Senopati Pamungkas Kedua Jilid 61

Cerita silat jawa dan Indonesia Serial Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 61 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 61

Sementara Putri Tunggadewi sendiri seperti tak memedulikan bahaya, tetap melangkah menuju potongan tubuh Bango Tontong! Menyongsong tebasan Ratu Ayu! Kangkam Galih tergetar. Membalikkan sinar obor yang remang, berkilat menyilaukan. Hanya saja tertahan sebentar, tergetar. Karena ada satu tenaga yang menggoyangkan. Sesaat. Karena kemudian menebas ke bawah.

Hanya saja sekali ini bukan tergetar, tetapi terlepas. Melayang ke arah lantai. Ratu Ayu merasakan tangannya ngilu tak tertahankan. Namun tangan kirinya yang bebas masih bisa meraup pedang tipis hitam, tepat di gagangnya, dan sekali lagi dipakai untuk menebas. Sekali lagi pedang yang sudah dicekal itu terlepas. Pindah ke tangan lain.

“Paman Upasara…” Tubuh Putri Tunggadewi tersentak keras, bergoyang, sebelum ambruk dalam rangkulan Upasara Wulung.

Potengan Tubuh
UPASARA WULUNG! Ya, pandangan Gendhuk Tri tak salah lagi. Yang mendesak maju adalah Upasara Wulung. Yang tampak sekilas seperti kurus, dengan rambut yang terurai di kiri-kanan, menutupi telinganya.

Halayudha melihat bahwa Upasara mempertaruhkan keselamatannya dengan melibatkan diri. Akibatnya ikatan rambutnya terlepas. Tidak begitu jelas, apakah karena sabetan Kangkam Galih atau hanya tersentuh ujung pedang. Halayudha bisa melihat jelas karena tubuhnya melayang dari atas. Dan kini bisa berada di bagian yang sedikit longgar untuk mempersiapkan diri.

Kejadian beruntun yang desak-mendesak. Ditambah lagi dengan kesiuran angin yang luar biasa kencang, menyebabkan puluhan obor padam, lalu disusul suara gedubrakan yang keras, seakan seluruh bangunan rumah roboh seketika terkena guncangan gempa. Memang sesungguhnya dalem senopaten roboh. Bukan karena gempa. Melainkan karena gerakan yang sangat kuat mengguncangkan dan melabrak tiang utama di pendapa, keempat-empatnya, hingga terlepas dari pondamen.

Runtuhnya atap pendapa menimbulkan suara gedubrakan yang keras dan memenuhi telinga manakala disusul bagian yang menghubungkan dengan dalem, juga roboh. Genteng sirap dan kayu-kayuan beterbangan bersama dengan batu bata yang hancur menebarkan debu dan rontokan. Ternyata masih disusul gedubrakan yang lain. Seluruh bangunan senopaten Yuyu rata dengan tanah. Terdengar tawa yang keras, memekakkan telinga.

“Aku suka kamu mau ketemu denganku. Upasara Wulung, namaku Gemuka!”

Tanpa penjelasan itu pun, Gendhuk Tri bisa menduga. Tokoh yang mampu menendang roboh tiang pendapa dengan sekali sentuh, serta secara beruntun, pastilah tokoh yang benar-benar sakti. Apalagi dengan sekali bergerak tangannya, kakinya, mampu membuat keonaran, sehingga seluruh bangunan hancur, rontok, dan lepas rangkaiannya. Kemampuan bergerak yang demikian tinggi, seolah seluruh lapangan dikuasai suara yang berasal dari berbagai penjuru, mempertegas keunggulan.

Dengan padamnya obor, suasana menjadi gelap dan agak kacau. Bukan oleh rintihan prajurit yang terkena jatuhan kayu, melainkan karena dengan demikian semua menjadi terbuka. Para Senopati Utama, Eyang Puspamurti dan kedua muridnya, serta Jabung Krewes dan para prajurit jadi ketahuan. Dan waspada, karena belum mengetahui apa yang bakal terjadi.

Nyai Demang mengatur pernapasan dan memusatkan kekuatan untuk berjaga sepenuhnya. Demikian juga Gendhuk Tri yang menyilangkan kedua tangan di depan dada. Telinganya mendengar suara panggilan Pangeran Anom, akan tetapi Gendhuk Tri lebih memusatkan perhatian kalau-kalau ada gerakan aneh lagi. Dugaannya keliru.

Karena yang terlihat kemudian adalah barisan prajurit yang membawa obor, disertai genderang yang ditabuh bertalu-talu. Umbul-umbul Keraton dinaikkan tinggi-tinggi. Keadaan menjadi lebih terang. Meskipun sebenarnya tanah juga mulai terang oleh cahaya surya. Bagian pendapa dan dalem telah rontok seluruhnya, kecuali bagian yang paling belakang.

Di pendapa, Upasara Wulung masih merangkul Putri Tunggadewi yang sepenuhnya berada dalam bopongannya. Halayudha berada di sebelah kanan, berseberangan dengan Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Di depannya, Kiai Sambartaka menyilangkan tangan sambil berdiri gagah. Sementara Ratu Ayu Azeri Baijani berdiri tegak dengan dua tangan menggenggam erat Kangkam Galih. Di bagian belakang dalem, berkumpul kelompok Jabung Krewes dengan para prajuritnya.

“Paman Upasara…”

“Seorang ksatria menghendaki jalan ksatria. Kematian seorang ksatria adalah pilihan sukma sejati.”

Gendhuk Tri menjadi limbung. “Apakah… apakah… Apakah…”

Upasara Wulung mengangguk perlahan. Perlahan sekali. Tangan kirinya menggenggam tangan Gendhuk Tri. Menarik tubuh Gendhuk Tri ke tubuhnya. Merapatkan. Upasara mencium sudut mata Gendhuk Tri yang basah. Sunyi. Baru kemudian sekali Upasara Wulung melepaskan genggaman Gendhuk Tri. Tangannya mengusap wajah Putri Tunggadewi, kemudian menyembah dan menyerahkan tubuh Putri Tunggadewi yang terkulai layu ke arah Nyai Demang.

Nyai Demang menerima dengan tergopoh. Secara spontan, tangannya memeriksa tubuh Putri Tunggadewi. Dan merasa tenang karena tidak menemukan sesuatu yang luar biasa. Putri Tunggadewi seperti terlelap tidur karena kelelahan yang melampaui batas ketegangan pikirannya. Gendhuk Tri bersila di kaki Upasara. Upasara berdiri tegak.

“Aku Gemuka. Pesta puncak dimulai sekarang. Kamu siap, Upasara?”

Dada Upasara yang tampak kurus tetap teratur membesar dan mengecil. Pandangannya sedikit pun tak berubah. Tak bereaksi. Tidak juga Gendhuk Tri yang bersemadi dengan khusyuk.

Nyai Demang yang cerdas dan bisa menghubungkan peristiwa yang satu dengan yang lain, hanya bisa meraba dan menduga apa yang sesungguhnya terjadi. Pertama diawali ketika Ratu Ayu memoteng-moteng tubuh Bango Tontong menjadi beberapa bagian. Kemudian Putri Tunggadewi seperti tersedot oleh kekuatan itu dan maju. Ketika Ratu Ayu menebas. Saat itu Upasara menampilkan diri.

Kalimat yang bisa dijadikan petunjuk hanyalah sebutan nama Kakang Singanada, dan Paman Upasara tidak menghendaki. Kemudian sekali adalah pertanyaan Gendhuk Tri yang belum jelas, karena hanya mengatakan apakah, apakah, apakah, tanpa keterangan yang lain. Yang kemudian menyebabkan Gendhuk Tri bersemadi. Dalam keseluruhan peristiwa yang dialami, baik oleh dirinya sendiri maupun lewat penuturan, Nyai Demang boleh dikatakan menemukan gambaran yang menyeluruh. Sehingga sedikit-banyak bisa merangkaikan.

Yang berawal dari tindakan Gendhuk Tri bersama Pangeran Anom yang terpaksa memotong kaki Maha Singanada. Senopati seberang dari Caban itu kemudian perlu meninggalkan mereka berdua. Sebenarnya kisah itulah yang mulai dialami oleh Tunggadewi, Rajadewi, serta Permaisuri Rajapatni yang merawat tubuh Upasara yang terluka parah oleh pukulan Halayudha serta tusukan keris pusaka milik Senopati Agung Brahma.

Seperti diketahui ketiganya menyembunyikan secara diam-diam dan tak mengetahui bagaimana merawat selain berdoa. Karena tubuh Upasara tak menimbulkan reaksi apa-apa. Saat itu, Maha Singanada yang tengah keluyuran dengan hati pedih di Keraton bertemu dengan ketiganya secara tak sengaja. Putri Tunggadewi bisa bercerita lengkap karena dialah yang pertama kali melihat, dan menduga yang datang adalah Paman Upasara.

“Paman… Oh, bukan Paman.”

“Namaku Maha Singanada. Itu tak penting benar. Karena aku sudah tak ada gunanya lagi. Kakiku sudah hilang. Tapi bukan itu sebabnya aku merasa tak ada artinya. Aku memang dilahirkan dengan kehinaan atas Keraton Singasari yang terberat. Semakin aku dikenal, semakin jelas betapa noda dan dosa itu diciptakan. Tetapi kalian bisa membuat aku mempunyai guna dan hidupku penuh makna. Untuk terakhir kalinya.”

Maha Singanada berusaha duduk dengan susah. “Aku tahu kalian adalah putri Keraton. Satunya lagi Permaisuri Rajapatni. Yang kalian rawat adalah Upasara Wulung. Yang pasti akan dicari untuk dimatikan. Biarlah aku yang menggantikan. Dengan demikian, aku masih bisa menyelamatkan Upasara Wulung, kalau nyawaku bisa memaksa Dewa untuk tidak mencabutnya.”

Putri Tunggadewi memandang bingung.

“Lakukan, Permaisuri. Aku yang menghendaki.”

“Saya tak mengerti maksud Senopati.”

“Tubuh dan perawakanku mirip Upasara. Sedemikian miripnya sehingga Gendhuk Tri bisa terpikat olehku. Kalau tubuhku yang mengganti tubuh Upasara, rasanya tak ada yang mengetahui. Kalaupun ada, Upasara sudah bisa selamat. Selama tubuhku terpoteng, tak akan mudah diketahui.”

“Saya tak mengerti kenapa Senopati Maha Singanada melakukan hal ini.”

“Aku ingin berbuat sesuatu untuk kebesaran Keraton. Sehingga dosa ibu dan bapakku tertebus.”

“Kenapa kamu pilih Kakangmas Upasara?”

Maha Singanada meringis. Menahan rasa sakit dan kebanggaan.

Bukan Pesan, Bukan Titipan, Asmara
TANPA meringis pun, bagi Putri Tunggadewi sikap Maha Singanada termasuk tidak biasa. Tata kramanya, terutama dalam bertutur kata, jumpalitan, akan tetapi penampilannya tidak mengesankan kasar. Bahkan sebaliknya.

“Aku memilih menggantikan Upasara Wulung karena ia lelaki sejati. Ksatria yang baik, mulia, dan mengabdi kepada manusia. Aku memilih menggantikan Upasara Wulung karena aku tidak mempunyai harapan lagi. Aku akan mati dalam waktu tidak lama, dan tak ada yang bisa kulakukan. Sekarang ini kesempatan bagiku.”

“Saya tak bisa melakukan.”

“Tak ada yang tak bisa. Permaisuri bisa memotong tubuh saya. Tangan, kaki, kepala, dan bagian yang lain. Kemudian menguburkan seolah tubuh Upasara Wulung, sementara Upasara Wulung bisa tersembunyi dengan aman untuk sementara.”

“Saya tak bisa. Saya belum pernah…”

“Baik kalau begitu, aku akan melakukan sendiri. Bagian terakhir kamu yang melakukan. Apakah di sini ada pedang atau keris?” Maha Singanada sendiri yang mencari, menemukan, dan meyakinkan diri bahwa senjata itu cukup tajam.

“Senopati Singanada…”

“Ada apa lagi?”

“Jangan kamu lakukan itu.”

“Aku akan melakukan juga, Permaisuri Rajapatni. Ini semua kemauanku.”

“Apakah kamu sudah berpikir?”

“Sudah.”

“Sudah mempertimbangkan?”

“Sudah.”

“Tak ada lagi yang memberatimu?”

“Tidak.”

“Apakah kekasihmu…”

“Gendhuk Tri namanya. Ia gadis yang baik. Yang mulia dan sakti. Aku akan berbahagia kalau ia mendampingi Upasara suatu saat nanti. Rasanya aku ingin menitipkan kata-kata ini. Tapi tak ada gunanya. Aku juga ingin meninggalkan pesan. Tapi tak ada gunanya. Asmara dan kehidupan adalah yang paling indah untuk dititipi pesan dan keinginan. Asmara dengan tata krama seperti itu hanya akan menjerat diri. Seperti yang Permaisuri Rajapatni alami. Tapi itu baik. Bagi jagat ini.” Maha Singanada menyiapkan pedangnya. “Karena kalian tidak tegaan, aku akan memutus kaki sebelah, lalu tangan, dan kalian yang menyelesaikan leher serta tangan satunya.”

“Kakang Maha…”

Maha Singanada menoleh ke arah Tunggadewi. “Apa?”

“Paman Upasara tidak akan menyukai cara Kakang.”

“Tak apa. Kenapa harus mengikuti kemauan dia? Aku berhak atas cara kematianku sendiri. Kenapa begini panjang upacara dan pertanyaan hanya untuk kematian yang sekejap?”

Tunggadewi menjerit tanpa suara. Terempas tanpa bisa apa-apa. Maha Singanada benar-benar mengayunkan pedangnya ke arah kaki. Dengan sepenuh tenaga. Dalam satu tarikan keras pedang diayunkan lagi ke tangan kirinya yang diangsurkan. Dan kemudian memenggal kepalanya. Darah yang muncrat, teriakan aduhan, bagian tubuh yang terpotong, belum pernah dilihat dan dialami Tunggadewi. Jiwanya terguncang, kekuatan batinnya ambrol.

Seekor nyamuk yang menggigit tubuhnya bisa menimbulkan iba bila diceblek. Seekor anak angsa yang kedinginan, seekor kucing yang terinjak ekornya, sebatang pohon yang meranggas, bisa membuatnya gelisah dan terganggu untuk waktu yang lama. Seekor ikan hias di taman yang terseret arus menyebabkan dirinya tak bisa makan dan tidur selama beberapa pekan. Apalagi kejadian seperti ini. Yang sangat mendadak, sangat menghancurkan sistem nilai dan akal budinya.

Tunggadewi tak mengerti bagaimana kisah berikutnya. Ia hanya merasa tubuh Maha Singanada menggelepar, berkelojotan, di mana-mana darah, karena agaknya sabetan ke leher tidak sempurna. Tunggadewi tak sadar apakah Permaisuri Rajapatni yang melanjutkan atau tangannya sendiri, atau Rajadewi, atau ketiganya. Tak ingat bagaimana mulainya, dan bagaimana akhirnya.

Telinganya hanya mendengar suara, dan suara itu akan dituruti begitu saja. Seperti saat ia membawa tubuh Upasara Wulung, menggotong, menyeret, membawa ke gua bawah Keraton. Mengumpulkan potongan tubuh Maha Singanada, menunggui sementara tokoh-tokoh lain melihat, dan akhirnya ia ikut menyaksikan penguburan di halaman bagian belakang yang merupakan kebun di kaputren.

Sejak saat itu Tunggadewi tak sepenuhnya mengetahui apa yang terjadi. Bayangan tubuh yang terpotong begitu lengket dan tak bisa terusir. Satu-satunya yang setengah sadar bisa dilakukan ialah bila mendengar suara, ia bisa mengikuti. Bisa menjawab, tapi tak mengetahui bagaimana semua kejadian itu berlangsung. Seluruh nadi sarafnya menjadi sangat tegang. Dan baru bisa melepas semuanya ketika menyaksikan tubuh Bango Tontong yang terpotong-potong. Kesadarannya seperti dikuakkan lagi. Hanya saja kemampuan dan daya tubuhnya tak kuat menghadapi guncangan.

Nyai Demang tak bisa menyelami seperti apa yang sesungguhnya terjadi. Akan tetapi mengetahui bahwa sekarang ini justru Putri Tunggadewi berada dalam keadaan yang paling waras. Akan segera pulih kembali dalam waktu dekat. Hanya karena tidak mengetahui harus dipasrahkan kepada siapa untuk merawat, Nyai Demang masih menelentangkan di bagian bawah pendapa.

Halayudha mencoba mendekat dan merasakan bahwa pulung ati Putri Tunggadewi membalas getaran tangannya. Kiai Sambartaka yang mengawasi sejak tadi melirik ke arah Gemuka.

“Upasara bisa menyembuhkan hanya dengan bisikan.”

“Itu bukan urusanku. Aku akan berpesta.”

Suara itu mendengung dari pelbagai penjuru. Kadang seolah dari regol, kadang dari atas punggung gajah. Upasara tidak segera menanggapi. Tangannya menyentuh pundak Gendhuk Tri, seakan memberi isyarat lembut. Gendhuk Tri telah menyelesaikan semadinya, mengucapkan doa bagi arwah Maha Singanada. Ujung matanya masih basah. Tapi wajahnya kelihatan dingin. Pangeran Anom yang mendesak maju hanya mendapat tatapan sesaat.

“Wanita tua sesat, lihat siapa yang masih kebal kulitnya untuk menerima pedang ini.” Ratu Ayu mumbul ke atas, lalu dari atas meluncur lurus dengan kepala ke bawah. Kangkam Galih menghunjam lurus ke batok kepala Gendhuk Tri.

“Kembalikan pusaka Paman Galih.” Kalimat Upasara pendek. Tangan kanannya bergerak ke atas. Satu sedotan tenaga yang sangat besar membetot dan melencengkan arah pedang. Bahkan kemudian bisa terlepas. Tergenggam ujungnya oleh tangan Upasara!

Hebat. Tapi Ratu Ayu yang meluncur turun tidak membiarkan begitu saja. Betotan tenaga yang mengakibatkan ngilu tangannya memang membuatnya kaget seperti tadi. Namun cepat sekali pedang direbut kembali. Ditarik dengan perkasa, bersamaan dengan tubuhnya yang melorot turun. Ujung pedang dinaikkan, seakan menyodet wajah Upasara. Dan berhasil. Berhasil mengungkit ke atas, karena jepitan Upasara lepas.

Tangan kanan yang melepaskan jepitan itu balik memegang pergelangan tangan Ratu Ayu. Memencet keras, sehingga Kangkam Galih kembali mumbul ke atas. Dengan satu tangan yang lain, Upasara berhasil menggenggam gagangnya. Namun tangan Ratu Ayu yang bebas menyundul dari bawah. Kangkam Galih kembali mumbul ke atas. Dalam satu tarikan napas, Kangkam Galih beberapa kali berpindah tangan. Bergantian antara Upasara dan Ratu Ayu. Dan semua berjalan dalam waktu cepat sekali.

Sebenarnya ketika Upasara baru saja masuk ke pendapa, hal yang sama telah terjadi. Akan tetapi sekarang ini menjadi sangat jelas, karena Kangkam Galih tegak lurus dengan langit. Sehingga naik-turunnya terlihat jelas. Demikian juga tangan yang bersambaran. Setiap kali Ratu Ayu berhasil memegang, tangannya kena pencet sebelum sempat mempergunakan. Sebaliknya, kalau Upasara bisa menguasai, Ratu Ayu juga bisa mengambil alih.

Bukan Perpisahan Asmara
KEJADIAN yang berlangsung di tengah ruangan itu juga terlihat dari tempat Eyang Puspamurti. Hanya kali ini tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lebih banyak menghela napas dan berdecak. Sementara Ratu Ayu terus merebut, kakinya mulai menggasak Upasara. Setiap kali Upasara harus menghindari injakan dan terjangan.

Pemandangan yang aneh. Aneh dan menarik. Kedua orang itu berdiri tegak tanpa mengubah letak kaki, akan tetapi saling mengangkat kaki, menekuk, merendah, dan di atasnya Kangkam Galih masih naik-turun.

Nyai Demang menarik udara keras. Bersama dengan itu, tangan Upasara yang menggenggam pedang menyentil ke atas, sementara tubuhnya yang tetap tegak tak bergerak. Kedua tangannya mendorong tubuh Ratu Ayu. Seperti dorongan lembut, akan tetapi cukup membuat Ratu Ayu tertekuk, karena kakinya saling mengait sendiri. Tubuhnya terbanting ke lantai.

Andai terus jatuh. Karena ada bayangan yang menyangga dan menggandeng untuk bangkit kembali. Nyai Demang menduga bahwa Upasara yang melakukan. Nyatanya bukan. Upasara berada satu tindak lebih jauh. Memegang Kangkam Galih, dalam posisi seperti mengiris lantai. Yang berada di sebelah Ratu Ayu adalah Gemuka.

“Aku Gemuka.”

Tanpa terasa Nyai Demang menggigil. Cahaya pagi telah mulai menerangi sehingga sosok gagah dan tegap yang terbalut jubah bulu gedombrongan warna putih terlihat jelas. Banyak alasan yang membuat Nyai Demang menggigil. Pertama, kekaguman pada apa yang diperlihatkan Gemuka. Dengan tubuh yang tegap, gede, dan berjubah longgar, bisa melesat cepat dan tepat dari suatu tempat yang tak diketahui di mana tadinya berada. Itu saja sudah membuatnya kagum. Berarti nama besar yang membakar, yang selama ini dikuatirkan Halayudha, tidak dilebihkan sedikit pun.

Kedua, yang membuat Nyai Demang menggigil adalah sikap Upasara Wulung. Kelihatan sangat dingin, membeku, tapi tidak mencerminkan permusuhan atau meninggalkan bekas-bekas tertentu. Baik saat berebutan pedang maupun saat mendorong Ratu Ayu. Rasanya Upasara yang dikenalnya selama ini tak mungkin bersikap seperti itu!

Nyai Demang merasa dirinya sangat mengenal Upasara. Bahkan sejak Upasara masih belia dan pertama kali mengenal asmara. Sampai perkembangannya yang kemudian mengenal dan jatuh asmara kepada Gayatri, pertautannya dengan Gendhuk Tri, dan pernikahannya dengan Ratu Ayu.

Meskipun jelas menunjukkan perbedaan, tapi tidak seperti sekarang ini. Bisa dingin tanpa emosi. Tanpa dendam, tanpa sayang, tanpa bekas, seolah menghadapi seseorang yang sama sekali tak mempunyai kesan apa-apa dalam hidupnya. Padahal berhubungan dengan Ratu Ayu. Ratu Ayu dari Turkana, di mana Upasara diangkat sebagai Raja Turkana!

Bahwa pasangan suami-istri bisa menunjukkan hubungan yang beku, Nyai Demang cukup kenyang mengenali. Atau bahkan saat-saat terakhir Gendhuk Tri masih menunjukkan emosi tinggi dari rasa ingin tahunya mengenai Upasara, masih bisa dibenarkan. Tetapi sekarang ini! Benarkah ini Upasara yang dikenalnya?

Upasara yang lingsem, malu hati, kalau disinggung mengenai Permaisuri Rajapatni, Upasara yang merah mukanya kalau diajak berbicara mengenai wanita, Upasara yang menurut Gendhuk Tri menunjukkan kenakalan kala di pulau terasing? Setajam dan setipis apa pun jalan pikiran Nyai Demang, tak mampu menerobos kejadian yang dialami Upasara. Bahkan memperkirakan pun rasanya sadar akan kemungkinan keliru.

Akan tetapi Upasara sadar sepenuhnya. Sejak mengalami keguncangan batin setelah pertemuannya dengan Permaisuri Tribhuana, Upasara justru seperti menemukan jalan yang lapang. Apa yang memberati hatinya tak terasa lagi sebagai beban. Itu terjadi saat Upasara mencoba memusatkan pikiran dan mengerahkan sukma sejati. Ada semacam pembicaraan yang rasanya bisa dilakukan dengan Permaisuri Rajapatni secara langsung.

“Kakangmas, saya tahu Kakangmas akan datang.”

“Ya, Yayimas Permaisuri.”

“Selama ini saya memberati Kakangmas.”

“Saya juga begitu.”

“Akhirnya kita mengerti.”

“Saling mengerti, Yayimas.”

“Ini bukan perpisahan asmara, Kakangmas.”

“Ini pertemuan, Yayimas.”

“Pertemuan sesungguhnya. Pertemuan sejati.”

“Saya minta pamit.”

“Tak ada pamit, Kakangmas.”

“Yayimas biar tenang.”

“Menjadi resi, bisa menjadi ksatria. Apa bedanya? Saya tidak pamit. Kita telah bersama, Kakangmas.”

“Ya, Yayimas. Saya selalu menganggap Yayimas lebih tahu.”

“Di gua saya bertapa, tapi juga mengembara bersama Kakangmas. Di luar Kakangmas mengembara, tapi juga bersama saya bersemadi.”

“Terima kasih, Yayimas.”

“Jangan ucapkan itu, Kakangmas.”

“Ya.”
“Ya…”
“Y…”
“Y…”
“Y…”
“Y…”
“…”
“…”
“…”
“…”
“.”
“”
“”

Upasara seperti mengalami kejernihan. Dan ketika mencoba melatih kembali kekuatan sukma sejati, tak ada lagi bayangan, tak ada lagi percakapan, tak ada lagi gua, tak ada lagi apa-apa. Tak ada lagi tanda. Itu yang terjadi ketika Upasara meninggalkan benteng Keraton bagian luar. Dan merasa sendiri menjadi sangat tenang ketika bertemu dengan Ratu Ayu yang menyembah kakinya, dan mengajaknya untuk berdiam di kediaman yang disediakan Raja.

Dengan sangat tenang Upasara mengikuti Ratu Ayu, dan mendengarkan kisah yang dituturkan seakan tanpa berhenti. Bahwa kini dirinya mulai berlatih keras dengan bantuan Kiai Sambartaka serta Gemuka yang akan mengadakan puncak pesta di Keraton.

“Raja Turkana sesembahanku. Apakah permaisurimu bicara terlalu banyak?”

“Katakan apa yang akan kamu katakan, Ratu.”

“Raja Turkana yang perkasa. Permaisurimu mengembara separuh jagat untuk menemukan Raja Turkana. Kita berdua dipertemukan dan dijodohkan oleh Dewa. Apakah Raja Turkana menyesali?”

“Tak ada yang perlu disesali, Ratu Ayu.”

“Apakah Raja Turkana bersedia memenuhi undangan Raja Jayanegara?”

“Kita akan datang. Tidak untuk memenuhi undangan. Kita datang karena harus datang.”

“Raja Turkana…”

“Rasanya perlu saya jelaskan, Ratu Ayu. Saya bukan Raja Turkana. Selama ini saya telah mempermainkan perasaan saya sendiri. Dan itu tidak baik.” Upasara Wulung berdiri. Tidak menghela napas. Tidak diberati perasaan tertentu. “Ratu Ayu…”

“Jangan sebut namaku, kalau kamu mengemohiku. Aku hargai keterusteranganmu, kejujuranmu yang dungu. Upasara, dengar baik-baik. Apakah selama ini aku pernah berbuat jahat padamu? Apakah aku memberati dan membebanimu? Apakah aku menuntut suatu perlakuan yang istimewa darimu? Tak pernah. Tak akan pernah. Apakah kewajibanmu sebagai Raja Turkana kamu penuhi? Sedikit pun tidak. Tapi aku tak menuntut. Tak mempertanyakan. Tak meminta. Apa saja bisa kamu lakukan. Aku tak pernah mengurangi, menghalangi. Kuabdikan diriku untukmu. Tahukah kamu hal itu, Upasara?”

Paser Bumi
UPASARA mengubah kakinya. Sebelah kiri tetap tegak, sebelah kanan tertarik mundur. Tangan kanannya menggenggam Kangkam Galih. Rambutnya terurai, beriapan terkena siliran angin pagi yang lembut.

Gemuka mengangkangkan kakinya. Jubahnya berjumbai. “Raja Tanah Jawa. Pesta bisa dimulai sekarang. Saudara Muda Pangeran Sang Hiang, Putra Mahkota Keraton Tartar Penguasa Jagat, telah datang.” Gemuka membungkukkan tubuh.

Dari sisi timur, melayang sesosok tubuh yang perkasa. Wajahnya tidak terlihat karena memunggungi arah sinar. Rambut yang dikepang panjang bergoyang, mengilat, memes, lembut, lemas, dan tebal.

Gendhuk Tri memiringkan kepalanya. Benar. Yang muncul adalah Pangeran Hiang yang tampak kurus, dan lebih pucat daripada ketika bertemu dulu. Pangeran Hiang balas membungkukkan tubuh sambil merangkapkan tangan sejajar dengan kepala.

Nyai Demang berbisik perlahan ke arah Upasara dan Gendhuk Tri, menerjemahkan pembicaraan. “Mereka saling menanyakan kabar. Gemuka menanyakan bagaimana dengan Putri… entah siapa namanya. Yang dijawab dengan: meniti aliran bengawan. Gemuka mengatakan ini saat pesta puncak terjadi. Pangeran Hiang mengatakan bahwa di sini ada saudara angkatnya yang bernama Upasara Wulung dan Jagattri. Gemuka menjawab bahwa semua itu harus dihilangkan. Karena saat kemenangan sudah di depan mata, tak bisa diurungkan. ‘Ingat, Saudara Muda, kekeliruanmu, kekeliruan semua panglima kita karena soal seperti ini. Dan aku terbukti menang. Maka jangan pedulikan siapa pun, kecuali kemenangan yang akan kita bawa ke puncak takhta.’“

Gemuka melihat ke arah Nyai Demang. “Terima kasih, Saudara Muda tidak perlu kalimatmu. Bersiaplah, aku ingin segera meratakan tanah ini.”

Pangeran Hiang maju setindak, membungkuk ke arah Upasara dan Gendhuk Tri. “Maaf, Pangeran Upasara…”

Wajahnya berubah ketika melihat Gendhuk Tri. Ada desakan ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Putri Koreyea, tetapi impitan waktu amat mendesak. Mendesak karena Gemuka selama ini sudah membuktikan berhasil menguasai, dibandingkan dengan rombongan Pangeran Hiang yang gagal total.

Sementara itu tanpa diduga Mada meloncat dari dalam menuju ke bagian samping pendapa. Dengan bertolak pinggang, suaranya mengguntur keras sekali. “Para prajurit pengabdi setia Keraton. Semuanya, munduuur! Menjaga Raja!”

Jabung Krewes sama sekali tidak menyangka bahwa dalam situasi genting, Mada berani tampil ke depan. Untuk segera memutuskan apa yang dianggap menentukan. Nyatanya begitu. Dengan munculnya tokoh-tokoh sakti serta kemungkinan terjadi perang habis-habisan, yang paling pokok dilindungi adalah Raja dan Permaisuri Praba. Dengan memusatkan pertahanan di sekitar Raja, Mada juga mengurangi kemungkinan jatuhnya korban sia-sia.

Karena untuk sekadar mengeroyok Gemuka, Pangeran Hiang, Kiai Sambartaka, dan Ratu Ayu seperti menyediakan diri untuk ditebas. Dalam penilaian Jabung Krewes, apa yang dilakukan Mada bisa dilakukan siapa pun juga. Yang menonjol ialah bahwa Mada lebih dulu bertindak tanpa keraguan sedikit pun.

“Tanah Jawa, hari ini kami akan meratakan keangkuhanmu. Dengan pimpinan Putra Mahkota Keraton Tartar yang tak terkalahkan, dengan dukungan Keraton Turkana dan Hindia, terimalah kekalahanmu.”

Genggaman tangan Gemuka terbuka. Dari tangannya melesat beberapa senjata. Upasara, Gendhuk Tri, Ki Dalang Memeling, serta Halayudha hampir bersamaan melayang ke udara. Upasara memutar Kangkam Galih untuk menyampok. Akan tetapi senjata yang berupa panah kecil bersayap itu sebagian melaju kencang, sebagian balik ke tangan Gemuka begitu tersentuh senjata lawan. Balik ke tangan Gemuka dan dibidikkan kembali. Memutar.

Para prajurit kawal yang mengangkat perisai dan berusaha melindungi Raja agak sia-sia. Karena sebatang paser melesat, dan amblas ke dalam kepala gajah yang ditunggangi Raja. Tanpa ampun lagi gajah melorot jatuh dan Raja terlempar dari punggung. Dengan menggerakkan tubuh, Raja Jayanegara berusaha melayang turun dengan selamat.

Saat itu Kiai Sambartaka menggertak keras dan dari tangannya kembali muncul puluhan ular berbisa. Gendhuk Tri telah melihat sendiri betapa perahu Siung Naga Bermahkota memiliki peralatan dan perlengkapan yang serba menakjubkan. Makanya segera menyadari bahwa rangkaian serangan Gemuka bisa susul-menyusul.

“Itu yang disebut Paser Bumi,” sentak Nyai Demang sambil menggertak maju dan memayungi dirinya dengan selendang.

Pertarungan yang tidak seimbang. Hanya Gemuka yang turun tangan, semua lawan dibuat kelabakan dengan serangan senjata rahasia Paser Bumi! Karena semua sibuk menjaga diri. Dan kalaupun bisa menyampok, paser itu akan kembali ke tangan Gemuka untuk disambitkan kembali. Sayap di sisi paser itu yang menyebabkannya bisa berbelok.

Tak bisa diremehkan. Karena gajah yang begitu besar dan perkasa langsung menekuk lututnya, ambruk. Dan kemudian mengamuk, menabrak kiri-kanan. Termasuk menginjak para prajurit, menabrak gajah yang ditunggangi Permaisuri Praba. Yang tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah tanpa bisa bangun lagi. Tepat di antara kedua bola matanya tertancap paser. Korban utama telah jatuh!

Eyang Puspamurti mengeluarkan pekik geram. Dengan menggoyangkan tubuh, sasaran pertama adalah menyambar ular kobra Kiai Sambartaka dan dibalikkan arahnya kepada Gemuka. Gemuka sendiri tampak tidak memedulikan serangan yang datang. Ia sedang melancarkan serangan beruntun dengan Paser Bumi yang menerjang ke segala penjuru. Seperti tidak teratur, tetapi tampak setiap kali ada yang terkena, persis di antara dua biji mata.

Yang masih berdiri ragu hanya Pangeran Hiang. Karena Ratu Ayu pun telah meneriakkan kata-kata yang tak dimengerti telinga lain, dan langsung menerjang ke arah Raja. Ki Dalang Memeling segera mengejar. Adalah di luar dugaan bahwa Halayudha segera menerjang maju ke arah Gemuka. Dengan tangan kosong, Halayudha menerjang maju. Paser yang menuju ke arahnya tidak disampok, tidak ditangkis. Hanya diegoskan. Dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, sehingga seperti penari yang memamerkan kelenturan tubuh.

Gendhuk Tri menangkap apa yang dimaksudkan Halayudha. Dengan mempergunakan irama serbuan paser, Gendhuk Tri justru bisa bergerak lebih cepat mendekat. Pangeran Hiang yang masih berdiri ragu akhirnya terseret ke dalam pertarungan. Kedua tangannya mengeluarkan kipas di tangan kiri dan roda bergigi di tangan kanan. Dengan sekali sentak, roda bergigi menyambar siapa pun yang mendekat.

“Aku suka itu.” Suara Eyang Puspamurti tinggi melengking. Dengan jurus yang sama dan diulang, Eyang Puspamurti mencoba kipas Pangeran Hiang.

Kini seluruhnya terlibat dalam pertarungan. Upasara Wulung menggerung keras. Kangkam Galih kini berada di tangan kiri. Terentang lurus melebar. Wajahnya berubah seram. Tubuhnya bergetar dari ujung kaki hingga ujung rambut. Getarannya sedemikian kuat, sehingga lantai pendapa seperti ikut berderak. Semua prajurit seperti melihat pemandangan yang ganjil.

Upasara Wulung seperti masih berada di tempatnya, berdiri dan bergetar, tapi dari tubuhnya keluar Upasara lain yang menyerbu ke arah Gemuka. Satu lagi ke arah Kiai Sambartaka. Seakan ada tiga Upasara yang masing-masing bisa dilihat jelas.

“Sukma sejati. Mahamanusia…” Eyang Puspamurti mengikuti gerakan Upasara Wulung. Berdiri teguh dan menggerakkan tubuhnya.

Prajurit Melangkahi Titir
APA yang terjadi di bekas rumah tinggal Senopati Yuyu yang berubah menjadi ajang peperangan menyerap perhatian semua orang tanpa kecuali. Benar-benar suatu pertarungan yang terjadi secara serentak di berbagai tempat dengan berbagai musuh yang ilmunya sangat berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi menyimpan keganasan maut yang sama.

Meskipun demikian, Senopati Jabung Krewes menemukan sesuatu yang lain. Yang mungkin tidak dirasakan oleh senopati lainnya. Bahkan tidak disadari bahwa suatu kejadian sangat penting telah berlangsung. Dalam pandangan Jabung Krewes, sesuatu yang terjadi itu adalah apa yang dilakukan oleh Mada.

Sebagai prajurit, Mada bukanlah prajurit yang mempunyai derajat dan pangkat yang istimewa. Kalau ada yang membedakan dengan prajurit lainnya, karena ia ditugaskan dalam Keraton. Jabung Krewes-lah yang menariknya, mengangkat, dan memberi kedudukan. Akan tetapi tetap saja seorang prajurit, seperti Kwowogen dan Puspamurti.

Dalam tata krama keprajuritan, Mada, Kwowogen, Puspamurti, atau prajurit yang lainnya hanya mengenal satu kata, yaitu sendika dawuh, atau nun inggih, yang artinya adalah mengiya dan menjalankan tugas. Tidak ada kata tidak, tidak ada kesempatan mengutarakan pendapat. Juga kecil kemungkinannya melakukan tanya-jawab.

Tata krama dalam keprajuritan memang keras, atau bahkan sangat keras. Derajat dan pangkat sangat terasa sekali perbedaannya. Kalau ada atasan yang lebih tinggi, seorang prajurit hanya bisa menunduk. Satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya hanyalah: sendika dawuh.

Maka apa yang dilakukan Mada adalah luar biasa. Mada bukan senopati, bukan adipati, bukan pemimpin, bukan apa-apa. Tapi dengan berteriak keras, Mada mengambil peran kepemimpinan untuk memerintahkan prajurit lain, semuanya saja, menjaga Raja.

Ini berarti melangkahi tata aturan yang ada! Dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun, Mada hanya bisa menyampaikan pandangan kepada atasannya langsung. Dalam hal ini Senopati Jabung Krewes.

JILID 60BUKU PERTAMAJILID 62
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.