X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Senopati Pamungkas Kedua Jilid 35

Senopati Pamungkas Buku Kedua Jilid 35 karya Arswendo Atmowiloto
Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 35

Meraup tubuh Permaisuri. Mengempit di antara ketiak. Dengan sekali loncat masuk ke perahu.

“Baginda telah menunggu. Silakan masuk.”

Suaranya perlahan, akan tetapi terdengar mengguntur seperti berdenging. Lalu dengan sedikit menghormat, menyilakan Permaisuri masuk ke bagian dalam perahu. Lelaki itu gagah. Bertelanjang dada. Basah tubuhnya. Juga rambutnya yang digelung aneh. Ditekuk di bagian tengah kepala. Ketika bibirnya mengeluarkan lengkingan suara, buaya-buaya itu kembali menyelam dalam sungai. Tak ada bekasnya lagi.

Gendhuk Tri menggigit bibirnya. Sangat jelas di telinganya ucapan “Baginda telah menunggu“. Ada permainan apa sebenarnya?

Sementara itu yang melihat dari pinggir sungai tak bisa menyembunyikan keheranan dan sekaligus juga kekagumannya. Kecuali di atas salah satu pohon yang tinggi. Di situ Eyang Puspamurti yang diiringi ketiga muridnya terus menyaksikan apa yang terjadi. Agaknya Eyang Puspamurti sengaja memilih tempat yang cukup lapang untuk mengamati apa yang terjadi.

“Mada, jangan terlalu heran. Itu ilmu biasa. Mahamanusia bisa menguasai bintang, binatang, rembulan, dan matahari. Apalagi hanya buaya. Yang diperlukan hanya ketekunan untuk melatih. Juga ular hijau tadi. Semakin berbisa dan berbahaya, sebenarnya binatang itu semakin bisa dikuasai dengan baik. Satu bunyian yang dikenal, satu tepukan, akan membuat mereka patuh kelewat batas. Yang perlu kamu perhatikan ialah keris prajurit tua itu. Itu keris sakti. Anginnya saja bisa melukai. Rasanya begitu. Karena sekelebatan, dalam jarak yang belum menyentuh, ular itu sudah terluka. Ada yang kamu tanyakan, Mada?”

“Eyang, kenapa Prajurit Tua Sina memakai keris di tangan kiri?”

“Pertanyaanmu menunjukkan bahwa kamulah yang paling bodoh di antara bertiga, tetapi juga sekaligus paling pintar. Prajurit Tua Sina sengaja memainkan dengan tangan kiri. Inti dasarnya adalah Kitab Bumi juga. Ia senopati tua semasa Sri Baginda Raja. Ini gara-gara Eyang Sepuh yang menciptakan susunan ilmu itu.”

“Apakah Eyang Sepuh kidal?”

Eyang Puspamurti tertawa. “Bejujag? Eyang Sepuh yang kalian hormati itu orang tidak waras. Ia sengaja memainkan, menciptakan seolah itu permainan kidal. Padahal sesungguhnya hanya mau menunjukkan bahwa dirinya mampu memainkan seperti orang kidal, seperti Eyang Putri Pulangsih.”

“Eyang Putri Pulangsih kidal?”

“Ya. Tapi ia berusaha keras untuk tidak kidal. Dilatih keras, dan nyatanya Tirta Parwa yang diciptakan tidak menunjukkan kekidalan itu. Jagat ini memang edan. Yang kidal berusaha tidak kidal, yang tidak kidal justru menciptakan ilmu kidal. Jagat ini memang aneh. Karena seorang Eyang Sepuh yang edan. Itu terbawa terus tanpa ada yang menyadari. Bahkan Upasara Wulung sendiri tidak menyadari sebelumnya, kenapa tepukan satu tangan lebih bertenaga jika dimainkan tangan kiri. Bukankah Eyang Sepuh itu sangat edan? Jagat dibikin jungkir-balik oleh ulahnya. Ia memuja, mencintai Pulangsih, meniru kidalnya, tapi juga mengemohi. Mada, Genter, di sini kalian saya bawa tidak untuk mendengarkan cerita tentang orang edan. Perhatikan baik-baik! Apa yang kalian lihat ini adalah permainan kelas jagat. Tak ada pelajaran yang semenarik ini. Kamu lihat lelaki yang rambutnya digelung di bagian tengah itu? Yang bisa mencuat dari sungai?”

“Ya, Eyang.”

“Tubuhnya licin. Berarti geraknya sangat cekatan, gesit. Tenaga dalamnya sangat kuat. Dengkingan suaranya sanggup memekakkan telinga kamu walaupun disumbat tangan. Hebat. Tapi kamu tahu kelemahannya? Pendengarannya tidak cukup kuat. Karena selalu berendam di dalam air, indra pendengarannya berkurang. Berarti kalau kalian menghadapi lawan seperti itu, paling menguntungkan adalah memakai tenaga lembek. Itu yang sedang diperhitungkan Prajurit Tua, Senopati Unggul Sina. Ia sengaja menunggu di atas. Karena dengan permainan di udara, akan menyulitkan lelaki tadi. Jangan bertanya, perhatikan terus!”

Di atas perahu, Mpu Sina masih tetap bergelantungan. Sementara Gendhuk Tri menudingkan telunjuknya ke bawah. “Lain kali jangan bawa ular yang lapar. Mereka akan saling makan sendiri.”

“Kalian telah memancing Jalugeni keluar dari sarang. Saya tak akan membiarkan kalian berlalu begitu saja.”

“Jalugeni, siapa yang mau keluar dari perahu? Aku justru ingin melihat apakah kamu masih mempunyai peliharaan jenis kecoa atau nyamuk atau perangkap tikus yang lainnya.” Suara Gendhuk Tri bersamaan dengan bunyi keras.

Dinding yang menjadi lambung kapal telah menutup kembali. Rapat seperti semula.

“Boleh juga. Ada permainan lain, Jalugeni? Aku ingin melihatnya.”

Jalugeni mengertakkan giginya. Tangannya bergerak dan mendadak tiang utama bergerak. Bergerak! Seperti tumbang. Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri dan Nyai Demang meloncat turun ke arah perahu. Diiringi Mpu Sina yang cepat memutuskan tali pengikat kakinya. Ketiganya berdiri sejajar. Berhadapan dengan Jalugeni.

“Saya Senopati Tua Sina….” Suara Mpu Sina ramah ketika memperkenalkan diri. Suatu hal yang lumrah karena lawan telah menyebutkan namanya.

“Saya Nyai Demang, abdi dalem Keraton….”

“Saya pemilik sungai ini,” kata Gendhuk Tri ketus sambil tetap bertolak pinggang. “Ingin menemui Pangeran Hiang, dan ingin mengundang ke darat karena kelihatannya bisa membuat hiburan untuk anak-anak.”

Jalugeni mengusap rambutnya. “Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Hanya saja, kali ini Pangeran Sang Hiang tidak berkenan menerima kalian. Dan urusan ini tak ada hubungannya dengan prajurit tua atau abdi dalem, ataupun pemilik sungai. Silakan kembali ke darat dengan baik-baik.”

“Kalau bukan urusan kami, urusan siapa?” Gendhuk Tri langsung mencerocos. Sementara berbicara pandangannya ke arah kiri-kanan, memperhatikan sekitar.

“Urusan Baginda….”

“Kamu mengerti tentang Baginda atau Keraton? Mengenali siapa rajanya saja tak becus, mau bicara soal Baginda.”

Perintah Takhta
NYAI DEMANG sadar bahwa Gendhuk Tri tengah memancing ke arah pembicaraan. Walaupun kedengarannya sangat tidak enak, Gendhuk Tri tidak bermaksud meremehkan Baginda. Mpu Sina tampak menahan gejolak darahnya yang mendidih, yang risi mendengar kalimat-kalimat Gendhuk Tri yang memberi kesan tidak mau menganggap Baginda adalah rajanya!

“Saya tak mau berbicara lebih jauh. Ini masalah takhta penguasa seluruh jagat tanpa kecuali. Bahkan kalau bisa kami tidak usah berbicara atau bertemu muka dengan kalian. Saya melanggar pantangan ini karena ingin membawa serta Permaisuri Rajapatni. Itu saja.”

“Tahu dari mana yang datang itu Permaisuri Rajapatni?”

Jalugeni memandang tajam.

“Kamu kira kalau ada tanda khusus yang ditinggalkan untuk Permaisuri Rajapatni, beliau mau begitu saja datang? Jalugeni, tolong kamu bilang sama Pangeran Sang Hiang yang katanya putra mahkota takhta Tartar yang mampu meneguk jagat. Yang barusan datang adalah pesinden dari desa yang diumpankan untuk kalian. Bahwa yang berada di Simping dan kalian bawa bukanlah Baginda sesembahan kami. Nah, kalau ini sudah jelas, dan kalian tetap mau membawa semua itu ke Tartar, ya… tak ada yang menghalangi.”

“Kalau bukan raja kalian, untuk apa kalian memaksa bunuh diri?”

“Kenalilah tanah Jawa, dengan menginjakkan kaki ke buminya. Bukan dari perangkap tikus ini. Siapa pun yang mengganggu ketenteraman bumi ini, mengusik selembar daun, membunuh seekor nyamuk, menjadi tanggung jawab kami semua yang dibesarkan di bumi ini. Mengerti?”

Otot di tangan Jalugeni meregang.

“Kami datang bertiga. Tidak adil kalau kamu melawan sendirian. Keluarkan pangeranmu dengan istrinya….”

Belum selesai ucapan Gendhuk Tri, Jalugeni bergerak sebat. Kedua kakinya menyapu Gendhuk Tri dan kedua tangannya membekuk dari arah depan dan belakang. Cepat sekali gerakannya. Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya, namun mendadak dirasakan bahwa selendangnya menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Kedua kakinya mundur dua langkah, tubuhnya berputar. Kedua tangan Jalugeni tetap berada di depan dan di belakang. Tetap berusaha memeluk Gendhuk Tri. Keras. Bagai cengkeraman baja kukuh.

Seumur-umur Gendhuk Tri tak pernah menghadapi lawan yang begitu keras dan kaku gerakannya. Sangat keras dan sangat kaku! Kalau biasanya Gendhuk Tri meloloskan diri dari bagian bawah dengan menjatuhkan tubuhnya, kali ini tidak mungkin lagi. Bukan karena kuatir ada jebakan tertentu di bawah, melainkan karena kedua kaki Jalugeni sudah menguasai bagian bawah secara total. Sedikit saja gerakan kaki Gendhuk Tri salah, akan terlibat habis!

Nyai Demang terkesima. Sehingga tak sempat menolong. Sebaliknya, Mpu Sina yang berada dalam jarak dekat bersikap sebagai ksatria untuk tidak menyerang dari belakang. Nasib di tangan Gendhuk Tri sendiri. Menyadari bahaya yang tidak main-main, Gendhuk Tri menekuk tubuhnya. Semua ruas tulang dalam tubuhnya seperti dilipat menjadi satu. Tubuhnya masih berdiri tegak, akan tetapi seolah berubah menjadi pendek. Dua tangannya terangkat ke depan, membuat pertahanan dengan siku membuka. Sehingga kalaupun pelukan itu mencengkeram, sodokan sikunya bisa mendahului.

“Itu gerakan memadat,” komentar Eyang Puspamurti. “Bukan gerakan yang menguntungkan, karena dengan begitu ia bertahan secara total. Bertahan sepenuhnya. Dalam gerakan dua-tiga kali lagi, bahkan mungkin tenaga dalamnya tak bisa disalurkan secara leluasa. Seharusnya wanita itu, Tri itu, memainkan tenaga dalam dengan sifat air seperti yang dimiliki. Yaitu mengalirkan jepitan seperti gelutan-sebelum lebih jauh kalian harus tahu, itulah ciri utama Tartar. Berbeda dengan ilmu silat Cina yang mengandalkan tenaga dalam dan kembangan, Tartar mengandalkan tenaga luar. Susah. Barangkali susah memakai tenaga mengalir. Karena Jalugeni itu sangat kuat. Luar biasa. Mestinya saya terjun langsung sehingga kalian bisa tahu lebih jelas….”

Penjelasan Eyang Puspamurti kepada ketiga muridnya cukup jelas, akan tetapi tidak menggambarkan kenyataan sepenuhnya. Karena apa yang terjadi lebih cepat dan lebih beragam.

Jalugeni mampu menguasai Gendhuk Tri, akan tetapi juga terkejut melihat bahwa tubuh lawan bisa mengerut. Pada saat itu siku lawan seperti menembus ulu hatinya. Sehingga Jalugeni menarik tubuhnya sedikit miring ke samping. Dengan demikian, gerakan tangannya juga ikut menyamping. Seolah menyerang Mpu Sina. Yang dengan cepat luar biasa mencabut keris dan menusuk keras. Jalugeni meloncat ke angkasa, tungkai kakinya mematuk dahi Mpu Sina.

Seperti julukannya, jalu adalah taji bagi ayam jantan. Gerakannya tak jauh berbeda. Yang berbeda adalah tembusan tenaganya yang begitu keras menyengat. Nama tambahan geni, atau api atau bara, bukan sekadar nama pemanis. Tetapi memang mempunyai alasan kuat. Mpu Sina mendengus pendek. Kerisnya mendadak naik. Tegak lurus. Mana yang lebih dulu. Ayunan tungkai yang menjadi taji atau ujung keris. Jalugeni tak mau berisiko. Tubuhnya dijatuhkan ke depan. Mpu Sina juga tak menunggu lama. Tubuhnya ikut melayang ke atas. Kerisnya kini berpindah dalam jepitan kaki! Menyambar ke bawah!

Jalugeni mengeluarkan suara keras. Bersamaan dengan itu, mendadak atap bagian tengah rumah-rumahan membuka, dan sekian belas bayangan berkelebatan keras. Gendhuk Tri melepaskan selendangnya. Bersama dengan Nyai Demang keduanya menyatu dan menyerbu. Langkah keduanya tertahan, karena serbuan panah dari berbagai penjuru. Terpaksa mengurung diri, bersama Mpu Sina yang juga mundur ke belakang. Gerakan mundur mereka begitu cepat sehingga menempel ke dinding perahu. Yang sekali lagi menjeblak ke bawah.

Mpu Sina yang lebih dulu meluncur ke bawah. Kakinya menotol rakit yang ditinggalkan Permaisuri Rajapatni. Sekaligus tubuhnya membal ke pinggir. Dalam menotol tadi, Mpu Sina sekaligus mengubah letak rakit yang mendekat ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Yang melakukan gerakan sama. Di antara mereka bertiga, Nyai Demang yang paling lemah. Maka meskipun sudah mengempos seluruh kekuatan, tubuhnya tak bisa mencapai pinggiran sungai. Gendhuk Tri tak mampu menyelamatkan karena ia sendiri tengah melayang. Satu kelebatan tubuh menyambar Nyai Demang, merangkul, dan membawa ke tepi.

“Paman Jaghana.”

Jaghana tersenyum lembut. Matanya tetap memancarkan sinar lembut, bibirnya yang basah dan sedikit merah memancarkan senyuman. Wajah yang selalu sumringah. Selalu mengandung harapan, kebahagiaan, dan ketenteraman.

“Ya, dia yang kalian kenal sebagai Truwilun. Jangan cerewet. Sekarang akulah guru kalian. Dan ini pelajaran penting!” teriak Eyang Puspamurti di tempatnya. “Gerakan Truwilun atau Jaghana itu kaku. Jelek sekali. Tak pantas kalau ia berasal dari Perguruan Awan yang kondang itu. Kenapa jadi begitu buruk? Apa ilmu silatnya sudah anjlok? Kenapa waktu menghadapi aku ia kelihatan sakti?”

Eyang Puspamurti tak pernah menduga bahwa seumur hidup Jaghana baru sekali ini memeluk wanita. Sebelumnya, jangan kata memeluk, menyentuh saja tidak pernah. Memandang lekat saja tidak. Makanya gerakannya tampak menjadi kikuk.

“Maaf…,” katanya pelan.

“Terima kasih, Paman,” suara Nyai Demang terdengar sangat lirih. Ia sendiri tiba-tiba merasa kurang enak telah menyebabkan Jaghana sangat repot. “Paman… Paman Wilanda…”

Jaghana mengangguk. Wajahnya tetap memancarkan kearifan. “Sudahlah. Adimas Wilanda telah menemukan kesempurnaan yang sesungguhnya.” Suaranya menghibur, akan tetapi nadanya tetap terasa hambar.

Mpu Sina memberi hormat dengan sedikit membungkukkan badan. “Saya masih sempat mengenal Perguruan Awan.”

“Duh, Senopati budiman, saya yang merasa bahagia bisa bertemu dengan nama yang selama ini harum….”

Keduanya tampak saling menghormati, tetapi juga menyadari bahwa tak ada waktu yang cukup untuk itu. Di kejauhan terdengar suara lantang yang meneriakkan bahwa Mahapatih Nambi telah datang.

Mengalihkan Aliran Sungai
SEJENAK perhatian terserap ke arah Mahapatih Nambi yang seolah terbang dari atas kudanya. Begitu meloncat ke tanah langsung mengumpulkan para senopati.

“Semua prajurit, tanpa kecuali, harus bersiap! Sewaktu-waktu akan ada perintah penyerbuan! Saya tidak akan mempermasalahkan kebodohan prajurit telik sandi yang kebobolan sampai tingkat paling memalukan. Sekarang, semua pikiran hanya ditujukan kepada bagaimana membebaskan Baginda, mengusir lawan tanpa menimbulkan korban.”

Mahapatih menunjukkan kelasnya sebagai pimpinan prajurit.

“Para dharmaputra yang ada memimpin masyarakat di sebelah barat dusun. Mereka sedang melakukan upaya untuk membendung sungai, dan membelokkan arus ke desa sebelah. Apa pun yang terjadi sebagai risiko banjir sementara, tak menjadi soal. Dengan berubahnya aliran Brantas, perahu lawan tak bisa berlayar. Mengurangi arus air yang mengalir sebanyak mungkin adalah tujuan pengerahan tenaga di sebelah barat. Ada pertanyaan dan keraguan?”

Jawabannya ialah anggukan.

“Pasukan panah berapi disiapkan dan mengurung secara langsung. Kalau keadaan sudah mepet dan tak ada jalan lain, lebih baik perahu itu terbakar daripada lepas ke laut. Di sini saya yang memegang komando, dan tak ada yang lain.” Pandangannya menyapu ke seluruh prajurit yang menunduk hormat.

“Untuk menyelamatkan Baginda, para senopati dan para ksatria akan bekerja sama. Karena rombongan Pangeran Hiang tak bisa ditarik ke darat, pertarungan akan berlangsung di perahu. Usahakan membuat rakit sebagai jembatan ke arah perahu. Saya akan maju sendiri, bersama Halayudha dan para ksatria utama yang sekarang sudah berkumpul. Senopati Pangsa, bagaimana keadaan lawan?”

“Seperti sudah kami laporkan, Mahapatih. Nyai Demang juga sudah berusaha mengintip ke dalam perahu. Sementara ini yang kami ketahui, Baginda dan para permaisuri ditawan di dalam perahu yang dilindungi dengan segala perlengkapan dan persenjataan aneh, serta binatang berbisa, termasuk barisan buaya. Kekuatan lawan ditangani oleh Pangeran Hiang dan Permaisuri Koreyea, serta pengikutnya yang berjumlah sekitar dua belas atau tiga belas pendekar. Pangeran Hiang seorang jago silat yang ternama, yang besar di perantauan. Ilmu silatnya berakar pada ilmu silat Tartar. Sampai sekarang belum ada yang mengetahui bagaimana wujud Pangeran Hiang dan seberapa jauh ilmunya. Kita belum bisa menerobos masuk. Usaha terakhir dilakukan oleh Mpu Sina yang mulia, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang.”

“Baik, baik. Jadi perahu itu sekaligus merupakan benteng. Apa yang telah diusahakan untuk menjebol?”

“Lewat arus sungai, akan tetapi gagal. Prajurit kita tak mampu mendekat. Persenjataan mereka juga sangat rumit. Terutama barisan anak panah yang lepas seketika, serta asap yang membuat seluruh tubuh panas seketika. Kami menghentikan usaha menerobos lewat rakit.”

“Sementara itu saja. Jangan segan mengerahkan upaya untuk ini. Ibarat kata, kita semua sedang memindahkan aliran sungai dan gunung sekaligus. Apakah sudah ada keterangan dari Raja?”

“Raja berkenan datang memimpin sendiri.”

“Baik. Selama belum ada itu, saya yang memegang komando.” Mahapatih Nambi memberi aba-aba dengan tangannya. Membubarkan kerumunan para senopati. Kemudian memandang ke arah Senopati Halayudha. “Saya perlu bantuan Senopati.”

“Kebanggaan tersendiri bagi saya, Mahapatih.”

Keduanya bertatapan. Seolah saling mengukur kekuatan yang tak terlihat. Dalam situasi segenting itu, Mahapatih Nambi tak akan bisa menebak jalan pikiran Halayudha. Suaranya yang mantap dan anggukan kesetiaan tidak dengan sendirinya menggambarkan apa yang berbunyi dalam hati Halayudha. Karena Halayudha melihat bahwa jalan mendaki lurus yang menyenangkan telah berubah sekarang ini.

Ketika berangkat ke Lumajang, Halayudha yakin sekali dirinya bakal muncul menjadi mahapatih. Kekuasaan Raja boleh dikata sudah berada dalam genggamannya. Di Lumajang dirinya sudah mempunyai rencana matang untuk menyudutkan Mahapatih Nambi. Dengan memperbesar masalah lama. Ganjalan hati Raja bahwa sesungguhnya Raja kurang berkenan dengan Mahapatih. Itu sebabnya permintaan Mahapatih untuk palapa karya, atau cuti dari tugas, mendapat persetujuan tanpa batas.

Dengan mengobarkan persoalan Mpu Sina, Halayudha merasa yakin berada di atas angin. Itu kenyataannya. Karena Mahapatih Nambi sudah mulai terpancing. Hanya saja suasana dan situasi berubah bagai siang ke malam. Penyanderaan Baginda membuat Mahapatih bangkit kembali. Dan menjadi pemimpin yang langsung memegang komando. Ini berarti kembali ke kekuasaan yang diakui secara langsung. Lebih kokoh lagi karena kini Mpu Sina sendiri terjun ke dalam gelanggang. Kekuatan moral yang membangkitkan semangat semua prajurit yang ada.

Apalagi ditambah pengerahan masyarakat untuk membelokkan aliran sungai, praktis Mahapatih diakui kepemimpinannya oleh semua lapisan. Masih harus ditambah lagi bahwa kini para ksatria turut berkumpul untuk mendukung. Sempurna sudah kekuasaan yang bulat di tangan Mahapatih Nambi. Kalau saja dirinya yang memperoleh kesempatan itu, Halayudha merasa jauh lebih leluasa untuk tampil. Kalau saja dirinya tidak pergi ke Lumajang, pengakuan itu akan disandangnya.

Menurut perhitungannya hanya dengan peristiwa-peristiwa besar sajalah pemimpin kedua akan muncul sebagai tiang utama. Hanya dari peperangan gawat yang menentukan inilah peranan untuk Mahapatih mendapat pengakuan. Bukti yang jelas adalah penunjukan Upasara Wulung sebagai mahapatih. Karena secara nyata Upasara Wulung menunjukkan kedigdayaan dalam pertempuran. Demikian pula ketika diadakan pengangkatan Nambi, yang menjadi masalah karena senopati lain juga merasa lebih berjasa. Lebih mempunyai peranan dalam pertempuran. Peperangan yang melahirkan pemimpin. Medan peperangan yang menciptakan orang menjadi pahlawan.

Halayudha menyadari kekeliruannya. Selama ini ia berada di balik Baginda, di dalam bayangan Raja. Meskipun kekuasaannya diakui dan bisa memainkan peranannya, tetap saja ada lubang menganga yang mengganggu keabsahannya untuk menjabat mahapatih. Karena kehadirannya tidak terasa menentukan dalam peperangan. Itu pula sebabnya Halayudha mengubah model penampilannya. Tapi sekarang ini terlambat.

Mahapatih Nambi justru keluar dari sarang. Kekuatan yang kesilep, terbenam, malah muncul kembali. Tidak sebagai mahapatih yang palapa, melainkan sebagai pemegang kekuasaan penuh. Berarti makin sulit baginya untuk tampil secara gagah. Terlambat. Terlambat?

Pertanyaan ini menggema. Tak ada yang terlambat. Situasi memang memungkinkan tampilnya Mahapatih Nambi. Akan tetapi ini belum berarti semuanya sudah di tangannya. Justru karena upaya untuk pembebasan Baginda sedang dimulai. Masih ada peluang. Selalu ada peluang. Dalam peperangan, segalanya bisa berubah. Segalanya bisa terjadi. Apalagi secara resmi Mahapatih Nambi mengatakan akan memimpin langsung. Berarti terjun ke tengah peperangan.

Kalau benar Pangeran Hiang sangat sakti, masih ada kemungkinan perubahan. Kalau dirinya cukup cerdik membaca situasi, bukan tidak mungkin ada kesempatan untuk tampil. Selama ini yang menjadi ganjalan bagi Halayudha hanyalah Mahapatih Nambi. Karena dari para ksatria, rasanya tak ada yang bermimpi menjadi mahapatih di belakang hari. Bahkan penunjukan Baginda pun bisa batal! Menyadari perhitungannya, Halayudha menyempatkan diri mengutarakan maksudnya.

“Maafkan hamba, Mahapatih. Kalau hamba lancang sekarang ini, karena terpanggil untuk berbuat segera. Apakah tidak seyogyanya Mahapatih membentuk pasukan inti untuk menerobos ke dalam perahu. Karena jumlah prajurit yang banyak, hanya akan memperbanyak korban yang tidak perlu. Di sini kebetulan ada Mahapatih yang perkasa, ada Senopati Sina, ada Jaghana, Gendhuk Tri, Nyai Demang, dan mungkin saya sendiri. Dengan tambahan beberapa nama lagi, rasanya kita berani menerobos ke dalam perahu.”

Anggukan perlahan Mahapatih Nambi berarti satu langkah yang pasti bagi Halayudha untuk meneruskan langkah berikutnya. Langkah yang telah jelas dalam benaknya.

Membalik Ikan, Perahu Karam
ALIS Mahapatih Nambi menyatu. “Tujuan dari serangan pertama yang kita lakukan sekarang ini adalah untuk mengetahui keadaan dalam perahu. Saya sudah memerintahkan untuk membuat gambar perahu yang sama di darat. Sehingga kita bisa mengetahui di mana Baginda berada. Untuk itu semua, saya minta kerelaan para prajurit dan para ksatria berada dalam satu gerakan Membalik Ikan.”

Eyang Puspamurti yang berada di atas pohon mengangguk-angguk. “Kwowogen, kamu yang paling suka mempelajari strategi perang. Tahu arti gerakan Membalik Ikan? Itulah gerakan untuk mengacau-balau musuh, agar kita tahu kekuatan lawan yang sesungguhnya. Kalau kita makan, ikan kita balik, kita tahu semuanya, sehingga lebih tepat memilih mana yang akan kita ambil lebih dulu. Gerakan yang bagus dan tepat. Mahapatih itu ternyata mempunyai bibit sebagai senopati ing ngalaga, senopati di medan pertempuran. Strategi ini pertama-tama bukan untuk memperoleh kemenangan seketika, melainkan untuk mengetahui kekuatan lawan. Langkah berikutnya adalah memastikan strategi selanjutnya. Dengan Membalik Ikan, ini berarti harus menjungkirbalikkan perahu. Atau membuat perahu karam.”

“Eyang…”

“Dengar dulu. Dalam setiap gerakan atau strategi, bisa berarti yang sebenarnya, akan tetapi bisa juga berarti kurang atau lebih. Dalam hal ini, sangat tidak mungkin sekali membuat perahu karam. Akan tetapi suasana dibuat sedemikian rupa seolah perahu karam, dan semua isinya keluar. Karena saya adalah guru kalian yang sakti dan tahu segala macam lebih dari guru mana pun, kalian dengar baik-baik. Saya seret kalian bertiga kemari untuk menerima wejangan. Untuk serangan Membalik Ikan, yang diperlukan pertama ialah prajurit yang wedi wirang, wani mati, takut kepada kehinaan, lebih berani kepada kematian. Kematian jauh lebih berarti daripada keselamatan tapi hina. Dalam hal ini ketidakmampuan menjalankan tugas atau Membalik Ikan. Dalam mati, prajurit harus mati mbegagah, ora mringkus, mati dengan gagah, bukan ketakutan. Mati gagah ialah mati dengan membunuh lawan. Satu-satunya cara untuk membangun serangan ini adalah dengan bergerak cepat. Dalam ilmu keprajuritan disebutkan sebagai gerakan banteng ketaton, atau banteng terluka. Selalu menyerang ke depan, tanpa memedulikan kemungkinan terluka. Makin terluka makin maju. Kesebatan yang dipakai adalah jurus Cukat Kadya Kilat, Kesit Kadya Tatit-Bergerak Cepat Menyambar Bagai Kilat, Menembus Satu Bagian untuk Kemudian Segera Menembus Bagian yang Lain Lagi. Gerakan burung prenjak tinaji, atau gerakan burung prenjak yang dipanah. Tidak berada dalam satu tempat dalam satu jurus. Semakin luas wilayah yang digempur, semakin cepat mengetahui situasi. Dengan serangan seperti ini, apa yang kalian pelajari perlahan, diam-diam, urutan jurus menjadi tidak penting lagi. Kalian harus memakai pendekatan ngamuk punggung, atau mengamuk sebagaimana orang bodoh, yang tak mengenal ilmu silat. Yang penting terus-menerus merangsek, menggempur, berpindah, menyambar, dan maju. Mengerti, Kwowogen?”

“Ya, Eyang. Ini sama dengan ajaran Eyang mengenai menyerbu benteng musuh.”

"Lain"

“Eyang…”

“Lain. Menyerbu benteng, berusaha menguasai di dalam. Ini lebih dekat dengan jaladri pasang, atau pasang laut. Bukan hanya inti di dalam yang diserang, melainkan semuanya. Seluruhnya. Meskipun demikian gerakan ini ada pemimpinnya, ada yang mengatur apakah gerakan ini membentuk perahu, membentuk alun-alun, atau yang lainnya.”

“Apakah semuanya bersedia berkoban seperti yang dituntut, Eyang?”

“Mada, kamu selalu bodoh dan pintar. Harus begitu. Kalau tidak akan mengganggu satu sama lain. Kenapa kamu ragu?”

“Tidak, Eyang.”

“Kamu mau maju, Mada?”

“Kami bersedia sekarang juga.”

“Kalian masih bodoh. Belum mampu mengendalikan diri. Sekarang perhatikan baik-baik. Mahapatih sedang menyusun kekuatan yang menjadi intinya.”

Halayudha menunduk sebelum mendongak dan mulai berbicara. “Maafkan sekali lagi. Rasa-rasanya kita masih mempunyai ksatria yang bisa menunjukkan pengabdian, membalas kebaikan bumi pertiwi. Di mana Ratu Ayu?”

Tak ada yang menjawab.

“Saya kuatir kalau Ratu Ayu justru berada di perahu.”

“Kenapa Senopati berpikir begitu?”

“Dalam keadaan segenting ini, siapa pun pasti akan muncul di sini. Apakah itu Upasara, Singanada, bahkan juga Kiai Sambartaka. Ini peristiwa besar, dari segi apa pun.”

“Apakah Senopati ingin mengatakan bahwa Dimas Upasara, Singanada, bisa berada dalam perahu?” Suara Nyai Demang terdengar tinggi nadanya.

“Maaf, saya hanya mencoba melihat segala kemungkinan yang ada. Karena rombongan Pangeran Hiang rasa-rasanya tidak mungkin berhasil secepat ini tanpa bantuan orang dalam. Karena serangan pertama langsung ke Simping dan menjarah isi Gua Kencana.”

“Ada benarnya,” potong Mahapatih Nambi. “Akan tetapi bukan sekarang ini saatnya mempersoalkan. Saya minta dalam hal ini tak ada dugaan atau kecurigaan atau pikiran lain. Kita akan bergerak sekarang, seadanya.”

Mahapatih Nambi bergerak ke depan. Diikuti Halayudha, Mpu Sina, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang. Sementara itu rakit dan batang kayu yang menghubungkan ke arah perahu sudah tersambung. Jaghana melangkah di urutan paling belakang. Dengan kawalan prajurit yang bersiaga mengepung, keenam ksatria melangkah gagah. Meniti rakit dan meloncat secara bersamaan, dari enam penjuru.

Sambutan pertama adalah lontaran anak panah yang menderas. Karena sudah bersiaga sebelumnya, tak satu pun yang melukai. Mahapatih langsung mendarat di lantai perahu. Kedua tangannya menghunus keris. Setindak langkahnya, mendadak lantai perahu seperti amblas ke bawah. Tidak benar-benar amblas, melainkan miring ke satu sisi. Dengan sangat cepat. Akan tetapi seperti diperhitungkan oleh Eyang Puspamurti, kali ini keenamnya tidak surut atau mengubah langkah. Dengan satu teriakan keras, Mahapatih meloncat, menyerbu ke arah bangunan rumah-rumahan di buritan.

Atap bangunan rumah-rumahan itu mendadak membuka. Dan dari dalam terlempar gumpalan warna merah. Mpu Sina dan Gendhuk Tri serta Nyai Demang menolak secara bersamaan. Sehingga gumpalan itu berbalik arah. Tiga kali gumpalan merah terlempar, akan tetapi ketiganya tertolak ke luar. Satu gumpalan terlempar ke laut.

“Awas semut ngangrang!” Suara Jaghana sebagai peringatan halus.

Bisa diduga bahwa gumpalan semut itu bukan semut biasa, kalau dilihat sebelumnya ada barisan ular hijau. Akan tetapi Jaghana yang memberi peringatan justru bergerak lebih jauh. Begitu atap rumah-rumahan membuka, Jaghana meloncat masuk ke dalamnya. Masuk!

Eyang Puspamurti menggaruk-garuk pipinya. “Harusnya aku ikut masuk melihat ke dalamnya.”

“Semua apa, Eyang?”

“Entahlah. Pastilah binatang berbisa yang sebentar lagi akan menggulung dan menerjang, menyerang mereka. Ada apa di dalam sana?”

Mpu Sina mengikuti. Akan tetapi tutup rumah-rumahan mengatup. Dengan keris di tangan kiri, Mpu Sina menyodet, dan menarik sekuatnya.

“Masuk!” Teriakannya keras.

Halayudha yang berada di dekatnya seperti ragu. Justru Gendhuk Tri-lah yang menerobos masuk. Sementara itu Nyai Demang berusaha mengebutkan selendang dan pukulan untuk mengusir barisan semut yang terus-menerus menyerbu ke arah mereka.

Mahapatih saling pandang dengan Halayudha. Keduanya bergerak cepat ke arah rumah-rumahan. Untuk menerjang masuk. Akan tetapi ketika tubuhnya melayang, mendadak terdengar suara sangat keras sekali. Nyai Demang minggir ke arah dinding. Tiang utama perahu jatuh ke bawah.

“Sekarang.” Kini Mpu Sina yang bergerak cepat. Dengan keris terhunus, tanpa mengetahui apa yang berada di bawahnya, Mpu Sina meloncat ke dalam.

Barisan Semut Api
HALAYUDHA tidak ikut menerjang masuk. Karena menurut perhitungannya sangat besar risikonya. Kalau atap yang selalu tertutup tiba-tiba membuka, pastilah disengaja untuk memancing. Sebagai gantinya Halayudha menggempur dinding rumah-rumahan. Dengan pukulan keras. Menimbulkan suara yang menggelegar karena benturan tenaga yang dahsyat. Tapi ternyata itu juga berarti mengundang bahaya.

Gumpalan semut ngangrang, semut api, lepas dari semua sudut. Dalam sekejap seluruh perahu berubah menjadi warna merah. Seolah terbakar. Yang menyaksikan dari pinggir, ataupun Eyang Puspamurti, mendecak karena kagum dan ngeri. Betapapun hebatnya bertahan, Halayudha, Mahapatih, serta Nyai Demang, mereka tak kuasa menahan barisan yang luar biasa menerjang maju. Seribu terbunuh, tiga ribu menggerayang maju. Dengan rahang terbuka seolah kesetanan.

Nyai Demang bergidik. Ia berusaha bertahan, akan tetapi akhirnya meloncat ke arah pinggir, dan terjun ke rakit. Mahapatih juga tak mempunyai pilihan lain. Hanya Halayudha yang terus bertahan. Dengan menggulung diri, kedua tangannya secara bergantian memompa tenaga dalam untuk menepiskan serangan. Kakinya bagai menari cepat sekali. Sekali bergerak, melindas habis puluhan kepala. Beberapa gigitan mulai terasa, akan tetapi Halayudha nekat bertahan.

Beberapa saat saja. Karena kemudian dari ujung tiang utama yang merebah, mendadak terdengar dengingan suara. Ratusan kumbang lepas dan menerjang. Halayudha menggulung kainnya, meloncat ke arah rakit. Kedua tangannya masih berseliweran mengusir kumbang. Walau tak urung beberapa sengatan mengenai tubuhnya. Dengan mundurnya Nyai Demang, Mahapatih, dan Halayudha, untuk sementara perahu kembali sunyi. Bagaimana nasib Jaghana, Gendhuk Tri, serta Mpu Sina belum diketahui.

“Kamu catat baik-baik, Kwowogen! Seorang mahapatih Keraton yang paling kuasa, dengan Senopati Halayudha yang paling sakti, ditambah lagi seorang wanita yang mampu berbicara dengan siapa saja, terbirit-birit karena semut dan kumbang. Pernahkah kamu membayangkan akhir yang mengenaskan ini? Catat baik-baik, Kwowogen! Di belakang hari kamu akan menyaksikan yang mungkin lebih mengerikan. Seekor cacing bisa menghancurkan Keraton. Dalam artian yang sebenarnya.”

“Eyang, kami akan maju.”

“Kamu diam di tempatmu, Mada. Ini masih hari pelajaran ilmu silat. Kalian belum pantas terjun ke gelanggang.”

“Rama Truwilun…”

“Tak ada siapa-siapa. Yang kamu dengarkan hanya aku. Lihat, masih ada yang menarik.”

Apa yang disebutkan Eyang Puspamurti memang menarik perhatian. Kawanan kumbang yang mendenging itu berputar-putar, dan kemudian secara berombongan masuk kembali ke tiang! Seperti mematuhi perintah. Demikian juga ribuan semut api. Mulai bergulung kembali, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar. Walaupun sebagian mati dan terinjak, akan tetapi yang tersisa bisa berkumpul kembali. Patuh.

“Kumbang bisa dikembalikan dari induknya. Dari ratunya. Akan tetapi bahwa semua bisa dilatih seperti itu, menandakan ketekunan yang luar biasa. Boleh juga Pangeran Hiang ini. Apa pikiranmu, Mada?”

“Terjun ke gelanggang.”

“Sekali lagi kamu bicara itu, kupatahkan dua tangan, dua kaki, dan batang lehermu. Yang mampu menerobos ke sana hanya aku. Kalian bertiga tak perlu berbuat itu.”

“Kenapa Eyang tidak turun?”

“Apa kalian bertiga sudah edan? Semua ilmu yang kumiliki, semua pengetahuan yang kukuasai, baru seujung kuku kuberikan kepada kalian. Bagaimana mungkin aku meninggalkan begitu saja?”

“Apakah berarti Eyang pun tak akan kembali kalau masuk ke sana?”

“Itu tidak penting, Mada.”

“Eyang…”

“Aku tahu pertanyaanmu. Yang kalian tidak tahu adalah bahwa ini pertarungan mati-hidup. Siapa pun yang terjun ke dalam gelanggang tak tahu pasti apakah masih bisa hidup atau tidak. Mpu Sina yang paling unggul, Jaghana yang paling kuat dan murni, serta Gendhuk Tri yang banyak akalnya, begitu masuk seperti tenggelam ke alam suwung. Tak ada suara berisik. Tak ada kegaduhan. Berarti ada perangkap yang lebih luar biasa. Yang mampu membungkam mereka bertiga. Aneh sekali. Pertarungan yang sesungguhnya belum terjadi, akan tetapi semua ksatria Keraton, semua senopati pilihan sudah dikalahkan. Tidak percuma Keraton Tartar menguasai jagat. Mereka benar-benar tangguh dan mempunyai persiapan yang sangat sempurna, dari segi apa saja. Kalau putra mahkota seperti Pangeran Hiang, kejayaan Tartar masih akan panjang. Panjang… Dulu Sri Baginda Raja mampu memotong telinga utusan Raja Tartar dan menyatakan perang. Rombongan berikutnya dapat dipatahkan oleh Baginda, digiring ke pinggir laut. Utusan yang berikutnya juga dikalahkan dalam pertarungan di Trowulan. Kini… Kini, siapa yang menandangi?”

“Eyang…”

“Di bengawan ini kita mengakui kejayaan mereka.”

“Eyang…”

“Apakah Bejujag juga mampu mengatasi kalau ia mampu menjelma lagi? Apakah pasangan Bejujag dan Pulangsih masih bisa menjadi pemenang utama? Jangan panggil namaku, Mada. Aku tahu, sebentar lagi aku akan turun ke gelanggang. Tak bisa lain. Nasib kalian sebagai murid dari guru terbaik di jagat ini mungkin akan berakibat lain. Inikah yang namanya nasib?”

“Eyang, Mahapatih sedang menyiapkan serangan berikutnya.”

Eyang Puspamurti melamun. Tidak peduli bahwa Mahapatih Nambi sedang menyiapkan prajurit yang menyiapkan barisan api. Obor-obor mulai dinyalakan di tengah hari.

“Kita akan menerjang sekali lagi.”

Halayudha mengangguk. “Kalau perlu, segalanya jadi abu.”

Nyai Demang mengelus gigitan semut yang menimbulkan bekas merah di kulitnya. “Dengan api, semua semut dan kumbang akan terusir sementara. Tapi kita tak tahu barisan apa lagi yang akan muncul. Apakah tidak sebaiknya kita menunggu Raja, yang bisa mengadakan pembicaraan?”

“Apa Nyai merasa gentar?”

“Halayudha, siapa pun sekarang ini gentar. Tapi gentar tidak berarti mundur. Hanya apakah tidak ada jalan lain?”

JILID 34BUKU PERTAMAJILID 36