Senopati Pamungkas Bagian 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 17

Nyai Demang sudah lama mempersiapkan balas dendam ini. Ia tidak mengikuti secara urut kejadian di Perguruan Awan. Ia hanya mengetahui bahwa Upasara Wulung telah menjadi cacat seumur hidup. Apa pun alasan dan sebabnya, Nyai Demang hanya bisa menunjukkan siapa yang paling bertanggung jawab atas semua ini. Yaitu Baginda Raja!

Berbeda dengan Gendhuk Tri yang bisa mencetuskan isi hatinya, Nyai Demang lebih suka memendam semua persoalan dalam hati. Apa yang dirasakan tenggelam di balik senyuman yang genit dan sikapnya yang seronok. Tetapi di balik segala yang badani itu, Nyai Demang justru memendam keinginan yang rumit.

Kesempatan itu datang ketika utusan dari Majapahit yang bisa dipercaya menyampaikan undangan. Karena utusan itu memakai tanda pengenal Baginda dan memberikan, Nyai Demang percaya sepenuhnya. Lebih percaya lagi ketika ia menemui Halayudha yang juga mencarinya, mengatakan bahwa Baginda memang ingin bertemu dengan Nyai Demang secara pribadi.

“Barangkali Baginda ingin dikidungkan Kitab Bumi yang sekarang ada di Keraton, Nyai Demang yang rupawan.”

“Tanpa kamu katakan, aku tahu apa yang diinginkan lelaki yang ingin bertemu denganku.”

“Nyai Demang sangat benar. Baginda sangat mengagumi Nyai.”

“Atur pertemuan itu.”

“Dengan segala senang hati, Nyai. Silakan beristirahat. Saya pribadi yang akan membawa berita dari Baginda.”

Selama menunggu, Nyai Demang membulatkan tekad agar tidak terpengaruh oleh kebesaran Baginda. Tekadnya membalas penghinaan dan membalas dendam pada Baginda yang telah menghancurkan Upasara. Sedikit yang bisa mengetahui sifat Nyai Demang. Selama ini hampir semua jago silat menilai Nyai Demang dengan satu alis mata terangkat dan cibiran bibir. Nyai Demang tak lebih dari seorang wanita yang rendah budinya. Ini yang membuat Nyai Demang gusar dan terbakar kehormatannya.

Bayangan begitu malu atas dirinya sendiri. Tak ada yang menghargai sedikit pun, bahwa ia bisa juga disejajarkan sebagai jago silat. Bisa dianggap sejajar dengan ksatria. Tapi semua orang hanya memperhatikan dan menilai dari bentuk tubuhnya yang memang dirawat dengan telaten. Apa salahnya ia mempunyai tubuh yang indah dan merawatnya? Mengapa semua lelaki menganggapku hanya sebagai pemuas nafsu berahi belaka? Pertanyaan-pertanyaan bernada dendam ini membara di lubuk hati Nyai Demang, sejak suaminya, seorang demang, meninggal dunia dan ia mengembara. Satu-satunya lelaki yang tidak memperlakukannya begitu, hanyalah Upasara Wulung!

Ksatria Pingitan itu mengagumi tubuh Nyai Demang, akan tetapi sifatnya sangat berbudi. Baik dalam tutur kata maupun perbuatannya. Bahkan Upasara-lah yang memanggil dengan sebutan hormat sebagai “Mbakyu Demang”. Di sinilah harga diri Nyai Demang muncul kembali. Maka, kalau satu-satunya lelaki yang berjiwa ksatria itu kemudian menjadi mayat hidup, dendamnya adalah dendam dari ujung rambut! Dan lelaki yang menjadi sasaran dendam itu adalah lelaki yang menghinanya dengan memanggil, seolah ia adalah wanita yang bisa diperlakukan seenaknya! Bulat sudah keinginan Nyai Demang menggulung Baginda. Baginya tak peduli yang dihadapi adalah seorang raja! Kini telah tiba saatnya.

“Habis sekarang ini.”

Sebaliknya Baginda yang tengah melayang turun merasa bahwa kekuasaan dan kebesarannya tinggal beberapa kejap saja. Sungguh tak masuk akal, tapi inilah yang akan terjadi. Dalam keadaan murka, Baginda masih menyimpan kelebatan pikiran bahwa sebenarnya Halayudha yang sengaja melakukan ini. Biar bagaimanapun, Baginda tak bisa mempercayai siapa pun dalam Keraton ini.

Kalau ia menunjuk Halayudha karena selama ini hala, atau tingkat patih ini, menunjukkan pengabdian yang sempurna. Tahu apa yang diinginkan rajanya, dan bisa memberikan. Segala keinginan yang paling rahasia. Dan bisa tutup mulut. Baginda merasa kecolongan! Tapi tidak.

Justru di saat yang menentukan, tubuh Baginda seperti menginjak barang mati. Nyai Demang ternyata hanya bisa melotot. Tangannya terulur, akan tetapi tak ada tenaga untuk menangkap. Baginda menelan ludahnya. Benar. Nyai Demang terbaring bagai sedang tidur. Hanya matanya yang terbuka. Ketika Baginda menutup mata itu, Nyai Demang benar-benar seperti tertidur. Lelap.

“Halayudha!”

Sebelum tarikan napas Baginda habis, Halayudha telah masuk, sigap, menyembah, dan menutup pintu peraduan.

“Hamba siap menerima hukuman, Baginda.”

“Bawa perempuan tak berharga ini. Mati dan hidupnya kuserahkan padamu.”

“Sudilah Baginda memberi petunjuk.”

“Simpan di kamar tahanan. Bila tak ada yang mencari, kubur hidup-hidup.” Baginda masih terbakar oleh kemurkaan.

“Perintah Baginda adalah kebenaran.”

“Tunggu…”

Tangan Halayudha yang sedang menyembah turun lagi.

“Aji sirep apa yang kamu gunakan?”

Halayudha menyembah dengan hormat. “Maaf, Baginda Raja. Ilmu hamba hanyalah pameran ketololan belaka. Sebenarnya hamba ingin menjajal Aji Sirep Laron. Namun hamba masih dalam taraf belajar dan otak hamba sesungguhnya tumpul.”

Baginda mengangguk. Aji sirep adalah ilmu atau ajian yang membuat seseorang yang terkena ilmu tersebut menjadi sangat mengantuk dan kehilangan kesadaran. Ilmu ini dalam perkembangannya lebih digunakan para durjana atau penjahat kecil-kecilan jika ingin menggasak harta benda. Dengan menggunakan aji sirep, si pemilik rumah akan terlelap untuk sementara waktu, sementara penjahat menjalankan operasinya.

Tapi yang ditunjukkan Halayudha bukan sembarang aji sirep, melainkan Aji Sirep Laron. Atau Pelelap Laron. Yaitu aji sirep yang bisa dikendalikan seperti mengendalikan laron. Laron adalah binatang malam yang selalu terbang mendekati sinar. Tak peduli cahaya itu api yang mematikan dirinya!

Nyatanya Halayudha sangat jitu memakai aji sirep tersebut pada Nyai Demang. Yang berpengaruh pada saat yang menentukan! Tidak mudah melatih dan menguasai Aji Sirep Laron. Akan tetapi ternyata bisa dipergunakan dengan sangat baik. Dan Halayudha tetap merendahkan diri sebagai “hamba tolol yang sedang belajar”.

Baginda Raja mengangguk. “Aku berterima kasih. Kamu pantas mendapat hadiah.”

“Segala kemurahan Baginda, mudah-mudahan menambah kebesaran Keraton yang sedang dibangun kejayaannya.”

Begitu Baginda mengibaskan tangan, Halayudha tahu itu saat untuk berlalu. Satu tangan mengempit Nyai Demang, Halayudha tetap bisa berjalan sambil jongkok meninggalkan kamar.

Baginda masih termenung sendirian. Boleh juga abdiku yang satu ini, kata Baginda dalam hati. Kesetiaan dan pengabdiannya besar. Bisa dipercaya. Kalau tidak ada Aji Sirep Laron, entah apa jadinya negara ini. Ilmunya juga cukup tinggi. Hmmm, kenapa selama ini aku kurang memperhatikan dan hanya menganggap sebagai hala yang setia? Aku bisa memberikan sesuatu yang lebih dari yang diduduki sekarang. Abdi semacam ini yang kuperlukan sekarang ini. Apalagi pada saat-saat ada pergolakan, di mana pembangkang dan bukan pembangkang bisa berpakaian sama. Baginda menutup lamunannya. Malam itu Baginda pergi tidur tanpa penerangan.

Kurungan di Bawah Keraton

Nyai Demang tersadar. Sadar bahwa ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Tak ada rantai yang mengikat, tak ada tali yang menjerat. Akan tetapi ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Segera ingatannya kembali dengan cepat. Nyai Demang mengerti bahwa Aji Sirep Laron yang mengenai tubuhnya telah berkurang pengaruhnya. Akan tetapi begitu ia mencoba menggerakkan diri, pengaruh itu muncul kembali. Apalagi kalau ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Apalagi setiap kali Halayudha menjenguk dan mengusap tubuhnya. Memasukkan pengaruh aji sirep!

Itulah yang terjadi sebelum ia memasuki kamar peraduan Baginda. Hanya karena saat itu tenaganya masih banyak dan bisa diatur, tak sampai menimbulkan bencana di saat melangkah masuk. Nyai Demang merasa menemukan lawan yang sangat licik, culas, yang terbalut dalam senyum pengabdian.

“Maafkan aku, Nyai Demang. Aku hanya menjalankan titah Baginda. Kalau nanti Baginda longgar hatinya, aku bisa membicarakan pengampunan bagimu.”

“Tutup mulutmu yang bau, manusia licik.”

Halayudha menghela napas. “Manusia seperti aku adalah manusia yang paling pantas dicaci maki. Paling masuk akal dituduh menjilat pantat Baginda, membasuh telapak kaki Baginda dan meminum airnya. Mungkin aku lebih hina dari itu, Nyai. Tetapi sesungguhnya aku juga memiliki nurani. Nurani untuk mengenal kebaikan budimu. Aku tak akan melupakannya, sampai tulang-tulangku jadi abu.”

“Siapa mau mendengarkan ocehanmu?”

“Cacilah apa saja. Mungkin belum menggambarkan kehinaanku yang sebenarnya. Nyai, mintalah apa saja. Asal jangan pergi dari kurungan bawah tanah ini, sebelum Baginda Raja memberi izin.”

Nyai Demang meludah. “Bagaimana aku bisa meminta suatu apa, kalau kamu selalu datang untuk mempraktekkan ilmu sirep celaka ini?”

Halayudha menekur. Mulutnya berkomat-kamit, dan mendadak tangannya bergerak mengusap wajah Nyai Demang. Nyai Demang meloncat mundur. Dan bisa.

“Maaf, Nyai. Aku terpaksa menyirepmu, karena ini semua demi keselamatanmu sendiri. Kalau kamu ingin bebas, sekarang saatnya. Bahkan kalau kamu ingin mencelakaiku, sekarang pula bisa kau lakukan.”

Nyai Demang menegakkan punggungnya yang terasa kaku. “Omongan busuk apa lagi yang kamu pamerkan ini?”

“Aku mengatakan apa adanya. Selama kamu kena aji sirep, selama itu pula kamu akan selamat, Nyai. Karena tak bisa mencari jalan keluar dari kurungan bawah Keraton ini. Begitu tenaga dan kesadaranmu pulih, kamu berniat keluar. Padahal itu hampir mustahil sama sekali. Hanya akan diketahui senopati yang lain. Jika itu terjadi, berarti keselamatanmu terancam. Karena mereka berhak mencincang pelarian dari kurungan bawah tanah ini.”

“Huh, siapa bilang aku tak bisa keluar?”

“Coba saja, Nyai. Setahuku, hanya aku seorang yang tahu jalan berputar di kurungan ini. Dan aku lebih suka mati jika dipaksa untuk mengeluarkanmu. Karena aku mengabdi kepada Baginda.”

“Kamu memang manusia hina.”

“Makilah dengan lebih buruk, tetap tepat untukku.”

“Kenapa kamu tidak mau mengeluarkan aku?”

Halayudha tersenyum tipis. “Sebab Baginda akan membebaskanmu. Jalan yang aman bagimu dan bagiku.”

“Kenapa Baginda membebaskanku?”

“Kalau Upasara yang datang dan meminta, Baginda pasti akan meluluskan.”

“Boleh juga pikiranmu. Tapi kalau Adimas Upasara tidak mau datang?”

“Itulah yang dinamakan nasib, yang ditulis dalam kitab sebagai nasib. Aku dan kamu tak bisa berbuat lain. Sekarang terserah padamu, Nyai. Aku akan menyediakan apa saja keperluanmu. Lebih dari berada dalam Keraton. Hanya satu permintaanku, janganlah nggege mangsa. Mempercepat musim atau nggege mangsa adalah bertentangan dengan hukum alam. Ada saatnya buah maja tumbuh, ada saatnya buah durian dan jambu tumbuh. Masing-masing menyimpan irama alam. Kita tak bisa mengubah dan mempercepat musim maja kalau durian yang sedang berbuah. Maafkan kalau aku bicara menggurui. Ini kebiasaan berbicara di Keraton.”

Dengan sangat halus Halayudha seakan mau mengatakan kebiasaan memberitahu Baginda adalah dengan cara menerangkan kepada anak kecil.

“Baik, senopati busuk, kuterima kata-katamu karena tak ada pilihan lain. Lalu apa yang harus kulakukan?”

“Terserah padamu, Nyai. Melatih ilmu silat, Nyai bisa di ruangan sebelah. Merawat tubuh, akan segera kami kirimkan. Meminta kitab-kitab Keraton untuk dipelajari, sejauh saya bisa menyediakan akan saya berikan. Selebihnya menunggu.” Halayudha mengangguk hormat, lalu berjalan meninggalkan.

Nyai Demang memperhatikan cara Halayudha berjalan. Dengan kecepatan berpikir, mencoba menghafal belokan-belokan di depannya yang ditempuh Halayudha. Akan tetapi ketika kemudian ia mencoba, empat kali kembali ke tempatnya semula. Lorong-lorong dalam kurungan bawah tanah ini mengingatkan kepada Gua Lawang Sewu yang hanya mungkin dilewati mereka yang tahu caranya.

Di Keraton Singasari dulu juga ada gua tahanan semacam ini yang dijaga harimau. Akan tetapi agaknya yang sekarang ini jauh lebih aman dan sulit ditembus. Sehingga tak perlu dijaga! Tidak oleh harimau maupun oleh penjaga!

Nyai Demang mengakui bahwa Halayudha mempunyai dan mengerti banyak hal yang tak diduga sementara orang. Siapa pun agaknya bisa terkecoh olehnya! Termasuk dirinya sekarang ini! Nyai Demang tak bisa memastikan apakah Halayudha berdusta padanya atau tidak. Namun apa yang dikatakan masuk akal. Nyai Demang berusaha mengenal kurungan bawah tanah ini. Ia berada dalam ruangan yang ada ranjang kayunya. Tanpa pintu. Di depannya adalah berbagai lorong tak menentu. Penuh dengan belokan dan putaran. Setiap kali mencoba lolos, akan kembali ke tempatnya semula.

Paling jauh hanya sampai ke tanah lapang yang agak lega. Agak lega karena bisa melihat langit. Namun Nyai Demang tak mempunyai bayangan bisa lolos dari tempat ini. Karena dindingnya sangat terjal dan sangat tinggi untuk mencapai permukaan. Bahkan burung pun tak ada yang tersesat ke dalam kurungan bawah tanah. Tak ada yang mencoba membuat sarang di dinding yang terjal. Tak ada yang menyuruk ke dalam. Padahal di tanah lapang ini ada beberapa batang pohon!

Sekali lagi Nyai Demang memuji pemilihan tempat yang luar biasa. Menurut perhitungan Nyai Demang, kurungan bawah tanah ini dibangun di bagian yang permukaannya adalah sebuah gunung atau pegunungan. Bekas kawah suatu gunung yang tak bekerja lagi. Ini kalau dilihat dari adanya hawa hangat dalam ruang dan adanya lorong-lorong. Satu-satunya jalan ialah melalui jalan berputar. Tapi hanya Halayudha yang mengetahui rahasianya!

Bolak-balik Nyai Demang berusaha lolos, akhirnya kembali kepada kesimpulan yang disarankan Halayudha. Menungggu! Seumur hidup, Nyai Demang tak pernah sendirian seperti sekarang ini. Latihan berada di Perguruan Awan, sebenarnya juga tak terlalu sepi, karena di sana banyak teman seperguruan. Di samping ia bisa meninggalkan setiap saat. Sekarang tak ada siapa-siapa.

Mendadak Nyai Demang bangkit. Ia seperti mendengar napas seseorang. Ya, sekarang makin yakin bahwa itu napas seseorang yang bisa dibedakan dari desiran angin. Nyai Demang duduk bersila dan mulai membaca kidung:

Kalau terkurung, kamu lepas
kalau lepas, kamu terkurung
di mana-mana ada air
di mana-mana ada sumber
kalau kamu terkurung air
kamu lepas
kalau kamu lepas dari air
kamu terkurung!


Sebelum kidungan Singa Meta yang merupakan kidungan kedelapan dari Kitab Penolak Bumi selesai, terdengar suara girang luar biasa.

“Tole, aku tahu kamu akan datang padaku.”

Tak salah lagi. Itu adalah suara Dewa Maut! Bagaimana mungkin bisa berada di kurungan bawah Keraton ini?

Pertarungan Matahari dengan Rembulan

DEWA MAUT muncul dari salah satu lorong. Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu menjadi tawa yang mengekeh, sebelum akhirnya berubah menjadi kecut sewaktu melihat Nyai Demang.

“Hoho, kamu bukan Tole.” Dewa Maut langsung memutar tubuh.

Nyai Demang meloncat tinggi dan menutup jalan di depan Dewa Maut. “Tunggu dulu. Masa begitu bertemu langsung pergi begitu saja?”

“Aku mau ketemu Tole. Kini aku tahu bahwa srengenge kalah dening rembulan. Seumur-umur kita mempelajari pembukaan kitab itu, baru hari ini aku tahu. Tapi aku tak mau memberitahu kamu. Aku hanya mau memberitahu Tole-ku seorang.”

Nyai Demang bercekat. Sifat Dewa Maut tetap tidak berubah. Ingatannya yang menceng makin parah. “Aku tahu tentang Gendhuk Tri.”

“Aku tidak tanya Gendhuk. Aku mau Tole.”

“Baiklah, aku tahu tentang keponakanmu, tentang kekasihmu itu.”

Dewa Maut menunduk malu-malu.

“Katakan lebih dulu, sejak kapan kamu berada di sini?”

“Hoho, sejak aku tahu bahwa matahari bisa dikalahkan rembulan.”

Nyai Demang jadi serbasalah. Tadinya mengira bahwa dengan bertemu Dewa Maut, agaknya ia mempunyai harapan untuk lolos. Akan tetapi nyatanya malah membuat makin jengkel. Namun Nyai Demang tidak cepat berputus asa. Biar bagaimanapun, kini ia mempunyai teman yang bisa diajak bicara. Kalau sampai Dewa Maut muncul dari lorong yang lain, berarti ada jalan lain! Tak mungkin Dewa Maut jatuh dari atas tanpa hancur tulangnya. Walau ilmunya menjadi seratus kali lebih tinggi, tak bakal ada yang selamat kalau dilemparkan ke bawah.

“Sejak kapan kamu meninggalkan Perguruan Awan?”

“Sejak aku tahu bahwa garuda bisa dikalahkan burung prenjak.”

“Sejak kapan garuda dikalahkan burung kecil?”

“Sejak harimau kalah bertarung melawan menjangan.”

“Aku tahu semua yang kamu katakan. Singa bisa kalah melawan kancil, kucing kalah melawan tikus, ular kalah melawan katak. Benar?”

“Ya, kamu mencuri ilmu itu dari mana?”

“Dewa Maut, dengar baik-baik. Kita mempelajari pembukaan Kitab Penolak Bumi itu secara bersama-sama. Ingat? Ada Adimas Upasara Wulung…”

“…Ya…”

“Ada Paman Jaghana…”

“Hmm.”

“Ada Paman Wilanda, Galih Kaliki…”

Dewa Maut menggelengkan kepalanya.

“Ada Nyai Demang…”

“Hmm.”

“Ada Tole…”

“Ya, mana dia?”

“Dia menunggu di luar. Kalau kita bisa keluar bersama, kita akan bisa menemuinya.”

Di luar dugaan Dewa Maut menggelengkan kepala. “Tak ada gunanya. Tole akan menjemputku kemari. Sejak di hutan kami telah berjanji. Dan aku dibawa kemari oleh orang bertopeng kulit kayu.”

“Kamu mengenal Klikamuka?”

“Dia yang mengatakan aku harus berada di sini.”

“Bagaimana kalau kita keluar bersama-sama?”

“Tidak mau.”

Nyai Demang menyingkir. “Baik kalau begitu. Aku akan keluar sendiri. Akan kutemui Tole dan akan kukatakan tak usah menemui Dewa Maut yang sudah tidak waras.”

Dewa Maut jadi ragu.

“Baik, selamat tinggal.” Nyai Demang masuk lewat lorong dari mana Dewa Maut muncul. Terus berjalan dengan memilih ancar-ancar kiri-kanan. Akan tetapi sampai berkeringat, akhirnya kembali ke tempatnya semula. Terpaksa keluar, meneliti jalan yang tadi menuju tanah lapang.

Dewa Maut masih berada di tempatnya. “Hoho, akhirnya kamu kembali lagi kemari. Sudah kukatakan di luar tidak menyenangkan.”

“Aku tak bisa keluar,” kata Nyai Demang lirih.

“Dusta! Kamu tak bisa mendustaiku. Lebih mudah keluar daripada masuk. Hoho, aku tak bakal kena didustai.”

“Bagaimana mungkin begitu gampang keluar?”

“Ya, kamu sudah tahu pembukaan Kitab Penolak Bumi. Sebenarnya kurungan ini dibuat berdasarkan pembukaan kitab itu. Ketika aku mencobanya, memang gampang sekali. Tapi aku juga seperti kamu, aku lebih suka kembali ke sini.”

Nyai Demang memandang kecewa. Kalau kembali lagi, itu sama juga tidak bisa keluar! Tapi mana mungkin Dewa Maut mempermainkan? Mendadak Nyai Demang bergerak cepat. Jubah Dewa Maut kena dicekal. Sesuatu yang disembunyikan di balik jubah bisa diambil. Nyai Demang tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dua buah gelang!

“Jangan ambil, itu buat Tole.”

Nyai Demang mengembalikan dengan baik. Kini ia yakin bahwa Dewa Maut benar-benar bisa keluar dan bisa masuk kembali. Gelang itu pasti tidak disembunyikan ketika ia ditawan. Lagi pula kalau sejak lama berada dalam tempat yang sama, mana mungkin ia tidak mengetahui sama sekali.

“Ambil kembali gelangmu. Tapi carikan buat aku.”

“Aku takut.”

“Bagus, kalau begitu aku akan mengiringkan di belakangmu. Nanti akan kuambil sendiri.”

“Hoho, hanya Tole yang bisa memerintah aku. Kenapa kamu tidak pergi sendiri?”

“Bagaimana caranya?”

“Dalam pengantar Kitab Penolak Bumi dikatakan bahwa burung garuda yang perkasa kalah dari burung prenjak, harimau kalah oleh menjangan, gajah kalah oleh macan, matahari kalah oleh rembulan, kucing kalah oleh tikus, anjing kalah oleh kancil, dan ular kalah oleh katak.”

“Lalu?”

“Kita ikuti saja kata-kata itu.”

Nyai Demang tertunduk lemas. Ia mencari akal lain. Dengan menyelinap di balik lorong yang ada, ia akan mengikuti Dewa Maut! Inilah salah satu cara terbaik. Pasti Dewa Maut akan keluar dari tempat ini. Mendapat pikiran begitu, Nyai Demang agak tenang.

Apa yang diperkirakan ternyata benar. Tak sampai sore, Dewa Maut sudah berdiri sambil menghafalkan pembukaan Kitab Penolak Bumi. Nyai Demang mengikuti dari belakang. Sengaja mempergunakan cara meringankan tubuh agar tidak membuat Dewa Maut curiga. Akan tetapi pada suatu tikungan, Dewa Maut lenyap dari pandangannya! Seperti ditelan bumi! Dan begitu Nyai Demang mengejar sekenanya, akhirnya kembali ke tempatnya semula! Ini benar-benar aneh dan tak bisa dimengerti.

Dewa Maut bisa memecahkan rahasia kurungan di bawah tanah ini dengan pembukaan dari Kitab Penolak Bumi. Ia bisa mengidungkan dengan baik, akan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan-jangan aku sudah gila, pikir Nyai Demang. Tak ada Dewa Maut. Hanya karena selama ini aku tak berjumpa dengannya, aku merasa bertemu.

Namun esoknya, Nyai Demang menjumpai Dewa Maut duduk di lapangan sambil minum tuak, sejenis minuman keras yang dibuat dari buah aren. Ini berarti bukti yang lain bahwa Dewa Maut bisa keluar-masuk Keraton. Bahkan bisa mengambil makanan dan minuman. Ini berarti tetap tak bisa diikuti. Karena justru ia yang waras dan memiliki ilmu lebih tinggi, tak bisa menguber Dewa Maut. Benar-benar seperti garuda yang dikalahkan prenjak! Seperti matahari yang dikalahkan sinar rembulan.

“Dewa Maut, kenapa kamu tidak mengajakku?”

“Aku membawakan untukmu.” Dewa Maut memberikan kendi yang berisi minuman keras.

Nyai Demang mengembalikan. “Aku ingin santapan Baginda.”

“Tidak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil sisa-sisa yang ditinggalkan para prajurit.”

Nyai Demang menghela napas. Inilah akhir dari perjalanan hidupnya. Terkurung dalam tahanan bawah tanah, ditemani seseorang yang bisa keluar-masuk, tapi ia tetap berada di dalam. Betapa menyakitkan!

Laku, Kunci Segala Kunci

SATU-SATUNYA harapan bagi Nyai Demang hanyalah menggertak Halayudha. Maka begitu Halayudha muncul lagi sambil membawa makanan serta pakaian ganti, Nyai Demang memperlihatkan gelang serta makanan dari Dewa Maut. Halayudha mengerutkan kening.

“Apakah kamu merasa heran bahwa aku bisa keluar dan masuk dari tempat ini?”

“Betul-betul menakjubkan. Akan tetapi bagaimana mungkin?”

“Sangat sederhana. Lorong dalam tahanan bawah Keraton ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan pembukaan Kitab Penolak Bumi.”

“Mustahil.”

“Apa lagi yang kau banggakan? Aku hanya ingin menunjukkan bahwa seharusnya aku dibawa secara baik-baik dan dilepaskan secara baik-baik. Sebab aku akhirnya toh bisa keluar sendiri.” Dengan taktik ini, Nyai Demang berharap bisa dibawa keluar dengan baik-baik.

“Aku sudah membaca Kitab Bumi. Baik Dua Belas Jurus Nujum Bintang, maupun Kitab Penolak Bumi. Dari pembukaan sampai bagian akhir. Rasanya tak ada yang menjelaskan cara mengatur lorong-lorong di bawah ini.”

“Aha, mana mungkin kamu bisa membaca dengan baik? Dengar baik-baik, kalau ingin kupecahkan rahasia itu.”

Halayudha bergerak. Tanpa menggeser kaki. Hanya telapak tangannya yang bergerak cepat. Mengusap wajah Nyai Demang yang mendadak merasa sangat mengantuk. Begitu mengerahkan tenaga melawan, keletihan malah membebani. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang sadar bahwa ia terkena pengaruh Aji Sirep Laron.

“Nyai Demang, sekarang kamu hanya mendengar dan menuruti apa yang kukatakan. Mengerti?”

“Mengerti.” Nyai Demang tak bisa menguasai bibirnya untuk tetap terkunci.

“Apa benar bahwa kunci untuk keluar dari lorong ini ada di dalam pembukaan Kitab Penolak Bumi?”

“Ya.”

“Di bagian mana?”

“Pada pembukaan.”

“Aku tahu pada bagian pembukaan. Akan tetapi bagian yang mana?”

Nyai Demang yang memang belum mengetahui, hanya mengulang jawaban.

“Dengar baik-baik. Saat ini aku bisa membunuhmu. Semudah menggaruk lutut. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Dan aku akan membunuhmu, karena kamu telah menjadi bahaya. Aku akan memusnahkan semua ilmu yang kamu miliki. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Harus mau.”

“Ya.”

“Kidungkan bagian pembukaan secara lengkap.”

Nyai Demang duduk bersila. Suaranya mengalun merdu:

Tiada niat
tiada ambisi, tiada minat
sebab itu tak ada
jangan memakai akal pikiran
itu menyesatkan
jangan memakai akal budi
itu jalan buntu
kunci dari kunci
adalah laku
laku itu buat niat
buat minat, bukan akal
bukan pikiran
bukan kunci
laku itu laku
laku
laku adalah pembuka
kitab penolak bumi
sebab laku yang membuat garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah dengan menjangan, singa kalah melawan kancil, matahari kalah melawan rembulan’ kucing kalah melawan tikus, anjing kalah dengan kancil, ular kalah dengan kodok
laku itu melawan, laku itu tiada
dibuka dengan laku, itu kitab ini…


Halayudha menggelengkan kepalanya “Bagaimana cara memahami lorong ini dengan kidungan macam itu?”

“Garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah...”

“Cukup, Nyai Demang, apa boleh buat. Kita berpisah sekarang. Kalau takdir menentukan lain, kita akan bertemu lagi. Karena saya akan sangat sibuk, saya tak bisa menengok kamu lagi. Selamat tinggal, Nyai.”

Halayudha mengusap Nyai Demang, Bukan untuk membebaskan, akan tetapi untuk menambah pengaruh sirepnya. Kemudian dengan langkah pasti meninggalkan Nyai Demang.

Tinggal Nyai Demang bersila sendirian. Seluruh pikirannya kacau, Bolak-balik, antara mimpi dan mengigau, Antara sadar dan tidak, Nyai Demang melihat Dewa Maut muncul, mendekatinya. Nyai Demang berusaha berteriak, akan tetapi Dewa Maut seperti tak bisa mendengar

“Kamu kenapa bersila di situ? Aku sudah ambilkan makanan Raja. Ini dia.”

Nyai Demang hanya menatap kosong,

“Nyai, kamu ngambek? Marah padaku?” Dewa Maut menggelengkan kepalanya. “Baiklah, aku katakan saja, Kamu toh sudah tahu bahwa garuda kalah melawan prenjak, adalah sepuluh langkah. Sedangkan macan dikalahkan menjangan adalah enam langkah, Lalu dua langkah, empat langkah, sebelas, tiga belas langkah, dan dua belas langkah, Lalu berulang dari awal lagi, Nah, apa lagi yang kau ingin saya ulangi?”

Perlahan Nyai Demang seperti tersadar. Bahwa untuk menelusuri lorong-lorong itu dengan perhitungan berapa pecak atau berapa langkah sudah ada perhitungan sendiri jadi dalam melangkahi sama sekali tidak memedulikan lorong kiri atau kanan, maju atau mundur! Tetapi lebih kepada hitungan kidungan!

Nyai Demang menangkap sifat-sifat yang disebutkan Dewa Maut dan dengan mudah menghafalkan. Meskipun jumlah langkah itu tak ada dalam kidungan, akan tetapi mudah dimengerti. Bahwa garuda dikalahkan prenjak adalah sepuluh langkah. Nyai Demang berusaha bangkit. Namun malah kembali terguling. Ingin berteriak, akan tetapi tenggorokannya malah sakit, ingin membuka bibirnya, akan tetapi malah tertekan!

Dewa Maut memperhatikan Nyai Demang, Lama menunggu sebelum akhirnya mendudukkan. “Apa sebenarnya maumu? Kamu ingin aku membopongmu? Menyuapi? Nyai Demang, kamu harus tahu, Bahwa selama ini aku tak pernah memegang tubuh wanita, Aku justru merasa jijik, Kamu tahu kalau aku tak mau menolongmu,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan. Akan tetapi ketika kembali, posisi Nyai Demang sedikit pun tak berubah, “Hoho, apa sebenarnya maumu? Kenapa kamu begitu keras kepala seperti Tole?”

Pikiran waras Dewa Maut memang terganggu, Sejak sebelum ilmu racun dalam tubuhnya lenyap bersama tenaga dalamnya, Dewa Maut sudah dikenal paling aneh adatnya. Namun meskipun demikian, Dewa Maut pada dasarnya manusia yang baik. Apalagi saat-saat terakhir digembleng secara tidak langsung di Perguruan Awan, Selalu bersama-sama dengan Nyai Demang dan yang lainnya, Yang hidup saling menolong dan rukun. Maka Dewa Maut mendudukkan Nyai Demang, Lalu berusaha menyuapi, Nyai Demang dipaksa membuka mulutnya, Akan tetapi makanan itu terhenti di bibir,

“Kunyah.”

Pandangan Nyai Demang tetap kosong,

“Kau minta aku yang mengunyahnya? Nyai, aku tak bisa memegang tubuh wanita, Apalagi mengunyahkan makanan,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan. Akan tetapi ketika kembali, Nyai Demang tetap di tempatnya. Walaupun kurang waras, pikiran Dewa Maut masih bisa berjalan dengan normal kalau berhubungan dengan ilmu silat. Meskipun tenaga dalamnya sudah hilang, pengetahuannya tidak surut karenanya

“Jangan-jangan jalan darahmu kena totok,”

Dewa Maut membulatkan hatinya untuk meraba nadi Nyai Demang di kedua tangan dan kaki, Tentu saja aliran darah Nyai Demang tetap normal.

Laku, Bukan ilmu.

Dewa Maut menggelengkan kepalanya. “Kamu kena aji sirep?”

Dewa Maut bisa mengerti tentang aji sirep justru karena Gendhuk Tri yang dianggap sebagai Tole-nya pernah terkena aji sirep Pu’un yang berasal dari Banten,

“Pasti, Tapi bagaimana caranya mengatasi?”

Selama Dewa Maut sibuk, Nyai Demang bisa melihat, bisa mengetahui. Hanya saja reaksinya yang tak bisa dikuasai sepenuhnya. Justru di saat ingin menggerakkan tangan, Jadinya malah kaku.

“Wah, bagaimana obatnya, Nyai? Aku tak bisa. Kenapa kamu tak mencoba sendiri? Kamu kan hafal Kitab Penolak Bumi, Namanya saja sudah tumbal, berarti itu jurus yang serba penolakan, Apa saja ditolak lebih dulu. Termasuk… hehe, termasuk apa ya? Kamu mulai saja, Nyai Mulai dengan tiada...”

Nyai Demang mulai memusatkan pikirannya Mengikuti petunjuk yang terdengar di telinga, Akan tetapi hasilnya sama lagi. Begitu mencoba memusatkan perhatian, Jadinya malah mengantuk Nyai Demang memaksakan dirinya.

“Lho, kok malah mendengkur?”

Dewa Maut menggaruk-garuk kepalanya. Sehingga rambutnya yang putih rontok. Beberapa kali menggoyangkan tubuh Nyai Demang, ternyata tak ada gunanya,

“Celaka kalau kamu mati di sini, aku bisa disalahkan Tole, Aku yang akan dituduh menjadi pembunuh, Ayo, sembuh… sembuh.,.”

Dalam bingungnya Dewa Maut menggoyangkan tubuh Nyai Demang, Merangkul, membuka mata Nyai Demang.

“Ya sudah, kalau kamu pilih mati! Itu maumu sendiri.”

Antara sadar dan samar, Nyai Demang mendengar suara Dewa Maut. Rasanya yang dikatakan Dewa Maut benar. Daripada menyusahkan diri, kenapa tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kantuk yang bergulung menyeretnya? Kenapa harus memikirkan garuda dikalahkan burung prenjak dalam sepuluh langkah? Kenapa menyiksa diri?

Antara sadar dan tidak, Nyai Demang menyerahkan diri kepada seretan tenaga yang mengisapnya, Muncul dan lenyap bayangan Baginda Raja, Halayudha, Upasara, Gendhuk Tri, Jaghana, Dewa Maut, suaminya yang dulu, Upasara lagi, peperangan, Gayatri, Halayudha, dan kidungannya yang belum selesai Nyai Demang melanjutkan dalam hati:

…laku itu bukan ilmu
sebab ilmu itu keliru
laku itu bukan rasa
sebab rasa itu buta
pikiran tak menyelesaikan
perasaan tak mendamaikan
laku itu
bukan ini bukan itu
itulah laku…


Nyai Demang merasa makin dalam terseret ke pusaran yang tak dikuasai sedikit pun. Tak tahu bahwa Dewa Maut makin kencang memeluknya, makin Sering membuka matanya, dan makin kebingungan.

“Celaka, kalau mati begini, bagaimana cara menguburnya? Kenapa tidak di luar saja? Bagaimana mungkin aku menggendongmu ke luar?”

Berjingkrakan ke sana kemari, akhirnya Dewa Maut jadi lelah sendiri. Akhirnya ia menunggui di dekat Nyai Demang, Sampai beberapa saat ia mendengar suara lirih.

“Ha, kamu hidup lagi, Nyai?”

Karena dalam gua begitu gelap, Dewa Maut tak tahu apakah suara itu berasal dari Nyai Demang atau yang lainnya, Lagi pula Dewa Maut tak bisa melihat wajah Nyai Demang,

“Kamu atau sukmamu yang barusan bicara? Dulu aku dijuluki Dewa Maut karena suka mencabut nyawa, Dalam setiap pertempuran, aku selalu membunuh orang, jadi kalaupun kamu sukma atau setan, aku tak takut “Nyai.,.”

Dewa Maut kaget karena lengannya dicekal

“Jadi kamu benar-benar hidup?”

Terdengar helaan napas. Telapak tangan Dewa Maut dicekal kencang.

“Hei, jangan pegang-pegang seperti ini.”

Terdengar lagi tarikan napas. “Tiada keinginan, itulah keinginan.”

“Bagian dari kitab mana lagi itu?”

“Ayolah, Dewa Maut, bantu aku bersemadi. Agar tenagaku pulih kembali.”

“Kamu ini bagaimana? He, di mana wajahmu? Jangan-jangan aku bicara sambil menghadap pantatmu. Kamu bilang tiada keinginan, sekarang suruh membantu memulihkan tenaga. Apa sebenarnya yang kamu harapkan?”

Nyai Demang menggenggam kedua tangan Dewa Maut. Perlahan mulai mengatur napas, Tak ada jalan lain bagi Dewa Maut selain duduk bersila dan mengikuti alunan napas Nyai Demang yang naik-turun dengan teratur. Memang Dewa Maut tak bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Bahkan Nyai Demang pun belum mau percaya!

Sewaktu mengikuti kidungan dalam hati, ketika itu terasa segalanya menjadi enteng. Nyai Demang mengikuti lirik dalam kidungan dengan sepenuh hati. Tak mengetahui bagaimana proses berikutnya, tahu-tahu bibirnya bisa terbuka dan mengeluarkan suara, pikirannya mulai jernih. Pengaruh sirep mulai berkurang, akan tetapi dirasakan tenaganya masih belum bisa dikerahkan

Apa yang terjadi dalam dirinya setengah disadari, dan setengah lagi tidak Nyai Demang hanya merasa bahwa justru ketika ia mengikuti bunyi kidungan dengan segenap hatinya, apa yang dikidungkan benar adanya. Pada saat ia mengerahkan ilmu, ia justru kalah. Pada saat perasaannya tak bisa mengadakan perlawanan. Laku, ternyata bukan itu.

Seiring dengan pengertian yang perlahan merayapi, Nyai Demang jadi bisa pulih kembali. Sewaktu sinar mentari mulai terbias ke dalam lorong yang didiami, Nyai Demang dan Dewa Maut sudah selesai bersemadi. Dewa Maut bisa melihat bahwa cahaya mata Nyai Demang bersinar,

“Kakang Dewa Maut…”

“Aku ini Kakang?”

“Kitab Penolak Bumi sungguh kitab yang luar biasa. Aku tak tahu harus mengatakan bagaimana. Sekian puluh kali aku menghafalkan di luar kepala, akan tetapi rasanya baru sekarang ini aku bisa sedikit merasakan.”

“Merasakan apa?”

“Laku, itulah kuncinya, Tetapi juga bukan kunci Pantas saja selama ini tak ada yang bisa menguasai sempurna, Bahkan Adimas Upasara selalu menemukan jalan buntu dan kebosanan. Makin dipaksa makin tak kena.”

“He, apa yang kamu bicarakan?”

“Kakang harus mendengarkan. Mau atau tidak, Kakang harus menjalankan bila ingin waras.”

Dewa Maut meloncat, menjauh, “Jadi selama ini kamu menganggap aku tidak waras?”

Nyai Demang seperti tidak memperhatikan Dewa Maut. “Sesungguhnya laku itu cara, laku itu usaha. Tetapi dalam usaha memahami Kitab Penolak Bumi caranya ialah dengan menolak ilmu, menolak akal pikiran, menolak rasa, Karena dengan ilmu, dengan akal pikiran, bahkan dengan rasa, kita akan menemukan jalan buntu, Laku dalam memahami ajaran Kitab Penolak Bumi adalah laku. Kakang, masih ada kesempatan bagi Kakang. Masih ada kesempatan bagi Adimas Upasara. Mari segera kita tinggalkan tempat ini.”

Nyai Demang berdiri. Tenaganya memang belum pulih benar, Akan tetapi pikirannya telah jernih kembali

“Tidak, kamu pergi sendiri”

Nyai Demang menghela napas, “Kakang mau tetap di sini?”

Dewa Maut mengangguk,

“Baiklah kalau begitu, Selama ini kita berdua selalu di sini. Banyak hal kita lakukan bersama-sama, Secara langsung dan tidak langsung, saya, Nyai Demang, berutang budi kepada Kakang. Saya berjanji tak akan melupakan jasa baik ini. Maaf, Kakang, saya akan melanjutkan perjalanan sendiri”

Benih Matahari

NYAI DEMANG tak membuang waktu sedikit pun. Begitu selesai memberi hormat, segera ia meninggalkan tempat itu. Dari mana pun ia mulai melangkah, ia mulai berhitung bahwa langkah pertama adalah sepuluh pecak, di mana ada tikungan, tanpa memedulikan kiri dan kanan, langsung berbelok Enam pecak berikutnya, mengubah lagi Kalau kebetulan lorongnya masih lurus, Nyai Demang melanjutkan dengan dua pecak berikutnya, disusul dengan empat pecak, dan seterusnya.

Memang dalam kidung pembuka, langkah-langkah itu tidak dituliskan. Akan tetapi bagi yang bisa menangkap, hal itu sudah jelas, Dewa Maut pun bisa menandai bahwa “garuda dikalahkan prenjak” berarti sepuluh, Sedangkan “harimau dikalahkan menjangan” berarti enam, Inti untuk memahami pembukaan itu bukanlah dengan pendekatan ilmu, bukan dipecahkan dengan akal Walau mungkin bisa didekati bahwa “garuda dikalahkan prenjak” lebih lama waktunya dibandingkan dengan “harimau dikalahkan prenjak”, sedemikian juga seterusnya. Namun perhitungan akal semacam ini Sering membuat bingung. Karena justru “matahari dikalahkan bulan” hanya berarti empat, sementara “ular dikalahkan katak” bisa berarti dua belas.

Namun kini Nyai Demang tak mau mempersoalkan itu. Ia menerima saja, Sebab inilah laku, Tidak dengan ilmu, tidak dengan pikiran. Tidak juga dengan perasaan, Setiap tujuh kali, Nyai Demang mengulang dari awal lagi. Kalaupun perasaannya mengatakan ia seperti kembali ke tempatnya semula, tak terlalu dihiraukan. Hasilnya memang mengejutkan,

Dengan mudah Nyai Demang bisa muncul dari sumur di bagian dapur Keraton. Pantas saja Dewa Maut bisa dengan tenang mencuri makanan, Keluar dari sumur, Nyai Demang menyelinap ke arah luar, Tak terlalu menarik perhatian karena Nyai Demang hafal jalannya dan Penampilannya tak terlalu berbeda. Melewati pelataran utama, Nyai Demang berada di bagian luar Keraton. Bebaslah sudah.

Akan tetapi Nyai Demang justru menuju ke sitinggil atau bagian tanah yang lebih tinggi yang terletak beberapa ratus tombak dari Keraton, Sitinggil Keraton adalah bagian yang biasanya digunakan untuk mengadakan pertemuan atau latihan perang kecuali kalau berada di alun-alun, Di tempat inilah biasanya lebih ramai daripada di bangsal utama, di mana Baginda Raja mengadakan musyawarah dan menitahkan segala sesuatu.

Apa yang menarik Nyai Demang adalah bahwa di sitinggil terjadi pertemuan yang menyebabkan semua senopati Majapahit berkumpul. Sekilas saja nampak Mpu Nambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, bahkan Mpu Kuti dan Semi. Kalau semua tokoh Majapahit berkumpul pasti ada sesuatu yang penting. Nyai Demang mencoba mendesak maju, Cepat-cepat ia memalingkan wajah ketika Senopati Anabrang menyeruak masuk.

Di tengah ruang sitinggil, ada pemandangan yang ganjil. Semua senopati duduk bersila membentuk lingkaran, Menghadapi dua orang lelaki gagah yang menunduk. Dua lelaki gagah inilah yang menjadi pusat perhatian. Bukan karena pakaian yang dikenakan nampaknya begitu tebal dan membungkus sehingga menimbulkan kesan gerak. Akan tetapi terutama karena kedua lelaki itu menguncir rambutnya ke belakang. Dan dua-duanya botak di tengah. Bukan kotak sembarang botak, kalau dilihat bahwa rambut di sisi masih kelihatan lebat.

Nyai Demang cukup luas pengalamannya, Ia pernah mendengar bahwa ada ksatria yang berpakaian rapat dengan rambut dikucir dan sebagian kepalanya dibotaki. Menurut yang diketahui, para ksatria ini berasal dari tlatah Jepun, suatu kerajaan yang lebih dekat dengan orang-orang Tartar, Nama besar mereka terdengar ke seantero jagat, karena para ksatria ini mempunyai ilmu silat yang kelewat tinggi. Kemampuan ksatria Jepun ini terutama sekali memainkan pedang panjang, yang digenggam dengan dua tangan sekaligus, Nyai Demang hanya mendengar kisah-kisah mengenai ksatria Jepun berpedang panjang, Baru sekarang ini bisa menyaksikan!

Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Nyai Demang lebih yakin bahwa mereka berdua pasti dari Jepun, Karena ada sarung pedang yang panjang diletakkan di depan, Sedangkan sarung pedang yang pendek, nampak bergantung di pinggang. Barangkali karena Senopati Anabrang juga memainkan dua pedang, maka ia dipanggil. Yang membuat Nyai Demang sedikit bertanya-tanya ialah bahwa sekarang yang kelihatan menjadi pimpinan dari semua senopati yang ada adalah Mpu Nambi, Bisa jadi Baginda sudah mengangkat mahapatih! Dan yang dipilih adalah Mpu Nambi.

“Kisanak, datangmu mengejutkan, membuat kami tak bisa menyambut dengan baik, Perkenalkan, saya Senopati Nambi yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman, Boleh saya tahu maksud kedatangan Kisanak berdua?”

Dua lelaki di depannya mengangguk dengan hormat sangat dalam Caranya menekuk tubuh menunjukkan penghormatan, akan tetapi kedua tangan tetap berada di lutut,

“Maafkan kami, Mahapatih yang perkasa. Dibilang tamu jauh, memang kami dari negeri matahari bersinar ke bumi. Kamilah yang berasal dari kelahiran matahari. Akan tetapi sudah sejak lama kami berada di tanah India, tanah kelahiran Rama Wijaya, sebelum menetap lama di sekitar tanah Keraton ini. Perkenalkan, Mahapatih, saya dipanggil Kama Kalacakra, dan saudara saya ini Kama Kalandara.”

Kama Kalandara yang diperkenalkan membungkuk dengan suara tertahan diperut. Bagi telinga Nyai Demang, kedua nama itu menunjukkan pengertian yang aneh. Kama, bisa berarti benih lelaki. Sangat jarang dipakai sebagai nama. Meskipun jelas itu bukan nama asli, agaknya si pemilih sengaja mengambil nama itu. Tanpa merasa risi. Sedangkan Kalacakra maupun Kalandara mempunyai arti yang sama, yaitu matahari. Bahwa mereka memilih nama yang diartikan sebagai “benih matahari” tak begitu menjadi soal. Akan tetapi kedua nama yang artinya sama, memang mengundang tanda tanya. Dilihat dari caranya berbicara, Nyai Demang yakin bahwa kedua “benih matahari” sudah sangat mengenal cara berbahasa setempat.

“Kami adalah gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tempat untuk berteduh. Kami datang kemari untuk melihat kebesaran Keraton Majapahit, sekaligus ingin melihat apakah benar di sini disimpan Tumbal Bantala Parwa.”

Senopati Anabrang mengertakkan giginya. “Kalau benar tersimpan di sini, apa maksud kalian? Kalau tidak tersimpan di sini, mau apa?”

Kama Kalacakra mendongak. Garis-garis di wajahnya memperlihatkan keteguhan sikap dan sekaligus kejantanan yang luar biasa. “Kalau ada di sini, kami mau melihat apakah itu kitab pusaka kami. Kalau benar ya, kami mau membawa kembali Kalau tak ada, kami akan mencari.” Jawaban dan sekaligus tantangan

“Tunggu sebentar, Kisanak ” Suara Mpu Nambi tetap merendah nadanya. “Dari mana Kisanak mendengar kabar kami menyimpan kitab itu, dan bagaimana mungkin itu kitab milik Kisanak?”

Kama Kalacakra menggenggam pedangnya. Suaranya menjadi lebih keras. “Panjang sekali ceritanya, Kami tak tahu apakah para senopati yang sibuk mempunyai waktu untuk mendengarkan. Kitab pusaka milik leluhur kami aslinya berasal dari negeri di mana sekarang ini dikuasai oleh pendekar Tartar. Dari sanalah mengembara para pendeta ke seluruh jagat untuk mengandalkan budi luhur, Di antaranya ada yang datang ke negeri kami, tanah di mana matahari bersinar pertama kali Kitab pusaka itu menjadi bentuknya yang sekarang karena jasa para leluhur kami, dan hanya keturunan Dewa Matahari yang boleh membaca atau mempelajari Ketika kitab pusaka itu hilang, kami semua mencari ke seluruh penjuru, Kami berdua berada di tanah Rama Wijaya, Sewaktu pasukan Tartar datang ke tanah ini, kami mendengar bahwa di sini juga ada kitab pusaka yang mirip dengan kitab pusaka kami. Itulah sebabnya kami datang kemari. Karena tidak tahu kepada siapa bertanya, kami telah lancang datang ke Keraton. Sebelum ini kami telah menjelajah ke seluruh wilayah, dan datang ke Perguruan Awan. Karena menurut cerita di sana ada seorang tokoh yang dipanggil sebagai Eyang Sepuh yang mengajarkan ilmu Tepukan Satu Tangan. Dari namanya saja sudah jelas itulah ilmu utama kami, Menurut cerita juga, ilmu itu diperoleh dari Kitab Bumi, yang salah satu bagiannya bernama Kitab Penolak Bumi, Karena kitab itu berada di sini, kami ingin melihatnya.”

Mpu Nambi menganggukkan kepalanya, “Tak salah Kisanak datang kemari. Kalau mencari Kitab Bumi, memang ada di sini, Akan tetapi karena itu kitab pusaka kami, Kisanak tak bisa sembarangan melihatnya.”

“Kami telah siap menghadapi segala risiko yang menghalangi terwujudnya keinginan kami...”

BAGIAN 16CERSIL LAINNYABAGIAN 18

Senopati Pamungkas Bagian 17

Senopati Pamungkas
Buku Pertama
Karya Arswendo Atmowiloto
Cerita silat Indonesia Karya Arswendo Atmowiloto

BAGIAN 17

Nyai Demang sudah lama mempersiapkan balas dendam ini. Ia tidak mengikuti secara urut kejadian di Perguruan Awan. Ia hanya mengetahui bahwa Upasara Wulung telah menjadi cacat seumur hidup. Apa pun alasan dan sebabnya, Nyai Demang hanya bisa menunjukkan siapa yang paling bertanggung jawab atas semua ini. Yaitu Baginda Raja!

Berbeda dengan Gendhuk Tri yang bisa mencetuskan isi hatinya, Nyai Demang lebih suka memendam semua persoalan dalam hati. Apa yang dirasakan tenggelam di balik senyuman yang genit dan sikapnya yang seronok. Tetapi di balik segala yang badani itu, Nyai Demang justru memendam keinginan yang rumit.

Kesempatan itu datang ketika utusan dari Majapahit yang bisa dipercaya menyampaikan undangan. Karena utusan itu memakai tanda pengenal Baginda dan memberikan, Nyai Demang percaya sepenuhnya. Lebih percaya lagi ketika ia menemui Halayudha yang juga mencarinya, mengatakan bahwa Baginda memang ingin bertemu dengan Nyai Demang secara pribadi.

“Barangkali Baginda ingin dikidungkan Kitab Bumi yang sekarang ada di Keraton, Nyai Demang yang rupawan.”

“Tanpa kamu katakan, aku tahu apa yang diinginkan lelaki yang ingin bertemu denganku.”

“Nyai Demang sangat benar. Baginda sangat mengagumi Nyai.”

“Atur pertemuan itu.”

“Dengan segala senang hati, Nyai. Silakan beristirahat. Saya pribadi yang akan membawa berita dari Baginda.”

Selama menunggu, Nyai Demang membulatkan tekad agar tidak terpengaruh oleh kebesaran Baginda. Tekadnya membalas penghinaan dan membalas dendam pada Baginda yang telah menghancurkan Upasara. Sedikit yang bisa mengetahui sifat Nyai Demang. Selama ini hampir semua jago silat menilai Nyai Demang dengan satu alis mata terangkat dan cibiran bibir. Nyai Demang tak lebih dari seorang wanita yang rendah budinya. Ini yang membuat Nyai Demang gusar dan terbakar kehormatannya.

Bayangan begitu malu atas dirinya sendiri. Tak ada yang menghargai sedikit pun, bahwa ia bisa juga disejajarkan sebagai jago silat. Bisa dianggap sejajar dengan ksatria. Tapi semua orang hanya memperhatikan dan menilai dari bentuk tubuhnya yang memang dirawat dengan telaten. Apa salahnya ia mempunyai tubuh yang indah dan merawatnya? Mengapa semua lelaki menganggapku hanya sebagai pemuas nafsu berahi belaka? Pertanyaan-pertanyaan bernada dendam ini membara di lubuk hati Nyai Demang, sejak suaminya, seorang demang, meninggal dunia dan ia mengembara. Satu-satunya lelaki yang tidak memperlakukannya begitu, hanyalah Upasara Wulung!

Ksatria Pingitan itu mengagumi tubuh Nyai Demang, akan tetapi sifatnya sangat berbudi. Baik dalam tutur kata maupun perbuatannya. Bahkan Upasara-lah yang memanggil dengan sebutan hormat sebagai “Mbakyu Demang”. Di sinilah harga diri Nyai Demang muncul kembali. Maka, kalau satu-satunya lelaki yang berjiwa ksatria itu kemudian menjadi mayat hidup, dendamnya adalah dendam dari ujung rambut! Dan lelaki yang menjadi sasaran dendam itu adalah lelaki yang menghinanya dengan memanggil, seolah ia adalah wanita yang bisa diperlakukan seenaknya! Bulat sudah keinginan Nyai Demang menggulung Baginda. Baginya tak peduli yang dihadapi adalah seorang raja! Kini telah tiba saatnya.

“Habis sekarang ini.”

Sebaliknya Baginda yang tengah melayang turun merasa bahwa kekuasaan dan kebesarannya tinggal beberapa kejap saja. Sungguh tak masuk akal, tapi inilah yang akan terjadi. Dalam keadaan murka, Baginda masih menyimpan kelebatan pikiran bahwa sebenarnya Halayudha yang sengaja melakukan ini. Biar bagaimanapun, Baginda tak bisa mempercayai siapa pun dalam Keraton ini.

Kalau ia menunjuk Halayudha karena selama ini hala, atau tingkat patih ini, menunjukkan pengabdian yang sempurna. Tahu apa yang diinginkan rajanya, dan bisa memberikan. Segala keinginan yang paling rahasia. Dan bisa tutup mulut. Baginda merasa kecolongan! Tapi tidak.

Justru di saat yang menentukan, tubuh Baginda seperti menginjak barang mati. Nyai Demang ternyata hanya bisa melotot. Tangannya terulur, akan tetapi tak ada tenaga untuk menangkap. Baginda menelan ludahnya. Benar. Nyai Demang terbaring bagai sedang tidur. Hanya matanya yang terbuka. Ketika Baginda menutup mata itu, Nyai Demang benar-benar seperti tertidur. Lelap.

“Halayudha!”

Sebelum tarikan napas Baginda habis, Halayudha telah masuk, sigap, menyembah, dan menutup pintu peraduan.

“Hamba siap menerima hukuman, Baginda.”

“Bawa perempuan tak berharga ini. Mati dan hidupnya kuserahkan padamu.”

“Sudilah Baginda memberi petunjuk.”

“Simpan di kamar tahanan. Bila tak ada yang mencari, kubur hidup-hidup.” Baginda masih terbakar oleh kemurkaan.

“Perintah Baginda adalah kebenaran.”

“Tunggu…”

Tangan Halayudha yang sedang menyembah turun lagi.

“Aji sirep apa yang kamu gunakan?”

Halayudha menyembah dengan hormat. “Maaf, Baginda Raja. Ilmu hamba hanyalah pameran ketololan belaka. Sebenarnya hamba ingin menjajal Aji Sirep Laron. Namun hamba masih dalam taraf belajar dan otak hamba sesungguhnya tumpul.”

Baginda mengangguk. Aji sirep adalah ilmu atau ajian yang membuat seseorang yang terkena ilmu tersebut menjadi sangat mengantuk dan kehilangan kesadaran. Ilmu ini dalam perkembangannya lebih digunakan para durjana atau penjahat kecil-kecilan jika ingin menggasak harta benda. Dengan menggunakan aji sirep, si pemilik rumah akan terlelap untuk sementara waktu, sementara penjahat menjalankan operasinya.

Tapi yang ditunjukkan Halayudha bukan sembarang aji sirep, melainkan Aji Sirep Laron. Atau Pelelap Laron. Yaitu aji sirep yang bisa dikendalikan seperti mengendalikan laron. Laron adalah binatang malam yang selalu terbang mendekati sinar. Tak peduli cahaya itu api yang mematikan dirinya!

Nyatanya Halayudha sangat jitu memakai aji sirep tersebut pada Nyai Demang. Yang berpengaruh pada saat yang menentukan! Tidak mudah melatih dan menguasai Aji Sirep Laron. Akan tetapi ternyata bisa dipergunakan dengan sangat baik. Dan Halayudha tetap merendahkan diri sebagai “hamba tolol yang sedang belajar”.

Baginda Raja mengangguk. “Aku berterima kasih. Kamu pantas mendapat hadiah.”

“Segala kemurahan Baginda, mudah-mudahan menambah kebesaran Keraton yang sedang dibangun kejayaannya.”

Begitu Baginda mengibaskan tangan, Halayudha tahu itu saat untuk berlalu. Satu tangan mengempit Nyai Demang, Halayudha tetap bisa berjalan sambil jongkok meninggalkan kamar.

Baginda masih termenung sendirian. Boleh juga abdiku yang satu ini, kata Baginda dalam hati. Kesetiaan dan pengabdiannya besar. Bisa dipercaya. Kalau tidak ada Aji Sirep Laron, entah apa jadinya negara ini. Ilmunya juga cukup tinggi. Hmmm, kenapa selama ini aku kurang memperhatikan dan hanya menganggap sebagai hala yang setia? Aku bisa memberikan sesuatu yang lebih dari yang diduduki sekarang. Abdi semacam ini yang kuperlukan sekarang ini. Apalagi pada saat-saat ada pergolakan, di mana pembangkang dan bukan pembangkang bisa berpakaian sama. Baginda menutup lamunannya. Malam itu Baginda pergi tidur tanpa penerangan.

Kurungan di Bawah Keraton

Nyai Demang tersadar. Sadar bahwa ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Tak ada rantai yang mengikat, tak ada tali yang menjerat. Akan tetapi ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Segera ingatannya kembali dengan cepat. Nyai Demang mengerti bahwa Aji Sirep Laron yang mengenai tubuhnya telah berkurang pengaruhnya. Akan tetapi begitu ia mencoba menggerakkan diri, pengaruh itu muncul kembali. Apalagi kalau ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Apalagi setiap kali Halayudha menjenguk dan mengusap tubuhnya. Memasukkan pengaruh aji sirep!

Itulah yang terjadi sebelum ia memasuki kamar peraduan Baginda. Hanya karena saat itu tenaganya masih banyak dan bisa diatur, tak sampai menimbulkan bencana di saat melangkah masuk. Nyai Demang merasa menemukan lawan yang sangat licik, culas, yang terbalut dalam senyum pengabdian.

“Maafkan aku, Nyai Demang. Aku hanya menjalankan titah Baginda. Kalau nanti Baginda longgar hatinya, aku bisa membicarakan pengampunan bagimu.”

“Tutup mulutmu yang bau, manusia licik.”

Halayudha menghela napas. “Manusia seperti aku adalah manusia yang paling pantas dicaci maki. Paling masuk akal dituduh menjilat pantat Baginda, membasuh telapak kaki Baginda dan meminum airnya. Mungkin aku lebih hina dari itu, Nyai. Tetapi sesungguhnya aku juga memiliki nurani. Nurani untuk mengenal kebaikan budimu. Aku tak akan melupakannya, sampai tulang-tulangku jadi abu.”

“Siapa mau mendengarkan ocehanmu?”

“Cacilah apa saja. Mungkin belum menggambarkan kehinaanku yang sebenarnya. Nyai, mintalah apa saja. Asal jangan pergi dari kurungan bawah tanah ini, sebelum Baginda Raja memberi izin.”

Nyai Demang meludah. “Bagaimana aku bisa meminta suatu apa, kalau kamu selalu datang untuk mempraktekkan ilmu sirep celaka ini?”

Halayudha menekur. Mulutnya berkomat-kamit, dan mendadak tangannya bergerak mengusap wajah Nyai Demang. Nyai Demang meloncat mundur. Dan bisa.

“Maaf, Nyai. Aku terpaksa menyirepmu, karena ini semua demi keselamatanmu sendiri. Kalau kamu ingin bebas, sekarang saatnya. Bahkan kalau kamu ingin mencelakaiku, sekarang pula bisa kau lakukan.”

Nyai Demang menegakkan punggungnya yang terasa kaku. “Omongan busuk apa lagi yang kamu pamerkan ini?”

“Aku mengatakan apa adanya. Selama kamu kena aji sirep, selama itu pula kamu akan selamat, Nyai. Karena tak bisa mencari jalan keluar dari kurungan bawah Keraton ini. Begitu tenaga dan kesadaranmu pulih, kamu berniat keluar. Padahal itu hampir mustahil sama sekali. Hanya akan diketahui senopati yang lain. Jika itu terjadi, berarti keselamatanmu terancam. Karena mereka berhak mencincang pelarian dari kurungan bawah tanah ini.”

“Huh, siapa bilang aku tak bisa keluar?”

“Coba saja, Nyai. Setahuku, hanya aku seorang yang tahu jalan berputar di kurungan ini. Dan aku lebih suka mati jika dipaksa untuk mengeluarkanmu. Karena aku mengabdi kepada Baginda.”

“Kamu memang manusia hina.”

“Makilah dengan lebih buruk, tetap tepat untukku.”

“Kenapa kamu tidak mau mengeluarkan aku?”

Halayudha tersenyum tipis. “Sebab Baginda akan membebaskanmu. Jalan yang aman bagimu dan bagiku.”

“Kenapa Baginda membebaskanku?”

“Kalau Upasara yang datang dan meminta, Baginda pasti akan meluluskan.”

“Boleh juga pikiranmu. Tapi kalau Adimas Upasara tidak mau datang?”

“Itulah yang dinamakan nasib, yang ditulis dalam kitab sebagai nasib. Aku dan kamu tak bisa berbuat lain. Sekarang terserah padamu, Nyai. Aku akan menyediakan apa saja keperluanmu. Lebih dari berada dalam Keraton. Hanya satu permintaanku, janganlah nggege mangsa. Mempercepat musim atau nggege mangsa adalah bertentangan dengan hukum alam. Ada saatnya buah maja tumbuh, ada saatnya buah durian dan jambu tumbuh. Masing-masing menyimpan irama alam. Kita tak bisa mengubah dan mempercepat musim maja kalau durian yang sedang berbuah. Maafkan kalau aku bicara menggurui. Ini kebiasaan berbicara di Keraton.”

Dengan sangat halus Halayudha seakan mau mengatakan kebiasaan memberitahu Baginda adalah dengan cara menerangkan kepada anak kecil.

“Baik, senopati busuk, kuterima kata-katamu karena tak ada pilihan lain. Lalu apa yang harus kulakukan?”

“Terserah padamu, Nyai. Melatih ilmu silat, Nyai bisa di ruangan sebelah. Merawat tubuh, akan segera kami kirimkan. Meminta kitab-kitab Keraton untuk dipelajari, sejauh saya bisa menyediakan akan saya berikan. Selebihnya menunggu.” Halayudha mengangguk hormat, lalu berjalan meninggalkan.

Nyai Demang memperhatikan cara Halayudha berjalan. Dengan kecepatan berpikir, mencoba menghafal belokan-belokan di depannya yang ditempuh Halayudha. Akan tetapi ketika kemudian ia mencoba, empat kali kembali ke tempatnya semula. Lorong-lorong dalam kurungan bawah tanah ini mengingatkan kepada Gua Lawang Sewu yang hanya mungkin dilewati mereka yang tahu caranya.

Di Keraton Singasari dulu juga ada gua tahanan semacam ini yang dijaga harimau. Akan tetapi agaknya yang sekarang ini jauh lebih aman dan sulit ditembus. Sehingga tak perlu dijaga! Tidak oleh harimau maupun oleh penjaga!

Nyai Demang mengakui bahwa Halayudha mempunyai dan mengerti banyak hal yang tak diduga sementara orang. Siapa pun agaknya bisa terkecoh olehnya! Termasuk dirinya sekarang ini! Nyai Demang tak bisa memastikan apakah Halayudha berdusta padanya atau tidak. Namun apa yang dikatakan masuk akal. Nyai Demang berusaha mengenal kurungan bawah tanah ini. Ia berada dalam ruangan yang ada ranjang kayunya. Tanpa pintu. Di depannya adalah berbagai lorong tak menentu. Penuh dengan belokan dan putaran. Setiap kali mencoba lolos, akan kembali ke tempatnya semula.

Paling jauh hanya sampai ke tanah lapang yang agak lega. Agak lega karena bisa melihat langit. Namun Nyai Demang tak mempunyai bayangan bisa lolos dari tempat ini. Karena dindingnya sangat terjal dan sangat tinggi untuk mencapai permukaan. Bahkan burung pun tak ada yang tersesat ke dalam kurungan bawah tanah. Tak ada yang mencoba membuat sarang di dinding yang terjal. Tak ada yang menyuruk ke dalam. Padahal di tanah lapang ini ada beberapa batang pohon!

Sekali lagi Nyai Demang memuji pemilihan tempat yang luar biasa. Menurut perhitungan Nyai Demang, kurungan bawah tanah ini dibangun di bagian yang permukaannya adalah sebuah gunung atau pegunungan. Bekas kawah suatu gunung yang tak bekerja lagi. Ini kalau dilihat dari adanya hawa hangat dalam ruang dan adanya lorong-lorong. Satu-satunya jalan ialah melalui jalan berputar. Tapi hanya Halayudha yang mengetahui rahasianya!

Bolak-balik Nyai Demang berusaha lolos, akhirnya kembali kepada kesimpulan yang disarankan Halayudha. Menungggu! Seumur hidup, Nyai Demang tak pernah sendirian seperti sekarang ini. Latihan berada di Perguruan Awan, sebenarnya juga tak terlalu sepi, karena di sana banyak teman seperguruan. Di samping ia bisa meninggalkan setiap saat. Sekarang tak ada siapa-siapa.

Mendadak Nyai Demang bangkit. Ia seperti mendengar napas seseorang. Ya, sekarang makin yakin bahwa itu napas seseorang yang bisa dibedakan dari desiran angin. Nyai Demang duduk bersila dan mulai membaca kidung:

Kalau terkurung, kamu lepas
kalau lepas, kamu terkurung
di mana-mana ada air
di mana-mana ada sumber
kalau kamu terkurung air
kamu lepas
kalau kamu lepas dari air
kamu terkurung!


Sebelum kidungan Singa Meta yang merupakan kidungan kedelapan dari Kitab Penolak Bumi selesai, terdengar suara girang luar biasa.

“Tole, aku tahu kamu akan datang padaku.”

Tak salah lagi. Itu adalah suara Dewa Maut! Bagaimana mungkin bisa berada di kurungan bawah Keraton ini?

Pertarungan Matahari dengan Rembulan

DEWA MAUT muncul dari salah satu lorong. Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu menjadi tawa yang mengekeh, sebelum akhirnya berubah menjadi kecut sewaktu melihat Nyai Demang.

“Hoho, kamu bukan Tole.” Dewa Maut langsung memutar tubuh.

Nyai Demang meloncat tinggi dan menutup jalan di depan Dewa Maut. “Tunggu dulu. Masa begitu bertemu langsung pergi begitu saja?”

“Aku mau ketemu Tole. Kini aku tahu bahwa srengenge kalah dening rembulan. Seumur-umur kita mempelajari pembukaan kitab itu, baru hari ini aku tahu. Tapi aku tak mau memberitahu kamu. Aku hanya mau memberitahu Tole-ku seorang.”

Nyai Demang bercekat. Sifat Dewa Maut tetap tidak berubah. Ingatannya yang menceng makin parah. “Aku tahu tentang Gendhuk Tri.”

“Aku tidak tanya Gendhuk. Aku mau Tole.”

“Baiklah, aku tahu tentang keponakanmu, tentang kekasihmu itu.”

Dewa Maut menunduk malu-malu.

“Katakan lebih dulu, sejak kapan kamu berada di sini?”

“Hoho, sejak aku tahu bahwa matahari bisa dikalahkan rembulan.”

Nyai Demang jadi serbasalah. Tadinya mengira bahwa dengan bertemu Dewa Maut, agaknya ia mempunyai harapan untuk lolos. Akan tetapi nyatanya malah membuat makin jengkel. Namun Nyai Demang tidak cepat berputus asa. Biar bagaimanapun, kini ia mempunyai teman yang bisa diajak bicara. Kalau sampai Dewa Maut muncul dari lorong yang lain, berarti ada jalan lain! Tak mungkin Dewa Maut jatuh dari atas tanpa hancur tulangnya. Walau ilmunya menjadi seratus kali lebih tinggi, tak bakal ada yang selamat kalau dilemparkan ke bawah.

“Sejak kapan kamu meninggalkan Perguruan Awan?”

“Sejak aku tahu bahwa garuda bisa dikalahkan burung prenjak.”

“Sejak kapan garuda dikalahkan burung kecil?”

“Sejak harimau kalah bertarung melawan menjangan.”

“Aku tahu semua yang kamu katakan. Singa bisa kalah melawan kancil, kucing kalah melawan tikus, ular kalah melawan katak. Benar?”

“Ya, kamu mencuri ilmu itu dari mana?”

“Dewa Maut, dengar baik-baik. Kita mempelajari pembukaan Kitab Penolak Bumi itu secara bersama-sama. Ingat? Ada Adimas Upasara Wulung…”

“…Ya…”

“Ada Paman Jaghana…”

“Hmm.”

“Ada Paman Wilanda, Galih Kaliki…”

Dewa Maut menggelengkan kepalanya.

“Ada Nyai Demang…”

“Hmm.”

“Ada Tole…”

“Ya, mana dia?”

“Dia menunggu di luar. Kalau kita bisa keluar bersama, kita akan bisa menemuinya.”

Di luar dugaan Dewa Maut menggelengkan kepala. “Tak ada gunanya. Tole akan menjemputku kemari. Sejak di hutan kami telah berjanji. Dan aku dibawa kemari oleh orang bertopeng kulit kayu.”

“Kamu mengenal Klikamuka?”

“Dia yang mengatakan aku harus berada di sini.”

“Bagaimana kalau kita keluar bersama-sama?”

“Tidak mau.”

Nyai Demang menyingkir. “Baik kalau begitu. Aku akan keluar sendiri. Akan kutemui Tole dan akan kukatakan tak usah menemui Dewa Maut yang sudah tidak waras.”

Dewa Maut jadi ragu.

“Baik, selamat tinggal.” Nyai Demang masuk lewat lorong dari mana Dewa Maut muncul. Terus berjalan dengan memilih ancar-ancar kiri-kanan. Akan tetapi sampai berkeringat, akhirnya kembali ke tempatnya semula. Terpaksa keluar, meneliti jalan yang tadi menuju tanah lapang.

Dewa Maut masih berada di tempatnya. “Hoho, akhirnya kamu kembali lagi kemari. Sudah kukatakan di luar tidak menyenangkan.”

“Aku tak bisa keluar,” kata Nyai Demang lirih.

“Dusta! Kamu tak bisa mendustaiku. Lebih mudah keluar daripada masuk. Hoho, aku tak bakal kena didustai.”

“Bagaimana mungkin begitu gampang keluar?”

“Ya, kamu sudah tahu pembukaan Kitab Penolak Bumi. Sebenarnya kurungan ini dibuat berdasarkan pembukaan kitab itu. Ketika aku mencobanya, memang gampang sekali. Tapi aku juga seperti kamu, aku lebih suka kembali ke sini.”

Nyai Demang memandang kecewa. Kalau kembali lagi, itu sama juga tidak bisa keluar! Tapi mana mungkin Dewa Maut mempermainkan? Mendadak Nyai Demang bergerak cepat. Jubah Dewa Maut kena dicekal. Sesuatu yang disembunyikan di balik jubah bisa diambil. Nyai Demang tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dua buah gelang!

“Jangan ambil, itu buat Tole.”

Nyai Demang mengembalikan dengan baik. Kini ia yakin bahwa Dewa Maut benar-benar bisa keluar dan bisa masuk kembali. Gelang itu pasti tidak disembunyikan ketika ia ditawan. Lagi pula kalau sejak lama berada dalam tempat yang sama, mana mungkin ia tidak mengetahui sama sekali.

“Ambil kembali gelangmu. Tapi carikan buat aku.”

“Aku takut.”

“Bagus, kalau begitu aku akan mengiringkan di belakangmu. Nanti akan kuambil sendiri.”

“Hoho, hanya Tole yang bisa memerintah aku. Kenapa kamu tidak pergi sendiri?”

“Bagaimana caranya?”

“Dalam pengantar Kitab Penolak Bumi dikatakan bahwa burung garuda yang perkasa kalah dari burung prenjak, harimau kalah oleh menjangan, gajah kalah oleh macan, matahari kalah oleh rembulan, kucing kalah oleh tikus, anjing kalah oleh kancil, dan ular kalah oleh katak.”

“Lalu?”

“Kita ikuti saja kata-kata itu.”

Nyai Demang tertunduk lemas. Ia mencari akal lain. Dengan menyelinap di balik lorong yang ada, ia akan mengikuti Dewa Maut! Inilah salah satu cara terbaik. Pasti Dewa Maut akan keluar dari tempat ini. Mendapat pikiran begitu, Nyai Demang agak tenang.

Apa yang diperkirakan ternyata benar. Tak sampai sore, Dewa Maut sudah berdiri sambil menghafalkan pembukaan Kitab Penolak Bumi. Nyai Demang mengikuti dari belakang. Sengaja mempergunakan cara meringankan tubuh agar tidak membuat Dewa Maut curiga. Akan tetapi pada suatu tikungan, Dewa Maut lenyap dari pandangannya! Seperti ditelan bumi! Dan begitu Nyai Demang mengejar sekenanya, akhirnya kembali ke tempatnya semula! Ini benar-benar aneh dan tak bisa dimengerti.

Dewa Maut bisa memecahkan rahasia kurungan di bawah tanah ini dengan pembukaan dari Kitab Penolak Bumi. Ia bisa mengidungkan dengan baik, akan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan-jangan aku sudah gila, pikir Nyai Demang. Tak ada Dewa Maut. Hanya karena selama ini aku tak berjumpa dengannya, aku merasa bertemu.

Namun esoknya, Nyai Demang menjumpai Dewa Maut duduk di lapangan sambil minum tuak, sejenis minuman keras yang dibuat dari buah aren. Ini berarti bukti yang lain bahwa Dewa Maut bisa keluar-masuk Keraton. Bahkan bisa mengambil makanan dan minuman. Ini berarti tetap tak bisa diikuti. Karena justru ia yang waras dan memiliki ilmu lebih tinggi, tak bisa menguber Dewa Maut. Benar-benar seperti garuda yang dikalahkan prenjak! Seperti matahari yang dikalahkan sinar rembulan.

“Dewa Maut, kenapa kamu tidak mengajakku?”

“Aku membawakan untukmu.” Dewa Maut memberikan kendi yang berisi minuman keras.

Nyai Demang mengembalikan. “Aku ingin santapan Baginda.”

“Tidak, aku tidak mencuri. Aku hanya mengambil sisa-sisa yang ditinggalkan para prajurit.”

Nyai Demang menghela napas. Inilah akhir dari perjalanan hidupnya. Terkurung dalam tahanan bawah tanah, ditemani seseorang yang bisa keluar-masuk, tapi ia tetap berada di dalam. Betapa menyakitkan!

Laku, Kunci Segala Kunci

SATU-SATUNYA harapan bagi Nyai Demang hanyalah menggertak Halayudha. Maka begitu Halayudha muncul lagi sambil membawa makanan serta pakaian ganti, Nyai Demang memperlihatkan gelang serta makanan dari Dewa Maut. Halayudha mengerutkan kening.

“Apakah kamu merasa heran bahwa aku bisa keluar dan masuk dari tempat ini?”

“Betul-betul menakjubkan. Akan tetapi bagaimana mungkin?”

“Sangat sederhana. Lorong dalam tahanan bawah Keraton ini disusun sedemikian rupa sesuai dengan pembukaan Kitab Penolak Bumi.”

“Mustahil.”

“Apa lagi yang kau banggakan? Aku hanya ingin menunjukkan bahwa seharusnya aku dibawa secara baik-baik dan dilepaskan secara baik-baik. Sebab aku akhirnya toh bisa keluar sendiri.” Dengan taktik ini, Nyai Demang berharap bisa dibawa keluar dengan baik-baik.

“Aku sudah membaca Kitab Bumi. Baik Dua Belas Jurus Nujum Bintang, maupun Kitab Penolak Bumi. Dari pembukaan sampai bagian akhir. Rasanya tak ada yang menjelaskan cara mengatur lorong-lorong di bawah ini.”

“Aha, mana mungkin kamu bisa membaca dengan baik? Dengar baik-baik, kalau ingin kupecahkan rahasia itu.”

Halayudha bergerak. Tanpa menggeser kaki. Hanya telapak tangannya yang bergerak cepat. Mengusap wajah Nyai Demang yang mendadak merasa sangat mengantuk. Begitu mengerahkan tenaga melawan, keletihan malah membebani. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang sadar bahwa ia terkena pengaruh Aji Sirep Laron.

“Nyai Demang, sekarang kamu hanya mendengar dan menuruti apa yang kukatakan. Mengerti?”

“Mengerti.” Nyai Demang tak bisa menguasai bibirnya untuk tetap terkunci.

“Apa benar bahwa kunci untuk keluar dari lorong ini ada di dalam pembukaan Kitab Penolak Bumi?”

“Ya.”

“Di bagian mana?”

“Pada pembukaan.”

“Aku tahu pada bagian pembukaan. Akan tetapi bagian yang mana?”

Nyai Demang yang memang belum mengetahui, hanya mengulang jawaban.

“Dengar baik-baik. Saat ini aku bisa membunuhmu. Semudah menggaruk lutut. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Dan aku akan membunuhmu, karena kamu telah menjadi bahaya. Aku akan memusnahkan semua ilmu yang kamu miliki. Mengerti?”

“Mengerti.”

“Harus mau.”

“Ya.”

“Kidungkan bagian pembukaan secara lengkap.”

Nyai Demang duduk bersila. Suaranya mengalun merdu:

Tiada niat
tiada ambisi, tiada minat
sebab itu tak ada
jangan memakai akal pikiran
itu menyesatkan
jangan memakai akal budi
itu jalan buntu
kunci dari kunci
adalah laku
laku itu buat niat
buat minat, bukan akal
bukan pikiran
bukan kunci
laku itu laku
laku
laku adalah pembuka
kitab penolak bumi
sebab laku yang membuat garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah dengan menjangan, singa kalah melawan kancil, matahari kalah melawan rembulan’ kucing kalah melawan tikus, anjing kalah dengan kancil, ular kalah dengan kodok
laku itu melawan, laku itu tiada
dibuka dengan laku, itu kitab ini…


Halayudha menggelengkan kepalanya “Bagaimana cara memahami lorong ini dengan kidungan macam itu?”

“Garuda kalah melawan prenjak, harimau kalah...”

“Cukup, Nyai Demang, apa boleh buat. Kita berpisah sekarang. Kalau takdir menentukan lain, kita akan bertemu lagi. Karena saya akan sangat sibuk, saya tak bisa menengok kamu lagi. Selamat tinggal, Nyai.”

Halayudha mengusap Nyai Demang, Bukan untuk membebaskan, akan tetapi untuk menambah pengaruh sirepnya. Kemudian dengan langkah pasti meninggalkan Nyai Demang.

Tinggal Nyai Demang bersila sendirian. Seluruh pikirannya kacau, Bolak-balik, antara mimpi dan mengigau, Antara sadar dan tidak, Nyai Demang melihat Dewa Maut muncul, mendekatinya. Nyai Demang berusaha berteriak, akan tetapi Dewa Maut seperti tak bisa mendengar

“Kamu kenapa bersila di situ? Aku sudah ambilkan makanan Raja. Ini dia.”

Nyai Demang hanya menatap kosong,

“Nyai, kamu ngambek? Marah padaku?” Dewa Maut menggelengkan kepalanya. “Baiklah, aku katakan saja, Kamu toh sudah tahu bahwa garuda kalah melawan prenjak, adalah sepuluh langkah. Sedangkan macan dikalahkan menjangan adalah enam langkah, Lalu dua langkah, empat langkah, sebelas, tiga belas langkah, dan dua belas langkah, Lalu berulang dari awal lagi, Nah, apa lagi yang kau ingin saya ulangi?”

Perlahan Nyai Demang seperti tersadar. Bahwa untuk menelusuri lorong-lorong itu dengan perhitungan berapa pecak atau berapa langkah sudah ada perhitungan sendiri jadi dalam melangkahi sama sekali tidak memedulikan lorong kiri atau kanan, maju atau mundur! Tetapi lebih kepada hitungan kidungan!

Nyai Demang menangkap sifat-sifat yang disebutkan Dewa Maut dan dengan mudah menghafalkan. Meskipun jumlah langkah itu tak ada dalam kidungan, akan tetapi mudah dimengerti. Bahwa garuda dikalahkan prenjak adalah sepuluh langkah. Nyai Demang berusaha bangkit. Namun malah kembali terguling. Ingin berteriak, akan tetapi tenggorokannya malah sakit, ingin membuka bibirnya, akan tetapi malah tertekan!

Dewa Maut memperhatikan Nyai Demang, Lama menunggu sebelum akhirnya mendudukkan. “Apa sebenarnya maumu? Kamu ingin aku membopongmu? Menyuapi? Nyai Demang, kamu harus tahu, Bahwa selama ini aku tak pernah memegang tubuh wanita, Aku justru merasa jijik, Kamu tahu kalau aku tak mau menolongmu,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan. Akan tetapi ketika kembali, posisi Nyai Demang sedikit pun tak berubah, “Hoho, apa sebenarnya maumu? Kenapa kamu begitu keras kepala seperti Tole?”

Pikiran waras Dewa Maut memang terganggu, Sejak sebelum ilmu racun dalam tubuhnya lenyap bersama tenaga dalamnya, Dewa Maut sudah dikenal paling aneh adatnya. Namun meskipun demikian, Dewa Maut pada dasarnya manusia yang baik. Apalagi saat-saat terakhir digembleng secara tidak langsung di Perguruan Awan, Selalu bersama-sama dengan Nyai Demang dan yang lainnya, Yang hidup saling menolong dan rukun. Maka Dewa Maut mendudukkan Nyai Demang, Lalu berusaha menyuapi, Nyai Demang dipaksa membuka mulutnya, Akan tetapi makanan itu terhenti di bibir,

“Kunyah.”

Pandangan Nyai Demang tetap kosong,

“Kau minta aku yang mengunyahnya? Nyai, aku tak bisa memegang tubuh wanita, Apalagi mengunyahkan makanan,”

Dewa Maut segera pergi meninggalkan. Akan tetapi ketika kembali, Nyai Demang tetap di tempatnya. Walaupun kurang waras, pikiran Dewa Maut masih bisa berjalan dengan normal kalau berhubungan dengan ilmu silat. Meskipun tenaga dalamnya sudah hilang, pengetahuannya tidak surut karenanya

“Jangan-jangan jalan darahmu kena totok,”

Dewa Maut membulatkan hatinya untuk meraba nadi Nyai Demang di kedua tangan dan kaki, Tentu saja aliran darah Nyai Demang tetap normal.

Laku, Bukan ilmu.

Dewa Maut menggelengkan kepalanya. “Kamu kena aji sirep?”

Dewa Maut bisa mengerti tentang aji sirep justru karena Gendhuk Tri yang dianggap sebagai Tole-nya pernah terkena aji sirep Pu’un yang berasal dari Banten,

“Pasti, Tapi bagaimana caranya mengatasi?”

Selama Dewa Maut sibuk, Nyai Demang bisa melihat, bisa mengetahui. Hanya saja reaksinya yang tak bisa dikuasai sepenuhnya. Justru di saat ingin menggerakkan tangan, Jadinya malah kaku.

“Wah, bagaimana obatnya, Nyai? Aku tak bisa. Kenapa kamu tak mencoba sendiri? Kamu kan hafal Kitab Penolak Bumi, Namanya saja sudah tumbal, berarti itu jurus yang serba penolakan, Apa saja ditolak lebih dulu. Termasuk… hehe, termasuk apa ya? Kamu mulai saja, Nyai Mulai dengan tiada...”

Nyai Demang mulai memusatkan pikirannya Mengikuti petunjuk yang terdengar di telinga, Akan tetapi hasilnya sama lagi. Begitu mencoba memusatkan perhatian, Jadinya malah mengantuk Nyai Demang memaksakan dirinya.

“Lho, kok malah mendengkur?”

Dewa Maut menggaruk-garuk kepalanya. Sehingga rambutnya yang putih rontok. Beberapa kali menggoyangkan tubuh Nyai Demang, ternyata tak ada gunanya,

“Celaka kalau kamu mati di sini, aku bisa disalahkan Tole, Aku yang akan dituduh menjadi pembunuh, Ayo, sembuh… sembuh.,.”

Dalam bingungnya Dewa Maut menggoyangkan tubuh Nyai Demang, Merangkul, membuka mata Nyai Demang.

“Ya sudah, kalau kamu pilih mati! Itu maumu sendiri.”

Antara sadar dan samar, Nyai Demang mendengar suara Dewa Maut. Rasanya yang dikatakan Dewa Maut benar. Daripada menyusahkan diri, kenapa tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kantuk yang bergulung menyeretnya? Kenapa harus memikirkan garuda dikalahkan burung prenjak dalam sepuluh langkah? Kenapa menyiksa diri?

Antara sadar dan tidak, Nyai Demang menyerahkan diri kepada seretan tenaga yang mengisapnya, Muncul dan lenyap bayangan Baginda Raja, Halayudha, Upasara, Gendhuk Tri, Jaghana, Dewa Maut, suaminya yang dulu, Upasara lagi, peperangan, Gayatri, Halayudha, dan kidungannya yang belum selesai Nyai Demang melanjutkan dalam hati:

…laku itu bukan ilmu
sebab ilmu itu keliru
laku itu bukan rasa
sebab rasa itu buta
pikiran tak menyelesaikan
perasaan tak mendamaikan
laku itu
bukan ini bukan itu
itulah laku…


Nyai Demang merasa makin dalam terseret ke pusaran yang tak dikuasai sedikit pun. Tak tahu bahwa Dewa Maut makin kencang memeluknya, makin Sering membuka matanya, dan makin kebingungan.

“Celaka, kalau mati begini, bagaimana cara menguburnya? Kenapa tidak di luar saja? Bagaimana mungkin aku menggendongmu ke luar?”

Berjingkrakan ke sana kemari, akhirnya Dewa Maut jadi lelah sendiri. Akhirnya ia menunggui di dekat Nyai Demang, Sampai beberapa saat ia mendengar suara lirih.

“Ha, kamu hidup lagi, Nyai?”

Karena dalam gua begitu gelap, Dewa Maut tak tahu apakah suara itu berasal dari Nyai Demang atau yang lainnya, Lagi pula Dewa Maut tak bisa melihat wajah Nyai Demang,

“Kamu atau sukmamu yang barusan bicara? Dulu aku dijuluki Dewa Maut karena suka mencabut nyawa, Dalam setiap pertempuran, aku selalu membunuh orang, jadi kalaupun kamu sukma atau setan, aku tak takut “Nyai.,.”

Dewa Maut kaget karena lengannya dicekal

“Jadi kamu benar-benar hidup?”

Terdengar helaan napas. Telapak tangan Dewa Maut dicekal kencang.

“Hei, jangan pegang-pegang seperti ini.”

Terdengar lagi tarikan napas. “Tiada keinginan, itulah keinginan.”

“Bagian dari kitab mana lagi itu?”

“Ayolah, Dewa Maut, bantu aku bersemadi. Agar tenagaku pulih kembali.”

“Kamu ini bagaimana? He, di mana wajahmu? Jangan-jangan aku bicara sambil menghadap pantatmu. Kamu bilang tiada keinginan, sekarang suruh membantu memulihkan tenaga. Apa sebenarnya yang kamu harapkan?”

Nyai Demang menggenggam kedua tangan Dewa Maut. Perlahan mulai mengatur napas, Tak ada jalan lain bagi Dewa Maut selain duduk bersila dan mengikuti alunan napas Nyai Demang yang naik-turun dengan teratur. Memang Dewa Maut tak bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Bahkan Nyai Demang pun belum mau percaya!

Sewaktu mengikuti kidungan dalam hati, ketika itu terasa segalanya menjadi enteng. Nyai Demang mengikuti lirik dalam kidungan dengan sepenuh hati. Tak mengetahui bagaimana proses berikutnya, tahu-tahu bibirnya bisa terbuka dan mengeluarkan suara, pikirannya mulai jernih. Pengaruh sirep mulai berkurang, akan tetapi dirasakan tenaganya masih belum bisa dikerahkan

Apa yang terjadi dalam dirinya setengah disadari, dan setengah lagi tidak Nyai Demang hanya merasa bahwa justru ketika ia mengikuti bunyi kidungan dengan segenap hatinya, apa yang dikidungkan benar adanya. Pada saat ia mengerahkan ilmu, ia justru kalah. Pada saat perasaannya tak bisa mengadakan perlawanan. Laku, ternyata bukan itu.

Seiring dengan pengertian yang perlahan merayapi, Nyai Demang jadi bisa pulih kembali. Sewaktu sinar mentari mulai terbias ke dalam lorong yang didiami, Nyai Demang dan Dewa Maut sudah selesai bersemadi. Dewa Maut bisa melihat bahwa cahaya mata Nyai Demang bersinar,

“Kakang Dewa Maut…”

“Aku ini Kakang?”

“Kitab Penolak Bumi sungguh kitab yang luar biasa. Aku tak tahu harus mengatakan bagaimana. Sekian puluh kali aku menghafalkan di luar kepala, akan tetapi rasanya baru sekarang ini aku bisa sedikit merasakan.”

“Merasakan apa?”

“Laku, itulah kuncinya, Tetapi juga bukan kunci Pantas saja selama ini tak ada yang bisa menguasai sempurna, Bahkan Adimas Upasara selalu menemukan jalan buntu dan kebosanan. Makin dipaksa makin tak kena.”

“He, apa yang kamu bicarakan?”

“Kakang harus mendengarkan. Mau atau tidak, Kakang harus menjalankan bila ingin waras.”

Dewa Maut meloncat, menjauh, “Jadi selama ini kamu menganggap aku tidak waras?”

Nyai Demang seperti tidak memperhatikan Dewa Maut. “Sesungguhnya laku itu cara, laku itu usaha. Tetapi dalam usaha memahami Kitab Penolak Bumi caranya ialah dengan menolak ilmu, menolak akal pikiran, menolak rasa, Karena dengan ilmu, dengan akal pikiran, bahkan dengan rasa, kita akan menemukan jalan buntu, Laku dalam memahami ajaran Kitab Penolak Bumi adalah laku. Kakang, masih ada kesempatan bagi Kakang. Masih ada kesempatan bagi Adimas Upasara. Mari segera kita tinggalkan tempat ini.”

Nyai Demang berdiri. Tenaganya memang belum pulih benar, Akan tetapi pikirannya telah jernih kembali

“Tidak, kamu pergi sendiri”

Nyai Demang menghela napas, “Kakang mau tetap di sini?”

Dewa Maut mengangguk,

“Baiklah kalau begitu, Selama ini kita berdua selalu di sini. Banyak hal kita lakukan bersama-sama, Secara langsung dan tidak langsung, saya, Nyai Demang, berutang budi kepada Kakang. Saya berjanji tak akan melupakan jasa baik ini. Maaf, Kakang, saya akan melanjutkan perjalanan sendiri”

Benih Matahari

NYAI DEMANG tak membuang waktu sedikit pun. Begitu selesai memberi hormat, segera ia meninggalkan tempat itu. Dari mana pun ia mulai melangkah, ia mulai berhitung bahwa langkah pertama adalah sepuluh pecak, di mana ada tikungan, tanpa memedulikan kiri dan kanan, langsung berbelok Enam pecak berikutnya, mengubah lagi Kalau kebetulan lorongnya masih lurus, Nyai Demang melanjutkan dengan dua pecak berikutnya, disusul dengan empat pecak, dan seterusnya.

Memang dalam kidung pembuka, langkah-langkah itu tidak dituliskan. Akan tetapi bagi yang bisa menangkap, hal itu sudah jelas, Dewa Maut pun bisa menandai bahwa “garuda dikalahkan prenjak” berarti sepuluh, Sedangkan “harimau dikalahkan menjangan” berarti enam, Inti untuk memahami pembukaan itu bukanlah dengan pendekatan ilmu, bukan dipecahkan dengan akal Walau mungkin bisa didekati bahwa “garuda dikalahkan prenjak” lebih lama waktunya dibandingkan dengan “harimau dikalahkan prenjak”, sedemikian juga seterusnya. Namun perhitungan akal semacam ini Sering membuat bingung. Karena justru “matahari dikalahkan bulan” hanya berarti empat, sementara “ular dikalahkan katak” bisa berarti dua belas.

Namun kini Nyai Demang tak mau mempersoalkan itu. Ia menerima saja, Sebab inilah laku, Tidak dengan ilmu, tidak dengan pikiran. Tidak juga dengan perasaan, Setiap tujuh kali, Nyai Demang mengulang dari awal lagi. Kalaupun perasaannya mengatakan ia seperti kembali ke tempatnya semula, tak terlalu dihiraukan. Hasilnya memang mengejutkan,

Dengan mudah Nyai Demang bisa muncul dari sumur di bagian dapur Keraton. Pantas saja Dewa Maut bisa dengan tenang mencuri makanan, Keluar dari sumur, Nyai Demang menyelinap ke arah luar, Tak terlalu menarik perhatian karena Nyai Demang hafal jalannya dan Penampilannya tak terlalu berbeda. Melewati pelataran utama, Nyai Demang berada di bagian luar Keraton. Bebaslah sudah.

Akan tetapi Nyai Demang justru menuju ke sitinggil atau bagian tanah yang lebih tinggi yang terletak beberapa ratus tombak dari Keraton, Sitinggil Keraton adalah bagian yang biasanya digunakan untuk mengadakan pertemuan atau latihan perang kecuali kalau berada di alun-alun, Di tempat inilah biasanya lebih ramai daripada di bangsal utama, di mana Baginda Raja mengadakan musyawarah dan menitahkan segala sesuatu.

Apa yang menarik Nyai Demang adalah bahwa di sitinggil terjadi pertemuan yang menyebabkan semua senopati Majapahit berkumpul. Sekilas saja nampak Mpu Nambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, bahkan Mpu Kuti dan Semi. Kalau semua tokoh Majapahit berkumpul pasti ada sesuatu yang penting. Nyai Demang mencoba mendesak maju, Cepat-cepat ia memalingkan wajah ketika Senopati Anabrang menyeruak masuk.

Di tengah ruang sitinggil, ada pemandangan yang ganjil. Semua senopati duduk bersila membentuk lingkaran, Menghadapi dua orang lelaki gagah yang menunduk. Dua lelaki gagah inilah yang menjadi pusat perhatian. Bukan karena pakaian yang dikenakan nampaknya begitu tebal dan membungkus sehingga menimbulkan kesan gerak. Akan tetapi terutama karena kedua lelaki itu menguncir rambutnya ke belakang. Dan dua-duanya botak di tengah. Bukan kotak sembarang botak, kalau dilihat bahwa rambut di sisi masih kelihatan lebat.

Nyai Demang cukup luas pengalamannya, Ia pernah mendengar bahwa ada ksatria yang berpakaian rapat dengan rambut dikucir dan sebagian kepalanya dibotaki. Menurut yang diketahui, para ksatria ini berasal dari tlatah Jepun, suatu kerajaan yang lebih dekat dengan orang-orang Tartar, Nama besar mereka terdengar ke seantero jagat, karena para ksatria ini mempunyai ilmu silat yang kelewat tinggi. Kemampuan ksatria Jepun ini terutama sekali memainkan pedang panjang, yang digenggam dengan dua tangan sekaligus, Nyai Demang hanya mendengar kisah-kisah mengenai ksatria Jepun berpedang panjang, Baru sekarang ini bisa menyaksikan!

Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Nyai Demang lebih yakin bahwa mereka berdua pasti dari Jepun, Karena ada sarung pedang yang panjang diletakkan di depan, Sedangkan sarung pedang yang pendek, nampak bergantung di pinggang. Barangkali karena Senopati Anabrang juga memainkan dua pedang, maka ia dipanggil. Yang membuat Nyai Demang sedikit bertanya-tanya ialah bahwa sekarang yang kelihatan menjadi pimpinan dari semua senopati yang ada adalah Mpu Nambi, Bisa jadi Baginda sudah mengangkat mahapatih! Dan yang dipilih adalah Mpu Nambi.

“Kisanak, datangmu mengejutkan, membuat kami tak bisa menyambut dengan baik, Perkenalkan, saya Senopati Nambi yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketenteraman, Boleh saya tahu maksud kedatangan Kisanak berdua?”

Dua lelaki di depannya mengangguk dengan hormat sangat dalam Caranya menekuk tubuh menunjukkan penghormatan, akan tetapi kedua tangan tetap berada di lutut,

“Maafkan kami, Mahapatih yang perkasa. Dibilang tamu jauh, memang kami dari negeri matahari bersinar ke bumi. Kamilah yang berasal dari kelahiran matahari. Akan tetapi sudah sejak lama kami berada di tanah India, tanah kelahiran Rama Wijaya, sebelum menetap lama di sekitar tanah Keraton ini. Perkenalkan, Mahapatih, saya dipanggil Kama Kalacakra, dan saudara saya ini Kama Kalandara.”

Kama Kalandara yang diperkenalkan membungkuk dengan suara tertahan diperut. Bagi telinga Nyai Demang, kedua nama itu menunjukkan pengertian yang aneh. Kama, bisa berarti benih lelaki. Sangat jarang dipakai sebagai nama. Meskipun jelas itu bukan nama asli, agaknya si pemilih sengaja mengambil nama itu. Tanpa merasa risi. Sedangkan Kalacakra maupun Kalandara mempunyai arti yang sama, yaitu matahari. Bahwa mereka memilih nama yang diartikan sebagai “benih matahari” tak begitu menjadi soal. Akan tetapi kedua nama yang artinya sama, memang mengundang tanda tanya. Dilihat dari caranya berbicara, Nyai Demang yakin bahwa kedua “benih matahari” sudah sangat mengenal cara berbahasa setempat.

“Kami adalah gelandangan yang tidak mempunyai rumah dan tempat untuk berteduh. Kami datang kemari untuk melihat kebesaran Keraton Majapahit, sekaligus ingin melihat apakah benar di sini disimpan Tumbal Bantala Parwa.”

Senopati Anabrang mengertakkan giginya. “Kalau benar tersimpan di sini, apa maksud kalian? Kalau tidak tersimpan di sini, mau apa?”

Kama Kalacakra mendongak. Garis-garis di wajahnya memperlihatkan keteguhan sikap dan sekaligus kejantanan yang luar biasa. “Kalau ada di sini, kami mau melihat apakah itu kitab pusaka kami. Kalau benar ya, kami mau membawa kembali Kalau tak ada, kami akan mencari.” Jawaban dan sekaligus tantangan

“Tunggu sebentar, Kisanak ” Suara Mpu Nambi tetap merendah nadanya. “Dari mana Kisanak mendengar kabar kami menyimpan kitab itu, dan bagaimana mungkin itu kitab milik Kisanak?”

Kama Kalacakra menggenggam pedangnya. Suaranya menjadi lebih keras. “Panjang sekali ceritanya, Kami tak tahu apakah para senopati yang sibuk mempunyai waktu untuk mendengarkan. Kitab pusaka milik leluhur kami aslinya berasal dari negeri di mana sekarang ini dikuasai oleh pendekar Tartar. Dari sanalah mengembara para pendeta ke seluruh jagat untuk mengandalkan budi luhur, Di antaranya ada yang datang ke negeri kami, tanah di mana matahari bersinar pertama kali Kitab pusaka itu menjadi bentuknya yang sekarang karena jasa para leluhur kami, dan hanya keturunan Dewa Matahari yang boleh membaca atau mempelajari Ketika kitab pusaka itu hilang, kami semua mencari ke seluruh penjuru, Kami berdua berada di tanah Rama Wijaya, Sewaktu pasukan Tartar datang ke tanah ini, kami mendengar bahwa di sini juga ada kitab pusaka yang mirip dengan kitab pusaka kami. Itulah sebabnya kami datang kemari. Karena tidak tahu kepada siapa bertanya, kami telah lancang datang ke Keraton. Sebelum ini kami telah menjelajah ke seluruh wilayah, dan datang ke Perguruan Awan. Karena menurut cerita di sana ada seorang tokoh yang dipanggil sebagai Eyang Sepuh yang mengajarkan ilmu Tepukan Satu Tangan. Dari namanya saja sudah jelas itulah ilmu utama kami, Menurut cerita juga, ilmu itu diperoleh dari Kitab Bumi, yang salah satu bagiannya bernama Kitab Penolak Bumi, Karena kitab itu berada di sini, kami ingin melihatnya.”

Mpu Nambi menganggukkan kepalanya, “Tak salah Kisanak datang kemari. Kalau mencari Kitab Bumi, memang ada di sini, Akan tetapi karena itu kitab pusaka kami, Kisanak tak bisa sembarangan melihatnya.”

“Kami telah siap menghadapi segala risiko yang menghalangi terwujudnya keinginan kami...”

BAGIAN 16CERSIL LAINNYABAGIAN 18