mengganggu dengan perbuatan, barulah jahat dan tidak baik. Seperti juga setiap orang boleh mengagumi setangkai bunga, akan tetapi apa bila berlancang tangan untuk memetiknya adalah perbuatan tidak benar karena bunga itu tentu ada yang memilikinya. Kalau aku menyatakan dengan sejujurnya apa yang terpikir olehku, itu bukan kurang ajar namanya, Bi-moi. Aku memandangmu dengan kagum sebab hatiku memang amat kagum dengan kecantikanmu, aku menyatakannya dengan mulut bahwa engkau cantik jelita dan manis, bukan berarti kurang ajar."

Makin merah wajah Ciang Bi dan gadis itu menunduk, akan tetapi dia tidak marah, malah jantungnya berdebar akibat... girang! Memang tepat sekali ucapan yang didengarnya.

Dia suka akan pujian mengenai kecantikannya, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pemuda yang dikaguminya! Kalau dia sampai bermusuh dengan Bong Cit adalah karena pemuda she Bong itu sudah mengeluarkan kata-kata kotor dan kemudian hendak menangkapnya.

"Kau... kau terlalu jujur dan blak-blakan, Twako..." akhirnya dengan lirih Ciang Bi berkata. "kau membikin aku menjadi... menjadi malu..."

Keng Hong tertawa dan memandang wajah yang ayu itu. Sinar merah api ungun membuat bentuk wajah itu menjadi gemilang dan tampak jelas garis-garisnya, bagaikan garis-garis daun bunga mawar dengan lekuk-lengkungnya yang tak lebih tak kurang, amat tepat dan cocok sekali, serasi pada tempatnya, membuat mata tak ada bosannya memandang dan mengaguminya.

"Salah siapakah, Bi-moi? Salahkah mata ini apa bila melihat wajah yang cantik dan indah, nikmat dipandang tanpa membosankan? Ataukah pemilik wajah itu sendiri yang salah mengapa wajahnya cantik? Kalau salah mataku, biarlah mulai sekarang juga aku akan meramkan mata bila mana berbicara dan berhadapan denganmu agar aku jangan dapat melihat wajahmu! Sebaliknya, kalau salah wajahmu mengapa begitu cantik, biarlah mulai sekarang kau menutupi wajahmu dengan sapu tangan atau dengan kedok yang buruk agar mataku tidak dapat mengagumimu. Bagaimana?"

Gadis itu tersenyum lebar, menekan diri agar tidak tertawa terkekeh, sedangkan pandang matanya bersinar-sinar ditujukan kepada wajah pemuda yang makin menarik hatinya itu, pemuda yang perkasa, yang sudah menyelamatkan nyawanya dan nyawa adiknya, yang ramah-tamah, yang telah melepas budi tetapi selalu merendahkan diri, yang amat tampan dan memiliki sepasang mata yang seolah-olah dapat menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya, yang kini bahkan memuji-mujinya dengan kata-kata merayu-rayunya!

"Wah..., Hong-ko... engkau benar-benar pandai merayu hati! Hong-ko..., sungguhkah kau menganggap aku… aku cantik dan... dan apakah engkau... suka kepadaku?" Gadis itu memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan ini yang keluar dari lubuk hatinya, dan dia diberanikan oleh sikap dan kata-kata Keng Hong yang selalu terbuka dan jujur blak-blakan itu.

Keng Hong tersenyum lebar. "Pria yang manakah di dunia ini yang tidak akan merayu wanita cantik seperti seekor kumbang menari-nari dan menyanyi di atas setangkai bunga? Kaum cendekiawan, kaum sastrawan selalu merayu segala keindahan dengan kata-kata indah yang dirangkai dalam bentuk sajak-sajak hingga terciptalah sajak-sajak abadi yang menyanjung keindahan bunga dan kecantikan wanita! Tentu saja aku merayumu dengan kata-kata indah sedapatku, Bi-moi, karena memang engkau cantik dan patut menerima rayuan dan sanjungan pria yang mana pun juga di dunia ini. Kau bertanya apakah aku suka kepadamu? Aduh, Bi-moi, perlukah ditanya lagi? Tiada seekor pun kupu-kupu atau kumbang yang tidak suka akan kembang! Tiada seorang pun pria yang tidak suka akan seorang wanita cantik, kecuali kalau pria itu tidak normal atau... banci!"

Gadis itu kembali menekan perutnya karena geli, akan tetapi mulutnya bertanya, "Banci? Apakah itu? Manusia atau binatang?"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi hanyalah tiruan saja dari ucapan suhu-nya dan dia sendiri pun tidak tahu apa itu yang disebut banci. Maka dia pun hanya mencontoh jawaban suhu-nya pada saat dia bertanya tentang banci. "Banci itu bisa manusia bisa binatang, akan tetapi yang pasti dia itu bukan pria dan bukan pula wanita, atau boleh juga disebut bahwa dia itu dapat menjadi pria mau pun wanita!"

"Eh..., aku menjadi bingung. Bagaimana sih jelasnya?"

"Jelasnya... aku sendiri pun tidak tahu karena selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang banci!"

"Engkau belum menjawab pertanyaanku, Hong-ko, apakah engkau suka kepadaku?"

"Sudah kukatakan tadi, mana ada kumbang tidak suka akan kembang?"

"Engkau bukan kumbang!"

"Hanya kiasan, Bi-moi, kuumpamakan diriku adalah seekor kumbang dan engkau adalah setangkai kembang. Kumbang takkan pernah jemu untuk berdendang memuji kecantikan kembang, tak akan jemu-jemu membelai dan menciumnya..."

Wajah Ciang Bi menjadi makin merah, kepalanya menunduk, jantung berdebar keras dan jari-jari tangannya menggigil. Keng Hong yang melihat jari tangannya menggigil itu, jari-jari tangan yang kecil dan bentuknya meruncing, dengan kuku-kuku jari yang halus bersih terpelihara, tanpa disadarinya sudah menggeser duduknya mendekat, kemudian dengan hati-hati dia memegang tangan itu.

"Tanganmu gemetar, Moi-moi... dan agak dingin. Mengapa?"

Memang ada getaran yang keluar dari tangan Ciang Bi, getaran sebagai akibat denyut jantungnya, juga akibat perasaannya. Dia merasa berbahagia, terharu dan juga... takut! Semua perasaan ini bergelut dengan rasa suka dalam hatinya, mendatangkan kemesraan sehingga tanpa disadarinya pula jari tangannya membalas sentuhan pemuda itu dan jari jemari tangan mereka tahu-tahu sudah saling meremas.

"Hong-ko... kalau engkau menjadi kumbangnya... aku suka menjadi kembangnya..." Suara Ciang Bi juga gemetar, napasnya agak terengah karena hatinya berguncang.

Keng Hong tersenyum girang, lalu dengan tangan kirinya dia meraba dagu yang halus itu, mengangkat muka cantik itu sehingga mereka berpandangan dan dia bertanya,

"Bi-moi cintakah engkau kepadaku?" Pertanyaan yang langsung seperti tusukan sebatang pedang yang meruncing.

Dulu suhu-nya setiap kali menceritakan segala pengalamannya pada waktu muda selalu diselingi nasehat-nasehat tentang wanita. Nasehat yang dia masih ingat dan sekarang dia praktekkan terhadap Ciang Bi adalah begini: ‘Jangan sekali-kali memaksa wanita untuk melayani cintamu dan jangan pula sekali-kali jatuh cinta karena sekali jatuh, engkau akan terikat dan kesengsaraan akan timbul. Lebih baik bertanya terus terang apakah wanita itu mencintaimu dan jangan menolak cinta kasih wanita, bila engkau tertarik kepadanya tentu aja!

Nasehat inilah yang teringat oleh Keng Hong pada waktu secara tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang langsung itu kepada Ciang Bi. Tentu saja gadis itu menjadi malu sekali untuk menjawab. Akan tetapi karena hati Ciang Bi sudah terpikat, baik oleh ketampanan wajah, kelihaian, mau pun budi bahasa pemuda itu, dia makin menunduk dan menjawab lirih seperti bisikan, "Dengan seluruh jiwa ragaku, Koko..."

Tangan mereka pun makin erat saling meremas dan terdengar Keng Hong berkata, juga secara blak-blakan, "Juga masih mencintaku walau pun kelak aku tidak mungkin menjadi suamimu?"

Ciang Bi mengangkat mukanya, memandang tajam. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi kemudian menjadi merah kembali dan dia menjawab, "Apa kau kira sikapku ini merupakan perangkap untuk menjebak seorang calon suami?"

Keng Hong tertawa, menarik lengan gadis itu yang dengan lemas menurut saja sehingga rebah dalam pelukan pemuda yang amat dikaguminya itu...
Selanjutnya,

Pedang Kayu Harum Jilid 08

Pedang Kayu Harum Jilid 08
Karya : Kho Ping Hoo

Cerita Silat Mandarin Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo
THIAN SENG CINJIN yang biasanya tenang itu kini harus menarik napas panjang agar dapat menekan guncangan hatinya, sedangkan para muridnya, kecuali Kiang Tojin yang masih tenang pula seperti gurunya, semua menjadi pucat wajahnya. Tiga orang datuk golongan hitam telah hadir di situ, berarti bahwa urusan ini bukan main-main lagi!

Tidak hanya para tosu Kun-lun-pai yang menjadi gelisah, bahkan pasukan-pasukan dari utara dan selatan juga tercengang menyaksikan munculnya banyak orang-orang aneh ini, ada pun dua orang perwira yang memimpin pasukan masing-masing, tak berani bergerak. Mereka maklum bahwa sekali ini mereka sedang bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasanya aneh-aneh wataknya dan kejam-kejam sekali perbuatanya, maka mereka menjadi berhati-hati dan tidak ada yang berani bergerak.

"Pak-san Kwi-ong," kata Thian Seng Cinjin dengan suara sabar, "kiranya engkau ikut pula mengunjungi Kun-lun-pai! Kata-katamu tadi kurang jelas bagi pinto, harap kau ulangi lagi, apakah benar kedatanganmu ini untuk meminta pedang Siang-bhok-kiam ini?" Dia lalu mengangkat lagi pedang kayu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya.

Kiang Tojin melihat dengan hati geli betapa semua mata ditujukan ke arah pedang kayu itu, mengingatkan dia akan mata segerombolan anjing kelaparan yang melihat sepotong tulang!

"Ha-ha-ha, benar sekali! Kalau bukan untuk pedang itu, apa kau kira aku datang karena kangen kepadamu? Ha-ha-ha!" jawab Pak-san Kwi-ong.

"Baik sekali. Kalau begitu akan kutanya pula yang lain. Ang-bin Kwi-bo, sekarang engkau juga ikut muncul, jauh-jauh datang dari timur. Apakah kehendakmu mengunjungi pinto dan perkumpulan pinto?"

"Cih, tosu bau! Siapa sudi mengunjungimu? Aku datang hanya untuk mengambil Siang-bhok-kiam dari tanganmu!" Ang-bin Kwi-bo menjawab sambil memandang dengan mulut mengilar ke arah pedang kayu di tangan ketua Kun-lun-pai itu.

"Jika begitu kehendakmu sama dengan Pak-san Kwi-ong. Dan bagaimana dengan engkau Pat-jiu Sian-ong? Apakah engkau pun menginginkan pedang kayu yang tak berharga ini?"

"Hemm, kalau tidak berharga masa diperebutkan, Totiang?" jawab kakek ini dengan suara yang halus dan ramah, akan tetapi kehalusan ini malah menimbulkan sesuatu yang amat menyeramkan. "Kalau tidak berharga, engkau pun jangan terlalu pelit, lebih baik diberikan saja kepadaku."

"Bagaimana dengan para enghiong yang hadir di sini? Apakah kedatangan Cu-wi ini pun untuk memiliki Siang-bhok-kiam?"

"Benar, serahkan kepadaku!"

"Padaku saja!"

"Padaku...!"

Ribut sekali suara mereka itu sehingga sambil tersenyum pahit Thian Seng Cinjin segera mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat agar mereka tidak berteriak-teriak. Keadaan mereka itu bagi kakek ketua Kun-lun-pai ini seperti anak-anak kecli yang patut dikasihani. Ia lalu berkata dengan penuh kesabaran,

"Kasihan sekali Sin-jiu Kiam-ong! Setelah mati, barangnya masih dipakai rebutan. Cu-wi sekalian! Benda ini hanya ada sebuah, tapi yang menginginkan begitu banyak, bagaimana baiknya? Kalau dibiarkan, tentu kita semua akan menggunakan kekerasan saling gempur sehingga akan banyak roboh korban yang tidak ada gunanya. Pinto tidak menghendaki permusuhan, tidak menghendaki darah tertumpah di tanah Pegunungan Kun-lun-san yang suci. Oleh karena itu, biarlah pinto menguji, siapa yang paling kuat maka dia yang akan memiliki Siang-bhok-kiam. Tak boleh menggunakan kekerasan, dan siapa pun juga yang berani menggunakan kekerasan, maka dia akan dikeroyok oleh semua yang hadir di sini. Bagaimana?"

Walau pun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa bila seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biar pun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang!

Apa lagi kakek ketua Kun-lun-pai bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir itu, adalah lawan-lawan yang takkan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini kemudian mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak,

"Akur, akur!"

"Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Bila mana di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar tapi hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya."

Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan ketujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka, berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.

Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan, atau untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus akan turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang!

"Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu.

Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu, maka mereka ini menjadi jeri.

"Maafkan aku!" Tiba-tiba Han-ciangkun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermaksud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata, "Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang Tin-keng?"

"Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah.

Kiang Tojin mewakili suhu-nya menjawab, "Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!"

"Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?" Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, lantas diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tak akan ada gunanya merampas pedang kayu.

"Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba saja Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andai kata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, apakah pedang itu menjadi milikku?"

"Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin.

"Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?"

"Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tak akan ada orang yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukan menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapa pun juga."

"Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!"

Sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju, kemudian memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu. Dua orang datuk hitam yang lain tidak sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati.

Mereka itu tidak dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dan sampai di mana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. Karena itu mereka itu merasa lebih ‘sip’ untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andai kata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong.

Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengadu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang. Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antara dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya.

Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sebenarnya mereka sudah mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang. Dua tenaga sinkang raksasa yang tidak nampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan, kemudian...

"Prokkkk...!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping!

Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, malah muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian pedang yang atas, yang kini telah pecah-pecah, telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya.

Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing sudah melangkah maju dan mengambil beberapa kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya.

"Ahhhhh...!"

"Kayu biasa...!"

"Sama sekali bukan kayu mukjijat!"

"Tidak harum bagian dalamnya!"

"Bukan Siang-bhok-kiam...!" Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thian Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya.

"Bu... bukan... Siang-bhok-kiam...?" tanyanya gagap.

Kiang Tojin berlutut di depan suhu-nya. "Benar, suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!"

"Bagaimana kau bisa merasa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu.

Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai bisa diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu? Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian.

"Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat dari pada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!"

"Bocah setan!" Tiba-tiba Lian Ci Tojin memaki. "Aku sudah tahu bahwa dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!"

"Lian Ci, diam kau!" Thian Seng Cinjin membentak dengan suara nyaring karena malu dan marah. Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri.

Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai sampai kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong, seorang bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya, tentu hal ini akan menjadi buah percakapan menggembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang telah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni? Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!"

Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini sangat hebat karena selamanya baru sekali inilah Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar sangat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sebenarnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng Hong. Andai kata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan.

Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin.

"Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!"

"Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar.

Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipegang oleh anak itu, dan entah disembunyikan di mana. Karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu sudah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti.

Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua datang menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka juga tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong.

Kiang Tojin mengerti bahwa suhu-nya sangat marah dan kecewa padanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, perhitungannya meleset dalam menilai diri Keng Hong.

Karena hatinya merasa kesal, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu,

"Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu juga, bahwa di sini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!"

Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, tetapi dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong.

Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentunya akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu pihak apa bila mereka mengadakan perang di tempat itu.

********************


Seperti telah diceritakan di bagian depan, perang saudara yang terjadi antara utara dan selatan itu adalah akibat perebutan mahkota setelah kaisar Thaicu meninggal dunia pada tahun 1398. Ketika itu, putera sulung kaisar Thaicu sudah terlebih dahulu meninggal dunia dan oleh karena itu, maka sebelum dia meninggal, kaisar Thaicu sudah mewariskan tahta kerajaan kepada cucunya, anak dari putera sulung itu, yang bernama Hui Ti.

Di bawah perlindungan dan dukungan para pembesar yang mempergunakan kesempatan untuk mengangkat diri sendiri mencapai kedudukan tinggi dan berenang dalam kemuliaan duniawi, setahun sesudah kaisar Thaicu meninggal, Hui Ti naik tahta dan menjadi Kaisar Kerajaan Beng.

Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara karena Raja Muda Yung Lo, putera yang lain dari kaisar Thaicu dan yang pada waktu itu bertugas mempertahankan wilayah Beng-tiauw di bagian utara melawan penyerbuan bangsa mongol, menjadi marah dan tak mau menerima pengangkatan kaisar baru itu.

Menurut pendapatnya, tidaklah adil kalau mahkota diwariskan kepada keponakannya itu, dan dia yang sudah banyak berjasa kepada kerajaan, dia sebagai putera ke dua, merasa lebih berhak mewarisi mahkota. Demikianlah, Raja Muda Yung Lo yang berkedudukan di Peking ini lalu membawa bala tentara dan menyerbu ke Nanking hingga timbullah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Beng-tiauw.

Telah menjadi kenyataan dalam catatan sejarah bahwa setiap kali terjadi perang, apa lagi perang saudara sesama bangsa, maka rakyatlah yang menderita. Yang memperebutkan kekuasaan demi kemuliaan diri sendiri hanyalah beberapa gelintir orang besar, akan tetapi yang dijadikan makanan golok dan pedang adalah prajurit-prajurit, anak rayat jelata.

Perang dapat mendatangkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu kekacauan dan kejahatan merajalela, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan kekuatan untuk berperang, di mana penjagaan keamanan untuk rakyat menjadi kosong sehingga terjadilah perampokan-perampokan, pembakaran dusun-dusun, penculikan dan pemerkosaan yang semena-mena.

Tidak jarang pula terjadi pasukan-pasukan yang selalu hidup berhadapan dengan maut, yang oleh perang digembleng supaya menjadi manusia-manusia haus darah yang selalu menderita karena tekanan-tekanan batin, karena tekanan-tekanan lahir, berubah menjadi manusia-manusia yang lebih ganas dibandingkan para penjahat. Dengan dalih ‘berpihak kepada musuh’ banyaklah rakyat jelata menjadi korban keganasan mereka, hanya karena mereka itu silau oleh harta dan silau oleh kecantikan wanita!

Keadaan yang kacau-balau di sepanjang jalan yang dilalui Keng Hong inilah sebenarnya yang bahkan menolong Keng Hong, membuat para tokoh kang-ouw termasuk dua orang tosu Kun-lun-pai kehilangan jejaknya.

Setahun lebih Keng Hong merantau, tujuannya adalah kembali ke Kun-lun-san karena dia telah mengambil keputusan untuk memperdalam ilmunya setelah merasakan pengalaman pahit yang dia derita. Ia harus segera memiliki ilmu kepandaian yang tinggi kalau dia tidak menghendaki gangguan-gangguan di masa depan. Akan tetapi, kekacauan yang terjadi di mana-mana membuat dia tersasar. Ada kalanya dia harus mengambil jalan memutar, ada kalanya harus kembali lagi kalau terhalang oleh perang yang dahsyat.

Pada suatu pagi dia memasuki dusun Ciang-cung yang terletak di kaki gunung Min-san, di lembah sungai Cia-liang. Oleh karena sungai Cia-liang ini mengalirkan airnya ke sungai Yang-ce-kiang yang merupakan jalan perhubungan yang terbaik dan tercepat menuju ke pedalaman, maka dusun Ciang-cung ini cukup ramai. Tanpa diketahuinya secara tepat, Keng Hong sudah makin dekat dengan Kun-lun-san yang berada di sebelah barat Gunung Min-san.

Semakin ke barat, semakin berkuranglah perang, karena bala tentara kedua pihak hanya memperebutkan daerah-daerah antara Peking dan Nanking. Biar pun demikian, wilayah barat ini tidak dapat dikatakan tenteram sama sekali, dan akibat perang saudara melanda juga daerah yang jauh dari pusat tempat perang itu sendiri. Di sini timbul kekacauan-kekacauan dan para penjahat merajalela, berpesta-pora seolah-olah segerombolan tikus yang berada di rumah kosong, ditinggal pergi oleh kucing-kucing yang mereka takuti.

Ketika Keng Hong memasuki dusun Ciang-cung di pagi hari itu, segera dia melihat akibat kekacauan yang melanda di mana-mana. Sepagi itu sudah ada orang berkelahi. Memang Keng Hong akhir-akhir ini sering kali melihat orang bertempur.

Seperti biasanya, dia hendak mengambil jalan lain agar tak terlibat dalam perkelahian itu. Terlalu banyak orang berkelahi bunuh-membunuh yang ditemuinya di mana-mana hingga dia menjadi muak dan bosan. Tidak mungkin dia mencampuri urusan orang-orang lain itu yang semua diakibatkan oleh perang sehingga masing-masing membela pihak pilihannya sendiri.

Tentu Keng Hong sudah meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanannya kalau saja dia tak mendengar bentakan-bentakan nyaring suara wanita. Yang berkelahi ternyata adalah seorang wanita yang dikeroyok banyak laki-laki! Sekali pun dia tidak peduli, namun hal ini menarik perhatian Keng Hong sehingga menggerakkan hatinya untuk menghampiri tempat pertempuran.

Betapa pun juga, kalau melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki seperti itu, tak mungkin dia tinggal diam saja. Gurunya pasti akan memakinya kalau dapat melihat dia mendiamkan saja seorang wanita dikeroyok oleh belasan orang laki-laki!

Setelah dekat dengan tempat pertempuran itu, dia melihat dua belas orang laki-laki yang sedang mengeroyok seorang gadis berpakaian biru muda. Hatinya menjadi kagum sekali. Bukan hanya kagum akan kegesitan dan keindahan gadis itu bermain pedang melayani pengeroyokan belasan orang lawan yang kasar-kasar, kuat dan bersenjata golok itu, akan tetapi terutama sekali melihat wajah yang cantik jelita, mata yang bersinar-sinar seperti mata burung hong, muka yang putih kemerahan, tubuh yang padat ramping, pendeknya, seorang gadis yang amat cantik!

Yang membuat Keng Hong terheran-heran dan penasaran adalah pada waktu dia melihat bahwa di situ tak ada orang yang berani mendekat, apa lagi melerai perkelahian, bahkan rumah-rumah dan warung-warung terdekat juga telah menutup pintu dengan tergesa-gesa. Tampak olehnya ada empat orang laki-laki tinggi besar yang sudah roboh berlumur darah, juga seorang pemuda remaja terduduk di atas tanah memegang pundaknya yang terluka terkena bacokan.

Ilmu pedang gadis itu lihai, akan tapi menghadapi pengeroyokan dua belas orang laki-laki kasar itu, si gadis menjadi repot juga. Apa lagi karena para pengeroyoknya mengeluarkan kata-kata yang kasar serta kotor, dengan ancaman-ancaman yang menjijikan, membuat gadis itu makin merah mukanya dan makin kacau gerakan pedangnya.

"He, kawan, jangan sampai dia terluka!"

"Jangan membikin cacat wajahnya yang cantik halus!"

"Biarkan dia kehabisan tenaga, tentu akan menyerah sendiri, ha-ha-ha!"

"Wah, kalau tenaganya habis, bagaimana bisa melayani kita?"

"Jangan khawatir, gadis kang-ouw simpanan ini tenaganya kuat, heh-heh-heh!"

"Robek-robek dan tanggalkan semua pakaiannya, berikan padaku lebih dulu!"

"Aku dulu!"

"Aku dulu!"

"Eh, kawan-kawan. Mengapa ribut-ribut? Biar dia kita tangkap dulu, baru kita mengadakan undian siapa yang akan menikmatinya lebih dulu!"

Muka Keng Hong menjadi merah sekali. Dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi dia masih belum tahu apa urusanya, dan apa yang menyebabkan mereka berkelahi. Apa bila dia langsung membantu gadis itu, apakah itu adil namanya? Siapa tahu, justru gadis ini yang berada di pihak salah. Maka dia menanti dan memandang penuh perhatian.

Gadis baju biru itu sudah mulai lelah. Gerakannya semakin lambat dan ketika tiga buah golok secara berbareng menangkis pedangnya dengan pengerahan tenaga kasar, gadis itu menjerit, pedangnya terlempar dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Banyak tangan menyambarnya dan...

"Brettt... aihhhh...!!" sebagian bajunya terobek berikut baju dalamnya sehingga tampaklah leher, pundak dan sebagian dada kiri yang berkulit putih halus seperti susu.

Keng Hong tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dia meloncat maju dan membentak, "Orang-orang kurang ajar! Mundur...!"

Sekali tangkap dia telah mencengkeram dua orang laki-laki pada bagian tengkuknya dan bagaikan melempar rumput kering saja, dia melontarkan dua orang itu ke belakang hingga mereka terpental dan terlempar sejauh empat meter, terbanting dan bergulingan. Dia tidak berhenti sampai di situ, kaki tangannya bergerak lagi dan kembali empat orang laki-laki terlempar jauh dan jatuh bangun!

Empat orang yang lain cepat-cepat membalikkan tubuh dan golok-golok di tangan mereka menyambar. Akan tetapi, mereka itu hanyalah kumpulan orang kasar yang mengandalkan keberanian, tenaga kasar dan golok. Begitu Keng Hong menggerakkan tangannya, angin dorongan tangan itu membuat keenam orang pengeroyok terhuyung mundur.

Dua orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka menjadi penasaran lalu berseru keras dan menerjang maju lagi dengan golok mereka. Namun Keng Hong mendahului mereka, menyampok keras hingga terdengar bunyi.

"Krek-krek!"
Suara ini muncul ketika tangan Keng Hong bertemu dengan pergelangan tangan mereka yang menjadi patah tulangnya. Mereka meringis kesakitan dan melompat mundur, tidak berani maju lagi.

"Masih tidak lekas minggat dari sini?!" Keng Hong menghardik, pandang matanya tajam menusuk.

Dua belas orang itu tidak berani untuk mencoba-coba lagi, mereka lalu pergi membawa teman-teman yang terluka. Ternyata jumlah mereka semua ada enam belas orang, yang empat telah dirobohkan gadis cantik itu.

Setelah mereka semua kabur, barulah Keng Hong menoleh dan melihat gadis itu tengah menolong pemuda remaja yang terluka pundaknya. Terdengar olehnya suara gadis itu yang halus, "Bagaimana, adikku? Parahkah lukamu?"

Pemuda remaja itu menggigit bibirnya dan menggelengkan kepalanya. "Kurasa tulangnya patah... Cici, lekas haturkan terima kasih..."

Gadis baju biru itu agaknya seperti baru teringat, Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya menghadapi Keng Hong yang berdiri memandang mereka, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

"Saya Sim Ciang Bi bersama adik saya Sim Lai Sek menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap (Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan nyawa kami."

Dua macam perasaan memenuhi hati Keng Hong mendengar kata-kata itu. Dia disebut taihiap! Dia merasa bangga dan juga jengah. Tentu gadis ini menganggap dia seorang pendekar yang berilmu tinggi karena dalam segebrakan saja mampu mengusir dua belas orang laki-laki kasar tadi. Padahal kalau mempergunakan ilmu silat, tanpa disertai tenaga sinkang yang luar biasa, belum tentu dia menang lihai dari pada gadis itu sendiri. Bangga karena mulut yang manis dan mungil itu menyebutnya taihiap, namun jengah dan malu karena dia sendiri merasa amat tidak pantas disebut seorang pendekar besar.

"Ah, harap jangan sungkan, bangkitlah, Nona," katanya sambil mengangkat bangun gadis itu.

Ketika kedua telapak tangannya menyentuh pundak itu, terasa hawa yang hangat lunak keluar dari daging pangkal lengan yang halus itu. Maka berdebarlah jantung Keng Hong, apa lagi ketika pandangan matanya bertemu dengan sebagian dada yang telanjang itu. Pandang matanya seperti lekat pada kaki dan lereng bukit dada yang putih halus.

"Cici... bajumu...!" Pemuda remaja itu memperingatkan cici-nya yang ketika itu sedang memandang wajah Keng Hong.

Gadis itu merintih perlahan dan mukanya menjadi merah sekali. Keng Hong cepat-cepat membuka jubahnya dan menyelimutkan jubah ini pada tubuh si gadis yang memandang kepadanya dengan sinar mata berterima kasih. Hal ini membebaskannya dari rasa malu, apa lagi kalau diingat bahwa kini banyak orang mendatangi tempat itu. Mereka ini adalah penduduk dusun yang baru berani keluar setelah perkelahian itu berakhir.

"Ah, masih untung Sam-wi dapat lolos dari pengeroyokan mereka. Harap Sam-wi segera pergi meninggalkan dusun ini, karena kalau tidak... mereka pasti segera datang lagi dan menyusahkan Sam-wi (Tuan bertiga)." Yang berkata demikian ialah seorang kakek kurus, mukanya membayangkan kegelisahan.

Keng Hong mengerutkan alis. Dia sudah membantu dan dia tak boleh kepalang tanggung membantu nona ini. "Lopek, kami tidak takut menghadapi ancaman mereka. Biarkan saja mereka datang, akan kami hajar mereka semua! Saat ini kami perlu untuk merawat adik yang terluka ini. Siapakah di antara Cu-wi (Tuan sekalian) yang sudi menolong kami dan meminjamkan tempat untuk istirahat dan berobat?"

Akan tetapi, sekian banyaknya pasang mata hanya memandangnya dengan terbelalak, penuh kekhawatiran dan tiada seorang pun yang menawarkan tempatnya. Kakek itu cepat berkata,

"Enghiong (Orang gagah) harap bisa memaklumi keadaan kami. Mereka adalah kawanan buaya darat yang tinggal di dusun tak jauh dari sini. Kalau saja mereka mendengar ada salah seorang di antara kami berani membantu Sam-wi, tentu yang membantu itu akan celaka...!"

"Pengecut!" Tiba-tiba Sim Lai Sek yang terluka pundaknya itu berseru marah. "Apakah dikira kami tidak akan membela dia yang menolong kami? Dan kami bersedia membayar sewa kamar dan harga obat!"

Keng Hong hanya tersenyum dan maklum akan rasa penasaran pemuda remaja itu, yang ternyata tampan seperti cici-nya, sepasang matanya lebar dan mukanya membayangkan keberanian.

"Maaf, Siauw-enghiong. Kami tentu percaya akan kegagahan Sam-wi, akan tetapi maukah Sam-wi selamanya tinggal di dusun ini?"

"Apa...?!" Kini gadis cantik itu yang bertanya, matanya terbelalak heran dan Keng Hong terpaksa harus mengalihkan pandangnya karena mata itu amat indahnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akan melongo menikmati keindahan itu.

"Nona, dan Siauw-te, harap Ji-wi memaklumi kekhawatiran mereka ini. Lopek ini benar. Memang, selama kita masih berada di sini, penjahat-penjahat itu tak akan berani datang mengganggu. Akan tetapi tidak mungkin kita tinggal selamanya di sini dan bila mana kita sudah pergi lalu mereka datang mengamuk, membalas dendam kepada penduduk dusun ini, bukankah sama saja artinya dengan kita yang mencelakakan penduduk di sini?"

Enci dan adik itu tercengang dan mengangguk-angguk. "Ahhh, kalau begitu apa gunanya ada penjaga keamanan? Apa gunanya ada pembesar setempat? Bukankah di sini ada kepala dusun wakil pemerintah?" Sim Lai Sek masih mencoba untuk menyatakan rasa penasarannya.

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Siauw-enghiong, hal begini saja masakah Enghiong masih belum tahu? Semenjak saya masih kanak-kanak sampai sekarang sudah kakek-kakek, mana ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat jelata? Memang selalu ada penjaga keamanan, juga ada pembesar setempat, akan tetapi kenyataan pahit yang menyedihkan namun tidak dapat disangkal adalah bahwa penjaga keamanan di sini hanya namanya saja penjaga keamanan, akan tetapi pada kenyataanya adalah pengacau keamanan. Mereka hanya menjadi pelindung-pelindung bayaran, yang menggunakan kekuasaan untuk kesenangan sendiri. Ada pun pembesar hanya namanya saja besar, akan tetapi, jiwanya kecil dan lalim. Sudahlah, harap Sam-wi memaklumi keadaan kami rakyat kecil yang melarat dan tidak menambah beban kami yang sudah berat."

"Mari kita keluar dari dusun ini, biarlah saya mencarikan tempat istirahat untuk Ji-wi," kata Keng Hong.

Tanpa menanti lagi dia segera membungkuk dan memondong tubuh Sim Lai Sek yang terluka. Pemuda remaja ini sudah amat lemah, bukan hanya oleh lukanya di pundak yang mematahkan tulangnya, namun juga karena lemas akibat kehilangan banyak darah.

"Di luar dusun, di dalam hutan sebelah barat terdapat sebuah kuil yang kosong. Kiranya Sam-wi dapat beristirahat di sana. Sam-wi dapat membawa bekal makanan dan bahan obat," kata pula si kakek yang sesungguhnya menaruh rasa kagum dan simpati kepada tiga orang muda yang sudah berani menentang para buaya darat yang semenjak dahulu merupakan gangguan di dusun itu.

Setelah Ciang Bi, gadis itu, membeli obat-obat dan bahan makanan, berangkatlah mereka bertiga keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat dan benar saja, di tengah hutan itu mereka menemukan sebuah kuil tua yang kosong, akan tetapi lumayan untuk tempat berteduh dan mengaso. Keng Hong lalu merebahkan tubuh Lai Sek di atas lantai yang sudah dibersihkan oleh Ciang Bi. Kemudian dia membantu gadis itu menggodok obat dan merawat Lai Sek.

Setelah pemuda remaja itu minum obat, makan bubur dan tertidur nyenyak, Ciang Bi dan Keng Hong duduk di ruang luar kuil, di atas batu-batu halus yang agaknya dahulu dipakai untuk bersemedhi para pendeta penghuni kuil. Sampai lama mereka hanya berdiam diri dan setiap kali mereka bertemu pandang, gadis itu menundukkan mukanya dan bibir yang merah dan segar selalu itu tersenyum malu-malu.

"Taihiap..."

"Ahh, jangan menyebut aku taihiap, Nona. Aku seorang biasa saja yang kebetulan dapat membantumu. Namaku Keng Hong, Cia Keng Hong."

"Tapi... kepandaianmu sunggguh amat luar biasa, Taihiap. Sungguh membuat hatiku amat kagum."

"Kepandaianmu bermain pedang pun sangat hebat, Nona. Aku yang bodoh mana dapat dibandingkan denganmu. Engkau masih muda tetapi sudah amat pandai bermain pedang, gerakanmu cekatan dan ringan, permainan pedangmu indah sekali bagai seorang bidadari menari dan kau... kau cantik jelita sekali, Nona."

Gadis itu cepat menengok dan menatap wajah Keng Hong. Akan tetapi dia tidak melihat pandang mata kurang ajar, hanya melihat sinar kekaguman yang jujur terpancar keluar dari sepasang mata yang tajam itu sehingga dia tidak jadi marah, bahkan lalu menunduk dengan muka merah, bibirnya tersenyum, matanya mengerling dan jantungnya berdenyut penuh kegembiraan. Wanita manakah di dunia ini yang takkan menjadi dak-dik-duk hatinya kalau menerima pujian-pujian yang begitu jujur dari seorang pemuda yang amat gagah perkasa dan tampan pula?

Sejenak mereka diam tak berkata-kata. Keadaan ini tidak mengganggu Keng Hong yang menikmati pemandangan indah di depannya, rambut yang hitam mulus dan halus panjang terurai itu, wajah yang cantik sekali, sepasang mata seperti mata burung hong, hidung kecil mancung yang cupingnya dapat bergerak-gerak sedikit pada waktu merasa malu dan merah, mulut yang indah bentuknya dengan sepasang bibir yang seolah-olah dicat merah, merah semringah dan selalu segar, sepasang pipinya kemerahan bagaikan buah tomat setengah matang, dagu kecil meruncing yang kalau digerakkan menimbulkan lesung pipit di atasnya. Tubuh yang ramping padat dan biar pun kini tertutup jubah Keng Hong yang terlalu besar, masih tak dapat menyembunyikan bentuknya yang menggairahkan.

Biar pun mereka tak berkata-kata, Keng Hong tidak merasa kesepian. Akan tetapi gadis yang maklum betapa sepasang mata orang yang dikaguminya itu memandangnya penuh kekaguman, menjadi tak tenang dan akhirnya ia berkata lirih,

"Cia-taihiap, betapa aku akan dapat membalas budimu yang amat besar? Biarlah aku dan adikku akan selalu berdoa untuk kebahagianmu..."

"Ihhh, Nona, mengapa begini sungkan? Lupakan saja apa yang telah kulakukan karena itu semua tak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban seorang manusia yang harus membantu manusia lain yang sedang tertimpa kemalangan."

"Engkau gagah dan bijaksana, taihiap..."

Gadis itu memandang dan sejenak pandang mata mereka saling melekat. Keng Hong dapat menangkap sinar kemesraan memancar dari pandang mata di balik bulu mata lentik itu, akan tetapi hanya sebentar saja karena gadis itu sudah cepat-cepat menundukkan mukanya kembali.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebelah dalam kuil. Keduanya cepat melesat ke dalam kuil seperti berlomba, dan berbareng mereka memasuki ruangan di mana tadi Lai Sek rebah dan tidur.

Sekarang pemuda remaja itu sudah bangun, akan tetapi masih rebah dan terlihat gelisah sekali. Mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan marah seperti orang sedang berkelahi, kaki tangannya bergerak-gerak, tetapi matanya meram. Keng Hong menarik napas lega. Kiranya pemuda itu hanya mengigau saja.

"Dia diserang demam!" Seru Ciang Bi khawatir ketika meraba leher adiknya itu. Keng Hong meraba dahi pemuda itu dan ternyata pemuda itu diserang demam panas.

"Biar kucarikan obat di dusun itu untuk melawan demamnya," kata Keng Hong dan tanpa menanti jawaban dia sudah berkelebat lari menuju ke dusun itu. Pemilik toko obat dengan senang hati memberikan obat penolak demam yang disebabkan luka, kemudian pemuda ini cepat kembali lagi ke dalam hutan.

Dapat dibayangkan betapa marah hatinya ketika melihat bahwa di depan kuil itu sudah dipenuhi dengan orang-orang yang dia kenal adalah orang-orang yang tadi mengeroyok enci dan adik itu. Jumlah mereka kini tidak kurang dari tiga puluh orang dan paling depan berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka merah yang membawa golok besar.

Laki-laki tinggi ini sedang bicara dengan Ciang Bi, menuding-nudingkan goloknya ke arah gadis itu yang bersikap tenang dengan pedang di tangan, dan sudah siap untuk melayani pengeroyokan. Keng Hong mempercepat larinya dan dengan gerakan indah dia meloncati kepala mereka yang mengurung, langsung turun di dekat Ciang Bi. Wajah gadis ini berseri melihat datangnya penolongnya.

Keng Hong tidak mempedulikan si tinggi besar, bahkan dia memberikan bungkusan obat kepada gadis itu sambil berkata, "Nona, kau serahkan saja tikus-tikus ini kepadaku. Lekas masak obat ini dan minumkan kepada adikmu."

Gadis itu meragu, menyapu para penjahat itu dengan matanya. Agaknya ia merasa berat meninggalkan pemuda penolongnya itu seorang diri saja menghadapi sekian banyaknya penjahat, apa lagi yang kini dipimpin oleh kepala mereka yang kelihatannya kuat dan lihai.

"Akan tetapi..."

"Jangan membantah, lebih baik lekas tolong adikmu. Aku sanggup melayani mereka ..."

"Taihiap, pakailah pedangku..."

"Terima kasih. Tidak usah. Menghadapi segala macam tikus busuk, perlu apa mengotori pedangmu?"

Sejenak gadis itu memandangnya, memandang dengan sinar mata mesra seperti tadi, akan tetapi sekarang lebih lama dan lebih jelas sehingga Keng Hong-lah yang lebih dulu menundukkan muka karena tidak tahan menghadapi pemandangan yang mengguncang perasaannya ini. Gadis itu lalu berlari masuk membawa obat dan pedangnya, sedangkan Keng Hong lalu menghadapi kepala penjahat sambil berkata,

"Kalian ini mau apakah? Puluhan orang laki-laki tinggi besar mendesak dan mengganggu seorang gadis muda dan adiknya yang sedang sakit, sungguh perbuatan yang amat tidak gagah!"

Kepala penjahat itu usianya kurang lebih empat puluh tahun. Tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat sekali dan goloknya amat besar dan kuat, sikapnya pun menyeramkan. Mukanya merah seperti wajah Kwan Kong pahlawan pada jaman Sam-kok, dengan kumis dan jenggotnya yang hitam lebat, sepasang matanya yang lebar itu kemerahan. Dengan gerakan goloknya dia menuding ke arah Keng Hong dan suaranya serak ketika bertanya kepada anak buahnya,

"Inilah pemuda usilan itu?"

"Benar dia, Twako!" kata seorang di antara mereka yang tadi dihajar Keng Hong.

Kepala penjahat itu kembali memandang Keng Hong penuh perhatian, seolah-olah tidak dapat percaya bahwa pemuda yang usianya paling banyak baru sembilan belas tahun ini mampu merobohkan dua belas orangnya!

"Siapa namamu?" bentaknya, sikapnya sombong dan memandang rendah.

"Namaku Cia Keng Hong."

"Kamu orang Hoa-san-pai juga?"

Pertanyaan ini menyadarkan Keng Hong bahwa enci dan adik itu tentu murid Hoa-san-pai. Pantas saja ilmu pedangnya demikian indah. Ia menggeleng kepala dan menjawab,

"Aku bukan dari partai mana-mana, aku hanyalah seorang yang kebetulan lewat dan tidak tahan melihat belasan laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang wanita. Mengapa kalian bukannya insyaf akan perbuatan pengecut dan memalukan itu bahkan kini kembali datang mengganggu? Lebih baik kalian sadar dan pergi saja, karena perbuatan kalian ini hanya akan membuat kalian tercela dan ditertawakan orang gagah sedunia."

"Bocah sombong! Bocah usilan! Kami mempunyai urusan sendiri dengan orang-orang dari Hoa-san-pai, ada sangkut paut apa denganmu? Engkau sudah bosan hidup!"

Kepala penjahat itu sudah menerjang dengan goloknya dan terdengar suara mendesing pada saat golok itu menyambar ke arah kepala Keng Hong. Pemuda ini belum sempurna mempelajari ilmu silat dan yang telah dipelajarinya hanyalah delapan jurus ilmu serangan dan ilmu pedang yang belum matang, maka dia amat kaget dan cepat meloncat mundur. Loncatannya sangat ringan dan cepat, namun gerakannya mengelak kaku sekali.

Hal ini dilihat oleh kepala penjahat yang ilmu silatnya lumayan juga, maka sambil berseru keras dia maju lagi menubruk sambil membacokkan goloknya. Tetapi sekali ini Keng Hong yang maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, sudah mendahului dengan pukulan atau dorongan dua tangannya ke depan. Ia menggunakan telapak tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang.

Terdengar penjahat tinggi besar itu menjerit dan roboh terjengkang, memuntahkan darah segar. Matanya mendelik dan nyawanya melayang pada saat itu juga!

Melihat robohnya pemimpin mereka, orang-orang kasar itu menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriak memaki mereka sudah menerjang maju, mengeroyok Keng Hong dengan senjata mereka.

Keng Hong yang belum memiliki banyak pengalaman dalam pertempuran, apa lagi kalau dikeroyok tiga puluh orang yang memegang senjata tajam, menjadi bingung sekali. Akan tetapi untung baginya bahwa gemblengan mendiang gurunya ditekankan kepada sinkang dan ginkang sehingga tubuhnya yang mengelak dan meloncat ke sana-sini itu jauh lebih cepat dari pada gerakan para pengeroyoknya sehingga mereka menjadi bingung karena bagi mereka, tubuh pemuda itu seperti lenyap dan berkelebatan seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi sesosok bayangan yang sukar diserang.

Melihat betapa dengan mudah dan leluasa dia dapat bergerak di antara pengeroyoknya yang menurut pandangannya bergerak sangat lambat itu, timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Baru sekarang dia mengerti kenapa suhu-nya dahulu menekankan latihan sinkang dan ginkang.

Kiranya, waktu yang amat pendek ketika dia belajar dahulu telah diisi dengan dasar dari pada syarat utama dalam ilmu silat, yaitu kecepatan gerakan dan kekuatan dalam. Kini, setelah dengan mudah dia dapat menghindarkan semua serangan dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, dia mulai balas menyerang dan alangkah mudahnya merobohkan mereka itu. Dengan satu kali tamparan atau tendangan saja dia telah mampu merobohkan seorang pengeroyok.

Keng Hong lalu mengamuk. Walau pun dipandang oleh mata orang lain dia dikeroyok dan dikepung, namun kenyataannya, seorang demi seorang dari para pengeroyoknya dapat dia robohkan dan makin lama pengeroyokan itu menjadi makin kacau.

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok yang sudah kehilangan tujuh orang teman yang sudah dirobohkan Keng Hong. Para pengeroyok yang berada di sebelah luar berjatuhan dan dalam sekejap mata saja ada lima orang roboh!

Keng Hong melirik dan pandang matanya yang tajam hanya bisa melihat sinar-sinar putih berkelebatan. Maka, maklumlah dia bahwa ada orang yang sudah membantunya dengan menggunakan senjata rahasia untuk merobohkan para pengeroyok.

Dia menjadi gembira dan kembali dua orang dapat dia robohkan dengan tamparan kedua tangannya. Para pengeroyok menjadi makin panik dan akhirnya mereka itu melarikan diri pontang-panting, meninggalkan teman-teman yang tewas atau terluka.

"Sahabat baik yang telah membantu, harap suka keluar!" Keng Hong berteriak memanggil setelah semua pengeroyoknya pergi. Tetapi tidak ada jawaban, juga tidak tampak gerakan di balik pohon-pohon. Keadaan sunyi sekali, kecuali suara merintih yang keluar dari mulut mereka yang terluka.

"Dia sudah pergi, In-kong..."
Keng Hong membalikkan tubuhnya, melihat bahwa Ciang Bi telah berdiri di ambang pintu kuil dengan pandang mata penuh kagum dan bersyukur kepadanya. Sekarang gadis itu menyebutnya ‘in-kong’ (tuan penolong).

"Dia siapa, Nona?"

"Entahlah, akan tetapi aku melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berpakaian putih di balik pohon sana. Dia membantumu dengan cara bersembunyi, tentunya kini telah pergi. Tentu In-kong mengenal dia."

Berdebar jantung Keng Hong. Gadis baju putih yang lihai? Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng? Ia menghampiri lima orang pengeroyok yang tadi roboh dan melihat bahwa mereka ini telah tewas, pelipis mereka remuk oleh bola-bola putih berduri yang dia kenal sebagai senjata rahasia Biauw Eng!

Ahhh, kembali gadis itu telah menolongnya. Akan tetapi mengapa harus menolong sambil bersembunyi? Mengapa tidak menemuinya?

"In-kong tentu mengenal gadis yang lihai itu, bukan?"

Keng Hong mengangguk, kemudian bertanya, "Bagaimana dengan adikmu?"

Gadis itu memandang penuh rasa terima kasih. "Berkat pertolonganmu, adikku telah turun panasnya. Berkat pertolonganmu, kami kakak beradik masih dapat bernapas sampai saat ini. Tidak tahu bagaimana kami akan dapat membalas budimu yang besar." Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan diri berlutut.

Sekali meloncat, Keng Hong sudah tiba di depan gadis itu, memegang pundaknya dan mengangkatnya bangun. Darahnya berdesir ketika dia menyentuh kedua pundak itu. Dari luar baju dia dapat merasakan alangkah halusnya kulit pundak itu. Cepat dia melepaskan kedua tangannya sesudah Ciang Bi bangkit berdiri.

Sejenak mereka berpandangan. Dari sepasang mata yang indah itu bersinar kemesaraan yang membuat bulu tengkuk Keng Hong berdiri dan jantungnya berdebar-keras.

"Jangan memberi penghormatan secara berlebihan, Nona. Telahkukatakan bahwa semua yang kulakukan bukanlah pertolongan, akan tetapi kewajiban. Sekarang kita harus cepat pergi dari sini. Tempat ini amat tidak baik dan tidak enak untuk tinggal di sini." Dia lantas memandang ke arah mayat-mayat dan orang-orang terluka. "Mari kita mencari tempat lain untuk merawat adikmu sampai sembuh."

Ciang Bi mengangguk dan Keng Hong lalu memasuki kuil. Sim Lai Sek, pemuda remaja berusia enam belas tahun itu, demamnya sudah turun dan hanya tubuhnya masih lemah. Ia tersenyum dan wajahnya yang pucat itu menyinarkan kekaguman saat dia memandang Keng Hong.

"Engkau hebat dan baik sekali..., Taihiap...," katanya lemah.

Keng Hong tak menjawab, hanya membungkuk dan memondongnya sambil berkata, "Kita harus pergi dan mencari tempat lain."

Pemuda itu kelihatan sungkan. "Aku dapat berjalan sendiri, Taihiap."

"Engkau masih lemah dan kita perlu melakukan perjalanan cepat pergi dari tempat ini," kata Keng Hong yang segera lari dari kuil itu, diikuti oleh Ciang Bi.

Mereka berlari terus keluar dari hutan itu tanpa bercakap satu kata pun. Ciang Bi selalu tersenyum dan kadang-kadang melontarkan kerling penuh kagum dan bersyukur ke arah pemuda yang memondong adiknya. Keng Hong berlari sambil melamun karena pikirannya penuh dengan bayangan Biauw Eng yang dia anggap aneh sekali, menolongnya secara sembunyi-sembunyi dan tidak mau menemuinya.

Karena malam tiba, akhirnya mereka terpaksa menghentikan perjalanan. Untung mereka mendapatkan sawah ladang yang luas dan di sana terdapat beberapa buah gubuk kecil, tempat para petani berteduh dan menjaga sawah.

Sunyi senyap di tempat itu dan langit amat cerah. Meski pun malam itu tidak ada bulan, akan tetapi bintang-bintang memenuhi angkasa dan tidak ada satu pun bayangan pohon yang menggelapkan tempat itu.

Keng Hong merebahkan tubuh Lai Sek di dalam sebuah gubuk, kemudian dia pergi untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Ada pun Ciang Bi menjaga adiknya yang masih amat lemah.

"Cici, dia baik sekali...," kata pemuda remaja itu kepada kakaknya setelah bayangan Keng Hong lenyap ditelan cuaca yang suram.

Gadis itu mengangguk, termenung sampai lama kemudian terdengar bisikan adiknya.

"Dia lihai sekali. Murid siapakah dia, Cici? Dari golongan mana?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil menarik napas panjang. Seluruh perasaannya terselimut dengan bayangan Keng Hong, rongga dada dan kepalanya penuh oleh pemuda penolongnya yang amat menarik hatinya itu.

"Aku tidak tahu..., kami belum sampai bicara tentang itu..."

"Ehhh, mengapa begitu, Cici? Kita sudah ditolongnya, dibebaskannya dari ancaman maut sampai dua kali, bahkan dia terus menjaga serta merawatku. Kita harus tahu siapa dia, bagamana keadaannya dan dari golongan mana. Betapa pun juga, budi sebesar ini harus kita balas kelak. Bahkan kita harus melaporkan kepada suhu supaya Hoa-san-pai kelak dapat membalas budinya."

"Sudahlah, kau mengasolah Lai Sek. Kulihat dia itu tak begitu suka untuk diingatkan akan budinya."

"Tetapi... kau harus bertanya tentang gurunya, partainya..."

Gadis itu menutup mulut adiknya dengan telapak tangannya yang halus. "Akan kulakukan itu, sekarang minumlah obat ini lebih dulu."

Ciang Bi telah membuat api unggun dan memanaskan obat dalam tempat obat dari tanah yang tadi dibawanya, obat dan tempatnya yang didapatkan oleh Keng Hong sebelum para penjahat tadi datang menyerbu.

Lai Sek terpaksa minum obat yang pahit itu dan rasa pahit melenyapkan nafsu bicaranya sehingga dia mulai memejamkan matanya. Tubuhnya masih letih sehingga sebentar saja dia tertidur pulas.

Keng Hong datang membawa beberapa buah bakpauw panas dan seguci besar terisi air teh yang dibelinya dari dusun tak jauh dari sawah itu. Ia menawarkannya kepada Ciang Bi dan mereka lalu makan minum tanpa bicara, menyisihkan bagian Lai Sek supaya dapat dimakan pemuda itu kalau sudah bangun. Kemudian keduanya duduk dekat api unggun.

"Syukurlah kalau adikmu sudah sembuh, Nona," Keng Hong berkata untuk memecahkan kesunyian yang mencekam sambil memandang wajah jelita itu yang disinari cahaya api unggun kemerahan.

"Berkat pertolonganmu, In-kong."

"Harap kau jangan menyebutku In-kong atau taihiap. Namaku Cia Keng Hong dan sebut saja kakak kepadaku karena tentu aku lebih tua darimu. Usiaku sudah hampir sembilan belas tahun."

"Kau juga harap jangan menyebut nona. Namaku Sim Ciang Bi dan usiaku delapan belas tahun, Twako."

Keng Hong tersenyum. "Baiklah, Bi-moi (adik Bi). Dan harap jangan menyebut-nyebut lagi tentang pertolongan, kau membuat aku menjadi malu saja."

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Twako. Engkau telah menolong kami enci dan adik, bolehkah aku mengetahui, engkau dari perguruan mana? Ilmu kepandaianmu hebat sekali." Gadis itu memandang kagum, kekaguman yang setulusnya dan yang terbayang sepenuhnya pada pandang mata yang tajam itu, pada wajah yang jelita itu.

Keng Hong menarik napas panjang. Dia kini sudah cukup kenyang dengan pengalaman pahit apa bila orang mengetahui akan dirinya, mengetahui bahwa dia adalah murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan terutama sekali, bila mengetahui bahwa dia pewaris pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang kang-ouw karena mereka mengira bahwa pedang itu ialah kunci tempat penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya. Karena itu, kini mendengar pernyataan gadis jelita ini, dia enggan untuk memperkenalkan perguruannya.

"Ahh, aku bukan dari perguruan mana-mana, Bi-moi dan sebaiknya aku tidak membawa nama guruku yang telah meninggal dunia. Riwayatku tak menarik, aku seorang sebatang kara, rumah pun tidak punya. Lebih baik mendengar riwayatmu, Bi-moi, kalau kau tidak berkeberatan. Mengapa engkau dan adikmu bermusuhan dengan mereka itu? Di mana tempat tinggalmu dan hendak ke mana kalian pergi?"

"Twako, engkau terlalu merendahkan diri. Seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tentu berasal dari perguruan yang tinggi dan ternama, atau setidak-tidaknya tentu murid seorang yang sangat sakti. Akan tetapi kalau engkau hendak merahasiakannya, aku pun tidak berani memaksa. Tentang aku... ahhh, aku dan adikku hanya murid-murid kecil dari Hoa-san-pai."

Keng Hong teringat akan dua orang tokoh Hoa-san-pai seperti yang sudah dituturkan oleh gurunya, yaitu yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, dua orang kakek bersaudara yang amat terkenal dan di dunia kang-ouw dijuluki Hoa-san Siang-sin-kiam (Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san)!

Juga dia teringat dengan cerita gurunya akan pengalaman-pengalaman gurunya dimusuhi oleh kaum Hoa-san-pai, yaitu karena gurunya dahulu pernah mencuri ramuan obat dan pedang pusaka dari Hoa-san-pai. Bahkan kemudian terdapat pula seorang murid wanita Hoa-san-pai yang tergila-gila pada Sin-jiu Kiam-ong dan melarikan diri bersama pendekar yang nakal itu! Teringat akan penuturan gurunya, mau tidak mau Keng Hong tersenyum lebar.

"Kenapa engkau tertawa, Twako?"

"Ahh, tidak apa-apa, Bi-moi. Hanya aku girang bahwa aku sudah bertemu dengan murid Hoa-san-pai yang telah lama kudengar nama besarnya. Pantas saja ilmu pedangmu amat indah dan hebat!"

"Ihhh, apanya yang hebat?"

Gadis itu memandang penuh kekaguman dan sama sekali tidak menyembunyikan rasa tertarik pada sinar matanya yang bening. "Engkau lihai luar biasa, engkau baik budi dan manis bahasa, engkau pandai merendahkan diri dan sekarang ternyata engkau pandai pula memuju-muji orang untuk menyenangkan hatinya."

"Wah-wah, yang pandai memuji-muji ini aku atau engkau?" Keng Hong tertawa.

Melihat pemuda ini tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, gadis itu pun tertawa sambil berkata,

"Kita sama-sama pandai memuji orang. Akan tetapi salahkah itu? Memuji orang berarti menyenangkan hati orang, dan aku ingin menyenangkan hatimu, Twako, sungguh pun hal itu merupakan balas budi yang tak ada artinya."

"Sudahlah, Bi-moi. Lebih baik kau ceritakan mengapa kau dan adikmu dimusuhi mereka itu."

Gadis itu menarik napas panjang. "Aahhh, semua adalah salahku, gara-gara akulah maka terjadi permusuhan itu...," katanya, kemudian dia bercerita.

Gadis yang bernama Sim Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek ini adalah putera dan puteri seorang sastrawan di kota Liok-keng yang terkenal karena pandai sekali membuat sajak dan melukis, dikenal dengan sebutan Sim-siucai (sastrawan Sim). Karena sudah banyak mengalami kesengsaraan akibat perang dan kerusuhan, di mana kepandaian bun (sastra) tidak mampu melindunginya, Sim-siucai lalu membawa kedua anaknya itu ke Hoa-san-pai untuk mendidik kedua anaknya dengan ilmu silat, karena siucai ini berpendapat bahwa dalam jaman perang dan kerusuhan itu ilmu silat lebih berguna dari pada ilmu sastra.

Dengan demikian, Ciang Bi yang ketika itu berusia tiga belas tahun sedangkan Lai Sek berusia sebelas tahun lalu menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Selama lima tahun mereka berdua belajar ilmu silat.

Setelah pimpinan Hoa-san-pai merasa bahwa mereka sudah memiliki kepandaian cukup untuk menjaga diri, apa lagi mengingat bahwa Ciang Bi sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun dan sudah sepatutnya berada di rumah orang tua sendiri untuk kemudian berumah tangga, kedua orang anak murid Hoa-san-pai ini disuruh pulang ke tempat tinggal mereka.

Pada saat mereka berdua melakukan perjalanan sampai di dusun Ciang-cung, kecantikan wajah Ciang Bi lalu menimbulkan urusan besar. Di sebuah dusun lain yang tidak jauh dari Ciang-cung tinggal seorang kepala kampung yang menjadi raja kecil di dusun itu, bahkan kekuasaan dan pengaruhnya sampai menjalar ke dusun-dusun lain di dekatnya, termasuk Ciang-cung karena kepala-kepala kampung dari dusun-dusun lainnya tak ada yang berani menentangnya.

Kepala dusun ini bernama Bong-cungcu (Lurah Bong) dan memiliki seorang putera tunggal bernama Bong-cit yang terkenal jahat, mata keranjang dan senang membawa kehendak sendiri mengandalkan kedudukan ayahnya dan mengandalkan kekuatan pasukan tukang pukulnya yang terdiri dari buaya-buaya darat yang pandai ilmu silat. Pada saat Bong Cit mendengar akan kecantikan seorang gadis yang memasuki dusun itu bersama adiknya, segera bersama anak buahnya Bong Cit mengejar ke Ciang-cung, menemui gadis cantik itu dan menggodanya dengan ucapan-ucapan yang tidak sopan.

Tentu saja Ciang Bi dan adiknya menjadi marah dan menghajar para tukang pukul itu sehingga mereka bersama majikan muda mereka lari tunggang-langgang. Akan tetapi, tak lama kemudian kembali datang pasukan tukang pukul yang jumlahnya lebih banyak, lalu mengeroyok Ciang Bi dan adiknya. Pasukan tukang pukul ini kiranya cukup kuat sehingga hampir saja Ciang Bi dan adiknya celaka kalau saja saat itu tidak muncul Keng Hong yang menghajar mereka.

"Begitulah, Twako. Sungguh aku merasa malu sekali bahwa biar pun ayah telah mengirim aku bersama adikku belajar selama lima tahun di Hoa-san-pai, ternyata baru pertama kali bertemu dengan penjahat saja sudah hampir celaka. Masih baik nasibku dapat bertemu dengan seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau. Jika saja kepandaianku setinggi kepandaianmu, tentu akan kucari jahanam Bong Cit itu dan akan kulenyapkan dari dunia. Manusia macam dia itu merupakan ancaman bagi keselamatan gadis-gadis di kampung sekeliling tempat itu."

Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku tidak dapat terlalu menyalahkan dia."

"Apa maksudmu?"

"Siapa orangnya yang tak akan tergila-gila melihat engkau, Bi-moi. Engkau terlalu cantik jelita dan manis, membuat hati pria menjadi jungkir balik!"

Tiba-tiba saja wajah yang cantik itu menjadi merah sekali, bibir yang mungil itu tersenyum ditahan, matanya mengerling malu-malu. "Ihhh, engkau juga... mata keranjang dan... dan kurang ajar...? Sukar dipercaya...!"

Keng Hong tertawa lirih dan menggeleng-gelengkan kepalanya, pandang matanya secara jujur menatap wajah itu dengan kekaguman.

"Apakah artinya mata keranjang, Bi-moi? Menurut mendiang suhu, wanita itu bagai bunga yang indah. Wanita mana yang tidak selalu berusaha untuk mempercantik diri? Untuk apa semua usaha itu? Tentu agar kelihatan cantik dan menimbulkan rasa kagum di hati pria, dan telah menjadi hak setiap orang pria untuk mengagumi kecantikan wanita. Semua pria tentu saja suka melihat kecantikan wanita, kecuali mereka yang munafik, kalau ada wanita cantik pura-pura menundukkan muka padahal matanya mengerling! Di lahirnya pura-pura tidak suka akan tetapi diam-diam merindukannya! Semua pria suka akan wanita cantik, sedikitnya suka memandang dengan kagum seperti orang mengagumi setangkai bunga yang cantik dan indah. Semua wanita suka untuk dikagumi pandang mata pria, biar pun banyak yang berpura-pura marah dan membenci. Padahal disudut hatinya, wanita mana yang tidak suka dipandang dengan rasa kagum? Tentang kurang ajar, harap jangan keliru sangka, Bi-moi. Pria yang mana saja boleh memandang kagum akan kecantikan wanita yang mana saja, akan tetapi kalau melakukan perbuatan yang lebih dari pada ini, yaitu hendak mengganggu dengan perbuatan, barulah jahat dan tidak baik. Seperti juga setiap orang boleh mengagumi setangkai bunga, akan tetapi apa bila berlancang tangan untuk memetiknya adalah perbuatan tidak benar karena bunga itu tentu ada yang memilikinya. Kalau aku menyatakan dengan sejujurnya apa yang terpikir olehku, itu bukan kurang ajar namanya, Bi-moi. Aku memandangmu dengan kagum sebab hatiku memang amat kagum dengan kecantikanmu, aku menyatakannya dengan mulut bahwa engkau cantik jelita dan manis, bukan berarti kurang ajar."

Makin merah wajah Ciang Bi dan gadis itu menunduk, akan tetapi dia tidak marah, malah jantungnya berdebar akibat... girang! Memang tepat sekali ucapan yang didengarnya.

Dia suka akan pujian mengenai kecantikannya, apa lagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pemuda yang dikaguminya! Kalau dia sampai bermusuh dengan Bong Cit adalah karena pemuda she Bong itu sudah mengeluarkan kata-kata kotor dan kemudian hendak menangkapnya.

"Kau... kau terlalu jujur dan blak-blakan, Twako..." akhirnya dengan lirih Ciang Bi berkata. "kau membikin aku menjadi... menjadi malu..."

Keng Hong tertawa dan memandang wajah yang ayu itu. Sinar merah api ungun membuat bentuk wajah itu menjadi gemilang dan tampak jelas garis-garisnya, bagaikan garis-garis daun bunga mawar dengan lekuk-lengkungnya yang tak lebih tak kurang, amat tepat dan cocok sekali, serasi pada tempatnya, membuat mata tak ada bosannya memandang dan mengaguminya.

"Salah siapakah, Bi-moi? Salahkah mata ini apa bila melihat wajah yang cantik dan indah, nikmat dipandang tanpa membosankan? Ataukah pemilik wajah itu sendiri yang salah mengapa wajahnya cantik? Kalau salah mataku, biarlah mulai sekarang juga aku akan meramkan mata bila mana berbicara dan berhadapan denganmu agar aku jangan dapat melihat wajahmu! Sebaliknya, kalau salah wajahmu mengapa begitu cantik, biarlah mulai sekarang kau menutupi wajahmu dengan sapu tangan atau dengan kedok yang buruk agar mataku tidak dapat mengagumimu. Bagaimana?"

Gadis itu tersenyum lebar, menekan diri agar tidak tertawa terkekeh, sedangkan pandang matanya bersinar-sinar ditujukan kepada wajah pemuda yang makin menarik hatinya itu, pemuda yang perkasa, yang sudah menyelamatkan nyawanya dan nyawa adiknya, yang ramah-tamah, yang telah melepas budi tetapi selalu merendahkan diri, yang amat tampan dan memiliki sepasang mata yang seolah-olah dapat menembus dadanya dan menjenguk isi hatinya, yang kini bahkan memuji-mujinya dengan kata-kata merayu-rayunya!

"Wah..., Hong-ko... engkau benar-benar pandai merayu hati! Hong-ko..., sungguhkah kau menganggap aku… aku cantik dan... dan apakah engkau... suka kepadaku?" Gadis itu memberanikan diri mengeluarkan pertanyaan ini yang keluar dari lubuk hatinya, dan dia diberanikan oleh sikap dan kata-kata Keng Hong yang selalu terbuka dan jujur blak-blakan itu.

Keng Hong tersenyum lebar. "Pria yang manakah di dunia ini yang tidak akan merayu wanita cantik seperti seekor kumbang menari-nari dan menyanyi di atas setangkai bunga? Kaum cendekiawan, kaum sastrawan selalu merayu segala keindahan dengan kata-kata indah yang dirangkai dalam bentuk sajak-sajak hingga terciptalah sajak-sajak abadi yang menyanjung keindahan bunga dan kecantikan wanita! Tentu saja aku merayumu dengan kata-kata indah sedapatku, Bi-moi, karena memang engkau cantik dan patut menerima rayuan dan sanjungan pria yang mana pun juga di dunia ini. Kau bertanya apakah aku suka kepadamu? Aduh, Bi-moi, perlukah ditanya lagi? Tiada seekor pun kupu-kupu atau kumbang yang tidak suka akan kembang! Tiada seorang pun pria yang tidak suka akan seorang wanita cantik, kecuali kalau pria itu tidak normal atau... banci!"

Gadis itu kembali menekan perutnya karena geli, akan tetapi mulutnya bertanya, "Banci? Apakah itu? Manusia atau binatang?"

Keng Hong menggelengkan kepalanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi hanyalah tiruan saja dari ucapan suhu-nya dan dia sendiri pun tidak tahu apa itu yang disebut banci. Maka dia pun hanya mencontoh jawaban suhu-nya pada saat dia bertanya tentang banci. "Banci itu bisa manusia bisa binatang, akan tetapi yang pasti dia itu bukan pria dan bukan pula wanita, atau boleh juga disebut bahwa dia itu dapat menjadi pria mau pun wanita!"

"Eh..., aku menjadi bingung. Bagaimana sih jelasnya?"

"Jelasnya... aku sendiri pun tidak tahu karena selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang banci!"

"Engkau belum menjawab pertanyaanku, Hong-ko, apakah engkau suka kepadaku?"

"Sudah kukatakan tadi, mana ada kumbang tidak suka akan kembang?"

"Engkau bukan kumbang!"

"Hanya kiasan, Bi-moi, kuumpamakan diriku adalah seekor kumbang dan engkau adalah setangkai kembang. Kumbang takkan pernah jemu untuk berdendang memuji kecantikan kembang, tak akan jemu-jemu membelai dan menciumnya..."

Wajah Ciang Bi menjadi makin merah, kepalanya menunduk, jantung berdebar keras dan jari-jari tangannya menggigil. Keng Hong yang melihat jari tangannya menggigil itu, jari-jari tangan yang kecil dan bentuknya meruncing, dengan kuku-kuku jari yang halus bersih terpelihara, tanpa disadarinya sudah menggeser duduknya mendekat, kemudian dengan hati-hati dia memegang tangan itu.

"Tanganmu gemetar, Moi-moi... dan agak dingin. Mengapa?"

Memang ada getaran yang keluar dari tangan Ciang Bi, getaran sebagai akibat denyut jantungnya, juga akibat perasaannya. Dia merasa berbahagia, terharu dan juga... takut! Semua perasaan ini bergelut dengan rasa suka dalam hatinya, mendatangkan kemesraan sehingga tanpa disadarinya pula jari tangannya membalas sentuhan pemuda itu dan jari jemari tangan mereka tahu-tahu sudah saling meremas.

"Hong-ko... kalau engkau menjadi kumbangnya... aku suka menjadi kembangnya..." Suara Ciang Bi juga gemetar, napasnya agak terengah karena hatinya berguncang.

Keng Hong tersenyum girang, lalu dengan tangan kirinya dia meraba dagu yang halus itu, mengangkat muka cantik itu sehingga mereka berpandangan dan dia bertanya,

"Bi-moi cintakah engkau kepadaku?" Pertanyaan yang langsung seperti tusukan sebatang pedang yang meruncing.

Dulu suhu-nya setiap kali menceritakan segala pengalamannya pada waktu muda selalu diselingi nasehat-nasehat tentang wanita. Nasehat yang dia masih ingat dan sekarang dia praktekkan terhadap Ciang Bi adalah begini: ‘Jangan sekali-kali memaksa wanita untuk melayani cintamu dan jangan pula sekali-kali jatuh cinta karena sekali jatuh, engkau akan terikat dan kesengsaraan akan timbul. Lebih baik bertanya terus terang apakah wanita itu mencintaimu dan jangan menolak cinta kasih wanita, bila engkau tertarik kepadanya tentu aja!

Nasehat inilah yang teringat oleh Keng Hong pada waktu secara tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan yang langsung itu kepada Ciang Bi. Tentu saja gadis itu menjadi malu sekali untuk menjawab. Akan tetapi karena hati Ciang Bi sudah terpikat, baik oleh ketampanan wajah, kelihaian, mau pun budi bahasa pemuda itu, dia makin menunduk dan menjawab lirih seperti bisikan, "Dengan seluruh jiwa ragaku, Koko..."

Tangan mereka pun makin erat saling meremas dan terdengar Keng Hong berkata, juga secara blak-blakan, "Juga masih mencintaku walau pun kelak aku tidak mungkin menjadi suamimu?"

Ciang Bi mengangkat mukanya, memandang tajam. Wajahnya menjadi pucat, akan tetapi kemudian menjadi merah kembali dan dia menjawab, "Apa kau kira sikapku ini merupakan perangkap untuk menjebak seorang calon suami?"

Keng Hong tertawa, menarik lengan gadis itu yang dengan lemas menurut saja sehingga rebah dalam pelukan pemuda yang amat dikaguminya itu...
Selanjutnya,