Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 77
Sikap yang mendua. Bahkan tersirat Pangeran Sang Hiang merasa kurang suka dengan pemunculan Ngwang. Yang mengakibatkan hubungan persaudaraan dengan para ksatria Perguruan Awan menjadi retak.
Ngwang mengingatkan secara langsung, bahwa dirinya mempunyai kuasa bagi tubuh Pangeran Sang Hiang. Namun itu pun ternyata tak mampu membuat Pangeran Sang Hiang memastikan keputusan apa yang harus diambil. Sehingga Ngwang memutuskan bergerak sendiri. Ketika mendengar adanya huru-hara di Keraton, dan mendengar Raja menyingkir, Ngwang sepenuhnya melaksanakan tugasnya.
Hingga akhirnya bentrok dengan Jaghana, Nyai Demang, dan terakhir ini bahkan melibatkan Upasara Wulung. Kalau kini bermaksud mundur, semata-mata bukan karena Ngwang takut, melainkan karena kesadaran bahwa tujuannya yang utama mencari Raja. Namun tidak sesederhana itu. Karena Jaghana telah menutup langkah, dan secara tidak langsung menantang. Tak bisa dilewatkan begitu saja.
Situasi ini membuat Ngwang bersiaga. Tanpa terasa tubuhnya terangkat dari tanah. Bibirnya seolah tersenyum tipis, menerima tantangan Jaghana. Dalam pertarungan yang baru saja terjadi, Ngwang merasa dirinya unggul. Kemampuannya selama ini memecahkan dan mengandaskan ajaran Kitab Bumi yang diagung-agungkan di tanah Jawa ternyata mampu membungkam Jaghana.
Kalau sekarang harus berhadapan kembali, Ngwang ingin lebih memastikan apakah masih ada keunggulan jurus-jurus Kitab Bumi yang lolos dari pengamatannya. Karena pastilah Jaghana akan bermain sangat hati-hati. Perkiraan Ngwang ada benarnya, walau kesimpulannya berbeda. Karena sebelum gebrakan pertama dimulai, apa yang disaksikan membuat Ngwang bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang disaksikan adalah tubuh Jaghana terangkat dari tanah! Terangkat setinggi setengah tangan! Ini yang sangat mengejutkan. Ilmu mengangkat tubuh dari tanah, adalah ilmu yang sangat pelik, yang bahkan di negeri Tartar tak lebih dari tiga tokoh yang mampu menguasai. Bahwa Ngwang perlu menghabiskan seluruh kemampuan dan waktunya untuk mencapai tingkat seperti itu. Adalah tidak masuk dalam perkiraan yang paling gampang sekalipun, bahwa Jaghana bisa melakukan itu. Dengan sempurna. Hanya dengan sekali melihat.
Makin tidak dimengerti karena justru ilmu yang diperlihatkan Jaghana adalah ilmu yang berasal dari Kitab Bumi secara murni, secara lugas, sebagaimana adanya yang tertulis dalam kitab. Boleh dikatakan Jaghana tak pernah melakukan kembangan-kembangan dari ajaran lain. Tanpa terasa Ngwang mengerutkan keningnya. Tangannya gemetar, alisnya tergetar.
Tanah Jawa benar-benar merupakan “kedung naga dan sarang harimau” yang tak pernah bisa diperhitungkan! Baru saja ia temui tokoh sakti Upasara Wulung, yang menetas kekuatan utama. Sekarang, bahkan Jaghana mampu mengangkat tubuhnya lepas dari tanah!
Nyai Demang menggeleng. Jaghana bukan tokoh yang biasa memainkan tipuan tertentu. Tidak juga suka sesongaran, mengumbar dan memperlihatkan keunggulannya, sehingga apa yang diperlihatkan sekarang ini mempunyai dasar yang kuat.
“Om. Om.” Tubuh Ngwang bergoyang.
Tubuh Jaghana bergoyang. Mengikuti irama goyangan yang lembut.
“Om!” Kali ini lebih merupakan seruan kaget.
Nyai Demang tak bisa merasakan bahwa Ngwang merasa terpukul keras. Apa yang diunggulkan selama ini, hanya dalam sekejap sudah menjadi milik Jaghana! Dalam waktu sekejap! Karena kini Jaghana justru memperlihatkan penguasaan ilmu yang selama ini diperdalam oleh Ngwang. Jaghana memakai tenaga inti yang sama, yaitu kekuatan angin. Hebatnya lagi, tenaga gerak yang ada sumbernya dari tubuh Ngwang.
Sehingga kalau Ngwang bergerak, getaran itu pula yang menggerakkan Jaghana. Membalik telapak tangan! Kalau tadi Ngwang yang mempermainkan tenaga lawan, sekarang dirinya yang dipermainkan. Sekarang justru tenaganya yang dimanfaatkan. Tubuh Ngwang melorot turun. Tubuh Jaghana justru naik.
“Kuasa roh yang suci, kuasa sukma sejati. Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan.”
Nyai Demang menoleh ke arah sumber komentar. Kali ini darahnya berdesir lebih cepat. Karena sama sekali tidak menduga ada orang yang datang menggetarkan angin sekelilingnya. Karena sama sekali tidak menduga yang muncul adalah Halayudha.
“Itu seratus kali Om.”
Halayudha merangkapkan kedua tangan di dada. Kekuatannya dipusatkan, dan tubuhnya bergerak-gerak. Ujung jari kakinya seakan lepas dari tanah.
Pandangan Ngwang beberapa kali dikejapkan. Ini betul-betul tak bisa dimengerti. Ilmu andalan yang diperdalam menghabiskan usianya, bisa dengan enteng dilakukan oleh seorang yang baru saja muncul.
“Hampir bisa. Hampir bisa itu artinya sudah bisa tapi belum biasa. Paman Gundul, bagaimana memindahkan tenaga secara serentak?”
Tubuh Jaghana melesak turun. “Selamat datang, Mahapatih Halayudha….”
“Sebenarnya aku lebih suka dipanggil Ingkang Sinuwun. Sebenarnya aku lebih suka mendengar jawabanmu mengenai menyalin tenaga dalam dengan kekuatan sukma sejati. Kamu bisa melakukan sekaligus, sedangkan aku menjajal satu demi satu. Jelas kamu bisa menangani lebih cepat. Coba kamu lakukan dari awal. Aku pasti bisa mengikuti.”
Halayudha tidak memperhatikan sama sekali kehadiran Ngwang. Atau Nyai Demang atau Upasara Wulung. Satu-satunya yang menggetarkannya hanyalah ilmu silat. Dan yang diperlihatkan Jaghana adalah permainan baru yang membuatnya sangat bersemangat.
Nyai Demang merasakan bahwa situasi makin tidak menentu sekarang ini. Dengan munculnya Halayudha, keadaan bisa menjadi lebih tak teramalkan. Kalau sekarang masih terpusat perhatiannya pada Jaghana, bisa-bisa kemudian beralih kepada Upasara. Yang tengah bersemadi untuk menyembuhkan Gendhuk Tri. Yang pasti akan menarik perhatian Halayudha. Kalau itu terjadi, sangat besar bahayanya.
Kuasa Tanah air
NYAI DEMANG yang tak terlibat langsung dalam pertempuran atau usaha penyembuhan hanya bisa memandang kiri-kanan sebagai penonton. Dan setiap kali mengawasi rasa was-was nya makin meningkat. Memandang ke arah Upasara timbul juga keraguan, betapapun hebat ilmu yang dimiliki. Beberapa kali Upasara terimpit kesulitan, akan tetapi bisa meloloskan diri dengan baik.
Namun rasanya sekarang ini keadaannya jauh berbeda. Gangguan kecil saja bisa membuyarkan pemusatan pikiran yang entah akan jadi apa akibatnya. Apalagi seorang Halayudha, yang sakti mandraguna, dan dalam keadaan tidak waras. Secara gegabah bisa membahayakan, secara permusuhan juga tetap membahayakan. Kalau Halayudha menyerang, siapa yang kuasa menahan?
Padahal sekarang keadaan Jagattri masih tidak menentu. Bercak-bercak hitam di bawah kulit yang terlihat bisa digiring, bisa dikumpulkan Upasara, akan tetapi masih tak bisa terusir. Mengumpul di bagian ujung kaki, di tangan, di lengan. Upasara sendiri masih tenggelam dalam semadinya dan sekilas menunjukkan bahwa pengerahan tenaga dalamnya makin mendekati puncak, tak menghiraukan yang terjadi kiri-kanan.
Melirik ke arah Jaghana juga sama saja. Kekuatirannya tak bisa ditenteramkan dengan mudah. Ngwang tak akan melepaskan begitu saja. Untuk mengimbangi, agaknya Jaghana perlu mengerahkan seluruh kemampuannya.
“Bagaimana Paman Jaghana bisa meniru dengan cepat?”
"Maaf, saya yang rendah ini tak mengenal gunung yang tinggi, laut yang dalam. Bolehkah saya mengetahui siapa nama besar dan gelar Paduka?”
“Saya biasa dipanggil Ingkang Sinuwun. Sayalah raja yang sebenarnya. Aneh sekali kalau kamu tak pernah mendengar nama besarku. Manusia macam apa kamu ini?”
Ngwang berdeham keras. “Maaf, Paduka raja tanah Jawa?”
“Siapa lagi? Kamu kira di Jawa ada berapa raja?”
Ngwang berubah wajahnya. Tubuhnya terangkat dari tanah, melingkar, tangannya terulur meraih Halayudha, yang mengegos dengan enteng. Tangan dan jari Ngwang sangat lemas. Bagai seutas tali, bagai selendang, mengusap wajah Halayudha. Kali ini Halayudha tidak bisa memandang rendah. Tubuhnya bereaksi keras. Kedua tangannya terangkat, membentuk lingkaran, memutar, mengerahkan tenaga mendorong dan menarik.
Nyai Demang melihat adegan yang berulang. Kalau tadi melawan Jaghana, kini melawan Halayudha yang sekali gebrak memainkan Banjir Bandang Segara Asat. Yang lebih bertenaga, lebih keras, sekaligus juga lebih ganas. Gebrakan yang bisa dimengerti karena sifat Halayudha memang ganas, di samping dialah pewaris utama ajaran Paman Sepuh Dodot Bintulu, sebagaimana dulu Ugrawe yang perkasa.
Tubuh Ngwang mem-belendot, menggulung, dan maju, tertolak ke belakang dengan cepat. Halayudha tidak menarik mundur tenaganya. Tidak mengurangi. Bahkan dengan ganas mengimbangi. Akibatnya bisa diduga. Gerakan Ngwang makin cepat, menjauh dan mendekat, sementara Halayudha hanya mengeluarkan suara keras dari lubang hidungnya. Tanpa mengurangi pengerahan tenaganya sedikit pun. Halayudha memaksakan permainan keras.
Dalam tiga jurus berikutnya, Halayudha tampak keteter. Ngwang bisa menyeruak masuk dan beberapa kali tangannya berkelebat menyambar wajah Halayudha. Akan tetapi Halayudha tak gentar sedikit pun. Sengaja wajahnya dipasang dan membarengi dengan memeluk Ngwang. Gerakan dan gertakan yang berani.
Justru karena Ngwang unggul dalam permainan udara, Halayudha mengajak permainan atas dengan memeluk. Kemungkinan gagal lebih besar. Namun mana mungkin Halayudha asal serang tanpa perhitungan, begitulah Nyai Demang berpikir.
Sebaliknya, Jaghana memuji kemantapan Halayudha mengambil sikap menghadapi jurus-jurus Ngwang. Mantap, penuh percaya diri menggebrak, walaupun sadar bahwa Ngwang memiliki keunggulan permainan atas. Sedangkan dirinya sendiri, ketika menghadapi Ngwang, terpaksa mengubah gerakannya, yang justru berarti kekalahan.
Halayudha bermain tajam. Karena mengetahui bahwa Ngwang tak bisa segera memperoleh kemenangan dari posisinya yang kelihatan unggul. Justru sebaliknya kedudukannya terancam. Menang beberapa pukulan tidak banyak artinya kalau Halayudha bisa memasukkan pukulan yang telak. Dan agaknya jalan itu yang ditempuh Halayudha. Membiarkan lawan merangsek masuk.
Mengetahui keunggulannya tak berarti banyak, Ngwang mengubah siasatnya. Tubuhnya bagai selembar kain tipis, melenggok, menebas, meruncing, dari segala arah. Dalam sekejap tubuh Halayudha seperti terkepung tubuh Ngwang dari berbagai arah dengan berbagai jenis serangan.
Halayudha menarik tangannya, mengumpulkan di depan dada. Kakinya menggenjot tanah, meloncat sambil membalik, dengan tenaga kaki keras menyamplok lawan. Keras sekali karena kesiuran anginnya tajam sampai di tempat Nyai Demang. Ngwang yang biasa mengambil keuntungan dari serangan lawan, sebaliknya malah mundur menjauh. Tidak balik menyerang.
Halayudha mengejar dengan satu loncatan tinggi. Kaki kirinya terjulur bersamaan dengan kepalan tangan kirinya yang sejajar. Sementara tangan kanannya tertekuk, seperti juga kaki kanannya. Gerakan meloncat yang disertai teriakan keras mengguntur. Tubuhnya menyambar bagai kilat.
Ngwang membuang tubuhnya jungkir-balik. Tujuh kali. Tujuh kali lagi tubuhnya berputaran, dengan gerakan yang selama ini tidak pernah terlihat. Yaitu dengan tangan dan kaki menyentuh tanah ketika membalikkan tubuh dalam bentuk lingkaran.
Nyai Demang mengetahui bahwa jurus yang dimainkan Halayudha adalah jurus yang menjadi andalan para jago silat Tartar yang bersifat naga. Benar-benar keberanian yang rada nekat. Kalau tadi bertahan memainkan ajaran Kitab Bumi, sekarang justru memainkan jurus-jurus dari mana Ngwang berasal.
Sebaliknya, Ngwang juga memainkan sumber jurus yang sama. Berjumpalitan seperti naga. Nyai Demang cukup mengetahui karena sejak pertama mengenali dasar-dasar silat dari Tartar. Sedangkan Halayudha bukan hanya mengenali tetapi juga mempelajari dengan baik. Maka bisa memainkan untuk mendesak.
Hanya Jaghana yang merasa bahwa Halayudha terlalu nekat menggempur dengan gaya bersilat yang menjadi keunggulan lawan. Karena Ngwang bisa memancing sampai tingkat tertentu, dan kemudian menguncinya. Hal yang terlihat ketika berjumpalitan, Halayudha merangsek maju. Ruang gerak berada di mana Ngwang memainkan perannya. Langkah-langkah yang tersusun mengikuti irama yang dimainkan Ngwang, meskipun ia kelihatan terdesak. Dan Halayudha memang terus mendesak, dengan gerakan sangat cepat.
Tangan beradu tangan. Siku beradu siku. Kaki beradu kaki. Pukulan saling bertukar hanya dalam jarak beberapa jari di sebelah kiri, kanan, samping, atas dari sasaran. Tangan Halayudha bergerak maju-mundur dengan cepat, sementara Ngwang lebih cepat lagi.
Benar saja. Dalam pandangan Nyai Demang, Halayudha mulai kalah sebat. Ngwang berhasil menyarangkan beberapa pukulan kecil. Pukulan yang mempengaruhi gerak maju Halayudha. Dan tak bisa leluasa mundur, karena kuda-kudanya telah terpantek dalam keliling yang sepenuhnya dikuasai Ngwang. Posisi yang menyulitkan bagi Halayudha. Bisanya hanya mencoba bertahan. Karena gerakannya tak cukup berarti dalam penyerangan. Karena memang tidak mungkin.
Halayudha menggerung keras. Mulai sadar bahwa lawan bisa menguasai keadaan, sementara dirinya berada dalam gerak mati. Yaitu gerakan satu-satunya yang bisa dilakukan, untuk mencegah keadaan lebih buruk. Gerakan satu-satunya karena Ngwang tidak memberi kesempatan gerakan yang lain.
Nyai Demang kaget ketika Jaghana mengeluarkan seruan tertahan. Apakah Jaghana menguatirkan Halayudha? Bisa jadi. Akan tetapi seruan tertahan itu ternyata dikarenakan ia melihat tubuh Upasara bergoyangan. Sementara tubuh Jagattri berkelojotan. Reaksi pertama adalah Nyai Demang berusaha menubruk, akan tetapi sebelah tangannya tertahan Jaghana. Bahkan sengaja ditarik keras.
Tubuh Upasara makin berkelojotan. Kepalanya beberapa kali tertarik ke atas, tubuhnya seperti disendal-sendal tali dari dalam. Sebelum terdengar teriakan keras. Tubuh Upasara membal ke atas dan berdebum di tanah. Ketika berusaha bangkit, Nyai Demang melihat darah menetes dari tepi mata, dari sudut bibir, dari telinga.
“Anakmas…” Cekalan tangan Jaghana makin keras.
“Paman…”
“Sabar, Nyai…” Suara Jaghana lirih, lembut, tapi terdengar sangat getir. “Kuasa tenaga tanah air tak mampu menembus. Sabar, Nyai….”
Bagaimana mungkin bisa sabar melihat adegan yang mengerikan di depan matanya, adegan fatal bagi Jagattri dan sekaligus Upasara?
Menyerap Tanpa Mengisap
LAIN yang dialami Upasara, lain pula yang dilakoni Halayudha. Meskipun tempat mereka terpisahkan tak lebih dari seratus tombak, akan tetapi perubahan yang terjadi sangat berbeda. Nyai Demang seperti mengisap udara kering melihat penderitaan Upasara. Sewaktu pandangannya menoleh ke arah Jagattri, sedikit terhibur. Karena tubuh Jagattri bergerak, dan bangkit, duduk, bersuara perlahan.
“Kakang…”
Upasara berusaha mendekat. Nyai Demang berkaca-kaca matanya. Tak kuat melihat Upasara yang gagah perkasa tampak seperti terbongkok, dan bagian belakang kainnya basah. Darah?
Cekalan di tangan Nyai Demang dilepaskan, dan Nyai Demang bagai terbang menubruk Jagattri. “Anakku…”
Gendhuk Tri mengangguk. Tubuhnya seperti masih gemetar. “Saya tidak apa-apa, Nyai. Kakang… Kakang Upasara…”
Upasara duduk terdiam. Jaghana bersila di sebelahnya. Tidak berusaha menyalurkan tenaga dalam, tidak berusaha membantu atau melakukan sesuatu. Hanya bersila di sebelahnya. Hanya itu yang bisa dilakukan.
Apa yang bergolak dalam tubuh Upasara tak sepenuhnya diketahui, walau yakin Upasara terkena pukulan dalam. Itulah yang tadi dikatakan Jaghana sebagai “kuasa tanah air”. Tenaga dalam Upasara yang dicoba untuk mengobati ternyata telah gagal. Dan akibatnya kini terlihat jelas.
Sebaliknya, Gendhuk Tri yang kini bisa duduk, dan kemudian berdiri menghampiri tempat Upasara, hanya bisa memandang. Nyai Demang tampak kebingungan. “Saya tidak apa-apa, Nyai. Sejak semula saya tak apa-apa. Selain…”
Gendhuk Tri tak melanjutkan, karena merasa kurang enak menjelaskan panjang-lebar apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sejak tadi berdiam diri, bukan berarti tidak sadarkan diri. Gendhuk Tri merasa sama sehat seperti sebelumnya, kecuali tiba-tiba saja tenaganya seperti mengganjal tak bisa dikerahkan. Pada saat kumat seperti itu, rasanya bernapas pun terasa berat.
Kalau ia berdiam diri, karena Upasara menghendaki demikian agar bisa lebih lancar memasukkan tenaga dalamnya. Untuk menguras bercak-bercak hitam, untuk menyingkirkan. Proses itu terus berlangsung. Juga dalam perjalanan ketika digendong. Gendhuk Tri merasakan itu sejak dikalahkan Halayudha, dan makin menjadi-jadi ketika Halayudha berusaha memadukan tenaga bumi dengan tenaga air.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Upasara. Hanya cara pengerahannya sangat jauh berbeda. Upasara memakai perhitungan agar Gendhuk Tri tak lebih parah. Pada awalnya Gendhuk Tri merasa segar. Tenaga panas, dingin, hangat yang bergantian membuatnya enak, seakan tenaganya pulih seperti sediakala. Itu saat Upasara berhasil menggiring bercak-bercak ke suatu titik di bagian tubuh.
Agaknya itu pula yang menyebabkan Upasara mengempos tenaga dalamnya. Ketika yakin bisa masuk menerobos, Upasara mengerahkan sepenuhnya. Ternyata kandas. Tenaga dalam itu membalik, seperti merobek pembuluh nadi dan napasnya. Sehingga Upasara terpental dan berdarah.
Jadi kalau Gendhuk Tri mengatakan “tidak ada apa-apa”, memang begitulah kenyataannya. Artinya tidak lebih parah atau lebih sehat dari sebelumnya. Sedangkan Upasara sekarang ini jelas terluka parah. Seberapa dalam lukanya belum bisa diketahui.
Sementara yang dialami Halayudha lain lagi. Sewaktu ruang geraknya tertutup dan berada dalam langkah mati, Halayudha menyatukan tenaganya. Saat Ngwang merasa unggul dan melancarkan serangan yang menentukan, Halayudha mencuri dengan serangan kecil. Tapi besar artinya.
Halayudha memasukkan kedua tangannya ke daerah serangan, menggenggam pakaian Ngwang, dan dengan tenaga sentakan yang keras, membanting lumat tubuh Ngwang. Yang terbang melewati tubuh Halayudha. Pendita Ngwang sama sekali tak menduga bahwa dalam situasi begitu terjepit, Halayudha masih bisa memainkan jurus yang sama sekali tak terduga. Jurus bantingan melalui tubuh! Yang sangat diagungkan di negeri Jepun.
Ngwang mengetahui kekuatan tenaga bantingan, seketika pada saat Halayudha menjambret pakaiannya. Ngwang mengetahui Halayudha mempunyai kembangan dan jenis jurus yang serba aneh, akan tetapi tak memperhitungkan bisa berubah cepat. Dari gerakan murni Kitab Bumi, berubah menjadi gerakan naga, dan mendadak berubah lagi dengan membanting lawan. Bagi Ngwang, sulit menerima kenyataan bahwa di jagat ini ada tokoh yang menguasai berbagai jenis ilmu silat secara menyeluruh.
Padahal, sebenarnya ini memang keunggulan Halayudha dibandingkan para ksatria lain. Bahkan Upasara pun mengagumi keragaman ilmu yang dikuasai. Agak sulit diterima oleh Ngwang bahwa Halayudha secara langsung benar-benar mempelajari berbagai kembangan ilmu yang ada. Belajar langsung dari kitab-kitab utama, dari tokoh-tokoh yang memuncaki ilmu-ilmu tersebut. Baik dari negeri Tartar, negeri Jepun, maupun dari negerinya sendiri.
Halayudha sangat kerasukan bila sudah mempelajari ilmu silat. Sejak pertama kali mengenalnya. Kehausan itu tak pernah bisa ditandingi atau disamai oleh yang lain. Maka sergapan yang mendadak itulah yang membalik jalannya pertarungan. Ngwang bisa ditarik dan dibanting lumat. Tubuhnya melayang ke atas, dan amblas rata dengan tanah. Remuk tulang-kulit serta otot-uratnya. Kalau terjadi pada tokoh biasa.
Ngwang jauh berbeda. Tubuhnya memang terbanting, akan tetapi tidak remuk rata. Melainkan membal ke atas dan turun kembali beberapa kali, makin lama makin perlahan. Sekali lagi tenaga keras Halayudha ditawarkan dengan benturan tubuh yang bisa membal. Seperti ketika dipukul, tubuh Ngwang bisa mundur dan kemudian maju kembali. Tenaga mulur-mungkret, yang bisa mengembang dan memendek, telah menyelamatkannya dari kematian.
“Cara yang bagus untuk menyelamatkan diri, Ngwang. Tapi aku tak peduli. Aku lebih suka cara yang dipergunakan Jaghana tadi. Eh, di mana kamu, gundul pelontos?” Halayudha benar-benar tidak memperhatikan Ngwang. Perhatiannya sudah beralih ke Jaghana. Dan berjalan mendekati. “Sedang apa kamu? Kalau Ingsun bertanya, tak ada alasan berdiam diri. Dan bunyi pertanyaanku adalah: Bagaimana kamu bisa meniru dengan cara yang cepat?”
Jaghana menoleh. Pandangan matanya penuh welas asih. Penuh kesabaran dan jiwa besar. “Seperti yang Mahapatih lakukan.”
Halayudha menggeleng. “Tidak bisa. Tidak sama. Memindahkan tenaga dalam bukan soal sulit. Dengan hantam kromo seperti jurus Banjir Bandang Segara Asat, aku bisa memindahkan tenaga dalam lawan ke dalam tubuhku. Tapi yang kamu lakukan berbeda. Tenaga dalam lawan masih ada dan tak terganggu, sedangkan dirimu bisa menguasai.”
“Itu yang dinamakan menyerap tanpa mengisap. Itu yang seperti Mahapatih lakukan ketika menggunakan tenaga air. Air bisa memantulkan bayangan, tanpa merebut bayangan itu sendiri. Air memiliki, tanpa merusak. Kalau kita memakai tenaga keras, yang terjadi adalah perubahan bentuk. Yang terjadi adalah pemindahan.”
Halayudha mengangguk. “Aku mengerti. Tapi bagaimana kamu bisa mengisap lebih cepat?”
“Itu hanya sikap batin kita. Semakin ikhlas menerima, semakin tuntas. Semakin banyak yang dipertimbangkan, semakin rumit.”
Halayudha tampak berpikir keras. Jidatnya berkerut, matanya menyipit. “Bisa kuterima keteranganmu, Paman Jaghana. Aha, kamu Jaghana. Ingsun pernah mendengar namamu. Tapi Ngwang, atau siapa itu, sejak kapan aku mendengar namamu?”
Pendita Ngwang yang berada agak di kejauhan, merangkapkan kedua tangannya. Mengangguk dalam. “Saya tidak mempunyai nama sebesar Mahapatih.”
“Aku ini raja. Ingsun sebutanku. Sekarang giliran kamu aku tanyai. Yang lainnya tetap di tempat.” Halayudha berdiri dengan gagah. Bertolak pinggang. “Ingsun bertanya kepadamu, Pendita Ngwang. Ilmu membal yang kamu lakukan itu, apakah kamu curi dari ajaran kami? Kalau ya, berasal dari kitab mana, kidungan keberapa?”
Senopati Luwak
PERTANYAAN Halayudha ataupun juga gerak-geriknya memang mengundang tanda tanya. Jangan kata Pendita Ngwang yang masih ragu apakah benar Halayudha adalah raja tanah Jawa, bahkan yang merasa mengenal juga masih heran. Termasuk Senopati Kuti. Ketika Senopati Tanca menyatakan penolakan terbuka untuk datang ke Keraton, dan Jurang Grawah ingin memakai kekerasan, Senopati Kuti berpaling kepada Halayudha. Tokoh sakti ini, meskipun angin-anginan tak menentu, lejitan pikirannya jelas terbaca.
“Jangan tanya Ingsun. Apa urusannya dengan membiarkan atau menggebuk Tanca? Tak ada bedanya. Aku pernah menjadi mahapatih, dan aku tahu bagaimana harus bertindak. Saat ini biarkan saja, kalau kamu bisa menahan kesombonganmu. Sebab di belakang hari, manusia macam itu bisa melaksanakan dendamnya seorang diri. Kalau terganggu, sikat saja. Jangan suka menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri. Aku sekarang sedang melacak Mada. Dan aku tahu ia berada di mana. Bahkan sedang apa aku tahu.”
Halayudha meninggalkan Keraton begitu saja. Ngeloyor tanpa permisi tanpa perlu bilang kepada siapa pun. Memang tak perlu, dan tak ada yang pantas atau perlu diberitahu. Halayudha mengikuti krenteg, suara dan kehendak batinnya. Ia berjalan membelok ke kiri, menerobos jalanan, hanya mengandalkan rasa untuk mengetahui di mana Mada berada. Boleh dibilang kebetulan atau tidak, nyatanya Halayudha muncul di tempat Mada berada.
Hanya saat itu Mada telah bergegas meninggalkan, sementara perhatian Halayudha tertuju kepada masalah lain. Barangkali kalau Halayudha menajamkan kekuatan batinnya, masih bisa melacak. Karena Mada tidak pergi terlalu jauh. Selain memutar arah sedikit ke arah selatan. Menuju suatu desa yang paling tidak sudah dikenali, karena pernah dilewati.
Mada segera mengatur barisannya. Ia berangkat sendirian, masuk ke satu rumah yang agak terpencil di sudut. Tanpa bertanya apa-apa, Mada langsung membekuk dan menotok penghuni rumah, mengumpulkan di bagian belakang. Barulah kemudian mengajak Raja serta pengikutnya masuk rumah.
“Untuk sementara kita berlindung di sini. Tak boleh ada yang melakukan sesuatu tanpa perintah dariku.”
“Termasuk Ingsun, Mada?”
“Demikian sebaiknya, Sinuwun…”
“Kadang Ingsun bertanya dalam hati, kamu ini siapa, prajurit mana, apa makanmu, berapa rangkap nyawamu sehingga berani memerintah Raja Besar.”
“Semua hamba lakukan demi keselamatan Ingkang Sinuwun.”
Mada tak menerangkan bahwa sebenarnya hatinya merasa kurang enak untuk menotok dan mengumpulkan penghuni rumah. Hanya ia merasa tidak mempunyai pilihan lain. Raja masih ingin bersabda, ketika Mada menggerakkan kedua tangannya, meminta semuanya berdiam. Ia bahkan meminta Raja naik ke blandar, bagian tiang atas rumah. Secara agak paksa. Baru kemudian memerintahkan ketiga prajurit bersiaga di balik pintu. Ia sendiri duduk sambil membetulkan sabit.
Benar dugaannya. Terdengar suara langkah kaki yang serentak, dan rumah persembunyian telah dikepung. Pintu depan disentakkan, ditarik ke arah kanan. Membuka lebar. Mada memandang dengan sorot mata terkejut. Berpura-pura atau tidak, yang dilihat memang membuat kaget. Karena para prajurit telah berjejer dengan tombak terhunus. Juga dari arah belakang.
“Kamu terlalu tenang duduk di situ, Bekel Mada.”
Suara yang mau tak mau membuat Mada menolehkan kepalanya. Dari arah belakang berjalan mendekat seorang yang tinggi besar, dada berbulu lebat.
“Kamu tak menyembah padaku?”
“Maaf, hamba tak mengetahui nama besar Paduka.”
“Patih Singasari hanya satu. Apakah namamu demikian besar, sehingga silau oleh dirimu sendiri, dan tak mau melihat kerikil kecil?”
Mada menyembah. “Maaf, seribu ampun. Mohon dilimpahkan hukuman yang setimpal. Hamba tak mengenali nama besar Patih Arya Wangkong, yang menjaga Keraton Petilasan, beserta seluruh isinya. Mohon ampun.”
Patih Wangkong bersungut. Pandangan matanya menerawang ke seluruh ruang. Dalam beberapa kejap kemudian, para prajuritnya sudah menghadapkan penghuni rumah, melucuti ketiga prajurit.
"Kamu tak akan lolos. Sejak ada kabar berita bahwa Raja meloloskan diri, seluruh desa telah dikepung rapat. Kamu tak akan meloloskan diri di depanku. Sekarang semuanya telah terbuka. Katakan, di mana Raja Jayanegara?!”
“Bunuhlah hamba, Patih perkasa. Hamba tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Raja sesembahan…”
Ngwang mengingatkan secara langsung, bahwa dirinya mempunyai kuasa bagi tubuh Pangeran Sang Hiang. Namun itu pun ternyata tak mampu membuat Pangeran Sang Hiang memastikan keputusan apa yang harus diambil. Sehingga Ngwang memutuskan bergerak sendiri. Ketika mendengar adanya huru-hara di Keraton, dan mendengar Raja menyingkir, Ngwang sepenuhnya melaksanakan tugasnya.
Hingga akhirnya bentrok dengan Jaghana, Nyai Demang, dan terakhir ini bahkan melibatkan Upasara Wulung. Kalau kini bermaksud mundur, semata-mata bukan karena Ngwang takut, melainkan karena kesadaran bahwa tujuannya yang utama mencari Raja. Namun tidak sesederhana itu. Karena Jaghana telah menutup langkah, dan secara tidak langsung menantang. Tak bisa dilewatkan begitu saja.
Situasi ini membuat Ngwang bersiaga. Tanpa terasa tubuhnya terangkat dari tanah. Bibirnya seolah tersenyum tipis, menerima tantangan Jaghana. Dalam pertarungan yang baru saja terjadi, Ngwang merasa dirinya unggul. Kemampuannya selama ini memecahkan dan mengandaskan ajaran Kitab Bumi yang diagung-agungkan di tanah Jawa ternyata mampu membungkam Jaghana.
Kalau sekarang harus berhadapan kembali, Ngwang ingin lebih memastikan apakah masih ada keunggulan jurus-jurus Kitab Bumi yang lolos dari pengamatannya. Karena pastilah Jaghana akan bermain sangat hati-hati. Perkiraan Ngwang ada benarnya, walau kesimpulannya berbeda. Karena sebelum gebrakan pertama dimulai, apa yang disaksikan membuat Ngwang bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang disaksikan adalah tubuh Jaghana terangkat dari tanah! Terangkat setinggi setengah tangan! Ini yang sangat mengejutkan. Ilmu mengangkat tubuh dari tanah, adalah ilmu yang sangat pelik, yang bahkan di negeri Tartar tak lebih dari tiga tokoh yang mampu menguasai. Bahwa Ngwang perlu menghabiskan seluruh kemampuan dan waktunya untuk mencapai tingkat seperti itu. Adalah tidak masuk dalam perkiraan yang paling gampang sekalipun, bahwa Jaghana bisa melakukan itu. Dengan sempurna. Hanya dengan sekali melihat.
Makin tidak dimengerti karena justru ilmu yang diperlihatkan Jaghana adalah ilmu yang berasal dari Kitab Bumi secara murni, secara lugas, sebagaimana adanya yang tertulis dalam kitab. Boleh dikatakan Jaghana tak pernah melakukan kembangan-kembangan dari ajaran lain. Tanpa terasa Ngwang mengerutkan keningnya. Tangannya gemetar, alisnya tergetar.
Tanah Jawa benar-benar merupakan “kedung naga dan sarang harimau” yang tak pernah bisa diperhitungkan! Baru saja ia temui tokoh sakti Upasara Wulung, yang menetas kekuatan utama. Sekarang, bahkan Jaghana mampu mengangkat tubuhnya lepas dari tanah!
Nyai Demang menggeleng. Jaghana bukan tokoh yang biasa memainkan tipuan tertentu. Tidak juga suka sesongaran, mengumbar dan memperlihatkan keunggulannya, sehingga apa yang diperlihatkan sekarang ini mempunyai dasar yang kuat.
“Om. Om.” Tubuh Ngwang bergoyang.
Tubuh Jaghana bergoyang. Mengikuti irama goyangan yang lembut.
“Om!” Kali ini lebih merupakan seruan kaget.
Nyai Demang tak bisa merasakan bahwa Ngwang merasa terpukul keras. Apa yang diunggulkan selama ini, hanya dalam sekejap sudah menjadi milik Jaghana! Dalam waktu sekejap! Karena kini Jaghana justru memperlihatkan penguasaan ilmu yang selama ini diperdalam oleh Ngwang. Jaghana memakai tenaga inti yang sama, yaitu kekuatan angin. Hebatnya lagi, tenaga gerak yang ada sumbernya dari tubuh Ngwang.
Sehingga kalau Ngwang bergerak, getaran itu pula yang menggerakkan Jaghana. Membalik telapak tangan! Kalau tadi Ngwang yang mempermainkan tenaga lawan, sekarang dirinya yang dipermainkan. Sekarang justru tenaganya yang dimanfaatkan. Tubuh Ngwang melorot turun. Tubuh Jaghana justru naik.
“Kuasa roh yang suci, kuasa sukma sejati. Sungguh menakjubkan, sungguh mengagumkan.”
Nyai Demang menoleh ke arah sumber komentar. Kali ini darahnya berdesir lebih cepat. Karena sama sekali tidak menduga ada orang yang datang menggetarkan angin sekelilingnya. Karena sama sekali tidak menduga yang muncul adalah Halayudha.
“Itu seratus kali Om.”
Halayudha merangkapkan kedua tangan di dada. Kekuatannya dipusatkan, dan tubuhnya bergerak-gerak. Ujung jari kakinya seakan lepas dari tanah.
Pandangan Ngwang beberapa kali dikejapkan. Ini betul-betul tak bisa dimengerti. Ilmu andalan yang diperdalam menghabiskan usianya, bisa dengan enteng dilakukan oleh seorang yang baru saja muncul.
“Hampir bisa. Hampir bisa itu artinya sudah bisa tapi belum biasa. Paman Gundul, bagaimana memindahkan tenaga secara serentak?”
Tubuh Jaghana melesak turun. “Selamat datang, Mahapatih Halayudha….”
“Sebenarnya aku lebih suka dipanggil Ingkang Sinuwun. Sebenarnya aku lebih suka mendengar jawabanmu mengenai menyalin tenaga dalam dengan kekuatan sukma sejati. Kamu bisa melakukan sekaligus, sedangkan aku menjajal satu demi satu. Jelas kamu bisa menangani lebih cepat. Coba kamu lakukan dari awal. Aku pasti bisa mengikuti.”
Halayudha tidak memperhatikan sama sekali kehadiran Ngwang. Atau Nyai Demang atau Upasara Wulung. Satu-satunya yang menggetarkannya hanyalah ilmu silat. Dan yang diperlihatkan Jaghana adalah permainan baru yang membuatnya sangat bersemangat.
Nyai Demang merasakan bahwa situasi makin tidak menentu sekarang ini. Dengan munculnya Halayudha, keadaan bisa menjadi lebih tak teramalkan. Kalau sekarang masih terpusat perhatiannya pada Jaghana, bisa-bisa kemudian beralih kepada Upasara. Yang tengah bersemadi untuk menyembuhkan Gendhuk Tri. Yang pasti akan menarik perhatian Halayudha. Kalau itu terjadi, sangat besar bahayanya.
Kuasa Tanah air
NYAI DEMANG yang tak terlibat langsung dalam pertempuran atau usaha penyembuhan hanya bisa memandang kiri-kanan sebagai penonton. Dan setiap kali mengawasi rasa was-was nya makin meningkat. Memandang ke arah Upasara timbul juga keraguan, betapapun hebat ilmu yang dimiliki. Beberapa kali Upasara terimpit kesulitan, akan tetapi bisa meloloskan diri dengan baik.
Namun rasanya sekarang ini keadaannya jauh berbeda. Gangguan kecil saja bisa membuyarkan pemusatan pikiran yang entah akan jadi apa akibatnya. Apalagi seorang Halayudha, yang sakti mandraguna, dan dalam keadaan tidak waras. Secara gegabah bisa membahayakan, secara permusuhan juga tetap membahayakan. Kalau Halayudha menyerang, siapa yang kuasa menahan?
Padahal sekarang keadaan Jagattri masih tidak menentu. Bercak-bercak hitam di bawah kulit yang terlihat bisa digiring, bisa dikumpulkan Upasara, akan tetapi masih tak bisa terusir. Mengumpul di bagian ujung kaki, di tangan, di lengan. Upasara sendiri masih tenggelam dalam semadinya dan sekilas menunjukkan bahwa pengerahan tenaga dalamnya makin mendekati puncak, tak menghiraukan yang terjadi kiri-kanan.
Melirik ke arah Jaghana juga sama saja. Kekuatirannya tak bisa ditenteramkan dengan mudah. Ngwang tak akan melepaskan begitu saja. Untuk mengimbangi, agaknya Jaghana perlu mengerahkan seluruh kemampuannya.
“Bagaimana Paman Jaghana bisa meniru dengan cepat?”
"Maaf, saya yang rendah ini tak mengenal gunung yang tinggi, laut yang dalam. Bolehkah saya mengetahui siapa nama besar dan gelar Paduka?”
“Saya biasa dipanggil Ingkang Sinuwun. Sayalah raja yang sebenarnya. Aneh sekali kalau kamu tak pernah mendengar nama besarku. Manusia macam apa kamu ini?”
Ngwang berdeham keras. “Maaf, Paduka raja tanah Jawa?”
“Siapa lagi? Kamu kira di Jawa ada berapa raja?”
Ngwang berubah wajahnya. Tubuhnya terangkat dari tanah, melingkar, tangannya terulur meraih Halayudha, yang mengegos dengan enteng. Tangan dan jari Ngwang sangat lemas. Bagai seutas tali, bagai selendang, mengusap wajah Halayudha. Kali ini Halayudha tidak bisa memandang rendah. Tubuhnya bereaksi keras. Kedua tangannya terangkat, membentuk lingkaran, memutar, mengerahkan tenaga mendorong dan menarik.
Nyai Demang melihat adegan yang berulang. Kalau tadi melawan Jaghana, kini melawan Halayudha yang sekali gebrak memainkan Banjir Bandang Segara Asat. Yang lebih bertenaga, lebih keras, sekaligus juga lebih ganas. Gebrakan yang bisa dimengerti karena sifat Halayudha memang ganas, di samping dialah pewaris utama ajaran Paman Sepuh Dodot Bintulu, sebagaimana dulu Ugrawe yang perkasa.
Tubuh Ngwang mem-belendot, menggulung, dan maju, tertolak ke belakang dengan cepat. Halayudha tidak menarik mundur tenaganya. Tidak mengurangi. Bahkan dengan ganas mengimbangi. Akibatnya bisa diduga. Gerakan Ngwang makin cepat, menjauh dan mendekat, sementara Halayudha hanya mengeluarkan suara keras dari lubang hidungnya. Tanpa mengurangi pengerahan tenaganya sedikit pun. Halayudha memaksakan permainan keras.
Dalam tiga jurus berikutnya, Halayudha tampak keteter. Ngwang bisa menyeruak masuk dan beberapa kali tangannya berkelebat menyambar wajah Halayudha. Akan tetapi Halayudha tak gentar sedikit pun. Sengaja wajahnya dipasang dan membarengi dengan memeluk Ngwang. Gerakan dan gertakan yang berani.
Justru karena Ngwang unggul dalam permainan udara, Halayudha mengajak permainan atas dengan memeluk. Kemungkinan gagal lebih besar. Namun mana mungkin Halayudha asal serang tanpa perhitungan, begitulah Nyai Demang berpikir.
Sebaliknya, Jaghana memuji kemantapan Halayudha mengambil sikap menghadapi jurus-jurus Ngwang. Mantap, penuh percaya diri menggebrak, walaupun sadar bahwa Ngwang memiliki keunggulan permainan atas. Sedangkan dirinya sendiri, ketika menghadapi Ngwang, terpaksa mengubah gerakannya, yang justru berarti kekalahan.
Halayudha bermain tajam. Karena mengetahui bahwa Ngwang tak bisa segera memperoleh kemenangan dari posisinya yang kelihatan unggul. Justru sebaliknya kedudukannya terancam. Menang beberapa pukulan tidak banyak artinya kalau Halayudha bisa memasukkan pukulan yang telak. Dan agaknya jalan itu yang ditempuh Halayudha. Membiarkan lawan merangsek masuk.
Mengetahui keunggulannya tak berarti banyak, Ngwang mengubah siasatnya. Tubuhnya bagai selembar kain tipis, melenggok, menebas, meruncing, dari segala arah. Dalam sekejap tubuh Halayudha seperti terkepung tubuh Ngwang dari berbagai arah dengan berbagai jenis serangan.
Halayudha menarik tangannya, mengumpulkan di depan dada. Kakinya menggenjot tanah, meloncat sambil membalik, dengan tenaga kaki keras menyamplok lawan. Keras sekali karena kesiuran anginnya tajam sampai di tempat Nyai Demang. Ngwang yang biasa mengambil keuntungan dari serangan lawan, sebaliknya malah mundur menjauh. Tidak balik menyerang.
Halayudha mengejar dengan satu loncatan tinggi. Kaki kirinya terjulur bersamaan dengan kepalan tangan kirinya yang sejajar. Sementara tangan kanannya tertekuk, seperti juga kaki kanannya. Gerakan meloncat yang disertai teriakan keras mengguntur. Tubuhnya menyambar bagai kilat.
Ngwang membuang tubuhnya jungkir-balik. Tujuh kali. Tujuh kali lagi tubuhnya berputaran, dengan gerakan yang selama ini tidak pernah terlihat. Yaitu dengan tangan dan kaki menyentuh tanah ketika membalikkan tubuh dalam bentuk lingkaran.
Nyai Demang mengetahui bahwa jurus yang dimainkan Halayudha adalah jurus yang menjadi andalan para jago silat Tartar yang bersifat naga. Benar-benar keberanian yang rada nekat. Kalau tadi bertahan memainkan ajaran Kitab Bumi, sekarang justru memainkan jurus-jurus dari mana Ngwang berasal.
Sebaliknya, Ngwang juga memainkan sumber jurus yang sama. Berjumpalitan seperti naga. Nyai Demang cukup mengetahui karena sejak pertama mengenali dasar-dasar silat dari Tartar. Sedangkan Halayudha bukan hanya mengenali tetapi juga mempelajari dengan baik. Maka bisa memainkan untuk mendesak.
Hanya Jaghana yang merasa bahwa Halayudha terlalu nekat menggempur dengan gaya bersilat yang menjadi keunggulan lawan. Karena Ngwang bisa memancing sampai tingkat tertentu, dan kemudian menguncinya. Hal yang terlihat ketika berjumpalitan, Halayudha merangsek maju. Ruang gerak berada di mana Ngwang memainkan perannya. Langkah-langkah yang tersusun mengikuti irama yang dimainkan Ngwang, meskipun ia kelihatan terdesak. Dan Halayudha memang terus mendesak, dengan gerakan sangat cepat.
Tangan beradu tangan. Siku beradu siku. Kaki beradu kaki. Pukulan saling bertukar hanya dalam jarak beberapa jari di sebelah kiri, kanan, samping, atas dari sasaran. Tangan Halayudha bergerak maju-mundur dengan cepat, sementara Ngwang lebih cepat lagi.
Benar saja. Dalam pandangan Nyai Demang, Halayudha mulai kalah sebat. Ngwang berhasil menyarangkan beberapa pukulan kecil. Pukulan yang mempengaruhi gerak maju Halayudha. Dan tak bisa leluasa mundur, karena kuda-kudanya telah terpantek dalam keliling yang sepenuhnya dikuasai Ngwang. Posisi yang menyulitkan bagi Halayudha. Bisanya hanya mencoba bertahan. Karena gerakannya tak cukup berarti dalam penyerangan. Karena memang tidak mungkin.
Halayudha menggerung keras. Mulai sadar bahwa lawan bisa menguasai keadaan, sementara dirinya berada dalam gerak mati. Yaitu gerakan satu-satunya yang bisa dilakukan, untuk mencegah keadaan lebih buruk. Gerakan satu-satunya karena Ngwang tidak memberi kesempatan gerakan yang lain.
Nyai Demang kaget ketika Jaghana mengeluarkan seruan tertahan. Apakah Jaghana menguatirkan Halayudha? Bisa jadi. Akan tetapi seruan tertahan itu ternyata dikarenakan ia melihat tubuh Upasara bergoyangan. Sementara tubuh Jagattri berkelojotan. Reaksi pertama adalah Nyai Demang berusaha menubruk, akan tetapi sebelah tangannya tertahan Jaghana. Bahkan sengaja ditarik keras.
Tubuh Upasara makin berkelojotan. Kepalanya beberapa kali tertarik ke atas, tubuhnya seperti disendal-sendal tali dari dalam. Sebelum terdengar teriakan keras. Tubuh Upasara membal ke atas dan berdebum di tanah. Ketika berusaha bangkit, Nyai Demang melihat darah menetes dari tepi mata, dari sudut bibir, dari telinga.
“Anakmas…” Cekalan tangan Jaghana makin keras.
“Paman…”
“Sabar, Nyai…” Suara Jaghana lirih, lembut, tapi terdengar sangat getir. “Kuasa tenaga tanah air tak mampu menembus. Sabar, Nyai….”
Bagaimana mungkin bisa sabar melihat adegan yang mengerikan di depan matanya, adegan fatal bagi Jagattri dan sekaligus Upasara?
Menyerap Tanpa Mengisap
LAIN yang dialami Upasara, lain pula yang dilakoni Halayudha. Meskipun tempat mereka terpisahkan tak lebih dari seratus tombak, akan tetapi perubahan yang terjadi sangat berbeda. Nyai Demang seperti mengisap udara kering melihat penderitaan Upasara. Sewaktu pandangannya menoleh ke arah Jagattri, sedikit terhibur. Karena tubuh Jagattri bergerak, dan bangkit, duduk, bersuara perlahan.
“Kakang…”
Upasara berusaha mendekat. Nyai Demang berkaca-kaca matanya. Tak kuat melihat Upasara yang gagah perkasa tampak seperti terbongkok, dan bagian belakang kainnya basah. Darah?
Cekalan di tangan Nyai Demang dilepaskan, dan Nyai Demang bagai terbang menubruk Jagattri. “Anakku…”
Gendhuk Tri mengangguk. Tubuhnya seperti masih gemetar. “Saya tidak apa-apa, Nyai. Kakang… Kakang Upasara…”
Upasara duduk terdiam. Jaghana bersila di sebelahnya. Tidak berusaha menyalurkan tenaga dalam, tidak berusaha membantu atau melakukan sesuatu. Hanya bersila di sebelahnya. Hanya itu yang bisa dilakukan.
Apa yang bergolak dalam tubuh Upasara tak sepenuhnya diketahui, walau yakin Upasara terkena pukulan dalam. Itulah yang tadi dikatakan Jaghana sebagai “kuasa tanah air”. Tenaga dalam Upasara yang dicoba untuk mengobati ternyata telah gagal. Dan akibatnya kini terlihat jelas.
Sebaliknya, Gendhuk Tri yang kini bisa duduk, dan kemudian berdiri menghampiri tempat Upasara, hanya bisa memandang. Nyai Demang tampak kebingungan. “Saya tidak apa-apa, Nyai. Sejak semula saya tak apa-apa. Selain…”
Gendhuk Tri tak melanjutkan, karena merasa kurang enak menjelaskan panjang-lebar apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sejak tadi berdiam diri, bukan berarti tidak sadarkan diri. Gendhuk Tri merasa sama sehat seperti sebelumnya, kecuali tiba-tiba saja tenaganya seperti mengganjal tak bisa dikerahkan. Pada saat kumat seperti itu, rasanya bernapas pun terasa berat.
Kalau ia berdiam diri, karena Upasara menghendaki demikian agar bisa lebih lancar memasukkan tenaga dalamnya. Untuk menguras bercak-bercak hitam, untuk menyingkirkan. Proses itu terus berlangsung. Juga dalam perjalanan ketika digendong. Gendhuk Tri merasakan itu sejak dikalahkan Halayudha, dan makin menjadi-jadi ketika Halayudha berusaha memadukan tenaga bumi dengan tenaga air.
Hal yang sama yang dilakukan oleh Upasara. Hanya cara pengerahannya sangat jauh berbeda. Upasara memakai perhitungan agar Gendhuk Tri tak lebih parah. Pada awalnya Gendhuk Tri merasa segar. Tenaga panas, dingin, hangat yang bergantian membuatnya enak, seakan tenaganya pulih seperti sediakala. Itu saat Upasara berhasil menggiring bercak-bercak ke suatu titik di bagian tubuh.
Agaknya itu pula yang menyebabkan Upasara mengempos tenaga dalamnya. Ketika yakin bisa masuk menerobos, Upasara mengerahkan sepenuhnya. Ternyata kandas. Tenaga dalam itu membalik, seperti merobek pembuluh nadi dan napasnya. Sehingga Upasara terpental dan berdarah.
Jadi kalau Gendhuk Tri mengatakan “tidak ada apa-apa”, memang begitulah kenyataannya. Artinya tidak lebih parah atau lebih sehat dari sebelumnya. Sedangkan Upasara sekarang ini jelas terluka parah. Seberapa dalam lukanya belum bisa diketahui.
Sementara yang dialami Halayudha lain lagi. Sewaktu ruang geraknya tertutup dan berada dalam langkah mati, Halayudha menyatukan tenaganya. Saat Ngwang merasa unggul dan melancarkan serangan yang menentukan, Halayudha mencuri dengan serangan kecil. Tapi besar artinya.
Halayudha memasukkan kedua tangannya ke daerah serangan, menggenggam pakaian Ngwang, dan dengan tenaga sentakan yang keras, membanting lumat tubuh Ngwang. Yang terbang melewati tubuh Halayudha. Pendita Ngwang sama sekali tak menduga bahwa dalam situasi begitu terjepit, Halayudha masih bisa memainkan jurus yang sama sekali tak terduga. Jurus bantingan melalui tubuh! Yang sangat diagungkan di negeri Jepun.
Ngwang mengetahui kekuatan tenaga bantingan, seketika pada saat Halayudha menjambret pakaiannya. Ngwang mengetahui Halayudha mempunyai kembangan dan jenis jurus yang serba aneh, akan tetapi tak memperhitungkan bisa berubah cepat. Dari gerakan murni Kitab Bumi, berubah menjadi gerakan naga, dan mendadak berubah lagi dengan membanting lawan. Bagi Ngwang, sulit menerima kenyataan bahwa di jagat ini ada tokoh yang menguasai berbagai jenis ilmu silat secara menyeluruh.
Padahal, sebenarnya ini memang keunggulan Halayudha dibandingkan para ksatria lain. Bahkan Upasara pun mengagumi keragaman ilmu yang dikuasai. Agak sulit diterima oleh Ngwang bahwa Halayudha secara langsung benar-benar mempelajari berbagai kembangan ilmu yang ada. Belajar langsung dari kitab-kitab utama, dari tokoh-tokoh yang memuncaki ilmu-ilmu tersebut. Baik dari negeri Tartar, negeri Jepun, maupun dari negerinya sendiri.
Halayudha sangat kerasukan bila sudah mempelajari ilmu silat. Sejak pertama kali mengenalnya. Kehausan itu tak pernah bisa ditandingi atau disamai oleh yang lain. Maka sergapan yang mendadak itulah yang membalik jalannya pertarungan. Ngwang bisa ditarik dan dibanting lumat. Tubuhnya melayang ke atas, dan amblas rata dengan tanah. Remuk tulang-kulit serta otot-uratnya. Kalau terjadi pada tokoh biasa.
Ngwang jauh berbeda. Tubuhnya memang terbanting, akan tetapi tidak remuk rata. Melainkan membal ke atas dan turun kembali beberapa kali, makin lama makin perlahan. Sekali lagi tenaga keras Halayudha ditawarkan dengan benturan tubuh yang bisa membal. Seperti ketika dipukul, tubuh Ngwang bisa mundur dan kemudian maju kembali. Tenaga mulur-mungkret, yang bisa mengembang dan memendek, telah menyelamatkannya dari kematian.
“Cara yang bagus untuk menyelamatkan diri, Ngwang. Tapi aku tak peduli. Aku lebih suka cara yang dipergunakan Jaghana tadi. Eh, di mana kamu, gundul pelontos?” Halayudha benar-benar tidak memperhatikan Ngwang. Perhatiannya sudah beralih ke Jaghana. Dan berjalan mendekati. “Sedang apa kamu? Kalau Ingsun bertanya, tak ada alasan berdiam diri. Dan bunyi pertanyaanku adalah: Bagaimana kamu bisa meniru dengan cara yang cepat?”
Jaghana menoleh. Pandangan matanya penuh welas asih. Penuh kesabaran dan jiwa besar. “Seperti yang Mahapatih lakukan.”
Halayudha menggeleng. “Tidak bisa. Tidak sama. Memindahkan tenaga dalam bukan soal sulit. Dengan hantam kromo seperti jurus Banjir Bandang Segara Asat, aku bisa memindahkan tenaga dalam lawan ke dalam tubuhku. Tapi yang kamu lakukan berbeda. Tenaga dalam lawan masih ada dan tak terganggu, sedangkan dirimu bisa menguasai.”
“Itu yang dinamakan menyerap tanpa mengisap. Itu yang seperti Mahapatih lakukan ketika menggunakan tenaga air. Air bisa memantulkan bayangan, tanpa merebut bayangan itu sendiri. Air memiliki, tanpa merusak. Kalau kita memakai tenaga keras, yang terjadi adalah perubahan bentuk. Yang terjadi adalah pemindahan.”
Halayudha mengangguk. “Aku mengerti. Tapi bagaimana kamu bisa mengisap lebih cepat?”
“Itu hanya sikap batin kita. Semakin ikhlas menerima, semakin tuntas. Semakin banyak yang dipertimbangkan, semakin rumit.”
Halayudha tampak berpikir keras. Jidatnya berkerut, matanya menyipit. “Bisa kuterima keteranganmu, Paman Jaghana. Aha, kamu Jaghana. Ingsun pernah mendengar namamu. Tapi Ngwang, atau siapa itu, sejak kapan aku mendengar namamu?”
Pendita Ngwang yang berada agak di kejauhan, merangkapkan kedua tangannya. Mengangguk dalam. “Saya tidak mempunyai nama sebesar Mahapatih.”
“Aku ini raja. Ingsun sebutanku. Sekarang giliran kamu aku tanyai. Yang lainnya tetap di tempat.” Halayudha berdiri dengan gagah. Bertolak pinggang. “Ingsun bertanya kepadamu, Pendita Ngwang. Ilmu membal yang kamu lakukan itu, apakah kamu curi dari ajaran kami? Kalau ya, berasal dari kitab mana, kidungan keberapa?”
Senopati Luwak
PERTANYAAN Halayudha ataupun juga gerak-geriknya memang mengundang tanda tanya. Jangan kata Pendita Ngwang yang masih ragu apakah benar Halayudha adalah raja tanah Jawa, bahkan yang merasa mengenal juga masih heran. Termasuk Senopati Kuti. Ketika Senopati Tanca menyatakan penolakan terbuka untuk datang ke Keraton, dan Jurang Grawah ingin memakai kekerasan, Senopati Kuti berpaling kepada Halayudha. Tokoh sakti ini, meskipun angin-anginan tak menentu, lejitan pikirannya jelas terbaca.
“Jangan tanya Ingsun. Apa urusannya dengan membiarkan atau menggebuk Tanca? Tak ada bedanya. Aku pernah menjadi mahapatih, dan aku tahu bagaimana harus bertindak. Saat ini biarkan saja, kalau kamu bisa menahan kesombonganmu. Sebab di belakang hari, manusia macam itu bisa melaksanakan dendamnya seorang diri. Kalau terganggu, sikat saja. Jangan suka menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri. Aku sekarang sedang melacak Mada. Dan aku tahu ia berada di mana. Bahkan sedang apa aku tahu.”
Halayudha meninggalkan Keraton begitu saja. Ngeloyor tanpa permisi tanpa perlu bilang kepada siapa pun. Memang tak perlu, dan tak ada yang pantas atau perlu diberitahu. Halayudha mengikuti krenteg, suara dan kehendak batinnya. Ia berjalan membelok ke kiri, menerobos jalanan, hanya mengandalkan rasa untuk mengetahui di mana Mada berada. Boleh dibilang kebetulan atau tidak, nyatanya Halayudha muncul di tempat Mada berada.
Hanya saat itu Mada telah bergegas meninggalkan, sementara perhatian Halayudha tertuju kepada masalah lain. Barangkali kalau Halayudha menajamkan kekuatan batinnya, masih bisa melacak. Karena Mada tidak pergi terlalu jauh. Selain memutar arah sedikit ke arah selatan. Menuju suatu desa yang paling tidak sudah dikenali, karena pernah dilewati.
Mada segera mengatur barisannya. Ia berangkat sendirian, masuk ke satu rumah yang agak terpencil di sudut. Tanpa bertanya apa-apa, Mada langsung membekuk dan menotok penghuni rumah, mengumpulkan di bagian belakang. Barulah kemudian mengajak Raja serta pengikutnya masuk rumah.
“Untuk sementara kita berlindung di sini. Tak boleh ada yang melakukan sesuatu tanpa perintah dariku.”
“Termasuk Ingsun, Mada?”
“Demikian sebaiknya, Sinuwun…”
“Kadang Ingsun bertanya dalam hati, kamu ini siapa, prajurit mana, apa makanmu, berapa rangkap nyawamu sehingga berani memerintah Raja Besar.”
“Semua hamba lakukan demi keselamatan Ingkang Sinuwun.”
Mada tak menerangkan bahwa sebenarnya hatinya merasa kurang enak untuk menotok dan mengumpulkan penghuni rumah. Hanya ia merasa tidak mempunyai pilihan lain. Raja masih ingin bersabda, ketika Mada menggerakkan kedua tangannya, meminta semuanya berdiam. Ia bahkan meminta Raja naik ke blandar, bagian tiang atas rumah. Secara agak paksa. Baru kemudian memerintahkan ketiga prajurit bersiaga di balik pintu. Ia sendiri duduk sambil membetulkan sabit.
Benar dugaannya. Terdengar suara langkah kaki yang serentak, dan rumah persembunyian telah dikepung. Pintu depan disentakkan, ditarik ke arah kanan. Membuka lebar. Mada memandang dengan sorot mata terkejut. Berpura-pura atau tidak, yang dilihat memang membuat kaget. Karena para prajurit telah berjejer dengan tombak terhunus. Juga dari arah belakang.
“Kamu terlalu tenang duduk di situ, Bekel Mada.”
Suara yang mau tak mau membuat Mada menolehkan kepalanya. Dari arah belakang berjalan mendekat seorang yang tinggi besar, dada berbulu lebat.
“Kamu tak menyembah padaku?”
“Maaf, hamba tak mengetahui nama besar Paduka.”
“Patih Singasari hanya satu. Apakah namamu demikian besar, sehingga silau oleh dirimu sendiri, dan tak mau melihat kerikil kecil?”
Mada menyembah. “Maaf, seribu ampun. Mohon dilimpahkan hukuman yang setimpal. Hamba tak mengenali nama besar Patih Arya Wangkong, yang menjaga Keraton Petilasan, beserta seluruh isinya. Mohon ampun.”
Patih Wangkong bersungut. Pandangan matanya menerawang ke seluruh ruang. Dalam beberapa kejap kemudian, para prajuritnya sudah menghadapkan penghuni rumah, melucuti ketiga prajurit.
"Kamu tak akan lolos. Sejak ada kabar berita bahwa Raja meloloskan diri, seluruh desa telah dikepung rapat. Kamu tak akan meloloskan diri di depanku. Sekarang semuanya telah terbuka. Katakan, di mana Raja Jayanegara?!”
“Bunuhlah hamba, Patih perkasa. Hamba tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Raja sesembahan…”
JILID 76 | BUKU PERTAMA | JILID 78 |
---|