Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 60
Ki Dalang Memeling memejamkan matanya ketika wajahnya mendongak. Seperti menghadirkan kembali gambaran masa lalu. Dengan menyebut nama Keraton Singasari, siapa mereka bisa diketahui lebih mudah. Angon Kertawardhana yang berasal dari Cakradaran jelas sekali menunjukkan kedudukannya yang tinggi. Masih berasal dari trah Cakra yang perkasa, yang kini menguasai keraton petilasan Singasari. Berarti masih dekat dengan keluarga Sri Baginda Raja.
Sedangkan Pangeran Muda Wengker, yang disebut berasal dari Keraton Tua, tak bisa lain yang kini menguasai Daha. Kalau benar begitu, berarti masih keturunan leluhur yang sangat dekat pula hubungannya dengan Sri Baginda Raja. Tidak keliru kalau ketiganya bisa dipanggil dengan sebutan pangeran. Baik pangeran Anom, pangeran muda, ataupun pangeran timur. Akan tetapi tampaknya Angon Kertawardhana berusaha merendah dengan tidak menyebutkan diri sebagai pangeran. Malah lebih menekankan namanya pada angon, atau penggembala.
“Keraton tua, atau sangat tua, atau keraton rubuh, aku tak mau tahu. Akan tetapi kalian bertiga memang muda dan gagah, yang datang untuk memperlihatkan pengabdian kepada Raja. Baiklah, para pangeran kecil. Apakah kalian menghendaki Putri Tunggadewi? Kalau bisa membawa keluar, pastilah kalian telah membuat aku tak bisa bergerak lagi.”
Pangeran Muda Wengker mencabut dua kerisnya. “Kakang Pangeran, biarlah saya yang menjajal kehebatan Ratu Ayu.”
Ratu Ayu menggeleng. “Raja telah mengundang seluruh penggede bawahan yang diperintah. Masa hanya tiga orang yang masih bau kencur yang berani menampakkan diri. Aku masih menunggu kesempatan yang lain. Agar aku tidak membuang tenaga terlalu banyak.” Suara Ratu Ayu bagai teriakan yang menyengit.
Pangeran Muda Wengker memiringkan tubuhnya. Kedua ujung kakinya menahan tubuhnya yang meninggi. Dengan satu goyangan, tubuh itu berputar maju. Dua keris terhunus menusuk bersamaan. Bersamaan dengan itu Pangeran Anom melakukan gerakan sembahan dengan cepat, dan kedua telapak tangannya bergerak maju. Lebih tenang gerakannya, akan tetapi tenaga yang terlontar lebih berat dan mendesak.
Pada saat yang bersamaan Angon Kertawardhana malah meloncat maju. Seolah terbang ingin menerkam Ratu Ayu. Yang berdiri dengan tenang, dan hanya merendahkan tubuhnya, bertepatan dengan tangannya bergerak memutar. Pedang Galih mengeluarkan besetan angin tajam. Memotong ketiganya sekaligus. Dingin gerakannya, penuh dengan keyakinan diri.
Karena dengan merendahkan tubuh, arah tebasan bisa menyeluruh ke arah tiga penjuru. Benturan pertama adalah dengan kedua keris Pangeran Muda Wengker, yang tak menyangka bahwa ujung pedang lawan seperti bisa terentang memanjang. Kalau tidak buru-buru menarik diri, kedua tangannya bisa tertebas.
Pangeran Anom yang tampak lebih berpengalaman, bisa menahan diri untuk tidak menerjang sepenuhnya. Gebrakan majunya hanya untuk memecah perhatian lawan. Maka begitu Ratu Ayu memendekkan tubuh, Pangeran Anom cepat mengubah serangannya. Dengan gerakan tak terduga. Karena Pangeran Anom menjatuhkan tubuhnya, melongsot ke arah Ratu Ayu dengan wajah menghadap ke atas. Kedua kakinya langsung mendobrak ke arah kuda-kuda Ratu Ayu. Masuk ke celah kaki Ratu Ayu.
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. Gerakan menjatuhkan diri, melongsot, dan masuk ke dalam pertarungan, boleh dikatakan merupakan gerakan yang menjadi ciri utamanya. Dan Gendhuk Tri boleh dikatakan berhasil memainkan jurus berbahaya ini. Berbahaya, karena tak terduga. Berbahaya, karena membahayakan penyerangnya. Gerakan itu memang bersumber dari Kitab Air, yang menggunakan tenaga banyu mili, atau air mengalir. Gerakan air yang selalu menuju tempat yang lebih rendah. Tenaga meluncur ini, dengan menggunakan pernapasan ajaran dari Kitab Air, bisa berubah menjadi kekuatan yang berlipat.
Karena tidak sekadar melongsot, melainkan membiarkan tubuhnya tersedot tenaga kuda-kuda Ratu Ayu. Semakin kuat kuda-kuda Ratu Ayu semakin cepat gerakan Pangeran Anom. Gendhuk Tri boleh dikatakan bisa melakukan gerakan itu dalam tidurnya. Karena sudah mendarah daging dan menyatu. Maka sungguh di luar dugaannya Pangeran Anom akan memainkan jurus Banyu Mili. Persis seperti dirinya!
Apakah selama ini Pangeran Anom masih selalu mengingat dirinya, sehingga jurus yang dimainkan pun sama? Bersitan pikiran itu membuat Gendhuk Tri tidak tenang. Pertama, karena merasa kurang enak bahwa selama ini ternyata Pangeran Anom sangat memperhatikan dan menyayangi hingga sudut hatinya yang paling dalam.
Kedua, perasaan tidak tenang itu karena Pangeran Anom benar-benar masuk ke dalam api bahaya. Kalau tenaga dalamnya tak cukup kuat, akan mudah sekali Ratu Ayu mematahkan serangan dan balas menyerang. Dalam keadaan telentang, akan sulit Pangeran Anom berkelit dari injakan, tusukan pedang, atau pukulan. Atau ketiga serangan sekaligus.
Satu-satunya jalan hanyalah dengan terus meluncur, dan dengan tenaga punggung, menggeliat kekuatan untuk muncul di belakang tubuh Ratu Ayu. Akan tetapi kalau meneruskan jurus itu, berarti entakan untuk menegang dari dalam kaki tak perlu dikerahkan semua. Sebab memang paling sulit mengendalikan tenaga dalam dan memindahkan dari kekuatan di kedua kaki menjadi kekuatan punggung. Salah-salah gerakannya di bagian belakang tidak bisa gesit, tidak memakai kekuatan banyu muncrat saka leng, air muncrat dari liang sumber. Bukan muncratan tetapi hanya semburan.
Itu, sekali lagi, menempatkan Pangeran Anom dalam bahaya besar. Dengan siku atau tebasan pedang yang tangannya ditekuk, Pangeran Anom tak akan bisa menghindar. Gendhuk Tri benar-benar kuatir. Meskipun sebenarnya belum begitu gawat. Karena Ratu Ayu juga disibukkan dengan sergapan Angon Kertawardhana, yang menerkam sambil memutarkan tubuh.
Tidak langsung ke arah Ratu Ayu, melainkan berada di tengah antara tubuh Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi. Tujuannya memang menyelamatkan Putri Tunggadewi. Memisahkan dari ancaman. Jurus pertama yang indah, puji Nyai Demang dalam hati. Karena ketiganya seperti bisa membaca isi pikiran satu sama lain.
Mudgara Mudra
MESKIPUN memuji jurus pertama, Nyai Demang justru menjadi lebih kuatir. Bukan karena apa, melainkan karena Ratu Ayu bukan lawan sembarangan. Keunggulannya telah terbukti bahwa selama pengembaraannya tak ada yang bisa mengalahkan, kecuali Upasara Wulung. Apalagi sekarang ini. Sementara para pangeran Anom masih belum diketahui dengan pasti kekuatan yang sesungguhnya.
Nyai Demang melepaskan cekalan Ki Dalang Memeling. Menyiapkan diri untuk terjun ke gelanggang sewaktu-waktu. Kalaupun ini pancing jebakan yang dipasang Ratu Ayu, ia tak peduli lagi. Apalagi Kiai Sambartaka terlihat mengambil posisi siap untuk ikut terjun. Hanya Halayudha yang tampak berdiri tenang. Meskipun pikirannya menerabas kian-kemari. Membuat perhitungan mengenai jalannya pertarungan. Yang sedikit meleset dari perkiraannya.
Karena ternyata Angon Kertawardhana bisa menempatkan diri di antara Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi. Bahkan merangsek maju, karena Ratu Ayu bergeser mundur dari selangkangan kaki Pangeran Anom, yang serta-merta berdiri lurus dan menggempur. Gendhuk Tri mengeluarkan suara keras. Karena seperti bisa diduga, Ratu Ayu hanya minggir untuk balik lagi. Dengan loncatan jong. Meloncati tubuh Pangeran Muda! Pedangnya keras menebas ke bawah. Benar-benar bahaya.
Pangeran Anom membuang tubuhnya ke arah samping, dengan gerakan Mbrebes Mili, atau gerakan seperti jatuhnya air mata. Kangkam hitam tipis itu mengiris udara tak ada sejengkal jaraknya dari tubuh Pangeran Anom. Dari bagian kepala hingga ke kaki. Luar biasa. Usaha Pangeran Muda untuk menahan hanya menghasilkan dua kutungan keris yang berdenting di lantai. Dua keris pusaka andalannya tertebas, seolah pelepah pisang.
Galih Kangkam memang bukan hanya pedang tajam semata di tangan Ratu Ayu. Selama ini boleh dikatakan jarang dipergunakan. Upasara Wulung sendiri, meskipun pernah memainkan satu-dua kali dalam pertempuran, tak terlalu mengenal kekuatan utamanya. Seperti juga yang lain. Yang sama-sama dimaklumi hanyalah bahwa pedang yang tipis panjang itu pastilah bukan pusaka yang biasa, karena selama ini tersimpan dalam tongkat galih asam, tanpa diketahui Galih Kaliki yang mempergunakannya.
Meskipun Pangeran Anom selamat, akan tetapi begitu masuk jurus kelima, ketiganya benar-benar tertindih berat. Pangeran Muda tak bisa merangsek maju. Malah beberapa kali harus membuang tubuhnya secara tak teratur langkahnya. Pangeran Anom bisa menyusup maju, akan tetapi juga tak berhasil mengeluarkan pukulan yang mematikan. Seperti kesiuran angin cepat dan makin menerbitkan irisan tajam. Angon Kertawardhana juga tak bisa berbuat banyak setelah bisa menepikan Putri Tunggadewi. Dengan kata lain, kekalahan mereka hanya tinggal waktu saja. Dan itu tak lama.
Nyai Demang melirik Gendhuk Tri. Gendhuk Tri melirik Nyai Demang. Terlambat. Karena yang lebih dulu meloncat ke tengah pendapa justru Ki Dalang Memeling. Yang menggertak maju ketika pedang Galih memperdengarkan suara yang menyayat. Karena berhasil menebas rambut Pangeran Anom dan Pangeran Muda sekaligus. Hingga gelungannya terpotong! Mengenaskan. Karena satu atau setengah jari lebih dalam berarti kulit kepala atau malah batok kepala.
Ilmu Ratu Ayu memang ganas, akan tetapi sekali ini lebih dari itu. Tak memedulikan lawan sama sekali. Tak memperhitungkan lawan yang menggunakan senjata tak seimbang. Tak memperhitungkan bahwa lawannya masih hijau dalam pengalaman. Justru sebaliknya, Ratu Ayu seakan memanfaatkan keunggulannya.
“Aku ingin tahu, apakah pedang ini bisa menguliti kalian sehingga Ki Dalang bisa memainkan wayang yang baru.”
Ratu Ayu memang memperlihatkan keunggulannya. Ketika berhasil menebas gelung, tidak segera melanjutkan dengan serangan berikutnya. Malah menarik diri, menunggu sampai Ki Dalang hinggap dengan selamat.
“Kamu masih mengenaliku?”
“Tidak, kalau kulitmu terkelupas. Sudah kukatakan sejak semula, siapa yang ingin sekalian maju, saya masih bersedia menunggu.”
Ki Dalang Memeling mengeluarkan palu dari buntalan kain di perutnya. Bentuknya mirip cempala, ketokan yang biasa dimainkan dalang dengan menjapit di kaki untuk dipukulkan ke kotak wayang. Akan tetapi jelas sekali tidak terbuat dari kayu, karena tampak berat. Dan bukan cempala, karena ada pegangan di bawah dan ada bagian yang berat di atas. Ki Dalang Memeling menggenggam dengan kedua tangannya. Palu di tangannya bergetar, dan bergoyang makin keras, sebelum naik ke hidung, terdiam beberapa saat, dan turun perlahan, diiringi desisan.
“Mudra… Mudra…”
Pangeran Anom mengikuti dengan menurunkan kedua tangan, lalu disusul dengan desisan lirih. “Bumispara Mudra…” Telapak tangannya terus menurun menyentuh lantai.
Begitu Ratu Ayu mencoba menyabet, Ki Dalang Memeling menangkis, dan Pangeran Anom yang lebih dulu bisa menyerang dengan tendangan kaki. Keras, kuat, terarah. Karena tubuh Pangeran Anom seolah bertumpu pada tangan. Serentak dengan itu, Pangeran Muda melakukan gerakan yang sama, dan Angon Kertawardhana pun melakukan hal yang sama dengan cepat, lalu disusul dengan gerakan tangan ke arah depan, seolah sedang memberikan sesuatu, memberi amalan kepada Ratu Ayu.
Tepat, desis Halayudha dalam hati. Terdengar suara kontrangan keras yang memekakkan telinga ketika Kangkam Galih seperti beradu dengan palu Ki Dalang yang bergerak cepat, yang sendal pancing. Pujian Halayudha sebenarnya tertuju kepada Ki Dalang. Yang dengan cepat bisa membaca jurus-jurus andalan Ratu Ayu. Serangan Ki Dalang adalah menggabungkan jurus-jurus yang ada dalam ajaran Sembilan Jalan Buddha, gerakan tangannya bisa disebutkan mudra. Digabungkan dengan senjata andalannya mudgara atau palu, sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu.
Pedang tipisnya dilabrak dengan palu berat dan tebal yang memakai tenaga sendal pancing, begitu tersentuh pedang lawan ditarik kembali secepatnya. Secara dasar, Ki Dalang bisa membaca dan menemukan cara mengatasi jurus Ratu Ayu. Seperti diketahui, meskipun ilmu silat Ratu Ayu boleh dikatakan ruwet dan tak terpahami, apalagi gerakannya yang kaku, akan tetapi dasarnya tetap ajaran Jalan Buddha.
Yang pada Ratu Ayu disesuaikan menjadi cara bergerak arca Buddha, Tathagata Pratiwimba, gerakan kaku dan terpatah, namun sangat bertenaga. Inti dalamnya berpusat pada pengerahan tenaga Tathagati, atau Buddha Wanita, yang dianggap sesat. Ki Dalang Memeling bisa saja tidak mengetahui nama jurus yang dimainkan Ratu Ayu, akan tetapi dalam pandangan Halayudha bisa menangkap sikap dasar gerakan.
Itu sebabnya menjawab dengan mudra, gerakan tangan, atau bahkan jari dalam bersemadi sebagaimana ajaran Jalan Buddha. Ini yang juga terbaca oleh Pangeran Anom yang meneruskan dengan Bumispara Mudra, atau Gerakan Tangan Menyentuh Bumi. Di mana kekuatan kaki dipakai untuk menyerang bagian yang kosong, bagian tubuh yang ditinggalkan pedang.
Lebih hebat lagi, Angon Kertawardhana menyambung dengan Wara Mudra, atau Gerakan Tangan yang Melambangkan Pemberian Amal. Yang dalam hal ini berwujud tenaga dalam mendesak, mengimpit, meskipun tidak memilih tempat yang rawan. Inilah bedanya dengan gerakan-gerakan yang dilakukan Ratu Ayu. Pada Ratu Ayu, gerakan yang sama bisa tertuju ke arah bagian lawan yang bisa langsung mematikan atau membuat cacat. Bukan gerakan untuk mengamankan diri, sebagaimana diyakini ketika pertama kali diciptakan.
Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya pembedaan yang tajam antara aliran sesat dan aliran yang murni. Karena inti yang sesungguh-sungguhnya bukan hanya perbedaan apakah tendangan dan pukulan mengarah ke ulu hati atau kaki, melainkan berasal dari niatan bertarung. Untuk keselamatan diri, atau untuk menghancurkan lawan. Halayudha bisa memuji tinggi, karena Ki Dalang menguasai gerakan tangan, mudra, yang lebih murni.
Sehingga rangkaian yang lain, Abhaya Mudra atau Memenangkan Diri dengan Bertahan, Dhyana Mudra atau Gerakan Tangan untuk Mengumpulkan dan Mengerahkan Tenaga, ataupun serangan Dharmacakra Mudra yang memutar tenaga dalam lawan, memindahkan tenaga menyerang lawan menjadi tenaga bertahan, seperti halnya menggerakkan roda. Yang atas menjadi bawah, dan sebaliknya. Ataupun serangan Witarka Mudra, yang memecah serangan lawan menjadi tidak berarti. Rangkaian yang sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu. Untuk meredam habis kehebatan Ratu Turkana!
Siapa Melawan Siapa
PUJIAN yang tepat untuk strategi yang tepat. Selama ini terpateri dalam benak para pendekar, bahwa Ratu Ayu mempunyai simpanan ilmu silat yang sulit dikalahkan. Pemunculan pertama yang menggetarkan di pasewakan Keraton, ataupun jauh-jauh hari dengan para prajuritnya, menempatkannya pada posisi teratas.
Akan tetapi pada pemunculan kali ini, bisa menemukan lawan yang kuat. Justru dari angkatan muda yang boleh dikata belum pernah terdengar namanya. Atau dari seorang dalang yang tampaknya biasa-biasa. Meskipun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Ki Dalang Memeling sesungguhnya bukan tokoh yang biasa-biasa. Ditempa dengan pengalaman hidup yang kuat dan dahsyat, dilandasi kemauan tinggi untuk selalu melatih ilmu silatnya. Ditambah lagi, sedikit-banyak Ki Dalang Memeling mengenali pola permainan Ratu Ayu. Sehingga bisa langsung menggebrak.
Ini yang membedakan siapa lebih unggul dari siapa. Karena dalam pertarungan, bukan hanya pameran keunggulan atau penguasaan jurus saja. Melainkan juga memainkan jurus yang mana dalam menghadapi jurus apa.
Kekuatan utama Ki Dalang bukan hanya karena memainkan gerakan tangan dari Jalan Buddha. Melainkan juga dari senjata andalannya yang berupa mudgara. Senjata berbentuk palu yang tumpul dan berat itu sebenarnya tak seimbang dengan pedang tipis panjang yang tajam. Dari segi permainan, pedang lebih luwes untuk dipakai menyerang.
Sebaliknya mudgara tampak memberatkan untuk bertahan, dan menguras tenaga terlalu banyak kalau dipakai menyerang. Namun dengan memakai kekuatan tenaga sendal pancing, keadaan menjadi imbang. Setiap kali menempel, menyentuh, serta-merta ditarik kembali untuk diteruskan dengan gendaman yang berbeda.
Untuk ini, Halayudha juga menilai keunggulan Ki Dalang. Pengerahan tenaga sendal pancing, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Prinsip dasar pengerahan tenaga sendal pancing boleh dikatakan dipakai semua pesilat. Bahwa dalam memukul lawan, tangan yang menyentuh secepat mungkin ditarik kembali. Karena dengan demikian tenaga membalik tidak akan mengenai diri di penyerang.
Yang dipujikan adalah Ki Dalang menggunakan taktik itu untuk menghadapi Ratu Ayu, yang memang mengandalkan gerakan kaku dan terpatah-patah. Enam jurus berikutnya, Ratu Ayu hanya bisa bertahan, tanpa bisa mendekat ke arah Putri Tunggadewi yang kini sepenuhnya berada dalam perlindungan Angon Kertawardhana.
“Menjajal pesta puncak yang akan datang, saya jadi ingin meramaikan keroyokan ini.”
Kiai Sambartaka mengatakan dirinya siap terjun ke medan pertarungan. Hanya karena kedudukannya sebagai tokoh kelas tinggi yang membuatnya perlu memberitahukan, dan tidak langsung terjun dalam keroyokan. Bisa dipastikan jika Kiai Sambartaka terjun, akan mengundang lawan yang terus memuncak. Ini bisa diartikan bahwa pesta sudah dimulai.
Yang masih mengganjal dalam benak Halayudha ialah, siapa sebenarnya yang tengah bertarung sekarang ini dan melawan kekuatan yang mana? Dengan mudah terbaca bahwa Ratu Ayu berada di pihak Kiai Sambartaka. Dua-duanya tokoh dari mancanegara. Akan tetapi siapa yang berdiri dibelakangnya sekarang ini? Benarkah Raja merestui gebrakan mereka? Itu dari sisi Ratu Ayu.
Sementara dari sisi para pangeran muda juga masih mengandung teka-teki. Siapa yang akan membela mereka? Kalau dipertimbangkan secara masak-masak, terjunnya para pangeran muda yang disusul Ki Dalang Memeling lebih disebabkan karena upaya membebaskan Putri Tunggadewi. Bukan karena menghantam suatu gerakan atau kekuatan yang mencoba kraman.
Ini berbeda dari apa yang dilakukan Bango Tontong. Senopati yang dipercaya ini begitu muncul sudah membawa umbul-umbul dan bahkan cincin Raja. Yang menandainya sebagai utusan resmi yang mempunyai kekuasaan tertentu dan istimewa. Berarti memang ingin melindas habis para Senopati Utama. Dan kalau melihat Ratu Ayu segera muncul menghabisinya, bisa dikatakan Bango Tontong berpihak kepada mereka. Apa itu juga berarti kelompok Ratu Ayu berada dalam restu Raja?
Begitu banyak pertanyaan yang masih menggantung, terutama karena selama ini Raja sendiri seakan menunggu kekuatan mana yang lebih unggul. Bagi Halayudha, sisa pertanyaan akan menjadi jelas jika segera mengetahui kemunculan Upasara Wulung. Jika Upasara, seperti juga Ratu Ayu, ditambah dengan Gemuka, kekuatan mereka tak akan mungkin diimbangi. Halayudha tidak yakin apakah dengan mengerahkan para prajurit sekarang ini bisa menahan pembantaian habis-habisan.
“Untuk apa membawa putri yang penyakitnya tak bisa disembuhkan?”
Kembali ucapan Kiai Sambartaka bagai sambaran kilat yang menyadarkan semua orang. Nyai Demang yang melihat Putri Tunggadewi sejak pertama dan menemukan kelainan, makin yakin bahwa Putri Tunggadewi berada dalam pengaruh kekuatan lain. Yang kalau ucapan Kiai Sambartaka benar, Kiai Sambartaka pun tak mengetahui sebabnya. Pikiran Nyai Demang sama dengan jalan pikiran Halayudha. Yang segera menyembah hormat dan membawa Putri Tunggadewi ke pinggir. Yang dibawa hanya mengikuti, tanpa memberikan reaksi.
Dengan gerakan cepat, Halayudha menyentuh beberapa nadi inti di tubuh Putri Tunggadewi. Untuk memastikan apakah ada nadi atau jalan darah yang tertotok. Hasilnya membuat Halayudha menggigit bibirnya lebih keras. Tak ada satu pun nadi Putri Tunggadewi yang terganggu. Juga ketika berusaha membaui pernapasan, Halayudha tak menemukan adanya pengaruh jamu dan jampi tertentu. Udara yang diembuskan dari pernapasan Putri Tunggadewi wajar.
Halayudha menggerakkan tangannya secara terbuka. Menggetar. Dan meraba seluruh tubuh Putri Tunggadewi dalam jarak kurang dari sekilan, sejengkal, satu rentangan jari tangan. Mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Tiga kali. Itulah cara untuk mengetahui seseorang yang terkena aji sirep, ajian untuk mempengaruhi seseorang sehingga tidak sadar. Hasilnya sama, tak ada pengaruh dari luar. Setidaknya yang bisa terbaca oleh Halayudha.
Hal ini bisa disebut ganjil tapi juga tidak. Disebut ganjil, karena jelas kondisi Putri Tunggadewi tidak dalam keadaan wajar. Halayudha menguasai ilmu soal nadi dan mengetahui banyak mengenai jampi-jampi dari aliran sesat. Sehingga hanya kekuatan yang luar biasa yang mampu lolos dari pengawasan Halayudha. Disebut tidak ganjil, karena memang itulah kenyataannya. Putri Tunggadewi seperti tidak menderita penyakit apa-apa, kecuali ada yang membeku di pulung ati, di dapur susu, yang letaknya di antara lekukan buah dada.
Di bagian pulung ati getaran tangan Halayudha seperti membentur tenaga yang beku. Seperti diketahui, pulung ati dalam dunia persilatan mempunyai arti yang penting, walau tidak berhubungan langsung dengan pengerahan tenaga dalam, yang memang berawal dari bagian yang lebih bawah, di sekitar pusar. Pulung bisa bermakna ganda. Di satu pihak berarti bintang bahagia, kemuliaan karena Dewa. Tapi juga bisa berarti kematian, karena “diambil” Dewa.
Seorang jago silat tidak terlalu mengistimewakan wilayah pulung ati. Kalaupun perlu dilindungi, seperti bagian tubuh lain yang juga perlu dilindungi. Akan tetapi pada beberapa orang biasa, pulung ati diartikan sebagai pusat perasaan, pusat rasa yang mempengaruhi pikiran dan emosinya. Mengingat Putri Tunggadewi bukan jago silat dan tidak berlatih secara khusus, agaknya kemungkinan yang terakhir yang lebih tepat. Hanya saja, Halayudha tak bisa menentukan apa penyebabnya dan bagaimana penyembuhannya.
Kiai Sambartaka sejak tadi mengikuti gerakan tangan Halayudha dan berusaha memperhatikan dengan sangat cermat. Apalagi ketika getaran tangan Halayudha tertahan lebih lama di tengah dada! Rasa ingin tahunya sedemikian besar, karenanya sedikit tertahan untuk maju ke medan pertarungan. Sesaat saja. Akan tetapi yang sesaat itu berbicara banyak. Karena Kiai Sambartaka, yang merasa dirinya lebih menguasai aji sirep untuk mempengaruhi orang atau binatang, seperti menemukan jalan buntu.
Ini baru diketahui kemudian ketika dirinya sudah bergabung dengan Gemuka, yang kemudian menculik kedua putri. Secara samar, Gemuka mengemukakan kepadanya, bahwa Putri Tunggadewi sedang menderita gering yang tak diketahui. Ini menarik bagi Kiai Sambartaka, karena selama ini Gemuka selalu membuktikan diri berhasil menjawab segala peristiwa. Ternyata Gemuka pun tidak berhasil.
Blong, Sukma Tanpa Theg
GEMUKA saat itu hanya memberi pendapat yang samar. “Lihat dia, Kiai. Itu mungkin kekuatan sukma sejati yang terbalik. Yaitu bukan menemukan theg, melainkan menjadi blong”
Kiai Sambartaka merasa tertantang untuk memperlihatkan keunggulannya. Kalau sekali ini bisa mengalahkan Gemuka, bukan tidak mungkin dirinya bisa menemukan sela-sela yang lain. Dengan menyusup, Kiai Sambartaka masuk ke tempat penahanan kedua putri. Dan menemukan bahwa Putri Tunggadewi maupun Rajadewi seperti tidak menderita penyakit tertentu. Juga ketika Kiai Sambartaka mengerahkan segenap kekuatan, semua ilmu yang dimiliki. Tak ada yang aneh. Tak ada yang ganjil.
Selain tindakannya. Putri Tunggadewi, lebih dari Putri Rajadewi, seolah tidak menginjak tanah kenyataan. Dituntun ke kiri, bergerak ke kiri, dituntun ke kanan, bergerak ke kanan. Disuruh mengambil sirih, akan bergerak dengan sepenuh hati. Kiai Sambartaka benar-benar tak mampu menembus. Ini pula yang menyebabkan ketika bertemu kembali dengan Gemuka di kamar penyimpanan senjata pusaka, ia menerima kalimat Gemuka dengan muka panas.
“Aku tahu niatmu menunjukkan kelebihan ilmu padaku gagal. Kiai, kamu pun tak mengerti sebabnya?”
“Guncangan kejiwaan. Roh batin Putri Tunggadewi terguncang hebat. Sedemikian hebatnya sehingga kesadarannya tak ada lagi. Sehingga blong-bolong, bleng-kosong. Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Putri Tunggadewi harus melayani Raja Jayanegara yang masih saudara satu ayah.”
“Tidak. Di kaputren sebelum aku ambil, keadaannya sudah seperti itu. Kalau kemudian melayani Raja atau tidak, sama saja. Tanpa perasaan, tanpa kesadaran sama sekali. Itulah blong.”
“Gemuka, kenapa kamu mengaitkan itu dengan sukma sejati?”
“Karena aku lebih hebat dari kamu. Semua kekuatan yang tak dikenali, kita sebut saja kekuatan sukma sejati. Kekuatan yang bukan berawal dari tenaga dalam maupun tenaga luar. Aku lebih tahu dari kamu, karena aku mengetahui sumber utama kekuatan sukma sejati berawal dari theg. Adalah bukan tidak mungkin Putri Tunggadewi menempuh cara yang berbalik dari theg, menjadikan dirinya blong. Dengan disadari atau tidak.”
“Terlalu gampang mengandaikan seperti itu.”
“Kamu tak mampu mengandaikan begitu.”
“Gemuka…”
“Kiai! Kamu yang mendengarkan aku. Karena aku lebih pantas didengarkan. Kamu menerima, dan akan bertambah hebat, walau tetap tak akan bisa mengimbangi aku. Selama ini yang kutahu melatih tenaga sukma sejati adalah Upasara Wulung dan Mahapatih. Yang lainnya tak cukup berarti. Maka jalan terbaik, kirimkan Tunggadewi ke Upasara agar bisa diluruskan. Kalau benar begitu, kita sudah menguasai sukma sejati. Aku, bukan kita. Aku mengetahui kekuatan theg dan blong.”
Itulah yang kemudian terjadi. Putri Tunggadewi muncul di depan khalayak umum. Hanya kemudian, bukan jawaban dari Upasara yang terjadi, melainkan lebih banyak yang menggunakan Putri Tunggadewi untuk kepentingan masing-masing. Termasuk Halayudha, dan kemudian Nyai Demang, atau juga Ratu Ayu. Yang berloncatan dalam benak Kiai Sambartaka adalah pertanyaan, apa yang menyebabkan Putri Tunggadewi berada dalam keadaan blong, dan bagaimana membongkar pertanyaan serta sekaligus jawaban di balik semua itu.
Selalu menemui jalan buntu. Makanya perhatiannya terserap penuh saat Halayudha berusaha menyembuhkan. Justru karena Halayudha juga menemukan ada sesuatu yang tak beres di pulung ati. Halayudha mengusap wajahnya, menghela napas.
“Tuan Putri, silakan beristirahat sejenak…”
Putri Tunggadewi mengikuti arah yang ditunjuk Halayudha. Menuju sisi luar pendapa. Sehingga lebih mudah menyelamatkan diri jika suasana kemelut merambat. Apalagi kini para prajurit kawal pribadi telah mengelilingi. Kalau saja Putri Tunggadewi mau meninggalkan pendapa. Tapi tidak. Putri Tunggadewi duduk bersimpuh di pinggir pendapa, seolah sedang menghadap Raja.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung. Ketika para pangeran muda, bersama Ki Dalang Memeling, masih terus berkutat dengan Ratu Ayu. Meskipun beberapa kali merebut keunggulan, Ki Dalang tak bisa memaksakan kemenangan. Karena Ratu Ayu masih tetap ganas, dan bisa membalas dengan beberapa serangan yang berbahaya. Terutama ketika Ratu Ayu mulai mencecar Pangeran Muda Wengker, yang terasa sekali bernafsu segera menyelesaikan pertarungan.
Justru karena itu, gerakan kaki dan loncatannya beberapa kali tersikat oleh Ratu Ayu. Langkah jong yang perkasa. Yang meloncati satu orang untuk menebas yang lain. Ditambah dengan pedang panjang yang membuat lawan tak berani merangsek, ruangan pendapa seakan menjadi pameran kekuatan Ratu Ayu.
“Awas!” Teriakan Ki Dalang Memeling terlambat.
Tubuh Ratu Ayu telah melesat. Ke arah Putri Tunggadewi. Pangeran Muda yang berusaha menerjang maju malah kena sodokan siku yang membuat tubuhnya terbanting ke kiri. Sementara Ki Dalang Memeling tertegun. Karena loncatan Ratu Ayu sangat cepat. Satu-satunya jalan ialah melemparkan palu. Akan tetapi bahayanya terlalu besar, karena kalau Ratu Ayu menyampok keras, bisa-bisa arahnya melenceng ke Putri Tunggadewi.
Yang justru bergerak cepat adalah Angon Kertawardhana. Tubuhnya melesat ke tengah, menghadang langsung. Sabetan pedang dielakkan pendek, kedua tangannya terulur maju meremas bagian dada. Tak ada lagi pilihan lain! Tak ada kesempatan menghindari sabetan dan memilih serangan yang lebih sopan. Terdengar suara tarikan napas pendek, dan darah muncrat ke lantai. Pundak Angon Kertawardhana tertoreh. Walaupun hanya tersentuh sabetan angin, akan tetapi menimbulkan luka cukup dalam.
Ratu Ayu menggerakkan pergelangan tangannya. Pedang panjangnya yang tadinya menuding langit sehabis menebas, kembali membeset dengan tusukan lurus. Angon Kertawardhana yang masih berdiri dengan sempoyongan melihat datangnya bahaya tanpa menyingkir. Karena melindungi Putri Tunggadewi. Akan tetapi Pangeran Anom tidak membiarkan begitu saja. Ketika tadi Ratu Ayu meloncat, tubuhnya ikut bergerak. Hanya saja karena kekuatan tenaga Banyu Mili tidak bisa sepenuhnya mengikuti daya tarik Ratu Ayu, ia tak bisa bergerak cepat. Sehingga Angon terlukai.
Akan tetapi ketika pedang itu menuding langit, tubuh Pangeran Anom sudah berada di belakang Ratu Ayu. Yang langsung menggulung. Benar-benar menggulung, karena kedua tangan Pangeran Anom menekuk leher Ratu Ayu, menekan ke bawah sekuat tenaga, untuk diputar dengan jurus Dharmacakra Mudra atau Gerakan Memutar Roda Dharma. Hebat akibatnya. Kepala Ratu Ayu tertekan ke bawah, tubuhnya melingkar, dan kemudian terbesot seolah kena isapan air yang melontarkannya ke luar pendapa!
Kiai Sambartaka melayang, menangkap tubuh Ratu Ayu, dan berputar di tengah udara untuk akhirnya berdiri di tengah pendapa. Berdampingan. Selain Gendhuk Tri, Halayudha juga mengetahui bagaimana Pangeran Anom dalam satu gerakan bisa menekuk tubuh Ratu. Kekuatan utama Kitab Air adalah menggunakan sifat-sifat air. Banyu Mili atau Air Mengalir memang bukan kekuatan yang mengandalkan kecepatan, akan tetapi terutama sekali datangnya tenaga yang tak diketahui oleh lawan. Seperti bergeraknya air merembes. Tanpa suara.
Itu pula sebabnya Ratu Ayu tak menduga ada serangan dari belakang. Karena tak mendengar suara angin. Tahu-tahu kepalanya ditekuk dengan tekanan yang tinggi. Sebelum tenaga dalam terkerahkan untuk menangkis dengan sendirinya, kuda-kudanya telah goyah. Tanpa bisa dikuasai lagi tubuhnya terlempar. Dan bisa berbahaya, karena Ratu Ayu masih menggenggam Galih Kangkam. Yang kalau tidak dikuasai bisa menusuk tubuhnya. Tapi Kiai Sambartaka memperlihatkan kelas yang sesungguhnya.
Pesta dan Perang
MELAYANG, sambil menangkap orang yang terlempar, bukan gerakan yang mengagumkan. Akan tetapi Kiai Sambartaka memperlihatkan secara luar biasa. Menangkap tubuh Ratu Ayu yang menggenggam pedang, lalu berputar di tengah udara tanpa menjejak tanah lebih dulu atau memakai pijakan lain, dan kemudian sekali bisa hinggap dengan gagah. Siap menghadapi serangan. Siap menyerang. Karena dengan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, puluhan ular kobra merayap keluar dari pakaian yang dikenakan. Meleletkan lidah. Siap dilempar.
Halayudha mengangkat tangannya. Semua prajurit bersiaga. Pendapa berubah menjadi medan pertarungan yang sesungguhnya. Udara dingin sudah tak terasa lagi. Kini semua berada dalam keadaan siap tempur. Mendadak perhatian terpecah. Dari luar regol terdengar suara nyaring, tinggi, dan gedubrakan keras.
Ketika Gendhuk Tri menoleh ke arah regol, hampir tak percaya apa yang dilihat. Di bawah penerangan obor yang dibawa para prajurit, seekor gajah besar mendobrak regol. Hingga pintunya somplak. Gajah besar yang bagian kepalanya dihiasi dengan ratna manikam, dengan kain sutra. Di bagian punggung ada kursi dengan payung pelindung. Meskipun tengah malam. Serentak dengan itu seluruh prajurit yang ada, termasuk Halayudha, menunduk, bersila, dan menyembah. Raja Jayanegara!
Gigi Nyai Demang berkerotan. Bahwa Raja menunggangi gajah sebagai kebesarannya, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi di tengah malam Raja mengendarai gajah menuju dalem senopaten, baru luar biasa dan tak masuk akal. Lebih mengejutkan lagi karena di belakangnya masih ada seekor gajah lagi. Yang sedikit lebih kecil, yang belalainya bergoyangan. Di atas punggungnya juga ada kursi kecil dengan payung yang lebih kecil. Permaisuri Praba Raga Karana! Yang tampak tenang, memandangi sekeliling, menerima penghormatan dengan dagu sedikit terangkat ke atas.
Halayudha mendengar suara para prajurit yang mengatur barisan untuk menjaga Raja. Hatinya bercekat, karena tidak mengetahui apa yang akan disabdakan. Sesuatu yang lain dari dugaan semua orang! Raja bisa muncul dengan tindakan yang mengejutkan. Seperti malam ini, dengan mengendarai gajah.
“Pesta belum lagi mulai, tapi kegembiraan telah terjadi. Menyenangkan, bukan?” Suara Raja yang ditujukan kepada Permaisuri Praba terdengar jelas karena keadaan sekitar menjadi hening.
Ini yang sedikit-banyak menjengkelkan Halayudha. Dalam situasi perang yang memuncak, Raja malah berbicara soal lain. Halayudha menyembah dalam. “Mohon petunjuk Raja sesembahan…”
“Ingsun ingin melihat pesta yang menyenangkan. Tak perlu petunjuk, karena di tempat yang tinggi Ingsun bisa melihat semuanya lebih jelas. Bukan begitu, permaisuriku?”
Permaisuri Praba menyembah. Perhatian yang tertuju dan menghormat kepada Raja mendadak pecah. Kiai Sambartaka mengentakkan tangannya dan puluhan ular melayang ke segala penjuru. Para prajurit yang masih bersila menjerit kaget. Suasana berubah gaduh seketika.
Ketiga Pangeran Anom dan Ki Dalang Memeling segera melindungi Putri Tunggadewi. Akan tetapi Kiai Sambartaka ternyata tidak berhenti hanya dengan melontarkan ular kobra yang makin lama makin banyak, seperti keluar dari sarang dalam tubuhnya. Kiai Sambartaka menyambar siapa saja yang ada di dekatnya, untuk diangkat dan dibanting. Ratu Ayu bahkan langsung menusuk ke arah Halayudha dan menyabet Senopati Yuyu yang terpaksa menggelundungkan tubuhnya ke luar pendapa, jatuh ke bawah.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri lagi. Dengan satu putaran, tubuhnya melesat maju. Kedua tangannya bergerak cepat. Mengamankan prajurit yang diterbangkan Kiai Sambartaka, sekaligus berusaha menahan. Nyai Demang pun tak ketinggalan. Pendapa dan ruangan dalem menyatu sebagai medan pertarungan yang kurang seimbang. Karena Kiai Sambartaka dan Ratu Ayu seakan merajalela sendirian. Pedang di tangan Ratu Ayu benar-benar garang. Tak menyisakan jeritan sama sekali. Karena demikian tajam dan terkuasai permainannya.
Halayudha yang menjadi sasaran utama sedikit-banyak menjadi repot, karena Kiai Sambartaka dengan puluhan ular kobra juga menyerang langsung ke arahnya. Repot karena tidak terlalu siap. Perhatiannya masih tersita menanti dawuh, perintah, dan sekaligus petunjuk Raja, ketika Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka melakukan serangan habis-habisan. Segala apa yang menghalangi langsung disabet putus Ratu Ayu atau ditekuk Kiai Sambartaka. Sangat ganas dan beringas.
Bahkan cecaran kepada Halayudha membuat mahapatih yang sakti ini menghindar dua-tiga langkah ke belakang. Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka tak memberi kesempatan untuk menyusun kekuatan. Langsung menerjang maju. Ratu Ayu kelihatan memusatkan seluruh kemampuannya. Tubuhnya bergerak, mengeluarkan warna-warni, seperti menyebarkan cahaya di setiap sudut. Matanya menatap kosong tanpa perasaan, sementara pedangnya terus berkelebat. Halayudha yang mampu menginjak kepala ular kobra kali ini benar-benar sangat repot. Pukulan geledek Kiai Sambartaka terus mengurungnya. Tak ada jalan mundur.
Tapi bukan Halayudha kalau bisa dikalahkan begitu saja. Pada situasi yang terdesak, kakinya berhasil menyongkel mayat Bango Tontong. Begitu terangkat ke atas, Halayudha mendorong maju, sementara tubuhnya melayang ke arah langit-langit pendapa, untuk memperbaiki posisi. Yang terjadi kemudian adalah pemandangan yang meremangkan bulu kuduk.
Belasan ular kobra langsung menancap ke tubuh Bango Tontong. Yang lebih membuat bergidik adalah ayunan pedang Ratu Ayu. Dalam satu gerakan, pergelangan tangannya menebas dan menetas beberapa kali. Tubuh Bango Tontong terpotong-terpotong. Terlepas kepala, kaki, tangan, kaki, dan bahkan isi perutnya seperti tersentak semuanya! Bahkan ular kobra yang melintang di bagian tubuh itu ikut terpotong.
Memerindingkan bulu kuduk karena potongan itu terlempar ke berbagai arah, masih mengucurkan darah. Sebagian membasahi wajah Ratu Ayu yang kini menyibakkan rambutnya yang juga basah oleh cipratan darah. Tubuh Bango Tontong berkeping-keping. Ketiga Pangeran Anom yang menjaga Putri Tunggadewi, dan juga Ki Dalang Memeling, berusaha melindungi lebih rapat. Akan tetapi Putri Tunggadewi justru berdiri. Meminggirkan tubuh Angon Kertawardhana dan Pangeran Anom.
“Kakang… jangan, Kakang… Jangan, Kakang Singanada… Jangan…”
Suaranya seperti mendesis lembut. Tapi keinginannya mendesak untuk maju seperti tak tertahankan. “Jangan, Paman Upasara tak menghendaki…”
Suaranya tertelan keributan yang mendadak makin meninggi dan serentak sekaligus. Karena Ratu Ayu justru memapak maju, dan dengan kekuatan penuh menusuk ke arah Putri Tunggadewi. Ki Dalang Memeling yang berusaha menahan, terlempar dengan pukulan tangan kiri.
Sementara dua kaki Ratu Ayu bisa menyeruak masuk ke dada Angon Kertawardhana dan Pangeran Muda yang tercongkel serta menabrak tubuh Pangeran Anom. Langkah dan kekuatan jurus-jurus Buddha Wanita menikam semua yang menghalangi. Keras, kuat, ganas, dan menerjang.
Sedangkan Pangeran Muda Wengker, yang disebut berasal dari Keraton Tua, tak bisa lain yang kini menguasai Daha. Kalau benar begitu, berarti masih keturunan leluhur yang sangat dekat pula hubungannya dengan Sri Baginda Raja. Tidak keliru kalau ketiganya bisa dipanggil dengan sebutan pangeran. Baik pangeran Anom, pangeran muda, ataupun pangeran timur. Akan tetapi tampaknya Angon Kertawardhana berusaha merendah dengan tidak menyebutkan diri sebagai pangeran. Malah lebih menekankan namanya pada angon, atau penggembala.
“Keraton tua, atau sangat tua, atau keraton rubuh, aku tak mau tahu. Akan tetapi kalian bertiga memang muda dan gagah, yang datang untuk memperlihatkan pengabdian kepada Raja. Baiklah, para pangeran kecil. Apakah kalian menghendaki Putri Tunggadewi? Kalau bisa membawa keluar, pastilah kalian telah membuat aku tak bisa bergerak lagi.”
Pangeran Muda Wengker mencabut dua kerisnya. “Kakang Pangeran, biarlah saya yang menjajal kehebatan Ratu Ayu.”
Ratu Ayu menggeleng. “Raja telah mengundang seluruh penggede bawahan yang diperintah. Masa hanya tiga orang yang masih bau kencur yang berani menampakkan diri. Aku masih menunggu kesempatan yang lain. Agar aku tidak membuang tenaga terlalu banyak.” Suara Ratu Ayu bagai teriakan yang menyengit.
Pangeran Muda Wengker memiringkan tubuhnya. Kedua ujung kakinya menahan tubuhnya yang meninggi. Dengan satu goyangan, tubuh itu berputar maju. Dua keris terhunus menusuk bersamaan. Bersamaan dengan itu Pangeran Anom melakukan gerakan sembahan dengan cepat, dan kedua telapak tangannya bergerak maju. Lebih tenang gerakannya, akan tetapi tenaga yang terlontar lebih berat dan mendesak.
Pada saat yang bersamaan Angon Kertawardhana malah meloncat maju. Seolah terbang ingin menerkam Ratu Ayu. Yang berdiri dengan tenang, dan hanya merendahkan tubuhnya, bertepatan dengan tangannya bergerak memutar. Pedang Galih mengeluarkan besetan angin tajam. Memotong ketiganya sekaligus. Dingin gerakannya, penuh dengan keyakinan diri.
Karena dengan merendahkan tubuh, arah tebasan bisa menyeluruh ke arah tiga penjuru. Benturan pertama adalah dengan kedua keris Pangeran Muda Wengker, yang tak menyangka bahwa ujung pedang lawan seperti bisa terentang memanjang. Kalau tidak buru-buru menarik diri, kedua tangannya bisa tertebas.
Pangeran Anom yang tampak lebih berpengalaman, bisa menahan diri untuk tidak menerjang sepenuhnya. Gebrakan majunya hanya untuk memecah perhatian lawan. Maka begitu Ratu Ayu memendekkan tubuh, Pangeran Anom cepat mengubah serangannya. Dengan gerakan tak terduga. Karena Pangeran Anom menjatuhkan tubuhnya, melongsot ke arah Ratu Ayu dengan wajah menghadap ke atas. Kedua kakinya langsung mendobrak ke arah kuda-kuda Ratu Ayu. Masuk ke celah kaki Ratu Ayu.
Gendhuk Tri menggigit bibirnya. Gerakan menjatuhkan diri, melongsot, dan masuk ke dalam pertarungan, boleh dikatakan merupakan gerakan yang menjadi ciri utamanya. Dan Gendhuk Tri boleh dikatakan berhasil memainkan jurus berbahaya ini. Berbahaya, karena tak terduga. Berbahaya, karena membahayakan penyerangnya. Gerakan itu memang bersumber dari Kitab Air, yang menggunakan tenaga banyu mili, atau air mengalir. Gerakan air yang selalu menuju tempat yang lebih rendah. Tenaga meluncur ini, dengan menggunakan pernapasan ajaran dari Kitab Air, bisa berubah menjadi kekuatan yang berlipat.
Karena tidak sekadar melongsot, melainkan membiarkan tubuhnya tersedot tenaga kuda-kuda Ratu Ayu. Semakin kuat kuda-kuda Ratu Ayu semakin cepat gerakan Pangeran Anom. Gendhuk Tri boleh dikatakan bisa melakukan gerakan itu dalam tidurnya. Karena sudah mendarah daging dan menyatu. Maka sungguh di luar dugaannya Pangeran Anom akan memainkan jurus Banyu Mili. Persis seperti dirinya!
Apakah selama ini Pangeran Anom masih selalu mengingat dirinya, sehingga jurus yang dimainkan pun sama? Bersitan pikiran itu membuat Gendhuk Tri tidak tenang. Pertama, karena merasa kurang enak bahwa selama ini ternyata Pangeran Anom sangat memperhatikan dan menyayangi hingga sudut hatinya yang paling dalam.
Kedua, perasaan tidak tenang itu karena Pangeran Anom benar-benar masuk ke dalam api bahaya. Kalau tenaga dalamnya tak cukup kuat, akan mudah sekali Ratu Ayu mematahkan serangan dan balas menyerang. Dalam keadaan telentang, akan sulit Pangeran Anom berkelit dari injakan, tusukan pedang, atau pukulan. Atau ketiga serangan sekaligus.
Satu-satunya jalan hanyalah dengan terus meluncur, dan dengan tenaga punggung, menggeliat kekuatan untuk muncul di belakang tubuh Ratu Ayu. Akan tetapi kalau meneruskan jurus itu, berarti entakan untuk menegang dari dalam kaki tak perlu dikerahkan semua. Sebab memang paling sulit mengendalikan tenaga dalam dan memindahkan dari kekuatan di kedua kaki menjadi kekuatan punggung. Salah-salah gerakannya di bagian belakang tidak bisa gesit, tidak memakai kekuatan banyu muncrat saka leng, air muncrat dari liang sumber. Bukan muncratan tetapi hanya semburan.
Itu, sekali lagi, menempatkan Pangeran Anom dalam bahaya besar. Dengan siku atau tebasan pedang yang tangannya ditekuk, Pangeran Anom tak akan bisa menghindar. Gendhuk Tri benar-benar kuatir. Meskipun sebenarnya belum begitu gawat. Karena Ratu Ayu juga disibukkan dengan sergapan Angon Kertawardhana, yang menerkam sambil memutarkan tubuh.
Tidak langsung ke arah Ratu Ayu, melainkan berada di tengah antara tubuh Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi. Tujuannya memang menyelamatkan Putri Tunggadewi. Memisahkan dari ancaman. Jurus pertama yang indah, puji Nyai Demang dalam hati. Karena ketiganya seperti bisa membaca isi pikiran satu sama lain.
Mudgara Mudra
MESKIPUN memuji jurus pertama, Nyai Demang justru menjadi lebih kuatir. Bukan karena apa, melainkan karena Ratu Ayu bukan lawan sembarangan. Keunggulannya telah terbukti bahwa selama pengembaraannya tak ada yang bisa mengalahkan, kecuali Upasara Wulung. Apalagi sekarang ini. Sementara para pangeran Anom masih belum diketahui dengan pasti kekuatan yang sesungguhnya.
Nyai Demang melepaskan cekalan Ki Dalang Memeling. Menyiapkan diri untuk terjun ke gelanggang sewaktu-waktu. Kalaupun ini pancing jebakan yang dipasang Ratu Ayu, ia tak peduli lagi. Apalagi Kiai Sambartaka terlihat mengambil posisi siap untuk ikut terjun. Hanya Halayudha yang tampak berdiri tenang. Meskipun pikirannya menerabas kian-kemari. Membuat perhitungan mengenai jalannya pertarungan. Yang sedikit meleset dari perkiraannya.
Karena ternyata Angon Kertawardhana bisa menempatkan diri di antara Ratu Ayu dan Putri Tunggadewi. Bahkan merangsek maju, karena Ratu Ayu bergeser mundur dari selangkangan kaki Pangeran Anom, yang serta-merta berdiri lurus dan menggempur. Gendhuk Tri mengeluarkan suara keras. Karena seperti bisa diduga, Ratu Ayu hanya minggir untuk balik lagi. Dengan loncatan jong. Meloncati tubuh Pangeran Muda! Pedangnya keras menebas ke bawah. Benar-benar bahaya.
Pangeran Anom membuang tubuhnya ke arah samping, dengan gerakan Mbrebes Mili, atau gerakan seperti jatuhnya air mata. Kangkam hitam tipis itu mengiris udara tak ada sejengkal jaraknya dari tubuh Pangeran Anom. Dari bagian kepala hingga ke kaki. Luar biasa. Usaha Pangeran Muda untuk menahan hanya menghasilkan dua kutungan keris yang berdenting di lantai. Dua keris pusaka andalannya tertebas, seolah pelepah pisang.
Galih Kangkam memang bukan hanya pedang tajam semata di tangan Ratu Ayu. Selama ini boleh dikatakan jarang dipergunakan. Upasara Wulung sendiri, meskipun pernah memainkan satu-dua kali dalam pertempuran, tak terlalu mengenal kekuatan utamanya. Seperti juga yang lain. Yang sama-sama dimaklumi hanyalah bahwa pedang yang tipis panjang itu pastilah bukan pusaka yang biasa, karena selama ini tersimpan dalam tongkat galih asam, tanpa diketahui Galih Kaliki yang mempergunakannya.
Meskipun Pangeran Anom selamat, akan tetapi begitu masuk jurus kelima, ketiganya benar-benar tertindih berat. Pangeran Muda tak bisa merangsek maju. Malah beberapa kali harus membuang tubuhnya secara tak teratur langkahnya. Pangeran Anom bisa menyusup maju, akan tetapi juga tak berhasil mengeluarkan pukulan yang mematikan. Seperti kesiuran angin cepat dan makin menerbitkan irisan tajam. Angon Kertawardhana juga tak bisa berbuat banyak setelah bisa menepikan Putri Tunggadewi. Dengan kata lain, kekalahan mereka hanya tinggal waktu saja. Dan itu tak lama.
Nyai Demang melirik Gendhuk Tri. Gendhuk Tri melirik Nyai Demang. Terlambat. Karena yang lebih dulu meloncat ke tengah pendapa justru Ki Dalang Memeling. Yang menggertak maju ketika pedang Galih memperdengarkan suara yang menyayat. Karena berhasil menebas rambut Pangeran Anom dan Pangeran Muda sekaligus. Hingga gelungannya terpotong! Mengenaskan. Karena satu atau setengah jari lebih dalam berarti kulit kepala atau malah batok kepala.
Ilmu Ratu Ayu memang ganas, akan tetapi sekali ini lebih dari itu. Tak memedulikan lawan sama sekali. Tak memperhitungkan lawan yang menggunakan senjata tak seimbang. Tak memperhitungkan bahwa lawannya masih hijau dalam pengalaman. Justru sebaliknya, Ratu Ayu seakan memanfaatkan keunggulannya.
“Aku ingin tahu, apakah pedang ini bisa menguliti kalian sehingga Ki Dalang bisa memainkan wayang yang baru.”
Ratu Ayu memang memperlihatkan keunggulannya. Ketika berhasil menebas gelung, tidak segera melanjutkan dengan serangan berikutnya. Malah menarik diri, menunggu sampai Ki Dalang hinggap dengan selamat.
“Kamu masih mengenaliku?”
“Tidak, kalau kulitmu terkelupas. Sudah kukatakan sejak semula, siapa yang ingin sekalian maju, saya masih bersedia menunggu.”
Ki Dalang Memeling mengeluarkan palu dari buntalan kain di perutnya. Bentuknya mirip cempala, ketokan yang biasa dimainkan dalang dengan menjapit di kaki untuk dipukulkan ke kotak wayang. Akan tetapi jelas sekali tidak terbuat dari kayu, karena tampak berat. Dan bukan cempala, karena ada pegangan di bawah dan ada bagian yang berat di atas. Ki Dalang Memeling menggenggam dengan kedua tangannya. Palu di tangannya bergetar, dan bergoyang makin keras, sebelum naik ke hidung, terdiam beberapa saat, dan turun perlahan, diiringi desisan.
“Mudra… Mudra…”
Pangeran Anom mengikuti dengan menurunkan kedua tangan, lalu disusul dengan desisan lirih. “Bumispara Mudra…” Telapak tangannya terus menurun menyentuh lantai.
Begitu Ratu Ayu mencoba menyabet, Ki Dalang Memeling menangkis, dan Pangeran Anom yang lebih dulu bisa menyerang dengan tendangan kaki. Keras, kuat, terarah. Karena tubuh Pangeran Anom seolah bertumpu pada tangan. Serentak dengan itu, Pangeran Muda melakukan gerakan yang sama, dan Angon Kertawardhana pun melakukan hal yang sama dengan cepat, lalu disusul dengan gerakan tangan ke arah depan, seolah sedang memberikan sesuatu, memberi amalan kepada Ratu Ayu.
Tepat, desis Halayudha dalam hati. Terdengar suara kontrangan keras yang memekakkan telinga ketika Kangkam Galih seperti beradu dengan palu Ki Dalang yang bergerak cepat, yang sendal pancing. Pujian Halayudha sebenarnya tertuju kepada Ki Dalang. Yang dengan cepat bisa membaca jurus-jurus andalan Ratu Ayu. Serangan Ki Dalang adalah menggabungkan jurus-jurus yang ada dalam ajaran Sembilan Jalan Buddha, gerakan tangannya bisa disebutkan mudra. Digabungkan dengan senjata andalannya mudgara atau palu, sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu.
Pedang tipisnya dilabrak dengan palu berat dan tebal yang memakai tenaga sendal pancing, begitu tersentuh pedang lawan ditarik kembali secepatnya. Secara dasar, Ki Dalang bisa membaca dan menemukan cara mengatasi jurus Ratu Ayu. Seperti diketahui, meskipun ilmu silat Ratu Ayu boleh dikatakan ruwet dan tak terpahami, apalagi gerakannya yang kaku, akan tetapi dasarnya tetap ajaran Jalan Buddha.
Yang pada Ratu Ayu disesuaikan menjadi cara bergerak arca Buddha, Tathagata Pratiwimba, gerakan kaku dan terpatah, namun sangat bertenaga. Inti dalamnya berpusat pada pengerahan tenaga Tathagati, atau Buddha Wanita, yang dianggap sesat. Ki Dalang Memeling bisa saja tidak mengetahui nama jurus yang dimainkan Ratu Ayu, akan tetapi dalam pandangan Halayudha bisa menangkap sikap dasar gerakan.
Itu sebabnya menjawab dengan mudra, gerakan tangan, atau bahkan jari dalam bersemadi sebagaimana ajaran Jalan Buddha. Ini yang juga terbaca oleh Pangeran Anom yang meneruskan dengan Bumispara Mudra, atau Gerakan Tangan Menyentuh Bumi. Di mana kekuatan kaki dipakai untuk menyerang bagian yang kosong, bagian tubuh yang ditinggalkan pedang.
Lebih hebat lagi, Angon Kertawardhana menyambung dengan Wara Mudra, atau Gerakan Tangan yang Melambangkan Pemberian Amal. Yang dalam hal ini berwujud tenaga dalam mendesak, mengimpit, meskipun tidak memilih tempat yang rawan. Inilah bedanya dengan gerakan-gerakan yang dilakukan Ratu Ayu. Pada Ratu Ayu, gerakan yang sama bisa tertuju ke arah bagian lawan yang bisa langsung mematikan atau membuat cacat. Bukan gerakan untuk mengamankan diri, sebagaimana diyakini ketika pertama kali diciptakan.
Perbedaan inilah yang menyebabkan adanya pembedaan yang tajam antara aliran sesat dan aliran yang murni. Karena inti yang sesungguh-sungguhnya bukan hanya perbedaan apakah tendangan dan pukulan mengarah ke ulu hati atau kaki, melainkan berasal dari niatan bertarung. Untuk keselamatan diri, atau untuk menghancurkan lawan. Halayudha bisa memuji tinggi, karena Ki Dalang menguasai gerakan tangan, mudra, yang lebih murni.
Sehingga rangkaian yang lain, Abhaya Mudra atau Memenangkan Diri dengan Bertahan, Dhyana Mudra atau Gerakan Tangan untuk Mengumpulkan dan Mengerahkan Tenaga, ataupun serangan Dharmacakra Mudra yang memutar tenaga dalam lawan, memindahkan tenaga menyerang lawan menjadi tenaga bertahan, seperti halnya menggerakkan roda. Yang atas menjadi bawah, dan sebaliknya. Ataupun serangan Witarka Mudra, yang memecah serangan lawan menjadi tidak berarti. Rangkaian yang sangat tepat untuk menghadapi Ratu Ayu. Untuk meredam habis kehebatan Ratu Turkana!
Siapa Melawan Siapa
PUJIAN yang tepat untuk strategi yang tepat. Selama ini terpateri dalam benak para pendekar, bahwa Ratu Ayu mempunyai simpanan ilmu silat yang sulit dikalahkan. Pemunculan pertama yang menggetarkan di pasewakan Keraton, ataupun jauh-jauh hari dengan para prajuritnya, menempatkannya pada posisi teratas.
Akan tetapi pada pemunculan kali ini, bisa menemukan lawan yang kuat. Justru dari angkatan muda yang boleh dikata belum pernah terdengar namanya. Atau dari seorang dalang yang tampaknya biasa-biasa. Meskipun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Ki Dalang Memeling sesungguhnya bukan tokoh yang biasa-biasa. Ditempa dengan pengalaman hidup yang kuat dan dahsyat, dilandasi kemauan tinggi untuk selalu melatih ilmu silatnya. Ditambah lagi, sedikit-banyak Ki Dalang Memeling mengenali pola permainan Ratu Ayu. Sehingga bisa langsung menggebrak.
Ini yang membedakan siapa lebih unggul dari siapa. Karena dalam pertarungan, bukan hanya pameran keunggulan atau penguasaan jurus saja. Melainkan juga memainkan jurus yang mana dalam menghadapi jurus apa.
Kekuatan utama Ki Dalang bukan hanya karena memainkan gerakan tangan dari Jalan Buddha. Melainkan juga dari senjata andalannya yang berupa mudgara. Senjata berbentuk palu yang tumpul dan berat itu sebenarnya tak seimbang dengan pedang tipis panjang yang tajam. Dari segi permainan, pedang lebih luwes untuk dipakai menyerang.
Sebaliknya mudgara tampak memberatkan untuk bertahan, dan menguras tenaga terlalu banyak kalau dipakai menyerang. Namun dengan memakai kekuatan tenaga sendal pancing, keadaan menjadi imbang. Setiap kali menempel, menyentuh, serta-merta ditarik kembali untuk diteruskan dengan gendaman yang berbeda.
Untuk ini, Halayudha juga menilai keunggulan Ki Dalang. Pengerahan tenaga sendal pancing, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Prinsip dasar pengerahan tenaga sendal pancing boleh dikatakan dipakai semua pesilat. Bahwa dalam memukul lawan, tangan yang menyentuh secepat mungkin ditarik kembali. Karena dengan demikian tenaga membalik tidak akan mengenai diri di penyerang.
Yang dipujikan adalah Ki Dalang menggunakan taktik itu untuk menghadapi Ratu Ayu, yang memang mengandalkan gerakan kaku dan terpatah-patah. Enam jurus berikutnya, Ratu Ayu hanya bisa bertahan, tanpa bisa mendekat ke arah Putri Tunggadewi yang kini sepenuhnya berada dalam perlindungan Angon Kertawardhana.
“Menjajal pesta puncak yang akan datang, saya jadi ingin meramaikan keroyokan ini.”
Kiai Sambartaka mengatakan dirinya siap terjun ke medan pertarungan. Hanya karena kedudukannya sebagai tokoh kelas tinggi yang membuatnya perlu memberitahukan, dan tidak langsung terjun dalam keroyokan. Bisa dipastikan jika Kiai Sambartaka terjun, akan mengundang lawan yang terus memuncak. Ini bisa diartikan bahwa pesta sudah dimulai.
Yang masih mengganjal dalam benak Halayudha ialah, siapa sebenarnya yang tengah bertarung sekarang ini dan melawan kekuatan yang mana? Dengan mudah terbaca bahwa Ratu Ayu berada di pihak Kiai Sambartaka. Dua-duanya tokoh dari mancanegara. Akan tetapi siapa yang berdiri dibelakangnya sekarang ini? Benarkah Raja merestui gebrakan mereka? Itu dari sisi Ratu Ayu.
Sementara dari sisi para pangeran muda juga masih mengandung teka-teki. Siapa yang akan membela mereka? Kalau dipertimbangkan secara masak-masak, terjunnya para pangeran muda yang disusul Ki Dalang Memeling lebih disebabkan karena upaya membebaskan Putri Tunggadewi. Bukan karena menghantam suatu gerakan atau kekuatan yang mencoba kraman.
Ini berbeda dari apa yang dilakukan Bango Tontong. Senopati yang dipercaya ini begitu muncul sudah membawa umbul-umbul dan bahkan cincin Raja. Yang menandainya sebagai utusan resmi yang mempunyai kekuasaan tertentu dan istimewa. Berarti memang ingin melindas habis para Senopati Utama. Dan kalau melihat Ratu Ayu segera muncul menghabisinya, bisa dikatakan Bango Tontong berpihak kepada mereka. Apa itu juga berarti kelompok Ratu Ayu berada dalam restu Raja?
Begitu banyak pertanyaan yang masih menggantung, terutama karena selama ini Raja sendiri seakan menunggu kekuatan mana yang lebih unggul. Bagi Halayudha, sisa pertanyaan akan menjadi jelas jika segera mengetahui kemunculan Upasara Wulung. Jika Upasara, seperti juga Ratu Ayu, ditambah dengan Gemuka, kekuatan mereka tak akan mungkin diimbangi. Halayudha tidak yakin apakah dengan mengerahkan para prajurit sekarang ini bisa menahan pembantaian habis-habisan.
“Untuk apa membawa putri yang penyakitnya tak bisa disembuhkan?”
Kembali ucapan Kiai Sambartaka bagai sambaran kilat yang menyadarkan semua orang. Nyai Demang yang melihat Putri Tunggadewi sejak pertama dan menemukan kelainan, makin yakin bahwa Putri Tunggadewi berada dalam pengaruh kekuatan lain. Yang kalau ucapan Kiai Sambartaka benar, Kiai Sambartaka pun tak mengetahui sebabnya. Pikiran Nyai Demang sama dengan jalan pikiran Halayudha. Yang segera menyembah hormat dan membawa Putri Tunggadewi ke pinggir. Yang dibawa hanya mengikuti, tanpa memberikan reaksi.
Dengan gerakan cepat, Halayudha menyentuh beberapa nadi inti di tubuh Putri Tunggadewi. Untuk memastikan apakah ada nadi atau jalan darah yang tertotok. Hasilnya membuat Halayudha menggigit bibirnya lebih keras. Tak ada satu pun nadi Putri Tunggadewi yang terganggu. Juga ketika berusaha membaui pernapasan, Halayudha tak menemukan adanya pengaruh jamu dan jampi tertentu. Udara yang diembuskan dari pernapasan Putri Tunggadewi wajar.
Halayudha menggerakkan tangannya secara terbuka. Menggetar. Dan meraba seluruh tubuh Putri Tunggadewi dalam jarak kurang dari sekilan, sejengkal, satu rentangan jari tangan. Mulai dari ubun-ubun hingga ke telapak kaki. Tiga kali. Itulah cara untuk mengetahui seseorang yang terkena aji sirep, ajian untuk mempengaruhi seseorang sehingga tidak sadar. Hasilnya sama, tak ada pengaruh dari luar. Setidaknya yang bisa terbaca oleh Halayudha.
Hal ini bisa disebut ganjil tapi juga tidak. Disebut ganjil, karena jelas kondisi Putri Tunggadewi tidak dalam keadaan wajar. Halayudha menguasai ilmu soal nadi dan mengetahui banyak mengenai jampi-jampi dari aliran sesat. Sehingga hanya kekuatan yang luar biasa yang mampu lolos dari pengawasan Halayudha. Disebut tidak ganjil, karena memang itulah kenyataannya. Putri Tunggadewi seperti tidak menderita penyakit apa-apa, kecuali ada yang membeku di pulung ati, di dapur susu, yang letaknya di antara lekukan buah dada.
Di bagian pulung ati getaran tangan Halayudha seperti membentur tenaga yang beku. Seperti diketahui, pulung ati dalam dunia persilatan mempunyai arti yang penting, walau tidak berhubungan langsung dengan pengerahan tenaga dalam, yang memang berawal dari bagian yang lebih bawah, di sekitar pusar. Pulung bisa bermakna ganda. Di satu pihak berarti bintang bahagia, kemuliaan karena Dewa. Tapi juga bisa berarti kematian, karena “diambil” Dewa.
Seorang jago silat tidak terlalu mengistimewakan wilayah pulung ati. Kalaupun perlu dilindungi, seperti bagian tubuh lain yang juga perlu dilindungi. Akan tetapi pada beberapa orang biasa, pulung ati diartikan sebagai pusat perasaan, pusat rasa yang mempengaruhi pikiran dan emosinya. Mengingat Putri Tunggadewi bukan jago silat dan tidak berlatih secara khusus, agaknya kemungkinan yang terakhir yang lebih tepat. Hanya saja, Halayudha tak bisa menentukan apa penyebabnya dan bagaimana penyembuhannya.
Kiai Sambartaka sejak tadi mengikuti gerakan tangan Halayudha dan berusaha memperhatikan dengan sangat cermat. Apalagi ketika getaran tangan Halayudha tertahan lebih lama di tengah dada! Rasa ingin tahunya sedemikian besar, karenanya sedikit tertahan untuk maju ke medan pertarungan. Sesaat saja. Akan tetapi yang sesaat itu berbicara banyak. Karena Kiai Sambartaka, yang merasa dirinya lebih menguasai aji sirep untuk mempengaruhi orang atau binatang, seperti menemukan jalan buntu.
Ini baru diketahui kemudian ketika dirinya sudah bergabung dengan Gemuka, yang kemudian menculik kedua putri. Secara samar, Gemuka mengemukakan kepadanya, bahwa Putri Tunggadewi sedang menderita gering yang tak diketahui. Ini menarik bagi Kiai Sambartaka, karena selama ini Gemuka selalu membuktikan diri berhasil menjawab segala peristiwa. Ternyata Gemuka pun tidak berhasil.
Blong, Sukma Tanpa Theg
GEMUKA saat itu hanya memberi pendapat yang samar. “Lihat dia, Kiai. Itu mungkin kekuatan sukma sejati yang terbalik. Yaitu bukan menemukan theg, melainkan menjadi blong”
Kiai Sambartaka merasa tertantang untuk memperlihatkan keunggulannya. Kalau sekali ini bisa mengalahkan Gemuka, bukan tidak mungkin dirinya bisa menemukan sela-sela yang lain. Dengan menyusup, Kiai Sambartaka masuk ke tempat penahanan kedua putri. Dan menemukan bahwa Putri Tunggadewi maupun Rajadewi seperti tidak menderita penyakit tertentu. Juga ketika Kiai Sambartaka mengerahkan segenap kekuatan, semua ilmu yang dimiliki. Tak ada yang aneh. Tak ada yang ganjil.
Selain tindakannya. Putri Tunggadewi, lebih dari Putri Rajadewi, seolah tidak menginjak tanah kenyataan. Dituntun ke kiri, bergerak ke kiri, dituntun ke kanan, bergerak ke kanan. Disuruh mengambil sirih, akan bergerak dengan sepenuh hati. Kiai Sambartaka benar-benar tak mampu menembus. Ini pula yang menyebabkan ketika bertemu kembali dengan Gemuka di kamar penyimpanan senjata pusaka, ia menerima kalimat Gemuka dengan muka panas.
“Aku tahu niatmu menunjukkan kelebihan ilmu padaku gagal. Kiai, kamu pun tak mengerti sebabnya?”
“Guncangan kejiwaan. Roh batin Putri Tunggadewi terguncang hebat. Sedemikian hebatnya sehingga kesadarannya tak ada lagi. Sehingga blong-bolong, bleng-kosong. Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Putri Tunggadewi harus melayani Raja Jayanegara yang masih saudara satu ayah.”
“Tidak. Di kaputren sebelum aku ambil, keadaannya sudah seperti itu. Kalau kemudian melayani Raja atau tidak, sama saja. Tanpa perasaan, tanpa kesadaran sama sekali. Itulah blong.”
“Gemuka, kenapa kamu mengaitkan itu dengan sukma sejati?”
“Karena aku lebih hebat dari kamu. Semua kekuatan yang tak dikenali, kita sebut saja kekuatan sukma sejati. Kekuatan yang bukan berawal dari tenaga dalam maupun tenaga luar. Aku lebih tahu dari kamu, karena aku mengetahui sumber utama kekuatan sukma sejati berawal dari theg. Adalah bukan tidak mungkin Putri Tunggadewi menempuh cara yang berbalik dari theg, menjadikan dirinya blong. Dengan disadari atau tidak.”
“Terlalu gampang mengandaikan seperti itu.”
“Kamu tak mampu mengandaikan begitu.”
“Gemuka…”
“Kiai! Kamu yang mendengarkan aku. Karena aku lebih pantas didengarkan. Kamu menerima, dan akan bertambah hebat, walau tetap tak akan bisa mengimbangi aku. Selama ini yang kutahu melatih tenaga sukma sejati adalah Upasara Wulung dan Mahapatih. Yang lainnya tak cukup berarti. Maka jalan terbaik, kirimkan Tunggadewi ke Upasara agar bisa diluruskan. Kalau benar begitu, kita sudah menguasai sukma sejati. Aku, bukan kita. Aku mengetahui kekuatan theg dan blong.”
Itulah yang kemudian terjadi. Putri Tunggadewi muncul di depan khalayak umum. Hanya kemudian, bukan jawaban dari Upasara yang terjadi, melainkan lebih banyak yang menggunakan Putri Tunggadewi untuk kepentingan masing-masing. Termasuk Halayudha, dan kemudian Nyai Demang, atau juga Ratu Ayu. Yang berloncatan dalam benak Kiai Sambartaka adalah pertanyaan, apa yang menyebabkan Putri Tunggadewi berada dalam keadaan blong, dan bagaimana membongkar pertanyaan serta sekaligus jawaban di balik semua itu.
Selalu menemui jalan buntu. Makanya perhatiannya terserap penuh saat Halayudha berusaha menyembuhkan. Justru karena Halayudha juga menemukan ada sesuatu yang tak beres di pulung ati. Halayudha mengusap wajahnya, menghela napas.
“Tuan Putri, silakan beristirahat sejenak…”
Putri Tunggadewi mengikuti arah yang ditunjuk Halayudha. Menuju sisi luar pendapa. Sehingga lebih mudah menyelamatkan diri jika suasana kemelut merambat. Apalagi kini para prajurit kawal pribadi telah mengelilingi. Kalau saja Putri Tunggadewi mau meninggalkan pendapa. Tapi tidak. Putri Tunggadewi duduk bersimpuh di pinggir pendapa, seolah sedang menghadap Raja.
Sementara pertarungan masih terus berlangsung. Ketika para pangeran muda, bersama Ki Dalang Memeling, masih terus berkutat dengan Ratu Ayu. Meskipun beberapa kali merebut keunggulan, Ki Dalang tak bisa memaksakan kemenangan. Karena Ratu Ayu masih tetap ganas, dan bisa membalas dengan beberapa serangan yang berbahaya. Terutama ketika Ratu Ayu mulai mencecar Pangeran Muda Wengker, yang terasa sekali bernafsu segera menyelesaikan pertarungan.
Justru karena itu, gerakan kaki dan loncatannya beberapa kali tersikat oleh Ratu Ayu. Langkah jong yang perkasa. Yang meloncati satu orang untuk menebas yang lain. Ditambah dengan pedang panjang yang membuat lawan tak berani merangsek, ruangan pendapa seakan menjadi pameran kekuatan Ratu Ayu.
“Awas!” Teriakan Ki Dalang Memeling terlambat.
Tubuh Ratu Ayu telah melesat. Ke arah Putri Tunggadewi. Pangeran Muda yang berusaha menerjang maju malah kena sodokan siku yang membuat tubuhnya terbanting ke kiri. Sementara Ki Dalang Memeling tertegun. Karena loncatan Ratu Ayu sangat cepat. Satu-satunya jalan ialah melemparkan palu. Akan tetapi bahayanya terlalu besar, karena kalau Ratu Ayu menyampok keras, bisa-bisa arahnya melenceng ke Putri Tunggadewi.
Yang justru bergerak cepat adalah Angon Kertawardhana. Tubuhnya melesat ke tengah, menghadang langsung. Sabetan pedang dielakkan pendek, kedua tangannya terulur maju meremas bagian dada. Tak ada lagi pilihan lain! Tak ada kesempatan menghindari sabetan dan memilih serangan yang lebih sopan. Terdengar suara tarikan napas pendek, dan darah muncrat ke lantai. Pundak Angon Kertawardhana tertoreh. Walaupun hanya tersentuh sabetan angin, akan tetapi menimbulkan luka cukup dalam.
Ratu Ayu menggerakkan pergelangan tangannya. Pedang panjangnya yang tadinya menuding langit sehabis menebas, kembali membeset dengan tusukan lurus. Angon Kertawardhana yang masih berdiri dengan sempoyongan melihat datangnya bahaya tanpa menyingkir. Karena melindungi Putri Tunggadewi. Akan tetapi Pangeran Anom tidak membiarkan begitu saja. Ketika tadi Ratu Ayu meloncat, tubuhnya ikut bergerak. Hanya saja karena kekuatan tenaga Banyu Mili tidak bisa sepenuhnya mengikuti daya tarik Ratu Ayu, ia tak bisa bergerak cepat. Sehingga Angon terlukai.
Akan tetapi ketika pedang itu menuding langit, tubuh Pangeran Anom sudah berada di belakang Ratu Ayu. Yang langsung menggulung. Benar-benar menggulung, karena kedua tangan Pangeran Anom menekuk leher Ratu Ayu, menekan ke bawah sekuat tenaga, untuk diputar dengan jurus Dharmacakra Mudra atau Gerakan Memutar Roda Dharma. Hebat akibatnya. Kepala Ratu Ayu tertekan ke bawah, tubuhnya melingkar, dan kemudian terbesot seolah kena isapan air yang melontarkannya ke luar pendapa!
Kiai Sambartaka melayang, menangkap tubuh Ratu Ayu, dan berputar di tengah udara untuk akhirnya berdiri di tengah pendapa. Berdampingan. Selain Gendhuk Tri, Halayudha juga mengetahui bagaimana Pangeran Anom dalam satu gerakan bisa menekuk tubuh Ratu. Kekuatan utama Kitab Air adalah menggunakan sifat-sifat air. Banyu Mili atau Air Mengalir memang bukan kekuatan yang mengandalkan kecepatan, akan tetapi terutama sekali datangnya tenaga yang tak diketahui oleh lawan. Seperti bergeraknya air merembes. Tanpa suara.
Itu pula sebabnya Ratu Ayu tak menduga ada serangan dari belakang. Karena tak mendengar suara angin. Tahu-tahu kepalanya ditekuk dengan tekanan yang tinggi. Sebelum tenaga dalam terkerahkan untuk menangkis dengan sendirinya, kuda-kudanya telah goyah. Tanpa bisa dikuasai lagi tubuhnya terlempar. Dan bisa berbahaya, karena Ratu Ayu masih menggenggam Galih Kangkam. Yang kalau tidak dikuasai bisa menusuk tubuhnya. Tapi Kiai Sambartaka memperlihatkan kelas yang sesungguhnya.
Pesta dan Perang
MELAYANG, sambil menangkap orang yang terlempar, bukan gerakan yang mengagumkan. Akan tetapi Kiai Sambartaka memperlihatkan secara luar biasa. Menangkap tubuh Ratu Ayu yang menggenggam pedang, lalu berputar di tengah udara tanpa menjejak tanah lebih dulu atau memakai pijakan lain, dan kemudian sekali bisa hinggap dengan gagah. Siap menghadapi serangan. Siap menyerang. Karena dengan merentangkan kedua lengannya lebar-lebar, puluhan ular kobra merayap keluar dari pakaian yang dikenakan. Meleletkan lidah. Siap dilempar.
Halayudha mengangkat tangannya. Semua prajurit bersiaga. Pendapa berubah menjadi medan pertarungan yang sesungguhnya. Udara dingin sudah tak terasa lagi. Kini semua berada dalam keadaan siap tempur. Mendadak perhatian terpecah. Dari luar regol terdengar suara nyaring, tinggi, dan gedubrakan keras.
Ketika Gendhuk Tri menoleh ke arah regol, hampir tak percaya apa yang dilihat. Di bawah penerangan obor yang dibawa para prajurit, seekor gajah besar mendobrak regol. Hingga pintunya somplak. Gajah besar yang bagian kepalanya dihiasi dengan ratna manikam, dengan kain sutra. Di bagian punggung ada kursi dengan payung pelindung. Meskipun tengah malam. Serentak dengan itu seluruh prajurit yang ada, termasuk Halayudha, menunduk, bersila, dan menyembah. Raja Jayanegara!
Gigi Nyai Demang berkerotan. Bahwa Raja menunggangi gajah sebagai kebesarannya, bukan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi di tengah malam Raja mengendarai gajah menuju dalem senopaten, baru luar biasa dan tak masuk akal. Lebih mengejutkan lagi karena di belakangnya masih ada seekor gajah lagi. Yang sedikit lebih kecil, yang belalainya bergoyangan. Di atas punggungnya juga ada kursi kecil dengan payung yang lebih kecil. Permaisuri Praba Raga Karana! Yang tampak tenang, memandangi sekeliling, menerima penghormatan dengan dagu sedikit terangkat ke atas.
Halayudha mendengar suara para prajurit yang mengatur barisan untuk menjaga Raja. Hatinya bercekat, karena tidak mengetahui apa yang akan disabdakan. Sesuatu yang lain dari dugaan semua orang! Raja bisa muncul dengan tindakan yang mengejutkan. Seperti malam ini, dengan mengendarai gajah.
“Pesta belum lagi mulai, tapi kegembiraan telah terjadi. Menyenangkan, bukan?” Suara Raja yang ditujukan kepada Permaisuri Praba terdengar jelas karena keadaan sekitar menjadi hening.
Ini yang sedikit-banyak menjengkelkan Halayudha. Dalam situasi perang yang memuncak, Raja malah berbicara soal lain. Halayudha menyembah dalam. “Mohon petunjuk Raja sesembahan…”
“Ingsun ingin melihat pesta yang menyenangkan. Tak perlu petunjuk, karena di tempat yang tinggi Ingsun bisa melihat semuanya lebih jelas. Bukan begitu, permaisuriku?”
Permaisuri Praba menyembah. Perhatian yang tertuju dan menghormat kepada Raja mendadak pecah. Kiai Sambartaka mengentakkan tangannya dan puluhan ular melayang ke segala penjuru. Para prajurit yang masih bersila menjerit kaget. Suasana berubah gaduh seketika.
Ketiga Pangeran Anom dan Ki Dalang Memeling segera melindungi Putri Tunggadewi. Akan tetapi Kiai Sambartaka ternyata tidak berhenti hanya dengan melontarkan ular kobra yang makin lama makin banyak, seperti keluar dari sarang dalam tubuhnya. Kiai Sambartaka menyambar siapa saja yang ada di dekatnya, untuk diangkat dan dibanting. Ratu Ayu bahkan langsung menusuk ke arah Halayudha dan menyabet Senopati Yuyu yang terpaksa menggelundungkan tubuhnya ke luar pendapa, jatuh ke bawah.
Gendhuk Tri tak bisa menahan diri lagi. Dengan satu putaran, tubuhnya melesat maju. Kedua tangannya bergerak cepat. Mengamankan prajurit yang diterbangkan Kiai Sambartaka, sekaligus berusaha menahan. Nyai Demang pun tak ketinggalan. Pendapa dan ruangan dalem menyatu sebagai medan pertarungan yang kurang seimbang. Karena Kiai Sambartaka dan Ratu Ayu seakan merajalela sendirian. Pedang di tangan Ratu Ayu benar-benar garang. Tak menyisakan jeritan sama sekali. Karena demikian tajam dan terkuasai permainannya.
Halayudha yang menjadi sasaran utama sedikit-banyak menjadi repot, karena Kiai Sambartaka dengan puluhan ular kobra juga menyerang langsung ke arahnya. Repot karena tidak terlalu siap. Perhatiannya masih tersita menanti dawuh, perintah, dan sekaligus petunjuk Raja, ketika Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka melakukan serangan habis-habisan. Segala apa yang menghalangi langsung disabet putus Ratu Ayu atau ditekuk Kiai Sambartaka. Sangat ganas dan beringas.
Bahkan cecaran kepada Halayudha membuat mahapatih yang sakti ini menghindar dua-tiga langkah ke belakang. Ratu Ayu dan Kiai Sambartaka tak memberi kesempatan untuk menyusun kekuatan. Langsung menerjang maju. Ratu Ayu kelihatan memusatkan seluruh kemampuannya. Tubuhnya bergerak, mengeluarkan warna-warni, seperti menyebarkan cahaya di setiap sudut. Matanya menatap kosong tanpa perasaan, sementara pedangnya terus berkelebat. Halayudha yang mampu menginjak kepala ular kobra kali ini benar-benar sangat repot. Pukulan geledek Kiai Sambartaka terus mengurungnya. Tak ada jalan mundur.
Tapi bukan Halayudha kalau bisa dikalahkan begitu saja. Pada situasi yang terdesak, kakinya berhasil menyongkel mayat Bango Tontong. Begitu terangkat ke atas, Halayudha mendorong maju, sementara tubuhnya melayang ke arah langit-langit pendapa, untuk memperbaiki posisi. Yang terjadi kemudian adalah pemandangan yang meremangkan bulu kuduk.
Belasan ular kobra langsung menancap ke tubuh Bango Tontong. Yang lebih membuat bergidik adalah ayunan pedang Ratu Ayu. Dalam satu gerakan, pergelangan tangannya menebas dan menetas beberapa kali. Tubuh Bango Tontong terpotong-terpotong. Terlepas kepala, kaki, tangan, kaki, dan bahkan isi perutnya seperti tersentak semuanya! Bahkan ular kobra yang melintang di bagian tubuh itu ikut terpotong.
Memerindingkan bulu kuduk karena potongan itu terlempar ke berbagai arah, masih mengucurkan darah. Sebagian membasahi wajah Ratu Ayu yang kini menyibakkan rambutnya yang juga basah oleh cipratan darah. Tubuh Bango Tontong berkeping-keping. Ketiga Pangeran Anom yang menjaga Putri Tunggadewi, dan juga Ki Dalang Memeling, berusaha melindungi lebih rapat. Akan tetapi Putri Tunggadewi justru berdiri. Meminggirkan tubuh Angon Kertawardhana dan Pangeran Anom.
“Kakang… jangan, Kakang… Jangan, Kakang Singanada… Jangan…”
Suaranya seperti mendesis lembut. Tapi keinginannya mendesak untuk maju seperti tak tertahankan. “Jangan, Paman Upasara tak menghendaki…”
Suaranya tertelan keributan yang mendadak makin meninggi dan serentak sekaligus. Karena Ratu Ayu justru memapak maju, dan dengan kekuatan penuh menusuk ke arah Putri Tunggadewi. Ki Dalang Memeling yang berusaha menahan, terlempar dengan pukulan tangan kiri.
Sementara dua kaki Ratu Ayu bisa menyeruak masuk ke dada Angon Kertawardhana dan Pangeran Muda yang tercongkel serta menabrak tubuh Pangeran Anom. Langkah dan kekuatan jurus-jurus Buddha Wanita menikam semua yang menghalangi. Keras, kuat, ganas, dan menerjang.
JILID 59 | BUKU PERTAMA | JILID 61 |
---|