X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 67

Cerita silat Indonesia Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 67 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 67

Kalau kelonggaran diberikan kepada Mada, tidak berarti yang lain bisa mempergunakan kesempatan itu. Muslihat semacam itu terlalu ringan dan merupakan hafalan hidup Halayudha sehari-hari. Maka begitu ada angin bergerak dari arah Raja, tangannya langsung bergerak.

Kalau kelonggaran diberikan kepada Mada, karena Halayudha tak bisa membendung rasa ingin tahunya. Bahwa di balik batok kepala prajurit yang tampak biasa-biasa ini tersimpan kekuatan yang besar, yang tak terduga. Boleh dikatakan, tinggal Mada yang mempunyai dendam tertinggi padanya. Karena saudara seperguruannya boleh dikatakan semua tewas di tangannya.

Boleh dikatakan, tinggal Mada yang harus dibasmi. Tanpa peristiwa ini pun, Mada akan dihabisi. Karena hanya tinggal Mada yang tahu ketika dirinya telanjang! Yang mengetahui bahwa dirinya tak memiliki kejantanan lagi. Aib itu hanya bisa dibongkar oleh Mada. Halayudha tidak kuatir sedikit pun bahwa Mada bisa mengeluarkan muslihat yang membalik jalannya situasi. Halayudha percaya diri sepenuh-penuhnya, ia telah menguasai semuanya.

Maka perhatiannya cukup besar mengenai apa yang dikatakan Mada. Kalau sejak tadi Mada hanya mengulang “Ba… Ba…” lalu menuliskan Bapa, Tunggula Seta…, hati dan pikiran Halayudha membuat perhitungan sendiri. Tunggula Seta, bisa berarti puncak, ujung, yang berwarna putih. Dengan kata lain, menurut pemikiran Halayudha, Mada ingin melampiaskan dendamnya yang terakhir dengan membuka rahasia yang bisa membuatnya malu sepanjang hidupnya.

Ujung, puncak, bisa berarti juga kejantanan. Halayudha tersenyum penuh kemenangan. Lampiasan dendam semacam ini malah membuatnya lebih berhasil. Hanya Halayudha yang bisa menikmati penderitaan orang yang sekarat karena ulahnya. Seperti sekarang ini. Tapi senyum itu hilang dengan sendirinya. Pemikiran yang berikutnya berkembang. Ia mengenai Mada. Yang pasti tak akan melakukan makian dendam di saat terakhirnya. Lagi pula, kalau hanya memaki, kenapa memakai pembukaan Bapa… Kenapa harus menghormat?

“Mada, katakan, atau…”

Tubuh Mada jatuh berdebam. Tersungkur. Napasnya tinggal satu-satu. Tangan Halayudha yang sudah terangkat, berubah menunjuk ke arah Senopati Jabung Krewes.

“Mahapatih mengetahui maksud Mada.” Suara Senopati Jabung Krewes terdengar serak, tidak jelas. Tenaga dalam yang dikerahkan untuk melawan jepitan Halayudha tak berhasil banyak. Meskipun cukup mengagumkan juga.

“Tahu?”

“Ba…”

“Apa?”

“Mahapatih mengetahui, siapa yang meneriakkan kata Ba… sebelum pergi untuk selamanya.”

“Ba?”

Ganti kini Senopati Jabung Krewes yang tersengal-sengal. Air matanya mengalir. Pengeluaran tenaga yang berlebihan, menguras seluruh kemampuannya.

“Ba?” Halayudha mengulang lagi. Satu kata yang tak selesai. Ba, yang ternyata kependekan dari Bapa. Siapa yang meneriakkan kata itu? Suara itu memang terdengar olehnya. Terasa aneh, terasa menyelinap ke urat nadi. Tapi terlupakan karena tak mempunyai gema dalam hatinya.

Ba…

Kwowogen yang mengucapkan kata itu. Itu terucapkan saat Halayudha memakai tubuh Kwowogen untuk menangkis serangan Pangeran Hiang. Ya, itu yang teringat. Ba… Apakah berarti Kwowogen akan mengucapkan bapa...? Apa artinya? Apa kaitannya dengan Tunggula Seta?

Tangan Halayudha terkepal. Keringat dingin menetes. Wajahnya mendongak ke atas. Tawanya sangat keras, menggeletarkan atap Keraton. Pengerahan tenaga sepenuhnya. Hingga terbatuk-batuk. Matanya tajam menikam sekeliling.

“Jabung Krewes, kamu mau mempermainkan aku? Aku bisa menebak caramu yang licik. Kamu bisa meniru Nyai Demang yang menjebak Pangeran Hiang, dengan mengatakan penyebab penderitaan Putri Koreyea. Tapi aku bukan Pangeran Sang Hiang. Ingsun Raja Gung Binatara, Halayudha!”

Kutukan Dewi Renuka
TAWA Halayudha menggelegar, bersambungan, bagai gelombang menggempur atap, dinding, tiang utama. Gemanya terbalik lagi, bergulung di gendang telinga. Tenaga dalam simpanan seolah muncrat bersemburan. Pecah tersodet seperti ketika Gemuka tersayat Kangkam Galih. Perbandingan yang tidak berlebihan. Karena sesungguhnya, baik Gemuka maupun Halayudha sama-sama terluka. Dan masih sama-sama bahaya.

Itu yang teringat oleh Senopati Jabung Krewes. Getaran tawa Halayudha keras menggempur, akan tetapi tidak membahayakan gendang telinga. Karena tidak digunakan untuk menyerang. Namun getarannya terasa ngilu memedihkan. Jabung Krewes bisa membayangkan bahwa Halayudha sangat terpukul dan terguncang kesadarannya. Seluruh akar kesadarannya sebagai manusia, sebagai ayah, terbetot paksa. Jabung Krewes sendiri setengah tidak percaya apa yang dituturkan oleh Mada. Itu terjadi ketika rombongan kembali ke Keraton. Jabung Krewes sengaja memanggil Mada agar bisa berjalan bersama.

“Kaget aku memanggilmu, Mada?”

“Hamba siap menerima segala hukuman atas kebusukan hamba.”

“Bagus, kalau kamu tahu itu. Apakah kamu mengetahui sebelum bertindak?”

“Eyang Puspamurti pasti kecewa, karena beliau telah mengajari tata krama prajurit.”

“Aku hanya ingin mengatakan, saat ini Dewa masih mengasihimu, Mada. Barangkali kebetulan, dan itu jarang bisa diulang.”

Mada terdiam.

“Sekarang kamu boleh pergi.”

Mada menyembah. Tapi tak bergerak.

“Apa lagi, Mada?”

“Keraton saat ini sedang kosong, Senopati yang mulia.”

“Hmmm.”

“Hamba pernah mendengar dongengan lama Sri Baginda Raja Kertanegara yang mengosongkan Keraton, sehingga seorang yang jahat bisa menyusup.”

“Hmmm.”

“Mohon perhatian Senopati.”

“Hmmm. Pikiranmu aneh. Tak bisa disamakan begitu saja. Raja Muda Gelang-Gelang memang putra tak berbudi.”

“Seseorang yang tak berbudi jika menemukan kesempatan dan pada dasarnya mempunyai nafsu serakah.”

“Hmmm. Hanya ada seorang sekarang ini yang bisa melakukan itu. Tapi rasanya terlalu jauh. Tak ada kemungkinan itu.”

“Maaf, Senopati yang mulia. Yang seperti tak terduga, yang seperti tidak mungkin, bisa terjadi. Maaf, Senopati… Siapa yang mengira Raja Muda Jayakatwang yang dibesarkan, diberi pangkat dan derajat oleh Sri Baginda Raja, bakal melakukan kraman?”

“Hmmm. Aku tahu kamu mempelajari ajaran Mahamanusia. Manusia yang bisa apa saja, tega apa saja, bisa naik ke langit. Tapi Mahamanusia tak akan merebut takhta.”

“Siapa yang tega berbuat apa saja, bisa berbuat apa saja tanpa penyesalan?”

Mada menceritakan secara singkat, bahwa Kwowogen, prajurit Keraton yang secara sengaja dikorbankan oleh Halayudha, yang menjadi atasannya. Kwowogen yang besar kemungkinannya adalah putra satu-satunya Mahapatih Halayudha.

“Putranya?”

“Pengakuan Kwowogen demikian bunyinya, Senopati yang mulia.”

“Dari mana kamu menduga begitu? Apakah sebelumnya Kwowogen bercerita padamu?”

Mada menggeleng dan menyembah. “Hamba berlima telah menjadi saudara tanpa memedulikan asal-usul, tanpa membedakan pangkat dan derajat. Keempatnya kini telah tiada. Tinggal hamba. Tak ada bukti lain.”

“Kwowogen sendiri mengakui?”

“Seruan Ba yang tak selesai terucapkan adalah panggilan untuk Bapa…”

Ketika itulah utusan Raja datang. Senopati Jabung Krewes diperintahkan menghadap sendirian. Mada diperintahkan berjaga di luar bersama para prajurit.

“Aku tak berjanji mengatakan kepada Raja. Tidak juga kalau ditanya. Kamu kecewa, Mada?”

“Hamba menyampaikan apa yang hamba pikir baik. Tanggung jawab sepenuhnya pada kebijaksanaan Senopati yang mulia, satu-satunya senopati Keraton yang masih dipercaya Raja.”

“Hmmm, kamu cerdik. Tetapi aku tak bisa menghaturkan.”

Itu merupakan keyakinan Senopati Jabung Krewes. Nyatanya, Raja tidak menyinggung sedikit pun. Malah meminta pendapat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kekuatiran perlawanan paksa Halayudha. Barulah ketika Halayudha bertolak pinggang, Senopati Jabung Krewes menyadari apa yang dikisikkan Mada. Tapi terlambat dan Halayudha kelewat tangguh.

Pastilah Mada sejak tadi mengamati dari luar. Mengetahui bahwa Halayudha juga masuk ke kamar Raja. Dan begitu mendengar ada sesuatu yang tak beres, segera menyerbu masuk. Sekarang ini, gelegar tawa Halayudha pasti terdengar di seluruh Keraton. Karena gelombang suaranya yang bergulung dan bersambung. Akan tetapi setelah sekian lama, tak ada tanda-tanda prajurit atau senopati yang menyeruak masuk.

Gempuran Mada tepat pada saatnya. Namun Senopati Jabung Krewes masih sangsi. Apakah ada artinya bagi seorang seperti Halayudha. Itulah sumber kecemasannya. Karena kini segalanya tergantung seberapa lama Halayudha tertawa. Setelah tawanya selesai, segala sesuatu bisa terjadi. Dan itu menyangkut Raja, Keraton, serta isinya.

Berpikir begitu, Jabung Krewes makin ngeri. Dan karena jalan pikirannya kacau, pemusatan tenaga dalamnya juga berbenturan tak beraturan. Sulit ditebak perasaan apa yang bergolak dalam diri Halayudha. Juga oleh orang yang bersangkutan. Halayudha sendiri merasa terbuai sekaligus tenggelam, perkasa sekaligus runtuh, tertawa sekaligus menjerit tangis.

Baginya dalam hidup ini hanya dorongan menjadi prajurit, menjadi senopati, menjadi ksatria tak terkalahkan yang bisa membuatnya bahagia atau berduka. Segala kebanggaan dan kekecewaan berawal dan berakhir di situ. Kalau ada bagian yang menyelinap kecil, adalah hubungannya dengan seorang wanita yang disebut-sebut sebagai Dewi Renuka. Disebut-sebut karena Halayudha sendiri tidak mengetahui siapa nama sesungguhnya, dari mana asal-usulnya, dan bagaimana hubungannya dengan gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu.

Sebutan Dewi Renuka untuk memperjelas bahwa suatu hari nanti, wanita itu akan mengalami nasib yang paling memilukan. Dibunuh oleh anaknya sendiri! Hubungan dengan Dewi Renuka disesali sebagai kutukan yang sepenuhnya disandang. Secara wadak itu berakibat sabetan yang memotong kejantanannya. Secara batin, penderitaan yang terus berkepanjangan. Karena selalu digoda rasa bersalah, dikutuk, dan tak tahu harus bersikap bagaimana.

Bagaimana bersikap terhadap yang disebut Dewi Renuka. Ikut mengutuk, atau menebus dosa. Halayudha tak tahu tindakan apa yang akan diambil, dan tak pernah mendengar kabar. Maka betapa kejamnya Dewa menghukum karena dirinya menjadi takdir pembunuh anaknya sendiri. Adakah yang lebih kejam dari itu?

Dalam benak Halayudha sekarang ini sedang terjadi tikam-menikam antara kesangsian dan rasa bersalah yang maha berat. Kesangsian apakah benar Kwowogen itu putranya. Tak ada bukti apa-apa. Tapi kalau bukan, bagaimana mungkin Mada bisa menyebutkan? Bagaimana mungkin Mada mengetahui rahasia masa lalunya? Rasanya di jagat ini hanya tiga orang yang mengetahui. Dua pelakunya yaitu dirinya dan yang disebut Dewi Renuka, serta Paman Sepuh.

Halayudha mencoba mengingat kisah-kisah pertemuan dengan Kwowogen. Tak ada yang luar biasa. Hanya saja, hanya saja… Kesangsian dan keyakinan bertarung kembali. Saling menindih, saling mengimpit, saling mencakar dan merobek-robek paksa batin Halayudha. Hanya saja memang ada perubahan sifat Kwowogen, sejak dirinya berhasil ditelanjangi Eyang Puspamurti. Sejak itu, sorot mata Kwowogen menjadi lain.

Dengan kata lain, sejak itu Kwowogen mengenali dirinya. Halayudha membentuk sendiri rangkaian yang mendukung jalan pikirannya. Bahwa setelah dirinya dihukum Paman Sepuh, yang disebut Dewi Renuka mendapat hukuman yang sama. Atau disebrat, dibuang. Saat itu benih dalam tubuhnya makin membesar. Pastilah penuh penderitaan yang sarat ketika melahirkan, ketika membesarkan.

Waspa Ludira
TERGAMBAR dalam bayangan kelebatan demi kelebatan. Betapa seorang wanita ayu, yang barangkali tak bersalah benar, harus menanggung beban sendirian. Saat menyembunyikan diri karena hamil. Saat melahirkan. Semua ditanggung sendiri. Tanpa ada yang bisa diajak berbagi. Tidak juga Paman Sepuh, atau Halayudha. Tikaman yang pedih.

Penderitaan yang berkepanjangan, karena membesarkan, dan pastilah suatu ketika si anak menanyakan siapa dan bagaimana ayahnya, serta di mana berada. Tak ada petunjuk, tak ada apa-apa, selain penjelasan bahwa ayahnya adalah lelaki yang tak memiliki kelelakian lagi. Betapa mengerikan, ketika akhirnya Kwowogen menyadari bahwa ayahnya adalah Halayudha! Yang ditemui secara tak sengaja, karena dipecundangi Eyang Puspamurti.

Halayudha ingat dengan jelas. Dalam pertarungan besar yang baru saja terjadi, jelas sekali bahwa Kwowogen sangat melindungi dirinya. Padahal dirinya justru mencelakai dengan cara hina. Membuat kerisnya terbang ke arah Pangeran Hiang dan akhirnya, akhirnya, tubuhnya dipakai sebagai perisai oleh Halayudha. Betapa menggeletarkan, pada saat terakhir masih meneriakkan ucapan Ba… Masih mengakui bapaknya!

Rasanya belum pernah Halayudha mengalami guncangan seperti sekarang ini. Karena yakin bahwa Kwowogen memang putranya. Sebutan terakhir itu yang membuktikan. Tak mungkin Mada mengarang cerita panjang, tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Dan bisa dimengerti bahwa hanya kepada Mada, atau sahabatnya seperguruan yang lain, Kwowogen menceritakan dirinya. Jadi benar Kwowogen adalah putranya. Yang dikorbankan.

Tubuh Halayudha masih berdiri tegak. Keringatnya membasah. Sebagian berwarna merah, juga yang mengembeng di sudut matanya. Air mata darah, waspa ludira. Itu hanya terjadi pada seorang ahli tenaga dalam yang mengalami guncangan paling hebat yang tak bisa dikuasai. Akan tetapi kalau Senopati Jabung Krewes berpikir bahwa dalam keadaan terguncang hebat Halayudha bisa dikuasai, jalan pikiran itu keliru!

Darah masih menetes, membasahi. Akan tetapi Halayudha masih gagah perkasa. Kelebatan pikirannya masih bertarung. Membenarkan bahwa Kwowogen adalah putra tunggalnya. Mengakui sebagai tindakan yang tak bisa diampuni. Itu bukan satu-satunya jalan pikiran. Karena tikaman tangkisan juga muncul dalam benaknya. Bahwa apa pun yang terjadi, tak akan mengganggu, tak akan menghalangi langkah-langkahnya.

Perjalanan yang jauh, yang dirintis sebagai prajurit, yang menjadikan dirinya alas kaki, menempuh segala kehinaan di mata orang lain, pengorbanan yang tiada habisnya, tak akan dimentahkan begitu saja. Apalagi sekarang ini. Di saat takhta sudah dalam genggamannya. Takhta! Takhta! Di seluruh tanah Jawa hanya ada satu maharaja. Dan itu adalah Ingkang Sinuwun Halayudha. Yang memiliki dan menguasai semuanya. Langit, bumi, dan isinya.

Pertarungan antara menerima kutukan dan pangkat serta derajat yang tak tertandingi itu tercermin dalam gejolak tawa yang masih terus berkumandang. Sebentar tinggi nadanya, menyayat, lalu berubah menjadi rendah, menyayat. Baru kemudian sekali iramanya menjadi datar, dan lenyap. Halayudha masih berdiri gagah. Mengucurkan darah.

“Jabung Krewes, kalau perlu kita mati bersama. Sampyuh di tempat ini bersama Sinuwun. Kutukan ini harus kulampiaskan kepada semua saja. Bukan kutanggung sendiri.” Tangan Halayudha bergerak, mencipratkan darah ke segala penjuru.

Raja melangkah mundur sambil menyipitkan mata. “Halayudha, kutukan itu sesuai dengan apa yang kamu lakukan.”

Halayudha meringis. “Sinuwun tahu apa? Tahu apa tentang kutukan dan penderitaan? Sinuwun yang seharusnya menerima lebih dari yang hamba derita. Tapi Dewa takut melakukan. Hamba yang akan melakukan.” Halayudha menggosok telapak tangannya. Yang sepenuhnya berwarna merah.

Jabung Krewes berusaha membebaskan diri sekuatnya. Napasnya tersengal-sengal, akan tetapi kakinya mulai bisa digerakkan. Tanpa berpikir panjang, Jabung Krewes menggelindingkan tubuh ke arah Halayudha. Tangannya terentang lebar. Halayudha hanya menggerakkan kakinya, seolah menendang dengan sepersepuluh bagian tenaganya. Jabung Krewes tersentak dan tubuhnya menggeliat, sebelum akhirnya rebah. Tak bergerak.

“Sinuwun bisa membela diri. Hamba siap melayani. Dengan senjata apa saja.”

“Halayudha! Apakah takhta tak berarti lagi bagimu?”

“Berarti sekali, Sinuwun. Sama berartinya nama Tunggula Seta. Ujung yang putih. Senopati juga nama hamba. Halayudha, ujung bajak. Sama berartinya. Diubah menjadi Kwowogen atau yang lainnya sama saja. Derajat dan pangkat mahapatih, atau maharaja, atau maha takhta, akhirnya sama. Langit di atas atau di bawah, apa bedanya? Bumi diinjak atau dijunjung, apa bedanya? Jagat lahir sungsang. Tanpa tata krama, tanpa aturan. Membunuh Raja atau Mada atau menghidupi atau mengampuni, tak ada bedanya. Itulah Mahamanusia, Sinuwun. Itulah hamba. Bersiaplah…”

Raja Itu Disembah
TAWA yang mirip jeritan, atau jeritan yang mirip tawa dari Halayudha menyisir udara sekelilingnya. Kini bukan hanya sekitar Keraton saja yang bisa mendengar, melainkan seluruh bagian Keraton. Termasuk kamandungan, tempat ketiga pangeran muda berkumpul. Sampai di dalem baluwerti. Sebenarnya tak akan menggerakkan rasa ingin tahu, kalau bukan nada tawa yang melengking.

Karena selama ini, dalam keadaan yang bagaimanapun, tak nanti akan ada tawa yang menggelegar atau jeritan yang tinggi. Cara mengucapkan kalimat saja, bila berada dalam Keraton, boleh dikata kalah keras dengan suara selembar daun kering yang jatuh. Maka lengkingan tawa itu cukup mengherankan juga.

Pangeran Angon serta Pangeran Wengker yang lebih dulu bersiaga. Keduanya hanya cukup melempar pandang untuk kemudian segera berlalu. Disusul Pangeran Anom. Ketiganya serentak merasa terpanggil karena tanggung jawab, dan juga karena daya tarik yang lain. Terutama Pangeran Angon yang sejak pertama kali menatap Putri Tunggadewi serasa bagai disambar petir. Daya asmara yang sangat kuat mengenyakkan diri, tak memungkinkan untuk memusatkan pikiran kepada yang lain. Jangan kata teriakan dari Keraton, tak ada alasan pun Pangeran Angon bisa segera berangkat ke Keraton.

Jarak antara kamandungan dan kaputren sebenarnya tidak terlalu jauh. Tak lebih dari dua ratus tombak. Yang memisahkan hanyalah bangunan tembok yang tinggi. Yang sekali loncat pun akan bisa dilalui. Akan tetapi dinding tembok itu hanyalah simbol perbedaan yang memisahkan secara nyata apa yang menjadi bagian dalam Keraton, dan apa yang di luarnya. Walaupun bangunan baluwerti dan kamandungan masih di dalam tembok Keraton, yang membedakan dengan seluruh bagian di luar Keraton, akan tetapi di dalamnya sendiri ada perbedaan yang tak bisa begitu saja dilewati.

Kini saatnya. Pangeran Angon bergegas masuk. Langsung menuju bagian dalam, tanpa menghiraukan para prajurit yang bersiaga dan berjaga-jaga. Pangeran Anom memberi tanda agar berhati-hati sebelum masuk ke Keraton. Bahkan Pangeran Anom yang lebih dulu mendorong pintu masuk. Sebenarnya ini memang menyangkut tata krama. Karena Pangeran Anom memang menang awu, atau dituakan di antara dua pangeran yang lain. Maka Pangeran Anom-lah yang melangkah lebih dulu.

Begitu melangkah masuk, pandangannya segera nanar. Seakan tak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Raja Jayanegara berjongkok di dekat kursi emas, sementara Halayudha justru berdiri bertolak pinggang, dengan dada dan punggung yang basah oleh keringat serta darah. Di lantai dekat pintu berserakan mayat para prajurit. Senopati Jabung Krewes masih mengerang, dan Prajurit Mada tampak berusaha bangun.

“Siapa kalian? Siapa yang memerintahkan kalian sowan tanpa tinimbalan? Siapa yang memerintahkan menghadap tanpa dipanggil?”

Suara Halayudha sangat tegar, telunjuknya menuding, memerintah, dan merendahkan.

“Kenapa kalian yang memakai pakaian pangeran muda begitu tak tahu tata krama, datang tanpa menyembah? Apakah jalan pikiran kalian sudah jungkir-balik, hingga raja dianggap bukan raja? Raja adalah manusia yang disembah. Berlutut, bersilalah, haturkan sembah dengan baik.”

Tangan kanan Halayudha menuding, sementara tangan kiri terangkat ke atas. Tenaga dalam meluncur dari tangan kanannya, sementara tangan kirinya menyimpan satu pukulan yang setiap saat bisa diempaskan.

Pangeran Anom tak bisa berbuat lain. Paksaan tenaga Halayudha kuat menekan pundaknya untuk bersila. Pangeran Angon juga tak kuasa membendung. Pangeran Muda Wengker berusaha mengelak dengan terhuyung-huyung.

“Lakukan apa yang dikatakan,” suara Raja Jayanegara terdengar menggeletar.

“Tutup mulutmu. Ingsun yang memerintah, bukan kamu.”

Pangeran Muda Wengker segera menyadari bahwa situasi yang terjadi memang sangat gawat. Kalau sampai Raja sendiri memerintahkan memberi sembahan kepada Halayudha, itu bukan hanya luar biasa. Tetapi sudah tak masuk akal sama sekali, dan ada sesuatu yang sangat luar biasa. Tak ayal lagi Pangeran Muda Wengker memberi sembah.

“Begitu sebaiknya. Baik, baik, sekarang pasowanan bisa dimulai.” Halayudha duduk di atas singgasana. Kedua kakinya diangkat di kursi. “Jabung Krewes, bangun kamu.”

Kaki Halayudha bergerak, dan Senopati Jabung Krewes merasa impitan di dadanya berkurang. Sungguh permainan tenaga dalam yang sempurna. Kalau selama ini dirinya berkutetan dan memaksa diri sepenuhnya untuk membuka pertahanan tubuhnya dan mengembalikan kekuatannya tapi sia-sia, Halayudha hanya cukup menggunakan tenaga dalam yang dikirimkan lewat dua jempol kakinya.

Walaupun kemampuan Halayudha sebenarnya lebih berakar mengenai bagian mana yang dibuka, Jabung Krewes tetap mengakui bahwa dari semua yang ada di dalam Keraton, tak ada satu pun yang bisa mengungguli Halayudha. Kalau tadi masih berpikir untuk mencuri kesempatan berbalik menghajar Halayudha, kini pikiran itu dibuang jauh-jauh.

“Sembah aku…”

Jabung Krewes adalah senopati Keraton. Tokoh yang mempunyai derajat dan pangkat yang tinggi, yang dibuktikan dengan pengabdian. Pastilah akan memilih mati daripada harus menyembah Halayudha. Atau siapa pun selain Raja. Ini jalan pikiran Pangeran Anom. Bahkan dipaksa dengan tenaga dalam Halayudha yang menyiksa pun, tak nanti Jabung Krewes akan mengikuti. Ia akan melawan sepenuhnya, meskipun hasilnya sia-sia atau mengorbankan nyawanya.

Ini jalan pikiran Pangeran Anom. Ini juga jalan pikiran Jabung Krewes. Karena posisinya sangat berbeda dengan Pangeran Anom, Pangeran Angon, atau Pangeran Muda Wengker-yang terakhir ini malah mendapat perintah resmi dari Raja.

“Hamba Senopati Jabung Krewes, menghaturkan sungkem pangabekti kepada Raja sesembahan…” Suaranya lembut, nadanya menghormat dan tulus.

Halayudha tertawa terbahak. Pangeran Anom memuji keunggulan Jabung Krewes dalam menempatkan diri. Ia memang menyembah hormat, menekuk tubuhnya separuh, suaranya mengandung nada hormat yang sesungguhnya, akan tetapi sebenarnya ditujukan kepada Raja Jayanegara. Bukan kepada Halayudha. Hanya arahnya yang sama. Keluwesan semacam inilah yang merupakan inti kekuatan para senopati, pikir Pangeran Anom.

“Baik, baik. Hari ini Ingsun akan medar sabda. Ingin pidato resmi, mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan keluhuran Keraton dan para Dewa. Kalian semua dengarkan baik-baik. Ingsun ini sesungguhnya yang disebut mahamanusia yang paling sempurna. Belum pernah ada sebelumnya, dan tak akan pernah ada lagi, mahamanusia seperti Ingsun. Pertama, Ingsun ini prajurit biasa, diangkat sebagai senopati, dan kemudian mahapatih, setelah itu raja. Dewa pun menyembah padaku. Kedua, Ingsun akan segera mengambil permaisuri, selir-selir, gundik-gundik, membuat taman, dan menyatakan perang. Ketiga, apakah tidak sebaiknya Ingsun memakai gelar yang baru? Bukan wangsa Sri Baginda Raja, bukan nama Syangka, bukan nama siapa-siapa. Tapi dari nama asal-usul Ingsun sendiri. Mada, kenapa kamu?”

Mada menunduk, tanpa berusaha menghapus darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya. Hanya karena tenaga dalamnya yang kuat Prajurit Mada masih bisa bertahan, masih mampu berkata dengan suara perlahan. “Kenapa tidak memakai gelar Tenggala Seta?”

Jabung Krewes menggigit bibirnya. Untuk kesekian kalinya Jabung Krewes memuji prajurit pilihannya setinggi langit, sekaligus menguatirkan. Memuji setinggi langit, karena Mada tetap mendesakkan kekuatan yang bisa merontokkan Halayudha. Satu-satunya peluang yang mampu menerjang benteng kekuatan utama Halayudha. Dengan menyebutkan nama Tenggala Seta yang artinya bajak atau wluku putih, Mada masuk ke pembicaraan kembali. Pembicaraan yang bisa mengguncang Halayudha di saat ia siap membasmi seluruh isi Keraton sekarang ini.

Tenggala berarti bajak atau wluku, yaitu peranti untuk mengolah tanah yang selalu dipakai para petani. Namun hala juga bisa berarti bajak. Sedangkan tambahan kata seta yang berarti putih, menggenjot kembali jalan pikiran Halayudha kepada putranya yang tewas di tangannya sendiri secara sengaja dan menjijikkan. Pengertian putih di sini, bisa diartikan bajak putih, bisa pula diartikan kelelakian yang putih! Yang hanya dimiliki Halayudha!

Inilah yang menghantam pertahanan dan kekuatan Halayudha, sehingga batinnya guncang. Sehingga keringat dan tubuhnya menyatu. Yang meskipun tertawa-tawa meremehkan, batinnya tersiksa sempurna. Yang membuatnya seolah tidak waras. Jabung Krewes juga kuatir, karena setiap saat Halayudha bisa murka, dan sekali alis matanya terangkat, telunjuknya menuding, habislah Mada. Atau bahkan seisi ruangan!

Tongkat Tak Takut Lumpur
HALAYUDHA berdeham keras. Kepalanya bergoyang. Mahkota di kepalanya berayun, jatuh di lutut kakinya.

“Lihatlah baik-baik. Mahkota bersusun ini dipakai lututku. Hanya mahamanusia yang bisa melakukan itu. Kamu, Jayanegara tak pernah berani melakukan. Mana yang lebih keramat, lututku atau mahkota ini?” Halayudha bergelak lagi. Keringat dan darah kembali menetes. “Usulmu tidak jelek, Mada. Meskipun tampangmu buruk sekali. Kukira Tenggala Seta nama yang bagus. Tapi kurang berwibawa. Hanya saja alasannya bisa kuterima. Memakai nama gelaran anaknya, keturunannya, dan bukan leluhurnya. Itu baru tata krama yang menarik. Sesuai dengan Ingsun. Tapi tunggu dulu, Mada. Segala apa harus bisa dibuktikan. Segala yang tidak ada bukti nyata, dialami dan diakui semua orang, bukan kasunyatan, bukan kenyataan. Hanya lamunan. Kenyataan itu hakikat aku ini. Nyata menjadi raja, nyata memainkan mahkota, nyata kalian sembah. Sekarang pertanyaanku, benarkah Tenggala Seta atau siapa pun namanya itu putraku? Bukankah aku harus melihat sendiri bahwa kemaluannya, kelelakiannya, memang berwarna putih? Bagaimana kamu bisa membuktikan itu? Mana mayatnya?”

Mada berusaha menjawab, akan tetapi kembali tenaga dalamnya yang masih belum sepenuhnya dikuasai berbenturan sendiri, sehingga tubuhnya rebah. Kesempatan emas yang terlepaskan. Sungguh sayang. Sangat sayang, pikir Jabung Krewes. Mada berhasil membangun serangan yang langsung menghunjam ke titik pikiran Halayudha. Tinggal menyelesaikan dengan baik. Tapi tak mampu.

Dibandingkan para prajurit pilihan umumnya, Mada dua atau tiga tingkat lebih tinggi. Tenaga dalamnya boleh dikatakan bisa disejajarkan dengan Senopati Jabung Krewes. Sesuatu yang bisa dimengerti. Karena Mada satu-satunya prajurit yang mempelajari ajaran pengerahan tenaga dari mahamanusia, tanpa melewati ajaran Kitab Bumi. Bukan hanya itu. Masih ditambah lagi sumber utama yang mengajarinya adalah Jaghana, pendekar dari Perguruan Awan yang merupakan murid langsung Eyang Sepuh. Dan ditempa siang-malam tanpa henti oleh Eyang Puspamurti.

Gemblengan yang luar biasa, yang membedakannya dari prajurit lainnya. Hanya saja karena penguasaannya belum sempurna, atau karena terdorong nafsu besar untuk segera menyodokkan keunggulan, Mada tak bisa menguasai dirinya. Hanya bisa mengejang dan ditimbuni rasa penasaran. Senopati Jabung Krewes tak menyia-nyiakan kesempatan.

“Sekarang sedang diruwat oleh ksatria lelananging jagat sebagai cara membuktikan keunggulan…”

Halayudha terbatuk. Mahkota di lututnya terjatuh. Menggeletak di lantai. Simbol sakti seluruh negeri tanpa kecuali, yang dihormati, dan disembah itu tergeletak seakan tak mempunyai arti.

“Apa maunya Upasara Wulung itu?”

Kalau Raja Jayanegara masih menebak-nebak arah serangan kata-kata Jabung Krewes, bagi Pangeran Anom segalanya telah jelas. Jabung Krewes meneruskan tembakan yang gagal dilakukan Mada dengan cara yang halus, manis, tapi menikam langsung. Halus dan manis yang dipujikan Pangeran Anom sebenarnya hanya karena Jabung Krewes tak mengerti apa yang terjadi dengan mayat Tenggala Seta atau siapa pun namanya sekarang ini.

Bisa-bisa sudah disingkirkan atau dibakar. Kalaupun diketemukan, belum tentu bisa meyakinkan Halayudha bahwa warnanya benar-benar putih, karena setelah menjadi mayat seluruh tubuh warnanya cenderung sama. Makanya Jabung Krewes mengatakan sedang diruwat, sedang dirawat, sedang dibebaskan oleh Upasara. Kalaupun bertemu mayat yang diduga Tenggala Seta, masih bisa dialihkan bahwa Upasara Wulung telah memotong kelelakiannya.

Menjawab pertanyaan Halayudha, akan lebih mudah. Karena bisa saja dijawab bahwa Upasara Wulung akan menjadikannya sebagai jimat, sebagai kekuatan lain melawan Halayudha. Dalam keadaan yang normal sekalipun, Halayudha bisa mempercayai hal itu. Bukan karena dirinya memakai berbagai jimat, akan tetapi segala jenis dan segala tata cara memakai dan memperolehnya sangat dikuasai.

Sesungguhnya dengan menyeret nama Upasara Wulung, Jabung Krewes melakukan taktik Teken Mangsa Wedi ing Blethokan, atau siasat Tongkat Tak Akan Takut Lumpur. Cara yang sangat dipuji Pangeran Anom dan disebutkan sebagai menikam langsung. Tongkat Tak Akan Takut Lumpur adalah kiasan dalam dunia persilatan. Dalam pengertian sebenarnya, sebatang tongkat tak akan takut terkena lumpur. Dalam arti persilatan, bisa menjadi sebuah tantangan. Kalau memang dirinya tongkat, untuk apa takut kepada lumpur.

Dengan strategi ini, Jabung Krewes mengangkat dan sekaligus menyudutkan Halayudha. Mengangkat Halayudha sebagai tongkat dan merendahkan Upasara sebagai lumpur, tapi sekaligus juga menjebak dalam situasi di mana Halayudha tak bisa mundur. Jalan pikiran Jabung Krewes menyeretkan nama Upasara Wulung, karena memang tak ada pilihan lain. Sekarang ini hanya Upasara Wulung yang dianggap mampu mengimbangi Halayudha. Dan hanya Upasara Wulung yang menjadi satu-satunya harapan.

“Apa Upasara Wulung kira kelelakian itu suatu kekuatan istimewa? Ia tak begitu bodoh, tapi bisa juga untuk memancing aku. Jabung Krewes!”

“Sendika dawuh Dalem…” Kalau sekarang Jabung Krewes benar-benar memanggil dengan hormat, karena merasa telah memasuki satu langkah penting.

“Apa hebatnya Upasara Wulung?”

Jabung Krewes tak bisa menjawab sembarangan. Karena meskipun pikiran Halayudha seolah kurang waras, kejelian dalam menilai permainan ilmu silat tetap jernih. Tak bisa sekadar melebihkan atau merendahkan.

“Sebagai ksatria, Upasara Wulung satu-satunya yang bergelar lelananging jagat. Penguasaan Kitab Bumi-nya. boleh dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, dan mampu mengerahkan tenaga Ngrogoh Sukma Sejati.”

“Satu gelar yang cukup hebat. Tapi Upasara Wulung, lepas dari segalanya, pantas menjadi ksatria lelananging jagat. Gelar yang bahkan Eyang Sepuh saja tak pantas menyandangnya, dan Gajah Mahakrura tak bisa menyentuh…”

Dengan menyebut Gajah Mahakrura, atau Gajah Mahabengis, Halayudha memaksudkan gurunya, Paman Sepuh Dodot Bintulu. Yang meskipun diakui sebagai pencipta Kitab Bumi pada awalnya, namanya tenggelam di bawah bayangan Eyang Sepuh.

“Satu gelar yang hebat. Aku tergetar. Tetapi aku atau Upasara Wulung sama-sama mempunyai kelebihan. Dalam ilmu silat masih harus dibuktikan siapa yang lebih sakti. Penguasaan kekuatan Ngrogoh Sukma Sejati memang serba tak terduga, akan tetapi rasa-rasanya, kalau mengawali dari kekuatan ajaran mahamanusia, aku bisa sampai ke sana, dan selangkah lebih depan. Dan aku lebih banyak lagi kelebihannya. Upasara tak pernah beranjak dari derajat senopati. Gelar Senopati Pamungkas yang dianugerahkan Baginda tak menyebabkan pangkatnya naik. Aku mendengar kabar ia bakal diangkat sebagai mahapatih. Tetapi ia tak mempunyai telih untuk pangkat itu. Perutnya tak bisa mewadahi pangkat itu. Apalagi menjadi raja. Seperti Ingsun.” Halayudha seakan tenggelam dalam perhitungannya sendiri.

Jabung Krewes menyadarkannya kembali. “Sebaiknya jangan dibiarkan seorang ksatria, meskipun bergelar ksatria lelananging jagat, merendahkan raja…” Lagi Jabung Krewes memakai kalimat yang umum, yang tidak semata-mata tertujukan kepada Halayudha sebagai raja. Tanpa menunjuk ke arah itu.

“Aku akan menemuinya. Akulah raja yang bisa bersilat, mampu perang tanding di depan. Tapi aku masih ingin menikmati di sini. Pangeran-pangeran muda yang membisu, apa lagi yang kamu lakukan di sini? Pulanglah!” Kaki Halayudha bergerak mengusir. Dan tertawa bergelak.

“Jayanegara, aku sudah berjanji tak akan membunuh atau menyia-nyiakan mu. Selama ini kamu bebas berseliweran, bebas mengambil gundik siapa saja. Aku ingin menjadikan kamu gundikku. Agar kamu tahu rasa. Itulah wolak-waliking zaman, perubahan zaman, dan hanya mahamanusia yang bisa melakukan itu.”

Pergilah, Pangeran Tundung
MAKIAN Halayudha bukan hanya tajam, akan tetapi sangat menyakitkan. Seakan menempelkan getah yang sangat lengket dan menjijikkan. Tiga pangeran muda yang jelas-jelas masih sangat dekat hubungannya dengan raja diusir dengan kasar lewat jempol kakinya. Lebih dari itu Raja Jayanegara sendiri dihina dengan cara yang rendah. Bukan hanya dipermainkan, tetapi betul-betul direndahkan lumat dengan alas kaki. Karena akan dijadikan gundik atau selir oleh Halayudha. Dewa pun tak mungkin memperlakukan seperti itu. Akan tetapi Halayudha tidak merasa gelisah atau merasa bersalah.

“Pangeran telah diusir. Sebagai pangeran tundung, untuk apa menunggu lebih lama?”

Pangeran Anom mencekal hulu kerisnya. Sebutan pangeran tundung, atau pangeran yang diusir dengan tidak hormat, yang diucapkan Jabung Krewes membuat darahnya panas.

“Untuk apa Pangeran menunggu di sini? Di luar tembok Keraton masih ada tempat untuk berteduh.”

Halayudha mengentakkan kakinya. Tubuhnya meloncat ke arah pintu. Tawanya menggelegar. “Kamu pintar, Jabung Krewes. Senopati yang memakai otak, walau sedikit. Dengan mengusir ketiga pangeran ini, dengan menyebutkan tempat teduh di luar tembok Keraton, bukankah itu isyarat agar mereka memanggil Upasara Wulung?”

Inilah celaka! Ketiga pangeran muda tidak menangkap maksud Jabung Krewes, sementara Halayudha justru mengerti dengan baik.

“Kalau sudah disembah, kenapa begitu takut hanya dengan nama Upasara Wulung?”

“Mada, kamu belum mati juga? Hebat, tenaga dalammu benar-benar hebat.”

Halayudha meloncat maju ke arah Mada. Satu tangan mencekal. Dan tubuh Mada benar-benar terangkat dari lantai. Tinggal membanting sekali jadi. Tubuh Mada akan rontok berikut pecahan tulangnya. Tapi tidak. Halayudha mengerutkan keningnya.

Memang aneh. Detak nadi, denyut kehidupan dari tubuh Mada dirasa sangat ganjil. Tidak dengan irama seperti biasanya terjadi pada manusia. Tidak deg-deg-deg. Melainkan dredeg-deg, dredeg-deg. Ini yang membuat Halayudha mengerutkan kening.

“Ilmu apa yang kau pelajari?”

JILID 66BUKU PERTAMAJILID 68