Senopati Pamungkas
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
Buku Kedua
Karya Arswendo Atmowiloto
SENOPATI PAMUNGKAS II JILID 31
“Sama saja.” Puspamurti mengusap-usap hidungnya. “Tenaga dalam yang kalian pelajari adalah tenaga dalam dari Kidungan Pamungkas, yang akan membuat kalian menjadi mahamanusia yang bisa berbuat apa saja. Bisa mengerahkan tenaga seperti gunung, lembah, sungai, matahari, atau langit. Cara berlatih kalian sudah baik, akan tetapi kalian ini pemalas sekali. Seratus tahun lagi kalian masih belum bisa apa-apa. Tapi tak apa. Aku sudah berjanji mengasuh kalian.”
Puspamurti seperti tak memedulikan Halayudha yang masih terbaring kaku.
“Cara berputar kalian masih salah. Dalam mengerahkan tenaga, asal sepenuhnya berada dari dalam tubuh. Tubuh kalian ini, tubuh manusia yang menyimpan kekuatan sama dengan alam semesta. Kalau sebelum memukul kalian melangkah berputar, itu namanya masih memakai tenaga bumi. Masih mengambil tenaga dari perut bumi. Padahal perut kalian sendiri sudah menyimpan tenaga. Pengerahan tenaga bisa diatur dari pernapasan. Hirup kuat-kuat, tahan di bawah perut, alirkan ke atas, lewat hidung ke arah jidat, tahan di ubun-ubun, turunkan ke belakang melalui sumsum tulang belakang, sampai kembali terkumpul. Kosongkan pikiran, dan biarkan tangan bergerak sendiri untuk menangkis serangan lawan. Lawan kalian ini termasuk luar biasa. Ilmunya sudah setinggi langit. Tapi ia kelewat bodoh dan sombong. Ia tak menyangka manusia bisa lebih sakti dari bumi dan air. Kekuatan diamnya tak berguna. Kekuatan mengalirnya tak tuntas. Karena ia bukan mahamanusia. Karena ia masih berpikir malu kalau telanjang, karena masih berpikir untuk menang. Padahal perasaan semacam itu tak perlu benar. Menang atau kalah bagi mahamanusia tak berbeda. Kalian perhatikan ketika Halayudha meloloskan diri? Ia menyurut ke arah bumi yang rendah. Itu gerakan air yang selalu menuju ke tempat yang rendah. Dengan membaca geraknya aku bisa mengetahui arah larinya. Ada empat penjuru yang bisa dituju, akan tetapi aku tahu ke mana. Sehingga sebelum ia sampai ke tujuan, aku sudah ada di situ. Ketika ia menghindar lagi, ia mempergunakan tenaga putaran bumi. Itulah kesalahannya. Harusnya ia mengikuti putaran tubuhnya. Begitu mengikuti putaran bumi, aku tahu lalu menerjang dan merampas kainnya. Seperti yang kuduga, pikirannya masih bodoh dan terikat, sehingga ia menutupi bagian tubuhnya ketika serangan datang. Sebagai mahamanusia, telanjang atau tidak, tak berbeda. Menutupi lutut atau bukan lutut, sama saja. Kehormatan manusia tidak hanya pada satu barang itu saja.”
Halayudha mendelu hatinya. Apa yang dikatakan Puspamurti jelas bagi telinganya. Dan lebih dari keempat pemuda itu, ia mengetahui secara persis di mana kesalahannya.
“Kamu semua harus bergembira karena Jaghana mengajarkan kidungan yang diciptakan setelah kidungan-kidungan sakti yang lain. Sehingga lebih lengkap. O-oo. Itulah nasib, itulah keberuntungan. Itulah mahamanusia. Sekarang telah terbukti, kalian yang masih calon prajurit sudah bisa mengalahkan senopati yang dianggap paling sakti. Apa yang akan kalian lakukan sekarang ini?”
“Membalaskan dendam Madana.”
Puspamurti menggeleng. “Temanmu mati. Biar saja.”
Mada maju ke depan. “Eyang, kami tetap mau membalaskan dendam.”
“Tidak perlu. Kalau kamu mau membunuh Halayudha, bunuh saja. Tanpa dipengaruhi apakah itu membalas dendam atau tidak. Madana sudah sempurna, sesuai dengan kodratnya. Begitu juga Halayudha, kalau kamu mau membunuhnya sekarang. Bagaimana, kamu masih ingin membunuhnya?”
“Ya, Eyang.”
“Bagus.”
Tujuh Langkah Manusia
KALAU ada yang pernah disesali dalam hidupnya, Halayudha merasakan sekarang ini. Setelah sekian tahun malang-melintang di dunia persilatan, berguru dan menyelam ke dalam dasar-dasar berbagai ilmu, setelah melalui intrik perebutan pangkat dan derajat, sekarang justru terbaring telanjang di tengah padang. Kalau dirinya mati karena pertarungan dahsyat, rasanya tak akan nelangsa seperti sekarang ini. Tapi nasib manusia berjalan di luar tata krama manusia.
Upasara Wulung juga mati dengan cara mengenaskan. Kini gilirannya, dirinya. Kalau mengingat bahwa Mada, Senggek, Genter, Kwowogen begitu keras kemauannya dan mempunyai kenekatan, dirinya benar-benar bisa disakiti sebelum dihabisi. Apa yang tersisa lagi kalau mereka benar-benar menggosokkan telapak kaki ke wajahnya sebelum membunuhnya? Diam-diam Halayudha mencoba menjajal menembus kekakuan tubuhnya yang macet, sementara Puspamurti mengangguk-angguk dan bersuara nyaring.
“Bagus, dari kalian berempat yang wajahnya paling cemerlang adalah kamu. Siapa namamu?”
“Tadi Kwowogen, sekarang masih sama.”
“O-oo. Nama itu berarti kekenyangan dan hampir mati. Tahukah kamu bahwa kenyang dan lapar tak ada bedanya? Haus dan sakit, menjelang mati, karena yang pertama ada adalah urip.”
Keempatnya mengulang: urip.
“Urip itu hidup, artinya segalanya. Hanya dalam hidup segalanya punya makna, punya arti. Urip itu tenaga di bawah pusar.” Terhenti, sebentar. “O-oo… Dalam urip tak beda sakit, lapar, haus, kenyang, sehingga bisa terus dilatih tanpa henti, bisa terus menyerang tanpa takut. Daya hidup ini bila digabung dengan cahya, dengan cahaya, akan memberi kekuatan. Cahaya di mata membuat kamu melihat. Daya hidup harus digabung dalam daya cahaya. O-oo. Langkah ketiga disebut rasa. Rasa pangganda atau penciuman dari segala bau dan segala gerak. Langkah keempat berhubungan dengan sukma, yang selama ini membuat kita bicara. Langkah kelima amiyarsa, yang sehari-hari kita rasakan sebagai mendengar. Langkah keenam, berahi, yang kita rasakan sebagai daya asmara. Langkah ketujuh, budi, yang berada dalam darah, yang membuat kuku dan rambut bisa tumbuh. “Itu tujuh langkah.”
Puspamurti berjalan perlahan, memutari tempat di mana ia berdiri.
“Kekuatan manusia ialah bahwa ia itu manusia. Sadar. Menerima. Mengerti. Mengungguli. Tak ada yang luar biasa, tak ada yang biasa. Kekuatan bisa mengalahkan lawan, tenaga dalam, sebenarnya telah kita miliki. Hanya ada yang digunakan dengan sendirinya seperti membiarkan darah mengalir, dada berkembang, tumbuhnya rambut dan kuku, mendengar, melihat, merasa, dan berberahi. Padahal kekuatan yang sama bisa dipakai lebih. Sumbernya manusia, sebagai urip. Tanpa urip, cahaya tak ada maknanya. Juga rasa, juga berahi. Yang pertama ialah urip. Itulah segalanya. Letaknya di bagian perut di bawah pusar. Dalam Kitab Bumi pengerahan tenaga dengan sedikit mengangkangkan kaki seolah naik kuda, kedua tangan ditarik dari bawah ke tanah. Pada Kitab Air, gerakan tangan yang lebih menentukan dan bukan kuda-kuda kaki, sebab gerakan ini mengalir. Pada kalian, urip itu sendiri segalanya. Bisa menjadi gerak. Bisa gerak itu sendiri. Kamu tahu itu, Kwowogen?”
“Seperti yang saya dengar….”
“Mendengar tidak hanya suara. Kamu juga mendengar yang tidak bersuara. Batu kelihatannya diam, tapi ia bersuara. Langit bersuara. Tak beda dengan angin. Pukulan, serangan lawan, bisa bersuara bisa tidak. Bisa bergerak, bisa diam. Bisa dicium baunya, bisa biasa-biasa. Seperti rasa berahi. Tahu, Kwowogen?”
“Tahu, Eyang.”
“Tahu bahwa pantat Halayudha bisa menimbulkan berahi?”
“Tahu, Eyang.”
“Itu tandanya ada urip. Kamu bisa merasakan berahi itu?”
“Bisa, Eyang.”
“O-oo. Mau mencoba?”
“Mau, Eyang.”
“Daya berahi itu sama dengan membunuh, sama dengan melahirkan. Pada mahamanusia tak dibedakan. Tahu, Kwowogen?”
“Tahu, Eyang.”
“Ada yang kamu tanyakan?”
“Kenapa disebut langkah, kalau berahi hanya mungkin ada karena urip?”
“Disebut langkah karena merupakan rangkaian. Pusatkan tenaga di perut bawah pusar. Yak. Dari situ tenaga mengalir. Ke mata, ke lidah, ke berahi, ke tangan, ke kuku, ke rambut. Terasakan olehmu?”
“Ya, Eyang.”
“Tolol, jangan dengarkan dengan telinga.”
“Ya….”
“Jangan jawab dengan lidah….”
Kwowogen tampak mendelik. Tubuhnya bergoyangan. Demikian juga Mada, Senggek, dan Genter.
“O-oo. Kalian masih terlalu hijau. Mada, kamu dengar aku?”
“Ya, Eyang.”
“Masih bisa melihatku?”
“Ya, Eyang.”
“Kamu rasakan darahmu mengalir?”
Tak ada jawaban.
“Mada…”
“Tidak, Eyang.”
“Itulah ilmu. Itulah urip, itulah kehidupan yang sesungguhnya. Jelas?”
“Belum, Eyang.”
“O-oo.”
“O-oo, Eyang.”
Jawaban terdengar bagai koor. Halayudha yang tertelungkup merasa bahwa keempat pemuda itu mempunyai kepolosan, kejujuran yang luar biasa. Agaknya itu yang menyebabkan mereka bisa dengan cepat menerima ajaran Puspamurti atau Truwilun sepenuhnya. Dasar-dasar yang kosong. Kalau benar demikian, meskipun boleh dikata terlambat mempelajari ilmu, di kelak kemudian hari bisa menjadi bencana. Halayudha memaki dirinya sendiri. Jangan kata di belakang hari, sekarang pun sudah membuat bencana!
“Mada, kamu tak mendengar darahmu mengalir?”
“Tidak, Eyang.”
“Senggek, kamu tidak merasa darahmu mengalir?”
“Tidak, Eyang.”
“Genter, kamu tidak merasa rambutmu sedang tumbuh?”
“Tidak, Eyang.”
“Itulah ajaran yang sesungguhnya. Ilmu penguasaan tenaga dalam perut itu harus menjadi sesuatu yang tak kamu rasakan, tak kamu dengar, tak kamu lihat, tak kamu sentuh. Darah mengalir, kuku dan rambut dan gigi tumbuh seolah dengan sendirinya. Itu karena daya urip. Tenaga pukulan, perlawanan, menangkis, menyerang, bertahan, semua harus menjadi seperti mengalirnya darah, tumbuhnya kuku. Mengerti?”
“Sedikit, Eyang.”
“Berarti melatih pernapasan, melatih tenaga dalam itu tidak memerlukan waktu tertentu. Tetapi selalu begitu. Selalu. Sebagaimana kekuatan hidup itu sendiri.”
“Ya, Eyang….”
“Bagus. Cobalah berlatih.”
Percakapan Impian
HALAYUDHA makin merasa dirinya sangat konyol. Eyang Puspamurti sama sekali tak menghiraukannya lagi. Keempat pemuda juga langsung mengikuti petunjuk. Mengikuti cara melatih pernapasan, berulang kali. Jangan kata memperhatikan dirinya, diri mereka sendiri tak digubris. Segala gerak dan jalan pikiran mengikuti semua kalimat Eyang Puspamurti.
“Senggek…”
“Ya, Eyang….”
“Kenapa kamu masih mendengar?”
“Masih, Eyang….”
“Salah. Tolol. Kamu tidur?”
“Ya, Eyang….”
“Tidur, ya?”
“…Eyang….”
“O-oo. Tidur yang lelap itu bermimpi. Kamu bermimpi apa, Senggek?”
Senggek menggelepar seperti ikan yang dilemparkan ke darat.
“Kamu harus tetap tidur, dan bermimpi. Apa mimpimu?”
“…ada Eyang…”
“Itu bagus. Genter?”
“Ya, Eyang….”
“Kamu sudah mimpi…?”
“Rasanya…”
“Sudah?”
“Sudah, Eyang.”
“Itu namanya mimpi. Kamu sudah tidur?”
“Itu ilmu. Bagus… bagus. Kalian semua bagus-bagus. Kwowogen bagus, Senggek bagus, Genter juga bagus. Mahamanusia itu menguasai hidup. Mahamanusia itulah hidup. Tidur itu mengurangi hidup. Tadi kalian tak boleh tidur, karena akan mengurangi hidup. Bermimpilah, akan tetapi jangan biasakan dirimu tidur. Banyak perguruan mengajarkan untuk mencegah makan dan minum, banyak yang mengajarkan cegah dahar-nendra, atau mencegah atau mengurangi makan minum dan tidur. Yang pertama salah. Makan dan minum itu langkah. Seperti juga berahi. Pertanda hidup. Tak perlu dicegah. Yang kedua setengah salah. Karena mengacaukan pengertian makan-minum dengan tidur. Tahu di mana salahnya?”
“Ya, Eyang….”
“Kamu bersedia memperistrikan Halayudha?”
"Bersedia, Eyang….”
“Aku tidak tanya kamu, Mada….”
“Tetapi saya bersedia.”
“Kamu mau memperistrikan aku?”
“Bersedia, Eyang….”
“O-oo. Kamu pikir aku mau?”
“Tidak peduli, Eyang….”
Puspamurti berkejap-kejap matanya. Helaan napas terdengar keras. “O-oo. Kamu perkasa, Mada. Sangat ksatria.”
“Saya mengikuti petunjuk Eyang….”
“Apa?”
“Saya mengikuti petunjuk Eyang.”
“Itu baru betul. Tak boleh ragu.”
“Ya, Eyang.”
“Masih ingin jadi prajurit, Mada?”
“Masih, Eyang.”
“Prajurit mengabdi siapa?”
“Raja.”
“Bukan aku?”
“Raja.”
“Bukan Eyang?”
“Raja.”
“Kamu bunuh Mahapatih kalau diperintah Raja?”
“Raja.”
“Bukan Keraton?”
“Raja.”
“Bukan senjata?”
“Raja.”
“Bukan ilmu silat?”
“Raja.”
“Raja?”
“Raja.”
“Siapa rajamu?”
“Raja.”
“Siapa membunuhmu?”
“Raja.”
“Bukan Truwilun?”
“Raja.”
Tubuh Puspamurti menggigil. Perlahan seperti kehabisan tenaga, melemas, terduduk di antara keempat muridnya. Kepalanya menggeleng. “Jaghana, kamu benar. Kidung Pamungkas adalah Kidung Paminggir yang mengakui raja di atas segalanya. Kidungan para prajurit sejati. Jaghana, Jaghana, apakah kebetulan kamu menemukan orang-orang seperti Mada, Senggek, Genter, dan Kwowogen ini? Kalau mereka menjadi prajurit, apakah bukan prajurit terbaik? Kalau mereka prajurit terbaik, masihkah mereka manusia terbaik? Kalau ya, apa sebenarnya mahamanusia itu ada?
Puspamurti terbatuk keras sekali. Tubuhnya seperti kehilangan seluruh tenaga. Inilah kesempatan yang ditunggu Halayudha. Jalan terbaik untuk meloloskan diri. Akan tetapi beberapa kali usahanya mengembalikan tenaga selalu sia-sia. Halayudha menunggu. Tak ada suara. Ia tak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya menelungkup dan wajahnya menghadap ke tanah.
Akan tetapi mendengar napas yang teratur, bisa jadi Puspamurti tertidur kelelahan. Sesuatu yang tak akan meragukan Halayudha andai saja Halayudha mengetahui bahwa Puspamurti baru saja dikuras tenaganya dalam pertemuan dengan Jaghana, selama beberapa hari berturut-turut.
“Eyang…”
“Hmmm…”
“Eyang…”
“O-oo…”
Lejitan pikiran Halayudha memang selalu selangkah lebih dulu. Sewaktu usahanya mencoba membebaskan diri gagal, Halayudha menjajal dengan cara mengatur napas yang diajarkan Puspamurti kepada keempat muridnya. Akan tetapi ternyata tak juga berhasil. Karena dasar ajaran Kitab Bumi masih selalu memperhitungkan alam. Belum lepas bebas dan polos.
Kini, ketika Puspamurti membicarakan percakapan yang bisa dilakukan dalam mimpi, Halayudha menyabet kesempatan!Menjajal. Siapa tahu dalam keadaan setengah sadar seperti sekarang, ia bisa memperoleh cara membebaskan diri. Yang diajarkan oleh Puspamurti sendiri! Makanya ia memanggil Eyang. Dan menemukan jawaban.
“Eyang… cahya, rasa saya terhalang.”
“Darahmu tidak mengalir seperti biasanya. Karena aku yang mengubahnya.”
“Kenapa?”
“Biar saja.”
“Bukankah ajaran Eyang justru menjadikan naluri darah itu sebagai kekuatan? Kenapa Eyang justru merusakkan naluri?”
“Tidak merusak.”
“Bagaimana membebaskan?”
“Dicari sumbernya. Dari urip….”
“Jangan mau dipengaruhi, Eyang.”
“Siapa kamu mengganggu mimpiku?”
“Kwowogen, Eyang.”
“O-oo.”
“Eyang, jangan…”
“Terima kasih, Eyang… Jadi tetap dimulai dengan tenaga bawah perut?”
“Ya, mana lagi?”
“Eyang!”
Halayudha memusatkan perhatian dan pikiran sebisanya. Udara dihirup keras, disimpan dalam perutnya. Ditahan. Benar! Ada tenaga panas terasakan. Ada!
Laku Lindhu
SENGGEK coba mencegah agar Eyang Puspamurti tidak memberitahu Halayudha cara-cara membebaskan diri. Akan tetapi ketika ia mencoba sadar, justru tak bisa lagi berteriak Dadanya menjadi sesak. Sebaliknya Halayudha menemukan pemecahan! Dengan menghimpun tenaga di bawah perut, terasa ada yang bisa digerakkan. Yang pertama terasa getaran di tangan. Halayudha mencoba menyalurkan ke arah tangan dan kaki. Mental. Malah tubuhnya bergoyangan. Halayudha menjajal kembali. Rasa hangat di perutnya tak bisa digerakkan, meskipun tetap hangat.
“Eyang…”
“O-oo… Bukan begitu caranya.”
“Semua sesuai petunjuk Eyang….”
“Tidak mungkin. Aku tak memberi petunjuk. Itu salah.”
Gigi Halayudha gemeretak menahan geram. Benar-benar hebat kelewat-lewat ajaran Eyang Sepuh ini. Luar biasa. Setelah mampu menciptakan rangkaian jurus penolak Kitab Bumi, masih mampu menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Sesuatu yang dasar-dasarnya pun berlainan. Benarkah?
Pertanyaan ini menggoda Halayudha. Karena kalau benar tadi disebut-sebut Jaghana yang memberi dasar pelatihan, rasanya jelas berasal dari Kitab Bumi. Jadi kalau berbeda, di mana perbedaan itu? Benar bahwa Puspamurti belum memberitahukan caranya. Kalau tidak begitu, berarti…
“Tenaga itu sudah ada di dasar perut, Eyang….”
“Nah, itu sudah bisa.”
“Tapi tak bisa digerakkan.”
“Siapa yang menyuruh menggerakkan?”
“Saya tak bisa bergerak.”
“Memang tidak. Biar saja bergerak sendiri.”
“Cahya, rasa tak mampu menggerakkan…”
“Kamu keliru, Halayudha. Tanggalkan laku, pendekatan, cara, sistem, yang selama ini kamu pergunakan. Masing-masing mempunyai laku yang berbeda. Sama mengumpulkan tenaga, tetapi tak bisa sama menggunakan. Semakin kamu paksakan, akan semakin merusak cara yang telah kamu miliki. Tangan bisa memainkan keris, pedang, kantar, tombak, karena sebenarnya sama. Kaki bisa menendang, meloncat, menekuk, menyamping, menggunting, karena sebenarnya gerakan itu sama. Tangan bisa memainkan peranan kaki. Kaki bisa memainkan peranan tangan. Karena gerakan itu sama dan bisa dipelajari. Akan tetapi laku untuk memperoleh itu tidak sama. Kidungan mahamanusia memang berbeda.”
“Saya mulai menangkap apa maksud Eyang.”
“Kalau Upasara Wulung bisa mengambil tenaga dalam simpanan, itu karena selama ini ia memakai laku yang diajarkan Kitab Bumi. Kalau ia memakai laku ajaran Kitab Air, mungkin hal itu tetap bisa terjadi. Meskipun barangkali cara pemanggilan kembali tenaga dalam itu sedikit berbeda, akan tetapi dasar-dasar laku-nya. sama. Sementara Kidung Paminggir atau Kidung Pamungkas jauh berbeda.”
“Ada berapa macam laku, Eyang?”
“Mana aku tahu? Kamu kira aku tukang catat?”
“Eyang mengalami zaman itu.”
“Tapi tidak tahu. Yang kutahu, adalah laku yang kemudian dibakukan dalam ajaran Kitab Bumi. Baik Mpu Raganata, Kebo Berune, atau Pulangsih, semuanya mempunyai laku yang sama. Sampai kemudian lahir Kidung Paminggir. Segala macam bisa menjadi berbeda. Isinya menggegerkan karena menempatkan mahamanusia sebagai yang paling unggul. Cara mengidungkan juga lain. Sejak mengambil nada dan bersiap jauh berbeda. Yang menjembatani itu adalah Kidung Pamungkas. Yang bisa menerima laku dasar yang ada, dan laku yang dipakai dalam Kidung Paminggir?"
“Saya tahu, Eyang. Saya sadar. Bahwa ketika saya mencoba laku yang saya miliki, tak bisa dan tak berlaku. Semua gerak, pengaturan napas, tak bisa berjalan sebagaimana biasanya. Bumi, air, adalah bagian alam. Kodratnya adalah kodrat alam. Sedangkan mahamanusia, kodratnya manusia. Sehingga ketika daya urip yang saya miliki untuk menembus cahya, rasa tak mempan.”
“Memang.”
“Jadi bagaimana daya manusia itu, Eyang?”
“Daya yang sama.”
“Sama dengan daya alam atau daya manusia?”
“Dua-duanya, tolol. Bukankah sudah ada Kidung Pamungkas yang menjembatani dua laku itu? O-oo. Kamu belum mengerti juga? O-oo, ada gunanya menjadi orang yang menjadi tua. Halayudha, laku yang berada dalam ajaran Kitab Bumi bisa diumpamakan dengan penulisan di tanah Jawa ini. Bentuknya, gayanya, masing-masing bisa berbeda dari satu tangan dengan tangan yang lain. Tebal-tipisnya aksara tergantung tangan yang menorehkan. Akan tetapi selalu sama laku-nya. Dari kiri ke kanan, menggantung. Ini berbeda dengan laku, aksara dari tanah Tartar yang dari atas ke bawah. Atau dengan yang dari kanan ke kiri. Atau dari bawah ke atas. Sehingga kalau kamu membaca aksara Tartar dari kiri ke kanan, meskipun kamu mampu melahirkan kata-kata, aksara itu tak ada maknanya. Atau menjadi sangat berbeda. Itu sebabnya kamu bisa keok dalam seketika. Tapi kamu tak menduga karena merasa. Kamu merasa benar! Tahu? Eyang Sepuh yang sakti itu mampu menciptakan laku yang pendekatannya jauh berbeda dari ajaran yang ada.”
“Kalau begitu, Eyang, bagaimana cara mengerahkan tenaga menurut Kidung Paminggir”
“Aku sudah lupa.”
Hah! Halayudha terguncang.
“Karena aku sudah masuk ke Kidung Pamungkas.”
Nah! Bukankah ini sama saja artinya, yang berarti dirinya bisa lolos? Kenapa hal kecil ini diributkan benar? Meskipun berpikir begitu, Halayudha tidak mengutarakan. Bukan karena takut Eyang Puspamurti gusar-hal yang tak akan terjadi. Tapi kuatir kalau penjelasannya panjang-lebar. Yang berarti menunda kebebasannya.
“Bagaimana laku dalam Kidung Pamungkas?"
“Kamu sendiri pasti mengetahui.”
“Saya… saya… tak bisa melihat.”
“Memang tidak. Karena Laku Lindhu tidak diterangkan secara gamblang. Harus bisa ditangkap dengan mata batin. Dengan cahya, dengan rasa, dengan berahi…”
Otak Halayudha bekerja keras. Ia cukup banyak menyelami berbagai kitab dan ajaran, sehingga baginya tak terlalu sulit memahami jenis-jenis tertentu yang baru. Untuk hal ini, Halayudha bahkan berani memuji dirinya yang bisa cepat menangkap inti ajaran. Seperti sekarang ini. Dengan menyebutkan Laku Lindhu, berarti yang dipakai adalah pendekatan lindhu, atau gempa bumi. Kekuatan yang dipakai untuk menerobos adalah kekuatan gempa bumi.
Sesuatu yang wajar. Sangat dekat dengan ajaran dalam Kitab Bumi. Masih ada sangkut-pautnya, karena sama penciptanya! Dalam memecahkan kunci membuka ajaran, Halayudha lebih cepat dari siapa pun. Dan bisa langsung menjelajahkan jalan pikiran.
“Lindhu yang mana, Eyang?”
“Yang mana saja.”
“Maaf, Eyang. Ada Dua Belas Gempa Bumi yang disebut-sebut dalam Kidung Pamungkas.”
“Makanya, kamu tinggal melepaskan rasa, agar tenaga gempa bumi yang sesuai yang masuk. Salah kalau kamu memaksakan diri. Salah kalau kamu mencoba satu demi satu. Itu semua cara yang dipakai untuk ajaran Kitab Bumi. Nah, sekarang makin jelas. Atau malah bingung?”
Mendadak terdengar suara Kwowogen. “Kenapa Eyang tidak menceritakan Dua Belas Gempa Bumi itu?”
Percakapan Gempa
DALAM keadaan bebas, Halayudha pastilah sudah menghajar Kwowogen hingga hancur lebur. Tapi juga memuji. Dalam penilaian Halayudha, Kwowogen jauh lebih cerdik dari Senggek. Kalau Senggek berusaha memotong pembicaraan, sehingga dirinya sendiri menjadi kacau pemusatan tenaganya, Kwowogen mengalihkan ke arah lain. Padahal tujuannya sama. Agar Eyang Puspamurti tidak segera menceritakan rahasianya, dan Halayudha tidak segera bebas!
“O-oo. Baik juga itu. Aku merasa menjadi makin pintar dan lebih dari kalian.”
“Eyang…”
“Tidak, Halayudha. Aku berbicara pada murid-muridku. O-oo. Dalam jagat ini ada Dua Belas Gempa Bumi. Masing-masing berbeda kekuatan dan akibat yang ditimbulkan. Gempa pertama ialah gempa yang menyusahkan, yang menghancurkan persediaan makanan. Akibatnya akan terjadi bahaya kelaparan. Gempa kedua ialah gempa yang menghancurkan rumah. Akibatnya akan terjadi perpindahan. Gempa ketiga, gempa yang menggerakkan ombak samudra. Akibatnya banyak perahu tenggelam…”
“Eyang…,” teriak Halayudha dengan menirukan nada Kwowogen, “apakah itu berarti bahwa dengan Gempa pertama, tenaga yang muncul berada dari kantong nasi, atau perut bagian bawah?”
“Ya, ya…”
“Dan Gempa kedua berarti tenaga dalam yang bisa dipindahkan dari sumbernya?”
“Ya.”
“Dan Gempa ketiga berarti mempergunakan tenaga untuk melawan serangan yang datang?”
“Ya.” “Berarti Halayudha bisa memakai tenaga Gempa…”
“Tapi Eyang tak usah menyebutkan dulu,” Mada memotong di tengah. Suaranya mengguntur. “Bagaimana dengan Gempa keempat, Eyang?”
“O-oo. Mada, tak usah teriak. Kwowogen, tak usah kuatir. Aku bisa mengenali nada suara Halayudha, karena dengusan napasnya berbeda. Kalaupun kuterangkan, ia belum tentu bisa. Karena bukan seperti yang dibayangkan… Apa? Gempa keempat? Gempa keempat adalah gempa dengan kekuatan menumbuhkan segala sesuatu dari dalam tanah. Akibatnya bisa membuat tanah subur. Gempa kelima, gempa yang menggoyang semua buah, bunga, daun yang berada di atas. Akibatnya tak akan ada buah yang tumbuh. Atau tak nanti lawan bisa mempergunakan tenaganya, karena sudah dirontokkan lebih dulu. Nah, dengan penjelasan lebih lengkap begitu, sekaligus bisa diketahui inti dan kekuatannya. Puas kamu, Halayudha? O-oo. Kamu masih berkutat dengan tenaga dalammu. O-oo. Gempa keenam, gempa yang mempunyai dua sisi. Kalau terjadi siang hari berarti tenaga membunuh, kalau malam hari berarti tenaga yang mempercepat tumbuhnya padi. Yang luar biasa adalah jika kamu bisa menggempakan dirimu dalam siang dan malam hari. Sekali menghancurkan lawan, tenaga dalammu sendiri tumbuh. Ketepatan menangkap isyarat dan menguasai saat yang tepat akan sangat menentukan. Gempa ketujuh, gempa yang menghancurkan semua binatang yang bergerak. Kalau saat itu lawan dengan bergerak, apalagi menggunakan tenaga mengentengkan tubuh atau berkelit, melarikan diri, maka terkerahkannya tenaga Gempa ketujuh akan menyelesaikannya. Gempa kedelapan, gempa yang mempunyai dua sisi seperti Gempa keenam. Yaitu gempa siang dan malam hari. Hanya saja akibatnya sama. Membunuh. Sisi mana pun, tenaga membunuh yang besar yang menyalur. Dua sisi berurutan akan sangat keras akibatnya. Gempa kesembilan, gempa yang membenturkan dua atau lebih tenaga yang ada. Akibatnya tenaga lawan akan bentrok. Tenaga gempa ini sangat menguntungkan kalau kita dikeroyok, sehingga lawan-lawan akan saling bunuh sendiri. Kalau menghadapi lawan yang menguasai banyak ilmu akan tetapi belum terkuasai sepenuhnya, hasilnya sama bagusnya. Kalian tahu kenapa Halayudha begitu mudah ditelikung? Gempa kesepuluh, gempa yang mengacaukan kekuatan dasar lawan. Akibatnya menggoyahkan kemampuan, merusakkan kepercayaan diri. Gempa kesebelas, gempa yang menguras tenaga. Akibatnya lawan akan kehabisan tenaga, sehingga jurus-jurus berikutnya tak ada kekuatannya lagi. Gempa kedua belas adalah gempa ke dalam, gempa yang dipakai untuk kekuatan. Akibatnya kekuatan kita bisa secara leluasa kita pergunakan…"
“Eyang…" Teriakan kekuatiran Kwowogen bersamaan dengan teriakan Halayudha! Kwowogen kuatir karena berpikir inilah yang ditunggu Halayudha! Memang begitu. Jalan pikiran Halayudha pun sama. Sampai ke penjelasan yang ditunggu, ia mengerahkan tenaga dalamnya seperti yang dituturkan Eyang Puspamurti. Menggertak dan mengerahkan tenaga yang terkumpul. Berhasil. Tubuhnya yang telanjang terlontar ke atas.
Senggek yang terkejut tak bisa menguasai dirinya, sehingga tubuhnya terjengkang. Maksud hatinya ingin menahan Halayudha, akan tetapi tubuhnya tak dikuasai. Karena masih dalam pengaruh “percakapan tidur” Eyang Puspamurti. Tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya membeku. Kaku.
Mada, Genter, dan Kwowogen masih tetap menutup matanya. Demikian juga Eyang Puspamurti. Inilah yang dilihat sekilas oleh Halayudha ketika tubuhnya melayang di udara. Sekilas. Sekilas karena setelah itu Halayudha tak bisa melihat lagi. Tubuhnya ambruk, kedua kakinya tak kuasa menahan tubuhnya. Sekarang keadaannya lebih runyam lagi. Karena kali ini ia terjatuh menelentang.
“O-oo. Mada? Bagus. Kamu bagus. Kesetiaan itu bagus. Genter?”
“Ya, Eyang.”
“Ketahui apa yang terjadi tapi tak usah terpengaruh. Kwowogen?”
“Ya, Eyang.”
Puspamurti seperti tak memedulikan Halayudha yang masih terbaring kaku.
“Cara berputar kalian masih salah. Dalam mengerahkan tenaga, asal sepenuhnya berada dari dalam tubuh. Tubuh kalian ini, tubuh manusia yang menyimpan kekuatan sama dengan alam semesta. Kalau sebelum memukul kalian melangkah berputar, itu namanya masih memakai tenaga bumi. Masih mengambil tenaga dari perut bumi. Padahal perut kalian sendiri sudah menyimpan tenaga. Pengerahan tenaga bisa diatur dari pernapasan. Hirup kuat-kuat, tahan di bawah perut, alirkan ke atas, lewat hidung ke arah jidat, tahan di ubun-ubun, turunkan ke belakang melalui sumsum tulang belakang, sampai kembali terkumpul. Kosongkan pikiran, dan biarkan tangan bergerak sendiri untuk menangkis serangan lawan. Lawan kalian ini termasuk luar biasa. Ilmunya sudah setinggi langit. Tapi ia kelewat bodoh dan sombong. Ia tak menyangka manusia bisa lebih sakti dari bumi dan air. Kekuatan diamnya tak berguna. Kekuatan mengalirnya tak tuntas. Karena ia bukan mahamanusia. Karena ia masih berpikir malu kalau telanjang, karena masih berpikir untuk menang. Padahal perasaan semacam itu tak perlu benar. Menang atau kalah bagi mahamanusia tak berbeda. Kalian perhatikan ketika Halayudha meloloskan diri? Ia menyurut ke arah bumi yang rendah. Itu gerakan air yang selalu menuju ke tempat yang rendah. Dengan membaca geraknya aku bisa mengetahui arah larinya. Ada empat penjuru yang bisa dituju, akan tetapi aku tahu ke mana. Sehingga sebelum ia sampai ke tujuan, aku sudah ada di situ. Ketika ia menghindar lagi, ia mempergunakan tenaga putaran bumi. Itulah kesalahannya. Harusnya ia mengikuti putaran tubuhnya. Begitu mengikuti putaran bumi, aku tahu lalu menerjang dan merampas kainnya. Seperti yang kuduga, pikirannya masih bodoh dan terikat, sehingga ia menutupi bagian tubuhnya ketika serangan datang. Sebagai mahamanusia, telanjang atau tidak, tak berbeda. Menutupi lutut atau bukan lutut, sama saja. Kehormatan manusia tidak hanya pada satu barang itu saja.”
Halayudha mendelu hatinya. Apa yang dikatakan Puspamurti jelas bagi telinganya. Dan lebih dari keempat pemuda itu, ia mengetahui secara persis di mana kesalahannya.
“Kamu semua harus bergembira karena Jaghana mengajarkan kidungan yang diciptakan setelah kidungan-kidungan sakti yang lain. Sehingga lebih lengkap. O-oo. Itulah nasib, itulah keberuntungan. Itulah mahamanusia. Sekarang telah terbukti, kalian yang masih calon prajurit sudah bisa mengalahkan senopati yang dianggap paling sakti. Apa yang akan kalian lakukan sekarang ini?”
“Membalaskan dendam Madana.”
Puspamurti menggeleng. “Temanmu mati. Biar saja.”
Mada maju ke depan. “Eyang, kami tetap mau membalaskan dendam.”
“Tidak perlu. Kalau kamu mau membunuh Halayudha, bunuh saja. Tanpa dipengaruhi apakah itu membalas dendam atau tidak. Madana sudah sempurna, sesuai dengan kodratnya. Begitu juga Halayudha, kalau kamu mau membunuhnya sekarang. Bagaimana, kamu masih ingin membunuhnya?”
“Ya, Eyang.”
“Bagus.”
Tujuh Langkah Manusia
KALAU ada yang pernah disesali dalam hidupnya, Halayudha merasakan sekarang ini. Setelah sekian tahun malang-melintang di dunia persilatan, berguru dan menyelam ke dalam dasar-dasar berbagai ilmu, setelah melalui intrik perebutan pangkat dan derajat, sekarang justru terbaring telanjang di tengah padang. Kalau dirinya mati karena pertarungan dahsyat, rasanya tak akan nelangsa seperti sekarang ini. Tapi nasib manusia berjalan di luar tata krama manusia.
Upasara Wulung juga mati dengan cara mengenaskan. Kini gilirannya, dirinya. Kalau mengingat bahwa Mada, Senggek, Genter, Kwowogen begitu keras kemauannya dan mempunyai kenekatan, dirinya benar-benar bisa disakiti sebelum dihabisi. Apa yang tersisa lagi kalau mereka benar-benar menggosokkan telapak kaki ke wajahnya sebelum membunuhnya? Diam-diam Halayudha mencoba menjajal menembus kekakuan tubuhnya yang macet, sementara Puspamurti mengangguk-angguk dan bersuara nyaring.
“Bagus, dari kalian berempat yang wajahnya paling cemerlang adalah kamu. Siapa namamu?”
“Tadi Kwowogen, sekarang masih sama.”
“O-oo. Nama itu berarti kekenyangan dan hampir mati. Tahukah kamu bahwa kenyang dan lapar tak ada bedanya? Haus dan sakit, menjelang mati, karena yang pertama ada adalah urip.”
Keempatnya mengulang: urip.
“Urip itu hidup, artinya segalanya. Hanya dalam hidup segalanya punya makna, punya arti. Urip itu tenaga di bawah pusar.” Terhenti, sebentar. “O-oo… Dalam urip tak beda sakit, lapar, haus, kenyang, sehingga bisa terus dilatih tanpa henti, bisa terus menyerang tanpa takut. Daya hidup ini bila digabung dengan cahya, dengan cahaya, akan memberi kekuatan. Cahaya di mata membuat kamu melihat. Daya hidup harus digabung dalam daya cahaya. O-oo. Langkah ketiga disebut rasa. Rasa pangganda atau penciuman dari segala bau dan segala gerak. Langkah keempat berhubungan dengan sukma, yang selama ini membuat kita bicara. Langkah kelima amiyarsa, yang sehari-hari kita rasakan sebagai mendengar. Langkah keenam, berahi, yang kita rasakan sebagai daya asmara. Langkah ketujuh, budi, yang berada dalam darah, yang membuat kuku dan rambut bisa tumbuh. “Itu tujuh langkah.”
Puspamurti berjalan perlahan, memutari tempat di mana ia berdiri.
“Kekuatan manusia ialah bahwa ia itu manusia. Sadar. Menerima. Mengerti. Mengungguli. Tak ada yang luar biasa, tak ada yang biasa. Kekuatan bisa mengalahkan lawan, tenaga dalam, sebenarnya telah kita miliki. Hanya ada yang digunakan dengan sendirinya seperti membiarkan darah mengalir, dada berkembang, tumbuhnya rambut dan kuku, mendengar, melihat, merasa, dan berberahi. Padahal kekuatan yang sama bisa dipakai lebih. Sumbernya manusia, sebagai urip. Tanpa urip, cahaya tak ada maknanya. Juga rasa, juga berahi. Yang pertama ialah urip. Itulah segalanya. Letaknya di bagian perut di bawah pusar. Dalam Kitab Bumi pengerahan tenaga dengan sedikit mengangkangkan kaki seolah naik kuda, kedua tangan ditarik dari bawah ke tanah. Pada Kitab Air, gerakan tangan yang lebih menentukan dan bukan kuda-kuda kaki, sebab gerakan ini mengalir. Pada kalian, urip itu sendiri segalanya. Bisa menjadi gerak. Bisa gerak itu sendiri. Kamu tahu itu, Kwowogen?”
“Seperti yang saya dengar….”
“Mendengar tidak hanya suara. Kamu juga mendengar yang tidak bersuara. Batu kelihatannya diam, tapi ia bersuara. Langit bersuara. Tak beda dengan angin. Pukulan, serangan lawan, bisa bersuara bisa tidak. Bisa bergerak, bisa diam. Bisa dicium baunya, bisa biasa-biasa. Seperti rasa berahi. Tahu, Kwowogen?”
“Tahu, Eyang.”
“Tahu bahwa pantat Halayudha bisa menimbulkan berahi?”
“Tahu, Eyang.”
“Itu tandanya ada urip. Kamu bisa merasakan berahi itu?”
“Bisa, Eyang.”
“O-oo. Mau mencoba?”
“Mau, Eyang.”
“Daya berahi itu sama dengan membunuh, sama dengan melahirkan. Pada mahamanusia tak dibedakan. Tahu, Kwowogen?”
“Tahu, Eyang.”
“Ada yang kamu tanyakan?”
“Kenapa disebut langkah, kalau berahi hanya mungkin ada karena urip?”
“Disebut langkah karena merupakan rangkaian. Pusatkan tenaga di perut bawah pusar. Yak. Dari situ tenaga mengalir. Ke mata, ke lidah, ke berahi, ke tangan, ke kuku, ke rambut. Terasakan olehmu?”
“Ya, Eyang.”
“Tolol, jangan dengarkan dengan telinga.”
“Ya….”
“Jangan jawab dengan lidah….”
Kwowogen tampak mendelik. Tubuhnya bergoyangan. Demikian juga Mada, Senggek, dan Genter.
“O-oo. Kalian masih terlalu hijau. Mada, kamu dengar aku?”
“Ya, Eyang.”
“Masih bisa melihatku?”
“Ya, Eyang.”
“Kamu rasakan darahmu mengalir?”
Tak ada jawaban.
“Mada…”
“Tidak, Eyang.”
“Itulah ilmu. Itulah urip, itulah kehidupan yang sesungguhnya. Jelas?”
“Belum, Eyang.”
“O-oo.”
“O-oo, Eyang.”
Jawaban terdengar bagai koor. Halayudha yang tertelungkup merasa bahwa keempat pemuda itu mempunyai kepolosan, kejujuran yang luar biasa. Agaknya itu yang menyebabkan mereka bisa dengan cepat menerima ajaran Puspamurti atau Truwilun sepenuhnya. Dasar-dasar yang kosong. Kalau benar demikian, meskipun boleh dikata terlambat mempelajari ilmu, di kelak kemudian hari bisa menjadi bencana. Halayudha memaki dirinya sendiri. Jangan kata di belakang hari, sekarang pun sudah membuat bencana!
“Mada, kamu tak mendengar darahmu mengalir?”
“Tidak, Eyang.”
“Senggek, kamu tidak merasa darahmu mengalir?”
“Tidak, Eyang.”
“Genter, kamu tidak merasa rambutmu sedang tumbuh?”
“Tidak, Eyang.”
“Itulah ajaran yang sesungguhnya. Ilmu penguasaan tenaga dalam perut itu harus menjadi sesuatu yang tak kamu rasakan, tak kamu dengar, tak kamu lihat, tak kamu sentuh. Darah mengalir, kuku dan rambut dan gigi tumbuh seolah dengan sendirinya. Itu karena daya urip. Tenaga pukulan, perlawanan, menangkis, menyerang, bertahan, semua harus menjadi seperti mengalirnya darah, tumbuhnya kuku. Mengerti?”
“Sedikit, Eyang.”
“Berarti melatih pernapasan, melatih tenaga dalam itu tidak memerlukan waktu tertentu. Tetapi selalu begitu. Selalu. Sebagaimana kekuatan hidup itu sendiri.”
“Ya, Eyang….”
“Bagus. Cobalah berlatih.”
Percakapan Impian
HALAYUDHA makin merasa dirinya sangat konyol. Eyang Puspamurti sama sekali tak menghiraukannya lagi. Keempat pemuda juga langsung mengikuti petunjuk. Mengikuti cara melatih pernapasan, berulang kali. Jangan kata memperhatikan dirinya, diri mereka sendiri tak digubris. Segala gerak dan jalan pikiran mengikuti semua kalimat Eyang Puspamurti.
“Senggek…”
“Ya, Eyang….”
“Kenapa kamu masih mendengar?”
“Masih, Eyang….”
“Salah. Tolol. Kamu tidur?”
“Ya, Eyang….”
“Tidur, ya?”
“…Eyang….”
“O-oo. Tidur yang lelap itu bermimpi. Kamu bermimpi apa, Senggek?”
Senggek menggelepar seperti ikan yang dilemparkan ke darat.
“Kamu harus tetap tidur, dan bermimpi. Apa mimpimu?”
“…ada Eyang…”
“Itu bagus. Genter?”
“Ya, Eyang….”
“Kamu sudah mimpi…?”
“Rasanya…”
“Sudah?”
“Sudah, Eyang.”
“Itu namanya mimpi. Kamu sudah tidur?”
“Itu ilmu. Bagus… bagus. Kalian semua bagus-bagus. Kwowogen bagus, Senggek bagus, Genter juga bagus. Mahamanusia itu menguasai hidup. Mahamanusia itulah hidup. Tidur itu mengurangi hidup. Tadi kalian tak boleh tidur, karena akan mengurangi hidup. Bermimpilah, akan tetapi jangan biasakan dirimu tidur. Banyak perguruan mengajarkan untuk mencegah makan dan minum, banyak yang mengajarkan cegah dahar-nendra, atau mencegah atau mengurangi makan minum dan tidur. Yang pertama salah. Makan dan minum itu langkah. Seperti juga berahi. Pertanda hidup. Tak perlu dicegah. Yang kedua setengah salah. Karena mengacaukan pengertian makan-minum dengan tidur. Tahu di mana salahnya?”
“Ya, Eyang….”
“Kamu bersedia memperistrikan Halayudha?”
"Bersedia, Eyang….”
“Aku tidak tanya kamu, Mada….”
“Tetapi saya bersedia.”
“Kamu mau memperistrikan aku?”
“Bersedia, Eyang….”
“O-oo. Kamu pikir aku mau?”
“Tidak peduli, Eyang….”
Puspamurti berkejap-kejap matanya. Helaan napas terdengar keras. “O-oo. Kamu perkasa, Mada. Sangat ksatria.”
“Saya mengikuti petunjuk Eyang….”
“Apa?”
“Saya mengikuti petunjuk Eyang.”
“Itu baru betul. Tak boleh ragu.”
“Ya, Eyang.”
“Masih ingin jadi prajurit, Mada?”
“Masih, Eyang.”
“Prajurit mengabdi siapa?”
“Raja.”
“Bukan aku?”
“Raja.”
“Bukan Eyang?”
“Raja.”
“Kamu bunuh Mahapatih kalau diperintah Raja?”
“Raja.”
“Bukan Keraton?”
“Raja.”
“Bukan senjata?”
“Raja.”
“Bukan ilmu silat?”
“Raja.”
“Raja?”
“Raja.”
“Siapa rajamu?”
“Raja.”
“Siapa membunuhmu?”
“Raja.”
“Bukan Truwilun?”
“Raja.”
Tubuh Puspamurti menggigil. Perlahan seperti kehabisan tenaga, melemas, terduduk di antara keempat muridnya. Kepalanya menggeleng. “Jaghana, kamu benar. Kidung Pamungkas adalah Kidung Paminggir yang mengakui raja di atas segalanya. Kidungan para prajurit sejati. Jaghana, Jaghana, apakah kebetulan kamu menemukan orang-orang seperti Mada, Senggek, Genter, dan Kwowogen ini? Kalau mereka menjadi prajurit, apakah bukan prajurit terbaik? Kalau mereka prajurit terbaik, masihkah mereka manusia terbaik? Kalau ya, apa sebenarnya mahamanusia itu ada?
Puspamurti terbatuk keras sekali. Tubuhnya seperti kehilangan seluruh tenaga. Inilah kesempatan yang ditunggu Halayudha. Jalan terbaik untuk meloloskan diri. Akan tetapi beberapa kali usahanya mengembalikan tenaga selalu sia-sia. Halayudha menunggu. Tak ada suara. Ia tak tahu apa yang terjadi karena tubuhnya menelungkup dan wajahnya menghadap ke tanah.
Akan tetapi mendengar napas yang teratur, bisa jadi Puspamurti tertidur kelelahan. Sesuatu yang tak akan meragukan Halayudha andai saja Halayudha mengetahui bahwa Puspamurti baru saja dikuras tenaganya dalam pertemuan dengan Jaghana, selama beberapa hari berturut-turut.
“Eyang…”
“Hmmm…”
“Eyang…”
“O-oo…”
Lejitan pikiran Halayudha memang selalu selangkah lebih dulu. Sewaktu usahanya mencoba membebaskan diri gagal, Halayudha menjajal dengan cara mengatur napas yang diajarkan Puspamurti kepada keempat muridnya. Akan tetapi ternyata tak juga berhasil. Karena dasar ajaran Kitab Bumi masih selalu memperhitungkan alam. Belum lepas bebas dan polos.
Kini, ketika Puspamurti membicarakan percakapan yang bisa dilakukan dalam mimpi, Halayudha menyabet kesempatan!Menjajal. Siapa tahu dalam keadaan setengah sadar seperti sekarang, ia bisa memperoleh cara membebaskan diri. Yang diajarkan oleh Puspamurti sendiri! Makanya ia memanggil Eyang. Dan menemukan jawaban.
“Eyang… cahya, rasa saya terhalang.”
“Darahmu tidak mengalir seperti biasanya. Karena aku yang mengubahnya.”
“Kenapa?”
“Biar saja.”
“Bukankah ajaran Eyang justru menjadikan naluri darah itu sebagai kekuatan? Kenapa Eyang justru merusakkan naluri?”
“Tidak merusak.”
“Bagaimana membebaskan?”
“Dicari sumbernya. Dari urip….”
“Jangan mau dipengaruhi, Eyang.”
“Siapa kamu mengganggu mimpiku?”
“Kwowogen, Eyang.”
“O-oo.”
“Eyang, jangan…”
“Terima kasih, Eyang… Jadi tetap dimulai dengan tenaga bawah perut?”
“Ya, mana lagi?”
“Eyang!”
Halayudha memusatkan perhatian dan pikiran sebisanya. Udara dihirup keras, disimpan dalam perutnya. Ditahan. Benar! Ada tenaga panas terasakan. Ada!
Laku Lindhu
SENGGEK coba mencegah agar Eyang Puspamurti tidak memberitahu Halayudha cara-cara membebaskan diri. Akan tetapi ketika ia mencoba sadar, justru tak bisa lagi berteriak Dadanya menjadi sesak. Sebaliknya Halayudha menemukan pemecahan! Dengan menghimpun tenaga di bawah perut, terasa ada yang bisa digerakkan. Yang pertama terasa getaran di tangan. Halayudha mencoba menyalurkan ke arah tangan dan kaki. Mental. Malah tubuhnya bergoyangan. Halayudha menjajal kembali. Rasa hangat di perutnya tak bisa digerakkan, meskipun tetap hangat.
“Eyang…”
“O-oo… Bukan begitu caranya.”
“Semua sesuai petunjuk Eyang….”
“Tidak mungkin. Aku tak memberi petunjuk. Itu salah.”
Gigi Halayudha gemeretak menahan geram. Benar-benar hebat kelewat-lewat ajaran Eyang Sepuh ini. Luar biasa. Setelah mampu menciptakan rangkaian jurus penolak Kitab Bumi, masih mampu menciptakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Sesuatu yang dasar-dasarnya pun berlainan. Benarkah?
Pertanyaan ini menggoda Halayudha. Karena kalau benar tadi disebut-sebut Jaghana yang memberi dasar pelatihan, rasanya jelas berasal dari Kitab Bumi. Jadi kalau berbeda, di mana perbedaan itu? Benar bahwa Puspamurti belum memberitahukan caranya. Kalau tidak begitu, berarti…
“Tenaga itu sudah ada di dasar perut, Eyang….”
“Nah, itu sudah bisa.”
“Tapi tak bisa digerakkan.”
“Siapa yang menyuruh menggerakkan?”
“Saya tak bisa bergerak.”
“Memang tidak. Biar saja bergerak sendiri.”
“Cahya, rasa tak mampu menggerakkan…”
“Kamu keliru, Halayudha. Tanggalkan laku, pendekatan, cara, sistem, yang selama ini kamu pergunakan. Masing-masing mempunyai laku yang berbeda. Sama mengumpulkan tenaga, tetapi tak bisa sama menggunakan. Semakin kamu paksakan, akan semakin merusak cara yang telah kamu miliki. Tangan bisa memainkan keris, pedang, kantar, tombak, karena sebenarnya sama. Kaki bisa menendang, meloncat, menekuk, menyamping, menggunting, karena sebenarnya gerakan itu sama. Tangan bisa memainkan peranan kaki. Kaki bisa memainkan peranan tangan. Karena gerakan itu sama dan bisa dipelajari. Akan tetapi laku untuk memperoleh itu tidak sama. Kidungan mahamanusia memang berbeda.”
“Saya mulai menangkap apa maksud Eyang.”
“Kalau Upasara Wulung bisa mengambil tenaga dalam simpanan, itu karena selama ini ia memakai laku yang diajarkan Kitab Bumi. Kalau ia memakai laku ajaran Kitab Air, mungkin hal itu tetap bisa terjadi. Meskipun barangkali cara pemanggilan kembali tenaga dalam itu sedikit berbeda, akan tetapi dasar-dasar laku-nya. sama. Sementara Kidung Paminggir atau Kidung Pamungkas jauh berbeda.”
“Ada berapa macam laku, Eyang?”
“Mana aku tahu? Kamu kira aku tukang catat?”
“Eyang mengalami zaman itu.”
“Tapi tidak tahu. Yang kutahu, adalah laku yang kemudian dibakukan dalam ajaran Kitab Bumi. Baik Mpu Raganata, Kebo Berune, atau Pulangsih, semuanya mempunyai laku yang sama. Sampai kemudian lahir Kidung Paminggir. Segala macam bisa menjadi berbeda. Isinya menggegerkan karena menempatkan mahamanusia sebagai yang paling unggul. Cara mengidungkan juga lain. Sejak mengambil nada dan bersiap jauh berbeda. Yang menjembatani itu adalah Kidung Pamungkas. Yang bisa menerima laku dasar yang ada, dan laku yang dipakai dalam Kidung Paminggir?"
“Saya tahu, Eyang. Saya sadar. Bahwa ketika saya mencoba laku yang saya miliki, tak bisa dan tak berlaku. Semua gerak, pengaturan napas, tak bisa berjalan sebagaimana biasanya. Bumi, air, adalah bagian alam. Kodratnya adalah kodrat alam. Sedangkan mahamanusia, kodratnya manusia. Sehingga ketika daya urip yang saya miliki untuk menembus cahya, rasa tak mempan.”
“Memang.”
“Jadi bagaimana daya manusia itu, Eyang?”
“Daya yang sama.”
“Sama dengan daya alam atau daya manusia?”
“Dua-duanya, tolol. Bukankah sudah ada Kidung Pamungkas yang menjembatani dua laku itu? O-oo. Kamu belum mengerti juga? O-oo, ada gunanya menjadi orang yang menjadi tua. Halayudha, laku yang berada dalam ajaran Kitab Bumi bisa diumpamakan dengan penulisan di tanah Jawa ini. Bentuknya, gayanya, masing-masing bisa berbeda dari satu tangan dengan tangan yang lain. Tebal-tipisnya aksara tergantung tangan yang menorehkan. Akan tetapi selalu sama laku-nya. Dari kiri ke kanan, menggantung. Ini berbeda dengan laku, aksara dari tanah Tartar yang dari atas ke bawah. Atau dengan yang dari kanan ke kiri. Atau dari bawah ke atas. Sehingga kalau kamu membaca aksara Tartar dari kiri ke kanan, meskipun kamu mampu melahirkan kata-kata, aksara itu tak ada maknanya. Atau menjadi sangat berbeda. Itu sebabnya kamu bisa keok dalam seketika. Tapi kamu tak menduga karena merasa. Kamu merasa benar! Tahu? Eyang Sepuh yang sakti itu mampu menciptakan laku yang pendekatannya jauh berbeda dari ajaran yang ada.”
“Kalau begitu, Eyang, bagaimana cara mengerahkan tenaga menurut Kidung Paminggir”
“Aku sudah lupa.”
Hah! Halayudha terguncang.
“Karena aku sudah masuk ke Kidung Pamungkas.”
Nah! Bukankah ini sama saja artinya, yang berarti dirinya bisa lolos? Kenapa hal kecil ini diributkan benar? Meskipun berpikir begitu, Halayudha tidak mengutarakan. Bukan karena takut Eyang Puspamurti gusar-hal yang tak akan terjadi. Tapi kuatir kalau penjelasannya panjang-lebar. Yang berarti menunda kebebasannya.
“Bagaimana laku dalam Kidung Pamungkas?"
“Kamu sendiri pasti mengetahui.”
“Saya… saya… tak bisa melihat.”
“Memang tidak. Karena Laku Lindhu tidak diterangkan secara gamblang. Harus bisa ditangkap dengan mata batin. Dengan cahya, dengan rasa, dengan berahi…”
Otak Halayudha bekerja keras. Ia cukup banyak menyelami berbagai kitab dan ajaran, sehingga baginya tak terlalu sulit memahami jenis-jenis tertentu yang baru. Untuk hal ini, Halayudha bahkan berani memuji dirinya yang bisa cepat menangkap inti ajaran. Seperti sekarang ini. Dengan menyebutkan Laku Lindhu, berarti yang dipakai adalah pendekatan lindhu, atau gempa bumi. Kekuatan yang dipakai untuk menerobos adalah kekuatan gempa bumi.
Sesuatu yang wajar. Sangat dekat dengan ajaran dalam Kitab Bumi. Masih ada sangkut-pautnya, karena sama penciptanya! Dalam memecahkan kunci membuka ajaran, Halayudha lebih cepat dari siapa pun. Dan bisa langsung menjelajahkan jalan pikiran.
“Lindhu yang mana, Eyang?”
“Yang mana saja.”
“Maaf, Eyang. Ada Dua Belas Gempa Bumi yang disebut-sebut dalam Kidung Pamungkas.”
“Makanya, kamu tinggal melepaskan rasa, agar tenaga gempa bumi yang sesuai yang masuk. Salah kalau kamu memaksakan diri. Salah kalau kamu mencoba satu demi satu. Itu semua cara yang dipakai untuk ajaran Kitab Bumi. Nah, sekarang makin jelas. Atau malah bingung?”
Mendadak terdengar suara Kwowogen. “Kenapa Eyang tidak menceritakan Dua Belas Gempa Bumi itu?”
Percakapan Gempa
DALAM keadaan bebas, Halayudha pastilah sudah menghajar Kwowogen hingga hancur lebur. Tapi juga memuji. Dalam penilaian Halayudha, Kwowogen jauh lebih cerdik dari Senggek. Kalau Senggek berusaha memotong pembicaraan, sehingga dirinya sendiri menjadi kacau pemusatan tenaganya, Kwowogen mengalihkan ke arah lain. Padahal tujuannya sama. Agar Eyang Puspamurti tidak segera menceritakan rahasianya, dan Halayudha tidak segera bebas!
“O-oo. Baik juga itu. Aku merasa menjadi makin pintar dan lebih dari kalian.”
“Eyang…”
“Tidak, Halayudha. Aku berbicara pada murid-muridku. O-oo. Dalam jagat ini ada Dua Belas Gempa Bumi. Masing-masing berbeda kekuatan dan akibat yang ditimbulkan. Gempa pertama ialah gempa yang menyusahkan, yang menghancurkan persediaan makanan. Akibatnya akan terjadi bahaya kelaparan. Gempa kedua ialah gempa yang menghancurkan rumah. Akibatnya akan terjadi perpindahan. Gempa ketiga, gempa yang menggerakkan ombak samudra. Akibatnya banyak perahu tenggelam…”
“Eyang…,” teriak Halayudha dengan menirukan nada Kwowogen, “apakah itu berarti bahwa dengan Gempa pertama, tenaga yang muncul berada dari kantong nasi, atau perut bagian bawah?”
“Ya, ya…”
“Dan Gempa kedua berarti tenaga dalam yang bisa dipindahkan dari sumbernya?”
“Ya.”
“Dan Gempa ketiga berarti mempergunakan tenaga untuk melawan serangan yang datang?”
“Ya.” “Berarti Halayudha bisa memakai tenaga Gempa…”
“Tapi Eyang tak usah menyebutkan dulu,” Mada memotong di tengah. Suaranya mengguntur. “Bagaimana dengan Gempa keempat, Eyang?”
“O-oo. Mada, tak usah teriak. Kwowogen, tak usah kuatir. Aku bisa mengenali nada suara Halayudha, karena dengusan napasnya berbeda. Kalaupun kuterangkan, ia belum tentu bisa. Karena bukan seperti yang dibayangkan… Apa? Gempa keempat? Gempa keempat adalah gempa dengan kekuatan menumbuhkan segala sesuatu dari dalam tanah. Akibatnya bisa membuat tanah subur. Gempa kelima, gempa yang menggoyang semua buah, bunga, daun yang berada di atas. Akibatnya tak akan ada buah yang tumbuh. Atau tak nanti lawan bisa mempergunakan tenaganya, karena sudah dirontokkan lebih dulu. Nah, dengan penjelasan lebih lengkap begitu, sekaligus bisa diketahui inti dan kekuatannya. Puas kamu, Halayudha? O-oo. Kamu masih berkutat dengan tenaga dalammu. O-oo. Gempa keenam, gempa yang mempunyai dua sisi. Kalau terjadi siang hari berarti tenaga membunuh, kalau malam hari berarti tenaga yang mempercepat tumbuhnya padi. Yang luar biasa adalah jika kamu bisa menggempakan dirimu dalam siang dan malam hari. Sekali menghancurkan lawan, tenaga dalammu sendiri tumbuh. Ketepatan menangkap isyarat dan menguasai saat yang tepat akan sangat menentukan. Gempa ketujuh, gempa yang menghancurkan semua binatang yang bergerak. Kalau saat itu lawan dengan bergerak, apalagi menggunakan tenaga mengentengkan tubuh atau berkelit, melarikan diri, maka terkerahkannya tenaga Gempa ketujuh akan menyelesaikannya. Gempa kedelapan, gempa yang mempunyai dua sisi seperti Gempa keenam. Yaitu gempa siang dan malam hari. Hanya saja akibatnya sama. Membunuh. Sisi mana pun, tenaga membunuh yang besar yang menyalur. Dua sisi berurutan akan sangat keras akibatnya. Gempa kesembilan, gempa yang membenturkan dua atau lebih tenaga yang ada. Akibatnya tenaga lawan akan bentrok. Tenaga gempa ini sangat menguntungkan kalau kita dikeroyok, sehingga lawan-lawan akan saling bunuh sendiri. Kalau menghadapi lawan yang menguasai banyak ilmu akan tetapi belum terkuasai sepenuhnya, hasilnya sama bagusnya. Kalian tahu kenapa Halayudha begitu mudah ditelikung? Gempa kesepuluh, gempa yang mengacaukan kekuatan dasar lawan. Akibatnya menggoyahkan kemampuan, merusakkan kepercayaan diri. Gempa kesebelas, gempa yang menguras tenaga. Akibatnya lawan akan kehabisan tenaga, sehingga jurus-jurus berikutnya tak ada kekuatannya lagi. Gempa kedua belas adalah gempa ke dalam, gempa yang dipakai untuk kekuatan. Akibatnya kekuatan kita bisa secara leluasa kita pergunakan…"
“Eyang…" Teriakan kekuatiran Kwowogen bersamaan dengan teriakan Halayudha! Kwowogen kuatir karena berpikir inilah yang ditunggu Halayudha! Memang begitu. Jalan pikiran Halayudha pun sama. Sampai ke penjelasan yang ditunggu, ia mengerahkan tenaga dalamnya seperti yang dituturkan Eyang Puspamurti. Menggertak dan mengerahkan tenaga yang terkumpul. Berhasil. Tubuhnya yang telanjang terlontar ke atas.
Senggek yang terkejut tak bisa menguasai dirinya, sehingga tubuhnya terjengkang. Maksud hatinya ingin menahan Halayudha, akan tetapi tubuhnya tak dikuasai. Karena masih dalam pengaruh “percakapan tidur” Eyang Puspamurti. Tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya membeku. Kaku.
Mada, Genter, dan Kwowogen masih tetap menutup matanya. Demikian juga Eyang Puspamurti. Inilah yang dilihat sekilas oleh Halayudha ketika tubuhnya melayang di udara. Sekilas. Sekilas karena setelah itu Halayudha tak bisa melihat lagi. Tubuhnya ambruk, kedua kakinya tak kuasa menahan tubuhnya. Sekarang keadaannya lebih runyam lagi. Karena kali ini ia terjatuh menelentang.
“O-oo. Mada? Bagus. Kamu bagus. Kesetiaan itu bagus. Genter?”
“Ya, Eyang.”
“Ketahui apa yang terjadi tapi tak usah terpengaruh. Kwowogen?”
“Ya, Eyang.”
JILID 30 | BUKU PERTAMA | JILID 32 |
---|