Senopati Pamungkas Bagian 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 32

Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa. Yang termasuk dalam ilmu hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu. Ilmu pemindahan nyawa ini biasanya terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati. Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai dengan kehendak yang memindahkan nyawa.

Pada penganut ilmu hitam, biasanya dipakai sebagai senjata tidak langsung. Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk ke daerah lawan dengan meloncat-loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak akan mengaduh. Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka. Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke dalam mayat Kakek Berune, melainkan sebaliknya.

“Jadi kamu mengenaliku?”

“Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai? Kenapa?”

Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.

“Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu? Ayo jawab saja!”

Wajah Nyai Demang menyeringai. Mengerikan. Dalam hati Halayudha menggigil. Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya. Apa pun alasan atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali Kitab Air. Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa. Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan pikiran penuh.

“Terserah apa yang kamu katakan.”

“Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan? Ayo ulangi, biar kamu ingat.”

Gendhuk Tri menjadi panas-dingin. Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal makin gila dan menguasai. Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat sesuatu.

Halayudha menghela napas. Lalu menutup kedua matanya. Bibirnya berkomat-kamit, perlahan. Terdengar kidungan yang halus.

Bumi itu tanah dan tanah itu air
air lebih dari bumi, lebih dari tanah
sebab air ada di semua
bumi ada di suatu tempat
hanya kalau air minggir, bumi terlihat
jadi air lebih hidup dan menggeliat
bumi itu tanah dan tanah itu air
air sama dengan bumi
tanpa tanah, air hanya air
tanpa air, tanah bukan tanah
bumi milik tanah
tanah milik air
tanah dan air milik yang terakhir…


Air mata Nyai Demang menetes. Duka menggores. “Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?”

Tak ada jawaban. Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya seperti yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya tepat sekali.

“Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin.”

“Akhirnya kamu mau mengakui aku. Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita Tirta atau Nyanyian Air, dengan jelas kau katakan…”

Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi. “Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid yang resmi.”

Nyai Demang melengak. Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang tidak menunjukkan bagian-bagian yang penting. Darah Halayudha menggelegak. Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk. Akan tetapi Halayudha masih ragu. Apakah ini membuat Nyai Demang yang kerasukan orang lain menjadi murka atau tidak. Kalau murka, dirinya bisa kehilangan kesempatan emas. Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh Nyai Demang. Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.

Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air. Ah, di bagian mana yang kidungannya berbunyi Gita Tirta? Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari. Sudah dibaca ulang dan ia hafal dengan baik. Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta. Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang penting. Yaitu kidungan Gita Tirta. Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.

“Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air. Masa kamu tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita.”

“Kamu siapa?”

“Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara. Yang belum lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara Wulung?”

Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya. Lututnya tertekuk. Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar. Secara tidak sadar ia menjawab seolah berbicara dengan Nyai Demang. Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah Kakek Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh ingatan, ketika nama Upasara Wulung disebutkan. Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh Nyai Demang tak kuat. Ini bahaya!

Kidung Penolak Air

HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas. Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang. Sehingga penjelasan mengenai Kitab Air jadi terhenti.

“Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai Demang. Kenapa kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?”

“Siapa yang licik? Kamu atau aku?”

Halayudha meringis. “Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria. Kuakui. Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti kamu.”

“Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang. Apa alasanku?”

“Apa alasanku…?” Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan nada lebih tinggi. “Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu menyingkirkan Nyai Demang. Sungguh keji hati wanita. Sekecil kamu sudah busuk dan hina.”

Bibir Gendhuk Tri gemetar. Menahan gusar yang kelewat takar. Darahnya mendidih, terbakar. Kalimat Halayudha berbisa luar biasa. Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara. Dari ucapan-ucapan seketika. Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk Tri. Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha. Dalam hal begini, Gendhuk Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah Halayudha.

“Kamu benar-benar biadab!”

“Semua yang ada di sini menjadi saksi.”

Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang. “Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti. Mohon kiranya diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya ketahui.”

“Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?”

Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa. Pandangannya keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang bukan dirinya lagi.

“Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu. Namun saya terlalu bodoh…”

“Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama atau kedua?”

Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak. Seketika saja. Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.

“Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi. Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku. Maafkan hamba….”

“Hmmm… Ilmumu tak begitu jelek. Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah dengar Pukulan Pu-Ni?”

Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat. “Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan yang mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia yang mempertemukan.”

Nyai Demang mengangguk-angguk. “Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?”

Ilmu Air? Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha. “Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan oleh orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan.”

“Itu baik. Itu mulia. Kalau begitu kamu sudah mempelajari?”

“Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni….”

“Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta? Ini sungguh aneh… Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu, Raganata, Bejujag, sudah membaca dengan baik.”

“Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta Kitab Air…”

Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat. Ia sadar bahwa “Kakek Sakti Pu-Ni” mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh. Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa. Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan diri. Dan berhasil. Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.

“Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain. Nyatanya bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus. Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian panggil dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada tandingannya di kolong langit ini. Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling mustahil di tanah Jawa ini. Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita Tirta. Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas, ilmu yang terakhir. Bejujag hanya mengambil alih saja. Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana yang asli mana yang palsu.

Dari semua air, dari semua sumber
selalu ada akhir, selalu ada penghabisan
air melenyap, tinggal senyap
air menguap, tinggal senyap
bumi yang sangar, bumi yang ganas
ada tumbalnya
bisa dicipta
negara yang panas, negara yang ganas
ada tumbalnya
bisa ditata
air yang mengalir
lenyap dari akhir
berarti nyanyian
Nyanyian Air, Gita Tirta
Gita Tirta, tanpa jurus
tanpa tarikan napas
tanpa kehendak
air bisa dihapus, tanpa bekas
itulah Nyanyian Air
yang terus terdengar
selama masih bisa mendengar
terasa selama masih bisa merasa…


“Cukup!” Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi. Tubuhnya melayang ke udara. Coba menyetop Nyai Demang.

Halayudha bergerak sama cepatnya! Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri dengan tekukan. Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri. Yang mendadak berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila. Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki Gendhuk Tri berdesis beberapa jari di depan hidungnya. Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri melayang ke atas, ke arah Nyai Demang!

“Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!”

Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia melindungi diri Kakek Berune. Sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal niatan Halayudha hanya satu. Mendapatkan Kakek Berune! Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang. Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya. Bukan pada diri Gendhuk Tri! Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang. Tangan kiri berjaga atas serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang. Itu bahaya! Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.

“Aduh!” pekiknya nyaring.

Pembunuhan Habis-habisan

HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang tersimpan tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak. Begitu tersentuh tubuh lain, secara otomatis tenaga itu tersalur! Dengan sifat menghancurkan! Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa menguasai diri. Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang menyerang tubuhnya ke sembarang tempat. Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya.

Para pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh. Sekali berkelojotan, langsung mati! Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika. Termasuk si pemegang golok, tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang. Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri. Rasanya Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena ulah Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati. Ingin menyusul dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara!

Halayudha masih terus berputar-putar. Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang menerobos ke luar. Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi tenaga yang membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang. Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya serta pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak. Betul-betul pukulan yang luar biasa.

Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian banyak orang! Apalagi kalau dipukul langsung. Bisa-bisa manusia menjadi bubuk batu! Hancur lebur! Betul-betul pukulan sakti! Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat. Halayudha sendiri masih ternganga karena tak percaya. Begitu banyak ilmu yang dipelajari, ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini, akan tetapi Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan telengas.

Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi. Akan tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain. Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat. Sehingga pergolakan di tangan kanan setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri. Bukan semata-mata tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni. Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang sebenarnya. Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.

Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang. Kekuatan Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya. Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang Berune. Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama kampiun yang tadi disebutkan. Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa menemukan, dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap habis ilmunya. Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi. Akan diinjak sampai rata.

Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa. Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas. Yang dengan mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.

“Halayudha busuk! Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat? Bagaimana kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu kelewatan? Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?”

Halayudha berdiri kaku. Ragu. Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah dilakukan, atau membiarkan saja. Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali kesadarannya. Dan ini merepotkan. Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan begitu saja. Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang. Setidaknya kidungan lengkap Gita Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu! Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti!

Dengan meminjam tangan Baginda. Dengan melaporkan bahwa secara sengaja Pendeta Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra. Padahal itu atas permintaan Baginda! Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya tiga langkah di muka.

“Kamu benar-benar busuk, Halayudha. Tak pantas mendengar Gita Tirta.”

“Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk,” jawab Halayudha dengan lantang. Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata. Ternyata itu ilmu curian belaka. Cacian maling busuk tak terlalu didengar.”

Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan kepalanya ke arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti. Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar. Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri. Maupun Halayudha. Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang. Siapa yang menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan. Dan untuk bisa menguasai Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek Berune.

Ini juga susah. Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa sesungguhnya Kakek Berune. Selain yang tadi dibicarakan. Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri. Juga Halayudha. Keadaan sunyi. Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan berdiam diri. Nyai Demang menghela napas.

“Kacau… Kalian semua kacau. Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua. Atau siapa saja.”

Halayudha menyembah. “Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah kehormatan bagi hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki.”

“Bagus. Bersiaplah!”

Halayudha menyembah lagi. Duduk sambil menutup mata. Menunggu. Seolah menunggu. Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk menangkap bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun. Kelihatannya saja menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan penghabisan. Tak nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir menguasai ilmu yang tak pernah dikenal selama ini. Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk dikorbankan. Itu akan dilakukan saat terakhir sekali. Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.

“Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu sebut-sebut itu?”

Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan. “Sudahlah, buat apa disebut-sebut? Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu Gita Tirta, tak mampu kuingat.”

Nyai Demang terkekeh. “Tidak, tidak. Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau memberitahukan kepada Dodot Bintulu atau Raganata. Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang lain? Pulangsih, Pulangsih… Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku dibandingkan yang lain. Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini… Kalau saja Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan iri, cemburu habis-habisan. Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia.”

Nyanyian Air di Keraton

HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah. “Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di gubuk hamba di Keraton.”

“Ada urusan apa?”

“Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia Eyang Putri Pulangsih.”

Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi juga sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan. Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh hati kepada Pulangsih. Atau yang disebut Pulangsih. Itu pula yang digunakan untuk menjebak. Nyai Demang meludah ke tanah.

“Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri? Pulangsih masih cantik jelita dan muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?”

Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah. “Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu.”

“Kamu masih bertemu?”

“Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi beliau akan hadir.”

Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak mampu mengarang cerita seperti Halayudha.

“Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya. Baik, baik… Ayo berangkat sekarang!”

Halayudha menyembah. Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.

“Tak usah. Kita berangkat.”

Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan Nyai Demang yang menggendong Kakek Berune. Tinggal Gendhuk Tri sendirian. Dan Cebol Jinalaya. Tak ada suara. Agak lama.

“Kamu sedih?”

Gendhuk Tri tersenyum tawar.

“Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri Baginda Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu.”

Berat beban di hati Gendhuk Tri. Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan rimbanya. Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai Halayudha. Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.

“Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku? Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?”

Cebol Jinalaya ikut termenung. “Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan berbaik hati mau membunuh kita.”

Gendhuk Tri mendongak. Memandang angkasa. Guratan kekecewaan menoreh wajahnya. Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya. Sewaktu-waktu ia bisa pergi dengan gampang. Dan tidak memedulikan. Melupakan. Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain. Kalau ia pergi, mau pergi ke mana? Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini? Sendiri, tak punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa menjadi semangat hidupnya? Habis terpenggal rata.

Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara Wulung ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya? Sehingga Upasara memilih menghabiskan ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas? Inikah kehancuran dari dalam itu? Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan oleh kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka? Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan justru ia mempermainkannya? Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika suami dan anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah?

Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya. Sampai bulan muncul, dan lenyap lagi. Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan hujan turun rintik-rintik. Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya. Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke alam di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati. Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya. Hanya helaan napas yang menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.

“Akhirnya doa kita terkabul,” bisik Cebol perlahan. “Ada ksatria datang kemari.”

Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk Tri menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi. Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang lewat berombongan.

“Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru berada di Keraton?”

“Kita sebagai prajurit,” jawab suara yang lain, “hanya menjalankan perintah. Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain.”

“Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?” terdengar suara prajurit pertama. “Siapa tahu?”

“Ah, jangan penakut. Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya heran, kenapa Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke Dahanapura? Dari tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku.”

“Apa anehnya?”

“Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa di depan pintu Baginda.”

“Sssttt… Ayolah kita berjalan terus.”

Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan karena menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya. Gendhuk Tri sebenarnya tak peduli. Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut, hatinya tergerak juga. Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri. Gayatri-nya Upasara Wulung. Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi. Siapa tahu justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara Wulung.

Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit. Digandengnya erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya terbang. Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda. Kekalutan yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja. Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya. Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.

Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin dicekam ketakutan. Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis. Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan. Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga dengan saksama. Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.

“Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu. Kita tak usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana?"

Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu bersedia.”

“Tunggu sampai malam. Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik untuk menyusup masuk.”

“Apakah aku menakutkan?”

Gendhuk Tri mendadak merasa iba. “Tidak. Tentu saja tidak. Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu.”

Cebol menggelengkan kepalanya. “Bukankah dua putri itu juga akan takut? Bukankah rencana kita akan gagal?”

“Pikiranmu tak sependek tubuhmu. Jangan kuatir, aku ada akal.”

“Akalmu banyak sekali. Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana.”

Gendhuk Tri menghela napas berat. “Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?”

Perangkap Kiai Sambartaka

SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya. Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke belakang, dan bersiap.

“Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!”

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan. “Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut sembarangan. Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton.”

Gendhuk Tri tak mau membuang waktu. Cekatan ia meloncat, langsung menuju joli yang terjaga. Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan disentakkan. Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang menjaga terjungkal. Gendhuk Tri berkerut keningnya. Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang tangguh, akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama. Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali. Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar. Setiap gerakan membuahkan hasil. Lawan terpencar, jungkir-balik.

“Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?”

Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi berubah ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.

“Adik manis, mari masuk…” Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung. Ksatria gagah yang bicaranya lantang.

“Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?”

Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada bukanlah ksatria yang suka menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan yang walaupun selintas terdengar kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat. Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang dihormatinya, yang menganggapnya sebagai seorang gadis. Gadis yang manis, yang baik. Tidak menilai sebagai anak kecil. Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan pertama dulu sangat membekas dalam hati. Tak mungkin bisa dilupakan.

“Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur dengan Kiai Sambartaka yang kesohor.”

“Tipu muslihat apa lagi ini?”

“Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat-penjahat kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton. Sambil membawa joli yang dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong. Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya.” Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.

“Kenapa kamu ikut-ikutan?”

“Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini. Bukankah itu pertarungan yang menarik?”

“Di mana kiai Hindia yang busuk itu?”

“Untuk apa kita pedulikan? Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi pertarungan. Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta Sidateka.”

Dada Gendhuk Tri tergetar. “Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?”

“Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan. Upasara terluka parah oleh pukulan Pendeta Sidateka.”

“Kalau benar begitu, sungguh gawat. Syukur kamu mau menolong.”

Maha Singanada menggelengkan kepalanya. “Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat ilmu sejati. Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung. Entah mana yang lebih jago.”

Gendhuk Tri berbalik. Singanada meloncat keluar dari joli.

“Kamu tidak tertarik, gadis suci?”

“Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara.”

Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa memedulikan para prajurit gadungan yang membenahi joli.

“Kenapa bisa begitu?”

“Bukan urusanmu.”

“Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti. Soal wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran. Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu. Aku juga. Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi mengembara. Bukankah ini aneh? Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau bertemu dengannya.”

“Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?”

“Upasara juga aneh,” kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk Tri. “Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti. Tugasku telah selesai.” Maha Singanada berhenti. Dadanya membusung.

“Apa urusanmu?”

“Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia dari Sri Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi? Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja. Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti.”

“Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?”

“Ada juga rencana itu. Gadis suci, kamu mau ikut?”

Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk. “Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?”

“Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan atau kurang ajar. Maafkan kalau lancang. Tapi aku ingin mengajakmu. Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini. Dulu, dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan. Begitu semua orang tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa. Sehingga dalam angan-anganku tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan selain Keraton Singasari. Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang bernama Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang berebutan. Yang ada pembunuhan para senopati utama. Seperti Senopati Sora. Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak.”

“Dijebak bagaimana?”

“Aku tak peduli karena bukan urusanku.”

“Oleh Halayudha?”

“Mungkin. Apa bedanya? Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati. Yang ada cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista.” Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.

Gendhuk Tri bisa mengerti. Senopati Maha Singanada adalah senopati dan sekaligus juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas. Tugas mulia ketika Baginda Raja Sri Kertanegara meluaskan pengaruhnya. Menjalankan hubungan kerja sama sampai negeri Campa. Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari. Akan tetapi ketika kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu. Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini. Apalagi Singanada kini ditarik mengabdi kepada Kala Gemet!

“Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton. Masalah pangkat dan derajat yang palsu. Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih kutemukan jiwa ksatria. Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi? Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah mendongak ke langit. Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung di sana. Tapi sejak lama aku menolak. Aku ingin menjadi ksatria.”

Gendhuk Tri tersenyum. Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya, seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya. “Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria, bukan?”

“Tidak lagi.”

Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak.

Kembalinya Pukulan Beku

“UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria. Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya. Kesaktian yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang ksatria. Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut menghadapi kain wanita yang terbuka. Lelaki macam apa pula itu?”

Gendhuk Tri menjadi panas. Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi, tak nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja. Akan tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur. Sifat dan pembawaannya selalu begitu. Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan Singanada ada benarnya.

“Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?”

“Karena aku ingin mengatakan itu padanya. Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit mana pun. Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan. Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku sebagai prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!”

Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas. “Kamu sama berhati cacing. Dengki.”

“Tak ada sifat itu padaku.”

“Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap Kiai Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai lelananging jagat?”

“Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu. Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago. Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan prajurit Singasari.”

Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri. Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada. Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.

“Kenapa kamu ajak aku?”

“Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita, atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa diselamatkan.”

Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.

“Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian yang telah merusak rencanaku.”

Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah. Maha Singanada tetap berdiri gagah. Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua tangannya. Bibirnya tak bergerak ketika berbicara. Kiai Sambartaka! Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.

“Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak.”

Bret, bret. Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan. Hawa dingin bergumpal mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada. Inilah Pukulan Beku yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat udara sekitar menjadi beku. Hingga lawan susah bernapas.

“Kanyasukla, awas!”

Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri tergetar hati kegadisannya yang sedang tumbuh. Maka membuatnya bercekat juga karena gembira. Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu. Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk perebutan gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik. Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain! Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau Maha Singanada!

Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha Singanada menggerung keras. Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan napas Nawawidha. Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali. Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan yang dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi. Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan Bintang. Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah seketika mencongkel lawan.

Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naik-turun. Tanpa mengubah kuda-kuda. Memang luar biasa. Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau gerakan ke samping, seperti sia-sia. Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau maju atau menyamping. Tetap berdiri di tempatnya semula. Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan. Yang tak bisa dipakai oleh Singanada. Yang terpaksa menghindar. Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku. Tak ada udara yang bisa ditarik. Tak bisa diisap. Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah dikalahkan!

Perlahan Singanada mulai tertindih. Gerakannya menjadi keteter. Aumannya yang keras membahana seperti berubah menjadi jeritan singa terluka. Tubuhnya makin terhuyung-huyung.

Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat. Untuk ikut maju ke medan pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak. Akan tetapi untuk berdiri saja, jelas juga tidak mungkin.

Sret.

Gendhuk Tri meloloskan selendangnya. Sehelai. Dan dengan nekat ia meloncat maju, menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka. Dengan cara itu, ia berharap kekuatan utama Kiai Sambartaka yang terpancar dari pandangan matanya yang ganjil akan terkurangi. Dan kalau selendangnya bisa direbut lawan, Gendhuk Tri tak akan menderita terlalu dalam. Karena telah dilepaskan dari ikatan tubuhnya. Suatu akal yang jitu.

Singanada melihat peluang yang menguntungkan. Dalam hati ia memuji Gendhuk Tri yang pandangannya sangat tajam, mampu melihat kekuatan lawan dan bersiasat untuk mengatasi. Maha Singanada merasakan bahwa udara sekitarnya membeku. Akan tetapi yang lebih melumpuhkan ialah sorot mata Kiai Sambartaka! Yang membuatnya terpaku di sana. Pandangan mata yang membuatnya letih.

Singanada bukannya tidak mengendus bahwa ada semacam ilmu hitam, terutama yang berasal dari tlatah Hindia, yang mempergunakan tenaga pancaran mata untuk mempengaruhi lawan. Akan tetapi ternyata ia tak bisa membebaskan. Begitu terserap, rasanya tak bisa lepas lagi. Dan sorot mata itu seolah menyuruh, memerintah untuk mengikuti kemauan lawan. Maka pertolongan Gendhuk Tri dengan kibasan selendang menutupi mata Kiai Sambartaka sangat besar pengaruhnya.

Singanada bisa kembali memusatkan kekuatannya. Dan bergerak dengan gesit, beberapa kali kantar-nya menyobek ke arah lambung. Mau tak mau Kiai Sambartaka menggeser kakinya. Dua, tiga tindak surut ke arah kiri. Satu tindak ke arah belakang. Kiai Sambartaka sendiri dalam hati kesal. Karena ulah Gendhuk Tri yang menampar keangkuhannya. Membekuk lawan tanpa menggeser kaki. Baginya untuk memenangi pertarungan ini sangat mudah. Karena kedua lawan jauh di bawah ilmunya. Akan tetapi sungguh menyakitkan kesombongannya kalau untuk itu ia harus bertarung mati-matian.

Tapi tak ada jalan lain. Kemurkaan Kiai Sambartaka terlihat dari tubuhnya, yang tadinya kaku kejang, jadi menggeliat. Seperti tarian ular beracun yang siap mematuk. Begitu selendang Gendhuk Tri menutupi lagi, Kiai Sambartaka mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat ke udara. Tubuhnya terbang dan hinggap lagi di tanah, dengan dua pukulan terlontar ke arah Gendhuk Tri dan Singanada.

Yang membuat Gendhuk Tri mencelos ialah bahwa selendangnya menjadi beku. Menjadi keras, kering seolah papan kayu yang tak bisa digerakkan! Selendangnya bisa terkena Pukulan Beku. Sehelai kain saja bisa dikuasai ilmu Pukulan Mandeg-Mangu, apalagi tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging! Hal sama juga dirasakan oleh Singanada.

Justru dalam keadaan mengangkasa, Singanada melihat bahwa lawan sudah tercecar untuk sementara. Bukan hanya mampu dipaksa mundur dan menyamping, akan tetapi juga berjumpalitan dan berlenggok. Tapi sekejap kemudian, kantar-nya. terasa mematuk urat nadinya. Bagai patukan ular berbisa. Yang membuat tangannya ngilu.

Dengarkan Suara Air

SATU-SATUNYA jalan menyelamatkan diri hanyalah dengan membuang kantar. Dan membuang tubuhnya ke belakang sambil menarik Gendhuk Tri mundur.

Kiai Sambartaka berdiri dengan tenang. “Sebelum kalian bisa mati bahagia karena berdua-dua akan membeku, saya ingin memberi sedikit rasa sakit.”

Kedua tangan Kiai Sambartaka bergerak. Sikunya naik ke atas, lengannya rata dengan pundak. Kelima jari di kanan dan kiri menekuk ke bawah. Dari kelima jari terulur lidah ular. Benar-benar ular hidup yang buas mencari patukan.

“Tak percuma saya membawa dari tanah kelahiran. Rasakan sedikit keenakan yang belum pernah kalian rasakan. Giginya kecil. Taringnya mungil. Masing-masing dari kalian akan menerima lima gigitan. Cukup untuk dirasakan sebelum meninggalkan dunia ini.”

Gendhuk Tri tidak gentar. Justru pada saat mati-hidup itu nyalinya seperti ditantang. Ia tak mau di belakang tubuh Singanada yang melindungi. Ia menggeser maju.

“Kalau kepada Eyang Sepuh saja kamu berani berbuat kurang ajar dan menipu, apalagi kepada kami! Keluarkan semua ilmu busukmu akan aku hadapi!”

“Ada dua alasan untuk menyakitimu, anak kecil. Kalau begitu kamu tiga kali gigitan saja. Biar menderita lebih lama…”

Kiai Sambartaka menarik napas. Dari jari-jari tangan kirinya, dua ekor ular kecil menyusup masuk. Ini hebat! Bahkan ular berbisa pun menjadi bagian dari tubuhnya. Seperti binatang buas yang bisa menarik kukunya. Ini memang kelebihan Kiai Sambartaka. Dengan menarik dua ekor ularnya, berarti hanya tiga ekor yang tersisa. Tiga pagutan, akan membuat Gendhuk Tri menderita lebih lama. Sebelum akhirnya mati.

“Alasan pertama karena kamu mengungkit kembali Bejujag gila. Yang kedua karena kamu menggagalkan niatanku menjebak Upasara. Barangkali dengan kematianmu, Upasara akan lebih cepat muncul. Bagus!”

Singanada menggeser maju. “Kanyasukla, ini bagianku. Biar aku saja yang melayani.”

“Lebih baik kau ke negeri Campa sana. Ini urusanku. Aku tak rela pendeta busuk menyebut-nyebut Eyang Sepuh seenak mulutnya yang, bercabang lidahnya.”

“Harusnya wanita seperti kamu ini dihina lebih menjijikkan lagi. Biarlah ular-ular ini menggerayangi kewanitaanmu sebelum kamu kena pagut.”

Sret!

Kiai Sambartaka menggeliat, dan kedua tangannya maju meraup ke depan. Kini bukan hanya hawa dingin yang membekukan dan membuat susah bernapas, akan tetapi juga tercium bau amis yang luar biasa. Perut Gendhuk Tri menjadi mual, pandangannya berkunang-kunang. Bahkan Singanada yang tenaga dalamnya lebih kuat terpengaruh dengan hebat. Pemusatan pikirannya menjadi kacau. Terutama juga karena memikirkan keselamatan Gendhuk Tri. Inilah kesalahan utama. Memusatkan pada diri sendiri saja tak akan mampu mengimbangi, apalagi terpecah! Maka gerakan Singanada maupun Gendhuk Tri seperti gerakan ngawur untuk mempertahankan diri.

Satu kali tangan Kiai Sambartaka bergerak, kaki Singanada kena sentuhan, dan membeku tak bisa digerakkan. Tubuh Gendhuk Tri juga seperti terkurung. Satu-satunya jalan, tetap saja. Melorot turun, meluncur dengan tenaga punggung. Terpaksa Kiai Sambartaka meloncat menghindar. Dan tangan kirinya tetap terulur ke depan menyambar tubuh Gendhuk Tri yang masih meluncur ke tanah.

Saat itu tubuh Gendhuk Tri tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa melawan. Karena udara sekeliling tubuhnya beku dan membuatnya tak bisa menghindar. Akan tetapi tanpa disadari, ada tenaga lembut mengalir lewat bahunya. Dengan sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh. Begitu tangan Kiai Sambartaka mendekat, Gendhuk Tri bisa mengegos dan dengan tekukan tenaga dalam perut, tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas. Ringan, enteng, melayang. Bahkan selendangnya yang tersisa bisa berkibar.

Singanada mengeluarkan seruan tertahan. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri dengan cara yang luar biasa. Dalam keadaan yang begitu sulit, masih mampu mengerahkan tenaga perut untuk melayang. Bahkan kalau dilihat dari gerakannya, sangat lemas, lembut, dan terkuasai. Singanada tak menduga sama sekali. Sehingga matanya melihat tanpa berkedip. Kakinya saja kena pengaruh lawan dan sulit digerakkan. Tetapi nyatanya Gendhuk Tri justru bisa membebaskan diri!

Sebenarnya Kiai Sambartaka juga tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Hanya saja parasnya tak menunjukkan perubahan seperti Singanada. Rasa heran Kiai Sambartaka terutama karena tak menduga bahwa di saat meluncur, tubuh Gendhuk Tri masih mampu bergerak ke arah lain. Masih bisa mengandalkan tenaga perut yang menggelembung dan mengempis, untuk mengempos semangat! Pengerahan tenaga dalam yang nyaris sempurna.

Kiai Sambartaka menduga bahwa penguasaan seperti itu hanya dimiliki mereka yang puluhan tahun menghabiskan waktu berlatih secara keras. Kalaupun sejak lahir Gendhuk Tri sudah diajari melatih pernapasan, dan itu hampir mustahil, umurnya sekarang masih belum mendukung lamanya latihan. Keheranan Kiai Sambartaka, karena diam-diam muncul kesangsian akan kemampuannya melancarkan Pukulan Beku. Padahal itu satu-satunya ilmu andalan yang dianggap paling sakti di seluruh jagat.

Inti ilmunya ialah membuat udara sekitarnya beku bagi lawan. Menjadi dingin, kaku, dan tak bisa diisap. Dengan menciptakan udara beku di sekitar, lawan tak bisa menguasai wilayah itu. Tinggal memojokkan, dan menghabisi. Itu yang terjadi pada permulaan. Hingga ia bisa memaksa Gendhuk Tri meluncur ke bawah. Saat itu udara di sekitar sudah sepenuhnya dikuasai. Luar biasa jika kemudian Gendhuk Tri mampu menerobos. Itu yang tak dimengerti.

Sesungguhnya, Gendhuk Tri sendiri tak mengerti sepenuhnya. Kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya begitu tiba-tiba, juga ketika terkumpul di pusar dan dikerahkan. Sampai saat tubuhnya melayang di udara. Ketika itulah telinganya mendengar suara lembut:

Dengarkan suara air
bukan gemericiknya
ikuti gerakan air
bukan ombaknya…


Kekuatan Gendhuk Tri seperti terpanggil kembali. Ia mengetahui bahwa ada seorang tokoh yang membantunya secara diam-diam. Gendhuk Tri tak tahu pasti apakah itu suara Eyang Sepuh—karena ia tak pernah mendengar sebelumnya, atau tokoh sakti yang lain. Untuk sementara Gendhuk Tri tak mau peduli. Hanya ia merasa tokoh sakti yang membantunya masih berada di sekitarnya. Tubuh Gendhuk Tri melayang ke bawah dengan anggun.

“Kiai busuk, tak perlu bengong. Untuk apa jauh-jauh mencari Kakang Upasara atau secara pengecut melarikan diri dari Trowulan, kalau bertemu dengan aku saja matamu tak berkedip? Apa kamu kira ilmu Pukulan Ragu bisa menandingi pukulan-pukulan kami yang diciptakan dari keluhuran budi?”

Gendhuk Tri memang pintar memainkan lidahnya. Ia mengatakan pukulan andalan Kiai Sambartaka dengan Pukulan “Ragu”, yang artinya kurang-lebih sama dengan Pukulan Mandeg-Mangu. Namun kalau istilah pertama menunjukkan ketidakpastian, arti kata yang kedua menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.

“Dengan modal hanya begini, kamu jauh-jauh mau mengadu. Apa bisa disejajarkan dengan Tepukan Satu Tangan yang tanpa tandingan? Atau gerakan selendangku? Meskipun kamu gabung dengan Pukulan Pu-Ni yang kamu curi dari Kakek Berune, masih jauh di bawah ilmu Mpu Raganata yang paling biasa.”

“Tahu apa kamu tentang Pukulan Pu-Ni?”

Air Tak Membedakan

KINI giliran Gendhuk Tri yang tertawa keras. “Kasihan. Sungguh kasihan nasibmu. Jauh sekali kamu datang. Jauh sekali kamu mempersiapkan diri sejak kakek gurumu mempunyai keinginan menghadiri pertemuan di tanah Jawa. Semua yang kamu harapkan sia-sia. Bahkan usahamu menyelami tanah Jawa, mencoba mengubah namamu dengan gelaran terhormat Kiai Sambartaka, kiai yang mampu mendatangkan kiamat, ternyata cuma ilmu kulit kacang. Lepas tak berguna karena kena panas. Kiai ular kecil, dengarkan baik-baik! Kamu masih ingat aku juga ada di Trowulan? Atau lidah kamu sudah mulai mengenal Trowulan? Brantas? Masih segar dalam ingatanmu? Aku datang karena aku berhak datang. Seperti Kakang Upasara Wulung, yang akhirnya menjadi pemenang. Tak peduli siapa yang ikut ke gelanggang, aku atau Kakang Upasara, hasilnya sama. Kamu tahu, kamu mengalami, bahwa Eyang Sepuh telah menghancurkan, telah mengalahkan. Kalau Eyang Sepuh berkenan. Akan tetapi Eyang Sepuh memberi ampunan. Sehingga kamu seperti cacing menyelam ke dalam sungai, menyembunyikan kepalamu di dasar sungai. Kami bisa mengangkatmu ke atas. Dan mengencingimu tepat di lubang hidungmu. Tapi Eyang Sepuh mengampunimu. Kenapa kamu masih belum puas? Masih merasa pantas untuk adu tanding memperebutkan gelar ksatria yang paling terhormat?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaan.”

“Kamu tidak mau dan tak bisa mendengarkan jawaban.”

“Aku menanyakan apa yang kau ketahui tentang Pukulan Pu-Ni.”

“Sama saja. Kamu menanyakan Pukulan Pu-Ni, atau Tepukan Satu Tangan, atau Weruh Sadurunging Winarah, atau Pukulan Air, atau sepuluh nama lain bisa kusebutkan. Tingkat sama dan sudah merata. Salah satu saja dari yang kusebutkan, Pukulan Beku kamu tak banyak berarti. Tak mungkin bisa menandingi. Kamu sungguh keliru kalau hanya menganggap Tepukan Satu Tangan sebagai satu-satunya pukulan dahsyat. Tanah Jawa terlalu subur untuk pukulan lain. Untuk tumbuhnya akal budi. Tabiatmu yang busuk tak akan pernah sampai.”

Meskipun mengarang, Gendhuk Tri sedikit-banyak mengetahui nama-nama yang disebutkan. Sehingga Kiai Sambartaka sedikit-banyak terpengaruh juga.

“Apa pernah kamu dengar Kidung Paminggir?”

Gendhuk Tri tertawa. “Kenapa kamu masih saja penasaran dengan nama-nama? Apakah setelah mengetahui Kidung Paminggir kamu berusaha bisa menguasai ilmunya? Seperti Halayudha yang merasa menjadi sakti hanya dengan mendengar Gita Tirta? Kamu masih tak akan mengungguli karena dasar jiwamu masih kotor dan rendah.”

Gendhuk Tri menarik napas lega.

“Caramu melatih pernapasan saja tidak jujur, tidak ikhlas. Kamu terlalu memaksa diri. Tlatah Hindia adalah tlatah leluhur bagi kami. Pada mulanya. Tapi itu sudah lama berakhir. Ilmu pernapasan yang kami terima sudah jauh berbeda. Rasakan sendiri bedanya. Pukulan Mandeg-Mangu kamu kuasai dengan sangat baik, tapi tetap kurang sempurna. Karena kamu hanya mengandalkan tenaga keras. Tenaga bumi, tenaga tanah, tenaga yang bisa mementahkan Kitab Bumi. Bukankah ketika kamu menjatuhkanku dan siap mencengkeramku, kamu tak menduga bahwa aku bisa lolos dengan enak? Menerobos kurungan kebekuan yang kamu ciptakan?”

Kiai Sambartaka sampai menggaruk-garuk belakang telinganya. Singanada juga merasakan dadanya panas. Keduanya tidak mengetahui bahwa Gendhuk Tri sengaja meneruskan suara yang berdenging di telinganya. Tentu saja dengan ditambahi bumbu, sesuai dengan keinginannya sendiri.

“Karena kebekuan tenagamu hanya bisa mengurung tenaga keras, tenaga yang, tenaga lelaki. Begitu lawan melatih tenaga lain, tenaga wanita, kamu kelabakan. Semua ilmu kamu tak ada gunanya. Ini nasihat yang baik. Pelajari lagi baik-baik, dan lima puluh tahun lagi, kalau umurmu panjang atau muridmu ada yang berbakat, kirim lagi kemari. Nasihat kedua ialah, jangan terlalu lama menahan tenaga di dada sebelah atas. Satu dan lain waktu, kekuatanmu sendiri tak mampu menguasai. Sekarang pun bisa kudengar tarikan napasmu yang mendesing seperti nyamuk kelelahan. Itu artinya ada yang tidak betul. Ada yang kamu paksakan. Rangkaian kekuatan, rangkaian tenaga napas, begitu kena gangguan sedikit saja, menjadi tidak beres. Semua tenaga dalam yang kamu latih puluhan tahun akan hilang atau berbenturan sendiri. Sudahlah, Sambartaka, pulang saja. Seekor ularmu telah mati teracuni sendiri. Itulah nasibmu suatu ketika kalau kamu tidak hati-hati.”

Kiai Sambartaka mengeluarkan sepuluh ekor ularnya dari jari-jarinya. Benar yang dikatakan Gendhuk Tri. Seekor ularnya tak bergerak, meluncur jatuh ke tanah. Singanada membelalak. Kiai Sambartaka menunduk.

“Sebentar lagi aku akan kembali.” Tubuhnya menggeliat dan mendadak hilang dari pandangan.

Gendhuk Tri menunduk. Lalu duduk, dengan sikap bersemadi. “Terima kasih sekali, Guru Sakti yang baik hati. Dengan ini saya, Gendhuk Tri yang rendah, menghaturkan sembah bekti.”

Terdengar angin bergerak. Cebol Jinalaya yang muncul mendekat. Maha Singanada menunduk dan memberi sembah kepada Cebol Jinalaya. Tentu saja Cebol Jinalaya yang tidak tahu-menahu apa-apa balik merasa heran.

“Rupanya kamu mengenal Raganata, Bejujag….”

Suara itu datang dari arah lain. Singanada juga menangkap.

“Kenapa bersembunyi segala macam?”

“Saya tidak bersembunyi. Sejak tadi saya ada di sini, berbicara denganmu. Sejak tadi saya tahu bahwa kamu mempelajari ilmu selendang yang rasanya pernah saya ciptakan. Dari mana kamu pelajari itu, Gendhuk Tri?”

“Dari Ibu Guru Jagaddhita.”

“Saya tak tahu.”

“Ibu Guru Jagaddhita mendapat ilmu dari Eyang Raganata.”

“Ooooh. Raganata, lelaki yang baik. Yang memikirkan negara, memikirkan Keraton. Saya membaca sebentar Kitab Negara. Saya, terus terang saja, tak mengerti isinya. Apa betul ia sudah mendahului?”

“Begitulah yang hamba ketahui. Kalau betul Kakek Guru yang menciptakan…”

“Bagaimana mungkin kamu memanggil Kakek? Apa suara saya seperti suara lelaki...?”

BAGIAN 31CERSIL LAINNYABAGIAN 33

Senopati Pamungkas Bagian 32

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 32

Gendhuk Tri pernah mendengar ilmu memindahkan nyawa. Yang termasuk dalam ilmu hitam, yang pantang dipelajari sebagai ilmu. Ilmu pemindahan nyawa ini biasanya terjadi dari orang yang hidup ke dalam tubuh orang yang sudah mati. Sehingga orang yang sudah mati bisa dipaksa berbicara atau bergerak, sesuai dengan kehendak yang memindahkan nyawa.

Pada penganut ilmu hitam, biasanya dipakai sebagai senjata tidak langsung. Karena mayat-mayat ini bisa menerobos masuk ke daerah lawan dengan meloncat-loncat, dan kalaupun terkena senjata lawan tak akan mengaduh. Dan yang jelas, yang menggerakkan mayat tak terluka. Bedanya, Nyai Demang bukan memindahkan tenaga dan kekuatannya ke dalam mayat Kakek Berune, melainkan sebaliknya.

“Jadi kamu mengenaliku?”

“Tentu saja. Aku sudah membaca dan mempelajari Tirta Parwa yang tak kalah hebatnya dengan Pukulan Pu-Ni yang kumiliki. Jauh di atas Tepukan Satu Tangan. Akan tetapi kenapa justru Kitab Penolak Bumi yang dipakai? Kenapa?”

Halayudha tak tahu ke mana arah pertanyaan itu sehingga ia terdiam.

“Karena kamu masih lebih mencintai Bejujag itu? Ayo jawab saja!”

Wajah Nyai Demang menyeringai. Mengerikan. Dalam hati Halayudha menggigil. Hebat juga pengaruh yang menguasai Nyai Demang ini, pikirnya. Apa pun alasan atau latar belakang kejadiannya, agaknya tenaga lain Nyai Demang mengenali Kitab Air. Kalau aku bisa memanfaatkan, pasti jadi luar biasa. Berpikir begitu, Halayudha menghadapi Nyai Demang dengan pemusatan pikiran penuh.

“Terserah apa yang kamu katakan.”

“Kitab Air lebih dari Kitab Bumi. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan? Ayo ulangi, biar kamu ingat.”

Gendhuk Tri menjadi panas-dingin. Kalau benar Nyai Demang menceritakan semuanya, alamat Halayudha bakal makin gila dan menguasai. Akan tetapi ia sendiri tak bisa mencegah atau berbuat sesuatu.

Halayudha menghela napas. Lalu menutup kedua matanya. Bibirnya berkomat-kamit, perlahan. Terdengar kidungan yang halus.

Bumi itu tanah dan tanah itu air
air lebih dari bumi, lebih dari tanah
sebab air ada di semua
bumi ada di suatu tempat
hanya kalau air minggir, bumi terlihat
jadi air lebih hidup dan menggeliat
bumi itu tanah dan tanah itu air
air sama dengan bumi
tanpa tanah, air hanya air
tanpa air, tanah bukan tanah
bumi milik tanah
tanah milik air
tanah dan air milik yang terakhir…


Air mata Nyai Demang menetes. Duka menggores. “Jadi kamu masih ingin selalu bersatu dengan Bejujag?”

Tak ada jawaban. Tadi Halayudha hanya menghafal kidungan yang kira-kira bunyi dan isinya seperti yang diminta Nyai Demang. Tanpa menyadari bahwa ternyata jawabannya tepat sekali.

“Tunjukkan yang lainnya, agar aku yakin.”

“Akhirnya kamu mau mengakui aku. Dengar baik-baik. Dalam kidungan yang kau kirimkan padaku tentang Gita Tirta atau Nyanyian Air, dengan jelas kau katakan…”

Mendadak suara Gendhuk Tri melengking tinggi. “Jangan mengatakan sembarangan. Harusnya kepadaku, karena aku murid yang resmi.”

Nyai Demang melengak. Juga Halayudha yang bisa membaca kemauan Gendhuk Tri agar Nyai Demang tidak menunjukkan bagian-bagian yang penting. Darah Halayudha menggelegak. Dengan sekali tekuk, Gendhuk Tri bisa dibekuk. Akan tetapi Halayudha masih ragu. Apakah ini membuat Nyai Demang yang kerasukan orang lain menjadi murka atau tidak. Kalau murka, dirinya bisa kehilangan kesempatan emas. Kehilangan Gendhuk Tri maupun sukma yang memaksa berada dalam tubuh Nyai Demang. Dua-duanya merupakan kunci pembuka Kitab Air.

Hanya saja telinganya sempat mendengar mengenai Nyanyian Air. Ah, di bagian mana yang kidungannya berbunyi Gita Tirta? Rasanya semua isi Kitab Air sudah dipelajari. Sudah dibaca ulang dan ia hafal dengan baik. Akan tetapi, tak ada yang merujuk ke arah Gita Tirta. Ini bisa berarti bahwa Pendeta Sidateka tetap merahasiakan satu bagian yang penting. Yaitu kidungan Gita Tirta. Kalau tidak, pasti ia sudah mengetahui.

“Sejak tadi aku yang memainkan beberapa jurus ajaran Kitab Air. Masa kamu tidak merasakan. Makanya hanya kepadakulah kamu bercerita.”

“Kamu siapa?”

“Aku Gendhuk Tri, hubungan kita sama dekatnya dengan Kakang Upasara. Yang belum lama ini menggandeng Mbakyu. Masa tidak ingat nama Upasara Wulung?”

Nyai Demang bergoyang-goyang tubuhnya. Lututnya tertekuk. Gendhuk Tri menyadari kesalahan terbesar. Secara tidak sadar ia menjawab seolah berbicara dengan Nyai Demang. Padahal yang menguasai Nyai Demang adalah Kakek Berune! Tidak sepenuhnya, karena Nyai Demang masih bisa tersentuh oleh ingatan, ketika nama Upasara Wulung disebutkan. Tapi justru dua jalan pikiran dari dua orang yang berbeda membuat tubuh Nyai Demang tak kuat. Ini bahaya!

Kidung Penolak Air

HALAYUDHA mengetahui bahwa Gendhuk Tri sangat cerdas. Bisa dengan cepat memotong omongan Nyai Demang. Sehingga penjelasan mengenai Kitab Air jadi terhenti.

“Gendhuk kecil, omonganmu yang mengacau bisa membahayakan Nyai Demang. Kenapa kamu ingin melenyapkan dengan cara licik seperti itu?”

“Siapa yang licik? Kamu atau aku?”

Halayudha meringis. “Semua orang tahu aku licik, licin, culas, jelek, nista, bukan ksatria. Kuakui. Akan tetapi aku tak pernah berpura-pura baik dan berjiwa ksatria seperti kamu.”

“Kamu yang ngaco. Mana mungkin aku berniat jahat kepada Nyai Demang. Apa alasanku?”

“Apa alasanku…?” Halayudha menirukan nada bicara Gendhuk Tri dengan nada lebih tinggi. “Hanya karena ingin merangkul Upasara sendirian, kamu menyingkirkan Nyai Demang. Sungguh keji hati wanita. Sekecil kamu sudah busuk dan hina.”

Bibir Gendhuk Tri gemetar. Menahan gusar yang kelewat takar. Darahnya mendidih, terbakar. Kalimat Halayudha berbisa luar biasa. Dengan caranya sendiri, Halayudha bisa menangkap perasaan Gendhuk Tri terhadap Upasara. Dari ucapan-ucapan seketika. Dengan cara itu, Halayudha ganti memojokkan Gendhuk Tri. Memutar balik kenyataan adalah keunggulan Halayudha. Dalam hal begini, Gendhuk Tri yang bisa bicara menyakitkan pun masih tetap di bawah tekukan lidah Halayudha.

“Kamu benar-benar biadab!”

“Semua yang ada di sini menjadi saksi.”

Halayudha berjongkok menghaturkan sembah ke arah Nyai Demang. “Saya yang rendah menghaturkan sembah kepada Kakek Sakti. Mohon kiranya diperkenankan mengetahui nama besar Kakek Sakti yang tidak saya ketahui.”

“Apa hubunganmu dengan Dodot Bintulu?”

Mendadak Nyai Demang bangkit lagi. Berdiri dengan perkasa. Pandangannya keras. Jelas bahwa kini yang menguasai jalan pikiran Nyai Demang bukan dirinya lagi.

“Jelek-jelek begini, saya pernah berguru pada Paman Sepuh Dodot Bintulu. Namun saya terlalu bodoh…”

“Aku mendengar Paman Sepuh punya dua murid jahat. Kamu yang pertama atau kedua?”

Seketika Halayudha seperti terkena serangan telak. Seketika saja. Bukan Halayudha kalau tak bisa mempertahankan diri dengan cemerlang.

“Maaf, Kakek Sakti, saya hanya murid kesekian yang tak diperhitungkan. Saya hanya sebentar diajari, dan Paman Sepuh, guru kami yang mulia, takut dijahati muridnya sehingga saya tak diakui secara resmi. Hanya karena tadi disebut-sebut dan ditanyakan, saya terpaksa mengaku-aku. Maafkan hamba….”

“Hmmm… Ilmumu tak begitu jelek. Aku teman main Dodot Bintulu, yang nasibnya sama-sama buruknya. Pernah dengar Pukulan Pu-Ni?”

Biarpun tak pernah mendengar, Halayudha menyembah hormat. “Paman Sepuh, guru yang mulia, pernah menyebut-nyebut kesaktian pukulan yang mementahkan segala pukulan. Sungguh nasib baik dan sukma guru yang mulia yang mempertemukan.”

Nyai Demang mengangguk-angguk. “Kenapa sebagai murid Dodot Bintulu kamu mempelajari ilmu Air?”

Ilmu Air? Pertanyaan itu tergema kembali dalam dinding hati Halayudha. “Hamba mendapat pesan terakhir, bahwa Tirta Parwa banyak disalahgunakan oleh orang-orang culas yang tak berhak. Kalau bisa hamba disuruh membersihkan.”

“Itu baik. Itu mulia. Kalau begitu kamu sudah mempelajari?”

“Serba sedikit, Kakek Sakti Pu-Ni….”

“Kalau serba sedikit, kenapa kamu tak pernah mendengar Gita Tirta? Ini sungguh aneh… Kidungan itu sampai kepadaku, tentunya Dodot Bintulu, Raganata, Bejujag, sudah membaca dengan baik.”

“Mohon Kakek Sakti Pu-Ni memberi penjelasan. Demi nama baik pencipta Kitab Air…”

Halayudha setengah main tebak saja. Namun dengan alasan yang kuat. Ia sadar bahwa “Kakek Sakti Pu-Ni” mempunyai hubungan yang erat dengan pencipta Tirta Parwa, yang seangkatan dengan Mpu Raganata, Paman Sepuh, dan Eyang Sepuh. Betul-betul tingkat pepunden, tokoh pujaan yang luar biasa. Dengan mengatas namakan pencipta Kitab Air, Halayudha ingin mendekatkan diri. Dan berhasil. Karena Nyai Demang mengangguk-angguk.

“Ah, bisa jadi gurumu juga tak memahami Gita Tirta. Juga yang lain. Nyatanya bocah kecil yang mengaku didikan Raganata juga tak becus. Ketahuilah, orang-orang bodoh, akulah Kebo Berune, yang sekarang kalian panggil dengan sebutan Eyang Berune, pencipta Pukulan Pu-Ni yang tiada tandingannya di kolong langit ini. Aku mengerti semua ciptaan, semua ilmu kanuragan yang dianggap paling mustahil di tanah Jawa ini. Kalian harus tahu bahwa ilmu yang terbaik, ilmu yang paling sakti, bukanlah yang dituliskan dalam Tumbal Bantala Parwa. Kitab itu karya curian dari Gita Tirta. Sesungguhnya di situ kidungan pertama kali muncul. Itulah ilmu pamungkas, ilmu yang terakhir. Bejujag hanya mengambil alih saja. Dengarkan kidungan lengkapnya, sehingga semua bisa membandingkan mana yang asli mana yang palsu.

Dari semua air, dari semua sumber
selalu ada akhir, selalu ada penghabisan
air melenyap, tinggal senyap
air menguap, tinggal senyap
bumi yang sangar, bumi yang ganas
ada tumbalnya
bisa dicipta
negara yang panas, negara yang ganas
ada tumbalnya
bisa ditata
air yang mengalir
lenyap dari akhir
berarti nyanyian
Nyanyian Air, Gita Tirta
Gita Tirta, tanpa jurus
tanpa tarikan napas
tanpa kehendak
air bisa dihapus, tanpa bekas
itulah Nyanyian Air
yang terus terdengar
selama masih bisa mendengar
terasa selama masih bisa merasa…


“Cukup!” Gendhuk Tri berteriak dengan lengkingan tinggi. Tubuhnya melayang ke udara. Coba menyetop Nyai Demang.

Halayudha bergerak sama cepatnya! Mengerti arah gerakan Gendhuk Tri, Halayudha menaikkan tangan kiri dengan tekukan. Udara yang digeletarkan menahan laju tubuh Gendhuk Tri. Yang mendadak berbalik dan menendang Halayudha yang masih duduk bersila. Tenang sekali Halayudha menggeser kepalanya, membiarkan sapuan kaki Gendhuk Tri berdesis beberapa jari di depan hidungnya. Ketika Gendhuk Tri mengulang lagi, Halayudha cepat menarik selendang Gendhuk Tri dan tubuhnya sendiri melayang ke atas, ke arah Nyai Demang!

“Jangan ganggu Guru Sakti Eyang Berune!”

Dengan cara begitu, seolah Halayudha ingin menunjukkan bahwa ia melindungi diri Kakek Berune. Sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal niatan Halayudha hanya satu. Mendapatkan Kakek Berune! Yang pikirannya berada dalam tubuh Nyai Demang. Sebab di sinilah kunci Tirta Parwa yang sesungguhnya. Bukan pada diri Gendhuk Tri! Dalam gerakan itu Halayudha melindungi Nyai Demang. Tangan kiri berjaga atas serangan Gendhuk Tri, tangan kanan mendorong hormat tubuh Nyai Demang. Itu bahaya! Tenaga dalam Nyai Demang mengarus ke tubuh Halayudha.

“Aduh!” pekiknya nyaring.

Pembunuhan Habis-habisan

HALAYUDHA tidak menyangka sama sekali bahwa dalam tubuh Nyai Demang tersimpan tenaga dari Kakek Berune yang masih bergolak. Begitu tersentuh tubuh lain, secara otomatis tenaga itu tersalur! Dengan sifat menghancurkan! Sesungguhnya itulah yang dirasakan oleh Nyai Demang sehingga ia tak bisa menguasai diri. Merasa tangan kanannya kesemutan, Halayudha membuang tenaga yang menyerang tubuhnya ke sembarang tempat. Sudah barang tentu yang menjadi sasaran orang-orang yang ada di sekitarnya.

Para pengikut Jinalaya tak sempat mengeluarkan teriakan mengaduh. Sekali berkelojotan, langsung mati! Dalam sekejap, selusin orang meninggal seketika. Termasuk si pemegang golok, tombak, gada, yang begitu tersentuh langsung kejang. Cebol Jinalaya yang ingin maju, segera ditarik oleh Gendhuk Tri. Rasanya Gendhuk Tri tetap tak rela kalau cebol kepalang ini meninggal karena ulah Halayudha, walaupun sebenarnya tujuan mereka memang ingin mati. Ingin menyusul dan tetap mengabdi Baginda Raja Sri Kertanegara!

Halayudha masih terus berputar-putar. Setiap kali tangan kanannya disentuhkan, ada semacam tenaga yang menerobos ke luar. Meskipun ini menyebabkan kematian pada orang lain, akan tetapi tenaga yang membuat tangannya kesemutan makin lama makin berkurang. Sehingga ketika semua yang hadir, kecuali Gendhuk Tri dan Cebol Jinalaya serta pengikutnya, terkena sentuhannya, rasa nyeri itu berkurang banyak. Betul-betul pukulan yang luar biasa.

Sisa tenaga yang mengeram di tangan kanannya bisa untuk membunuh sekian banyak orang! Apalagi kalau dipukul langsung. Bisa-bisa manusia menjadi bubuk batu! Hancur lebur! Betul-betul pukulan sakti! Ini ilmu yang betul-betul sakti mandraguna, hebat kelewat-lewat. Halayudha sendiri masih ternganga karena tak percaya. Begitu banyak ilmu yang dipelajari, ditekuni, juga berasal dari tokoh-tokoh kelas utama dalam jagat ini, akan tetapi Pukulan Pu-Ni tetap diakui sebagai pukulan paling ganas dan telengas.

Bahwa pukulan itu ciptaan Kakek Sakti Berune, tak disangsikan lagi. Akan tetapi bahwa hasilnya luar biasa, didukung oleh beberapa unsur yang lain. Tenaga dalam Halayudha sendiri cukup kuat. Sehingga pergolakan di tangan kanan setiap kali keluar, juga didorong oleh tenaga dalamnya sendiri. Bukan semata-mata tenaga mengeram dari Pukulan Pu-Ni. Lagi pula yang menjadi sasaran boleh dikatakan bukan jago silat yang sebenarnya. Namun itu semua tak mengurangi ketakjuban dan kecemasan Gendhuk Tri.

Ketakjuban karena Gendhuk Tri tahu bahwa itu bukan tenaga Nyai Demang. Kekuatan Nyai Demang sangat diketahui batas-batasnya. Kecemasan karena kini Nyai Demang berada dalam pengaruh tenaga Eyang Berune. Entah tokoh mana lagi, akan tetapi yang jelas sejajar dengan nama-nama kampiun yang tadi disebutkan. Makin cemas lagi kalau mengingat bahwa sekarang ini Halayudha bisa menemukan, dan bukan tidak mungkin merangkul, Nyai Demang untuk mengisap habis ilmunya. Kalau itu terjadi, bumi tak tersisa lagi. Akan diinjak sampai rata.

Yang lebih mencemaskan lagi, Gendhuk Tri sadar tak bisa berbuat suatu apa. Ilmunya, seperti telah terbaca jelas dari gerakan maupun tarikan napas. Yang dengan mudah bisa ditekuk habis oleh Halayudha.

“Halayudha busuk! Bagaimana kamu mengaku murid Paman Sepuh tapi begitu jahat? Bagaimana kamu mau menjaga Tirta Parwa kalau sifat jahat dan hinamu begitu kelewatan? Kenapa sedikit kesakitan saja tanganmu, semua orang kamu bunuh?”

Halayudha berdiri kaku. Ragu. Apakah ia harus menggempur Gendhuk Tri, yang bisa dengan mudah dilakukan, atau membiarkan saja. Kalau ia menghajar Gendhuk Tri, bisa saja Nyai Demang muncul kembali kesadarannya. Dan ini merepotkan. Kalau dibiarkan saja, ia bisa menganggap sepi, dan kemudian meninggalkan begitu saja. Asal sudah berhasil mendapatkan Nyai Demang. Setidaknya kidungan lengkap Gita Tirta yang disembunyikan Pendeta Sidateka terkutuk itu! Yang akan segera disikat kalau sudah kembali nanti!

Dengan meminjam tangan Baginda. Dengan melaporkan bahwa secara sengaja Pendeta Sidateka menyembunyikan sebagian isi kitab yang dituliskan di kain sutra. Padahal itu atas permintaan Baginda! Dalam keadaan termangu pun, Halayudha masih bisa memikirkan setidaknya tiga langkah di muka.

“Kamu benar-benar busuk, Halayudha. Tak pantas mendengar Gita Tirta.”

“Jangan bawa-bawa nama itu. Kamu murid pencuri busuk,” jawab Halayudha dengan lantang. Kamu mengaku murid Jagaddhita. Jagaddhita mengaku murid Mpu Raganata. Ternyata itu ilmu curian belaka. Cacian maling busuk tak terlalu didengar.”

Nyai Demang yang masih menggendong Kebo Berune jadi memiringkan kepalanya ke arah Halayudha dan Gendhuk Tri berganti-ganti. Seolah mau mencari kepastian siapa yang harus lebih didengar. Keadaan itu juga disadari oleh Gendhuk Tri. Maupun Halayudha. Saat ini jalan yang terbaik adalah mempengaruhi Nyai Demang. Siapa yang menguasai, dengan sendirinya bisa menjatuhkan lawan. Dan untuk bisa menguasai Nyai Demang, haruslah dengan kalimat-kalimat yang bisa dipahami oleh Kakek Berune.

Ini juga susah. Karena baik Halayudha maupun Gendhuk Tri tak mengerti siapa sesungguhnya Kakek Berune. Selain yang tadi dibicarakan. Takut salah bicara, Gendhuk Tri berdiam diri. Juga Halayudha. Keadaan sunyi. Di suatu tempat mayat-mayat bergeletakan, yang masih hidup berdiri dan berdiam diri. Nyai Demang menghela napas.

“Kacau… Kalian semua kacau. Kalian semua pencuri busuk. Aku harus melenyapkan kalian berdua. Atau siapa saja.”

Halayudha menyembah. “Kalau Kakek Sakti Berune mau mencabut nyawa hamba, itu adalah kehormatan bagi hamba. Tak nanti hamba yang bersalah ini berani menggeser kaki.”

“Bagus. Bersiaplah!”

Halayudha menyembah lagi. Duduk sambil menutup mata. Menunggu. Seolah menunggu. Karena saat itu justru sedang mengerahkan semua kemampuannya untuk menangkap bunyi atau getar yang paling lemah sekalipun. Kelihatannya saja menyerah, akan tetapi merencanakan untuk melakukan serangan penghabisan. Tak nanti ia rela dibunuh begitu saja, justru di saat hampir menguasai ilmu yang tak pernah dikenal selama ini. Cara yang ingin dilakukan ialah menjambret tubuh Gendhuk Tri, untuk dikorbankan. Itu akan dilakukan saat terakhir sekali. Gendhuk Tri pun bisa terkelabui.

“Halayudha busuk, apa benar kamu yang berhak atas Tirta Parwa yang kamu sebut-sebut itu?”

Suara Halayudha terdengar mengandung penyesalan. “Sudahlah, buat apa disebut-sebut? Selama hidup, aku juga tak bisa menjaga kebesaran nama Tirta Parwa. Bahkan walaupun aku bisa menghafal kidungan yang lain, bagian yang terpenting, yaitu Gita Tirta, tak mampu kuingat.”

Nyai Demang terkekeh. “Tidak, tidak. Barangkali Pulangsih memang hanya memberitahu aku. Tak mau memberitahukan kepada Dodot Bintulu atau Raganata. Bukankah itu berarti Pulangsih masih melihat wajahku dibandingkan yang lain? Pulangsih, Pulangsih… Tak sangka kamu masih lebih mementingkan aku dibandingkan yang lain. Sampai kapan pun, aku tak akan melupakan perhatianmu ini… Kalau saja Bejujag, Bintulu, Raganata, mendengar ini, di dalam kubur mereka akan iri, cemburu habis-habisan. Aha, ternyata aku masih lelaki yang paling bahagia.”

Nyanyian Air di Keraton

HALAYUDHA menyembah hingga dahinya menyentuh tanah. “Eyang Sakti, kalau Eyang Berune tidak berkeberatan, silakan mampir di gubuk hamba di Keraton.”

“Ada urusan apa?”

“Barangkali Eyang Sakti masih bisa mengenali tulisan tangan Yang Mulia Eyang Putri Pulangsih.”

Gendhuk Tri mengakui bahwa Halayudha bukan hanya sangat licik, tetapi juga sangat cerdas dan cepat sekali mengambil keputusan. Dari kata-kata Nyai Demang, bisa diketahui bahwa Kakek Berune menaruh hati kepada Pulangsih. Atau yang disebut Pulangsih. Itu pula yang digunakan untuk menjebak. Nyai Demang meludah ke tanah.

“Bagaimana mungkin kamu menyebut Eyang Putri? Pulangsih masih cantik jelita dan muda. Kenapa kamu panggil Eyang Putri?”

Telanjur berdusta, Halayudha tak mau kepalang basah. “Beliau selalu lebih suka dipanggil begitu.”

“Kamu masih bertemu?”

“Dalam pertemuan di Trowulan, Eyang Putri masih hadir. Entah kapan lagi beliau akan hadir.”

Gendhuk Tri yang berada di Trowulan saat pertarungan habis-habisan pun tak mampu mengarang cerita seperti Halayudha.

“Hmmm, berarti masih sempat bertemu yang lainnya. Baik, baik… Ayo berangkat sekarang!”

Halayudha menyembah. Berdiri. Satu tangan bergerak ke arah Gendhuk Tri.

“Tak usah. Kita berangkat.”

Halayudha mengangkat alisnya. Lalu berlalu. Bersama rombongannya dan Nyai Demang yang menggendong Kakek Berune. Tinggal Gendhuk Tri sendirian. Dan Cebol Jinalaya. Tak ada suara. Agak lama.

“Kamu sedih?”

Gendhuk Tri tersenyum tawar.

“Kamu gadis yang baik, yang berjanji akan mengantarkan aku kepada Sri Baginda Raja. Semua temanku sudah sampai, dan aku masih menunggu kebaikanmu.”

Berat beban di hati Gendhuk Tri. Segala yang dikuatirkan terjadi. Upasara Wulung hilang tak ketahuan rimbanya. Nyai Demang yang dicemburui dikuasai Kakek Berune dan kini dikuasai Halayudha. Pada saat yang bersamaan, ia dituntut untuk membunuh.

“Kalau saya bunuh kamu, siapa yang akan membunuhku? Kamu kira aku mau berdiam sendiri di jagat ini, Cebol?”

Cebol Jinalaya ikut termenung. “Kalau begitu, marilah kita berdoa bersama. Semoga ada ksatria lewat dan berbaik hati mau membunuh kita.”

Gendhuk Tri mendongak. Memandang angkasa. Guratan kekecewaan menoreh wajahnya. Dengan tenang ia bisa meninggalkan Cebol Jinalaya. Sewaktu-waktu ia bisa pergi dengan gampang. Dan tidak memedulikan. Melupakan. Namun sekarang, jalan pikiran Gendhuk Tri jadi lain. Kalau ia pergi, mau pergi ke mana? Bukankah keadaannya sekarang ini sama seperti si cebol hitam ini? Sendiri, tak punya siapa-siapa, tak mempunyai keinginan apa-apa yang bisa menjadi semangat hidupnya? Habis terpenggal rata.

Apakah, apakah perasaan kosong yang sama ini yang dirasakan oleh Upasara Wulung ketika akhirnya Gayatri meninggalkannya? Sehingga Upasara memilih menghabiskan ilmunya, dan membiarkan dirinya mati diterkam binatang buas? Inikah kehancuran dari dalam itu? Apakah, apakah ini yang juga dirasakan oleh Dewa Maut ketika ditinggalkan oleh kekasihnya, lalu ditinggalkan kekasihnya Padmamuka? Apakah, apakah ini yang menyebabkan Dewa Maut memanggilnya Tole, dan justru ia mempermainkannya? Apakah, apakah kekosongan ini yang juga dirasakan Nyai Demang ketika suami dan anak-anaknya dihabisi, walau tidak bersalah?

Gendhuk Tri tenggelam dalam lamunannya. Sampai bulan muncul, dan lenyap lagi. Bersambung dengan sinar panas matahari, disambung dengan kegelapan dan hujan turun rintik-rintik. Gendhuk Tri masih terdiam di tempatnya. Cebol Jinalaya masih berdoa agar ada ksatria yang baik hati mengantarkan ke alam di mana ia bisa mengabdi kepada raja yang disembah setulus hati. Pikiran Gendhuk Tri masih bolak-balik tak ada batasnya. Hanya helaan napas yang menandai keyakinan Cebol Jinalaya bahwa dirinya tidak sendirian.

“Akhirnya doa kita terkabul,” bisik Cebol perlahan. “Ada ksatria datang kemari.”

Baru kemudian, Gendhuk Tri sadar. Dengan sisa-sisa kegesitannya, Gendhuk Tri menutup mulut Cebol dan menariknya bersembunyi. Gendhuk Tri agak kecewa karena yang muncul adalah prajurit Keraton yang lewat berombongan.

“Kenapa kita perlu membawa ke Dahanapura, kalau Putra Mahkota justru berada di Keraton?”

“Kita sebagai prajurit,” jawab suara yang lain, “hanya menjalankan perintah. Lebih baik kita tidak membicarakannya, Adimas. Karena rumput dan ranting bisa mempunyai telinga dan menyampaikan kepada orang lain.”

“Di tengah hutan begini, di tengah malam begini?” terdengar suara prajurit pertama. “Siapa tahu?”

“Ah, jangan penakut. Saya pun menjalankan perintah, Kakangmas. Hanya yang membuat saya heran, kenapa Putri Ayu Tunggadewi dan Putri Ayu Rajadewi harus dibawa ke Dahanapura? Dari tadi itu saja yang mempengaruhi pikiranku.”

“Apa anehnya?”

“Kamu pasti juga mendengar kabar bahwa Permaisuri Rajapatni masih bertapa di depan pintu Baginda.”

“Sssttt… Ayolah kita berjalan terus.”

Belasan langkah kemudian mereka mengeluarkan suara tertahan, ketakutan karena menemukan puluhan mayat yang bergeletakan tak keruan letaknya. Gendhuk Tri sebenarnya tak peduli. Akan tetapi karena nama kedua putri Permaisuri Rajapatni disebut-sebut, hatinya tergerak juga. Karena Permaisuri Rajapatni adalah Gayatri. Gayatri-nya Upasara Wulung. Berpikir dalam keadaan bagaimanapun, Upasara masih tetap melindungi. Siapa tahu justru dengan menguntit mereka, Gendhuk Tri bisa bertemu dengan Upasara Wulung.

Berpikir begitu, Gendhuk Tri segera mengikuti para prajurit. Digandengnya erat-erat pergelangan tangan Cebol Jinalaya untuk dibawanya terbang. Dalam sekejap Gendhuk Tri melupakan semua kerisauan yang tadi melanda. Kekalutan yang begitu mengimpit seolah sirna begitu saja. Dengan riang Gendhuk Tri menyatroni para prajurit untuk mencuri bekalnya. Dihabiskannya bersama Cebol Jinalaya yang tersenyum-senyum.

Bagi para prajurit pengawal, beberapa kejadian aneh membuat mereka makin dicekam ketakutan. Setelah bertemu mayat-mayat, bekal makanan tiba-tiba habis. Sehingga tak ayal lagi mempercepat perjalanan. Menjelang fajar, Gendhuk Tri bisa melihat bahwa ada joli kecil yang dijaga dengan saksama. Tak bisa tidak, itulah kedua putri Gayatri.

“Ayo kita nakali mereka. Cebol jelek hitam, kamu masuk ke joli itu. Kita tak usah main sembunyi. Bisa enak-enak di dalam joli. Bagaimana?"

Kalau itu mempercepat jalan sowan kepada Sri Baginda Raja, aku selalu bersedia.”

“Tunggu sampai malam. Begitu muncul tengah malam, mereka akan kocar-kacir. Itu saat terbaik untuk menyusup masuk.”

“Apakah aku menakutkan?”

Gendhuk Tri mendadak merasa iba. “Tidak. Tentu saja tidak. Merekalah prajurit yang penakut. Bukan karena kamu.”

Cebol menggelengkan kepalanya. “Bukankah dua putri itu juga akan takut? Bukankah rencana kita akan gagal?”

“Pikiranmu tak sependek tubuhmu. Jangan kuatir, aku ada akal.”

“Akalmu banyak sekali. Makin banyak akal, makin tak cepat kita sampai ke pengabdian di alam sana.”

Gendhuk Tri menghela napas berat. “Ini putri turunan Sri Baginda Raja. Melindunginya sama juga mengabdi Sri Baginda secara pribadi. Kenapa kamu begitu bodoh?”

Perangkap Kiai Sambartaka

SUARA Gendhuk Tri nyaring karena kesalnya. Itu yang membuat para prajurit pembawa tandu berhenti, menoleh ke belakang, dan bersiap.

“Jangan main bokong seperti pengecut. Keluarlah!”

Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya. Meloncat dari balik pepohonan. “Kalian para prajurit yang tak bisa berbaris dengan baik, berani buka mulut sembarangan. Cecunguk macam kalian hanya mengotori lantai Keraton.”

Gendhuk Tri tak mau membuang waktu. Cekatan ia meloncat, langsung menuju joli yang terjaga. Tiga tombak yang menghalang dilibat dengan selendang dan disentakkan. Kedua kakinya menyambar, dan dengan dua gerakan, prajurit yang menjaga terjungkal. Gendhuk Tri berkerut keningnya. Walau sejak pertama tahu bahwa prajurit pengiring bukan prajurit yang tangguh, akan tetapi tidak seharusnya mereka jatuh-bangun dalam gebrakan pertama. Tangan Gendhuk Tri bergerak kembali. Siku, telapak, kaki, bersamaan menyambar. Setiap gerakan membuahkan hasil. Lawan terpencar, jungkir-balik.

“Prajurit gadungan begini masih mau buka mulut bau?”

Gendhuk Tri menggerakkan tangan membuka tirai joli. Wajahnya menjadi berubah ketika satu sosok tubuh mengedip ke arahnya.

“Adik manis, mari masuk…” Itu Maha Singanada, yang penampilannya mirip Upasara Wulung. Ksatria gagah yang bicaranya lantang.

“Kenapa kamu sembunyi seperti anak ayam di situ?”

Pertanyaan yang wajar diucapkan Gendhuk Tri mengingat Singanada bukanlah ksatria yang suka menyembunyikan sesuatu. Pertanyaan yang walaupun selintas terdengar kasar akan tetapi menunjukkan rasa hormat. Karena bagi Gendhuk Tri, Singanada adalah satu-satunya lelaki yang dihormatinya, yang menganggapnya sebagai seorang gadis. Gadis yang manis, yang baik. Tidak menilai sebagai anak kecil. Bagi gadis seusia Gendhuk Tri, pertemuan pertama dulu sangat membekas dalam hati. Tak mungkin bisa dilupakan.

“Enak di sini. Tinggal duduk. Menunggu Upasara, dan melihatnya bertempur dengan Kiai Sambartaka yang kesohor.”

“Tipu muslihat apa lagi ini?”

“Sewaktu aku keluyuran, aku melihat Kiai Sambartaka membayar penjahat-penjahat kecil untuk menyamar sebagai prajurit Keraton. Sambil membawa joli yang dikatakan membawa dua putri Permaisuri Rajapatni. Dengan harapan agar Upasara muncul dan menolong. Dan Kiai Sambartaka akan menantangnya.” Cukup jelas kata-kata Singanada. Ringkas dan langsung, apa adanya.

“Kenapa kamu ikut-ikutan?”

“Aku mau menyaksikan siapa sesungguhnya lelananging jagat ini. Bukankah itu pertarungan yang menarik?”

“Di mana kiai Hindia yang busuk itu?”

“Untuk apa kita pedulikan? Pasti di sekitar daerah ini. Ayo masuk saja! Kita tunggu sampai terjadi pertarungan. Tapi barangkali kurang seru, karena Upasara terkena pukulan Pendeta Sidateka.”

Dada Gendhuk Tri tergetar. “Mana mungkin Kakang Upasara bisa dilukai?”

“Itulah kabar yang terdengar. Entah siapa yang menyebarkan. Upasara terluka parah oleh pukulan Pendeta Sidateka.”

“Kalau benar begitu, sungguh gawat. Syukur kamu mau menolong.”

Maha Singanada menggelengkan kepalanya. “Aku tak ada urusan menolong atau ditolong. Aku hanya ingin menyaksikan pertarungan sejati. Jauh-jauh aku mengembara ke negeri seberang ingin melihat ilmu sejati. Setelah semua jago tersingkir, tinggal Kiai Sambartaka dan Upasara Wulung. Entah mana yang lebih jago.”

Gendhuk Tri berbalik. Singanada meloncat keluar dari joli.

“Kamu tidak tertarik, gadis suci?”

“Aku lagi tidak ingin ketemu Kakang Upasara.”

Singanada menghampiri Gendhuk Tri. Berjalan di sampingnya, tanpa memedulikan para prajurit gadungan yang membenahi joli.

“Kenapa bisa begitu?”

“Bukan urusanmu.”

“Memang bukan. Kalaupun kamu jelaskan, belum tentu aku mengerti. Soal wanita dan lelaki memang serba menggelikan, cabul, dan tak masuk pikiran. Raja Muda Kala Gemet begitu bernafsu mempersunting Ratu Ayu. Aku juga. Tapi ia memilih Upasara Wulung. Yang justru lebih suka pergi mengembara. Bukankah ini aneh? Sama anehnya, kamu, gadis suci yang mencintai kakangnya tapi tak mau bertemu dengannya.”

“Siapa menyuruhmu ngomong sembarangan?”

“Upasara juga aneh,” kata Singanada tanpa memedulikan pertanyaan Gendhuk Tri. “Ia punya kamu, punya Nyai Demang, punya Ratu Ayu, tapi katanya menyayangi Permaisuri Rajapatni. Aku tak mengerti, dan tak akan pernah mau mengerti. Tugasku telah selesai.” Maha Singanada berhenti. Dadanya membusung.

“Apa urusanmu?”

“Aku ditugaskan ke tlatah Campa membawa Dyah Ayu Tapasi. Tugas mulia dari Sri Baginda Raja telah kami selesaikan. Apa lagi? Kini aku bebas mau apa saja, ke mana saja. Aku anak turunan prajurit Singasari yang telah selesai menjalankan bakti.”

“Kenapa tidak kembali ke tanah Campa saja?”

“Ada juga rencana itu. Gadis suci, kamu mau ikut?”

Tanpa terasa wajah Gendhuk Tri menjadi merah. Jengah. Menunduk. “Begitukah cara lelaki mengajak perempuan?”

“Sudah lama aku tak mengenal tata krama Keraton Jawa. Aku lahir dalam perjalanan, besar di negeri seberang. Aku juga tak peduli ucapan ini cukup sopan atau kurang ajar. Maafkan kalau lancang. Tapi aku ingin mengajakmu. Kepalaku puyeng melihat kejadian-kejadian yang memalukan seperti ini. Dulu, dalam bayanganku, Keraton adalah puncak kesempurnaan. Begitu semua orang tua menceritakan kebesaran Keraton Singasari yang perkasa. Sehingga dalam angan-anganku tak ada yang lebih membahagiakan dan membanggakan selain Keraton Singasari. Akan tetapi nyatanya ketika aku kembali, yang ada seorang raja yang bernama Sanggrama Wijaya. Yang ada anaknya, Putra Mahkota Kala Gemet, yang berebutan. Yang ada pembunuhan para senopati utama. Seperti Senopati Sora. Dan kini Mahapatih Nambi sedang dijebak.”

“Dijebak bagaimana?”

“Aku tak peduli karena bukan urusanku.”

“Oleh Halayudha?”

“Mungkin. Apa bedanya? Di tanah Jawa tak ada lagi jiwa ksatria. Tak ada lagi prajurit sejati. Yang ada cacing-cacing hina yang berebut bangkai nista.” Suaranya mengandung kegeraman yang luar biasa.

Gendhuk Tri bisa mengerti. Senopati Maha Singanada adalah senopati dan sekaligus juga prajurit sejati yang lahir dalam tugas. Tugas mulia ketika Baginda Raja Sri Kertanegara meluaskan pengaruhnya. Menjalankan hubungan kerja sama sampai negeri Campa. Singanada dibesarkan dalam dongengan kebesaran Singasari. Akan tetapi ketika kembali justru menjumpai hal-hal yang membuatnya malu. Gendhuk Tri tak bisa menjelaskan dengan singkat bahwa ada perbedaan antara Keraton Singasari dan apa yang ditemui sekarang ini. Apalagi Singanada kini ditarik mengabdi kepada Kala Gemet!

“Aku sudah muak dengan bisul-bisul masalah Keraton. Masalah pangkat dan derajat yang palsu. Sebagai ksatria, aku hanya ingin melihat di mana masih kutemukan jiwa ksatria. Kalau di sini tak ada lagi, untuk apa aku berdiam di sini lagi? Di tanah Campa, atau di mana saja, aku masih bisa berdiri dengan gagah mendongak ke langit. Kalau hanya ingin pangkat, aku bisa menjadi senopati agung di sana. Tapi sejak lama aku menolak. Aku ingin menjadi ksatria.”

Gendhuk Tri tersenyum. Tiba-tiba wajahnya seperti seorang kakak yang mengerti kerisauan adiknya, seorang ibu yang memahami kerisauan anaknya. “Setidaknya kamu masih menganggap Kakang Upasara seorang ksatria, bukan?”

“Tidak lagi.”

Jawaban Singanada membuat mata Gendhuk Tri membelalak.

Kembalinya Pukulan Beku

“UPASARA WULUNG bukan lagi ksatria. Ia bermulut kecil, berjiwa kerdil seperti cacing atau yang lainnya. Kesaktian yang dimiliki tidak membuat jiwanya tegar sebagaimana layaknya seorang ksatria. Ia begitu pengecut, lari ke sana kemari tidak jelas. Hanya karena takut menghadapi kain wanita yang terbuka. Lelaki macam apa pula itu?”

Gendhuk Tri menjadi panas. Kalaupun ia tengah membenci Upasara Wulung setinggi langit setebal bumi, tak nanti orang lain dibiarkan mencaci begitu saja. Akan tetapi Gendhuk Tri menyadari bahwa Singanada mengatakan isi hatinya secara jujur. Sifat dan pembawaannya selalu begitu. Hal lain, bukan tidak mungkin apa yang dikatakan Singanada ada benarnya.

“Kalau Kakang Upasara bukan lelaki, kenapa kamu masih ingin menemui?”

“Karena aku ingin mengatakan itu padanya. Mengatakan bahwa ia tidak pantas menjadi prajurit Singasari. Atau prajurit mana pun. Upasara bukan didikan Ksatria Pingitan. Aku, Maha Singanada, lebih berhak dari Upasara untuk mengatakan diriku sebagai prajurit Singasari, abdi Sri Baginda Raja!”

Kali ini Gendhuk Tri menjadi panas. “Kamu sama berhati cacing. Dengki.”

“Tak ada sifat itu padaku.”

“Kalau Kakang Upasara bukan ksatria, bukan lelaki, apakah kamu menganggap Kiai Sambartaka yang bersembunyi dan mendengarkan omongan kita sebagai lelananging jagat?”

“Aku tidak peduli siapa yang memegang gelar itu. Aku sekadar ingin tahu saja. Seperti apa yang menyandang gelar ksatria di antara ksatria, pendekarnya pendekar, jagonya seluruh jago. Kiai Sambartaka busuk atau bau kentut, aku tidak peduli, karena ia bukan prajurit Singasari.”

Kata-kata itu mengenai jantung hati Gendhuk Tri. Sungguh bisa dimengerti apa yang dimaksud oleh Singanada. Tapi Gendhuk Tri tak mau menyerah.

“Kenapa kamu ajak aku?”

“Kamu gadis kecil yang suci. Yang tak seharusnya terseret intrik harta, wanita, atau kepangkatan. Kamu sisa-sisa prajurit Singasari yang masih bisa diselamatkan.”

Senyum Gendhuk Tri urung, ketika terdengar suara dingin.

“Tak usah jauh-jauh menyelamatkan diri. Di sini aku ingin menamatkan kalian yang telah merusak rencanaku.”

Gendhuk Tri menelan ludahnya dengan susah. Maha Singanada tetap berdiri gagah. Di depannya nampak seorang lelaki tinggi jangkung yang merangkap kedua tangannya. Bibirnya tak bergerak ketika berbicara. Kiai Sambartaka! Keringat dingin melembapi Gendhuk Tri.

“Bersiaplah, aku tak punya waktu banyak.”

Bret, bret. Dua tangan Kiai Sambartaka bergerak perlahan. Hawa dingin bergumpal mengepung dari sisi tangan Kiai Sambartaka berada. Inilah Pukulan Beku yang ampuh, Pukulan Mandeg Mangu, yang serta-merta membuat udara sekitar menjadi beku. Hingga lawan susah bernapas.

“Kanyasukla, awas!”

Kanyasukla adalah panggilan Maha Singanada yang membuat Gendhuk Tri tergetar hati kegadisannya yang sedang tumbuh. Maka membuatnya bercekat juga karena gembira. Akan tetapi pikiran begitu dengan cepat tersapu. Kiai Sambartaka adalah salah satu tokoh yang datang ke Trowulan untuk perebutan gelar lelananging jagat, yang bukan hanya sakti, tetapi juga licik. Kalau Eyang Sepuh saja bisa diakali, apalagi yang lain! Kalau Eyang Sepuh bisa dibuat terluka, apalagi yang lain! Apalagi dirinya atau Maha Singanada!

Gendhuk Tri menarik kakinya satu tindak ke belakang, sementara Maha Singanada menggerung keras. Auman Sembilan Singa! Gebrakan disertai pengaturan napas Nawawidha. Cara mengatur napas yang melipatkan tenaga dalam sembilan kali. Bahwa ini langsung dikeluarkan, menandakan bahwa Singanada merasa lawan yang dihadapi setingkat atau dua tingkat lebih tinggi. Gerakan Singanada juga langsung dengan ilmu andalannya, Siasat Sembilan Bintang. Bergerak ke arah delapan penjuru, dan kantar, tombak pendeknya, sudah seketika mencongkel lawan.

Tubuh Kiai Sambartaka seperti bergoyang sedikit, kedua tangannya naik-turun. Tanpa mengubah kuda-kuda. Memang luar biasa. Singanada yang berloncatan menutup jalan mundur atau jalan maju atau gerakan ke samping, seperti sia-sia. Karena Kiai Sambartaka tak berniat mundur atau maju atau menyamping. Tetap berdiri di tempatnya semula. Kepalan telapak tangannya tiap kali terlontar, setiap kali pula seperti meninggalkan gumpalan dingin yang mematikan. Yang tak bisa dipakai oleh Singanada. Yang terpaksa menghindar. Karena hidungnya seperti menemui tempat kosong, dingin, beku. Tak ada udara yang bisa ditarik. Tak bisa diisap. Kalau kehabisan napas, seorang tokoh sakti seperti dewa pun akan mudah dikalahkan!

Perlahan Singanada mulai tertindih. Gerakannya menjadi keteter. Aumannya yang keras membahana seperti berubah menjadi jeritan singa terluka. Tubuhnya makin terhuyung-huyung.

Gendhuk Tri menggenggam tangannya erat-erat. Untuk ikut maju ke medan pertarungan, ia merasa tak bakal menolong lebih banyak. Akan tetapi untuk berdiri saja, jelas juga tidak mungkin.

Sret.

Gendhuk Tri meloloskan selendangnya. Sehelai. Dan dengan nekat ia meloncat maju, menutupkan selendang ke wajah Kiai Sambartaka. Dengan cara itu, ia berharap kekuatan utama Kiai Sambartaka yang terpancar dari pandangan matanya yang ganjil akan terkurangi. Dan kalau selendangnya bisa direbut lawan, Gendhuk Tri tak akan menderita terlalu dalam. Karena telah dilepaskan dari ikatan tubuhnya. Suatu akal yang jitu.

Singanada melihat peluang yang menguntungkan. Dalam hati ia memuji Gendhuk Tri yang pandangannya sangat tajam, mampu melihat kekuatan lawan dan bersiasat untuk mengatasi. Maha Singanada merasakan bahwa udara sekitarnya membeku. Akan tetapi yang lebih melumpuhkan ialah sorot mata Kiai Sambartaka! Yang membuatnya terpaku di sana. Pandangan mata yang membuatnya letih.

Singanada bukannya tidak mengendus bahwa ada semacam ilmu hitam, terutama yang berasal dari tlatah Hindia, yang mempergunakan tenaga pancaran mata untuk mempengaruhi lawan. Akan tetapi ternyata ia tak bisa membebaskan. Begitu terserap, rasanya tak bisa lepas lagi. Dan sorot mata itu seolah menyuruh, memerintah untuk mengikuti kemauan lawan. Maka pertolongan Gendhuk Tri dengan kibasan selendang menutupi mata Kiai Sambartaka sangat besar pengaruhnya.

Singanada bisa kembali memusatkan kekuatannya. Dan bergerak dengan gesit, beberapa kali kantar-nya menyobek ke arah lambung. Mau tak mau Kiai Sambartaka menggeser kakinya. Dua, tiga tindak surut ke arah kiri. Satu tindak ke arah belakang. Kiai Sambartaka sendiri dalam hati kesal. Karena ulah Gendhuk Tri yang menampar keangkuhannya. Membekuk lawan tanpa menggeser kaki. Baginya untuk memenangi pertarungan ini sangat mudah. Karena kedua lawan jauh di bawah ilmunya. Akan tetapi sungguh menyakitkan kesombongannya kalau untuk itu ia harus bertarung mati-matian.

Tapi tak ada jalan lain. Kemurkaan Kiai Sambartaka terlihat dari tubuhnya, yang tadinya kaku kejang, jadi menggeliat. Seperti tarian ular beracun yang siap mematuk. Begitu selendang Gendhuk Tri menutupi lagi, Kiai Sambartaka mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat ke udara. Tubuhnya terbang dan hinggap lagi di tanah, dengan dua pukulan terlontar ke arah Gendhuk Tri dan Singanada.

Yang membuat Gendhuk Tri mencelos ialah bahwa selendangnya menjadi beku. Menjadi keras, kering seolah papan kayu yang tak bisa digerakkan! Selendangnya bisa terkena Pukulan Beku. Sehelai kain saja bisa dikuasai ilmu Pukulan Mandeg-Mangu, apalagi tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging! Hal sama juga dirasakan oleh Singanada.

Justru dalam keadaan mengangkasa, Singanada melihat bahwa lawan sudah tercecar untuk sementara. Bukan hanya mampu dipaksa mundur dan menyamping, akan tetapi juga berjumpalitan dan berlenggok. Tapi sekejap kemudian, kantar-nya. terasa mematuk urat nadinya. Bagai patukan ular berbisa. Yang membuat tangannya ngilu.

Dengarkan Suara Air

SATU-SATUNYA jalan menyelamatkan diri hanyalah dengan membuang kantar. Dan membuang tubuhnya ke belakang sambil menarik Gendhuk Tri mundur.

Kiai Sambartaka berdiri dengan tenang. “Sebelum kalian bisa mati bahagia karena berdua-dua akan membeku, saya ingin memberi sedikit rasa sakit.”

Kedua tangan Kiai Sambartaka bergerak. Sikunya naik ke atas, lengannya rata dengan pundak. Kelima jari di kanan dan kiri menekuk ke bawah. Dari kelima jari terulur lidah ular. Benar-benar ular hidup yang buas mencari patukan.

“Tak percuma saya membawa dari tanah kelahiran. Rasakan sedikit keenakan yang belum pernah kalian rasakan. Giginya kecil. Taringnya mungil. Masing-masing dari kalian akan menerima lima gigitan. Cukup untuk dirasakan sebelum meninggalkan dunia ini.”

Gendhuk Tri tidak gentar. Justru pada saat mati-hidup itu nyalinya seperti ditantang. Ia tak mau di belakang tubuh Singanada yang melindungi. Ia menggeser maju.

“Kalau kepada Eyang Sepuh saja kamu berani berbuat kurang ajar dan menipu, apalagi kepada kami! Keluarkan semua ilmu busukmu akan aku hadapi!”

“Ada dua alasan untuk menyakitimu, anak kecil. Kalau begitu kamu tiga kali gigitan saja. Biar menderita lebih lama…”

Kiai Sambartaka menarik napas. Dari jari-jari tangan kirinya, dua ekor ular kecil menyusup masuk. Ini hebat! Bahkan ular berbisa pun menjadi bagian dari tubuhnya. Seperti binatang buas yang bisa menarik kukunya. Ini memang kelebihan Kiai Sambartaka. Dengan menarik dua ekor ularnya, berarti hanya tiga ekor yang tersisa. Tiga pagutan, akan membuat Gendhuk Tri menderita lebih lama. Sebelum akhirnya mati.

“Alasan pertama karena kamu mengungkit kembali Bejujag gila. Yang kedua karena kamu menggagalkan niatanku menjebak Upasara. Barangkali dengan kematianmu, Upasara akan lebih cepat muncul. Bagus!”

Singanada menggeser maju. “Kanyasukla, ini bagianku. Biar aku saja yang melayani.”

“Lebih baik kau ke negeri Campa sana. Ini urusanku. Aku tak rela pendeta busuk menyebut-nyebut Eyang Sepuh seenak mulutnya yang, bercabang lidahnya.”

“Harusnya wanita seperti kamu ini dihina lebih menjijikkan lagi. Biarlah ular-ular ini menggerayangi kewanitaanmu sebelum kamu kena pagut.”

Sret!

Kiai Sambartaka menggeliat, dan kedua tangannya maju meraup ke depan. Kini bukan hanya hawa dingin yang membekukan dan membuat susah bernapas, akan tetapi juga tercium bau amis yang luar biasa. Perut Gendhuk Tri menjadi mual, pandangannya berkunang-kunang. Bahkan Singanada yang tenaga dalamnya lebih kuat terpengaruh dengan hebat. Pemusatan pikirannya menjadi kacau. Terutama juga karena memikirkan keselamatan Gendhuk Tri. Inilah kesalahan utama. Memusatkan pada diri sendiri saja tak akan mampu mengimbangi, apalagi terpecah! Maka gerakan Singanada maupun Gendhuk Tri seperti gerakan ngawur untuk mempertahankan diri.

Satu kali tangan Kiai Sambartaka bergerak, kaki Singanada kena sentuhan, dan membeku tak bisa digerakkan. Tubuh Gendhuk Tri juga seperti terkurung. Satu-satunya jalan, tetap saja. Melorot turun, meluncur dengan tenaga punggung. Terpaksa Kiai Sambartaka meloncat menghindar. Dan tangan kirinya tetap terulur ke depan menyambar tubuh Gendhuk Tri yang masih meluncur ke tanah.

Saat itu tubuh Gendhuk Tri tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tak bisa melawan. Karena udara sekeliling tubuhnya beku dan membuatnya tak bisa menghindar. Akan tetapi tanpa disadari, ada tenaga lembut mengalir lewat bahunya. Dengan sangat cepat menyebar ke seluruh tubuh. Begitu tangan Kiai Sambartaka mendekat, Gendhuk Tri bisa mengegos dan dengan tekukan tenaga dalam perut, tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas. Ringan, enteng, melayang. Bahkan selendangnya yang tersisa bisa berkibar.

Singanada mengeluarkan seruan tertahan. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri dengan cara yang luar biasa. Dalam keadaan yang begitu sulit, masih mampu mengerahkan tenaga perut untuk melayang. Bahkan kalau dilihat dari gerakannya, sangat lemas, lembut, dan terkuasai. Singanada tak menduga sama sekali. Sehingga matanya melihat tanpa berkedip. Kakinya saja kena pengaruh lawan dan sulit digerakkan. Tetapi nyatanya Gendhuk Tri justru bisa membebaskan diri!

Sebenarnya Kiai Sambartaka juga tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Hanya saja parasnya tak menunjukkan perubahan seperti Singanada. Rasa heran Kiai Sambartaka terutama karena tak menduga bahwa di saat meluncur, tubuh Gendhuk Tri masih mampu bergerak ke arah lain. Masih bisa mengandalkan tenaga perut yang menggelembung dan mengempis, untuk mengempos semangat! Pengerahan tenaga dalam yang nyaris sempurna.

Kiai Sambartaka menduga bahwa penguasaan seperti itu hanya dimiliki mereka yang puluhan tahun menghabiskan waktu berlatih secara keras. Kalaupun sejak lahir Gendhuk Tri sudah diajari melatih pernapasan, dan itu hampir mustahil, umurnya sekarang masih belum mendukung lamanya latihan. Keheranan Kiai Sambartaka, karena diam-diam muncul kesangsian akan kemampuannya melancarkan Pukulan Beku. Padahal itu satu-satunya ilmu andalan yang dianggap paling sakti di seluruh jagat.

Inti ilmunya ialah membuat udara sekitarnya beku bagi lawan. Menjadi dingin, kaku, dan tak bisa diisap. Dengan menciptakan udara beku di sekitar, lawan tak bisa menguasai wilayah itu. Tinggal memojokkan, dan menghabisi. Itu yang terjadi pada permulaan. Hingga ia bisa memaksa Gendhuk Tri meluncur ke bawah. Saat itu udara di sekitar sudah sepenuhnya dikuasai. Luar biasa jika kemudian Gendhuk Tri mampu menerobos. Itu yang tak dimengerti.

Sesungguhnya, Gendhuk Tri sendiri tak mengerti sepenuhnya. Kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya begitu tiba-tiba, juga ketika terkumpul di pusar dan dikerahkan. Sampai saat tubuhnya melayang di udara. Ketika itulah telinganya mendengar suara lembut:

Dengarkan suara air
bukan gemericiknya
ikuti gerakan air
bukan ombaknya…


Kekuatan Gendhuk Tri seperti terpanggil kembali. Ia mengetahui bahwa ada seorang tokoh yang membantunya secara diam-diam. Gendhuk Tri tak tahu pasti apakah itu suara Eyang Sepuh—karena ia tak pernah mendengar sebelumnya, atau tokoh sakti yang lain. Untuk sementara Gendhuk Tri tak mau peduli. Hanya ia merasa tokoh sakti yang membantunya masih berada di sekitarnya. Tubuh Gendhuk Tri melayang ke bawah dengan anggun.

“Kiai busuk, tak perlu bengong. Untuk apa jauh-jauh mencari Kakang Upasara atau secara pengecut melarikan diri dari Trowulan, kalau bertemu dengan aku saja matamu tak berkedip? Apa kamu kira ilmu Pukulan Ragu bisa menandingi pukulan-pukulan kami yang diciptakan dari keluhuran budi?”

Gendhuk Tri memang pintar memainkan lidahnya. Ia mengatakan pukulan andalan Kiai Sambartaka dengan Pukulan “Ragu”, yang artinya kurang-lebih sama dengan Pukulan Mandeg-Mangu. Namun kalau istilah pertama menunjukkan ketidakpastian, arti kata yang kedua menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.

“Dengan modal hanya begini, kamu jauh-jauh mau mengadu. Apa bisa disejajarkan dengan Tepukan Satu Tangan yang tanpa tandingan? Atau gerakan selendangku? Meskipun kamu gabung dengan Pukulan Pu-Ni yang kamu curi dari Kakek Berune, masih jauh di bawah ilmu Mpu Raganata yang paling biasa.”

“Tahu apa kamu tentang Pukulan Pu-Ni?”

Air Tak Membedakan

KINI giliran Gendhuk Tri yang tertawa keras. “Kasihan. Sungguh kasihan nasibmu. Jauh sekali kamu datang. Jauh sekali kamu mempersiapkan diri sejak kakek gurumu mempunyai keinginan menghadiri pertemuan di tanah Jawa. Semua yang kamu harapkan sia-sia. Bahkan usahamu menyelami tanah Jawa, mencoba mengubah namamu dengan gelaran terhormat Kiai Sambartaka, kiai yang mampu mendatangkan kiamat, ternyata cuma ilmu kulit kacang. Lepas tak berguna karena kena panas. Kiai ular kecil, dengarkan baik-baik! Kamu masih ingat aku juga ada di Trowulan? Atau lidah kamu sudah mulai mengenal Trowulan? Brantas? Masih segar dalam ingatanmu? Aku datang karena aku berhak datang. Seperti Kakang Upasara Wulung, yang akhirnya menjadi pemenang. Tak peduli siapa yang ikut ke gelanggang, aku atau Kakang Upasara, hasilnya sama. Kamu tahu, kamu mengalami, bahwa Eyang Sepuh telah menghancurkan, telah mengalahkan. Kalau Eyang Sepuh berkenan. Akan tetapi Eyang Sepuh memberi ampunan. Sehingga kamu seperti cacing menyelam ke dalam sungai, menyembunyikan kepalamu di dasar sungai. Kami bisa mengangkatmu ke atas. Dan mengencingimu tepat di lubang hidungmu. Tapi Eyang Sepuh mengampunimu. Kenapa kamu masih belum puas? Masih merasa pantas untuk adu tanding memperebutkan gelar ksatria yang paling terhormat?”

“Kamu tidak menjawab pertanyaan.”

“Kamu tidak mau dan tak bisa mendengarkan jawaban.”

“Aku menanyakan apa yang kau ketahui tentang Pukulan Pu-Ni.”

“Sama saja. Kamu menanyakan Pukulan Pu-Ni, atau Tepukan Satu Tangan, atau Weruh Sadurunging Winarah, atau Pukulan Air, atau sepuluh nama lain bisa kusebutkan. Tingkat sama dan sudah merata. Salah satu saja dari yang kusebutkan, Pukulan Beku kamu tak banyak berarti. Tak mungkin bisa menandingi. Kamu sungguh keliru kalau hanya menganggap Tepukan Satu Tangan sebagai satu-satunya pukulan dahsyat. Tanah Jawa terlalu subur untuk pukulan lain. Untuk tumbuhnya akal budi. Tabiatmu yang busuk tak akan pernah sampai.”

Meskipun mengarang, Gendhuk Tri sedikit-banyak mengetahui nama-nama yang disebutkan. Sehingga Kiai Sambartaka sedikit-banyak terpengaruh juga.

“Apa pernah kamu dengar Kidung Paminggir?”

Gendhuk Tri tertawa. “Kenapa kamu masih saja penasaran dengan nama-nama? Apakah setelah mengetahui Kidung Paminggir kamu berusaha bisa menguasai ilmunya? Seperti Halayudha yang merasa menjadi sakti hanya dengan mendengar Gita Tirta? Kamu masih tak akan mengungguli karena dasar jiwamu masih kotor dan rendah.”

Gendhuk Tri menarik napas lega.

“Caramu melatih pernapasan saja tidak jujur, tidak ikhlas. Kamu terlalu memaksa diri. Tlatah Hindia adalah tlatah leluhur bagi kami. Pada mulanya. Tapi itu sudah lama berakhir. Ilmu pernapasan yang kami terima sudah jauh berbeda. Rasakan sendiri bedanya. Pukulan Mandeg-Mangu kamu kuasai dengan sangat baik, tapi tetap kurang sempurna. Karena kamu hanya mengandalkan tenaga keras. Tenaga bumi, tenaga tanah, tenaga yang bisa mementahkan Kitab Bumi. Bukankah ketika kamu menjatuhkanku dan siap mencengkeramku, kamu tak menduga bahwa aku bisa lolos dengan enak? Menerobos kurungan kebekuan yang kamu ciptakan?”

Kiai Sambartaka sampai menggaruk-garuk belakang telinganya. Singanada juga merasakan dadanya panas. Keduanya tidak mengetahui bahwa Gendhuk Tri sengaja meneruskan suara yang berdenging di telinganya. Tentu saja dengan ditambahi bumbu, sesuai dengan keinginannya sendiri.

“Karena kebekuan tenagamu hanya bisa mengurung tenaga keras, tenaga yang, tenaga lelaki. Begitu lawan melatih tenaga lain, tenaga wanita, kamu kelabakan. Semua ilmu kamu tak ada gunanya. Ini nasihat yang baik. Pelajari lagi baik-baik, dan lima puluh tahun lagi, kalau umurmu panjang atau muridmu ada yang berbakat, kirim lagi kemari. Nasihat kedua ialah, jangan terlalu lama menahan tenaga di dada sebelah atas. Satu dan lain waktu, kekuatanmu sendiri tak mampu menguasai. Sekarang pun bisa kudengar tarikan napasmu yang mendesing seperti nyamuk kelelahan. Itu artinya ada yang tidak betul. Ada yang kamu paksakan. Rangkaian kekuatan, rangkaian tenaga napas, begitu kena gangguan sedikit saja, menjadi tidak beres. Semua tenaga dalam yang kamu latih puluhan tahun akan hilang atau berbenturan sendiri. Sudahlah, Sambartaka, pulang saja. Seekor ularmu telah mati teracuni sendiri. Itulah nasibmu suatu ketika kalau kamu tidak hati-hati.”

Kiai Sambartaka mengeluarkan sepuluh ekor ularnya dari jari-jarinya. Benar yang dikatakan Gendhuk Tri. Seekor ularnya tak bergerak, meluncur jatuh ke tanah. Singanada membelalak. Kiai Sambartaka menunduk.

“Sebentar lagi aku akan kembali.” Tubuhnya menggeliat dan mendadak hilang dari pandangan.

Gendhuk Tri menunduk. Lalu duduk, dengan sikap bersemadi. “Terima kasih sekali, Guru Sakti yang baik hati. Dengan ini saya, Gendhuk Tri yang rendah, menghaturkan sembah bekti.”

Terdengar angin bergerak. Cebol Jinalaya yang muncul mendekat. Maha Singanada menunduk dan memberi sembah kepada Cebol Jinalaya. Tentu saja Cebol Jinalaya yang tidak tahu-menahu apa-apa balik merasa heran.

“Rupanya kamu mengenal Raganata, Bejujag….”

Suara itu datang dari arah lain. Singanada juga menangkap.

“Kenapa bersembunyi segala macam?”

“Saya tidak bersembunyi. Sejak tadi saya ada di sini, berbicara denganmu. Sejak tadi saya tahu bahwa kamu mempelajari ilmu selendang yang rasanya pernah saya ciptakan. Dari mana kamu pelajari itu, Gendhuk Tri?”

“Dari Ibu Guru Jagaddhita.”

“Saya tak tahu.”

“Ibu Guru Jagaddhita mendapat ilmu dari Eyang Raganata.”

“Ooooh. Raganata, lelaki yang baik. Yang memikirkan negara, memikirkan Keraton. Saya membaca sebentar Kitab Negara. Saya, terus terang saja, tak mengerti isinya. Apa betul ia sudah mendahului?”

“Begitulah yang hamba ketahui. Kalau betul Kakek Guru yang menciptakan…”

“Bagaimana mungkin kamu memanggil Kakek? Apa suara saya seperti suara lelaki...?”

BAGIAN 31CERSIL LAINNYABAGIAN 33